1
PE
NG
EM
BA
NG
AN
PE
RT
AN
IAN
TU
MPA
NG
SA
RI
PA
DA
LA
HA
N K
ER
ING
DI B
ALI S
ELA
TA
N
I I M
AD
E S
UK
ER
TA
PENGEMBANGAN PERTANIAN
TUMPANGSARI PADA LAHAN
KERING DI BALI SELATAN
Penulis:
I Made Sukerta
ISBN : 978-623-91014-2-8
ii
iii
iv
v
PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN
KERING DI BALI SELATAN
Cetakan Pertama Januari 2020
18 x 25 cm , viii +
ISBN : 978-623-91014-2-8
Penulis I Made Sukerta
Editor
Soemarno
Cover:
Putu Noah Aletheia
Diterbitkan Oleh CV. Noah Aletheia
Jl. Tegalsari Gg. Koyon. No. 25 D. Banjar Tegalgundul Desa Tibubeneng, Kec. Kuta Utara, Kab. Badung Bali Indonesia.
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian buku ini
vi
KATA PENGANTAR
Pengembangan usaha tani lahan kering di Indonesia menghadapi
berbagai kendala, baik kendala sosial-ekonomi maupun kendala biofisik seperti
rendahnya kesuburan tanah dan keterbatasan ketersedian lengas-tanah dalam
setahun. Oleh karena itu, ketersediaan lengas-tanah menjadi faktor penting dalam
pengelolaan pertanian lahan kering. Ketersediaan lengas-tanah di lahan kering
ditentukan oleh curah hujan dan kemampuan tanah menahan air. Peluang untuk
meningkatkan produksi tanaman pada pertanian lahan kering ditekankan upaya
untuk memaksimalkan produksi per unit air. Selain itu suhu yang tinggi, curah
hujan yang tidak terdistribusi merata, serta kerentanan tanah terhadap erosi akan
menambah kompleksitas permasalahan.
Lahan kering di Bali menempati areal yang sangat luas, dari luas wilayah
563.666 ha, sekitar 274.755 ha merupakan lahan kering. Wilayah Bali Selatan,
termasuk kabupaten Badung seluas 18.004 ha, seluruhnya merupakan lahan
kering, dengan potensi lahan termasuk lahan marginal. Potensi yang demikian
besar harus dimanfaatkan produksi pertanian, khususnya untuk memenuhi
kebutuhan pangan.
Perhitungan kebutuhan air tanaman untuk lahan kering di wilayah Bali
Selatan diharapkan dapat membantu dalam pembuatan kebijakan dan
perencanaan di wilayah Bali Selatan tentang cara yang efektif dalam penggunaan
sumberdaya air yang terbatas guna menunjang ketahanan pangan dan pelestarian
lingkungan. Petani sangat membutuhkan informasi yang dapat membantu dalam
hal penggunaan air hujan yang lebih efektif, salah satunya dengan menepatkan
fase pertumbuhan tanaman dengan masa hujan atau ketersediaan air tanah.
Denpasar,
Tim Penyusun
vii
DARTAR ISI
SAMPUL i
SAMPUL DALAM iii
HALAMAN PENGESAHAN v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI vii
I. PENDAHULUAN II. KONDISI IKLIM DAERAH BALI SELATAN
2.1 Karakteristik Iklim Daerah Bali 2.2 Pentingnya Iklim dalam Sistem Pertanian 2.3 Sifat Fisik Tanah, Ketersediaan Air dan Infiltrasi 2.4 Potensi Lahan Kering 2.5 Tipologi Lahan Kering 2.6 Syarat Tumbuh Tanaman 2.7 Siklus dan Keseimbangan Air 2.8 Kebutuhan Air Tanaman 2.9 Pola Tanam 2.10 Nilai Ekonomi Tanaman 2.11 Model CropWat for Windows
III. KONSEP PENGEMBANGAN LAHAN KERING IV. METODE PENGEMBANGAN LAHAN KERING 4.1 Tempat Pengembangan Lahan Kering 4.2 Persiapan Pengembangan Lahan Kering 4.3 Tahap Pengembangan Lahan Kering V. HASIL PENGEMBANGAN LAHAN KERING 5.1 Observasi Daerah Pengembangan Lahan Kering 5.2 Neraca Air Wilayah (Metode Thorntwaite-Mather) 5.3 Simulasi Neraca Air dengan CropWat for Windows 5.4 Percobaan Lapangan 5.5 Analisis Pola Tanam 5.6 Pembahasan Umum VI. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA
1
5 5 6 11 16 17 18 19 24 25 27 27
29
32 32 32 33
44 44 46 48 50 69 75
85
1
BAB I.
PENDAHULUAN
Pengembangan usahatani lahan kering di Indonesia menghadapi berbagai kendala,
baik kendala sosial-ekonomi maupun kendala biofisik seperti rendahnya kesuburan tanah dan
keterbatasan ketersediaan lengas-tanah dalam setahun. Oleh karena itu, ketersediaan lengas-
tanah menjadi faktor penting dalam pengelolaan pertanian lahan kering. Ketersediaan lengas-
tanah di lahan kering ditentukan oleh curah hujan dan kemampuan tanah menyimpan air
(Yonky et al., 2003).
Peluang untuk meningkatkan produksi tanaman pada pertanian lahan kering
ditekankan upaya untuk memaksimalkan produksi per unit air. Terdapat hubungan antara
kebutuhan air tanaman dan hasil (Al-Jamal et al., 1999 dan Rockstron, 2001). Hubungan
antara jumlah air yang diberikan dan hasil suatu tanaman adalah sangat kompleks, menurut
Upton (1996) dapat bervariasi dalam frekwensi dan intensitasnya. Selain itu, suhu yang tinggi,
curah hujan yang tidak terdistribusi merata, serta kerentanan tanah terhadap erosi akan
menambah kompleksitas permasalahan. Kendala sosial ekonomi yang sangat menentukan
pengembangan lahan kering antara lain kemiskinan, kebodohan dan lemahnya infrastruktur
(Agung, 2005).
Menurut Munandar (1994) kendala utama dalam berusaha tani di lahan kering karena
tidak tersedianya sumber air yang pasti pada saat diperlukan, hal ini menyebabkan sering
terjadi gagal panen, rendahnya hasil panen karena petani umumnya sulit melaksanakan
intensifikasi, intensitas tanam yang rendah, pola tanam yang cenderung monokultur. Sebagai
akibat dari produktivitas lahan yang rendah maka pendapatan petani juga rendah sehingga
tingkat kesejahteraannya rendah. Dengan kondisi demikian para petani tidak mampu
menggunakan input produksi yang cukup. Pengetahuan dan ketrampilan petani rendah,
menyebabkan mereka sulit dalam melaksanakan teknologi pertanian maju. Lebih lanjut Agung
(2006) dan Munandar (1994) menjelaskan bahwa partisipasi petani dalam usaha
pengembangan pertanian yang rendah menyebabkan terbatasnya sarana dan prasarana
usaha tani yang ada.
Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah memacu
pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan sehingga eksploitasi sumberdaya alam
semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan manusia
(Yonky et al., 2003). Akibatnya, sumberdaya alam semakin langka dan semakin menurun
kualitas dan kuantitasnya.
Tanah dan air sebagai sumberdaya vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan
tidak luput pula dari degradasi tersebut baik secara fisik maupun kimia. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor seperti pencemaran, kegiatan pertanian yang mengabaikan kelestarian
ekosistem, dan berubahnya fungsi kantong-kantong air. Lebih jauh lagi, kegiatan
pembangunan berdampak pada meningkatnya erosi. Erosi dapat menurunkan produktivitas
2
lahan pada tempat terjadinya (onsite) dan juga meningkatkan sedimen pada daerah di hilirnya
(offsite) (Asdak, 1995).
Pemanfaatan sumberdaya tanah dan air dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan manusia, namun kadangkala dilupakan upaya untuk terus
menjaganya agar tidak rusak. Bencana banjir, kekeringan, dan tanah longsor yang akhir-akhir
ini terjadi di Indonesia menunjukkan indikasi adanya pemanfaatan sumberdaya tanah dan air
yang kurang bijaksana (Asdak, 1995 dan Merit, 2005). . Eksploitasi tanah dengan menanam
jenis-jenis tanaman tertentu yang tidak sesuai, kegiatan penambangan, kurangnya kesadaran
untuk konservasi dan faktor-faktor lainnya mendorong tanah semakin terdegradasi. Tanah
yang terdegradasi dapat berdampak pada kuantitas, kualitas, dan kontinuitas ketersediaan air
(Yonky et al., 2003 dan Agung, 2006).
Lahan kritis sulit untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian yang produktif karena
keterbatasan-keterbatasan lahan kritis itu sendiri. Pada wilayah yang lahannya telah rusak sulit
untuk menjaga kecukupan air tanah, yang berakibat pada sulitnya mendapatkan air pada saat
musim kemarau. Tanah rusak tidak dapat menyimpan air di waktu musim hujan, sehingga
hujan yang terjadi sebagian besar menjadi aliran permukaan yang dapat menyebabkan erosi
permukaan (Buckman dan Brady, 1982).
Menurut data BPS tahun 2009 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah sekitar
73,4 juta ha. Dari jumlah itu, sekitar 65,7 juta ha (90,5%) berupa lahan kering dan sekitar 7,7
juta ha (9,5%) lahan sawah. Untuk lahan kering rinciannya adalah: lahan kering yang berupa
tegal, kebun, ladang, ataupun huma sekitar 14,9 juta ha, perkebunan besar (swasta dan
BUMN) 19,6 juta ha, pekarangan sekitar 5,6 juta ha, tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu ha,
dan lainnya (ditanami kayu dan atau sementara tak diusahakan serta padang rumput) 2,9 juta
ha. Areal lahan kering yang sangat luas itu merupakan sumberdaya yang cukup besar, namun
hingga saat ini belum seluruhnya dapat diberdayakan secara optimal (Agung, 2006).
Lahan kering di Bali menempati areal yang sangat luas, dari luas wilayah 563.666 ha,
sekitar 274.755 ha merupakan lahan kering (Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan
Propinsi Bali, 2009). Wilayah Bali Selatan, termasuk Kabupaten Badung seluas 18.004 ha,
seluruhnya merupakan lahan kering, dengan potensi lahan termasuk lahan marginal. (Laporan
Statistik Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Badung, 2009). Potensi yang demikian
besar harus dimanfaatkan produksi pertanian, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Berdasarkan ketersediaan sumber air menurut Munandar (1994), tipologi lahan kering
dapat dibedakan sebagai berikut : (1) Lahan kering dengan sumber airnya hanya berasal dari
air hujan; (2) Lahan kering dengan potensi sumber air tanah (dangkal, menengah atau dalam)
dan air hujan; (3) Lahan kering dengan potensi sumber air permukaan termasuk curah hujan
(diantaranya sungai/saluran drainase, danau, mata air yang muncul dipermukaan tanah dsb);
(4) Lahan kering dengan potensi sumber air tanah dan sumber air permukaan; dan (5) Lahan
kering dengan potensi sumber air tanah/air permukaan yang telah dikembangkan, tetapi
karena sesuatu hal tidak terjangkau oleh air irigasi tersebut.
Daerah Bali umumnya memiliki musim hujan yang lebih panjang dari pada musim
kemaraunya, dengan rata-rata puncak curah hujan terjadi pada
3
bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Berdasarkan tinjauan tipe iklim menurut
Oldeman, disebutkan bahwa di propinsi Bali hampir semua pesisir utara, timur, sebagian
pantai barat, mulai dari Gilimanuk, Banyuwedang, Celukan Bawang, Seririt, Buleleleng,
Kubutambahan, Kubu, Banjarbunutan, Padangbai sampai ke Sanur bertipe iklim D3 (Bulan
basah = 3-4 bulan, Bulan kering = 4-6
bulan),kecuali untuk Tejakula yang bertipe D4 (Bulan basah = 3-4 bulan, Bulan kering = 7-9
bulan), sedangkan Bali selatan sebagian besar bertipe C3 (Bulan basah = 5-6 bulan, Bulan
kering = 4-6 bulan) kecuali pantai Kuta bertipe C4 (Bulan basah = 5 bulan, Bulan kering = 7
bulan) dan Dawan bertipe E4 (Bulan basah = 0-2 bulan, Bulan kering = 7-9 bulan) (BMKG,
2006). Distribusi curah hujan dari tahun 1990-2009 dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Jenis tanaman yang diusahakan di Bali Selatan adalah jagung varietas Arjuna, kacang
kedelai varietas Wilis, kacang tanah varietas Kelinci dan ubikayu varietas Muara. Hasil jagung
5,64 ton ha-1 pipilan kering, kacang tanah 0,72 ton
ha-1 biji kering, kacang kedelai 1,38 ton ha-1 biji kering dan ubikayu 38,20 ton ha-1 umbi segar.
Hasil tersebut masih tergolong rendah dibandingkan potensi hasilnya, masing-masing 6 ton
ha-1 pipilan kering, 2,5 ton ha-1 biji kering, 1,62 ton ha-1 biji kering dan 200 ton ha-1 umbi segar
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Badung, 2009).
Petani hanya dapat menanam sekali setahun secara tumpangsari. Apabila melakukan
penanaman dua kali, tanaman yang ke dua sering gagal panen karena kurang air (Santosa,
2006). Penanaman pada musim tanam ketiga sama sekali belum pernah dilakukan oleh petani
karena resiko gagal panen sangat besar. Petani lahan kering sebagian besar hanya
menggunakan tanaman semusim pada musim hujan (Baharudin, 1997).
Gambar 1.1. Distribusi curah hujan dari tahun 1990-2009, pada
pengamatan di stasiun meteorology Ngurah Rai
4
Pola pergiliran tanaman yang ada sekarang adalah ubikayu, jagung+ kacang tanah) –
bera, ubikayu, jagung+kacang kedelai – bera. Masalah kekurangan air terjadi pada musim
tanam ke dua dan ke tiga (Santosa, 2006). Perencanaan pola tanam yang sesuai dengan
kualitas lahan dan efisiensi air sangat diperlukan untuk dapat memanfaatkan air secara
optimal.
Perhitungan kebutuhan air tanaman untuk lahan kering di wilayah Bali Selatan
diharapkan dapat membantu dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan di wilayah Bali
Selatan tentang cara yang efektif dalam penggunaan sumberdaya air yang terbatas guna
menunjang ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan. Petani sangat membutuhkan
informasi yang dapat membantu dalam hal penggunaan air hujan lebih efektif. Contohnya
dengan menepatkan fase pertumbuhan tanaman dengan masa hujan atau ketersediaan air
tanah (Prijono, 2008).
Usahatani di lahan kering dihadapkan pada kendala yang lebih kompleks diantaranya
curah hujan yang sering tidak menentu sehingga mengalami resiko terjadinya kekeringan.
Pada umumnya status kesuburan tanahnya tergolong rendah yang berakibat pada rendahnya
produktivitas lahan.
Wilayah penelitian merupakan lahan kering, terkait dengan kondisi lahan dan
agroklimat yang ada, perlu diketahui potensi lahannya untuk pengembangan pertanian ke
depan, khususnya terhadap tanaman lebih menguntungkan. Pengembangan tanaman baru
saat ini, belum dilakukan oleh petani. Dalam hubungan ini perlu ada penelitian untuk
mengetahui kecukupan air tanah untuk tanaman, baik melalui percobaan langsung di lapangan
maupun dengan simulasi.
Tanaman yang diusahakan petani saat ini adalah tanaman semusim (jagung, kacang
tanah, kacang kedelai dan ubikayu). Untuk itu perlu pengusahaan yang lebih intensif termasuk
penentuan waktu tanam dan penerapan pola pergiliran tanaman yang sesuai.
Masalah yang ada di lapangan yang perlu untuk dianalisis adalah hal-hal berikut: (1)
Suitabilitas lahan kering, (2) Neraca air pada lahan kering, (3) Kebutuhan air tanaman, (4)
Penentuan waktu tanam dan penyusunan pola tanam, (5) Analisis pola tanam.
Budidaya pertanian ke depan sudah tentu akan lebih intensif. Dalam hubungan ini ada
lima aspek mendasar yang hendaknya dapat dipenuhi, yaitu (1) Secara teknis bisa
dilaksanakan oleh masyarakat dan sesuai dengan kondisi agroekologis setempat, (2) Secara
ekonomis menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi wilayah pedesaan, (3) Secara sosial
tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (4) Ramah dan aman bagi
lingkungan dan (5) Mampu membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
wilayah secara berkelanjutan (Setyaningsih dan Sumarno, 2009).
5
BAB II
KONDISI IKLIM DAERAH BALI SELATAN
2.1. Karakteristik Iklim Daerah Bali Selatan
Secara geografis Pulau Bali terletak pada posisi 8° 03‘ 40” – 8° 50’ 48” LS dan 114°
25’ 53” - 115° 42’ 40” BT, di sebelah utara berbatasan dengan Laut Bali, di sebelah timur
dengan Pulau Lombok, di sebelah selatan dengan Samudera Indonesia dan di sebelah barat
dengan Pulau Jawa (BMG, 2007). Pulau Bali yang dikelilingi oleh laut memiliki topografi yang
bervariasi, umumnya bagian pinggir atau sepanjang sisi pulaunya merupakan dataran rendah
(pantai), sedangkan bagian tengahnya memiliki topografi yang lebih tinggi dengan terdapatnya
gunung-gunung seperti Gunung Agung, Gunung Batur dan dataran tinggi lainnya.
Kondisi iklim di Pulau Bali secara umum dipengaruhi oleh aktivitas monsun. Ketika
monsun dingin Asia berlangsung, angin-barat mendominasi wilayah Bali dan pada saat ini
berlangsung musim hujan. Ketika monsun dingin Australia berlangsung, angin timur
mendominasi wilayah Bali dan pada saat ini berlangsung musim kemarau (Kadarsah, 2007).
Wilayah Bali merupakan suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari satu pulau dan dikelilingi oleh
perairan yang berbatasan dengan laut lepas atau samudera. Kondisi iklim bervariasi menurut
zona (daerahnya), perbedaan ini disebabkan oleh bentuk orografik dari masing-masing zona.
Faktor pembentuk pola iklim suatu zona adalah bentuk orografik yang ada di zona
bersangkutan (BMG, 2007). Pola iklim di dataran tinggi berbeda dengan di dataran rendah
dan daerah pesisir pantai.
Pulau Bali secara klimatologis memiliki dua pola musim, yaitu musim hujan dan musim
kemarau. Umumnya musim hujan lebih panjang daripada musim kemaraunya. Karakteristik
pola hujannya adalah monsunal, dalam periode satu tahun memiliki satu puncak curah hujan
maksimum yang umumnya terjadi pada bulan Januari dan satu puncak curah hujan minimum
yang umumnya terjadi pada bulan Agustus (BMG, 2007). Puncak curah hujan maksimum di
Pulau Bali terjadi pada saat musim monsun barat (angin barat), sedangkan puncak curah hujan
minimum terjadi pada saat musim monsun timur (angin timur).
Musim hujan di Pulau Bali tergantung pada aktifitas fenomena di atmosfer baik secara
global maupun regional. Seperti misalnya, ketika terbentuknya siklon tropis di sekitar Australia
bagian barat dan utara maka kejadian hujan di Bali cenderung terjadi dalam periode yang lama
dan berkelanjutan, bahkan pada kasus yang ekstrim kejadian hujan bisa sampai seharian
penuh dengan intensitas ringan sampai lebat disertai angin kencang (BMG, 2007). Ketika
aktifitas fenomena global dan regional tersebut lemah, maka kejadian hujan cenderung
didominasi oleh faktor lokal saja. Pada keadaan seperti ini, biasanya hujan terjadi dalam
intensitas ringan dan keadaan cuaca cerah sampai berawan pada siang hari di sebagian
wilayahnya. Hujan di sekitar daerah-daerah pantai umumnya terjadi pada malam hari sampai
menjelang pagi, sedangkan di daerah yang lebih tinggi datarannya atau daerah pegunungan,
hujan umumnya terjadi pada pagi menjelang siang atau pada sore hari (Kadarsah, 2007).
6
2.2 Pentingnya Iklim dalam Sistem Pertanian
Produksi tanaman merupakan fungsi tanah, iklim, pengelolaan dan perlindungan (Bey
dan Las, 1991). Ketersediaan hara, lengas tanah, dan sifat-sifat tanah lainnya merupakan
faktor-faktor yang menentukan kualitas tanah dalam produksi tanaman (Islami et al., 1995).
Penggunaan lahan yang optimal memerlukan kesesuaian agroteknologi dengan karakteristik
dan kualitas lahannya. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk
penggunaan tertentu (Djaenuddin et al. 2003). Iklim merupakan komponen agroekosistem
yang terbuka, sangat dinamis, sulit dimodifikasi, dengan demikian diperlukan suatu
pendekatan yang agak berbeda dengan komponen agroekosistem lain yang dapat dilakukan
dalam dua arah, menyesuaikan atau disesuaikan (dimodifikasi). Titik tolak pendekatan ini
adalah “ menyesuaikan sistem usaha tani dengan keadaan dan sifat iklim” (Ahmad dan Irsal,
1991). Lebih lanjut dijelaskan bahwa curah hujan sebagai faktor produksi dalam sistem iklim
merupakan sumber air utama bagi tanaman pada lahan kering.
Tanaman membutuhkan jumlah air yang cukup untuk dapat tumbuh dan berproduksi
optimal; kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan dan menurunkan produksi (Agung,
2006). Proses fisika, kimia dan biologi di dalam tanah dan proses fisiologis tanaman tidak akan
dapat berlangsung secara optimal tanpa ketersediaan air yang cukup. (Scholes, et al., 1994).
Hal ini disebabkan karena air memegang peranan yang sangat vital bagi tanaman.
Menururt Morison et al. (2008), interaksi antara tanaman dan lingkungan tumbuhnya
melibatkan aspek-aspek genetik dan aspek lingkungan. Air merupakan faktor lingkungan
tumbuh yang sangat penting, “produktivitas air” menjadi hal penting yang harus
dipertimbangkan dalam upaya melestarikan sistem produksi tanaman. Hasil tanaman
sugarbeet sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air di lingkungan tumbuhnya. Model
penggunaan air oleh tanaman sugarbeet ini menunjukkan hubungan yang erat antara hasil
tanaman dengan input air , hasil tanaman dengan evaporasi, hasil relative dengan evaporasi
relative tanaman (Wright et al., 1997).
Efisiensi penggunaan air (WT) merupakan parameter yang sangat penting dalam
sistem produksi tanaman pertanian lahan kering, indikatornya adalah rasio laju asimilasi CO2
dengan laju transpirasi di stomata. Hasil penelitian Condon et al. (2002) menunjukkan bahwa
hubungan antara hasil tanaman dengan WT tergantung pada dampak WT terhadap laju
pertumbuhan tanaman, laju penggunaan air oleh tanaman, interaksi pertumbuhan tanaman
dengan penggunaan airnya. Efisiensi penggunaan air oleh tanaman tersebut ternyata sangat
ditentukan oleh simpanan air tersedia dalam subsoil selama periode kering tidak ada hujan.
Efisiensi penggunaan air oleh tanaman dipengaruhi oleh suhu udara dan konsentrasi CO2
udara. Kalau konsentrasi CO2 udara mendekati 600 ppm, hasil jagung meningkat sebesar
12% dan efisiensi penggunaan airnya juga meningkat 25% (Guo et al., 2010).
Air merupakan sumberdaya yang menjadi faktor pembatas dalam sistem produksi
tanaman di suatu lokasi; efisiensi sangat rendah sekitar 30–40 %, sehingga sekitar 60–70 %
air irigasi hilang selama penyaluran dan aplikasinya. Oleh karena itu menjadi sangat penting
untuk memperbaiki efisiensi penggunaan air dalam sistem pertanian lahan kering, dimana
ketersediaan air sangat terbatas. Menurut Singh et al. (2012), beberapa upaya untuk
memperbaiki efisiensi penggunaan air adalah seleksi kultivar tanaman, pengaturan pola
7
tanam, konservasi lengas tanah, penggunaan barier vegetatif, dan penggunaan –bahan
pengendali transpirasi.
Karaktersitik pergerakan lengas tanah, infiltrasi air hujan, simpanan lengas tanah
dalam zone perakaran tanaman, menentukan ketersediaan lengas tanah bagi tanaman dan
efisiensi penggunaan air dalam sistem produksi tanaman. Hubungan antara lengas-tanah
dengan tanaman ini sangat dipengaruhi oleh pola tanam dan pengolahan tanah. Analisis
neraca lengas-tanah melibatkan parameter curah hujan, perubahan simpanan lengas dalam
profil tanah, dan pergerakan air kapiler dari bawah zone perakaran tanaman. Hasil penelitian
Mulebeke et al. (2010), menunjukkan bahwa perubahan lengas-tanah selama empat minggu
pertama setelah tanam tidak berbeda di antara pola tanam.
Efisiensi penggunaan air (WUE) oleh tanaman pertanian dapat diartikan sebagai rasio
antara hasil tanaman dengan jumlah air yang diaplikasikan. Oleh karena itu diperlukan
perubahan konsepsional dari memaksimumkan produktivitas per satuan luas lahan menjadi
memaksimumkan produktivitas per unit air yang dikonsumsi. Menurut Pascale et al. (2011),
untuk memaksimumkan WUE, diperlukan upaya-upaya konservasi air-tanah dan upaya-upaya
memaksimumkan pertumbuhan tanaman. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengoptimumkan kondisi lingkungan tumbuh tanaman adalah pengaturan waktu tanam dan
waktu panen secara tepat, pengolahan tanah, pemupukan, dan pengelolaan hama-penyakit
tanaman. Penerapan teknologi budidaya tanaman seperti ini biasanya dapat memperbaiki
efisiensi pengelolaan air dalam produksi tanaman .
Efisiensi penggunaan air (WUE) dianggap sebagai determinan penting yang
menentukan hasil tanaman pada kondisi cekaman air. Efektivitas penggunaan air (WUE)
mencerminkan penyerapan lengas-tanah secara maksimum untuk transpirasi, yang juga
mellibatkan minimum transpirasi non-stomata dan minimum evaporasi muka tanah. Biasanya
kondisi cekaman lengas-tanah terjadi pada fase pertumbuhan reproduktif, sehingga dapat
menurunkan indeks-panen. Parameter EUW seringkali dijadikan target dalam program
pemuliaan tanaman dalam kondisi cekaman lengas-tanah. Menurut Blum (2009), nilai WUE
yang tinggi dapat dicapai dengan nilai EUW yang rendah.
Kebutuhan air tanaman (CWR) sangat menentukan dalam efisiensi pengelolaan air
pertanian. Kebutuhan air tanaman pada fase pertumbuhan tertentu dapat diestimasi sebagai
penggunaan air konsumtif di antara dua irigasi berurutan pada saat lengas-tanah tidak
membatasi evapotranspirasi (evapotranspirasi actual (ETa) mencapai laju maksimumnya.
Menurut Sir Elkhatim et al. (2007), CWR sangat tergantung pada kondisi lingkungan tumbuh
tanaman, biasanya berhubungan dengan evapotranspirasi potensial (ETo) yang dapat diukur
langsung atau diestimasi dengan perhitungan.
Nilai CWR pada suatu fase pertumbuhan tertentu dapat diestimasi dengan rumus:
CWR=Kc*ETo
dimana Kc adalah konstante yang menghubungkan CWR dengan ETo dan seringkali disebut
sebagai faktor tanaman atau koefisien tanaman.
8
Produktivitas air dalam system pertanian lahan kering dipengaruhi oleh pengolahan
tanah dan pola pergiliran tanaman. Hasil penelitian Noellemeyer et al. (2013) menunjukkan
bahwa tanpa-olah tanah menghasilkan produktivitas air yang lebih tinggi, respon tanaman
serealia lebih tinggi (jagung +1,0 kg ha-1 mm-1) dibandingkan dengan kedelai (+0,5 kg ha-1 mm-
1). Tanaman serealia ternyata lebih efisien (jagung 9,8 kg ha-1 mm-1) dibandingkan dengan
kedelai (2,4 kg mm-1). Oleh karena itu disarankan menerapkan kombinasi antara teknologi
tanpa-olah-tanah dengan jenis-jenis tanaman yang efisien air.
Penerapan teknologi pengolahan tanah ternyata mempengaruhi neraca lengas-tanah,
efisiensi penggunaan air hujan, dan hasil tanaman. Hasil penelitian Ke Jin et al. (2007)
menunjukkan bahwa teknologi konservasi tanah dan air selama periode “bera” sangat
mempengaruhi hasil tanaman gandum. Subsoiling dengan mulsa permukaan ternyata mampu
meningkatkan efisiensi simpanan air hujan dalam tanah dan memperbaiki efisiensi
pemanfaatan air hujan, serta hasil tanaman yang paling baik. Nilai efisiensi simpanan air hujan
dalam tanah tidak dapat melebihi 41,6%, karena tingginya nilai evapotranspirasi.
Hasil penelitian Weldeslassie, et al. (2011) menunjukkan bahwa olah-tanah
bedengan-permanen (PB) dapat memperbaiki simpanan lengas dalam tanah. Teknologi
usahatani-konservasi (CA) yang mengkonservasi air selama masa pertumbuhan tanaman,
dapat memperbaiki hasil tanaman gandum dan barley. Hasil biomasa tanaman lebih tinggi
pada agroteknologi bedengan permanen (PB), hal ini membuktikan bahwa teknologi ini
mampu mengatasi efek cekaman air-tanah yang durasinya pendek. Secara keseluruhan
penerapan teknologi bedengan permanen (PB) ini dapat memperbaiki efisiensi simpanan air
hujan dalam tanah, efisiensi penggunaan air hujan oleh tanaman, dan hasil tanaman.
Penyesuaian waktu tanam dengan teknologi bedengan permanen (PB) ini masih mungkin
dilakukan untuk mendapatkan hasil tanaman yang lebih baik (Weldeslassie, et al., 2011).
Menurut Bey dan Las (1991), secara fisiologis air merupakan kebutuhan vital bagi
tanaman, karena: (1) Air merupakan bagian terbesar dari protoplasma, lebih dari 90% berat
total tanaman segar adalah air; (2) Air sebagai media pelarut berbagai senyawa (bahan) kimia
yang ikut dalam berbagai proses fisiologis (Maynard dan Orcutt, 1987 ); (3) Air merupakan
bagian langsung atau substrat dalam reaksi kimia atau proses fisiologi tanaman; (4) Air
berfungsi sebagai mobilisasi beberapa senyawa (bahan) kimia dan panas. Banyak bahan yang
larut dalam air sebagai medium bergerak antara sel-sel di dalam xylem dan floem (Noggle dan
Fritz,1993).
”Periode kritis air” ditemukan dalam periode pertumbuhan setiap jenis tanaman.
Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977), periode kritis kebutuhan air tanaman jagung terjadi pada
saat pembungaan, sedangkan pada tanaman kacang tanah terjadi pada saat pembungaan
dan perkembangan polong. Secara umum tanaman yang kekurangan air mengalami
pertumbuhan yang kerdil dan produksinya rendah.
Hasil biji jagung di lahan kering sangat ditentukan oleh hujan selama pertumbuhannya,
informasi tentang periode kritis hujan selama musim tanam jagung. Hasil penelitian Nielsen
et al. (2010) menunjukkan bahwa hasil biji jagung berkorelasi secara signifikan dengan hujan
mingguan selama periode tanam benih hingga panen biji jagung. Periode kritis tanaman
jagung di lahan kering adalah enam minggu pertama pertumbuhannya.
9
Hasil produksi tanaman jagung dalam pertanian lahan kering ditentukan oleh jumlah
dan distribusi hujan selama musim pertumbuhannya. Bergamaschi (2007) meneliti model
hubungan antara hasil jagung dengan curah hujan selama seluruh musim pertumbuhan, dan
hasil jagung dengan jumlah hujan yang terjadi selama fase pertumbuhan tertentu. Jumlah
hujan yang terjadi selama fase pertumbuhan reproduktif (periode 45 hari masa pembungaan
dan pengisian biji) sangat menentukan hasil biji jagung.
Pengetahuan tentang kebutuhan air tanaman sangat penting dalam pengelolaan
pertanian lahan kering. Kebutuhan air tanaman jagung berhubungan erat dengan nilai-nilai
evapotranspirasinya (Etc). Hasil peneltiian ZHAO dan NAN (2007) menunjukkan nilai-nilai Etc
tanaman jagung sangat rendah (rataannya 1,09 mm hari-1) kecuali pada saat irigasi selama
awal fase pertumbuhan tanaman jagung. Nilai ETc meningkat sejalan dengan pertumbuhan
tanaman jagung (nilai rataannya 3,67 mm hari-1) dan mencapai puncaknya pada pertengahan
fase pertumbuhan tanaman (nilai rataannya 5,49 mm hari-1), nilai Etc menurun selama fase
akhir pertumbuhan jagung (nilai rataannya 3,33 mm hari-1). Secara umum nilai Etc berada
dalam kisaran 0,54 - 7,69 mm hari-1 dan total ETc aktual 611,5 mm di lokasi percobaan dalam
musim pertumbuhan 2004.
Tabel 2.1. Perkiraan Nilai-nilai Kebutuhan Air tanaman (Critchley 1991).
Jenis Tanaman Kebutuhan Air
(mm/total growing period)
Beans 300 – 500
Citrus 900 – 1200
Cotton 700 – 1300
Groundnut 500 – 700
Maize 500 – 800
Sorghum/millet 450 – 650
Soybean 450 – 700
Sunflower 600 – 1000
Defisit lengas tanah dapat ,menurunkan hasil biji jagung, terutama kalau terjadi selama
periode pembungaan dan pembentukan dan pengisian biji. Bergamaschi et al. (2006) meneliti
hubungan regresional antara hasil biji jagung dengan defisit lengas-tanah dan rasio
evapotranspirasi aktual/maksimal (ETr/ETm). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penurunan hasil biji jagung paling besar kalau defisit lengas tanah terjadi selama periode
pollinasi, pembentukan zygote dan fase awal perkembangan biji. Selama periode
pertumbuhan ini, rasio ETr/ETm mampu menjelaskan 80% variasi hasil biji jagung, dan rasio
ini stabil pada nilai 0,7, irigasi dapat meningkatkan dan menstabilkan hasil biji jagung, dosis air
irigasi sekitar 60% dari jumlah air yang diperlukan untuk meningkatkan kandungan lengas-
tanah hingga mencapai kapasitas lapang.
10
Tabel 2.2. Fase-fase kritis pertumbuhan tanaman (Al-Kaisi dan Broner, 2009, diambil dari
Colorado Irrigation Guide, Natural Resources Conservation Service).
Tanaman Periode Kritis Gejala cekapam air Keterangan
Jagung Pembungaan
hingga biji
berkembang penuh
Daun-daun layu dan
warnanya menjadi
gelap
Memerlukan cukup air selama
perkecambahan hingga masak-
susu untuk mendapatkan hasil
maksimum
Kentang Pembentukan umbi
hingga panen
Tanaman layu selama
hari yang panas
Cekaman air selama masa kritis
dapat menyebabkan umbi retak-
retak
Bawang merah Pembentukan umbi Tanaman layu Tanah harus tetap basah selama
pembentukkan umbi hingga
mendekati panen
Tomat
Setelah fruitset
Tanaman layu
Daun layu dan menggulung juga
dapat disebabkan oleh penyakit
Curah hujan mempunyai peranan yang sangat penting dalam penentuan masa tanam
dan pola tanam (Sosiawan, 2012). Masa tanam di Indonesia khususnya pada lahan tadah
hujan bergantung pada ada tidaknya curah hujan dan distribusinya selama periode tertentu.
Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman (1975) didasarkan jumlah kebutuhan tanaman,
terutama pada tanaman padi dan palawija. Kebutuhan air untuk tanaman padi adalah 150 mm
per bulan sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70 mm per bulan, dengan asumsi bahwa
peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75% maka, untuk mencukupi kebutuhan air
tanaman padi 150 mm per bulan diperlukan curah hujan sebesar 200 mm per bulan,
sedangkan untuk mencukupi kebutuhan air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan
sebesar 100 mm per bulan (Oldeman, 1980).
Pola tanam merupakan suatu susunan tata letak dan tata urutan tanaman pada
sebidang lahan selama periode tertentu, termasuk pengolahan lahan dan periode bera
(Setyana, 1983). Pada lahan tadah hujan dan lahan beririgasi sederhana yang ketersediaan
airnya terbatas selama periode tertentu, jumlah dan sebaran hujan sangat menentukan
intensitas pola tanam yang ideal pada sebidang lahan (Santosa, 2006).
Intensifikasi pola tanam dapat memperbaiki efisiensi pemanfaatan air hujan dalam
pertanian lahan kering. Efektivitas pola tanam dalam memanfatakan air hujan diukur dengan
indicator SPSI (System-Precipitation-Storage Index) dan SPUI (System-Precipitation-Use
Index ). Hasil penelitian Farahani et al. (1998) menunjukkan bahwa pola pergiliran tanaman
tiga tahun gandum-jagung-bera lebih efisien menyimpan dan memanfaatkan air hujan
dibandingkan dengan pola pergiliran tanaman dua tahun gandum-bera. Masuknya jagung atau
sorgum dalam polatanam gandum ternyata mampu meningkatkan fraksi air hujan yang
dimanfaatkan oleh tanaman, terjadi peningkatan nilai SPUI dari 0,43 (dalam pola tanam
gandum-bera) menjadi 0,56 (dalam pola tanam gadum-jagung-bera).
11
Pengaturan pola tanam jagung dan sorghum di lahan kering Kilimanjaro-Tanzania
dilakukan untuk meminimumkan risiko kekeringan dengan mengoptimalkan panen air hujan.
Pola tanam yang memungkinkan panen air hujan secara mikro (pengolahan tanah yang
memungkinkan infiltrasi air hujan) mampu meningkatan produksi tanaman (Hatibu et al. 2003).
Pengolahan tanah dalam pertanian lahan kering sangat mempengaruhi besarnya
simpanan air hujan dalam tanah, hal ini menentukan keberhasilan pola tanam. Hasil penelitian
McGee et al. (1997) menunjukkan bahwa teknologi tanpa olah tanah dapat meningkatkan
simpanan air hujan dalam tanah. Selanjutnya pola tanam (pergiliran tanaman) sangat
menentukan efisiensi pemanfaatan simpanan lengas-tanah (Water Storage Efficiency, WSE).
Pola pergiliran tanaman gandum-jagung-bera ternyata lebih efisien (WSE = 48%)
dibandingkan dengan pola tanam gandum-bera (WSE = 22%).
Ketersediaan lengas-tanah menjadi faktor pembatas utama keberhasilan produksi
tanaman pertanian lahan kering tadah hujan. Teknologi pengelolaan tanah dan tanaman
sangat menentukan efisiensi pemanfaatan lengas-tanah dalam pertanian lahan kering. Hasil
penelitian Van Duivenbooden et al. (2000) menunjukkan bahwa pola tanam yang melibatkan
kombinasi tanaman serealia dan legume ternyata lebih efisien memanfaatkan air hujan,
misalnya pola tanam campuran (mixed cropping) jagung, millet, sorghum dan gandum.
Hasil produksi tanaman lahan kering ditentukan oleh pengaturan pola pergiliran
tanamannya, biasanya pola tanam ganda lebih mampu meminimumkan resiko dibandingkan
dengan monokultur. Hasil penelitian Nel (2009) menunjukkan bahwa pola pergiliran tanaman
jagung – kacang tanah memberikan hasil paling baik dan paling efisien memanfaatkan air
hujan.
2.3 Sifat Fisik Tanah, Ketersediaan Air dan Infiltrasi
2.3.1 Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah sangat mempengaruhi ketersediaan air, aerasi, drainase, dan
ketersediaan unsur hara (Hakim et al., 1986). Pada tanah yang padat aerasinya buruk,
pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida tidak dapat berlangsung dengan baik
(Buckman dan Brady, 1982).
Sebagai benda alam, tanah merupakan sistem tiga fase. Tanah terdiri dari tiga bahan
yang berbeda bentuknya yaitu bahan padatan, bahan yang berupa cairan dan bahan yang
berupa gas. Proporsi ketiga fase tersebut selalu berubah, sehingga dikatakan dalam
keseimbangan dinamis (Utomo, 1985). Sifat fisika tanah meliputi tekstur tanah, struktur,
konsistensi, kandungan dan gerakan air dalam tanah dan suhu tanah. Sifat-sifat ini sangat
menunjang terciptanya sifat kimia dan biologi tanah yang dapat dengan mudah diperbaiki
karena hanya berhubungan dengan ketersediaan unsur hara dalam tanah serta aktivitas
organisme tanah seperti pemberian bahan organik dan pupuk (Buckman dan Brady, 1982).
Sifat fisik tanah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Perkembangan akar, pergerakan air dan udara serta kemampuan tanah untuk menyimpan air
dan unsur hara sangat ditentukan oleh sifat fisik tanah seperti tekstur, struktur, porositas dan
konsistensi tanah (Hakim et al., 1986).
12
Kemampuan tanah menyediakan air bagi tanaman ditentukan oleh karakteristik fisika
tanah dan ciri-ciri horizon tanah. Adanya lapisan (horizon) tanah yang teksturnya halus dan
kedap air sangat menentukan kemampuan tanah untuk mensuplai air bagi tanaman. Adanya
lapisan tanah seperti ini tidak memungkinkan simpanan air dalam subsoil dapat bergerak ke
atas memasuki lapisan topsoil (Zhao et al., 1997)
2.3.2 Ketersediaan Air dalam Tanah
Tanah terdiri atas tiga bagian utama yaitu udara, air dan padatan. Bagian padatan
membentuk wujud tanah yang terdiri atas mineral dan bahan organik. Bagian mineral tersusun
dari partikel primer pasir, debu dan liat. Bagian tanah yang ditempati oleh air dan udara disebut
dengan ruang pori tanah (Islami et al., 1995).
Air tersedia adalah jumlah air yang tersimpan dalam tanah yang dapat diserap oleh
akar tanaman, besarnya antara kapasitas lapang dan titik layu permanen (Hansen et al., 1979)
atau antara pF 2,5 dan pF 4,2 (Stroosnijder dan Widianto, 1985; Prijono, 2009) atau antara 0,1
– 15 bar (Blair et al., 1984) (Gambar 2.1). Jumlah air tersedia pada berbagai kelas tekstur
tanah disajikan dalam Tabel 2.1.
Menurut Hillel (1980), jumlah dan kecepatan air yang dapat diserap oleh tanaman
tergantung pada kemampuan akar menyerap air dan kemampuan tanah untuk mensuplai dan
memindahkan air ke arah akar untuk memenuhi kebutuhan transpirasi. Kedua hal ini
dipengaruhi oleh sifat tanaman, tanah dan iklim. Secara umum air gravitasi tidak tersedia bagi
tanaman terutama pada tanah berpasir.
Gambar 2.1 Ketersediaan Air Tanah bagi Tanaman dan Karakteristik
Drainase (Hansen et al., 1979)
Titik layu
permanen
Kapasitas Lapang
Air tersedia
Jenuh
Air tidak tersedia
Air gravitasi
Drainase cepat
Air kapiler
Drainase lambat
Air higroskopis
Tidak ada drainase
13
Hasil penelitian Ervin dan Koski (1998) menunjukkan bahwa tanaman Tall Fescue Turfs
(TF) lebih tahan kering dibanding tanaman Kentucky Bluegrass (KBG) karena peridoe
pertumbuhannya lebih panjang dengan sistem perakaran yang lebih luas dan lebih dalam.
Apabila ketersediaan lengas tanah pada tanah lapisan atas terbatas, TF mampu mengekstrak
air dari lapisan tanah yang lebih
Tabel 2.3. Jumlah Air Tersedia pada Berbagai Kelas Tekstur Tanah (Blair et al., 1984).
Tekstur Kapasitas
Lapang
Titik Layu Air Tersedia
(mm air per cm kedalaman tanah)
Pasir 0,9 0,2 0,7
Pasir Berlempung 1,4 0,4 1,0
Lempung berpasir 2,3 0,9 1,4
Lempung berpasir 2,9 1,0 1,9
(Kaya bahan organik)
Lempung 3,4 1,2 2,2
Lempung berliat 3,0 1,6 1,4
Liat 3,8 2,4 1,4
Liat struktur baik 5,0 3,0 2,0
dalam untuk memenuhi kebutuhan transpirasinya, dan untuk mempertahankan suhu kanopi
yang lebih rendah.
Menurut Evans et al. (1996), perbandingan antara air dan udara yang ada pada ruang
pori tanah dapat berubah dengan adanya penambahan atau pengurangan air di dalam tanah.
Air dapat bertambah dengan adanya curah hujan atau irigasi atau berkurang akibet aliran
permukaan, evaporasi, transpirasi, perkolasi atau drainase. Selanjutnya menurut Hartman
(1983), kandungan air tanah tidak bertambah tanpa adanya penambahan air, baik melalui
peresapan air kapiler dari lapisan bawah (groundwater) maupun air irigasi atau air hujan;
kandungan air tanah dapat berkurang melalui penguapan air ke atmosfer dan perkolasi air ke
lapisan tanah yang lebih dalam.
14
Ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan
organik tanah, dan struktur tanah. Saxton dan Rawis (2006) mengembangkan model prediksi
ketersediaan lengas-tanah dengan menggunakan karakteristik tanah seperti bobot-isi tanah,
kerapatan jenis tanah, tekstur tanah, konduktivitas hidraulik, kandungan kerikil, dan salinitas
tanah .
Kandungan lengas-tanah pada saat tanam sangat menentukan keberhasilan pola
pergiliran tanaman berbasis jagung di lahan kering. Hasil penelitian Nielsen et al. (2009)
menunjukkan bahwa respon hasil jagung terhadap lengas-tanah dalam topsoil (lapisan tanah
0-18 cm) sangat beragam , berkisar 0,0 hingga 67,3 kg ha-1per mm lengas-tanah tersedia.
Perbedaan respon hasil jagung ini ternyata berhubungan dengan jumlah dan waktu terjadinya
hujan selama musim pertumbuhan jagung. Hasil tanaman jagung sangat tergantung pada
hujan selama fase pertumbuhan reproduktif dan fase pengisian biji, sehingga kandungan
lengas-tanah pada saat tanam bibit bukan satu-satunya indikator untuk menanam jagung
dalam pola pergiliran tanaman di lahan kering.
Ketersediaan lengas tanah bagi tanaman dipengaruhi oleh tekstur tanah dan
kandungan bahan organik tanah (BOT). Hasil peneltiian Rawls et al. (2003) menunjukkan
bahwa peningkatan kandungan BOT dapat meningkatkan retensi lengas pada tanah-tanah
berdebu dan berpasir; menurunkan retensi-lengas pada tanah-tanah bertekstur halus.
Simpanan lengas-tanah (S) di lahan kering berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung
pada curah hujan (P) dan evapotranspirasi (ET). Hasil penelitian Timm et al. (2011)
menunjukkan bahwa simpanan lengas tanah pada suatu waktu lebih dipengaruhi oleh curah
hujan sebelumnya (52%) daripada evapotranspirasi (28%) dan simpanan lengas sebelumnya
(20%). Evapotranspirasi pada suatu waktu lebih ditentukan oleh ET sebelumnya (59%)
daripada P (30%) dan S (9%).
Ketersediaan lengas-tanah pada lahan kering ditentukan oleh kapasitas lapang dan
jumlah air yang dapat disimpan di atas kapasitas lapang. Hasil penelitian Nielsen et al. (1959)
menunjukkan bahwa.jumlah air yang disimpan untuk sementara waktu dalam lapisan tanah 5
feet pada kondisi di atas kapasitas lapang berkisar dari 4,7 inchi (pada tanah lempung debu)
hingga 2,1 inchi (pada tanah lempung liat) setelah perlakuan irigasi sebanyak 6 inchi. Pada
periode 90 hari berikutnya, jumlah air yang tersimpan tersebut masih berkisar 1,5 inchi hingga
0,3 inchi. Penelitian ini juga menemukan ada hubungan antara kedalaman lapisan tanah,
tegangan lengas-tanah, dan kandungan lengas-tanah.
Pada pertanian lahan kering hasil gandum musim kering pada tanah liat lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil gandum pada tanah lempung dan lempung berpasir, untuk jumlah
air yang sama. Pada periode yang lebih basah hasil gandum lebih tinggi pada tanah liat dan
tanah lempung dibandingkan dengan tanah lempung berpasir. Hasil biji gandum sedikit
dipengaruhi oleh jumlah air yang disimpan dalam lapisan tanah 0-6 inchi dan 6-12 inchi pada
saat penanaman benih, tetapi hasil biji ini sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang disimpan
dalam lapisan tanah bawah (lapisan tanah di bawah 12 inchi). Curah hujan selama Juni dan
Juli, jumlah lengas-tanah dalam lapisan di bawah 12 inchi sangat mempengaruhi hasil biji
gandum pada semua tekstur tanah (Lehane et al. 1965).
Neraca lengas-tanah di lahan kering sangat dipengaruhi oleh variasi musiman curah
hujan dan evaporasi potensial, sedangkan karakteristik tanah yang ikut mempengaruhi neraca
15
lengas-tanah ini adalah kapasitas simpanan lengas-tanah tersedia (WHC). Hasil penelitian
Milly (1994) menunjukkan bahwa fraksi air hujan yang menguap dan runoff dipengaruhi oleh
indeks kekeringan (rasio evaporasi potensial dengan curah hujan), indeks musiman
(perbedaan antara evaporasi potensial dan curah hujan), rasio WHC dengan curah hujan.
2.3.3 Infiltrasi
Infiltrasi merupakan istilah untuk menggambarkan proses masuknya air ke dalam
tanah. Laju infiltrasi dipengaruhi oleh tekstur tanah dan berpengaruh besar terhadap pertanian,
karena berpengaruh besar terhadap jumlah air yang dapat tersimpan dalam tanah untuk
pertumbuhan tanaman (Blair et al., 1984). Secara umum semakin kasar tekstur tanah biasanya
semakin besar laju infiltrasinya (Tabel 2.2).
Tabel 2.4. Laju Infiltrasi beberapa Tekstur Tanah (Blair et al., 1984).
Tekstur Tanah Laju Infiltrasi (mm jam-1)
Pasir >20
Pasir Berlempung 10 – 20
Lempung 5 – 10
Tanah Berliat 1 – 5
Air tanah dapat bergerak lebih cepat pada ruang pori yang lebih besar dibanding ruang
pori yang lebih kecil (Buckman dan Brady, 1982). Menurut Hillel (1980), kemampuan infiltrasi
tanah tergantung pada : (1) waktu mulainya hujan; (2) kandungan awal air tanah; (3)
konduktivitas hidraulik; (4) kondisi permukaan tanah dan (5) adanya lapisan padas di dalam
profil tanah.
Laju infiltrasi pada mulanya tinggi, kemudian menurun dan selanjutnya konstan
(Prijono, 2009). Satuan laju infiltrasi dinyatakan dengan kedalaman per satuan waktu, dapat
dalam mm jam-1 atau dalam mm hari-1. Laju infiltrasi ditentukan oleh kondisi struktur tanah,
agregasi tanah dan resistensi penetrasi tanah lapisan permukaan. Hasil penelitian
Franzluebbers et al. (2012) menunjukkan bahwa selama periode tanah masih basah (61% pori
tanah terisi air), laju infiltrasi 2,8 ± 1,5 lebih besar kalau tanaman hijauan-pakan tidak dipanen
dibandingkan kalau dipanen. Selama periode tanah kering (28% pori tanah terisi air) laju
infiltrasi tidak menunjukkan perbedaan di antara perlakuan panen tanaman. Infiltrasi air selama
periode basah berkorelasi negative dengan kandungan lengas-tanah (r = − 0,57), resistensi
penetrasi pada kedalaman 0–10 cm (r = − 0,50) dan bobot isi tanah pada kedalaman 3–6 cm
(r = − 0,53); tetapi laju ninfiltrasi ini berkorelasi positif dengan residu biomasa di permukaan
tanah (r = 0,47) dan kandungan BOT lapisan tanah 12–20 cm (r = 0,42).
Distribusi ukuran partikel tanah (PSD) menentukan ketersediaan lengas-tanah dan laju
infiltrasi (IR), sedangkan PSD suatu tanah dikendalikan oleh diameter partikel primer dalam
16
tanah. Hasil penelitian Mazaheri dan Mahmoodabadi (2012) menunjukkan bahwa nilai IR
tanah berkisar 1,6 - 30,66 cm h−1, nilai-nilai IR ini sangat ditentukan oleh nilai PSD tanah.
Fraksi partikel primer tanah yang diameternya D30 (diameter 0,05 mm), D40 (diameter 0,08 mm)
dan D60 (diameter 0,16 mm) mempunyai hubungan lebih erat dnegan IR dibandingkan dengan
fraksi diameter lainnya. Peningkatan kandungan fraksi pasir dalam tanah diikuti dengan
peningkatan nilai akhir IR, sebaliknya peningkatan kandungan fraksi debu dan liat menurunkan
laju infiltrasi.
Pemadatan lapisan tanah permukaan dapat menurunkan laju infiltrasi air hujan dan
meningkatkan volume runoff. Hasil penelitian Gregory et al. (2006) menunjukkan bahwa laju
infiltrasi pada tanah yang tidak mengalami pemadatan sebesar 377 - 634 mm hr-1 (14,8 - 25,0
inchi hr-1) pada kondisi hutan alamiah, pada kondisi hutan tanaman sebesar 637 - 652 mm hr-
1, dan 225 mm hr-1 pada lahan pasture. Rataan laju infiltrasi pada kondisi tanah mengalami
pemadatan berkisar 8 - 175 mm hr-1 (hutan alamiah), 160 - 188 mm hr-1 (hutan tanaman), dan
23 mm hr-1 pada lahan pasture. Perlakuan pemadatan tanah menurunkan laju infiltrasi sebesar
70-99%.
Sifat dan perilaku infiltrasi air hujan ke dalam tanah dipengaruhi oleh terbentuknya
kerak-tanah di permukaan. Pembentukan kerak-tanah di permukaan ini ditentukan oleh
proses disintegrasi (penghancuran) agregat tanah dan disperse liat. Kedua proses ini ternyata
dipengaruhi oleh laju pembasahan agregat tanah (WR), sodisitas tanah dan tekstur tanah.
Hasil penelitian Mamedov et al. (2001) menunjukkan bahwa pengaruh WR terhadap laju
infiltrasi dan runoff tergantung pada tekstur tanah dan ESP (exchangeable sodium percent)
tanah. Pada tanah-tanah yang kandungan liatnya rendah (8,8%), efek WR terhadap laju
infiltrasi tidak signifikan, sedangkan efek ESP signifikan. Pada tanah-tanah liat (kandungan liat
>52,1%), WR secara signifikan mempengaruhi laju infiltrasi dan runoff. Tanah-tanah dengan
kandungan liat 22,5 – 40,2% sangat peka terhadap pembentukan kerak-tanah permukaan,
WR dan ESP secara moderat mempengaruhi pembentukan kerak-tanah permukaan.
Pengaruh WR terhadap penghancuran agregat dan pembentukkan kerak-tanah meningkat
dengan semakin meningkatnya kandungan liat.
2.4 Potensi Lahan Kering
Potensi suatu wilayah untuk pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh
sifat lingkungan fisik yang meliputi iklim, tanah, topografi/bentuk wilayah, hidrologi dan
persyaratan penggunaan lahan tertentu. Kecocokan antara sifat lingkungan fisik suatu wilayah
dengan persyaratan penggunaan tertentu atau komoditas yang dievaluasi memberikan
gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial untuk dikembangkan bagi tujuan
tersebut (Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993). Hal ini mempunyai pengertian
bahwa jika suatu lahan digunakan untuk penggunaan tertentu dengan mempertimbangkan
masukan yang diperlukan, akan mampu memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Lahan kering mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan lahan sawah karena
disamping sebagai penghasil pangan juga produk pertanian lainnya dalam arti luas seperti
perkebunan, peternakan, kehutanan dan bahkan perikanan darat. Propinsi Bali mempunyai
lahan kering seluas 274,755 ha dan lahan sawah 81,482 ha (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura Propinsi Bali, 2009). Potensi lahan kering ini masih belum dapat
17
dimanfaatkan secara optimal. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh masih kurangnya
pemahaman tentang potensi lahan kering dan masih terbatasnya penelitian yang
komprehensip dan terpadu untuk mengembangkan pertanian lahan kering (Agung, 2005).
Petani lahan kering mempunyai dua tujuan, yaitu menghasilkan panen yang cukup dari lahan
pertaniannya dan melakukannya dengan cara menghemat air dan hara. Di lahan kering faktor
penentu keberhasilan pertanian adalah ketersediaan air yang cukup dan penguapan yang
tidak terlalu tinggi (Agung, 2006).
Waktu tanam yang tepat sangat menentukan keberhasilan tanaman di lahan kering
karena sangat berkaitan dengan iklim (curah hujan, suhu, kelembaban dan sinar matahari),
sedangkan waktu tanam yang kurang tepat di daerah yang tergantung pada curah hujan dapat
mengakibatkan tanaman mengalami cekaman kekurangan air (water stress) terutama pada
periode kritis kebutuhan air tanaman (Agung, 2006). Pada kondisi kekurangan air, stomata
daun tertutup sehingga difusi CO2 ke dalam daun terhambat dan akibatnya hasil fotosintesis
berkurang (Hale and Orcutt, 1987).
2.5 Tipologi Lahan Kering
Lahan kering secara fisik tidak diairi atau tidak mendapatkan pelayanan air irigasi, baik
yang berasal dari air permukaan maupun air tanah; sehingga air hujan menjadi satu-satunya
sumber airnya. Munandar (1994) mengelompokkan lahan kering berdasarkan ketersedian
sumber airnya, menjadi lima tipe.
1. Lahan Kering Tipe A. Lahan Kering yang sumber airnya hanya air hujan. Usaha
pengembangan/pemanfaatan sumber air di lahan kering tipe ini dapat menggunakan
cara-cara: memanen air hujan (rainwater harvesting) dengan pembuatan rorak dan
embung (farmpond) dengan saluran airnya, mengatur pola tanam berdasarkan
kebutuhan dan ketersediaan air.
2. Lahan Kering tipe B. Lahan Kering yang sumber airnya adalah groundwater (dangkal,
menengah atau dalam) dan air hujan. Usaha pemanfaatan sumber air di lahan kering
ini dapat dilakukan dengan cara mengeksploitasi groundwater yang dalam (kedalaman
lebih dari 80 m), menengah (kedalaman 30 sd 80 m), serta membuat sumur bor
ataupun sumur gali untuk sumber air tanah dangkal (kedalaman kurang dari 30 m).
Sumur ini biasanya dilengkapi dengan alat pengangkat air ke permukaan, pompa air
untuk sumur bor, dan pompa air atau timba untuk sumur gali. Kalau debit air yang
tersedia dari groundwater tersebut masih tidak mencukupi kebutuhan tanaman, maka
dapat dilakukan kombinasi dengan cara-cara seperti pada lahan kering tipe A.
3. Lahan Kering Tipe C. Lahan Kering dengan potensi sumber air permukaan termasuk
curah hujan, sungai/saluran drainase, danau, mata air yang muncul di permukaan
tanah, dan lainnya.
4. Lahan Kering Tipe D. Lahan Kering dengan potensi sumber air bawah-tanah dan
sumber air permukaan. Lahan kering yang mempunyai potensi demikian nampaknya
pengembangannya lebih mudah daripada tipe lainnya karena banyak pilihan cara
pengembangannya.
18
5. Lahan Kering Tipe E. Lahan Kering dengan potensi sumber air tanah/air permukaan
yang telah dikembangkan, tetapi karena sesuatu hal tidak terjangkau oleh air irigasi
tersebut. Lahan kering yang terjadi di sini disebabkan oleh adanya pengelolaan air
yang kurang baik, tidak tersedianya fasilitas penyaluran air ke lahan atau kedua-
duanya. Metoda pengembangan lahan kering seperti ini adalah dengan perbaikan
pengelolaan air, penambahan fasilitas irigasi ataupun kedua-duanya.
2.6 Syarat Tumbuh Tanaman
2.6.1 Ubikayu (Manihot esculenta crantz)
Ubikayu termasuk tanaman tropis, tetapi dapat pula beradaptasi dan tumbuh dengan
baik di daerah subtropis. Secara umum tanaman ini tidak menuntut iklim yang spesifik untuk
pertumbuhannya. Tanaman ubikayu akan tumbuh dengan baik pada curah hujan antara 750
– 1000 mm bulan-1 dengan ketinggian tempat 0 – 1500 m di atas permukaan laut dan suhu
yang dikehendaki antara 25oC – 28oC. Tanaman ubikayu dapat tumbuh dan berproduksi
dengan baik pada tekstur tanah lempung berpasir dengan struktur gembur dan pH tanah yang
dikehendaki antara 4,5 – 8,0, optimalnya 5,8 (Danarti dan Najiyati, 1997).
2.6.2 Jagung (Zea mays L.)
Di Indonesia jagung tumbuh dan berproduksi optimum di dataran rendah sampai
ketinggian 750 m di atas permukaan laut. Curah hujan optimum adalah 100 – 125 mm bulan-1
dengan distribusi yang merata. Jagung juga membutuhkan penyinaran matahari penuh,
naungan membuat jagung menjadi kurus dan kecil (Suhardi et al., 1999). Tanaman jagung
membutuhkan tanah bertekstur lempung, lempung berdebu atau lempung berpasir dengan
struktur remah, aerasi dan drainasenya baik serta cukup air. Kisaran pH tanah yang ditoleransi
adalah antara 5,2 – 8,5 dengan pH optimum 5,8 – 7,8 (Djaenuddin et al., 1999).
2.6.3 Kacang Tanah (Arachis hypogeae L.)
Tanah lempung berpasir, liat berpasir atau lempung liat berpasir dengan drainase dan
aerasi baik sangat cocok untuk tanaman kacang tanah. Keasaman (pH) tanah yang cocok
adalah 6,5 – 7,0. Apabila pH tanah 7,5 – 8,5 daun akan menguning dan terjadi bercak hitam
pada polong. Kacang tanah masih cukup baik bila tumbuh pada tanah asam (pH < 5,0 )
(Adisarwanto et al., 1993).
Suhu tanah optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 27oC – 30oC tergantung pada
varietas. Pada fase generatif suhu udara optimum berkisar antara 24oC – 27oC. Suhu udara di
atas 33oC akan mempengaruhi benang sari. Intensitas cahaya yang rendah pada fase
berbunga akan menghambat pertumbuhan vegetatif, apabila terjadi pada saat pembentukan
ginofor akan mengurangi jumlah ginofor (Adisarwanto et al., 1993). Distribusi curah hujan
yang merata sangat menentukan keberhasilan tanaman kacang tanah. Kelembaban tanah
yang cukup pada awal pertumbuhan, saat berbunga dan saat pembentukan polong sangat
penting untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Curah hujan 500 – 700 mm dengan distribusi
yang merata selama pertumbuhan cukup untuk varietas berumur pendek (Kakde, 1985).
19
Beberapa varietas unggul yang ada di Indonesia adalah Gajah, Macan, Banteng, Kidang,
Rusa, Tapir, Pelanduk, Kelinci dan Anoa.
2.6.4 Ubijalar (Ipomea batatas)
Tanaman ubijalar dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh karena daerah
penyebarannya terletak pada 300 LU – 300 LS. Di Indonesia yang beriklim tropik, tanaman ini
cocok ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 500 m dpl. Hampir setiap jenis tanah
pertanian cocok untuk budidaya ubijalar. Jenis tanah yang paling baik adalah pasir
berlempung, gembur, banyak mengandung bahan organik, aerasi serta drainasenya baik.
Derajat keasaman tanahnya adalah pH 5,5 – 7,5. Sewaktu muda memerlukan kelembaban
tanah yang cukup.
Tanaman ubijalar membutuhkan hawa panas dan udara yang lembap. Daerah yang
paling ideal untuk budidaya ubi jalar adalah daerah yang bersuhu 21 – 27 oC. Di tanah tegalan
waktu tanam yang baik untuk tanaman ubijalar yaitu pada waktu musim hujan dengan curah
hujan 500 – 5000 mm/tahun, ptimal antara 750 – 1500 mm/tahun.
2.7 Siklus dan Keseimbangan Air
2.7.1 Siklus Air
Siklus air menyangkut sirkulasi air yang ada di Bumi. Mulai dari penguapan
(evapotranspirasi) ke atmosfer, presipitasi, air jatuh ke permukaan bumi, infiltrasi, aliran
permukaan, air yang diserap oleh tanaman, air yang menuju sumber air permukaan dan
akhirnya kembali menguap ke atmosfer. Secara skhematis siklus air pada lahan yang
diusahakan (Siklus Agrohidrologi) dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Stroosnijder dan Widianto,
1985).
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa semakin banyak air yang terserap ke dalam tanah
akan semakin baik, karena berpeluang untuk ketersediaan air bagi tanaman untuk memenuhi
kebutuhan evapotranspirasi. Demikian juga dengan curah hujan yang langsung masuk
menuju air tanah dapat menguntungkan, karena secara perlahan dapat sebagai suplai untuk
kelembaban tanah melalui isapan kapiler (Capillary rise). Sebaliknya apabila aliran
permukaan yang besar dan sedikit air yang masuk atau tersimpan dalam tanah ataupun yang
langsung masuk ke air tanah, berarti sedikit air yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Keadaan yang demikian ini sering disebut dengan bottlenecks dalam sirkulasi. Memperkecil
aliran permukaan dan memperbesar air yang tersimpan dalam tanah atau yang masuk ke air
tanah selalu menjadi harapan untuk memperbesar ketersediaan air bagi tanaman (Santosa,
2006).
20
2.7.2 Keseimbangan Air (Neraca Air)
Keseimbangan air yang dimaksudkan adalah keseimbangan antara air yang tersedia
dengan air yang digunakan. Air yang tersedia disebut dengan input dan air yang digunakan
disebut dengan output (Prijono, 2009). Evans et al. (1995) mengemukakan bahwa air yang
masuk ke suatu lahan pertanian dapat berupa air hujan atau irigasi sedang air keluar dapat
berupa aliran permukaan, evaporasi, transpirasi dan juga perkolasi atau drainase. Pendapat
yang sama dari Hazret Ali et al. (2000) bahwa pada lahan sawah yang ada irigasinya masukan
air dapat berupa air hujan dan irigasi dan untuk keluarnya terdiri atas evapotranspirasi, run-
off, rembesan dan perkolasi.
Keseimbangan air pada daerah yang sumber airnya hanya dari curah hujan berbeda
dengan keseimbangan air pada wilayah yang ada irigasinya. Perbedaannya terletak pada
sumber air. Wilayah yang sumber airnya dari curah hujan atau presipitasi inputnya presipitasi
saja (P) dan pada wilayah yang ada irigasinya sumber airnya curah hujan ditambah dengan
irigasi (P + Ir). Hartmann (1983) mengemukakan bahwa keseimbangan air pada mintakat
perakaran dapat dinyatakan seperti persamaan berikut :
ATMOSFER
PERMUKAAN
KELEMBABAN
TANAH
AIR TANAH
AIR PERMUKAAN LAUT
TANAMAN
Isapan
kapiler
Presipitasi
yang bermanfaat
Aliran air tanah
Aliran permukaan
Curah hujan
1
3
4
5
1 5 -
Bottlenecks in
the cycle
Penyerapan
Kelembaban tanah
Evapotranspirasi
Evaporasi Transpirasi
2
Gambar 2.2 Siklus Air pada Lahan yang diusahakan (Siklus Agrohidrologi)
(Stroosnijder dan Widianto, 1985)
21
ΔST + ΔV = (P + Ir + U) – (R + DP+ E+T)
Dimana: ΔST = Perubahan cadangan simpanan air tanah; ΔV = Jumlah air yang tersimpan
dalam tubuh tanaman; P = Presipitasi (curah hujan); Ir = Irigasi; U = Isapan air pori kapiler ke
mintakat perakaran; R = Runoff; DP = Perkolasi dalam (aliran keluar dari mintakat perakaran);
E = Evaporasi langsung dari permukaan tanah; T = Transpirasi oleh tanaman.
Semua komponen satuannya dinyatakan dalam volume per satuan luas (sama dengan
unit kedalaman) selama periode tertentu. Selanjutnya dengan mengabaikan jumlah air yang
ada dalam tubuh tanaman (ΔV) dan nilai isapan air melalui pori-pori kapiler (U) maka
persamaan di atas dapat ditulis menjadi:
ΔST = (P+ Ir ) – (R + DP + E + T)
Prinsip yang sama mengenai neraca air pada mintakat perakaran juga dinyatakan oleh FAO
yang dikemukakan oleh Allen et al. (1998).
Tidak semua komponen yang ada pada persamaan keseimbangan air ada nilainya.
Tergantung pada keadaan di lapangan. Bila tidak ada irigasi maka komponen irigasi tidak ada
nilainya. Bila curah hujan misalnya rendah bisa saja komponen runoff dan drainase tidak ada
nilainya. Atau bila curah hujan tinggi dan ada irigasi maka semua komponen ada nilainya.
Apabila nilai runoff dan drainase besar ada peluang air yang tersimpan sebagai cadangan air
tanah (groundwater) juga besar atau sebaliknya pada keadaan kering bisa terjadi pergerakan
air tanah ke atas melalui pori-pori kapiler akibat adanya evapotranspirasi (Santosa, 2006).
Fluktuasi naik-turunnya permukaan groundwater (water table) menentukan
pergerakan air dari groundwater ke arah lateral dan ke arah vertikal memasuki lapisan tanah
yang tidak jenuh air; kedua proses pergerakan air ini dipengaruhi oleh kandungan lengas-
tanah dan kedalaman groundwater sebelum terjadi hujan. Hasil penelitian Pirastru dan
Niedda (2013) menunjukkan bahwa groundwater dangkal mampu meningkatkan kandungan
lengas-tanah pada lapisan yang tidak jenuh air melalui proses “capillary rise”, dan
konduktivitas hidraulik lapisan tanah yang tidak jenuh air tersebut cukup tinggi. Ketersediaan
lengas-tanah di lahan dataran banjir dengan permukaan groundwaternya dangkal, sangat
dipengaruhi oleh proses naiknya air dari groundwater memasuki tanah lapisan atas.
Keseimbangan air ini sering digunakan untuk menghitung neraca air pada profil tanah.
Sedangkan keseimbangan air untuk wilayah digunakan persamaan neraca air menurut
Thorthwaite dan Mather (Stroosnijder dan Widianto, 1985), dimana untuk kandungan air tanah
bulanan pada saat hujan kurang dihitung dengan persamaan:
ST = STo x e +APWL/-STo
Dimana: ST = Kandungan air tanah yang dihitung (mm); STo= Kandungan air tanah pada
kapasitas lapang (mm); e = Bilangan konstanta (e = 2,7828); APWL= Jumlah potensial air yang
hilang (mm); Nilai ST akan makin rendah dengan meningkatnya nilai APWL.
Aplikasi keseimbangan air adalah: (1) untuk mengetahui keadaan air secara umum di
suatu wilayah; (2) untuk membuat model prediksi hubungan antara curah hujan, run-off dan
aliran bidang permukaan; (3) untuk menentukan kesesuaian lahan bagi tanaman tertentu; (4)
22
untuk menentukan kebutuhan irigasi baik jumlah maupun intervalnya; (5) untuk mengamati
hubungan air dan hasil panen; (6) untuk menentukan kebutuhan air tanaman atau vegetasi
tertentu dan (7) untuk mengetahui pengaruh manusia pada sistem (Jackson, 1989).
Dalam kondisi air terbatas jumlahnya, air harus dimanfaatkan secara hemat, maka
penghematan penggunaan air sangat penting. Menurut Richard dan Wedleigh (dalam Hillel,
1980) pertumbuhan tanaman semakin menurun sejalan dengan menurunnya kelembaban
tanah dan pertumbuhannya akan terhambat sebelum titik layu permanen tercapai.
Air yang tersimpan di dalam tanah saat hujan, diuapkan secara langsung ke udara dari
permukaan tanah (evaporasi) dan air yang masuk dalam tanaman melalui akarnya diuapkan
melalui daun dan batang (transpirasi), dan hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk
metabolisme tanaman. Kombinasi evaporasi dari permukaan tanah bersama-sama transpirasi
dari tanaman yang disebut proses evapotranspirasi, menunjukkan aliran balik air dari bumi ke
atmosfer dan dari atmosfer ke bumi melalui curah hujan (Thornwaite dan Mether, 1953).
Kehilangan air akibat transpirasi dan evaporasi tidak konstan sepanjang tahun,
kelembaban atau kekeringan suatu iklim hanya dapat ditunjukkan dengan membandingkan
distribusi curah hujan sepanjang tahun dengan evapotranspirasi musiman sebagai proses
penerimaan dan pelepasan air. Evapotranspirasi atau aliran balik air dari tanah ke atmosfer
merupakan faktor iklim yang sama pentingnya dengan curah hujan. Evapotranspirasi aktual
dari pertanaman bergantung pada iklim yang juga dihubungkan dengan jenis tanaman dan
faktor-faktor tanah, antara lain tipe dan stadium pertumbuhan tanaman, pengelolaan tanah,
jenis tanah dan kandungan air tanah (Allen, 1998).
Evapotranspirasi potensial lebih konstan dari tahun ke tahun daripada curah hujan
sebab adanya variasi yang kecil dari energi matahari. Variasi awal jatuhnya curah hujan pada
daerah yang kering, mempunyai arti yang sangat penting bagi persiapan lahan, persemaian
dan awal pertumbuhan (Santosa, 2006).
Variasi ini dikatakan sebagai water balance atau keseimbangan air. Saat curah hujan
lebih tinggi dari evapotranspirasi potensial dan tercapainya kapasitas lapang, maka curah
hujan dikatakan surplus. Sedangkan keadaan dimana curah hujan lebih kecil dari
evapotranspirasi potensial sehingga sampai pada titik layu permanen maka curah hujan
dikatakan defisit. Kapasitas lapang biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan air
dimana keadaan ini tercapai setelah air berhenti mengalir ke bawah tercapai keadaan jenuh.
Sedang titik layu permanen adalah kandungan air tanah pada saat tanaman yang ditanam di
atasnya telah mengalami layu permanen dalam arti tanaman telah mengalami sulit hidup
kembali meskipun telah ditambahkan sejumlah air yang mencukupi (Soepardi, 1983).
Secara praktis dalam perhitungan keseimbangan air digunakan asumsi dan
penyederhanaan. Asumsi yang sering digunakan adalah bahwa semua curah hujan
mengalami infiltrasi ke dalam tanah atau dapat dikatakan tidak ada limpasan permukaan.
Surplus hanya terjadi apabila kapasitas lapang tanah telah tercapai (Jackson,1979). Curah
hujan total tidak semuanya efektif bagi tanaman, tetapi sebagian mengalami perkolasi maupun
evaporasi (Dastane, 1974).
Curah hujan efektif dapat ditingkatkan dengan mengurangi run-off pada permukaan,
meningkatkan infiltrasi dan mengurangi kehilangan air karena perkolasi yang dalam.
23
Pengurangan run-off permukaan dapat dicapai dengan cara mengubah topografi tanah,
membentuk penghambat aliran air, dan dengan meningkatkan kemungkinan untuk infiltrasi.
Secara praktis kegiatan ini meliputi: pengolahan dan perataan tanah, pembuatan teras-teras,
membiarkan sisa-sisa tanaman setelah panen. Infiltrasi dapat ditingkatkan dengan jalan
memperbaiki struktur tanah dan kondisi permukaan tanah maupun sub surface (Santosa,
2006).
Curah hujan dan lengas-tanah (SM) merupakan dua faktor penting yang
mempengaruhi perilaku interaksi permukaan tanah dengan atmosfir, biasanya data curah
hujan digunakan sebagai input dalam model pendugaan kandungan lengas-tanah dan
fluktuasinya. Hasil penelitian Brocca et al. (2013) menunjukkan bahwa curah hujan harian
mempunyai korelasi sangat nyata dengan kandungan lengas tanah (SM) (r = 0,9).
Simpanan air dalam profil tanah sangat penting bagi pertanian lahan kering, tetapi
pengukurannya agak rumit. Besarnya simpanan air dalam profil tanah ini dipengaruhi oleh
kandungan air dalam lapisan (horizon) tanah, kedalaman efektif tanah, dan kedalaman batuan
induk tanah (Bono dan Alvarez, 2012). Menurut Zhao et al. (1997) kemampuan tanah
menyediakan air bagi tanaman ditentukan oleh karakteristik fisika tanah dan ciri-ciri horizon
tanah. Adanya lapisan (horizon) tanah yang teksturnya halus dan kedap air sangat
menentukan kemampuan tanah untuk mensuplai air bagi tanaman. Adanya lapisan tanah
seperti ini tidak memungkinkan simpanan air dalam subsoil dapat bergerak ke atas memasuki
lapisan topsoil. Kapasitas simpanan lengas tanah ternyata menentukan diversitas spesies
tumbuhan pada lahan. Kapasitas simpanan lengas tanah ini merupakan indikator kualitas
habitat tanah bagi pertumbuhan tanaman (Kammer et al., 2013). Kapasitas simpanan lengas
dalam profil tanah di daerah lahan kering ada hubungannya dengan sifat-sifat tanah seperti
kapasitas lapang dan titik layu, kandungan pasir, kandungan debu, dan kandungan liat, bobot
isi tanah, kerapatan jensi tanah. (Singa dan Prabhu, 1998)
Laju dan volume infiltrasi ditentukan oleh kandungan lengas tanah sebelumnya,
terutama pada tanah-tanah yang teksturnya halus. Recovery laju infiltrasi setelah hujan
berhenti ternyata berlangsung lambat karena lambatnya pergerakan air dalam profil tanah
yang bertekstur halus ini. Rendahnya nilai konduktivitas hidraulik tanah juga menentukan
rendahnya laju infiltrasi (Reinhart dan Taylor, 1954).
Kandungan bahan organik tanah sangat menentukan kapasitas air tersedia dalam
tanah. Ada hubungan korelasi yang erat antara kandungan BOT dan kapasitas air tersedia
pada tanah-tanah berpasir (r2 = 0,79***), pada tanah lempung-debu (r2 = 0,58***) dan pada
tanah lempung-liat-berdebu (r2 = 0,76***). Peningkatan kandungan BOT dari 0,5 menjadi 3%,
ternyata kapasitas air tersedia dalam tanah meningkat hampir dua kali lebih besar. (Hudson,
1994)
Kandungan bahan organik tanah (BOT) menentukan kemampuan tanah menyimpan
air tersedia, dengan indikatornya adalah kapasitas lapang, titik layu permanen, tekstur tanah
dan bobot isi tanah. Perubahan kandungan fraksi pasir dalam tanah sangat menentukan
perubahan kandungan lengas tanah pada kapasitas lapang dan titik layu permanen.
Perubahan kandungan lengas tanah pada kapasitas lapang lebih besar dibandingkan dengan
perubahan titik layu permanen. (Bauer dan Black, 1992).
Kandungan air tersedia dalam tanah beragam dengan kelas tekstur tanah, dari 0,089
kg kg-1 pada tanah-tanah pasir, hingga 0,191 kg kg-1 pada tanah-tanah lempung berdebu.
24
Variasi kandungan lengas tanah tersedia ini lebih ditentukan oleh kandungan pasir dan debu
dalam tanah. Tanah-tanah yang mempunyai rasio debu/liat lebih besar, dengan lebih banyak
mineral liat smektite mempunyai kemampuan menahan air lebih besar dan kapasitas air
tersedianya juga lebih besar (Reichert et al., 2009).
2.8 Kebutuhan Air Tanaman
Produksi tanaman yang optimal membutuhkan jumlah air yang cukup selama
pertumbuhannya, jumlah air yang cukup untuk pertumbuhan tanaman sering disebut dengan
kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air setiap jenis tanaman dipengaruhi oleh tanah, iklim dan
lama periode pertumbuhan. Doorenbos dan Kassam (1986) mengemukakan bahwa
kebutuhan air tanaman sama dengan evapotranspirasi (ETc). Hal ini berarti bahwa air yang
hilang melalui evapotranspirasi harus diganti dengan jumlah air yang sama untuk memenuhi
kebutuhan air tanaman.
Doorenbos dan Pruitt (1977) mengemukakan persamaan untuk menduga kebutuhan
air tanaman atau evapotranspirasi (ETc) yaitu :
ETc = Kc x ETo (mm hari-1)
dimana : ETc : Evapotranspirasi tanaman atau kebutuhan air tanaman (mm hari-1); Kc :
Koefisien tanaman; ETo : Evapotranspirasi acuan potensial (mm hari-1).
Nilai koefisien tanaman (Kc) berbeda-beda tergantung pada jenis dan fase
pertumbuhan tanaman. Untuk tanaman semusim nilai Kc pada mulanya rendah kemudian
meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman hingga mencapai maksimum dan kemudian
menurun hingga panen. Hasil penelitian di India menunjukkan bahwa nilai Kc tanaman padi
pada stadium pertama, ke dua ke tiga dan ke empat berturut-turut 1,15; 1,23; 1,14 dan 1,02
(Tyagi et al., 1999). Nilai koefisien tanaman (Kc) menurut FAO untuk beberapa jenis tanaman
dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Evapotranspirasi acuan (ETo) dapat dicari dengan metode Panci evaporasi, Blaney –
Criddle, Hargreaves dan Penman. Namun Smith (2000) menyarankan untuk menghitung
evapotranspirasi acuan ini (ETo) dengan menggunakan metode Penman-Monteith.
Karena perhitungan dengan menggunakan metode Penman-Monteith ini memiliki ketelitian
yang paling baik, dimana nilai standar error dan over estimasinya paling rendah (Allen, 1998).
Metode Penman-Monteith ini pada dasarnya menggunakan data-data iklim yang lamanya
puluhan tahun dan diambil dari stasiun klimatologi pada areal pertanian. Data iklim yang perlu
dipersiapkan adalah suhu udara, kelembaban udara, lama penyinaran, radiasi dan kecepatan
angin. Semakin lama tersediannya data iklim akan semakin baik hasil pendugaan nilai ETo.
25
Tabel 2.5. Koefisien Tanaman (Kc) untuk Beberapa Jenis Tanaman Semusim (Doorenbos
et al., 1986).
Tanaman Stadia Perkembangan Tanaman
Pertumbuhan
Awal
Pertumbuhan
Puncak
Saat Panen
Ubikayu 0,3 1,1 0,5
Jagung 0,3 - 0,5 1,05 - 1,2 0,95 - 1,1
Kacang tanah 0,4 - 0,5 0,95 - 1,1 0,55 - 0,6
Ubijalar 0,3 1,15 0,65
Kebutuhan air tanaman untuk beberapa jenis tanaman dan sensitivitasnya terhadap
ketersedian air dapat dilihat pada Tabel 2.6
Tabel 2.6. Kebutuhan Air Tanaman dan Sensitivitasnya terhadap Ketersediaan Air untuk Beberapa Jenis Tanaman (Doorenbos et al., 1986).
Tanaman Kebutuhan Air
(mm/selama pertumbuhan)
Sensitivitasnya
Ubikayu
Jagung 500 – 800 Tinggi (1,25)
Kacang tanah 500 – 700 Rendah (0,7)
Ubijalar - -
2.9 Pola Tanam
Pola tanam adalah pengaturan penanaman satu atau lebih jenis tanaman pada satu
bidang lahan termasuk pergiliran tanaman dalam kurun waktu tertentu.
Model pola tanam bila dilihat di lapangan terdapat model yang berbeda antar satu tempat
dengan tempat lainnya. Ada yang menanam satu jenis tanaman secara terus menerus
(monokultur), ada yang menanam lebih dari satu jenis tanaman pada sebidang lahan (multiple
cropping atau diversifikasi) dan ada pula yang melakukan dengan cara sisipan atau tanaman
sela (alley cropping). (Santosa, 2006).
Van Hoof (1987) mengatakan bahwa multiple cropping adalah menanam lebih dari satu
jenis tanaman pada sebidang lahan dalam kurun waktu satu tahun. Hook dan Gascho (dalam
Hargrove, 1988) menambahkan multiple cropping dapat dibedakan menjadi sequential
multiple cropping dan intercropping. Sequential multiple cropping adalah menanam lebih dari
26
satu jenis tanaman pada lahan yang sama dalam kurun waktu setahun, namun secara bergilir
(tanaman satu mengikuti tanaman lainnya). Intercropping adalah menanam dua jenis tanaman
pada lahan yang sama secara berselang seling untuk seluruh atau sebagian masa
pertumbuhan tanaman (Sullivan, 2003).
Willey et al. (1979) menyatakan bahwa dalam pola tanam tumpangsari perlu
memperhatikan kepekaan tanaman terhadap persaingan selama hidupnya. Banyak tanaman
pada periode tertentu sangat sensitif dan peka terhadap kompetisi sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Agar persaingan antara jenis tanaman yang
ditumpangsari dapat ditekan sekecil mungkin, maka perlu diatur agar sumberdaya yang
diperlukan untuk masing-masing tanaman tidak terjadi pada saat yang bersamaan.
Intensitas pola tanam dalam kurun waktu setahun sangat erat kaitannya dengan
kondisi iklim terutama curah hujan. Oldemann (1975) menyusun klasifikasi iklim di Indonesia
berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering. Untuk bulan basah apabila curah hujan
dalam satu bulan lebih besar dari 200 mm dan untuk bulan kering apabila jumlah curah hujan
dalam sebulan lebih kecil dari 100 mm. Zona agrokllimat menurut Oldeman ini dapat dilihat
pada Tabel 2.5
Apabila periode kering kurang dari dua bulan maka pada subzona tersebut dapat
dilakukan budidaya tanaman sepanjang tahun. Jika periode kering antara 2 – 3 bulan, maka
untuk dapat melakukan budidaya tanaman sepanjang tahun perlu perencanaan yang lebih
matang. Periode kering untuk
Tabel 2.7. Zona Agroklimat (Oldeman, 1975)
Zona Jumlah bulan basah berturut-turut
A > 9
B 7 – 9
C 5 – 6
D 3 – 4
E < 3
membudidayakan tanaman tak dapat dihindari apabila periode kering berlangsung 4 – 6 bulan
dalam setahun. Untuk subzona dengan periode kering 7 – 9 bulan, hanya dapat dilakukan
satu kali tanam dalam setahun. Sedangkan untuk subzona dengan periode kering lebih dari
9 bulan tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian jika tidak dikembangkan sistem
irigasi yang dapat menjamin ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman (Oldeman, 1980).
Menurut Hoque (1984) contoh pola tanam pada lahan kering khususnya di Indonesia
disajikan pada Tabel 2.6
27
Tabel 2.8. Contoh Pola Tanam Pada lahan Kering di Indonesia (Hoque, 1984)
No. Pola Tanam Tempat
1 Padi - Jagung + Kacang Tanah Sampang
2 Jagung - Padi/Ketela Pohon Way Abung
3 Jagung + Padi – Jagung Tinjau Pecah
4 Jagung + Padi - Jagung + Ketela Rambat Sampang
5 Jagung + Padi - Jagung + Kacang Tanah - Jagung +
Kacang Tanah
Sampang
6 Jagung + Kacang Tanah - Jagung + Kacang Tanah -
Jagung + Kacang Tanah
Sampang
2.10 Nilai Ekonomi Tanaman
Nilai ekonomi tanaman yang dimaksudkan disini adalah keuntungan usahatani yang
diperoleh dari komoditas tanaman yang diusahakan. Semakin tinggi keuntungan berarti makin
tinggi nilai ekonomi tanaman atau sebaliknya (Santosa, 2006).
Keuntungan usaha tani (K) adalah selisih antara penerimaan total (P) dan biaya-biaya
(B) atau dapat ditulis K = P – B. Apabila produksi Y harga satuannya Py dan banyaknya input
X harga satuannya Px, maka persamaan akan menjadi: K = Y.Py – X.Px (Soekartawi, 1993).
Biaya – biaya ada biaya tetap dan ada biaya tidak tetap (X1.Px1, X2.Px2 ….Xn.Pn).
Perhitungan biaya-biaya ini sudah termasuk dalam X.Px.
Pengusahaan suatu jenis tanaman tertentu di suatu wilayah yang berorientasi
agribisnis, erat kaitannya dengan keuntungan yang akan didapat. Tanaman yang dipilih sudah
tentu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Keuntungan usaha tani ini dapat dicari per
komoditas tanaman atau gabungan dari beberapa jenis tanaman yang diusahakan dalam satu
musim atau kurun waktu tertentu misalnya untuk pola tanam dalam setahun.
2.11 Model CropWat for Windows
Dalam hubungannya dengan ilmu keairan, salah satu model yang saat ini berkembang
pesat adalah Model CropWat. Model CropWat ini merupakan Decision Support Sistem (DSS)
yang dikembangkan oleh Divisi Pengembangan Tanah dan Air FAO (Smith, 1992). untuk
merencanakan dan mengelola irigasi. Model CropWat dimaksudkan sebagai alat praktis untuk
menghitung evapotranspirasi acuan (ETo), kebutuhan air tanaman (ETc) dan kebutuhan air
irgasi. Penggunaan Model CropWat mempunyai kelebihan karena dapat mempercepat
pengolahan data dan sekaligus juga untuk mempercepat memperoleh gambaran hasil
mengenai obyek yang diteliti. Model dapat dalam bentuk persamaan atau kumpulan dari
persamaan yang tersusun dalam bentuk program simulasi. (Marica, 2010).
28
Prosedur untuk menghitung kebutuhan air tanaman dan kebutuhan air irigasi
berdasarkan metode yang dikemukakan oleh FAO pada buku Irrigation and Drainage paper
No. 24 “Crop Water Requirement” dan No. 33 “Yield Response to Water”.
Terdapat dua versi baru dari CropWat, yang pertama adalah CropWat versi 7.0 yang
berisi versi secara komplit dalam bentuk Pascal yang dikembangkan dengan bantuan
Agricultural College of Velp, Belanda. Versi ini sudah diperbaiki dari aslinya Versi 5.7.
Aplikasinya dalam bentuk DOS namun dapat juga dijalankan dengan MS-Windows. Versi yang
kedua adalah CropWat for Windows yang ditulis dalam Visual Basic dan dioperasikan dengan
sistem windows. Model ini dikembangkan atas bantuan International Irrigation & Development
Institute Universitas Southampton, UK.
CropWat tersebut menggunakan metode Penman-Monteith, FAO (1992) untuk
menghitung evapotranspirasi acuan. Estimasi ini selanjutnya digunakan untuk menghitung
kebutuhan air tanaman dan jadwal irigasi (Clarke et al., 1998).
Model CropWat dapat dimanfaatkan untuk estimasi evapotranspirasi dan respon hasil
tanaman terhadap air. Model ini juga lazim digunakan untuk simulasi efek cekaman lengas-
tanah terhadap hasil tanaman dan estimasi reduksi hasil tanaman. Hasil penelitian Thimme et
al. (2013) menunjukkan bahwa kebutuhan air tanaman jagung pada lahan kering tadah hujan
beragam menurut waktu penanaman benihnya. Total kebutuhan air tanaman jagung yang
ditanam awal adalah 116,0 mm dan jagung yang ditanam lebih akhir mempunyai kebutuhan
air sebesar 183,8 mm.
29
BAB III.
KONSEP PENGEMBANGAN LAHAN KERING
Pengembangan lahan kering dihadapkan pada berbagai kendala baik biotik maupun
sosial ekonomi serta faktor pembatas utama pertumbuhan seperti rendahnya kesuburan tanah
dan tidak tersedianya air sepanjang tahun. Sumber air untuk memenuhi kebutuhan tanaman
pada lahan kering berasal dari curah hujan yang jumlahnya terbatas, pengelolaan air yang
tidak baik membuat usaha tani lahan kering sering diusahakan sekali saja dalam setahun. Hal
ini yang menyebabkan produktivitasnya rendah dan resiko kegagalannya sangat tinggi,
sehingga pendapatan petani menjadi rendah pula (Munandar, 1994).
Agar dapat melakukan penanaman yang lebih intensif perlu diperhatikan kondisi tanah,
iklim dan tanamannya. Kondisi tanah yang sangat penting adalah ketersediaan air tanah.
Ketersediaan air tanah tergantung dari iklim yaitu curah hujan sehingga didapatkan Neraca Air
Wilayah, Neraca Air Lahan dan Neraca Air Tanah berdasarkan perhitungan CropWat
Unsur tanamannya yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan air tanaman. Kebutuhan
air tanaman dipengaruhi oleh koefisien tanaman (Kc) dan evapotranspirasi acuan (ETo),
dimana ETo sangat ditentukan oleh unsur iklim seperti suhu, kelembaban, kecepatan
angin dan lama penyinaran (Penman–Monteith) (Islami, 1995). Dengan mengetahui neraca
air tanah dan kebutuhan air tanaman, maka usaha tani pada lahan kering seperti penentuan
saat tanam dan pola tanam dapat dilakukan dengan tepat. Harapannya produksi dapat
ditingkatkan sehingga pendapatan petani juga meningkat.
Mencegah terjadinya kekaburan pengertian dalam pembahasan perlu disampaikan definisi operasional dari masing-masing variable yang dibahas. Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:
1. Neraca air lahan adalah keseimbangan antara perubahan air yang tersedia di dalam
tanah (ΔST) dengan air yang digunakan (ET) pada lahan pertanian. Indikator-
indikatornya adalah: curah hujan, aliran permukaan, perkolasi dalam, evapotranspirasi
dan simpanan air dalam tanah. Perubahan ketersediaan air dalam tanah ditentukan
oleh banyaknya air hujan yang masuk ke dalam tanah, sedangkan air yang digunakan
sangat ditentukan oleh evapotranspirasi. Evapotranspirasi itu dipengaruhi oleh
koefisien tanaman (Kc), suhu, kelembaban, kecepatan angin dan lama penyinaran.
Ketika air yang tersedia dalam tanah mencukupi air yang dibutuhkan oleh tanaman,
maka pertumbuhan tanaman maksimal, sehingga produksi maksimal. Sebaliknya
jika air yang tersedia dalam tanah tidak mampu mencukupi kebutuhan air tanaman,
maka pertumbuhan tanaman menjadi tidak normal, sehingga produksi akan menurun.
2. Pola tanam Ubikayu+Jagung-Kacang tanah secara tumpangsari maksudnya:
menanam lebih dari satu jenis tanaman pada sebidang lahan dalam kurun waktu satu
tahun (Van Hood, 1987). Indikator-indikatornya adalah: hasil umbi segar ubikayu, berat
biji jagung kadar air 12% dan berat biji kering jemur kacang tanah pada tanaman
tumpangsari dan monokultur. Kemudian ditentukan nilai kesetaraan tanah (NKT), jika
30
NKTnya lebih kecil dari 1 berarti pola tanam tersebut tidak menguntungkan, sebaliknya
jika NKTnya lebih besar dari 1 berarti pola tanam tersebut sangat menguntungkan.
3. Saat tanam tepat berarti: saat tanam dimana tanaman masih mampu berproduksi secara
maksimum. Indikator-indikatornya: evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi maksimum.
Kemudian ditentukan reduksi hasilnya, jika reduksi hasilnya kebih kecil dari 10% ini berarti
waktu tanamnya tepat, sebaliknya jika reduksi hasilnya melebihi 10% berarti waktu tanamnya
tidak tepat.
Gambar 3.1 Skema kerangka konsep penelitian
o SAAT TANAM TEPAT
o POLA TANAM
PRODUKSI TINGGI
PENDAPATAN
PETANI
MENINGKAT
KEBUTUHAN AIR TANAMAN
TANAMAN
CH ETo
IKLIM
KONDISI
LAHAN KERING
KETERSEDIAAN
AIR TANAH
TANAH
NERACA AIR
WILAYAH
NERACA
AIR LAHAN
CROPWAT
LAHAN KERING
BERCOCOK TANAM
KURANG INTENSIF,
POLA TANAM 1X/TAHUN
PRODUKSI LAHAN
PER TAHUN RENDAH
PENDAPATAN
PETANI RENDAH
SUMBER AIR
TERBATAS
CURAH
HUJAN
IGASI
TIDAK
ADA
LAHAN
MARGINAL
31
Gambar 3.2. Kerangka Analisis Pengembangan
PERCOBAAN LAPANG (HARTMAN) Mengukur dampak perubahan tanggal tanam sebagai akibat Neraca Air Wilayah terhadap: a. Perubahan/Kandungan air dalam tanah b. Curah hujan c. Aliran permukaan d. Perkolasi dalam e. Evapotranspirasi f. Produksi tanaman
ANALISIS EKONOMI Mengukur dampak perubahan produksi sebagai akibat tanggal tanam terhadap : a. Pola tanam b. Nilai Kesetaraan Tanah c. Reduksi hasil d. Nilai ekonomi
ANALISIS SIMULASI (Thorntwaite + CropWat for Windows) Mengukur dampak Neraca Air Wilayah terhadap: a. Saat terjadi Surplus atau Defisit b. Tanggal Tanam
32
BAB IV
METODE PENGEMBANGAN LAHAN KERING
4.1 Tempat Pengembangan Lahan Kering
Pengembangan Lahan Kering dilakukan di daerah Bali Selatan yaitu di Kabupaten
Badung, Kecamatan Kuta Selatan, Desa Pecatu, Banjar Tengah dan Subak Temu Dewi. Lokasi penelitian terletak pada 8o 49’ 51’’ LS dan 115 o07’ 47” BT dan terletak pada ketinggian 202 m dari permukaan laut (BMKG, 2010). Pengembangan Lahan Kering dilaksanakan selama Oktober 2010 hingga Juli 2011, menggunakan metode observasi, wawancara dan percobaan lapangan (field experiment). Observasi dan wawancara dilakukan untuk mengetahui sistem usahatani yang telah dilakukan oleh petani, sedangkan untuk meneliti pola pengembangan pertanian lahan kering berbasis neraca air lahan dilakukan percobaan lapangan.
4.2. Persiapan Pengembangan Lahan Kering
Persiapan awal yang dilakukan adalah berkonsultasi dengan instansi yang terkait
untuk menentukan lokasi penelitian. Pada tahap persiapan ini juga dilakukan Studi Pustaka
mengenai penelitian terdahulu tentang neraca lengas lahan kering dan pola tanamnya, di
Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Perpustakaan Pusat Universitas
Brawijaya, Perpustakaan Pusat Universitas Udayana dan Perpustakaan Pusat Universitas
Mahasaraswati dan instansi terkait lainnya.
Kegiatan lain yang dilakukan adalah ujicoba Software CropWat for Windows untuk
menganalisis evapotranspirasi acuan, kebutuhan air tanaman
dan estimasi penurunan hasil tanaman.
4.3 Tahapan Pengembangan Lahan Kering
Konsep yang mendasari penelitian adalah pengenalan biofisik lahan yang ditunjang
oleh analisis laboratorium, pengelolaan lahan yang diperlukan dan selanjutnya penggunaan
atau rencana pengembangan pola tanam lahan kering yang bersangkutan.
Tahapan kegiatan penelitian terdiri atas: (1) Observasi dan survei lapangan; (2) Studi
neraca air pada lahan kering; (3) Penelitian kebutuhan air tanaman; (4) Simulasi neraca air
dengan CropWat for Windows dan Eksperimen (5) Analisis pola tanam lahan kering di lokasi
Bali Selatan.
Kegiatan 1. Observasi dan Survei Lapangan
Observasi lapangan difokuskan pada tinjauan mengenai daerah Bali Selatan, utamanya
lahan-lahan kering pertanian tanaman pangan, beragam aktivitas usahatani lahan kering
dengan tanaman palawija. Analisis dilakukan dengan lingkup keadaan keadaan umum daerah
penelitian, karakteristik tanahnya (didukung dengan analisis contoh tanah di laboratorium),
bentuk lahan, kondisi iklim, karakteristik vegetasi, dan luas tanah garapan petani. Data-data
33
dikumpulkan dengan jalan pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan petani dan
penduduk setempat, Kepala Desa, Camat dan Dinas Pertanian.
Kegiatan 2. Studi Neraca Air Pada Lahan Kering
Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun neraca air wilayah dengan Metode Thorthwaite –
Mather.
Neraca air untuk wilayah Bali Selatan dicari dengan metode Thorthwaite dan Mather
yang dikemukakan oleh Prijono (2009) seperti Tabel 4.1
Table 4.1 Tabel Neraca Air untuk Wilayah Menurut Thornwaite dan Mather
Bulan
Variabel
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
P
PE
P – PE
APWL
ST
∆ST
AE
Defisit
Surplus
Keterangan : P = Curah hujan (mm/bulan); PE = Evaporasi potensial (mm/bulan); Sto = Kapasitas
lapang; APWL = Accumulation Potensial of Water Loss; ST = Total simpanan air tanah; ∆ST =
Perubahan Kandungan Air Tanah (mm/bulan); AE = Evaporasi aktual (mm/bulan); Defisit = Kekurangan
(mm/bulan); Surplus = Kelebihan (mm/bulan).
Curah Hujan (P)
34
Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan rata-rata bulanan dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2000 - 2009). (diambil dari Balai Meteorologi dan
Geofisika Wilayah III stasiun Ngurah Rai)
Evapotranspirasi Potensial (ETo atau PE)
Dalam menetapkan evapotranspirasi potensial digunakan metode perhitungan
evapotranspirasi potensial menurut FAO Penman-Monteith, sebagai berikut: (Allen at al.,
1998)
dimana : ETo = Evapotranspirasi potensial (mm hari-1); Rn = Radiasi bersih pada permukaan
tanaman (mm hr-1); G = Perubahan simpanan panas tanah kondisi jenuh (mm hr-1); T =
Temperatur udara (oC); U2(VPD)= Kecepatan angin pada ketinggian 2 m di atas permukaan
tanah (km jam-1); Δ = Perubahan tekanan uap jenuh yang berkaitan dengan perubahan
temperatur udara; y = Koefisien psychrometer.
Input data yang diperlukan adalah data iklim yang mencakup temperatur, kelembaban,
penyinaran dan kecepatan angin. Data iklim ini bersumber dari Stasiun Ngurah Rai yang
dikumpulkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009
(BMKG, 2010).
Jumlah Kumulatif Defisit Air (Accumulation Potensial of Water Loss = APWL)
Jumlah kumulatif dari defisit air (APWL) didapat dari selisih antara curah hujan (P)
dengan evapotranspirasi potensial (PE) pada bulan yang bersangkutan. Perhitungan defisit
air untuk bulan selanjutnya apabila tidak terjadi curah hujan, merupakan jumlah defisit pada
bulan bersangkutan ditambah dengan defisit bulan sebelumnya.
Kadar Air Tanah (Soil Moisture Storage = ST)
Kadar air dalam tanah tergantung pada: (1) Kadar air tanah pada keadaan kapasitas
lapang (STo), dan (2) defisit dari curah hujan (APWL). Penentuan kadar air tanah pada
keadaan kapasitas lapang dengan membuat kurva pF. Kadar air tanah pada kapasitas lapang
adalah kadar air tanah pada pF = 2,5.
Pembuatan kurva pF dilakukan berdasarkan data hasil analisis contoh tanah di
laboratorium. Prinsip penetapan pF adalah menyetimbangkan contoh tanah jenuh pada
tekanan atau hisapan tertentu dan setelah setimbang diukur kadar airnya, sehingga diperoleh
hubungan antara kadar air tanah dnegan besarnya tekanan atau Hisapan (dinyatakan dengan
pF). Dari hubungan ini didapat gambar kurva pF.
Penentuan besar defisit dari curah hujan dicari dengan menjumlahkan defisit
sebelumnya dengan defisit yang terjadi pada bulan bersangkutan (APWL).
Kadar air dalam tanah dicari dengan persamaan :
35
ST = STo. E(+APWL / -STo)
dimana : ST = Kadar air tanah (mm); STo = Kadar air dalam keadaan kapasitas lapang (mm);
APWL = Jumlah kumulatif defisit curah hujan (mm).
Evapotranspirasi Aktual (AE)
Evapotranspirasi aktual dicari dengan cara : (1) Pada bulan-bulan basah (P> PE) : AE
= PE dan ; (2) Pada bulan-bulan kering (P < PE) : AE = P + ΔST.
Neraca Air
Neraca air pada bulan-bulan basah (P>PE, AE=PE, ΔST≥0) P = PE + S + ΔST S = (P – PE) – ΔST Neraca air pada bulan kering (P<PE, AE<PE, ΔST≤0) P = AE + ΔST D = PE – AE
Defisit dan Surplus
Defisit dan surplus air tanah dihitung dengan cara mengurangi curah hujan dengan
evapotranspirasi potensial; kalau nilainya negatif berarti defisit (D) dan kalau nilainya positif
berarti surplus (S).
Kegiatan 3. Simulasi Neraca Air dengan CropWat for Windows
Kegiatan ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi Neraca Air pada masing-masing pola tanam
sebelum penelitian; (2) menentukan besarnya reduksi produksi tanaman.
Simulasi dilakukan untuk menganalisis kebutuhan air tanaman dengan adanya
pergeseran waktu tanam dan mengestimasi penurunan hasil tanaman apabila terjadi
kekurangan air. Simulasi dilakukan dengan menggunakan Model CropWat for Windows
menurut FAO yang dikemukakan oleh Smith (1992). Data input yang diperlukan, data output
yang diperoleh, cara perhitungan dan diagram alurnya dijelaskan berikut ini.
1. Data Input
Data input yang diperlukan pada model ini adalah :
(1) Data iklim periode 2000-2009 meliputi : suhu udara maksimum dan minimum,
kelembaban relatif, periode penyinaran dan kecepatan angin.
(2) Data curah hujan harian atau bulanan.
(3) Pola tanam yang terdiri atas tanggal tanam, koefisien tanaman (yang menyangkut nilai
Kc, stadia pertumbuhan, kedalaman perakaran, fraksi deplesi) dan areal tanam (0 –
100% dari luas total areal).
(4) Tekstur tanah liat dengan Total Lengas Tersedia (TAM) 180 mm/bulan, laju infiltrasi
maksimum 40 mm/hari, maksimum kedalaman akar 1 m, dan ketersediaan lengas awal
180 mm/bulan.
36
2. Data Output
Setelah semua data dimasukkan, Model CropWat “berproses” melakukan analisis dan
hasilnya disjaikan dalam format tabel atau grafik. Time Step untuk estimasi hasil tanaman
adalah harian, mingguan, periode, atau bulanan. Keluaran parameter untuk setiap tanaman
di dalam model pola tanam adalah : (1) Evapotranspirasi acuan – ETo (mm periode-1); (2)
Hujan efektif (mm periode-1) – jumlah air yang masuk ke dalam tanah; (3) Kebutuhan air
tanaman – CWR atau ETm (mm periode-1); (4) Defisit air tanah harian (mm); (5) Estimasi
penurunan hasil sehubungan dengan stress tanaman (apabila ETc/ETm dibawah 100%).
Ambang penurunan hasil diperhitungkan maksimum 10% berdasarkan perhitungan
dengan model CropWat for Windows. Nilai ekonomi penurunan hasil juga diestimasi.
3. Cara Perhitungan
Nilai evapotranspirasi acuan (ETo) yang semula per periode atau bulanan diganti
menjadi harian dengan menggunakan empat model distribusi.
Model CropWat menghitung kebutuhan air tanaman dengan menggunakan
persamaan CWR = ETo x Kc x Luas areal tanam. Hal ini berarti bahwa CWR puncak dalam
mm hari-1 nilainya lebih kecil dibandingkan ETo kalau areal tanam dalam pola tanam kurang
dari 100%.
Nilai Kc rata-rata untuk setiap time step diestimasi dengan interpolasi linier di antara
nilai Kc untuk setiap stadia perkembangan tanaman. Nilai Kc tanaman dihitung dengan rumus:
(Kc x areal yang tertutup tanaman). Jika penutupan tanamannya hanya 50% dari areal, maka
nilai Kc tanaman menjadi setengah dari nilai Kc yang ada pada file data.
Kebutuhan air tanaman dan curah hujan bulanan harus didistribusi menjadi nilai
harian. Model CropWat for Windows melakukan ini melalui dua langkah. Langkah yang
pertama, curah hujan dari bulan ke bulan dikerjakan pada kurva kontinyu. Kemudian model
mengasumsikan bahwa curah hujan bulanan dalam 6 curah hujan tinggi yang terpisah, sekali
setiap lima hari (jumlah curah hujan tinggi dapat diubah).
Total air tersedia (Total Available Moisture = TAM) dalam tanah untuk tanaman
selama musim pertumbuhan dihitung sebagai kadar air pada kapasitas lapang dikurangi
dengan kadar air pada titik layu, dikalikan dengan kedalaman perakaran. Air tanah mudah-
tersedia (Readily Available Moisture = RAM) dihitung dengan rumus:
RAM = TAM x P dimana P adalah fraksi deplesi.
Untuk menghindari cekaman air, perhitungan defisit air tanah hendaknya tidak jauh di bawah
nilai RAM.
4. Diagram Alir Model CropWat for Windows
Diagram alir Model CropWat dimulai dengan input data yang meliputi : penutupan
tanaman, meteorologi dan tanah. Data meteorologi terdiri dari : (1) temperatur maksimum dan
minimum, (2) kecepatan angin, (3) lama penyinaran, (4) kelembaban relatif dan (5) curah
37
1
hujan. Evapotranspirasi potensial (ETo) dihitung dengan persamaan Penman-Monteith. Hujan
efektif dihitung dengan menggunakan Metode SCS - USDA, seperti persamaan berikut :
Pe = Ptot x untuk Ptot < 250 mm
Pe = 125 + 0,1 x Ptot untuk Ptot > 250 mm
dimana : Pe = Hujan efektif (mm); Ptot = Hujan total.
Setelah data input yang diperlukan dimasukkan, Model CropWat dapat menghitung
dalam setiap dekade, meliputi : (1) koefisien tanaman, (2) evapotranspirasi tanaman aktual,
(3) perkolasi dalam, (4) hujan efektif dan (5) kebutuhan air tanaman.
Kebutuhan air tanaman pada kondisi tanpa irigasi, sumber airnya hanya curah hujan.
Model CropWat mensimulasi neraca air pada lahan, meliputi : (1) deplesi air tanah, (2) jumlah
perkolasi dalam, (3) evapotranspirasi tanaman aktual dan (4) hasil tanaman. Neraca air pada
lahan dapat ditulis sebagai berikut :
SMDt = SMDt-1 + ETc – Pe + R + DP
dimana : SMD1, SMDt-1 : Deplesi air tanah pada dekade t dan t-1 (mm); ETc: Evapotranspirasi
aktual tanaman (mm); Pe : Hujan efektif (mm); R : Aliran permukaan/run off (mm); DP :
Perkolasi dalam (mm).
Reduksi hasil tanaman pada masing-masing fase dievaluasi berdasar pada derajat
deplesi air tanah untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi tanaman. Reduksi hasil
masing-masing fase dan reduksi hasil kumulatif tanaman dapat dihitung sesuai rumus dalam
FAO Paper No. 33 sebagai berikut :
1 −𝑌𝑎
𝑌𝑚 = 𝑘𝑦 1 −
𝐸𝑇𝑎
𝐸𝑇𝑚
1 −𝑌𝑎
𝑌𝑚 = 1 −
𝑌𝑎
𝑌𝑚 ∗
𝑌𝑎
𝑌𝑚 ∗ … … ∗
𝑌𝑎
𝑌𝑚
dimana : i = Fase pertumbuhan tanaman; Ky = Faktor reduksi hasil tanam; Ya, ETa = Hasil
dan evapotranspirasi tanaman actual; Ym, ETm = Hasil dan evapotranspirasi tanaman
potensial.
Kegiatan analisis ini untuk mendapatkan tanggal tanam dan pola tanam yang berpeluang
dapat diterapkan.
125 – 0,2 Ptot
125
i
2 i
38
Tanpa irigasi, hanya curah hujan
Mensimulasi setiap parameter tanaman selama musim pertumbuhan
termasuk : (1) koef. tanaman, (2) evapotranspirasi tanaman, (3) hujan
efektif, (4) perkolasi dalam dan (5) kebutuhan air tanaman
Input areal tanam setiap tanaman, tanggal tanam
1. Menghitung evapotranspirasi (ETo) –
Penman Monteith
2. Menghitung curah hujan efektif (SCS
- USDA)
Mulai
Input Data Dasar
Tanah
Tekstur; Air tersedia; Laju
infiltrasi; Air tanah awal
Iklim & Hujan
Temperatur; Kecepatan
angin; Penyinaran;
Tanaman
Tgl tanam; Kc; Mintakat
perakaran; Ky
Reduksi Hasil tanaman
Menghitung neraca air
Menstimulasi neraca air pada lahan
meliputi : deplesi air tanah, ET
aktual, perkolasi dalam
Gambar 4.1 Diagram alur Model CropWat for Windows
39
Kegiatan 4. Percobaan Lapangan
Percobaan lapangan dilakukan untuk (1) memperoleh Neraca Air Lahan (Metode
Hartman); dan (2) Evaluasi neraca air dengan CropWat for Windows.
a. Neraca Air Lahan
Neraca air untuk lahan pada petak tanaman menurut Hartman (1983) adalah :
ΔST = P – (R + ET + DP)
dimana : ΔST = Perubahan simpanan air dalam tanah (cm3cm-3); P = Curah hujan (mm); R
= Aliran permukaan (run off) (mm); ET = Evapotranspirasi (mm); DP = Perkolasi dalam (mm).
Cara pengukuran curah hujan (P) dengan menggunakan alat penakar hujan
Ombrometer.
Perubahan Simpanan Air Tanah (ΔST)
Perubahan simpanan atau cadangan air dalam tanah (ΔST) dihitung dengan Neutron
Probe Type IH2 DIDCOT Wallingford, England:
Menghitung total simpanan air
Kedalaman yang diperhitungkan sampai kedalaman 45 cm. Simpanan air (ST) sampai
kedalaman 45 cm dihitung dengan persamaan :
ST45 = 150 θ10 + 100 (θ20 + θ30 + θ40) mm
Perubahan simpanan air (ΔST) = ST2 – ST1, dimana ST1 adalah simpanan air pada t1
dan ST2 adalah simpanan air pada t2.
Pengukuran aliran permukaan (R - runoff) menggunakan rumus :
R = Ptot – Pe
dimana : R = Aliran permukaan (mm) ; Ptot= Hujan total (mm); Pe = Hujan efektif (mm), dihitung
dengan Persamaan SCS-USDA.
Penentuan Perkolasi Dalam (DP – deep percolation)
Perkolasi Dalam (DP) diasumsikan sangat rendah karena kandungan liatnya sangat
tinggi, maka DP dianggap 0.
Evapotranspirasi (ET) diperoleh dari neraca air, merupakan besarnya air yang diperlukan
tanaman.
40
4 m
II I III
1 m
4 m
UKJKT
4 m
2m
Percobaan Lapangan
Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun secara
tunggal.
I. Perlakuan Pola Tanam yang terdiri dari tiga macam yaitu:
1. Ubikayu (UK)
2. Ubikayu +Jagung (UKJ)
3. Ubikayu + Jagung - Kacang Tanah (UKJKT)
Denah petak percobaan disajikan pada Gambar 4.2
Gambar 4.2 Denah Pola Tanam di lapangan
U
S
16 m
16 m
UK
1 m
UKJ
UK
UK UKJKT UKJ
UKJKT UKJ
MJ
3m
41
I I III
0,5
m
1 m
8,5 m
1,5 m
II. Perlakuan Waktu Tanam
a. Kacang Tanah terdiri atas empat waktu tanam yaitu:
1. Tanggal 3 Februari 2011 (KT3)
2. Tanggal 10 Februari 2011 (KT10)
3. Tanggal 17 Februari 2011 (KT17)
4. Tanggal 24 Februari 2011 (KT24)
Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Denah petak percobaan disajikan pada Gambar
4.3
Keterangan :
I, II, III = Ulangan
UK = Ubikayu
UKJ = Ubikayu + Jagung
UKJKT = Ubikayu + Jagung - Kacang Tanah
MJ = Monokultur Jagung
U
S
KT3 KT10 KT17
KT10 KT3 KT24
KT17 KT24 KT3
KT24 KT17 KT10
11 m
1,5 m
42
II I III
1 m 1 m
2,4 m
b. Ubijalar juga terdiri dari empat level yaitu :
1. Tanggal 3 Februari 2011 (UJ3)
2. Tanggal 10 Februari 2011 (UJ10)
3. Tanggal 17 Februari 2011 (UJ17)
4. Tanggal 24 Februari 2011 (UJ24)
Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Denah petak percobaan disajikan pada Gambar
4.4
Keterangan :
I, II, III = Ulangan
KT3 = Kacang tanah tanam tgl 3 Februari 2011
KT10 = Kacang tanah tanam tgl 10 Februari 2011
KT17 = Kacang tanah tanam tgl 17 Februari 2011
KT24 = Kacang tanah tanam tgl 24 Februari 2011
Gambar 4.3 Denah Waktu Tanam kacang tanah di lapangan
U
S
UJ3 UJ10 UJ24
UJ24 UJ17 UJ3
UJ17 UJ24 UJ10
UJ10 UJ3
13,6 m
14,6 m
3,2m
UJ17
43
Pola Tanam Ke 1 : Ubikayu (Manihot esculenta Crantz)
Pada pola tanam ini, Ubikayu varietas Adira 1 ditanam secara monokultur. Tanggal
tanamnya 22 Oktober 2010, lama periode pertumbuhannya 242 hari dan panen tanggal 21
Juni 2011.
Pola Tanam Ke 2 : Ubikayu + Jagung (Manihot esculenta Crantz + Zea mays L.)
Pada pola tanam ini, Ubikayu varietas Adira 1 + jagung varietas Pertiwi 3 ditanam
secara tumpang sari. Tanggal tanamnya 22 Oktober 2010, lama periode pertumbuhan jagung
dan 95 hari dan panen tanggal tanggal 26 Januari 2011. Sedangkan untuk Ubikayu periode
pertumbuhannya 242 hari dan panen tanggal 21 Juni. 2011 .
Pola Tanam Ke 3: Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah (Manihot esculenta Crantz + Zea
mays L. – Arachis hypogaea L.)
Pada pola tanam ini, Ubikayu varietas Adira 1 dan jagung varietas Pertiwi 3 ditanam
secara tumpang sari sebagai tanaman pertama. Tanggal tanamnya 22 Oktober 2010, lama
periode pertumbuhan jagung 95 hari dan panen tanggal 26 Januari 2011. Kemudian ditanam
seri tanaman kedua kacang tanah varietas Kancil tanggal 3 Februari 2011 tumpang sari
dengan Ubikayu. Lama periode pertumbuhan kacang tanah 90 hari dan Ubikayu 242 hari.
Panen kacang tanah 3 Mei 2011 dan Ubikayu 21 Juni 2011.
Pada percobaaan lapangan tanaman ubikayu dan jagung, ditanam serempak saat
musim hujan. Seri pola tanam berikutnya yaitu kacang tanah dan Ubijalar (Ipomoea batatas
L.) yang ditanam secara monokultur ditanam pada saat memasuki musim kering pertama.
Waktu tanam merupakan perlakuan, yaitu penanaman pada tanggal 3 Februari, 10 Februari,
17 Februari dan 24 Februari. Tata Letak tanaman dapat dilihat pada Gambar 4.5 sampai
dengan Gambar 4.9.
Keterangan :
I, II, III = Ulangan
KT3 = Ubijalar tanam tgl 3 Februari 2011
KT10 = Ubijalar tanam tgl 10 Februari 2011
KT17 = Ubijalar tanam tgl 17 Februari 2011
KT24 = Ubijalar tanam tgl 24 Februari 2011
Gambar 4.4. Denah Waktu Tanam Ubijalar di lapangan
44
BAB V.
HASIL PENGEMBANGAN LAHAN KERING
5.1 Observasi Daerah Pengembangan Lahan Kering
5.1.1 Keadaan Umum Daerah Pengembangan Lahan Kering
Daerah Pengembangan Lahan Kering terletak di Bali Selatan, Kabupaten Badung,
Kecamatan Kuta Selatan, Desa Pecatu, Br. Tengah, Subak Temu Dewi. Lokasi penelitian
terletak pada 8o 49’ 51’’ LS dan 115 o07’ 47” BT dan terletak pada ketinggian 202 m dari
permukaan laut (BMKG, 2010). Kondisi lahan di Desa Pecatu berbukit, tanahnya liat. Wilayah
Desa Pecatu didominasi oleh lahan kering, dengan luas wilayah secara keseluruhan
mencapai 2641,63 ha yang terdiri tegal/huma 1.423,37 ha, pekarangan 80,29 ha, Perkebunan
672,57 ha dan lainnya 465,40 ha. Seluruh wilayah ini lahannya adalah lahan kering. Jumlah
penduduknya 6.863 orang, sejumlah 3.504 orang bekerja dibidang pertanian pangan (data
BPS Badung, 2009). Di daerah ini alih fungsi lahan berlangsung sangat pesat dari lahan
pertanian berupa tegalan kering beralih fungsi menjadi lahan non pertanian seperti properti
dan villa-villa (informasi dari Kepala Desa).
5.1.2 Karakteristik Tanah Wilayah Pengembangan Lahan Kering
Berdasarkan analisis tanah lokasi penelitian pada kedalaman 0-20 cm, tanah miskin
kandungan nitrogen, fosfat dan kaliumnya tergolong sedang, serta C-organiknya sangat
rendah (Lampiran 1a). Tanah pada kedalaman 20 - 40 cm mengandung nitrogen dan kalium
rendah, fosfat sedang, dan C-organiknya sangat rendah (Lampiran 1a.). Tekstur tanah pada
kedalaman 0-20 cm liat berdebu dengan laju infiltrasinya 1,87 cm jam-1 (Lampiran 1b.),
sedangkan pada kedalaman 20-40 cm tekstur tanahnya liat dengan laju infiltrasinya 0,94 cm
jam-1 (Lampiran 1b). Pada beberapa areal ditemukakan batu karang (limestone). Pengambilan
sampel tanah pada tiga lokasi, pada setiap lokasi tanah diambil secara diagonal pada lima titik.
Tipologi lahan lokasi penelitan termasuk lahan kering tipe A dimana sumber airnya hanya
berasal dari curah hujan.
5.1.3 Iklim Daerah Pengembangan Lahan Kering
Desa Pecatu berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman termasuk iklim tipe C3. Stasiun iklim yang diacu adalah Stasiun Iklim Ngurah Rai. Data yang diperoleh setelah diolah dengan bantuan Software FAO CropWat for Windows keadaan iklim daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2. Penyinaran, radiasi dan evapotranspirasi polanya rendah waktu musim hujan dan meningkat pada waktu musim kemarau. Namun untuk kelembaban, kecepatan angin, curah hujan dan hari hujan, polanya justru terbalik. Untuk suhu rerata berada pada kisaran 24,6 – 27,0 oC, kelembaban 81,0 – 86,0 %, penyinaran 3,7 – 11 jam, kecepatan angin 164,2 – 354,2 km hr-1, suhu, kelembaban, penyinaran dan kecepatan angin sangat berpengaruh pada evapotranspirasi. Pada cuaca terang evapotranspirasi tinggi dan pada cuaca sejuk rendah (Michael, 1997). Besarnya evapotranspirasi harian pada daerah penelitian antara 3,32 – 5,17 mm hari-1, jumlah evapotranspirasi selama penelitian 1266,2 mm dan curah
45
hujan selama periode penelitian 2109,6 mm. Ini berarti bahwa jumlah curah hujan per periode penelitian yang masuk ke wilayah penelitian masih lebih besar dibandingkan dengan air yang keluar (hilang) melalui evapotranspirasi. Evapotranspirasi pada musim hujan lebih rendah dari musim kemarau. Pada cuaca terang evapotranspirasi tinggi dan pada cuaca sejuk evapotranspirasi rendah (Michael, 2008). Tabel 5.1. Data iklim: Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin, Penyinaran dan Radiasi di Daerah
Pengembangan Lahan Kering (Balai Meteorologi dan Geofisika Wilayah III Stasiun Ngurah Rai, 2011)
Tahun Bulan Suhu (oC) Kelembaban Penyinaran Kecepatan
Angin Radiasi
Rata-rata
Maks Min (%) (jam) (km/jam) (MJ/m2/jam)
2010 Oktober 27,7 30,7 25,0 84,0 8,4 224,6 21,5
November 28,0 31,5 24,9 83,0 8,5 164,2 20,4
Desember 27,5 30,7 25,1 84,0 3,7 241,9 13,0
2011 Januari 27,2 30,5 24,6 83,0 4,9 263,5 15,1
Februari 27,5 31,0 24,8 82,0 6,7 302,4 18,7
Maret 27,2 30,2 25,0 84,0 7,6 285,1 21,1
April 26,9 30,0 24,7 86,0 7,7 229,0 21,4
Mei 27,1 30,3 24,9 83,0 9,9 246,2 24,1
Juni 25,8 28,6 23,7 81,0 9,9 328,3 23,6
Juli 25,4 28,5 23,5 81,0 11,0 354,2 25,3
Jumlah 270,3 302,0 246,2 831,0 78,3 2639,4 204,2
Rerata 27,0 30,2 24,6 83,1 7,8 263,9 20,4
Tabel 5.2. Data Iklim: Evapotranspirasi, Curah Hujan dan Hari Hujan di Daerah Pengembangan
Lahan Kering Tahun Bulan Evapotranspirasi (ETo) Curah Hujan Hari Hujan
mm/hr mm/bln (mm/bln) (hari)
2010 Oktober 4,63 46,30 64,20 5
November 4,40 132,00 168,30 15
Desember 3,32 102,92 508,20 26
2011 Januari 3,71 115,01 373,60 25
Februari 4,47 125,16 281,70 20
Maret 4,62 143,22 274,40 22
April 4,51 135,30 281,60 19
Mei 5,09 157,79 120,10 16
Juni 4,94 148,20 17,80 5
Juli 5,17 160,27 19,70 10
Jumlah 44,9 1266,2 2109,6 163,0
Rerata 4,5 126,6 211,0 16,3
Keterangan : Evapotransirasi (ET0) menurut Penman-Monteith
46
5.1.4 Vegetasi di Lokasi Pengembangan Lahan Kering
Jenis tanaman yang tumbuh di wilayah Pengembangan Lahan Kering adalah jagung,
kacang tanah, ubikayu, waluh, jeruk, pepaya, mangga, srikaya, turi, jati yang tumbuh bersama-
sama membentuk hamparan vegetasi. Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan pada
waktu Pengembangan Lahan Kering, vegetasi kelihatan tidak merata, agak jarang dan tidak
subur pada waktu musim kemarau, pada waktu musim hujan nampak hijau tetapi banyak
ditumbuhi gulma. Hal ini dominan disebabkan karena terbatasnya ketersediaan air. Jenis
tanaman yang diusahakan umumnya adalah tanaman semusim, semi tahunan dan tanaman
tahunan. Tanaman semusim meliputi jagung, ubikayu, kacang-kacangan. Tanaman semi
tahunan adalah pisang dan pepaya, tanaman tahunan kelapa, mangga, jeruk, srikaya, jati, turi.
Dari observasi di lapangan ternyata di Desa Pecatu seluruh lahannya merupakan lahan kering,
tidak ada sumber air selain air hujan, petani setempat hanya menanam sekali dalam setahun.
Tanaman pangan ditanam secara monokultur dengan pengolahan tanah yang minimum, benih
hanya disebar begitu saja, banyak lahan potensial dibiarkan begitu saja hanya ditumbuhi
rumput dan gulma. Pada beberapa tempat lahannya terdapat batu kapur yang keras sehingga
tidak dapat ditanami. Banyak terjadi alih fungsi lahan dari lahan untuk pertanian menjadi villa-
villa dan sarana pariwisata lainnya.
5.2 Neraca Air Wilayah (Metode Thorntwaite-Mather)
Tabel 5.3 dan Gambar 5.1 menyajikan bulan surplus selama periode Januari hingga
April, sedangkan selama periode Mei hingga Nopember terjadi defisit. Jumlah curah hujan
dalam setahun 1723,9 mm dan evapotranspirasi 1833,7 mm. Curah hujan tinggi hanya
berlangsung lima bulan yaitu dari bulan
Tabel 5.3. Neraca Air untuk Wilayah Bali Selatan (tahun 2000-2009) menurut Thornwaite dan
Mather
Bulan P PE P-PE APWL ST ∆ST AE D S
1 376,5 136,4 240,1 0,0 208,0 -37,6 136,4 0,0 277,7
2 295,0 131,0 164,0 0,0 208,0 0,0 131,0 0,0 164,0
3 259,0 152,5 106,5 0,0 208,0 0,0 152,5 0,0 106,5
4 168,2 157,5 10,7 0,0 208,0 0,0 157,5 0,0 10,7
5 65,1 167,4 -102,3 102,3 127,2 -80,8 145,9 21,5 0,0
6 32,1 160,2 -128,1 230,4 68,7 -58,5 90,6 69,6 0,0
7 16,2 164,9 -148,7 379,1 33,6 -35,1 51,3 113,6 0,0
8 14,1 172,4 -158,3 537,4 15,7 -17,9 32,0 140,4 0,0
9 22,8 161,4 -138,6 676,0 8,1 -7,6 30,4 131 0,0
10 74,5 160,6 -86,1 762,1 5,3 -2,7 77,2 83,3 0,0
11 104,6 139,5 -34,9 797,0 4,5 -0,8 105,4 34,1 0,0
12 295,8 129,9 165,9 0,0 170,4 165,9 129,9 0,0 0,0
Jumlah 1723,9 1833,7 -109,8 3484,3 1265,5 -75,1 1240,1 593,5 558,8
STo = 208 mm
47
Gambar 5.1. Curah Hujan (P) dan Evapotranspirasi (PE) dalam setahun (2000 -2009)
Desember sampai bulan April. Jumlah curah hujan dari bulan Desember sampai dengan bulan
April sebesar 1394,5 mm. Sedangkan curah hujan dari bulan Mei sampai dengan Nopember
sangat rendah, yaitu hanya 329,4 mm, padahal jumlah evapotranspirasinya selama 7 bulan
mencapai 1126,4 mm. Jadi ada defisit sebesar 797 mm. Simpanan air tanah, pada bulan
Januari, Februari, Maret dan April sebesar 208 mm. Pada bulan Mei simpanan air dalam tanah
mulai menurun yaitu sebesar 127,2 mm kemudian menurun lagi dibulan Juni, Juli, Agustus,
September, Oktober yaitu sebesar 68,7 mm, 33,6 mm, 15,7 mm, 8,1 mm, 5,3 mm sampai
terbawah pada bulan Nopember yang hanya sebesar 4,5 mm, sedangkan pada bulan
Desember simpanan air tanah naik yaitu sebesar 170,4 mm. Perubahan simpanan air tanah
(∆ST) yang paling banyak hanya terjadi pada bulan Desember yaitu 165,9 mm.
Evapotranspirasi aktual sama besarnya dengan evapotranspirasi potensial pada bulan
Desember sampai April, pada bulan-bulan lainnya evapotranspirasi aktual melebihi curah
hujan. Akumulasi kekurangan air tertinggi terjadi pada bulan Nopember yaitu sebesar 797 mm.
Pada bulan April masih ada curah hujan dan pada bulan Mei sudah terjadi defisit sebesar
102,3 mm. Curah hujan setelah bulan April menurun drastis dan lebih rendah dibanding
evapotranspirasi, namun dilihat dari air yang tersimpan di dalam tanah (ST) pada bulan April
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
300.0
350.0
400.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Cu
rah
Hu
jan
(P
) d
an E
vap
otr
ansp
iras
i (P
E)
S = Surplus D = Defisit R = Pengisian Kembali
Bulan
P
PE
R
D
S
48
sebanyak 208 mm dan bulan Mei 127 mm, jumlah ini relatif cukup untuk akhir masa
pertumbuhan.
5.3 Simulasi Neraca Air dengan Metode CropWat for Windows
Simulasi dilakukan dengan menggunakan model CropWat for Windows menurut FAO
yang dikemukakan oleh Smith (1992). Data diambil dari data klimatologi dari tahun 2000-2009
dari Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III stasiun Ngurah Rai (Tabel 5.4).
Tabel 5.4 Rerata Evapotranspirasi Potensial dan Curah Hujan Efektif Tahun 2000 –
2009 (Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Stasiun Ngurah Rai,
2010)
Bulan ETo (mm/hari) Curah Hujan Efektif
(mm/bulan)
Januari 4,40 162,6
Februari 4,68 154,5
Maret 4,92 150,9
April 5,25 122,9
Mei 5,40 58,3
Juni 5,34 30,5
Juli 5,32 15,8
Agustus 5,56 13,8
September 5,38 22,0
Oktober 5,18 65,6
November 4,65 87,1
Desember 4,19 154,6
Total (mm/tahun) 1833,71 1038,6
Tanaman yang dievaluasi adalah ubikayu, jagung, kacang tanah dan ubijalar. Pola
tanam yang disimulasikan adalah ubikayu monokultur, ubikayu tumpangsari dengan jagung
dan ubikayu tumpangsari jagung kemudian ditanami kacang tanah pada musim kering.
Monokultur kacang tanah dan ubijalar pada empat waktu tanam yang berbeda yaitu ditanam
tanggal 3, 10, 17 dan 24.
49
Tabel 5.5 Neraca Air Tanah dan Reduksi Hasil pada Musim Hujan (MH) Data Iklim Tahun
2000 – 2009
Tabel
5.6 Neraca Air Tanah dan Reduksi pada Musim Kering I (MKI) Data IklimTahun
2000 – 2009.
Pola Tanaman Tgl
tanam
Hujan
Efektif
(mm)
Etc
(mm)
Etc/Etm
(%)
SMD
akhir
(mm)
Reduksi
Hasil
(%)
Monokultur Kacang
tanah 3 Peb 357,4 391,9 96,7 34,4 2,3
10 Peb 331,7 374,4 91,3 42,6 6,1
17 Peb 312,5 353,1 85,3 40,6 10,3
24 Peb 281,6 327,7 78,3 46,1 15,2
Monokultur Ubijalar 3 Peb 401,1 467,7 67,7 66,7 35,6
10 Peb 365,8 433,7 62,2 67,9 41,6
17 Peb 333,8 399,7 56,9 65,9 47,4
24 Peb 300,2 367,3 52 67,1 52,8
Hasil simulasi neraca air tanaman yang ditanam pada musim hujan (MH) kebutuhan
airnya sangat bervariasi. Neraca air dan terjadinya reduksi produksi juga tampak tidak semua
pola dan saat tanam kondisinya sama. Hasil simulasi tidak mengalami masalah karena reduksi
hasilnya di bawah 10%. Tanaman yang ditanam pada musim kering I (MK I), tanaman kacang
tanah masih mampu memberikan hasil yang baik jika ditanam pada minggu ke dua bulan
Pola Tanaman Tgl
tanam
Hujan
Efektif
(mm)
Etc
(mm)
Etc/Et
m (%)
SMD
akhir
(mm)
Reduksi
Hasil
(%)
UK Ubikayu 22 Okt 864,8 911,6 93,3 46,8 7,3
UK + J Ubikayu 22 Okt 890,9 938,4 92,5 47,5 8,3
Jagung 22 Okt 378,3 382,9 100 4,7 0
UK + J – KT Ubikayu 22 Okt 900,2 949,6 92 49,4 8,8
Kacang
Tanah 3 Peb 342,8 372,1 98,5 29,3 1,1
50
Februari reduksi hasilnya 6,1%, jika ditanam pada minggu ke tiga Februari reduksi hasilnya
sebesar 10,3% dan jika ditanam pada minggu ke 4 Februari reduksi hasil sudah sebesar
15,2%. Sedangkan tanaman ubijalar semua perlakuan waktu tanam reduksi hasilnya di atas
10% itu berarti tanaman ubijalar tidak cocok ditanam pada musim kering I karena dengan
penanaman diawal Februari saja sudah terjadi penurunan hasil sebesar 35,6%, berarti untuk
ubijalar lebih cocok jika ditanam pada pada musim hujan (MH).
5.4 Percobaan Pengembangan Lahan Kering
5.4.1 Neraca Air Lahan (Metode Hartman)
Pengamatan neraca air dilakukan dari saat tanam sampai panen pada kedalaman 0-
45 cm. Untuk tanaman jagung dan kacang tanah parameter yang diamati adalah berat kering
biji, sedangkan untuk ubikayu dan ubijalar hasilnya dalam bentuk umbi segar. Teknik budidaya
di lapangan dan hasil pengamatan untuk ubikayu, ubikayu + jagung dan ubikayu + jagung -
kacang tanah diuraikan sebagai berikut:
Ubikayu
Sebelum ditanam dilakukan persiapan tanah mulai dari pengolahan, perataan,
pemetakan, pemberian pupuk. Penanaman dilakukan tanggal 22 Oktober 2010 dan panen
tanggal 21 Juni 2011. Varietas Ubikayu yang digunakan adalah Adira 1, lama periode
pertumbuhannya dilapangan 242 hst. Jarak tanam 100 cm x 80 cm. Pupuk ZA 200 kg ha-1,
SP36 100 kg ha-1, KCl 100 kg ha-1. Pupuk ZA dan KCl ½ bagian diberikan saat tanam ½
bagian lagi diberikan saat tanaman berumur dua bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat
tanam, pupuk organik (pupuk Temesi) diberikan satu kali pada saat pengolahan tanah.
Neraca air pada petak perakaran tanaman Ubikayu disajikan pada Tabel 5.7, terlihat
bahwa selama periode tumbuh tanaman ubikayu terjadi evapotranspirasi sebesar 1087,34 mm
atau 4,49 mm hari-1. Curah hujan selama periode tumbuh ubikayu sebesar 2416,50 mm, runoff
sebesar 507,96 mm, dan total perubahan simpanan air tanah selama periode tumbuh ubikayu
sebesar 821,20 mm. Total ketersediaan air di dalam tanah terlihat bahwa simpanan air tanah
selama pertumbuhan tanaman Ubikayu berkisar antara 169,88 mm – 230,79 mm atau 81,19
– 110,96% dari kapasitas lapang.
Dari Gambar 5.2 grafik hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah
pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman pada petak tanaman Ubikayu terlihat bahwa
profil kadar air tanahnya pada kedalaman 0 cm pada fase initial, development, mid dan late
yaitu sebesar 0,32 cm3cm-3, 0,24
51
Tabel 5.7 Kondisi Neraca Air Lahan Selama Periode Tumbuh Tanaman Tumpang Sari
Tanaman
Total
Evapotranspirasi
(ET)
(mm)
Total
Curah
Hujan
(P)
(mm)
Total
Run Off
(R)
(mm)
Total
Perubahan
Simpanan air
(ΔS)(mm)
Kisaran Simpanan Air
Tanah
Ubikayu 1087,34
(4,49 mm/hari) 2.416,50 507,96 821,20
169,88 mm - 230,79
mm (81,19% - 110,96%
dari kapasitas lapang)
Ubikayu+Jagung
Jagung 447,90 1.073,30 239,81 385,59
220,73 mm-252,36mm
(106,12%-121,33% dari
kapasitas lapang)
Ubikayu 1088,89
(4,50 mm/hari) 2.416,50 507,96 819,65
188,95 mm-260,66 mm
(90,84% - 125,32% dari
kapasitas lapang)
Ubikayu+Jagung-Kacang Tanah
Jagung 447,90 1.073,30 239,81 385,59
220,73 mm - 252,55
mm (106,12% -
121,33% dari kapasitas
lapang)
Kacang
Tanah 479,74 1.169,40 250,52 439,14
213,54 mm - 254,55
mm (102,66% -
122,38% dari kapasitas
lapang)
Ubikayu 1109,99
(4,59 mm/hari) 2.416,50 507,96 798,55
194,08 mm - 254,55
mm (88,50% - 122,38%
dari kapasitas lapang)
cm3cm-3, 0,31 cm3cm-3 dan 0,17 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm hampir sama pada semua
fase dimana pada fase initial, development, mid dan late profil kadar air tanahnya masing-
masing sebesar 0,47 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3, 0,44 cm3cm-3 dan 0,40 cm3cm-3. Pada
kedalaman 20 cm yaitu sebesar 0,55 cm3cm-3 pada fase Initial 0,52 cm3cm-3 pada fase
development, 0,56 cm3cm-3 pada fase mid dan 0,52 cm3cm-3 pada fase late. Pada kedalaman
30 cm pada fase initial dan development profil kadar airnya yaitu sebesar 0,51 cm3cm-3, pada
fase mid dan late profil kadar airnya sebesar 0,50 cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm profil kadar
kadar airnya menurun pada semua fase tumbuh yaitu sebesar 0,41 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3,
0,40 cm3cm-3 dan 0,38 cm3cm-3. Pada permukaan tanah
52
Gambar 5.2. Grafik Hubungan Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak
Perakaran Tanaman Ubikayu (UK).
kondisi profil kadar airnya rendah kemudian meningkat sampai pada kedalaman 20 cm dan
menurun pada kedalaman 40 cm. Hal ini disebabkan oleh sifat tanah liat perkolasinya sangat
kecil, sehingga semakin bertambahnya kedalaman tanah profil kadar air tanahnya semakin
menurun.
Ubikayu + Jagung
Sebelum ditanam dilakukan persiapan tanah mulai dari pengolahan, perataan,
pemetakan, pemberian pupuk. Penanaman ubikayu dan jagung secara tumpang sari dilakukan
tanggal 22 Oktober 2010, jagung panen tanggal 26 Januari 2011 dan ubikayu panen tanggal
21 Juni 2011. Varietas ubikayu yang digunakan adalah Adira 1, lama periode pertumbuhannya
dilapangan 242 hst. Jarak tanam 100 cm x 80 cm. Pupuk ZA 200 kg ha-1, SP36 100 kg ha-1,
KCl 100 kg ha-1. Pupuk ZA dan KCl ½ bagian diberikan saat tanam ½ bagian lagi diberikan
saat tanaman berumur dua bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat tanam, pupuk
organik (pupuk Temesi) diberikan satu kali pada saat pengolahan tanah. Varietas jagung yang
digunakan adalah jagung Pertiwi 3, lama periode pertumbuhannya 95 hari, ditanam dua biji
per lubang diantara barisan ubikayu kemudian dibiarkan tumbuh satu tanaman saja. Pupuk ZA
75 kg ha-1, SP36 50 kg ha-1, KCl 75 kg ha-1, pupuk ZA dan KCl diberikan 1/3 bagiannya saat
tanam 2/3 sisanya saat tanaman berumur satu bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat
tanam. Neraca air pada petak perakaran tanaman tumpangsari ubikayu + jagung disajikan
pada Tabel 5.7.
Data Tabel 5.7 menunjukkan bahwa selama periode tumbuh tanaman jagung yang
ditumpangsarikan dengan ubikayu terjadi evapotranspirasi sebesar 447,90 mm; curah hujan
selama periode tumbuh tanaman jagung sebesar 1073,30 mm; runoffnya sebesar 239,81 mm
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0.2 0.4 0.6
Ke
dal
aman
(cm
)q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhanFase akhirpertumbuhan
53
dan pada saat panen jagung total perubahan simpanan air tanah sebesar 385,59 mm;
kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman jagung berkisar antara 220,73 mm –
252,36 mm atau 106,12% – 121,33% dari kapasitas lapang (Tabel 5.7). Hal ini berarti
kandungan air tanah masih mencukupi kebutuhan tanaman. Selama periode tumbuh tanaman
ubikayu yang ditumpangsarikan dengan jagung total evapotranspirasi sebesar 1088,89 mm
atau 4,50 mm hari-1. Curah hujan selama periode tumbuhnya ubikayu tumpangsari jagung
sebesar 2416,50 mm, runoff sebesar 507,96 mm, dari Tabel 5.7 juga terlihat bahwa total
perubahan simpanan air tanah selama periode tumbuh ubikayu tumpangsari jagung sebesar
819,65 mm. Dari Tabel 5.7 terlihat bahwa kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman
ubikayu+jagung berkisar antara 188,95 mm – 260,66 mm atau 90,84% – 125,32% dari
kapasitas lapang. Hal ini berarti kandungan air dalam tanah sepanjang pertumbuhan tanaman
ubikayu masih mencukupi kebutuhan tanaman.
Dari Gambar 5.3 grafik hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada
masing-masing fase pertumbuhan tanaman terlihat pada kedalaman 0 cm profil kadar air
tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-masing sebesar 0,28 cm3cm-3,
0,29 cm3cm-3, 0,27 cm3cm-3, dan 0,20 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm profil kadar air
tanahnya hampir sama pada fase initial, development, mid dan late yaitu sebesar 0,41 cm3cm-
3, 0,43 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3, 0,41cm3cm-3. Pada kedalaman 20 cm profil kadar air
tanahnya pada masing-masing fase sebesar 0,49 cm3cm-3, 0,49 cm3cm-3, 0,53 cm3cm-
3 dan 0,48 cm3cm-3. kemudian profil kadar air tanahnya meningkat pada kedalaman 30 cm
pada semua fase tumbuh yaitu sebesar 0,60 cm3cm-3, 0,59 cm3cm-3, 0,63 cm3cm-3 dan 0,59
cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm pada masing-masing fase profil kadar air tanahnya sebesar
0,63 cm3cm-3, 0,58 cm3cm-3, 0,54 cm3cm-3 dan 0,51 cm3cm-3.
Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah
Persiapan tanah dilakukan sebelum penanaman, dimulai dengan pengolahan,
perataan, pembuatan petak, pemberian pupuk. Penanaman ubikayu dan jagung secara
tumpangsari dilakukan tanggal 22 Oktober 2010, jagung panen tanggal 26 Januari 2011.
Varietas ubikayu yang digunakan adalah Adira 1, lama periode pertumbuhannya dilapangan
242 hst. Jarak tanam 100 cm x 80 cm. Pupuk ZA 200 kg ha-1, SP36 100 kg ha-1, KCl 100 kg
ha-1. Pupuk ZA dan KCl ½ bagian diberikan saat tanam ½ bagian lagi diberikan saat
tanaman berumur dua bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat tanam, pupuk organik
(pupuk Temesi) diberikan satu kali pada saat pengolahan tanah. Varietas jagung yang
digunakan adalah Jagung Pertiwi-3, periode pertumbuhannya di lapangan 95 hari, ditanam
per lubang dua biji di antara barisan ubikayu kemudian dijarangkan menjadi satu tanaman.
Pupuk ZA 75 kg ha-1, SP36 50 kg ha-1 KCl 75
54
Gambar 5.3. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak
Perakaran Tanaman Ubikayu + Jagung (UKJ).
kg ha-1, pupuk ZA dan KCl diberikan 1/3 bagiannya saat tanam 2/3 sisanya saat tanaman
berumur satu bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat tanam. Ubikayu dan Jagung
ditanam secara tumpangsari sebagai tanaman pertama pada saat musim hujan. Setelah
panen jagung untuk tanaman kedua setelah jagung ditanami kacang tanah di bekas tanaman
jagung (musim kering I). kacang tanah yang ditanam adalah varietas Kancil ditanam tanggal 3
Februari sebagai tanaman tumpangsari yang ke dua dan dipanen pada tanggal 5 Mei
sedangkan Ubikayu dipanen tanggal 21 Juni 2011. Kacang tanah ditanam 2 biji per lubang
tetapi hanya satu tanaman yang dibiarkan tumbuh. Pupuk ZA 40 kg ha-1, SP36 10 kg ha-1, KCl
40 kg ha-1. SP36 dan KCl diberikan saat tanam sedangkan ZA ½ bagian diberikan saat tanam
sisanya saat tanaman umur satu bulan. Bentuk neraca air pada petak perakaran tumpang sari
Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah seperti disajikan pada Tabel 5.7.
Pada Tabel 5.7 juga terlihat bahwa selama periode tumbuh tanaman Jagung yang
ditumpangsarikan dengan Ubikayu pada musim hujan besarnya evapotranspirasi 447,90 mm,
run off sebesar 239,81 mm, curah hujannya sebesar 1073,30 mm dan saat panen total
perubahan simpanan air tanahnya sebesar 385,59 mm, sedangkan kandungan air tanah
selama pertumbuhan tanaman jagung berkisar antara 220,73 mm – 252,36 mm atau 106,12%
- 121,33% dari kapasitas lapang.
Selama periode tumbuh tanaman kacang tanah yang ditumpangsarikan dengan
ubikayu pada musim kering I terjadi evapotranspirasi sebesar 479,74 mm, run off sebesar
250,52 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah sebesar
1169,40 mm, pada saat panen kacang tanah total perubahan simpanan air tanahnya 439,14
mm. Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman kacang tanah berkisar antara 213,54
mm – 254,55 mm atau 102,66% - 122,38% dari kapasitas lapang (Tabel 5.7).
Selama periode tumbuh tanaman ubikayu yang ditumpangsarikan dengan jagung pada
musim hujan dan ditumpangsarikan dengan kacang tanah pada musim kering I total
evapotranspirasinya sebesar 1109,99 mm atau 4,59 mm hari-1, runoff sebesar 507,96 mm,
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0.2 0.4 0.6 0.8
Ke
dal
aman
(cm
)q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhanFase akhirpertumbuhan
55
curah hujan selama periode tumbuhnya sebesar 2416,50 mm (Tabel 5.7), dari tabel tersebut
terlihat total perubahan simpanan air tanah selama periode tumbuh tumpangsari ubikayu +
jagung – kacang tanah sebesar 439,14 mm. Dari Tabel tersebut juga terlihat bahwa simpanan
air tanah selama pertumbuhan tanaman ubikayu + jagung - kacang tanah berkisar antara
184,08 mm – 254,55 mm atau 88,50% – 122,38% dari
kapasitas lapang, ini berarti kandungan air tanah tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman
ubikayu.
Dari Gambar 5.4 grafik hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada
masing-masing fase pertumbuhan tanaman terlihat pada
Gambar 5.4. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak
Perakaran Tanaman Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah (UKJKT).
kedalaman 0 cm pada fase initial, development, mid dan late masing-masing sebesar 0,27
cm3cm-3, 0,29 cm3cm-3, 0,24 cm3cm-3 dan 0,17 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm profil kadar
airnya pada masing-masing fase sebesar 0,41 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3 dan 0,41
cm3cm-3. Pada kedalaman 20 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase sebesar 0,49
cm3cm-3, 0,49 cm3cm-3, 0,57 cm3cm-3 dan 0,49 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm besarnya
profil kadar air pada masing-masing fase sebesar 0,60 cm3cm-3, 0,59 cm3cm-3, 0,61 dan 0,58
cm3cm-3 Pada kedalaman 40 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase sebesar 0,63
cm3cm-3, 0,58 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, dan 0,46 cm3cm-3.
Pada permukaan tanah kondisi profil kadar airnya rendah kemudian meningkat sampai
pada kedalaman 20 cm dan menurun pada kedalaman 40 cm. Hal ini disebabkan oleh sifat
tanah liat perkolasinya sangat kecil, sehingga semakin bertambahnya kedalaman tanah profil
kadar air tanahnya semakin kecil.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0.2 0.4 0.6 0.8
Ke
dal
aman
(cm
)
q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhan
Fase perkembanganpertumbuhan
Fase pertengahanpertumbuhan
56
Kacang tanah
Persiapan tanah mulai dari pengolahan, perataan, pemetakan, pemberian pupuk
dilakukan sebelum penanaman. Penanaman kacang tanah dilakukan pada musim kering I
dengan perlakuan waktu tanam dengan interval seminggu. Waktu penanaman kacang tanah
yaitu tanggal 3 Februari, 10 Februari, 17 Februari dan 24 Februari. Varietas tanaman kacang
tanah yang digunakan adalah varietas Kancil, lama periode pertumbuhannya dilapangan 90
hari. Jarak tanam yang digunakan 25 cm x 25 cm dengan dua biji per lubang tetapi dibiarkan
tumbuh hanya satu tanaman saja. Pupuk ZA 40 kg ha-1, SP36 10 kg ha-1, KCl 40 kg ha-1. Pupuk
ZA dan KCl diberikan ½ bagian saat tanam ½ bagian lagi diberikan saat tanaman berumur
satu bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya ;saat tanam, pupuk organik (pupuk Temesi)
diberikan satu kali pada saat pengolahan tanah. Bentuk neraca air pata petak perakaran
Kacang Tanah pada masing-masing waktu tanam disajikan pada Tabel 5.8.
Selama periode tumbuh tanaman kacang tanah yang ditanam pada tanggal 3 Februari
2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 453,29 mm atau 5,04 mm hari-1, runoff sebesar 151,34
mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah sebesar 842,20
mm (Tabel 5.8). Total perubahan simpanan air tanah selama periode tumbuh kacang tanah
yang ditanam pada tanggal 3 Februari 2011 sebesar 237,57 mm. Kandungan air tanah selama
pertumbuhan tanaman Kacang tanah pada KT3 berkisar antara 138,74 mm – 214,74 mm atau
66,70 – 103,24% dari kapasitas lapang.
Tabel 5.8 Kondisi Neraca Air Lahan selama periode tumbuh tanaman Kacang Tanah
Tanaman
Total Evapotranspirasi
(ET) (mm)
Total Curah Hujan
(P) (mm)
Total Run Off (R) (mm)
Total Perubahan
Simpanan air (ΔS) (mm)
Kisaran Simpanan Air Tanah
KT3 453,29
(5,04 mm/hari)
842,20 151,34
237,57
138,74 mm - 214,74 mm
(66,70% - 103,24% dari
kapasitas lapang)
KT10 421,82
(4,69 mm/hari)
825,50 149,33
254,35
148,61 mm - 211,60mm
(71,45% - 101,73% dari
kapasitas lapang)
KT17 402,96
(4,48 mm/hari)
749,60 136,77
209,87
164,19 mm - 222,39 mm
(78,94% - 106,92% dari
kapasitas lapang)
KT24 381,29
(4,24 mm/hari)
703,90 133,12
189,49
139,18 mm - 195,31 mm
(66,91% - 93,90% dari
kapasitas lapang)
Selama periode tumbuh tanaman kacang tanah yang ditanam pada tanggal 10 Februari
2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 421,82 mm atau 4,69 mm hari-1, run off sebesar
151,34 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah sebesar
825,50 mm, dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air tanah selama
periode tumbuh kacang tanah yang ditanam pada 10 Februari 2011 sebesar 254,35 mm.
Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman Kacang Tanah pada KT10 berkisar antara
148,61 – 211,60 atau 71,45 – 101,73% dari kapasitas lapang. (Tabel 5.8).
57
Pada Tabel 5.8 juga dapat dilihat bahwa selama periode tumbuh tanaman kacang
tanah yang ditanam pada tanggal 17 Februari 2011 besarnya evapotranspirasi yaitu
402,96 mm atau 4,48 mm hari-1, runoff sebesar 136,77 mm dan curah hujan selama periode
tumbuh tanaman kacang tanah yaitu sebesar 749,60 mm, dari tabel tersebut terlihat bahwa
total perubahan kandungan air tanah selama periode tumbuh kacang tanah yang ditanam pada
17 Februari 2011 sebesar 209,87 mm. Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman
kacang tanah pada KT17 berkisar antara 164,19 – 222,39 atau 78,94% – 106,92% dari
kapasitas lapang.
Sedangkan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah yang ditanam pada tanggal
24 Februari 2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 381,29 mm atau 4,24 mm hari-1, runoff
sebesar 133,12 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah
sebesar 703,9 mm, dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air tanah
selama periode tumbuh kacang tanah yang ditanam pada tanggal 24 Februari 2011
sebesar 189,49 mm. Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman Kacang Tanah pada
KT24 berkisar antara 139,18 – 195,31 atau 66,91% – 93,90% dari kapasitas lapang. Dari
semua perlakuan waktu tanam kacang tanah kandungan air tanah berada pada kisaran
66,70% - 106,92% dari kapasitas lapang.
Gambar 5.5 menyajikan hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah
pada petak tanaman kacang tanah (KT3) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman
dimana pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid
dan late masing-masing sebesar 0,44 cm3cm-3 , 0,47 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3 dan 0,40 cm3cm-
3, pada kedalaman 10 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late
masing-masing sebesar 0,39 cm3cm-3 0,42 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3 dan 0,34 cm3cm-3. Pada
kedalaman tanah 20 cm profil kadar air tanahnya pada masing-masing fase pertumbuhan
sebesar 0,28 cm3cm-3, 0,33 cm3cm-3, 0,32 cm3cm-3 dan 0,25 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm
profil kadar air tanahnya sebesar 0,47 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3 dan 0,39 cm3cm-
3. Pada kedalaman tanah 40 cm profil kadar air tanahnya pada masing-masing fase sebesar
0,48 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,49 cm3cm-3 dan 0,42 cm3cm-3.
Gambar 5.5. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak
Perakaran Tanaman Kacang Tanah (KT3).
0
10
20
30
40
50
0 0.2 0.4 0.6
Ke
dal
aman
(cm
)
q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhan
58
Gambar 5.6 menyajikan hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah
pada petak tanaman kacang tanah (KT10) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman.
Pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase pertumbuhan initial,
development, mid dan late, masing-masing sebesar 0,62 cm3cm-3, 0,59 cm3cm-3, 0,51
cm3cm-3 dan 0,45 cm3cm-3. Pada kedalaman 10 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial,
development, mid dan late yaitu sebesar 0,47 cm3cm-3, 0,46 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3 dan 0,37
cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 20 cm profil kadar airnya sebesar 0,34 cm3cm-3 pada
semua fase tumbuh kecuali fase late sebesar 0,29 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm profil
kadar airnya naik pada masing-masing fase yaitu sebesar 0,44 cm3cm-3, 0,44 cm3cm-3, 0,42
cm3cm-3,dan 0,38 cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm profil kadar airnya pada masing-masing
fase sebesar 0,50 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3, 0,46 cm3cm-3,dan 0,42 cm3cm-3.
Gambar 5.6. Grafik Hubungan antara Profil kadar air dengan Kedalaman Tanah pada Petak
Perakaran Tanaman Kacang Tanah (KT10).
Profil kadar air tanah petak tanaman kacang tanah (KT17) pada masing-masing fase
pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 5.7. Pada kedalaman 0 cm profil kadar air
tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-masing sebesar 0,35 cm3cm-3,
0,43 cm3cm-3,0,37 cm3cm-3, 0,33 cm3cm-3. Pada kedalaman 10 cm profil kadar airnya pada
fase initial, development, mid dan late sebesar 0,43 cm3cm-3, 0,46 cm3cm-3, 0,41 cm3cm-3 dan
0,37 cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 20 cm profil kadarnya pada masing-masing fase sebesar
0,45 cm3cm-3, 0,44 cm3cm-3, 0,39 cm3cm-3, 0,36 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm profil kadar
airnya pada masing-masing fase sebesar 0,53 cm3cm-3, 0,52 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, dan 0,46
cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 40 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase yaitu
sebesar 0,51 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3 dan 0,45 cm3cm-3.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0.2 0.4 0.6 0.8
Ke
dal
aman
(cm
)
q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhanFase akhirpertumbuhan
59
Gambar 5.7. Grafik Hubungan antara Profil kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak
Perakaran Tanaman Kacang Tanah (KT17).
Hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada petak tanaman kacang
tanah (KT24) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 5.8.
Pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late
masing-masing sebesar 0,36 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3, 0,33 cm3cm-3, dan 0,32 cm3cm-3, pada
kedalaman 10 cm profil kadar airnya pada fase initial, development, mid dan late yaitu sebesar
0,43 cm3cm-3, 0,45 cm3cm-3, 0,38 cm3cm-3 dan 0,35 cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 20 cm
profil kadar airnya pada masing-masing fase sebesar 0,44 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-
3 dan 0,39 cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 30 cm pada masing-masing fase profil kadar
airnya sebesar 0,52 cm3cm-3 0,52 cm3cm-3 0,43 cm3cm-3 dan 0,36 cm3cm-3 masing-masing fase
profil kadar airnya sebesar 0,52 cm3cm-3, 0,52 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3 dan 0,36 cm3cm-3. Pada
kedalaman tanah
Gambar 5.8. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak
Perakaran Tanaman Kacang Tanah (KT24).
40 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase sebesar 0,50 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,42
cm3cm-3 dan 0,36 cm3cm-3.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0.2 0.4 0.6
Ke
dal
aman
(cm
)q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhan
Fase perkembanganpertumbuhan
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0.2 0.4 0.6
Ke
dal
aman
(cm
)
q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhan
60
Ubijalar
Persiapan tanah mulai dari pengolahan, perataan, pembuatan petak, pemberian
pupuk, dilakukan sebelum penanaman. Penanaman Ubijalar dilakukan pada musim kering I
dengan perlakuan waktu tanam sama dengan kacang tanah yaitu dengan interval seminggu.
Waktu penanaman Ubijalar yaitu tanggal 3 Februari, 10 Februari, 17 Februari dan 24 Februari.
Varietas tanaman Ubijalar yang digunakan adalah varietas Ungu Lokal, lama periode
pertumbuhannya dilapangan 145 hari. Jarak tanam yang digunakan 80 cm x 30 cm. Pupuk ZA
75 kg ha-1, SP36 50 kg ha-1, KCl 75 kg ha-1. Pupuk ZA dan KCl diberikan 1/3 bagian saat
tanam 2/3 bagian lagi diberikan saat tanaman berumur dua bulan, pupuk SP36 diberikan
seluruhnya saat tanam, pupuk organik (pupuk Temesi) diberikan satu kali pada saat
pengolahan tanah. Bentuk neraca air pada petak perakaran Ubijalar pada masing-masing
waktu tanam disajikan pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9 Kondisi Neraca Air Lahan Selama Periode Tumbuh Tanaman Ubijalar.
Tanaman
Total
Evapotranspirasi
(ET)
(mm)
Total
Curah
Hujan (P)
(mm)
Total
Run Off
(R)
(mm)
Total
Perubahan
Simpanan
air (ΔS)
(mm)
Kisaran Simpanan Air
Tanah
UJ3 570,08
(3,93 mm/hari) 1053,60 170,48 313,04
153,37 mm - 239,61
mm (73,74% - 115,20%
dari kapasitas lapang)
UJ10 515,08
(3,55 mm/hari) 1012,10 167,11 329,91
135,94 mm - 214,20
mm (65,36% - 102,98%
dari kapasitas lapang)
UJ17 540,31
(3,73 mm/hari) 928,30 154,34 233,65
107,32 mm - 205,75
mm (51,60% - 98,92%
dari kapasitas lapang)
UJ24 496,30
(3,42 mm/hari) 882,00 150,69 235,01
128,06 mm - 212,18
mm (61,57% - 102,01%
dari kapasitas lapang)
Pada Tabel 5.9 terlihat bahwa selama periode tumbuh tanaman Ubijalar yang ditanam
pada tanggal 3 Februari 2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 570,08 mm atau 3,93 mm hari-
1, runoff sebesar 170,48 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman Ubijalar
sebesar 1053,60 mm, dari tabel tersebut terlihat total perubahan simpanan air tanah selama
periode tumbuh Ubijalar yang ditanam pada tanggal 3 Februari 2011 sebesar 313,04 mm.
Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman Ubijalar (UJ3) berkisar antara 153,37 –
239,61 atau 73,74 – 115,20% dari kapasitas lapang.
61
Selama periode tumbuh tanaman Ubijalar yang ditanam pada tanggal 10 Februari 2011
terjadi evapotranspirasi sebesar 515,08 mm atau 3,55 mm hari-1, runoff sebesar 167,11
sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman Ubijalar sebesar 1012,10 mm (Tabel
5.9), dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air tanah selama periode
tumbuh Ubijalar yang ditanam pada tanggal 10 Februari 2011 sebesar 329,91 mm. Kandungan
air tanah selama petumbuhan tanaman Ubijalar (UJ10) berkisar antara 135,94 – 214,20 atau
65,36 – 102,98% dari kapasitas lapang.
Tanaman Ubijalar yang ditanam pada tanggal 17 Februari 2011 terjadi
evapotranspirasi sebesar 540,31 mm atau 3,73 mm hari-1, runoff sebesar 154,34 mm,
sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman ubi Jalar sebesar 928,30 mm
(Tabel 5.9), dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air tanah selama
periode tumbuh Ubijalar yang ditanam pada tanggal 17 Februari 2011 sebesar 233,65 mm.
Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman ubijalar (UJ17) berkisar antara 107,32 –
205,75 atau 51,60 – 98,92% dari kapasitas lapang.
Pada Tabel 5.9 terlihat juga bahwa selama periode tumbuh tanaman Ubijalar yang
ditanam pada tanggal 24 Februari 2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 496,30 mm atau 3,42
mm hari-1, runoff sebesar 150,69 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman
ubijalar sebesar 882,00 mm, dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air
tanah selama periode tumbuh ubijalar yang ditanam pada tanggal 24 Februari 2011 yaitu
sebesar 235,01 mm. Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman ubijalar (UJ24)
berkisar antara 128,06 – 212,18 atau 61,57 – 102,01% dari kapasitas lapang.
Gambar 5.9 menyajikan hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah
pada petak tanaman ubijalar (UJ3) pada masing-masing fase
Gambar 5.9. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak
Perakaran Tanaman Ubijalar (UJ3).
pertumbuhan tanaman dimana pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase
initial, development, mid dan late masing-masing sebesar 0,20 cm3cm-3, 0,27 cm3cm-3, 0,17
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0.2 0.4 0.6 0.8
Ke
dal
aman
(cm
)
q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhanFase akhirpertumbuhan
62
dan 0,07 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial,
development, mid dan late masing-masing sebesar 0,36 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3, 0,39 cm3cm-
3 dan 0,26 cm3cm-3. Pada kedalaman 20 cm profil kadar air tanahnya meningkat pada masing-
masing fase yaitu sebesar 0,39 cm3cm-3, 0,46 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, demikian
juga pada kedalaman 30 cm profil kadar airnya meningkat dan maksimal yaitu sebesar 0,60
cm3cm-3, 0,60 cm3cm-3, 0,57 cm3cm-3 dan 0,49 cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm masing-
masing fase profil kadar airnya menurun yaitu sebesar 0,58 cm3cm-3, 0,56 cm3cm-3, 0,50
cm3cm-3 dan 0,44 cm3cm-3.
Hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada petak tanaman
Ubijalar (UJ10) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 5.10.
Pada kedalaman 0 cm, kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-
masing sebesar 0,29 cm3cm-3, 0,34 cm3cm-3, 0,28 cm3cm-3 dan 0,14 cm3cm-3. Pada
kedalaman 10 cm kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-
masing fase yaitu sebesar 0,36 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-3, 0,36 cm3cm-3, 0,24 cm3cm-3. Pada
kedalaman 20 cm profil kadar airnya meningkat pada masing-masing fase yaitu sebesar 0,39
cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-3, dan 0,29 cm3cm-3.
Gambar 5.10. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada
Petak Perakaran Tanaman Ubijalar (UJ10).
Pada kedalaman 30 cm profil kadar air tanahnya semakin meningkat pada masing-masing
fase yaitu sebesar 0,48 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-3. Sedangkan pada
kedalaman 40 cm profil kadar air tanahnya maksimal pada masing-masing fase yaitu sebesar
0,50 cm3cm-3, 0,52 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3 dan 0,42 cm3cm-3.
Gambar 5.11 hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada petak
tanaman Ubijalar (UJ17) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman. Pada kedalaman
0 cm kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-masing sebesar
0,37 cm3cm-3, 0,39 cm3cm-3, 0,33 cm3cm-3 dan 0,20 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm profil
kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late yaitu sebesar 0,38 cm3cm-3,
0,39 cm3cm-3, 0,31 cm3cm-3 dan 0,19 cm3cm-3. Pada kedalaman 20 cm profil kadar airnya
pada masing-masing fase yaitu sebesar 0,38 cm3cm-3, 0,36 cm3cm-3, 0,25 cm3cm-3, 0,15
cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm profil kadar air tanahnya pada masing-masing fase sebesar
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0.2 0.4 0.6
Ke
dal
aman
(cm
)
q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhan
Fase perkembanganpertumbuhan
Fase pertengahanpertumbuhan
63
0,48 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3, 0,41 cm3cm-3, 0,31 cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm profil kadar
airnya pada masing-masing fase yaitu 0,53 cm3cm-3, 0,51 cm3cm-3, 0,44 cm3cm-3, dan 0,36
cm3cm-3.
Gambar 5.11. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada
Petak Perakaran Tanaman Ubijalar (UJ17).
Gambar 5.12 menyajikan hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah
pada petak tanaman Ubijalar (UJ24) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman dimana
pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late
masing-masing sebesar 0,32 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-3, dan 0,31 cm3cm-3, pada
10 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late yaitu sebesar 0,39
cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3, 0,35 cm3cm-3, dan 0,26 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm profil kadar
airnya pada masing-masing fase sebesar 0,54 cm3cm-3, 0,53 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3 dan 0,38
cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase yaitu sebesar
0,56 cm3cm-3, 0,54 cm3cm-3, 0,51 cm3cm-3 dan 0,43 cm3cm-3.
Gambar 5.12. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman tanah pada Petak
Perakaran Tanaman Ubijalar (UJ24).
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0.2 0.4 0.6
Ke
dal
aman
(cm
)
q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhan
Fase perkembanganpertumbuhan
Fase pertengahanpertumbuhan
0
10
20
30
40
50
0 0.2 0.4 0.6
Ke
dal
aman
(cm
)
q (cm3cm-3)
Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhan
64
Nilai Crop Koefisien (Kc) didapat dari hasil perhitungan kebutuhan air tanaman aktual
dibagi dengan kebutuhan air tanaman acuan selama penelitian. Dari hasil perhitungan
didapatkan nilai Kc untuk tanaman ubikayu yang ditanam secara monokultur dimana nilai Kc
untuk fase Initial didapatkan sebesar 0,64, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,21 dan Kc
untuk fase end-season sebesar 0,69 (Tabel 5.10).
Nilai Kc untuk tanaman ubikayu yang ditanam secara tumpangsari dengan tanaman
jagung untuk fase Initial didapatkan sebesar 0,65, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,22
dan Kc untuk fase end-season sebesar 0,72. Sedangkan nilai Kc untuk tanaman jagung yaitu
untuk fase Initial sebesar 0,66, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,16 dan Kc untuk fase end-
season sebesar 0,65 (Tabel 5.10)
Nilai Kc untuk tanaman ubikayu pada tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah
dimana Kc untuk fase Initial sebesar 0,65, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,25 dan Kc
untuk fase end-season sebesar 0,77. Nilai Kc untuk tanaman jagung yaitu untuk fase Initial
sebesar 0,66, Mid-season 1,16 dan end-season 0,65. Sedangkan nilai Kc untuk tanaman
kacang tanah yaitu untuk fase Initial 0,45, fase Mid-season 1,02 dan fase end-season 0,58
(Tabel 5.10).
Nilai Kc untuk tanaman kacang tanah yang ditanam 3 Februari (KT3) dimana fase Initial
sebesar 0,45, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,13 dan Kc untuk fase end-season sebesar
0,55. Untuk tanaman kacang tanah yang ditanam 10 Februari (KT10) Kc untuk fase Initial
sebesar 0,43, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,12 dan Kc untuk fase end-season sebesar
0,52. Tanaman kacang tanah yang ditanam 17 Februari (KT17) dari hasil perhitungan
didapatkan nilai Kc untuk fase Initial sebesar 0,47, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,07
dan Kc untuk fase end-season sebesar 0,59 dan pada tanaman
Tabel 5.10 Nilai Kc pada Fase Initial, Mid-season dan End-season pada masing-masing
Tanaman Hasil Penelitian Lapangan.
Pola Tanaman Fase Pertumbuhan Tanaman
Initial Mid-season End-season
UK Ubikayu 0,64 1,21 0,69
UKJ Ubikayu+Jagung 0,65 1,22 0,72
UKJKT Ubikayu+Jagung-K.Tanah 0,65 1,25 0,77
JG Jagung 0,66 1,16 0,65
KT Kacang Tanah 0,45 1,02 0,58
KT3 Kacang Tanah 0,45 1,13 0,55
KT10 0,43 1,12 0,52
KT17 0,47 1,07 0,59
KT24 0,41 0,96 0,57
UJ3 Ubijalar 0,64 0,97 0,48
UJ10 0,48 0,99 0,23
UJ17 0,62 0,85 0,23
UJ24 0,52 0,77 0,20
Kacang Tanah yang ditanam 24 Februari nilai Kc untuk fase Initial sebesar 0,41, Kc
untuk fase Mid- season sebesar 0,96 dan Kc untuk fase end-season sebesar 0,57 (Tabel 5.10).
65
Pada tanaman Ubijalar yang ditanam 3 Februari didapat nilai Kc pada fase Initial
sebesar 0,64, fase Mid-season sebesar 0,97 dan fase end-season sebesar 0,48. Pada
tanaman yang ditanam pada 10 Februari nilai Kc pada fase Initial 0,48, Mid-season sebesar
0,99 dan pada fase end-season 0,23. Tanaman yang ditanam pada 17 Februari nilai Kc pada
fase Initial sebesar 0,62, fase Mid-season 1,12 dan fase end-season 0,23. Sedangkan nilai Kc
untuk tanaman ubijalar yang ditanam pada 24 Februari pada fase Initial sebesar 0,52, Mid-
season 0,77 dan fase end-season nilai Kc nya 0,20 (Tabel 5.10).
Nilai Kc penelitian lebih besar dari nilai Kc FAO 56 (Tabel 5.11) kemungkinan disebabkan
oleh kondisi iklim saat penelitian yang lebih basah sehingga pertumbuhan tanaman lebih
subur. Dalam FAO 56 disebutkan bahwa nilai Kc bervariasi selama periode tumbuh tanaman,
nilai Kc tergantung pada basah tidaknya tanah baik dari air irigasi maupun dari curah hujan.
Tabel 5.11 Nilai Kc pada Fase Initial, Mid-season dan End-season pada masing-masing
Tanaman Berdasarkan FAO 56.
Tanaman Fase Pertumbuhan Tanaman
Initial Mid-season End-season
Ubikayu 0,15 1,00 0,45
Jagung 0,15 1,15 0,50
Kacang Tanah
0,15 1,10 0,50
Ubijalar 0,15 1,10 0,55
Hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa hasil panen umbi segar tertinggi pada
tanaman ubikayu dengan penanaman monokultur (UK) yaitu sebesar 24,19 t ha-1 (Tabel 5.12),
hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan Ubikayu monokultur berbeda nyata dengan
perlakuan tumpangsari baik pada tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ) maupun pada
tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah (UKJKT) dengan hasil umbi segar masing-
masing sebesar 22,94 t ha-1 dan 22,54 ha-1 (Tabel 5.12). Sedangkan hasil umbi segar pada
perlakuan tumpang sari ubikayu + jagung (UKJ) dan tumpang sari ubikayu + jagung – kacang
tanah (UKJKT) tidak berbeda nyata (Tabel 5.12).
Hasil uji statistik (Tabel 5.12) pada berat kering jemur biji kacang tanah perlakuan waktu tanam
dimana waktu tanam kacang tanah pada tanggal 3 Februari (KT3) tidak berbeda nyata dengan
waktu tanam pada tanggal 10 Februari (KT10) dan waktu tanam pada tanggal 17 Februari
(KT17) dengan hasil berat kering biji rata-rata yaitu sebesar 2,29 t ha-1, 2,28 t ha-1, 2,22 t ha-1
tetapi hasil berat kering biji rata-rata penanaman tanggal 3 dan 10 Februari berbeda nyata
dengan penanaman kacang tanah tanggal 24 Februari dengan hasil berat kering jemur biji
sebesar 2,18 t ha-1 sedangkan hasil berat kering jemur biji penanaman kacang tanah tanggal
17 Februari tidak berbeda nyata dengan penanaman tanggal 24 Februari.
66
Tabel 5.12 Hasil Penelitian Lapangan Tanaman Ubikayu, Jagung, Kacang Tanah dan
Ubijalar
Perlakuan Tanaman Hasil ha-1
Penanaman Musim Hujan (MH)
UK Ubikayu 24,19 t umbi segar b
UKJ Ubikayu 22,94 t umbi segar a
Jagung 5,44 t biji kering jemur ka 12%
UKJKT Ubikayu 22,54 t umbi segar a
Jagung 5,44 t biji kering jemur ka 12%
Kacang Tanah 0,17 t biji kering jemur
Penanaman Musim Kering (MK )
KT3 Kacang Tanah 2,29 t biji kering jemur b
KT10 2,28 t biji kering jemur b
KT17 2,22 t biji kering jemur ab
KT24 2,18 t biji kering jemur a
UJ3 Ubijalar 9,89 t umbi segar b
UJ10 9,26 t umbi segar ab
UJ17 9,01 t umbi segar a
UJ24 8,74 t umbi segar a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda
nyata pada taraf uji BNT 5%.
Hasil umbi segar ubijalar pada masing-masing perlakuan waktu tanam yaitu waktu
tanam tanggal 3 Februari (UJ3) hasil umbi segarnya tertinggi yaitu sebesar 9,89 t ha-1 (Tabel
5.12), diikuti oleh berat umbi segar waktu tanam tanggal 10 Februari (UJ10), tanggal 17
Februari (UJ17) dan tanggal 24 Februari (UJ24) dengan hasil berturut-turut yaitu sebesar 9,26
t ha-1, 9,01 t ha-1 dan 8,74 t ha-1 (Tabel 5.12). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa berat umbi
segar ubijalar yang ditanam tanggal 3 Februari (UJ3) berbeda tidak nyata dengan berat umbi
segar waktu tanam tanggal 10 Februari (UJ10) tetapi berbeda nyata dengan waktu tanam
tanggal 17 dan 24 Februari. Berat umbi segar ubijalar waktu tanam tanggal 10 (UJ10) berbeda
tidak nyata dengan waktu tanam tanggal 17 dan waktu tanam tanggal 24 Februari. Berat umbi
segar ubijalar yang ditanam tanggal 17 Februari juga berbeda tidak nyata dengan yang
ditanam tanggal 24 Februari.
Nilai LER (Land Eqiuvalen Ratio) untuk tanaman tumpangsari Ubikayu + Jagung (UKJ)
sebesar 1,49, sedangkan LER untuk tanaman tumpangsari Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah
(UKJKT) sebesar 1,56. Pola tumpangsari Ubikayu + Jagung – kacang tanah (UKJKT)
mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan tumpangsari tanaman ubikayu + jagung
(UKJ). Land Equivalent Ratio (LER) lebih tinggi dari 1 mengindikasikan bahwa produktivitas
per unit luas lebih tinggi dicapai dengan penanaman secara bersama-sama (tumpangsari)
dibandingkan dengan tanaman yang ditanam secara terpisah (monokultur). Nilai LER yang
lebih tinggi pada tanaman tumpangsari dari pada tanaman monokultur juga dilaporkan
oleh Haymes and Lee (1999); Adeniyan and Ayoola (2006); Banik et al. (2006); Shehata et al.
(2009); Megawer et al. (2010).
5.4.2 Evaluasi Kebutuhan Air dengan Program CropWat for Windows
Analisis data dilakukan dengan menggunakan Model CropWat for Windows. Model ini
dapat menghitung kebutuhan air tanaman, yang memungkinkan untuk evaluasi produksi
67
tanaman di bawah kondisi lahan tadah hujan. Kebutuhan air dan curah hujan efektif hasil
evaluasi Model CropWat disajikan pada Tabel 5.13 .
Pola tanam ubikayu monokultur (UK) mempunyai kebutuhan air 1041,20 mm,
tumpang sari ubikayu + jagung (UKJ) kebutuhan airnya 1050,50 mm dan tumpangsari ubikayu
+ jagung - kacang tanah (UKJKT) kebutuhan airnya 1070,00 mm, dengan curah hujan efektif
yang sama yaitu sebesar 1076,65 mm (Tabel 5.13).
Tabel 5.13 Kebutuhan Air Tanaman dan Curah Hujan Efektif pada Perlakuan Pola Tanam dan
Waktu Tanam pada Periode Penelitian.
Perlakuan Periode Tumbuh Curah Hujan Efektif (mm)
Kebutuhan Air Tanaman (mm)
Perlakuan Pola Tanam
UK 22 Okt 2010- 21Jun 2011 1076,65 1041,20
UKJ 22 Okt 2010- 21Jun 2011 1076,65 1050,50
UKJKT 22 Okt 2010- 21Jun 2011 1076,65 1070,00
Perlakuan Waktu Tanam
Kacang tanah
KT3 3 Peb 2011-4 Mei 2011 453,77 356,70
KT10 10 Pen 2011-11 Mei 2011 440,03 350,80
KT17 17 Peb 2011-18 Mei 2011 423,18 346,40
KT24 24 Peb 2011-25 Mei 2011 403,22 311,20
Perlakuan Waktu Tanam
Ubijalar
UJ3 3 Peb 2011-28 Jun 2011 570,97 543,30
UJ10 10 Peb 2011-5 Jul 2011 536,59 496,10
UJ17 17 Peb 2011-12 Jul 2011 502,51 457,30
UJ24 24 Peb 2011-19 Jul 2011 427,22 398,90
Tanaman Kacang Tanah pada perlakuan KT3, KT10, KT17, KT24 masing-masing mempunyai
kebutuhan air sebesar 356,70 mm, 350,80 mm, 346,40 mm dan 311,20 mm, curah hujan
efektifnya masing-masing 453,77 mm, 440,03 mm, 423,18 mm dan 403,22 mm. Pada
perlakuan waktu tanam ubijalar UJ3, UJ10, UJ17 dan UJ24 kebutuhan airnya masing-masing
sebesar 543,30 mm, 496,10 mm, 457,30 mm dan 398,90 mm, curah hujan efektifnya masing-
masing 570,97 mm, 536,59 mm, 502,51 mm dan 427,22 mm.
Kebutuhan air tanaman selama periode penelitian di lapangan dari hasil evaluasi dengan
CropWat for Windows kebutuhan airnya lebih kecil dibanding kebutuhan air selama periode
eksperimen di lapangan yang dihitung dengan metode Hartman (Tabel 5.14). Pada tanaman
ubikayu (UK) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat yaitu sebesar 1041,20 mm dan
perhitungan Hartman sebesar 1087,34 mm, pada tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ)
kebutuhan air hasil perhitungan CropWat sebesar 1050,50 mm dan hasil perhitungan
Hartman sebesar 1088,89 mm, sedangkan pada tanaman tumpangsari ubikayu + jagung –
kacang tanah UKJKT) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat sebesar 1070,00 mm dan
hasil perhitungan Hartman sebesar 1109,99 mm. Perlakuan waktu tanam pada tanaman
kacang tanah yang ditanam 3 Februari (KT3), 10 Februari (KT10), 17 Februari (KT17) dan 24
Februari (KT24) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat masing-masing sebesar 356,70
68
mm, 350,80 mm, 346,40 mm dan 311,20 mm sedangkan hasil perhitungan Hartman yaitu
masing-masing sebesar 453,29 mm, 421,82 mm, 402,96 mm dan 381,29 mm. Perlakuan
waktu tanam pada tanaman Ubijalar yang ditanam 3 Februari (UJ3), 10 Februari (UJ10), 17
Februari (UJ17) dan 24 Februari (UJ24) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat masing-
masing sebesar 543,30 mm, 496,10 mm, 457,30 mm dan 398,90 mm sedangkan hasil
perhitungan Hartman yaitu masing-masing sebesar 570,08 mm, 515,08 mm, 540,31 mm dan
496,30 mm. Besarnya kebutuhan air pada hasil perhitungan metode Hartman kemungkinan
disebabkan karena tidak memperhitungkan perkolasi dalam yang terjadi.
Tabel 5.14 Kebutuhan Air Tanaman pada Perlakuan Pola Tanam dan Waktu Tanam Periode
Penelitian menurut perhitungan Hartman dan CropWat for Windows
Perlakuan Periode Tumbuh
Kebutuhan Air
Tanaman (mm)
(Hartman)
Kebutuhan Air
Tanaman (mm)
(CropWat for
Windows)
Perlakuan Pola Tanam
UK 22 Okt 2010-21 Jun 2011 1087,34 1041,20
UKJ 22 Okt 2010-21 Jun 2011 1088,89 1050,50
UKJKT 22 Okt 2010-21 Jun 2011 1109,99 1070,00
Perlakuan Waktu Tanam Kacang Tanah
KT3 3 Peb 2011-4 Mei 2011 453,29 356,70
KT10 10 Peb 2011-11 Mei 2011 421,82 350,80
KT17 17 Peb 2011-18 Mei 2011 402,96 346,40
KT24 24 Peb 2011-25 Mei 2011 381,29 311,20
Perlakuan Waktu tanam Ubijalar
UJ3 3 Peb 2011-28 Jun 2011 570,08 543,30
UJ10 10 Peb2011-5 Jul 2011 515,08 496,10
UJ17 17 Peb 2011-12 Jul 2011 540,31 457,30
UJ24 24 Peb 2011-19 Jul 2011 496,30 398,90
Waktu tanam yang paling tepat ditentukan berdasarkan kebutuhan air tanaman dan
ketersediaan air hujan selama masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada
umumnya kekurangan air pada waktu tanam, terjadi kalau penanaman dilakukan pada awal
musim hujan dan pada akhir musim hujan. Hal yang terpenting adalah distribusinya yang
merata sepanjang pertumbuhan tanaman mengingat masing masing jenis tanaman memiliki
fase-fase pertumbuhan yang berbeda dimana masing-masing fase pertumbuhan
membutuhkan ketersediaan air yang bervariasi. Setiap periode pertumbuhan tanaman bersifat
spesifik terhadap kondisi kekurangan air (water stress) dan pada periode pertumbuhan tertentu
tanaman sangat peka terhadap kondisi kekurangan air yang biasanya terjadi saat tanaman
69
mencapai periode kritisnya. Waktu tanam yang tepat ditentukan dengan mempertimbangkan
periode kritis tanaman, yaitu dengan mengusahakan agar kebutuhan air tanaman terpenuhi
saat tanaman berada pada periode kritisnya.
5.5 Analisis Pola Tanam
5.5.1 Nilai Ekonomi
Hasil analisis keuntungan usahatani untuk setiap pola tanam yang dicoba disajikan
pada Tabel 5.15 dan Tabel 5.16.
Tanaman tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah (UKJKT) mempunyai nilai
ekonomi paling tinggi yaitu dengan pendapatan sebesar Rp. 11.385.00 ha-1. (Tabel 5.15).
Kemudian disusul oleh tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ) Rp. 11.190.500 ha-1 dan yang
paling kecil adalah ubikayu
Tabel 5.15. Pendapatan Petani per Hektar dari Setiap Seri Pola Tanam
Tanaman Varietas Periode Tumbuh
Tanaman Hasil (t ha-1)
Pendapatan Petani (Rp.)
Pola tanam 1 : Monokultur
Ubikayu Adira-1 22 Okt-21 Jun 24,19 2.833.000
Pola tanam 2 : Tumpangsari Ubikayu + Jagung
Ubikayu Adira-1 22 Okt-21 Jun 22,94 11.190.500
Jagung Pertiwi-3 22 Okt-26 Jan 5,44
Pola tanam 3 : Tumpangsari Ubikayu + Jagung - Kacang Tanah
Ubikayu Adira-1 22 Okt-21 Jun 22,54
11.385.500 Jagung Pertiwi-3 22 Okt-26 Jan 5,44
Kacang Tanah
Kancil 3 Peb-5 Mei 0,17
Tabel 5.16. Pendapatan Petani per tahun per luas tanam dari Setiap Pola Tanam
No. Pola Tanam Luas tanam (Ha)
Periode (Hari)
Pendapatan petani (Rp.)
1 Ubikayu 38 242 107.654.000
2 Ubikayu + Jagung 38 242 425.239.000
3 Ubikayu + Jagung - K. Tanah 38 242 432.649.000
70
monokultur (UK) sebesar Rp. 2.833.000 ha-1. Perhitungan selengkapnya disajikan pada
Lampiran 37, Lampiran 38 dan Lampiran 39.
Pada Tabel 5.16 terlihat bahwa pola tanam yang ke tiga Ubikayu + jagung – kacang
tanah (UKJKT) keuntungannya tertinggi yaitu sebesar Rp. 432.649.000, kemudian disusul oleh
pola tanam yang ke dua (UKJ) sebesar Rp. 425.239.000, dan yang terendah keuntungannya
adalah pola tanam monokultur ubikayu (UK) hanya Rp. 107.654.000. Jika dihitung keuntungan
per hari untuk pola tanam ke tiga sebanyak Rp. 299.038 untuk areal luas tanam seluas 38
ha, untuk pola tanam ke dua sebanyak Rp. 1.181.219 dan untuk pola tanam monokultur
ubikayu sebanyak Rp. 1.201.802. Dengan demikian pola tanam tumpangsari yang ke tiga dan
yang kedua dapat dipilih karena memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan
pola tanam monokultur.
Pola tanam yang berpeluang dipilih tentunya yang mempunyai keuntungan yang tinggi
dengan biaya produksi yang dapat dijangkau oleh petani setempat dengan harapan pola
tanam itu dapat diterapkan agar dapat meningkatkan hasil usaha tani mereka dan untuk
menjaga ketahanan pangan. Sementara ini petani di desa Pecatu menanam tanaman pangan
dengan cara monokultur dan hanya menanam satu kali dalam setahun saat musim hujan,
selebihnya lahan dibiarkan begitu saja ditumbuhi rumput dan gulma. Untuk itu perlu kiranya
diadakan demplot-demplot percobaan di lapangan sebagai sarana sosialisasi agar petani
dapat melihat dan mengetahui teknik budidaya secara baik dan tertarik untuk ikut berusaha
tani dengan cara tumpangsari sehingga hasil usaha taninya mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi.
5.5.2 Kalender Tanam
Percobaan waktu tanam dilakukan di lapangan lahan kering untuk mengevaluasi
pengaruh waktu tanam terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil analisis simulasi
menunjukkan bahwa ubikayu hanya dapat ditanam dari 22 - 29 Oktober (Tabel 5.17), dari
pendugaan didapatkan persamaan regresi linier Ŷ=0,093x+0,289 dengan R2 = 0,99 (Gambar
5.13). Dari persamaan tersebut didapatkan tanaman yang ditanam tanggal 22 Oktober
evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) sebesar 1070,0, evapotranspirasi maksimum (ETm)
sebesar 1133,5 mm, kekurangan air sebesar 63,5 mm untuk memenuhi kebutuhan
evapotranspirasi maksimumnya, terjadi reduksi hasil sebesar 6,2%. Jika
Tabel 5.17 Neraca air tanah dan reduksi hasil pada musim hujan (MH) dengan
memundurkan waktu tanam.
Pola Tanaman
Tanam Hujan efektif (mm)
ETc (mm) ETc/ETm
(%)
SMD akhir (mm)
Reduksi Hasil
Ke 1 (%)
UK +(J-KT) Ubikayu 22/10 1022,3 1070,0 94,4 47,7 6,2
29/10 990,0 1047,4 91,7 57,5 9,1
+ 5/11 955,2 1019,3 88,5 64,0 12,7
12/11 919,5 987,5 85 67,9 16,5
Jagung 22/10 337,7 348,5 100 10,8 0
29/10 340,0 342,7 100 2,7 0
5/11 331,0 339,7 100 8,7 0
71
12/11 324,7 340,1 100 15,4 0
JG+(KT-KT) Jagung 29/10 309,8 320,1 100 10,3 0
29/10 312,5 315,1 100 2,6 0
+ 5/11 304,5 312,8 100 8,3 0
12/11 299,0 313,7 100 14,7 0
19/11 311,8 317,5 100 5,8 0
26/11 311,8 323,9 100 12,1 0
K Tanah 22/10 290,6 300,9 100 10,3 0
29/10 293,2 295,7 100 2,5 0
5/11 285,0 293,3 100 8,3 0
12/11 279,2 294,3 100 15,1 0
19/11 292,0 298,0 100 5,7 0
26/11 291,7 304,1 100 12,4 0
UJ+(J-KT) Ubijalar 22/10 495,2 504,5 100 9,3 0
29/10 503,0 505,2 100 2,2 0
+ 5/11 500,1 506,9 100 6,8 0
12/11 498,4 510,0 100 11,6 0
19/11 510,3 514,6 100 4,4 0
26/11 511,6 520,6 100 9,0 0
Jagung 22/10 301,1 309,1 100 8,0 0
29/10 301,6 303,5 100 2,0 0
5/11 294,0 300,4 100 6,4 0
12/11 288,7 300,2 100 11,5 0
19/11 298,7 303,1 100 4,4 0
26/11 299,1 308,5 100 9,4 0
JG+(KT-J) Jagung 22/10 309,8 320,1 100 10,3 0
29/10 312,5 315,1 100 2,6 0
+ 5/11 304,5 312,8 100 8,3 0
12/11 299,0 313,7 100 14,7 0
19/11 311,8 317,5 100 5,8 0
26/11 311,8 323,9 100 12,1 0
K Tanah 22/10 290,6 300,9 100 10,3 0
29/10 293,2 295,7 100 2,5 0
5/11 285,0 293,3 100 8,3 0
12/11 279,2 294,3 100 15,1 0
19/11 292,0 298,0 100 5,7 0
26/11 291,7 304,1 100 12,4 0
72
Gambar 5.13. Grafik Hubungan Antara Kekurangan Air dan Reduksi Hasil Pada Ubikayu +
Jagung (UKJ)
waktu tanamnya dimundurkan menjadi 29 Oktober, evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc)
menurun mencapai 1047,4 mm dan evapotranspirasi maksimumnya (ETm) 1142,2 mm;
kekurangan air sebesar 94,8 mm untuk memenuhi evapotranspirasi maksimumnya (ETm),
sehingga reduksi hasilnya 9,1%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 5
Nopember evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) sebesar 1019,3 mm, evapotranspirasi
maksimum (ETm) sebesar 1151,8 mm, kekurangan air sebesar 132,5 mm dan reduksi
hasilnya sudah melewati ambang batas yaitu di atas 10% yaitu 12,7%. Hal ini disebabkan
oleh dampak dari tingkat defisit air tanah dalam mintakat perakaran yang semakin meningkat
dimana hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio ETc/ETm yang semakin rendah. Rendahnya nilai
rasio ETc/ETm menunjukkan bahwa ketersediaan air tanah tidak mencukupi kebutuhan air
tanaman.
Tanaman ubijalar jika ditanam pada musim hujan 22 Oktober – 12 Nopember reduksi
hasilnya 0%, Ubijalar yang ditanam pada musim kering I hanya dapat ditanam tanggal 3 –
17 Februari (Tabel 5.18), dari pendugaan
Tabel. 5.18 Neraca air tanah dan reduksi hasil pada musim kering (MK)
Tanaman
Tanam
Hujan Efektif (mm)
ETc ETc/ETm (%)
SMD akhir (mm)
Reduksi hasil
Ke 2 (mm) (%)
Kacang Tanah 3/2 348,6 356,7 100 8,2 0
10/2 336,6 350,8 100 14,2 0
17/2 340,7 346,4 100 5,7 0
24/2 299,3 311,2 100 12,0 0
3/3 602,1 333,7 100 18,1 0
10/3 564,7 329,7 97,9 36,0 1,5
17/3 526 313,9 91,9 44,6 5,7
24/3 445,9 293,1 84,3 46,0 11
Jagung 3/2 408,1 417,3 100 9,2 0
6,2
9,1
12,7
16,5
y = 0,093x + 0,289R² = 0,99
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 50 100 150 200
Red
uksi
Hasil (
%)
Kekurangan Air (mm)
73
10/2 402,3 418,4 100 16,2 0
17/2 413,2 419,6 100 6,4 0
24/2 398,7 412,2 100 22,5 0
3/3 385,9 423,9 100 38,0 0
10/3 356,7 427,9 100 71,2 0
17/3 325,3 423,4 97,6 98,0 2,9
24/3 294,3 395,7 89,8 101,5 12,7
Ubijalar 3/2 483,1 543,3 95,2 60,3 5,3
10/2 433,4 496,1 92,5 62,7 8,3
17/2 391,2 457,3 91 66,1 9,9
24/2 329,9 398,0 88,2 68 13
didapat persamaan regresi linier Ŷ=0,294x-3,075 dengan R2=0,98 (Gambar 5.14). Tanaman
yang ditanam tanggal 3 Februari evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) sebesar 543.3
evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 570,7 mm, kekurangan air sebesar 27,4 mm,
terjadi reduksi hasil sebesar 5,3%. Jika dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29 Oktober
evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc) sebesar 496,1 mm dan evapotranspirasi
maksimumnya (ETm) 536,3 mm, kekurangan air sebesar 40,2 reduksi hasilnya sebesr 8,3
%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 5 Nopember evapotranspirasi
tanaman aktual (ETc) menurun yaitu sebesar 457,3 mm evapotranspirasi maksimum (ETm)
juga menurun yaitu sebesar 502,5 mm, kekurangan air sebesar 45,2 mm untuk memenuhi
evapotranspirasi maksimum (ETm) dan
Gambar 5.14. Grafik Hubungan Antara Kekurangan Air dan Reduksi Hasil Pada Ubijalar
reduksi hasilnya sebesar 9,9%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 24
Februari evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) tambah menurun yaitu sebesar 398,0 mm
evapotraspirasi maksimum (ETm) juga menurun yaitu sebesar 451,2 mm, terjadi kekurangan
air sebesar 53,2 mm, reduksi hasilnya yaitu 13%. Hal ini disebabkan oleh dampak dari tingkat
5,3
8,3
9,9
13
y = 0,294x - 3,075R² = 0,98
0
2
4
6
8
10
12
14
0 10 20 30 40 50 60
Red
uksi
Hasil (
%)
Kekurangan Air (mm)
74
defisit air tanah dalam mintakat perakaran yang semakin meningkat dimana hal ini ditunjukkan
dengan nilai rasio ETc/ETm yang semakin rendah. Rendahnya nilai rasio ETc/ETm
menunjukkan bahwa ketersediaan air tanah tidak mencukupi kebutuhan air tanaman.
Kacang tanah dapat ditanam pada musim kering I (MK I) dari 3 Februari sampai 17
Maret (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan regresi Ŷ=0,20x+0,052 dengan R2 =
0,99 (Gambar 5.15). Untuk tanaman musim kering I selain tanaman kacang tanah dicoba
mengevaluasi tanaman jagung, dari hasil simulasi ternyata tanaman jagung juga dapat
ditanam dari 3 Februari sampai 17 Maret (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan
regresi Ŷ=0,283x-0,019 dengan R2 = 0,99 (Gambar 5.16).
Tanaman yang ditanam tanggal 3 Februari evapotranspirasi tanaman aktual (ETc)
sebesar 543.3 evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 570,7 mm, kekurangan air sebesar
27,4 mm, terjadi reduksi hasil sebesar 5,3%. Jika dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29
Oktober evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc) sebesar 496,1 mm dan evapotranspirasi
maksimumnya (ETm) 536,3 mm, kekurangan air sebesar 40,2 mm reduksi hasilnya sebesr
8,3 %. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 5 Nopember Evapotranspirasi
tanaman aktualnya (ETc) menurun yaitu sebesar 457,3 mm evapotranspirasi maksimumnya
(ETm) juga menurun yaitu sebesar 502,5 mm, kekurangan air sebesar 45,2 mm untuk
memenuhi evapotranspirasi maksimum (ETm) nya dan reduksi hasilnya sebesar 9,9%. Kalau
waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 24 Februari evapotranspirasi aktualnya (ETc)
tambah menurun yaitu sebesar 398,0 mm evapotranspirasi maksimum (ETm) juga menurun
yaitu sebesar 451,2 mm, terjadi kekurangan air sebesar 53,2 mm, reduksi hasilnya yaitu 13%.
Hal ini disebabkan oleh dampak dari tingkat defisit air tanah dalam mintakat perakaran yang
semakin meningkat dimana hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio ETc/ETm yang semakin
rendah. Rendahnya nilai rasio ETc/ETm menunjukkan bahwa ketersediaan air tanah tidak
mencukupi kebutuhan air tanaman. Kalender tanam menurut hasil evaluasi neraca air tanah
dan kemungkinan penurunan hasil yang paling aman disajikan dalam Tabel 5.19, apabila
dilakukan pengunduran saat tanam kemungkinan resiko defisit lengas tanah akan semakin
mengancam (Prijono, 2010)
Susunan perencanaan pola tanam ini dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian
berikutnya. Penyusunan pola tanam ini merupakan alternatif pilihan dari kemungkinan pola
tanam yang berpeluang untuk dicoba dengan tingkat reduksi hasil yang paling aman sehingga
dapat meningkatkan daya guna lahan kering, yang terpenting tanaman yang dipakai adalah
varietas tanaman yang tahan kering, umur pendek serta produksinya tinggi.
75
Gambar 5.15. Grafik Hubungan Antara Kekurangan Air dan Reduksi Hasil Pada Kacang
Tanah Musim Kering I
Gambar 5.16. Grafik Hubungan Antara Kekurangan Air dan Reduksi Hasil Pada Jagung
Musim Kering I
Kalender tanam menurut hasil evaluasi neraca air tanah dan kemungkinan penurunan
hasil yang paling aman disajikan dalam Tabel 5.19, apabila dilakukan pengunduran saat tanam
kemungkinan resiko defisit lengas tanah akan semakin mengancam (Prijono, 2010)
Susunan perencanaan pola tanam ini dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian
berikutnya. Penyusunan pola tanam ini merupakan alternatif pilihan dari kemungkinan pola
tanam yang berpeluang untuk dicoba dengan tingkat reduksi hasil yang paling aman sehingga
dapat meningkatkan daya guna lahan kering, yang terpenting tanaman yang dipakai adalah
varietas tanaman yang tahan kering, umur pendek serta produksinya tinggi.
5.6 Pembahasan Umum
Secara umum petani di kawasan Bali Selatan khususnya di Desa Pecatu hanya
menanam sekali dalam setahun ketika musim hujan, umumnya mereka menanam tanaman
pangan secara monokultur, petani sedikit bahkan hampir tidak melakukan pengolahan tanah,
lahannya berbukit dan ada beberapa areal berbatu karang (limestone), tanahnya liat berdebu
0
1,5
5,7
11
y = 0,201x + 0,052R² = 0,99
0
2
4
6
8
10
12
0 10 20 30 40 50 60
Red
uksi
Hasil (
%)
Kekurangan Air (mm)
0
2,9
12,7
y = 0,283x - 0,019R² = 0,99
0
2
4
6
8
10
12
14
0 10 20 30 40 50
Red
uksi
Hasil (
%)
Kekurangan Air (mm)
76
– liat, kandungan hara dan bahan organik tanahnya rendah. Tipologi lahannya termasuk tipe
A dimana sumber airnya berasal dari curah hujan. Dalam beberapa dekade terakhir terjadi alih
fungsi lahan yang sangat pesat yang dulunya lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non
pertanian seperti properti, hotel, villa dan penunjang pariwisata lainnya. Hal ini dominan
disebabkan karena terbatasnya ketersediaan air sehingga petani setempat enggan
melakukan kegiatan usaha tani.
Selama waktu penelitian dari data klimatologi yang didapat di stasiun klimatologi
Ngurah Rai terlihat bahwa penyinaran, radiasi dan evapotranspirasi polanya yaitu rendah
diwaktu musim hujan dan meningkat pada waktu musim kemarau, sebaliknya untuk
kelembaban, kecepatan angin, curah hujan dan hari hujan polanya terbalik. Rerata besarnya
evapotranspirasi harian selama periode penelitian antara 3,32 - 5,17 mm hari-1, jumlah
evapotranspirasi selama periode penelitian 1266,2 mm dan jumlah curah hujannya 2109,6
mm. Hal ini menunjukan bahwa selama periode penelitian jumlah curah hujan yang masuk ke
wilayah penelitian lebih besar dibandingkan dengan air yang keluar melalui evapotranspirasi.
Hasil perhitungan neraca air wilayah dari Thorntwaite-Mather dari data selama kurun
waktu sepuluh tahun yaitu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 dengan jelas nampak
dari bulan Januari sampai dengan bulan April terjadi surplus air, sedangkan dari bulan Mei
sampai dengan bulan Nopember terjadi defisit air. Jumlah curah hujan rerata dalam setahun
1723,9 mm dan evapotranspirasinya 1833,7 mm. Nampak curah hujan tinggi hanya
berlangsung selama lima bulan (Desember – April) sebesar 1394,5 mm, sedangkan (Mei –
Nopember) curah hujan sangat rendah 329,4 mm, jumlah evapotranspirasi selama 7 bulan
mencapai 1126,4 terjadi defisit air sebesar 797 mm. Menurut Doorenbos dan Kassam (1986)
defisit air jika terjadi pada tanaman akan mengakibatkan water stres, yang memiliki efek pada
evapotranspirasi tanaman dan hasil panen. Disebutkan juga bahwa pengaruh defisit air pada
pertumbuhan dan hasil tanaman sangat bervariasi tergantung pada spesies tanaman dan
periode pertumbuhan tanaman. Air merupakan bahan alami yang mutlak diperlukan oleh
tanaman dalam jumlah yang cukup dan pada saat yang tepat. Kelebihan ataupun kekurangan
air mudah menimbulkan bencana. Tanaman yang mengalami kekeringan akan berdampak
pada penurunan kualitas ataupun bisa jadi gagal panen. Kelebihan air dapat berdampak
leaching, erosi, banjir yang pada akhirnya juga beresiko gagal panen.
Hasil simulasi neraca air dengan menggunakan model CropWat for windows dengan
data klimatologi sepuluh tahun terakhir dari tahun 2000 – 2009 didapatkan bahwa neraca air
pada tanaman Ubikayu monokultur, Tumpangsari ubikayu+jagung dan tumpangsari
ubikayu+jagung-kacang tanah yang ditanam pada musim hujan (MH) kebutuhan airnya sangat
bervariasi, demikian juga pada tanaman Kacang tanah dan ubijalar yang ditanam secara
monokultur pada musim kering I (MKI) dengan empat waktu tanam yang berbeda. Pada
Neraca air dan terjadinya reduksi hasil juga tampak tidak semua pola dan saat tanam
kondisinya sama. Evapotranspirasi pada tanaman ubikayu monokultur sebesar 911,6 mm,
pada tumpangsari ubikayu+jagung sebesar 938,4 m dan pada tumpangsari ubikayu+jagung-
kacang tanah sebesar 949,6 mm. Nampak penyerapan air tanah untuk dapat memenuhi
permintaan penguapan tertinggi yaitu pada tumpangsari tanaman ubikayu+jagung-kacang
tanah, ini berarti bahwa potensi terjadinya defisit air paling tinggi pada tumpangsari tanaman
ubi kayu+jagung-kacang tanah yang akan dapat menyebakan terganggunya perkembangan
dan hasil tanaman.
77
Hasil simulasi pada tanaman yang ditanam pada musim hujan tidak mengalami
masalah karena reduksi hasilnya dibawah 10% yaitu 7,3% untuk Ubikayu monokultur, 8,3%
pada tumpangsari ubikayu+jagung dan 8,8% pada tumpangsari ubikayu+jagung-kacang
tanah. Sedangkan tanaman yang ditanam pada musim kering I (MK I), tanaman kacang tanah
masih mampu memberikan hasil yang baik jika ditanam pada minggu ke dua bulan Februari
reduksi hasilnya 6,1%, jika ditanam pada minggu ke tiga Februari reduksi hasilnya sebesar
10,3% dan jika ditanam pada minggu ke 4 Februari reduksi hasil sudah sebesar 15,2%.
Sedangkan tanaman ubijalar semua perlakuan waktu tanam reduksi hasilnya di atas 10% itu
berarti tanaman ubijalar tidak cocok ditanam pada musim kering I karena dengan penanaman
diawal Februari saja sudah terjadi penurunan hasil sebesar 35,6%, berarti untuk ubijalar lebih
cocok jika ditanam pada pada musim hujan (MH).
Model CropWat for Windows dapat menstimulasikan phenomena tanaman-tanah-iklim
yang rumit di atas lahan, untuk dapat menduga evapotranspirasi tanaman dan penjadwalan
irigasi, dengan pemecahan kebutuhan air tanaman pertanian pada berbagai pola tanam.
Dinamika kandungan air tanah dan defisit air tanah di mintakat perakaran menjadi informasi
yang penting guna pengambilan keputusan pada pengelolaan sumberdaya air. Model
menghitung evapotranspirasi acuan tanaman, kebutuhan air tanaman, estimasi penurunan
hasil tanaman sehubungan dengan stress air tanaman. Ambang penurunan hasil
diperhitungkan maksimum 10% (Santosa, 2006).
Penelitian menunjukkan bahwa rerata simpanan air tanah pada mintakat perakaran
tanaman ubikayu dengan pola tanam monokultur (UK) menunjukkan bahwa selama periode
pertumbuhannya, terjadi curah hujan sebesar 2416,50 mm, run-off 507,96 mm, dan total
perubahan simpanan air tanah (S) 821,20 mm (Tabel 5.7). Total evapotranspirasi sebesar
1087,34 mm merupakan selisih dari total curah hujan, run-off dan perubahan simpanan air
tanah selama pertumbuhan ubikayu pada pola tanam monokultur (UK). Total evapotranspirasi
tersebut menggambarkan besarnya kebutuhan air tanaman ubi kayu dengan pola tanam
monokultur (UK) di lokasi penelitian. Hasil panen umbi tanaman ubikayu dengan pola tanam
monokultur (UK) sebesar 24,19 t ha-1 (Tabel 5.12). Jika dibandingkan dengan potensi hasil
tanaman ubikayu varietas Muara dengan rerata umbi basahnya sebesar 38,2 t ha-1, maka
hasil umbi segar dalam percobaan ini lebih rendah (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Badung, 2009).
Total simpanan air tanah pada mintakat perakaran tanaman ubikayu dengan perlakuan
kontrol adalah sebesar 7,30 cm pada 60 hst, 8,76 cm pada 83 hst dan 11,88 cm pada akhir
tanam (late season) di Nigeria (Kehinde et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Odubanjo
et al. (2011), menunjukkan bahwa rerata simpanan air tanah tertinggi di mintakat perakaran
tanaman ubikayu terjadi pada mid season yaitu 144 hst. Tanaman ubikayu merupakan
tanaman yang tahan terhadap cekaman air. Menurut Nassar dan Ortiz (2007), apabila
kelembaban tanah menurun akan direspon oleh tanaman ubikayu dengan menggugurkan
daunnya, sedangkan apabila air mulai tersedia maka tanaman ubikayu akan bertunas kembali
dan memproduksi daunnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhan vegetatif tanaman ubi
kayu berlangsung selama 5 bulan, selanjutnya akan terjadi perkembangan akar dan pengisian
umbi dan akan berhenti pada umur tanaman 7-9 bulan.
78
Kebutuhan air tanaman ubikayu relatif rendah (Omonona dan Akinpelu, 2010;
Odubanjo et al., 2011), karena air yang berlebih dapat menyebabkan pembusukan pada umbi
tanaman ubikayu (Fasinmirin dan Reichert, 2011). Omonona dan Akinpelu (2010)
menyebutkan bahwa tanaman ubikayu umumnya ditanam pada daerah dengan curah hujan
<800 mm tahun-1 dengan bulan kering 4-6 bulan. Meskipun tanaman ubikayu tergolong
tanaman yang toleran terhadap cekaman air, namun hasil panen umbi akan menurun apabila
terjadi cekaman air yang cukup lama. Tingkat penurunan hasil umbi tergantung pada lamanya
cekaman air serta pada fase saat terjadinya cekaman air. Periode kritis terjadinya cekaman air
pada tanaman ubikayu adalah 1-5 bulan setelah tanam (Alves, 2002 dalam Omonona dan
Akinpelu, 2010). Cekaman air yang terjadi selama 2 bulan pada pertumbuhannya dapat
menurunkan hasil umbi tanaman ubikayu sebesar 32-60% (Connor et al., 1981) Penelitian lain
menyebutkan cekaman air yang tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan
generatif tanaman ubikayu (Laban et al., 2013). Selanjutnya disebutkan cekaman air lebih
berpengaruh terhadap penurunan berat segar umbi daripada pertumbuhan vegetatifnya.
Terjadinya cekaman air, direspon oleh ubikayu dengan menutup stomata daun sehingga
transpirasi menurun (Ogutundea dan Alatisea, 2007; Odubanjo et al., 2011; El-Sharkawy,
2012)
Neraca air tanah di mintakat perakaran Jagung dengan pola tanam tumpangsari
ubikayu+jagung ( UKJ) (Lampiran 5) menunjukkan total curah hujan sebesar 1073,30 mm,
run-off 239,81 dan total perubahan simpanan air tanah sebesar 385,59 mm. Dari data tersebut
dihasilkan kebutuhan air tanaman jagung (ET) dengan pola tanam tumpangsari
ubikayu+jagung (UKJ) sebesar 447,90 mm. Frimpong et al. (2011) menyebutkan bahwa
kebutuhan air tanaman jagung selama pertumbuhannya antara 350-450 mm. Periode kritis
tanaman jagung adalah pada saat fase tasseling dan fase pengisian biji pada tongkol jagung
(Thimme et al., 2013). Neraca air tanah di mintakat perakaran tanaman ubikayu dengan pola
tanam tumpangsari ubikayu+jagung (UKJ) (Lampiran 5) menunjukkan total curah hujan dan
run-off sama dengan pola tanam ubikayu monokultur (UK), namun total perubahan simpanan
air tanah (S) lebih rendah yaitu 819,65 mm, sehingga kebutuhan air tanaman ubikayu (ET)
dengan pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung (UKJ) lebih rendah daripada pola tanam
ubikayu monokultur (UK) yaitu 1088,89 mm. Simpanan air tanah dipengaruhi oleh komponen
presipitasi, irigasi, isapan air pori kapiler ke mintakat perakaran, run-off, perkolasi ke dalam,
evaporasi dan transpirasi (Hartman, 1983). Pola tanam tumpangsari akan menyebabkan
terjadinya persaingan dalam penggunaan air sehingga simpanan air tanah menjadi lebih
rendah apabila dibandingkan dengan pola tanam monokultur (Daellenbach et al., 2005).
Hasil umbi segar tanaman ubikayu pada pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung
(UKJ) sebesar 23,94 t ha-1 (Tabel 5.12), hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan pola
tanam ubikayu monokultur (UK) yaitu sebesar 24,19 t ha-1 (Tabel 5.12). Penelitian yang
dilakukan oleh Daellenbach et al. (2005) menyimpulkan terjadi penurunan hasil umbi segar
tanaman ubikayu dan total produksi bio massa pada pola tanam tumpangsari ubikayu
dibandingkan dengan pola tanam monokultur di Rio Cabuyal. Sedangkan Hartojo dan Widodo
(1991) melaporkan bahwa Jagung hibrida yang ditumpangsarikan dengan ubikayu tidak
mempengaruhi hasil umbi segar tanaman ubikayu di Indonesia. Sedangkan hasil berat kering
pipilan jagung ka12% yaitu sebesar 5,44 t ha-1 (Tabel 5.12). Hasil tersebut sedikit lebih rendah
apabila dibandingkan dengan rerata produksi jagung varietas Arjuna di Badung yaitu sebesar
79
5,64 t ha-1 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Badung, 2009).
Pola tanam tumpangsari dapat menimbulkan terjadinya persaingan dalam penggunaan unsur
hara, air dan cahaya (Daellenbach et al., 2005) yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan hasil
tanaman. Cekaman air dapat mengurangi produksi jagung sebesar 50-60% (Banziger et al.,
1997 dalam Sahindomi et al., 2013). Cekaman air yang terjadi selama fase pembungaan dan
tasseling dapat mengurangi produksi jagung sebesar 40%, sedangkan cekaman air yang
terjadi pada masa pengisian biji pada tongkol dapat mengurangi produksi jagung sebesar 66-
93% (Bruce et al., 2002; Cakir, 2004)
Neraca air tanah di mintakat perakaran jagung (Lampiran 6) dengan pola tanam
tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) sama dengan pola tanam tumpangsari
ubikayu+jagung (UKJ) (Lampiran 5). Neraca air tanah di mintakat perakaran kacang tanah
dengan pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) (Lampiran 6)
menunjukkan bahwa total curah hujan sebesar 1169,40 mm, run-off 250,52 mm dan total
perubahan simpanan lengas tanah (S) sebesar 439,14 mm. Kebutuhan air tanaman kacang
tanah (ET) di lokasi penelitian sebesar 479,74 mm. Menurut Idinoba et al. (2008) kebutuhan
air tanaman Kacang tanah adalah sebesar 302,5 mm selama pertumbuhannya. Neraca air
tanah di mintakat perakaran tanaman ubi kayu dengan pola tanam tumpangsari
ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) (Lampiran 6) menunjukkan bahwa besarnya curah
hujan dan run-off sama dengan pola tanam ubikayu monokultur (UK) (Lampiran 4) dan UKJ
(Lampiran 5). Sedangkan total perubahan simpanan air tanah (S) di mintakat perakaran
tanaman ubikayu dengan pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT)
lebih rendah daripada pola tanam ubikayu monokultur (UK) dan tumpangsari ubikayu+jagung-
kacang tanah (UKJ) yaitu 798,55 mm. Sehingga kebutuhan air tanaman ubikayu (ET) dengan
pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) sebesar 1109,99 mm. Tabel
5.7 dan Lampiran 6 menunjukkan bahwa kebutuhan air tanaman mengalami peningkatan
pada pola tanam tumpangsari baik pada UKJ dan UKJKT apabila dibandingkan dengan pola
tanam monokultur UK. Pola tanam tumpangsari mempunyai kelebihan dan kekurangan, salah
satu dampak dari pola tanam tumpangsari adalah terjadi persaingan dalam penggunaan unsur
hara, cahaya dan air tanah (Daellenbach et al., 2005).
Hasil umbi segar tanaman ubikayu dengan pola tanam UKJKT sebesar 22,54 t ha-1
(Tabel 5.12). Hasil umbi pada perlakuan UKJKT ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil
umbi pada perlakuan UK dan UKJ. Tumpangsari ubikayu+kacang tanah di India juga
menyebabkan penurunan hasil umbi tanaman ubikayu (Amanullah et al., 2007). Pola tanam
tumpangsari bergilir mempunyai dampak terhadap penurunan hasil tanaman ubikayu. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Moriri et al. (2010) yang menunjukkan bahwa pola tanam
bergilir terbukti meningkatkan pertumbuhan tanaman Cowpea sebagai tanaman sekunder
namun menghambat pertumbuhan tanaman utama Jagung. Hasil penelitian Njoku dan
Muoneke (2008) menunjukkan bahwa hasil panen umbi segar tanaman ubikayu yang
ditumpangsarikan dengan Cowpea di Nigeria ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
panen umbi segar ubikayu yang ditanam secara monokultur. Hal ini diperkirakan karena
Cowpea dapat memfiksasi N sehingga dapat meningkatkan ketersediaan N dalam tanah.
Amanullah et al. (2007) juga menyimpulkan bahwa tumpangsari ubikayu dan jenis legume
dapat meningkatkan status hara dalam tanah. Hasil berat kering pipilan Jagung pada
tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) sama dengan perlakuan tumpangsari
80
ubikayu+jagung (UKJ) (Tabel 5.12). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada hasil penelitian
Adeniyan dan Ayoola (2006), dimana hasil panen ubikayu dan jagung tidak berbeda nyata
terhadap perlakuan beberapa pola tanam tumpangsari jagung+ubikayu+kedelai. Selanjutnya
dijelaskan bahwa perbedaan fase pemasakan (maturity time) dan karakter pertumbuhan
masing-masing tanaman sangat menentukan produktivitas hasil pada sistem tanam
tumpangsari. Hasil berat kering jemur biji Kacang tanah dengan pola UKJKT adalah sebesar
0,17 t ha-1 (Tabel 5.12). Hasil tersebut lebih rendah apabila dibandingkan rerata hasil Kacang
tanah varietas Kancil yaitu sebesar 2 t ha-1 (Balitkabi, 2010). Hal ini diperkirakan karena
adanya persaingan penggunaan unsur hara, cahaya dan air tanah (Daellenbach et al., 2005)
pada pola tanam tumpangsari. Hasil produksi Kacang tanah sangat dipengaruhi oleh lengas
tanah. Menurut Rahmianna et al,. (2007) produksi kacang tanah akan menurun 15% apabila
Kacang tanah kecukupan air selama fase vegetatif namun mengalami cekaman air pada
pengisian polong hingga akhir tanam. Selanjutnya ditambahkan bahwa kacang tanah akan
mengalami penurunan produksi 41% apabila kacang tanah mengalami cekaman air setelah
masa pengisian polong hingga akhir tanam. Hal ini didukung oleh Aboamera (2010) yang
menjelaskan bahwa fase kritis pada Cowpea jenis tanaman legume adalah pada fase
pembungaan dan pengisian polong dengan potensi penurunan hasil sebesar 35-69%.
Land Eqiuvalen Ratio (LER) untuk tanaman tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ)
didapat yaitu sebesar 1,49 sedangkan hasil perhitungan Land Eqiuvalen Ratio (LER) untuk
tanaman tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah (UKJKT) yaitu sebesar 1,56, dari hasil
perhitungan Land Eqiuvalen Ratio (LER) ini dapat dilihat bahwa tumpangsari ubikayu + jagung
– kacang tanah (UKJKT) mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan tumpangsari
tanaman ubikayu + jagung (UKJ). Land Eqiuvalent Ratio (LER) lebih tinggi dari 1
mengindikasikan bahwa produktivitas per unit luas lebih tinggi dicapai dengan penanaman
secara bersama-sama (tumpangsari) dibandingkan dengan tanaman yang ditanam secara
terpisah (monokultur). Nilai Land Eqiuvalen Ratio (LER) lebih tinggi pada penanaman
tumpangsari daripada tanaman monokultur juga dilaporkan oleh Haymes and Lee (1999);
Adeniyan and Ayoola (2006); Banik et al. (2006); Shehata et al. (2009); Megawer et al. (2010).
Islami et al. (2011) melaporkan bahwa semua sistem tumpangsari yang dicoba memiliki Land
Eqiuvalen Ratio (LER) lebih besar dari 1, dari hasil penelitiannya diperoleh Land Eqiuvalen
Ratio (LER) bervariasi antara 1,35 (tumpangsari ubikayu + padi gogo) dan 1,60 ( tumpangsari
ubikayu + kacang tanah dan jagung + kacang tanah), dengan demikian efisiensi penggunaan
lahan pada tumpangsari lebih menguntungkan khususnya tumpangsari tanaman legume
seperti kacang tanah. Tingginya nilai Land Eqiuvalen Ratio (LER) pada tumpangsari tanaman
legume mungkin disebabkan karena rendahnya kompetisi Nitrogen di dalam tanah (Dapaah et
al., 2003).
Menurut Willey (1979), bahwa dalam penerapan pola tanam tumpangsari perlu
memperhatikan kepekaan tanaman terhadap persaingan selama hidupnya. Banyak tanaman
pada periode tertentu dalam hidupnya sangat sensitif dan peka terhadap kompetisi sehingga
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Agar persaingan antara jenis tanaman
yang ditumpangsari dapat ditekan sekecil mungkin, maka perlu diatur agar sumberdaya yang
diperlukan untuk masing-masing tanaman tidak terjadi pada saat yang bersamaan. Dalam pola
tanam tumpangsari salah satu faktor utama yang dapat menghambat pertumbuhan dan hasil
tanaman ialah adanya persaingan cahaya matahari untuk kegiatan fotosintesis. Islami (1999)
81
menyatakan bahwa suatu tanaman yang ternaungi, maka intensitas cahaya yang diterima
akan berkurang sehingga menyebabkan fotosintesis tidak berlangsung secara maksimal.
Kondisi ini akan mempengaruhi jumlah fotosintat yang dihasilkan. Bila jumlah fotosintat tidak
terpenuhi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan mempengaruhi produksi.
Ashadi dan Arsyad (1991) melaporkan bahwa penurunan intensitas cahaya menjadi 40%
mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong dan kadar
protein pada kedelai. Buhaira (2007) menyatakan bahwa pada pola tanam tumpangsari
kacang tanah dan jagung, tinggi tanaman kacang tanah melebihi tinggi tanaman yang ditanam
secara monokultur (rata-rata 68 cm). Hal ini dikarenakan dalam pertanaman tumpangsari,
tanaman yang mengalami naungan akan memberikan respon memperbesar luas daun dan
batang lebih tinggi (etiolasi) (Somaatmadja et al. (1985).
Evaluasi kebutuhan air dan curah hujan efektif dengan menggunakan CropWat for
Windows (Tabel 5.13) terlihat bahwa dari pola tanam tanaman ubikayu monokultur (UK)
kebutuhan airnya 1041,20 mm, tumpang sari ubikayu + jagung (UKJ) kebutuhan airnya
1050,50 mm dan tumpangsari ubikayu + jagung - kacang tanah (UKJKT) kebutuhan airnya
1070,00 mm, dengan curah hujan efektif yang sama yaitu sebesar 1076,65 mm.
Kebutuhan air tanaman selama periode penelitian di lapangan dari hasil evaluasi
dengan CropWat for Windows kebutuhan airnya lebih kecil dibanding kebutuhan air selama
periode eksperimen di lapangan yang dihitung dengan metode Hartman (Tabel 5.14). Pada
tanaman ubikayu (UK) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat yaitu sebesar 1041,20 mm
dan perhitungan Hartman sebesar 1087,34 mm, pada tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ)
kebutuhan air hasil perhitungan CropWat sebesar 1050,50 mm dan hasil perhitungan Hartman
sebesar 1088,89 mm, sedangkan pada tanaman tumpangsari ubikayu + jagung – kacang
tanah UKJKT) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat sebesar 1070,00 mm dan hasil
perhitungan Hartman sebesar 1109,99 mm. Besarnya kebutuhan air pada hasil perhitungan
dengan metode Hartman kemungkinan disebabkan karena tidak diperhitungkan perkolasi
dalam yang terjadi.
Perimbangan kebutuhan air tanaman dan persediaan air dari curah hujan yang didapat
selama masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman kita dapat menentukan waktu tanam
yang paling tepat. Dari perimbangan kebutuhan air tanaman dan persediaan air yang berasal
dari curah hujan pada umumnya kekurangan air terutama pada waktu tanam, menjelang serta
diakhir musim hujan. Dibutuhkan distribusi curah hujan yang merata sepanjang pertumbuhan
tanaman karena masing masing jenis tanaman memiliki fase-fase pertumbuhan yang berbeda
dimana masing-masing fase pertumbuhan membutuhkan ketersediaan air yang bervariasi.
Setiap periode pertumbuhan tanaman bersifat spesifik terhadap kondisi kekurangan air (water
stress) dan pada periode pertumbuhan tertentu tanaman sangat peka terhadap kondisi
kekurangan air yang biasanya terjadi saat tanaman mencapai periode kritisnya. Untuk
menentukan waktu tanam yang tepat kita perlu mempertimbangkan periode kritis tanaman
yaitu dengan mengusahakan agar kebutuhan air tanaman terpenuhi saat tanaman berada
pada periode kritisnya (Agung, 2005).
Kandungan air tanah semakin menurun secara eksponensial menuju daerah serapan
dan kembali naik secara eksponensial dengan semakin jauh dari daerah perakaran dan pada
akhirnya menurun kembali. Penurunan kandungan air pada tanah liat lebih landai apabila
82
dibandingkan dengan tanah berpasir. Hal ini terjadi karena tanah liat mempunyai banyak pori
mikro yang meretensi air dengan kuat, sehingga kemampuan akar menyerap air pada tanah
liat lebih tinggi. Perkolasi-dalam pada tanah liat berdebu lebih rendah dibandingkan dengan
tanah berpasir, sehingga kehilangan air akibat perkolasi lebih rendah (Saleh, 2000).
Pada Tabel 5.15 terlihat tanaman tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah
(UKJKT) mempunyai nilai ekonomi paling tinggi yaitu dengan pendapatan sebesar Rp.
11.385.500 ha-1. Kemudian disusul oleh tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ) Rp.11.190.500
ha-1 dan yang paling kecil adalah ubikayu monokultur (UK) sebesar Rp. 2.833.000 ha-1.
Dengan demikian pola tanam tumpangsari yang ke tiga dan yang kedua dapat dipilih karena
memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pola tanam monokultur. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Tsay et al. (1988) and Fukai et al. (1990) tumpangsari ubikayu
legume lebih produktif daripada penanaman secara monokultur karena legume dapat dipanen
sebelum kompetisi tinggi kedua tanaman terjadi sehinggi ubikayu dapat mempunyai cukup
waktu untuk merecover. Abit (1979) menemukan bahwa tumpangsari dengan sorghum atau
jagung tidak memberikan pengaruh pada hasil ubikayu ketika tanaman cereals ditanam pada
waktu yang sama atau satu atau dua minggu setelah tanam ubikayu.
Pola tanam yang berpeluang dipilih tentunya yang mempunyai keuntungan yang tinggi
dengan biaya produksi yang dapat dijangkau oleh petani setempat dengan harapan pola
tanam itu dapat diterapkan agar dapat meningkatkan hasil usaha tani mereka dan untuk
menjaga ketahanan pangan. Untuk itu perlu kiranya diadakan demplot-demplot percobaan di
lapangan sebagai sarana sosialisasi agar petani dapat melihat dan mengetahui teknik
budidaya secara baik dan tertarik untuk ikut berusaha tani dengan cara tumpangsari sehingga
hasil usaha taninya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi
Dari hasil simulasi pengembangan waktu tanam, ternyata ubikayu hanya dapat
ditanam dari 22 - 29 Oktober (Tabel 5.17), dari pendugaan didapatkan persamaan regresi linier
Ŷ=0,093x+0,289 dengan R2 = 0,99 (Gambar 5.13). Dari persamaan tersebut didapatkan
tanaman yang ditanam tanggal 22 Oktober evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) sebesar
1070,0, evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 1133,5 mm, kekurangan air sebesar 63,5
mm untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi maksimumnya, terjadi reduksi hasil
sebesar 6,2%. Jika dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29 Oktober evapotranspirasi
tanaman aktualnya (ETc) menurun mencapai 1047,4 mm dan evapotranspirasi maksimumnya
(ETm) 1142,2 mm, kekurangan air sebesar 94,8 mm untuk memenuhi evapotranspirasi
maksimumnya (ETm), reduksi hasilnya 9,1%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai
tanggal 5 Nopember evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) sebesar 1019,3 mm,
evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 1151,8 mm, kekurangan air sebesar 132,5 mm
dan reduksi hasilnya sudah melewati ambang batas yaitu di atas 10% yaitu 12,7%. Hal ini
disebabkan oleh dampak dari tingkat defisit air tanah dalam mintakat perakaran yang semakin
meningkat dimana hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio ETc/ETm yang semakin rendah.
Rendahnya nilai rasio ETc/ETm menunjukkan bahwa ketersediaan air tanah tidak mencukupi
kebutuhan air tanaman (Islami at al., 1995).
Penelitian waktu tanam ubikayu di Thailand (Tongglum et al., 2001) di Indonesia
(Wargiono et al., 2001) ditemukan bahwa ubikayu yang ditanam pada awal musim hujan
mempunyai hasil umbi segar yang lebih tinggi (Mei-Juni dibeberapa negara tetapi untuk
83
Indonesia Oktober-Nopember). Penelitian (Zhang Weite et al., 1998) mengindikasikan bahwa
hasil umbi berkorelasi positif dengan curah hujan yang diterima selama bulan ke 3-5.
Dari hasil perhitungan ternyata ubijalar jika ditanam pada musim hujan 22 Oktober –
12 Nopember reduksi hasilnya 0%, Ubijalar yang ditanam pada musim kering I hanya dapat
ditanam tanggal 3 - 17 Februari (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan regresi linier
Ŷ=0,294x-3,075 dengan R2=0,98 (Gambar 5.14). Tanaman yang ditanam tanggal 3 Februari
evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) sebesar 543.3 evapotranspirasi maksimum (ETm)
sebesar 570,7 mm, kekurangan air sebesar 27,4 mm, terjadi reduksi hasil sebesar 5,3%. Jika
dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29 Oktober evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc)
sebesar 496,1 mm dan evapotranspirasi maksimumnya (ETm) 536,3 mm, kekurangan air
sebesar 40,2 reduksi hasilnya sebesr 8,3 %. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai
tanggal 5 Nopember evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) menurun yaitu sebesar 457,3 mm
evapotranspirasi maksimum (ETm) juga menurun yaitu sebesar 502,5 mm, kekurangan air
sebesar 45,2 mm untuk memenuhi evapotranspirasi maksimum (ETm) dan reduksi hasilnya
sebesar 9,9%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 24 Februari
evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) tambah menurun yaitu sebesar 398,0 mm
evapotraspirasi maksimum (ETm) juga menurun yaitu sebesar 451,2 mm, terjadi kekurangan
air sebesar 53,2 mm, reduksi hasilnya sudah melewati ambang batas yaitu di atas 10% yaitu
13%.
Kacang tanah dapat ditanam pada musim kering I (MK I) dari 3 Februari sampai 17
Maret (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan regresi Ŷ=0,20x+0,052 dengan R2 =
0,99 (Gambar 5.15). Untuk tanaman musim kering I selain tanaman kacang tanah dicoba
mengevaluasi tanaman jagung, dari hasil simulasi ternyata tanaman jagung juga dapat
ditanam dari 3 Februari sampai 17 Maret (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan
regresi Ŷ=0,283x-0,019 dengan R2 = 0,99 (Gambar 5.16).
Tanaman yang ditanam tanggal 3 Februari evapotranspirasi tanaman aktual (ETc)
sebesar 543.3 evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 570,7 mm, kekurangan air sebesar
27,4 mm, terjadi reduksi hasil sebesar 5,3%. Jika
dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29 Oktober evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc)
sebesar 496,1 mm dan evapotranspirasi maksimumnya (ETm) 536,3 mm, kekurangan air
sebesar 40,2 mm reduksi hasilnya sebesr 8,3 %. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai
tanggal 5 Nopember Evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc) menurun yaitu sebesar 457,3
mm evapotranspirasi maksimumnya (ETm) juga menurun yaitu sebesar 502,5 mm,
kekurangan air sebesar 45,2 mm untuk memenuhi evapotranspirasi maksimum (ETm) nya dan
reduksi hasilnya sebesar 9,9%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 24
Februari evapotranspirasi aktualnya (ETc) tambah menurun yaitu sebesar 398,0 mm
evapotranspirasi maksimum (ETm) juga menurun yaitu sebesar 451,2 mm, terjadi kekurangan
air sebesar 53,2 mm, reduksi hasilnya yaitu 13%.
Kalender tanam menurut hasil evaluasi neraca air tanah dan kemungkinan penurunan
hasil yang paling aman disajikan dalam Tabel 5.19, apabila dilakukan pengunduran saat tanam
kemungkinan resiko defisit lengas tanah akan semakin mengancam (Prijono, 2010).
84
Susunan perencanaan pola tanam ini dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian
berikutnya. Penyusunan pola tanam ini merupakan alternatif pilihan dari kemungkinan pola
tanam yang berpeluang untuk dicoba dengan tingkat reduksi hasil yang paling aman sehingga
dapat meningkatkan daya guna lahan kering, yang terpenting tanaman yang dipakai adalah
varietas tanaman yang tahan kering, umur pendek serta produksinya tinggi.
85
BAB VI
PENUTUP
Wilayah Bali Selatan khususnya Desa Pecatu kondisi lahannya berbukit dan tanahnya liat.
Sebagai lahan pertanian memiliki kendala kesuburan tanah rendah dan airnya hanya bersumber
dari curah hujan. Jenis tanaman yang diusahakan tanaman jagung, ubikayu, kacang-kacangan,
turi, pisang, pepaya, kelapa, mangga, jeruk, srikaya, jati. Neraca air untuk wilayah Bali Selatan
dengan metode Thornwaite dan Mather surplus terjadi dari bulan Januari sampai April, defisit terjadi
dari bulan Mei sampai dengan Nopember. Jumlah curah hujan dalam setahun 1723,9 mm dan
evapotranspirasi 1833,7 mm. Curah hujan yang tinggi terjadi bulan Desember sampai bulan April
(1394,5 mm), Mei sampai November curah hujannya rendah (329,4 mm). Kebutuhan air tanaman
pada mintakat perakaran monokultur ubikayu (UK) 1087,34 mm lebih rendah dibanding dengan
tumpangsari ubikayu+jagung (UKJ) 1088,89 mm dan ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT)
1109,99 mm. Pola pergiliran tanaman ubikayu+jagung-kacang tanah dapat ditanam dari 22 Oktober
sampai 21 Juni. Hasil panen umbi segar pada pola tanam ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT)
22,54 t ha-1. Tanaman ubikayu dapat ditanam 22 - 29 Oktober, ubijalar dapat ditanam 3 – 17
Februari, sedangkan kacang tanah dan jagung dapat ditanam 3 Februari - 17 Maret. Hasil
pendapatan ha-1 pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah lebih besar 25,3%
dibanding dengan pendapatan monokultur ubikayu (UK).
Pola tanam tumpangsari Ubikayu+Jagung–Kacang Tanah dapat direkomendasi untuk
ditanam oleh petani di daerah Bali Selatan khususnya di Kuta Selatan, Desa Pecatu. Perlu
dilakukan penelitian lanjutan untuk mencoba peluang pola tanam yang berbeda dengan memilih
tanaman yang tahan kekeringan, umur pendek dan mempunyai produksi tinggi.
86
DAFTAR PUSTAKA
Aboamera, M.A. 2010. Response Of Cowpea To Water Deficit Under Semi-Portable Sprinkler Irrigation System. Misr J. Ag. Eng., 27 (1): 170- 190.
Adeniyan, O. N. dan Ayoola, O. T. 2006. Growth And Yield Performance Of Some Improved Soybean Varieties As Influenced By Intercropping With Maize And Cassava In Two Contrasting Locations In Southwest Nigeria. African Journal of Biotechnology,5(20):1886-1889.
Adisarwanto, T., A.A. Rahmianna dan Suhartina. 1993. Budidaya Kacang tanah. Penyunting Kasro, T., A. Widarto dan Sunardi. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang.
Agung, I G.A.M.S. 2005. Pertanian Lahan Kering, Potensi yang Terabaikan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Budidaya Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana (orasi ilmiah). Denpasar: Universitas Udayana, 05 Maret 2005.
Agung, I G.A.M.S. 2006. Konsep dan Strategi Pengembangan Pertanian Lahan Kering. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Pengembangan Pertanian Lahan Kering Menuju Petani Sejahtera” di denpasar tanggal 22 Julli 2006 dalam rangka HUT PS Magister Pertanian Lahan Kering VII, HUT Program Pascasarjana Unud dan Dies Natalis Unud. 24 halaman.
Ahmad, B. dan L. Irsal. 1991. Strategi Pendekatan Iklim dalam Usaha Tani. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Direktort Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Al-Jamal M.S., T.W. Sammis, S. Ball dan D. Smeal. 1999. Yield-Based, Irrigated onion crop coefficients, Applied Engineering in Agriculture, 15(6):656-668
Al-Jamal, M.S.; T.W. Sammis; S. Ball and D. Smeal. 2000. Computing the Crop Water Production Function for Onion. Agric. Water Manag.; 46 (2000) : 29-41
Al-Kaisi, M.M. dan I. Broner. 2009. Crop Water Use and Growth Stages. Colorado State University Extension. Fact Sheet No.4.715.
Allen, .R.G., L.S. Pereira, D. Raes dan M. Smith. 1998. Crop Evapotranspiration : Guidelines for computing crop water requirements. Irrigation and Drainage Paper 56, Rome, Italy. 300 halaman.
Amanullah M.M., E. Somasundaram, K. Vaiyapuri dan K. Sathyamoorthi. 2007. Intercropping In Cassava – A Review. Agricultural Review., 28(3):179-187.
Anonim. 2006. Peningkatan pemahaman informasi iklim. BMG. Jakarta Anonim. 2007. Pemanasan Global dan Variabilitas Iklim Wilayah Bali. Makalah disajikan dalam
Seminar Regional Pertanian Organik dan Perubahan Iklim Program Studi Magister Pertanian Lahan Kering Universitas Udayana 12 Desember 2007. BMG Wilayah III Denpasar. 11 halaman.
Anonim. 2008. Laporan Statistik. Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Propinsi Bali. Anonim. 2009. Kecamatan Kuta Selatan Dalam Angka 2009. Bappeda Litbang Kabupaten Badung.
Badan Pusat Statistika Kabupaten Badung. 91 halaman. Anonim. 2009. Laporan Statistik. Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemerintah
Kabupaten Badung. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Anonim. 2010. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang tanah, Kacang hijau, Ubi kayu & Ubi jalar. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan & Umbi-umbian. Pusat Penelitian & Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian & Pengembangan Pertanian. Retrived from : www.balitkabi.litbang.deptan.go.id/publikasi/teknologi-inovasi.html, Accessed 30-5-2013
Ariffin, 2001. Dasar Klimatologi. Unit Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang Asadi, D.M dan H.Z.Arsyad. 1997. Pemuliaan Kedelai untuk Toleran Naungan dan Tumpangsari.
Bulletin Agrobio.1 (2): 15-20.
87
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 571 halaman.
Baharuddin, A.B. 1997. Sistem Usahatani Terpadu di Lahan Kering NTB. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Teknologi Perbaikan Sub Sektor Tanaman Pangan di Mataram 12-14 Maret 1997.
Banik, P., A. Midya, B.K. Sarkar dan S.S. Ghose. 2006. Wheat and chickpea intercropping systems in an additive series experiment: Advantages and weed smothering. Europ. J. Agronomy 24: 325–332.
Bauer, A. dan A. L. Black. 1992. Organic Carbon Effects on Available Water Capacity of Three Soil Textural Groups, Soil Science Society of America Journal. 56 (1): 248 - 254.
Bergamaschi, H. 2007. Maize yield and rainfall on different spatial and temporal scales in Southern Brazil, Pesq. agropec. bras. 42 (5): 603-613.
Bergamaschi, H; G.A.Dalmago; F.Comiran; J.I.Bergonci; A.G.Müller; S. França; A.O.Santos; B.Radin; C.A.M. Bianchi dan P.G.Pereira. 2006. Water deficit and yield in maize crop, Pesq. Agropec. Bras. 41 (2): 243-249.
Bey, A. dan I.Las. 1991. Strategi pendekatan iklim dalam usaha tani. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. http://id.wikipedia.org/. Diakses 25 Juli 2013.
Blair, G., D. Macleod, A. Amdrews, P. Sale, P. Searle dan R. Aitken. 1984. Soil Fertility and Plant Nutition. Training Course Notes. AUIDP – Udayana University. Denpasar Bali.
Blum, A. 2009. Effective use of water (EUW) and not water-use efficiency (WUE) is the target of crop yield improvement under drought stress, Field Crops Research 112 (2009) 119–123.
Bono, A. dan R. Alvarez. 2012. Use of Surface Soil Moisture to Estimate Profile Water Storage by Polynomial Regression and Artificial Neural Networks, Agronomy Journal. 104 (4): 934 - 938
Brocca, L., T. Moramarco, F. Melone, W. Wagner. 2013. A new method for rainfall estimation through soil moisture observations, Geophysical Research Letters. 40 (5): 853 - 858.
Buckman, H.O. dan N.C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Prof. Dr. Soegiman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 787 halaman.
Cakir R. 2004. Effect of water stress at different development stages on vegetative and reproductive growth of corn. Field Crops Research 89 (1), 1-16.
Clarke D., M. Smith dan K.E. Askari. 1998. CROPWAT for Windows: User Guide, Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome, Italy.
Condon, A.G., R. A. Richards, G. J. Rebetzke dan G. D. Farquhar. 2002. Improving Intrinsic Water-Use Efficiency and Crop Yield, Crop Science. 42 (1): 122 - 131.
Critchley, W., K. Siegert dan C. Chapman. 1991. A Manual for the Design and Construction of Water Harvesting Schemes for Plant Production, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Daellenbach, P.C.K., M.S. Wolfec, E. Frossardb, dan M.R. Finckhd. 2005. Plant Productivity In Cassava-Based Mixed Cropping Systems In Colombian Hillside Farms. Agriculture, Ecosystems and Environment, 105:595–614.
Danarti dan S. Najiyati. 1997. Palawija, Budidaya dan Analisa Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. 116 halaman.
Dapaah, H.K., J.N.Asafu-Agyei, S.A.Ennin dan C.Yamoah. 2003. Yield stability of Cassava, maize, soya bean and cowpea intercrops. J. Agric. Sci. (Cambridge), 140: 73–82.
Djaenuddin, D., H.Marwan., H.Subagyo., A. Mulyani dan N. Suharta. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. 254 halaman.
Doorenbos, J. dan A.H Kassam. 1986. Yield Response to Water. Irrigation and Drainage. Paper 33, FAO, Rome, Italy. 193 halaman.
Doorenbos, J. dan W.O.Pruitt. 1977. Guidelines for predicting crop water requirement. FAO irrigation drainage paper no. 24. Rome. 144 halaman.
El-Sharkawy. 2012. Stress-Tolerant Cassava: The Role of Integrative Ecophysiology-Breeding Research in Crop Improvement. Open Journal of Soil Science, 2:162-186.
Ervin, E.H. dan A.J. Koshi. 1998. Drought Avoidance Aspects and Crop Coefficient of Kentucky Bluegrass and Tall Fescue Turfs in the Semiarid West. Crop. Sci. 38 : 788 – 795.
88
Evans, R., D.K. Cassel dan R.E. Sneed. 1996. Soil, Water and Crop Characteristic Important to Irrigation Schedulling. North Carolina Cooperative Extension Service. Number AG. 452 – 1 (1996); 1 – 13.
Farahani, H.J., G. A. Peterson, D. G. Westfall, L. A. Sherrod dan L. R. Ahuja. 1998. Soil Water Storage in Dryland Cropping Systems: The Significance of Cropping Intensification, Soil Science Society of America Journal. 62 (4): 984-991.
Fasinmirin J.T. dan J.M.Reichert. 2011. Conservation Tillage For Cassava (Manihot esculenta crantz) Production In The Tropics. Soil & Tillage Research, 113:1–10.
Franzluebbers, A.J., J. A. Stuedemann dan D.H. Franklin. 2012. Water infiltration and surface-soil structural properties as influenced by animal traffic in the Southern Piedmont USA. Renewable Agriculture and Food Systems. 27 (04): 256-265.
Frimpong, J.O., H.M. Amoatey, E.O. Ayeh, dan D.K. Asare. 2011. Productivity And Soil Water Use By Rainfed Maize Genotypes In A Coastal Savannah Environment. International Agrophysics, 25:123-129.
Gregory, J.H,, M.D. Dukes, P.H. Jones dan G.L. Miller. 2006. Effect of urban soil compaction on infiltration rate, Journal of Soil and Water Conservation. 61 (3), 117 - 124.
Guo,R., Lin Z, Mo X dan Yang C. 2010. Responses of crop yield and water use efficiency to climate change in the North China Plain, Agricultural Water Management 97 (2010) 1185 - 1194.
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong, dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Lampung. 488 halaman.
Hanzen, V.E., O.W. Israelsen dan G.E. Stringham. 1979. Irrigation Principles and Practices. 4th. ed. Cacho Hermanos. Inc. New York.
Hartman, D. 1983. Water Balance in the Field. S2 Program Soil Science. Gajah Mada Universty. Yogyakarta.
Hatibu, N., M. D. B. Young, J. W. Gowing, H. F. Mahoo dan O. B. Mzirai. 2003. Developing improved dryland cropping systems for maize in semi-arid tanzania. Part 1: experimental evidence for the benefits of rainwater harvesting, Experimental Agriculture. 39 (03): 279-292.
Haymes, R. dan H.C. Lee. 1999. Competition between autumn and spring planted grain intercrops of wheat (Triticum aestivum) and field bean (Vicia faba). Field crop Res., 62:167-176.
Hillel, D. 1980. Application of Soil Physics. Academic Press. New York. 385 halaman Hoque, M.Z. 1984. Cropping System in Asia. On-Farm Research and Management. IRRI. Los
Banos, Laguna, Philippines. 196 halaman. Hudson, B.D., 1994. Soil organic matter and available water capacity, Journal of Soil and Water
Conservation. 49 (2): 189 - 194 Idinoba, M.E., P.A. Idinoba, A.Gbadegesin dan S.S. Jagtap. 2008. Growth And Evapotranspiration
Of Groundnut (Arachis hypogaea) In A Transitional Humid Zone Of Nigeria. African Journal of Agricultural Research, 3(5):384-388.
Irianto, G. 2003. Drought manegement untuk meminimalkan resiko kekeringan. Harian Kompas 8 Agustus 2003.
Islami, T. 1999. Manipulasi Tajuk Tanaman Jagung Terhadap Hasil Tanaman Jagung dan Ubi Jalar dalam Pola Tumpang Gilir. Agrivita 21 (1) : 20-24.
Islami, T., B. Guritno dan W.H. Utomo. 2011. Performance of cassava (Manihot esculenta Crantz) based cropping systems and associated soil quality changes in the degraded tropical uplands of East Java. Indonesia. Journal of Tropical Agriculture 49 (1-2): 31-39.
Jackson,J. 1989. Climate, Water and Agriculture in the Tropics. Second Edition. Longman Scientific & Technical Copublished in the United State with John Wiley and Sons, Inc. New York. 377 halaman.
Kakde, J.R. 1985. Agricultural Climatology. Metropolitan Book. Co. Pvt. Ltd. New Delhi. 387 halaman
Kammer, P.M., C. Schöb, G. Eberhard, R. Gallina, R. Meyer dan C. Tschanz. 2013. The relationship between soil water storage capacity and plant species diversity in high alpine vegetation, Plant Ecology & Diversity. April 2013. DOI: 10.1080/17550874.2013.783142.
Ke Jin, W. M. Cornelis, W. Schiettecatte, Lu J, Yao Y, Wu H, D. Gabriels, S. D. Neve, Cai D, Jin J. dan R. Hartmann. 2007. Effects of different management practices on the soil–water
89
balance and crop yield for improved dryland farming in the Chinese Loess Plateau, Soil & Tillage Research. 96 (2007) 131–144.
Kehinde O., O. Yahaya, A.J. Oloruntade dan G.G. Afuye. 2011. Effect Of Supplemental Irrigation On Growth, Development And Yield Of Cassava Under Drip Irrigation System In Akure, Ondo State Nigeria. Journal of Sciences and Multidisciplinary Research, 3:62-73.
Laban T.F., E.B. Kizito, Y. Baguma dan D. Osiru. 2013. Evaluation Of Ugandan Cassava Germplasm For Drought Tolerance. International Journal of Agriculture and Crop Sciences, 5(3):212-226.
Lakitan, B. 1997. Dasar-Dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 175 halaman. Lal, R. 1991. Current Research On Crop Water Balance And Implications For The Future. IAHS
Publ., 199:31-44. Lehane, J.J., dan W. J. Staple. 1965. Influence of soil texture, depth of soil moisture storage, and
rainfall distribution on wheat yields in southwestern Saskatchewan, Canadian Journal of Soil Science. 45 (2): 207 - 219, 10.4141/cjss65-029
Loaiciga, H. A. 2005. On the Probability of Droughts: The Compound Renewal Model. Journal of Water Resources Research, Vol. 41, W01009m doi: 10, 1029/2004/WR003075
Mamedov, A.I., G. J. Levy, I. Shainberg dan J. Letey. 2001. Wetting rate, sodicity, and soil texture effects on infiltration rate and runoff, Australian Journal of Soil Research. 39 (6): 1293 - 1305.
Marica, A. 2010. Short description of the CROPWAT model. http://agromet-cost.bo.ibimet.cnr.it/fileadmin/cost718/repository/cropwat.pdf. Diakses, 1 Juli 2010.
Maynard, G.H. dan D.M. Orcutt. 1987. The Physiology of Plants Under Stress. John Willey dan Sons, Inc, New York. 206 halaman.
Mazaheri, M.R. dan M. Mahmoodabadi. 2012. Study on infiltration rate based on primary particle size distribution data in arid and semiarid region soils, Arabian Journal of Geosciences. 5 (5): 1039 - 1046.
McGee, E.A., G. A. Peterson dan D. G. Westfall. 1997. Water storage efficiency in no-till dryland cropping systems, Journal of Soil and Water Conservation. 52 (2): 131-136.
Megawer, E.K., A.N. Sharaan dan A.M. EL-Sherif. 2010. Effect of Intercropping Patterns on Yield and its Components of Barley, Lupin or Chickpea Grown in Newly Reclaimed Soil. Egypt. J. of Appl. Sci., 25(9): 437-452.
Michael, A.M. 2008. Irrigation: Theory and Practice. Vikas Publishing House. New Delhi. 768 halaman.
Milly, P.C.D. 1994. Climate, interseasonal storage of soil water, and the annual water balance, Advances in Water Resources. 17 (1-2): 19 - 24.
Moriri, L.G. Owoeye dan I. K. Mariga. 2010. Influence of component crop densities and planting patterns on Maize production in dry land Maize/Cowpea intercropping systems. African Journal of Agricultural Research, 5(11):1200-1207.
Morison,J.I.L., N.R Baker, P.M Mullineaux dan W.J Davies. 2008. Improving water use in crop production, Phil. Trans. R. Soc. B 12 February 2008. 363 (1491): 639 - 658.
Mulebeke, R., G. Kironchi dan M.M. Tenywa. 2010. Enhancing water use efficiency of cassava and sorghum based cropping systems in drylands. Second RUFORUM Biennial Meeting 20 - 24 September 2010, Entebbe, Uganda
Munandar, S. 1994. Pengembangan Tataguna Air pada Lahan Kering sebagai Alternatif Penanggulangan Kekeringan. Prosiding Diskusi Panel. Antisipasi Kekeringann dan Penanggulangan Jangka Panjang. Sukamandi, 26 – 27 Agustus 1994. p. 49-66
Nassar N.M.A. dan R. Ortiz. 2007. Review Cassava Improvement: Challenges And Impacts. Journal Of Agricultural Science, 145:163–171.
Nel, A.A. 2009. Grain yield and rainfall use efficiency responses of maize and alternative rotating crops under marginal production conditions in the western Highveld of South Africa, South African Journal of Plant and Soil. 26 (3): 164 - 169.
Nielsen, D.C., M. F. Vigil, dan J.G. Benjamin. 2009. The variable response of dryland corn yield to soil water content at planting, Agricultural water management 96 (2009) 330–336
Nielsen, D.R., D. Kirkham dan W. R. van Wijk. 1959. Measuring Water Stored Temporarily Above the Field Moisture Capacity, Soil Science Society of America Journal. 23 (6): 408 - 412.
90
Njoku D.N. dan C.O. Muoneke . 2008. Effect Of Cowpea Planting Density On Growth, Yield And Productivity Of Component Crops In Cowpea/Cassava Intercropping System. Journal of Tropical Agriculture, Food, Environment and Extension, 7 (2):106 -113.
Noellemeyer, E., R. Fernández dan A. Quiroga. 2013. Crop and Tillage Effects on Water Productivity of Dryland Agriculture in Argentina, Agriculture 2013, 3: 1-11.
Noggle, G.R. dan G.J. Fritz.1993. Introductory Plant Physiology. Second Edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey. 627 halaman.
Obalum S.E., U.C. Amalu, M.E.Obi dan T. Wakatsuki. 2011. Soil Water Balance And Grain Yield Of Sorghum Under No-Till Versus Conventional Tillage With Surface Mulch In The Derived Savanna Zone Of Southeastern Nigeria. Expl Agric., 47(1):89–109.
Odofin A.J., N.A. Egharevba, A.N. Babakutigi dan P.C. Eze. 2012. Drainage Beyond Maize Root Zone In An Alfisol Subjected To Three Land Management Systems At Minna, Nigeria. Journal of Soil Science and Environmental Management, 3(9):216-223.
Odubanjo O.O., A.A. Olufayo dan P.G. Oguntunde. 2011. Water Use, Growth, and Yield of Drip Irrigated Cassava in a Humid Tropical Environment. Soil & Water Res., 6 (1):10–20.
Oguntundea dan M.O. Alatisea. 2007. Environmental Regulation And Modelling Of Cassava Canopy Conductance Under Drying Root-Zone Soil Water. Meteorological Applications, 14: 245–252.
Oldeman, L. R. 1975. An agroclimate map of java. Contribution Central Research Institute for Agriculture. Bogor. Indonesia. 17: 22
Oldeman, L. R., 1980: The agroclimatic classification of rice-growing environments in Indonesia. World Meteorological Organization; International Rice Research Institute: Proceedings of a symposium on the agrometeorology of the rice crop: 47-55.
Omonona, B.T dan A.O.Akinpelu. 2010. Water, Environment And Health: Implications On Cassava Production. Continental J. Agricultural Science, 4:29-37.
Pascale, S.D., L. D. Costa, S. Vallone, G. Barbieri dan A. Maggio. 2011. Increasing Water Use Efficiency in Vegetable Crop Production: From Plant to Irrigation Systems Efficiency, Hort Technology 21 (3): 301 - 308.
Pirastru, M. dan M.Niedda. 2013. Evaluation of the soil water balance in an alluvial flood plain with a shallow groundwater table, Hydrological Sciences Journal, 58 (4): 898 - 911.
Prijono, S. 2008. Evaluasi Kebutuhan Air Tanaman di 12 Kecamatan Wilayah Kabupaten Malang dengan CropWat for Windows. Jurnal Agritek. 16 (4): 600-780.
Prijono, S. 2009. Agrohidrologi Praktis. Cakrawala Indonesia. 168 halaman. Prijono, S. 2010. Model Neraca Lengas Lahan Kering: Penetapan Kalender Tanam Lahan Kering.
http://sugengprijono.files.wordpress.com/2010/01/makalah-das.pdf. Diakses 10 Agustus 2011.
Rahmianna, A.T. dan E. Yusnawan. 2009. Pod Yield And Kernel Quality Of Peanut Grown Under Two Different Irrigations And Two Harvest Times. Indonesian Journal Of Agriculture, 2(2):103-109.
Rawls,W.J., Y.A. Pachepsky , J.C. Ritchie, T.M. Sobecki, H. Bloodworth. 2003. Effect of soil organic carbon on soil water retention, Geoderma 116 (2003): 61–76.
Reichert, J. M., j.A. Albuquerque, D.R. Kaiser, D.J. Reinert, F.L. Urach dan R. Carlesso. 2009. Estimation of water retention and availability in soils of Rio Grande do Sul, Rev. Bras. Ciênc. Solo [online]. 33 (6): 1547 - 1560.
Reinhart, K. G. dan R.E.Taylor. 1954. Infiltration and available water storage capacity in the soil, Transactions, American Geophysical Union. 35 (5): 791 - 795
Rockstron, J. 2001. On food and nature in water scarce Tropical countries, Journal of Land and Water International. 99: 4-6.
Sahindomi, B., S.Prijono, Ariffin Ms. dan Soemarno. 2013. The Effect of Soil Management on the Availability of Soil Moisture and Maize Production in Dryland. International Journal of Agriculture and Forestry, 3(3):77-85.
Saleh, E. 2000. Perubahan kadar air tanah sebagai fungsi kedalaman dan waktu. Artikel. http://www.ilmutanah.unpad.ac.id. Diakses 10 Mei 2011.
Santosa, I G.N., 2006. Perencanaan Pola Tanam Berdasarkan Kebutuhan dan Persediaan Air pada Lahan Kering di Bali Utara. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
91
Santosa, I G.N., G.M. Adnyana dan I K.K. Dinata, 2011.Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Ketahanan Pangan Beras. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian. Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Bengkulu 7 Juli 2011.
Saxton, K.E. dan W. J. Rawls. 2006. Soil Water Characteristic Estimates by Texture and Organic Matter for Hydrologic Solutions, Soil Science Society of America Journal. 70 (5) 1569-1578.
Scholes, R. J., R. Dalal dan S. Singer. 1994. Soil Physic and Fertility. The Effect of Water, Temperature and Texture. The Biological Management of Tropical Soil Fertility. h. 117-136
Setyana, S. 1983. Perkembangan penerapan pola tanam dan pola usaha tanam dalam usaha intensifikasi. Risalah Lokakarya Teknologi dan Dampak Pola Tanam Usaha Tani, Bogor 20-21 Juni 1983. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
Seyaningsih, E. dan Soemarno. 2009. Pengelolaan sumberdaya lahan dan air menunjang ketahanan pangan.PPSUB. Malang. 47 halaman.
Shehata, S.M., A. M. Safaa dan S. S. Hanan. 2007. Improving calcareous soil productivity by integrated effect of intercropping and fertilizer. Res. J. Agric. and Biolo. Sci. 3(6): 733-739.
Shiklomadov, I.A., V.I. Babkiu dan Z.A. Balouishukov. 2011. Water Resources,Their Use, and Water Availability in Rusia: Current Estimates and Forecasts. Journal of Water Resources (38) no. 2, p 139-148
Singa, R.M. dan P.R. Prabhu. 1998. Profile Water Storage Capacity of Soils of Scarce Rainfall Zone of Andhra Pradesh, Journal of the Indian Society of Soil Science. 46 (3): 351 - 353.
Singh, A., N. Aggarwal, G. S. Aulakh dan R. K. Hundal. 2012. Ways to Maximize the Water Use Efficiency in Field Crops – A review, Greener Journal of Agricultural Sciences. 2 (4): 108 - 129.
Sir Elkhatim H. A., A.W Abdelhadi dan S.A. Hussein. 2007. Water Requirements of the Main Crops in the Gezira. Proceedings of the Meetings of the National Crop Husbandry Committee 41th (2007) pp. 45 - 61.
Smith M. 1992. CROPWAT, a computer program for irrigation planning and management, Irrigation and Draenage Paper 46, FAO, Rome, Italy. 133 halaman.
Smith, M. 2000. The Application of Climatic Data for Planning and Management of Sustainable Rainfed and Irrigated Crop Production. Agricultural and Forest Meteorology. 103 (2000) : 99 -108.
Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Managemen PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 234 halaman.
Somaatmadja, S., M. Ismunadji, Sumarno, S. Mahyudin, S. O. Manurung dan Yuswadi. 1985. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Sosiawan, H. 2012. Optimalisasi Penggunaan Air Hujan Dan Sistem Pemanenan Aliran Permukaan. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=164. Diakses 15 Agustus 2013.
Stroosnijder, L. dan Widianto. 1985. Agrohydrology, Komunikasi Ilmu Tanah. Unibraw Nr. 4. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 190 halaman.
Suhardi, S. S., S.A. Sodjoko, D.H.D. Minarningsih dan A. Widodo. 1999. Hutan dan kebun sebagai sumber pangan nasional. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Departemen Pertanian. Kantor Menteri Negara dan Hortikultura. Jakarta. 147 halaman
Sulliva, P. 2003. INTERCROPPING PRINCIPLES AND PRODUCTION PRACTICES. NCAT Agriculture Specialist. http://attra.ncat.org/attra-pub/PDF/intercop.pdf Diakses 20 Agustus 2013.
Thimme G. P., S.B.Manjunaththa , T.C.Yogesh dan S.A. Satyareddi. 2013. Study on Water Requirement of Maize (Zea mays L.) using CROPWAT Model in Northern Transitional Zone of Karnataka, Journal of Environmental Science, Computer Science and Engineering & Technology. 2 (1): 105 -113 .
Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Kerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertananian.
92
Timm, L.C., D. Dourado-Neto , O. O. S. Bacchi, W. Hu, R. P. Bortolotto, A. L. Silva, I. P. Bruno dan
K. Reichardt. 2011. Temporal variability of soil water storage evaluated for a coffee field, Soil Research. 49 (1): 77 - 86.
Utomo, W.H. 1985. Dasar-Dasar Fisika Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Van Duivenbooden,N., M. Pala, C. Studer, C.L. Bielders, D.J. Beukes. 2000. Cropping systems and crop complementarity in dryland agriculture to increase soil water use efficiency: a review, NJAS - Wageningen Journal of Life Sciences. 48 (3): 213 - 236.
Van Hoof, W.C.H. 1987. Mixed Cropping of Groundnut and Maize in East Java. UPT. Perpustakaan Universitas Brawijaya. 156 halaman
Weldeslassie,T. A., W. Cornelis, J. Nyssen, B. Govaerts, D. Raes, M. Haile dan J. Deckers. 2011. Effect of conservation agriculture on soil water balance and crop yield for improved dryland farming on vertisols in Northern Ethiopia. International congress Water 2011 : Integrated water resources management in tropical and subtropical drylands. Mekelle, Ethiopia.
Willey, R.W. 1979. Intercropping-its importance and research needs part-1 competition and yield advantages Field Crops Res. 32: 1-10.
Wright, E. , M. K. V. Carr dan P. J. C. Hamer . 1997. Crop production and water-use. IV. Yield functions for sugarbeet, The Journal of Agricultural Science. 129 (01): 33 - 42.
Yonky I., I.B.Pramono dan S.A. Cahyono. 2003. Konservasi Air Lahan Kering sebagai Alternatif Pengembangan Lahan Kering. Prosiding Hasil Litbang Rehabilitasi Lahan Kering. Banjarnegara, 6 Desember 2003. h. 97-111
Zhao, B. Z., Xu F. dan Zhao Q. G. 1997. Influences of soil physical properties on water-supplying capacity, Pedosphere. 7 (4): 367 - 374.
Zhao, C dan Nan Z. 2007. Estimating water needs of maize (Zea mays L.) using the dual crop coefficient method in the arid region of northwestern China, African Journal of Agricultural Research 2(7): 325-333.
93