PENGARUH PENGGUNAAN GELATIN DARI KULIT
KAMBING ETAWAH SEBAGAI BAHAN PENGIKAT PADA
PEMBUATAN TABLET PARASETAMOL SECARA
GRANULASI BASAH
SKRIPSI
Oleh :
Shoffiya Amaliya
NIM. 11141020000056
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
PENGARUH PENGGUNAAN GELATIN DARI KULIT
KAMBING ETAWAH SEBAGAI BAHAN PENGIKAT PADA
PEMBUATAN TABLET PARASETAMOL SECARA
GRANULASI BASAH
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
Oleh :
Shoffiya Amaliya
NIM. 11141020000056
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Shoffiya Amaliya
NIM : 11141020000056
Tanda Tangan :
Tanggal : 14 September 2018
II AL,.\i\,I ;\N PERSETUJUAN PEIVI BIN{BING
Nama : Shoftiya Arnaliya
NtM : 1i 1,11020000056
Judul Skripsi : Pengaruh Penggunaan Gelatin dari Kulit Kambing Etawah
sebagai Bahan Pengikat pada Pembuatan Tablet Parasetarnol
Secara Granulasi Basah
Diset'rjui oleh :
Pembimbing Il
Dr. Zilhadia. M.Si.. Apt Yuni Anssraeni, NI.Farm.. ArrtNiP.197308222A08012007 NIP.198310282009012008
MengetahLu,
Kepala Program Studi FarrnasiF akultas Iimu I.-es ehatair
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pembimbing I
ry)
A)3/ \J'tlnDr. Nurmeilis. M.Si.. .4.p!,NIP. 1 97407302005012003
iii IJIN Syarif Flirlayatullah Jakarta
HALAMAN PBNGESAHAN
Nama : Shoffiya Amaliya
NIM : 11141020000056
Program Studi : Fannasi
Judul Skripsi : Pengaruh Penggunaan Gelatin dari Kulit Kambing Etawah
sebagai Bahan Pengikat pada Pembuatan Tablet Paraselamol
Secara Granulasi Basah
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas IImu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
DEWAN PENGUJ)
Pembirnbing 1
Pembimbing 2
Pengr-rji I
Penguji 2
Ditetapkan diTanggal
Dr. Zilhadia, M.Si., Apt.
YLLni Anggraeni, lv{.Faru., Apt.
Drs. Umar Nlansur. M.Sc., Apt.
Ofa Sr,rzanti Betha. NI.Si.. ,^pt.
Ciputat14 September 2018
M,Q&4' )
tA-,---,
+{-}fl* )
\\
iv UIN Syarif I{idayatullah Jakarta
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Shoffiya Amaliya
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Pengaruh Penggunaan Gelatin dari Kulit Kambing Etawah
sebagai Bahan Pengikat pada Pembuatan Tablet Parasetamol
Secara Granulasi Basah
Telah diekstraksi gelatin dari kulit kambing Etawah pada penelitian sebelumnya.
Berdasarkan hasil uji karakteristik, gelatin kulit kambing Etawah dapat dijadikan
sebagai eksipien pada sediaan farmasi. Pada penelitian ini, gelatin kulit kambing
Etawah digunakan sebagai bahan pengikat pada pembuatan tablet parasetamol
secara granulasi basah dengan konsentrasi 2%, 3%, dan 4%. Hasil evaluasi
menunjukkan peningkatan konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah menyebabkan
peningkatan pada nilai kekerasan, waktu hancur yang lebih lama, dan penurunan
pada nilai kerapuhan tablet parasetamol yang dihasilkan (p<0,05). Pada konsentrasi
3%, gelatin kulit kambing Etawah menghasilkan tablet yang bermutu baik dengan
nilai kekerasan 15,07 ± 0,67 Kp, waktu hancur 3,71 ± 1,00 menit, nilai kerapuhan
0,62%, kadar parasetamol di menit ke-30 pada uji disolusi yaitu 99,78 ± 0,94%.
Kemudian setelah dibandingkan, tablet yang menggunakan gelatin kulit kambing
Etawah sebagai bahan pengikat memiliki waktu hancur lebih cepat dan lebih mudah
terdisolusi dibanding tablet yang menggunakan gelatin sapi sebagai bahan pengikat
(p<0,05).
Kata kunci : Gelatin, kulit kambing, kambing Etawah, formulasi, tablet parasetamol.
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Shoffiya Amaliya
Department : Pharmacy
Title : The Effect of Using Gelatin from Etawa Goat Skin as Binding Agent
in Paracetamol Tablet Formulation by Wet Granulation.
A study about extracting gelatin from Etawa goat skin has previously been
done. According to the characteristic test in the study, gelatin from Etawa goat skin
fulfills the characteristics as excipient in pharmaceutical preparations. In this study,
Etawa goat skin gelatin is used as binding agent in paracetamol tablet formulation
by wet granulation with 2%, 3%, and 4% concentration. Evaluation shows higher
concentration of Etawa goat skin gelatin increases the hardness factor, causes
longer disintegration time, as well as decrease in friability factor of the produced
paracetamol tablets (p≤0.05). In 3% concentration, Etawa goat skin gelatin helps
producing good quality tablets with hardness factor of 15.07 ± 0.67 Kp,
disintegration time of 3.71 ± 1.00 minute, friability factor of 0.62%, and the
remaining amount of paracetamol after 30 minutes into dissolution test is 99.78 ±
0.94%. Comparison with tablets using bovine gelatin as binding agent shows that
tablets using Etawa goat skin gelatin as binding agent have shorter disintegration
time and are more dissoluble (p≤0.05).
Keywords: Gelatin, goat skin, Etawa goat, formulation, paracetamol tablet.
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur senantiasa penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya yang
begitu berlimpah, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh
Penggunaan Gelatin dari Kulit Kambing Etawah sebagai Bahan Pengikat
pada Pembuatan Tablet Parasetamol Secara Granulasi Basah” yang telah
diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Program
Studi Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Sholawat serta salam senantiasa juga tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan juga pengikut yang setia kepada
beliau hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini bukan
hanya hasil dari usaha sendiri, melainkan banyak bantuan dari segala pihak hingga
penulisan skripsi ini bisa selesai dengan baik. Semoga Allah senantiasa membalas
segala kebaikan dan mencurahkan rahmat-Nya kepada :
1. Kedua orang tua, Papah H. Moehtsani Isnen, S.T yang ketampanannya serupa
artis Hollywood, Mamah Hj. Suprihatin, S.E yang kesabaran dan
dukungannya tidak terbatas, adik-adik tersayang Shoffira Fathiya dan
Ardhani Dzaky Aryasatya, atas segala kasih sayang, semangat, motivasi, doa,
dukungan moral dan materil yang selalu dicurahkan untuk penulis, sehingga
penulis tetap kuat dalam menyelesaikan penelitian ini dan juga studi di
Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Zilhadia, M.Si., Apt selaku pembimbing I dan Ibu Yuni Anggraeni,
M.Farm., Apt selaku pembimbing II yang telah mencurahkan ilmu,
bimbingan, tenaga, waktu, kesabaran, kepercayaan dan arahannya kepada
penulis selama proses penelitian sampai selesainya proses penulisan skripsi
sehingga dapat selesai dengan baik.
3. Bapak Christwina Yoseph Nugroho, selaku Manager Team F3 dan
pembimbing PKL, serta Ibu Nonny Berthy Imelda M selaku officer
formulation, yang telah memberikan kesempatan, bantuan, bimbingan, saran,
arahan, support, kebaikan, dan ilmu yang luar biasa banyaknya selama
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penulis melakukan penelitian di Laboratorium Formulasi Departemen R&D
PT Kalbe Farma Cikarang.
4. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt. selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan selama perkuliahan.
7. Ibu/Bapak Dosen dan Staf Akademika Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Operator dan admin, khususnya Tim F3 pada bagian formulasi Departemen
R&D PT Kalbe Farma Cikarang, Mas Agung Krisna Dwipayana, Mas M.
Probo Aji Sudrajat, Teh Rizka Auliani Wahyono, Mas Irpan Permana Sidik,
Pak Tedjo Rachmanto, Mas M. Ali Sadikin, Mas Farhan Miftah Fauzi, dan
lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, yang telah membantu penulis
secara teknis, memberikan saran serta arahan dalam melaksanakan penelitian
ini.
9. Keluarga besar Mbah Gimin yang selalu menaruh harapan besar kepada
penulis, sehingga mendorong penulis selalu berusaha menjadi pribadi yang
lebih baik.
10. Sahabat yang selalu ada untuk mendukung, membantu, dan memotivasi
kapanpun penulis merasa lelah, Sheila Sabrina, Syifa Rizkia Arumawati,
Seavhira Dianmurdedi, Deani Nurul Mubarika, Annisa Ulfa Mutiara, Farah
Maulidiyah, Eka Chandra Yuliana, Hanifah Ralis, Yasmin Arief Fathin
Syafwatullah, dan Najla Luthfiyyah.
11. Rekan setim pada bimbingan skripsi, terimakasih atas masukan, bantuan,
kesabaran, dan semangat selama masa penelitian hingga penyusunan skripsi.
12. Teman-teman farmasi khususnya Angkatan 2014 kelas BD yang telah
memberikan sebuah persahabatan, kekeluargaan, dan persaudaraan selama
perkuliahan berlangsung.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13. Dan kepada semua pihak yang banyak membantu penulis dalam penelitian
dan penyusunan skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis berharap kepada Allah SWT agar membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan
skripsi ini terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, khususnya bagi
mahasiswa farmasi, masyarakat pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Ciputat, 14 September 2018
Shoffiya Amaliya
NIM. 11141020000056
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 5
2.1. Gelatin ....................................................................................... 5
2.1.1. Definisi .......................................................................... 5
2.1.2. Bahan Baku Gelatin ...................................................... 5
2.1.3. Tipe Gelatin ................................................................... 6
2.1.4. Isolasi Gelatin ................................................................ 6
2.1.4.1. Proses Penyiapan Bahan Baku ........................ 6
2.1.4.2. Proses Penyiapan Larutan Curing ................... 7
2.1.4.3. Proses Produksi Gelatin .................................. 7
2.1.5. Kegunaan Gelatin .......................................................... 10
2.2. Kambing Etawah ....................................................................... 11
2.2.1. Definisi .......................................................................... 11
2.2.2. Karakteristik Kambing Etawah ..................................... 12
2.3. Tablet......................................................................................... 13
2.3.1. Definisi .......................................................................... 13
2.3.2. Metode Pembuatan ........................................................ 13
2.3.3. Bahan Tambahan ........................................................... 15
2.3.3.1. Bahan Pengisi .................................................. 15
2.3.3.2. Bahan Pengikat................................................ 15
2.3.3.3. Bahan Pelincir ................................................. 16
2.3.3.4. Adsorben ......................................................... 17
2.3.3.5. Pemanis ........................................................... 17
2.3.3.6. Pengharum....................................................... 17
2.3.4. Evaluasi ......................................................................... 17
2.3.5. Monografi Bahan ........................................................... 18
BAB III METODE PENELITIAN................................................................. 24
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 24
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2. Alat dan Bahan .......................................................................... 24
3.2.1. Alat ................................................................................ 24
3.2.2. Bahan ............................................................................. 25
3.3. Tahapan Penelitian .................................................................... 25
3.3.1. Penyiapan Sampel ......................................................... 25
3.3.2. Ekstraksi dan Pembuatan Lembaran Gelatin ................ 25
3.3.3. Formula Tablet .............................................................. 26
3.3.4. Pembuatan Tablet .......................................................... 27
3.3.5. Evaluasi Granul ............................................................. 28
3.3.5.1. Kecepatan Alir Granul .................................... 28
3.3.5.2. Pemeriksaan Sudut Diam ................................ 29
3.3.5.3. Uji Kompresibilitas ......................................... 29
3.3.5.4. Kadar Lembab Granul ..................................... 30
3.3.5.5. Distribusi Ukuran Partikel............................... 30
3.3.6. Evaluasi Tablet .............................................................. 31
3.3.6.1. Uji Organoleptik Tablet .................................. 31
3.3.6.2. Keseragaman Bobot ........................................ 31
3.3.6.3. Keseragaman Ukuran ...................................... 32
3.3.6.4. Kekerasan Tablet ............................................. 32
3.3.6.5. Kerapuhan Tablet ............................................ 32
3.3.6.6. Waktu Hancur ................................................. 32
3.3.6.7. Uji Disolusi ..................................................... 33
3.3.7. Analisa Data .................................................................. 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 34
4.1. Hasil Pembuatan Gelatin Kulit Kambing Etawah ..................... 34
4.2. Hasil Pembuatan Tablet Parasetamol ........................................ 35
4.2.1. Evaluasi Granul ............................................................. 38
4.2.2. Evaluasi Tablet .............................................................. 41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 50
5.1. Kesimpulan ............................................................................... 50
5.2. Saran .......................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 51
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Penyiapan Bahan Baku Gelatin ................. 7
Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Produksi Gelatin ........................................ 10
Gambar 4.1 Gelatin Kulit Kambing Etawah ................................................... 34
Gambar 4.2 Larutan Gelatin dengan Konsentrasi : a) 2%; b) 3%; dan
c) 4% ............................................................................................ 35
Gambar 4.3 Larutan Bahan Pengikat : a) Gelatin Kulit Kambing Etawah;
b) Gelatin Sapi ............................................................................. 36
Gambar 4.4 Massa Granul Tablet Parasetamol ............................................... 36
Gambar 4.5 Kurva Distribusi Ukuran Partikel ................................................ 40
Gambar 4.6. Tablet Parasetamol ...................................................................... 42
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Formula Tablet ................................................................................. 27
Tabel 3.2 Hubungan Kecepatan Alir dengan Sifat Aliran Serbuk ................... 29
Tabel 3.3 Hubungan Sudut Istirahat dengan Sifat Aliran Serbuk .................... 29
Tabel 3.4 Hubungan Persen Kompresibilitas dengan Sifat Aliran Serbuk ...... 30
Tabel 3.5. Syarat Penyimpangan Bobot Rerata dalam Persen .......................... 32
Tabel 4.1 Hasil Evaluasi Kecepatan Alir, Sudut Diam, Kompresibilitas, dan
Kadar Lembab Granul ...................................................................... 39
Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Distribusi Ukuran Partikel ....................................... 40
Tabel 4.3 Hasil Evaluasi Organoleptik Tablet ................................................. 42
Tabel 4.4 Hasil Evaluasi Keseragaman Bobot, Keseragaman Ukuran, dan
Kekerasan Tablet .............................................................................. 43
Tabel 4.5 Hasil Evaluasi Kerapuhan, Waktu Hancur, dan Disolusi Tablet ..... 45
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar Alat-alat dan Bahan-bahan Penelitian ......................... 56
Lampiran 2. Data Evaluasi Distribusi Ukuran Partikel Granul ..................... 57
Lampiran 3. Data Evaluasi Kompresibilitas Granul ...................................... 57
Lampiran 4. Data Evaluasi Kecepatan Alir, Sudut Diam, dan Kadar
Lembab Granul.......................................................................... 57
Lampiran 5. Data Evaluasi Keseragaman Bobot Tablet ................................ 58
Lampiran 6. Data Evaluasi Keseragaman Ukuran Tablet ............................. 58
Lampiran 7. Data Evaluasi Kekerasan Tablet ............................................... 59
Lampiran 8. Data Evaluasi Kerapuhan Tablet ............................................... 59
Lampiran 9. Data Evaluasi Waktu Hancur Tablet ......................................... 59
Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Standar dan Sampel Uji Disolusi ...... 60
Lampiran 11. Data Evaluasi Disolusi Tablet ................................................... 60
Lampiran 12. Data Statistika Evaluasi Kekerasan Tablet ............................... 60
Lampiran 13. Data Statistika Evaluasi Waktu Hancur Tablet ......................... 62
Lampiran 14. Data Statistika Evaluasi Disolusi Tablet ................................... 64
Lampiran 15. Certificate of Analysis (COA) Paracetamol .............................. 66
Lampiran 16. Certificate of Analysis (COA) Amylum .................................... 67
Lampiran 17. Certificate of Analysis (COA) Lactose Monohydrate ............... 68
Lampiran 18. Certificate of Analysis (COA) Gelatin Sapi .............................. 69
Lampiran 19. Certificate of Analysis (COA) Sodium Starch Glycolate .......... 70
Lampiran 20. Certificate of Analysis (COA) Magnesium Stearate ................. 71
Lampiran 21. Certificate of Analysis (COA) Colloidal Silicon Dioxide ......... 72
Lampiran 22. Sertifikat Halal Gelatin Sapi ..................................................... 73
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gelatin adalah suatu zat yang diperoleh dari hidrolisis parsial kolagen
dari kulit, jaringan ikat putih, dan tulang hewan (Depkes RI, 2014). Bahan
baku utama yang digunakan dalam produksi gelatin adalah tulang hewan
ternak, kulit sapi, dan daging babi. Beberapa sumber alternatif lain untuk
memperoleh gelatin meliputi unggas dan ikan (GMIA, 2012). Dalam
penggunaan secara keseluruhan, gelatin yang beredar di dalam negeri hampir
90% adalah gelatin impor yang diketahui diproduksi dari bahan baku kulit
babi maupun dari tulang dan kulit sapi (Said dkk, 2011).
Penggunaan bahan baku kulit babi untuk memperoleh gelatin tentunya
menimbulkan masalah bagi masyarakat di Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Hal ini disebabkan di dalam agama Islam, terdapat larangan
untuk mengonsumsi semua bagian dari tubuh babi, karena hukumnya adalah
haram. Sebagaimana yang tertulis pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 173
yang berbunyi :
Yang artinya adalah “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah ... .”
Selain permasalahan tersebut, sering terjadinya wabah penyakit BSE
(Bovine Spongiform Encephalopathy) atau penyakit sapi gila (mad cow) pada
sapi, menjadi faktor pendorong perlunya pencarian bahan baku pengganti.
Salah satu bahan baku pengganti yang berpotensi besar adalah kulit kambing.
Hal ini dikarenakan kulit kambing kaya akan komponen utama dalam
memproduksi gelatin, yaitu kolagen (Said dkk., 2014).
Pada penelitian sebelumnya, Zilhadia et al (2018) telah
mengembangkan gelatin yang diekstraksi dari kulit kambing Etawah.
2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan hasil uji karakteristik, gelatin kulit kambing Etawah dapat
dijadikan sebagai eksipien pada sediaan farmasi. Menurut Rowe dkk (2006),
gelatin berfungsi sebagai bahan baku pembuatan cangkang kapsul (kapsul
keras dan kapsul lunak), pelapis (coating agent), pembentuk film (film-
former), gelling agent, suspending agent, peningkat viskositas, dan bahan
pengikat pada pembuatan tablet. Pada penelitian ini, gelatin kulit kambing
Etawah digunakan sebagai bahan pengikat pada pembuatan tablet
parasetamol secara granulasi basah.
Tablet dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat yang
mengandung satu atau lebih zat aktif dengan atau tanpa bahan pengisi
(Depkes RI, 1995). Tablet adalah bentuk obat yang paling luas diterima
masyarakat karena berbagai keuntungan, seperti kemudahan pemberian dosis
yang akurat, bahan yang digunakan tidak mengandung alkohol (alkohol
seringkali digunakan untuk meningkatkan kelarutan dan stabilitas bentuk
lain), dan komposisi tablet dapat segera disesuaikan dalam berbagai dosis zat
aktif. Keuntungan tablet lainnya adalah mudah dibawa, bentuk kompak, lebih
ekonomis bila dibandingkan obat lain dan mudah diberikan (Siregar, 2008).
Zat aktif yang digunakan pada penelitian ini adalah parasetamol.
Parasetamol mempunyai sifat alir dan kompresibilitas yang kurang baik
sehingga pada tabletasi secara cetak langsung selalu terjadi "capping”. Oleh
karena itu, sebelum pembuatan tablet, parasetamol perlu dijadikan granul
dengan metode granulasi basah (wet granule) dengan penambahan bahan
pengikat (binder) sehingga dapat memperbaiki kompresibilitas dan
meningkatkan fluiditas (Voigt, 1994).
Selain zat aktif, dalam pembuatan tablet diperlukan bahan-bahan
tambahan yaitu bahan pengisi, pengikat, penghancur, pelicin dan pewarna.
Bahan tambahan memegang peranan penting dalam pembuatan tablet,
diantaranya bahan pengikat. Bahan pengikat diperlukan dalam formulasi
bentuk sediaan tablet untuk memberikan kekompakan dan daya tahan tablet.
Bahan pengikat menjamin penyatuan partikel-partikel serbuk di dalam butir-
butir granulat (Voigt, 1994).
3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bahan pengikat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelatin kulit
kambing Etawah. Pemilihan gelatin didasarkan pada penggunaannya yang
luas dalam formulasi tablet sebagai bahan pengikat. Gelatin larut dalam air
sehingga mempermudah proses pembuatan dan tablet yang terbentuk
memiliki kekerasan yang baik. Keuntungan lain dari penggunaan gelatin
adalah cara pembuatannya yang cukup sederhana. Kenaikan konsentrasi
gelatin sebagai bahan pengikat dapat meningkatkan kekerasan dan
menurunkan kerapuhan (Wade, 1994).
Pemilihan konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah didasarkan pada
konsentrasi optimal gelatin sebagai bahan pengikat dalam pembuatan tablet
pada penelitian sebelumnya. Menurut penelitian Okoye (2009), penggunaan
gelatin pada konsentrasi 2-4%, menghasilkan tablet yang memiliki waktu
hancur 1,24 sampai 6,61 menit, sementara syarat waktu hancur tablet yang
baik adalah kurang dari 15 menit (Depkes RI, 1979). Kemudian nilai
kerapuhan tablet yang dihasilkan yaitu pada rentang 0,70% sampai 0,75%,
sementara syarat nilai kerapuhan tablet yang baik adalah kurang dari 1%
(Lachman, 1994). Lalu menurut penelitian Girhepunje (2009), penggunaan
gelatin pada konsentrasi 2% dan 4%, menunjukkan kadar parasetamol di
menit ke-30 pada uji disolusi memiliki nilai 96,85% dan 83,92%, sementara
syarat persen disolusi tablet parasetamol adalah tidak kurang dari 80% jumlah
yang tertera pada etiket (Depkes RI, 2014). Oleh karena itu pada penelitian
ini, konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah yang digunakan sebagai bahan
pengikat adalah 2-4%. Lalu pada penelitian ini digunakan juga gelatin sapi
yang berfungsi sebagai bahan pengikat pembanding dengan konsentrasi yang
sama dengan konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah, yaitu 2-4%.
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh perbedaan konsentrasi gelatin kulit kambing
Etawah terhadap sifat fisik tablet parasetamol yang terbentuk?
2. Pada konsentrasi berapa gelatin kulit kambing Etawah sebagai bahan
pengikat menghasilkan tablet parasetamol yang bermutu baik?
3. Bagaimanakah perbedaan karakteristik tablet yang terbentuk
menggunakan gelatin kulit kambing Etawah sebagai bahan pengikat
dibandingkan dengan gelatin sapi sebagai bahan pengikat?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi gelatin kambing Etawah
terhadap sifat fisik tablet parasetamol yang terbentuk.
2. Mengetahui konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah sebagai bahan
pengikat dalam pembuatan tablet parasetamol yang bermutu baik.
3. Mengetahui perbedaan karakteristik tablet parasetamol yang terbentuk
menggunakan gelatin kulit kambing Etawah dibandingkan dengan gelatin
sapi sebagai bahan pengikat.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi
pengaruh perbedaan konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah terhadap sifat
fisik tablet parasetamol yang terbentuk, informasi konsentrasi gelatin kulit
kambing Etawah sebagai bahan pengikat yang dapat membuat tablet
parasetamol bermutu baik, serta informasi terkait perbedaan karakteristik
tablet parasetamol yang terbentuk bila menggunakan gelatin kulit kambing
Etawah sebagai bahan pengikat tablet dibandingkan dengan menggunakan
gelatin sapi sebagai bahan pengikat tablet.
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gelatin
2.1.1. Definisi
Kata “gelatin” dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Prancis
yaitu gelatine, dalam Bahasa Italia yaitu gelatina, dan dalam Bahasa
Latin yaitu gelata, yang memiliki arti beku, menggumpal dan kaku.
Pembuatan gelatin untuk dikonsumsi pertama kali dipatenkan oleh
Arney pada tahun 1846, dengan membuat gelatin menjadi serbuk yang
dapat dicampurkan pada makanan (Bogue, 1922).
Gelatin adalah komponen protein yang dapat larut yang diperoleh
melalui hidrolisis parsial kolagen. Kolagen merupakan komponen
utama yang terdapat dalam tulang, kartilago dan kulit hewan. Jika
kolagen didihkan, strukturnya menjadi rusak secara permanen dan
menghasilkan gelatin. Oleh karena adanya sejumlah besar rantai
samping yang hidrofil dalam gelatin, maka gelatin dalam air
membentuk gel (Katili, 2009).
Sifat fisik dan kimia gelatin sangat dipengaruhi oleh jenis hewan,
umur hewan, tipe kolagen, metode pembuatan, karakteristik kolagen
dan proses perlakuan (temperatur, waktu, dan pH) (Juliasti dkk., 2015).
2.1.2. Bahan Baku Gelatin
Gelatin dapat dibuat dari berbagai sumber kolagen. Tulang atau
kulit sapi, kambing, babi, dan ikan adalah sumber gelatin (GMIA,
2012). Gelatin yang bersumber dari mamalia berasal dari kolagen yang
terdapat pada jaringan ikat dan tulang. Sedangkan gelatin yang
diperoleh dari kulit dan tulang ikan umumnya merupakan limbah.
Limbah dari pengolahan ikan setelah filleting 75% dari berat total
tangkapan. Sekitar 30% dari limbah tersebut terdiri kulit dan tulang
dengan kandungan kolagen tinggi yang dapat digunakan untuk
menghasilkan gelatin. Hasil rendemen dan kualitas gelatin dipengaruhi
tidak hanya oleh spesies atau jaringan dari bahan baku tetapi juga oleh
6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
proses ekstraksi, yang mungkin tergantung pada pH, suhu, dan waktu
selama pra-perlakuan dan ekstraksi (Mariod, 2013).
2.1.3. Tipe Gelatin
Perubahan kolagen menjadi gelatin dihasilkan dengan ektraksi
kolagen dengan air panas setelah perlakuan perendaman dalam larutan
asam atau basa kemudian menghasilkan gelatin tipe A dan gelatin tipe
B (Yuliani, 2014). Gelatin yang diperoleh melalui proses asam dikenal
sebagai gelatin tipe A dan gelatin yang diperoleh melalui proses basa
dikenal sebagai gelatin tipe B (GMIA, 2012).
Pemilihan kondisi hidrolisis bergantung pada umur hewan
sumber bahan baku. Untuk hewan dengan umur yang relatif tua (<2
tahun) digunakan kondisi basa. Dan untuk hewan yang lebih muda (1-
2 tahun) kondisi asam lebih disarankan karena memiliki proses yang
cepat. Jika bahan baku berupa kulit babi yang memiliki banyak lemak
digunakan kondisi asam untuk menghindari saponifikasi (Schrieber dan
Gareis, 2007).
2.1.4. Isolasi Gelatin
Isolasi gelatin terdiri dari tiga tahap utama yaitu pra-perlakuan
bahan baku gelatin, ekstraksi, pemurnian dan pengeringan gelatin
(Wolf, 2003).
2.1.4.1. Proses Penyiapan Bahan Baku
Berdasarkan Petunjuk Teknis Penyamakan Kulit yang
dikeluarkan oleh BBKKP Yogyakarta (2008), penyiapan
bahan baku gelatin diawali dengan penimbangan kulit
kambing mentah, lalu dilakukan perendaman (soaking)
menggunakan air dan teepol. Selanjutnya dilakukan
pembuangan daging (fleshing) dengan mesin fleshing, dan
dilakukan proses buang bulu (unhairing) dengan air, 3%
natrium sulfida dan 2% kapur. Proses terakhir yaitu dilakukan
netralisasi dengan air dan 2% HCOOH hingga pH kulit
berkisar antara 7-7.5, sehingga didapatkan kulit kambing tanpa
7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bulu yang bersifat netral. Diagram alir proses penyiapan bahan
baku gelatin dapat dilihat pada Gambar 2.1 (BBKKP, 2008).
Gambar 2.1. Diagram Alir Proses Penyiapan Bahan Baku
Gelatin (BBKKP, 2008)
Metode pencabutan bulu menggunakan bahan kimia
bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat proses
pembuangan bulu, sehingga waktu yang dibutuhkan lebih
singkat dan menghasilkan kulit yang lebih bersih. Penggunaan
Ca(OH)2 atau kapur yang bersifat alkalis mampu melepas bulu
dengan cara membelah dan membuka ikatan fiber, sehingga
memungkinkan bulu beserta epidermis, protein non-kolagen,
dan substansi perekat lainnya dilepaskan dari kulit. Kemudian
penambahan Na2S yang bersifat reduksi lemah bertujuan
8 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
meningkatkan kemampuan Ca(OH)2 dalam mempercepat
proses pencabutan bulu (Oetojo, 1995).
2.1.4.2. Proses Penyiapan Larutan Curing
Larutan curing berdasarkan tipe gelatin dapat dibuat
menjadi 2 jenis, yakni larutan curing asam dan basa. Larutan
curing asam menggunakan bahan dasar asam klorida atau
asam asetat (CH3COOH 0,5 M) (v/v) untuk hidrolisis asam
sedangkan larutan curing basa menggunakan kalsium
hidroksida (Ca(OH)2 100 g/L) (b/v) atau natrium hidroksida
(NaOH) untuk hidrolisis basa. (Said dkk., 2011).
Pada hidrolisis secara asam, asam klorida (HCl) adalah
larutan asam yang paling baik dan paling umum digunakan
karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan jenis asam
lainnya. Asam klorida mampu mengubah serat kolagen lebih
banyak dan lebih cepat tanpa mempengaruhi kualitas gelatin
yang dihasilkan (Kurniadi, 2009).
2.1.4.3. Proses Produksi Gelatin
Proses produksi gelatin menggunakan metode dari
Ockerman dan Hansen (2000), terdapat 2 metode hidrolisis,
yakni hidrolisis asam dan hidrolisis basa. Langkah awal yang
dilakukan yaitu memasukkan bahan baku kulit ke dalam
wadah yang berisi larutan curing asam atau basa sesuai
konsentrasi yang telah ditentukan, hingga seluruh permukaan
kulit terendam dengan sempurna. Selanjutnya rendaman
disimpan selama beberapa waktu pada lemari pendingin suhu
± 5-10°C. Selama hidrolisis bahan baku kulit sesekali
dilakukan pengadukan (Ockerman dan Hansen, 2000).
Setelah hidrolisis selesai, bahan baku kulit dicuci
beberapa kali hingga bersih dan kondisinya mendekati suasana
netral (pH ± 6-7,5). Bahan baku kulit ditiriskan dan ditimbang
sebagai berat awal bahan baku untuk penentuan nilai
rendemen. Bahan baku kemudian dimasukkan ke dalam
9 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
erlemenyer dan ditambah dengan air suling hingga terendam
dengan sempurna. Diberi penutup aluminium foil kemudian
dimasukkan ke dalam water bath untuk menjalani proses
ekstraksi (Ockerman dan Hansen, 2000).
Proses ekstraksi kulit secara keseluruhan berlangsung
selama 9 jam pada suhu antara 60-70°C. Kemudian dilakukan
2 kali penyaringan untuk menghasilkan fraksi gelatin cair.
Langkah selanjutnya yaitu dilakukan pemengakatan di dalam
oven dengan suhu 70°C selama 2 jam. Gelatin cair kemudian
didinginkan dalam lemari pendingin suhu ± 5-10°C sampai
berubah menjadi gel. Selanjutnya dituang pada loyang dan
dikeringkan di dalam oven suhu 60°C selama 18-20 jam
hingga fraksi gelatin cair membentuk disebut gelatin padat.
Lapisan gelatin padat digiling dengan blender hingga
membentuk serbuk dan selanjutnya ditimbang untuk
menentukan nilai rendemen. Serbuk gelatin selanjutnya
dikemas dengan plastik klip untuk dilakukan uji kualitas
(Ockerman dan Hansen, 2000). Diagram alir proses produksi
gelatin dapat dilihat pada Gambar 2.2.
10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Produksi Gelatin
(Ockerman dan Hansen, 2000)
2.1.5. Kegunaan Gelatin
Sebagai salah satu bahan tambahan pangan, gelatin merupakan
bahan yang paling banyak digunakan. Aplikasinya di industri sangat
luas, yaitu digunakan pada industri kosmetik, farmasi dan fotografi.
Penggunaanya yang sangat banyak di berbagai bidang ini disebabkan
karena fungsinya sangat membantu terciptanya produk- produk pangan
maupun non-pangan dengan kualitas yang lebih baik (Jaswir, 2007).
Gelatin digunakan untuk berbagai keperluan industri karena
memiliki sifat yang khas yaitu dapat berubah secara reversible dari
bentuk sol ke gel, mengembang dalam air dingin, dapat membentuk
11 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi
sistem koloid. Pada suhu 71C gelatin mudah larut dalam air dan
membentuk gel pada suhu 49C. gelatin memiliki sifat larut air
sehingga dapat diaplikasikan untuk keperluan berbagai industri
(Setiawati, 2009).
Produksi gelatin dalam jumlah yang besar oleh industri farmasi
digunakan terutama sebagai pembentuk kapsul cangkang lunak maupun
keras dan sebagai pembuat tablet, pelapis tablet, granulasi, enkapsulasi,
dan mikroenkapsulasi (GMIA 2012). Penggunaan gelatin tersebut
membantu untuk menghindari terjadinya oksidasi dan membuat produk
lebih baik. Gelatin dengan nilai bloom strength yang berkisar antara 0-
140 dapat digunakan untuk mikroenkapsulasi pada vitamin A, D dan E.
Kapsul gelatin (gel-caps) secara umum digunakan untuk
mengenkapsulasi berbagai jenis makanan, suplemen, dan obat-obatan.
Selain itu, gelatin juga sering diaplikasikan sebagai bahan tambahan
pada formulasi produk-produk farmasi, mencakup vaksin, sebagai
pengikat (binder) pada tablet (Mariod, 2013).
2.2. Kambing Etawah
2.2.1. Definisi
Kambing Etawah adalah kambing yang didatangkan dari India, yang
disebut juga dengan kambing Jamunapari/Jamunpari. Kambing ini
berasal dari daerah Chakarnagar, di seberang sungai Yamuna, Distrik
Etawah, Uttar Pradesh, India (UPSBDB, 2012). Oleh karena berasal
dari Distrik Etawah, kambing Jamunapari dapat disebut juga sebagai
kambing Etawah. Sejak tahun 1953, kambing Etawah diimpor ke
Indonesia dan diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Di
Indonesia, kambing Etawah dikawin-silangkan dengan kambing lokal,
contohnya dengan Kambing Kacang dan Kambing Kaligesing,
sehingga menghasilkan Kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE
berukuran sama dengan Kambing Etawah, namun lebih adaptif
terhadap lingkungan Indonesia.
12 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.2. Karakteristik Kambing Etawah
Kambing Etawah adalah salah satu kambing yang paling
produktif dengan hasil susu 250-375 liter dalam jangka waktu laktasi
160 sampai 200 hari. Pada usia 12 bulan, berat badan kambing Etawah
sekitar 34-45 kg. Sedangkan bobot kambing dewasa berkisar antara 65-
80 kg. Perkembangan kambing Etawah sangat cepat dengan kenaikan
berat badan 80-110 gram/hari selama usia 0-3 bulan, serta kenaikan
berat badan 70-100 gram dari usia 3-12 bulan dengan pemberian
makanan semi intensif. Kambing ini dikenal sebagai "ratu kambing"
karena penampilannya yang megah (UPSBDB, 2012)
Kambing Etawah termasuk kambing yang berukuran besar serta
memiliki kaki yang lebar dan panjang. Warna tubuhnya didominasi
warna putih dengan bercak coklat yang kadang terlihat pada telinga,
leher dan kepala. Tubuh kambing Etawah panjang dan terdapat
sejumput rambut di bagian belakang paha, yang fungsinya melindungi
bagian ambing dari duri tajam yang mungkin terdapat pada semak-
semak saat kambing Etawah mencari makanan (UPSBDB, 2012).
Ciri khas kambing Etawah adalah hidungnya yang cembung
dengan rahang bawah lebih panjang daripada rahang atas, sehingga
memberikan penampilan seperti wajah burung beo. Rahang bawah
yang lebih rendah mempermudah kambing Etawah untuk mencari
makanan, karena dapat mengambil dedaunan tanpa melukai wajah.
Bagian telinga kambing Etawah sangat panjang (27-32 cm), berbentuk
terlipat dan tergantung. Telinga yang panjang ini melindungi mata
kambing Etawah dari duri semak belukar saat mencari makanan.
Kambing Etawah memiliki ekor yang pendek dan melengkung ke atas.
Tanduknya panjang, berukuran 16-25 cm dan terdapat pada kambing
Etawah jantan maupun betina (UPSBDB, 2012).
13 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3. Tablet
2.3.1. Definisi
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau
tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat
digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa (Depkes RI, 1995).
Sediaan tablet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan bentuk sediaan farmasi yang lain. Tablet merupakan suatu
sediaan utuh dan praktis diberikan secara oral dengan dosis yang tetap
dan variasi yang minimal. Tablet merupakan bentuk sediaan oral
dengan biaya produksi paling murah, juga paling ringan dan paling
kompak. Bentuk sediaan ini paling mudah ditelan dengan resiko kecil
untuk tertinggal di tenggorokan. Bentuk sediaan ini menjamin stabilitas
kimia, mekanik, dan stabilitas mikrobiologi dari zat aktif yang
dikandungnya (Lachman et al, 1986).
Sediaan tablet juga memiliki beberapa kekurangan yang dapat
membatasi suatu obat dibentuk menjadi sedian tablet. Obat dengan sifat
sulit dibasahkan, melarut dengan lambat, jumlah dosis sedang sampai
besar, absorpsi optimum disaluran cerna, atau kombinasi dari sifat-sifat
ini bisa sulit untuk diformulasikan dan diproduksi menjadi tablet
dengan bioavailabilitas yang cukup (Lachman et al, 1986).
2.3.2. Metode Pembuatan
Terdapat beberapa metode dalam pembuatan tablet, namun
metode yang relatif lebih sering digunakan adalah metode granulasi
basah, granulasi kering, dan metode cetak langsung (Depkes, 1995).
Pemilihan metode pembuatan tablet tergantung dari sifat bahan aktif,
oleh karena itu kestabilan fisikokimia dari bahan aktif menjadi
pertimbangan utama dalam tahap awal formulasi sediaan tablet.
Metode pembuatan tablet dengan cara cetak langsung adalah
pencetakan bahan obat atau campuran bahan obat-obatan pembantu
berbentuk serbuk tanpa proses pengolahan awal. Oleh karena itu,
metode ini dinilai sangat memuaskan dimana kebutuhan akan kerja
relatif lebih rendah sehingga lebih ekonomis daripada pencetakan
14 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan metode granulasi. Selain ekonomis, laju pelepasan bahan aktif
dari sediaan tablet cetak langsung umumnya lebih cepat karena pada
saat hancur, bahan aktif akan langsung dibebaskan dari massa tablet
dalam bentuk partikel bebas karena tidak berada dalam granul (Ansel,
1989).
Pembuatan tablet dengan granulasi kering dilakukan dengan cara
menekan massa serbuk pada tekanan tinggi sehingga menjadi tablet
besar yang belum berbentuk baik, kemudian digiling dan diayak hingga
diperoleh granul dengan ukuran pertikel yang diinginkan. Metode ini
digunakan pada keadaan di mana dosis efektif bahan obat terlalu tinggi
untuk cetak langsung dan bahan obatnya peka terhadap pemanasan dan
kelembaban sehingga tidak dapat diproses secara granulasi basah.
Metode ini juga digunakan khususnya untuk bahan-bahan yang tidak
stabil dengan adanya air, misalnya asetosal (Ansel, 1989).
Granulasi basah adalah metode yang dilakukan dengan cara
membasahi massa tablet menggunakan larutan pengikat sampai
terdapat tingkat kebasahan tertentu, lalu digranulasi. Prinsip
granulasinya adalah menciptakan ikatan antara partikel melalui
penggumpalan massa dengan penambahan pengikat basah yang diikuti
dengan pengeringan setelah gumpalan massa digranulasi (Depkes RI,
1995). Tujuan utama granulasi basah adalah untuk meningkatkan sifat
alir, mengurangi porositas bahan, memudahkan kompresi, menjaga
keseragaman pencampuran massa tablet, mengurangi debu,
meningkatkan pembasahan tablet, serta meningkatkan waktu disolusi
(Ansel, 1989)
Obat dengan dosis besar dan memiliki sifat aliran atau
kompresibilitas yang kurang baik, dapat diperbaiki sifat alirannya atau
kompresibilitasnya dengan teknik granulasi basah agar dapat dicetak
menjadi tablet. Teknik ini mencegah segregasi partikel dan
meningkatkan disolusi obat yang tidak larut air dengan menggunakan
pelarut dan pengikat yang sesuai (Lieberman et al., 1989).
15 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Beberapa kerugian teknik granulasi basah adalah banyaknya
tahapan poduksi sehingga dibutuhkan tempat yang luas dengan suhu
dan kelembaban yang terkendali. Selain itu dibutuhkan peralatan yang
mahal dan waktu yang lama. Kemungkinan kehilangan massa granul
selama proses produksi besar dan peluang kontaminasi lebih besar
dibandingkan dengan teknik kempa langsung (Lieberman et al, 1989).
2.3.3. Bahan Tambahan
Bahan tambahan atau bahan pembantu pembuatan tablet dapat
diartikan sebagai zat-zat yang memungkinkan suatu obat atau bahan
obat yang memiliki beberapa sifat khusus untuk dibuat menjadi suatu
sediaan yang cocok satu sama lain yang dapat memperbaiki sediaan
obat, dengan mempertimbangkan efek obat, kinerja obat, organoleptis,
sifat kimia obat, dan kemungkinan pengembangan jenis sediaan lain.
Adapun zat-zat tambahan dalam sediaan tablet meliputi:
2.3.3.1. Bahan Pengisi
Bahan pengisi diperlukan sebagai pemenuhan
kecukupan massa tablet, dan berfungsi untuk memperbaiki
daya kohesi sehingga dapat dikempa atau untuk memacu
aliran. Di samping sifatnya harus netral secara kimia dan
fisiologis, bahan pengisi juga sebaiknya memiliki sifat dapat
dicerna dengan mudah. Adapun contoh bahan pengisi yang
umum digunakan antara lain laktosa, pati, kalsium fosfat
dibasa, dan mikrokristalin selulosa (Depkes, 1995; Voigt,
1994)
2.3.3.2. Bahan Pengikat
Bahan pengikat adalah bahan tambahan yang diperlukan
untuk memberikan daya adhesi pada massa serbuk sewaktu
granulasi dan memberikan sifat kohesif yang telah ada pada
bahan pengisi sehingga dapat membentuk struktur tablet yang
kompak setelah pencetakan dan meningkatkan daya tahan
tablet, oleh karena itu bahan pengikat menjamin penyatuan
beberapa partikel serbuk dalam sebuah butiran granulat. Bahan
16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pengikat dapat ditambahkan ke dalam bahan yang akan dicetak
dalam bentuk kering, cairan, atau larutan, tergantung pada
metode pembuatan tablet (Depkes, 1995).
2.3.3.3. Bahan Pelincir
Bahan pelincir dapat memenuhi berbagai fungsi yang
berbeda, sehingga banyak dikelompokkan menjadi bahan
pengatur aliran (glidant), bahan pelincir (lubricant) dan bahan
pemisah hasil cetakan (antiadherent) (Voigt, 1994).
Bahan pengatur aliran atau glidant berfungsi untuk
memperbaiki daya luncur dan daya gulir bahan yang akan
dicetak, karena itu menjamin terjadinya keteraturan aliran dari
corong pengisi ke dalam lubang cetakan. Glidan juga berfungsi
untuk mengurangi penyimpangan massa, memperkecil
gesekan sesama partikel, dan meningkatkan ketepatan takaran
tablet. Contoh zat yang dapat digunakan sebagai glidan yaitu
talk, kalsium/magnesium stearat, asam stearat, PEG, pati, dan
aerosil.
Bahan pelincir atau lubricant berfungsi untuk
mengurangi gesekan logam (stempel di dalam lubang ruang
cetak) dan gesekan tablet dengan logam, serta memudahkan
pengeluaran tablet dari mesin pencetak. Pada umumnya
lubrikan bersifat hidrofobik sehingga cenderung menurunkan
kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet. Oleh karena itu
kadar lubrikan yang berlebihan harus dihindarkan. Contoh
lubrikan antara lain talk, kalsium atau magnesium stearat,
asam stearat, PEG, pati, dan paraffin.
Bahan pemisah hasil cetakan (antiadherent) adalah
bahan yang berfungsi untuk mencegah lekatnya bahan yang
dikempa pada permukaan stempel atas. Contoh bahan ini
adalah talk, amilum maydis, Cab-O-Sil, natrium lauril sulfat,
kalsium/magnesium stearat.
17 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3.3.4. Adsorben
Adsorben adalah bahan yang dimaksudkan untuk
melindungi zat aktif atau bahan berkhasiat dari pengaruh
kelembaban, membantu meningkatkan homogenitas
campuran, menghindari lembab akibat reaksi antara bahan
dalam sediaan tablet. Yang termasuk bahan ini misalnya
aerosil, avicel, magnesium oksida, magnesium karbonat,
laktosa, bentonit, dan kaolin (Voigt, 1994).
2.3.3.5. Pemanis
Pemanis adalah bahan yang digunakan untuk menutupi
atau memperbaiki rasa tidak enak dari bahan lain dalam
sediaan, misalnya sukrosa, manitol, sorbitol.
2.3.3.6. Pengharum
Pengharum adalah bahan yang digunakan untuk
menutupi aroma tidak enak dari bahan lain dalam sediaan dan
menutupinya dengan aroma lain.
2.3.4. Evaluasi
Evaluasi mutu dalam proses pembuatan tablet dilakukan terhadap
bahan baku, granul, dan tablet yang diproleh untuk menjamin mutu
produk yang dihasilkan. Evaluasi terhadap granul meliputi penetapan
kandungan lembab, penetapan kecepatan aliran, distribusi ukuran
partikel, pemeriksaan bobot jenis sejati, pemeriksaan bobot jenis
mampat, dan penetapan kadar zat aktif dalam granul. Evaluasi terhadap
tablet meliputi penampilan tablet, keseragaman bobot, keseragaman
kandungan, keseragaman ukuran, kekerasan tablet, friksibilitas,
friabilitas, waktu hancur, penetapan kadar zat aktif, dan uji disolusi
(Lachman et al, 1986).
18 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3.5. Monografi Bahan
1. Paracetamol (Depkes, 2014; Anonim, 2016)
Nama Kimia : 4’-Hidroksiasetanilida [103-90-2]
Rumus Molekul : C8H9NO2
Berat Molekul : 151,16
Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit
pahit.
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium
hidroksida 0,1 N; mudah larut dalam etanol.
Jarak Lebur : Antara 168°-172°
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus
cahaya. Disimpan dalam suhu ruang,
dihindarkan dari kelembapan dan panas.
Kegunaan : Analgesik dan antipiretik
Dosis : Oral = 0,5–1 gram setiap 4–6 jam hingga
maksimum 4 gram per hari.
2. Amylum (Rowe, 2006)
Nama Kimia : Starch [9005-25-8]
Rumus Molekul : (C6H10O5)n ; n = 300-1000
Pemerian : Tidak berwarna dan hambar, halus, serbuk
berwarna putih yang terdiri dari butiran bulat
atau ovoid yang sangat kecil. Ukuran dan
bentuknya khas untuk setiap varietas botani.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam etanol dingin (95%) dan
dalam air dingin. Starch mengembang seketika
dalam air sekitar 5-10% pada suhu 37°C.
pH : 5,5-6,5 pada 2% b/v dispersi cair pati jagung
pada suhu 25°C.
19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Stabilitas : Amilum yang tidak dipanaskan, stabil jika
terlindungi dari kelembaban tinggi.
Penyimpanan : Disimpan dalam wadah kedap udara di tempat
sejuk dan kering.
Kegunaan : Glidan, diluen pada tablet dan kapsul; bahan
penghancur pada tablet dan kapsul; bahan
pengikat tablet.
Konsentrasi : 3-15% b/b sebagai bahan penghancur pada tablet.
3. Lactose Monohydrate (Depkes, 2014; Rowe, 2006; Wade, 1994)
Nama Kimia : Laktosa [63-42-3]
Rumus Molekul : C12H24O12
Berat Molekul : 360,31
Titik Leleh : 201°-202°C
Pemerian : Serbuk putih, mengalir bebas.
Kelarutan : Mudah larut dalam air secara perlahan-lahan;
praktis tidak larut dalam etanol.
Stabilitas : Pertumbuhan jamur dapat terjadi pada kondisi
lembab (80% kelembapan relatif dan
selebihnya). Laktosa dapat mengembang
menjadi warna coklat, yang dipercepat oleh
kondisi hangat dan lembab.
Inkompatibilitas : Reaksi kondensasi tipe Maillard mungkin terjadi
antara laktosa dengan senyawa kelompok amina
primer yang membentuk warna coklat atau
kuning kecoklatan. Laktosa juga inkompatibel
dengan asam amino, aminofilin, amfetamin, dan
lisinopril.
20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat di tempat yang
dingin dan kering.
Kegunaan : Bahan pengikat; diluen untuk inhaler serbuk
kering; pengikat tablet; diluen pada tablet dan
kapsul.
Konsentrasi : 65-85% sebagai pengisi pada tablet.
4. Gelatin (Rowe, 2006)
Sinonim : Byco; Cryogel; gelatine; Instagel; Solugel.
Nama Kimia : Gelatin [9000-70-8]
pH : Tipe A = 3,8 – 6,0
Tipe B = 5,0 -7,4
Titik Leleh : Melunak pada 150°C
Pemerian : Gelatin berwarna agak kuning, bening dan rapuh;
praktis tidak berbau dan tidak berasa, serta dapat
berbentuk lembaran dan butiran tembus pandang,
atau sebagai serbuk.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam aseton, kloroform,
etanol (95%), eter, dan metanol. Larut dalan
gliserin, asam dan basa, meskipun asam dan basa
kuat menyebabkan pengendapan. Gelatin larut
dalam air panas, membentuk jeli, atau gel, pada
pendinginan hingga 35-40 C.
Stabilitas : Gelatin kering stabil di udara. Larutan gelatin
juga stabil dalam waktu lama jika disimpan
dalam kondisi dingin dan steril. Gelatin dapat
disterilkan dengan sterilisasi panas kering.
Inkompatibilitas : Gelatin bereaksi dengan aldehida dan gula
aldehida, polimer anionik dan kationik,
elektrolit, ion logam, plasticizers, pengawet, dan
surfaktan. Gelatin dapat diendapkan oleh
alkohol, kloroform, eter, garam merkuri, dan
21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
asam tanat. Gel dapat dicairkan oleh bakteri
kecuali diawetkan.
Penyimpanan : Disimpan dalam wadah kedap udara di tempat
sejuk dan kering.
Kegunaan : Bahan penyalut; pembentuk film; gelling agent;
suspending agent; bahan pengikat tablet; bahan
peningkat viskositas.
5. Sodium Starch Glycolate (Rowe, 2006)
Nama Kimia : Sodium carboxymethyl starch [9063-38-1]
pH : 3,0-5,0
Pemerian : Serbuk putih, tidak berbau, hambar, bebas
mengalir. Pharmacopeia Europe 2005 menyata-
kan bahwa primojel terdiri dari butiran oval atau
bulat, berdiameter 30-100 mm, dengan butiran
kurang sferis berkisar antara 10-35 mm.
Kelarutan : Sedikit larut dalam etanol (95%); praktis tidak
larut dalam air. Pada konsentrasi 2% b/v,
primojel terdispersi dalam air dingin dan
mengendap dalam bentuk lapisan yang sangat
terhidrasi.
Stabilitas : Sifat fisik glikolat pati natrium tidak berubah
sampai 3-5 tahun jika disimpan pada suhu dan
kelembaban sedang.
Inkompatibilitas : Asam askorbat.
Penyimpanan : Sodium Starch Glycolate stabil dan harus
disimpan dalam wadah yang tertutup dengan
22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
baik untuk melindungi dari kelembaban dan
suhu, yang dapat menyebabkan pengeringan.
Kegunaan : Disintegrant pada kapsul dan tablet.
Konsentrasi : 2-8% sebagai disintegrant tablet, dengan
konsentrasi optimum 4%.
6. Magnesium Stearate (Depkes, 2014; Rowe, 2006)
Nama Kimia : Octadecanoic acid magnesium salt [557-04-0]
Rumus Molekul : [CH3(CH2)16COO]2Mg
Berat Molekul : 591,34
Titik Leleh : 117-150°C
Pemerian : Serbuk halus, putih dan voluminus; bau lemah
khas; mudah melekat di kulit; bebas dari butiran.
Kelarutan : Tidak larut dalam air, etanol, dan eter.
Stabilitas : Magnesium stearat bersifat stabil.
Inkompatibilitas : Inkompatibel dengan asam kuat, basa, dan garam
besi. Hindari pencampuran dengan bahan
pengoksidasi kuat. Magnesium stearat tidak
dapat digunakan pada produk yang mengandung
aspirin, beberapa vitamin, dan kebanyakan
garam alkaloid.
Penyimpanan : Disimpan pada wadah tertutup rapat dan kering.
Kegunaan : Lubrikan pada kapsul dan tablet.
Konsentrasi : 0,25-5% sebagai lubrikan tablet.
7. Colloidal Silicon Dioxide (Rowe, 2006)
Nama Kimia : Silica [7631-86-9]
Rumus Molekul : SiO2
Berat Molekul : 60,08
pH : 3,5-4,4 (4% b/v dispersi cair)
Pemerian : Sebuah fumed silika submicroscopic dengan
ukuran partikel sekitar 15 nm. Berbentuk serbuk
amorf ringan, bebas, berwarna kebiruan-tidak
berwarna, tidak berasa.
23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam pelarut organik, air, dan
asam, kecuali asam hidrofluorat; larut dalam
larutan panas alkali hidroksida. Membentuk
dispersi koloid dengan air.
Stabilitas : Aerosil bersifat higroskopik namun menyerap
sejumlah besar air tanpa mencair. Bila digunakan
dalam sistem berair pada pH 0-7,5, aerosil efektif
dalam meningkatkan viskositas suatu sistem.
Namun, pada pH lebih dari 7,5, sifat peningkatan
viskositas dari aerosil berkurang; dan pada pH
yang lebih besar dari 10,7 kemampuan ini hilang
seluruhnya karena aerosil larut membentuk
silikat.
Inkompatibilitas : Inkompatibel dengan preparat diethylstilbestrol.
Penyimpanan : Disimpan pada wadah tertutup rapat.
Kegunaan : Adsorben; anticaking agent; penstabil emulsi;
glidan; suspending agent; disintegrant tablet;
penstabil suhu; bahan peningkat viskositas.
Konsentrasi : 0,1-0,5% sebagai glidan tablet.
24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Bulan Desember 2017 sampai Juli 2018
bertempat di Laboratorium Kimia Obat Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Laboratorium Formulasi Departemen R&D PT Kalbe Farma Cikarang.
3.2. Alat dan Bahan
3.3.1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu baskom
plastik, kantong plastik, gunting, alumunium foil, cetakan gelatin [Lion
Star], timbangan analitik [Mettler Toledo], magnetic stirrer, hot plate
[Cimarec], erlenmayer [Schott Duran], beaker glass [Iwake], labu ukur
[Pyrex], gelas ukur [Pyrex], pH meter [Metrohm], pH indikator
universal [Merck], termometer digital [Gizmo], kertas saring, vacuum
filtration [Ulvac DTC-21], water bath [Eyela], lemari pendingin
[Liebherr], oven [Memmert], kertas perkamen, turbomixer [Eurostar],
lumpang dan alu, mesh ukuran 30, nampan tahan panas, mesin ayak
[Quadrocomill U5], statis, corong gelas [Herma], kertas grafik, tap
density meter [STAV], cube mixer [Erweka], sieve shaker [Retsch],
disintegration tester [Erweka], mesin pencetak tablet single punch
[Manesty F3], jangka sorong digital [Mitutoyo], stopwatch [Casio],
tablet hardness tester [Erweka], friabilator tester [Erweka], moisture
halogen analyzer [Mettler Toledo], spektrofotometer UV-Vis [Agilent
Technologies], alat uji disolusi tipe dayung [Phama Test], dan spuit
[Terumo].
25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
kulit kambing Etawah, air suling, natrium sulfida (Na₂S) [VWR
Chemicals], kalsium hidroksida (Ca(OH)₂) [Merck], asam klorida
(HCl) [JT Baker], paracetamol [Anqiu Lu’an Pharmaceutical], amylum
[PIM Pharmaceuticals], lactose monohydrate [DFE Pharma], gelatin
kulit kambing Etawah, gelatin sapi [Rousselot], sodium starch glycolate
[Yung Zip Chemical], magnesium stearate [PACI Asia Pacific],
colloidal silicon dioxide [Cabot Blue Star Chemical], kalium
dihidrogen fosfat (KH2PO4) [Merck], dan natrium hidroksida (NaOH)
[Merck].
3.3. Tahapan Penelitian
3.3.1. Penyiapan Sampel
Bahan baku yang digunakan adalah kulit kambing Etawah berusia
1 tahun yang diperoleh dari Rumah Potong Bang Kitul, Cinere, Kota
Depok, Jawa Barat. Selanjutnya bahan baku ini dikemas dalam kantong
plastik dan disimpan di dalam freezer.
3.3.2. Ekstraksi dan Pembuatan Lembaran Gelatin
Proses ekstraksi gelatin dari kulit kambing dilakukan
menggunakan metode perlakuan asam Zilhadia, et al (2018) dengan
sedikit modifikasi. Pertama, kulit kambing dibersihkan dari kotoran dan
lemak yang masih tersisa di bagian kulit. Kulit dicuci menggunakan air
mengalir. Kulit yang sudah bersih kemudian dibilas dengan sedikit air
suling. Kulit yang sudah bersih, dipotong-potong menjadi bagian kecil.
Selanjutnya, kulit yang akan digunakan untuk proses ekstraksi
ditimbang sebagai berat basah. Lalu dilakukan proses pembuangan bulu
dengan metode kimia. Kulit direndam menggunakan campuran natrium
sulfida dan kalsium hidroksida yang telah dilarutkan di dalam labu ukur
500 ml menggunakan air suling. Perendaman dilakukan hingga bulu
yang terdapat di kulit mudah dicabut. Setelah bulu-bulu yang terdapat
pada bagian kulit dihilangkan, kulit dinetralkan dengan air mengalir
26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hingga memiliki pH 6-7. Selanjutnya, kulit bebas bulu yang telah netral
dipotong kecil-kecil untuk memperluas permukaan kulit yang
diekstraksi (± 1x1 cm) dan ditimbang sebagai berat basah. Lalu
dilakukan proses hidrolisis dengan larutan asam klorida yang disiapkan
dalam konsentrasi 4%. Kulit yang sudah dipotong kecil-kecil, direndam
dalam larutan HCl selama 48 jam pada suhu 5°C, dan sesekali diaduk
untuk memaksimalkan proses hidrolisis. Langkah selanjutnya adalah
penetralan kulit dengan menggunakan air mengalir hingga pH kulit
menjadi netral (6-7). Kulit yang sudah netral dibilas menggunakan air
suling hingga kulit terendam seluruhnya. Proses pembilasan dilakukan
selama 30 menit dengan pengadukan menggunakan magnetic stirer
pada hot plate untuk memastikan kulit bebas pengotor dari proses
penetralan. Lalu kulit diangkat dan ditimbang untuk menentukan
penambahan berat kulit setelah proses hidrolisis. Kemudian kulit
diekstraksi dengan air suling pada suhu 60-70°C selama 9 jam. Ekstrak
yang telah didapatkan lalu disaring dengan kertas saring dengan
bantuan vacuum filtration dilakukan untuk menghilangkan kotoran
yang terdapat dalam ekstrak gelatin. Filtrat yang telah diperoleh
dipekatkan di dalam oven pada suhu 70°C selama 2 jam. Kemudian,
filtrat tersebut didinginkan pada suhu ruang dan untuk selanjutnya
dimasukkan ke dalam lemari pendingin sampai filtrat membentuk gel.
Selanjutnya, gel gelatin dituang pada wadah untuk dikeringkan dalam
oven pada suhu 60°C hingga terbentuk lembaran gelatin yang kering
dan transparan. Lembaran gelatin yang terbentuk kemudian ditimbang
sebagai berat kering dan disimpan dalam wadah yang tertutup rapat.
3.3.3. Formula Tablet
Tablet parasetamol dibuat 6 formula, dengan 3 formula
pembanding dan 3 formula uji. Tujuan dibuatnya formula pembanding
yaitu untuk membandingkan karakteristik tablet yang dihasilkan dari
kedua bahan bahan pengikat yang digunakan, yaitu gelatin kulit
kambing Etawah dan gelatin sapi. Formula untuk membuat tablet
parasetamol dengan bobot 650 mg pertablet disajikan pada Tabel 3.1.
27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.1. Formula Tablet
No. Nama Bahan Formula
Ket. PI PII PIII UI UII UIII
1 Paracetamol 500 500 500 500 500 500 mg
2 Amylum 10 10 10 10 10 10 %
3 Lactose Monohydrate 5,5 4,5 3,5 5,5 4,5 3,5 %
4 Gelatin Sapi 2 3 4 - - - %
5 Gelatin Kambing Etawah - - - 2 3 4 %
6 Sodium Starch Glycolate 4 4 4 4 4 4 %
7 Magnesium Stearate 1 1 1 1 1 1 %
8 Colloidal Silicon Dioxide 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 %
Masing-masing formula tablet dibuat sebanyak 500 tablet dengan
memperhitungkan jumlah tablet yang diperlukan untuk evaluasi yang
akan dilakukan.
3.3.4. Pembuatan Tablet
Proses pembuatan tablet dilakukan menggunakan metode
granulasi basah berdasarkan literatur Ansel (2013) dan Voigt (1994),
dengan sedikit modifikasi.
Penimbangan
Masing-masing bahan ditimbang seksama sesuai dengan berat
yang telah ditentukan.
Pembuatan Larutan Bahan Pengikat
Pada penelitian ini digunakan bahan pengikat tablet yaitu gelatin
kulit kambing Etawah dan gelatin sapi. Dalam membuat larutan bahan
pengikat, persen yang digunakan yaitu b/b atau perbandingan terhadap
berat tablet. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan gelatin adalah
air suling yang sebelumnya dipanaskan di atas hotplate sampai
memiliki suhu 70°C. Gelatin dilarutkan ke dalam 50 ml air suling panas
dan dihomogenkan menggunakan turbomixer sampai melarut
sempurna.
Pencampuran Fase Dalam
Zat aktif (paracetamol), bahan pengisi (lactose monohydrate), dan
disintegran (amylum) dicampur sampai homogen menggunakan
lumpang dan stamper.
28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pembuatan Massa Granul
Larutan bahan pengikat sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam
campuran fase dalam. Kemudian disiapkan 10 ml air suling untuk
membilas larutan bahan pengikat yang masih tersisa. Campuran fase
dalam diaduk hingga terbentuk massa granul yang baik, yaitu ditandai
dengan bila massa granul dikepal lalu dipatahkan tidak ada massa yang
rontok.
Pengeringan Granul
Granul dikeringkan di dalam oven bersuhu 60-70°C sampai nilai
kadar lembab berkisar antara 2,5-3%.
Pengayakan Kering
Setelah pengeringan, granul diayak menggunakan mesin ayak
Quadrocomill U5 dengan mesh berukuran 2108 µm dan impeller
(baling-baling) berbentuk bulat. Kecepatan mesin ayak diatur pada
kecepatan 1000-2500 rpm.
Penambahan Fase Luar
Setelah pengayakan kering dan evaluasi granul, bahan-bahan fase
luar, yaitu : sodium starch glycolate-disintegrant; magnesium stearate-
lubrikan; dan colloidal silicon dioxide-glidan dicampurkan bersama
granul sampai homogen menggunakan cube mixer.
Pencetakan Tablet
Tablet dicetak dengan bobot masing-masing tablet 650 mg
menggunakan mesin pencetak tablet single punch Manesty F3, serta
punch berukuran 13 mm.
3.3.5. Evaluasi Granul
3.3.5.1. Kecepatan Alir Granul
Sejumlah 30 g granul dimasukkan ke dalam alat ukur
sudut diam (corong kaca) yang bagian bawahnya ditutup.
Kemudian tutup dibuka dan dibiarkan granul mengalir
seluruhnya dari corong, dimana granul ditampung
menggunakan kertas grafik. Dicatat waktu yang dibutuhkan
29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
granul untuk mengalir menggunakan stopwatch. Hasil
kecepatan alir yang didapat dihubungkan dengan sifat aliran
serbuk menurut Aulton (1988).
Tabel 3.2. Hubungan Kecepatan Alir dengan Sifat Aliran
Serbuk (Aulton, 1988) Kecepatan Alir (gram/detik) Sifat Alir
> 10 Sangat baik
4-10 Baik
1,6-4 Sukar
1,6 Sangat sukar
[Sumber : Aulton, 1988]
3.3.5.2. Pemeriksaan Sudut Diam
Sejumlah 30 g granul dimasukkan ke dalam alat ukur
sudut diam (corong kaca) yang bagian bawahnya ditutup.
Kemudian tutup dibuka dan dibiarkan granul mengalir
seluruhnya dari corong, dimana granul ditampung
menggunakan kertas grafik. Selanjutnya diameter dasar granul
dan tinggi kerucut yang terbentuk diukur menggunakan jangka
sorong digital. Lalu diukur sudut diam dengan rumus :
𝑡𝑎𝑛 𝛼 =ℎ
𝑟
Dimana : α : Sudut diam
h : Tinggi tumpukan granul
r : Jari-jari tumpukan granul
Kemudian sudut istirahat dihubungkan dengan sifat aliran
serbuk menurut Aulton (1988).
Tabel 3.3. Hubungan Sudut Istirahat dengan Sifat Aliran
Serbuk
Sudut Diam (α) Sifat Alir
< 25 Sangat baik
25-30 Baik
30-40 Sukar
>40 Sangat buruk
[Sumber : Aulton, 1988]
3.3.5.3. Uji Kompresibilitas
Uji kompresibilitas bertujuan untuk menentukan sifat
alir massa tablet saat membentuk massa yang stabil dan
30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kompak bila diberikan tekanan (Lachman et al, 1994).
Pengujian dilakukan dengan menimbang granul sebanyak 25
g, lalu dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml, dan diamati
volumenya (V0). Lalu gelas ukur diletakkan pada alat tap
density meter dengan pengetukan sebanyak 1000 kali dan
diamati volumenya (Vt). Kemudian dihitung persen
kompresibilitas menggunakan rumus :
% Kompresibilitas = 1 - 𝑉𝑡
𝑉0 × 100%
Kemudian persen kompresibilitas dihubungkan dengan sifat
aliran serbuk menurut Aulton (1988).
Tabel 3.4. Hubungan Persen Kompresibilitas dengan
Sifat Aliran Serbuk Kompresibilitas (%) Sifat Alir
5-15 Sangat Baik
12-17 Baik
18-22 Cukup
23-33 Kurang
34-38 Sangat Kurang
>38 Sangat Buruk
[Sumber : Aulton, 1988]
3.3.5.4. Kadar Lembab Granul
Ditimbang seksama 5,0 g granul, lalu dimasukkan ke
dalam alat moisture halogen analyzer dengan pengaturan suhu
105°C. Persyaratan granul yang baik memiliki nilai kandungan
lembab 2-5% (Voigt, 1994).
3.3.5.5. Distribusi Ukuran Partikel
Distribusi ukuran partikel sangat penting untuk
memperoleh granul yang kompak dan tidak mudah hancur.
Distribusi ukuran partikel diperoleh dengan metode
pengayakan dengan menggunakan alat yang disebut sieving
analyzer (Voigt, 1994). Masing-masing ayakan pada sieving
analyzer disusun berturut-turut mulai dari yang teratas adalah
mesh 18, 20, 40, 60, 80 dan 120. Kemudian 25 gram granul
dimasukkan ke dalam alat sieving analyzer. Alat dihidupkan,
31 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kemudian granul yang didapat pada masing-masing ayakan
ditimbang lalu dihitung persen bobot granul pada masing-
masing ayakan dan dibuat kurva antara persen bobot granul
(sumbu y) dengan ukuran ayakan (sumbu x).
Syarat : Distribusi ukuran partikel sisa < 10 %.
3.3.6. Evaluasi Tablet
3.3.6.1. Uji Organoleptik Tablet
Terhadap 20 tablet dilakukan pengujian penampilan
(mengkilap atau kusam), tekstur permukaan (halus atau kasar),
warna yang tidak seragam serta adanya kecacatan pada tablet.
Tekstur permukaan diamati melalui raba dan visual (Depkes
RI, 1979).
3.3.6.2. Keseragaman Bobot
Berdasarkan Farmakope Indonesia III (1979), sediaan
tablet tidak bersalut harus memenuhi syarat keseragaman
bobot yang ditetapkan sebagai berikut : Ditimbang 20 tablet,
kemudian dihitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika ditimbang
satu-persatu, tidak boleh lebih dari 2 tablet yang masing-
masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih
besar dari nilai yang ditetapkan pada kolom A, dan tidak ada
satupun tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-
ratanya lebih dari harga yang ditetapkan kolom B.
Jika tidak mencukupi 20 tablet, dapat digunakan 10
tablet dengan persyaratan tidak ada satu tablet pun yang
bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang
ditetapkan kolom A dan tidak satu tablet pun yang bobotnya
menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan
kolom B.
32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.5. Syarat Penyimpangan Bobot Rerata dalam
Persen
Bobot Rerata
Penyimpangan Bobot
Rerata dalam Persen
A B
25 mg atau kurang 15 30
26 mg sampai dengan 150 mg 10 20
151 mg sampai dengan 300 mg 7,5 15
Lebih dari 300 mg 5 10
[Sumber : Depkes RI, 1979]
3.3.6.3. Keseragaman Ukuran
Diameter dan tebal tablet diukur masing-masing pada 5
tablet menggunakan jangka sorong dan mikrometer. Kecuali
dinyatakan lain, diameter tablet tidak lebih dari tiga kali dan
tidak kurang dari empat per tiga tebal tablet (Depkes RI, 1995).
3.3.6.4. Kekerasan Tablet
Pemeriksaan kekerasan tablet dilakukan dengan alat
Tablet Hardness Tester dengan cara alat tersebut diatur sesuai
diameter dan jumlah tablet yang diuji. Menurut Sulaiman
(2007), syarat kekerasan tablet konvensional adalah 4-10 Kp.
3.3.6.5. Kerapuhan Tablet
Sebanyak 20 tablet yang telah dibersihkan, ditimbang
terlebih dahulu (a gram). Kemudian dimasukkan dalam
Friabilator Tester dengan kecepatan 25 putaran per-menit
sebanyak 100 kali putaran. Kemudian tablet-tablet tersebut
dikeluarkan, dibersihkan dan ditimbang kembali (b gram).
Tablet yang baik memiliki nilai kerapuhan kurang dari 1%
(Lachman et al, 1994).
3.3.6.6. Waktu Hancur
Tablet diletakkan dalam setiap enam tube keranjang, dan
melalui penggunaan peralatan mekanis, keranjang dinaik-
turunkan dalam cairan perendam dengan siklus 29-32 kali
turun naik per menit. Untuk tablet yang tidak bersalut, tablet
bukal dan tablet sub lingual, menggunakan air yang dijaga
33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada temperatur 37°C (Ansel, 1989). Tablet yang baik
mempunyai waktu hancur kurang dari 15 menit (Depkes RI,
1979).
3.3.6.7. Uji Disolusi
Uji disolusi dan penetapan kadar menggunakan metode
yang tercantum dalam Farmakope Indonesia Edisi V, 2014.
Medium dapar fosfat dengan pH 5,8 sebanyak 900 ml
dimasukkan ke dalam labu disolusi, pengaduk dayung diatur
pada kecepatan 50 rpm. Tablet ditimbang dan dimasukkan ke
dalam setiap enam labu disolusi. Suhu labu dipertahankan
37°C ± 0,5°C. Kemudian 5 ml sampel diambil pada menit ke-
30 dan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang maksimum parasetamol yaitu 243
nm. Dalam waktu 30 menit parasetamol harus larut tidak
kurang dari 80% dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes,
2014). Metode analisis yang digunakan adalah metode satu
titik (One Point Method) menggunakan larutan standar
parasetamol dengan konsentrasi 11,112 µg/ml.
3.3.7. Analisa Data
Dari beberapa evaluasi yang diujikan, dilakukan uji stastistik
pada data hasil evaluasi kekerasan tablet, waktu hancur, dan uji disolusi
menggunakan program pengolahan data statistik SPSS 25.0 untuk
melihat adanya perbedaan yang bermakna pada masing-masing
formula. Pengujian diawali dengan mencari nilai normalitas dan
homogenitas. Bila nilai normalitas dan atau homogenitas p>0,05 maka
dapat disimpulkan data terdistribusi normal dan homogen, sedangkan
data dinyatakan tidak terdistribusi normal dan tidak homogen bila
p<0,05. Data yang terdistribusi normal dan homogen lalu dilanjutkan
dengan uji ANOVA One-Way. Jika data terdistribusi tidak normal dan
atau tidak homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji Kruskal-
Wallis. Kemudian dilakukan uji post hoc yaitu dengan uji LSD dan atau
uji Mann-Whitney (Dahlan, 2014).
34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pembuatan Gelatin Kulit Kambing Etawah
Gelatin terbagi menjadi dua tipe berdasarkan proses pengolahannya,
yaitu gelatin tipe A dan tipe B. Gelatin yang diperoleh melalui proses asam
dikenal sebagai gelatin tipe A dan gelatin yang diperoleh melalui proses basa
dikenal sebagai gelatin tipe B (GMIA, 2012). Pada penelitian ini, gelatin yang
dihasilkan menggunakan larutan asam klorida 4% sebagai larutan curing,
sehingga termasuk gelatin tipe A. Pemilihan asam klorida sebagai larutan
curing karena asam klorida memiliki kemampuan mengubah serat kolagen
lebih banyak dan lebih cepat tanpa mempengaruhi kualitas gelatin yang
dihasilkan (Kurniadi, 2009).
Gambar 4.1. Gelatin Kulit Kambing Etawah
Gelatin kulit kambing Etawah yang dihasilkan kemudian diuji
organoleptiknya mengacu pada pemerian gelatin menurut Farmakope
Indonesia V tahun 2014. Pemerian gelatin adalah lembaran, kepingan atau
potongan, atau serbuk kasar sampai halus; kuning lemah atau coklat terang;
warna bervariasi tergantung ukuran partikel. Larutannya berbau lemah seperti
kaldu (Depkes RI, 2014).
Organoleptik gelatin dari kulit kambing Etawah dengan hidrolisis asam
klorida 4% adalah berbentuk serbuk, berwarna coklat terang dan berbau khas
lemah. Gelatin yang dihasilkan sudah memenuhi syarat pemerian gelatin
menurut Farmakope Indonesia V.
35 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2. Hasil Pembuatan Tablet Parasetamol
Gelatin kulit kambing Etawah yang telah selesai diproduksi kemudian
digunakan sebagai bahan pengikat pada pembuatan tablet parasetamol secara
granulasi basah. Selain gelatin kulit kambing Etawah, digunakan pula gelatin
sapi sebagai formula pembanding. Pada pembuatan granul, gelatin memiliki
mekanisme kerja yaitu mempengaruhi gaya kohesi dan adhesi pada massa
serbuk. Penambahan larutan gelatin yang mempunyai viskositas tinggi akan
menyebabkan granul yang terbentuk setelah pengeringan menjadi mengeras
(Voigt, 1994).
Konsentrasi gelatin yang digunakan adalah sebesar 2%, 3%, dan 4%.
Pada penelitian ini konsentrasi 1% tidak digunakan karena setelah dilakukan
uji pendahuluan, tablet parasetamol yang menggunakan gelatin kulit kambing
Etawah dengan konsentrasi 2% memiliki nilai kerapuhan sebesar 1,19%.
Sementara syarat nilai kerapuhan tablet adalah kurang dari 1% (Voigt, 1994).
Oleh karena itu, pada penelitian ini hanya menggunakan seri konsentrasi
gelatin sebesar 2%, 3%, dan 4%, baik pada formula uji yang menggunakan
gelatin kulit kambing Etawah sebagai bahan pengikat, maupun formula
pembanding yang menggunakan gelatin sapi sebagai bahan pengikat.
Gambar 4.2. Larutan Gelatin dengan Konsentrasi : a) 2%; b) 3%; dan c) 4%
Pembuatan tablet parasetamol dimulai dengan proses penimbangan
bahan yang akan digunakan dalam proses granulasi. Kemudian langkah
selanjutnya adalah membuat larutan binder (bahan pengikat), yaitu gelatin
kulit kambing Etawah dan gelatin sapi. Pada pembuatan larutan binder,
gelatin dilarutkan pada air suling bersuhu 70°C dan diaduk menggunakan
turbomixer selama 15 menit. Alasan digunakan air suling bersuhu 70°C
sebagai pelarut gelatin, karena gelatin larut dalam air panas (Rowe, 2006).
Namun ada sedikit perbedaan teknis dalam melarutkan gelatin kulit kambing
36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Etawah dengan gelatin sapi. Gelatin kulit kambing Etawah lebih mudah larut
di dalam air suling bersuhu 70°C dan tidak sensitif terhadap perubahan suhu
yang terjadi, sedangkan gelatin sapi sangat sensitif terhadap perubahan suhu.
Sehingga saat melarutkan gelatin sapi, larutan gelatin sapi harus diletakkan di
atas hotplate yang terjaga suhunya sekitar 70°C, karena pada suhu di bawah
70°C, gelatin sapi sukar larut dalam air suling.
Gambar 4.3. Larutan Bahan Pengikat : a) Gelatin Kulit Kambing
Etawah; b) Gelatin Sapi
Proses selanjutnya adalah granulasi basah, yaitu metode yang dilakukan
dengan cara membasahi massa tablet (fase dalam) menggunakan larutan
pengikat sampai terdapat tingkat kebasahan tertentu, lalu digranulasi (Depkes
RI, 1995). Bahan yang termasuk fase dalam pada penelitian ini yaitu
paracetamol sebagai zat aktif, amylum sebagai bahan penghancur, dan lactose
monohydrate sebagai bahan pengisi. Ketiga bahan tersebut digranulasikan
menggunakan mortir dan stamper dan ditambahkan larutan gelatin sebagai
bahan pengikat. Granulasi dilakukan hingga terbentuk massa granul yang
baik, yaitu terbentuk massa granul yang memiliki karakteristik apabila
dikepal lalu dipatahkan, tidak terdapat massa yang rontok (Soedirman, 2010).
Pada semua formula, terbentuk massa granul yang baik sesuai dengan
karakteristik tersebut.
Gambar 4.4. Massa Granul Tablet Parasetamol
37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selanjutnya massa granul dikeringkan menggunakan Oven bersuhu
70°C hingga memiliki nilai kadar lembab sebesar 2,5-3%. Menurut Niazi
(2009), nilai kadar lembab dalam pembuatan tablet parasetamol berkisar
antara 1-1,5% dan menurut Voigt (1994), persyaratan granul yang baik
memiliki nilai kandungan lembab 2-5%. Setelah dilakukan uji pendahuluan,
massa granul yang memiliki nilai kadar lembab berkisar antara 1-1,5% terlalu
kering, sehingga menyebabkan tablet yang dicetak menjadi capping, yaitu
keadaan tablet yang mengalami pemisahan pada bagian atas atau bawah dari
bagian utamanya (Banker dan Anderson, 1986). Oleh karena itu, rentang nilai
kadar lembab dinaikkan menjadi 2,5-3% untuk menghindari terjadinya
capping pada proses pencetakan tablet. Pengecekan nilai kadar lembab
dilakukan menggunakan alat Moisture Halogen Analyzer.
Setelah mencapai nilai kadar lembab yang sesuai, granul kering lalu
diayak menggunakan mesin ayak Quadrocomill U5 dengan kecepatan 1000-
2500 rpm, mesh ukuran 2108 dan impeller (baling-baling) berbentuk round
atau bundar. Proses ayak kering dilakukan sampai granul kering tidak bersisa
di dalam mesh. Pemilihan ukuran mesh didasarkan pada ukuran granul yang
diinginkan. Ukuran granul tidak boleh terlalu kecil atau halus dan tidak boleh
terlalu besar atau kasar. Granul yang terlalu halus akan menimbulkan
permasalahan dalam pencetakan tablet, yaitu capping (terlepas sebagian) atau
lamination (tablet tampak berlapis-lapis) (Noorrizka et al, 2018). Oleh karena
itu dipilih mesh ukuran 2108, karena secara organoleptik granul yang
dihasilkan tidak terlalu kasar, maupun terlalu halus.
Granul yang sudah diayak kemudian berlanjut kepada proses campur
massa, yaitu mencampur massa granul dengan bahan-bahan fase luar.
Langkah pertama yang dilakukan pada proses campur massa adalah
mencampur terlebih dahulu colloidal silicon dioxide sebagai glidan, dengan
sodium starch glycolate sebagai bahan penghancur. Hal ini dikarenakan
colloidal silicon dioxide merupakan bahan yang berbentuk serbuk amorf
ringan (Rowe, 2006), sehingga mudah berterbangan bila tidak dicampur
dengan bahan lain terlebih dahulu. Selanjutnya campuran tersebut diayak
menggunakan mesh 30 yang bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel
38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
serbuk colloidal silicon dioxide. Sebelum dicampurkan, magnesium stearat,
sebagai lubrikan, juga perlu diayak menggunakan mesh 30 untuk memastikan
bahwa partikel serbuk magnesium stearat homogen dan tidak terdapat
gumpalan serbuk. Kemudian campuran ketiga bahan tersebut ditambahkan ke
dalam massa granul dan dikocok menggunakan mesin Cube Mixer sampai
homogen. Setelah melewati proses campur massa, didapatkan massa siap
cetak.
Sebelum berlanjut ke proses pencetakan tablet, massa granul siap cetak
terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan bahwa tablet yang akan dicetak
sesuai yang diharapkan. Evaluasi granul yang dilakukan antara lain waktu
alir, pemeriksaan sudut diam, uji kompresibilitas, kadar lembab, dan
distribusi ukuran partikel granul. Pembahasan hasil evaluasi granul dibahas
pada sub-bab selanjutnya.
Proses selanjutnya yaitu pencetakan tablet menggunakan Mesin Cetak
Manesty F3. Massa siap cetak dimasukkan ke dalam hopper, kemudian
dicetak menjadi tablet menggunakan punch ukuran 13 mm dan berbentuk
bulat shallow-convex. Sebelum memulai proses cetak tablet secara automatis,
dilakukan cetak tablet secara manual terlebih dahulu untuk menyesuaikan
bobot, tebal, dan kekerasan tablet. Bobot per-tablet diatur 650 mg ± 5%, tebal
tablet berkisar antara 4,3 – 5,5 mm, dan kekerasan tablet yang diatur berkisar
antara 10-16 Kp. Parameter tersebut berdasarkan pada literatur Farmakope
Indonesia (1995 dan 2014) serta Ansel (1989) yang akan dibahas lebih lanjut
pada sub-bab selanjutnya.
4.1.1. Evaluasi Granul
Massa granul yang siap cetak sebelum berlanjut ke proses
pencetakan tablet, harus dievaluasi terlebih dahulu untuk menjamin
mutu produk yang dihasilkan (Lachman et al, 1986). Evaluasi granul
yang dilakukan meliputi kecepatan alir, pemeriksaan sudut diam, uji
kompresibilitas, kadar lembab, dan distribusi ukuran partikel granul.
39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.1. Hasil Evaluasi Kecepatan Alir, Sudut Diam,
Kompresibilitas, dan Kadar Lembab Granul
Formula
Jenis Evaluasi
Kecepatan
Alir (g/s)
Sudut Diam
(°)
Kompresibilitas
(%)
Kadar Lembab
(%)
PI 10,60 29,13 17,78 2,48
PII 10,90 27,17 17,39 2,67
PIII 11,81 27,63 22,92 2,93
UI 10,60 29,13 17,39 2,48
UII 10,90 27,17 17,39 2,67
UIII 11,81 27,63 19,15 2,93
Keterangan : PI (gelatin sapi 2%); PII (gelatin sapi 3%); PIII (gelatin sapi 4%); UI
(gelatin kulit kambing Etawah 2%); UII (gelatin kulit kambing Etawah 3%); UIII
(gelatin kulit kambing Etawah 4%).
Evaluasi kecepatan alir, pemeriksaan sudut diam, dan
kompresibilitas granul berfungsi untuk mengetahui sifat alir granul
yang dihasilkan. Sifat alir granul sangat penting dalam proses
pencetakan tablet, karena apabila granul mempunyai sifat alir yang baik
maka pengisian pada ruang kempa menjadi konstan sehingga dihasilkan
tablet yang mempunyai bobot seragam (Parrott, 1971). Berdasarkan
hasil dari hasil evaluasi kecepatan alir dan sudut diam granul,
menunjukkan bahwa semua formula memiliki sifat alir granul yang
baik, karena memenuhi syarat kecepatan alir granul yaitu lebih dari 10
gram/detik dan syarat sudut diam granul yaitu antara 25-30° (Aulton,
1998). Sedangkan berdasarkan hasil evaluasi kompresibilitas granul,
semua formula memiliki nilai sifat alir dengan kategori cukup baik
(Aulton, 1998). Meski nilai kompresibilitas granul cukup besar, namun
granul dapat terkonsolidasi dengan cepat pada die saat proses
pencetakan. Hal ini dibuktikan dengan bobot tablet yang dihasilkan
pada semua formula memiliki bobot yang seragam, maka dapat
disimpulkan bahwa granul pada semua formula memiliki sifat alir yang
baik meski memiliki nilai kompresibilitas yang cukup besar.
Evaluasi yang berikutnya adalah evaluasi kadar lembab granul.
Evaluasi ini berfungsi untuk mencegah lembab dari granul yang dapat
mempercepat pertumbuhan mikroba dan jamur (Voigt, 1994). Selain
itu, kadar lembab merupakan salah satu parameter mutu yang penting
karena akan menentukan daya tahan dan daya simpan produk tersebut.
Dari hasil evaluasi dapat terlihat bahwa semua formula memenuhi
40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
syarat kadar lembab granul yang baik, yaitu 2-5% (Voigt, 1994). Hasil
tersebut didapat berdasarkan metode yang dilakukan, yaitu 5,0 gram
granul dimasukkan ke dalam alat Moisture Halogen Analyzer dengan
pengaturan suhu 105°C. Pemanasan pada suhu 105°C mengakibatkan
kandungan air kristal pada senyawa hidrat menguap. Pada formula,
bahan yang merupakan senyawa hidrat adalah Lactose Monohydrate.
Sehingga hasil evaluasi yang didapat kurang sesuai, karena air kristal
yang berasal dari Lactose Monohydrate turut menguap. Oleh karena
tablet yang dihasilkan memiliki daya simpan yang baik, maka hasil
tersebut dapat ditoleransi.
Tabel 4.2. Hasil Evaluasi Distribusi Ukuran Partikel
Keterangan : PI (gelatin sapi 2%); PII (gelatin sapi 3%); PIII (gelatin sapi 4%); UI
(gelatin kulit kambing Etawah 2%); UII (gelatin kulit kambing Etawah 3%); UIII
(gelatin kulit kambing Etawah 4%).
Keterangan : PI (gelatin sapi 2%); PII (gelatin sapi 3%); PIII (gelatin sapi 4%); UI
(gelatin kulit kambing Etawah 2%); UII (gelatin kulit kambing Etawah 3%); UIII
(gelatin kulit kambing Etawah 4%).
Gambar 4.5. Kurva Distribusi Ukuran Partikel
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 500 1000 1500 2000
Fra
ksi
(%
)
Ukuran Partikel (µm)
Kurva Distribusi Ukuran Partikel
PI
PII
PIII
UI
UII
UIII
41 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Evaluasi granul yang terakhir adalah evaluasi distribusi ukuran
partikel. Distribusi ukuran partikel serbuk dapat mempengaruhi
kerapuhan tablet dan daya mengalir serbuk yang dapat mempengaruhi
bobot tablet rata-rata, variasi bobot, dan waktu hancur tablet. Serbuk
halus diperlukan untuk mengisi ruang kosong antar partikel yang
terbentuk oleh partikel-partikel yang lebih besar, serta membantu
pembentukan ikatan fisik yang berperan sebagai jembatan antar partikel
yang lebih besar. Hasil distribusi ukuran partikel yang baik adalah
mengandung tidak lebih dari 10% fines atau serbuk halus, dan kurvanya
mengikuti kurva normal distribusi ukuran partikel yang berbentuk
lonceng (Lachman, 1994). Serbuk halus dalam jumlah besar (lebih dari
10%) akan menimbulkan permasalahan dalam pencetakan tablet, yaitu
capping (terlepas sebagian) atau lamination (tablet tampak berlapis-
lapis) (Noorrizka et al, 2018). Serbuk halus adalah partikel serbuk yang
melewati mesh 80 dengan ukuran partikel kurang dari 180 µm (Depkes
RI, 2014). Berdasarkan hasil yang didapat, semua formula
menunjukkan distribusi ukuran partikel yang mengandung lebih dari
10% serbuk halus dan kurva yang terbentuk tidak berbentuk lonceng.
Hal ini dapat disebabkan ukuran mesh yang digunakan pada proses
pengayakan kering berukuran kurang besar, sehingga masih
menghasilkan partikel granul yang berukuran kecil. Selain itu adanya
partikel colloidal silicon dioxide yang berukuran 15 nm (<180 µm) dan
partikel sodium starch glycolate yang berukuran 30-100 µm (<180 µm),
menyebabkan persentase fines yang terdapat pada massa granul
menjadi besar (Rowe, 2006). Oleh karena tablet yang dihasilkan pada
semua formula tidak terjadi capping maupun laminating, maka hasil
evaluasi distribusi ukuran partikel dapat ditoleransi.
4.1.2. Evaluasi Tablet
Setelah dilakukan proses pencetakan tablet parasetamol
menggunakan Mesin Cetak Manesty F3, proses selanjutnya yaitu
evaluasi tablet hasil cetak. Evaluasi yang dilakukan meliputi uji
42 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
organoleptik, kekerasan tablet, keseragaman ukuran, keseragaman
bobot, kerapuhan, waktu hancur, dan uji disolusi tablet.
Tabel 4.3. Hasil Evaluasi Organoleptik Tablet
Jenis
Evaluasi
Formula
PI PII PIII UI UII UIII
Organoleptik
Bentuk
Warna
Rasa
Bau
Bulat
Putih
Pahit
Sedikit
berbau
Bulat
Putih
Pahit
Sedikit
berbau
Bulat
Putih
Pahit
Sedikit
berbau
Bulat
Putih
Pahit
Sedikit
berbau
Bulat
Putih
Pahit
Sedikit
berbau
Bulat
Putih
Pahit
Sedikit
berbau
Keterangan : PI (gelatin sapi 2%); PII (gelatin sapi 3%); PIII (gelatin sapi 4%); UI
(gelatin kulit kambing Etawah 2%); UII (gelatin kulit kambing Etawah 3%); UIII
(gelatin kulit kambing Etawah 4%).
Gambar 4.6. Tablet Parasetamol
Evaluasi yang pertama adalah pemeriksaan organoleptik meliputi
bentuk, warna, rasa, bau, penampilan (mengkilap atau kusam), tekstur
permukaan (halus atau kasar), warna yang tidak seragam, serta adanya
kecacatan pada tablet (Depkes RI, 1979). Pemeriksaan organoleptik
penting dilakukan karena warna yang tidak seragam dan adanya
kecacatan pada tablet selain dapat menurunkan nilai estetikanya juga
dapat menimbulkan persepsi adanya ketidakseragaman kandungan dan
kualitas produk yang buruk (Ansel, 1989). Hasil pemeriksaan 20 tablet
dari semua formula menunjukkan bahwa tablet yang dihasilkan
berbentuk bulat, berwarna putih, berasa pahit, sedikit berbau khas
gelatin, berpenampilan mengkilap, bertekstur halus, memiliki warna
yang seragam, serta tidak ada kecacatan pada tablet. Dari hasil tersebut
menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan organoleptik tablet parasetamol
telah memenuhi syarat.
43 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.4. Hasil Evaluasi Keseragaman Bobot, Keseragaman
Ukuran, dan Kekerasan Tablet
Formula
Jenis Evaluasi
Keseragaman
Bobot (mg)
Keseragaman
Ukuran (mm)
Kekerasan
Tablet (Kp)
PI 650,37 ± 1,61 4,76 ± 0,02 13,25 ± 1,03
PII 650,36 ± 1,04 4,73 ± 0,01 14,30 ± 1,06
PIII 650,09 ± 0,94 4,75 ± 0,03 15,24 ± 0,48
UI 649,85 ± 1,31 4,76 ± 0,01 13,50 ± 0,93
UII 650,16 ± 1,22 4,73 ± 0,03 15,07 ± 0,67
UIII 650,62 ± 1,16 4,73 ± 0,01 15,71 ± 0,66
Keterangan : PI (gelatin sapi 2%); PII (gelatin sapi 3%); PIII (gelatin sapi 4%); UI
(gelatin kulit kambing Etawah 2%); UII (gelatin kulit kambing Etawah 3%); UIII
(gelatin kulit kambing Etawah 4%); NP : Nilai Penerimaan.
Evaluasi selanjutnya yaitu evaluasi keseragaman bobot yang
bertujuan untuk memastikan bahwa setiap tablet mengandung obat
dengan jumlah yang tepat (Depkes RI, 1979). Berdasarkan hasil yang
didapat dari 10 tablet setiap formula, terlihat bahwa semua formula
telah memenuhi persyaratan keseragaman bobot, yaitu tidak ada satu
tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata
dengan penyimpangan sebesar 5% (Depkes RI, 1979).
Selanjutnya dilakukan evaluasi keseragaman ukuran, yaitu
dengan mengukur ketebalan tablet. Ketebalan tablet berhubungan
dengan proses pembuatan tablet. Oleh karena itu ketebalan tablet perlu
dikontrol sampai perbedaan 5% dari rata-rata. Pengontrolan ketebalan
tablet diperlukan agar tablet dapat diterima dengan baik oleh konsumen
dan dapat mempermudah pengemasan (Ansel, 1989). Berdasarkan hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa semua formula memenuhi syarat
evaluasi keseragaman ukuran.
Evaluasi yang selanjutnya dilakukan yaitu evaluasi kekerasan
tablet. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan tablet yang dihasilkan
memiliki kekuatan atau kekerasan tertentu agar tahan terhadap berbagai
guncangan mekanik pada saat pembuatan, pengepakan, dan transportasi
(Parrot, 1971). Menurut Sulaiman (2007), syarat kekerasan tablet
konvensional adalah 4-10 Kp. Kekerasan tablet lebih besar dari 10 kg
masih dapat diterima, jika masih memenuhi persyaratan waktu hancur
dan disolusi yang dipersyaratkan (Sulaiman, 2007). Oleh karena itu,
44 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada penelitian ini dipilih rentang kekerasan tablet, yaitu 10-16 Kp,
karena mempertimbangkan nilai kerapuhan dan waktu hancur tablet
yang dihasilkan. Dari hasil evaluasi yang diperoleh menunjukkan
bahwa semua formula memenuhi syarat kekerasan tablet yang baik.
Kemudian semakin tinggi konsentrasi larutan gelatin, baik gelatin kulit
kambing Etawah maupun gelatin sapi, menyebabkan semakin tinggi
pula nilai kekerasan tablet yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Wade (1994), yaitu kenaikan konsentrasi gelatin sebagai
bahan pengikat dapat meningkatkan kekerasan dan menurunkan
kerapuhan. Berdasarkan analisa statistik dengan uji ANOVA One-Way
yang dilakukan, peningkatan konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah
menunjukkan perbedaan yang bermakna pada nilai kekerasan tablet
dengan nilai 0,000 (p<0,05). Hasil ini dilanjutkan dengan uji post-hoc
yaitu uji LSD yang menunjukkan pada konsentrasi 2% dan 3%, serta
pada konsentrasi 2% dan 4% gelatin kulit kambing Etawah
menghasilkan tablet yang memiliki perbedaan kekerasan yang
bermakna, sementara pada konsentrasi 3% dan 4% menunjukkan
perbedaan yang tidak bermakna. Secara umum disimpulkan bahwa
peningkatan konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah dapat
meningkatkan kekerasan tablet dengan perbedaan yang signifikan. Lalu
berdasarkan uji Kruskal Wallis pada formula pembanding, perbedaan
konsentrasi gelatin sapi menunjukkan perbedaan yang bermakna pada
nilai kekerasan tablet dengan nilai 0,000 (p<0,05). Hasil ini dilanjutkan
dengan uji post-hoc yaitu uji Mann-Whitney yang menunjukkan pada
konsentrasi 2%, 3% dan 4%, gelatin sapi menghasilkan perbedaan nilai
kekerasan tablet yang bermakna. Sehingga disimpulkan bahwa
peningkatan konsentrasi gelatin sapi dapat meningkatkan kekerasan
tablet dengan perbedaan yang signifikan. Kemudian berdasarkan
analisa statistik dengan membandingkan dua formula yang memiliki
konsentrasi yang sama antara formula uji dan formula pembanding,
menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai UI-
PI=0,582; UII-PII=0,069; UIII-PIII=0,087 (p>0,05). Dari data tersebut
45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi 2%, 3%, dan 4%, gelatin
kulit kambing Etawah memiliki karakteristik yang hampir sama dengan
gelatin sapi dalam mempengaruhi kekerasan tablet yang dihasilkan.
Tabel 4.5. Hasil Evaluasi Kerapuhan, Waktu Hancur, dan
Disolusi Tablet
Formula
Jenis Evaluasi
Kerapuhan Tablet
(%)
Waktu Hancur
(menit)
Disolusi
(%)
PI 0,64 1,93 ± 0,13 96,00 ± 3,96
PII 0,68 3,60 ± 0,45 93,08 ± 1,44
PIII 0,74 5,78 ± 1,13 95,47 ± 3,06
UI 1,19 1,65 ± 0,06 99,43 ± 1,35
UII 0,62 3,71 ± 0,55 99,78 ± 0,94
UIII 0,55 3,86 ± 0,11 95,98 ± 0,97
Keterangan : PI (gelatin sapi 2%); PII (gelatin sapi 3%); PIII (gelatin sapi 4%); UI
(gelatin kulit kambing Etawah 2%); UII (gelatin kulit kambing Etawah 3%); UIII
(gelatin kulit kambing Etawah 4%).
Evaluasi kerapuhan tablet berfungsi untuk memastikan tablet
yang dihasilkan memiliki ketahanan terhadap goncangan selama proses
pengangkutan dan penyimpanan. Selain itu tablet yang mudah rapuh
dan pecah akan menimbulkan variasi pada bobot tablet tablet dan
keseragaman dosis obat (Banker dan Anderson, 1986). Hasil yang
diperoleh menunjukkan pada formula uji, formula UI memiliki nilai
kerapuhan yang tinggi, yaitu 1,19%. Nilai tersebut tidak memenuhi
syarat kerapuhan tablet menurut Lachman (1994), yaitu kurang dari 1%.
Hal tersebut disebabkan pada konsentrasi 2%, larutan gelatin kulit
kambing Etawah belum mampu menciptakan daya rekat yang kuat,
sehingga tablet yang terbentuk bersifat rapuh (Parrot, 1971). Kemudian
pada formula uji, hasil yang diperoleh menunjukkan penurunan nilai
kerapuhan tablet seiring bertambahnya konsentrasi gelatin kulit
kambing Etawah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wade (1994), yaitu
kenaikan konsentrasi gelatin sebagai bahan pengikat dapat
meningkatkan kekerasan dan menurunkan kerapuhan. Selanjutnya pada
formula pembanding yang menggunakan gelatin sapi sebagai bahan
pengikat tablet, menunjukkan kenaikan nilai kerapuhan tablet seiring
bertambahnya konsentrasi gelatin sapi. Namun kenaikan nilai
46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kerapuhan pada formula pembanding tidak terlalu jauh berbeda,
sehingga masih dapat ditoleransi.
Evaluasi waktu hancur dilakukan untuk mengetahui seberapa
cepat waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di dalam tubuh.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, semua formula memenuhi syarat
waktu hancur tablet konvensional, yaitu kurang dari 15 menit (Depkes
RI, 1979). Namun berdasarkan review jurnal yang dilakukan, menurut
penelitian Chandrasekaran (2011) dan Indriyani (2007) yang
membandingkan sifat fisik dari beberapa tablet parasetamol yang ada
di perdagangan, menunjukkan bahwa rata-rata waktu hancur tablet
parasetamol adalah selama 5 menit. Oleh karena itu, pada penelitian ini
dipilih waktu 5 menit sebagai syarat waktu hancur maksimum. Dari
hasil yang diperoleh menunjukkan peningkatan konsentrasi larutan
gelatin, baik pada formula uji maupun pembanding, menyebabkan
meningkatnya waktu hancur pada tablet yang dihasilkan. Hasil ini
dianalisa secara statistik dengan uji Kruskal Wallis pada formula uji,
yang menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi gelatin kulit
kambing Etawah menyebabkan perbedaan yang bermakna pada waktu
hancur tablet dengan nilai 0,004 (p<0,05). Hasil ini dilanjutkan dengan
uji post-hoc yaitu uji Mann-Whitney yang menunjukkan pada
konsentrasi 2% dan 3%, serta pada konsentrasi 2% dan 4% gelatin kulit
kambing Etawah menghasilkan tablet yang memiliki perbedaan waktu
hancur yang bermakna, sementara pada konsentrasi 3% dan 4%
menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Sehingga secara umum
dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi gelatin kulit
kambing Etawah menghasilkan tablet yang memiliki waktu hancur
yang lebih lama dengan perbedaan yang signifikan. Lalu berdasarkan
uji Kruskal Wallis pada formula pembanding, perbedaan konsentrasi
gelatin sapi menunjukkan perbedaan yang bermakna pada waktu hancur
tablet dengan nilai 0,001 (p<0,05). Hasil ini dilanjutkan dengan uji
post-hoc yaitu uji Mann-Whitney yang menunjukkan pada konsentrasi
2%, 3% dan 4%, gelatin sapi menghasilkan perbedaan waktu hancur
47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tablet yang bermakna. Sehingga dapat disimpulkan peningkatan
konsentrasi gelatin sapi menghasilkan tablet yang memiliki waktu
hancur yang lebih lama dengan perbedaan yang signifikan. Kemudian
berdasarkan analisa statistik dengan membandingkan dua formula yang
memiliki konsentrasi yang sama antara formula uji dan formula
pembanding, menunjukkan perbedaan yang bermakna pada konsentrasi
2% dengan nilai 0,001 dan konsentrasi 4% dengan nilai 0,004 (p<0,05).
Sedangkan pada konsentrasi 3%, gelatin kulit kambing Etawah
memiliki perbedaan yang tidak bermakna terhadap gelatin sapi dengan
nilai 0,720 (p>0,05). Sehingga secara statistik dapat disimpulkan bahwa
tablet yang menggunakan gelatin kulit kambing Etawah sebagai bahan
pengikat tablet, hancur lebih cepat di dalam tubuh bila dibandingkan
tablet yang menggunakan gelatin sapi sebagai bahan pengikat tablet,
dengan perbedaan yang signifikan pada konsentrasi 2% dan 4%.
Perbedaan ini disebabkan oleh karakteristik gelatin sapi yang memiliki
daya ikat yang lebih kuat dibanding gelatin kulit kambing Etawah.
Menurut Ritschel (1975), penambahan bahan pengikat yang
mempunyai daya ikat yang kuat akan menyebabkan tablet yang
terbentuk memiliki kekerasan yang lebih tinggi dan sulit terdisintegrasi.
Evaluasi yang selanjutnya dilakukan adalah uji disolusi. Uji
disolusi berguna untuk mengetahui seberapa banyak obat yang melarut
dalam medium asam atau basa (lambung dan usus halus) (Ansel, 1989).
Pada penelitian ini medium yang digunakan adalah dapar fosfat 5,8.
Kemudian alat yang digunakan pada evaluasi ini adalah alat disolusi
tipe dayung yang diatur kecepatan pengaduknya pada 50 rpm dan suhu
labu dipertahankan 37°C ± 0,5°C. Sebanyak 6 tablet dari setiap formula
diuji, kemudian pada menit ke-30, larutan sampel dicuplik untuk
selanjutnya diukur kadarnya menggunakan Spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang maksimum parasetamol, yaitu 243 nm
(Depkes RI, 2014). Berdasarkan hasil yang didapat, semua formula
memenuhi syarat uji disolusi, yaitu tidak ada satu pun tablet yang
kadarnya kurang dari 80% (Depkes, 2014). Namun bila dibandingkan,
48 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kadar parasetamol pada formula uji lebih mendekati 100% dibanding
kadar tablet pada formula pembanding, sehingga dapat disimpulkan
bahwa tablet yang menggunakan gelatin kulit kambing Etawah sebagai
bahan pengikat tablet, lebih mudah terdisolusi di dalam tubuh bila
dibandingkan dengan tablet yang menggunakan gelatin sapi sebagai
bahan pengikat tablet. Hasil tersebut kemudian dianalisa statistik
dengan uji ANOVA One-Way, dan terlihat bahwa perbedaan
konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah menunjukkan perbedaan
yang bermakna pada disolusi tablet dengan nilai 0,000 (p<0,05). Hasil
ini dilanjutkan dengan uji post-hoc yaitu uji LSD yang menunjukkan
pada konsentrasi 3% dan 4%, serta pada konsentrasi 2% dan 4% gelatin
kulit kambing Etawah menghasilkan tablet yang memiliki perbedaan
disolusi yang bermakna, sementara pada konsentrasi 2% dan 3%
menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Sehingga secara umum
dapat disimpulkan bahwa perbedaan konsentrasi gelatin kulit kambing
Etawah menghasilkan perbedaan yang signifikan pada kemampuan
tablet untuk terdisolusi di dalam tubuh. Lalu berdasarkan uji ANOVA
One-Way pada formula pembanding, perbedaan konsentrasi gelatin sapi
menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna pada disolusi tablet
dengan nilai 0,234 (p>0,05). Hasil ini dilanjutkan dengan uji post-hoc
yaitu uji Mann-Whitney yang menunjukkan pada konsentrasi 2%, 3%
dan 4%, gelatin sapi menghasilkan perbedaan disolusi tablet yang tidak
bermakna. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
gelatin sapi pada konsentrasi 2%, 3%, dan 4% menghasilkan tablet yang
memiliki kemampuan terdisolusi yang hampir sama di dalam tubuh.
Kemudian berdasarkan analisa statistik dengan membandingkan dua
formula yang memiliki konsentrasi yang sama antara formula uji dan
formula pembanding, menunjukkan perbedaan yang bermakna pada
konsentrasi 2% dengan nilai 0,020 dan konsentrasi 3% dengan nilai
0,000 (p<0,05). Sedangkan pada konsentrasi 4%, gelatin kulit kambing
Etawah memiliki perbedaan yang tidak bermakna terhadap gelatin sapi
dengan nilai 0,378 (p>0,05). Sehingga secara statistik dapat
49 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
disimpulkan bahwa tablet yang menggunakan gelatin kulit kambing
Etawah sebagai bahan pengikat tablet, lebih mudah terdisolusi di dalam
tubuh bila dibandingkan tablet yang menggunakan gelatin sapi sebagai
bahan pengikat tablet, dengan perbedaan yang signifikan pada
konsentrasi 2% dan 3%. Perbedaan ini disebabkan pada formula uji
yang memakai gelatin kulit kambing Etawah, menunjukkan waktu
hancur yang lebih cepat, sehingga menghasilkan tablet yang lebih
mudah terdisolusi. Hal ini turut didukung oleh pernyataan Shargel
(2005) yang menyatakan bahwa kecepatan tablet untuk hancur di dalam
tubuh mempengaruhi disolusi obat.
50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Penambahan konsentrasi gelatin kulit kambing Etawah tidak
mempengaruhi keseragaman bobot dan ukuran tablet, namun
meningkatkan nilai kekerasan, menurunkan nilai kerapuhan,
menyebabkan waktu hancur yang lebih lama, dan menunjukkan perbedaan
yang bermakna pada disolusi tablet parasetamol yang dihasilkan (p<0,05).
2. Gelatin kulit kambing Etawah pada konsentrasi 3% menghasilkan tablet
yang bermutu baik dengan dengan nilai kekerasan 15,07 ± 0,67 Kp, waktu
hancur 3,71 ± 1,00 menit, nilai kerapuhan 0,62%, kadar parasetamol di
menit ke-30 pada uji disolusi yaitu 99,78 ± 0,94%.
3. Tablet yang menggunakan gelatin kulit kambing Etawah sebagai bahan
pengikat memiliki waktu hancur lebih cepat dan lebih mudah terdisolusi
dibanding tablet yang menggunakan gelatin sapi sebagai bahan pengikat
dengan perbedaan yang bermakna pada konsentrasi 2% dan 4%
berdasarkan hasil evaluasi waktu hancur tablet, serta pada konsentrasi 2%
dan 3% berdasarkan hasil evaluasi disolusi tablet (p<0,05).
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat stabilitas tablet
yang dihasilkan dengan metode pembuatan yang sama.
51 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah NM, N.K, ME, Azhar, A, Fazilah. 2014. Poultry as an Alternative Source
of Gelatin. Health and the Environment Journal Vol. 5, No. 1, 37-49.
Anonim. 2016. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia Volume 50. Jakarta : ISFI
Penerbitan.
Ansel, Howard C., et al. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Ansel, Howard C., et al. 2013. Bentuk Sediaan Farmasetis dan Sistem
Penghantaran Obat Edisi 9. Jakarta : EGC.
Aulton, M. E. 1988. Pharmaceutics : The Science of Dosage Form Design. New
York : Churchill Livingstone Inc.
Banker, G.S., Anderson, N.R. 1986. The Theory and Practice of Industrial
Pharmacy 3rd Edition. Philadelphia : Lea and Febiger.
BBPKKP. 2008. Petunjuk Teknis Penyamakan Kulit. Yogyakarta : Departemen
Perindustrian.
Bogue, Robert Herman. 1922. The Chemistry and Technology of Gelatin and Glue,
First Edition. London: McGraw-Hill Book Company, Inc.
Chandrasekaran, A. R. et al. 2011. Post-market In Vitro Equivalency Evaluation of
Paracetamol Tablets in Kedah, Malaysia. Kedah : Internasional Journal of
Pharmaceutical Sciences and Nanotechnology.
Dahlan, M. Sopiyudin. 2014. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan :
Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi Menggunakan
SPSS, Edisi 6. Jakarta : Epidemiologi Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 1979. Farmakope
Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 1995. Farmakope
Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2014. Farmakope
Indonesia Edisi V. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
52 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Girhepunje, Kundlik. 2009. A Novel Binding Agent for Pharmaceutical
Formulation from Cassia roxburghii Seeds. Gujrat : Internasional Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Vol. 1, Suppl. 1.
GMIA. 2012. Gelatin Handbook. Amerika : Gelatin Manufacturers Institute of
America.
Grobben, A. H. dkk., 2003. Industrial Production of Gelatin, Progress in
Biotechnology Volume 23, Chapter V. Di dalam W.Y. Aalbersberg dkk. (ed).
Industrial Proteins in Perspective. Elsevier. ISBN: 978-0-444-51394-6
(eBook).
Indriyani, Vincilia. 2007. Perbandingan Bioavaibilitas antara Tablet Biogesic® dan
Tablet Pamol® dengan Tablet Parasetamol Generik pada Kelinci Putih Jantan.
Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
Jaswir, I. 2007. Memahami Gelatin. Diambil kembali dari
http://www.beritaiptek.com
Juliasti, Radia dkk. 2015. Pemanfaatan Limbah Tulang Kaki Kambing Sebagai
Sumber Gelatin Dengan Perendaman Menggunakan Asam Klorida. Dalam
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 4. Semarang: Indonesian Food
Technologists.
Katili, A. S. 2009. Struktur dan Fungsi Protein Kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu
Volume 2 Nomor 5, 1-11.
Kurniadi, H. 2009. Kualitas Gelatin Tipe A dengan Bahan Baku Tulang Paha Ayam
Broiler pada Lama Ekstraksi yang Berbeda. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Lachman, L. , H. A. Lieberman, and J. L. Kanig., 1986. The Teory and Practice of
Industrial Pharmacy. Philadelphia : Lea & Febiger.
Lachman, L., H. A. Lieberman., dan J. L. Kanig., 1994. Teori dan Praktik Farmasi
Industri Volume II Edisi III. Jakarta : UI Press.
Lieberman, H.A., Rieger, M.M., dan Banker, G.S. 1989. Pharmaceutical Dosage.
Forms: Disperse System Volume 2. New York: Marcell Dekker Inc.
Mariod, A. A dan H. F. Adam. 2013. Review: gelatin, source, extraction and
industrial applications. Acta Sci. Pol., Technol. Aliment. 12(2), 135-147.
53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Niazi, Sarfaraz K. 2009. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing
Formulations : Compressed Solid Products Volume One Second Edition.
New York : Informa Healthcare USA, Inc.
Noorrizka, Gusti dkk. 2018. Pengaruh Prosentase Fines Terhadap Kualitas Tablet
Parasetamol. Surabaya : Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Ockerman, H.W dan Hansen, C.L. 2000. Animal By Product Processing and
Utilization. USA : CRC Press.
Oetojo, Bambang dkk. 1995. Penelitian Proses Pengapuran - Pembuangan Bulu
Menurut Methoda Herfeld. Majalah Kulit, Karet, dan Plastik, 10 (20), 20-29.
Okoye, E. I., et al. 2009. Comparative Study of Some Mechanical and Release
Properties of Paracetamol Tablets Formulated with Cashew Tree Gum,
Povidone and Gelatine as Binders. Nigeria : African Journal of Biotechnology
Vol. 9 (16), pp. 3970-3973.
Parrot, Eugene L. 1971. Pharmaceutical Technology, Fundamental Pharmaceutics.
Minneapolis : Burgess Publishing Company.
Ritschel, W. A. Dan Scheffler, L. R. 1975. Effects of Binding Agents on
Dissolution of Sulfadiazin Experimental Tablet and Bioavaibility in Rabbits.
Pharm Ind, 37, 571-577.
Rowe, R. C., P. J. Sheskey dan M. E. Quinn. 2006. Handbook of Pharmaceutical
Excipients Fifth Edition. USA : Pharmaceutical Press and American
Pharmacists Association.
Said, Muhammad Irfan dkk. 2011. Karakteristik Gelatin Kulit Kambing yang
Diproduksi Melalui Proses Asam dan Basa. Makassar : Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin.
Said, Muhammad Irfan dkk. 2014. Pengaruh Perendaman Kulit dalam Larutan
Asam Asetat Terhadap Sifat-sifat Gelatin Berbahan Baku Kulit Kambing
Bligon. Makassar: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Schrieber, Reinhard dan Herbert Gareis. 2007. Gelatine Handbook : Theory and
Industrial Practice. Jerman: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.
Setiawati, I. H. 2009. Karakterisasi Mutu Fisika Kimia Gelatin Kulit Ikan Kakap
Merah (Lutjanus Sp.) Hasil Proses Perlakuan Asam. Skripsi. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
54 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Shargel, L., Wu Pong, S., dan Yu, A. B. C. 2005. Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics 5th Edition. Boston : McGraw Hill.
Siregar, Charles. J. P., dan Saleh Wikarsa. 2008. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet
: Dasar-dasar Praktis. Jakarta : EGC.
Soedirman, Iskandar dkk. 2010. Efek Penambahan Polivinil Pirolidon Terhadap
Disolusi Tablet Parasetamol. Purwokerto : Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Sulaiman, T. N. S. 2007. Teknologi dan Formulasi Sediaan Tablet. Yogyakarta :
Pustaka Laboratorium Teknologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM.
UPSBDB. 2012. Uttar Pradesh : Domestik Animal Diversity. India : Uttar Pradesh
State Biodiversity Board.
Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Wade, Ainley dan Paul J. Weller. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients
Second Edition. London : The Pharmaceutical Press.
Wolf, F. A. de. 2003. Collagen and Gelatin, Progress in Biotechnology Volume 23,
Chapter V. Di dalam W.Y. Aalbersberg dkk. (ed). Industrial Proteins in
Perspective. Elsevier.
Yuliani. 2014. Analisis Rendemen dan Sifat Fisika-Kimia Gelatin Kulit Ikan
Tenggiri (Acanthocybium solandri) yang Diproduksi dengan Metode Asam.
Kalimantan Timur: ISBN: 978-602-19421-0-9.
Zilhadia, et. al. 2018. Characterization and Functional Properties of Gelatin
Extracted from Goatskin. Jakarta : International Food Research Journal
25(1): 275-281.
55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Gambar Alat-alat dan Bahan-bahan Penelitian
Kambing Etawah Lembaran Gelatin
Mesin Cetak Tablet Single Punch
Manesty F3
Punch dan Die
Alat Uji Disolusi Tipe Dayung Spektrofotometer UV-VIS
57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Data Evaluasi Distribusi Ukuran Partikel Granul
Lampiran 3. Data Evaluasi Kompresibilitas Granul
Lampiran 4. Data Evaluasi Kecepatan Alir, Sudut Diam, dan Kadar Lembab Granul
58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Data Evaluasi Keseragaman Bobot Tablet
Lampiran 6. Data Evaluasi Keseragaman Ukuran Tablet
59 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Data Evaluasi Kekerasan Tablet
Lampiran 8. Data Evaluasi Kerapuhan Tablet
Lampiran 9. Data Evaluasi Waktu Hancur Tablet
60 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Standar dan Sampel Uji Disolusi
Konsentrasi sampel = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑔)
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑢𝑚 (𝑚𝑙) =
500 𝑚𝑔
900 𝑚𝑙 = 0,556 mg/ml = 555,56 µg/ml
Agar konsentrasi standar sama dengan konsentrasi sampel, maka dalam labu ukur
100 ml dilarutkan parasetamol standar sebanyak :
Jumlah parasetamol standar = Konsentrasi sampel (mg/ml) × volume pelarut (ml)
= 0,556 mg/ml × 100 ml = 55,56 mg
Pengenceran Sampel → 1 ml . 555,56 µg/ml = 50 ml . x µg/ml
x = 11,112 µg/ml
Pengenceran Standar → 1 ml . 555,56 µg/ml = 50 ml . x µg/ml
x = 11,112 µg/ml
Lampiran 11. Data Evaluasi Disolusi Tablet
Lampiran 12. Data Statistika Evaluasi Kekerasan Tablet
Perbandingan Variasi Kosentrasi Gelatin Kulit Kambing Etawah terhadap
Kekerasan Tablet
Uji Normalitas Uji Homogenitas
Uji ANOVA One-Way
61 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Uji Post Hoc - LSD
Perbandingan Variasi Kosentrasi Gelatin Sapi terhadap Kekerasan Tablet
Uji Normalitas Uji Homogenitas
Uji Kruskal Wallis
Uji Post Hoc – Mann Whitney
PI-PII PII-PIII PI-PIII
Perbandingan Kekerasan Tablet yang Menggunakan Gelatin Kulit Kambing
Etawah dan Gelatin Sapi pada Konsentrasi 2%
62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perbandingan Kekerasan Tablet yang Menggunakan Gelatin Kulit Kambing
Etawah dan Gelatin Sapi pada Konsentrasi 3%
Perbandingan Kekerasan Tablet yang Menggunakan Gelatin Kulit Kambing
Etawah dan Gelatin Sapi pada Konsentrasi 4%
Lampiran 13. Data Statistika Evaluasi Waktu Hancur Tablet
Perbandingan Variasi Kosentrasi Gelatin Kulit Kambing Etawah terhadap Waktu
Hancur Tablet
Uji Normalitas Uji Homogenitas
Uji Kruskal Wallis
Uji Post Hoc – Mann Whitney
UI-UII UII-UIII UI-UIII
63 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perbandingan Variasi Kosentrasi Gelatin Sapi terhadap Waktu Hancur Tablet Uji Normalitas Uji Homogenitas
Uji Kruskal Wallis
Uji Post Hoc – Mann Whitney
PI-PII PII-PIII PI-PIII
Perbandingan Waktu Hancur Tablet yang Menggunakan Gelatin Kulit Kambing
Etawah dan Gelatin Sapi pada Konsentrasi 2%
Perbandingan Waktu Hancur Tablet yang Menggunakan Gelatin Kulit Kambing
Etawah dan Gelatin Sapi pada Konsentrasi 3%
Perbandingan Waktu Hancur Tablet yang Menggunakan Gelatin Kulit Kambing
Etawah dan Gelatin Sapi pada Konsentrasi 4%
64 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Data Statistika Evaluasi Disolusi Tablet
Perbandingan Variasi Kosentrasi Gelatin Kulit Kambing Etawah terhadap Disolusi
Tablet
Uji Normalitas Uji Homogenitas
Uji ANOVA One-Way
Uji Post Hoc – LSD
Perbandingan Variasi Kosentrasi Gelatin Sapi terhadap Disolusi Tablet
Uji Normalitas Uji Homogenitas
65 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Uji ANOVA One-Way
Uji Post Hoc – LSD
Perbandingan Disolusi Tablet yang Menggunakan Gelatin Kulit Kambing Etawah
dan Gelatin Sapi pada Konsentrasi 2%
Perbandingan Disolusi Tablet yang Menggunakan Gelatin Kulit Kambing Etawah
dan Gelatin Sapi pada Konsentrasi 3%
Perbandingan Disolusi Tablet yang Menggunakan Gelatin Kulit Kambing Etawah
dan Gelatin Sapi pada Konsentrasi 4%
66 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Certificate of Analysis (COA) Parasetamol
67 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 16. Certificate of Analysis (COA) Amylum
68 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Certificate of Analysis (COA) Lactose Monohydrate
69 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18. Certificate of Analysis (COA) Gelatin Sapi
70 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 19. Certificate of Analysis (COA) Sodium Starch Glycolate
71 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 20. Certificate of Analysis (COA) Magnesium Stearate
72 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 21. Certificate of Analysis (COA) Colloidal Silicon Dioxide
73 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 22. Sertifikat Halal Gelatin Sapi