1
PROPOSAL PENELITIAN
PENGARUH SUHU TERHADAP NILAI DIFUSIVITAS PANAS DAN
KONDUKTIVITAS PANAS PADA TOMAT (Solanum lycopersicum L)
Diusulkan oleh :
YUNI SATRIA NINGSIH
NIM. 01959/2008
PROGRAM STUDI FISIKA
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013
2
A. Judul Penelitian
Pengaruh Suhu Terhadap Nilai Difusivitas Panas dan Konduktivitas
Panas pada Tomat (Solanum lycopersicum L).
B. Bidang Kajian
Fisika Material dan Biofisika
C. Pendahuluan
a. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki kekayaan alam yang
melimpah pada sumber daya alam hayati, seperti halnya pada bidang
pertanian. Kekayaan ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
berbagai macam keperluan, antara lain sebagai bahan pangan dan obat-
obatan. Adapun hasil dari beberapa produk pertanian ini berupa buah-buahan
dan sayur-sayuran. Kebutuhan akan buah-buahan dan sayur-sayuran
dikalangan masyarakat Indonesia semakin lama semakin meningkat, hal ini
disebabkan karena sangat pentingnya mengkonsumsi buah-buahan dan juga
sayur-sayuran. Meningkatnya kebutuhan buah-buahan ini disamping karena
jumlah penduduk yang terus meningkat juga karena meningkatnya kesadaran
masyarakat akan arti gizi dan peranan gizi bagi kesehatan (Anggarwati,
1986). Kebutuhan untuk mengkonsumsi buah-buahan dan juga sayur-sayuran
juga semakin meningkat seiring dengan adanya slogan “ 4 sehat 5 sempurna ”
yang kian menggema sehingga kebutuhan akan buah dan sayur meningkat
pula. Dengan mencukupi kebutuhan pangan akan buah dan sayur sudah
3
barang tentu juga mencukupi kebutuhan tubuh seperti vitamin, protein,
mineral dan juga karbohidrat.
Salah satu jenis tanaman hasil pertanian yang sejak lama hingga kini
masih sangat dibutuhkan di semua kalangan masyarakat diantaranya tomat.
Dimana tomat memiliki nama latin “Solanum lycopersicum L”, yang
merupakan tanaman buah dan juga sayuran. Didalam masyarakat, tomat
hampir ditemui disetiap makanan seperti jus, bumbu masakan, garnis dan
sebagai buah. Kebutuhan akan tomat semakin lama kian meningkat, hal
tersebut dikarenakan tomat memiliki kandungan yang sangat penting bagi
tubuh, diantaranya vitamin C dan A (Mumtazanas, 2007). Hal diatas
berdasarkan dengan data pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Data Peningkatan Hasil Panen Tomat di Provinsi Sumatera Barat
Tahun Hasil Panen ( Ton )
1998 14.148
2007 25.577
2008 30.793
2009 33.842
2010 49.172
2011 58.078
Sumber :BPS Provinsi Sumbar dan Dinas Pertanian dan Pangan
Dilihat dari data diatas, dengan semakin meningkatnya hasil panen
tomat setiap tahunnya di Provinsi Sumatera Barat, maka semakin tinggi pula
permasalahan yang akan timbul, seperti halnya sering terjadi kerusakan pada
4
penanganan pascapanen terutama selama proses pengangkutan dan
penyimpanannya (Santoso, 2011), namun akibat penanganan pasca panen
yang tidak tepat, maka nilai ekonomisnya akan turun (Setiadi, 2000). Dari
kedua hal tersebut yang kerap kali menjadi hambatan dan permasalahan
dalam penanganannya dilapangan adalah pada saat proses penyimpanan.
Lamanya proses penyimpanan pada tomat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti :
1. Suhu dan tekanan
2. Konsentrasi dan pH
3. Tingkat kelembaban dan kadar air (Ginting, 2008)
Jika dilihat dari beberapa faktor di atas, suhu memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap lamanya proses penyimpanan sekaligus
mempertahankan kualitas produk hasil pertanian (Pantastico, 1975).
Kerusakan yang terjadi pada buah yang telah dipanen, disebabkan karena
organ panenan tersebut masih melakukan proses metabolisme dengan
menggunakan cadangan makanan yang terdapat dalam buah. Berkurangnya
cadangan makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah
dari pohonnya, sehingga mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah dan
mempercepat senesen. Sedangkan tingkat kerusakan buah dipengaruhi oleh
difusi gas ke dalam dan ke luar buah yang terjadi melalui lentisel yang
tersebar di permukaaan buah. Perlambatan proses tersebut tentunya secara
teoritis dapat pula dilakukan sehingga dapat memperlambat laju perusakan (
Santoso, 2011).Dengan mengutamakan kondisi suhu yang stabil pada saat
5
penyimpanan merupakan suatu upaya yang dapat menekan laju perusakan dan
penuaan pada tomat.Menurut Akarnine dan Kitagawa (1963) dalam
Pantastico (1975), suhu tinggi merusak mutu simpan buah-buahan. Suhu
tinggi hasil panen tidak dapat dihindarkan terutama apabila pemanenan di
daerah tropika (Setiyo, 1996). Oleh karena itu suhu dalam penyimpanan
tomat jangan sampai terlalu tinggi bila perlu diusahakan dalam kondisi
dingin. Lama penyimpanan pada suhu dingin (refrigeration) tidak
berpengaruh secara linear terhadap kadar air dan pH dari buah tomat (
Ginting, 2008).
Terdapat anggapan bahwa penyimpanan dingin akan mempercepat
kerusakan setelah buah-buah dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Hal ini
tidak benar kecuali tempat atau ruang simpan dingin kondisinya lewat batas
(suhu terlalu rendah atau kelembaban terlalu tinggi) terutama bagi komoditi
yang sangat peka terhadap suhu dingin (Santoso, 2011). Di udara terbuka
proses pemasakan dan sekaligus penuaan berjalan cepat sehingga kerusakan
segera berlangsung. Pada suhu dingin proses tersebut dihambat sehingga
umur buah lebih panjang. Pada suhu diatas 15 oC aktivitas biologis buah
meningkat dengan tajam, dengan demikian pematangan menjadi cepat dan
umur simpan buah menurun (Setiyo, 1996). Pendinginan tomat selama
penyimpanan mutlak diperlukan, sehingga umur simpan dapat diperpanjang.
Perpindahan panas selama pendinginan menjadi problem yang harus
dipecahkan terutama mencari data awal tentang konduktifitas serta difusivitas
panas buah ini (Setiyo, 1996).
6
Nilai difusivitaspanas bahan merupakan salah satusifat
panasyangdibutuhkan untukmenduga laju perubahan suhu bahansehingga
dapat ditentukan waktu optimum yang dibutuhkan dalamproses pengolahan,
pengeringan atau pendinginan (A. Kamaruddin dan Y. Sagara, 1992). Dengan
mengetahuiwaktu opitimum tersebut, selain dapatdihindarkan
terjadinyakerusakanbahan juga dapat menghemat energi (L.P Manalu dan A.
Kamaruddin, 1998). Untuk menentukan nilai difusivitas dari suatu benda
dapat diketahui secara tidak langsung dengan berdasarkan nilai konduktifitas
yang terukur dari tomat.
Konduktivitas panas adalah sifattermal suatu benda untuk merambatkan
panas dalam suatu unit waktumelalui luas penampang tertentu yang
diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu (L.P Manalu dan A. Kamaruddin,
1998). Untuk mengetahui nilai konduktifitas tomat dapat dilakukan secara
langsung dengan melakukan percobaan menggunakan alat Termal
Conductivity Meter. Jadi dapat disimpulkan bahwa suhu sangat
mempengaruhi nilai konduktivitas dan nilai difusivitaspada tomat.
Dengan mengetahui pengaruh suhu terhadap nilai difusivitas panas dan
konduktivitas panas pada tomat kita dapat menentukan suhu optimum untuk
meningkatkan lamanya proses penyimpanan sekaligus mempertahankan
kualitas tomat tersebut. Dari beberapa informasi yang didapat, belum ada
penelitian yang membahas tentang pengaruh suhu terhadap nilai difusivitas
panas dan konduktivitas panas pada tomat (Solanum lycopersicum L). Maka
dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
7
suhu terhadap nilai difusivitas panasdan konduktivitas panas pada
tomat (Solanum lycopersicum L)”.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, suhu merupakan salah satu faktor
yangmemiliki peranan penting terhadap lamanya proses penyimpanan
danmempertahankan kualitas tomat. Maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan yaitu bagaimana pengaruh suhu terhadap nilai difusitivitas
panas dan konduktivitas panas pada tomat.
c. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini hanya membahas tentang
pengaruh suhu terhadap nilai difusitivitas panas dan konduktivitas panaspada
tomat.
d. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap nilai difusivitas panas
pada tomat.
2. Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap nilai konduktivitas
panas pada tomat.
3. Dapat menentukan suhu optimum dalam proses penyimpanan
tomat untuk jangka waktu yang cukup lama.
8
4. Mengetahui suhu yang lebih spesifik dalam penyimpanan tomat
berdasarkan nilai difusivtas panas dan nilai konduktivitas panas
pada tomat tersebut.
5. Melihat hubungan antara nilai difusivitas panas dengan nilai
konduktivitas panas pada tomat.
e. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi,
diantaranya:
1. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya petani
tentang bagaimanacara memperpanjang waktu penyimpanan tomat
berdasarkan suhu optimumnya.
2. Juga dapat diaplikasikan langsung kepada para petani dan
pedagang tomat tentang bagaimana cara menggunakan suhu yang
spesifik dalam menyimpan tomat untuk dapat mempertahankan
kualitasnya dengan waktu yang cukup lama.
3. Mengetahui pengaruh suhu terhadap nilai difusivitas panas dan
nilai konduktifitas panas pada tomat.
4. Menjadikan hasil penelitian “Pengaruh suhu terhadap nilai
difusivitas panas dan nilai konduktivitas panas pada tomat“ ini
sebagai pedoman ataupun acuan untuk penelitian selanjutnya.
5. Bagi penulis merupakan salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan studi Strata-1 (satu) Material Program Studi Fisika
di FMIPA Universitas Negeri Padang.
9
D. Kajian Pustaka
a. Tomat
1. Botani Tanaman
a ) Taksonomi Tanaman Tomat (Solanum lycopersicum L)
Klasifikasi dari tumbuhan tomat adalah :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae (suku terung-terungan)
Genus : Solanum
Spesies : Solanum lycopersicum L
Sinonim : Terong kaluwat, Kemir, Leunca komir, Kamante
(Plantamor.com)
10
Gambar 1. Tomat (Solanum lycopersicum L) (Mumtazanas.com)
b ) Morfologi Tanaman
Tomat berasal dari Amerika tropis, ditanam sebagai tanaman
buah di ladang, pekarangan, atau ditemukan liar pada ketinggian 1 -
1600 m dpl.Tanaman ini tidak tahan hujan, sinar matahari terik, serta
menghendaki tanah yang gembur dan subur.
Tomat merupakan tanaman herba semusim yang tumbuh tegak
bersandar pada tanaman lain dengan tinggi berkisar antara 0,5- 2,5 m
dan bercabang banyak, berambut, dan berbau kuat. Batang bulat,
menebal pada buku-bukunya, berambut kasar warnanya hijau
keputihan. Daun majemuk menyirip, letak berseling, bentuknya
bundartelursampai memanjang, ujung runcing, pangkal membulat,
helaian daun yang besar tepinya berlekuk, helaian yang lebih kecil
tepinya bergerigi, panjang 10 - 40 cm, warnanya hijau muda (Sutini,
2008).
11
2. Kandungan Kimia
Buah tomat mengandung alkaloid solanin (0,007%), saponin,
asam folat, asam malat, asam sitrat, bioflavonoid (termasuk rutin),
protein, lemak, gula (glukosa, fruktosa), adenin, trigonelin, kholin,
tomatin, mineral (Ca, Mg, P, K, Na, Fe, sulfur, chlorine), vitamin
(B1, B2, B6, C, E, likopen, niasin), dan histamin. Rutin dapat
memperkuat dinding pembuluh darah kapiler. Klorin dan sulfur
adalah trace element yang berkhasiat detoksikan. Klorin alamiah
menstimulir kerja hati untuk membuang racun tubuh dan sulfur
melindungi hati dari terjadinya sirosis hati dan penyakit hati lainnya.
Likopen adalah pigmen kuning beta karoten pada tomat. Tomat
berkhasiat sebagai zat antibiotik. Daun mengandung pektin, arbutin,
amigdalin, dan alkaloid (www.iptek.net.id).
b. Suhu
Tomat merupakan tanaman hasil pertanian yang sangat mudah untuk
didapatkan, hal tersebut dikarenakan selain mudah ditanam tanaman ini juga
memiliki perawatan yang tidak begitu rumit selama proses penanaman.
Namun buah tomat juga sangat sering di jumpai di pasaran dalam kondisi
rusak. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman dan kehati-hatian
dalam penanganannya pada saat pascapanen buah yaitu pada proses
penyimpanannya. Salah satu teknik pascapanen untuk mempertahankan mutu
adalah penyimpanan pada suhu rendah (Roiyana dkk, 2011). Perlakuan pada
suhu rendah dapat memperpanjang umur simpan buah. Suhu ini merupakan
12
suhu optimum agar buah tetap dalam kondisi baik walaupun lama disimpan
(Darsana dkk, 2003). Lama penyimpanan pada suhu dingin (refrigeration)
tidak berpengaruh secara linear terhadap kadar air dan pH dari buah tomat
(Ginting, 2008).
Di udara terbuka proses pemasakan dan sekaligus penuaan berjalan cepat
sehingga kerusakan segera berlangsung. Pada suhu dingin proses tersebut
dihambat sehingga umur buah lebih panjang. Pada suhu diatas 15 oC aktivitas
biologis buah meningkat dengan tajam, dengan demikian pematangan
menjadi cepat dan umur simpan buah menurun (Setiyo, 1996). Penyimpanan
pada suhu rendah dapat memperpanjang masa simpan hasil tanaman,
mempertahankan kondisi segarnya dan mencegah perubahan yang tidak
dikehendaki (Roiyana dkk, 2011). Lamanya penyimpanan tiap hasil tanaman
berbeda-beda (Rina dan Asiani, 1992).
Pantastico (1975) menyatakan bahwa suhu tinggi dapat merusak mutu
simpan buah-buahan. Suhu tinggi hasil panen tidak dapat dihindarkan
terutama apabila pemanenan di daerah tropika (Setiyo, 1996). Oleh sebab itu
suhu untuk penyimpanan tomat jangan sampai terlalu tinggi bila perlu
diusahakan dalam kondisi dingin. Suhu tinggi sering kali menjadi masalah
yang lebih kritis dari pada suhu rendah. Kerusakan akibat panas terjadi karena
tidak tersedianya sejumlah air dalam tubuh untuk proses pendinginan,
sehingga kerusakan akibat suhu tinggi berkaitan erat dengan kekurangan air.
Akan tetapi juga harus diketahui bahwa penyimpanan pada suhu rendah
juga memiliki efek yang negatif. Menurut Pantastico (1993), kerusakan buah
13
(chilling injury) terjadi jika suhu yang digunakan terlalu rendah. Chilling
injuries umumnya terjadi pada produk tropis yang disimpan diatas suhu beku
dan diantara 5-15oC tergantung sensivitas komoditi. Seperti halnya tomat
sangat sensitif dan akan menunjukkan tanda-tanda kerusakan jika berada pada
suhu dibawah 10-15oC. Munculnya tanda-tanda kerusakan seperti terjadinya
klorosis, browning dan nekrosis karena suhu rendah ini tergantung pada
spesies, umur, dan lamanya periode suhu rendah. Jadi, penyimpanan pada
suhu rendah yang cukup lama juga sangat berpengaruh terhadap kualitas
buah.
Ashari (1995) menyatakan bahwa pada penyimpanan suhu rendah
mengalami penurunan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penyimpanan pada suhu tinggi, hal ini disebabkan karena adanya peningkatan
enzim asam askorbat oksidase yang berperan dalam perombakan vitamin C
akibat pembekuan pada suhu dingin. Kerusakan hasil panen yang disebabkan
karena suhu beku terjadi karena di dalam jaringan terbentuk lapisan es.
Kerusakan tersebut menyebabkan jaringan mudah dipengaruhi oleh udara
sehingga memungkinkan vitamin C rusak. Biasanya kehilangan vitamin C
terjadi bila jaringan rusak dan terkena udara (Roiyana dkk, 2011).
Penyimpanan pada suhu rendah mengakibatnya respirasi menurun, dan
masa simpan dapat diperpanjang (Roiyana dkk, 2011). Menurut Winarno
(1996), vitamin C mudah terdegradasi, baik oleh temperatur, cahaya maupun
udara sekitar sehingga kadar vitamin C berkurang. Proses kerusakan atau
penurunan vitamin C ini disebut oksidasi.
14
Dengan adanya interaksi suhu dan lama penyimpanan berpengaruh pada
luas permukaan dan vitamin C. Semakin tinggi suhu dan lama penyimpanan
menyebabkan semakin luas perusakan permukaan (Roiyana dkk, 2011).
Adapun hubungan antara kandungan vitamin C dengan pengaruh terhadap
luas perusakan permukaan ataupun lamanya umur penyimpanan disebabkan
oleh kinerja vitamin C yang juga sering disebut asam askorbat yang berfungsi
sebagai zat antioksidan (zat pencegah penuaan).
Berikut akan dijelaskan tentang pengaruh-pengaruh suhu terhadap nilai
difusivitas panas, konduktivitas panas dan pada proses penyimpanan.
1. Pengaruh Suhu terhadap Nilai Difusivitas Panas
Berdasarkan dari hasil penelitian (T.S. Hutabarat, 2001) bahwa pengaruh
suhu berbanding lurus dengan nilai koefisien difusivitas dan kadar air, dimana
semakin besar suhu yang digunakan pada suatu bahan maka semakin besar
pula nilai koefisien difusivitas yang didapatkan.
Menurut T.S. Hutabarat (2001) nilai koefisien difusivitas panas bahan
juga sangat dipengaruhi dengan adanya ion-ion yang terkandung dalam bahan
itu sendiri. Seperti halnya pada buah tomat yang didalamnya banyak
mengandung anion dan juga kation seperti (Ca, Mg, P, K, Na, Fe, sulfur,
chlorine) yang mana ini sangat berpengaruh terhadap nilai difusivitas panas
dan juga nilai konduktivitas panas.
2. Pengaruh Suhu terhadap Nilai Konduktivitas Panas
Konduktivitas thermal bahan (k) adalah proses perpindahan panas secara
konduksi atau besarnya laju pindah panas persatuan waktu dalam suatu unit
15
operasi. Nilai ini spesifik untuk tiap jenis bahan. Nilai k akan berbeda untuk
bahan yang berbeda disebabkan pada komponen yang terkandung di dalam
bahan berbeda. Nilai k juga dipengaruhi oleh suhu, sehingga nilai k bahan
pada berbagai suhu sangat penting diketahui (Jassin, 2010).
3. Pengaruh Suhu terhadap Proses Penyimpanan
Prinsip dasar penyimpanan pada suhu rendah :
• Menghambat pertumbuhan mikroba
• Menghambat reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi dan biokimiawi
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan,
antara lain kerusakan fisiologis, kerusakan enzimatis maupun kerusakan
mikrobiologis. Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara
pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah
satu cara pengawetan yang tertua.
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata
yang digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan
biasanya antara – 1ºC sampai + 4ºC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri
dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan
mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu,
tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa dilakukan
di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu –2ºC
sampai + 16ºC.
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan,
jadi bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat
16
dilakukan pada suhu kira-kira –17 ºC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini
pertumbuhan bakteri sama sekali berhenti. Pembekuan yang baik biasanya
dilakukan pada suhu antara – 12 ºC sampai – 24 ºC. Dengan pembekuan,
bahan akan tahan sampai bebarapa bulan, bahkan kadang-kadang beberapa
tahun.
Pada umumnya proses-proses metabolisme (transpirasi atau penguapan,
respirasi atau pernafasan, dan pembentukan tunas) dari bahan nabati seperti
sayur-sayuran dan buah-buahan atau dari bahan hewani akan berlangsung
terus meskipun bahan-bahan tersebut telah dipanen ataupun hewan telah
disembelih. Proses metabolisme ini terus berlangsung sampai bahan menjadi
mati dan akhirnya membusuk. Suhu dimana proses metabolisme ini
berlangsung dengan sempurna disebut sebagai suhu optimum. Penggunaan
suhu rendah dalam pengawetan makanan tidak dapat mematikan bakteri,
sehingga pada waktu bahan beku dikeluarkan dan dibiarkan hingga mencair
kembali (“thawing”), maka pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba
dapat berlangsung dengan cepat. Penyimpanan dingin dapat menyebabkan
kehilangan bau dan rasa beberapa bahan bila disimpan berdekatan.
Misalnya :
• Mentega dan susu akan menyerap bau ikan dan bau buah-buahan
• Telur akan menyerap bau bawang
Bila memungkinkan sebaiknya penyimpanan bahan yang mempunyai bau
tajam terpisah dari bahan lainnya, tetapi hal ini tidak selalu ekonomis. Untuk
17
mengatasinya, bahan yang mempunyai bau tajam disimpan dalam kedaan
terbungkus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendinginan yaitu :
• Suhu
• Kualitas bahan mentah
Sebaiknya bahan yang akan disimpan mempunyai kualitas yang baik
• Perlakuan pendahuluan yang tepat
Misalnya pembersihan/ pencucian atau blansing
• Kelembaban
Umumnya RH dalam pendinginan sekitar 80 – 95 %. Sayur-sayuran
disimpan dalam pendinginan dengan RH 90 – 95 %
• Aliran udara yang optimum
Distribusi udara yang baik menghasilkan suhu yang merata di
seluruh tempat pendinginan, sehingga dapat mencegah pengumpulan
uap air setempat (lokal).
Keuntungan penyimpanan dingin :
Dapat menahan kecepatan reaksi kimia dan enzimatis, juga
pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang diinginkan.
Misalnya pada pematangan keju.
Mengurangi perubahan flavor jeruk selama proses ekstraksi dan
penyaringan.
Mempermudah pengupasan dan pembuangan biji buah yang akan
dikalengkan.
18
Mempermudah pemotongan daging dan pengirisan roti.
Menaikkan kelarutan CO2 yang digunakan untuk “soft drink”.
Air yang digunakan didinginkan lebih dahulu sebelum
dikarbonatasi untuk menaikkan kelarutan CO2.
Kerugian penyimpanan dingin :
Terjadinya penurunan kandungan vitamin, antara lain vitamin C.
Berkurangnya kerenyahan dan kekerasan pada buah-buahan dan
sayur-sayuran.
Perubahan warna merah daging.
Oksidasi lemak.
Pelunakan jaringan ikan.
Hilangnya flavor.
c. Sifat Fisik Bahan
Sifat fisik bahan seperti dimensi, densitas, panas laten, panas jenis dan
sifat termal (konduktivitas termal, difusivitas termal, dan emisivitas termal)
serta panas spesifik sangat signifikan berpengaruh dalam problem pindah
panas pada bahan hidup seperti produk pangan. Data sifat fisik bahan tersebut
sangat diperlukan dalam operasi pada industri pengolahan pangan guna
pengembangan model termal untuk mendapatkan hasil yang akurat secara
numerik dan juga untuk memprediksi atau mengontrol fluks panas dalam
bahan makanan selama proses pengolahan seperti pemanasan, pembekuan,
sterilisasi, pengeringan atau pasteurisasi (Jassin, 2010).
19
Beberapa peneliti termasuk Hill, et al. (1967), Qashou, et al. (1972), Choi
dan Okos (1983), Sweat (1975) dan Rahman (1993) telah menekankan
perlunya mengetahui sifat termal produk pangan secara umum. Properti ini
sangat tergantung pada karakteristik fisik makanan seperti suhu, ukuran,
bentuk, keadaan (beku atau dicairkan), komposisi parameter (kadar air,
kandungan lemak, protein, dan abu) serta dari bentuk susunan serat (Jassin,
2010).
Berikut beberapa sifat fisik bahan :
1. Panas Jenis
Panas jenis adalah jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan
suhu 1 kg bahan sebesar 1oC. Pengetahuan tentang panas jenis sangat
diperlukan untuk perhitungan proses-proses pemanasan atau
pendinginan. Panas jenis bahan-bahan pertanian sangat tergantung pada
lengas bahan. Produk yang mempunyai lengas rendah, cenderung
memiliki panas jenis yang rendah (Bambang, 2003). Panas jenis (Cp)
bahan pangan adalah jumlah panas yang dibutuhkan untuk meningkatkan
temperatur satu satuan kuantitas bahan pangan sebesar satu derajat dikali
bobot produk dikali perubahan temperatur yang diinginkan (Jassin,
2010). Informasi tentang panas spesifik sangat penting, apabila wujud
dari bahan pangan mengalami perubahan, maka nilai dari variable panas
spesifik harus dimasukan dalam penghitungan beban panas (Jassin,
2010). Besaran ini dipakai untuk menduga jumlah energy (Q) yang
diperlukan bila suhu bahan berubah satu satuan (∆T).
20
Pada suhu kamar, panas jenis suatu bahan yang mengandung air
dapat dihitung berdasarkan nilai-nilai panas jenis dari bahan kering dan
airnya :
11 )1( UcUcc wd
Dimana Cd panas spesifik bahan kering, Cw panas spesifik air, dan U1
adalah kadar lengas bahan dihitung dengan basis basah (Purwantana,
2003).
Panas jenis suatu produk dapat diperkirakan dengan berbagai metode
Dickerson (1969), melakukan pendugaan panas jenis pada produk
berkadar air tinggi.
Cp = 1.675 + 0.025 (kadar air, %)
Penggunaan ini digunakan pada berbagai produk daging. Persamaan
ini cukup konsisten dalam selang 26- 100% kadar air. Pendugaan ini juga
digunakan pada sari buah yang berkadar air lebih besar dari 50%.
Persamaan Siebel (1892) adalah:
Cp = 0.837 + 0.034 (kadar air, %)
Persamaan Siebel hanya terbatas pada produk pangan berkadar air
tinggi. Persamaan lain yang lebih bergantung pada panas jenis komponen
produk ditulis oleh Charm (1978), yaitu:
Cp = 2.094 Xf + 1.256 Xs + 4.178 Xm
21
dimana nilai 2.094; 1.256 dan 4.187 adalah panas jenis lemak, bahan
padat dan air pada produk. Konsep ini dikembangkan lebih jauh untuk
memasukan panas jenis beberapa komponen dasar dari produk untuk
menghasilkan persamaan:
Cp = 1.424 Xc + 1.549 Xp + 1.675 Xf + 0.837 Xa + 4.187 Xm
dimana nilai 1.675 digunakan untuk panas spesifik lemak padat,
sedangkan nilai 2.094 adalah untuk lemak cair (Heldman, 1981).
Panas jenis juga dapat ditentukan dengan metode campuran (method
of mixtures)(Mohsenin, 1980).Metode ini banyak dipakai karena caranya
sederhana yaitu dengan mernasukkan bahan yang sudah diketahui
masanya (Ws) kedalam kalorimeter berisi air yang sudah diketahui berat
(Ww) dankapasitas panasnya (Cw). Pengukuran dengan metode
campuran didasarkan pada hokum keseimbangan panas dalam
calorimeter yang secara matematis ditulis sebagai berikut ( Mohsenin,
1980) :
Cs . Ws ( Ta – Te ) = Cw. Ww ( Te– To) + Cc . Wc( Te–To)
Panas jenis dan masa calorimeter dianggap konstan sehingga perk
aliannya merupakan kapasitas panaskalorimeter. Persamaan di atas dapat
ditulis sebagai berikut ( Mohsenin, 1980 ):
( ) ( )
( )
Kapasitas panas kalorimeter (Hc) dapat ditentukan dengan
mencampurkan sejumlah air yang berbeda suhu awalnya dalam
22
kalorimeter hingga dicapai suhu keseimbangan. Persamaan untuk
menentukan kapasitas panas Hc (Mohsenin, 1980) :
( ) ( )
( )
dimana:
Hc = kapasitas panas kalorimet( kJ/oC )
Wh = massa air panas ( kg )
We = massa air dingin ( kg )
Ta = suhu awal airpanas ( oC )
Te = suhu keseimbangan ( oC )
To = suhu awal air dingin ( oC )
Cs = panas jenis bahan ( kJ/kg oC )
Ws = massa bahan ( kg )
Ce = panas jenis calorimeter ( kJ/kg °C )
2. Konduktivitas Panas
Persamaan konduktivitas termal produk, pada umumnya
menganggap bahwa produk merupakan sistem dengan dua fase dan
memasukan pengaruh konduktivitas termal air dan bahan padat pada
produk. Persamaan tersebut telah digunakan secara meluas untuk
menduga perubahan konduktivitas termal produk selama perubahan fase,
misalnya selama pembekuan. Konduktivitas termal air berubah nyata
sebagai hasil perubahan cair menjadi padat. Riedel (1949) telah
mengajukan persamaan empiris untuk sari buah dan larutan gula, yaitu:
23
k = (326.575 + 1.0412 T – 0.00337 T2) (0.196 + 0.009346 (%air)) 10
-3
dimana suhu (T) dalam ºC ( Heldman, 1981 )
Konduktivitas panas adalah sifat termal suatu benda untuk
merambatkan panas dalam suatu unit waktu melalui luas penampang
tertentu yang diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu. Untuk bahan
hayati, besarnya nilai konduktivitas panas (k) banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti struktur sel/fisik, komposisi kimia bahan, dan
kandungan air. Variasi nilai konduktivitas panas bahan hayati lebih besar
dibandingkan bahan non hayati (Mohsenin, 1980). Dalam percobaan ini
konduktivitas panas tomat diukur langsung dengan menggunakan alat
conductivitymeter, sedangkan secara tidak langsung konduktivitas
panasnya dihitung dengan persamaan Sweat (Heldman dan R.P Singh,
1981) sebagai berikut :
k = 0,l48 + 0.00493 M
dimana M adalah kadar air (% bb )
Laju atau kecepatan pemanasan dan pendinginan suatu bahan, sangat
tergantung pada konduktivitas termal atau penghantaran panas.
Konduktivitas termal tergantung pada kandungan lengas dan suhu, dan
untuk bahan-bahan berongga (porous). Bahan-bahan berserat memiliki
arah aliran panas, sejajar atau memotong serat (Purwantana, 2003).
Selain dengan pengukuran, konduktivitas termal bahan juga dapat
diprediksi dengan menggunakan model empiris. Hubungan teoritis dan
empiris yang digunakan dalam merancang proses panas menggunakan
24
sifat-sifat thermal dari bahan yang digunakan harus diketahui, namun
informasi sifat-sifat ini masih terbatas, dan yang tersedia diperoleh
dengan berbagai teknik yang berbeda, serta nilai ini tidak selalu tersedia
(Jassin, 2010).
3. Difusivitas Panas
Difusivitas panas merupakan salah satu sifat termal suatu bahan
padat yang erat kaitannya dengan kemampuan penetrasi atau disipasi
termal dari suatu bahan tersebut (Abdullah, Kamarudin, 1993).
Penentuan nilai difusivitas suatu bahan dapat dilakukan secara langsung
dengan pengukuran atau secara tidak langsung dengan menggunakan
rumus dalam hubungannya dengan beberapa parameter lainnya.
Dalam hubungannya dengan sifat termal yang lain, difusivitas panas
merupakan perbandingan dari konduktivitas panas dengan kalor jenis dan
massa jenisnya, secara matematis ditulis sebagai :
............................pers.6
Keterangan :
Αα = difusivitas termal, m2/s
λp = konduktivitas termal, m2/s
ρ = massa jenis, kg/m3
Cp = kalor jenis, J/kg K
25
E. Metodologi Penelitian
a. Rancangan penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen, karena pada
penelitian ini mengkaji bagaimana pengaruh suhu terhadap nilai
Konduktivitas panas dan Difusivitas panas pada tomat.
b. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang selama 3 bulan
yang dibagi menjadi beberapa tahap :
1. Persiapan
Pada tahap persiapan dilakukan kajian kepustakaan dengan
melakukan kajian terhadap teori - teori yang mendukung.
2. Perencanaan
Pada tahap perencanaan meliputi persiapanperalatan dan
bahansertasampelyang akan digunakan.
3. Pelaksanaan
Pada tahap ini penelitian dilakukan hingga mendapatkan data
mentah yang akan diolah
4. Pengolahan data dan analisa data
Untuk mendapatkan hasil dan analisa data pada pembuatan
laporan akhir, maka dilakukan pengolahan dan analisa data, sehingga
diperoleh suatu kesimpulan.
5. Laporan akhir
26
c. Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari :
1. Variabel Bebas
Yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah suhu
yang divariasikan.
2. Variabel Kontrol
Yang menjadi variabel kontrol dalam penelitian ini adalah tomat
( Solanum lycopersicum L ).
3. Variabel Terikat
Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah nilai
kalor jenis, konduktivitas panas, difusivitas panas dan kadar air
pada tomat.
d. Prosedur Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian meliputi persiapan dari alat dan bahan yang
digunakan untuk penelitian yaitu :
a. Bahan Penelitian
1) Sampel Tomat ( Solanum lycopersicum L )
2) Aquades
3) Es Batu
b. Alat penelitian
1) Kalorimeter air
2) Thermal Conductivity Meter (Kemtherm QTM-D3)
27
3) Drying Open SS-204D
4) Timbangan type EK-1200A
5) Termometer
6) Lemari pendingin
7) Gelas ukur
8) Jangka sorong
9) dan peralatan pembantu lainnya.
e. Prosedur Percobaan
1. Penentuan Kalor Jenis (c)
Untuk menentukan kalor jenis tomat maka dilakukan langkah-
langkah sebagai berikut :
a. Kalorimeter diisi dengan air sebanyak 100 ml, kemudian
suhunya diukur dengan mengunakan termometer, dimana
suhunya disebut sebagai suhu awal (t0)
b. Memanaskan air tomat sebanyak 15 gram dan air 100 ml,
sampai suhunya mencapai 80˚C
c. Memasukan air tomat kedalam kalorimeter kemudian
diaduk sambil mengamati perubahan suhunya sampai
tidak berubah. Saat suhu tidak berubah lagi suhu ini
dicatat sebagai suhu kesetimbangan (ts)
d. Setelah selesai melakukan pengukuran maka alat-alat yang
digunakan dibilas dengan aquades dan dibersihkan
dengan serbet atau tisu sampai kering
28
2. Penentuan Konduktivitas Termal
Konduktivitas termal diukur dengan mengunakan Thermal
Conductivity meter (Kemtherm QTM-03)
Untuk menentukan konduktivitas termal tomat dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Sampel yang akan diukur ditempatkan di dalam adaptor
khusus untuk bubuk dan permukaan sampel harus rata
b. Persiapan alat, yaitu probe dihubungkan pada alat ukur,
kabel pada power supply 20 volt, kemudian nyalakan alat
selama ±30 menit untuk memanaskan alat.
c. Menyesuaikan harga konstanta K1, H1, K2, H2 dengan
harga yang tertera pada tabel probe constants card
d. Meletakkan probe diatas sampel
e. Menyesuaikan harga arus heater yang digunakan
berdasarkan konduktivitas sampel yang akan diukur
f. Menekan tombol reset, memilih mode pengukuran dan
menekan tombol start.
g. Setelah selesai melakukan pengukuran matikan power
supply
3. Penentuan Divusivitas Termal (α)
Setelah didapatkan data hasil penelitian diatas, maka nilai
divusivitas termal (α) didapatkan dengan menggunakan rumus :
29
Keterangan : α = divusivitas termal, m2/s
λp = konduktivitas termal, W/m K
ρ = massa jenis, kg/m3
cp = kalor jenis, J/kg K
f. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data dilakukan dengan menggunakan tabel dan
memplot grafik hubungan antara variabel bebas yaitu variasi suhu pada
sumbu X dengan variabel terikat yaitu nilai kalor jenis, konduktifitas panas,
divusivitas panas, dan kadar air pada sumbu Y.