Download - Pengolahan Dan Pengapalan
Pengolahan dan Pengapalan
Tata cara pengolahan yang dilaksanakan merupakan suatu proses penimbunan dan perubahan
bentuk dan/atau ukuran batubara dengan menggunakan peralatan mekanis, yaitu crushing
machine.
Hal ini berdasar pada :
1. Kualitas batubara yang diproduksi telah bersih dari unsur pengotor.
2. Nilai kalori batubara cukup bervariasi, dalam kisaran 5800 ~ 7000 Cal/kg (dipengaruhi
oleh level seamnya).
3. Mempermudah penyediaan stock batubara dengan spesifikasi yang diperlukan oleh
pembeli/pasar.
Adapun mesin crusher yang digunakan berkapasitas 350 MT/jam dengan keluaran berupa 3
(tiga) macam ukuran batubara, berkisar antara 1mm ~ 50mm.
Sedangkan unit pendukung operasional mesin crusher ini meliputi :
1. Unit excavator, bertugas sebagai pemberi umpan batubara asalan ke hoper mesin crusher.
2. Unit wheel loader, bertugas sebagai alat penimbun kembali batubara masak di beberapa
titik penimbunan, yaitu sesuai dengan spesifikasinya.
Tahapan proses pengolahan batubara ini mulai dari batubara asalan (berbentuk tidak beraturan)
hingga menjadi batubara masak atau siap jual (berbentuk butiran yang seragam) dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Penimbunan batubara asalan secara terpisah dan berdasarkan seamnya.
2. Pembentukan ukuran batubara tertentu melalui proses crushing untuk setiap jenis seam
batubara atau penyatuan beberapa seam batubara yang mempunyai spesifikasi hampir
sama.
3. Penimbunan kembali batubara masak hasil proses crushing secara terpisah dan
berdasarkan spesifikasinya.
Stock batubara masak dari hasil pengolahan berupa beberapa stock penimbunan batubara yang
dibedakan berdasarkan bentuk/ukuran dan spesifikasi kualitasnya. Sehingga saat ada permintaan
pasar terhadap pengiriman batubara dengan kualifikasi tertentu, maka akan dapat dipenuhi
dengan melakukan proses pencampuran (blending) antar beberapa stock batubara yang telah ada.
Proses pencampuran batubara yang akan dikirim ke pasar dilakukan berdasarkan perbandingan
tertentu, yaitu disesuaikan dengan kualifikasi untuk setiap permintaan yang ada. Sehingga
produk akhir berupa stock batubara berkalori tinggi dengan spesifikasi detail yang berbeda-beda.
Kegiatan pengapalan batubara masak dilakukan dengan menggunakan system conveyor, yaitu
stock batubara masak diambil (sesuai spesifikasi permintaan pasar) dan diangkut oleh unit dump
truck dan didump ke hopper conveyor, untuk selanjutnya belt conveyor mengangkut batubara
hingga ke ujung jetty dan menuangkan batubara ke tongkang yang telah tersandar secara aman.
Jika kebetulan system conveyor ini mengalami kendala teknis, maka system pengapalan
penggantinya berupa system trucking, yaitu unit dump truck membawa muatan batubara dari
stockpile pelsus menuju ujung jetty dan naik masuk ke dalam tongkang dan menurunkan
muatannya. Demikian seterusnya secara berulang-ulang hingga kapasitas muat tongkang
terpenuhi, yaitu sekitar lebih kurang 6.000 MT.
baru
1. Tujuan proses pengolahan
Dikaitannya dengan rencana pemasaran dan operasi penambangan batubara, maka pengadaan
proses pengolahan batubara (coal Processing plant /CCP) bertujuan untuk mengolah batubara
menjadi produk batubara ( product area ) yang sesuai dengan permintaan pasar. Dengan
mempertimbangkan beberapa hal, misalnya kualitas atau mutu cadangan batubara, metode
penambangan yang terpilih, serta kualitas permintaan pasar, maka proses pengolahan batubara,
meliputi ruang lingkup proses sebagai berikut:
a. Melakukan reduksi ukuran (size reduction) melalui penggerusan (crushing)
b. Melakukan pemisahan (clasification) melalui pengayakan (screening)
c. Melakukan pencampuran (blending) batubara
d. Melakukan penimbunan/penumpukan batubara (sitockpilling)
e. Melakukan penanganan limbah air (water pollution treatment).
2. Desain pengolahan batubara
Dalam upaya mengolah batubara menjadi produk akhir yang diminati konsumen perlu rancangan
pengolahan yang komprehensif agar pelayanannya memuaskan. Rancang bangun unit
pengolahan didasarkan pada faktor-faktor antara lain: target atau permintaan pasar rata-rata,
kualitas batubara dari tambang (raw coal), spesifikasi produk akhir yang diminta, ketersediaan
lahan untuk area pengolahan termasuk tempat penimbunan (stockpile) dan ketersediaan air
disekitar area pengolahan. Semua f aktor tersebut diatas akan menentukan jenis, dimensi dan
kapasitas peralatan atau mesin pengolahan yang dibutuhkan serta flowsheet pengolahan yang
sesuai dengan memperhatikan unsur keselamatan kerja.
2.1 Kapasitas produksi
Kapasitas produksi pengolahan batubara harus mampu mencapai atau memenuhi target produksi
optimum yang direncanakan misal, yaitu 2.000.000 ton per tahun dengan kapasitas stockpile
sebesar 200.000 ton/2 bulan. Berdasarkan target tahunan tersebut dapat dihitung kapasitas unit
pengolahan yang beroperasi 2 shift/hari (8 jam/shift), 28 hari/bulan dan efisiensi kerja 80%
sebagai berikut:
T = 0,80 x 16 jam/hari x 28 hari/bulan x 12 bulan/tahun = 4300 jam/tahun
2.000.000 ton/tahun
K = -------------------- = 465 ton/jam
4300 jam/tahun
Loses factor = 8% = 0,08 x 465 = 37 ton/jam
Kterpasang = 465 + 37 = 502 ton/jam
Di mana T dan K masing-masing adalah waktu produksi dan kapasitas produksi. Dengan loses
factor sebesar 8% akan diperoleh kapasitas terpasang sekitar 500 ton/jam.
2.2 Kualitas produksi
Kualitas produksi hasil proses pengolahan batubara harus dapat me menuhi persyaratan yang
diinginkan pasar. Berdasarkan survey pasar dapat disimpulkan bahwa kualitas batubara yang
harus dihasilkan proses pengolahan seperti terlihat pada Tabel berikut :
2.3 Prosedur pengolahan batubara
Prosedur pengolahan memperlihatkan tahapan proses pengolahan batubara mulai dari
penimbunan raw coal di lokasi pabrik pengolahan sampai produk akhir. Gambar 1 adalah
diagram alir (flowsheet) proses pengolahan yang merupakan gambaran dari prosedur pengolahan
batubara.
a. Persiapan pengumpanan (feeding)
Sebagai umpan (feed) awal proses pengolahan adalah batubara dari tambang atau ROM atau raw
coal yang ditumpuk di stockpile di lokasi pengolahan. Ukuran maksimum umpan awal ini
direncanakan 300 mm, sedangkan terhadap umpan yang lebih besar d ari 300 mm akan
dilakukan pengecilan secara manual menggunakan hammer breaker. Baik umpan batubara dari
tambang maupun hasil pengecilan ulang semuanya dimasukkan ke hopper menggunakan wheel
loader untuk dilanjutkan ke proses reduksi dan pengayakan sampai diperoleh produkta akhir
yang siap jual.
b. Pengay akan dengan Grizzly
Grizzly berfungsi memisahkan fraksi batubara berukuran +300 mm dengan -300 mm dan
posisinya terletak tepat di bawah hopper. Lubang bukaan (opening) grizzly berukuran 300 mm x
300 mm. Undersize grizzly -300 mm diangkut belt conveyor untuk u mpan crusher primer.
Sedangkan fraksi +300 mm di kembalikan ke tumpukan untuk dire duksi ulang menggunakan
hammer breaker. Hasil reduksi ulang dikembalikan lagi ke grizzly untuk pemisahan atau
pengayakan ulang. Proses ini berlangsung terus menerus selama shift kerja berlangsung.
c. Peremukan tahap awal (primary crusher)
Proses peremukan awal bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -300 mm menjadi
ukuran rata-rata 150 mm. Dengan demikian nisbah reduksi (reduction ratio) pada tahap primer
ini adalah 2. Alat yang digunakan adala h roll crusher yang berkapasitas 50 0 ton/jam. Untuk
menaksir power atau energi (hp) crusher digunakan rumus Bond Crusher Work Index Equation
seperti terlihat berikut ini.
Written by Boss Tambang Friday, 22 January 2010 15:42
di mana:
Wi = Indeks kerja (work index) yang diperoleh dari hasil uji kemampu-gerusan (grindability) di
lab, untuk batubara sekitar 11,37
C = konstanta dari pabrik pembuat unit crusher, biasanya di atas 10 tergantung jenis bahan metal
pembentuk crusher tersebut. Untuk batubara diambil 10
F = diameter umpan yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),
P = diameter produkta yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),
Faktor = konstanta jenis crusher, untuk primer = 0,75 dan sekunder = 1
Hasil perhitungan untuk menaksir kebutuhan energi crusher primer dengan menggunakan
persamaan (1) dan (2) hasilnya sebagai berikut:
F = dijamin konsisten berukuran -300 mm (300.000) sebanyak 80%
P = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000) sebanyak 80%
faktor = 0,75 (crusher primer)
d. Pengayakan (screening) tahap-1
Proses pengayakan adalah salah satu proses yang bertujuan untuk mengelompokan ukuran fraksi
batubara, sehingga disebut juga dengan proses classification. Alat yang dipakai untuk
pengayakan biasanya ayakan getar (vibrating screen). Pada pengolahan batubara ini proses
pengayakan tahap awal menggunakan vibrating screen-1 untuk memisahkan fraksi ukuran +150
mm dan -150 mm. Fraksi -150 mm adalah umpan secondary crusher, sedangkan + 150 mm
diresirkulasi sebagai umpan crusher primer untuk diremuk ulang. Produkta dari proses
pengayakan harus selalu dijaga konsistensi laju kapasitasnya sebanyak 500 ton/jam. Untuk itu
perlu dilakukan penaksiran dimensi (panjang dan lebar) dari ayakan (screen) yang harus
dipasang.
Terdapat beberapa metoda untuk menentukan dimensi screen dan cara yang dipakai dalam
rancangan unit screen dalam studi ini adalah cara grafis dengan beberapa rangkuman konstanta
(faktor) yang diperlukan seperti terlihat pada Tabel 2. Konstanta tersebut merupakan faktor yang
telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan yang umumnya digunakan untuk pengayakan
batubara. Gambar 2.a adalah kurva untuk menghitung produkta hasil pengayakan (ton/jam/ft²)
dan Gambar 2.b hubungan antara lebar ayakan dengan laju produkta per inci bed depth
(ketebalan lapisan aggregate batubara di atas ayakan) dengan kecepatan 1 ft/sec. Kapasitas
screen dirumuskan sebagai berikut:
K = P x E x D x F x W x T x B (3)
di mana:
K = kapasitas, ton/jam/sqft
P = produksi, ton/jam/sqft
E, D, F, W, T dan B adalah faktor seperti terlihat pada Tabel 2
Tabel 1. Faktor dan konstanta pengukuran luas screen
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan batubara
Gambar 2. Pengestimasi laju produkta dan bed depth
Hubungan Antara Produksi (ton/jam/cuft) dengan ukuran produkta dan Hubungan Antara Lebar
Ayakan dengan Bed depth pada Kecepatan Alir 1 ft/sec
Berikut adalah tahapan perhitungan dimensi vibrating screen-1 untuk mengayak batubara 150
mm.
(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)
Posisi deck paling atas dengan opening 150 mm 6 inci; D = 1,00
Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -3 inci; F = 1,40
Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -6 inci; E = 1,25
Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 6¼” x 6¼”; T =1,00
Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara berbasis 60
lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 60
60 = 1,00
Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor
Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan kandungan -6 ” = 80%, jadi kemungkinan produkta lolos
= 0,8 x 625 = 500 ton/jam.
(2) Luas screen yang diperlukan
Dari kurva pada Gambar 2.a diperoleh 4 ton/jam per sqft
Kapasitas (pers. 3) = 4 x 1,25 x 1 x 1,4 x 1x 1 = 7 ton/jam per sqft
Laju produksi = 0,8 x 625 = 500 ton/jam
Luas screen yang diperlukan = 500 / 7 = 71,43 sqft
(3) Perhitungan bed depth
Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18º
Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar 6”.
Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6”)
Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate
batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas aa ggregat 60 lbs/cuft dan lebar efektif
screen 4 ft-6”)
Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18º = 55 ft/men, maka laju aggregate per inci
bed depth = 40 x 55 / 60 = 37 ton/jam per inci bed depth
Oversize = (0,20 x 625) + (0,10 x 500) = 175 ton/jam
Jadi bed depth = 175 / 37 = 5”
Bila dibandingkan bed depth (5”) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 6”, maka
akan terbentuk hanya satu layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh efisiensi
pengayakan yang tinggi perlu dilaku kan simulasi dengan mengubah sudut screen.
Dari perhitungan luas screen diatas, yaitu 71,43 sqft, kemudian disesuaikan dengan spesifikasi
unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang
berukuran 5 x 16 ft, yaitu TY516RS dapat digunakan. Luas screen TY516RS adalah 80 sqft
berarti lebih besar dari perhitungan dan power yang diperlukan antara 15–20 HP (11–15 kW).
Pemilihan screen tersebut didasari oleh tidak adanya di mensi screen yang sesuai persis dengan
hitungan dan screen dengan seri tersebut yang paling mendekati. Disamping itu screen jenis ini
dimanfaatkan untuk pemisahan partikel kasar maupun halus serta material yang bersifat lembab
dan lengket, jadi cocok untuk pengayakan batubara. Keuntungan lainnya adalah kapasitas
pengayakan dapat ditambah.
e. Peremukan sekunder (secondary crushing)
Proses peremukan sekunder bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -150 mm menjadi
ukuran rata-rata 50 mm, dengan demikian nisbah reduksi pada tahap sekunder ini adalah 3. Alat
yang digunakan sama seperti peremuk primer, yaitu roll crusher berkapasitas 500 ton/jam.
Dilihat dari besarnya nisbah reduksi, yang lebih besar dibanding peremuk primer, maka dapat
diperkirakan bahwa energi yang diperlukan akan lebih besar pula. Taksiran energi tersebut
dihitung sebagai berikut:
F = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000 ) sebanyak 80%
P = dijamin konsisten berukuran -50 mm (50.000 ) sebanyak 80%
faktor = 1,00 (crusher sekunder)
e. Pengayakan tahap-2
Jenis alat yang dipakai adalah vibrating screen yang digunakan untuk memisahkan fraksi
berukuran -50 mm. Umpan yang masuk adalah hasil peremukan dari crusher sekunder berukuran
-150 mm. Agar memperoleh kapasitas sesuai dengan target, maka perhitungan dimensi ayakan
pada tahap-2 ini sama seperti yang telah diuraikan pada perhitungan dimensi ayakan tahap-1.
Download : PDF | Doc
Search More Related To This Page :
Email Subscription
Enter your email address:
Delivered by FeedBurner
Related Articles
• Batubara Sebagai Bahan Bakar PLTU
• Rekayasa
• Sifat Umum
• Batubara Dalam Industri Semen
• Lingkungan Hidup
• Rencana Bahan Galian Industri
• Kualitas
• Cara Terbentuknya
• Coal
• Gambut
(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)
Posisi deck paling atas dengan opening 50 mm ---> 2 inci; D = 1,00
Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -1 inci; F = 1,40
Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -2 in ci; E = 1,25
Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 2¼” x 2¼”; T =1,00
Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara berbasis 60
lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 60/60 = 1,00
Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor
Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan ka ndungan -2 ” = 80%, jadi kemungkinan produkta
lolos = 0,8 x 625 = 500 ton/jam.
(2) Luas screen yang diperlukan
Dari kurva pada Gambar 2.a diperoleh 2,9 ton/jam per sqft
Kapasitas (pers. 3) = 2,9 x 1,25 x 1 x 1,4 x 1x 1 = 5,10 ton/jam per sqft
Laju produksi = 0,8 x 625 = 500 ton/jam
Luas screen yang diperlukan = 500 / 5,1 = 98,04 sqft
(3) Perhitungan bed depth
Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18º
Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar 6”.
Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6”)
Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate
batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas a ggregat 60 lbs/cuft dan lebar efektif
screen 4 ft-6”)
Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18º = 55 ft/men, maka laju aggregate per inci
bed depth = 40 x 55/60 = 37 ton/jam per inci bed depth
Oversize = (0,20 x 625) + (0,10 x 500) = 175 ton/jam
Jadi bed depth = 175 / 37 = 5”
Bila dibandingkan bed depth (5”) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 2”, maka
akan terbentuk hanya dua layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh efisiensi
pengayakan yang tinggi perlu dilakukan simulasi dengan mengubah sudut screen. Dari
perhitungan luas screen di ata s, yaitu 98.04 sqft, ke mudian disesuaikan den gan spesifikasi unit
screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang
berukuran 6 x 20 ft, yaitu TY620RS dapat digunakan. Luas screen TY620RS adalah 120 sqft
berarti lebih besar dari perhitungan yang mempunyai keuntungan bahwa kapasitas pengayakan
dapat ditambah. Atau dengan pesanan khusus agar dimensi screen sesuai dengan hasil
perhitungan. Power yang diperlukan oleh seri screen di atas antara 20-40HP (15-30 kW).
3. Proses penyampuran batubara (blending)
Hasil pengolahan terhadap batubara dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu batubara
high grade dan low grade. Untuk mendapatkan kualitas batubara yang sesuai dengan permintaan
pasar dilakukan blending batubara high dan low grade dengan perbandingan tertentu. Faktor
penting yang harus diperhatikan dalam proses blending adalah:
a. Kuantitas batubara yang ada di stockpile
b. Parameter apa yang menjadi tolok ukur blending, biasanya kalori
c. Variasi parameter batubara yang akan di blending
d. Peralatan blending yang memadai
e. Kapasitas stockpile harus mencukupi
Apabila permintaan pasar sesuai de ngan kualitas batubara yang ada di stockpile, maka tidak
perlu dilakukan blending.
Persamaan umum yang digunakan untuk blending sebagai berikut:
dimana:
Qb = Kualitas blending
Qn = Kualitas variasi tumpukan batubara-1, 2, 3, …, n
Nn = Berat batubara yang diambil dari tumpukan batubara-1, 2, 3,…,n
Terdapat dua cara melakukan blending, yaitu menggunakan system stacking conveyor (stacker)
dan melalui bin yang dilengkapi conveyor feeder seperti sketsa pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Dengan menggunakan stacker conveyor harus dilakukan proses penimbunan yang menghasilkan
perlapisan teratur agar diperoleh ratio campuran yang relatif memadai. Oleh sebab itu terdapat 3
model blending, yaitu chevron, windrow dan chevron-windrow, yang menghasilkan berbagai
perlapisan seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Timbunan blending batubara menggunakan stacker conveyor
Blending menggunakan sistem control melalui bin dan feeders den gan kecepatan bervariasi
biasanya menghasilkan blending yang lebih baik dibanding menggunakan stacker conveyor. Hal
ini disebabkan adanya pengontrolan sebagai berikut:
a. Kecepatan feeder dari setiap bin da pat divariasikan, sehingga tonase yang diproduksi setiap
feeder bervariasi juga sesuai dengan yang telah ditetapkan;
b. Umpan yang masuk bin dan yang keluar dari setiap feeder dapat diko ntrol menggunakan alat
Ratio Unit;
c. Pemantauan tonage produksi blending dilakukan oleh alat kontrol belt weighter;
d. Distribusi hasil blending pada tumpukan akhir relatif lebih merata.
4. Kolam pengendap (settling pond)
Kolam pengendap perlu direncanakan dibangun di lokasi pengolahan batubara. Air hujan yang
melewati tumpukan batubara di areal stockpile berpeluang mencemarkan lingkungan, baik secara
fisik maupun kimia. Secara fisik terjadi ketika aliran air hujan yang melewati tumpukan batu
bara akan membawa partikel batubara halus keluar dari tumpukan yang membuat aliran air
tersebut menjadi berwarna hitam. Apabila aliran air yang keluar dari tumpukan batubara masuk
ke sungai, maka dapat menimbulkan pencemaran secara fisik terhadap sungai. Secara kimia
terjadi ketika air hujan bereaksi den gan unsur-unsur kimia y ang terkandung dalam mineral yang
berasosiasi dengan batubara, misalnya pyrite dan marcasite. Reaksi kimia ini berupa reaksi
oksidasi yang dapat menjadikan air hujan bersifat asam seperti ditunjukkan oleh persamaan
reaksi berikut ini.
2 FeS2 + 7O2 + 2 H2O -------------> 2 FeSO4 + 2 H2SO4
Dengan adanya kolam pengendap, maka partikel halus didalam air limbah atau buangan yang
keluar dari lokasi pengolahan batubara akan diendapkan dan sekaligus dinetralkan kembali
menggunakan gamping (lime). Air limbah yang sudah diolah (treatment) dapat dialirkan ke
sungai. Diharapkan kolam pengendap ini menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif
lingkungan akibat aliran air kotor dari tumpukan batubara . Kolam pengendap dibuat pada
topografi paling rendah yang biasanya dekat dengan sungai, sehingga jarak pengaliran air bersih
ke sungai menjadi pendek.
Dimensi kolam disesuaikan dengan debit aliran air kotor yang keluar, namun ukuran panjang x
lebar x dalam sekitar 25 m x 25 m x 2,5 m dapat dibuat sebagai standard. Apabila kurang, maka
dapat dibuat beberapa kolam dengan ukuran yang sama.
5. Tata letak diunit pengolahan dan sekitarnya
Pada prinsipnya unit pengolahan harus selalu dekat dengan sungai karena kaitannya dengan
pekerjaan pembersihan unit-unit pengolahan, aktifitas penyaliran dan sarana transportasi
pengiriman produk akhir ke konsumen. Untuk mendapatkan luas lahan minimum bagi lokasi
pengolahan dan sekitarnya perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:
a. Jumlah dan luas stockpile untuk timbunan raw batubara agar memenuhi target;
b. Jumlah dan luas produk akhir (finished product) batubara yang siap diangkut ke konsumen;
c. Luas pabrik pengolahan atau processing area;
d. Luas perkantoran dan sekitarnya;
e. Sarana penunjang lain, misalnya jalan angkut , panjang konveyor, area maneuver alat muat
(loader) dan water treatment.
a. Geometri dan luas raw coal stockpile
Untuk memenuhi target produksi yang direncanakan sebesar 2.000.000 ton/tahun diperlukan
cadangan raw coal stockpile yang mampu menampung sekitar 200.0 00 ton/2 bulan. Berdasarkan
cadangan raw coal tersebut perlu diketahui bentuk bangun timbunan batubara, sehingga dapat
dipersiapkan luas lahannya dengan perhitungan sebagai berikut :
Bentuk bangun timbunan batubara adalah limas terpancung (lihat Gambar 6) yang volumenya
adalah 1/3 t x (B + A + VB + A), di mana B, A dan t masing-masing adalah luas bidang bawah,
luas bidang atas dan tinggi;
Gambar 6. Bentuk bangun dan geometri raw coal stockpile
Diambil panjang dan lebar alas timbunan 200 m, Tinggi 4 m dan sudut kemiringan lereng
timbunan 35º.
LB = panjang atau lebar sisi alas = 200 m, LA dicari sebagai berikut:
Dengan estimasi densitas raw coal = 1,6 Ton/m³, maka berat (W) timbunan raw coal = 241.685
ton/timbunan
Dibandingkan dengan target 200.000 ton/2 bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan
batubara seperti pada Gambar 6 di atas dapat diterima.
b. Geometri dan luas product coal stockpile
Stockpile ini digunakan untuk menampung sementara batubara hasil pengolahan. Timbunan
batubara terbentuk dari curahan belt conveyor, sehingga bentuknya adalah kerucut (lihat Gambar
7). Kapasitas timbunan 100.000 ton/bulan, maka dimensinya dihitung sebagai berikut:
*). Diestimasi diameter lingkaran bawah = 100 m, sudut kemiringan timbunan batubara 35º dan
tinggi tumpukan maksimum 10 m, maka diameter lingkar an atas =
= 71,4 m
Gambar 7. Bentuk bangun dan geometri product coal stockpile
Volume dihitung dengan rumus 1/3 ∏ h (R2 + r2 + Rr), di mana h, R dan r masing-masing
adalah tinggi kerucut, jari-jari lingkaran bawah dan jari-jari lingkaran atas.
V = 1/3 ∏ 10 (102 + 35,72 + (10 x 35,7)) = 58.220 m³
Dengan estimasi densitas produk batubara 1,8 Ton/m³, maka berat (W) timbunan produk akhir
batubara = 104.800 ton/timbunan
Dibandingkan dengan target 100.000 ton/bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan
batubara seperti pada Gambar 7 di atas dapat diterima.
c. Dampak timbunan batubara terhadap subsidence
Pembebanan dari stockpile batubara dapat menyebabkan lapisan dibawahnya mengalami
pemampatan. Pemampatan tersebut disebabkan oleh adanya deformasi partikel tanah, keluarnya
air atau udara dari dalam pori-pori tanah dan getaran crusher serta alat-alat pengolahan lainnya.
Secara umum penurunan tanah tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) penurunan
konsolidasi dan (2) penurunan segera:
(1) Penurunan “konsolidasi” terjadi akibat berubahnya volume tanah jenuh air akibat keluarnya
air dari pori-pori tanah tersebut. Biasanya peristiwa ini memakan waktu lama.
(2) Penurunan “segera” terjadi setelah terjadi penambahan tegangan akibat beban timbunan
batubara diatasnya dan tidak berpengaruh terhadap kadar air tanah. Timbunan batubara
menimbulkan penyebaran tegangan pada lapisan tanah di bawahnya yang dapat dianalisis dengan
cara pendekatan.
Penurunan “segera” tidak diperhitungkan karena penuruannya kecil sekali dibanding penurunan
“konsolidasi” dan juga karena terbatasnya parameter yang dibutuhkan. Sementara penurunan
konsolidasi diasumsikan terjadi dengan merembesnya air ke dua arah (double drainage), yaitu
keatas dan kebawah. Karena umur tambang batubara diperkirakan hanya sekitar 5 tahun, maka
pengaruh penurunan konsolidasi ini pun kurang begitu signifikan. Estimasi penurunan tanah
akibat timbunan batubara untuk jangka waktu 5 tahun ± 0,5 m sedangkan penurunan yang
diijinkan ± 3 m.