PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE PENETAPAN
RESIDU KLORAMFENIKOL DALAM MADU DENGAN
BAKU INTERNAL KAFEIN MENGGUNAKAN SOLID PHASE
EXTRACTION DAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA
TINGGI
TESIS
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister dari
Institut Teknologi Bandung
Oleh
YANTI SRI SUSANTI
NIM : 20712315
(Program Studi Magister Farmasi)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015
PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE PENETAPAN
RESIDU KLORAMFENIKOL DALAM MADU DENGAN
BAKU INTERNAL KAFEIN MENGGUNAKAN SOLID PHASE
EXTRACTION DAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA
TINGGI
Oleh
YANTI SRI SUSANTI
NIM : 20712315
(Program Studi Magister Farmasi)
Institut Teknologi Bandung
Menyetujui
Tim Pembimbing
Maret 2015
Pembimbing Utama Pembimbing Serta
(Dr. Ilma Nugrahani, M.Si.) (Prof. Dr. Slamet Ibrahim S.)
Dipersembahkan untuk: Kedua orang tua, Adik-adik serta
Keluarga Tercinta
i
ABSTRAK
PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE PENETAPAN RESIDU
KLORAMFENIKOL DALAM MADU DENGAN BAKU INTERNAL
KAFEIN MENGGUNAKAN SOLID PHASE EXTRACTION DAN
KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
Oleh
Yanti Sri Susanti
NIM : 20712315
(Program Studi Magister Farmasi)
Madu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh dunia. Keamanan dari
produk tersebut harus terjamin dengan tidak adanya tambahan zat aditif serta
kandungan residu antibiotik seperti kloramfenikol. Metode untuk menetapkan
residu kloramfenikol dalam madu telah berhasil dikembangkan dan divalidasi.
Metode tersebut menggunakan teknik solid phase extraction (SPE) dengan
cartridge C18, baku internal kafein dan pengelusi etanol, di mana sebelumnya
blanko dan sampel dilarutkan terlebih dahulu dalam air. Analit diencerkan
menggunakan etanol 10 %, kemudian diuji menggunakan KCKT pada panjang
gelombang 275 nm dengan volume penyuntikan 100 μL. Fase gerak yang
digunakan adalah campuran metanol-air (22,5:77,5) dengan laju alir 1,1
mL/menit. Kolom yang digunakan adalah μ Bondapak C18 10 μm (3,9 x 300
mm). Rentang linear dari metode yang dikembangkan adalah pada konsentrasi
0,04 μg/mL sampai 0,28 μg/mL. Persamaan regresi linear adalah y = 4,911x–
0,012, koefisien korelasi (r) sebesar 0,9998 dan nilai koefisien variasi regresi
linear sebesar 0,94 %. Nilai batas deteksi dan batas kuantitasi masing-masing
sebesar 4,20 ng/mL dan 12,73 ng/mL. Simpangan baku relatif dari presisi sebesar
0,97 % dengan nilai Horrat 0,09. Presisi antar hari dilakukan sebanyak 3 kali
dengan nilai simpangan baku relatif 0,95 % dan nilai Horrat 0,09. Perolehan
kembali sampel madu menggunakan teknik spiked placebo recovery method
sebesar 96,02–102,03 %. Metode yang dikembangkan spesifik untuk
kloramfenikol dan memiliki daya pemisahan yang baik (R > 1,5). Berdasarkan
hasil tersebut, metode ini valid, spesifik dan handal. Dalam aplikasinya, analisa
dilakukan terhadap beberapa sampel madu yang diperoleh dari pasaran dengan
hasil tidak satu pun terdeteksi adanya kandungan kloramfenikol.
Kata kunci : kloramfenikol, madu, kromatografi cair kinerja tinggi, solid phase
extraction, kafein
ii
ABSTRACT
DEVELOPMENT AND VALIDATION
METHOD OF DETERMINATION OF RESIDUAL
CHLORAMPHENICOL IN HONEY WITH INTERNAL STANDARD
CAFFEINE USING SOLID PHASE EXTRACTION AND HIGH
PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY
By
Yanti Sri Susanti
NIM : 20712315
(Magister of Pharmacy Programme)
Honey was consumed by many people all over the world. Safety of these product
must be guaranteed in the absence of additives and antibiotic residues as
chloramphenicol. Method for analysis chloramphenicol residue in honey has been
successfully developed and validated. The method used solid phase extraction
techniques with C18 cartridges, internal standard caffeine, and elution of ethanol,
in which the previous blank and the sample was dissolved in water. Analyte was
diluted in 10 % ethanol, and then tested using HPLC, at maximum wavelength of
275 nm with a injection volume was 100 μL. The mobile phase was a mixture of
methanol and water with ratio (22.5:77.5) and flow rate was 1.1 mL/min. The
column used was μ Bondapak C18 10 μm (3.9 x 300 mm). The linear range was
at a concentration of 0.04 to 0.28 μg/mL. Linear regression equation was y =
4.911x–0.012 and correlation coefficient (r) was 0.9998 and coefficient variation
of linear regression was 0.94 %. The limit of detection and limit of quantitation of
sample was 4.20 ng/mL and 12.73 ng/mL respectively. The relative standard
deviation of precision was 0.97 % by value Horrat 0.09. Interday precision done 3
times and the relative standard deviation values obtained 0.95 % with the value
Horrat was 0.09. Recovery of the honey samples using techniques spiked placebo
recovery method of 96.02 to 102.03 %. The method was developed specifically
for chloramphenicol and has a good separation (R> 1.5). Based on these results,
this method was valid, robust, and specific. In its application, the analysis
conducted few samples of honey obtained from the market and none detected the
content of chloramphenicol.
Keywords : chloramphenicol, honey, high performance liquid chromatography,
caffeine
iii
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS
Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut
Teknologi Bandung dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta
ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HAKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi
pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus
disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin
Dekan Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang
berjudul “Pengembangan dan Validasi Metode Penetapan Residu Kloramfenikol
dalam Madu dengan Baku Internal Kafein menggunakan Solid Phase Extraction
dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi”. Tesis ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Farmasi di Program Studi Magister Farmasi,
Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung.
Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Ilma Nugrahani, M.Si., selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan
waktunya untuk mengarahkan, membimbing, dan memberikan nasehat.
2. Prof. Dr. Slamet Ibrahim S., DEA., selaku Pembimbing Serta atas waktu yang
diberikan dalam membimbing, mengarahkan, serta memberikan nasehat.
3. Seluruh Dosen Pengajar beserta karyawan Sekolah Farmasi ITB yang telah
membantu penulis.
4. Badan POM Republik Indonesia, pimpinan dan seluruh staf Balai Besar POM
di Bandung yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk melanjutkan
pendidikan dan memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
5. Kedua orang tua, adik-adik, dan seluruh keluarga atas semua doanya.
6. Rekan-rekan seperjuangan di KK Farmakokimia Institut Teknologi Bandung.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan tesis
ini. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi perkembangan
ilmu pengetahuan.
Bandung, Maret 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS ............................................................. iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xi
Bab I Pendahuluan ...................................................................................... 1
Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................... 4
II.1 Madu ............................................................................................. 4
II.2 Kloramfenikol .............................................................................. 6
II.3 Kafein ........................................................................................... 8
II.4 Solid Phase Extraction (SPE) ...................................................... 10
II.5 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ................................................ 12
II.6 Validasi Metoda ........................................................................... 14
II.6.1 Spesivisitas ....................................................................... 15
II.6.2 Linearitas dan Rentang ..................................................... 15
II.6.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi .................................. 16
II.6.4 Akurasi ............................................................................. 17
II.6.5 Presisi ............................................................................... 17
II.6.6 Robustness ........................................................................ 18
Bab III Metodologi Penelitian ....................................................................... 19
Bab IV Percobaan .......................................................................................... 20
IV.1 Bahan ........................................................................................... 20
IV.2 Alat ........................................................................................... 20
IV.3 Pengujian Mutu Madu .................................................................. 21
IV.3.1 Pengujian secara Organoleptik dan Mikroskopik ............ 21
IV.3.2 Keasaman ......................................................................... 21
IV.3.3 Kadar Abu ......................................................................... 21
vi
IV.3.4 Padatan yang Tidak Larut dalam Air ................................ 21
IV.3.5 Gula sebelum Inversi ........................................................ 22
IV.3.6 Sakarosa ............................................................................ 23
IV.3.7 Kadar Air ........................................................................... 23
IV.3.8 Cemaran Logam Pb, Cd, dan Hg ...................................... 25
IV.3.8.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi ............................... 25
IV.3.8.2 Penentuan Logam Pb, Cd, dan Hg dalam Madu 25
IV.3.9 Hidroksimetilfurfural (HMF) ............................................ 26
IV.4 Pengembangan dan Validasi Metode ........................................... 26
IV.4.1 Pembuatan Larutan Baku Induk Kloramfenikol dan
Baku Internal Kafein ........................................................ 26
IV.4.2 Pembuatan Baku Campur Kloramfenikol dan Baku Internal
Kafein ............................................................................... 26
IV.4.3 Pembuatan Fasa Gerak ..................................................... 27
IV.4.4 Uji Kesesuaian Sistem ...................................................... 27
IV.4.5 Validasi Metode ................................................................ 27
IV.4.5.1 Spesivisitas ......................................................... 28
IV.4.5.2 Linearitas dan Rentang ....................................... 28
IV.4.5.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi .................... 29
IV.4.5.4 Presisi Intraday dan Presisi Interday ................. 29
IV.4.5.5 Akurasi ............................................................... 29
IV.5 Penetapan Kloramfenikol pada Sampel Madu di Pasaran 30
Bab V Hasil dan Pembahasan ...................................................................... 31
V.1 Pengujian Mutu Madu .................................................................. 31
V.2 Pengembangan dan Validasi Metode Analisa ............................... 33
V.2.1 Optimasi Jenis Cartridge dan Volume Pengelusi ............. 34
V.2.2 Optimasi Konsentrasi Pelarut ........................................... 35
V.2.3 Optimasi Panjang Gelombang ........................................... 37
V.2.4 Optimasi Komposisi Fasa Gerak ...................................... 37
V.2.5 Validasi Metode ............................................................... 41
V.2.5.1 Uji Kesesuaian Sistem ........................................ 41
V.2.5.2 Spesivisitas ......................................................... 42
vii
V.2.5.3 Linearitas dan Rentang ....................................... 43
V.2.5.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi .................... 45
V.2.5.5 Presisi ................................................................. 45
V.2.5.6 Akurasi ............................................................... 46
V.2.5.7 Robustness ........................................................... 47
V.2.6 Pengujian Sampel Madu di Pasaran ................................. 47
Bab VI Kesimpulan dan Saran ...................................................................... 49
VI.1 Kesimpulan ................................................................................... 49
VI.2 Saran ........................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 50
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1. Struktur kloramfenikol ............................................................ 6
Gambar II.2. Struktur kafein ......................................................................... 9
Gambar II.3. Tahapan umum SPE ................................................................ 12
Gambar V.1. Mikroskopik madu (a) sampel a dan (b) sampel b .................. 31
Gambar V.2. Kromatogram optimasi komposisi fasa gerak metanol-air
(a) (17,5:82,5) laju alir 1,0 mL/menit (b) spike matriks
(c) (25:75) laju alir 1,0 mL/menit (d) spike matriks
(e) (22,5:77,5) laju alir 1,0 mL/menit (f) spike matriks
(g) (22,5:77,5) laju alir 1,1 mL/menit (h) spike matriks
(i) (22,5:77,5) laju alir 1,2 mL/menit (j) spike matriks .......... 40
Gambar V.3. Kromatogram uji spesivisitas (a) pelarut (b) blanko
(c) larutan baku campur (d) blanko yang di-spike ................... 43
Gambar V.4. Kurva kalibrasi kloramfenikol ................................................. 44
ix
DAFTAR TABEL
Tabel II.1. Kandungan Nutrisi dalam Madu ................................................ 5
Tabel II.2. Parameter dan Kriteria Penerimaan Uji Kesesuaian Sistem ...... 14
Tabel II.3. Rekoveri sebagai Fungsi dari Konsentrasi Analit ...................... 17
Tabel IV.1. Hubungan Volume Titrasi Natrium Tiosulfat dengan Bobot
Glukosa dan Gula Inversi ........................................................... 23
Tabel IV.2. Hubungan Indeks Bias dengan Kadar Air pada Madu .............. 24
Tabel V.1. Organoleptik Madu .................................................................... 31
Tabel V.2. Hasil Uji Kimia Mutu Madu ...................................................... 32
Tabel V.3. Jenis Cartridge SPE dan Volume Pengelusi .............................. 35
Tabel V.4. Hasil Penyuntikan Baku Campur dengan Pelarut Etanol 100% 36
Tabel V.5. Hasil Tailing Faktor dan Lempeng Teoritis Baku Campur
Kloramfenikol dan Kafein pada Variasi Konsentrasi Etanol dan
Volume Penyuntikan .................................................................. 36
Tabel V.6. Hasil Tailing Faktor dan Lempeng Teoritis Baku Campur
Kloramfenikol dan Kafein pada Variasi Konsentrasi Etanol dan
Volume Penyuntikan 100 μL ..................................................... 37
Tabel V.7. Hasil Optimasi Panjang Gelombang .......................................... 37
Tabel V.8. Hasil KCKT menggunakan Kolom μ Bondapak C18 10 μm
(3,9x150 mm) ............................................................................. 38
Tabel V.9. Optimasi Fasa Gerak menggunakan Kolom μ Bondapak C18
10 μm (3,9x300 mm) ................................................................. 39
Tabel V.10. Hasil Uji Kesesuaian Sistem ...................................................... 41
Tabel V.11. Data Faktor Ikutan, Jumlah Lempeng Teoritis, Faktor Kapasitas
dan Resolusi Larutan Baku Campur Kloramfenikol dan Baku
Internal Kafein ........................................................................... 42
Tabel V.12. Konsentrasi dan Rasio Area Kloramfenikol terhadap Baku
Internal Kafein ........................................................................... 44
Tabel V.13. Hasil Uji Presisi Intraday dan Presisi Interday ............................. 46
Tabel V.14. Hasil Rekoveri dari Baku Kloramfenikol yang Di-spike ke
dalam Blanko ............................................................................. 47
x
Tabel V.15. Hasil Pengujian Kloramfenikol dalam Madu ............................ 48
xi
DAFTAR SINGKATAN
SINGKATAN Nama Pemakaian
pertama kali
pada halaman
MRL Maximum Residue Limit 2
LC-MS/MS Liquid Chromatography-tandem Mass
Spectrometry
2
ESI Electrospray Ionization 2
ELISA Enzyme-Linked Immunosorbent Assay 2
GC/MS-NCI Gas Chromatography Mass Spectrometry-
Negative Ion Chemical Ionization
2
KCKT Kromatografi Cair Kinerja Tinggi 2
DLMME Dispersive Liquid-liquid Microextraction 3
SPE Solid Phase Extraction 3
UV Ultra Violet 3
RP-SPE Reverse Phase - Solid Phase Extraction 11
NP-SPE Normal Phase - Solid Phase Extraction 11
IE-SPE Ion Exchange - Solid Phase Extraction 11
HLB Hydrophilic Lipophilic Balance 19
IS Internal Standard atau Baku Internal 35
Rt Retention time 37
TF Tailing factor 37
R Resolution 37
1
Bab I Pendahuluan
Indonesia sedang meningkatkan aktivitas perdagangan yang terlihat dari
banyaknya produsen yang mendaftarkan produknya di Badan POM untuk
mendapat nomor registrasi. Pada tahun 2014, sampai tanggal 17 Desember,
sebanyak 51870 produk sudah teregistrasi, masing-masing 34861 produk
kosmetik, 11845 produk makanan dan minuman, 3160 produk obat, 1608 produk
obat tradisional, dan 395 produk suplemen makanan (BPOM, 2014). Setiap
produk yang beredar harus memiliki mutu, keamanan, dan kemanfaatan yang
konsisten dan tertentu. Hal ini dilakukan melalui kegiatan pengawasan mulai dari
proses produksi sampai produk tersebut beredar di pasaran. Pengawasan produk di
pasaran dilakukan melalui kegiatan sampling yang dilanjut dengan pengujian
laboratorium.
Madu merupakan salah satu produk pangan yang banyak dikonsumsi karena
kandungan nutrisi yang tinggi meliputi karbohidrat, gula, protein, vitamin dan
mineral, serta memiliki kalori yang cukup tinggi sekitar 304 kcal per 100 g madu
(Agricultural Research Service United States Department of Agriculture, 2014).
Karena rasa yang umumnya manis, saat ini madu digunakan sebagai pengganti
gula pasir dan aman untuk penderita diabet. Selain kandungan komponen yang
dibutuhkan oleh tubuh, madu juga berperan sebagai anti bakteri dan antioksidan
(Ustunol, Z., 2001, Gheldof, dkk., 2002). Konsumsi madu yang cukup tinggi
memerlukan kualitas madu yang baik dan aman. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Verzegnassi L., dkk., tahun 2003, Sheridan, R., dkk., tahun
2008, Shen, H. Y., tahun 2005, dan Huang, J. F., dkk., tahun 2006 ditemukan
kandungan residu antibiotik kloramfenikol dalam madu. Residu ini diduga berasal
dari penggunaan kloramfenikol sebagai anti bakteri yang diberikan oleh peternak
lebah madu karena lebah terinfeksi penyakit lebah madu American dan European
Foulbrood yang disebabkan oleh Paenibacillus larvae dan Melissococcus pluton
(Sheridan, R., dkk., 2008).
2
Kloramfenikol merupakan bakteriostatik spektrum luas yang berasal dari
Streptomyces venezuelae, yang berfungsi sebagai penghambat sintesis protein.
Penggunaan kloramfenikol terbatas pada pengobatan penyakit karena efek
sampingnya yang serius seperti anemia aplastik, suspek karsinogen, dan
hipersensitif (Sheridan, R., dkk., 2008).
Larangan adanya kandungan antibiotik kloramfenikol dalam madu dinyatakan
dalam Standar Nasional Indonesia 3545 tahun 2013 serta PERMENKES RI No
1168/MENKES/PER/X/1999 tentang perubahan atas PERMENKES No
722/MENKES/PER/IX/1988 berkaitan dengan Bahan Tambahan Makanan di
mana dinyatakan bahwa bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam
makanan adalah asam borat (boric acid) dan senyawaannya, asam salisilat dan
garamnya (salisylic acid and its salt), dietilpirokarbonat (diethylpirocarbonate
DEPC), dulsin (dulcin), kalium klorat (potassium chlorate), kloramfenikol
(chloramphenicol), minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils),
nitrofurazon (nitrofurazone), formalin (formaldehyde), dan kalium bromate
(potassium bromate). Selain tidak boleh mengandung antibiotik kloramfenikol,
madu juga tidak boleh ditambah zat aditif (Li, J., dkk., 2008).
Peraturan yang dikeluarkan oleh European Union dalam Commision Regulation
(EU) No 37/2010 berkaitan dengan bahan makanan yang berasal dari hewan,
dinyatakan bahwa kloramfenikol termasuk ke dalam daftar Annex IV, yaitu
senyawa yang dilarang dimana nilai MRL (Maximum Residue Limit) tidak dapat
ditentukan karena pada batas berapun, adanya senyawa tersebut berbahaya untuk
kesehatan manusia. Komite World Health Organization tentang bahan tambahan
pangan (1968), melarang penggunaan kloramfenikol untuk berbagai tujuan yang
dapat mengakibatkan kemungkinan meninggalkan residu pada makanan yang
dikonsumsi oleh manusia (Sheridan, R., dkk., 2008).
Metode yang telah dikembangkan untuk analisa kloramfenikol dalam madu adalah
LC-MS/MS dengan detektor ESI (Sheridan, R., dkk., 2008, Verzegnassi, L., dkk.,
2003, Forti, A. F., dkk., 2005, Ozcan, N., dkk., 2013), ELISA (Shen, H. Y., dkk.,
3
2005, Scortichini, G., dkk., 2005), GC/MS-NCI dengan teknik clean up
menggunakan molecular imprinted polymer (Rejtharova, M., dkk., 2009), KCKT
dimana sebelumnya diproses dahulu dengan dispersive liquid-liquid
microextraction (DLLME) (Chen, H., dkk., 2009), ekstraksi dengan sistem dua
fase larutan ionik/larutan sodium sitrat yang dilanjut dengan KCKT (Han, J., dkk.,
2011). Selain metoda-metoda yang telah disebutkan tersebut, dikembangkan juga
suatu metode ekstraksi fase padat (solid phase extraction/SPE) dengan bermacam-
macam jenis cartridge yang dilanjut dengan LC-MS/MS (Verzegnassi, L., dkk.,
2003, Sheridan, R., dkk., 2008, Forti, A. F., dkk., 2005, Shen, H. Y., dkk., 2005,
Rejtharova, M., dkk., 2009, Scortichini, G., dkk., 2005).
Untuk menjamin keamanan produk madu yang beredar di pasaran, diperlukan
suatu metode analisa yang mampu untuk mendeteksi kloramfenikol dengan
dukungan data yang akurat dan valid, menggunakan instrument yang tersedia di
laboratorium. Metode yang dikembangkan adalah analisa menggunakan SPE yang
dilanjut dengan KCKT, di mana instrument tersebut secara umum banyak dimiliki
oleh laboratorium. Metode SPE yang telah dikembangkan, dilakukan dengan
tahapan yang panjang meliputi ekstraksi, evaporasi, dan rekonstitusi. Pada
penelitian ini diharapkan dapat diperoleh metode yang valid dan handal untuk
penetapan residu kloramfenikol dalam madu menggunakan SPE dengan tahapan
preparasi sampel yang sederhana, yaitu dengan pelarutan menggunakan air serta
penggunaan baku internal kafein. Penggunaan baku internal kafein dilakukan
untuk mengkompensasi kehilangan analit selama proses SPE. Analit yang berhasil
dielusi kemudian disuntikkan ke sistem KCKT dengan detektor UV. Metode yang
dikembangkan diharapkan dapat diaplikasikan di banyak laboratorium karena
menggunakan KCKT, alat yang banyak dimiliki oleh laboratorium, lebih efisien,
dan meminimalkan penggunaan pelarut organik. Dengan demikian, jumlah sampel
yang dapat teranalisa menjadi lebih banyak, sehingga kesehatan masyarakat
menjadi lebih terjamin.
4
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Madu
Pengertian madu menurut Standar Nasional Indonesia tahun 2013 adalah cairan
alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang dihasilkan oleh lebah madu
(Apis sp.) dari sari bunga tanaman (floral nectar) atau bagian lain dari tanaman
(ekstra floral). Dari Martos, M.V., dkk., tahun 2008, yang dikutip dari Gheldof,
dkk., tahun 2002, Nagai, dkk., tahun 2006, Ferreres, dkk., tahun 1993, dan
Azeredo, dkk., tahun 2003, dinyatakan bahwa madu sedikitnya memiliki 181
komponen berupa larutan yang jenuh gula yaitu fruktosa sebanyak 38 % dan
glukosa 31 %. Kandungan komponen lain dalam jumlah yang sedikit yaitu asam-
asam fenolat, flavonoid, enzim glukose oksidase dan katalase, asam askorbat,
karotenoid, asam-asam organik, asam-asam amino, protein dan α-tokopherol.
Kadar air sekitar 17,7 %, total keasaman 0,08 %, dan kadar abu 0,18 %.
Perbedaan komposisi dari bermacam-macam madu dipengaruhi oleh kandungan
serbuk sari dari tanaman, iklim, kondisi lingkungan dan proses pengolahannya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Agricultural Research Service United States
Department of Agriculture, madu dimasukkan ke dalam golongan pangan pemanis.
Madu tidak mengandung lemak dan kafein, dan kandungan nutrisi yang terdapat
dalam madu dapat dilihat pada Tabel II.1.
5
Tabel II.1. Kandungan Nutrisi dalam Madu
Nutrisi Satuan Kandungan per
100 g
Kemasan cup
339 g
Proksimat Air g 17,10 57,97
Energi kcal 304 1031
Protein g 0,3 1,02
Karbohidrat g 82,40 279,34
Fiber, total dietary g 0,2 0,7
Gula, total g 82,12 278,39
Mineral Kalsium mg 6 20
Besi mg 0,42 1,42
Magnesium mg 2 7
Fosfor mg 4 14
Kalium mg 52 176
Natrium mg 4 14
Seng mg 0,22 0,75
Vitamin Vit C, total asam
askorbat
mg 0,5 1,7
Riboflavin mg 0,038 0,129
Niacin mg 0,121 0,410
Vitamin B-6 mg 0,024 0,081
Folat, DFE µg 2 7
(http://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/)
Madu berperan dalam meningkatkan pertumbuhan bifidobakteria, salah satu
bakteri yang berperan dalam kesehatan saluran pencernaan, untuk sistem imun
dan anti kanker karena adanya kandungan prebiotik (Ustunol, Z., 2001). Selain
daripada itu, madu juga berperan sebagai antioksidan karena adanya kandungan
senyawa-senyawa fenolat, flavonoid, enzim glukose oksidase, enzim katalase,
asam askorbat, asam-asam organik, produk reaksi Maillard, asam-asam amino dan
protein (Gheldof, N., dkk., 2002).
Madu sebagai bahan yang berasal dari alam, tidak boleh ditambah zat aditif, dan
mengandung antibiotik. Antibiotik dilarang terkandung dalam produk makanan
yang berasal dari hewan, baik di Eropa maupun di Amerika. Penggunaan
antibiotik dilakukan untuk mencegah atau mengobati hewan yang terkena suatu
penyakit, akan tetapi jika hewan tersebut menghasilkan produk makanan yang
6
dapat dikonsumsi, dikhawatirkan meninggalkan residu pada hasil produknya
tersebut. Hal ini terjadi juga pada madu, yang merupakan produk yang dihasilkan
oleh lebah. Lebah yang terinfeksi penyakit American foul-brood mungkin akan
meninggalkan residu dalam madu apabila lebah-lebah tersebut, diobati dengan
antibiotik selama masa panen. Antibiotik yang umum digunakan adalah golongan
amphenikol (kloramfenikol, thiamfenikol, dan florfenikol), sulfonamid,
streptomisin, dan tetrasiklin (Li, J., dkk., 2008, Verzegnassi, L., dkk., 2003).
II.2 Kloramfenikol
Kloramfenikol atau D-treo-(-)-2,2-Dikloro-N-[β-hidroksi-α-(hidroksimetil)-p-
nitrofenetil]asetamida memiliki nama lain Chloromycetin, Detreomycin, Fenicol,
Levomicetina, Mycetin, Sopamycetin, Tevcocin, dan lain-lain serta memiliki
nama IUPAC 2,2-Dichloro-N-[(1R,2R)-1,3-dihydroxy-1-(4-nitrophenyl)propan-
2-yl]acetamide. Kloramfenikol memiliki rumus empirik C11H12Cl2N2O5 dengan
berat molekul (BM) 323,13. Kloramfenikol berupa hablur halus dengan bentuk
jarum atau lempeng memanjang, berwarna putih sampai putih keabu-abuan, atau
putih kekuningan dengan titik lebur 149-153 ºC. Kloramfenikol sukar larut dalam
air, kelarutan dalam air 1 dalam 400, mudah larut dalam etanol, propilen glikol,
aseton dan etil asetat, sedikit larut dalam kloroform dan eter. Dalam etanol akan
membentuk dextrorotatori dan dalam etil asetat akan membentuk laevorotatori.
Nilai dari rotasi jenis antara + 17,0º dan +20,0 (dalam larutan etanol mutlak 0,05
g/mL), dan nilai pH dalam air (25 mg/mL) antara 4,5-7,5 dan nilai pKa nya 7,49
(asam kuat) dan pKa -2,8 (basa kuat) (FI IV, 1995, Moffat, dkk., 2011,
http://www.inchem.org/documents/iarc/vol50/08-chloramphenicol.html,
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00446). Struktur dari kloramfenikol dapat
dilihat pada Gambar II.1.
Gambar II.1. Struktur kloramfenikol (http://www.drugbank.ca/drugs/DB00446).
7
Kloramfenikol pertama kali diisolasi pada tahun 1947 dari organisme tanah
Streptomyces venezuelae dalam media yang sesuai, akan tetapi sekarang dibuat
secara sintesis dalam 3 bentuk umum yaitu kloramfenikol, kloramfenikol palmitat
dan kloramfenikol suksinat. Pada manusia, kloramfenikol digunakan untuk
mengobati infeksi yang diakibatkan oleh Salmonella typhi (typhoid) dan bentuk
lain dari salmonellosis, serta digunakan juga untuk pengobatan infeksi pada
sistem saraf pusat dan saluran pernafasan. Selain pada manusia, kloramfenikol
juga digunakan dalam veteriner untuk mengobati berbagai macam infeksi yang
terjadi pada hewan, terutama yang disebabkan oleh bakteri anaerob atau yang
resisten terhadap antimikroba lain. Dalam tubuh hewan, kloramfenikol terabsorbsi
dengan baik secara oral maupun parenteral
(http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v53je03.htm).
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan mungkin bersifat bakterisidal terhadap
H. influenza, Neisseria meningitides, dan S. pneumonia. Banyak bakteri gram
negatif dan anaerob yang dihambat secara in vitro. Beberapa gram positif aerob
termasuk Streptococcus pyogenes, S. agalactiae, dan S. pneumoniae. S. aureus
cenderung kurang rentan. Kloramfenikol aktif terhadap Mycoplasma, Chlamydia,
dan Rickettsia.
Kloramfenikol menghambat sintesis protein dalam bakteri pada bagian dalam
membran mitokondria, kemungkinan dengan menghambat peptidiltransferase
ribosom. Kloramfenikol berikatan secara reversible dengan subunit 50S ribosom
(dekat dengan sisi untuk berikatan (binding site) dengan antibiotik makrolida dan
klindamisin), pada sisi peptidiltransferase dan menghmbat reaksi transpeptidasi.
Kloramfenikol mencegah ikatan asam amino pada ujung aminoasil tRNA dengan
sisi akseptor pada subunit 50S ribosom. Interaksi antara peptidiltransferase dan
subsrat asam aminonya dihambat, sehingga menghambat pembentukan ikatan
peptida. Kloramfenikol juga menghambat sintesis protein dalam mitokondria
mamalia melalui mekanisme yang sama. Hal ini mungkin disebabkan ribosomnya
agak menyerupai ribosom bakteri (Brunton, L., dkk., 2008).
8
Rentang terapetik dari kloramfenikol dalam serum di banyak hewan adalah 5-15
µg/mL. Setelah pemberian kloramfenikol, obat ini terdistribusi ke seluruh tubuh.
Dalam WHO Food Additive 53, dinyatakan bahwa efek sitotoksik dan genotoksik
kloramfenikol dan beberapa metabolitnya seperti chloramphenicol-glucuronide,
nitrophenylaminopropanedione-chloramphenicol (NPAP-chloramphenicol),
nitrosochloramphenicol, dehydrochloramphenicol (merupakan bakteri usus yang
berhubungan dengan anemia aplastik yang fatal pada manusia, dapat terjadi juga
pada jaringan hewan yang diobati dengan kloramfenikol), kloramfenikol base
(NAPD), dan turunan alkohol (hydroxy-amphenicol, HAP), diamati pada sel
sumsum tulang manusia (sel RiBM) secara in vitro. Efek sitotoksik ditemukan
dalam tiga metabolit yaitu nitrosochloramphenicol, dehydrochloramphenicol dan
NPAP-chloramphenicol, pada konsentrasi berkisar 2×105
sampai 2×104 mol/L,
dan nitrosochloramphenicol yang paling berpotensi memberi efek sitotoksik.
Potensi genotoksik terdapat pada nitrosochloramphenicol dan
dehydrochloramphenicol pada konsentrasi 1×104
mol/L sampai 2×104
mol/L.
Kloramfenikol menginduksi anemia aplastik dan kondisi ini berhubungan dengan
terjadinya leukemia
(http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v53je03.htm
dan http://www.inchem.org/documents/iarc/vol50/08-chloramphenicol.html).
Toksisitas dari kloramfenikol meningkat secara reversible pada terjadinya
penurunan sumsum tulang ketika konsentrasi kloramfenikol dalam plasma
melebihi 25 mg/L. Sindrom “abu-abu” (kardiovaskular kollaps, penurunan
pernafasan, dan koma) terjadi pada pasien dengan konsentrasi kloramfenikol
dalam plasmanya sekitar 40-200 mg/L. Dosis fatal dari kloramfenikol yang
pernah dilaporkan kemungkinan sekitar 2,5 g – 4 g pada anak laki-laki berusia 5
tahun (Moffat, dkk., 2011).
II.3 Kafein
Kafein atau 1,3,7-trimetil xantin dan memiliki nama lain 1-metiltheobromin,
memiliki rumus molekul C8H10N4O2 dengan bobot molekul 194,19 (dalam bentuk
anhidrat). Kafein berbentuk serbuk putih atau bentuk jarum mengkilat putih,
9
biasanya menggumpal, tidak berbau, berasa pahit. Larutan bersifat netral terhadap
kertas lakmus, bersifat agak sukar larut dalam air, larut dengan perbandingan 1
dalam 66 alkohol, 1 dalam 22 alkohol bersuhu 60 ºC, sangat larut dalam pyrrole
dan tetrahidrofuran yang mengandung sekitar 4 % air, mudah larut dalam
kloroform, sukar larut dalam eter, larut dalam air dengan perbandingan 1 dalam
46, 1 dalam 5,5 air bersuhu 80 ºC, dan 1 dalam 1,5 dalam air mendidih. Kelarutan
dalam air meningkat dengan adanya alkali benzoat, cinnamat, sitrat atau salisilat.
Kafein mengalami sublimasi pada 178 ºC, titik lebur 235-237,5 ºC. Konstanta
disosiasi, pKa 14,0 (25 ºC) dan 10,4 (40 ºC).
Kafein merupakan alkaloid yang diperoleh dari ampas teh, atau kopi, atau dari
daun-daun kering Camellia sinesis (Theaceae), atau dibuat secara sintesis, juga
terdapat dalam guarana, mate dan kola. Struktur dari kafein dapat dilihat pada
Gambar II.2. (http://www.drugbank.ca/drugs/DB00201, FI IV, 1995, Moffat, A.,
dkk., 2011).
Kafein sering digunakan sebagai baku internal salah satunya adalah dalam
pengujian fenobarbital, karena sifat kafein yang stabil, dan adanya kemiripan sifat
fisika dan kimia antara kafein dengan analit. Selain daripada itu, kafein umum
digunakan untuk memverifikasi kemampuan instrument dalam mengkuantitasi
analit dalam jumlah kecil dan besar, baik dalam sistem KCKT maupun sistem
KCKT-MS, karena kemudahan persiapannya dan penanganan analitnya
(operational qualification untuk mengecek atau memverifikasi instrument baik
presisi, linearitas, dan akurasi panjang gelombang) (FI IV, 1995, Chan, dkk.,
2004).
Gambar II.2. Struktur kafein (http://www.drugbank.ca/drugs/DB00201).
10
II.4 Solid Phase Extraction (SPE)
Teknik ekstraksi fase padat merupakan teknik untuk mengekstraksi dan
memurnikan analit dalam suatu larutan. Dengan teknik SPE, masalah yang terjadi
pada ekstraksi cair-cair seperti pemisahan fase yang kurang sempurna, rekoveri
yang rendah, dan penggunaan pelarut organik dalam jumlah banyak dapat
dicegah. Selain daripada itu, fase padat dari adsorben tidak dapat bercampur
dengan pelarut sehingga setelah sampel dimasukkan (loading), serangkaian
kondisi pencucian dapat digunakan untuk menghilangkan pengganggu dengan
memiliki banyak pilihan pelarut untuk pencuci, tidak terbentuk emulsi diantara
kedua fase, sampel dalam larutan bervolume besar dapat diperangkap pada kolom
sehingga menjadi pekat, sifat kimia adsorban yang bervariasi sehingga selektif
untuk satu gugus fungsi tertentu di dalam analit, cepat, mudah digunakan dan
dapat diotomatisasi. Keuntungan-keuntungan tersebut menjadikan teknik SPE
lebih efisien dibanding dengan ekstraksi cair-cair (Scott, 1996, Supelco, 1998,
Watson, 2010).
SPE sering digunakan untuk sampel cair dan ekstraksi analit yang semi volatile
atau non volatile. Selain daripada itu, dapat digunakan untuk padatan yang
diekstraksi terlebih dahulu dengan pelarut. Jika konsentrasi analit sampel kecil,
sejumlah komponen matriks berpotensi mengganggu baik kuantifikasi maupun
identifikasi sehingga meningkatkan dan membutuhkan selektivitas dan
sensitivitas metoda analisa. Pemilihan sorben dari SPE yang tepat merupakan hal
penting dan dapat memaksimalkan rekoveri dari analit. Sistem SPE yang
otomatis, dikembangkan oleh Scott dan Kucera untuk menentukan metabolit-
metabolit obat dalam darah. Sistem ini memberi sensitivitas massa yang tinggi
yang dapat mengukur konsentrasi metabolit obat yang rendah dalam darah dan
serum (Scott, 1994, Supelco, 1998).
SPE digunakan untuk clean up sampel dan pemekatan analit tanpa memerlukan
prosedur untuk evaporasi terlebih dahulu, yang selanjutnya analit akan dianalisa
baik secara kromatografi cair, dan gas. Clean up sampel yang merupakan aplikasi
dari SPE bermanfaat untuk studi farmakokinetik, uji disolusi, isolasi analit dari
11
matriks yang kompleks seperti urine dan plasma, menghilangkan gangguan, dan
mengeliminasi pengelusian yang lambat pada analisis secara isokratik. SPE dapat
digunakan untuk desalting, pertukaran pelarut, analisis senyawa dalam jumlah
sangat kecil seperti analisis lingkungan (air, atau air limbah), dan aplikasi dalam
dunia farmasi dan agrokimia. Optimasi pada sistem SPE diperlukan untuk
memeperoleh analit yang bersih dan pekat (Ahuja dan Dong, 2005).
Jenis cartridge yang digunakan pada ekstraksi fase padat untuk analisa analit
adalah sorben dengan fase terbalik (RP-SPE), fase normal (NP-SPE), penukar ion
baik anion maupun kation (IE-SPE) dan adsorpsi. Selain daripada itu
dikembangkan juga jenis polimer. Pemisahan fase terbalik meliputi larutan polar
atau kepolaran dari matriks sampel yang sedang (fasa gerak) dan fase diam yang
non polar. Analit memiliki kepolaran sedang sampai non polar. Pemisahan fase
normal meliputi analit yang bersifat polar, matriksnya memiliki kepolaran sedang
sampai nonpolar dan fase diam yang polar. SPE tipe penukar ion dapat digunakan
untuk komponen-komponen yang bermuatan ketika dilarutkan dalam suatu
larutan, tetapi kadang-kadang berupa zat organik (Supelco, 1998).
Tahapan yang dilakukan untuk memperoleh eluat melalui cartridge SPE meliputi
persiapan atau pengkondisian sorben dari cartridge yang dapat dilakukan dengan
penambahan pelarut atau campuran pelarut dengan polaritas yang hampir sama
dengan pelarut sampel dan umumnya adalah metanol atau asetonitril jika
digunakan RP-SPE. Dilanjutkan dengan loading sampel ke dalam cartridge
dimana analit akan teretensi dan komponen matriks ada yang teretensi atau keluar
dari sorben. Tahap selanjutnya adalah pencucian menggunakan pelarut yang
dapat mengelusi analit-analit yang tidak diinginkan dari sorben dan yang
tertinggal di sorben adalah analit dan matriks lain yang tidak tertelusi yaitu pelarut
yang polaritasnya berlawanan dengan sorben. Tahapan terakhir adalah elusi analit
dalam volume kecil yang memungkinkan, meninggalkan komponen lain yang
tertahan kuat di sorben. Analit akan terelusi dari cartridge SPE baik melalui gaya
gravitasi atau dengan bantuan vakum, dan ditampung dalam wadah (Nickerson,
B., 2011). Tahapan umum dari SPE dapat dilihat pada Gambar II.3.
12
Gambar II.3. Tahapan umum SPE (Nickerson, B., 2011).
II.5 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu
proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau
lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah
tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan
adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul
atau kerapatan muatan ion. Terdapat beberapa jenis kromatografi yaitu
kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi kolom (kromatografi
kolom adsorpsi, kromatografi kolom partisi), kromatografi eksklusi, kromatografi
cair kinerja tinggi, dan kromatografi gas (FI IV, 1995).
Kromatografi cair merupakan teknik pemisahan analitik yang paling banyak
digunakan. Hal ini disebabkan oleh sensitivitasnya, dapat digunakan untuk uji
kualitatif dan kuantitatif, mudah untuk diotomatisasi, sesuai untuk pemisahan
komponen yang tidak mudah menguap, dan dapat diaplikasikan secara luas untuk
industri, ilmu pengetahuan seperti analisa asam amino, protein, asam nukleat,
hidrokarbon, karbohidrat, obat, terpenoid, pestisida, antibiotik, steroid logam
organik, dan berbagai senyawa anorganik (Skoog, dkk., 2007).
Kromatografi cair kinerja tinggi diengkapi dengan pompa bertekanan, baik
program gradient tekanan tinggi (high pressure gradient) maupun tekanan rendah
13
pelarut (low pressure solvent). Kolom yang digunakan disesuaikan dengan sifat
komponen yang akan dianalisa, apakah bersifat polar atau non polar dan fasa
gerak yang digunakan. Kolom yang dapat digunakan untuk analisa adalah kolom
L1 (oktadesilsilan, C18), L7 (oktisilan, C8), fenil, silika, nitril, amina, dan lain-
lain, dengan panjang kolom yang bermacam-macam, demikian juga dengan
ukuran partikelnya (FI IV, 1995).
Komponen utama dari sistem KCKT adalah reservoir fasa gerak yang tersambung
dengan filter khusus untuk mengisolasi fasa gerak dari pengaruh lingkungan,
pompa untuk mengontrol pencampuran fasa gerak dari reservoir yang berbeda
yang dicampur dalam sistem KCKT, injektor yang dapat diatur volume
penyuntikannya, kolom untuk pemisahan analit dari komponen-komponen lain,
detektor dan sistem kontrol. Detektor yang digunakan dalam suatu analisa
menggunakan KCKT diantaranya adalah absorbsi pada daerah ultraviolet dan
visible, infra red, fluorescen, refraktif index, detektor elektrokimia, diode array,
dan spektrometri massa dimana penggunaannya cukup popular pada masa
sekarang ini.
Fase gerak yang digunakan terdiri dari dua sistem, fase terbalik (reverse phase)
dan fase normal (normal phase). Fase terbalik dimana fasa gerak yang digunakan
bersifat polar dan fasa diam bersifat non polar, sedangkan yang disebut fase
normal dimana fasa gerak bersifat non polar dan fasa diam bersifat polar. (Scott,
1994, Skoog, dkk., 2007, Kazakevich dan Lobrutto, 2007)
Analisa menggunakan KCKT didahului dengan uji kesesuaian sistem terlebih
dahulu untuk memastikan keefektifan sistem operasional baik elektronik,
peralatan, zat uji, dan kondisi operasional analitik yang membentuk satu sistem
analitik tunggal yang dapat diuji fungsinya secara keseluruhan. Hal ini dilakukan
melalui penyuntikan berulang larutan baku dan dilihat parameter
keberterimaannya seperti yang tertera pada masing-masing monografi yang
meliputi simpangan baku relatif penyuntikan berulang dari baku, tailing faktor,
14
jumlah lempeng teoritis, dan resolusi. Persyaratan umum nilai keberterimaan dari
uji kesesuaian sistem dapat dilihat pada Tabel II.2.
Tabel II.2. Parameter dan Kriteria Penerimaan Uji Kesesuaian Sistem
Parameter Kriteria Penerimaan
SBR penyuntikan berulang ≤ 2,0 % Tailing faktor 0,9-1,4
Resolusi ≥ 1,5
Jumlah lempeng teoritis ˃ 2000
Pemisahan dari komponen dalam kolom, dapat dilihat dari efisensi kolom, di
mana kolom yang efisien dapat mencegah pelebaran puncak sehingga puncak
menjadi sempit. Efisiensi kolom didefinisikan sebagai jumlah lempeng teoritik
yang dapat dihitung secara empiris dari kromatogram dengan rumus sebagai
berikut.
[
]2
Dimana W adalah lebar dasar puncak. dan tR adalah retensi dari analit.
Resolusi dari suatu kolom adalah kemampuan kolom untuk memisahkan dua
analit. Resolusi dinyatakan dengan rumus sebagai berikut.
Dimana tR,2 dan tR,1 adalah waktu retensi komponen 2 dan komponen 1,
sedangkan W1 dan W2 adalah lebar alas puncak komponen 1 dan 2. Nilai R > 1,5
menunjukkan puncak 1 dan 2 terpisah dengan sempurna (Kazakevich dan
Lobrutto, 2007).
II.6 Validasi Metoda
Validasi metode analisa adalah proses yang dibuktikan melalui penelitian
laboratorium, bahwa karakteristik kinerja prosedur metode tersebut memenuhi
persyaratan sesuai tujuan penggunaannya. Suatu metode memerlukan validasi atau
revalidasi pada kondisi sebagai berikut.
1. Perubahan dalam sintesis senyawa obat.
15
2. Perubahan prosedur analisis.
3. Perubahan penggunaan prosedur yang sudah dipublikasi untuk bentuk sediaan
yang berbeda dari yang telah ditentukan.
4. Perubahan komposisi produk akhir obat (ICH, 2005, USP 35, 2012).
II.6.1 Spesivisitas
Menurut ICH, 2005, spesivisitas adalah kemampuan metode yang hanya dapat
mengukur analit, tanpa dipengaruhi oleh adanya komponen lain seperti pengotor,
hasil degradasi, dan komponen matriks. Pada kasus penetapan kadar, spesivisitas
ditunjukkan dengan tidak dipengaruhinya analit karena adanya pengotor atau
eksipient. Pada uji kualitatif, metoda harus bisa menyeleksi antara analit dengan
senyawa lain yang memiliki kemiripan struktur, sehingga dengan metode tersebut
yang terdeteksi hanya analit saja. Pada sistem kromatografi, spesivisitas
ditunjukkan dengan derajat selektivitas, dan masing-masing puncak ditandai.
Kemurnian dari puncak diukur menggunakan diode array atau spektrometri massa
(USP 35, 2012).
II.6.2 Linearitas dan Rentang
Linearitas adalah kemampuan metode analisa dalam memberikan hasil secara
langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional
terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Linearitas mengacu pada kelinieran
hubungan antara konsentrasi dengan pengukuran kadar. Linearitas ditentukan
secara visual dengan memplot signal terhadap fungsi dari konsentrasi analit, dan
datanya menunjukkan hasil yang linear. Data dari garis regresi membantu
menyediakan perkiraan matematik dari derajat kelinearan. Koefisien korelasi, y-
intersep, slope dari garis regresi, nilai R2 dan r harus dinyatakan (USP 35, 2012).
ICH, 2005 merekomendasikan bahwa linearitas minimum dinyatakan dalam lima
kosentrasi, pada rentang yang tertentu. Nilai r ˃ 0,999 dan Vxo ≤ 2,0 % (Ahuja
dan Dong, 2005).
Rentang adalah interval antara level teratas dengan level terendah dari konsentrasi
analit pada penetapan akurasi, presisi dan linearitas sesuai metode yang ditentukan
dan dapat diterima. Untuk penetapan bahan baku obat (atau sebagai produk jadi)
16
berkisar dari 80-120%. Penentuan pengotor dari rentang 50-120% dari kriteria
penerimaan. Untuk uji keseragaman kandungan, berkisar antara 70-130% (ICH,
2005, USP 35, 2012).
II.6.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi
Batas deteksi merupakan nilai teredah dari analit dalam sampel yang dapat
terdeteksi tetapi tidak terlalu dapat terkuantitasi pada kondisi percobaan. Nilainya
dapat berada di atas atau di bawah level tertentu, yang diyatakan sebagai
konsentrasi analit dalam sampel (persentase, ppb). Beberapa pendekatan
pengukuran batas deteksi adalah :
1. Didasarkan pada evaluasi visual, dengan menganalisa sampel yang
konsentrasinya diketahui, dan diencerkan sampai analit tidak dapat terdeteksi
(non-instrumental).
2. Didasarkan pada signal to noise, yaitu mengukur signal dari sampel pada
konsentrasi rendah. Rasio signal to noise antara 3 atau 2:1.
3. Didasarkan pada standar deviasi respon dan slope yang ditentukan dengan
rumus:
di mana σ adalah standar deviasi dari respon baik ditentukan dari blanko yang
diukur beberapa kali dan ditentukan standar deviasinya atau dari kurva
kalibrasi dengan nilai α adalah standar deviasi residu dari garis regresi atau
standar deviasi y-intersep dari garis regresi. Nilai S adalah slope dari kurva
kalibrasi.
Batas kuantitasi adalah penetapan kuantitasi pada level terendah dari komponen
dalam matriks sampel, seperti pengotor obat dalam bentuk ruahan, dan hasil urai
dari produk akhir farmasi. Batas kuantitasi merupakan jumlah analit terendah
yang dapat terdeteksi pada keadaan presisi dan akurasi yang dapat diterima, pada
kondisi percobaan. Batas kuantitasi dinyatakan sebagai konsentrasi dari analit
dalam sampel yang dinyatakan sebagai persen, ppb (USP 35, 2012). Penentuan
batas kuantitasi dari analit hampir sama dengan penentuan batas deteksi, akan
17
tetapi pada batas deteksi signal to noise adalah 10 dan rumus penentuan batas
kuantitasi adalah sebagai berikut.
Batas kuantitasi
(ICH, 2005).
II.6.4 Akurasi
Akurasi adalah kedekatan hasil antara hasil uji dari prosedur dengan nilai benar.
Akurasi ditentukan melalui aplikasi prosedur analisa terhadap analit yang
kemurniannya diketahui (standar baku). Pada uji kuantitatif pengotor, akurasi dari
sampel ditentukan dengan cara di-spike menggunakan pengotor yang
konsentrasinya diketahui. Akurasi dihitung sebagai persentase keberolehan
melalui penentapan dimana jumlah analit yang ditambahkan ke dalam sampel
yang konsentrasinya diketahui atau sebagai perbedaan antara rata-rata dan nilai
benar yang diterima (USP 35, 2012).
ICH, 2005, merekomendasikan bahwa akurasi dapat dilakukan menggunakan
minimal sembilan penetapan, dengan minimum tiga konsentrasi dengan masing-
masing tiga replikasi. Nilai rekoveri dari akurasi dapat dilihat pada Tabel II.3.
(AOAC, Apendix F, 2012).
Tabel II.3. Rekoveri sebagai Fungsi dari Konsentrasi Analit
Analit (%) Rasio Analit Unit Rekoveri rata-rata (%)
100 1 100 % 98-102
10 10-1
10 % 98-102
1 10-2
1 % 97-103
0,01 10-3
0,1 % 95-105
0,001 10-4
100 ppm 90-107
0,0001 10-5
10 ppm 80-100
0,00001 10-6
1 ppm 80-100
0,000001 10-7
100 ppb 80-100
0,0000001 10-8
10 ppb 60-115
0,00000001 10-9
1 ppb 40-120
II.6.5 Presisi
Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji
masing-masing, jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel
yang diambil dari campuran yang homogen. Presisi biasanya dinyatakan sebagai
18
standar deviasi atau relatif standar deviasi (koefisien variasi). Presisi dinyatakan
sebagai reprodusibilitas atau keberulangan. Reprodusibilitas mengacu pada
penggunaan prosedur analisa pada laboratorium-laboratorium yang berbeda,
sebagai uji kolaborasi (dikenal sebagai ruggedness). Sedangkan keberulangan
dilakukan dalam satu laboratorium pada periode yang pendek, menggunakan
analis dan peralatan yang sama.
ICH, 2005 merekomendasikan bahwa keberulangan dilakukan menggunakan
minimal sembilan penetapan (tiga konsentrasi dan tiga replikasi pada masing-
masing konsentrasi) atau minimal penetapan enam kali pada kondisi 100% pada
konsentrasi uji (USP, 35, 2012).
Nilai keberterimaan dari presisi adalah simpangan baku relatif dan Horrat yang
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Simpangan baku relatif (RSD)
Persamaan Horwitz
Horwitz
Horrat
RSDobsadalah nilai RSD yang diperoleh dari penetapan presisi
RSDcalc adalah nilai RSD yang dihitung dari persamaan Horwitz
(AOAC Appendix F, 2012, Gustavo dan Angeles, 2007).
II.6.6 Robustness
Robustness prosedur analisis adalah ukuran kemampuan prosedur untuk tetap
bertahan dan tidak terpengaruh oleh perubahan kecil yang dilakukan dengan
sengaja. Pengujian robustness ketegaran dapat ditentukan pada waktu
pengembangan prosedur analisis atau optimasi (USP 35, 2012).
19
Bab III Metodologi Penelitian
Madu yang akan dijadikan sebagai blanko pada penelitian diuji mutunya terlebih
dahulu, baik secara organoleptik, mikroskopik maupun uji kimia apakah sesuai
dengan persyaratan dalam SNI 3545 tahun 2013 atau tidak. Setelah itu, dilakukan
pengembangan metode analisa menggunakan blanko yang telah diuji mutunya.
Pengembangan metode pengujian kloramfenikol dalam madu dengan baku
internal kafein, menggunakan SPE pada tahapan preparasi sampel, yang
dilanjutkan dengan analisa menggunakan KCKT dengan detektor UV 275 nm,
diawali dengan optimasi, baik SPE maupun sistem KCKT. Kondisi SPE yang
dioptimasi adalah pemilihan cartridge SPE (HLB dan C18), dan volume
pengelusi. Sedangkan sistem KCKT yang dioptimasi adalah konsentrasi pelarut,
panjang gelombang maksimum untuk kloramfenikol maupun baku internal kafein,
komposisi fasa gerak, laju alir, dan volume penyuntikan.
Tahap selanjutnya setelah diperoleh kondisi optimum pengujian adalah uji
kesesuaian sistem dan validasi metode yang meliputi spesivisitas, linearitas dan
rentang, presisi intra hari, presisi antar hari, akurasi (rekoveri), batas deteksi dan
batas kuantitasi yang dihitung secara statistik dari persamaan regresi linear yang
diperoleh, serta robustness. Teknik validasi yang digunakan adalah spiked placebo
recovery method, di mana sejumlah analit ditambahkan ke dalam blanko sampel
dan menggunakan air sebagai pelarut. Pengujian kloramfenikol dalam sampel
madu yang beredar di pasaran dilakukan setelah semua parameter validasi
memenuhi persyaratan.
20
Bab IV Percobaan
IV.1 Bahan
Baku pembanding kloramfenikol BPFI dengan NK 212016, baku pembanding
kafein BPFI dengan NK 413017, metanol pro KCKT (Merck), etanol (Merck), air
suling yang dimurnikan kembali, matriks sampel (madu), sampel madu yang
diperoleh dari pasaran, natrium hidroksida (Merck), fenolftalein (Merck), kalium
biftalat (Merck), potassium iodide (Merck), asam sulfat (Merck), natrium tiosulfat
(Merck), asam klorida (JTB), timbal asetat (Merck), starch (Merck), diammonium
hidrogen fosfat (Merck), natrium karbonat anhidrat (Merck), asam sitrat (Merck),
tembaga sulfat (Merck), baku timbal 1000 mg/L (Merck), baku cadmium 1000
mg/L (Merck), baku raksa 1000 mg/L (Merck), asam nitrat (Merck), kalium
feroksianida (Merck), seng asetat (Merck), natrium disulfit (Merck).
IV.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah KCKT Shimadzu 20AD
autosampler, detektor SPD-M20A, CBM-20A, sonikator Bronson, sonikator Elma
Transsonic/T1040/H, sonikator Falc LBS2 10L, Eppendorf 100-1000 μL, alat SPE
Agilent yang dilengkapi dengan pompa vakum, penyaring membrane 0.45 μm,
timbangan analitik Mettler Toledo AB204 dan XP205, timbangan semi mikro
Mettler Toledo XP6, kolom YMC triart C18 5 μm (4,6x150 mm), μ Bondapak
C18 10 μm (3,9x150 mm), μ Bondapak C18 10 μm (3,9x30 mm), cartridge HLB 3
cc 60 mg (Waters), cartridge Sep-pak Vac tC18 3 cc 500 mg (Waters),
Spektrofotometer Shimadzu UV-2101PC, labu tentukur, pipet volume, buret,
erlenmeyer, gelas piala, kui porselen, desikator, oven Memmert, Hot Plate
Gerhardt EV-14, Furnace Barnstead Thermolyne 6000, Heating Mantle Labmaster
Isopad, Thermolyne Nuova Stir Plate, penangas air Memmert, Olympus CX 31,
Abbe refraktometer, pendingin tegak. Microwave digestion SPD Discover CEM,
vessel destruksi quartz 35 mL, vial cap SPD 35 mL, AAS Shimadzu AA-7000,
GFA Shimadzu AA–7000, lampu katoda berongga (untuk logam Pb, Cd), AAS
Shimadzu AA-6800, MVU-1A Shimadzu.
21
IV.3 Pengujian Mutu Madu
IV.3.1 Pengujian secara Organoleptik dan Mikroskopik
Pengujian secara organoleptik meliputi warna, rasa, bau sedangkan pengujian
secara mikroskopik dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400
kali. Hasil mikroskopik dilihat apakah mengandung serbuk sari/benang sari atau
tidak. Jika mengandung serbuk sari/benang sari menunjukkan madu tersebut
bersifat alami.
IV.3.2 Keasaman
Sampel ditimbang dengan teliti sebanyak 10 g, dimasukkan ke dalam erlenmeyer
250 mL, kemudian dilarutkan dengan 75 mL air bebas CO2, dan ditambah 4-5
tetes indikator fenolftalein. Dititar dengan larutan NaOH 0,1 N sampai titik akhir
yang tetap selama 10 detik. Volume NaOH 0,1 N yang digunakan untuk titrasi
dicatat.
IV.3.3 Kadar Abu
Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak dua gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselen yang telah diketahui bobot konstannya. Sampel madu dipanaskan
di atas nyala pembakar sampai mengarang dengan sempurna, kemudian
dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 550 ºC sampai pengabuan sempurna.
Kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot konstan. Kadar air sampel
merupakan selisih bobot cawan berisi abu dengan bobot cawan kosong (SNI 01-
2891-1992).
IV.3.4 Padatan yang Tidak Larut dalam Air
Sampel ditimbang dengan seksama sebanyak 20 g dan dimasukkan ke dalam gelas
piala 250 mL. Ditambah 200 mL air panas, dienap tuangkan bagian yang tidak
larut ke dalam kertas saring yang telah dikeringkan dan ditimbang. Gelas piala
dan kertas saring dibilas dengan air panas. Kertas saring dikeringkan dalam oven
bersuhu 105 ºC selama 2 jam, didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap.
Kadar padatan tidak larut air merupakan selisih bobot kertas saring setelah
penyaringan dengan bobot kertas saring kosong (SNI 01-2891-1992).
22
IV.3.5 Gula sebelum inversi
Ditimbang seksama dua gram sampel dalam gelas piala kemudian dipindahkan
secara kuantitatif ke dalam labu tentukur 250 mL. Ditambah 10 mL timbal asetat
setengah basa dan digoyangkan. Larutan diamonium hidrogen fosfat 10 %,
diteteskan sebanyak 1 tetes (jika terbentuk endapan maka penambahan timbal
asetat setengah basa sudah cukup). Ditambah 15 mL larutan diamonium hidrogen
fosfat 10 % untuk menguji apakah timbal asetat setengah basa sudah diendapkan
seluruhnya. Kemudian ditambah 1-2 tetes larutan diamonium hidrogen fosfat
10 %, jika tidak timbul endapan, berarti penambahan larutan diamonium hidrogen
fosfat sudah cukup. Kemudian ditambah air sampai tanda batas dan dikocok 12
kali, dibiarkan dan disaring.
Sebanyak 10,0 mL filtrat dipipet dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 mL,
ditambah 15,0 mL air dan 25,0 mL larutan Luff Schroll serta beberapa batu didih.
Dipipet juga untuk blanko sebanyak 25,0 mL air dan 25,0 mL larutan Luff Schroll
serta beberapa butir batu didih. Sampel dan blanko direfluks dan setelah
mendidih proses refluks dilanjutkan selama 10 menit dan didinginkan. Setelah
dingin, ditambah 10 mL larutan kalium iodide 20 % dan 25 mL larutan asam
sulfat 25 %. Setelah itu, dititrasi dengan larutan tiosulfat 0,1 N menggunakan
indikator kanji 0,5 % dan dititrasi sampai terbentuk warna putih susu. Kemudian
jumlah pentiter dicatat.
Penetapan gula sebelum inversi dilakukan dengan menghitung selisih volume
natrium tiosulfat pada titrasi blanko dengan sampel. Hasilnya digunakan untuk
menentukan bobot glukosa dalam sampel dengan membandingkan volume yang
diperoleh dengan bobot glukosa pada Tabel IV.1. Nilai gula sebelum inversi
dihitung dengan mengalikan bobot glukosa dengan pengenceran dan dibagi bobot
sampel yang ditimbang (SNI 01-2892-1992).
23
Tabel IV.1. Hubungan Volume Titrasi Natrium Tiosulfat dengan Bobot Glukosa
dan Gula Inversi
Volume Natrium
Tiosulft 0,1 N (mL)
Bobot Glukosa dan
Gula Inversi (mg)
Volume Natrium
Tiosulft 0,1 N (mL)
Bobot Glukosa dan
Gula Inversi (mg)
1 2,4 13
14
15
16
17
18
19
33,0 2 4,8
14
35,7 3 7,2 15 38,5 4 9,7 16 41,3 5 12,2 17 44,2 6 14,7 18 47,1 7 17,2 19 50,0 8 19,8 20 53,0 9 22,4 21 56,0
10 25,0 22 59,1 11 27,6 23 62,2 12 30,3
IV.3.6 Sakarosa
Sebanyak 50,0 mL filtrat pada penetapan gula pereduksi dipipet dan dimasukkan
ke dalam labu tentukur 200 mL. Ditambah 25 mL asam klorida 25 %, dan
dilakukan hidrolisis di atas penangas air, apabila suhu mencapai 68-70 ºC,
dipertahankan selama 10 menit (dicek menggunakan thermometer), kemudian
didinginkan. Ditambah larutan natrium hidroksida 30 % sampai netral, kemudian
diencerkan dengan air sampai tanda batas.
Sebanyak 10,0 mL larutan tersebut dipipet dan diperlakukan sama seperti pada
penetapan gula sebelum inversi. Sakarosa merupakan hasil kali 0,95 dengan
selisih hasil gula sesudah inversi dengan sebelum inversi (SNI 01-2892-1992).
IV.3.7 Kadar Air
Pembacaan indeks bias sampel dilakukan pada suhu 27 ºC dengan menggunakan
alat refraktometer. Kadar air dalam sampel diperoleh dengan membandingkan
nilai indeks bias pada saat pengukuran dengan kadar air pada Tabel IV.2.
24
Tabel IV.2. Hubungan Indeks Bias dengan Kadar Air pada Madu
Indeks bias (20 ºC) Kadar Air (%) Indeks bias (20 ºC) Kadar Air (%)
1,5044 13,0 1,4890 19,0
1,5038 13,2 1,4885 19,2
1,5033 13,4 1,4880 19,4
1,5028 13,6 1,4875 19,6
1,5023 13,8 1,4870 19,8
1,5018 14,0 1,4865 20,0
1,5012 14,2 1,4860 20,2
1,5007 14,4 1,4855 20,4
1,5002 14,6 1,4850 20,6
1,4997 14,8 1,4845 20,8
1,4992 15,0 1,4840 21,0
1,4987 15,2 1,4835 21,2
1,4982 15,4 1,4830 21,4
1,4976 15,6 1,4825 21,6
1,4971 15,8 1,4820 21,8
1,4966 16,0 1,4815 22,0
1,4961 16,2 1,4810 22,2
1,4956 16,4 1,4805 22,4
1,4951 16,6 1,4800 22,6
1,4946 16,8 1,4795 22,8
1,4940 17,0 1,4790 23,0
1,4935 17,2 1,4785 23,2
1,4930 17,4 1,4780 23,4
1,4925 17,6 1,4775 23,6
1,4920 17,8 1,4770 23,8
1,4915 18,0 1,4765 24,0
1,4910 18,2 1,4760 24,2
1,4905 18,4 1,4755 24,4
1,4900 18,6 1,4750 24,6
1,4895 18,8 1,4745 24,8
1,4740 25,0
Keterangan:
Jika indeks bias diukur pada suhu di bawah 20 ºC ditambahkan 0,000023 ºC dan
bila pengukuran dilakukan pada suhu di atas 20 ºC, dikurang 0,000023/ºC.
Hasilnya kemudian dicocokkan dengan tabel.
25
IV.3.8 Cemaran Logam Pb, Cd dan Hg
IV.3.8.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi
Kurva kalibrasi dibuat dengan menghubungkan konsentrasi dengan absorbansi
larutan baku Pb, Cd, dan Hg. Konsentrasi baku seri yang digunakan adalah 5-50
ng/mL untuk Pb, 0,5-4 ng/mL untuk Cd, dan 0,5-5 ng/mL untuk Hg (masing-
masing dibuat dari larutan baku induk dengan konsentrasi 1000 mg/mL, yang
kemudian diencerkan menjadi larutan baku antara dengan konsentrasi 5 mg/L
untuk Pb, 1 mg/L untuk Cd dengan pelarut asam nitrat 3 % dan Hg dengan
konsentrasi 1 mg/L dengan pelarut asam klorida 3 %. Dari hubungan konsentrasi
larutan baku terhadap serapan yang terukur diperoleh persamaan regresi linear.
Pengukuran dilakukan enam tingkat konsentrasi untuk logam Pb dan lima tingkat
konsentrasi untuk Cd dan Hg. Masing-masing tingkat konsentrasi dianalisa
sebanyak dua kali. Pengukuran Pb dan Cd dilakukan menggunakan GF-AAS dan
Hg dengan MVU.
IV.3.8.2 Penentuan Logam Pb, Cd dan Hg dalam Madu
Sampel madu ditimbang dengan saksama lebih kurang 0,25 g dimasukkan ke
dalam labu digesti 35 mL, ditambahkan asam nitrat pekat 10,0 mL, dan
didestruksi dengan alat microwave digestion. Alat microwave digestion diset pada
suhu 200 ºC, tekanan 400 PSI, power 300 W, sistem pengadukan sedang
(medium), ramp time 4 menit dan hold time 2 menit (Application Note for Acid
Digestion SPD Discover CEM). Larutan hasil destruksi dimasukkan ke dalam
labu tentukur 20 mL dan ditepatkan sampai tanda dengan air. Larutan sampel
disuntikkan ke sistem GF-AAS dengan volume sampel 20 μL. Kadar Pb dan Cd
ditetapkan secara GF-AAS dengan menggunakan gas argon UHP. Penentuan
kadar logam timbal dan cadmium dalam sampel dilakukan dua kali pengulangan,
masing-masing dua kali penyuntikkan.
Pada penentuan Hg, larutan hasil destruksi dimasukkan ke dalam labu tentukur 50
mL dan ditepatkan sampai tanda dengan air. Dipipet 25,0 mL dan diencerkan ke
dalam labu tentukur 100 mL dengan air sebagai pelarut. Sebelum dianalisa
menggunakan MVU, sampel dan baku ditambah larutan SnCl2 10%.
26
IV.3.9 Hidroksimetilfurfural (HMF)
Sampel ditimbang sebanyak lima gram dalam gelas piala kecil. Ditambah air
kurang lebih 15 mL kemudian diaduk. Larutan dimasukkan ke dalam labu
tentukur 50 mL, dan gelas piala dibilas dengan air sampai volume larutan dalam
labu tentukur sebanyak 25 mL. Kemudian ditambah 0,5 mL larutan Carrez I,
dikocok, dan ditambah lagi larutan Carrez II, dikocok kembali dan ditambah air
sampai tanda batas. Larutan disaring dan 10 mL filtrat pertama dibuang.
Filtrat dipipet sebanyak 5,0 mL ke dalam dua tabung reaksi. Tabung reaksi satu
ditambah 5,0 mL air (larutan sampel) dan tabung reaksi dua ditambah 5,0 mL
larutan natrium bisulfit 0,2% (larutan pembanding), kemudian kedua tabung
dikocok. Kedua larutan diukur pada panjang gelombang 284 nm dan 336 nm. Jika
absorbansi melebihi 0,6, maka larutan sampel dan pembanding diencerkan.
Larutan sampel diencerkan dengan air dan larutan pembanding dengan larutan
natrium bisulfit. Nilai absorban yang diperoleh, dikalikan dengan faktor
pengenceran (IHC, 2009).
IV. 4 Pengembangan dan Validasi Metode
IV.4.1 Pembuatan Larutan Baku Induk Kloramfenikol dan Baku Internal
Kafein
Larutan baku induk kloramfenikol dan baku internal kafein dibuat dengan
melarutkan baku kloramfenikol BPFI dan kafein BPFI dalam etanol sampai
konsentrasi masing-masing 32 μg/mL dan 50 μg/mL.
IV.4.2 Pembuatan Baku Campur Kloramfenikol dan Baku Internal
Kafein
Larutan baku campur kloramfenikol dan kafein dibuat dengan mengencerkan baku
induk kloramfenikol dan kafein dengan etanol 10 % sampai konsentrasi masing-
masing larutan dalam campuran sebesar 0,2 μg/mL dan 0,125 μg/mL.
27
IV.4.3 Pembuatan Fasa Gerak
Fasa gerak dibuat dari campuran metanol dengan air pada perbandingan
(22,5:77,5), dan dicampur dalam sistem KCKT. Sebelum digunakan, masing-
masing komponen fasa gerak diawaudarakan terlebih dahulu.
IV.4.4 Uji Kesesuaian Sistem
Uji kesesuaian sistem dilakukan sebelum pengujian dengan KCKT dilakukan. Uji
kesesuaian sistem dilakukan dengan menyuntikkan baku campur kloramfenikol
dan baku internal kafein pada salah satu konsentrasi yaitu 0,2 μg/mL dan 0,125
μg/mL sebanyak enam kali. Parameter yang perlu diperhatikan untuk
keberterimaan uji kesesuaian sistem adalah simpangan baku relatif rasio dari
waktu retensi dan area kloramfenikol terhadap kafein ≤ 2,0 %, tailing faktor, dan
resolusi.
IV.4.5 Validasi Metode
Validasi metode meliputi spesivisitas, linearitas dan rentang, batas deteksi dan
batas kuantitasi, presisi, presisi antar hari, dan akurasi. Validasi dilakukan dengan
teknik spiked placebo recovery method. Pengujian dilakukan dengan teknik yang
sama, di mana blanko terlebih dahulu dilarutkan dengan larutan baku induk
kloramfenikol dengan jumlah tertentu dan larutan baku induk internal kafein
dengan jumlah yang tetap untuk setiap parameter validasi (250 μL). Konsentrasi
akhir baku internal dalam larutan sebesar 0,125 μg/mL. Setelah itu disonikasi
selama 10 menit, ditambah air sebagai pelarut dan disonikasi kembali selama 15
menit, diencerkan dengan air sampai tanda batas, selanjutnya disaring. Filtrat
dimasukkan ke dalam cartridge SPE. Pengkondisian cartridge SPE C18 adalah
menggunakan 1 mL metanol dan 1 mL air. Filtrat dari blanko, blanko yang di-
spike atau sampel dipipet sebanyak 0,5 mL dan dimasukkan ke dalam cartridge
tersebut. Tahap selanjutnya adalah pencucian menggunakan 1 mL air. Analit yang
tertahan dielusi menggunakan 1 mL etanol yang ditampung dalam labu tentukur 5
mL dan diencerkan dengan etanol 10 %. Larutan disaring dengan membrane filter
0,45 μm dan dilakukan pengujian menggunakan KCKT.
28
Kondisi KCKT yang digunakan pada validasi metode adalah : fasa gerak metanol-
air (22,5:77,5), laju alir 1,1 mL/menit, volume penyuntikan 100 μL, kolom yang
digunakan μ Bondapak C18 10μm (3,9 x 300 mm). Pengujian dilakukan
menggunakan detektor UV dengan panjang gelombang 275 nm pada suhu kamar.
IV.4.5.1 Spesivisitas
Blanko ditimbang sebanyak dua gram dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 10
mL. Dilarutkan dengan air sampai setengah volume labu, disonikasi 15 menit,
kemudian ditambah air sampai tanda batas, dan disaring. Selanjutnya, dilakukan
SPE dan hasil elusi dari SPE disuntikkan ke sistem KCKT (data sebagai blanko).
Blanko ditimbang sebanyak dua gram, dimasukkan ke dalam labu tentukur 10
mL. Ditambah larutan baku induk kloramfenikol sebanyak 625 μL dan larutan
baku internal kafein. Disonikasi selama 10 menit, kemudian diperlakukan sama
seperti pada pengujian blanko (konsentrasi akhir 0,2 µg/mL dan data digunakan
sebagai sampel spike).
Selain kedua hal di atas, disuntikkan juga ke sistem KCKT, pelarut yang di SPE
serta larutan baku campur kloramfenikol dan baku internal kafein. Baik blanko,
sampel spike maupun pelarut, masing-masing disuntikkan sebanyak tiga kali.
Syarat keberterimaan dari uji spesivisitas ini adalah tidak adanya gangguan pada
puncak retensi baku kloramfenikol maupun baku internal yang berasal dari pelarut
dan blanko (ICH, 2005).
IV.4.5.2 Linearitas dan Rentang
Blanko ditimbang sebanyak dua gram. Masing-masing blanko ditambah larutan
baku seri kloramfenikol dari rentang 0,04-0,28 µg/mL (tujuh tingkat konsentrasi
dari 20-140 %) dan larutan baku internal kafein dengan jumlah yang tetap.
Masing-masing tingkat konsentrasi ditimbang sebanyak satu kali, dan disuntikkan
ke dalam sistem KCKT sebanyak tiga kali (Huber, 2003).
29
Persamaan garis regresi linear diperoleh dengan memplot konsentrasi
kloramfenikol dengan rasio area kloramfenikol terhadap baku internal kafein,
sehingga diperoleh persamaan garis y = bx + a. Sebagai parameter adanya
hubungan yang linear digunakan koefisien korelasi (r) dan koefisien variasi fungsi
regresi (Vxo) (Ahuja dan Dong, 2005, Ibrahim, S., 2005).
IV.4.5.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Penentuan batas deteksi dan batas kuantitasi dihitung secara statistik melalui
persamaan garis regresi linear yang diperoleh. dengan rumus sebagai berikut.
Batas
di mana σ = standar deviasi dari respon
s = slope dari kurva kalibrasi (ICH, 2005).
IV.4.5.4 Presisi Intraday dan Presisi Interday
Blanko ditimbang sebanyak dua gram, dimasukkan ke dalam labu tentukur 10
mL, ditambah larutan baku kloramfenikol pada konsentrasi 100% (konsentrasi
akhir 0,2 µg/mL) sebanyak 625 μL dan larutan baku internal kafein. Selanjutnya
diperlakukan sama seperti pada pengujian sampel spike pada uji spesivisitas.
Penetapan presisi dilakukan sebanyak enam kali dengan penyuntikan masing-
masing sebanyak tiga kali. Presisi antar hari dilakukan juga dengan teknik yang
sama dan dilakukan sebanyak tiga kali (ICH, 2005).
Hasil pengujian presisi intra hari dan presisi antar hari dihitung dari nilai
simpangan baku relatif (SBR) dan Horrat. (AOAC Appendix F, 2012, Gustavo
dan Angeles, 2007).
IV.4.5.5 Akurasi
Blanko ditimbang sebanyak dua gram, dimasukkan ke dalam labu tentukur 10
mL, ditambah larutan baku induk kloramfenikol dengan konsentrasi 80–120 %
(0,16–0,24 µg/mL) dari konsentrasi kloramfenikol yang mampu terdeteksi dan
ditambah larutan baku internal kafein. Selanjutnya diperlakukan sama seperti
30
pada pengujian sampel spike pada uji spesivisitas. Masing-masing tingkat
konsentrasi ditimbang sebanyak tiga kali, dengan penyuntikan masing-masing
sebanyak tiga kali. Kadar analit (kloramfenikol) dihitung melalui perbandingan
rasio pengukuran kloramfenikol terhadap kafein dengan rasio kloramfenikol
teoritis dan dihitung persen keberolehan kembali (rekoveri) (ICH, 2005).
IV.5 Penetapan Kloramfenikol pada Sampel Madu di Pasaran
Sampel ditimbang sebanyak dua gram dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 10
mL, ditambah larutan baku internal dan diperlakukan sama seperti pada pengujian
sampel spike pada uji spesivisitas. Dilakukan tiga kali penetapan dengan masing-
masing penyuntikan sebanyak tiga kali.
Selain daripada itu, dilakukan juga pengujian sampel yang ditambah larutan baku
kloramfenikol (konsentrasi 0,2 µg/mL) dan larutan baku internal standar dengan
teknik pengerjaan yang sama, dan hanya dilakukan satu kali dengan penyuntikan
sebanyak tiga kali (sampel spike).
31
Bab V Hasil dan Pembahasan
V.1 Pengujian Mutu Madu
Pengujian mutu madu dilakukan untuk mengetahui apakah blanko yang akan
digunakan untuk pengembangan metode sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditentukan atau tidak. Pada penelitian, digunakan 2 jenis madu manis yang berasal
dari 2 daerah yang berbeda. Kedua jenis madu tersebut memiliki karakteristik
yang berbeda, disebabkan oleh jenis vegetasi tumbuhan asal nektar, kondisi
geografis tempat madu tersebut berasal, dan masa panen. Hal tersebut
mempengaruhi organoleptik madu yaitu rasa, warna dan bau. Hasil uji
organoleptik dari kedua jenis madu tersebut dapat dilihat pada Tabel V.1.
Tabel V.1. Organoleptik Madu
Jenis Madu Warna Rasa Bau
A Coklat terang Manis-Asam Aroma madu
B Coklat kekuningan Manis-Asam Aroma madu
Selain uji organoleptik, dilakukan uji mikroskopik dan uji kimia mutu madu
menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) 3545 tahun 2013 Hasil uji
mikroskopis dari sampel madu dapat dilihat pada Gambar V.1. Pengujian kimia
mutu madu meliputi uji kadar air, gula pereduksi, sukrosa, keasaman, padatan
yang tidak larut air, kadar abu, cemaran logam timbal, kadmium, dan raksa serta
uji hidroksimetilfurfural. Hasil pengujian kimia mutu madu dapat dilihat pada
Tabel V.2.
a b
Gambar V.1. Mikroskopik madu (a) sampel a dan (b) sampel b.
32
Madu alami jika dilihat di bawah mikroskop, akan menunjukkan adanya fragmen
dari benang sari atau serbuk sari atau sel-sel khas sari tumbuhan asal nektar madu.
Kedua jenis madu tersebut, menunjukkan adanya fragmen benang sari atau serbuk
sari.
Tabel V.2. Hasil Uji Kimia Mutu Madu
No Jenis Uji Satuan Persyaratan Hasil
Madu A Madu B
1 Kadar Air % b/b ≤ 22 20,2
,2
20,2 16,0
61,713** 72.072
4,652 0.940
53,916** 57,106**
0,473 1,351**
0,165 0,377
16,0
2 Gula pereduksi (dihitung
sebagai glukosa) % b/b ≥ 65 61,713* 72,072
3 Sukrosa % b/b ≤ 5 4,652 0,940
4 Keasaman mL NaOH/kg ≤ 50 53,916* 57,106*
5 Padatan tidak larut dalam air % b/b ≤ 0,5 0,473 1,351*
6 Abu % b/b ≤ 0,5 0,165 0,377
7 Cemaran Logam
7.1 Timbal (Pb) mg/kg ≤ 2,0 TD TD
7.2 Cadmium (Cd) mg/kg ≤ 0,2 TD TD
7.3 Merkuri (Hg) mg/kg ≤ 0,03 TD TD
8 Hidroksimetilfurfural (HMF) mg/kg ≤ 50 36,25 40,08
Keterangan : *) Tidak memenuhi persyaratan SNI
Kadar air kedua sampel yang diuji memenuhi syarat. Kadar air madu dipengaruhi
oleh tingginya curah hujan (iklim lingkungan) di mana madu itu dipanen dan
kelembabannya. Kadar air madu berkisar 13-25 %. Jika madu tersebut memiliki
kadar air lebih dari 17 %, dan memiliki jumlah spora ragi yang cukup maka akan
mengalami fermentasi. Cara untuk menghindarinya adalah dengan dipasteurisasi
terlebih dahulu pada suhu 145 oF selama 30 menit (White, J. W. Jr. dan L. W.
Doner, 1980).
Madu memiliki kandungan glukosa dan fruktosa yang tinggi. Kedua jenis gula ini
merupakan gula pereduksi, karena adanya gugus aldehid atau keton bebas dalam
molekul karbohidrat. Sifat mereduksi ini terjadi baik pada monosakrida atau pun
disakarida dan dilakukan pada suasana basa (Poedjiadi, 1994).
Tingginya kadar padatan yang tidak larut dalam air, menunjukkan adanya
pengotor dalam madu, baik itu pasir atau komponen lain yang tidak larut dalam
33
air, seperti lilin lebah. Kadar abu dari kedua jenis madu tersebut memenuhi syarat
yaitu lebih kecil dari 0,5 %b/b. Hal ini menunjukkan tingkat kemurnian dari
sampel tersebut, menunjukkan tingkat kebersihan pengolahan dari produk
tersebut, dan kadar mineral yang terkandung di dalamnya.
Kadar cemaran logam dan raksa dalam kedua sampel madu tidak terdeteksi,
karena berada di bawah batas deteksi dari metode. Rentang linear untuk logam
kadmium yaitu 0,5-4 ppb, raksa adalah 0,5-5 ppb sedangkan timbal pada rentang
konsentrasi 5-50 ppb. Hal ini menunjukkan bahwa kadar cemaran logam kadmium
dan raksa di bawah 0,5 ppb, sedangkan timbal di bawah 5 ppb.
Hidroksimetilfurfural (HMF) merupakan produk dekomposisi dari gula. HMF
terbentuk karena dehidrasi gula heksosa dalam suasana asam kuat dan panas, juga
dihasilkan pada tahap awal reaksi Maillard. Selain dalam madu, HMF juga secara
alami terdapat dalam makanan yang mengandung gula segar yaitu susu, jus buah,
dan roti, tapi dalam jumlah yang sangat kecil (Poedjiadi, 1994, Basumallick dan
Rohrer, 2013). Teknik penyimpanan madu yang baik dapat mengurangi
terbentuknya HMF.
V.2 Pengembangan dan Validasi Metode Analisa
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan satu dari banyak teknik
analisa yang paling umum digunakan karena merupakan alat yang paling banyak
dimiliki laboratorium kimia. Kemampuan memisahkan analit dari senyawa lain
yang tidak diinginkan (spesifik) menjadi salah satu alasan penggunaan KCKT
secara umum dan KCT memiliki sensitivitas yang cukup tinggi.
Baku internal yang digunakan dalam penelitian adalah kafein. Penggunaan baku
internal dapat mengkompensasi kehilangan analit untuk meningkatkan rekoveri
dan presisi, serta mengurangi pengaruh suppresi ion dari matriks. Baku internal
harus memiliki kemurnian yang tinggi, tidak terdapat dalam matriks dan terpisah
dari analit yang diinginkan atau dari komponen lain yang terdapat dalam matriks.
Selain daripada itu, baku internal harus memiliki sifat fisika dan kimia yang sama
34
dengan analit yang diinginkan (Ahuja dan Dong, 2005, Ermer dan Miller, 2005,
Adamovics, 1997, Chan, dkk., 2004). Kloramfenikol dan kafein memiliki sifat
yang sama yaitu dalam kelarutannya. Pada perbandingan tertentu, kedua analit
larut dalam etanol, kemurnian kafein yang tinggi, dan dapat terpisah dengan baik
dengan kloramfenikol, yang terlihat dari nilai resolusi yang lebih dari 1,5 pada
saat penelitian.
Pengembangan suatu metode didahului dengan optimasi. Hal ini dilakukan juga
pada penetapan kloramfenikol dalam madu dengan baku internal kafein
menggunakan SPE dan KCKT. Optimasi SPE meliputi jenis cartridge yang
digunakan, dan jumlah volume pengelusi. Optimasi KCKT meliputi panjang
gelombang maksimum, penentuan konsentrasi pelarut yang digunakan, volume
penyuntikan, dan komposisi fasa gerak.
V.2.1 Optimasi Jenis Cartridge dan Volume Pengelusi
Analit yang terikat pada cartridge dielusi dengan etanol, baik dalam blanko yang
di-spike maupun dalam sampel. Jenis cartridge yang dioptimasi adalah HLB dan
C18. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh Verzegnassi, L., dkk.,
2003 dan Sheridan, R., dkk., 2008, cartridge yang digunakan adalah HLB.
Cartridge C18 digunakan oleh Forti, A.F., dkk., tahun 2005, Shen, H. Y., dkk.,
tahun 2005, Rejtharova, M., dkk., tahun 2009, dan Scorthicini, G., dkk., tahun
2005. Analit dan baku internal dapat terikat baik pada HLB dan C18, karena
kedua sorben memiliki sifat nonpolar (HLB memiliki sifat dapat mengikat
senyawa polar dan nonpolar). Cartridge yang dipilih adalah C18 karena hasil dari
rekoveri blanko yang di-spike lebih tinggi dibandingkan menggunakan HLB, dan
bentuk puncak yang lebih runcing serta jumlah lempeng teoritis yang lebih besar
yaitu 1681 untuk C18 dan 891 untuk HLB. Baku internal akan terelusi lebih
dahulu karena lebih polar dibandingkan dengan kloramfenikol.
Pemilihan pengelusi dan jumlah volume pengelusi mempengaruhi hasil rekoveri.
Pengelusi yang digunakan adalah etanol (kelarutan tinggi untuk kloramfenikol dan
kafein) dengan jumlah volume yang dioptimasi yaitu 1, 1,125 dan 1,25 mL. Hasil
35
rekoveri pada penggunaan C18 dengan volume 1 dan 1,25 tidak berbeda jauh akan
tetapi dipilih volume 1 mL untuk menghindari komponen lain yang larut dalam
etanol menjadi ikut terelusi. Hasil dari optimasi volume pengelusi tersebut dapat
dilihat pada Tabel V.3.
Tabel V.3. Jenis Cartridge SPE dan Volume Pengelusi
Etanol
(mL)
Baku Campur Spike Reko-
veri
(%)
IS Kafein Kloramfenikol IS Kafein Kloramfenikol
HLB Rt Area Rt Area Rt Area Rt Area
1 11,66
4
38667 16,39
0
188635 11,632 41865 16,39
9
182977 91,16
1,125 11,66
4
38667 16,39
0
188635 11,632 43237 16,33
9
180271 86,35
1,25 11,66
4
38667 16,39
0
188635 11,711 41070 16,32
8
178999 90,98
C18
1 11,66
4
38667 16,39
0
188635 11,697 40933 16,41
6
184770 94,25
1,125 11,66
4
38667 16,39
0
188635 11,724 40388 16,46
3
182280 93,15
1,25 11,66
4
38667 16,39
0
188635 11,746 41317 16,44
7
185970 94,29
V.2.2 Optimasi Konsentrasi Pelarut
Pada tahap awal penelitian, ditentukan pelarut yang digunakan untuk dapat
melarutkan dengan sempurna kedua baku baik kloramfenikol maupun baku
internal kafein. Pelarut tersebut adalah etanol. Pemilihan pelarut ini didasarkan
pada kelarutannya. Dalam Farmakope Indonesia IV tahun 1999, kloramfenikol
larut dalam etanol, sedangkan kafein agak sukar larut dalam etanol. Akan tetapi
dalam Farmakope Eropa edisi 5 tahun 2005, dinyatakan bahwa kafein sedikit larut
dalam etanol (larut sekitar 1 gram dalam 100-1000 mL pelarut), sehingga pada
percobaan dipastikan bahwa kafein terlarut sempurna karena penimbangan
sebanyak 5 mg dan dilarutkan dalam 100 mL pelarut. Pada saat disuntikkan ke
dalam sistem KCKT, kedua baku yang dilarutkan dalam etanol mutlak mengalami
fronting. Hasil penyuntikan dari baku dapat dilihat pada Tabel V.4.
36
Tabel V.4. Hasil Penyuntikan Baku Campur dengan Pelarut Etanol 100%
Kafein Kloramfenikol
Rt Area TF R N Rt Area TF R N
1 2,892 52798 - 0,521 35 6,543 34109 0,737 2,676 1152
2 2,899 56387 - 0,516 34 6,559 34902 0,713 2,656 1127
3 2,91 53695 - 0,546 39 6,554 34504 0,738 2,762 1151
Rata-
rata 2,900 54293,3
6,552 34505
SD 9,07x10-3 1867,81
8,19x10-3 396,5
SBR 0,31 3,44
0,12 1,15
Fronting terjadi karena terlalu kuatnya pelarut yang digunakan, kolom yang
overload, atau reaksi kimia selama proses kromatografi berlangsung. Hal lain
yang perlu diperhatikan juga adalah tailing faktor. Tailing faktor dinyatakan baik
apabila berkisar 0,9-1,4 (Ahuja dan Dong, 2005).
Puncak yang dihasilkan menggunakan pelarut etanol mengalami fronting,
sehingga dipilih pelarut (etanol) dengan tingkat konsentrasi yang lebih rendah,
yaitu etanol 10-50 %. Volume penyuntikkan dioptimasi pada 20, 50, dan 100 μL.
Konsentrasi etanol yang dipilih sebagai pelarut akhir yang disuntikkan ke sistem
KCKT adalah etanol 10 % dengan volume penyuntikan 100 μL. Volume
penyuntikan dibuat besar karena diperlukan area yang besar pada konsentrasi
rendah, sehingga limit deteksi dari metode menjadi kecil. Selain daripada itu, nilai
tailing faktor dan jumlah lempeng teoritis juga harus memenuhi persyaratan.
Optimasi konsentrasi pelarut dan volume penyuntikan dapat dilihat pada Tabel
V.5. dan Tabel V.6.
Tabel V.5. Hasil Tailing Faktor dan Lempeng Teoritis Baku Campur
Kloramfenikol dan Kafein pada Variasi Konsentrasi Etanol dan
Volume Penyuntikan
Kafein
Kloramfenikol
Etanol 20 μL 50 μL 20 μL 50 μL
TF N TF N TF N TF N
10% 1,214
3658,386 1,242
3870,387
1,09
5626,074
1,095
5669,282
20% 1,206
3029,421
1,255
2365,072
1,084
5491,468
1,099
5408,153
30% 1,216
2228,516
1,194
1009,903
1,08
5237,947
1,109
4963,906
40% 1,202
2228,516
0,779
1009,903
1,08
5237,947
1,109
4963,906
50% 1,208
866,516
1,082
4319,121
37
Tabel V.6. Hasil Tailing Faktor dan Lempeng Teoritis Baku Campur
Kloramfenikol dan Kafein pada Variasi Konsentrasi Etanol dan
Volume Penyuntikan 100 µL
V.2.3 Optimasi Panjang Gelombang Maksimum
Berdasarkan USP 35, 2012, panjang gelombang untuk kafein adalah 275 nm,
sedangkan kloramfenikol 280 nm (FI IV, 1995). Panjang gelombang yang dipilih
untuk analisa adalah 275 nm karena pada panjang gelombang tersebut, diperoleh
area kafein dan kloramfenikol tertinggi dibanding pada panjang gelombang yang
lain. Pengukuran panjang gelombang dilakukan menggunakan detektor PDA
dengan perbedaan rentang 5 nm. Hasil optimasi panjang gelombang dapat dilihat
pada pada Tabel V.7.
Tabel V.7. Hasil Optimasi Panjang Gelombang
No Panjang Gelombang (nm) Area Kafein Area Kloramfenikol
1 240 19477 13148
2 245 17103 14578
3 250 20024 17393
4 255 27623 21426
5 260 38626 27062
6 265 48208 31802
7 270 54517 35198
8 275 55098 37565
9 280 46540 36944
V.2.4 Optimasi Komposisi Fasa gerak
Fasa gerak yang digunakan adalah campuran metanol air, yang merupakan
modifikasi dari fasa gerak baku kloramfenikol yang tercantum dalam Farmakope
Indonesia IV tahun 1995. Pada optimasi, tidak digunakan asam asetat glasial
seperti pada Farmakope Indonesia karena fasa gerak dicampur di dalam sistem
KCKT dan kloramfenikol stabil pada pH 6-10 sehingga tidak memerlukan
Kafein Kloramfenikol
Etanol 100 μL 100 µL
TF N TF N
10% 1,302
3953,515
1,116
5704,259
20% 1,289
1574,721
1,124
5334,016
30% 0,916
342,284
1,153
4548,125
40% 0 122,474
1,194
2572,807
38
pengaturan pH (Han, J., dkk., 2011). Penggunaan campuran metanol air juga telah
dilakukan oleh Han, J., dkk., tahun 2011 dengan perbandingan (45:55). Hasil
optimasi fasa gerak dapat dilihat pada Tabel V.8.
Tabel V.8. Hasil KCKT menggunakan Kolom μ Bondapak C18 10 μm
(3,9x150 mm)
Metanol-air
Baku Campur Spike
IS Kafein Kloramfenikol IS Kafein Kloramfenikol
Retensi Area Retensi Area Retensi Area Retensi Area
20:80 8,659 47307 13,492 46845 8,599 38461 13,487 44804
15:85 15,061 45619 20,006 45865 14,981 36244 19.929 43666
17,5:82,5 11,093 78190 16,148 91778 11,161 76080 16,209 90480
Pada komposisi metanol-air 20:80, puncak dari baku internal yang ditambahkan
ke blanko tidak mencapai titik dasar. Pada perbandingan 15:85 sudah mencapai
titik dasar akan tetapi waktu analisa terlalu panjang, sekitar 23 menit,
menyebabkan kurang efektif dalam pengujian, sehingga dioptimasi kembali
dengan perbandingan 17,5:82,5. Perbandingan komposisi fasa gerak yang dipilih
adalah 17,5:82,5 dengan waktu analisa 20 menit. Pada saat akan dilakukan
validasi, puncak kafein dan kloramfenikol pecah. Hal ini disebabkan oleh efisiensi
kolom yang sudah berkurang sehingga kolom diganti dengan jenis yang sama
akan tetapi ukuran lebih panjang yaitu μ Bondapak C18 10μm (3,9x300 mm), dan
dilakukan optimasi kembali fasa gerak. Fasa gerak dioptimasi dengan
perbandingan metanol-air (17,5:82,5), (25:75), (22,5:77,5 dengan laju alir 1; 1,1;
dan 1,2 mL/menit). Hasil optimasi fasa gerak yang terbaik diperoleh pada
perbandingan metanol air (22,5:77,5) dengan laju alir 1,1 mL/menit. Hasil
optimasi dengan variasi komposisi fasa gerak dapat dilihat pada Tabel V.9. dan
Gambar V.2.
39
Tabel V.9. Optimasi Fasa Gerak menggunakan Kolom μ Bondapak C18 10 μm
(3,9x300 mm)
Metanol-air
Baku Campur Spike
IS Kafein Kloramfenikol IS Kafein Kloramfenikol
Retensi Area Retensi Area Retensi Area Retensi Area
17,5:82,5 22,460 35909 31,959 33933 23,860 35885 32,932 34170
25:75 11,931 39851 19,911 35497 12,233 39280 20,129 35691
22,5:77,5
(1mL/mnt) 14,506 38076 23,341 34819 14,649 38144 23,354 36490
22,5:77,5
(1,1mL/mnt) 12,524 34693 20,196 31188 12,675 35706 20,171 33677
22,5:77,5
(1,2mL/mnt) 11,474 32170 18,492 29669 11,588 32957 18,497 30904
40
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g)
(g)
(h)
(h)
(i)
(j)
Gambar V.2. Kromatogram optimasi komposisi fasa gerak metanol-air (a)
(17,5:82,5) laju alir 1,0 mL/menit (b) spike matriks (c) (25:75)
laju alir 1,0 mL/menit (d) spike matriks (e) (22,5:77,5) laju alir
1,0 mL/menit (f) spike matriks (g) (22,5:77,5) laju alir 1,1
mL/menit (h) spike matriks (i) (22,5:77,5) laju alir 1,2 mL/menit
(j) spike matriks.
41
V.2.5 Validasi Metode
Validasi metode dilakukan dengan parameter-parameter spesivisitas, linearitas
dan rentang, batas deteksi dan batas kuantitasi yang diperoleh melalui perhitungan
statistik dari kurva regresi linear yang diperoleh, presisi, presisi antar hari, akurasi,
serta robustness.
V.2.5.1 Uji Kesesuaian Sistem
Setiap melakukan analisa, harus dilakukan uji kesesuaian sistem terlebih dahulu
untuk memastikan kesesuaian dan keefektifan sistem yang dilakukan baik itu
peralatan maupun zat uji. Parameter yang perlu diperhatikan adalah nilai
simpangan baku relatif (SBR) penyuntikan berulang, resolusi, tailing faktor (TF),
dan jumlah lempeng teoritis (N). Nilai simpangan baku relatif penyuntikan
berulang tergantung dari monografi. Bila tidak dinyatakan nilainya maka
persyaratan adalah ≤ 2,0 %, resolusi ≥ 1,5 dan tailing faktor 0,9-1,4 (FI IV, 1995,
Adamovics, 1997, dan Ahuja dan Dong, 2005). Hasil dari uji kesesuaian sistem
dapat dilihat pada Tabel V.10. dan Tabel V.11.
Tabel V.10. Hasil Uji Kesesuaian Sistem
Kafein Kloramfenikol Rasio
Retensi Area Retensi Area Retensi Area
1 12,315 32441 19,644 32427 1,60 1,00
2 12,320 32653 19,639 32172 1,59 0,99
3 12,267 32457 19,568 32402 1,60 1,00
4 12,273 32339 19,614 32222 1,60 1,00
5 12,260 32697 19,559 32531 1,60 1,00
6 12,257 32412 19,555 32192 1,60 0,99
Rata-rata 12,28 32499,83 19,60 32324,33 1,60 1,00
SD 0,03 142,28 0,04 148,64 1,36 x 10-3
5,11 x 10-3
SBR 0,23 0,44 0,21 0,46 0,09 0,51
42
Tabel V.11. Data Faktor Ikutan, Jumlah Lempeng Teoritis, Faktor Kapasitas dan
Resolusi Larutan Baku Campur Kloramfenikol dan Baku Internal
Kafein
Kafein Kloramfenikol
TF R N TF R N
1 0,996 11,88 1629 1,003 5,947 3989
2 0,988 12,186 1595 1,058 5,947 4095
3 1,012 12,577 1684 1,035 5,982 3952
4 1,012 12,105 1581 1,01 5,959 4076
5 0,994 12,552 1665 1,067 5,935 3870
6 0,975 11,994 1502 1,005 5,922 4251
Rata-rata 1,00 12,22 1609,33 1,03 5,95 4038,83
SD 0,01 0,29 65,71 0,03 0,02 132,72
SBR 1,43 2,37 4,08 2,72 0,35 3,29
SBR rasio dari peyuntikan berulang baku campur, diperoleh hasil masing-masing
0,09 % dan 0,51 % untuk retensi dan area yang memenuhi persyaratan yaitu <
2,0 %. Hasil ini diperoleh dari perbandingan area atau retensi kloramfenikol
terhadap baku internal kafein. Tailing faktor menunjukkan puncak memiliki
kesimetrisan yang baik yaitu mendekati 1. Hasil resolusi rata-rata 12,22 untuk
kafein dan 5,95 untuk kloramfenikol dengan persyaratan > 1,5. Hasil ini
menunjukkan baik baku internal kafein maupun kloramfenikol memiliki
pemisahan yang baik. Jumlah lempeng teoritis > 2000 menunjukkan efisiensi
kolom yang baik (kloramfenikol).
V.2.5.2 Spesivisitas
Spesifisitas dilakukan untuk memastikan analit tidak terpengaruh oleh adanya
komponen lain. Uji spesifisitas dilakukan dengan membandingkan pelarut,
blanko, baku, dan blanko yang di-spike dengan analit. Hasil dari uji spesivisitas
ini dapat dilihat pada Gambar V.3.
43
(a) (b)
(c) (d)
Gambar V.3. Kromatogram uji spesivisitas (a) pelarut (b) blanko (c) larutan baku
campur (d) blanko yang di-spike.
Dari kromatogram di atas, tidak terdapat gangguan pada puncak retensi baku
campur maupun blanko yang di-spike dengan baku, yang berasal dari retensi
blanko dan pelarut serta nilai resolusi ≥ 1,5.
V.2.5.3 Linearitas dan Rentang
Rentang linear konsentrasi kloramfenikol terhadap rasio area kloramfenikol
terhadap baku internal kafein adalah 0,04-0,28 μg/mL (7 tingkat konsentrasi),
dengan nilai persamaan regresi linear y = 4,911x – 0,012. Nilai koefisien korelasi
(r) sebesar 0,9998. Selain daripada itu, koefisien variasi regresi linear (Vx0)
sebesar 0,94 % memenuhi persyaratan ≤ 2,0 %. Semakin kecil nilai Vx0 semakin
baik dan nilai r > 0,999 menunjukkan kelinearan yang baik. Data dari hasil uji
linearitas tersebut dapat dilihat pada Tabel V.12. dan kurva regresi linearnya pada
Gambar V.4.
44
Tabel V.12. Konsentrasi dan Rasio Area Kloramfenikol terhadap Baku Internal
Kafein
Konsentrasi (μg/mL) Rasio Rasio rata-rata
0,04 (20%)
0,18
0,18 0,18
0,18
0,08 (40%)
0,39
0,39 0,39
0,38
0,12 (60%)
0,57
0,57 0,57
0,57
0,16 (80%)
0,77
0,77 0,78
0,77
0,20 (100%)
0,98
0,98 0,98
0,98
0,24 (120%)
1,16
1,16 1,16
1,16
0,28 (140%)
1,37
1,36 1,37
1,35
Gambar V.4. Kurva kalibrasi kloramfenikol.
y = 4,911x - 0,012
R² = 0,9997
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30
Ra
sio
Are
a
C (μg/mL)
45
V.2.5.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Dari persamaan kurva regresi linear dapat ditentukan nilai batas deteksi dan batas
kuantitasi dengan menghitung secara statistik nilai simpangan baku y-intersep
(simpangan baku titik potong dengan sumbu y) terhadap slope yang diperoleh dari
persamaan regresi linear (ICH, 2005).
Hasil dari batas deteksi dan batas kuantitasi masing-masing 4,20 ng/mL dan 12,73
ng/mL. Beberapa penelitian yang menggunakan SPE baik dengan ekstraksi cair-
cair terlebih dahulu yang dilanjut dengan SPE memperoleh nilai batas deteksi
sebesar < 0,1 µg/kg (Verzegnassi, L., dkk., 2002), 0,2 ng/g (Sheridan, R., dkk.,
2008), 0,07 µg/kg (Forti, A. F., dkk., 2004), 0,027 ng/g (Ozcan and Oycan 2013),
di mana semuanya menggunakan detektor MS atau MS/MS. Sedangkan dengan
HPLC dengan teknik ekstraksi cair-cair menggunakan campuran dua fasa larutan
ionik dan garam natrium sitrat, diperoleh hasil nilai batas deteksi dan kuantitasi
yang lebih kecil dari yang diperoleh dari penelitian yaitu masing-masing 0,3
ng/mL dan 1,0 ng/mL (Han, dkk., 2010). Hal ini disebabkan oleh perbedaan
kelarutan kloramfenikol dengan teknik penelitian yang telah dilakukan dengan
yang dikembangkan, sensitivitas detektor pada alat KCKT yang digunakan, dan
jenis kolom.
V.2.5.5 Presisi
Presisi menunjukkan kedekatan hasil antara pengukuran sampel satu dengan
lainnya yang diperoleh dari beberapa kali sampling dari sampel yang homogen
pada kondisi tertentu. Uji presisi dilakukan intraday (keberulangan atau
repeatability) dan interday (intermediate precision). Presisi interday dilakukan
sebanyak 3 kali pada hari yang berbeda. Parameter keberterimaan dari presisi
adalah SBR dan nilai Horrat. Hasil uji presisi dapat dilihat pada Tabel V.13.
46
Tabel V.13. Hasil Uji Presisi Intraday dan Presisi Interday
Parameter Hari Antar Hari
1 2 3
Konsentrasi rata-rata (mg/mL) 1,94 x 10-4
1,97 x 10-4
1,94 x 10-4
1,95 x 10-4
SD 1,88 x 10-6
3,44 x 10-6
3,21 x 10-6
1,85 x 10-6
SBR (%) 0,97 1,74 1,66 0,95
Fraksi persen 1,94 x 10-5
1,97 x 10-5
1,94 x 10-5
1,95 x 10-5
KV Horwitz (%) 10,24 10,21 7,24 10,23
2/3 KV Horwitz 6,82 6,81 4,83 6,82
Horrat 0,09 0,17 0,23 0,09
Dari perhitungan fraksi persen yang diperoleh pada percobaan, diperoleh nilai
persyaratan SBR < 11%, nilai KV Horwitz < 16%, dan nilai Horrat (Horwitz
ratio) < 2 (AOAC Appendix F, 2012). Berdasarkan teori terompet Horwitz,
simpangan baku relatif akan meningkat dengan menurunnya konsentrasi. Nilai
Horrat < 2, menunjukkan metode analisa mempunyai presisi yang memadai. Hasil
yang diperoleh dari uji presisi intraday dan presisi interday memenuhi persyaratan
yang telah ditentukan.
V.2.5.6 Akurasi
Akurasi adalah kedekatan hasil analisa dengan nilai yang dapat diterima baik
sebagai nilai benar atau hasil yang diperoleh dari referensi. Teknik yang dilakukan
pada penelitian adalah menganalisa sampel dengan sejumlah bahan baku yang
konsentrasinya diketahui dan membandingkan hasil yang diperoleh dengan baku
yang telah ditambahkan yang dinyatakan sebagai nilai keberolehan kembali
(rekoveri) (ICH, 2005 dan Huber, L., 2003). Hasil keberolehan kembali dari baku
kloramfenikol yang ditambahkan ke dalam blanko dapat dilihat pada Tabel V.14.
47
Tabel V.14. Hasil Rekoveri dari Baku Kloramfenikol yang Di-spike ke dalam
Blanko
Konsentrasi Jumlah Baku yang
Ditambahkan (mg)
Keberolehan
Kembali (mg) Rekoveri (%)
80% 0,016
0,016 97,38
0,016 101,04
0,016 98,85
100% 0,020
0,019 97,39
0,020 102,03
0,019 96,41
120% 0,024
0,023 97,41
0,024 98,86
0,023 96,02
Rata-rata
98,38
SD
2,04
SBR
2,07
Nilai rekoveri dari baku kloramfenikol yang ditambahkan adalah 96,02-102,03 %
dengan penambahan baku 80–120 %. Hal ini memenuhi syarat keberterimaan
dari akurasi yaitu 80–100% (AOAC Appendix F, 2012).
V.2.5.7 Robustness
Robustness adalah ketahanan dari metode yang tidak terpengaruh oleh adanya
perubahan atau variasi kecil yang sengaja dilakukan, yang memberikan indikasi
adanya kesesuaian selama penggunaan normal. Ketahanan dari metode dilakukan
melalui optimasi yang telah dikerjakan. Hal ini seperti tercantum dalam ICH
Q2(R1) tahun 2005 dan dalam USP 35, 2012.
V.2.6 Pengujian Sampel Madu di Pasaran
Pengujian terhadap sampel yang beredar di pasaran dilakukan setelah hasil dari
validasi metode memenuhi persyaratan. Sampel yang dianalisa adalah 11 sampel
yang diperoleh dari beberapa supermarket dan dari peternak lebah madu. Hasil
dari pengujian kloramfenikol dalam madu dapat dilihat pada Tabel V.15.
48
Tabel V.15. Hasil Pengujian Kloramfenikol dalam Madu
SAMPEL HASIL
1 Tidak terdeteksi (TD)
2 TD
3 TD
4 TD
5 TD
6 TD
7 TD
8 TD
9 TD
10 TD
11 TD
Dari hasil tersebut tidak satu pun kloramfenikol terdeteksi dengan metoda yang
telah dikembangkan yaitu SPE yang dilanjutkan dengan KCKT. Hal ini
disebabkan kadar kloramfenikol dalam sampel berada di bawah batas deteksi
metode yang telah dikembangkan atau sampel tersebut benar-benar tidak
mengandung kloramfenikol. Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh European
Union dalam Commision Regulation (EU) No 37/2010, dinyatakan bahwa
kloramfenikol tidak dapat ditetapkan batas residu maksimalnya (Maximum
Residu Limit) karena pada nilai berapun, senyawa tersebut jika terdapat dalam
produk yang berasal dari hewan akan berbahaya terhadap manusia. SNI 3545
tahun 2013 menyatakan bahwa kloramfenikol tidak terdeteksi dengan
menggunakan LC-MS.
49
Bab VI Kesimpulan dan Saran
VI.1 Kesimpulan
Metode yang digunakan pada penetapan kloramfenikol dalam madu dengan baku
internal kafein menggunakan SPE dan KCKT menghasilkan hasil yang
memenuhi syarat di semua parameter validasi dengan nilai batas deteksi 4,20
ng/mL dan batas kuantitasi 12,73 ng/mL. Pengujian terhadap beberapa produk
madu yang ada di pasaran dengan menggunakan metode tersebut, menunjukkan
bahwa tidak terdeteksi kandungan kloramfenikol pada seluruh sampel uji.
VI.2 Saran
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk kelanjutan penelitian, yaitu pemilihan
jenis cartridge yang berbeda dari yang telah digunakan, penggunaan jenis pelarut
lain sebagai pelarut pengelusi, serta pemanfaatan metode yang telah
dikembangkan untuk analisa kafein tunggal dalam jenis matriks yang berbeda
seperti dalam obat tradisional.
50
DAFTAR PUSTAKA
Adamovics, J. A. (1997) : Chromatographic Analysis of Pharmaceuticals, Second
Edition, Marcel Dekker Inc, New York, 10-11.
Ahuja, S., M. W. Dong. (2005) : Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC,
Volume 6, Elsevier, 262, 370-371, 387, 434.
Anonim. (2013) : CEM Application Note For Acid Digestion. CEM PO.BOX 200.
Matthews, NC 28106.
Assosiation of Official Analytical Chemist. (2012) : AOAC Official Methods of
Analyis, Appendix F : Guidelines for Standard Method Performance
Requirements.
Badan Standardisasi Nasional. (2013) : Standar Nasional Indonesia Madu, SNI
3545-2013.
Badan Standardisasi Nasional. (1992) : Standar Nasional Indonesia Cara Uji Gula,
SNI 01-2892-1992).
Basumallick, L., J. Rohrer. (2013) : Determination of Hydroxymethylfurfural in
Honey and Biomass, Thermo Fisher Scientific, Sunnyvale, CA, USA.
Brunton L., K. Parker, D. Blumenthal, Iain B. (2008) : Goodman Gillman’s
Manual of Pharmacology Therapeutics, McGraw Hill Companies Inc., 766-
768.
Chan, C. C., H. Lam, Y. C. Lee, X. M. Zhang (2004) : Analytical Methode
Validation and Instrument Performance Verification, John Wiley and Sons,
Inc. Publication, Hoboken, New Jersey, 108, 125, 177-179.
Chen, H., H. Chen, J. Ying, J. Huang, L. Liao. (2009) : Dispersive Liquid-Liquid
Microextraction Followed by High-Performance Liquid Chromatography
As an Efficient and Sensitive Technique for Simultaneous Determination of
Chloramphenicol and Thiamphenicol in Honey, Analytica Chimica Acta,
632, 80-85.
Commission European Pharmacopoeia. (2005) : European Pharmacopoeia, 5th
ed., 1145.
Commision Regulation (EU) No. 37/2010. (2009) : Phramacologically Active
Substances and Their Classification Regarding Maximum Residue Limits in
Foodstuffs of Animal Origin, Brussel.
Departemen Kesehatan. (1995) : Farmakope Indonesia, Edisi IV, 189, 1002-1018.
51
Ermer J., dan J. H. McB. Miller. (2005) : Method Validation in Pharmaceutical
Analysis, Wiley-Vch Verlag GmbH & Co., KGaA, Weinheim, 318.
Forti, A. F., G. Campana, A. Simonella, M. Multari, G. Scortichini. (2005) :
Determination of Chloramphenicol in Honey by Liquid Chromatography-
Tandem Mass Spectrometry, Analytica Chimica Acta, 529, 257-263.
Gheldof, N., X. H. Wang, dan N. J. Engeseth. (2002) : Identification and
Quantification of Antioxidant Component of Honeys from Various Floral
Sources, J. Agric. Food Chem., Vol. 50, 5870-5877.
Gustavo A. G., M. A. Herrador. (2007) : A Practical Guide to Analytical Method
Validation, including Measurement Uncertainty and Accuracy Profiles,
Trends in Analytical Chemistry, Vol. 26, No. 3, 227-238.
Han, J., Y. Wang, C. L. Yu, Y. S. Yan. (2011) : Extraction and Determination of
Chloramphenicol in Feed Water, Milk, and Honey Samples using an Ionic
Liquid/Sodium Citrate Aqueous Two-Phase System Coupled with High
Performance Liquid Chromatography, Anal Bioanal Chem, 399, Springer,
1295-1304.
http://www.pom.go.id/webreg/ (diakses tanggal 17 Desember 2014).
http://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/ (diakses tanggal 1 Mei 2014).
http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v53je03.htm (diakses tanggal
18 November 2014).
http://www.inchem.org/documents/iarc/vol50/08-chloramphenicol.html (diakses
tanggal 18 November 2014).
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00201 (diakses tanggal 4 Februari 2015).
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00446 (diakses tanggal 4 Februari 2015).
Huang, J. F., H. J. Zhang, Y. Q. Feng. (2006) : Chloramphenicol Extraction from
Honey, Milk, and Eggs Using Polymer Monolith Microextraction Followed
by Liquid Chromatography-Mass Spectrometry Determination, J. Agric.
Food Chem., Vol. 54, No. 25, 9279-9286.
Huber, L. (2003) : Validation of Analytical Methods and Processes. Agilent
Technology GmbH, Waldbronn, Germany, Marcel Dekker, Inc.
Ibrahim, S. (2005) : Berbagai Pendekatan Pengujian Kelinieran Kurva Baku pada
Metode Analisis Instrumental, Acta Pharmaceutica Indonesia, Vol. XXX,
No.1, 30-34.
52
ICH Harmonised Tripartite Guideline. (2005) : Validation of Analytical
Procedures : Text and Methodology Q2(R1).
International Honey Commission. (2009) : Harmonised Methods of The
International Honey Commission.
Li, J., L. Chen, X. Wang, H. Jin, L. Ding, K. Zhang, H. Zhang. (2008) :
Determination of Tetracyclines Residues in Honey by On-Line Solid-Phase
Extraction High-Performance Liquid Chromatography, Talanta, 75, 1245-
1252.
Kazakevich, Y. dan R. Lobrutto. (2007) : HPLC for Pharmaceutical Scientists,
John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey, 9-10, 22, 26.
Martos, M. V., Y. R. Navajas, J. F. Lopez, J. A. P. Alvarez. (2008) : Functional
Properties of Honey, Propolis, and Royal Jelly, Journal of Food Science,
Vol. 73, Nr. 9, 117-124.
Moffat, A., M. D. Osselton, B. Widdop. (2011) : Clarke’s Analysis of Drugs and
Poisons, Fourth edition, Pharmaceutical Press, London, 1070-1071, 1028.
Nickerson, B. (2011) : Sample Preparation of Pharmaceutical Dosage Forms.
Challenges and Strategies for Sample Preparation and Extraction, Springer,
New York, 75, 80.
Ozcan, N., dan O. Aycan. (2013) : Determination of Chloramphenicol in Honey,
Milk, and Egg by Liquid Chromatography/Mass Spectrometry: Single-
Laboratory Validation, Journal of AOAC International, Vol. 96, No. 5,
1158-1163.
PERMENKES RI No 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang perubahan atas
PERMENKES No 722/MENKES/PER/IX/1988, Bahan Tambahan
Makanan.
Poedjiadi, A. (1994) : Dasar-Dasar Biokimia, UI Press, 39, 41.
Pusat Standardisasi Industri Departemen Perindustrian (1992) : Standar Nasional
Indonesia Cara Uji Makanan dan Minuman, SNI 01-2891-1992.
Rejtharova, M., L. Rejthar. (2009) : Determination of Chloramphenicol in Urine,
Feed Water, Milk and Honey Samples using Molecular Imprinted Polymer
Clean-Up, J. Chromatogr. A, 1216, 8246-8253.
Scortichini, G., L. Annunziata, M. N. Haouet, F. Benedetti, I. Krusteva, R.
Galarini. (2005) : ELISA Qualitative Screening of Chloramphenicol in
Muscle, Eggs, Honey and Milk: Method Validation According to The
Commission Decision 2002/657/EC Criteria, Analytica Chimica Acta, 535,
43-48.
53
Scott, R. P. W. (1994) : Liquid Chromatography for the Analyst, Vol. 67, Marcel
Dekker, Inc., New York, 205-206.
Shen, H. Y., H. L. Jiang. (2005) : Screening, Determination and Confirmation of
Chloramphenicol in Seafood, Meat and Honey using ELISA, HPLC-UVD,
GC-ECD, GC-MS-EI-SIM and GCMS-NCI-SIM Methods, Analytica
Chimica Acta, 535, 33-41.
Sheridan, R., B. Policastro, S. Thomas, D. Rice. (2008) : Analysis and Occurrence
of 14 Sulfonamide Antibacterials and Chloramphenicol in Honey by Solid-
Phase Extraction Followed by LC/MS/MS Analysis, J. Agric. Food Chem.,
Vol. 56, No. 10, 3509-3516.
Skoog, D. A., F. J. Holler, S. R. Crouch. (2007) : Principle of Instrumental
Analysis. Six edition, Thomson Brooks/Cole, USA.
Supelco. (1998) : Guide to Solid Phase Extraction, Bulletin 910, Sigma-Aldrich
Co.
Ustunol, Z. (2001) : The Effect of Honey on The Growth of Bifidobaceria,
National Honey Board, Michigan State University.
The United States Pharmacopoeial Convention. (2012) : The United States
Pharmacopoeia, 35th ed., United States Pharmacopeial Convention Inc.,
Rockville, 878–881, 2427.
Verzegnassi, L., D. Royer, P. Mottler, R. H. Stadler. (2003) : Analysis of
Chloramphenicol in Honeys of Different Geographical Origin by Liquid
Chromatography Coupled to Eletrospray Ionization Tandem Mass
Spectrometry, Food Additives and Contaminants, Vol. 20, No. 4, 335-342.
Watson, D. G. (2010) : Analisis Farmasi Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi
dan Praktisi Kimia Farmasi, Diterjemahkan oleh Winny R. Syarief, Jakarta,
EGC.
White, J. W. Jr. dan L. W. Doner. (1980) : Honey Composition and Properties,
Beekeeping in The United States Agricultural Handbook, No. 335,
Philadelphia, 82-91.