PENGGUNAAN RAGAM HIAS PELAMINAN TRADISIONAL
PADA ADAT PERKAWINAN DI DESA KUNGKAI
KABUPATEN MERANGIN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Sejarah Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
Oleh
EKA APRILIANI
NIM.AS.150485
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
iv
MOTTO
ب اَوَلَىْكَ بنَبءَبَاَ هِيْلَب عَنَيْفَلْب اَمَ عُبِتَّنَ لْابَىْبلُقَ اللهُ لَزَنْباَامَىْعُبِاتَّ مُهُلَ لَيْقِذَاِوَ
يَهْتَدُوْنَاَبَبؤُهُمْ لَب يَعْقِلُىْنَ شَيْئًب وَلَب (البقرة-٧١۰)
Artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang diturunkan Allah,
mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek
moyang kami (melakukannya). Padahal nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui apapun dan tidak mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah:170).
v
PERSEMBAHAN
Dengan segala puji syukur kepada Allah yang Maha Esa dan atas dukungan dan
do’a dari orang-orang tercinta, akhirnya skripsi ini dapat di selesaikan dengan
baik dan tepat waktunya. Oleh karena itu, dengan rasa bangga dan bahagia saya
haturkan rasa syukur dan terimakasih saya kepada:
Allah SWT, karena izin dan karuniannyalah maka skripsi ini dapat dibuat tepat
pada waktunya. Puji syukur yang tak terhingga pada Allah penguasa alam yang
meridho’i dan mengabulkan doa.
Kedua orang tua (Iswanto dan Sulastri), serta mbah uti (Sumini) dan Alm, mbah
kakung (Alm. Supardi) yang telah memberikan dukungan moral dan material
serta do’a yang tidak henti untuk kesuksesan saya, karena tiada kata seindah
lantunan do’a dan tiada do’a yang paling khusyuk selain do’a yang terucap dari
kedua orang tua, karena itu terimalah persembahan bakti dan cintaku untuk
kalian bapak ibu ku.
Bapak dan ibu dosen pembimbing, penguji dan pengajar yang selama ini yang
tulus dan ikhlas meluangkan waktunya untuk menuntun dan megarahkan saya,
memeberikan bimbingan dan pelajaran yang tiada ternilai harganya, agar saya
menjadi lebih baik. Terimkaasih banyak bapak dan ibu dosen, jasa kalian akan
selalu terpatri dihatiku.
Adik tersayang (Ardinsyah Dwi Tianto), serta keluarga besar yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu yang senantiasa memebrikan dukungan, semangat,
senyum dan do’a untuk keberhasilan ini. Cintamu adalah
kobaran semangat yang menggebu, terimkasih keluarga besarku.
vi
Sahabatku, Diki Agung Tristiyono, Nimas Aidzin Tiwandani, Vivin Verliyanti, dan
Surti Larasati,, yang senantiasa memberikan dukungan, tanpa kalian semua saya
tak kan mungkin sampai disini, terimakasih untuk canda tawa, tangis dan
perjuangan yang kita lewati bersama dan terimakasih untuk kenangan manis
yang telah kita ukir selama ini. Dengan perjuangan dan kebersamaan kita pasti
bisa. Semangat !!!
Teman seperjangan, Sejarah Peradaban Islam angkatan 2015, terimakasih untuk
memori yang kita rajut setiap harinya semasa perkuliahan, atas tawa yang setiap
hari kita miliki, dan atas solidaritas yang luar biasa. Sehingga masa perkuliahan
yang 4 tahun ini menjadi sangat berarti. Semoga saat-saat indah itu akan selalu
menjadi kenangan yang paing indah.
Terimakasih yang sebesar-besarnya untuk kalian semua, akhir kata saya
persembahkan skripsi ini untuk kalian semua, orang-orang yang saya sayangi.
Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna untuk kemajuan ilmu
pengetahuan yang akan datang. Aamiin.....
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan rahmat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang yang telah memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan serta
kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Penggunaan Ragam Hias Pelaminan Tradisional pada Adat Perkawinan di Desa
kunkai kabupaten Merangin”. Selanjutnya sholawat dan salam senantiasa
tercrahkan kepada Sang Baginda tercinta Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga,
sahabat, dan umat pengikutnya sampai hari kiamat.
Setelah melewati proses yang cukup panjang dan akhirnya penulis dapat
menyelesaskripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi untuk
memperoleh gelar Sarjana Humaniora Strata Satu pada Program Sejarah
Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
Peneliti menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak
mengalami kendala, namum berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai
pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi
tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan terimkasih kepada:
1. Yth. Bapak. Dr. H. Hadri Hasan, MA. Selaku Rektor UIN Sultha Thaha
Saifuddin Jambi.
2. Yth. Ibu Prof. Dr. Maisah, Selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Yth. Bapak Dr. Alfian S. Pd, M. Pd, Yth Bapak Dr. H. Muhammad Fadhil
M.Ag, Yth Ibu Raudhoh M.Pd.I selaku Dekan I, II dan III Fakultas adab
dan Humaniora UIN Sultha Thaha Saifuddin Jambi.
4. Yth. Kepada Bapak aliyas M.Fil.I Selaku Ketua Jurusan Sejarah
Peradaban Islam Fakultas Adab dah Humaniora.
viii
5. Yth. Ibu Mailinar S.Sos, M. Ud dan Bapak Aminuddin M. Fil. I selaku
pembimbing I dan pembimbing II.
6. Yth. Bapak dan Ibu selaku dosen fakultas Adab dan Humaniora UiN
Sullthan Thaha Saifuddin Jambi.
7. Para karyawan dan karyawati Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan
Thah Saifuddin Jambi yang telah bersusah payah memeberikan pelayanan
dan berbagai urusan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Kedua orang tua tercinta, yaitu ayah dan ibu (Iswanto dan Sulastri), mbah
uti tersayang (sumini) serta adik satu-satunya (Ardiansyah Dwi Tianto)
yang selalu mendo’akan saya sehingga saya bisa berada dan berproses
sampai ditahap ini dan bisa menyelesaikan skripsi saya dengan sebaik-
baiknya.
9. Teman-teman seperjuangan yang ikut berpartisipasi dalam proses
penilisan skripsi ini dan khususnya untuk teman-teman SPI angkatan 2015
yang telah memberikan support dan semangat sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan sebaik-baiknya.
10. Terimaksih untuk semua informan yeng telah mendukung dan membantu
dalam penyelesaian skripsi ini dan smeua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah memebrikan bantuan dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas jasa baik dan pengorbanan semuanya dan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua dengan harapan akan menjadi amal
ibadah bagi penulis. Aamiin Allahumma Aamiin...........
ix
ABSTRACT
Eka Apriliani, 2019, Use of Traditional Wedding Ornaments in Kungkai Village,
Merangin Regency, Thesis, Department of History of
Islamic Civilization, Faculty of Adab and Humanities,
Sulthan Thaha Saifuddin State Islamic University Jambi.
Advisors: (1) Mailinar S. Sos, M. Ud (2) Aminuddin, M. Fil.
I
The research entitled "The Use of Traditional Ornamental Variety in
Marriage Customs in Kungkai Village, Merangin Regency" raised the problem of
describing the reasons for the Kungkai villagers still maintaining traditional
wedding decorations. The research method used was descriptive qualitative with
the emic approach. The research subjects were 6 people. Respondents consisted
of 1 traditional figure and 5 user community traditional wedding decorations.
Data collection techniques in this study used guidelines for observation,
interviews and documentation. The results of the study indicate that the
traditional wedding decoration is a self-identity for the Kungkai villagers so that
the community still maintains it until now. The community factors still maintain it,
among others: (1) it is repersentative of symbols that are positively meaningful as
seen in each element of its decoration. (2) is a unifying tool, (3) preserving local
culture and (4) because of ancestral heritage. The conclusions in this study are
that every traditional wedding decoration contains a positive meaning that is
considered sacred to the community so that it is still maintained today.
Keywords: Usage, Ornamental Variety, Traditional Assurance, Kungkai
x
ABSTRAK
Eka Apriliani, 2019, Penggunaan Ragam Hias Pelaminan Tradisional di Desa
Kungkai Kabupaten Merangin, Skripsi, Jurusan Sejarah Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri sulthan Thaha
Saifuddin Jambi. Pembimbing: (1) Ibuk Mailinar S. Sos, M. Ud (2) Bapak
Aminuddin, M. Fil. I
Penelitian yang berjudul “Penggunaan Ragam Hias Pelaminan Tradisional
Pada Adat Perkawinan di Desa Kungkai Kabupaten merangin” mengangkat
masalah mendeskripsikan alasan masyarakat desa Kungkai masih
mempertahankan ragam hias pelaminan tradisional. Metode penelitian yang
digunakan bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan emik. Subjek penelitian
sebanyak 6 orang. Responden yang terdiri atas 1 orang tokoh adat dan 5 orang
masyarakat pengguna ragam hias pelaminan tradisional. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan pedoman observasi, wawancara dan
dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ragam hias pelaminan
tradisional ini merupakan identitas diri bagi masyarakat desa Kungkai sehingga
masyarakat masih mempertahankannya hingga sekarang. Adapun faktor-faktor
masyarakat masih mempertahankannya, antara lain: (1) merupakan repersentatif
dari simbol-simbol yang bermakna positif seperti yang terlihat pada setiap elemen
ragam hiasnya. (2) merupakan alat pemersatu, (3) melestarikan budaya lokal dan
(4) karena warisan leluhur. Adapun kesimpulan pada penelitian ini yaitu setiap
ragam hias pelaminan tradisional mengandung makna positif yang dianggap
sakral bagi masyarakat sehingga masih dipertahankan hingga sekarang ini.
Kata Kunci: Penggunaan, Ragam Hias, Pelaminan Tradisional, Kungkai
xi
HALAMAN JUDUL
NOTA DINAS..................................................................................................... i
PENGESAHAN.................................................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI................................... iii
MOTTO.............................................................................................................. iv
PERSEMBAHAN................................................................................................v
KATA PENGANTAR.......................................................................................vii
ABSTRAK.......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI.......................................................................................................xi
DAFTAR TABEL............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................7
C. Batasan Masalah........................................................................................7
D. Tujuan Penelitian........................................................................................7
E. Manfaat Penelitian......................................................................................8
F. Tinjauan Pustaka.........................................................................................9
BAB II KERANGKA TEORI
A. Pengertian Kebudayaan.............................................................................11
B. Pengertian Tradisi..................................................................................... 13
C. Pengertian Simbol..................................................................................... 15
D. Pengertian Makna.....................................................................................16
E. Pengertian Pelaminan.................................................................................17
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian.............................................................................. .20
B. Subjek Penelitian.......................................................................................20
C. Jenis dan Sumber Data...............................................................................21
D. Teknik Pengumpulan Data.........................................................................24
1. Observasi..............................................................................................24
2. Wawancara...........................................................................................25
xii
3. Dokumentasi.......................................................................................27
E. Teknik Analisis Data................................................................................27
1. Analisis Domain................................................................................ 28
2. Analisis Taksonomi........................................................................... 29
3. Analisis Komponensial.......................................................................29
4. Analisis Tema Budaya....................................................................... 30
F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data..................................................... .31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian......................................................... 35
1. Sejarah desa........................................................................................ 35
a. Pemilihan Nama Kungkai.............................................................35
b. Pembentukan Datuk Nan Balimo................................................36
c. Kedatangan Belanda......................................................................37
2. Keadaan Penduduk.............................................................................39
a. Keadaan Geografis.........................................................................39
b. Kondisi Demografi.........................................................................41
c. Sistem kekerabatan........................................................................ 42
d. Pendidikan..................................................................................... 42
e. Kesehatan...................................................................................... 44
f. Agama........................................................................................... 45
g. Sistem mata pencaharian............................................................... 47
B. Hasil dan Pembahasan...............................................................................49
1. Sejarah Ragam Hias Pelaminan Tradisional........................................49
2. Prosesi Penggunaan Pemasangan Ragam Hias Pelaminan
Tradisional........................................................................................... 55
3. Fakot-faktor Masyarakat Masih Mempertahankan Ragam Hias
pelaminan Tradisional........................................................................ 65
a. Ragam Hias Pelaminan Tradisional merupkan representatif dari
simbol-simbol yang bermakna positif........................................... 65
b. Ragam Hias Pelaminan Tradisional Sebagai alat Pemersatu........ 76
c. Melestarikan Budaya Lokal...........................................................78
xiii
d. Penghormatan Terhadap Leluhur...................................................80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................82
B. Saran...........................................................................................................86
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran 1 : Foto Dokumentasi
Lampiran 2 : Instrumen Pengumpulan Data
Lampiran 3 : Kartu Bimbingan Skripsi
Lampiran 4 : Riwayat Hidup
xiv
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 jarak tempuh...........................................................................40
2. Tabel 2 jumlah penduduk desa Kungkai..............................................41
3. Tabel 3 jenjang pendidikan masyarakat Kungkai................................43
4. Tabel 4 tenaga kesehatan.....................................................................44
5. Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan penganut agama.....................45
6. Tabel 6 Sarana ibadah..........................................................................46
7. Tabel 7 mata pencaharian....................................................................48
xv
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 Entai kain..........................................................................67
2. Gambar 2 Tirai/langit-langit..............................................................69
3. Gambar 3 Tirai talam.........................................................................71
4. Gambar 4 Kudo-kudo..........................................................................73
5. Gambar 5 Tiang bantal.......................................................................75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang multikultural1, dalam hal ini
multikultural dalam hal beragam jenis ras, agama, bahasa, suku bangsa, bahkan
adat istiadat serta tradisi. Tradisi yang penulis maksudkan adalah tradisi dalam hal
proses perkawinan mengunakan ragam hias pelaminan tradisional. Dimana
tradisi merupakan perwujudan dari kebudayaan indonesia yang multikultural.
Tradisi merupakan aktivitas budaya yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
masyarakat. Sehingga tradisi merupakan identitas bagi pemilik budaya. Dalam
konteks ini kebudayaan diartikan sebagai identitas diri dari suatu kelompok
pemilik budaya.
Menurut Clyde Kluckhon kebudayaan adalah total dari cara hidup suatu
bangsa, warisan sosial yang diperoleh individu dari grubnya.2 Kata Ruth
Benedict, kebudayaan merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan tertentu
yang terungkap dalam aktivitas, sehingga pada hakekatnya kebudayaan itu sesuai
apa yang dikatakan Ashley Montagu, yaitu a way of life, cara hidup tertentu yang
memancarkan identitas tertentu pula pada suatu bangsa. Dapat juga dikemukakan
1 Pandangan megesampingkan perbedaan dalam kehidupan masyarakat yang
mementingkan tujuan hidup bersama dalam menciptakan kedamaian, ketentraman, dan
membentuk [ersatuan serta kesatuan. Perbedaan adalah hal yang wajar yang harus diterima oleh
semua golongan demi menghindari dampak dinamika kelompok sosial dalam masyarakat. 2 Rafael Raga Maran Manusia dan Kebudayaan dalam Prepektif Ilmu Budaya Dasar
(jakarta: Rineka Cipta, 2007) Hlm. 26
2
Kebudayaan adalah keseluruhan proses dari hasil perkembangan manusia
yang disalurkan dari generasi ke generasi untuk kehidupan manusia yang lebih
baik.3
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa, kebudayaan itu
mempunyai wujudnya, artinya kebudayaan diartikan sebagai tradisi yang
disalurkan dari generasi ke generasi untuk mempertahankan kehidupan yang lebih
baik. Karena secara umum kebudayaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Kebudayaan mempunyai wujud salah satunya adalah
kebudayaan sebagai aktivitas atau cara hidup yang dijadikan sebagai identitas diri
bagi suatu kelompok.
Menurut para ahli, setiap kebudayaan pada umumnya mempunyai paling
sedikit tiga wujud, yaitu: Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu himpunan
gagasan. Kedua, wujud kebudayaan sebagai jumlah perilaku yang berpola. Ketiga,
wujud kebudayaan sebagai sekumpulan benda atau artifacts. Wujud pertama
adalah wujud yang paling abstrak. Sebagai suatu himpunan kebudayaan yang
tidak dapat dilihat atau diamati, karena tersimpan dalam kepala orang yang
dibawa kemanapun ia pergi, gagasan ini disebut cultural system. Dalam wujudnya
yang kedua kebudayaan disebut social system atau sistem sosial, sedang wujud
yang ketiga adalah kebudayaan fisik, physical culture.4 Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa, tradisi sebagai wujud kebudayaan yang kedua
merupakan tindakan berpola dari manusia yang terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi, dan berhubungan satu sama lain.
3 Dr. Hans J. Daeng Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Hlm. 45 4 Koentjaraningrat Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Hlm. 152
3
Tradisi adalah kebiasaan tradisional masyarakat yang dilakukan secara
turun temurun sejak lama.5 Tradisi dapat dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang
tentunya sering terlihat dalam aktivitas kehidupan sosial budaya masyarakat.
Sehingga membentuk pola adat-istiadat serta kebiasaan yang dilakukan suatu
masyarakat dan terus dipertahankan, sehingga tradisi membudaya dalam
kehidupan bermasyarakat. Tradisi merupakan warisan turun temurun dari orang-
orang terdahulu dan juga tentunya memiliki maksud dan tujuan tersendiri.
Seperti contoh yang sering kita lihat adalah tradisi masyarakat jawa dalam
penghormatan terhadap orang yang meninggal, tradisi dalam merayakan kelahiran
seorang bayi, bahkan dalam sistem pernikahan juga terdapat tradisi. Upacara
pernikahan merupakan peristiwa yang sangat penting bagi seorang manusia.6
Pernikahan di Indonesia dilakukan oleh berbagai suku dan bangsa, yang tentunya
memiliki cara yang berbeda-beda dengan suku yang lainnya yang diikuti dengan
tradisi-tradisi yang mengikat. Seperti pernikahan yang dilakukan oleh suku Bugis
Wajo.
Masyarakat suku Bugis Wajo yang mewajibkan di dalam tradisi
pernikahannya ada makanan seperti beppa pute, yang memiliki fungsi sebagai
wujud doa-doa untuk kedua mempelai agar tercapai keluarga yang harmonis.7
Kemudian adat sebelum acara pernikahan pengantin yang mana pengantin
perempuan ditimbang terlebih dahulu dengan pohon/batang pinang yang
5 Lerina Wina, Garapan Penyajian Upacara Siraman Calon Pengantin Sunda Adat
Sunda Grup Swari Laksmi Kabupaten Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia, 2015)
http://ejournal.upi.edu/index.php/antomusik/article/viuw/2249 6 Kemas Arsyad Somad, Mengenal Adat Jambi dalam Prespektif Modern (Dinas
Pendidikan Provinsi Jambi, 2002) Hlm. 80 7 Wiwik Ariska, Makna Simbolis Beppa Pute Dalam Prosesi Pernikahan Suku Bugis
Wajo, Skripsi (Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2015) Hlm. 13
4
digulung/dibungkus menggunakan kain panjang. Sebelum proses penimbangan
pengantin berlangsung, terlebih dahulu pengantin perempuan diarak
menggunakan kapal-kapalan dan mengelilingi timbangan sebanyak 7 kali. Tradisi
ini bermakna sebagai simbol kemakmuran, masa peralihan dan sebagai petuah
bagi kebahagiaan hidup keduanya.8
Dalam sistem perkawinan salah satunya dalam hal ragam hias pelaminan,
ragam hias pelaminan merupakan aksesoris-aksesoris yang dijadikan pelengkap
dalam satu pelaminan yang nantinya akan digunakan sebagai singgahsana
sepasang pengantin. Menurut Zuraima (1983: 60) “Pelaminan adalah tempat
duduk sepasang pengantin waktu bersanding yang pada umumnya terletak pada
ruangan tengah.9
Dari definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa pelaminan adalah
tempat pengantin dipersandingkan pada saat melaksanakan upacara pernikahan.
Pelaminan merupakan aspek penting dalam pernikahan karena pelaminan adalah
sesuatu yang menarik mata dan juga sebagai pelengkap dalam sebuah acara
pernikahan. Dalam pelaminan terdapat berbagai aksesoris-aksesoris ragam hias
yang merupakan satu kesatuan dalam pelaminan.
Seperti contoh pelaminan dalam adat masyarakat Minangkabau.
Pelaminan memegang peran penting dalam upacara adat di Minangkabau.
Mulanya pelaminan digunakan sebagai tempat terhormat bagi para raja atau
bangsawan Minangkabau, tetapi sekarang sudah banyak dipakai oleh masyarakat
8 Zamri, Study Makna Prosesi Adat Menimbang Pengantin Dalam Sistem Pernikahan di
Desa Sekernan Kecamatan Sekernan Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi. Skripsi
(Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2018) Hlm. 64 9 Zuraima 1983, Seni Hias Pakaian Adat Wanita dan Pakaian Pengantin Wanita Jambi.
DEPDIKBUD. Proyek Pengembangan Kesenian Jambi.
5
umum sebagai perangkat upacara perkawinan. Pelaminan bagi masyarakat
Minangkabau tidak hanya dapat dilihat sebagai suatu hiasan dekorasi semata,
tetapi merupakan bagian yang sakral dalam sebuah upacara adat perkawinan.
Secara visual pelaminan Minangkabau memiliki nilai estetika yang tinggi. Karena
setiap komponennya memiliki bentuk yang variatif dan di hiasi dengan sulaman
emas. Sulam pelaminan dipenuhi dengan corak tradisional, bisa diamati dari
bentuk yang ditampilkan. Penerapan ragam hias tradisional Minangkabau pada
setiap produk, tidak mengalami perubahan dengan ragam hias yang dipakai dalam
pembuatan sulam pelaminan. Ragam hias yang diterapkan pada pelaminan
Minangkabau merupakan ragam hias tradisional yang bersifat turun temurun.
Jenis dan bentuk ragam hias yang ditampilkan merupakan warisan yang diterima
oleh perajin terdahulu.10
Kemudian dalam pelaminan adat tardisional Aceh Besar motif-motif yang
menghiasi pelaminan adalah motif-motif yang digabungkan dari satu daerah
dengan daerah lainnya. Modifikasi telah banyak terjadi pada pelaminan saat ini
ialah dari segi warna, dan juga bentuk. Warna pelaminan yang digunakan
sekarang ini sudah banyak berkembang dibandingkan dengan warna zaman
dahulu. Sementara itu ditinjau dari segi bentuk, pelaminan sekarang ini juga telah
mengalami perubahan bentuk yang lebih beraneka ragam. Jika pada zaman
10
Nofi Rahmanita, Pelaminan Dalam Adat Masyarakat Minangkabau (Institut Seni
Indonesia Padang Panjang, 2016) Hlm. 39
6
dahulu, pelaminan hanya berbentuk persegi panjang, berbeda halnya dengan
pelaminan saat ini yang lebih bervariasi dari segi bentuknya.11
Namun berbeda halnya dengan masyarakat desa Kungkai Kabupaten
Merangin yang kaya akan budayanya, salah satunya adalah memiliki tradisi
penggunaan ragam hias pelaminan tradisional yang sudah digunakan sejak orang-
orang terdahulu hingga membudaya sampai sekarang ini. Ragam hias pelaminan
tradisional ini merupakan identitas masyarakat desa Kungkai. Meskipun saat ini
sudah begitu banyak bermunculan pelaminan-pelaminan bergaya modern yang
sering kita lihat diacara pernikahan yang tidak memperdulikan makna yang
melekat pada pelaminan itu sendiri, tetapi masyarakat desa Kungkai dari awal
hingga sekarang masih mempertahankan model ragam hias pelaminan tradisional
ini. Berdasarkan data wawancara penulis, data awal terdapat hal-hal yang
dikahawtirkan kalau tidak melanjutkan tradisi ini. Oleh karena itu, masyarakat
desa Kungkai masih mempertahankan serta menggunakan ragam hias tersebut
pada adat perkawinanya. Dari sinilah penulis tertarik akan mengetahui alasan
masyarakat desa Kungkai masih mempertahankan ragam hias pelaminan
tradisional ini. Oleh karena itu peneliti megajukan sebuah masalah “Penggunaan
Ragam Hias Pelaminan Tradisional Pada Adat Perkawinan di Desa Kungkai
Kabupaten Merangin”
11
Nazirah, Nilai Simbolis Pada Ragam Hias Pelaminan Tradisional Aceh Besar (Skripsi,
Fakultas Keguruan dan Kesejahteraan Keluarga Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh,
2015) Hlm. 43
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, agar tidak terjadi kerancauan dalam
skripsi nantinya, maka penulis membatasi permasalahan dengan rumusan masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana sejarah penggunaan ragam hias pelaminan tradisional
pada adat perkawinan di desa Kungkai Kabupaten Merangin?
b. Bagaimana prosesi penggunaan pemakaian ragam hias pelaminan
tradisional pada adat perkawinan didesa Kungkai Kabupaten
Merangin?
c. Mengapa masyarakat desa Kungkai masih mengunakan ragam hias
pelaminan tradisional pada adat perkawinan didesa Kungkai
Kabupaten Merangin?
C. Batasan Masalah
Untuk mempermudah penulis dalam melakukan pengumpulan data di
lapangan dan agar tidak melebarnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
maka kajian tentang penggunaan ragam hias pelaminan ini perlu dilakukan
pembatasan masalah, di mana penulis hanya membahas tentang Penggunaan
Ragam Hias Pelaminan Tradisional Pada Adat Perkawinan didesa Kungkai.
D. Tujuan dan Manfaat
Sebagaimana tujuan yang ingin di capai dari penelitian ini, maka manfaat
yang dapat penulis harapkan adalah:
8
a. Untuk mengetahui bagaimana sejarah awal mula digunakannya
ragam hias pelaminan tradisional pada adat perkawinan di desa
Kungkai kabupaten Merangin.
b. Untuk mengetahui faktor maupun alasan masyarakat Kungkai masih
mempertahankan ragam hias pelaminan tradisional pada adat
perkawinan di desa Kungkai Kabupaten Merangin.
c. Untuk mengetahui bagaimana prosesi permulaan penggunaan ragam
hias pelaminan tradisional pada adat perkawinan di desa Kungkai
Kabupaten Merangin.
d. Menemukan model-model ragam hias pelaminan yang ada di Jambi.
E. Manfaat Penelitian
Sebagai tujuan yang ingin di capai dari penelitian ini, maka manfaat
penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut:
a. Untuk menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman bagi
penulis khususnya serta bagi pembaca pada umumnya.
b. Untuk memperkaya tulisan mengenai tradisi maupun budaya yang
terdapat di Provinsi Jambi
c. Untuk menambah ilmu penulis serta penerapan ilmu dan teori yang
telah dipelajari.
d. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Humaniora
pada Jurusan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
9
F. Kajian Pustaka
Tinjauan pustaka ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran
yang jelas tentang hubungan topik yang diteliti dengan penelitian sejenisnya, yang
pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya agar tidak ada pengulangan. Adapun
skripsi yang berkaitan dengan judul penelitian kali ini yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan
kantor Wilayah Provinsi Jambi Proyek Pengembangan kesenian Jambi
yang berjudul Seni Hias Pakaian Wanita dan pakaian Pengantin jambi,
yang mana di dalamnya membahas mengenai pakaian penduduk daerah
jambi merupakan pakaian melayu serumpun yang berasal dari nenek
moyang zaman terdahulu. Dan juga mengenai pakaian penganten terliht
jugalah kesamaan dan kemiripannya biarpun bila diperhatikan satu
persatu akan terlihat perbedaannya. Demikian juga tentang pengertian
bagi orang-orang yang mengetahui tentang arti ragam hias
pengantennya.12
2. Skripsi Nazirah, 2016 mengenai Nilai Simbolis Pada Ragam Hias
Pelaminan Tradisional Aceh Besar hasil penelitiannya menunjukkan
pelaminan tradisional aceh besar banyak dikombinasikan dengan ragam
hias dari daerah aceh lainnya. ragam hias motif aceh besar yang sering
dijumpai pada pelaminan tradisional aceh besar ialah ragam hias mtif
12
Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan kantor Wilayah Provinsi Jambi Proyek
Pengembangan kesenian Jambi, 1983. Hlm, 107-109
10
yang berbentuk suluran (tumbuh-tumbuhan) yang mengandung makna
kekayaan alam dan ketentraman didaerah mereka.
3. Skripsi Dastaty Maydayusi mengenai Studi Tentang Pelaminan di
Kecamatan Kota Baru Kota Jambi yang mana didalamnya membahas
mengenai bagian pelaminan di kecamatan kota baru terdiri dati tangga,
tawing, atap, kembang telor, buah buntun, ombak-ombak, kampek,
lidah-lidah, payung kuning, dan pagar tenggalung yan makan
didalamnya terdapat makna tertentu. Hal ini dijelaskan oleh Herman
Basir yang mengatakan: “Bagian pelaminanitu ada 2 tingkatan misalnya
untuk rakyat biasa itu ada 3 tingkat, dan untuk orang besar 5 tingkat.
Sedangkan tiang yang digunakan sesuai dengan tingkatan untuk tingkat
3 menggunakan tiang 4, untuk tiang 7 menggunakan tiang 8. Buah
buntun terbuat dari semaca gelas kaca yang artinya memakna
kemamkuran, kembang telor yang merupakan cendara dari hati
perempuan.13
13 Dastaty aydayusi, Studi Tentang Pelaminan Di Kecamatan Kota Baru Kota Jambi
(Universitas Negeri Padang: Program Studi Pendidikan Kesejahteraan Kluarga, 2015)
11
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kebudayaan
Kebudayaan dan manusia mempunyai hubungan timbal balik.
Kebudayaan tidak akan ada tanpa masyarakat yang bertindak sebagai pendukung
kebudayaan itu. Begitupula masyarakat yang utuh tidak akan terjadi tanpa
kebudayaan yang berfungsi sebagai pemberi semangat kelompok sehingga
memungkinkan anggota masyarakat melakukan kerja sama satu sama lain.
Kebudayaan juga dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dari generasi
kegenerasi berikutnya.
Menurut Clyde Kluckhon kebudayaan adalah total dari cara hidup suatu
bangsa, warisan sosial yang diperoleh individu dari grubnya.14
Suatu kebudayaan
dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara
berperilaku (artinya kebiasaan) yang dipelajari yang pada umumnya dimiliki
bersama oleh warga negara dari suatu masyarakat.15
Kebudayaan dipandang
sebagai warisan tradisi yang dianggap secara turun temurun sebagai cara dan
aturan hidup manusia, seperti cita-cita, nilai dan tingkah laku. Kebudayaan juga
dianggap sebagai langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya
dan membicarakan pola-pola serta fungsi dari kebudayaan itu sendiri.16
14 Rafael Raga Maran Manusia dan Kebudayaan dalam Prepektif Ilmu Budaya Dasar
(jakarta: Rineka Cipta, 2007) Hlm. 26 15 T.O Ihromi Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2017) Hlm. 26 16
Suwardi Endraswara,Metodologi Penelitain Kebudayaan (Yogyakarta: gajah Mada
University Press, 2006) Hlm. 04
12
Secara umum, kebudayaan mempunyai 3 wujud yaitu: Pertama, wujud
kebudayaan sebagai suatu himpunan gagasan. Kedua, wujud kebudayaan sebagai
jumlah perilaku yang berpola. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai sekumpulan
benda atau artifacts. Pertama, merupakan wujud yang paling abstrak. Sebagai
suatu himpunan kebudayaan yang tidak dapat dilihat atau diamati, lokasinya ada
didalam kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat
tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Para ahli antropologi dan sosiologi
menyebut sistem ini dengan sistem budaya atau cultural system. Kedua,
merupakan wujud kebudayaan yang disebut social system atau sistem sosial,
mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama
lain. Sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi disekeliling kita sehari-hari, bisa
diobservasi dan di foto. Wujud yang ke tiga, adalah kebudayaan fisik. Barupa
seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat dan difoto.17
Dari beberapa pengertian di atas mengenai kebudayaan, penulis
berkesimpulan bahwa kebudayaaan atau wujud kebudayaan merupakan sesuatu
yang sangat kompleks, ada ide, gagasan, perilaku, aktivitas terpola dan benda-
benda yang ketiga wujud ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Maka posisi kebudayaan yang penulis teliti adalah berupa wujud kebudayaan
sebagai sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia berinteraksi,
17 Koentjaraningrat Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Hlm. 152
13
atau sering disebut dengan tradisi, yang mana apabila tradisi ini dihilangkan maka
akan hilang pula wujud kebudayaannya.
B. Tradisi
Tradisi merupakan bagian dari kebudayaan. Karena tradisi termasuk salah
satu wujud dari kebudayaan, yaitu wujud kebudayaan yang sering di sebut dengan
sistem sosial. Tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi
bagian serta kebiasaan dari kehidupan suatu kelompok.
Tradisi adalah kebiasaan tradisional masyarakat yang dilakukan secara
turun temurun sejak lama.18
Menurut E. B Taylor sebuah tradisi memiliki
beberapa macam makna yang meliputi, kepercayaan, kesenian, keilmuan, hukum,
moral, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota msyarakat.19
Dari berbagai pengertian di atas mengenai tradisi, penulis menyimpulkan
bahwa tradisi merupakan kebiasaan-kebiasaan turun temurun yang lama kelamaan
akan menjadi kebiasaan yang baku bagi masyarakat penganutnya dan memiliki
makna tersendiri dari setiap tradisi yang ada dalam masyarakat. Sama halnya
tradisi penggunaan ragam hias pelaminan tradisional oleh masyarakat Kungkai,
yang mana setiap ragam hias pelaminanya mempunyai makna tersendiri sehingga
kebiasaan ini menjadi tradisi yang turun temurun hingga sekarang.
18 Lerina Wina, Garapan Penyajian Upacara Siraman Calon Pengantin Sunda Adat
Sunda Grup Swari Laksmi Kabupaten Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia, 2015)
http://ejournal.upi.edu/index.php/antomusik/article/viuw/2249 19
M Setiadi Elly, Kama A Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial Budaya Dasar (Jakarta:
Prenamedia group, 2006), Hlm. 27
14
Tradisi dan budaya memiliki suatu keterikatan (hubungan) satu sama lain.
Budaya merupakan hasil dari kegiatan manusia. Apabila dilakukan secara terus
menerus, kegiatan ini menghasilkan sebuah adat kebiasaan. Kemudian, adat
kebiasaan ini akan menjadi sebuah tradisi dari generasi ke generasi apabila telah
melalui proses yang cukup lama.
Skema 1: Hubungan tradisi dengan kebudayaan
mayarakat
kebudayaan
pemilik
Manusia
Wujud
kebudayaan
Gagasan/ide
Perilaku/aktivitas
Benda hasil budaya
Tradisi
15
C. Simbol
Simbol dalam budaya bagian dari komunikasi. Pada dasarnya simbol dapat
dimaknai baik dalam bentuk bahasa verbal maupun non verbal pada
pemaknaannya dan wujud nyata dari interaksi simbol ini terjadi dalam kegiatan
komunikasi.
Bahasa berbeda sifatnya dari semua sistem komunikasi dengan hewan,
berhubungan dengan bahasa bersifat simbolis, artinya suatu perkataan mampu
melambangkan arti apapun, walaupun hal atau barang yang dilambagkan artinya
oleh kata itu tidak hadir.20
Simbol atau lambang sebagai sarana mediasi untuk
membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan
keyakinan yang dianut.21
Menurut Litle Jhon simbol adalah bahasa rupa yang bisa
memiliki banyak makna.22
Simbol dapat mengungkapkan sesuatu yang sangat berguna dan penting
dalam berkomunikasi. Simbol adalah sesuatu yang dapat mengaapresiasikan atau
memberikan makna. Simbol ini merupakan sekumpulan teori tentang bagaimana
tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi
diluar tanda-tanda tersebut.
Dengan demikian, proses komunikasi dapat pula menjadi sarana yang
digunakan untuk memperkenalkan sesuatu kepada pihak lain. Yang nantinya akan
berguna untuk pewaris suatu kebudayaan, karena dengan simbol inilah kita dapat
20 T.O Ihromi Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 1980) Hlm. 25 21 Soejono Soekanto Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)
Hal. 187 22
Rafael Raga Maran Manusia dan Kebudayaan dalam Prepektif Ilmu Budaya Dasar
(jakarta: Rineka Cipta, 2007) Hlm. 43
16
meneruskan atau menerima keterangan-keterangan dari sesuatu. Simbol
digunakan untuk memaknai dari sebuah objek. Perihal simbol ini menyangkut
simbol verbal yang disampaikan dengan menggunakan bahasa dan juga lambang
yang diperlihatkan melalui kebendaan, warna, dan hal yang menunjang.
Dengan demikian penulis membuat suatu kesimpulan awal bahwa pada
setiap ragam hias pelaminan tradisional yang ada di desa Kungkai Kabupaten
Merangin, yang mana setiap ragam hiasnya merupakan simbol dari orang-
terdahulu untuk menyampaikan sebuah pesan yang di dalamnya mengandung
makna sehingga aksesoris-aksesoris ragam hiasnya dijadikan pedoman oleh
masyarakat karena aksesoris tersebut mengandung makna posotif untuk kebaikan
kepada kedua mempelai yang dapat dilihat pada setiap dekorasi pelaminanya.
D. Makna
Berbicara mengenai makna, sudah banyak kalangan-kalangan ilmu sosial
yang membahasnya. Litle Jhon mengatakan makna yang dimiliki bersama
masyarakat merupakan suatu representatif dari sebuah objek, kejadian-kejadian
atau kondisi dari sebuah tanda. Dimana tanda digunakan untuk mendudukkan atau
menjelaskan sesuatu yang ada didalam fikiran manusia atau masyarakat. Makna
merupakan artian dari sebuah objek yang sengaja diberikan oleh masyarakat
pemberi makna tersebut, untuk membawakan suatu pesan. Makna tidak bisa
17
muncul dengan sendirinya, karena makna berasal dari hasil proses negosiasi
melalui penggunaan bahasa.23
Pengetahuan kebuudayaan lebih dari satu kumpulan simbol, bauk istilah-
istilah rakyat maupun simbol-simbol lain. Semua simbol baik kata-kata yang
terucap, suatu simbol atau gerak tubuh semuanya merupakan simbol.24
Dari
penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa makna merupakan pengertian
yang diberikan kepada sesuatu.
E. Pelaminan
Perkawinan merupakan ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai
pasangan suami isteri dengan tujuan melanjutkan keturunan serta membentuk
keluarga yang bahagia, sakinah, mawadah dan warohmah. Seperti kodrat manusia
sebagai mahkluk sosial. Manusia sudah ditakdirkan untuk saling melengkapi satu
sama lain.
Allah berfirman dalam Q.S Ad-Dzariyat/51.49
تَدَ كَّرُ وْنَ لَعَلَّكُمْ زَوْجَيْنِ خَلَقْنَ شَيْئٍ كُلِّ وَ مِن
Artinya:
“Dan segala sesuatu itu kami (Allah) jadikan berpasang-pasangan, agar
kamu semua berfikir”
Pernikahan tidak hanya melibatkan laki-laki dan perempuan saja. Melainkan
kerabat kedua belah pihak dengan tujuan memperbaharui dan memperkuat
23
Windri Hartika Makna Tradisi Selapanan pada Masyarakat Jawa di Desa Gedung
Agung di Kecamatan jati Agung Kabupaten Lampung Selatan (Skripsi, 2016) Hal17 24 James P Spradley Metode Etnografi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006) Hlm. 135
18
hubungan keduanya. Pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja
berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Adat” dan
sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan keluarga.
Yang dimaksud dengan adat perkawinan adalah segala adat dan kebiasaan
yang lazim dilakukan dalam suatu masyarakat untuk mengatur masalah-masalah
yang berhubungan dengan perkawinan.25
Pernikahan tidak hanya mengikat hubungan antara seorang laki-laki,
melainkan memperkuat hubungan kekerabatan dalam keluarga. Dalam adat
perkawinan tentu ada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam mengatur
maslaah perkawinan, yang mana kebiasaan ini nantinya akan menjadi sebuah
tradisi bagi suatu kelompok.
Pada setiap upacara perkawinan, ada beberapa yang harus dipersiapkan
menjelang pesta perkawinan, salah satunya adalah membuat pelaminan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia pelaminan adaah tempat duduk bagi pengantin.26
Menurut Zuraima, pelaminan adalah tempat duduk sepasang pengantin waktu
bersanding yang pada umumnya terletak pada ruangan tengah.27
Pelaminan adalah tempat duduk kedua pengantin laki-laki dan pengantin
wanita untuk menerima tamu undangan yang memberi ucapan selamat kepada
mereka. Fungsi pelaminan sebagai sarana bagi keluarga besar dan masyarakat
yang hadir pada saat upacara menyaksikan mereka bersanding. Perangkat
25 Skripsi Mardiana Tradisi Pernikahan Masyarakat di Desa Bontolempengan Kabupaten
Gowa (Akulturasi Budaya Islam dab Budaya Lokal) (UIN Alauddin Makasar, Fakultas Adab dan
Humaniora) Hlm. 17 26 Dapartement Pendidikan Nasiona, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011) Hlm. 677 27
Zuraima 1983, Seni Hias Pakaian Adat Wanita dan Pakaian Pengantin Wanita Jambi.
DEPDIKBUD. Proyek Pengembangan Kesenian Jambi.
19
pelaminan adalah barang ataupun benda yang ada didaam pelaminan tersebut,
yang tentunya memiliki nilai simbolis tersendiri. Bagian-bagian pelaminan
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena setiap bagian
tersebut memiliki nilai simbolis yang saling berhubungan satu sama lainnya.
Skema 3: Kajian sebagai landasan berfikir
Budaya Wujud kebudayaan
menurut
Koentjaraningrat
1. Ide atau
gagasan
2. Aktivitas serta
tindakan
berpola
3. Benda-benda
hasil karya
manusia
Tradisi
Tradisi
Adat Perkawinan
Pelaminan Ragam hias
pelaminan
tradisional
E. B Taylor
Simbol
Makna
Litle Jhon
Clyde
Kluckhon
Zuraima
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan emik28
dengan paradigma
kualitatif29
. Sifat penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif30
. Dengan
menggunakan metode yang tepat diharapkan dapat menganalisis suatu
permasalahan yang berkaitan dengan penulisan secara kritis. Penelitian kualitatif
ini dengan menggunakan wawancara, pengamatan dan memanfaatkan
dokumentasi. Pendekatan ini penulis gunakan untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan sesuai dengan pembahasan yaitu penggunaan ragam hias pelaminan
tradisional pada adat perkawinan di desa Kungkai Kabupaten Merangin.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian. Subjek penelitian
merupakan sesuatu yang menunjuk pada orang/individu atau kelompok yang
28
Pendekatan emik adalah pengkategorian fenomena budaya menurut warga setempat
(pemilik budaya). Dalam buku Suwardi Endraswara Metode teori teknik Penelitian Kebudayaan,
(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), Hlm. 55 29
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, presepsi, motivasi, tindakan,
secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Dalam buku Lexy J
Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) Hal. 06 30
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang tujuannya untuk menyajikan gambaran
lengkap mengenai settingan sosial atau dimaksudkan untuk mengklarifikasi suatu fenomena atau
kenyataan sosial.
21
Menjadi unit atau satuan (kasus) yang diteliti.31
Dalam penelitian ini, subjek
penelitian adalah masyarakat pengguna ragam hias pelaminan tradisional dengan
teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling dimana penentuan informan dipilih dengan pertimbangan khusus dari
penulis, dengan mempertimbangkan karakteristik berdasarkan kebutuhan analisis
dalam penelitian ini. Orang tersebut yang dianggap paling mengetahui tentang apa
yang diharapkan, yang biasanya disebut sebagai seorang informan.
Menurut Webstres New Collegiate Dictionary seorang informan adalah
orang pembicara asli yang berbicara dengan mengulang kata-kata, frasa, dan
kalimat dalam bahasa atau dialeknya sebagai model imitasi dan sumber
informasi.32
Informan ada dua macam yaitu informan kunci dan informan biasa.
Informan kunci adalah figur yang memegang peranan penting, seperti tokoh-tokoh
masyarakat. Sedangkan informan biasa yaitu orang yang menjadi pendukung,
seperti orang yang menjadi penikmat serta pengguna ragam hias pelaminan
tradisional tersebut.
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder:
1) Data Primer
31
Sanafiah faisal Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007)
Hal. 109 32 James P. Spradley, Metodologi Etnografi, (yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), Hal 39.
22
Data primer adalah data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh peneliti
dari sumber utama atau pertama. Data primer merupakan data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat baik dilakukan secara wawancara, observasi.
Menurut Lofland bahwa sumber utama dari penelitian kualitatif adalah kata-kata
atau tindakan.33
Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati dan diwawancarai
merupakan data utama. Wujud data utama berupa deskripsi yang dicatat melalui
catatan tulis. Sumber data utama dicatat melalui catatan dari hasil wawancara,
dokumentasi perekaman video/audio tapes, atau film.34
Data primer ini juga merupakan data yang diperoleh melalui pengamatan,
wawancara dan dokumentasi untuk mendapatkan informasi mengenai penggunaan
ragam hias pelaminan tradisional pada adat perkawinan di desa Kungkai,
mengapa masyarakat masih mempertahankannya serta bagaimana prosesi
permulaan penggunaan ragam hiasnya.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh
pihak lain, yang biasanya dalam bentuk-bentuk publikasi atau jurnal.35
Sumber
data penlitian dapat diperoleh melalui media perantara atau secara tidak langsung
yang berupa buku, catatan, bukti yang telah ada ataupun arsip baik yang
dipublikasikan ataupun tidak dipublikasikan secara umum.
33 Lexy J. Maleong Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013) Hal. 157 34
Ibid, Hal. 157 35
Tim Penyusun Buku Pedoman skripsi, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Adab-
Sastra dan Kebudayaan Islam, Hal. 31
23
Data sekunder ini merupakan data tambahan yang diperoleh dalam bentuk
tertulis yang berkaitan dengan sejarah, letak geografis, demografis, maupun
kehidupan sosial budaya masyarakat desa Kungkai Kabupaten Merangin. Dengan
kata lain, peneliti membutuhkan pengumpulan data dengan cara berkunjung ke
perpustakaan, pusat kajian, pusat arsip atau membaca banyak buku yang
berhubungan dengan penelitiannya.
Data sekunder berupa foto juga digunakan dalam penelitian ini, foto
menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga. Ada dua kategori foto yang
dapat dimanfaatkan oleh penelitian kualitatif, yaitu foto yang dihasilkan oleh
peneliti sendiri.36
Foto dapat memberikan gambaran distribusi penduduk dan
geografis. Jadi, kedua kategori tersebut dapat digunakan oleh peneiti sebagai data
tambahan. Sebagai catatan etika penelitian, jika foto hendak dipublikasikan oleh
peneliti, maka peneliti akan meminta kesepakatan dan persetujuan lebih dahulu
dari pihak-pihak yang terkait. Dan data tambahan lainnya, seperti data statistik
dapat membantu peneliti mempelajari komposisi distribusi penduduk dari segi
usia, jenis kelamin, agama, kepercayaan, mata pencaharian, tingkat kehidupan
sosial ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya, yang dapat dipergunakan dalam
penelitian ini.37
36
Lexy J Maleong Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003) Hal. 160. 37 Ibid, Hal. 163
24
2. Sumber Data
Salah satu pertimbangan dalam memilih masalah peneitian adalah
ketersediaan sumber data. Dalam penelitian kualitatif, lebih bersifat memahami
terhadap fenomena atau gejala sosial karena masyarakat sebagai subyeknya.
Sumber data adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau
diwawancarai.38
Sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dimana data
yang bersangkutan dengan penelitian itu didapatkan. Di antaranya:
1) Informan kunci yaitu tokoh budayawan/ tokoh adat serta yang berada di
daerah Kungkai, Kabupaten Merangin.
2) Informan biasa yaitu masyarakat yang menjadi pengguna serta penikmat
ragam hias yang berada di daerah Kungkai Kabupaten merangin.
D. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik observasi/pengamatan, wawancara, dan dokumentasi.
Sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1) Observasi/pengamatan
Observasi adalah suatu penelitian secara sistematis menggunakan
kemampuan indera manusia. Pengamatan dilakukan pada saat terjadi aktivitas
budaya dan wawancara secara mendalam (independent interview).39
Dari
penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa peneliti harus terjun langsung ke
38
Ibid, Hal 112 39
Suwardi Endraswara Metode Teori Thenik Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta:
Puataka widyatama, 2006) Hlm. 133
25
lokasi penelitian untuk mengumpulkan data dengan cara mengamati, merekan,
mencatat segala sesuatu yang diperlukan.
Pada penelitian ini, prosesi pengamatan dilakukan dengan tidak terstruktur
yaitu observasi berlangsung secara natural dan kemudian tidak diketahui langsung
oleh subjek.40
Maksudnya peneliti bisa kapan saja turun kelapangan untuk
melakukan pengamatan dalam proses pengamatan, peneliti juga akan melakukan
wawancara yang dilakukan secara bersama jika kondisi itu memungkinkan.
Dalam hal ini penulis mnggunakan Observasi Non Partisipan yaitu dimana
penulis tidak ikut aktif didalam kegiatan yang akan diteliti atau dengan kata lain
penulis hanya mengamati dari jauh. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan
yang tidak berperan serta artinya peneliti melakukan suatu fungsi saja yaitu hanya
mengadakan pengamatan.41
Jadi dalam hal ini peneliti datang ketempat kegiatan
orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut, peneliti
berperan sebagai pengamat. Hasil observasi tersebut kemudian dicatat dalam
lembar penelitian.
2) Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung
secara lisan dalam dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara
langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.42
Dalam prosesi
wawancara hendaknya dilakukan dengan suasana yang santai dan nyaman, tidak
40 Suwardi Endraswara, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta:
Pustaka Widyautama, 2006) Hal. 140. 41 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitataif, Hlm. 174 42
Narbuko Cholid & Achmadi Abu, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2005),
Hlm 83
26
ada yang terkekang dan tertekan antara peawancara dengan terwawancara
sehingga informasi yang didapat lebih akurat. dalam hal ini peneliti menggunakan
tehnik independent interview (wawancara mendalam) atau wawancara
takterstruktur.
Wawancara mendalam (independent interview) biasanya dinamakan
wawancara baku etnografi atau wawancara kualitatif. Wawancara dilakukan
dengan santai, informal, dan masing-masing pihak seakan-akan tidak ada beban
psikologis. Wawancara mendalam akan memperoleh kedalaman data yang
menyeluruh.43
Dalam hal ini proses wawancara dilakukan secara terbuka disebut
juga wawancara terbuka (open interview) yaitu subjeknya tahu bahwa mereka
sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud dan tujuan wawancara
itu.44
Dalam hal ini peneliti akan mewawancarai langsung pihak-pihak yang
bersangkutan terkait dengan masalah penggunaan ragam hias pelaminan
tradisional pada adat perkawinan di desa Kungkai Kabupaten Merangin.
Wawancara ditujukan kepada informasi kunci (tokoh budayawan, dan tokoh adat),
dan informasi biasa (mayarakat penoton). Dalam wawancara ini, peneliti tidak
menggunakan pertanyaan terstruktur akan tetapi masih dalam jalur penelitian.
43
Suwardi Endraswara, Metode Teori Tekhnik Penelitian Kebudayaan, ( Yogyakarta:
Pustaka Widyatama, 2006), Hlm. 168. 44
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitataif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), Hlm. 189.
27
3) Dokumentasi
Dokumentasi yaitu pengumpulan data-data dan bahan-bahan berupa
dokumen. Dokumen adalah suatu cara penggunaan data dari catatan, notulen
rapat, dan catatan harian.45
Dokumen tertulis berupa buku, majalah, arsip-arsip
dan karya orang lain yang dibutuhkan oleh peneliti, dari data
observasi/pengamatan dan wawancara berupa data catatan harian, gambar, atau
kumpulan foto, video/film yang menunjang pendokumentasian dalam penelitian
ini. Untuk pendokumentasian sangat membutuhkan alat yang sangat mendukung
seperti salah satunya adalah kamera.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data berguna untuk mereduksi data menjadi perwujudan yang dapat
dipahami melalui pendeskripsian secara logis dan sistematis. Sehingga fokus studi
dapat di telaah, diuji dan dapat dijawab secara cermat dan teliti. Setelah penelitian
ini maka data yang diperoleh terlebih dahulu diseleksi menurut kelompok
variabel-variabel tertentu dan dianalisa melalui segi kualitatif, analisis dan
penelitian buadaya berupa proses pengkajian hasil wawancara, pengamatan dan
dokumentasi yang telah terkumpul. Data tersebut sangat banyak jumlahnya. Yang
kurang relevan patut direduksi. Analisi bersifat terbuak open-ended, dan induktif.
Maksudnya, analisis bersifat longgar, tidak kaku, dan statis.46
45
Arikunto Suraharismi, Prosedur Penelitian (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), Hlm 202 46
Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka
Widyautama, 2006) Hal. 174.
28
Analisis data dapat dilakukan dengan cara deskriptif, dengan kata lain
mendeskrripsikan subjek penelitian dengan cara mereka bertindak dan berkata-
kata. Dan dalam hal ini proses analisi data dilakukan seperti pertahankan
penelitian etnografi Spradley sebagai berikut:
1. Analisis Domain (Domain Analysis)
Analisis domain, analisis domain biasanya dilakukan untuk memperoleh
gambaran atau pengertian yang bersifat umum dan relativ menyeluruh tentang apa
yang tercakap disuatu fokus atau pokok permasalahan yang diteliti.47
Analisis
domain pada hakikatnya adalah upaya peneliti untuk memeperoleh gambaran
umum tentang data untuk menjawab fokus penelitian. Caranya ialah dengan
membaca naskah data secara umum dan meyeluruh untuk memperoleh domain
atau ranah apa saja yang ada didalam data itu. Pada tahap ini peneliti belum perlu
membaca dan memahami data secara rinci dan detail karena targetnya hanya
untuk memeproleh domain atau ranah. Hasil analisis ini masih berupa
pengetahuan tingkat permukaan tentang berbagai ranah konseptual. Dari hasil
pembacaan itu diperoleh hal-hal penting dari kata, frase atau bahkan kalimat
untuk dibuat catatan pinggir.
Dalam penelitian kualitati, peneliti melakukan tiga langkah persiapan yaitu
harus memilih situasi sosial, observasi dan membuat catatan etnografis. Setelah
melalui tiga tahapan ini, maka seorang peneliti harus melakukan observasi
deskriptif dan selanjutnya melakukan analisa data.
47 Ibid, Hal 32
29
2. Analisis Taksonomi (Taxonomic Analisis)
Seorang peneliti melalui penelitian yang lebih mendalam dengan cara
memilih beberapa atau satu domain budaya untuk diteliti lebih dalam. Tujuan
utamanya adalah untuk menemukan sejumlah domain yang memungkinkan.
Melalui hal ini peneliti mampu membedakan perilaku masyarakat dengan
masyarakat yang lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahapan ini seorang
peneliti ingin mendapatkan penelitian secara mendalam mengenai domain suatu
budaya yang dihadapinya dengan mengorganisir domain tersebut. sehingga
dengan demikian seorang peneliti dapat mengetahui mana domain yang lebih
besar.
Perbedaan utama diantara keduanya adalah bahwa taksonomi
menunjukkan hubungan yang lebih banyak di antara hal-hal yang ada di dalam
domain budaya.48
Pada tahap analisis taksonomi, peneliti berupaya memahami
domai-domain tertentu sesuai fokus masalah atau sasaran penelitian. Masing-
masing domain mulai dipahami secara mendalam, dan membaginya lagi menjadi
sub-domain. Analisis taksonomi ini digunakan dalam menganalisis data mengenai
penggunaan ragam hias pelaminan tradisional pada adat perkawinan.
3. Analisis Komponensial (Componential Analisis)
Tujuan seorang peneliti yang melakukan penelitian kualitatif adalah untuk
menemukan pola budaya yang digunakan masyarakat untuk mengorganisasikan
48 James P. Spradly Metode Etnografi (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2006) Hal. 185
30
perilaku mereka. Seorang peneliti memulai penelitiannya dengan memilih salah
satu situasi sosial dan kemudian melakukan observasi secara tidak langsung.
Budaya merupakan seperangkat simbol yang memiliki makna komplek di
dalamnya yang ingin diteliti oleh peneliti. Seorang peneliti harus menjelaskan
sejumlah strategi khusus untuk menemukan makna dalam suatu budaya. Analisis
komponensial diperoleh setelah adanya analisis domain dan taksonomis yang
mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
penggunaan ragam hias pelaminan tradisional dalam adat perkawinan.
4. Menemukan Tema Budaya (Cultural Them Analysis)
Seorang peneliti harus ingat bahwa penelitian dilakukan pada dua tingkatan
pada waktu yang sama. Salah satunya adalah dalam menguji ditail-ditail kecil dari
sebuah budaya pada saat yang sama juga harus mencari sebuah gambaran
mengenai budaya tersebut. analisis ini memahai gejala-gejala yang khas dari
analisis sebelumnya. Analisis ini mencoba mengumpulkan sekian banyak tema,
fokus budaya, nilai, dan simbol budaya yang ada pada setiap domain. Selain itu,
analisis ini berusaha menemukan hubungan-hubungan yang terdapat pada domain
yang dianalisis, sehingga akan membentuk suatu kesatuan yang holistik.
Deksripsi budaya ini meliputi analisis secara mendalam mengenai domain
yang terpilih dan juga meliputi peninjau terhadap budaya dan pernyataan yang
disampaikan secara keseluruhan. Beberapa peneliti menyampaikan hal ini dengan
istilah pendekatan inventaris (inventory approach) dan mereka
mengidentifikasikan semua domain yang berbeda ini dalam sebuah budaya yang
31
terdiri dari kategori seperti “kekeluargaan”, “budaya material” dan “hubungan
sosial”. Hal ini diperlukan untuk menemukan tema budaya yang telah dipelajari
oleh anggota masyarakat hubungan atara ranah. Dan menggunakannya untuk
menghubungkan domain-domain yang ada. Tahap analisis untuk menemukan
tema budaya ini merupakan suatu langkah yang digunakan untuk memberikan
suatu pandangan yang menyeluruh tentang suatu alasan penggunaan ragam hias
tradisional pada adat perkawinan.
F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Teknik pemeriksaan keabsahan data merupakan salah satu usaha untuk
menghasilkan nilai kredibilitas data yang baik. Pemeriksaan keabsahan data di
dasarkan atas kriteria tertentu. Kriteria itu terdiri atas derajad kepercayaan
(kredibilitas), keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Masing-masing kriteria
tersebut menggunakan teknik pemeriksaan sendiri-sendiri.49
Dalam pemeriksaan keabsahan data, penulis menggunakan dengan cara:
1) Triangulasi data
Triangulasi data merupakan tekhnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding data tersebut. Triangulasi ini dilakukan untuk mengecek
sumber, agar data yang diperoleh valid.
Triangulasi dengan memanfaatkan penggunaan sumber berarti
membandingan dan mengecek balik drajat kepercayaan suatu informasi yang
49
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitataif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), Hlm. 344.
32
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal itu
dapat dicapai dengan jalan:50
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data wawancara.
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan
apa yang di katakannya secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang di katakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang di katakannya sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan prespektif seorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang-orang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, dan orang
pemerintahan.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
2) Cheking data (pemeriksaan) oleh informan kembali, ketika data telah
tersusun, ada baiknya peneliti kembali ke lapangan dan menunjukkan
display data kepada informan. Jika informan telah acc (sependapat) berarti
data-data itu sah-sah saja. Hal ini untuk menghindari pula terjadinya protes
oleh informan, yang berakibat sampai pada gugatan. Pada tahap ini
peneliti meminta persetujuan dari informan tentang data yang penulis
peroleh, agar tidak terjadi kesalah pahaman. Jika disetujui maka data itu
sah-sah saja.
50 Ibid Hlm 331.
33
3) Member check dan konsultasi ahli, yakni peneliti dapat menyerahkan data
kepada anggota lain dan atau ahli (pembimbing). Dari situ akan muncul
saran yang diperlukan guna penyempurnaan. Pada tahap ini penulis akan
menyerahkan kepada pembimbing, untuk mendapatkan saran baik itu
dibidang tulisan maupun isi dari pembahasan.
Jadwal Penelitian
NO
Nov Des Jan Feb Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Perbaikan
Proposal dan
seminar
x x x X x x
2 Perbaikan
hasil Seminar
X X x x x x
3 Pengumpulan
Data
x x x x x x x x x
4 Verifikasi
dan Analisis
Data
x x x x x
5 Konsultasi
Pembimbing
x x X
6 Perbaikan
7 Penggandaan
Laporan
34
Skema 3: Metode yang digunakan dalam penelitian
Purposive
Sampling
Informan kunci dan
masyarakat
pengguna ragam hias
Observasi (non partisipan)
Wawancara, (independent
interview, open interview)
dan dokumentasi
Pendekatan
emik
Paradigma
kualitatif dengan
sifat deskriptif
Jenis data
Data primer dan
data sekunder
Pemeriksaan
data:
Tringulasi
data, Cheking,
dan Member
check
Analisis data
Domain analysis,
taxonomi analysis,
componential analysis
dan cultural them
analysis
Kebudayaan
Tradisi
Adat
perkawinan
Pelaminan Ragam hias
pelaminan
Simbol
Makna
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Sosial Budaya
1. Sejarah Desa
a. Pemilihan Nama Kungkai
Ditemukannya daerah Kungkai yang saat ini berada di tepian sungai
Merangin, Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin berawal dari orang-orang
yang berasal dari mudik sungai Merangin. Sungai Puding sendiri berada di
sebrang Kungkai, orang-orang ini berasal dari tanah Mataram dan menamakan
daerah ini dengan nama Pedokoh Puding yang dipimpin oleh Datuk Sutan,
sedangkan orang-orang yang berasal dari mudik sungai Merangin berasal dari
ranah Minang dan Kerinci, menamakan daerah mereka dengan nama Pedokoh
Kayo yang dipimpin oleh Datuk Pandak.
Secara geografis Kungkai berada di wilayah tepian sungai Merangin, yang
awalnya berada d ibawah kawasan Bathin Sembilan Ulu, wilayah Bathin
Sembilan Ulu sendiri terdiri atas Pulau Rengas, Kungkai, dusun Bangko, Dusun
Mudo, dalam sejarahnya nama-nama desa diberikan berdasarkan penentuan nama
tepian sungai di daerah tersebut.
Diberikannya nama Kungkai berawal dari masyarakat Bathin Sembilan Ulu
yang ingin menentukan batas maka dihanyutkanlah batang kayu yang bernama
mang yang sudah dikuliti sehingga terlihat putih dan kemudian akan ditentukan
berdasarkan daerah tambatan dari batang mang tersebut, sehingga tambatlah di
36
Muara sungai tersebut, sungai tersebut sekarang berada di sebrang desa
Kungkai, namun orang-orang menentukan batas merasa terlalu singkat sekali
batang mang tersebut tertambat, dan meminta ungkai terlebih dahulu di wilayah
muara sungai tersebut, ungkai itu sendiri berarti hanyutkan kembali, dan akhirnya
bernamalah sungai tersebut dengan sungai Kungkai, kemudian dihanyutkan
kembali yang akhirnya menyangkut kembali di wilayah yang sekarang dikenal
dengan Sungai Murak, wilayah terakhir tertambatnya batang mang tersebut adalah
Pulau Sanarat yang berarti tempat ketepian membuat batas, di situlah batas akhir
dari wilayah Margo Bathin Sembilan Ulu, maka terjadilah nama-nama dusun
tersebut, terkhsusus untuk nama dusun Kungkai tersebut berawal dari kalimat
ungkai. Dan nama Kungkai ini sendiri menurut orang tuo tengganai, alim ulama,
dan cerdik pandai didesa Kungkai sudah diberikan sebelum masuknya penjajahan
Belanda.
b. Pembentukan Datuk Nan Balimo
Setelah ditata batas pemimpin dua kelompok ini yaitu Datuk Sutan dan
Datuk Pandak yang sebelumnya telah berdiam diwilayah Kungkai ini. Kemudian
mereka membuat Pedukoh atau yang sering disebut dusun, akhirnya bersepakatlah
dua qalbu ini yang melihat ada wilayah sungai yang bernama sunga Kungkai di
lokasi mereka berdiam diri, maka dibuatlah nama daerah yang mereka tinggali
tersebut dengan nama Pedukoh Kungkai atau Dusun Kungkai.
Dua qalbu/datuk ini terus berkembang dan memiliki anggota kelompok
yang semakin banyak, akhirnya mereka mensiasati dengan membagi kelompok
37
yang sudah ada. Yaitu dengan membagi kelompok puding Datuk Puding dan yang
kemudian dinamakan Datuk Sengkuno, dan Datuk Kayo memecah menjadi Datuk
Kayo dan Datuk Bandar.
Mereka memiliki aturan bahwa siapapun yang berada di dusun Kungkai
harus miliki qalbu/datuk, dan kemudian ditambah dengan orang-orang dari Bukit
Bungkul yang kemudian tinggal di dusun Kungkai tepatnya di wilayah Bukit
Elang Barantai, karena di Bukit Bungkul itu sangat banyak sekali harimau.
Setelah kelompok ini tinggal di Bukit Elang Berantai, akhirnya ditemukanlah
kesepakatan dari empat datuk untuk membuat kelompok baru bagi orang-orang
yang berdiam di Bukit Elang Berantai dan mereka diberi nama Datuk Sukoberajo
.
c. Kedatangan Belanda
Masyarakat desa Kungkai pada saat itu hidup rukun dengan berlandaskan
agama Islam, semua dijalankan berdasarkan kebiasaan masyarakat dan syariat
Islam, namun setelah Belanda masuk ke wilayah Kungkai, mulailah terjadi
pemerintahan di Kungkai yang dipimpni oleh satu pemimpin yang sering disebut
nama Rio. Pemilihan Rio pertamapun dilakukan secara mengejutkan saat itu
Belanda datang dan mulai mengumpulkan masyarakat Kungkai, setelah semua
berkumpul, namun masih ada satu orang yang masih berada di kebun, sehingga
Belanda meuruh orang-orang untuk memanggilnya di ladang, orang itu bernama
Matan.
sekembalinya Matan dari ladang ia langsung berkumpul, dan langsung
dipasangkan selendang oleh Belanda dan menunjuk ia sebagai Rio pertama di
38
Dusun Kungkai, walaupun ia sangat terkejut tapi itu diterima. Akhirya bergelarlah
dia dengan gelar Rio Matan. Namun Rio Matan tidak dapat bekerja sendiri, dan
akhirnya dicarilah teman dekatnya untuk membantu Rio Matan dalam
menjalankan tugasnya, setelah dilakukan pecarian akhirnya dipilihlah seorang
bernama Mantitah, diapun bergelar Fateh yang berarti tangan kanan pemimpin
ataupun wakil pemimpin. Mereka bedualah orang-orang pertama yang berada
dibaris pemerintahan dusun Kungkai.
Stelah kepemimpinan Rio Matan, pemerintahan dalam satu kepemimpinan
tetap berlanjut, namun kali ini diserahkan kepemimpinan kepada datuk Nan
Balimo yang dalam seloko adat Paseko Begilir-gilir yang artinya kekuasaan
dilaksanakan secara bergiliran, dan dalam seloko yang lebih lengkap: lapok
beganti li lapok pua jalipong tumbuh, bak napoh diujung tanjung ilang sikuk
beganti sikuk. Yang berarti pergantian pemimpin tidak boleh hilang, begitulah
pegangan yang dipegang masyarakat desa Kungkai saat ini. Datuk Nan Balimo
secara bergiliran menjadi Rio di desa Kungkai, yang kemudian dibantu oleh
Fateh, imam, khatib dan bilal. Artinya setiap datuk memiliki tugas masing-masing
seperti system pemerintahan.
Setelah kemerdekaan republik Indonesia tahun 1945 gelar tersebut masih
digunakan, berakhir gelar Rio tersebut pada tahun 1984, desa Kungkai
dimekarkan menjadi dua yaitu desa Kungkai dan desa Simpang Kungkai. Dari hal
tersebut berganti menjadi kepala desa, yang dipimpin pertama sekali oleh
M. Diyah 1984 s/d dan kepala desa Simpang Kungkai oleh Abu Nawas,
setelah itu kata bahasa secara nasional disebut dengan kepala desa. Dan setelah
39
1989 Kungkai kembali menjadi satu desa yang dipimpin pertama kali oleh
Syarifuddin tahun 1989 s/d 1994.
Pada awalnya desa Kungkai setelah ditetapkan kepala desa menjadi
pimpinan utama dalam desa pada tahun tersebut barulah desa Kungkai ini
memunyai bagian-bagian dalam wilayah desa Kungkai sebanyak 7 dusun: dusun
Kincir, Dusun Jelmu, Dusun Tengah, Dusun Sawah, Dusun Bukit Kelumbu,
Dusun Simpang Kungkai, Dusun Kubun Nanas. Dusun tersebut di bawah satu
wilayah bernama Kadus, nama Kadus yang berarti penyambungan tangan kades
dari tiap dusun yang terdapat dalam desa Kungkai.
2. Keadaan Penduduk
a. Kondisi geografis
Secara geografis, desa Kungkai terletak pada titik koordinat antara 180-
140 Bujur Timur 20-30 Lintang Selatan Dengan 50 Diatas Permukaan Laut
(DPL), degan luas 46 Km. Secara administrasi wilayah desa Kungkai berbatasan
langsung dengan:
- Sebelah Timur dengan: Desa Sungai Kapas/ Pasar Kecamatan Bangko
- Sebelah Utara dengan: Desa Salam Buku Kecamatan Batang Masumai
- Sebelah Selatan dengan: Desa Sungai Putih Kecamatan Bangko Barat
- Sebelah Barat dengan: Desa Pulau Rengas Ulu Kecamatan Bangko Barat
Dalam mendukung jalannya roda pemerintaha, pusat pemerintahan Kungkai
berada di desa Kungkai dengan Jarak:
40
Tabe 1
Jarak Tempuh
No Jarak Ke Ibu Kota Jarak Tempuh/Km Waktu Tempuh
1 Kecamatan 3 10 Menit
2 Kabupaten 6 15 Menit
3 Provinsi 280 6 Jam
Pada dasarnya wilayah desa Kungkai tidak jauh berbeda dari iklim desa-
desa yang ada didaerah kabupaten Merangin yaitu beriklim tropis dalam arti kata
lain beriklim sedang dengan mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan
musim panas. Hal tersebut dapat mempengaruhi pola mata pencaharian
masyarakat desa Kungkai baik dalam bidang perkebunan maupun pertanian.
Desa Kungkai memiliki ketinggian yang berkisar antara 46-124 m dari
permukaan laut. Suhu udara atau temperature desa Kungkai berkisar antara 27C
sampai dengan 38c, curah hujan berkisar 18-25mm. Tekstur tanah desa Kungkai
terdiri dari tekstur tanah halus dan sedang terdapat hampir diseluruh wilayah desa
sebagian besar kedalm efektif tanahnya lebih dari 90 cm.
Wilayah desa Kungkai, dialiri sejumlah sungai, seperti sungai Merangin
dan sungai kecil, desa Kungkai terdiri dari tanah datar, bergelombang dan
berbukit. Jenis lahan didesa terdiri atas lahan basah dan lahan kering dan jenis
tanah adalah podsolik merang kuning, oraosol dan alluvial degan tingkat
keasaman tanah. Sebagian besar lahan yang ada di desa Kungkai dimanfaatkan
oleh penduduk untuk kegiatan pertanian. Daerah ini sebagian besar ditanami karet
dan kelapa sawit yang tersebar pada seluruh wilyah desa Kungkai.
41
b. Kondisi Demografi/Penduduk desa Kungkai
Kependudukan di desa Kungkai terakhir tidak mengalami petumbuhan
yang tidak begitu berarti, jumlah Penduduk desa Kungkai pada tahun 2016
sebesar 3.514 jiwa yang terdiri dari 1.836 laki-laki dan 1.678 perempuan.
Penduduk desa Kungkai adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Kungkai
No Nama dusun Jenis Kelamin Jumlah
KK Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Kebun Nanas 422 324 746 199
2 Simpang Kungkai 231 219 450 132
3 Bukit Kelumbu 300 297 597 166
4 Sawah 284 293 577 176
5 Tengah 179 172 351 108
6 Jelmu 208 191 399 141
7 Kincir 212 182 394 136
Jumlah 1.836 1.678 3.514 1.102
Sumber data: Kantor Kepala Desa Kungkai Kecamatan Bangkokabupaten
Merangin
Penduduk desa Kungkai rata-rata adalah berasal dari suku melayu dan
hanya seidikit ditemukan yang berasal dari suku lain. Sebagaimana hasil
wawancara penulis dengan salah satu tokoh masyarakat (Kepala Desa) sebagai
berikut:
42
“Penduduk desa Kungkai mayoritasnya adalah berasal dari suku melayu,
dan ada beberapa suku yang jumlahnya jauh lebih sedikit, yaitu suku
jawa, minang, dll”51
3. Sistem kekerabatan
Kebudayaan yag kompleks, diwariskan dari generasi ke generasi secara turun
temurun. Adat pada hakekkatnya mencerminkan keseluruhan sistem nilai yang
menjadi dasar semua pertimbangan etis dan hukum, sebagai sumber harapan bagi
semua lapisan sosialmasyarakat. Masyarakat Kungkai dalam menjalani
kehidupannya tentu tidak akan terlepas dari prinsip-prinsip struktur masyarakat
pada umumnya baik menyangkut pada sistem kemasyarakatan, sistem
perekonomian, maupun adat istiadat dan agama. Pada masyarakat desa Kungkai,
sejak dulu menganut sistem kekerabatan dalam garis ibu. Keturunan dihitung
menurut garis ibu, suku terbentuk menurut garis ibu, baik itu laki-laki ataupun
perempuan akan mengikuti suku dari ibunya.
4. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pembangunan, sehingga
pendidikan adalah sebuah investasi (modal) di masa yang akan datang.
Pendidikan adalah salah satu instrumen terpenting untuk peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Pendidikan adalah tanda kelas sosial suatu masyarakat.
Semakin tinggi tingkat pendidikannya semakin tinggi pula strata sosial mereka.
51
Wawancara dengan Bapak Saparadi selaku kepala desa Kungkai Pada 28-Februari-
2018 Pukul: 10.00 Wib. Dikantor desa Kungkai
43
Seseorang yang berpendidikan dan seseorang yang kurang berpendidikan tentu
sangat berbeda, dan juga dalam hal ilmu pengetahuan. Di desa Kungkai jenjang
pendidikan masyarakatnya bisa kita lihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3
Jenjang Pendidikan Masyarakat
No Jenjang Pendidikan Jenis Kelamin Keterangan
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Tidak/ belum sekolah 187 214 401
2 SD 185 170 355
3 Tamat SD/Sederajat 363 390 753
4 SMP Sederajat 120 115 235
5 Tamat SMP Sederajat 195 221 416
6 SLTA Sederajat 103 97 200
7 Tamat SLTA Sederajat 532 369 901
8 PT/Universitas 18 20 38
9 Tamat PT/Universitas 118 97 215
Jumlah 1.821 1.693 3.514
Sumber data: Kantor Kepala Desa Kungkai kabupaten Merangin
Berdasarkan tabel di atas, penulis menyimpulkan bahwa jenjang
pendidikan masyarakat desa Kungkai ada yang berada pada jenjang pendidikan
rendah dan ada pula yang berada pada jenjang pendidikan tingkat tinggi. Dapat
dilihat pada jenjang pendidikan masyarakat yang tidak sekolah dan jenjang
pendidikan yang sampai lulus universitas. Dengan demikan, tentulah jenjang
pendidikan ini berpengaruh pada pola pikir masyarakat setempat. Namun dalam
hal ini, masyarakat desa Kungkai dengan jenjang pendidikan yang berbeda,
44
mereka masih sama menggunakan ragam hias pelaminan tradisional tersebut baik
dari masyarakat dengan jenjang pendidikan rendah maupun masyarakat dengan
jenjang pendidikan yang tinggi.
5. Kesehatan
Kesehatan memberikan peranan penting dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Kesehatan
merupakan salah satu indikator kesejahteraan rakyat yang dapat menggambarkan
tingkat kesehatan masyarakat sehubungan dengan kualitas kehidupannya.
Pembangunan dibidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat
memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah dan merata.
Tenaga kesehatan didesa Kungkai terdiri dari Medis/Dokter, Perawat,
Bidan, dan partisipasi masyarakat. Sedangka sarana kesehatan terdapat Puskedes
dan Posyandu, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4
Tenaga Kesehatan
No Tenaga Kesehatan Jumlah Keterangan
1
Dokter Dokter Umum 4
Dokter Spesialis
2
Medis Bidan 2
Perawat 14
3
Non Medis/
Partisipasi Masyarakat
Dukun Melahirkan 5
Kader Kesehatan 8
Jumlah 33
Sumber data: Kantor Kepala Desa Kungkai kabupaten Merangin
45
6. Agama
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari hubungan sesama
manusia dan hubungan kepada sang pencipta, oleh karena itu harus ada keserasian
diantara keduanya. Manusia merupakan sebagai makhluk Tuhan yang memiliki
kedudukan yang sama, dan tidak ada yang membedakan antara satu yang lainnya.
berdasarkan pengamatan dilokasi penelitian bahwasanya secara keseluruhan
masyarakat desa Kungkai memeluk agama Islam. Dan tidak terdapat pemeluk
agama lainnya didesa Kungkai tersebut. untuk dapat mengetahui secara jelas
tentang keadaan keagamaan masyarakat desa Kungkai dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 5
Jumlah Penduduk Berdasarkan Penganut Agama
No Agama Jenis Kelamin Jumlah Keterangan
Laki-laki Perempuan
1 Islam 1.836 Jiwa 1.678 Jiwa
2 Kristen Katolik
3 Kristen Protestan
4 Hindu
5 Budha
Sumber data: Kantor Kepala Desa Kungkai Kecamatan bangko
Kabupaten merangin
46
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa agama islam adalah agama
mayoritas masyarakat desa Kungkai, dan boleh dikatakan bahwa agama Islam
bukan sekedar mayoritas, tetapi 100% beragama Islam, karena ajaran Islam adalah
ajaran tuntunan bagi masyarakat desa Kungkai. Setiap agama tentulah memiliki
tempat peribadahan masing-masing sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.
Di desa Kungkai mayortas masyarakat semuanya menganut agama Islam. Berikut
dapat kita lihat jumlah tempat ibadah-ibadah umat Islam yang dimiliki desa
Kungkai pada tabel berikut ini:
Tabel 6
Sarana Ibadah
No Uraian Jumlah Keterangan
1 Masjid 2
2 Mushola 11
3 Gereja -
4 Wihara -
5 Pura -
Jumlah 13
Sumber data: Kantor Kepala Desa Kungkai Kecamatan Bangko
Kabupaten Merangin
Dengan sarana peribadahan tersebut, maka kegiatan agama Islam dapat
dilaksanakan oleh warga desa Kungkai. Kegiatan yang dilaksanakan di masjid
atau di mushola meliputi Sholat Jum’at, Sholat Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha,
Sholawat Tarawih, maupun kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
Kegiatan keagamaan didesa Kungkai tidak jauh berbeda dengan kegiatan
yang dilaksanakan di desa lainnya, seperti: yasinan bapak-bapak atau ibu-ibu yang
47
diadakan secara rutin dan bergiliran. Yasinan ibu-ibu biasanya dilaksanakan pada
hari jum’at pukul 14:00. Sedangkan yasinan khusus laki-laki biasanya diadakan
setiap malam Jum’at di masjid, langgar, maupun dari rumah kerumah. Hampir
seluruh bapak-bapak diajurkan untuk mengikuti acara rutin tersebut.
Untuk anak-anak yang ingin belajar mangaji Iqro, dan Al-Qur’an diadakan
setiap malam sehabis maghrib sampai menjelang isya’, diadakan di masjid,
langgar dan ada juga yang belajar di rumah. Terhadap pelaksanaan hari besar
Islam, masyarakat desa Kungkai sangat rutin mengadakannya yang dihimbau oleh
Kepala Desa, Sekretaris maupun staf-stafnya. Hari besar yang diperingati
misalnya: Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan hari besar Islam
lainnya. dan juga masyarakat desa Kungkai kerap mengikuti lomba-lomba di
bidang keagamaan misalnya MTQ.
7. Mata Pencaharian
Secara geografis pada umumnya wilayah desa Kungkai meruapakan suatu
daerah yang agraris karena banyak lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi
mata pencaharian hidup warga Kungkai.
Jarang sekali ditemui masyarakat desa Kungkai yang tidak memiliki mata
pencaharian. Meskipun ada yang tidak tamat sekolah tetapi tetap mengusahakan
suatu pekerjaan. Sekecil apapun peluang kerja tersebut, mereka terus berupaya
untuk kesejahteraan keluarga. Ibu-ibu Rumah Tangga tidak hanya berdiam diri di
rumah, mereka membuka usaha kecil-kecilan untuk menambah penghasian
keluarga. Ada yang berjualan bahan-bahan kebutuhan pokok seperti membuka
48
toko atau warung, usaha kue, usaha rumah makan, atau rumah kopi ada juga yang
menjual onlin yang disebu online shop.
Untuk megetahui lebih jelas tentang system mata pencaharian masyarakat
desa Kungkai, dapat kita lihat dalam tabel berikut:
Tabel 7
Mata Pencaharian atau Sumber Pandapatan
No Mata Pencaharian Persentase
1 Petani/pekebun 50%
2 Pengusaha/pedagang 14%
3 Karyawan swasta/wiraswasta 4%
4 Honorer 7%
5 PNS 12%
6 TNI/POLRI 1%
7 Pensiunan 1%
8 Jasa 5%
9 Buruh 1%
10 Serabutan 5%
Sumber data: Kantor Kepala Desa Kungkai Kecamatan Bangko Kabupaten
Merangin
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian
masyarakat desa Kungkai 50% berprofesi sebagai petani. Namun, tidak sedikit
juga yang berprofesi sebagai PNS ataupun TNI dan POLRI. Sehingga tentulah
mempengaruhi dalam pendapatannya tidak akan sama. Namun masyarakat desa
Kungkai, baik masyarakat kalangan bawah maupun masyarakat kalangan atas
mereka masih sama menggunakan ragam hias pelaminan tradisional pada adat
perkawinannya.
49
B. Hasil dan Pembahasan
1. Sejarah Penggunaan Ragam Hias Pelaminan Tradisional
Menggunakan aksesoris pelaminan merupakan sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dari acara adat perkawinan, bahkan ragam hias yang digunakan oleh
masyarakat mencerminkan identitas dari budaya masyarakatnya, dan tentunya ada
sejarah yang menceritakan mengapa masyarakat pemilik kebudayaan
menggunakan ragam hias tersebut. di Kungkai berdasarkan data yang penulis
dapatkan di lapangan, sejarah kemunculan ragam hias ini tidak dapat dipastikan
kapan munculnya, namun dari beberapa sumber dapat memperkirakan kapan
mulai digunakannya. Berdasarkan informasi masa belanda ragam hias pelainan
tradisional ini sudah dipakai. Seperti yang dikatakan oleh bapak Sibujang Am,
beliau mengatakan bahwa:
“Kalo masalah asal usulnyo, lah lamo tu. Sebelum zaman belando
lah ado. Zaman kerajaan dulu lah lamo tu. Aku tanyo dengan orang-
orang, tanyo masalah tahun tu dak ado yang tahu dak. Bapak mamak
ku pas kawin lah pake itu. Dio kawin zaman belando dulu”52
”Kalau masalah asal usulnya, sudah lama. Sebelum zaman Belanda
sudah ada. Zaman kerajaan-kerajaan terdahulu. Saya tanya dengan
orang-orang, tanya maslaah tahun itu tidak ada yang tahu. tentang
tahun mulai digunakannya tidak ada yang tahu. Bapak ibu saya waktu
nikah sudah menggunakan itu. Mereka menikah waktu zaman Belanda
dulu.”
52
Hasil wawancara dengan bapak Sibujang Am, umur 58 Thn, alamat desa Kungkai
dusun Sawah RT 07. Interview pada tanggal 27-februari-2018, Pukul 19.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman bapak Sibujang Am
50
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa penggunaan ragam
hias pelaminan tradisional ini tidak bisa dipastikan kapan awal mula
penggunaannya, namun menurut beberapa informan sejak zaman belanda ragam
hias pelaminan tradisional ini sudah digunakan masyarakat desa Kungkai pada
adat pernikahannya.
Wawancara dengan Ibu Hafsah, Beliau mengatakan:
“Dahulu didesa Kungkai, ado Tumenggung (Orang Kaya). Zaman itu,
dulu kan ndak secanggih sekarang. Dulu tu ado yang datang dari
luar, pedagang, dulunyo bawa manik-manik dari cino . nah yang sayo
ceritokan tadi kan, ado orang kayo punyo anak cewek. Diajak nikah,
ditukar dengan dengan manik-manik.53
“Dahulu didesa Kungkai ada seorang Tumenggung (orang kaya).
Zaman itu, dulu kan tidak secanggih sekarang. Dahulu ada yang
datang dari luar, pedagang, dulu membawa manik-manik dari cina.
Nah, yang saya ceritakan tadi, ada orang kaya punya anak cewek.
Diajak nikah, ditukar dengan manik-manik. Nah, dari itu, sampai
sekarang Tumenggung mempunyai anak perempuan. Kemudian
dinikahi, dan ditukar dengan manik-manik tersebut.
Dari keterangan di atas peneliti menyimpulkan bahwa, manik-manik
ragam hias pelaminan itu dahulunya dari orang cina yang datang ke Kungkai
dengan maksud berdagang yang kemudian menikahi penduduk desa Kungkai.
Dari sinilah masyarakat desa Kungkai mengenal manik-manik yang digunakan
untuk ragam hias pelaminan tradisional tersebut.
53
Hasil wawancara dengan ibu Hafsah, umur 52 Thn, alamat desa Kungkai dusun Bukit
Kelumbu RT 10. Interview pada tanggal 28-februari-2018, Pukul 13.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman ibu Hafsah
51
Dari pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ketujuh belas,
Kesultanan Jambi melakukan perdagangan lada yang menguntungkan, pada
mulanya dengan orang-orang portugis dan sejak tahun 1615 dengan perusahaan
dagang Inggris dan Hindia Timur Belanda, sebuah perdagangan di mana orang-
orang Cina, Melayu, Makassar, dan Jawa juga terlibat. Pada 1616, Ibu Kota
Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera, setelah
Aceh. Zaman keemasan ini tidak berumur panjang. Pada 1680-an, Jambi
kehilangan posisinya sebagai pelabuhan utama lada setelah bentrok dengan
Johor. Inggris meninggalkan pos dagang mereka di Jambi pada 1679, VOC
bertahan agak lama, walaupun kongsinya mendatangkan untung sangat sedikit
setelah tahun 1680. Berlalu sudah kemakmuran yang dulu, dan tidak pernah
terulang kembali bahkan sudah penyatuan kembali kerajaan pada 1720-an. Di
dataran tinggi, orang beralih menanam padi dan kapas, sebab kapas impor dari
India naik harganya, sementara harga lada jatuh.54
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Jambi dulunya merupakan
penghasil utama lada sehingga Jambi ramai dikunjungi pedagang dari Cina, India,
Persia, Arab, Portugis, Inggris dan Belanda. Perdagangan lada salah satu faktor
utama pendatang hijrah ke Jambi. Tak sedikit para pedagang yang datang ke
Jambi membawa bekal tekstil, seperti kain untuk dijual. Kadang lada dibarter
denga tektil tersebut.
54
Elsbeth Locher Scholten Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial Hubungan Jambi-
Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (Jakarta: Banana KITLV, 2008) Hlm.
43-44
52
“General Picture of the Textile Trade English and dutch records of the carly
years o the seventeteenth-century give us a fairly good picture of the textile
trade in south east Asia and bring out clearly the necessity of establishing
Factories and India as a pre requisite for the spice trade of Sotheast Asia.
The Dutch realised it earlier than the English. There are two Dutch reports,
on possibly of 1605 and another of 1614, giving a detailed account of all the
trading centres in the Earstern seas, the good produced and goods vendible
in each region and the general pattern of Southeast Asian trade, based on a
system of barter- Indian textiles for Southeast Asian.”55
Catatan-catatan Inggris dan Belanda tentang tahun-tahun penuh perhatian
pada abad ketujuh belas memberi kita gambaran yang cukup baik tentang
perdagangan tekstil di Asia Tenggara dan dengan jelas menunjukkan perlunya
membangun pabrik-pabrik di India sebagai prasyarat perdagangan rempah-rempah
dari Asia Tenggara. Belanda menyadari lebih awal dari Inggris. Ada dua laporan
Belanda, satu kemungkinan tahun 1605 dan 1614 memberikan laporan terperinci
dari semua pusat perdagangan di laut Timur, barang-barang yang diprduksi dan
barang-barang yang dapat dijual disetiap wilayah berdasarkan pada sistem barter-
tekstil India untuk rempah-rempah Asia Tenggara. Karena begitu besar
permintaan tekstil mereka dapat ditukar secara menguntungkan dengan lada dan
rempah-rempah yang lebih halus.
“Below given The First, taken from English records, is about the varieties of
Indian textiles in demand in the different region of South Asia. Demand in
Jambi, Baftas (blue, Ardea and of Broach variety), Cannikeens Byrams,
Musaffees, Selas (red) Chits, Tappe-Chindos, Silk Patoals (Tappes, Gobars,
and Serassa Malayo), Longcloth, Salempores (white, red and blue),
Channanes (white, red and blue) Rellades, Chandee, Gobarrs (Tappe and
Gobarrs), Chilla, Bulu-Bulu (white stripes), Tappees, Gobbars, Cuntters,
serassa malayo, Caingulng.”56
55
S. P. Sen The Role of Indian Textiles in Southeast Asian Trade in Seventeenth Centry
(Cambridge University Press of Dapartment of History, National Univerity of Singapore Vol. 3
No. 2, 1962) Hlm. 96 56 Ibid, Hlm 104
53
Pentingnya tekstil India dalam perdagangan Asia Tenggara pada abad ke
tujuh belas. Karena terdapat permintaan besar dan hampir tak terbatas untuk
barang-barang ini disemua pasar Asia Tenggara. Diambil dari catatan orang
Inggris, mengenai varietas tekstil yang diminati di berbagai wilayah di Asia
Tenggara salah satunya adalah permintaan dari Jambi.
Dikarenakan umur pemakaian ragam hias pelaminan tradisional ini sudah
terlalu lama, tentu nantinya diganti tanpa mengurangi substansinya. Seperti hasil
wawancara dengan bapak Sibujang Am beliau mengatakan:
“dulunyo tu ndak seperti ini, dulunyo tu kain yang dipake buat tirai
talam dan tiang bantal tebuat dari kain perca. Tapi sekarang
menggunakan kain sejenis beludru. Ragam hias ko, kalo lah lamo
biso diganti tapi masih dengan bentuk yang samo. Misal tiang bantal.
Dulu tu pelaminan ni cuma pake entai kain, tirai langit-langit, tirai
talam, tiang bantal, kudo-kudo. Tapi kalo sekarang lah nampak
meriah nian, lah banyak pake kaya bungo-bungo57
”
“dulunya tidak seperti ini, dulu kain yang digunakan buat tirai talam
dan tiang bantal terbuat dari kain perca. Tapi sekarang menggunakan
kain sejenis beludru. Ragam hias ini, kalau sudah lama bisa diganti
tapi masih dengan bentuk yang sama. Misal tiang bantal. Dulu
pelaminan ini Cuma pakai entai kain, tirai langit-langit, tirai talam,
kudo-kudo. Tapi kalo sekarang sudah nampak meriah, sudah pake
seperti bunga-bunga”
57
Hasil wawancara dengan bapak Sibujang Am, umur 58 Thn, alamat desa Kungkai
dusun Sawah RT 07. Interview pada tanggal 27-februari-2018, Pukul 19.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman bapak Sibujang Am
54
Terdapat beberapa perubahan yang tidak signifikan, seperti dalam
penggunaan jenis kain pada tirai talam dan tiang bantal. Pada awalnya kain yang
digunakan adalah kain perca, tetapi seiring perkembangan zaman, kain yang
digunakan sekarang adalah kain sejenis beludru. karena terlalu lamanya
penggunaan ragam hias ini, apabila terdapat kerusakan tentu akan terjadi
pergantian pada ragam hias tersebut namun dengan tidak mengurangi
substansinya. Seperti misal mengganti tiang bantal namun tidak mengganti bentuk
dari tiang bantal itu sendiri. Karena bentuk lah yang merupakan representatif dari
sebuah makna. Zaman dulu pelaminan hanya terdiri dari entai kain, tirai langit-
langit, tirai talam, tiang bantal dan kudo-kudo. Namun dalam berkembangnya
zaman, sekarang struktur pelaminan tradisional ini terlihat sangat mewah, karena
ditambahkan dengan aksesoris pelengkap seperti bunga-bunga tanpa
meninggalkan elemen terpenting dalam pelaminan tradisional ini.
Dari berbagai data di atas penulis menyimpulkan bahwa penggunaan ragam
hias pelaminan tradisional didesa Kungkai sudah digunakan sejak zaman
Belanda,yang mana ketika itu Jambi merupakan penghasil utama lada sehingga
Jambi ramai dikunjungi pedagang dari Cina, India, Persia, Arab, Portugis, Inggris
dan Belanda. Dan karena permintaan tekstil di Jambi dari India sangat besar, oleh
karena itu barang-barang yang dapat dijual disetiap wilayah berdasarkan pada
sistem barter- tekstil India untuk rempah-rempah Asia Tenggara sekitar abad ke
tujuh belas. Dan dalam cerita di atas awal mula manik-manik diperkenalkan
dengan masyarakat Kungkai adalah ketika ada seorang pedagang yang menikahi
penduduk setempat. Ragam hias pelaminan tradisional ini sudah digunakan sejak
55
zaman dahulu, sehingga apabila terdapat kerusakan dalam ragam hiasnya, bisa
diganti namun degan catatan tidak mengurangi substansinya. Misal, dalam
pergantian tiang bantal, tetapi harus tetap sesuai dengan bentuk asli tiang bantal
tersebut. karena bentuk itulah merupakan simbol yang didalamnya mengandung
makna.
2. Prosesi Penggunaan Ragam Hias Pelaminan Tradisional
a. Tahap persiapan
Sebelum melaksanakan tahap penggunaan ragam hias pelaminan
tradisional, biasanya keluarga yang mempunyai hajat mengadakan
nampung orang kecik58
(menampung orang kecik), dimaksudkan untuk
membahas mengenai segala kebutuhan tuan rumah, apa-apa yang belum di
milikinnya, sehingga nanti bisa meminjam ke keluarga terdekat. Setelah
itu, nampung orang besak59
(menampung orang besak). Pernyataan ini
sesuai dengan yang dikatakan oleh bapak Sibujang Am selaku kepala adat
desa Kungkai. Beliau mengatakan:
“sebelum masang itu, ado yang namomyo nampung orang kecik
yaitu mengumpulkan keluargo terdekat seperti saudaro kandung,
ponakan sekandung dan banyak lagi, tengganai nianlah. Jadi dio
agek yang masang tirai-tirai, masang haiasan. Nah, biasonyo pas
nampung orang kecik sebelum musyawarah kito ado acaro yasinan
dulu, sudah tu diakhiri dengan makan keluargo. Sudah tu, baru
58
Nampung orang kecik adalah mengumpulkan seluruh saudara sekandung dan seluruh
keluarga besar yang akan mempunyai hajat. Guna untuk membicarakan pelaksanaan pesta
perkawinan, terlebih khusus dalam penggunaan ragam hias pelaminan tradisional tersebut. 59
Nampung orang besak adalah mengumpulkan masyarakat diluar keluarga. Guna untuk
dimintai membantu jalannya pesta perkawinan, tetapi tidak dalam penggunaan ragam hias
pelaminan tradisional.
56
nampung orang besak, nampung orang besak ni seluruh negeri
dikampung ngasih tau bahwo ado yang nak nikah.60
“sebelum masang itu, ada yang namanya nampung orang kecik
yaitu mengumpulkan keluarga terdekat seperti saudara sekandung,
ponakan sekandung dan banyak lagi, tengganai sekali. Jadi, dia
nanti yang memasang tirai-tirai, memasang hiasan. Nah, biasanya
waktu menampung orang kecik kita ada acara yasinan dahulu,
setelah itu diakhiri dengan makan keluarga. Sesudah itu, baru
menampung orang besak, menampung orang besak ini seluruh
negeri dikampung diberitahu bahwa ada yang mau menikah”.
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa pada tahap
persiapan penggunaan ragam hias pelaminan tradisional ini, terlebih
dahulu diadakan acara musyawarah dengan keluarga terdekat, karena
dalam penggunaan ragam hias pelaminan tradisional ini keluargalah yang
berperan penuh terhadap pemasangannya. Dalam musyawarah keluarga ini
juga terdapat acara yasinan sebelum ragam hias pelaminan tradisional ini
digunakan dan diakhiri dengan acara makan keluarga. Setelah tahap
nampung orang kecik selesai kemudian tahap nampung orang besak
dimaksudkan untuk membantu jalannya pesta perkawinan namun tidak
dalam hal penggunaan ragam hias pelaminan tradisional. Dalam tahap
inilah seluruh masyarakat setempat tahu bahwa akan ada pesta
perkawinan.
60 Hasil wawancara dengan bapak Sibujang Am, umur 58 Thn, alamat desa Kungkai
dusun Sawah RT 07. Interview pada tanggal 27-februari-2018, Pukul 19.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman bapak Sibujang Am
57
b. Tahap Pemasangan
Pemasangan ragam hias pelaminan tadisional di desa Kungkai ini
ditempatkan di tengah rumah atau ruangan utama sehingga para tamu
langsung melihatnya ketika masuk rumah yang nantinya menjadi singgasana
sepasang pengantin yang melibatkan sepenuhnya kepada kerabat keluarga.
Berbeda halnya dengan pelaminan-pelaminan modern zaman sekarang yang
kebanyakan sepenuhnya menggunakan penata rias tanpa melibatkan
keluarga tuan rumah.
Setelah melalui tahap persiapan musyawarah dengan keluarga
terdekat, barulah mempersiapkan segala jenis kebutuhan untuk pemasangan
ragam hiasnya. Tahap-tahap dalam pemasangan ragam hias pelaminan
tradisional ini biasanya mendahulukan elemen utama dari ragam hias
pelaminan tradisional ini daripada elemen penunjangnya saja. Tahap-
tahapnya adalah sebagai berikut:
1. Mencari buloh (Bambu)
Awal mula sebelum pemasangan ragam hias pelaminan tradisional ini
adalah harus mencari bambu terlebih dahulu yang nantinya akan digunakan
untuk memasang entai kain sebagai latar dinding rumah. Panjang bambu
tesebut adalah sesuai dengan panjang dinding yang hendak dipasangi.
Bambu tesebut dipasang secara vertikal ke bawah yang nantinya untuk
sampiran entai kain tersebut.
58
Setelah bambu ini terpasang sesuai dengan yang diharapkan, barulah
kemudian pemasangan kain-kain yang telah dipersiapkan baik dari kain
kepunyaan sendiri maupun kain yang dipinjamkan oleh kerabat keluarga
kepada tuan rumah. Disusun sesuai dengan keseragaman warna kainnya,
agar latar dinding terlihat cantik dipandang dan menarik mata.
2. Pemasangan tirai/langit-langit
Pemasangan tirai-tirai ini biasanya dilakukan setelah entai kain
tersusun secara rapi. Barulah memperindah langit-langit rumah dengan
memasangkan tirai langit-langit tersebut.
3. Pemasangan tiang bantal
Setelah pemasangan tirai atau langit-langit, kemudian pemasangan
tiang bantal. Yang mana tiang bantal ini dipasang dibelakang tempat
duduk sepasang penganten nantinya.
4. Pemasangan tirai talam dan kudo-kudo
Setelah pemasangan tiang bantal, kemudian barulah pemasangan tirai
talam dan kudo-kudo, yang dipasang disebelah kanan dan kiri sepasang
penganten nantinya. Namun dalam pemasangan ini belum menggunakan
makanan, menggunakan makananya ketika hendak acara yang kemudian
diletakkan diatas kudo-kudo dan di bawah tirai talam.
Setelah pemasangan elemen terpenting dalam ragam hias pelaminan
tradisional ini, kemudian pemasangan hiasan-hiasan penunjang seperti
bunga-bunga kertas dan lain-lain. Yang terpenting dalam pelaminan ini
tidak tertinggal elemen terpenting yang harus digunakan, yaitu ragam hias
59
pelaminan tradisional tersebut. meskipun menambah interior untuk
keindahan pelaminan, namun masyarakat desa Kungkai tidak meninggalkan
ragam hias pelaminan yang telah ada sejak dahulu.
Sejak zaman dahulu hingga sekarang, masyarakat desa Kungkai masih
menggunakan ragam hias pelaminan tradisional ini, meskipun telah banyak
pelaminan-pelaminan yang berkembang di zaman modern sekarang. Karena
apabila tidak menggunakan ragam hias pelaminan ini, di khawatirkan akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Wawancara dengan bapak Sibujang
Am, beliau mengatakan:
“Kalo orang dusun ni nak kawin tapi dak pake itu, sangat hino
nianlah. Soalnyo kito kan punyo adat. Adat tu kan samo be tradisi.
Jadi tradisi dari nenek moyang tu pake itu. Melambangkan orang
ngawin anak tu istilahnyo baik samo baik, suko samo suko. Kecuali
kalo orang tu kawin lari, kawin yang ndak direstui, itu dak pake
pelaminan tu. Walopun orang tu keluarganyo kurang mampu, dio
biso pinjam samo keluargonyo. Sebesar apopun lek, walopun
orang tu bunoh kebo 7, walaupun halaman tu pake pelaminan,
tetap itu tu tidak tetinggal. Siapopun, apopun kayo orang tu, ndak
tetinggal ndak. Biak kedepannyo rumah tangga mereka
harmonis.61
“Kalau orang dusun sini mau menikah tapi tidak memakai itu,
sangat hina sekali. Karena kita memiliki adat, dan adat itu sama
dengan tradisi. Jadi, tradisi dari nenek orang-orang terdahulu
dipakai. melambangkan orang menikahkan anak itu,istilahnya baik
61 Hasil wawancara dengan bapak Sibujang Am, umur 58 Thn, alamat desa Kungkai
dusun Sawah RT 07. Interview pada tanggal 27-februari-2018, Pukul 19.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman bapak Sibujang Am
60
dengan baik, suka sama suka. Keculai orang yang nikah lari, nikah
yang tidak direstui orang tua, itu tidak menggunakan ragam hias
pelaminan tersebut. walaupun keluarga tersebut terbilang kurang
mampu, mereka bisa meminjam kepada keluarga. Walaupun orang
itu kaya, bisa membunuh kerbau 7, walaupun halaman rumah
mampu menyewa pelaminan modern, namun pemakaian ragam
hias pelaminan ini tidak tertinggal. Sehingga agar rumah tangga
mereka kedepannya harmonis.”
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa apabila
masyarakat desa Kungkai melakukan perkawinaan, namun tidak
menggunakan ragam hias tersebut, itu akan terlihat sangat hina bagi
masyarakat di sekitarnya. Dan pemakaian ragam hias pelaminan
tradisional ini hanya dipakai ketika adat perkawinan yang direncanakan,
yaitu atas dasar suka sama suka antara kedua belah pihak. Selain itu tanpa
dasar tersebut tidak diperkenankan menggunakan ragam hias pelaminan
tradisional ini. Ragam hias pelaminan tradisional ini, digunakan dari
generasi ke generasi berikutnya dalam adat perkawinan.
Masyarakat desa Kungkai zaman dahulunya melahirkan anak
perempuan, mereka mulai membuat ragam hias pelaminan tradisional ini,
yang nantinya akan digunakan pada saat perkawinan anak perempuan
mereka dari generasi ke generasi berikutnya. Ragam hias pelaminan
tradisional ini, hanya digunakan untuk pesta perkawinan anak perempuan
saja, yang nantinya akan ditempatkan di ruangan utama. Seperti yang
dikatakan oleh bapak Rahip, beliau mengatakan:
61
“Kareno didesa Kungkai ni, kalo orang punyo anak betino tu
merupakan suatu kebahagiaan. Kalau anak cowok, kebanggan.
Jadi, kalo kito nikahin anak cewek kito pake pelaminan itu
melambangkan sumber kabahagiaan kito terhadap anak kito tu,
sayang nianlah maunyo yang tebaek. Soalnyo gini, cowok didusun
ni, dio tu cuma sekedar singgah. Kalo lah kawin, dio ikut lah samo
bininyo. Meskipun anak cowok tu Cuma satu, tetaplah dio balik ke
cewek tu.62
”
“Karena didesa Kungkai ini, kalau mempunyai anak perempuan,
itu merupakan suatu kebahagiaan. kalo anak laki-laki, kebanggan.
Jadi, kalau kita menikahkan anak perempuan kita dengan
menggunakan pelaminan tersebut melambangkan sumber
kebahgaiaan kita bukti terhadap anak perempuan kita, sayahg
bangetlah, sehingga maunya yang terbaik. Soalnya begini, laki-
laki didusun ini dia Cuma sekedar singgah. Kalau sudah menikah,
dia ikut sama istrinya. Meskipun anak cowok Cuma satu, tetap dia
kembali kecewek”
Bagi masyarakat desa Kungkai memiliki anak perempuan adalah
sumber kebahagiaan mereka. Karena ingin memberikan yang terbaik untuk
anak perempuannya, karena perkawinan merupakan fase peralihan
kehidupan manusia, dari masa muda ke masa berkeluarga. Masyarakat desa
Kungkai yang hendak melaksanakan perkawinan anak perempuannya,
mereka menggunakan ragam hias pelaminan tradisional ini, sebagai bentuk
harapan agar diberikan kebaikan, keberkahan serta perlindungan untuk
62 Hasil wawancara dengan bapak Rahip, umur 55 Thn, alamat desa Kungkai dusun
Simpang Kungkai RT 02. Interview pada tanggal 28-Maret-2018, Pukul 14.30 wib. Tempat:
Rumah kediaman bapak Rahip
62
rumah tangga yang akan mereka bina. Karena pada setiap ragam hias
pelaminan tersebut mengandung unsur-unsur positif yang diyakini
masyarakat tersebut dapat mendatangkan suatu kebaikan untuk rumah
tangga yang akan mereka bina.
Oleh karena itu, diwajibkan untuk merawatnya dengan sebaik
mungkin. Wawancara dengan ibu Tauna, beliau mengatakan:
“Ragam hias ko dipake dari generasi kegenerasi. Lah dari emak
kami nikah dipake. Punyo anak awak, awak nikah dipake lagi.
Agek awak punyo anak cewek, dio nikah dipake lagi. Gitulah
seterusnyo. Makonyo setelah dipasang wajib dirawat. Kareno bagi
kami, itu barang mewah. Barang berharga.63
“Ragam hias ini sudah dipakai dari generasi ke generasi. Dari ibu
kami menikah sudah dipakai. punya anak saya, saya menikah
dipakai lagi. Kalau saya punya anak cewek, besok dia nikah
dipakai lagi. Begitulah sterusnya. Maka dari itu, setelah terpasang
wajib dirawat. Karena bagi kami itu barang mewah, barang
berharga.”
Dalam pemakaian ragam hias pelaminan tradisional ini, apabila
dalam satu keluarga mereka mempunyai lebih dari satu anak cewek,
biasanya hanya sebentar pemasangan kemudian dilepas kembali, disimpan
dan dirawat. Karena, tentu ke depannya akan dipakai oleh anak perempuan
berikutnya yang akan menikah. Namun, berbeda halnya dengan pelaminan-
pelaminan modern yang kita sewa, apabila acara pesta perkawinan telah
63
Hasil wawncara denga Ibu Tauna, umur 51 Tahun alamat desa Kungkai dusun Simpang
Kungkai RT 02. Interview pada tanggal 29-maret-2019, pukul 13.00 Wib. Tempat: Rumah
kediaman ibu tauna
63
selesai, maka keesokan harinya pelaminan tersebut tentu akan dibongkar.
Sedangkan pelaminan tradisional di desa Kungkai ini, tidak secepat itu
dalam pembongkarannya. Terlebih lagi apabila dalam satu keluarga hanya
memiliki satu anak cewek, bisa saja pembongkarannya akan dilakukan
selama berbulan-bulan lamanya.
Dalam adat perkawinan di desa Kungkai ini, apabila seorang laki-laki
ingin menikahi perempuan desa Kungkai, maka dia harus mengaku keluarga
angkat di desa Kungkai tersebut. wawancara dengan ibu Hafsah, beliau
mengatakan:
“Kalo kito punya anak cewek, lalu ditanyo samo cowok, kalo
cowoknya orang luar disini wajib ngaku sanak hidup dan sanak
mati. Karena adat didesa Kungkai ni, dak mau nerimo orang luar.
Nah, setelah ado pertemuan dua keluargo nisepakat untuk
menentukan hari H, barulah dipasang tirai. Tapi kalo sudah
tepasang tirai, langit-langit, tu sudah tidak biso ditunda lagi. Kalo
ditunda, nanti dio behutang. Maksudnyo kalo cowok tu
membatalkan perkawinan, maka cowo tu harus membayar hutang
adat. Mahal tu kenonyo, sebuah kambing. Kareno dio sudah jual
harga diri keluargo tersebut. tapi kalo belum tepasang, biso be
buat dibatalkan.64
“kalau kita mempunyai anak cewek, lalu ditanya dengan laki-laki,
kalau laki-laki tersebut orang luar wajib mengaku sanak hidup dan
mati. Karena adat masyarakat Kungkai, dia tidak mau menerima
orang luar. Nah setelah ada pertemuan antara dua keluarga ini
64
Hasil wawancara dengan ibu Hafsah, umur 52 Thn, alamat desa Kungkai dusun Bukit
Kelumbu RT 10. Interview pada tanggal 28-februari-2018, Pukul 13.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman ibu Hafsah
64
dan sepakat menentukan hari H, barulah dipasang tirai. Tapi
kalau sudah terpasang tirai tersebut, itu sudah tidak bisa
dibatalkan. Apabila dibatalkan, maka laki-laki tersbut berhutang
adat dengan desa Kungkai, yaitu seekor kambing. Karena dia telah
menjual harga diri keluarga tersebut. namun, apabila belum
terpasang, maka boleh dibatalkan.”
Dari keterangan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa desa
Kungkai ini sangat berpegang teguh dengan adat yang mereka miliki.
Dapat dilihat dari, apabila seorang laki-laki ingin menikahi perempuan
Kungkai, maka laki-laki tersebut wajib mengaku keluarga angkat di
Kungkai. Karena adat didesa Kungkai ini, mereka tidak mau menerima
masyarakat dari luar. Ragam hias pelaminan tradisional ini, dianggap
sangat berharga serta berharga bagi masyarakat desa Kungkai, karena
merupakan identitas diri masyarakat desa Kungkai. Sehingga apabila
seorang laki-laki membatalkan perkawinannya namun pelaminan ini sudah
terpasang, dia wajib membayar hutang adat yang telah ditetapkan di desa
kungkai tersebut yaitu seekor kambing. Karena itu sama saja, seorang laki-
laki tersebut mempermaikan tradisi dari orang-orang terdahulu masyarakat
desa Kungkai dan juga telah menjual harga diri dari keluarga perempuan
yang hendak dinikahinya.
65
3. Faktor-Faktor Masyarakat Masih Mempertahankan Ragam Hias
Pelaminan Tradisional
1. Tradisi pemakaian ragam hias pelaminan tradisional merupakan
representatif dari simbol-simbol yang bermakna positif
Pada masyarakat Kungkai sudah menjadi kebiasaan dalam adat
perkawinan menggunakan ragam hias pelaminan tradisional baik dari
keluarga yang berekonomi menengah kebawah atau menengah keatas.
Tradisi ini di budayakan dan diturunkan secara turun temurun oleh anak
cucunya. Seperti hasil wawancara dengan ibu Izarni, beliau mengatakan
bahwa:
“Tradisi ko kan lah jadi darah daging bagi orang Kungkai, makonyo
setiap ado acara orang nak nganten, kami wajib pake ragam hias
pelaminan ko, kareno setiap ragam hiasnyo ado maknonyo.65
“Tradisi ini kan sudah jadi darah daging bagi orang Kungkai,
makannya setiap ada acara orang mau menikah, kami wajib memakai
ragam hias pelaminan ini, karena setiap ragam hiasnya ada
maknanya”
Dari keterangan di atas penulis menyimpulkan bahwa ragam hias pelaminan
tradisional ini merupakan warisan leluhur dari orang-orang terdahulu, yang sudah
digunakan dari generasi ke generasi pada adat perkawinan di desa Kungkai karena
pada setiap elemen ragam hiasnya mengandung maknanya tersendiri.
65
Hasil wawancara dengan ibu Izarni, umur 41 Thn, alamat desa Kungkai dusun Bukit
Kelumbu RT 10. Interview pada tanggal 28-februari-2018, Pukul 16.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman ibu Izarni
66
Ragam hias pelaminan bagi masyarakat desa Kungkai tidak hanya dapat
dilihat sebagai suatu hiasan dekorasi semata, tetapi merupakan bagian yang
sakral66
dalam upacara adat perkawinan. Sakral yang dimaksud dalam konteks
pelaminan adalah bahwa setiap ragam hias pelaminan tradisional ini dianggap
sesuatu yang suci, seperti ungkapan bapak Sibujang Am, beliau mengatakan:
“Ragam hias ko barang berhargo bagi kami. Barang istimewa,
barang sakral. Kareno lah dipake dari nenek muyang kami
terdahulu.”67
“Ragam hias ini barang berharga bagi kami. Barang istimewa,
barang sakral. Karena sudah digunakan dari orang-orang
terdahulu.”
Ragam hias pelaminan tradisional ini merupakan barang berharga, barang
istimewa bahkan dianggap barang sakral oleh masyarakat setempat karena ragam
hias pelaminan tradisional ini sudah digunakan dari orang-orang terdahulu.
Ragam hias pelaminan tradisional di desa Kungkai ini di dalam kehidupan
bermasyarakat tidak hanya berfungsi sebagai elemen untuk memperindah saja,
melainkan terdiri dari benda-benda yang merupakan simbol68
. tentunya simbol
yang bermakna positif. Di mana dekorasi ragam hias ini merupakan representatif69
66 Sakral yang berarti suci. Menutur Durkheim aspek kesucian dalam agama berkaitan
dengan sisi supranatural yang menginspirasikan kekaguman, penghormatan, penghargaan yang
mendalam, bahkan rasa takut. Dalam buku Nanag Martono Sosiologi Perubahan sosial Prespektif
Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) Hal 170 67 Hasil wawancara dengan bapak Sibujang Am, umur 58 Thn, alamat desa Kungkai
dusun Sawah RT 07. Interview pada tanggal 27-februari-2018, Pukul 19.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman bapak Sibujang Am 68 Simbol digunakan sebagai sarana mediasi untuk membuat dan meyampaikan suatu
pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut. Dalam buku Soejono Soekanto
Sosisologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) Hlm. 187 69 Representatif adalah istilah yang berkaitan yang meakili atau perwakilan.
67
dari simbol, dan dari simbol-simbol itulah ragam hias pelaminan tradisional ini
dianggap sakral. Adapun beberapa unsur ragam hias pelaminan tradisional serta
maknanya adalah sebagai berikut:
a. Entai Kain
Gambar 1 Entai Kain
Entai kain merupakan sekumpulan kain-kain yang disusun secara sejajar di
seluruh dinding ruangan utama sebagai latar ruangan baik dari kain sarung, kain
songket maupun kain panjang. Entai kain ini sekumpulan kain-kain yang dimiliki
oleh tuan rumah, maupun pinjaman dari kerabat dekat sekiranya kain-kain yang
dimiliki tuan rumah tersebut tidak mampu menjadi latar sepenuhnya diruangan
utama. Hasil wawancara dengan bapak Aswan, beliau mengatakan:
“Kalo entai kain ni, biasonyo buat latar di dinding. jadi, seluruh
dinding rumah tu dipasang kain-kain ni. Kalo ndak cukup, bisonyo
keluarga tu kasih pinjam la kain-kain yang mereka punyo. Kalo
masalah maknonyo, setau awak entai kain ni melambambangkan
Bentuk
Daun
68
kekerabatan jugo kekompakan keluargo. Kalo agek ado masalah
tentulah masih ado keluargo yang nak tolong. Masih ado keluargo
yang nak bantu. Itulah gunonyo keluargo.”70
“Kalau entai kain ini, biasanya dipake buat latar dinding. seluruh
dinding rumah dipasang kain-kain. Kalau tidak cukup. Biasanya
keluarga kasih pinjam kain-kain yang mereka pinjam. Kalau masalah
maknanya, setau saya entai kain ini melambangkan kekerabatan juga
kekompakan keluarga. Kalau nanti ada masalah tentu masih ada
kelaurga yang mau mendukung. Masih ada keluarga yang mau
membantu. Itulah gunanya keluarga”.
Entai kain ini memiliki beberapa motif, ada beberapa contoh yang penulis
dapatkan yaitu kain yang bermotif daun. Motif daun ini bermakna kesuburan desa
Kungkai. Seperti ungkapan berikut:
“nah kalo entai kain ni banyak motifnyo, misalnyo motif daun ni.
Motif ni bermakna kesuburan didesa Kungkai ni.71
“nah kalau enatai kain ini banyak motifnya, misalnya motif daun ini.
Motif ini bermaknas kesuburan di Desa Kngkai ini.
Dari keterangan di atas penulis menyimpulkan bahwa entai kain ini
melambangkan eratnya tali kekerabatan antar keluarga. Dapat dilihat, ketika tuan
rumah yang mempunyai hajat tidak mampu menutup seluruh dinding ruangan
utama dengan kain, sehingga kerabat yang lainnya datang untuk meminjamkan
70 Hasil wawancara dengan bapak Aswan, umur 58 Thn, alamat desa Kungkai dusun
Sawah RT 07. Interview pada tanggal 30-Maret-2019 , Pukul 16.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman bapak Aswan 71
Hasil wawancara dengan ibu Hafsah, umur 52 Thn, alamat desa Kungkai dusun Bukit
Kelumbu RT 10. Interview pada tanggal 28-februari-2018, Pukul 13.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman ibu Hafsah
69
kain-kain yang mereka miliki. Entai kain ini, melambangkan eratnya kekerabatan
dalam keluarga. apabila dalam berumah tangga memiliki masalah, tentu masih ada
keluarga yang datang untuk menolong juga membantu menyelesaikan masalah
tersebut. keluarga adalah yang selalu mensuport baik dalam keadaan suka maupun
duka. dengan begitu, itulah gunanya keluarga yang selalu ada di saat suka maupun
duka. Setiap entai kain memiliki motif yang berbeda-beda, misalnya entai kain
yang bermotif daun, yang bermakna sebagai kesuburan desa Kungkai.
b. Tirai/ Langit-langit
Gambar 2 Tirai/ Langit-langit
Tirai atau bisa disebut juga dengan langit-langit ini terbuat dari benang wol
yan dibuat sedemikian rupa membentuk jambul yang dipasang pada langit-langit
ruangan utama. Hasil wawancara dengan ibu Izarni, beliau mengatakan:
“Kenapo dikatakan tirai langit-langit, kareno tirai ko dipasang
diangit-langit rumah. Dibawah sinilah pengantin tu dudok pas ijab
70
qabul, petando bahwa ado pengenten baru. Melambangkan biak
kekmanopun besak pangkat ngenten ko, dio harus sadar bahwa yang
diatas ko ado yang lebih berkuasa, yakni Allah SWT. Dibuat warna
warni, yaitu warna hijau, kuning, merah, melambangkan kalo
dikehidupan itu ado suko dan dukonyo. ”72
“kenapa dikatakan tirai langit-langit. Karena tirai ini dipasang
dilangit-langit rumah. Dibawah sinilah pengantin duduk pas ijab
qabul., pertanda bahwa ada pengenten baru. Melambangkan biar
kayakmanapun besar pangkat penganten ini, dia harus sadar bahwa
yang diatas ada yang lebih berkuasa, yakni Allah SWT. Dibuat warna
warni, yaitu warna hijau, kuning, merah, melambangkan kalo
dikehidupan itu ada suka dan dukanya”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan oleh penulis bahwa sepasang
penganten yang hendak melaksanakan ijab qabul, haruslah berada dibawah tirai
langit-langit ini. Tirai langit-langit ini melambangkan bahwa kita sebagai umat
manusia tidak seharusnya berlaku sombong, meskipun pangkat kedudukan di
dunia setinggi apapun. Kita harus sadar bahwa ada yang lebih tinggi dan berkuasa
dari kita yaitu Allah SWT. Dan dibuat dengan berwarna warni, itulah warna warni
dalam kehidupan, ada suka maupun duka.
Oleh karena itu, kita sebaiknya tidak berlaku sombong, dan harus selalu
mengingat Allah serta berlaku rendah diri agar hidup kita menjadi lebih baik
dengan selalu mengingat Allah. Karena di desa Kungkai, biarpun orang tersebut
72
Hasil wawancara dengan ibu Izarni, umur 41 Thn, alamat desa Kungkai dusun Bukit
Kelumbu RT 10. Interview pada tanggal 28-februari-2018, Pukul 16.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman ibu Izarni
71
berpangkat tinggi maupun orang biasa saja, mereka tetap melakukan ijab qabul
dibawah tirai langit-langit tersebut. tidak ada yang membedakannya, karena
dengan begitu supaya mereka selalu mengingat atas kebesaran Allah SWT.
c. Tirai Talam
Gambar 3 Tirai Talam
Perlengkapan pelaminan lainnya adalah Tirai Talam yang merupakan
sebuah tudung yang nantinya berisi nasi dan lauk pauk dibawahnya nantinya
yang akan dimakan oleh pengantin saat sesudah menikah. Seperti ungkapan
berikut:
“Tirai talam ni tudung saji, untuk penutup makanan. Tirai talam ni
satu kesatuan samo kudo-kudo namonyo. Jadi agek diatas kudo-kudo
tu diletakkan makanan, terus ditutuplah samo tirai talam ni. Kalo
maknanyo setau kami ndak ado, Cuma berfungsi sebagai tempat
makanan be. Diletakkan disamping kanan kiri pengantin. Kalo
72
masalah makanannyo, makanan biaso tul lah, buat nanti pegantin tu
makan. Tapi ado jugo yang harus ado ditirai talam tu, kaya cawan
yang berisi air putih, tu maknonyo kesucian hati,ketenangan. Ketan
putih, biar rumah tanggo mereka gek lengket terus. Beras, maknonyo
kesuburan, biak mengambil sifat padi semakin berisi semakin
merunduk.. Terus ado sirih, agek kalo ado masalah dalam rumah
tangga seharusnyo lah diselesaikan dengan kepala dingin.73
“tirai talam ini tudung saji, untuk penutup makanan. Tirai talam ini
satu kesatuan dengan kudo-kudo namanya. Jadi nati diatas kudo-kudo
itu diletakkan makanan, terus ditutuplah dengan tirai talam ini. Kalau
maknanya setau kami ngga ada, Cuma berfungsi sebagai tempat
makanan saja. Diletakkan disamping kanana dan kiri pengantin.
Kalau masalah makanan, makanan bisa saja, yang akan dimakan leh
pengantin nantinya. Tapi, ada juga yang harus ada ditirai talam itu.
Seperti cawan yang harus berisi air putih, itu maknanya kesucian dan
ketenangan. Ketan putih, biar ruah tangga mereka nanti lengket terus.
Beras, yang bermakna kesuburan, dan agar mengambil sifat padi
semakin berisi semakin merunduk. Terus ada sirih, agar nanti kalo
ada masalah dalam rumah tangga diselesaikan dengan kepala dingin.
Menurut penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa tirai talam ini
diletakkan disamping kanan dan kiri pengantin. Tirai talam ini sama halnya
dengan tudung saji, yang berfungsi sebagai penutup hidangan makanan untuk
pengantin. Tudung saji ini tidak memiliki arti dan makna yang khusus.
73 Hasil wawancara dengan bapak Sibujang Am, umur 58 Thn, alamat desa Kungkai
dusun Sawah RT 07. Interview pada tanggal 27-februari-2018, Pukul 19.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman bapak Sibujang Am
73
Makanan yang disajikan berupa makanan biasa yang nantinya akan dimakan
oleh kedua pengantin. Namun selain makanan biasa, juga terdapat makanan yang
harus ada, yaitu (1) cawan yang berisi air putih yang bermakna sebagai kesucian
hati, ketenangan, serta kesabaran dalam menjalani pernikahan. (2) Ketan putih,
yang bermakna spaya nantinya pernikahan tersebut selalu utuh seperti halnya
sifat ketan yang lengket. (3) Beras, yang bermakna sebagai kesuburan,
kemakmuran, semangat dan dimudahkan rezeki serta kedua mempelai agar
senantiasa mengambil sifat padi yang semakin berisi semakin merunduk. (4) daun
sirih, daun ini melambangkan kesejukan, kesabaran dan ketenangan. Sehingga
bermakna sebagai penawar dalam permasalahan rumah tangga agar kedua
memepelai dalam mengambil keputusan haruslah dengan kepala dingin dan
bermusyawarah. Tirai talam ini nantinya akan berkaitan dengan kuo-kudo. Karena
tirai talam dan kudo-kudo merupakan suatu kesatuan.
d. Kudo-Kudo
Gambar 4 Kudo-kudo
74
Kudo-kudo merupakan kayu yang diukir tempat untuk meletakkan tirai
talam yang nantinya akan diletakkan di kanan dan kiri pengantin. Seperti
ungkapan berikut:
“nah kalo kudo-kudo ni merupakaan dasar tempat kito narok
makanan. Jadi, agek kalo kudo-kudo dengan tirai talam ni lah ado
isinyo, itu bermakno sebagai ungkapan rasa syukur kami atas rezeki
yang Allah berikan. Dan untuk keduo penganten semoga be diberikan
rezeki yang banyak.74
“nah kalo kudo-kudo ini merupakan dasar tempat kita meletakkan
makanan. Jadi, nanti kalau kudo-kudo dengan tirai talam ini sudah
ada isinya, itu bermakna sebagai ungkapan rasa syukur kami atas
rezeki yang Allah berikan. Dan untuk kedua mempelai, semoga
diberikan rezeki yang banyak.”
Menurut penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa kudo-kudo ini
sebagai dasar untuk meletakkan makanan yang nantinya akan dimakan
pengantin . Sama halnya dengan tudung saji, kudo-kudo ini tidak terdapat makna
yang khusus. Kudo-kudo dan tirai talam merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Yang nantinya akan diletakkan di samping kanan dan kiri sepasang
pengantin, dengan berbagai makanan untuk makan penganten tersebut maupun
makanan yang ditentukan. Namun, apabila setelah diatas kudo-kudo ini terisi
makanan, dan yang berada dibawah tudung saji, satu kesatuan ini bermakna
74 Hasil wawancara dengan ibu Izarni, umur 41 Thn, alamat desa Kungkai dusun Bukit
Kelumbu RT 10. Interview pada tanggal 28-februari-2018, Pukul 16.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman ibu Izarni
75
sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang selama ini Allah berikan, dan
harapan untuk kedua mempelai diluaskan pintu rezekinya, dimudahkan dalam
mencari rezeki. Karena dengan menikah dapat membuka pintu-pintu rezeki.
e. Tiang Bantal
Gambar 5 Tiang bantal
Tiang bantal dibuat dari kayu yang diukir dengan sedemikian rupa
menyerupai sebuah pintu yang dietakkan dibelakang sepasang pengantin. Hanya
terdiri dari satu tiang bantal pada setiap pelaminan, dan diletakkan dibelakang
sepasang pengantin. Seperti ungkapan bapak rahip, beliau mengatakan:
“tiang bantal ni diletakkan dibelakang sepasang pengantin. Yang
menyerupai satu pintu. Tiang bantal ni bermakno tempat satu-
76
satunya kito mintolah istilahnyo. Jadi, kalo ado apo-apo cuma samo
Allah lah kita minta petunjuk.75
“tiang bantal ini diletakkan dibelakang sepasang pengantin. Yang
menyerupai satu pintu. Tiang bantal ini bermakna tempat satu-
satunya kita meminta istilahnya. Jadi, kalau ada apa-apa Cuma
dengan Allah kita meminta petunjuk.”
Menurut keterangan di atas penulis menyimpulkan bahwa tiang bantal ini di
lambangkan sebagai satu-satunya pintu meminta. Karena, semua orang pasti
pernah merasakan sesuatu yang tidak diinginkan. Semua orang juga pasti
mempunyai masalah dan problem kehidupan. Begitu juga dalam kehidupan
berumah tangga, tentulah manusia akan menghadapi problema kehidupan dalam
berumah tangga. Oleh karena itu, dalam menghadapi problema kehidupan, harus
senantiasa mengingat Allah dan meminta petunjuk serta pertolongan hanya
kepada-Nya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hidup. Sesungguhnya
tatkala kesulitan itu datang, maka Allah lah sebaik-baik penolong dan kepada-Nya
lah kita bergantung.
2. Ragam hias pelaminan tradisional sebagai alat pemersatu
Wawancara dengan Bapak Rahip, beliau mengatakan bahwa:
“Kareno didesa Kungkai ni punyo limo suku. suku dideso Kungkai ni
ado limo, yaitu suku Bandar, Datuk Kayo, Sengkuno, Puding, Suko
Berajo. kalopun bedo suku, diantaro suku-suku itu mako tadi keluargo
75 Hasil wawncara denga Ibu Tauna, umur 51 Tahun alamat desa Kungkai dusun Simpang
Kungkai RT 02. Interview pada tanggal 29-maret-2019, pukul 13.00 Wib. Tempat: Rumah
kediaman ibu tauna
77
besak dari suku inilah mereka saling ketergantungan, makonnyo
tradisi ni dilestarikan sebagai pemersatu. Kareno kami selaku
masyarakat deso Kungkai sangatlah bangga dengan menggunakan
itu, karena kito ni tidak ado didunio ni kalu tidak ketergantungan
terhadap keluargo, tidak ado ketergantungan terhadap orang lain.76
Karena di desa Kungkai ini mempunyai lima suku, yaitu suku Bandar,
Datuk Kayo, Sengkuno, Puding, dan Suko Berajo. Meskipun beda
suku, iantara suku-suku itu, maka semuanya saling ketergantungan.
Sehingga tradisi ini dilestarikan sebagai pemersatu antar suku.
Karena kami selaku masyarakat desa Kungkai, sanggat bangga
dengan menggunkan ragam hias itu, karena kita didunia ini tidak ada
yang tidak membutuhkan keluarga, juga membutuhkan orang lain.
Menurut wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa, ragam hias
pelaminan tradisional ini juga berfungsi sebagai alat pemersatu bagi masyarakat
desa Kungkai. Dikarenakan didesa Kungkai terdapat lima suku, yaitu suku
Bandar, Datuk Kayo, Sengkuno, Puding dan Suku Berajo. Oleh sebab itu,
meskipun berbeda-beda suku, namun tidak ada hal yang membedaknnya. Terlihat
seperti dalam hal adat perkawinan, yaitu seluruh masyarakat desa Kungkai
meskipun bukan tengganainya, mereka tetap sama menggunakan ragam hias
pelaminan tradisional tersebut. sehingga dapat dikatakan bahwa pelaminan
tradisional tersebut bernilai sosial.
76 Hasil wawancara dengan bapak Rahip, umur 55 Thn, alamat desa Kungkai dusun
Simpang Kungkai RT 02. Interview pada tanggal 28-Maret-2018, Pukul 14.30 wib. Tempat:
Rumah kediaman bapak Rahip
78
Nilai sosial sangat antusias dengan hubungan suatu masyarakat dengan
masyarakat lain yang mengenai apa-apa yang dianggap baik dan buruk oleh
masyarakat. yang terdapat dalam tradisi ini adalah rasa saling tolong menolong,
bantu membantu, gotong royong dan lain sebagainya. Terlebih lagi dalam
pemasangan ragam hias pelaminan tradisional ini, yang membutuhkan waktu
berhari-hari bahkan mencapai 2 minggu, dengan itu mebutuhkan bantuan dari
keluarga terdekat baik mulai dari peminjaman ragam hias apabila tidak
memenuhi, dan juga dalam pemasangannya sehingga acara pernikahan dapat
berjalan dengan lancar.
Masyarakat desa kungkai masih berpegang teguh terhadap apa yang telah
mereka miliki dan tetap mempertahankannya hingga zaman berganti modern,
meskipun terdapat banyak pelaminan-pelaminan modern, tetapi masyarakat desa
Kungkai masih mempertahankan serta melestarikan penggunaan ragam hias
pelaminan tradisional ini, karena ragam hias peaminan tradisionlal ini memiliki
nilai serta makna tersendiri bagi masyarakat desa Kungkai sehingga mereka masih
mempertahankan dan tidak meninggalkan dizaman modern sekarang ini.
3. Melestarikan Budaya Lokal
Sistem nilai budaya merupakan tingkat paling tinggi dan paling abstrak dari
suatu adat istiadat. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan
konsep-konsep dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap
bernilai, berharga, penting dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat berfungsi
79
sebagai fenomena yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan
masyarakat.
Keberadaan tradisi penggunaan ragam hias pelaminan tradisional ini sudah
tidak asing lagi bagi masyarakat desa kungkai. Melalui penggunaan ragam hias ini
bertujuan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT yang sudah menjadi
kebiasaan dan sudah mendarah daging bagi masyarakat desa Kungkai. Sehingga
masyarakat ini tetap menggunakan ragam hias pelaminan tradisional ini pada adat
perkawinan.
Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan yang didapatkan dari hasil
wawancara dengan tokoh masyarakat, yaitu kepala adat desa Kungkai. Beliau
mengatakan:
“Ragam hias ko lah jadi identitas orang Kungkai, ndak ado orang
yang make dak kecuali orang Kungkai. Ragam hias ko dipasang
dirumah penganten cewek, diruang tamu utamo. Waktu ijab qabul,
penganten ko duduk lah dibawah ragam hias ko. Biak ado berkah
untuk rumah tanggo mereka. Jugo dijauhi dari hal yang buruk”77
“Ragam hias ini sudah menjadi identitas diri orang Kungkai. Tidak
ada yang mengunakan kecuali orang Kungkai. Ragam hias ini
dipasang dirumah penganten cewek yaitu diruangan utama. Dan
ketika ijab qabul, penganten tersebut duduk dibawah ragam hias
tersebut. sehingga pengenten tersebut mendapatkan berkah dan
terhidar dari hal yang tidak diinginkan.
77 Hasil wawancara dengan bapak Sibujang Am, umur 58 Thn, alamat desa Kungkai
dusun Sawah RT 07. Interview pada tanggal 27-februari-2018, Pukul 19.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman bapak Sibujang Am
80
Tradisi ini masih dibudayakan oleh masyarakat desa kungkai hingga saat
ini salah satu faktor yang menyebabkannya adalah ragam hias pelaminan tersebut
merupakan identitas diri masyarakat Kungkai. Sehingga masyarakat Kungkai
masih mempertahankan, karena telah menjadi kebiasaan dan kepercayaan pada
tradisi mereka yang telah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun lamannya dan
masih ada pengaruhnya sampai saat ini memiliki makna kebaikan dari sang kuasa
bagi sepasang penganten.
4. Penghormatan Terhadap Leluhur
Masyarakat desa Kungkai begitu antusias dalam mejaga tradisi ini agar tetap
dilestarikan hingga keanak cucu mereka nantinya. Maka dalam ini, mereka tetap
mempertahankan tradisi ini. Mereka mempercayai bahwa ketika mereka
mengadakan pernikahan namun tanpa menggunakan ragam hias ini, maka mereka
menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak lazim (tidak wajar) karena tidak
melakukannya. Pernyataan ini sesuai dengan yang dikatakan oleh bapak Aswan
selaku pengguna ragam hias tersebut:
“Sebab tradisi ko dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang
kami terdahulu. Jadi orang dulu tu, kalo ado yang ngelahirin anak
cewek, nah mulailah dicicil ragam hias ko,mulai buek tirai dll. Jadi,
kalo ragam hias ko dipake, ini tu merupakan wujud harapan kami
demi kebaikan untuk sepasang pengantin dalam membina rumah
tangga.78
78 Hasil wawancara dengan bapak Aswan, umur 58 Thn, alamat desa Kungkai dusun
Sawah RT 07. Interview pada tanggal 30-Maret-2019 , Pukul 16.00 wib. Tempat: Rumah
Kediaman bapak Aswan
81
“Sebab tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun dari
orang0orang terdahulu. Jadi, orang-orang terdahulu kalau ada yang
melahirkan anak perempuan, mereka mulai mencicil ragam hias
tersebut, mulai dari membuat tirai dll. Jadi, kalau ragam hias ini
dipasang dan digunakan pada saat acara perkawinan, ini merupakan
wujud harapan demi kebaikan sepasang penganten dalam membina
rumah tangga.
Di dalam perkembangan zaman sekarang ini, masyarakat dea Kungkai
mengharapkan nilai-nilai yang terkandung pada setiap ragam hiasnya masih
terjaga dan dilestarikan sampai sekarang higga kedepannya. Dikarenakan, zaman
sekarang ini telah banyak berkembang pelaminan-pelaminan modern yang tanpa
memperdulikan makna yang terkandung didalamnya, dan hanya meperlihatkan
pada nilai estetika pelaminannya saja. Penggunaan ragam hias pelaminan
tradisional ini, meskipun telah berkembang pelaminan-pelaminan modern seperti
yang kita lihat pada zaman sekarang ini, namun masyarakat desa Kungkai masih
mempertahankannya, ini merupakan masyarakat desa Kungkai masih sangat
menghormati para leluhur yang dianggap sebagai penerus cikal bakal anak cucu
mereka. Karena apabila tidak menggunakan ragam hias pelaminan tradisional ini
masyarakat setempat merasa ada yang kurang (tidak wajar).
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh pembahasan seperti yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Sejarah penggunaan ragam hias pelaminan tradisional ini tidak dapat
dipastikan tetapi sudah digunakan namun menurut beberapa informan ragam
hias ini sudah digunakan sejak zaman Belanda. Yang mana dahulunya Jambi
merupakan pusat utama perdagangan lada yang mengutungkan dengan
perusahaan-perusahaan Inggris, Portugis bahkan Hindia Timur Belanda.
sehingga Jambi banyak didatangi oleh para pedagang dari Cina, India,
Makassar serta Jawa terlibat juga didalamnya. Bukan hanya dalam
perdagangan lada, Jambi juga mengimport barang-barang tekstil dari India.
Karena permintaan tekstil Jambi dari India cukup besar, sistem perdagangan
dapat pula dilakukan dengan sistem barter yang terjadi sekitar abad XVII-an.
Dalam hal ragam hias terdapat sedikit perbedaan namun tidak secara
signifikan, dapat dilihat pada kain yang digunakan untuk tirai talam dan tiang
bantal, pada zaman dahulu terbuat dari kain perca yang dihiasi dengan manik-
manik. Namun seiring perkembangan zaman, kain ini telah terganti dengan
kain sejenis beludru. Sedangkan ragam hias pelamian tradisional ini sudah
digunakan sejak lama, maka apabila terdapat kerusakan akan diganti namun
tanpa menghilangkan substansinya. Model ragam hias pelaminan tradisional
83
ini kemungkinan dipengaruhi dari pernana tekstil India dalam perdagangan
Asia Tenggara pada abad ke-XVII.
2. Proses penggunaan pemasangan ragam hias pelaminan tradisional adalah:
a. Tahap persiapan
Dalam tahap persiapan biasnya masyarakat desa Kungkai sebelum
melakukan pemasangan ragam hias pelaminan tradisional ini, mereka
mengadakan acara yang sering disebut dengan nampung orang kecik
dan nampung orang besak. Dalam tahap nampung orang kecik ini di
dalamnya terdapat suatu acara yaitu acara yasinan keluarga dan di
akhiri dengan makan-makan. Sedangkan nampung orang besak
merupakan pemberitahuan bahwa akan adanya pesta perkawinan yang
nantinya mereka akan membantu dalam melaksanakan pesta
perkawinan namun tidak dalam hal pemasangan ragam hias paleminan
tradisional ini.
b. Tahap pemasangan
1. Mencari buloh dan pemasangan entai kain
2. Pemasangan tirai langit-langit
3. Pemasangan tiang bantal
4. Pemasangan kudo-kudo dan tirai talam
Meskipun sekarang banyak penambahan interior pelaminan untuk
memperindah, seperti penambahan bunga-bunga, dan lain sebagainya,
namun masyarakat desa Kungkai tidak meninggalkan elemen utama dari
84
pelaminan tersebut seperti yang telah dijelaskan di atas. Menurut
masyarakat setempat, apabila dalam adat perkawinan tidak menggunakan
ragam hias tersebut, maka akan dipandang hina oleh masyarakat di
sekitarnya, dan di khawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dan apabila ragam hias pelaminan tradisiona tersebut sudah terpasang,
maka pihak laki-laki serta keduanya tidak dapat membatalkan pernikahan,
dan apabila membatalkan pernikahan maka akan dikenakan denda adat
yaitu seekor kambing karena hal tersebut sama saja merendahkan harga
diri pihak yang bersangkutan, dan merupakan sama saja mempermainkan
ragam hias pelaminan tradisional tersebut yang dianggap barang istimewa,
serta barang sakral bagi masyarakat setempat.
3. Faktor-faktor masyarakat masih mempertahankan ragam hias pelaminan
tradisional ini adalah:
a. Tradisi penggunaan ragam hias pelaminan tradisional merupakan wujud
representatif dari simbol-simbol yang bermakna positif.
Karena di setiap ragam hias pelaminan tradisional yang digunakan ini
mengandung unsur-unsur positif yang di yakini masyarakat setempat dapat
mendatangkan suatu kebaikan untuk rumah tangga yang akan mereka bina.
Yang nantinya agar rumah tangga keduanya mendapat berkah, tentram,
dan damai. Dan juga agar selalu mengingat Allah SWT dalam berumah
tangga, agar diberikan kehidupan yang baik kedepannya. Sehingga ragam
hias pelaminan tradisional ini dianggap sakral oleh masyarakat setempat
85
karena mengandung makna positif, dan hanya diperkenankan dipakai
dalam adat perkwinan yang di rencanakan, atas dasar suka sama suka oleh
kedua belah pihak. oleh karena itu masih dipertahankan hingga sekarang
ini.
b. Ragam hias pelaminan tradisional sebagai alat pemersatu
Ragam hias pelaminan tradisional ini juga berfungsi sebagai alat
pemersatu bagi masyarakat desa Kungkai. Dikarenakan didesa Kungkai
terdapat lima suku, yaitu suku Bandar, Datuk Kayo,Sengkuno, Puding dan
Suku Berajo sehingga tidak ada yang membedakannya, karena setiap suku
yang terdapat di desa Kungkai dalam adat perkawinan mereka tetap
menggnakan ragam hias pelaminan ini. Serta dalam pemasangan ragam
hias pelaminan tradisional ini dibutuhkan waktu tidak sebentar, sehingga
memerlukan bantuan sepenuhnya dari keluarga. Dengan begitu
silaturahmi mereka tetap akan terjaga.
c. Melestarikan budaya lokal
Karena tradisi pemakaian ragam hias pelaminan tradisional ini telah
ada sejak dahulu. Oleh karena itu masyarakat desa Kungkai masih
mempertahankan apa yang telah mereka miliki. Karena bagi mereka
pelaminan ini sangat berharga, yang mana ragam hias pelaminan tradisinal ini
merupakan identitas diri masyarakat desa Kungkai.
d. Penghormatan terhadap leluhur
Tradisi pemakaian pelaminan tradisional ini ada sejak zaman dahulu.
Sehingga masyarakat desa Kungkai masih mempertahankan hingga sekarang
86
Mereka mempercayai bahwa ketika mereka mengadakan pernikahan namun
tanpa menggunakan ragam hias ini, maka mereka menyadari bahwa ada
sesuatu yang tidak lazim (tidak wajar) karena tidak melakukannya dan akan
dianggap hina oleh masyarakat sekitar.
B. Saran
Setelah selesai dan membahas mengenai penggunaan ragam hias
pelaminan tradisional pada adat perkawinan di desa Kungkai ini, sedikit
banyaknya tentu kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya budaya pemakaian
ragam hias pelaminan tradisionalini merupakan budaya yang unik dan layak untuk
dijadikan sebagai salah satu budaya yang harus dijaga. Semoga karya ini dapat
diterima dan bermanfaat bagi kita semua.
1. Adapun rekomendasi untuk pemerintahan Merangin khususnya lembaga
adat Merangin untuk lebih memperhatikan lagi budaya-budaya yang ada
dikabupaten Merangin agar tidak tenggelam ditelan zaman. Karena
tradisi ini merupakan tradisi yang unik, kekayaan yang dimiliki
kabupaten Merangin yang bisa menjadi aset yang berharga, yang dapat
memperkenalkan Merangin, atau bahkan Provinsi Jambi lewat budaya-
budaya mereka.
2. Seyogyanya kepala adat memberikan pengarahan kepada masyarakat
pengguna agar memahami nilai-nilai yang terkadung di setiap ragam
hias pelaminanya.
DAFTAR PUSTAKA
Suraharismi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan kantor Wilayah Provinsi Jambi Proyek
Pengembangan kesenian Jambi, 1983.
Dr. Hans J. Daeng. 2008. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan
Antropologis Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Spradley James P. 2006. Metode Etnografi Yogyakarta: Tiara Wacana.
Somad Arsyad Kemas. 2002. Mengenal Adat Jambi dalam Prespektif Modern
Dinas Pendidikan Provinsi Jambi.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi Jakarta: Rineka Cipta.
Maleong J Lexy. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: Remaja
Rosdakarya.
M Setiadi Elly, Kama A Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial Budaya Dasar
(Jakarta: Prenamedia group, 2006).
Cholid Narbuko & Achmadi Abu. 2005. Metode Penelitian Jakarta: Bumi
Aksara.
Maran Raga Rafael. 2007. Manusia dan Kebudayaan dalam Prepektif Ilmu
Budaya Dasar Jakarta: Rineka Cipta.
Faisal Sanafiah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Soekanto Soejoeno. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Endraswara Suwardi. 2006. Metodologi Penelitain Kebudayaan Yogyakarta:
gajah Mada University Press.
Endraswara Suwardi. 2006. Metode Teori Thenik Penelitian Kebudayaan
(Yogyakarta: Puataka widyatama, 2006.
T.O Ihromi Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2017).
S. P. Sen The Role of Indian Textiles in Southeast Asian Trade in Seventeenth
Centry (Cambridge University Press of Dapartment of History, National
Univerity of Singapore Vol. 3 No. 2, 1962).
Aydayusi Dastaty. 2015. Studi Tentang Pelaminan Di Kecamatan Kota Baru
Kota Jambi Skripsi. Universitas Negeri Padang. Padang.
Wina Lerina. 2015. Garapan Penyajian Upacara Siraman Calon Pengantin
Sunda Adat Sunda Grup Swari Laksmi Kabupaten Bandung Skripsi.
Universitas Pendidikan Indonesia.
Mardiana. 2017. Tradisi Pernikahan Masyarakat di Desa Bontolempengan
Kabupaten Gowa (Akulturasi Budaya Islam dab Budaya Lokal) Skripsi.
UIN Alauddin Makasar, Fakultas Adab dan Humaniora.
Nazirah, 2015. Nilai Simbolis Pada Ragam Hias Pelaminan Tradisional Aceh
Besar Skripsi. Fakultas Keguruan dan Kesejahteraan Keluarga Universitas
Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.
Rahmanita Nofi. 2016. Pelaminan Dalam Adat Masyarakat Minangkabau Skripsi.
Institut Seni Indonesia Padang Panjang.
Hartika Windri. 2016. Makna Tradisi Selapanan pada Masyarakat Jawa di Desa
Gedung Agung di Kecamatan jati Agung Kabupaten Lampung Selatan
Skripsi.
Ariska Wiwik. 2015. Makna Simbolis Beppa Pute Dalam Prosesi Pernikahan
Suku Bugis Wajo, Skripsi. Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi, Jambi.
Zamri, 2018. Study Makna Prosesi Adat Menimbang Pengantin Dalam Sistem
Pernikahan di Desa Sekernan Kecamatan Sekernan Kabupaten Muaro
Jambi Provinsi Jambi. Skripsi Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi, Jambi.
Zuraima. 1983. Seni Hias Pakaian Adat Wanita dan Pakaian Pengantin Wanita
Jambi. DEPDIKBUD. Proyek Pengembangan Kesenian Jambi.
LAMPIRAN
Jalan menuju desa Kungkai
Desa Kungkai
Desa Kungkai
Musyawarah keluarga
Setelah ijab qabul
Setelah ijab qabul di malam hari kedua mempelai duduk di pelaminan tradisional
tersebut
Observasi peneliti mengenai ragam hias pelaminan tradisional
Setelah pesa perkawinan ragam hias pelaminan tradisional tidak langsung
dibongkar. Mungkin ada sebagian yang di bongkar, namun tidak sepenuhnya.
Wawancara dengan bapak Sibujang Am selaku ketua adat desa Kungkai
Wawancara dengan ibu Hafsah
DAFTAR NAMA INFORMAN
1 Nama
Umur
Pekerjaan
Agama
Almat
SiBujang Am
58 Tahun
Ketua Adat desa Kungkai
Islam
Desa Kungkai dusun Sawah RT 07
2 Nama
Umur
Pekerjaan
Agama
Almat
Hafsah
52 Tahun
IRT
Islam
Desa Kungkai dusun Bukit Kelumbu RT 10
3 Nama
Umur
Pekerjaan
Agama
Almat
Rahip
55 Tahun
Petani
Islam
Desa Kungkai dusun Simpang Kungkai RT 02
4 Nama
Umur
Pekerjaan
Agama
Almat
Tauna
51 Tahun
IRT
Islam
Dusun Simpang Kungkai RT 02
5 Nama
Umur
Pekerjaan
Agama
Almat
Izarni
41 Tahun
Guru SD
Islam
Desa Kungkai dusun Bukit Kelumbu RT 10
6 Nama
Umur
Pekerjaan
Agama
Almat
Aswan
58 Tahun
Petani
Islam
Desa Kungkai dusun Sawah RT 07
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA
PENGGUNAAN RAGAM HIAS PELAMINAN TRADISIONAL PADA
ADAT PERKAWINAN DI DESA KUNGKAI KABUPATEN
MERANGIN
PEDOMAN WAWANCARA
A. Identitas Diri
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
Waktu Pelaksanaan:
B. Panduan Wawancara
1. Bagaimana sejarah awal mula digunakannya ragam hias pelaminan
tradisional pada adat perkawinan?
2. Instrumen apa saja yang terdapat pada ragam hias pelaminan tradisional
yang digunakan pada adat pekawinan?
3. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam menyiapkan pelaminan
tersebut beserta ragam hiasnya sebelum dipakai untuk acara adat
perkawinan? Dan siapa saja yang berpartisipasi?
4. Mengapa masyarakat masih menggunakan ragam hias pelaminan
tradisional pada saat adat perkawinan?
5. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap penggunaan ragam hias
pelaminan tradisional pada adat perkawinan?
6. Mengapa digunakan hanya pada pernikahan perempuan?
7. Apakah hanya digunakan pada saat acara perkawinan saja?
8. Bagaimana prosesi permulaan penggunaan ragam hias pelaminan
tradisional pada adat perkawinan?
9. Apa makna yang terkandung pada setiap ragam hias pelaminan
tradisional?
BIODATA PENULIS
Nama : Eka Apriliani
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal lahir : Sarko, 04 April 1997
Alamat Asal : Ds. Lantak Seribu Kecamatan, Renah Pamenang
Kabupaten, Merangin
Alamat sekarang : Mendalo Asri Blok A4
Alamat e-mail : [email protected]
Nama orang tua
Ayah : Iswanto
Ibu : Sulastri
Jenjang Pendidikan
1. Sekolah Dasar Negeri 218 : 2009
2. Madrasah Tsanawiyah Negeri Pinang Merah : 2012
3. Sekolah Menengah Atas 12 Merangin : 2015