1
Peningkatan Kapasitas dan Reformasi Politik di Indonesia
(Eko Subhan) I do not know what your destiny will be, but one thing I know: the only ones among you who will be truly happy are those who will have sought and found how to serve. (Albert Schweitzer)
2
Reformasi Pemerintahan dan Isu Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah
Pada akhir tahun 2001 saat konsep devolusi diterapkan di Indonesia secara legal dan aktual, tercatat bahwa jumlah Kabupaten di Indonesia adalah sebanyak 268 Pemerintah Daerah Kabupaten dan 80 Pemerintah Daerah Kota di 30 Propinsi di Indonesia, dengan demikian terdapat 348 pemerintahan kabupaten/kota. Tahun 2003 telah dimekarkan sebanyak 47 kabupaten dan 3 kota, sehingga Tahun 2004 jumlah Kabupaten di Indonesia telah berjumlah 348 sedangkan jumlah Kota adalah 87, adapun jumlah Propinsi menjadi 32. Hingga akhir Tahun 2007, jumlah pemerintahan kabupaten/kota di Indonesia menjadi 462 yang tersebar di 33 provinsi, 370 diantaranya adalah pemerintah kabupaten (92 lainnya adalah kota).
Desentralisasi pada dasarnya sudah dikenal di Indonesia sejak awal berdirinya Indonesia dan mulai dilakukannya pengaturan pemerintahan di daerah. Namun desentralisasi di Indonesia yang banyak dimunculkan pada berbagai media sebagai sebuah ‘DESENTRALISASI’ adalah ketika DPR mensyahkan Undang‐undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang‐undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut merupakan sebuah ‘stepping stone’ perubahan pasca Reformasi Sistem Pemerintahan di Indonesia pada tahun 1998. Kedua UU tersebut juga menjadi titik penjuru perubahan perundang‐undangan sektoral di Indonesia, sehingga menyebakan perubahan yang maha besar di lingkungan pemerintahan di Indonesia. Banyak pengamat pemerintahan Indonesia
menyebutkan sebagai ‘BIG BANG AUTONOMY’.
Bagaimana tidak disebut ‘BIG BANG’ sementara itu dilakukan pelimpahan sekitar dua juta pegawai negeri sipil pusat ke daerah, tanpa memperhatikan kebutuhan daerah, tanpa memperhatikan kualitas tenaga kerja yang bersangkutan, dan tanpa memperhatikan dengan seksama implikasi lanjutan atas managemen di tingkat yang sangat local.
Peningkatan Kapasitas dalam Dunia Desentralisasi di Indonesia1
Dalam rangka pengembangan kapasitas untuk mendukung Desentralisasi, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan “Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas dalam rangka mendukung Desentralisasi” sebagai kerangka acuan dalam penyusunan kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengembangan dan peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Momentum reformasi sosial politik yang berlangsung cepat beberapa tahun belakangan ini memberi arah baru bagi pemerintah dan masyarakat untuk mulai menerapkan kebijakan desentralisasi secara efektif di Indonesia. Berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional, struktural maupun teknis operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi
1 Sebagian besar tulisan ini diambil dari Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas dalam rangka mendukung Desentralisasi yang diterbitkan oleh Bappenas dan Departemen Dalam Negeri
3
daerah, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, merupakan pilihan yang tepat, atas dasar pertimbangan kondisi geografis yang luas dan menyebar serta potensi dan karakteristik yang berbeda antar wilayah. Kebijakan desentralisasi dimaksudkan sebagai instrumen pencapaian tujuan bernegara dalam kesatuan bangsa yang demokratis. Sehubungan dengan itu paling tidak ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu: “tujuan politik dan administrasi”. Tujuan politik akan memposisikan Pemerintah Dearah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat pada tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai unit pemerintah di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis.
Secara konstitusional operasionalisasi kebijakan desentralisasi dituangkan dalam produk perundang‐undangan, yaitu UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut mengisyaratkan akan tanggungjawab substansial untuk menyediakan pelayanan umum (public services) oleh Pemerintah Daerah. DPRD sebagai salah satu pelaku utama dari aktivitas Pemerintahan Daerah berhak dan berkewajiban untuk mengawasi eksekutif (Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah), memilih, mengangkat dan meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah, serta menentukan kebijakan‐kebijakan publik di tingkat Daerah.
Berdasarkan pengkajian kebutuhan di sejumlah daerah dan dengan merujuk kepada
kerangka strategis pengembangan dan peningkatan kapasitas, maka prioritas program Pemerintah akan difokuskan pada pemberian dukungan terhadap kemampuan yang berkesinambungan dari Pemerintah Daerah termasuk termasuk peningkatan kapasitas penyedia jasa (service provider), sehingga kapasitas mereka semakin meningkat dalam hal penyelenggaraan pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat; pemeliharaan prasarana‐prasarana pokok masyarakat, pengembangan pembangunan ekonomi, dan program pengentasan kemiskinan. Prioritas penting lain adalah dukungan bagi pengembangan sistem kelembagaan yang memadai serta pengembangan kapasitas inti sumberdaya manusia agar lebih berkemampuan untuk menjawab kebutuhan pelaksanaan dan manajemen dari sistem pemerintah daerah yang berorientasi pada kinerja.
Pemerintah Daerah memiliki keleluasaan untuk menentukan struktur organisasi serta mengelola sumber daya manusia (SDM)‐nya sendiri. Sistem pengalihan (transfer) anggaran antar‐pemerintah disusun lebih transparan, dan pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) dalam bentuk “block grant” telah memungkinkan daerah menentukan alokasi anggaran belanjanya sendiri berdasarkan kebutuhan dan prioritasnya. Sementara pemerintah pusat memiliki kewenangan di dalam pembuatan kebijakan yang dituangkan dalam bentuk norma, standard serta melaksanakan kegiatan fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Desentralisasi peran dan tanggung jawab yang nyata kepada Pemerintah Daerah, diharapkan dapat memperbaiki kualitas pelayanan yang membuat sektor publik lebih tanggap terhadap kebutuhan‐kebutuhan dan prioritas‐prioritas masyarakat di daerahnya, dan untuk
4
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan dan proses pengawasannya.
Pemerintah menyadari akan kompleksitas dan luasnya lingkup kegiatan untuk mengopersikan kebijakan desentralisasi. Disadari pula bahwa pelaksanaan kebijakan tersebut memerlukan suatu komitmen yang tinggi dan upaya jangka panjang dari seluruh pelaku atau pihak‐pihak yang terkait. Tersedianya kerangka kebijakan atau pelbagai peraturan yang telah disusun saat ini, baru merupakan langkah awal. Sedangkan untuk melanjutkan pelaksanaan desentralisasi yang membuahkan Otonomi Daerah agar berjalan lancar dan sesuai dengan harapan, maka diperlukan proses belajar (learning process) tidak hanya oleh aparatur daerah, anggota legislatif daerah (DPRD), masyarakat dan organisasi‐organisasi kemasyarakatan di Daerah, tetapi juga diperlukan upaya penyesuaian atau perubahan sistem dan mekanisme kerja Pemerintah Pusat.
Kerangka hubungan kerja antar masing‐masing departemen sektoral dan lembaga non‐departemen di Pusat yang terkait dengan penyelenggaraan otonomi daerah masih perlu dibenahi. Untuk maksud ini, maka masih diperlukan reformasi dibidang kelembagaan pada semua tingkatan Pemerintahan, peningkatan ketrampilan dan kualifikasi‐kualifikasi baru dari aparatur Pemerintah, serta cara‐cara berkomunikasi yang baru antara sektor publik dan warga masyarakat. Pada akhirnya, kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) yang baik dan benar terhadap operasionalisasasi pengembangan dan peningkatan kapasitas dalam rangka desentralisasi amat diperlukan untuk mengidentifikasi keberhasilan‐keberhasilan dan permasalahan yang timbul, dan bila perlu sedini mungkin dapat dilakukan koreksi dan penyesuaian terhadap sistem,
prosedur dan mekanismemekanisme kerja yang ada.
Peningkatan Kapasitas untuk Desentralisasi harus mengedepankan pengembangan Sistem, Institusi, dan Individu dari setiap komponen pendukung Desentralisasi, serta dilaksanakan dengan melibatkan berbagai tingkat administrasi pemerintahan yang berbeda: Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat. Kegiatan ini bersifat demand driven dengan mengacu pada kebijakan nasional, khususnya UU RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maupun Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas.
Semangat desentralisasi yang diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya, memerlukan upaya yang terkoordinasi untuk menjamin bahwa tujuan‐tujuan dan sasaran‐sasaran kebijakan Otonomi Daerah dapat dicapai. Oleh karena itu pengembangan dan peningkatan kapasitas untuk mendukung desentralisasi mencakup ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan masa lalu yang hanya memusatkan perhatian kepada beberapa sektor tertentu saja.
Pengembangan dan peningkatan kapasitas yang dimaksudkan dalam kerangka program nasional mengacu kepada kebutuhan akan; penyesuaian kebijakan‐kebijakan dan peraturan‐peraturan, reformasi kelembagaan, modifikasi prosedur‐prosedur kerja dan mekanisme‐mekanisme koordinasi, peningkatkan keterampilan dan kualifikasi sumber daya manusia, perubahan sistem nilai dan sikap atau perilaku sedemikian rupa, sehingga dapat terpenuhinya tuntutan dan kebutuhan otonomi daerah, sebagai suatu cara pendekatan baru kearah pemerintahan, pengadministrasian dan pengembangan
5
mekanisme‐mekanisme partisipatif yang tepat guna memenuhi tuntutan yang lebih demokratis.
Secara spesifik, fungsi‐fungsi pendukung utama pemerintah daerah yang memerlukan peningkatan kapasitas dan akan mendapat dukungan pendanaan dari Proyek SCBD diarahkan kepada ’10 Fungsi Pendukung Pemerintahan Daerah (didefinisikan sebagai ‘fungsi potongan secara menyeluruh (cross‐cutting)’ yaitu: 1) administrasi umum; 2) manajemen keuangan; 3) pemeriksaan; 4) penyusunan ketentuan hukum; 5) pengembangan organisasi; 6) manajemen sumber daya manusia; 7) informasi komunikasi; 8) perencanaan pembangunan; 9) pelaksanaan proyek, pemantauan dan evaluasi; dan 10) pengadaan barang dan jasa.
Adapun prinsip‐prinsip Pengembangan dan peningkatan kapasitas adalah :
1. Bersifat multidimensi dan berorientasi jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.
2. Mencakup multi stake‐holders; pemerintah pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan desa termasuk unsur swasta dan masyarakat
3. Bersifat “demand driven “, dimana kebutuhan pengembangan dan peningkatan bukan bersifat “Top Down “, namun berasal dari para stakeholders yang membutuhkan. Untuk maksud itu perlu ada transparansi dan akuntabilitas dalam merumuskan kebutuhan tersebut.
4. Mengacu pada kebijakan Nasional; pengembangan dan peningkatan kapasitas mengacu pada GBHN 1999‐2004 yang mengamanatkan tentang perlunya pengembangan otonomi daerah yang luas dan nyata dengan memberdayakan masyarakat, lembaga‐lembaga ekonomi
dan politik, badan‐badan hukum dan keagamaan, lembaga‐lembaga adat serta organisasi kemasyarakatan. Pengembangan dan peningkatan kapasitas juga mengacu kepada Propenas (UU No. 25 Tahun 2000).
Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Tingkat Pemerintah Pusat dan Daerah
Seperti telah disebutkan di bagian lain, pengembangan dan peningkatan kapasitas di Daerah harus berdasarkan permintaan (demand‐driven) dan kebutuhan‐kebutuhan yang spesifik dari stakeholder Daerah. Sampai saat ini belum ada survey pada tingkat nasional tentang kebutuhan‐kebutuhan pengembangan dan peningkatan kapasitas di Daerah‐daerah yang dapat dipergunakan untuk menyusun prioritas‐prioritas Daerah bagi pengembangan dan peningkatan kapasitas. Namun demikian, berdasarkan pengkajian kebutuhan di sejumlah Daerah, dan merujuk kepada kerangka strategis pengembangan dan peningkatan kapasitas, maka program pengembangan dan peningkatan kapasitas yang diprioritaskan Pemerintah akan mencakup beberapa hal sebagai berikut:
(a) Pemerintah akan membangun dan memberikan fasilitas yang diperlukan agar kebutuhan akan pengembangan dan peningkatan kapasitas berfungsi secara memadai. Hal ini mencakup pengembangan dan peningkatan kapasitas dari para penyedia layanan
6
(service provider), baik dalam aspek substansi (mis. memperbaiki isi dan relevansi dari jasa‐jasa program pelatihan), maupun dalam aspek mekanisme penyampaian hubungan penyedia jasa dengan para stakeholder. Kebijakan dan mekanisme pelatihan sektor publik harus lebih disempurnakan. Dengan demikian para penyedia pelayanan diharapkan mampu mengkaji kebutuhan‐kebutuhan Daerah, serta dapat mengembangkan pelayanan‐pelayanan pengembangan dan peningkatan kapasitas yang sesuai. Sementara Daerah harus dengan mudah memperoleh dan memiliki akses informasi tentang para penyedia layanan pengembangan dan peningkatan kapasitas, dan jenis pelayanan yang ditawarkan.
(b) Bagi lembaga‐lembaga pelatihan sektor publik, desentralisasi yang antara lain berdampak terhadap pengalihan kewenangan, kelembagaan pengelolaan personil dan keuangan daerah merupakan suatu perubahan lingkungan yang besar. Oleh karena itu salah satu prioritas bagi pemerintah adalah mengkaji dan menyesuaikan kebijakan‐kebijakan pelatihan sektor publik dan mengkaji tatanan kelembagaan bagi pelaksanaan pelatihan PNS, dan memodifikasi program‐program pelatihan yang ada didasarkan kepada sistem pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(c) Dalam suatu program pengembangan dan peningkatan kapasitas yang berdasarkan permintaan (demand‐driven), Daerah diharapkan dapat membayar jasa pengembangan dan peningkatan kapasitas yang
diterimanya. Sehubungan dengan itu perlu dicarikan sumber dana yang memungkinkan dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan Daerah masing‐masing.
(d) Penyelesaian kerangka Peraturan bagi desentralisasi dan penguatan mekanisme koordinasi antar‐departemen dan antar tingkatan Pemerintahan, akan menjadi prioritas Pemerintah. Hal ini meliputi pengkajian dan penyesuaian peraturan‐peraturan sektoral agar sejalan dengan desentralisasi, perbaikan rumusan, informasi dan sosialisasi peraturan‐peraturan baru. Oleh karena itu penguatan Sekretariat DPOD dan atau suatu tim kerjasama / Tim Koordinasi antar‐lembaga yang menangani pembinaan dan atau fasilitasi kebijakan Otonomi Daerah menjadi mendesak dan sangat diperlukan.
Program‐program pengembangan dan peningkatan kapasitas daerah yang spesifik harus dirumuskan berdasarkan pengkajian‐pengkajian kebutuhan Daerah setempat, berdasarkan informasi dan fakta‐fakta yang tersedia. Oleh karena itu pengembangan dan peningkatan kapasitas untuk mendukung desentralisasi harus memusatkan perhatian kepada bidangbidang utama berikut ini:
(a) Diseminasi dan penjelasan kerangka peraturan untuk mendukung dan mengakselerasi pelaksanaan desentralisasi. Hal ini utamanya berkaitan dengan pemahaman tugas‐tugas dan kewenangan baru daerah serta perubahan hubungan dengan Pemerintah Pusat, agar memungkinkan semua pelaku (stakeholder) di daerah berpartisipasi dalam suatu sistem pemerintahan daerah yang demokratis dan terdesentralisasi.
7
(b) Hubungan antara lembaga/instansi dengan masyarakat. Hal ini berarti menempatkan peran‐peran dan kewenangan‐kewenangan didalam proses pembuatan keputusan, mengembangkan dan menerapkan kode etik, menetapkan pola‐pola interaksi yang baru dan partisipatif antara legislatif dan eksekutif, serta antara legislatif, eksekutif dan masyarakat.
(c) Pengelolaan keuangan Daerah. Bidang ini utamanya membangun suatu pemahaman tentang sistem baru pengalihan fiskal (dana perimbangan), memahami dan menerapkan sistem baru pengelolaan keuangan daerah, termasuk transparansi dan akuntabilitas dari APBD, membentuk suatu proses yang terbuka bagi partisipasi stakeholder dalam proses perumusan kebijakan, penyusunan anggaran dan monitoring/evaluasi pelaksanaan anggaran.
(d) Pengelolaan Aparatur. Bidang ini khususnya membangun suatu sistem pengelolaan SDM dengan konsep‐konsep pengelolaan/manajemen personalia yang baik dan jelas, menyesuaikan situasi personalia dengan ketersediaan sumber daya serta menserasikan tatanan kelembagaan dengan tugas‐tugas dan kewenangan yang akan dilaksanakan oleh Daerah sesuai ketentuan yang berlaku.
(e) Hubungan atau komunikasi dan kerjasama antar Daerah. Bidang ini utamanya mengembangkan pola interaksi dengan daerah‐daerah lain yang memungkinkan pengalihan dan atau tukar menukar “praktek‐praktek yang baik”, inovasi‐inovasi dan pendekatan‐pendekatan baru antar daerah.
(f) Ekonomi Daerah. Bidang ini utamanya berkaitan dengan pengembangan pola dan mekanisme baru untuk meningkatkan pembangunan ekonomi daerah, perluasan kesempatan kerja, serta pengentasan kemiskinan baik di daerah perkotaan maupun didaerah perdesaan.
Hal tersebut di atas hanya merupakan indikasi umum, seperti program pengembangan dan peningkatan kapasitas yang lebih kongkrit bagi masingmasing Daerah harus didasarkan kepada pengkajian kebutuhan di masingmasing Daerah.
Prinsip‐prinsip Utama Strategi Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas
a). Skala Prioritas.
Pengembangan dan peningkatan kapasitas merupakan kegiatan multidimensi yang memerlukan orientasi jangka menengah. Disamping kegiatan prioritas jangka pendek, perlu diimbangi dengan kegiatan jangka menengah dan jangka panjang yang direncanakan secara terpadu. Oleh karena kebutuhan pengembangan dan peningkatan kapasitas sangat besar bila dibandingkan dengan sumber daya keuangan dan manusia yang tersedia, maka penyusunan prioritas dan pentahapan kegiatan pengembangan dan peningkatan kapasitas adalah penting. Prioritas awal adalah mengklarifikasi kebijakan dan kerangka peraturan yang berkaitan dengan desentralisasi, sehingga kapasitas yang tersedia pada semua tingkatan Pemerintah
8
dan masyarakat bisa bergerak kearah yang diinginkan. Prioritas selanjutnya adalah memecahkan isu‐isu yang saling terkait dan antar‐sektor (seperti melaksanakan sistem keuangan daerah yang baru) sebelum berhubungan dengan isu‐isu masing‐masing sektor dan masing‐masing bidang.
b). Mencakup semua stakeholder.
Pemberdayaan kapasitas dalam kaitannya dengan Otonomi Daerah harus mengalamatkan kepada tingkat‐tingkat pemerintahan yang berbeda; Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pemerintah Pusat. Kegiatan ini juga harus ditujukan kepada banyak pelaku atau pihak‐pihak yang terkait lainnya (stakeholders), tidak hanya sektor publik (instansi Pemerintah Pusat dan Daerah) tetapi juga Legislatif Daerah, partai politik, lembaga‐lembaga pendukung, kelompok‐kelompok masyarakat setempat serta organisasi‐organisasi kemasyarakatan non pemerintah dalam arti luas. Pengembangan dan peningkatan kapasitas memerlukan reformasi kelembagaan pada berbagai tingkat pemerintahan, modifikasi dari sistem dan mekanisme‐mekanisme kerja instansi sektor publik dan penyesuaian gaya dan instrumen manajemen yang ada. Untuk itu diperlukan upaya yang substansial dalam pengembangan pengetahuan dan keterampilan, pelatihan dan pendidikan politik.
c). Pola‐pola interaksi yang baik. Pengembangan dan peningkatan kapasitas juga merupakan perubahan pola‐pola interaksi di antara instansi pemerintah dan antara instansi pemerintah dengan masyarakat. Dalam konteks otonomi daerah, pengembangan dan peningkatan kapasitas harus mendukung terjadinya proses pengembangan kelembagaan yang
demokratis melalui pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan sejak tahap awal perencanaan, serta menjamin terjadinya proses kontrol yang berimbang (checks and balances). Transparansi, akuntabilitas dan demokrasi merupakan hal yang perlu dimulai melalui proses partisipasi masyarakat. Adanya budaya penyediaan dan pelayanan yang baik bagi kepuasan masyarakat dari setiap proses administrasi pada instansi Pemerintah Daerah merupakan salah satu sasaran yang harus tercapai dalam program pengembangan dan peningkatan kapasitas.
d). Berdasarkan kebutuhan dan kemampuan Daerah.
Pengembangan dan peningkatan kapasitas (khususnya pelatihan dan bantuan teknis kepada Pemerintah Daerah) haruslah berdasarkan permintaan (demand‐driven) bukan program yang telah ditentukan sepihak oleh Pemerintah Pusat (supply‐driven). Prakarsa‐prakarsa pengembangan dan peningkatan kapasitas untuk Daerah harus mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan spesifik Daerah, dan sejauh mungkin dihindari upaya penggunaan pendekatan yang standar dan seragam. Promosi tukar menukar inovasi, pengalaman pengalaman yang diperoleh, dan keberhasilan pendekatan antar Pemerintah Daerah (horizontal networking) adalah elemen kunci dalam strategi pengembangan dan peningkatan kapasitas. Pengalaman, hasil‐hasil, pendekatan dan instrumen didokumentasikan secara proporsional dan di koordinir oleh Departemen Dalam Negeri sehingga tersedia dengan mudah bagi Daerah lain untuk mempercepat proses desiminasi dari praktek yang baik dan teruji.
9
e). Kerjasama dengan lembaga penyedia layanan (service providers).
Pemberdayaan kapasitas merupakan kebutuhan yang sangat besar. Hal ini berdasarkan pertimbangan banyaknya perubahan‐perubahan kebijakan serta banyaknya Daerah yang harus mengerti dan melaksanakan kebijakan‐kebijakan baru. Untuk menjamin dimulainya kegiatan‐kegiatan pengembangan dan peningkatan kapasitas yang paling cepat, maka instrumen dan kelembagaan pengembangan dan peningkatan kapasitas yang ada harus disesuaikan dan dimodifikasi untuk mendukung pendekatan atau prinsip baru yang digariskan oleh ketentuan yang berlaku tanpa harus menciptakan instrumen‐istrumen dan kelembagaan baru dari awal. Pengembangan dan peningkatan kapasitas tidak perlu membentuk suatu baru, sepanjang yang ada masih dapat disesuaikan dengan kerangka kondisi yang baru. Sejalan dengan sasaran pengembangan dan peningkatan kapasitas dalam konteks otonomi daerah yang luas, maka penyedia layanan pengembangan dan peningkatan kapasitas yang potensial, misalnya organisasi‐organisasi sektor publik seperti Badan‐badan Diklat Departemen, Asosiasi Pemerintah Daerah, Asosiasi Profesional, Universitas, Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Swasta, Konsultan Manajemen, Partai Politik, dan Lembaga‐lembaga kemasyarakatan lainnya, harus dapat memainkan perannya dalam kerangka kerjasama yang saling memperkuat untuk pengembangan dan peningkatan kapasitas.
Ruang Lingkup Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas
Sementara ini teridentifikasi 8 (delapan) agenda yang menjadi runang lingkup pengembangan dan peningkatan kapasitas untuk mendukung desentralisasi dan percepatan Otonomi Daerah yaitu :
(1) Kerangka Peraturan Umum untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi
(2) Pengembangan Organisasi Pemerintah Daerah dan Desa
(3) Manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur di Tingkat Daerah
(4) Pengelolaan Keuangan Daerah
(5) Peningkatan Kapasitas DPRD, Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Organisasi Kemasyarakatan
(6) Pengembangan Sistem Perencanaan
(7) Pembangunan Ekonomi Daerah
(8) Pengelolaan Masa Transisi.
Adapun program kegiatan yang tercakup dalam masing‐masing agenda tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kerangka Peraturan Umum Untuk Mendukung Pelaksanaan Desentralisasi. Kegiatan ini pada dasarnya adalah menyusun dan melengkapi kerangka peraturan (regulasi) agar tercipta landasan hukum yang kuat dalam mempercepat pelaksanaan otonomi secara menyeluruh. Kerangka peraturan disusun mencakup peraturan perundang‐undangan yang tidak berlaku lagi sehubungan dengan diberlakukannya UU 32/2004 dan UU 33/2004 dan Peraturan Pelaksanaannya. Prioritas diberikan pada penyusunan peraturan perundangan yang benar‐
10
benar urgen dan potensial menciptakan konsistensi dan kepastian hukum.
2. Pengembangan Organisasi Pemerintah Daerah dan Desa
Rumpun kegiatan ini dimaksudkan untuk memperkuat kelembagaan Pemerintah Daerah agar tercipta kelembagaan yang optimal, networking, tata kerja dan prosedur yang jelas.
3. Manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur di Tingkat Daerah Rumpun kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengembangan SDM aparatur agar Daerah mampu mengelola SDM‐nya secara efektif dan efisien.
4. Pengelolaan Keuangan Daerah
Rumpun pengembangan dan peningkatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengelola dananya dengan penggunaan sistem anggaran dan sistem akuntansi yang efektif, transparan dan akuntabel sesuai dengan prinsip‐prinsip Pemerintahan Daerah yang baik.
5. Peningkatan Kapasitas DPRD, Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Organisasi Kemasyarakatan.
Rumpun kegiatan ini dimaksudkan agar DPRD dapat menjalankan peran dan fungsinya secara efektif sehingga tercipta cheks and balances antara eksekutif dan legislatif. Rumpun pengembangan dan peningkatan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas DPRD kepada masyarakat dan menciptakan akses masyarakat dan LSM dalam menyalurkan aspirasinya kepada DPRD. Termasuk dalam rumpun kegiatan ini adalah kebutuhan‐
kebutuhan pengembangan dan peningkatan kapasitas masyarakat dan LSM untuk memahami dan ikut terlibat dalam proses pemerintahan di Daerah.
6. Pengembangan Sistem Perencanaan
Rumpun kegiatan ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan kerangka aturan terhadap sistem perencanaan yang jelas dan konsisten, serta untuk meningkatkan kemampuan Daerah dalam menggunakan sistem perencanaan tersebut secara demokratis, partisipatif, transparan dan akuntabel.
7. Pembangunan Ekonomi Daerah
Kegiatan ini ditujukan untuk mengembangkan kapasitas Daerah untuk merencanakan penggunaan potensi ekonomi setempat bersama pelaku‐pelaku terkait (stakeholder) dengan lebih mengedepankan ekonomi kerakyatan.
8. Pengelolaan Masa Transisi.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas Instansi Peme‐rintah Pusat dan Tim koordinasi yang sudah dibentuk untuk mengkoordinir dengan baik pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah, dan mengembangkan kapasitas Asosiasi Pemerintah Daerah dan DPRD yang baru dibentuk, serta peningkatan kemampuan Daerah untuk mengelola konflik dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
11
Peningkatan Kapasitas – antara Inisiatif dan Bantuan
Berbagai inisiatif peningkatan pelayanan kepada masyarkat pada dasarnya telah dikembangkan oleh berbagai daerah sebagai sebuah inisiatif lokal dan sebagai sebuah terobosan 2 . Secara umum terobosan‐terobosan dalam pemberian pelayanan pada masyarakat ini pada dasarnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam menghadapi dunia yang terdesentralisasi di Indonesia.
Efisiensi Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Jembara dilakukan dengan berbagai keterbatasan dana, perlu upaya untuk tetap meningkatkan pelayanan pada masyarakat dengan menekankan pada efisiensi dana, orang dan alat. Langkah‐langkah yang dilakukan adalah Pengorganisasian, melalui rasionalisasi struktur pemerintahan. Pemanfaatan Sumber Daya Manusia (SDM) sesuai dengan Kompetensi. Merelokasi seluruh Dinas, Kantor dan Bagian, dalam satu komplek dan bahkan dalam satu atap. Pemanfaatan aset‐aset Pemerintah Daerah secara maksimal. Pola pemeliharaan sarana dan prasarana Pemerintah maupun Publik melalui kegiatan Rutin bukan Proyek. Pola pemeliharaan sarana gedung kantor pola berkelanjutan melalui (Engenering Sistem). Pola pengadaan mobil dinas dengan sistem rent‐car. Perencanaan Anggaran berbasis kinerja Penggunaan Anggaran Rutin dan Anggaran Pembangunan menggunakan harga satuan dinamis, standar proyek, standar kegiatan dan pengelolaan barang. Pola pengadaan barang dengan pergudangan (purchasing system). Pendayagunaan anggaran dana
2 Dokumen‐dokumen Best Practices daerah yang diangkat dari www.bkksi.or.id dan www.apeksi.or.id
melalui pola deposito. Manajemen Anggaran Pengeluaran uang melalui sistem kasir induk/kas daerah mengacu .
Pelayanan Bidang Kependudukan di Kota Balikpapan dilakukan dengan mengembangan pelayanan bidang kependudukan yang merupakan pelayanan dasar bagi setiap warga masyarakat yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah. Dalam praktek, pelayanan kependudukan lebih berkonotasi pada pemberian identitas (Pelayanan KTP/KK) atau hal‐hal yang bersifat personal dari pada aspek yang lebih luas seperti untuk kepentingan perencanaan dan penataan pembangunan dan bahan pengambilan keputusan. Untuk menselaraskan dua hal tersebut diatas, perlu penataan yang bersifat menyeluruh (dalam suatu kerangka yang utuh) yang disebut dengan Manajamen Kependudukan. Manajemen kependudukan Kota Balikpapan sendiri digagas sejak tahun 2001, dan disempurnakan dalam bentuk Perda pada tahun 2002 setelah dilakukan sosialisasi dan diseminasi kepada masyarakat.
Perijinan Satu Pintu di Kabupaten Sragen ditujukan untuk pemberian pelayanan pada masyarakat melalui pengembangkan sistem pelayanan prima melalui sistem pelayanan satu pintu dengan menjunjung tinggi faktor transparansi, penyederhanaan birokrasi, dan penyederhanaan regulasi.
Inovasi Pendidikan dan Kesehatan (dan Program Jamsosda) di Kabupaten Jembrana sebagai sebuah kabupaten yang kecil dan miskin dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang kecil pula, tantangan ini bukan berarti hambatan. Bagaimana membangun birokrasi yang berwawasan entrepreneur?
12
Dikembangkan inovasi di bidang oragnisasi pemerintahan, peningkatan pelayanan pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan pengembangan sistem pelayanan terpadu
Program Gianyar Sejahtera di Kabupaten Gianyar dilakukan untuk mengatasi tingkat kemiskinan yang tinggi, Bupati mengembangkan sebuah unit kerja koordinasi antara Kantor DepSos, Kantor Pertanahan, Bag. Ekonomi, Kantor Depag, Kantor Indag, Kantor Koperasi, BPD dan Bank Werhi Sedana, yang tujuan utamanya adalah untuk mengkoordinasikan program‐program pengentasan kemiskinan dari Pusat yang didesentralisasikan ke Kabupaten, maupun program‐program pengentasan kemiskinan di tingkat lokal.
Irigasi Partisipatif di Kabupaten Deli Serdang dikembangkan atas dua sungai besar di Deli Serdang yaitu Sungai Ular dan Sungai Kuala Namu yang mempunyai masalah utama pada tingginya tingkat sedimentasi yang telah menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai serta tertutupnya intake ke saluran irigasi. Kurangnya dana untuk pengelolaan saluran irigasi telah menyebabkan saluran irigasi ke persawahan penduduk semakin terganggu, terutama karena tidak tercukupinya kebutuhan air bagi + 5.920 ha areal persawahan pada musim kemarau. Perlunya dilakukan terobosan pemecahan masalah dengan strategi pembiayaan yang minimal namun memberikan efek eksteralitas yang luas.
Di Kabupaten Musi Banyuasin dari SD Sampai SMA Negeri Maupun Swasta Serba Gratis dan Tetap Bermutu sebagai sebuah potret
keinginan kuat Pemkab MUBA meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya di masa depan, ditampilkan lewat sekolah gratis di negeri dan swasta.
Program Padat Karya Pangan (PKP) di Kabupaten Purbalingga dikembangkan atas dasar permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga sebelum dilaksanakannya Program Padat Karya Pangan ini adalah rendahnya harga gabah di kalangan petani dan menumpuknya pasokan (over supply) beras produksi lokal di lumbung Pemda.
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat di Kabupaten Purbalingga melalui filosofi pembangunan bidang kesehatan pada hakekatnya diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat agar kualitas sumber daya manusia sebagai modal utama pembangunan semakin kuat.
Badan Keswadayaan Masyarakat Sebagai Implementasi Program P2KP di Kabupaten Kendal dilakukan melalui pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Kendal tidak terlepas dari pembangunan regional Propinsi Jawa Tengah dan pembangunan nasional. Keterkaitan tersebut memang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang makin adil dan merata serta meletakkan landasan yang semakin mantap untuk tahap pembangunan berikutnya.
Pelayanan Satu Pintu di Kabupaten Jembrana dikembangkan mengingat kondisi pemberian pelayanan pada masyarakat dan kalangan investor di Kabupaten Jembrana sebelum
13
tahun 2003 dirasakan cukup memprihatinkan. Sistem pelayanan yang diberikan membutuhkan waktu yang relatif lama dan tidak luput dari praktek pungutan liar, sehingga menimbulkan kesan terjadinya diskriminasi pelayanan.
Pelayanan Satu Pintu Plus di Kabupaten Solok pada dasarnya adalah pengelolaan pemerintahan daerah yang berdayaguna dan berhasilguna ditentukan oleh sejauh mana Pemerintah Daerah tersebut mampu memberikan pelayanan yang terbaik dan optimal kepada seluruh lapisan masyarakat.
Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Pembagian DOS Yang Adil di Kota Batu dikembangkan untuk menunjang dan memperkuat citra Kota Batu sebagai Kota Wisata, Pemerintah Kota Batu memberikan perhatian penuh pada pendidikan yang merupakan program pemerintah dalam mencerdaskan bangsa yang dikenal dengan program wajib belajar 9 tahun. Dalam upayanya tersebut, Pemerintah Kota Batu telah banyak melakukan studi banding untuk mencari program pendidikan yang lebih inovatif. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Kota Batu berusaha lebih intensif dalam menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan meningkatkan kualitas pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Pembelajaran
Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM).
Warung Semawis Kota Semarang dilatarbelakangi oleh pertimbangan salah satu suku bangsa yang turut mewarnai dan meninggalkan jejak dalam sejarah dan budaya khas Semarang dalah orang‐orang Tionghoa. Semarang juga merupakan lokasi masuknya orang‐orang Tionghoa ke Jawa Tengah. Menurut sejarah, kedatangan mereka bermula dari pemberontakan orang‐orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. Dalam peristiwa itu, banyak orang Tionghoa yang melarikan diri meninggalkan Batavia melalui darat sepanjang utara ke arah timur. Sesampai di Semarang, mereka menghimpun orang‐orang Tionghoa. Perlawanan terhadap penguasa Belanda ini terus berlanjut hingga tahun 1743, tetapi akhirnya Belanda berhasil menumpas pemberontakan itu. Kemudian, penguasa Belanda memaksa orang‐orang Tionghoa pindah dari daerah Simongan dan masuk ke Semarang agar dapat dikonsentrasikan di daerah sekitar Kali Semarang sehingga mudah diawasi. Di sekitar Kali Semarang inilah awal munculnya permukiman penduduk Tionghoa yang kemudian dikenal masyarakat Semarang sebagai daerah pecinan.
Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5) Kota Semarang dikembngkan atas dasar pertimbangan bahwa di Kota Semarang dan juga kota‐kota lainnya di Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 1999 telah menimbulkan konsekuensi pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah dalam mengelola potensi sumber daya, administrasi pemerintahan dan pelayanan publik. Berkaitan dengan pelayanan publik, pelimpahan wewenang
14
juga harus diimbangi dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang Baik. Mekanisme kontrol terutama dapat dilakukan oleh masyarakat. Untuk mendukung mekanisme kontrol dan pengawasan dibutuhkan lembaga pendukung yang dapat menampung dan Menindaklanjuti aspirasi, informasi dan pengaduan dari masyarakat mengenai pelayanan publik yang tengah berjalan. Untuk itu, guna optimalisasi pelayanan publik, Pemerintah Kota Semarang berupaya untuk melakukan inovasi melalui pembentukan Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5).
Model Pembangunan Partisipatif Kota Ternate dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa sejak dulu kala bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang suka bergotong‐royong. Nilai‐nilai luhur tersebut telah lama terinternalisasi dalam sendi‐sendi kehidupan sejak jaman nenek moyang. Sayangnya, budaya yang telah mengakar ini tidak dipelihara dan dihidupkan kembali. Lebih dari tiga dekade bangsa ini dikelola secara top down. Segala sesuatunya datang dari atas. Kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak akan sarana jembatan darat dan rumah ibadah di Kelurahan Moti Kota dan Jembatan laut di Kelurahan Tadenas kecamatan Moti untuk menunjang mobilitas sosial, ekonomi dan pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Tersedianya material lokal cukup banyak dan dapat diperoleh dengan mudah dan tanpa biaya seperti: batu, pasir, kerikil, dan papan. Adanya kemauan yang kuat dari masyarakat setempat untuk membangun sarana dimaksud, karena telah menjadi kebutuhan yang sangat penting.
Budidaya Aloe Vera di Lahan Gambut di Kota Pontianak berkembang dengan dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa tanaman Lidah Buaya yang memiliki nama latin Aloe vera merupakan salah satu komoditas unggulan nasional untuk dikembangkan secara komersial. Menurut data BPPT, tanaman Lidah Buaya yang dikembangkan di Kota Pontianak adalah produk terbaik di dunia. Kalimantan Barat khususnya kota Pontianak merupakan daerah penghasil utama Lidah Buaya yang ditanam dilahan gambut. Dengan agroklimat dan tanah gambut yang sangat cocok bagi pertumbuhan Lidah Buaya menjadikan daerah Kalimantan Barat Pontianak mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai “Sentra Lidah Buaya“ di Indonesia.
Pelaksanaan e‐Procurement di Kota Surabaya dikembangkan dengan pertimbangan bahwa era reformasi menuntut adanya transparansi atau keterbukaan dalam sistem pemerintahan agar upaya mewujudkan Good Governance dapat tercapai. Tuntutan masyarakat tersebut terhadap pelayanan publik yang lebih baik oleh pemerintah daerah membuat Pemerintah Kota Surabaya melakukan business reengineering pada pelaksanaan barang/jasa yang merupakan salah satu kunci dari efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan APBD. Kemajuan teknologi di semua sektor menuntut pemanfaatan teknologi yang berbasis internet.
Pelebaran Jalan Untuk Masa Depan di Kota Metro yang memiliki posisi yang cukup strategis sebagai pusat perdagangan, pendidikan, transportasi dan berbagai fasilitas kota lainnya. Kota Metro dibentuk sebagai Daerah Otonom berdasarkan Undang‐Undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang Pembentukan
15
Kabupaten Dati II Way Kanan, Kabupaten Dati II Lampung Timur dan Kotamadya Dati II Metro yang diresmikan pada tanggal 27 April 1999 di Jakarta. Dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di Kota Metro dan memiliki posisi yang sangat strategis maka, Kota Metro membutuhkan pembangunan sarana dan prasarana.
Pembangunan Kembali Kawasan Benteng Kuto Besak di Kota Palembang dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa beberapa kota di Indonesia memiliki sebuah kawasan bersejarah yang memiliki nilai historis tinggi salah satunya, kota Palembang dengan berbagai peninggalan kuno warisan bangsa Eropa. Kawasan Benteng Kuto Besak sebenarnya merupakan aset berharga bagi Kota Palembang. Namun Kawasan bersejarah (Benteng Kuto Besak) belum dikelola secara maksimal, padahal Kawasan tersebut mempunyai potensi wisata yang bisa mendatangkan pemasukan bagi Kota Palembang.
Iwak Tempalo, Predator Jentik Nyamuk Aides Aegypti, di Palembang sebagai kota tepian air. Iwak Tempalo atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai ikan cupang adalah ikan yang mudah ditemui. Iwak Tempalo berkembang biak dengan cara bertelur. Belakangan diketahui bahwa Iwak Tempalo bermanfaat memberantas jentik nyamuk demam berdarah.
Pelayanan Satu Atap Kota Kendari dikembangan mengingat banyaknya tuntutan dan aspirasi masyarakat yang menghendaki adanya manajemen yang baik sejak bergulirnya reformasi, membuat Pemerintah Kota Kendari bertekad untuk meningkatkan kinerja aparaturnya, sehingga mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Program Pembangunan Kota Kendari Berbasis Pendekatan Perencanaan Partisipatif yang pada mulanya perencanaan pembangunan Kota Kendari selalu diinisiasi dari pemerintah kota tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga realisasi pembangunan yang sudah dicanangkan oleh pemerintah kota tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya banyak sarana dan fasilitas untuk kepentingan umum yang sudah dibangun tidak dapat digunakan secara maksimal. Selama ini Pemerintah Daerah Kendari lebih mengutamakan pembangunan yang hanya dilakukan untuk tujuan meredam isu‐isu yang berkembang di masyarakat.
Sekber Kartamantul, Inovasi Manajemen Pemerintahan Daerah Kota Yogyakarta dikembangkan dengan pertimbangan bahwa era desentralisasi memberi kewenangan yang lebih luas kepada masing‐masing pemerintah
16
daerah (kota/kabupaten) untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan pelayanan publik. Sayangnya, perkembangan terakhir menunjukkan indikasi munculnya pemerintahan yang cenderung berorientasi pada wilayah sendiri daripada berorientasi ke wilayah yang lebih luas. Setiap kota/kabupaten mengembangkan pembangunan masing‐masing secara tidak terintegrasi dengan kota/kabupaten di sekitarnya.
Pengelolaan Lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) di Kota Yogyakarta dilaksanakan dengan mempertimbangkan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan penataan dan pengelolaan Lampu Penerangan Jalan Umum. Hal itu dimaksudkan agar seluruh Yogyakarta sebagai wisata di malam hari tampak terang benderang. Selain itu yang dilakukan pemerintah merupakan bentuk pelayanan dan perhatian Pemerintah Kota terhadap warganya agar penerangan disetiap ruas jalan di kota tersebut terpenuhi. Sehingga kota yang terang dimalam hari dapat memberikan keindahan dan kenyamanan tersendiri sebagai daya tarik kota pariwisata.
Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Kota Samarinda dikembangkan mengingat Kota Samarinda adalah salah satu kota yang telah menerapkan anggaran berbasis kinerja sejak tahun 2003. Setelah melakukan uji coba selama satu tahun, pada tahun 2004 Pemerintah Kota Samarinda menerapkan anggaran kinerja di setiap unit pengguna anggaran (menyeluruh). Selama tahun anggaran (2003), terjadi penghematan sebesar Rp 13 miliar yang berasal dari pencegahan anggaran yang overlapping. Pada tahun sebelumnya, tahun 2002, terjadi penghematan Rp 600 juta.
Transparansi Pengendalian Bangunan Melalui Sistem Komputerisasi di Kota Denpasar dikembangkan mengingat Kota Denpasar memanfaatkan teknologi informasi secara optimal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi, dan demokratisasi dalam pengendalian bangunan.
Block Grant Pembangunan Kecamatan Kota Blitar dikembangkan mengingat Pemerintah Kota Blitar ingin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun kotanya, yaitu dengan cara mengikutsertakan masyarakat mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaan. melalui program ini pula pemerintah berharap dapat meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap sarana dan prasarana umum yang ada. Diluar semua itu yang perlu menjadi catatan penting juga adalah pemerintah Kota Blitar telah berhasil menyusun program yang baik ini bagi warganya walau mereka bukanlah kota yang memiliki PAD (15 milyar/2002) dan DAU (96,91 milyar/2002) yang besar (DAU terendah kedua di Jawa Tengah).
Program Terpadu Pembinaan UKM Kota Blitar dilatarbelakangi bahwa pada tahun 2002 Pemda Blitar melaksanakan program terpadu pembinaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) antara Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah (Dinkop dan PPKM) dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) guna mengatasi masalah sulitnya akses pengusaha kecil dan menengah terhadap penambahan modal, manajemen usaha dan pemasaran. Tujuan umum dari program terpadu pembinaan UKM tersebut adalah membangun industri kecil dan menengah yang kuat dan tangguh
17
sebagai roda penggerak perekonomian Kota Blitar.
Dana Abadi Kota Tarakan dikembangkan sejak penerapan otonomi daerah (2001), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APDB) Kota Tarakan meningkat enam kali lebih besar dari masa praotonomi (yaitu Rp 256 miliar pada tahun 2001 dari sebelumnya hanya Rp 40‐an miliar pada tahun 2000). Tetapi, pada saat yang sama Pemerintah Kota Tarakan tidak memiliki dana cadangan yang akan sangat diperlukan bila terjadi krisis, bencana alam, dan lain‐lain. Kekhawatiran ini dilatarbelakangi juga oleh krisis ekonomi dan moneter berkepanjangan yang melanda Indonesia sejak tahun 1998.
Garda Emas Model Program Pengentasan Kemiskinan Kota Bogor dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi tingginya laju pertumbuhan penduduk miskin, pemerintah Kota Bogor pada 20 Juni 1999 meluncurkan Program Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Garda Emas) sebagai upaya pemberdayaan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat secara holistik, terpadu, dan melibatkan seluruh stakeholder kota. Program ini melibatkan 9 dinas pemda, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga keuangan mikro (LKM) lokal dan stakeholder lokal yang terkait. Pada 20 Juni 1999 Pemerintah Kota Bogor meluncurkan program Garda Emas yang merupakan upaya pemberdayaan dan peningkatkan kualitas hidup masyarakat.
TDL Lokal di Kota Tarakan dikembangkan mengingat Pemerintah Kota Tarakan yakin bahwa pada suatu waktu tertentu pasti akan terjadi krisis energi listrik. Oleh karena itu,
Pemerintah Kota Tarakan harus segera mengantisipasinya dengan gagasan inovatif dalam peningkatan pasokan listrik.
Kesawan Square Kota Medan dikembangkan melalui mekanisme dan pertimbangan bahwa Kawasan Kesawan yang rawan pada malam hari, kini menjadi tujuan wisata, sejak berdirinya Pusat Jajanan Malam "Kesawan Square". Inisiatif ini bermula dari Pemerintah Kota Medan bekerja sama dengan mitra swasta untuk mengembangkan kawasan cikal bakal Kota Medan yang kaya dengan bangunan tua ini sebagai pusat jajanan dan tempat promosi pariwisata (heritage).
Komunitas Donor di Indonesia untuk Peningkatan Kapasitas
Perhatian berbagai lembaga dari komunitas donor di Indonesia pada membantu Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kapasitas daerahnya adalah cukup mengagetkan. Center for Local Government Innovation (CLGI) dan Urban and Regional Development Institute (URDI) 3 pernah melakukan proses mapping upaya peningkatap kapasitas Pemerintah Daerah di Tahun 2003 dengan hasil utama adalah sebagai berikut bahwa terdapat 23 lembaga donor asing yang terlibat dan memberikan bantuan dalam bidang‐bidang;
3 CLGI‐URDI,Initiatives for Strengthening Local Government Capacity, 2004
18
a. Peran dan Fungsi DPRD
1% f. Pengembangan organisasi pemerintah daerah
18%
b. Pelayanan Publik di tingkat Provinsi
25%
g. ManagemenSDM
2%
c. Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota
10%
h. Kerjasama Antar Daerah
2%
d. Keuangan Publik Daerah
2% i. Lain‐lain 16%
e. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kebijakan Employment Promotion
24%
Duapuluhtiga lembaga donor yang bekerja di 9 sektor peningkatan kapasitas bekerja di 30 provinsi dan di tingkat Pusat, bekerja untuk sebanyak 381 proyek dari tahun 2000 hingga 2003. Saat ini tidak kurang dari 57 program dan/atau proyek berjalan di Indonesia dari 8 lembaga donor yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan kapasitas di Indonesia.
Perhatian negara‐negara donor, baik secara bilateral maupun multirateral, terhadap pembangunan di Indonesia dan khusunya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah di Indonesia saat ini dapat diidentifikasi diberikan dalam dua bentuk bantuan, yaitu dalam bentuk pinjaman luar negeri dan dalam bentuk hibah. Untuk mengatur bantuan‐bantuan negara‐negara donor tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri.
Bappenas memiliki Blue Book: Project and Technical Assistance 2006‐2009 yang merinci berbagai proyek dari berbagai lembaga donor di Indonesia. Tercatat ada 29 proyek dari berbagai komunitas donor, baik yang bersifat multirateral maupun bilateral, dalam dokumen tersebut yang memiliki keterkaitan dengan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah. Daftar proyek yang dikeluarkan Bappenas melalui Blue Book tersebut nampaknya tidak mencatat secara menyeluruh proyek‐proyek bantuan asing pada Indonesia berkaitan dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah.
Pada dasarnya keberhasilan desentralisasi di Indonesia terletak pada keinginan dari pemerintah Indonesia dan setiap stakeholdernya, peran lembaga‐lembaga donor (donor community) hanya dapat mengantarkan, mambantu atau menjadi katalisator dalam pembentukan konsep dan pelaksanaan desentralisasi yang terbaik sesuai dengan konsep dan kondisi di Indonesia. Berbagai kelompok donor yang memiliki konsern terhadap pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dan bergabung dalam donor Working Group on Decentralization difasilitasi oleh DRSP yang dibiayai oleh USAID, pada Tahun 2006 telah mengeluarkan sebuah dokumen yang berjudul Decentralization 2006, Stock Taking on Indonesia’s Recent Decentralization Reforms 4 yang mengeluarkan serangkaian temuan dalam berbagai sub‐fokus dari bidang desentralisasi dan memberikan rekomendasi bagi pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.
Urusan peningkatan kapasitas dalam rangka desentralisasi di Indoensia bagi komunitas donor sebenarnya telah dilakukan sejak 4 DRSP‐USAID, Decentralization 2006, Stock Taking on Indonesia’s Recent Decentralization Reforms, Main Report, Prepared by USAID Democratic Reform Support Program (DRSP) for the Donor Working Group on Decentralization Funding provided by Decentralization Support Facility (DSF) ‐ USAID ‐ AusAID, August 2006
19
sebelum otonomi daerah diundangkan, namun focus terhadap masalah ini semakin lebih besar lagi sejak Pemerintah Indonesia mengundangkan UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, karena ini disetujui oleh semua pihak, merupakan batu pijakan (corner stone) dari pembangunan desentralisasi di Indonesia. Secara sederhana, komunitas donor hanya menawarkan bantuan bagi pemerintah Indonesia dengan membawa berbagai praktek‐praktek yang baik dari berbagai konteks internasional yang relefan dengan konteks Indonesia.
Konsentrasi lembaga‐lembaga komunitas donor dalam lapangan desentralisasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 lebih menekankan pada pengembangan kebijakan, kemudian pada tahap lanjutannya konsentrasi mulai merambah pada sektor keuangan. Perubahan ini terjadi dengan sendirinya, teutama berkaitan dengan pengembangan pemerintahan yang efektif dan efisien serta upaya membangun keterbukaan dalam sistem penganggaran dan partisipasi public.
For a time (2003‐ mid 20055) MoHA became reluctant to draw on donor support for policy making, though MoF and Bappenas continued to invite assistance on selected reform efforts. The closed nature of the drafting process for Law 32/2004 on Regional Government and Law 33/2004 on Fiscal Balance reflected the government’s mood at that time. More recently, donors support to MoHA has been increasing, and this agency is showing a more open approach to non‐government organizations. Bappenas and MoF continue to have steady levels of support.
The focus of national policy support in the last two years has shifted somewhat from political/administrative to financial management issues. This includes a new stress
5 Ibid, 43‐44
on improving national level processes and structures (e.g. PRSP, mid‐term national planning, budget processes, special service agencies), with the expectations that similar changes would be made to regional levels or that the more efficient national level actors will have a variety of knock on effects on regional development/governance. A renewed effort to involve donors in the preparation of follow‐up regulations to Law 32/2004 is also afoot in MoHA. An effort is being made to find convergence of the various legislative streams (e.g. Law 25/2004 and Law 33/2004) as these government regulations are being produced.
Perhatian berbagai lembaga Donor terhadap peningkatan kapasitas pemerintah daerah di Indonesia benar‐benar telah membantu semua pemerintah daerah penerima bantuan untuk bersedia dan berkomitmen untuk melakukan perubahan.
By consolidating democratic reforms, USAID builds effective and accountable governance, enhances Indonesian capacity to mitigate conflict and promotes pluralism and diversity. USAID initiatives enhance the capacities of 57 local governments, together with civil society and the media, in the areas of integrated planning and budgeting, local government management, citizen‐focused service delivery, resource management and mobilization and participatory governance. USAID supports peace‐building in conflict‐affected areas, promotes judicial reform, supports electoral processes, encourages community dialogue and religious tolerance, strengthens the capacity of the national parliament, advances national democratic reforms, supports sustainable peace in Aceh and helps Indonesia reduce trafficking of women and children6.
Perhatian dari pemerintah Australia untuk pengembangan kapasitas Pemerintah (dan Pemerintah Daerah) di Indonesia juga telah diberikan dalam berbagai bidang, dengan focus utama adalah pada pengentasan kemiskinan, peningkatan pelayanan, dan kontra terorisme.
6 http://www.usaid.gov/locations/asia/countries/indonesia/
20
Good governance is a fundamental building block for development. Strengthening governance will help Indonesia achieve the growth it needs to address unemployment, reduce poverty and promote national prosperity, and such activities are a priority for AusAID. Australia is working with economic planning and financial institutions to support the Indonesian Government's objectives of fiscal sustainability, a stronger financial sector and economic growth by providing technical assistance, building capacity and developing government‐to‐government partnerships. Programs focus on tax administration, debt management, financial sector regulation and supervision, and international trade policy.
In the legal reform sector, Australia is assisting Indonesian Government agencies, legal and judicial institutions and legal and human rights‐focused organisations in four key areas: anti‐corruption, access to justice, trans‐national crime and human rights. Australia is also supporting the Indonesian Government's public sector reform agenda, as well as the work of Indonesian civil society organisations to promote community development and contribute to a vibrant civil society in Indonesia7.
UNDP lebih memfokuskan pada bantuannya kepada Indonesia dalam kerangka pencaian MDG. Bantuannya untuk pengingkatan kapasitas pemerintahan ditekankan pada masalah PILKADA dan penguatan DPR/DPRD, pada reformasi pemerintahan daerah, dan perbaikan sistem hukum.
The United Nations Development Programme (UNDP) works to support democratic development and the promotion and protection of the rule of law in Indonesia. Democratic governance provides the necessary enabling environment to reduce inequalities, alleviate poverty and achieve the Millennium Development Goals (MDGs). The UNDP works to promote democratic governance in Indonesia in three thematic areas: (1) promoting the ‘deepening of democracy’ through electoral and parliamentary support, (2) supporting
7 http://www.indo.ausaid.gov.au/sectors/governance.html
decentralization and local governance reform, and (3) promote rights‐based legal and justice sector reform8.
Dalam kaitannya dengan peningkatan kapasitas pemerintahan, perhatian dari DFID lebih ditekankan perbaikan sistem pemerintahan yang mengarah pada pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan mencerminkan terbagunnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses pemerintahan
The UK is providing £4.7 million to the Partnership to Support Governance Reform. This will support improved government systems, which are transparent, accountable and reflect wider civil society participation in governance processes. We are also providing £2 million to the Crisis Prevention and Recovery Unit (CPRU), through a United Nations Development Programme (UNDP) trust fund. The CPRU aims to assist Government and civil society to design crisis sensitive policies, mechanisms and programmes to reduce the vulnerability of communities in key areas9.
Fokus bantuan ADB untuk Indonesia dalam kerangka pemerintahan dan demokratisiasi adalah pada Tata Kelola dan Upaya Pemberantasan Korupsi 10 . Semua operasi ADB akan mencakup aktivitas memperkuat tata kelola pemerintah pusat maupun daerah dengan meningkatkan pengembangan kelembagaan dan memperkuat kapasitas untuk memperbaiki manajemen sektor pemerintah. Pinjaman non‐negara (non‐sovereign) untuk BUMN digunakan untuk menangani isu tata kelola korporasi. Pinjaman‐pinjaman program ADBakan terus memasukkan komponen tata kelola secara siginifkan. Dukungan ADB juga difokuskan pada peningkatan upaya pemberantasan korupsi dan peningkatan akuntabilitas untuk memperbaiki akuntabilitas fiskal dan
8 http://www.undp.or.id/programme/governance/ 9 http://www.dfid.gov.uk/countries/asia/indonesia.asp 10 ADB, Strategi dan Program ADB untuk Indonesia, 2006‐2009
21
administrasi pemerintah daerah dan tata kelola yang lebih baik.
Kerjasama teknis pemerintah Jerman melalui GTZ yang sudah banyak memberikan dukungan pada upaya pembangunan demokrasi dan desentralisasi di Indonesia mebih dari 10 tahun memiliki konsentrali khusus dalam peningkatan kapasitas pemerintahan pada bidang‐bidang sebagai berikut11:
(1) konsolidasi landasan hukum desentralisasi dan sistem administrasi local, serta kegiatan‐kegiatan sektoral lainnya;
(2) penguatan kinerja lembaga‐lembaga pemegang kekuasaan lokal;
(3) peningkatan kapasitas perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten;
(4) managemen keuangan, perencanaan penganggaran, dan pengelolaan anggaran;
(5) standar pelayanan dan penyediaan pelayanan pada sektor‐sektor tertentu;
(6) managemen personalia yang profesional; (7) pengembangan organisasi berbasis
penugasan; (8) kerjasama antar komunitas dan
pengembangan asosiasi‐asosiasi tertentu; (9) pengembangan partisipasi dan kontrol
administrasi oleh masyarakat dan DPRD; dan
(10) pengembangan proses supervisi bagi pemerintah lokal.
CIDA memiliki beberapa wilayah yang menjadi konsentrasi mereka, yaitu wilayah Sulawesi dan wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Di Sulawesi penekanan dalam hal peningkatan kapasitas pemerintahan ditekankan pada aspek pelayanan publik. Sedangkan di Aceh dan Sumatera Utara penekanannya lebih pada hal yang sama, yaitu pelayanan publik dengan lebih
11 http://www.gtz.de/en/weltweit/asien‐pazifik/1485.htm
menggerakan organisasi‐organisasi masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan dan pelaksanaan pemerintahan.
The principal emphasis will be support for decentralization. Initiatives will be undertaken with government institutions at the national and local levels and will focus on fiscal management, consultative processes, and the provision of social services.
CIDA will be working with national and local partners in a program similar to the one in Sulawesi. In Aceh, where up to 80 percent of local government personnel have lost their lives, the emphasis will be on replacing, retraining and strengthening the capacity of national and local partners to deliver pro‐poor public services. Support will also be provided to CSOs that contribute to and support the implementation of decentralization, building capacity for greater public participation and influence in decision‐making at the local level. This enhanced ability to dialogue with governments will be especially important in the reconstruction period. In addition, CIDA will work at the community level to support peacebuilding initiatives12.
Sida (Swedish International Development Agency) 13 menyediakan bantuan‐bantuan yang menngarah pada reformasi perpajakan. Namun kebanyakan bantuan Sida diarahkan pada penyediaan tenaga‐tenaga ahli dan dana yang disalurkan melalui UNDP melalaui Partnership for Governance Reform in Indonesia pada lebih dari 200 proyek.
Sida provides support for reforms at central and local level within public authorities and other institutions within the programme Partnership for Governance. This comprises two elements: an advisory expert group and a fund which is administered by UNDP. To date the fund has supported more than 200 projects. Since the mid‐1990s Sida has contributed to the research carried out by the Centre for Democracy and
12 http://www.acdi‐cida.gc.ca/CIDAWEB/acdicida.nsf/En/JUD‐4563512‐GS3 13 http://www.sida.se/sida/jsp/sida.jsp?d=584&a=34623&language=en_US
22
Human Rights Studies (Demos) to promote the work of the democracy movement.
Only a fraction of Indonesia's population pays tax. Several providers of development assistance are taking part in the tax reform being carried out by the government, with the International Monetary Fund (IMF) coordinating the efforts. Sida's contribution comprises support for a collaboration between the Swedish National Tax Board and its Indonesian counterpart.
Salah satu proyek peningkata kapasitas Pemerintah Daerah di Indonesia adalah sebuah proyek yang didanai melalui pinjaman Asian Development Bank yang dinamai Sustainable Capasity Building for Decentralization Project (SCB‐DP)
Proyek SCB‐DP (Sustainable Capacity Building for Decentralization Project) ADB Loan 1964‐ INO14
Peningkatan Kapasitas untuk Desentralisasi mengedepankan pengembangan Sistem, Institusi, dan Individu dari setiap komponen pendukung Desentralisasi, serta dilaksanakan dengan melibatkan berbagai tingkat administrasi pemerintahan yang berbeda: Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat. Kegiatan ini bersifat demand driven dengan mengacu pada kebijakan nasional, khususnya UU RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maupun Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas.
14 Juklak Proyek SCB‐DP
Peningkatan Kapasitas Berkelanjutan bagi Desentralisasi (‘Sustainable Capacity Building for Decentralization’), selanjutnya disebut sebagai Proyek SCBD, adalah suatu program lintas‐sektoral di bidang peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah. Proyek tersebut dirancang untuk memenuhi beberapa prinsip utama sebagai berikut:
‐ Mendukung pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas (Capacity Building Action Plans, selanjutnya disebut sebagai CB‐AP) yang efektif.
‐ Mendukung pelaksanaan rencana‐rencana sejenis melalui akses kepada pilihan‐pilihan pendanaan dan dukungan teknis yang sesuai.
‐ Mendukung pengembangan suatu pasar yang kompetitif bagi para penyedia jasa dalam memenuhi kebutuhan akan peningkatan kapasitas di tingkat pemerintah daerah.
‐ Melaksanakan Kerangka Nasional Peningkatan Kapasitas serta menyebar‐luaskan kebijakan pendukung dan strategi‐strategi sub‐sektor.
Secara spesifik, fungsi‐fungsi pendukung utama pemerintah daerah yang memerlukan peningkatan kapasitas dan akan mendapat dukungan pendanaan dari Proyek SCBD diarahkan kepada ’10 Fungsi Pendukung Pemerintahan Daerah (didefinisikan sebagai ‘fungsi potongan secara menyeluruh (cross‐cutting)’ yaitu:
1. administrasi umum; 2. manajemen keuangan; 3. pemeriksaan; 4. penyusunan ketentuan hukum; 5. pengembangan organisasi; 6. manajemen sumber daya manusia; 7. informasi komunikasi;
23
8. perencanaan pembangunan; 9. pelaksanaan proyek, pemantauan dan
evaluasi; dan 10. pengadaan barang dan jasa.
Pada intinya, proyek ini membantu sekitar 37 pemerintah daerah kota/kabupaten dan 10 pemerintah provinsi di 10 (sepuluh) Provinsi. Bantuan tersebut melalui suatu Penyusunan dan Pelaksanaan Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas (CB‐AP) untuk masing‐masing kota/kabupaten terkait.
Investasi dalam proyek SCBD diarahkan oleh kebutuhan atau didasarkan pada kebutuhan operasional dari pemerintah daerah untuk memenuhi misinya sebagai lembaga pelayanan masyarakat. Namun dengan tetap berpegang pada pedoman yang berlaku, baik yang berasal dari Pemerintah Republik Indonesia maupun dari Bank Pembangunan Asia (ADB). Pengembangan atau perbaikan kapasitas kelembagaan yang dicapai harus dicerminkan pada kinerja kelembagaan yang meningkat, yakni hasil atau manfaat yang lebih baik.
Rancangan proyek mencerminkan suatu proses pengembangan rencana tindak peningkatan kapasitas yang inovatif, yang secara khusus dirancang untuk memenuhi berbagai kebutuhan pemerintah daerah yang masing‐masing berbeda‐beda. Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas (CB‐AP) akan dipadukan dalam proses perencanaan dan penganggaran yang resmi pada pemerintah daerah dan dimasukkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), dengan mengikutsertakan berbagai stakeholder dan Media Massa pada tahap akhirnya.
CB‐AP memuat contoh ‘pengalaman‐pengalaman/praktek‐praktek terbaik’ terkini tentang peningkatan kapasitas kelembagaan termasuk didalamnya tentang kesetaraan
gender. Oleh karena itu, CB‐AP tidak membatasi hanya pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) atau ‘pelatihan’ saja. CB‐AP juga menampilkan suatu program terpadu mulai dari dukungan bagi kerangka strategis, lembaga yang berkemampuan, manajemen yang lebih baik, serta piranti keras dan piranti lunaknya.
Proyek SCB‐DP memberikan perhatian terhadap rentang yang luas dari kegiatan‐kegiatan dan investasi terpadu dalam peningkatan kapasitas. Sistem koordinasi yang efisien untuk mempertahankan fokus program tetap diperlukan. Telah dibentuk suatu Panitia Pengarah, Kantor Manajemen Proyek Tingkat Pusat atau “Central Project Management Office” (CPMO) dan akan dibentuk Kantor Koordinasi Proyek Tingkat Provinsi atau “Provincial Project Coordination Offices” (PPCO).
Suatu Badan Pengkajian dan Penilaian Peningkatan Kapasitas Tingkat Nasional (BP3K‐N) dibentuk untuk menyediakan penilaian yang transparan dan obyektif terhadap usulan‐usulan investasi peningkatan kapasitas. Badan pengkajian tersebut didukung oleh konsultan SCB‐DP untuk memberikan tinjauan dan pemantauan secara independen. Badan Pengkajian Tingkat Provinsi (BP3K‐P) juga dibentuk untuk mendukung pelaksanaan CB‐AP di daerah‐daerah.
Proyek membangun dan menampilkan sistem berbasis jaringan (web) untuk mendukung penyebarluasan dukungan informasi serta fungsi‐fungsi komunikasi. Setiap lembaga yang terkait, khususnya Depdagri, LAN, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten, menerima paket pendukung ICT (teknologi informasi dan komunikasi) untuk memudahkan: a) komunikasi; b) manajemen program; c) manajemen database; serta d) akreditasi dan sertifikasi.
24
Walaupun hingga tulisan ini dibuat Proyek SCB‐DP masih belum selesai, namun Pemerintah RI telah melakukan penilaian akan manfaat yang telah disumbangkan Proyek ini. Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota15, telah diterbitkan sebuah aturan bahwa Pemerintah Provinsi. Kabupaten dan Kota, harus menetapkan Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas dan melaksanakan Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas.
Bila mengacu pada konteks Proyek SCB‐DP, Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas yang termuat dalam Peraturan Pemerintah tersebut dapat disamakan dengan Capacity Building Action Plan atau CB‐AP. Karena pada dasarnya di negara Indonesia, sebelum proyek SCB‐DP diperkenalkan, konsepsi Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas belum pernah diperkenalkan.
Umumnya dan atau sebelumnya, kebanyakan Pemerintah Daerah di Indonesia merencanakan program‐program atau kegiatan‐kegiatan peningkatan kapasitasnya dalam bentuk yang sangat parsial. Umumnya kegiatan‐kegiatan tersebut diletakkan pada dan berdasarkan kebutuhan Satuan Kerja Perangkat Daerah masing‐masing.
Umumnya perencanaan dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan bagi aparat Pemerintah Daerah dikembangkan berdasarkan ketersediaan kurikulum yang tersedia dan sudah diperkenalkan oleh lembaga‐lembaga pendidikan pelatihan di pusat. Rencana Tindak Peningkatkan Kapasitas akan memperkenalkan Pemerintah Daerah pada
15 Dapat dilihat lampiran T. tentang Otda
pendidikan pelatihan berdasarkan kebutuhan masing‐masing Pemerintah Daerah itu sendiri.
Pemerintah Daerah dapat saja menggunakan materi pendidikan pelatihan yang sudah tersedia atau sudah diperkenalkan pusat, namun dalam konteks ini Pemerintah Daerah dapat pula mengembangkan materi pendidikan pelatihan sesuai dengan konteks dan karakteristik local serta berdasarkan tuntutan dan kebutuhannya sendiri.
Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas yang diperkenalkan oleh SCB‐DP melihat bahwa elemen pendidikan pelatihaan tidaklah dapat memberikan kontribusi yang signifikan bila tidak didukung oleh perbaikan sistem manajemen sumber daya manusia pegawai negeri sipil. Berbagai kasus menunjukkan pendidikan dan pelatihan tanpa didukung sistem manajemen SDM yang baik hanya akan menghasilkan SDM berkualitas namun tidak dapat membangun sistem pemerintahan yang ada.
25
Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas versi Proyek SCB‐DP16
Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas bagi Pemerintah Daerah atau dalam Proyek SCB‐DP lebih dikenal sebagai Capacity Building Action Plan (CB‐AP) merupakan sebuah tahapan awal begi setiap Pemerintah Daerah bila mereka ingin mendapatkan bantuan hibah dana dan asistensi teknis dari Pemerintah untuk pelaksanaannya.
Secara garis besar, penyusunan CB‐AP dapat dibagi ke dalam dua kegiatan besar, yaitu penyusunan Draft CB‐AP, dan proses persetujuannya; mulai dari PIU; Kepala Daerah; DPRD; CPMO; BP3K‐N/BP3K‐P; sampai dengan ADB. Lampiran 1 memperlihatkan diagram alur kegiatan dan pihak‐pihak yang terkait dalam penyusunan CB‐AP tersebut.
a. Penyusunan Draft CB‐AP
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa penyusunan CB‐AP ini adalah rangkaian proses penyusunan daftar program dan kegiatan yang hasil akhirnya akan dimasukkan ke dalam satu kerangka acuan (TOR) proyek.
Terdapat 5 tahap dalam proses ini: Tahap Pertama adalah Pengkajian Kelembagaan dan Penilaian Kebutuhan Pelatihan; Tahap Kedua adalah Penyusunan Strategi dan proses formulasi Program CB‐AP berdasakan kajian yang dilakukan pada tahap pertama. Tahap Ketiga, Menetapkan Prioritas Program; Tahap Keempat, Proses Persetujuan; dan Tahap Kelima adalah Persetujuan Akhir dan Legalisasi. Seluruh tahapan ini akan memakan waktu sekitar 13 minggu (sekitar 3 bulan).
b. Tahap dan Proses CB‐AP
16 Petunjuk Pelaksanaan/Petunjuk Teknis Proyek Peningkatan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi – ADB Loan 1964‐INO
Tahap dan Proses CB‐AP diringkaskan dalam langkah‐langkah sebagai berikut:
Tahap‐1. Pengkajian
Tahap awal penyusunan CB‐AP adalah dengan melakukan pengkajian kinerja Pemda dengan menggunakan metoda analisa SWOT, yang dilanjutkan dengan mengkaji kinerja kelembagaan (FISA) dan kebutuhan pelatihan (TNA) untuk memberikan masukan terhadap kebutuhan dan permasalahan yang saat kini dihadapi.
Tahap‐2. Penyusunan Strategi dan Formulasi program
Berdasarkan kondisi‐kondisi yang tergambar dari hasil kajian kelembagaan dan kebutuhan pelatihan di atas, maka dapat disusun suatu strategi besar (grand strategy) untuk peningkatan kapasitas daerah.
Strategi yang telah tersusun kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam suatu rancangan program dan kegiatan pengembangan kapasitas yang menyeluruh. Program dan kegiatan tersebut harus secara jelas terkait dengan usaha pengembangan kapasitas pemerintah daerah yang dibatasi menjadi 5 kategori/komponen utama, yaitu:
‐ Kerangka Peningkatan Kapasitas
‐ Perkuatan Kelembagaan
‐ Manajemen sumber daya manusia
‐ Pengembangan sumber daya manusia
‐ Penganggaran dan Pembiayaan
Penyusunan CB‐AP mensyaratkan adanya Rencana Tindak berperspektif Gender ‐ “Gender Action Plan” (GAP) dalam tiap komponen CB‐AP –Rencana Tindak Gender tersebut disusun berdasarkan hasil analisis gender yang mengidentifikasikan kesenjangan antara apa yang dicapai perempuan dan laki‐laki dan memasukkan upaya–upaya
26
pemecahan permasalahannya dalam bentuk rencana tindak di masing‐masing komponen. Analisis gender ini dilakukan pada tahap awal bersamaan dengan Pengkajian Kelembagaan dan Penilaian Kebutuhan Pelatihan.
Penyusunan program ini harus melalui suatu proses konsultasi publik yang melibatkan unsur‐unsur masyarakat, LSM, DPRD dan sebagainya, dan memperhatikan keterwakilan yang imbang antara perempuan dan laki‐laki. Mekanisme pelaksanaan proses tersebut diserahkan sepenuhnya kepada daerah masing‐masing. Hasil akhir dari tahapan ini adalah suatu daftar panjang program dan kegiatan beserta penganggarannya.
Tahap‐3. Penetapan prioritas program
Formulasi prioritas program pada dasarnya dilakukan untuk menyaring daftar panjang program dan kegiatan untuk dapat disesuaikan dan didanai oleh proyek SCB‐DP. Penyusunan prioritas program dan kegiatan ini dilakukan melalui konsultasi internal Pemda. Proyek SCB‐DP menyediakan suatu perangkat lunak yang memfasilitasi proses penyusunan prioritas kegiatan.
Seperti halnya rencana program dan kegiatan keseluruhan (daftar panjang), hasil akhir proses penyusunan prioritas ini juga dilengkapi dengan anggaran, serta skala waktu dan tahapan pelaksanaan.
Dari hasil penyusunan di atas (prioritisasi daftar panjang program) prosedur selanjutnya yaitu pengajuan kepada Kepala
Daerah dan DPRD untuk dimintakan persetujuan prinsipnya, sebelum kemudian dokumen CB‐AP tersebut diusulkan kepada CPMO untuk proses persetujuan selanjutnya.
Tahap‐4. Proses Persetujuan
Terdapat 2 tingkatan proses persetujuan yang harus dilalui untuk dapat dimasukannya CB‐AP sebagai bagian dari RPJMD, yang akan memakan waktu sekitar 25 minggu. Persetujuan pertama adalah dari pihak Pelaksana Proyek di Daera dan Kepala Daerah terhadap draft CB‐AP dan prioritisasi program yang disusun oleh Tim Penyusun. Persetujuan ini akan ditindaklanjuti dengan penyerahan bahan‐bahan tersebut oleh KDH kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan prinsip. Draft CB‐AP yang telah disetujui secara prinsip lalu diserahkan kepada lembaga yang disebut CPMO yang berada di bawah Direktorat Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri untuk dilakukan evaluasi dan dipaparkan kepada BP3K‐N, BP3K‐P dan ADB untuk mendapatkan komentar dan/atau persetujuan pendanaan. CB‐AP yang telah dikomentari dan/atau disetujui kemudian diserahkan kembali kepada Kepala Daerah melalui SKPD yang ditunjuk sebagai pelaksana proyek.
Tahap‐5. Persetujuan Akhir dan Legalisasi.
Persetujuan kedua Proses legalisasi di DPRD: adalah berupa Persetujuan hasil kajian dan evaluasi CPMO dan BP3KN, yang diajukan
27
kembali oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk proses revisi perda dalam memasukan CB‐AP ke dalam bagian dari RPJMD termasuk pengesahan anggaran selama 3 tahun (anggaran pendamping dan penunjang).
Sebuah CB‐AP akan berisikan:
Dokumen CB‐AP
Bab Pendahuluan berisikan latar belakang wilayah, dasar pemikiran dibutuhkannya upaya Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah, maksud dan tujuan dari upaya peningkatan kapasitas yang berkalnjutan untuk desentralisasi, pendekatan‐pendekatan dalam pelaksanaan peningkatan kapasitas bagi Pemerintah Daerah.
Bab selanjutnya mengemukakan tentang masalah‐masalah yang dihadapi dalam upaya Peningkatan Kapasitas Pemda, seperti data dasar, dan masalah‐masalah aktual yang dihadapi Pemda saat ini.
Karena CB‐AP haruslah merupakan bagian integral dari RPJMD, maka bab selanjutnya harus mengemukakan tentang Visi dan Misi Daerah, tujuan serta sasaran peningkatan kapasitas Pemda, strategi peningkatan kapasitas Pemda, hubungan logis antara tujuan serta sasaran Peningkatan Kapasitas Pemda dengan tujuan serta sasaran dalam Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas (CB‐AP), hubungan logis antara strategi peningkatan kapasitas Pemda dengan strategi dalam Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas (CB‐AP)
Bab selanjutnya berisikan Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas dan aspek pembiayaan atas lima komponen peningkatan kapasitas, yaitu: (a) Komponen kerangka peningkatan
kapasitas (b) Komponen perkuatan kelembagaan
(c) Komponen manajemen sumber daya manusia
(d) Komponen pengembangan sumber daya manusia, dan
(e) Komponen penganggaran dan pembiayaan
Bagian terakhir memaparkan tentang Rencana Tindak Gender atau The Gender Action Plan (GAP17). Dlam konteks Proyek SCB‐DP, GAP merupakan elemen integral dari proses penyusunan CB‐AP. GAP itu sendiri merupakan elemen yang sangat spesial dan unik, karena GAP merupakan sebuah prasyarat bagi pembiayaan atas pelaksanaan CB‐AP.
Tujuan utama dari GAP adalah untuk memastikan tentang: i) integrasi tentang issue gender dalam strategi peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan program‐program lainnya yang terkait; dan ii) membangun akses kesempatan yang seimbang terhadap posisi manajemen kunci bagi seluruh personel berkualifikasi dan berpengalaman, tanpa mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin, ras, maupun agama. Secara umum proses pemformulasian GAP akan mengikuti pola dari penyiapan dokumen CB‐AP.
Penyusunan GAP membutuhkan bantuan dari Tim Penyusun CB‐AP untuk membentuk Sub‐Team Gender yang nantinya ditugaskan untuk menyusun dokumen Rencana Aksi Gender. Semua elemen dalam GAP akan berlaku bagi setiap program atas setiap komponen SCB‐DP.
Sebenarnya secara umum strategi dalam SB‐AP harus:
1. mempromosikan kesempatan yang sama dan menyertakan
17Core Team SCB‐DP, WORKING PAPER NO.3 GENDERACTION PLAN (GAP) ‐ Introduction and Guidelines, February 2004
28
Overall CB‐AP strategies should: i) promote equal opportunities and include specific reference to the types of capacity building interventions necessary for efficient local resources management and service delivery, respecting ‘equal opportunity’ for all personnel regardless of gender, race and disability; and ii) secure sustainable resource allocations for activities and measures to mainstream gender equity in CB‐APs.
GAP sub‐strategies: These are required for all elements of the CB‐AP, inter alia: reorganization, rationalization, system development, training, recruitment and retrenchment, and management measures and incentives. In addition, gender mainstreaming objectives must be articulated in sectoral and administrative guidelines at all levels.