1
PENINGKATAN KAPASITAS
TENAGA SURVEILANS
UNTUK PENGUATAN
PENEMUAN KASUS
PNEUMONIA/ISPA DAN
KESIAPSIAGAAN DAERAH
MENGHADAPI PHEIC
TAHUN 2016
I. Pendahuluan
Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor :
2349/Menkes/Per/XI/2011 tanggal 22
Nopember 2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Unit Pelaksana Teknis di Bidang Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit, BTKLPP Kelas I Medan merupakan
Unit Pelaksana Teknis di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada
Direktur Jenderal PP dan PL Kementerian
Kesehatan. BTKLPP Kelas I Medan memiliki 3
(tiga) wilayah layanan yaitu Propinsi Aceh,
Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi
Sumatera Barat.
BTKLPP Kelas I Medan merupakan
salah satu unit pelaksana teknis di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang mempunyai
tugas melaksanakan surveilans epidemiologi,
kajian dan penapisan teknologi, laboratorium
rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan
dan pelatihan, pengembangan model dan
teknologi tepat guna, kewaspadaan dini, dan
penanggulangan kejadian luar biasa (KLB), di
bidang pemberantasan penyakit menular dan
kesehatan lingkungan serta kesehatan matra.
Untuk meningkatkan pelayanan
BTKLPP Kelas I Medan ke wilayah kerjanya
maka dilaksanakan Kegiatan ”Peningkatan
Kapasitas Tenaga Surveilans Untuk
Penguatan Penemuan Kasus
Pneumonia/ISPA dan Kesiapsiagaan Daerah
Menghadapi PHEIC” yang dilaksanakan di
Hotel Polonia Medan.
II. Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas tenaga surveilans
untuk penguatan penemuan kasus Pneumonia
/ ISPA dan kesiapsiagaan petugas Dinas
Kesehatan Kabupaten / Kota di Propinsi
Sumatera Utara dalam menghadapi PHEIC
(Public Health Emergency of International
Concern) Tahun 2016.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) adalah infeksi yang menyerang salah
satu/lebih organ saluran nafas, mulai hidung
sampai alveoli termasuk organ adneksanya.
Dari sekian banyak ISPA, yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat adalah
Pneumonia khususnya pada Balita dan di
Indonesia ISPA adalah penyebab kedua
kematian Balita. BTKLPP Kelas I Medan
sebagai UPT Kementerian Kesehatan
melaksanakan kegiatan Penguatan Penemuan
Kasus Pneumonia/ISPA dan membantu
petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di
Propinsi Sumatera Utara untuk dapat sigap
dan siap senantiasa dalam menghadapi
PHEIC dengan melatih petugas Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota se Propinsi
Sumatera Utara selama 4 hari di Hotel Polonia
Medan.
III. Metode Pelaksanaan
Pertemuan ini dilaksanakan dengan
metode sebagai berikut :
a. Pengarahan dan Pembukaan dari Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara
(mewakili).
b. Kata sambutan dari Ketua Panitia
Penyelenggara Kegiatan.
c. Pemaparan Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi Sumatera Utara (mewakili).
d. Pemaparan dari Kepala Subdit ISPA Ditjen
P2P Kementerian Kesehatan.
e. Pemaparan dari Kepala Bapelkes Medan.
f. Pemaparan dari Kepala Seksi Surveilans
Epidemiologi.
g. Pemaparan dari Ibu Sri Rahayu dan Ibu
Atika Siregar.
h. Diskusi dan tanya jawab.
i. Penutupan dari Kepala BTKLPP Kelas I
Medan.
2
IV. Narasumber dan Peserta
Narasumber Kepala Subdit P2P ISPA Ditjen
P2P Kemenkes
Narasumber pada pertemuan ini adalah:
a. Kepala Subdit. P2P ISPA Ditjen P2P
Kementerian Kesehatan, dr. Christina
Widaningrum, M.Kes.
b. Kepala Bapelkes Medan, Achmad Rifai,
SKM, M.Kes.
c. Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi,
Erlan Aritonang, S.Si, M.Si
d. Widyaiswara Ahli Pertama, Sri R Yusnita
Situmorang, S.Kep
e. Fungsional Penyuluh Kesehatan
Masyarakat Muda, Atika Arif Siregar, SKM.
Peserta pada pertemuan ini ada sejumlah 77
orang yang terdiri dari :
- Kepala Seksi SE dan Kepala Seksi PTL
- Kepala Instalasi Laboratorium Kimia,
Laboratorium Biologi BTKLPP Medan
- Staf Dinas Kesehatan dari Seluruh
Kabupaten/Kota se Propinsi Sumatera
Utara
- Staf Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)
Kelas I Medan
- Panitia
V. Waktu Dan Tempat
Kegiatan diselenggarakan pada tanggal
24-27 Mei 2016 di Hotel Polonia Medan
VI. Sumber Pembiayaan
Sumber pembiayaan kegiatan ini adalah
DIPA BTKLPP Kelas I Medan TA. 2016.
VII. Topik
Topik pada pertemuan ini adalah :
melatih tenaga surveilans/pengelola ISPA di
seluruh Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera
Utara untuk penguatan penemuan kasus
Pneumonia/ISPA dan kesiapsiagaan daerah
menghadapi PHEIC.
VIII. Penanggung jawab
Penanggung jawab kegiatan ini
adalah Kepala BTKLPP Kelas I Medan.
IX. Rangkuman Hasil Kegiatan
1. Acara Pembukaan
Sambutan dari Ketua Panitia
Penyelenggara Kegiatan (Erlan Aritonang,
S.Si, M.Si) antara lain ucapan terima kasih
atas kehadiran seluruh peserta yang telah
menghadiri acara Peningkatan Tenaga
Surveilans untuk Penguatan Penemuan Kasus
Pneumonia/ISPA dan kesiapsiagaan daerah
menghadapi PHEIC Tahun 2016. Kemudian
disampaikan laporan rencana pelaksanaan
kegiatan yang berlangsung selama 4 (empat)
hari tanggal 24 - 27 Mei 2016 yang
dilaksanakan di Hotel Polonia Medan.
Selanjutnya disampaikan juga tujuan umum
pertemuan adalah untuk melatih tenaga
surveilans/pengelola ISPA di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara
bagaimana cara menangani kasus
Pnumonia/ISPA dan melatih agar siap siaga
dalam mengahadapi PHEIC tahun 2016.
2. Pemaparan Materi
a. Ka. Subdit. ISPA Ditjen P2P Kementerian
Kesehatan, dr. Christina Widaningrum,
M.Kes. Materi yang dibawakan adalah :
- Kebijakan dan strategi IHR.
- Manajemen Emerging Infektious
Diseases (EIDs).
- Sistem Surveilans ISPA Berat
Indonesia (SIBI).
- Kebijakan Penanggulangan
Pneumonia/ISPA.
b. Kepala Bapelkes Medan, Achmad Rifai,
SKM, M.Kes. Materi yang dibawakan
adalah :
- Budaya Data.
3
c. Kepala BTKLPP Kelas I Medan, Dr. Dra.
Indah Anggraini, M.Si. Materi yang
dibawakan adalah :
- Profil BTKLPP Kelas I Medan
d. Kepala Sie. Surveilans Epidemiologi, Erlan
Aritonang, S.Si, M.Si. Materi yang
dibawakan adalah :
- Surveilans Penyakit Menular
Langsung.
e. Widyaiswara Ahli Pertama, Sri R Yusnita
Situmorang, S.Kep. Materi yang dibawakan
adalah :
- BLC (Build Learning Commitment).
- Komunikasi Efektif.
f. Fungsional Penyuluh Kesehatan
Masyarakat Muda, Atika Arif Siregar, SKM.
Materi yang dibawakan adalah :
- Tatalaksana Pneumonia.
- Evaluasi dan Pelaporan ISPA.
3. Rencana Tindak Lanjut
Penandatanganan Rencana Tindak Lanjut .
Setelah selesai melakukan kegiatan
pemaparan materi dari nara sumber, seluruh
peserta sepakat untuk melakukan Rencana
Tindak Lanjut, antara lain :
a. Pengadaan logistik dari Dinas Kesehatan
Kabupaten dan Dinas Kesehatan Propinsi
dalam rangka penemuan kasus pneumonia.
b. Sosialisasi tentang tata laksana penemuan
kasus pneumonia yang di laksanakan oleh
Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten,
Dinas Kesehatan Propinsi dan BTKLPP
Medan
c. Pelacakan kasus pneumonia di wilayah
kerja dengan cara melakukan sweeping
dengan melibatkan bidan desa, kader
posyandu, dan tokoh masyarakat
d. Melakukan monev terpadu program ISPA
dan Pneumonia antara Dinas Kesehatan
Propinsi, Kabupaten/Kota dan BTKLPP
Medan ke Puskesmas
e. Merekomendasikan sistem tata laksana
standar dalam penanggulangan pneumonia
melalui pendekatan mtbs ke lintas program
di puskesmas
f. Mengadvokasikan pengambilan kebijakan
dalam penganggaran program pneumonia
dan pelacakan kasus pneumonia kepada
kepala bidang, selanjutnya ke kepala
Puskesmas
g. Melatih pengelola ISPA Puskesmas dan
Kabupaten oleh Dinas Kesehatan Propinsi
h. Melakukan penyuluhan oleh pengelola
ISPA ke seluruh desa mengenai
Pneumonia/ISPA yang melibatkan bidang
Promkes / Kesling, Bidan Desa, dan Kepala
Desa.
4. Kesimpulan
Dari hasil Kegiatan Peningkatan
Tenaga Surveilans untuk Penguatan
Penemuan Kasus Pneumonia/ISPA dan
kesiapsiagaan daerah menghadapi PHEIC
Tahun 2016 yang berlangsung selama 4
(empat) hari di Hotel Polinia Medan, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Tenaga Surveilans Kabupaten / Kota di
Propinsi Sumatera Utara mengenal tentang
penyakit penyakit PHEIC dan mengetahui
bagaimana cara penanganan terhadap
penyakit tersebut.
b. Tenaga Surveilans Kabupaten / Kota di
Propinsi Sumatera Utara mempunyai
pengetahuan tentang peranan data sebagai
dasar kegiatan dan mempunyai
pengetahuan mengenai cara penyajian dan
analisis data hasil kegiatan secara statistik.
c. Peserta pertemuan mampu
mendeskripsikan, menganalisis dan
memvisualisasikan data menjadi informasi
sebagai bahan rekomendasi kepada
penentu kebijakan untuk mendapatkan
tindak lanjut.
d. Tenaga Surveilans Kabupaten / Kota di
Propinsi Sumatera Utara mempunyai
pengetahuan dalam pengendalian penyakit
ISPA terutama Pneumonia Balita,
Pengendalian ISPA untuk usia > 5 tahun
dan mempunyai kesiapsiagaan serta
respon terhadap pandemi influenza serta
4
penyakit saluran pernafasan lain yang
berpotensi wabah serta faktor risiko ISPA.
e. Adanya koordinasi yang baik antar Dinas
Kesehatan kabupaten/kota dengan
Puskesmas dalam menangani kasus ISPA.
f. Adanya koordinasi yang baik antar
Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera
Utara dengan BTKLPP Kelas I Medan
dalam sistem pelaporan surveilans.
5. Penutup
Pertemuan ini ditutup oleh Kepala
BTKLPP Kelas I Medan pada hari Jumat, 27
Mei 2016.
Demikianlah laporan kegiatan Peningkatan
Tenaga Surveilans untuk Penguatan
Penemuan Kasus Pneumonia/ISPA dan
kesiapsiagaan daerah menghadapi PHEIC
Tahun 2016. Semoga dapat dipergunakan
untuk menambah pengetahuan, dan semoga
acara ini dapat dilaksanakan di tahun yang
akan datang untuk memperdalam
pengetahuan dan keahlian tenanga surveilans
yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
5
6
KEGIATAN PENYEHATAN
TEMPAT PENGOLAHAN
MAKANAN (TPM)
DI KAWASAN WISATA DANAU
TOBA PARAPAT KECAMATAN
GIRSANG SIPANGAN BOLON
KABUPATEN SIMALUNGUN
TAHUN 2016
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Danau Toba memiliki wisata alam
yang luar biasa, wisata spiritual,
wisata sejarah, juga wisata arsitektur dan
kuliner. Suasana yang sejuk dan
menyegarkan, hamparan air yang jernih, serta
pemandangan yang mempesona dengan
pegunungan hijau adalah sebagian kecil saja
dari deskripsi keindahan Danau Toba yang
mengagumkan. Kini Danau Toba sudah mulai
tercemar oleh banyaknya aktifitas kehidupan
manusia seperti banyaknya keramba dan
limbah domestik bahkan limbah hotel yang
belum mempunyai pengolahan terlebih dahulu
sebelum masuk ke badan air Danau Toba
tersebut.
Kawasan Danaua Toba dikelilingi oleh
tujuh kabupaten/kota yang ada di Propinsi
Sumatera Utara dan salah satu Kabupaten
tersebut adalah Kabupaten Simalungun, Salah
satu penunjang wisata di kawasan danau
Toba adalah tempat-tempat umum seperti
rumah makan atau restoran, dimana
restoran/rumah makan adalah merupakan
tempat pengolahan makanan dimana dalam
menjalankan usahanya harus memiliki
persyaratan hygiene sanitasi sesuai dengan
persyaratan yang berlaku yaitu Kepmenkes
RI No. 1098/Menkes/SK/VII/2003, Tentang
Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan
dan Restoran.
Makanan yang sehat dan aman
merupakan salah satu faktor yang penting
untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Oleh karena itu kualitas makanan
baik secara bakteriologis, kimiawi, maupun
fisik harus selalu dipertahankan. Kualitas
makanan harus senantiasa terjamin setiap
saat, agar masyarakat sebagai pemakai
produk makanan tersebut dapat terhindar dari
penyakit/gangguan kesehatan serta
keracunan akibat makanan. Masalah sanitasi
makanan sangat penting, terutama di tempat-
tempat umum yang erat kaitannya dengan
pelayanan untuk orang banyak khususnya di
daerah kawasan wisata Danau Toba.
Untuk mencegah terjadinya keracunan
makanan dari tempat pengolahan makanan
perlu dilakukan pengawasan sanitasi tempat
pengolahan makanan dengan 6 prinsip
sanitasi yaitu pengawasan bahan makanan,
penyimpanan bahan makanan, pengolahan
bahan makanan dan penyimpanan
makanan dan penyajian makanan. Udara
sebagai komponen lingkungan yang penting
dalam perkembangan bakteri dan kuman
perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya
khususnya kualitas udara di rumah makan/
restoran harus dijaga demi terjaminnya
hygiene sanitasi makanan dan minuman yang
disediakan untuk masyarakat pengunjung
rumah makan/restoran di kawasan wisata
Danau Toba.
Bahan makanan dan makanan jadi
serta peralatan makan minum di rumah
makan/restoran juga harus sesuai dengan
Kepmenkes RI No. 1098/Menkes/SK/VII/2003,
Tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah
Makan dan Restoran, dimana angka kuman
pada makanan dan minuman serta pada
peralatan yang kontak langsung dengan
makanan siap saji tidak boleh mengandung
bakteri E.coli. Salah satu tugas pokok dan
fungsi BTKLPP Kelas I Medan sebagai Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian
Kesehatan dan berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan
No.2349/Menkes/SK/III/2011, Tentang
organisasi dan tata kerja UPT di bidang teknik
kesehatan lingkungan dan pengendalian
adalah melaksanakan Analisis Dampak
Kesehatan Lingkungan.
1.2. Permasalahan
a. Masih banyak rumah makan maupun
restoran belum memenuhi persyarantan
hygiene sanitasi sesuai Kepmenkes RI No.
Kepmenkes RI No.
1098/Menkes/SK/VII/2003, Tentang
7
Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah
Makan Dan Restoran.
b. Masih rendahnya pengetahuan penjamah
makanan tentang hygiene sanitasi rumah
makan/restoran dan penjamah makanan
pada umumnya belum mengikuti kursus
pengolahan makanan.
c. Masih kurangnya pengawasan serta
pembinaan dari lintas sektor maupun lintas
program terhadap rumah makan/restoran.
1.3. Maksud dan Tujuan
a. Maksud
Meningkatkan Higiene Sanitasi
Rumah Makan dan Restoran di daerah
Parapat Kecamatan Girsang Sipangan
Bolon Kabupaten Simalungun Propinsi
Sumatera Utara.
b. Tujuan
- Untuk mengetahui tingkat mutu
hygiene sanitasi rumah makan.
- Untuk mengetahui kualitas makanan
yang disajikan rumah makan dan
restoran.
- Untuk mengetahui kualitas air minum
rumah makan dan restoran.
- Untuk mengetahui kualitas air bersih
rumah makan dan restoran.
- Untuk mengetahui tingkat kebersihan
peralatan makan minum rumah makan
dan restoran di daerah Parapat
Kecamatan Girsang Sipangan Bolon
Kabupaten Simalungun Propinsi
Sumatera Utara.
c. Output Kegiatan
Terpantaunya higiene sanitasi Rumah
makan dan Restoran didaerah Parapat
Kecamatan Girsang Sipangan Bolon
Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera
Utara.
1.4. METODE KEGIATAN
a. Sasaran
Sasaran dalam kegiatan penyehatan
Tempat Pengolahan Makanan adalah
Rumah makan/Restoran di daerah Parapat
Kecamatan Girsang Sipangan Bolon
Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera
Utara.
b. Cara Melakukan Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan Penyehatan
Tempat Pengelolaan Makanan melalui
Observasi Hygiene Sanitasi Rumah Makan
dan Restoran dan Uji kualitas air minum,
air bersih, makanan serta usap alat pada
piring makan dan gelas berdasarkan
Kepmenkes RI No.
1098/Menkes/SK/VII/2003, Tentang
Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah
Makan Dan Restoran.
c. Waktu & Tempat
Waktu pelaksanaan kegiatan
Penyehatan Tempat Pengelolaan
Makanan pada tanggal 18 Pebruari 2016.
Tempat pelaksanan kegiatan Penyehatan
Tempat Pengolahan Makanan yaitu :
1. Restoran Hotel Atsari
2. Rumah Makan Islam Murni
3. Rumah Makan Nikmat
4. Rumah Makan Azahra
5. Restoran Asia
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. RUMAH MAKAN
Menurut keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1098/MENKES/SK/Vll/2003 tentang
persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran pada pasal (1) terdapat
pengertian rumah makan dan restoran.
Rumah makan adalah setiap tempat usaha
komersial yang ruang lingkup kegiatannya
menyediakan makanan dan minuman untuk
umum di tempat usahanya.
Kebersihan di rumah makan sangat
penting, mengingat salah satu fungsi dari
rumah makan yaitu sebagai tempat menjual
makanan dan dihidangkan kepada pembeli.
Sebagaimana tempat umum lainnya, rumah
makan perlu mendapat pengawasan khusus
mengenai keadaan sanitasinya. Bila tidak
maka akan menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan seperti timbulnya penyakit menular.
Menurut Permenkes
No.1098/MenKes/SK/VII/2003 yang dimaksud
dengan :
a. Rumah Makan adalah setiap tempat
usaha komersial yang ruang lingkup
kegiatannya menyediakan makanan dan
8
minuman untuk umum ditempat
usahanya.
b. Restoran adalah salah satu jenis usaha
jasa pangan yang bertempat disebagian
atau seluruh bangunan yang permanen di
lengkapi dengan peralatan dan
perlengkapan untuk proses pembuatan,
penyimpanan, penyajian dan penjualan
makanan dan minuman bagi umum di
tempat usahanya.
c. Peralatan adalah segala macam alat
yang digunakan untuk mengolah dan
menyajikan makanan.
d. Hygiene Sanitasi makanan adalah upaya
untuk mengendalikan faktor
makanan,orang, tempat dan
perlengkapannya yang dapat atau
mungkin dapat menimbulkan penyakit
atau gangguan kesehatan.
e. Persyaratan Hygiene Sanitasi adalah
ketentuan-ketentuan teknis yang di
tetapkan terhadap produk rumah makan
dan restoran, personel dan
perlengkapannya yang meliputi
persyaratan bakteriologis, kimia dan
fisika.
f. Fasilitas sanitasi adalah sarana fisik
bangunan dan perlengkapannya
digunakan untuk memelihara kualitas
lingkungan atau mengendalikan faktor-
faktor lingkungan fisik yang dapat
merugikan kesehatan manusia antara lain
sarana air bersih, jamban, peturasan,
saluran limbah, tempat cuci tangan, bak
sampah, kamar mandi, lemari pakaian
kerja (locker), peralatan pencegahan
terhadap lalat, tikus dan hewan lainnya
serta peralatan kebersihan.
g. Makanan jadi adalah makanan yang telah
diolah dan siap dihidangkan/disajikan
oleh rumah makan dan restoran.
h. Penjamah Makanan adalah orang yang
secara langsung berhubungan dengan
makanan dan peralatan mulai dari tahap
persiapan, pembersihan, pengolahan,
pengangkutan sampai dengan penyajian.
2.2. PRINSIP PENGOLAHAN MAKANAN
1. Tempat pengolahan makanan
Tempat pengolahan makanan adalah
tempat dimana makanan diolah, tempat
pengolahan ini sering disebut dapur. Dapur
mempunyai peranan yang penting dalam
proses pengolahan makanan, karena itu
kebersihan dapur dan lingkungan
sekitarnya harus selalu terjaga dan
diperhatikan. Dapur yang baik harus
memenuhi persyaratan sanitasi.
2. Penjamah makanan
Penjamah makanan menurut
Departemen Kesehatan RI (2006) adalah
orang yang secara langsung berhubungan
dengan makanan dan peralatan mulai dari
tahap persiapan, pembersihan,
pengolahan pengangkutan sampai
penyajian. Dalam proses pengolahan
makanan, peran dari penjamah makanan
sangatlah besar peranannya. Penjamah
makanan ini mempunyai peluang untuk
menularkan penyakit. Banyak infeksi
yang ditularkan melalui penjamah
makanan, antara lain Staphylococcus
aureus ditularkan melalui hidung dan
tenggorokan, kuman Clostridium
perfringens, Streptococcus, Salmonella
dapat ditularkan melalui kulit. Oleh sebab
itu penjamah makanan harus selalu dalam
keadan sehat dan terampil.
3. Cara pengolahan makanan
Cara pengolahan yang baik adalah
tidak terjadinya kerusakan-kerusakan
makanan sebagai akibat cara pengolahan
yang salah dan mengikui kaidah atau
prinsip-prinsip higiene dan sanitasi yang
baik atau disebut GMP (good
manufacturing practice).
4. Cara pengangkutan makanan yang telah
masak
Pengangkutan makanan dari tempat
pengolahan ke tempat penyajian atau
penyimpanan perlu mendapat perhatian
agar tidak terjadi kontaminasi baik dari
serangga, debu maupun bakteri. Wadah
yang dipergunakan harus utuh, kuat dan
tidak berkarat atau bocor. Pengangkutan
untuk waktu yang lama harus diatur
suhunya dalam keadaan panas 600 C atau
tetap dingin 40 C.
5. Cara penyimpanan makanan masak
Penyimpanan makanan masak dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu tempat
penyimpanan makanan pada suhu biasa
9
dan tempat penyimpanan pada suhu
dingin. Makanan yang mudah membusuk
sebaiknya disimpan pada suhu dingin yaitu
< 400C. Untuk makanan yang disajikan
lebih dari 6 jam, disimpan dalam suhu -50C
s/d -100C.
6. Cara penyajian makanan masak
Saat penyajian makanan yang perlu
diperhatikan adalah agar makanan tersebut
terhindar dari pencemaran, peralatan yang
digunakan dalam kondisi baik dan bersih,
petugas yang menyajikan harus sopan
serta senantiasa menjaga kesehatan dan
kebersihan pakaiannya. Pengawasan
sanitasi makanan merupakan kegiatan
pengamatan, pemeriksaan dan penilaian
serta memberi saran-saran dan bimbingan
pada pengelola rumah makan supaya
rumah makan yang dikelola sesuai standar
sanitasi makanan. Permasalahan yang
dihadapi saat ini adalah pengawasan yang
dilakukan hanya kunjungan rutin ke rumah
makan, formulir penangkapan data sulit
dianalisa dan pengelolaan data hasil
pengawasan belum menggunakan konsep
basis data. Permasalahan tersebut
menyebabkan aksesibilitas dan kecepatan
pengolahan data rendah, target
pengawasan yang telah ditetapkan tidak
tercapai. Sebagai contoh pada tahun 2004
target pengawasan (cakupan rumah makan
yang memenuhi standar sanitasi
makanan) sebesar 85%, namun
realisasinya hanya 70%.
2.3. Faktor - Faktor Penyebab Keracunan
Makanan
Makanan merupakan kebutuhan
pokok manusia. Makanan yang baik tentunya
harus memenuhi kandungan nutrisi serta
persyaratan kesehatan dan kebersihan.
Namun, mengapa keracunan makanan masih
sering terjadi. Suatu bahan makanan dapat
disebut sebagai makanan, apabila bahan
makanan tersebut dapat atau siap untuk
dimakan. Bahan makanan merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme sehingga
kerusakan makanan biasanya ditimbulkan
dengan mudah oleh mikroorganisme. Masalah
yang sering dihadapi akibat kerusakan
makanan adalah masalah keracunan.
Faktor-faktor yang berperan terhadap
terjadinya keracunan makanan, yaitu:
1. Faktor makanan itu sendiri
2. Bahan kimia beracun dalam makanan
3. Bahan tambahan dalam makanan
2.4. Pencemaran Makanan Secara Kimia
dan Biologis
2.4.1. Pencemaran makanan oleh bahan
kimia
Berbagai fenomena yang berhubungan
dengan keracunan makanan banyak kita
jumpai, kasus yang cukup terkenal mengenai
keracunan makanan oleh bahan kimia adalah
tragedi Minamata Diseases. Penyakit ini
pertama kali ditemukan pada orang yang
bertempat tinggal di sekitar teluk Minamata
Jepang tahun 1953, penyakit ini disebabkan
oleh senyawa Air Raksa (Hg) yang biasanya
dihasilkan oleh bahan kimia yang dipakai
dalam fungisida dan industri plastik dan
limbahnya dibuang disekitar teluk, masyarakat
yang mengkonsumsi ikan dan kerang yang
ada di pinggir teluk tersebut terpapar dalam
jangka waktu lama, yang pada akhirnya
menimbulkan penyakit. Jika seseorang
memakan makanan yang mengandung benda
asing baik organik maupun anorganik yang
bersifat racun , sehingga mengubah sifat asli
makanan tersebut dan menyebabkan penyakit
atau gangguan kesehatan bagi yang
memakannya ,hal ini disebut Food Poisoning
(keracunan makanan). Ada beberapa hal yang
menjadi penyebab timbulnya kasus keracunan
makan makanan ditinjau dari sudut kimia :
a. Makanan terkontaminasi oleh bahan-bahan
kimia
Kontaminasi karena bahan kimia
sering terjadi karena kelalaian atau
kecelakaan , seperti meleltakkan pestisida
dengan bahan makanan, kelalaian dalam
pencucian sayuran atau buah-buahan
sehingga sayur atau buah-buahan tersebut
masih mengandung sisa pestisida dan
kelalaian memasukkan bahan kimia yang
seyogyanya dipakai untuk kemasan
dimasukkan ke dalam makanan. Bahan kimia
yang terdapat dalam bahan makanan dengan
kadar yang berlebih akan bersifat toksik bagi
10
manusia. Beberapa zat yang sering
menimbulkan keracunan manusia adalah :
1) Zinc, terdapat pada peralatan dapur
akan mengalami reduksi bila kontak
dengan bahan makan yang bersifat
asam.
2) Insektisida, keracunan ini terjadi karena
mengkonsumsi makanan yang masih
mengandung residu pestisida, seperti
pada syran dan buah-buahan.
3) Cadmium, keracunan ini bisa terjadi
karena Cd yang terdapat pada
peralatan dapur dengan kontak
dengan makanan yang bersifat asam.
4) Antimonium, berasal dari perlatan dapur
yang dilapisi dengan email kelabu
murahan.
b. Penggunaan Zat Aditif
Zat aditif pada bahan makanan
biasanya digunakan secara sengaja , zat
tambahan ini dapat menyebabkan makanan
lebih sedap, tampak lebih menarik, bau dan
rasa lebih sedap, dan makanan lebih tahan
lama (awet), tetapi karena makanan tersebut
dapat berbahaya bagi manusia maka disebut
zat pencemar. WHO mensyaratkan zat
tambahan itu seharusnya memenuhi kriteria
sebagai berikut : (1). Aman digunakan, (2).
Jumlahnya sekedar memenuhi kriteria
pengaruh yang diharapkan, (3). Sangkil
secara teknologi, (4). Tidak boleh digunakan
untuk menipu pemakai dan jumlah yang
dipakai haruslah minimal.
2.4.2. Pencemaran makanan secara
biologis
Makanan yang disukai manusia pada
umumnya disukai oleh mikroorganisme,
seperti virus, bakteri dan jamur yang
menyerang bahan makanan yang mentah
seperti pada sayuran, buah-buahan, susu,
daging, dan banyak makanan yang sudah
dimasak seperti nasi, roti, kue dan lauk pauk.
Makanan yang telah dihinggapi
mikroorganisme itu mengalami penguraian
sehingga dapat mengurangi nilai gizi dan
kelezatannya bahkan makanan yang telah
mengalami penguraian dapat menyebabkan
sakit bahkan kematian.
2.5. Upaya pengawasan hygiene sanitasi
rumah makan dan restoran
Berdasarkan Permenkes
N0.1098/MenKes/SK/VII/2003 meliputi :
a. Ketentuan umum kriteria rumah
makan dan restoran
b. Tata cara penyelenggaraan rumah
makan meliputi prosedur dan syarat
yang harus dipenuhi untuk
memperoleh izin penyelenggaraan
rumah makan dan restoran
c. Penetapan tingkat mutu makanan
meliputi tata cara pengujian mutu
dan penetapan tingkat mutu rumah
makan dan restoran.
d. Persyaratan hygiene sanitasi rumah
makan meliputi beberapa hal yang
harus diperhatikan oleh pengelola
rumah makan /restoran yaitu :
Persyaratan lokasi dan bangunan
Persyaratan fasilitas sanitasi
Persyaratan dapur, rumah makan
dan gudang makanan
Persyaratan bahan makanan dan
makanan jadi
Persyaratan pengolahan
makanan
Persyaratan penyimpanan bahan
makanan dan makanan jadi
Persyaratan penyajiaan makanan
jadi
Persyaratan peralatan yang
digunakan
e. Pembinaan dan pengawasan rumah
makan yang berisi tentang tata cara
pemeriksaan, penilaian dan
pemberian sertifikat laik hygiene
sanitasi boga.
f. Sanksi yang mengatur tingkatan
hukuman bagi rumah makan yang
tidak mengikuti peraturan yang telah
ditetapkan.
2.6. Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah
Makan dan Restoran Berdasarkan
Permenkes RI No. 1098/ MenKes/ SK/
VII/2009
Adapun pedoman persyaratan
hygiene sanitasi rumah makan/restoran
berdasarkan Permenkes
11
No.1098/Menkes/SK/VII/2003 adalah sebagai
berikut :
1. Lokasi dan Bangunan
a. Lokasi rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah tidak berada
pada arah angin dari sumber
pencemaran debu, asap, bau dan
cemaran lainnya ; serta tidak berada
pada jarak < 100 meter dari sumber
pencemaran debu, asap, bau dan
cemaran lainnya.
b. Bangunan rumah makan/restoran
yang memenuhi syarat adalah
terpisah dengan tempat tinggal
termasuk tempat tidur ;
kokoh/kuat/permanen ; rapat
serangga ; dan rapat tikus.
c. Pembagian ruang rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah terdiri dari dapur dan
ruang makan; ada toilet/jamban; ada
gudang bahan makanan; ada ruang
karyawan; ada ruang administrasi;
serta ada gudang peralatan.
d. Lantai rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah harus bersih;
kedap air; tidak licin; rata; kering; dan
konus.
e. Dinding rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah kedap air;
rata; dan bersih.
f. Ventilasi rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah tersedia dan
berfungsi dengan baik; menghilangkan
bau tak enak; serta cukup menjamin
rasa nyaman.
g. Pencahayaan/penerangan rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah tersebar secara merata
disetiap ruangan; intensitas cahaya
10fc; dan tidak menyilaukan.
h. Atap rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah tidak menjadi
sarang tikus dan serangga; tidak
bocor; dan cukup landai.
i. Langit-langit rumah makan/restoran
yang memenuhi syarat adalah tinggi
minimal 2,4 meter; rata dan bersih;
serta tidak terdapat lubang-lubang.
j. Pintu rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah rapat
serangga dan tikus; menutup dengan
baik dan membuka arah luar; serta
terbuat dari bahan yang kuat dan
mudah dibersihkan.
2. Fasilitas Sanitasi
a. Air bersih rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah jumlah
mencukupi ; tidak berbau, tidak berasa
dan tidak berwarna ; angka kuman
tidak melebihi nilai ambang batas; dan
kadar bahan kimia tidak melebihi nilai
ambang batas.
b. Pembuangan air limbah rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah air limbah mengalir
dengan lancar; terdapat grease trap;
saluran kedap air; dan saluran tertutup.
c. Toilet rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah bersih;
letaknya tidak berhubungan langsung
dengan dapur atau ruang makan;
tersedia air bersih yang cukup;
tersedia sabun dan alat pengering;
serta toilet untuk pria terpisah dengan
wanita.
d. Tempat sampah rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah sampah diangkut tiap 24
jam; disetiap ruang penghasil sampah
tersedia tempat sampah; dibuat dari
bahan kedap air dan mempunyai tutup;
serta kapasitas tempat sampah
terangkat oleh seorang petugas
sampah.
e. Tempat cuci tangan rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah tersedia air cuci tangan
yang mencukupi; tersedia
sabun/deterjent dan alat pengering/lap;
jumlahnya cukup untuk pengunjung
dan karyawan.
f. Tempat mencuci peralatan rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah tersedia air dingin yang
cukup memadai; tersedia air panas
yang cukup memadai; terbuat dari
bahan yang kuat, aman dan halus;
serta terdiri dari tiga bilik/bak pencuci.
g. Tempat pencuci bahan makanan
rumah makan/restoran yang
12
memenuhi syarat adalah tersedia air
pencuci yang cukup; terbuat dari
bahan yang kuat, aman dan halus;
serta air pencuci yang dipakai
mengandung larutan cuci hama.
h. Locker karyawan rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah tersedia locker
karyawan dari bahan yang kuat,
mudah dibersihkan dan mempunyai
tutup rapat; jumlahnya cukup; letak
locker dalam ruangan tersendiri; dan
locker untuk karyawan pria terpisah
dengan locker untuk wanita.
i. Peralatan pencegah masuknya
serangga dan tikus rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah setiap ventilasi dipasang
kawat kasa serangga; setiap lubang
ventilasi dipasang terali tikus;
persilangan pipa dan dinding tertutup
rapat; dan tempat tendon air
mempunyai tutup dan bebas jentik
nyamuk.
3. Dapur, ruang makan dan gudang bahan
makanan
a. Dapur rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah bersih; ada
fasilitas penyimpanan makanan
(kulkas, freezer); tersedia fasilitas
penyimpanan makanan panas
(thermos panas, kompor panas,
heater); ukuran dapur cukup memadai;
ada cungkup dan cerobong asap; dan
terpasang tulisan pesan-pesan
hygiene bagi penjamah/karyawan.
b. Ruang makan rumah makan/restoran
yang memenuhi syarat adalah
perlengkapan ruang makan selalu
bersih; ukuran ruang makan minimal
0,85 m2 per kursi tamu; pintu masuk
buka tutup otomatis; tersedia fasilitas
cuci tangan yang memenuhi estetika;
dan tempat peragaan makanan jadi
tertutup.
c. Gudang bahan makanan rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah tidak terdapat bahan
lain selain bahan makanan; tersedia
rak-rak penempatan bahan makanan
sesuai dengan ketentuan; kapasitas
gudang cukup memadai; dan rapat
serangga dan tikus.
4. Bahan makanan dan makanan jadi
a. Bahan makanan rumah makan/restoran
yang memenuhi syarat adalah kondisi fisik
bahan makanan dalam keadaan baik;
angka kuman dan bahan kimia bahan
makanan memenuhi persyaratan yang
ditentukan; bahan makanan berasal dari
sumber resmi; dan bahan makanan
kemasan terdaftar pada Departemen
Kesehatan RI.
b. Makanan jadi rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah kondisi fisik
makanan jadi dalam keadaan baik; angka
kuman dan bahan kimia makanan jadi
memenuhi persyaratan yang ditentukan;
dan makanan jadi kemasan tidak ada
tanda-tanda kerusakan dan terdaftar pada
Departemen Kesehatan RI.
5. Pengelolaan Makanan
Proses pengolahan dirumah
makan/restoran yang memenuhi syarat adalah
tenaga pengolah memakai pakaian kerja
dengan benar dan cara kerja yang bersih;
pengambilan makanan jadi menggunakan alat
yang khusus; dan menggunakan peralatan
dengan benar.
6. Tempat penyimpanan bahan makanan
dan makanan jadi
a. Penyimpanan bahan makanan rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah suhu dan kelembaban
penyimpanan sesuai dengan
persyaratan jenis makanan; ketebalan
penyimpanan sesuai dengan
persyaratan jenis makanan;
penempatannya terpisah dengan
makanan jadi; tempatnya bersih dan
terpelihara; serta disimpan dalam
aturan sejenis dan disusun dalam rak-
rak.
b. Ruang makan rumah makan/restoran
yang memenuhi syarat adalah suhu
dan waktu penyimpanan sesuai
dengan persyaratan jenis makanan
jadi; dan cara penyimpanan tertutup.
13
7. Penyajian Makanan
Cara penyajian di rumah
makan/restoran yang memenuhi syarat adalah
suhu penyajian makanan hangat tidak kurang
dari 60°C; pewadahan dan penjamah
makanan jadi menggunakan alat yang bersih;
cara membawa dan menyajikan makanan
dengan tertutup; dan penyajian makanan
harus pada tempat yang bersih.
8. Peralatan
Ketentuan peralatan rumah
makan/restoran yang memenuhi syarat adalah
cara pencucian, pengeringan dan
penyimpanan peralatan memenuhi
persyaratan agar selalu dalam keadaan bersih
sebelum digunakan; peralatan dalam keadaan
baik dan utuh; peralatan makan dan minum
tidak boleh mengandung angka kuman yang
melebihi nilai ambang batas yang ditentukan;
permukaan alat yang kontak langsung dengan
makanan tidak ada sudut mati dan halus; dan
peralatan yang kontak langsung dengan
makanan tidak mengandung zat beracun.
9. Tenaga Kerja
a. Pengetahuan/sertifikat hygiene
sanitasi makanan rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah pemilik/pengusaha
pernah mengikuti kursus/temu karya;
supervisor pernah mengikuti kursus ;
semua atau salah seorang penjamah
makanan pernah mengikuti kursus.
b. Pakaian kerja di rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah bersih; tersedia pakaian
kerja seragam 2 stel atau lebih;
penggunaan khusus waktu kerja saja;
lengkap dan rapi.
c. Pemeriksaan kesehatan di rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah karyawan/penjamah 6
bulan sekali check up kesehatan;
pernah divaksinasi chotypha; check up
penyakit khusus; bila sakit tidak
bekerja dan berobat ke dokter; serta
memiliki buku kesehatan karyawan.
d. Personal hygiene di rumah
makan/restoran yang memenuhi
syarat adalah setiap
karyawan/penjamah makanan
berperilaku bersih dan berpakaian rapi;
setiap mau kerja cuci tangan; menutup
mulut dengan sapu tangan bila batuk-
batuk atau bersih; serta menggunakan
alat yang sesuai dan bersih bila
mengambil makanan.
2.7. Penilaian
Batas laik hygiene sanitasi rumah
makan dan restoran adalah bila jumlah skore
variable ≥ 700.
2.7.1. Pedoman pengujian dan penetapan
tingkat mutu hygiene sanitasi
rumah makan dan restoran
A. Skore untuk penetapan tingkat mutu
hygiene sanitasi rumah makan dan
restoran yaitu :
- Tingkat mutu C dengan skore : 700 –
800
- Tingkat mutu B dengan skore : 801 –
900
- Tingkat mutu A dengan skore : 901 –
10000
B. Setiap rumah makan dan restoran yang
memenuhi tingkat mutu sesuai dengan
skore yang diperoleh diberikan tanda
plakat tingkat mutu sebagai berikut :
- Tingkat mutu A dengan latar
belakang putih dan huruf hijau
- Tingkat mutu B dengan latar
belakang cream dan huruf hijau
- Tingkat mutu C dengan latar
belakang hijau dan huruf putih
III. HASIL KEGIATAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Gambaran Umum
Peta Kabupaten Simalungun Prop.Sumut
14
Kabupaten Simalungun terletak antara
2,36° – 3,18° LU dan 98,32° – 99,35° BT,
berada pada ketinggian 20 – 1.400 m diatas
permukaan laut.
Dengan batas wilayah sbb :
Arah Timur Kabupaten Asahan
Arah Barat Kabupaten Karo
Arah Utara Kab.Serdang Bedagai
Arah Selatan Kabupaten Samosir
Keadaan iklim Kabupaten Simalungun
bertemperatur sedang, suhu tertinggi terdapat
pada bulan Juli dengan rata-rata 26,4°C. Rata
– rata suhu udara tertinggi pertahun adalah
29,3°C dan terendah 20,6°C. Kelembaban
udara rata-rata perbulan 84,2% dengan
kelembaban tertinggi terjadi pada bulan
Desember yaitu 87,42% dengan penguapan
rata-rata 3,35mm/hari.
3.2. Penyakit Terbanyak di Kabupaten
Simalungun
Berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Simalungun adalah
sebagai berikut :
1. ISPA
2. Diare
3. Darah Tinggi
4. Penyakit Lain pada Saluran Penafasan
5. Reumatik
6. Gastritis
7. Dysentri
8. Kecelakaan dan Ruda paksa
9. Penyakit Kulit Infeksi
10. Bronchitis
Dari 10 penyakit terbesar diatas dapat
dilihat bahwa jenis penyakit menular dan
berpotensi wabah yang disebabkan rendahnya
kualitas sanitasi dasar seperti ISPA, Diare,
Penyakit Lain pada Saluran Penafasan,
Dysentri dan Bronchitis masih dominan di
Kabupaten Simalungun.
3.3. Gambaran Restoran/Rumah Makan di
wilayah Parapat Kab. Simalungun
1. Restoran Hotel Atsari
Restoran Hotel Atsari merupakan
restoran yang berada di Hotel Atsari yang
lokasinya dijalan Marihat Parapat dengan
nama pengusaha Mike Sinaga dengan jumlah
karyawan 7 (tujuh) orang terdiri dari 3 orang
penjamah makanan dan 4 orang sebagai
pelayan/melayani pengunjung rumah makan.
2. Rumah Makan Islam Murni
Rumah Makan Islam Murni
merupakan restoran yang berada di Hotel
Nikita yang berlokasi dijalan Haranggaol Tiga
Raja Parapat 55 dengan nama pengusaha
Zanhuri dengan jumlah karyawan 6 orang
terdiri dari 2 orang penjamah makanan dan 4
orang sebagai pelayan/melayani pengunjung
restoran,izin usaha nomor
503/05/SIPH/KPPT/BKI/VII/2001.
3. Rumah Makan Nikmat
Rumah Makan Nikmat merupakan
rumah makan umum yang berlokasi di jalan
Haranggaol dengan nama pengusaha Muliady
dengan jumlah karyawan 4 orang terdiri dari 2
orang penjamah makanan dan 2 orang
sebagai pelayan pengunjung restoran/rumah
makan, izin usaha nomor 503/I/SIPRM/KPPT-
BKI/XI/2011.
4. Rumah Makan Azahra
Rumah Makan Azahra merupakan
rumah makan umum yang berlokasi dijalan
Sisinggamaraja Parapat dengan nama
pegusaha Lutmanul Hakim jumlah karyawan 5
orang terdiri dari 2 orang penjamah makanan
dan 3 orang sebagai pelayan pengunjung
restoran/rumah makan.
5. Restoran Asia
Restoran Asia merupakan
restoran/rumah makan umum yang berlokasi
dijalan Parapat dengan nama pengusaha
Kosineng jumlah karyawan 3 orang terdiri dari
1 orang penjamah makanan dan 2 orang
sebagai pelayan.
3.4. Hasil Penilaian Hygiene Sanitasi
Restoran/Rumah Makan
Hasil penilaian hygiene Sanitasi 5 (lima)
restoran/rumah makan didaerah Parapat
Kab.Simalungun dengan penilaian beberapa
unsur variabel yaitu: lokasi, bangunan, fasilitas
sanitasi, dapur, ruang makan, gudang, bahan
makanan dan makanan jadi, tempat
penyimpanan makanan, penyajian makanan,
15
peralatan serta tenaga kerja. Masing-masing
variabel memiliki bobot dan besar nilai sesuai
Kepmenkes 1098/Menkes/SK/VII/2003.
Adapun hasil penilaian hygiene
sanitasi restoran/rumah makan di Daerah
Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon
Kab.Simalungun adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Penilaian Restoran/Rumah
Makan di Kab.Simalungun
No
Nama
Restora
n/RM
Skor
Baku
Mutu
Jumlah Ket
MS TMS
1. Hotel
Atsari 835 ≥ 700 √ -
2. Islam
Murni 611,5 ≥ 700 - √
3. Nikmat 683 ≥ 700 - √
4. Azzahra 628,5 ≥ 700 - √
5. Restora
n Asia 675 ≥ 700 - √
Jumlah 1 4 5
Keterangan :
Ms = Memenuhi syarat
Tms = Tidak memenuhi syarat
Berdasarkan Kepmenkes 1098/
Menkes/ SK/ VII/2003 Tentang Persyaratan
Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran
bahwa hasil penilaian hygiene sanitasi dari 5
(lima) restoran/rumah makan di Kabupaten
Simalungun hanya 1 (satu) yang memenuhi
syarat (TM) dan 4 (empat) yang belum
memenuhi syarat kesehatan.
Beberapa variabel yang perlu dibenahi untuk
mencegah timbulnya penyakit akibat sanitasi
yang buruk yaitu :
1. Toilet
Pada umumnya keadaan toilet di 5
(lima) rumah makan/restoran tidak tersedia
alat pengering, toilet untuk pria tidak terpisah
dengan wanita. Berdasarkan Kepmenkes RI
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran bahwa letaknya tidak
berhubungan langsung (terpisah) dengan
dapur, ruang persiapan makanan, ruang tamu
dan gudang makanan, harus tersedia jamban,
peturasan dan bak air, toilet untuk wanita
terpisah dengan toilet untuk pria, toilet untuk
tenaga kerja terpisah dengan toilet untuk
pengunjung, toilet dibersihkan dengan
detergent dan alat pengering, tersedia cermin,
tempat sampah, tempat abu rokok serta
sabun, lantai dibuat kedap air, tidak licin,
mudah dibersihkan dan
kelandaiannya/kemiringannya cukup.
2. Tempat Sampah
Tempat sampah telah tersedia di 5
(lima) rumah makan/restoran tapi pada saat
observasi masih ada beberapa rumah makan
tempat sampahnya tidak mempunyai tutup,
tempat sampah yang tidak saniter dapat
memberikan peluang bagi serangga lalat
,kecoak serta vektor penular penyakit (tikus)
untuk bersarang dan berkembang biak di
lokasi tempat pembuangan sampah, kondisi
ini mendukung penyebaran mikroba penyebab
penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat,
kecoa dan tikus serta dapat mengkontaminasi
peralatan, bahan makanan dan makanan jadi
yang ada dan berdasarkan Kepmenkes RI
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran bahwa tempat sampah rumah
makan/restoran yang memenuhi syarat adalah
sampah diangkut tiap 24 jam ; disetiap ruang
penghasil sampah tersedia tempat sampah ;
dibuat dari bahan kedap air dan mempunyai
tutup ; serta kapasitas tempat sampah
terangkat oleh seorang petugas sampah.
3. Tempat cuci tangan
Pada saat observasi dan inspeksi
sanitasi di 5 (lima) rumah makan/restoran
telah tersedia tempat cuci tangan yang
diletakkan di meja makan dan wastapel tetapi
pada umumnya belum disediakan alat
pengering/lap berdasarkan KepMenKes RI
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran bahwa disetia rumah makan
harus menyediakan temapt cuci tangan,
tempat cuci tangan dilengkapi dengan
sabun/sabun cair dan alat pengering, fasilitas
cuci tangan ditempatkan sedemikian rupa
sehingga mudah dicapai oleh tamu atau
karyawan, fasilitas cuci tangan dilengkapi
dengan air yang mengalir, bak penampungan
yang permukaannya halus, mudah dibersihkan
dan limbahnya dialirkan ke saluran
pembuangan yang tertutup, jumlah tempat
16
cuci tangan untuk tamu disesuaikan dengan
kapasitas tempat duduk sebagai berikut :
4. Tempat mencuci peralatan
Tempat mencuci peralatan yang
tersedia pada 5 (lima) rumah makan/restoran
konstruksinya telah permanen tetapi masih
ada beberapa rumah makan tempat
pencucinya masih dua bak/bilik saja
berdasarkan KepMenKes RI
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran bahwa tempat mencuci peralatan
terbuat dari bahan yang kuat, aman, tidak
berkarat dan mudah dibersihkan, air untuk
keperluan pencucian dilengkapi dengan air
panas dengan suhu 40°C - 80°C dan air
dingin yang bertekanan 15 psi (1,2 kg/cm2),
tempat pencucian peralatan dihubungkan
dengan saluran pembuangan air limbah dan
bak pencucian sedikitnya terdiri dari 3 (tiga)
bilik/bak pencuci yaitu untuk mengguyur,
menyabun dan membilas.
5. Tempat pencuci bahan makanan
Pada saat inspeksi sanitasi tempat
pencuci bahan makanan pada 5(lima) rumah
makan/restoran telah tersedia air yang cukup
hanya saja pada air mencuci bahan makana
tidak memakai larutan cuci hama gunanya
agar bahan makanan lebih hygienis
berdasarkan KepMenKes RI
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran bahwa Tempat pencuci bahan
makanan rumah makan/restoran yang
memenuhi syarat adalah tersedia air pencuci
yang cukup ; terbuat dari bahan yang kuat,
aman dan halus ; serta air pencuci yang
dipakai mengandung larutan cuci hama.
6. Gudang bahan makanan
Masih ada beberapa rumah makan
belum menyediakan gudang bahan makanan
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan no
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran rumah makan harus
menyediakan gudang bahan Makanan
dengan jumlah bahan makanan yang disimpan
disesuaikan dengan ukuran gudang, di
gudang bahan makanan tidak boleh untuk
menyimpan bahan lain selain makanan,
pencahayaan gudang minimal 4 foot candle
pada bidang setinggi lutut, gudang dilengkapi
dengan rak-rak tempat penyimpan makanan,
dilengkapi dengan ventilasiyang menjamin
sirkulasi udara dan harus dilengkapi dengan
pelindung serangga dan tikus
7. Locker karyawan
Dari 5(lima) rumah makan/restoran
untuk locker karyawan masih ada yang tidak
tersedia walaupun tersedia masih ada belum
memadai dan belum terpisah antara pria dan
wanita berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan no 1098/MENKES/SK/VI/2003
tentang Persyaratan hygiene sanitasi rumah
makan dan restoran bahwa penyimpanan
pakaian (Locker) Karyawan terbuat dari bahan
yang kuat, aman, mudah dibersihkan dan
tertutup rapat, jumlah locker disesuaikan
dengan jumlah karyawan, locker ditempatkan
diruangan yang terpisah dengan dapur dan
gudang, locker untuk pria dan wanita dibuat
terpisah.
8. Dapur
Pada saat observasi kondisi dapur
pada 5 (lima) rumah makan/restoran
kondisinya dalam keadaan bersih,ukuran
dapur cukup memadai hanya saja belum
terpasang tulisan pesan- pesan hygienis untuk
penjamah/karyawan berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan no
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran bahwa luas dapur sekurang-
kurangnya 40 % dari ruang makan atau 27%
dari luas bangunan seluruhnya, permukaan
lantai dibuat cukup landai dan mudah
dibersihkan, permukaan langit-langit harus
menutup seluruh atap ruangan dapur,
berwarna terang dan mudah dibersihkan,
Kapasitas tempat
duduk (orang)
Jumlah tempat cuci
tangan (buah)
1 – 60 1
61 – 120 2
121 – 200 3
Setiap
penambahan 150
orang ditambah 1
buah
17
tungku dapur dilengkapi dengan sungkup asap
(hood), alat perangkap asap, cerobong asap,
saringan serta pengumpul lemak, Intensitas
pencahayaan alam maupun buatan minimal
10 foot candle dan harus dipasang tulisan “
Cucilah tangan anda sebelum menjamah
makanan dan peral.
9. Tenaga Kerja
Untuk tenaga kerja ke 5 (lima) rumah
makan/restoran pada umumnya penjamah
makanannya belum pernah mengikuti kursus
tentang hygiene sanitasi makanan begitu juga
dengan superviser maupun pengusahanya
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan no
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran bahwa setiap pengusaha dan
penjamah makanan harus mengikuti kursus
tentang hygiene sanitasi makanan dan setiap
penjamah makanan harus telah memiliki
sertifikat penjamah makanan. Penjamah
makanan harus memperhatikan personal
hygiene, karena karyawan yang rendah
hygiene perorangan akan menjadi media
transmisi mikroorganisme ke dalam makanan.
Adapun hygiene perorangan yang perlu
diperhatikan :Kebersihan pancaindera,
kebersihan kulit, kebersihan tangan,
kebersihan rambut, kebersihan pakaian kerja
serta kebersihan secara umum.
10. Pemeriksaan Kesehatan
Pada umumnya ke 5 (lima) rumah
makan/restoran untuk karyawan telah
dilakukan check up untuk penyakit tertentu
tetapi pada umumnya belum pernah
divaksinasi chotypha/thypoid, dan
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan no
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran bahwa karyawan/penjamah
seharusnya 6 bulan sekali check up
kesehatan, divaksinasi chotypha/thypoid bila
sakit tidak bekerja dan berobat ke dokter dan
memiliki buku kesehatan karyawan.
3.5. Hasil Analisa Uji Sampel air di
Laboratorium BTKLPP Medan
3.5.1. Hasil Analisa Uji Laboratorium
Terhadap Kualitas Air Minum
Air minum yang digunakan pada 5
(lima) rumah makan bersumber dari air PDAM,
Berdasarkan hasil uji sampel air minum dari
laboratorium yang telah dianalisa
menunjukkan dari 5 (lima) sampel yang
diperiksa untuk pemeriksaan fisika & kimia
memenuhi syarat kesehatan sedangkan untuk
pemeriksaan Mikrobiologi dari 5 (lima) sampel
4(empat) yang tidak memenuhi kesehatan
dimana parameter mikrobiologi (Total Coliform)
melebihi baku mutu yang ditetapkan
berdasarkan Permenkes
No.492/MENKES/PER/IX/1990 Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum. Untuk
parameter mikrobiologi Total Coliform dan E.
Coli baku mutunya 0/100 ml.
Bila dalam sumber air ditemukan
bakteri Coli fecal maka hal ini dapat menjadi
indikasi bahwa air tersebut telah mengalami
pencemaran oleh feses manusia atau hewan-
hewan berdarah panas (Pelezar, 2005).
Pencemaran bakteri fecal dapat menyebabkan
berbagai infeksi, antara lain diare, infeksi pada
saluran kencing dan meningitis. Beberapa
penyakit yang dapat ditularkan oleh media air
antara lain :
1. Penyakit Kulit
2. Penyakit Diare
3. Penyakit Kecacingan
4. Penyakit Demam Berdarah
5. Penyakit Malaria.
Untuk menghindari dampak negatif
bagi kesehatan dari kualitas air yang sudah
terkontaminasi oleh parameter mikrobiologi
sebaiknya air bersih tersebut terlebih dahulu
dimasak pada suhu 100˚C agar kuman
kumannya mati dan perlu dilakukan
pengolahan dan memelihara fasilitas produksi
secara berkala.
3.5.2. Hasil analisa uji Laboratorium
terhadap pemeriksaan kualitas air
bersih
Air bersih yang digunakan pada 5
(lima) rumah makan bersumber dari air PDAM
dan sumur bor, Berdasarkan hasil uji sampel
air bersih dari laboratorium yang telah
dianalisa menunjukan dari 5(lima) sampel
yang diperiksa untuk pemeriksaan fisika
memenuhi syarat kesehatan, untuk
pemeriksaan kimia dari 5(lima) sampel air
bersih ada 4(empat) yang tidak memenuhi
syarat kesehatan dimana paramaeter
18
Kromium val.6,Nitrat & Deterjen hasilnya
diatas baku mutu yang ditetapkan begitu juga
dengan pemeriksaan Mikrobiologi tidak
memenuhi syarat kesehatan dimana
parameter mikrobiologi (Total Coliform)
melebihi baku mutu yang ditetapkan
berdasarkan Permenkes No.416/ MENKES/
PER/ IX/1990 Tentang Persyaratan Kualitas
Air Bersih. Karena beberapa parameter kimia
dan total Coliform telah melewati baku mutu
sebaiknya perlu dilakukan pengolahan seperti
pengendapan, koagulasi-flokulasi,penyaringan
dan desinfeksi.
3.5.3. Hasil analisa uji Laboratorium
terhadap pemeriksaan Mikrobiologi
Alat
Untuk hasil penilaian pemeriksaan
kualitas mikrobiologi makanan dari 5 (lima)
rumah makan di daerah Parapat Kabupaten
Simalungun semua hasilnya memenuhi syarat
kesehatan berdasarkan KepMenkes RI. No.
1098 Tahun 2003, Tentang Persyaratan
Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran.
3.5.4. Hasil analisa uji Laboratorium
terhadap pemeriksaan Mikrobiologi
Makanan
Untuk hasil penilaian pemeriksaan
kualitas mikrobiologi makanan di 5 (lima)
rumah makan daerah Parapat Kabupaten
Simalungun bahwa semua hasilnya telah
memenuhi syarat berdasarkan KepMenkes RI.
No. 1098 Tahun 2003, Tentang Persyaratan
Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hasil inspeksi sanitasi dari 5(lima)
rumah makan ada 4(empat) rumah
makan yang belum memenuhi syarat
tidak Laik karena hasil skore
dibawah 700 berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan no
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah
makan dan restoran.
2. Hasil pemeriksaan kualitas air
minum untuk parameter fisika &
kimia memenuhi syarat kesehatan
hanya mikrobiologi parameter total
koliform belum memenuhi syarat
kesehatan berdasarkan Permenkes
492/Menkes/PER/IV/2010 Tentang
persyaratan kualitas air minum.
3. Hasil pemeriksaan kualitas air
bersih untuk fisika memenuhi syarat
kesehatan, untuk kimia parameter
kromium val.6, nitrat & deterjen
belum memenuhi syarat kesehatan
serta mikrobiologi parameter total
koliform belum memenuhi
persyaratan sebagai air bersih
berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor.
416/Menkes/PER/IX/1990 Tentang
Persyaratan Kualitas Air Bersih.
4. Hasil uji mikrobiologi alat yaitu piring,
gelas, sendok telah memenuhi
persyaratan kesehatan berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan no
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah
makan dan restoran.
5. Hasil uji mikrobiologi Makanan
Minuman memenuhi persyaratan
kesehatan berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan no
1098/MENKES/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah
makan dan restoran.
B. Saran
1. Kepada Pemilik/Penanggung jawab
Rumah Makan
- Harus lebih meningkatkan
Hygiene sanitasi dan
melengkapi/memperbaiki hygiene
sanitasi restoran/rumah
makannya berdasarkan
Kepmenkes 1098/Menkes
/SK/VI/2003 tentang Persyaratan
hygiene sanitasi rumah makan
dan restoran.
- Karyawan/penjamah
restoran/rumah makan harus
lebih memperhatikan Hygiene
sanitasi.
2. Kepada Dinas Kesehatan setempat
- Agar melakukan inspeksi sanitasi
secara rutin (min 6 bulan sekali)
terhadap restoran/rumah makan
19
- untuk menghindari adanya
kejadian yang tidak diingini
sehingga kelayakan rumah
makan diberbagai tempat umum
dapat terpantau.
- Memfasilitasi wadah
pelatihan/kursus penjamah
makanan maupun kepada
pengusaha untuk menambah
wawasan pengetahuan
khususnya mengenai hygiene
sanitasi makanan.
- Melakukan tes kesehatan enam
bulan sekali bagi setiap
karyawan/pelayan di Rumah
Makan yang bertujuan supaya
makanan dan minuman yang
disajikan ke pengunjung benar
benar hygiene/bersih terhindar
dari berbagai zat pencemar.
- Agar memberikan/mengeluarkan
sertifikat kelaikan hygiene
sanitasi rumah makan dan
restoral yang memenuhi syarat
kesehatan.
- Bagi restoran/rumah makan yang
tidak memenuhi peraturan yang
berlaku agar diberikan sangsi
administrasi dapat berupa
teguran lisan,teguran tertulis
samapi dengan pencabutan
sertifikat laik hygiene sanitasi
rumah makan dan restoran.
DAFTAR PUSTAKA
__________ KepMenKes
1098/Menkes/SK/VI/2003 tentang
Persyaratan hygiene sanitasi rumah
makan dan restoran.
__________ Persyaratan Kualitas Air
Bersih, Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
416/Menkes/PER/IV/2010, Departemen
Kesehatan ,1990.
__________ Persyaratan Kualitas Air
Minum, Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor :
492/Menkes/PER/ IV/2010,
Departemen Kesehatan ,2010.
20
Dokumentasi Kegiatan
21
PERANAN SANITASI DI
PONDOK PESANTREN DALAM
PENCEGAHAN PENYAKIT
SCABIES PADA SANTRI
Oleh : Rencana Ginting, SKM
I. Latar Belakang
Pada era globalisasi ini, tingkat
komunitas pondok pesantren (ponpes) di
Indonesia sangat pesat terlebih pesantren
yang berbasis modern, dimana pesantren
tersebut mempunyai kurikulum berbasis
salafiyah dan negeri. Pesantren modern ini
hampir sama kualitasnya dibanding instansi
pendidikan negeri lainnya seperti SMA, SMP,
SMK maupun sejajarannya. Dalam hal ini,
karena kualitas pesantren sama dengan
instansi pendidikan lainnya sehingga kuantitas
santri juga meningkat pesat. Tetapi
peningkatan kuantitas tersebut menimbulkan
permasalahan dibidang kesehatan yaitu
masalah yang berkaitan dengan sanitasi
lingkungan.
Sanitasi lingkungan adalah status
kesehatan suatu lingkungan yang mencakup
perumahan, pembuangan kotoran,
penyediaan air bersih dan sebagainya
(Notoadmojo, 2003). Sanitasi pondok
pesantren pada dasarnya adalah usaha
masyarakat yang menitikberatkan pada
pengawasan terhadap struktur fisik, dimana
orang menggunakannya sebagai tempat
berlindung yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia. Sarana tersebut antara
lain adalah ventilasi, suhu, kelembaban,
kepadatan hunian, penerangan alami,
kontruksi bangunan, sarana pembuangan
sampah, sarana pembuangan kotoran
manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar,
1990).
Kondisi sanitasi tersebut sangat
berkaitan dengan angka kuman penyakit
berbasis lingkungan yang menular diantaranya
penyakit kulit. Kulit merupakan bagian tubuh
manusia yang cukup sensitif terhadap
berbagai macam penyakit. Penyakit kulit bisa
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya
faktor lingkungan dan kebiasaan hidup sehari
hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan
memberi efek yang baik bagi kulit. Demikian
pula sebaliknya, lingkungan yang kotor akan
menjadi sumber munculnya berbagai macam
penyakit (Faulkner, 2008). Menurut Dwi (2008),
penyakit yang dapat berkembang pada
keadaan lingkungan yang padat penduduk
dan personal hygiene yang buruk antara lain;
diare, disentri, penyakit kecacingan,
poliomyelitis, hepatitis A, kolera, thypoid,
leptospirosis, malaria, Demam Berdarah
Dengue (DBD), dan skabies. Menurut
Cakmoki (2007), skabies (gudik) adalah
penyakit kulit menular yang disebabkan oleh
Sarcoptes scabei varian hominis (sejenis kutu,
tungau), ditandai dengan keluhan gatal,
terutama pada malam hari dan ditularkan
melalui kontak langsung atau tidak langsung
melalui bekas alas tidur atau pakaian. Menurut
Kenneth dalam Kartika (2008), laporan kasus
penyakit skabies di berbagai belahan dunia
masih sering ditemukan pada lingkungan
padat penduduk, status ekonomi rendah,
tingkat pendidikan yang rendah dan kualitas
hygiene pribadi yang kurang baik. Penularan
skabies terjadi ketika orang-orang tidur
bersama disatu tempat tidur yang sama di
lingkungan rumah tinggal, sekolah-sekolah
yang menyediakan fasilitas asrama dan
pemondokan, serta fasilitas-fasilitas kesehatan
yang dipakai oleh masyarakat luas. Oleh
karena itu, pemenuhan sarana sanitasi di
pesantren sangat mutlak diperlukan.
Menjadikan lingkungan yang bersih, nyaman
22
dan bebas dari sumber penular penyakit
seperti penularan penyakit skabies.
II. Pondok Pesantren (Ponpes)
Pondok pesantren, selain dikenal
sebagai wahana tempat belajar santri dan
santriwati dalam mendalami ilmu agama Islam,
namun ponpes selama ini sering ditemukan
masalah dari aspek sanitasi. Berbagai
penyakit berbasis lingkungan yang umum
sering menjadi masalah di Ponpes seperti
kudis, diare, ISPA, disebabkan oleh
lingkungan yang kurang sehat di Pondok
Pesantren (Ponpes). Bahkan ada gurauan
dikalangan santri dan kyai bahwa belum sah
jika seorang santri yang mondok disebuah
ponpes jika belum terserang penyakit kudis
(scabies).
Pesantren adalah suatu tempat yang
tersedia untuk para santri dalam menerima
pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus
tempat berkumpul dan tempat tinggalnya
(Qomar, 2007). Image yang selama ini
berkembang di masyarakat bahwa pondok
pesantren merupakan empat kumuh, kondisi
lingkungannya tidak sehat, dan pola
kehidupan yang ditunjukkan oleh santrinya
sering kali kotor, lusuh dan sama sekali tidak
menunjang pola hidup yang sehat.
Penyakit yang sering ditemukan di
pondok pesantren karena anak pesantren
gemar sekali pinjam-meminjam pakaian,
handuk, sarung bahkan bantal, guling dan
kasurnya kepada sesamanya, sehingga
disinilah kunci akrabnya penyakit ini dengan
dunia pesantren adalah SCABIES
(Handri,2008). Scabies adalah penyakit
zoonosis yang menyerang kulit, mudah
menular dari manusia ke manusia, dari hewan
ke manusia atau sebaliknya, dapat menyerang
semua ras dan golongan di seluruh dunia
yang disebabkan oleh tungau (kutu atau mite)
Sarcoptesscabiei (Buchart, 1997; Rosendal
1997).
Kondisi seperti ini sangat
memungkinkan terjadinya penularan penyakit
skabies kepada orang lain apabila para santri
dan pengelolanya tidak sadar akan pentingnya
menjaga kebersihan baik kebersihan
lingkungan maupun personal hygiene.
Sebagai salah satu upaya dalam
menanggulangi penyebaran penyakit skabies
salah satunya adalah dengan cara
memberikan pendidikan kesehatan dan
informasi tentang penyakit ini.
Pendidikan kesehatan adalah suatu
kegiatan atau usaha menyampaikan pesan
kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau
individu. Dengan harapan bahwa dengan
adanya pesan tersebut, maka masyarakat,
kelompok atau individu dapat memperoleh
pengetahuan tentang kesehatan yang lebih
baik. Dan pada akhirnya pengetahuan
tersebut diharapkan dapat berpengaruh
terhadap perilaku. Dimana tujuan dari
pendidikan kesehatan ini adalah agar
masyarakat, kelompok atau individu dapat
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
kesehatan (Notoatmodjo, 2005). Pendidikan
kesehatan merupakan salah satu tindakan
keperawatan yang mempunyai peranan yang
penting dalam memberikan pengetahuan
praktis kepada masyarakat. Keberhasilan
penderita dalam mencegah penularan
penyakit skabies pada orang lain sangat
ditentukan oleh kepatuhan dan keteraturan
dalam menjaga kebersihan diri. Oleh karena
itu selama pengobatan dan perawatan
diperlukan tingkat perilaku yang baik dari
penderita. Perilaku penderita skabies dalam
upaya mencegah prognosis yang lebih buruk
dipengaruhi oleh sikap dan pengetahuannya
tentang penyakit ini.
Pengetahuan dan perilaku penderita
yang buruk akan menyebabkan kegagalan
dalam tindakan penanggulangan penyakit
scabies (Notoatmodjo,2008). Apabila skabies
tidak segera mendapat pengobatan dalam
beberapa minggu maka akan timbul adanya
dermatitis yang diakibatkan karena garukan.
Rasa gatal yang ditimbulkan terutama pada
waktu malam hari, secara tidak langsung akan
mengganggu kelangsungan hidup para santri
terutama tersitanya waktu untuk istirahat tidur,
sehingga kegiatan yang akan dilakukan pada
siang hari seperti dalam proses belajar akan
ikut terganggu. Selain itu, setelah penderita
sembuh akibat garukan tersebut akan
meninggalkan bercak hitam yang dapat
mengakibatkan rasa percaya diri menjadi
kurang, seperti merasa malu, cemas, takut
23
dijauhi teman dan sebagainya (Kenneth dalam
Kartika, 2008).
Adapun peraturan pemerintah tentang
kesehatan lingkungan yaitu Undang-Undang
RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang
dimulai dari menimbang terdiri dari 5 dasar
pertimbangan perlunya dibentuk undang-
undang kesehatan yaitu pertama; kesehatan
adalah hak asasi dan salah satu unsur
kesejahteraan, kedua; prinsip kegiatan
kesehatan yang non diskriminatif, partisipatif
dan berkelanjutan, ketiga; kesehatan adalah
investasi, keempat; pembangunan kesehatan
adalah tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat, dan yang kelima adalah bahwa
Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun
1992 sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan, tuntutan dan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.
Dalam hal ini, salah satu manfaat
menambah pengetahuan dalam upaya
meningkatkan personal hygiene masing-
masing individu dalam rangka untuk
mencegah timbulnya penyakit skabies dimana
hygiene itu sendiri adalah usaha kesehatan
preventif atau pencegahan penyakit yang
menitik beratkan kegiatannya baik pada usaha
kesehatan perorangan maupun kepada usaha
kesehatan lingkungan fisik dimana orang
berada.(Soebagio Reksosoebroto,1990).
III. Upaya Menghindari Penyakit Scabies
Sebagaimana sanitasi rumah, sanitasi
Ponpes pada dasarnya adalah usaha
kesehatan masyarakat yang menitik beratkan
pada pengawasan terhadap struktur fisik,
dimana orang menggunakannya sebagai
tempat berlindung yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut
antara lain ventilasi, suhu, kelembaban,
kepadatan hunian, penerangan alami,
konstruksi bangunan, sarana pembuangan
sampah, sarana pembuangan kotoran
manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar,
1990). Kondisi sanitasi pada Ponpes akan
sangat berkaitan dengan angka kesakitan
penyakit menular berbasis lingkungan.
Beberapa masalah sanitasi sangat umum di
ponpes dapat kita sebut antara lain
keterbatasan sarana sanitasi dan perilaku
santri yang belum ber PHBS. Dengan
demikian hal-hal yang harus diperhatikan dan
aspek yang harus dipenuhi seperti hal berikut
ini:
a. Ventilasi dan Kelembaban Udara
Lubang penghawaan pada
bangunan ponpes harus dapat menjamin
pergantian udara didalam kamar/ruang
dengan baik. Luas lubang penghawaan
yang dipersyaratkan antara 5% - 15%
dari luas lantai dan berada pada
ketinggian minimal 2.10 meter dari lantai.
Bila lubang penghawaan tidak menjamin
adanya pergantian udara dengan baik
harus dilengkapi dengan penghawaan
mekanis. Dari aspek kelembaban udara
ruang, dipersyaratkan ruangan
mempunyai tingkat kelembaban udara
dengan kriteria Buruk jika tingkat
kelembaban >90%, kriteria Baik (65-90%).
Kelembaban sangat berkaitan dengan
ventilasi. Tingkat kelembaban yang tidak
memenuhi syarat ditambah dengan
perilaku tidak sehat, misalnya dengan
penempatan yang tidak tepat pada
berbagai barang dan baju, handuk,
sarung yang tidak tertata rapi, serta
kepadatan hunian ruangan ikut berperan
dalam penularan penyakit berbasis
lingkungan seperti Scabies (memudahkan
tungau penyebab/Sarcoptes scabiei
berpindah dari reservoir ke barang
sekitarnya hingga mencapai pejamu baru.
b. Dapur & Fasilitas Pengelolaan Makanan
Syarat bangunan dapur
berdasarkan aspek sanitasi, ruang dapur
harus menggunakan pintu yang dapat
membuka dan menutup sendiri atau
harus dilengkapi dengan pegangan yang
mudah dibersihkan. Dapur pada ponpes
mempergunakan minyak tanah sebagai
bahan bakar, dengan kondisi dapur kotor
dan didominasi warna hitam oleh karena
asap. Namun dari aspek pencahayaan
dan ventilasi telah memenuhi syarat,
dengan sebagian sisi dapur merupakan
ruang terbuka.
c. Kepadatan penghuni
Tingkat kepadatan penghuni di
Ponpes lokasi observasi cenderung padat
24
namun masih dalam batas toleransi
persyaratan. Perbandingan jumlah
tempat tidur dengan luas lantai minimal 3
m2/tempat tidur (1.5 m x 2 m). Namun
struktur tempat tidur santri tidak berada
dalam bed tersendiri, namun berada di
lantai dengan menggunakan alas
berbentuk tikar. Kepadatan hunian
merupakan syarat mutlak untuk
kesehatan rumah pemondokan termasuk
ponpes, karena dengan kepadatan
hunian yang tinggi terutama pada kamar
tidur memudahkan penularan berbagai
penyakit secara kontak dari satu santri
kepada santri lainnya.
d. Fasilitas Sanitasi
Termasuk dalam aspek kesehatan
fasilitas sanitasi, sebuah pondok
pesantren harus memenuhi persyaratan
antara lain meliputi penyediaan air
minum serta toilet dan kamar mandi.
Fasilitas sanitasi mempunyai kriteria
persyaratan sebagai berikut :
Kualitas : Tersedianya air
bersih yang memenuhi syarat
kesehatan
Kuantitas : Tersedia air bersih
minimal 60 lt/tt/hr
Kontinuitas : Air minum dan air
bersih tersedia pada setiap tempat
kegiatan yang membutuhkan secara
berkesinambungan
e. Pengelolaan sampah.
Tempat sampah terbuat dari
bahan yang kuat, tahan karat,
permukaan bagian dalam rata/licin.
Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x
24 jam atau apabila 2/3 bagian telah
terisi penuh. Jumlah dan volume tempat
sampah disesuaikan dengan perkiraan
volume sampah yang dihasilkan oleh
setiap kegiatan. Tempat sampah harus
disediakan minimal 1 buah untuk setiap
radius 10 meter dan setiap jarak 20 meter
pada ruang tunggu dan ruang terbuka.
Tersedia tempat pembuangan sampah
sementara yang mudah dikosongkan,
tidak terbuat dari beton permanen,
terletak di lokasi yang mudah dijangkau
kendaraan pengangkut sampah dan
harus dikosongkan sekurang-kurangnya
3x24 jam. Pengelolaan sampah di ponpes
ini cukup baik dengan memanfaatkan
ruang terbuka pondok untuk menimbun
sampah, sementara tempat
sampah/container tersedia diberbagai
sudut Pondok.
f. Pengelolaan Air Limbah.
Ponpes harus memiliki sistem
pengelolaan air limbah sendiri yang
memenuhi persyaratan teknis apabila
belum ada atau tidak terjangkau oleh
sistem pengolahan air limbah perkotaan.
Saluran pembuangan air limbah (SPAL)
di Ponpes tidak mengalir lancar, dengan
bentuk SPAL tidak tertutup dibanyak
tempat, sehingga air limbah menggenang
di tempat terbuka. Keadaan ini
berpotensi sebagai tempat berkembang
biak vektor dan bernilai negatif dari
aspek estetika.
IV. Kesimpulan
Scabies adalah penyakit zoonosis
yang menyerang kulit, mudah menular dari
manusia ke manusia, dari hewan ke manusia
atau sebaliknya, dapat mengenai semua ras
dan golongan di seluruh dunia yang
disebabkan oleh tungau (kutu atau mite)
Sarcoptesscabiei (Buchart, 1997; Rosendal
1997).
Kondisi seperti ini sangat memungkinkan
terjadinya penularan penyakit skabies kepada
orang lain apabila para santri dan
pengelolanya tidak sadar akan pentingnya
menjaga kebersihan baik kebersihan
lingkungan maupun personal hygiene.
Sebagai salah satu upaya dalam
menanggulangi penyebaran penyakit skabies
salah satunya adalah dengan cara
memberikan pendidikan kesehatan tentang
penyakit ini.
Pendidikan kesehatan adalah suatu kegiatan
atau usaha menyampaikan pesan kesehatan
kepada masyarakat, kelompok atau individu.
Dengan harapan bahwa dengan adanya
pesan tersebut, maka masyarakat, kelompok
atau individu dapat memperoleh pengetahuan
tentang kesehatan yang lebih baik. Dan pada
25
akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan
dapat berpengaruh terhadap perilaku. Dimana
tujuan dari pendidikan kesehatan ini adalah
agar masyarakat, kelompok atau individu
dapat berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
kesehatan (Notoatmodjo, 2005). Pendidikan
kesehatan merupakan salah satu tindakan
keperawatan yang mempunyai peranan yang
penting dalam memberikan pengetahuan
praktis kepada masyarakat. Keberhasilan
penderita dalam mencegah penularan
penyakit skabies pada orang lain sangat
ditentukan oleh kepatuhan dan keteraturan
dalam menjaga kebersihan diri. Oleh karena
itu selama pengobatan dan perawatan
diperlukan tingkat perilaku yang baik dari
penderita. Perilaku penderita skabies dalam
upaya mencegah prognosis yang lebih buruk
dipengaruhi oleh sikap dan pengetahuannya
tentang penyakit ini.
Dalam hal ini, salah satu manfaat
menambah pengetahuan dalam upaya
meningkatkan personal hygiene masing-
masing individu dalam rangka untuk
mencegah timbulnya penyakit skabies dimana
hygiene itu sendiri adalah usaha kesehatan
preventif atau pencegahan penyakit yang
menitik beratkan kegiatannya baik pada usaha
kesehatan perorangan maupun kepada usaha
kesehatan lingkungan fisik dimana orang
berada.(Soebagio Reksosoebroto,1990). Oleh
karena itu fasilitas sanitasi sangat penting
peranannya dalam upaya penanggulangan
penyakit scabies bagi Santri di Pondok
Pesantren, dengan kata lain mutlak harus di
penuhi dan diperhatikan sesuai dengan
peraturan yang berlaku yaitu di antaranya :
1. Ventilasi dan Kelembaban Udara yang
baik.
2. Dapur dan Fasilitas Pengelolaan makanan
yang memenuhi syarat.
3. Kepadatan penghuni harus sesuai dengan
besar ruangan.
4. Fasilitas Sanitasi sangat mutlak yang
harus dipenuhi seperti air bersih dan
air minum.
5. Pengelolaan sampah harus dijalankan
sesuai dengan aturan sehingga tidak
menggangu estetika.
6. Pengelolaan Air Limbah harus sesuai
dengan peraturan yaitu mengalir
dengan lancar dan tertutup serta tidak
mencemari air tanah.
Daftar Pustaka
1. http://inspeksisanitasi.blogspot.co.id/2010/0
3/seri-ponpes-dan-masalah-
sanitasinya.html
2. https://id.scribd.com/doc/241183207/Penila
ian-Hygiene-Sanitasi-Pondok-Pesantren
3. http://inspeksisanitasi.blogspot.co.id/2009/0
4/inspeksi-sanitasi-ponpes.html
4. http://evahaphap.blogspot.co.id/2011/06/up
aya-sanitasi-lingkungan-di-pondok.html
5. http://2.bp.blogspot.com/-
FhrO1BLqH3o/VP0Xlbh5vcI/AAAAAAAAAd
s/MTbiFPFqvcs/s1600/scabies-what-is-
causes.jpg
26
TINEA BARBAE,
MENGENAL LEBIH DEKAT
Oleh : Nenny Tripena, SKM
A. Pengertian Tinea barbae
Tinea barbae adalah infeksi
dermatofita di daerah jenggot pada muka dan
leher dan hanya terbatas pada laki-laki
dewasa. Jamur pada janggut ini juga dikenal
sebagai tinea sycosis dan umumnya juga
sering disebut sebagai barber’s itch. Penyakit
ini terutama terjadi pada orang-orang di
bidang agrikultural, khususnya pada orang-
orang yang kontak dengan binatang di sawah.
Daerah yang sering terkena biasanya di
daerah leher atau wajah. Lesinya memiliki dua
tipe: tipe superfisial ringan yang menyerupai
tinea corporis, dan tipe folikulitis pustul yang
parah dan dalam, serta satu tipe lagi yang
cukup jarang, yaitu tipe sirsinata.
B. Epidemiologi
Tinea barbae secara definisi hanya
ditemukan pada laki-laki. Kebanyakan
ditularkan melalui cukuran jenggot yang sudah
terkontaminasi sebelumnya. Dengan
meningkatkan kebersihan diri akan
menurunkan insiden terjadinya Tinea barbae.
Umumnya, Tinea barbae cukup jarang, tetapi
lebih sering pada daerah tropis yang dicirikan
dengan kelembaban dan temperature yang
tinggi. Hampir semua yang menderita tinea
barbae adalah laki-laki karena dermatofita
menginfeksi di rambut dan folikel rambut dari
jenggot dan mustache. Infeksi dermatofita
pada perempuan dan anak-anak didiagnosis
sebagai tinea faciei. Dahulu, infeksi sering
ditularkan oleh tukang cukur karena tidak
adanya alat cukur yang hanya digunakan satu
kali. Sekarang alat cukur sebagai sumber
infeksi mulai dihilangkan dan definisi lama dari
tinea barbae, “barber’s itch”, mulai dilupakan.
Pada daerah pedesaan, kucing, kuda, dan
anjing adalah penyebab utama dari infeksi.
Maka dari itu, Tinea barbae sekarang lebih
difokuskan pada orang-orang yang terpapar
dengan kucing, kuda, anjing, dan
penularannya kebanyakan ditemukan di
daerah pedesaan diantara petani dengan
petani atau antar pekerja kebun.
C. Etiologi
Tinea barbae umumnya paling sering
disebabkan oleh organisme dermatofita
zoofilik, T. mentagrophytes dan T. verrucosum,
dan yang cukup jarang, M. canis. Diantara
organisme antrofilik, T. megninii, T.
schoenleinii, dan T. violaceum mungkin hanya
menyebabkan tinea barbae di daerah endemik.
Sedangkan T. rubrum juga dapat menjadi
penyebab Tinea barbae walapun jarang.
Karena seringnya Tinea barbae dihadapi,
Tinea barbae sekarang sangat jarang terjadi.
Kebanyakan infeksi ini ditemukan di tempat
cukur ketika laki-laki sering mencukur dan
memotong jenggotnya dengan alat cukur yang
sama yang dipakai pelanggan sebelumnya.
Dengan diperkenalkannya desinfeksi untuk
alat cukur dan penggunaan alat cukur di
rumah yang aman, kejadian penyakit ini dapat
dikurangi. Sekarang, kebanyakan infeksi ini
didapat dari binatang. Infeksi tinea barbae
lebih sering di daerah pedesaan dan
organisme tersebut biasanya didapat dari
hewan-hewan yang terinfeksi dermatofita
zoofilik
Sebagai tambahan, keparahan dari
reaksi host lebih besar ketika rambut terlibat.
Kombinasi dari kedua faktor ini mungkin
menjelaskan reaksi keparahan yang ekstrim
yang terlihat pada pasien-pasien dengan tinea
barbae. Organisme yang paling sering terlibat
adalah T. mentagrophytes dan T. verrucosum,
baik yang didapat dari sapi. T.
mentagrophytes juga didapat dari kuda dan
anjing. M. canis merupakan penyebab yang
jarang pada tinea barbae. Pada area endemik
dari T. schoenleinii dan T. violaceum, mereka
sering terlibat pada penyakit ini, meskipun
mereka adalah jamur antrofilik. Mereka dapat
menyebabkan infeksi yang parah, mungkin
karena adanya keterlibatan rambut dan folikel.
T. rubrum adalah penyebab yang jarang dari
tinea barbae dan mungkin merupakan infeksi
yang didapat dari bagian-bagian tubuh yang
lain atau ditularkan melalui garukan pada
daerah yang dicukur dari pencukuran yang
tidak bersih. Spesies yang terbatas secara
georafis, T. megninii, jarang diisolasi dari
infeksi janggut yang ditularkan di daerah
endemiknya. Organisme ini tidak ditemukan di
beberapa daerah, tetapi dapat ditemukan di
27
Portugal, Sardinia, Sisilia, Afrika (sebagai T.
Kuryangei) meskipun jarang ditemukan di
bagian eropa lainnya.
D. Histopatologi
Reaksi seluler terhadap tinea barbae
sama dengan yang diproduksi pada tinea
capitis. Jamur memasuki korteks proksimal
dimana kutikulanya belum matang . Mereka
kemudian menjajah korteks keratin proksimal
dan menghasilkan septate hifa yang
mengubah secara bertahap ke arthrospores
seperti yang dilakukan ke atas oleh rambut
tumbuh . Pada tingkat infundibular , korteks
rambut hampir sepenuhnya digantikan oleh
spora dan membengkak , menghambat keluar
lebih lanjut dari rambut yang tumbuh dan
menyebabkan rambut sudah lemah untuk
kumparan di dalam infundibulum , membentuk
titik hitam . Rambut daerah yang terkena
menjadi rapuh sifatnya dan tidak mengkilat,
tampak reaksi radang pada folikel berupa
kemerahan, edema, kadang -kadang ada
pustula. Pada batang dan folikel rambut
terkadang tampak organisme, tetapi jarang
pada lesi yang lebih dalam. Pada keadaan
kronik terlihat nanah, sel raksasa dan infiltrasi
sel-sel radang kronik. Pada satu pasien yang
mengalami infeksi selama lebih dari 20 tahun ,
ada perubahan sugestif infeksi ulang siklik dari
folikel yang sama yang mungkin berkontribusi
terhadap kronisitas infeksi .
E. Tipe Klinis
Tinea barbae biasanya menimbulkan
lesi yang unilateral dan lebih sering melibatkan
area jenggot daripada kumis atau bibir atas.
Gejalanya mempunyai 3 tipe klinis. Tipe klinis
dari penyakit ini terbagi menjadi tipe inflamasi/
deep berupa lesi supuratif yang dalam serta
bernodul, tipe superficial berupa patch yang
sebagian tanpa rambut, berkrusta dan di
superficial dengan folikulitis dan tipe sirsinata.
1. Tipe inflamasi/deep
Tipe ini biasanya disebabkan oleh T.
mentagrophytes dan T.verrucosum. Tinea
barbae tipe inflamasi dianalogkan dengan tipe
kerion pada tinea kapitis. Tipe deep
berkembang dengan lambat dan
menghasilkan nodul yang menebal dan
bengkak seperti kerion. Lesi yang timbul
berbentuk nodul dan seperti rawa disertai
krusta seropurulen. Bengkak pada tipe ini
biasanya konfluen dan berbetuk infiltrasi
difusa seperti rawa dengan abses. Kulit yang
terkena meradang, rambut-rambut menjadi
hilang, dan pus mungkin muncul melalui
folikel sisa yang terbuka. Rambut-rambut di
daerah ini tidak mengkilat, rapuh, dan mudah
diepilasi untuk mendemonstrasikan sebuah
massa purulen di sekitar akarnya. Pustulasi
perifolikel dapat bergabung membentuk
saluran sinus dan kumpulan pus seperti abses,
yang akhirnya menjadi lesi alopecia.
Umumnya lesi ini hanya terbatas pada satu
bagian muka atau leher pada laki-laki.
Tinea barbae tipe inflamasi disebabkan oleh
infeksi T. Mentagrophytes var.granulosum
2. Tipe superfisial
Tipe superfisial dicirikan dengan
folikulitis pustula yang tidak terlalu meradang
dan mungkin dihubungkan dengan T.
violaceum atau T. Rubrum. Tipe Superfisial
dari tinea barbae menyerupai lesi pada tinea
corporis. Ada lesi berbentuk lingkaran dengan
tepi vesikopustul. Reaksi host terhadap
penyakit ini tidak terlalu perah, meskipun
alopecia mungkin timbul di pusat lesi.
Tipe ini disebabkan oleh lebih sedikit
peradangan antropofil, bentuk tinea barbae ini
sangat menyerupai folikulitis bakteri, dengan
eritema difusa ringan dan papul folikular dan
pustul. Rambut yang kusam dan rapuh
membentuk infeksi endotriks dengan T.
violaceum sebagai etiologi yang lebih sering
daripada T. rubrum. Rambut yang terinfeksi
biasanya mudah dicabut. Yang jarang, E.
floccosuin mungkin menyebabkan lesi
verrukosa yang menyebar yang dikenal
sebagai epidermofitosis verrukosa.
28
Tinea barbae superfisialis; papul folikel dan
pustul sering salah didiagnosis dengan
folikulitis staphylococcus aureus.
3. Tipe sirsinata
Tipe ini sangat mirip dengan tinea
sirsinata dari kulit glabrous, tinea barbae
sirsinata menunjukkan batas vesikopustular
yang aktif dan menyebar dengan lingkaran
pusat dan rambut yang jarang-jarang pada
daerah tersebut.
Tinea Barbae tipe sirsinata; memiliki tepi yang
ditutupi papul dan vesikel kecil serta bersisik.
F. Gejala Klinis
Infeksi sering berawal pada leher atau
dagu, tetapi gejala klinis dari Tinea Barbae
tergantung pada patogen penyebab. Kadang-
kadang dermatofitosis dapat berkembang
tanpa lesi khusus, tetapi selalu dengan rasa
gatal.
Tinea yang disebabkan oleh
dermatofita zoofilik lebih parah karena reaksi
inflamasi yang terjadi disebabkan oleh jamur
yang lebih kuat. Dagu, pipi, dan leher sering
terinfeksi. Umumnya infeksi ini menyebabkan
nodul yang inflamasi atau nodul-nodul dengan
pustul mulitpel dan aliran sinus pada
permukaannya. Rambut dapat rontok dan
patah, eksudat, pus dan krusta menutupi
permukaan kulit (kerion celsi). Rambut mudah
dicabut dan tidak sakit. Kadang-kadang
muncul bersamaan dengan limfadenopati
regional, sedangkan demam dan malaise
cukup jarang terjadi.
Ada gejala-gejala yang sangat jauh
berbeda satu sama lain. Dua variasi gejala
klinis utama dibedakan. Tipe tanpa inflamasi
yang disebabkan oleh dermatofita antrofilik
diawali dengan patch datar dan eritema
dengan tepi yang meninggi. Patch bersisik
mungkin ditutupi papul-papul, pustule atau
krusta. Rambut patah di dekat kulit dan dapat
menyumbat folikel rambut. Patch kulit mungkin
soliter tetapi dapat juga multiple dan mungkin
berbentuk annular. Patch dapat bertahan
hingga bertahun-tahun dan mungkin
membesar. Kadang-kadang, morfologi
klinisnya menyerupai folikulitis bakteri,
khususnya ketika folikel pustula telah
berkembang dan hilangnya rambut telah
terlihat. Lesi pustula dengan rambut yang
hilang menunjukkan varian kronik dari infeksi
jamur ini yang menyerupai sikosis (folikulitis
pustula dari janggut). Dengan demikian,
penyakit itu disebut sycosiform tinea barbae.
Tipe dalam atau pustul dari tinea
barbae dicirikan dengan adanya folikel yang
berpustul dan dalam yang membentuk nodul-
nodul, seperti lesi kerion yang ditemukan pada
Tinea capitis. Lesi pustula ini diawali mikotik
yang sesungguhnya dan pus sangat penuh
pada artrokonidia jamur. Reaksi yang terjadi
bisa benar-benar parah dimana kebanyakan
rambut menjadi patah dilanjutkan resolusi dari
penyakit ini. Alopecia dan bekas luka mungkin
menetap. Lesi terlhat seperti rawa dan
membengkak. Rambut-rambut ini ketika
diepilasi akan terlihat memiliki sejenis pus,
massa putih pada akar rambut dan
mengelilingi jaringan di sekitarnya. Aliran sinus
meningkat dan merusak jaringan sekitar.
Sedikit tekanan akan membangkitkan
ekstrusksi dari material purulen. Lesi ini
mungkin soliter dan kebanyakan sering
ditemukan pada daerah maksila. Kadang-
kadang keseluruhan area jenggot terkena dan
indurasi verukosa ungu kemerahan yang
banyak juga terbentuk. Pembesaran kelenjar
getah bening regional, demam ringan, dan
malaise mungkin muncul bersamaan pada
29
infeksi yang parah, khususnya yang
disebabkan oleh T. verrucosum. Bibir atas
biasanya terhindar dari tinea barbae, sangat
kontras jika dibandingkan dengan infeksi
bakteri sycosis vulgaris.
G. Diagnosis
Dalam diagnosis biasanya material
yang terkumpul biasanya terdiri dari rambut
yang diepilasi dan massa pustula. Ketika plak-
plak pada superfisial dan tanpa pustul,
pemeriksaan material terbaik adalah dengan
mengambilnya dari tepi. Pemeriksaan
langsung dengan potassium hidroksida 20%
dengan tambahan dimetil sulfoksida akan
memberikan hasil yang cepat, tetapi
diperlukan orang yang berpengalaman untuk
melakukannya. Preparat KOH untuk
mengidentifikasi hifa adalah diagnosis untuk
infeksi T. verrucosum. Menyayat tepi lesi yang
aktif atau dengan memakai rambut untuk
diteliti sebaiknya dilakukan. Teknik ini memiliki
sensitifitas 88% dan spesifisitas 95%. Lampu
wood akan memastikan kasus-kasus yang
jarang seperti pada infeksi
microsporum.Pewarnaan tambahan, seperti
pewarnaan Swartz-Lamkin, Parker blue-black
ink atau chlorazol black E, kadang-kadang
akan sangat berguna. Spesimen tersebut
diperiksa dengan mikroskop cahaya dan
hasilnya tergantung pada jamur penyebab
yang diperksa yang akan menunjukkan tipe
hifa khusunya masing-masing dan/ atau
artokonidia.Sedangkan untuk pengerjaan
kultur dapat memakan waktu sekitar 3-4
minggu dan biasanya ditampilkan pada agar
Saboraud dengan cycloheximide dan
kloramfenikol ditambahkan untuk menghambat
pertumbuhan dari bakteri dan jamur non-
dermatofitik. Identifikasi jamur didasarkan
pada morfologi dan mikroskopik dari koloni.
Identifikasi pathogen menyediakan informasi
tentang sumber dari infeksi dan menolong
dalam menyeleksi pengobatan yang tepat.
Diagnosa banding
Diagnosis banding pada tinea barbae
dapat berdasarkan kemiripan gejala klinisnya
dengan penyakit lain maupun melalui
organisme penyebab. Banyaknya morfologi
dari lesi Tinea Barbae adalah alasan utama
luasnya kelainan kulit lain yang dapat
menyerupai infeksi jamur. Penyakit-penyakit
ini seperti folikulitis bakteri, dermatitis atopik,
dermatitis kontak dan dermatitis seboroik
dapat menyerupai tinea barbae.
Diagnosis banding yang terpenting
adalah sikosis barbae dan epiteliomata Sikosis
barbae biasanya lebih menyebar, lebih kronis
dan menginfeksi daerah yang sering terkena
tekanan, meskipun reaksi inflamasi tidak
begitu intens, rambut-rambut yang terinfeksi
tidak hilang dan tidak sakit saat dicabut. Area
kecil dari tinea barbae biasanya menyerupai
epiteliomata sel basal, tetapi kesalahan
diagnosis tidak akan terjadi bila diagnosis
banding tersebut dapat diingat.
Jamur lain, seperti ragi dan jamur hifa
dapat menyebabkan infeksi lokal di area
dengan lesi yang sama, khususnya pada
pasien yang baru lahir atau imunokompromis.
Kadang-kadang infeksi dermatofitik dapat
meniru penyakit lain, seperti lupus
eritematosus atau rosacea.Riwayat kontak
dengan hewan bersamaan dengan munculnya
lesi pustul yang meradang dan parah yang
disebabkan oleh T. verrucosum atau T.
mentagrophytes var. mentagrophytes
menunjukan diagnosis dari tinea barbae.
Folikel yang tidak mengkilat, pustul, rapuh,
rambut yang mudah diepilasi dan adanya tepi-
tepi perifer yang menyebar secara aktif
menyusun gambaran klasik dari penyakit ini.
Agen penyebabnya adalah M. canis, dengan
florosensi dari rambut ini di bawah lampu
wood akan terlihat agen penyebabnya.
Spesies Trichiphyton tidak menunjukkan
florosens di bawah lampu wood. Preparat
jamur yang telah ditetesi potassium hidroksida
bisa menunjukkan adanya elemen jamur dan
membedakan penyakit ini dari sycosis vulgaris.
Bentuk jamur yang lebih ringan, lebih sedikit
menyebabkan nyeri dan sakit daripada
pioderma yang disebabkan stafilokokus.
Infeksi dari dermatofita mungkin melibatkan
bulu mata, tetapi tidak mengenai konjugtiva.
Infeksi bulu mata tanpa melibatkan bagian lain
dapat ditemukan, biasanya pada anak-anak,
dan M. canis merupakan penyebab yang
paling sering. Kondisi lain yang dapat
menyerupai Tinea barbae yaitu dermatitis
30
kontak, iododerma, bromoderma, kista, akne,
aktinomikosis, dan sifilis pustula.
H. Pengobatan
Pengobatan untuk tinea barbae sama
dengan pengobatan pada tinea capitis.13
Terapi oral antimikosis diperlukan. Beberapa
penelitian dan pengalaman sendiri
menunjukkan antijamur topikal tidak cukup
untuk mengontrol lesi dari tinea barbae secara
menyeluruh. Dengan demikian pada
kebanyakan kasus sangat direkomendasikan
kombinasi antara pengobatan sistemik dan
topikal antimikosis. Ketika mengenai rambut-
rambut, pencukuran atau depilasi sebaiknya
diambil sebagai pertimbangan.
Dahulu, epilasi manual atau x-ray
bersama dengan kompres menggunakan
kompres permanganat (1:4000) atau larutan
vleminckx (1:33) pernah dilakukan. Tetapi
tidak ada dari regimen ini yang sekarang
diindikasikan untuk mengobati tinea barbae,
khususnya epilasi x-ray. Merkuri amonia (5%),
quinolor, desenex, sopronol, atau asterol
kadang-kadang digunakan untuk megobati lesi
itu. Beberapa dari obat di atas mungkin sangat
berguna pada kasus resisten sebagai
tambahn untuk pengobatan griseofulvin.
Memangkas dan mencukur area jenggot juga
sangat direkomendasikan. Sepanjang
diberikan bersama-sama kompres hangat dan
dilakukan pembersihan sisa-sisa dari jaringan
yang sakit.
Kompres hangat digunakan untuk
menyingkirkan krusta dan debris sebagai
pengobatan tidak spesifik, biasanya dapat
dilakukan. Sekarang ini terbinafine 250 mg
digunakan sehari sekali untuk periode paling
sedikit selama 4 minggu, tergantung pada
pilihan pengobatannya. Pada beberapa kasus
penggunaaan griseofulvin pada dosis paling
sedikit 20 mg/kg/hari (terapi berlangsung lebih
dari 8 minggu) mungkin dapat
dipertimbangkan.
Griseofulvin mungkin sangat berguna
untuk pengobatan Tinea barbae, khususnya
untuk tipe kronik. Hilangnya rasa sakit, tidak
nyaman, dan malaise secara cepat, bersama
dengan kegagalan untuk mengembangkan lesi
satelit dan resolusi lebih cepat dari penyakit ini,
telah dilaporkan setelah pengobatan dari
infeksi T. verrucosum yang parah. Dosis
griseofulvin adalah 500mg per hari dibagi
menjadi dua sediaan. Pengobatan sebaiknya
dilanjutkan selama dua atau tiga minggu
seiring hilangnya gejala-gejala klinis.
Itrakonazol 100mg/ hari selama 4-6
minggu dapat sangat efektif. Telah dipastikan
oleh Maeda dkk. yang telah mengobati secara
efektif dengan itrakonazol 100mg/ hari
(selama 2 bulan terapi) pada seorang petani
yang terinfeksi Trichophyton verrucosum.
Sebagai pengobatan topikal bisanya
digunakan 2 kelompok antijamur, yaitu azol
dan alilamin. Meskipun rekomendasi
pengobatan umum sudah ada untuk pasien
tinea barbae, tetap penting diingat bahwa
sering pada pasien-pasien tersebut, regimen
pengobatan, khusunya periode pengobatan,
sebaiknya ditentukan berdasarkan masing-
masing pasien tersebut berdasarkan pada
gejala klinis dan penilaian laboratoriumnya.
Eliminasi dari sumber infeksi, khususnya yang
kontak dengan hewan yang terinfeksi akan
menjadi sangat penting untuk hasil akhir dari
pengobatan ini. Lebih lanjut lagi, pengobatan
infeksi jamur lainnya seperti tinea pedis dan
onikomikosi sangat penting, karena
kemungkinan terjadinya autoinokulasi pada
janggut.
I. Pencegahan
Orang meningkatkan risiko
mendapatkan infeksi jamur ketika kulit mereka
tetap basah untuk waktu yang lama. Jamur
tumbuh dengan cepat di area yang hangat dan
lembab. Pakaian, ubin kamar mandi, dan dek
kolam renang adalah tempat umum bagi jamur
untuk tumbuh.
Pencegahan dapat dilakukan dengan
menjaga kebersihan tubuh terutama di daerah
dagu. Sebaiknya jenggot dicukur bersih dan
dilap dengan handuk agar benar benar kering
sehingga tidak menyebabkan daerah dagu
atau leher menjadi lembab . kemudian jaga
juga kebersihan lingkungan disekitar untuk
menghindari penyebaran jamur penyebab
tinea barbae.
J. Prognosis
Karena kebanyakan kasus dari tinea
barbae adalah tipe peradangan, resolusi
31
secara spontan biasanya terjadi. Durasi dari
infeksi bervariasi tergantung organisme yang
terlibat. Karena T. verrucosum dan T.
mentagrophytes var. Mentagrophytes
kebanyakan merupakan organisme yang
virulen, infeksi yang terjadi umumnya sembuh
dalam dua sampai tiga minggu. Infeksi kronik
dapat berlangsung lebih dari dua bulan dan T.
rubrum atau T. violaceum jarang menjadi
penyebabnya.
K. Kesimpulan
Tinea Barbae adalah infeksi
dermatofitosis superfisialis yang jarang terjadi.
Infeksi ini hanya terbatas pada daerah yang
berjanggut, yaitu pipi, dagu dan leher. Hampir
seluruh penderitanya adalah laki-laki dewasa.
Penyakit ini dapat disebabkan berbagai
organisme jamur, sehingga penyakit ini
memiliki tiga tipe klinis, yaitu tipe inflamasi
(deep), tipe superficial, dan tipe sirsinata.
Masing-masing tipe memberikan gambaran
klinis yang cukup berbeda. Untuk
mendiagnosis penyakit ini diperlukan aspek
klinis dan pemeriksaan penunjang yang tepat
seperti pemeriksaan mikroskopik dengan KOH,
maupun pemeriksaan biakan hingga
histopatologi. Kadang-kadang penyakit ini sulit
dibedakan dengan sycosis barbae. Terapi
tinea barbae terbukti efektif bila dilakukan
dengan kombinasi terapi sistemik dan terapi
topikal. Lama pengobatan tergantung kondisi
penderita masing-masing dan jenis jamur yang
menginfeksinya.
L. Saran
Penyakit kulit adalah penyakit yang
sangat banyak ditemukan di kalangan
masyarakat. Oleh karna itu kami sebagai
penulis menyarankan pembaca untuk
mencegah terjadinya penyakit kulit ini dengan
cara menjaga higiene dan sanitasi yang
dimulai dari diri kita sendiri. Serta menjaga
lingkungan kita agar tetap bersih sehingga
mempersulit jamur berkembang biak
dilingkungan kita agar kita tidak terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Shrum JP, Millikan LE, Bataineh O.
Superficial fungal infections in the tropics.
Dermatol Clin 1994; 12: 687-93.
2. Djuanda A. 1993. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin edisi 2. Jakarta : Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia
3. Siregar, SP,KK(K). 2005. Penyakit jamur
kulit edisi 2. Jakarta ; EGC.
4. Wisnu, I Made, dkk. 2005. Penyakit Kulit
yang Umum diIndonesia.Jakarta; PT
Medical multi Media.
5. http://dokterrizy.blogspot.com/2011/05/infek
si-jamur-pada-kulit.html
6. Bonifaz A, Ramirez-Tamayo T, Saul A.
Tinea Barbae (tinea sycosis): experience
with nine cases. J Dermatol 2003; 30, 898-
903.
32
PERAN TEKNOLOGI DALAM
BIDANG KESEHATAN
Oleh : Basaria Hutabarat, SKM, M.Kes
A. PENDAHULUAN
Peran ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam kehidupan manusia saat ini
menimbulkan berbagai kegoncangan dan efek
samping negatif di samping tentunya, ada juga
sisi positifnya ( Giden dkk, 2001). Perlahan
tapi pasti, tujuan mulia ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam membantu memenuhi
kebutuhan hidup manusia, mulai mengalami
pergeseran. Teknologi yang sejatinya
hanyalah sarana dan alat bagi manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, berubah
menjadi sesuatu yang diagungkan. Padahal,
seharusnya ilmu dan teknologi hanya sebagai
alat dalam kehidupan, bukan sebagai
gantungan atau andalan dalam kehidupan
(Giden dkk, 2001). Ada kecenderungan
manusia modern mengagung-agungkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam
pandangan manusia modern, ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah, segala-
galanya. Seolah-olah, di tangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesejahteraan
manusia masa depan akan digantungkan
(Jujun, S, 2001). Akibatnya, ilmu pengetahuan
dan teknologi (Iptek) menjadi bumerang bagi
manusia sebagai senjata makan tuan.
Penggunaan iptek yang salah dan tidak
terkendali, teknologi hanya menciptakan
alienasi atau merasa terasing, humanisasi,
dan konsumerisme dalam kehidupan manusia.
Iptek bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya.
Tetapi, iptek menciptakan tujuan hidup itu
sendiri (Jujun.S, 2001). Dalam keadaan
seperti itu, manusia terasing dari dirinya
sendiri dan dari nilai kepribadiannya, karena ia
menjadi tawanan sistem yang melingkari
kehidupan (Jujun.S, 2001)
Teknologi Informasi di Bidang
Kesehatan memiliki peran yang sangat
signifikan untuk menolong jiwa manusia serta
riset-riset di bidang kedokteran. Teknologi
Informasi digunakan untuk menganalisis organ
tubuh manusia bagian dalam yang sulit dilihat,
untuk mendiagnosa penyakit, menemukan
obat yang tepat untuk mengobati penyakit dan
masih banyak lagi. Pemanfaatan Teknologi
Informasi sangat membantu orang-orang
yang bergerak di bidang kesehatan,
setidaknya membantu dalam menangani para
pasien sehingga meningkatkan kesehatan
masyarakat. Adanya Teknologi Informasi
dimanfaatkan Dokter dan Perawat untuk
memudahkan mereka memonitor kesehatan
pasien, monitor detak jantung, aliran darah,
memeriksa organ dalam pasien dengan sinar
X. Dengan teknologi modern bisa memonitor,
bahkan menggantikan fungsi organ dalam
seperti Jantung, Paru-paru dan Ginjal. Itu
merupakan teknologi kesehatan yang
digabungkan dengan teknologi Informasi dan
Komputer (Nisa C,2012)
Teknologi-teknologi yang sudah di
kembangkan di bidang Kesehatan diantaranya
adalah berupa :
Sistem CAT (Computerized Axial
Tomography ) merupakan alat yang
33
digunakan untuk menggambar struktur
bagian otak dan mengambil gambar
seluruh organ tubuh yang tidak bergerak
dengan menggunakan sinar-X. Sedangkan
untuk seluruh organ yang bergerak
menggunakan sistem DSR (Dynamic
Spatial Reconstructor ) yang digunakan
melihat gambar dari berbagai sudut organ
tubuh. CAT dan DSR biasa dikenal CT
Scan.
SPECT (Single Photon Emission Computer
Tomography )
merupakan sistem komputer yang
menggunakan gas radioaktif untuk
mendeteksi partikel-partikel tubuh yang
ditampilkan dalam bentuk gambar. Bentuk
lain adalah PET (Positron Emission
Tomography ) juga merupakan sistem
komputer yang menampilkan gambar
menggunakan isotop
radioaktif. Pengembangan PET-SCAN
ini tidak hanya dapat mendeteksi kanker,
tetapi juga digunakan pada bidang-bidang
kedokteran lainnya. Dengan
berkembangnya teknologi di bidang
kesehatan sangatlah membantu mereka
yang bergerak di bidang kesehatan untuk
melakukan pekerjaan. Mereka bisa dengan
cepat menangani para pasien, bisa
mendiaknosis penyakit yang mereka derita,
dan kemungkinan salah diagnos yang
mungkin sudah sering terjadi di dalam
bidang kedokteran yang memakan banyak
jiwa bisa berkurang. Pemanfaatan
Teknologi Informasi ini semakin
mendukung peningkatan kualitas kerja di
bidang kedokteran, karena semakin
canggihnya teknologi maka akan semakin
mudah kita mendapatkan pelayanan
dengan kualitas yang baik.
(quamilanadia.wordpress.com, 2016).
Selain itu Nuclear Magnetic
Resonance merupakan teknik mendiagnosis
dengan cara memagnetikkan nucleus (pusat
atom) dari atom hidrogen. Saat ini telah ada
temuan baru yaitu komputer DNA, yang
mampu mendiagnosis penyakit sekaligus
memberi obat. Komputer DNA ultra kecil
mampu mendiagnosis dan mengobati kanker
tertentu (Kompasiana.com, 2016).
Peranan lainnya Teknologi Informasi
Dalam Kesehatan adalah sebagai:
1. Sistem informasi yang digunakan untuk
mencatat rekaman medis pasien secara
elektronis.
2. Untuk mencari informasi tentang pasien,
pengunjung dapat berinteraksi secara
langsung dengan terminal yang
disediakan untuk keperluan itu. Dengan
mengetikkan nama, sistem informasi
akan segera menyajikan informasi
tentang pasien yang memenuhi kriteria
pencarian.
3. Peralatan yang mampu memotret bagian
dalam tubuh seseorang tanpa harus
dilakukan pembedahan misalnya CT
Scan.
4. Mycin yang digunakan untuk membantu
juru medis mendiagnosis penyakit darah
yang cepat menular dan kemudian dapat
memberikan saran berupa penggunaan
antibiotik yang sesuai (system pakar
adalah perangkat lunak yang ditujukan
untuk meniru keahlian seseorang dalam
bidang tertentu).
5. Sistem berbasis kartu cerdas (smart card)
digunakan juru medis untuk mengetahui
riwayat penyakit pasien yang datang ke
rumah sakit karena dalam kartu tersebut
para juru medis dapat mengetahui riwayat
penyakit pasien.
6. Informasi dari komputer tiga dimensi
untuk menunjukkan letak tumor dalam
tubuh pasien.
7. Jasa pelayanan kesehatan teknologi
informasi berguna untuk memberikan
34
pelayana terpadu dari pendaftaran pasien
sampai kepada system penagihan yang
dilihat melalui internet. 8. Alat-alat kedokteran yang menggunakan
aplikasi komputer, salah satunya adalah
USG (Ultra sonografi). USG adalah suatu
alat dalam dunia kedokteran yang
memanfaatkan gelombang ultrasonik,
yaitu gelombang suara yang memiliki
frekuensi yang tinggi (250 kHz – 2000
kHz) yang kemudian hasilnya ditampilkan
dalam layar monitor
9. Teknologi Nir kabel Pemanfaatan jaringan
computer dalam dunia medis sebenarnya
sudah dirintis sejak hampir 40 tahun yang
lalu. Saat ini, jaringan nir kabel menjadi
primadona karena pengguna tetap
tersambung ke dalam jaringan tanpa
terhambat mobilitasnya oleh kabel.
Melalui jaringan nir kabel, dokter dapat
selalu terkoneksi ke dalam database
pasien tanpa harus terganggun
mobilitasnya.
10. Pencarian, Peletakan dan Informasi Obat-
obatan. Penggunaan Biosensor.
Biosensor merupakan suatu alat
Instrumen elektronik yang bekerja untuk
mendektesi sampel biokimia. Contoh
paling sederhana adalah alat uji diabetes
(Triwahyuni, 2012)
Teknologi Informasi dan Komunikasi
akan berperan besar dalam meningkatkan
layanan kesehatan warga dunia menyediakan
layanan Medical Record Service yang
telah melibatkan puluhan ribu pasien di rumah
sakit. Rekam medis yang terkumpul digunakan
untuk memberikan layanan melalui aplikasi
terbaru. Setiap data pasien dalam rekam
medis, seperti resep obat, jenis alergi, riwayat
kesehatan, dan sebagainya semuanya
itu dilindungi dengan mempergunakan
password.
B. Manfaat Teknologi Bidang Kesehatan
Adapun manfaat teknologi dalam
bidang kesehatan, diantaranya mempermudah
Dokter dan Perawat dalam memonitor
kesehatan pasien, monitor detak jantung
pasien lewat monitor komputer, aliran darah
dan memeriksa organ dalam pasien dengan
sinar X. (Wikipedia.com, 2016)
C. Perkembangan Kesehatan di Indonesia
Standar dan mutu layanan kesehatan
di Indonesia belum menggembirakan dan
masih tertinggal bila dibandingkan dengan
negara lain. Perhatian negara terhadap
standar fasilitas kesehatan bagi penyedia jasa
kesehatan dan pengaruhnya terhadap hasil
perawatan pasien juga masih kurang. Untuk
membenahi sistem kesehatan nasional secara
progresif dibutuhkan solusi cerdas
berupa layanan elektronik kesehatan atau
biasa disebut dengan istilah e-Health. Yang
merupakan solusi enterprise di bidang
kesehatan karena melibatkan berbagai pihak,
mulai dari masyarakat luas, Rumah Sakit,
Puskesmas, Perguruan Tinggi, hingga
produsen obat dan industri farmasi. Selain itu
keterpaduan dan integrasi antara e-Health
dengan SIAK ( Sistem Informasi dan
Administrasi Kependudukan ), baik dalam
lingkup nasional, regional dan daerah sangat
membantu optimalisasi sistem kesehatan
rakyat dimasa mendatang.
Kelebihan rekam medis elektronik
antara lain memungkinkan akses yang
simultan dari lokasi berbeda, mengurangi
kesalahan interpretasi data, penyajian yang
variatif, mempercepat pembuatan keputusan,
dan membantu analisis data. Kondisinya
bertambah sempurna jika disertai kapasitas
penyimpanan multimedia sangat besar untuk
foto rontgen, rekaman suara, diagram,
laporan patologi, dan lain-lain. Aplikasi e-
Health melahirkan lompatan yang luar biasa
dalam sektor kesehatan seperti: Surveilans
Epidemiologis (Nisa C,2012)
D. Manfaat Telemedicine
Surveilans Epidemiologis merupakan
kumpulan data penyakit yang diobservasi
untuk mengetahui tren dan mendeteksi
perubahan kejadian penyakit tersebut secara
dini. Pola dan distribusi penyakit juga mudah
diamati berdasarkan area geografis, usia,
komunitas, dan sebagainya. Prosedur
pengumpulan data secara manual dapat
digantikan dengan digitalisasi yang lebih cepat,
akurat dan hemat biaya. Apalagi jika jarak
lokasi kejadian dan tempat pengumpulan data
sangat berjauhan. Lompatan luar biasa
lainnya adalah mengenai Telemedicine.
35
Telemedicine merupakan
pemanfaatan TIK untuk memberikan informasi
dan pelayanan kesehatan atau kedokteran
dari suatu lokasi ke lokasi lainnya.
Telemedicine bisa diartikan sebagai akses
cepat untuk memberikan keahlian medis
secara jarak jauh. Sehingga tidak tergantung
dimana posisi pasien itu berada. Dalam
kondisi gawat darurat atau bencana alam,
fungsi Telemedicine menjadi sangat penting
karena dapat mempercepat tindakan medis.
Data medis seperti foto resolusi tinggi, gambar
radiografi, rekaman suara, rekam medis
pasien, konferensi video kesehatan juga dapat
ditransfer ke lokasi lain yang berjauhan.
Pelayanan kesehatan interaktif tersebut juga
dapat menggunakan media audio visual untuk
konsultasi, diagnosis dan pengobatan,
termasuk proses pendidikan dan latihan
kepada penyedia kesehatan dan masyarakat
luas. Telemedicine melahirkan sub-aplikasi
seperti teleradiologi, teledermatologi,
telepatologi, telefarmasi dan sebagainya (Nisa
C,2012).
Selain itu dengan e-Health
mekanisme sistem resep obat secara online
juga bisa dilakukan. Dalam hal ini pasien
hanya berurusan dengan institusi pelayanan
kesehatan. Sedangkan resep obat akan diatur
secara otomatis. Mulai dari persedian obat
sampai dengan pembayaran oleh pihak
asuransi kesehatan. Mekanisme diatas juga
bisa mengeleminir tindakan mafia obat dan
memudahkan kontrol pemerintah dan publik
dalam hal harga dan distribusi obat-obatan.
Komputer Era globalisasi dan era
informasi yang akhir-akhir ini mulai masuk ke
Indonesia telah membuat tuntutan-tuntutan
baru di segala sektor. Tidak terkecuali dalam
sektor pelayanan kesehatan, era globalisasi
dan informasi seakan telah membuat standar
baru yang harus dipenuhi oleh seluruh pemain
di sektor kesehatan. Hal tersebut telah
membuat dunia keperawatan di Indonesia
menjadi tertantang untuk terus
mengembangkan kualitas pelayanan
keperawatan yang berbasis teknologi
informasi. Namun hambatan hambatan yang
dihadapi oleh keperawatan di Indonesia,
diantaranya adalah keterbatasan Sumber
Daya Manusia yang menguasai bidang
keperawatan dan teknologi informasi secara
terpadu, masih minimnya infrastruktur untuk
menerapkan sistem informasi di dunia
pelayanan, dan masih rendahnya minat para
perawat di bidang teknologi informasi
keperawatan.
E. Pelayanan Medis
Pelayanan yang bersifat medis
khususnya di pelayanan keperawatan
mengalami perkembangan teknologi informasi
yang sangat membantu dalam proses
keperawatan dimulai dari pemasukan data
secara digital ke dalam komputer yang dapat
memudahkan pengkajian
selanjutnya, intervensi apa yang sesuai
dengan diagnosis yan sudah ditegakkan
sebelumnya, hingga hasil keluaran apa yang
diharapkan oleh perawat setelah klien
menerima asuhan keperawatan, dan semua
proses tersebut tentunya harus sesuai dengan
NANDA, NIC, dan NOC yang
sebelumnya telah dimasukkan ke dalam
database program aplikasi yang digunakan.
Namun ada hal yang perlu dipahami oleh
semua tenaga kesehatan yang menggunakan
teknologi informasi yaitu semua teknologi yang
berkembang dengan pesat ini hanyalah
sebuah alat bantu yang tidak ada gunanya
tanpa intelektualitas dari penggunanya dalam
hal ini adalah perawat dengan
segala pengetahuannya tentang ilmu
keperawatan. Keperawatan yang selama ini
dirasa masih rancu, akan memberikan
manfaat lebih lanjut sistem kompensasi,
penjadwalan, evaluasi efektifitas intervensi
sampai kepada upaya identifikasi error dalam
manajemen keperawatan. Sistem ini
mempermudah perawat memonitor pasien dan
segera dapat memasukkan data terkini dan
intervensi apa yang telah dilakukan ke dalam
komputer yang sudah tersedia di setiap
bangsal sehingga akan mengurangi kesalahan
dalam dokumentasi dan evaluasi hasil
tindakan keperawatan yang sudah dilakukan
( KB Tech, 2012).
F. Pelayanan Non Medis
Pelayanan yang bersifat non-medis
pun dengan adanya perkembangan teknologi
informasi seperti sekarang semakin terbantu
36
dalam menyediakan sebuah bentuk pelayanan
yang semakin efisien dan efektif, dimana para
calon pasien rumah sakit yang pernah berobat
atau dirawat di RS tidak perlu lagi menunggu
dalam waktu yang cukup lama saat
mendaftarkan diri karena proses administrasi
yang masih terdokumentasi secara manual di
atas kertas dan membutuhkan waktu yang
cukup lama mencari data pasien yang sudah
tersimpan, ataupun setelah sekian lama
mencari dan tidak ditemukan akhirnya klien
tersebut diharuskan mendaftar ulang kembali
dan hal ini jelas menurunkan efisiensi RS
dalam hal penggunaan kertas yang tentunya
membutuhkan biaya. Bandingkan bila setiap
pasien didaftarkan secara digital dan semua
data mengenai pasien dimasukkan ke dalam
komputer sehingga ketika data-data tersebut
dibutuhkan kembali dapat diambil dengan
waktu yang relatif singkat dan akurat.
PENUTUP
Teknologi dalam kesehatan
mempunyai peran yang sangat
penting,terutama dalam memberikan kualitas
atau mutu pelayanan kesehatan di Rumah
Sakit. Seiring dengan perkembangan
teknologi dan informasi seakan telah membuat
standar baru yang harus di penuhi.
Pemerintah atau lembaga kesehatan
hendaknya segera membenahi standar dan
mutu layanan kesehatan di Indonesia, karena
bila di bandingkan dengan negara lain ini
masih sangat tertinggal. Untuk membenahi hal
tersebut maka harus di butuhkan solusi cerdas.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony Giddens, Runaway World:
Bagaimana Globalisasi Merombak
Kehidupan Kita, terj. Andry
Kristiawan S. dan Yustina Koen S.
(Jakarta: Gramedia, 2001).
Choirun Nisa, Yunita “Peran Teknologi Dalam
Bidang Kesehatan, 2012”
http://www.kompasiana.com/, diakses 21 juli
2016
https://quamilanadia.wordpress.com, diakses
22 Juli 2016.
http://www.Wikipedia.com/ diakses 21 juli
2016
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 231,
tahun 2001.
KB Tech, Navy BA PK 102- Microsoft Internet
Explorer.Peranan Komputer Dalam
Dunia Kesehatan dan Pengobatan
rikie-lebang. Peran TI dalam Dunia
Kedokteran. Written By KB Tech,2012
Triwahyuni, Penggunaan Teknologi Informasi_
Teknologi Komputer HAPPY together
HAPPY forever-Microsoft Internet
Explorer. USG ( ULTRA
SONOGRAPHY )
http://www.cancer.gov/images/cdr/live/CDR753
850.jpg, diakses pada 22 Juli 2016.
http://www.iambiomed.com/equipments/pet5.jp
g, diakses 22 Juli 2016.
https://www.computer.org/cms/Computer.org/dl/
mags/pc/2015/01/figures/mpc2015010
0541.gif, diakses 22 Juli 2016.
37
SERBA-SERBI
1. Kegiatan review persiapan dan kelengkapan dokumen Wilayah Bebas Korupsi (WBK)
pada tanggal 24 Juni 2016 oleh Tim pendamping WBK /WBBM 2 dari Direktorat Jenderal
P2P Kementerian Kesehatan RI
Pemaparan dan arahan dari Tim pendamping WBK/WBBM
38
Pembinaan dari Tim pendamping WBK/WBBM dalam melihat kelengkapan dokumen
39
2. Sosialisasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) tanggal 9 Juni 2016 di BTKL PP
Kelas I Medan yang disampaikan oleh Tim BPKP
40
3. Sosialisasi Internal WBK/WBBM oleh pejabat structural di BTKL PP Kelas I Medan tanggal
27 Mei 2016