1
Kode 596 / Ilmu Hukum
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DOSEN MUDA
PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN
PENANGGULANNYA
TIM PENGUSUL
1. A.A NGURAH YUSA DARMADI, SH, MH
2. A.A. SAGUNG WIRATNI DARMADI, SH.,MH
3. A.A NGURAH WIRASILA, SH.,MH
4. A.A SRI INDRAWATI, SH.,MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2015
2
HALAMAN PENGESAHAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
JudulPenelitian : Badan Narkotika Nasional Dalam Pencegahan Tindak
Pidana Narkotika dan Penanggulangannya Ketua Peneliti a. Nama : A.A. Ngurah Yusa Darmadi,SH,MH b. NIP/ NIDN : 19571125 1986021001 / 0021035807 c. Pangkat/ Gol : Penata Tk I / III.d d. Jabatan Fungsional/ Struktural : Lektor e. Pengalaman Penelitian : Terlampir Dalam CV f. Program Studi/ Jurusan : IlmuHukum g. Fakultas : Hukum h. Alamat Rumah/ HP : Jl. G.Penulisan No. 5 Denpasar/ 081338669205 i. E-mail : [email protected] Jumlah Tim Peneliti : 3 Orang
Pembimbing a. Nama : Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH, MS. b. NIP/ NIDN : Pembina UtamaMuda/ IVc/ 19530914.197903.1.002 c. Pangkat/ Gol : Pembina Tingkat I d. Jabatan Fungsional/ Struktural : Terlampir dalam CV e. Pengalaman Penelitian : Ilmu Hukum f. Program Studi/ Jurusan : Hukum g. Fakultas : Hukum Jangka Waktu Penelitian : 1 Tahun Biaya Penelitian : Rp. 9.000.000,- (Sembilan Juta Rupiah)
Denpasar, 13 Oktober 2015 Mengetahui, Ketua Peneliti Ketua Bagian Dr. I.B Surya Dharma Jaya, SH, MH. A.A NgurahYusa Darmadi, SH, MH NIP. 196206051988031020 NIP. 195711251986021001
3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ……….. 2
DAFTAR ISI ……….. 3
RINGKASAN ……….. 4
BAB I PENDAHULUAN ……….. 5
1. Pendahuluan ……….. 5
2. Perumusan Masalah ……….. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 12
BAB III TUJUAN, MANFAAT dan URGENSI .............. ...27
BAB IV METODELOGI PENELITIAN ……….. 24
BAB V HASIL dan PEMBAHASAN ……….. 30
BAB VI PENUTUP ................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
4
RINGKASAN
Penelitian ini disusun dalam garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut : Adapun permasalahan yang diangkat adalah mengenai penanggulangan tindak
pidana penyalahgunaan narkotika di Kota Denpasar, yang juga mengidentifikasi hambatan serta upaya dari Badan Narkotika Kota Denpasar dalam mengatasi hambatan tersebut, serta penentuan saksi pidana atau rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap Peranan Badan Narkotika Nasional Dalam Pencegahan Tindak Pidana Narkotika dan Penanggulangannya di Kota Denpasar serta kebijakan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan pemberian sanksi pidana maupun rehabilitasi, sehingga pemerintah dan penegak hukum dapat mengambil langkah guna mengatasi kasus-kasus narkotika di Kota Denpasar
Penelitian dengan aspek empiris ini menggunakan data sekunder sebagai data awal yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan dengan data primer yang diperoleh melalui studi lapangan. Penelitian hukum dengan aspek empiris tetap bertumpu pada premis normatif dengan fokus kajiannya pada esensi hukum yang tertuang dalam bentuk norma-norma, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan ataupun ketentuan hukum lainnya yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Penelitian ini nantinya menguraikan mengenai langkah-langkah yang di ambil oleh Badan Narkotika Nasional Kota Denpasar dalam mengatasi permasalahan narkotika, serta penjatuhan sanksi pidana berupa kurungan atau rehabilitasi. Luaran dari penelitian ini adalah berupa Jurnal sehingga aparat penegak hukum semakin memahami langkah-langkah yang diambil oleh Badan Narkotika Nasional Kota Denpasar serta masyarakat dapat turut serta dalam mencegah tindak pidana narkotika.
5
PRAKATA
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah
laporan kemajuan penelitian desentralisasi dengan skim Penelitian Hibah Bersaing yang
berjudul ” Badan Narkotika Nasional Dalam Pencegahan Tindak Pidana Narkotika Dan
Penanggulangannya” dapat kami selesaikan. Kami menyadari sepanjang pelaksanaan
penelitian ini banyak pihak yang membantu pelaksanaannya. Untuk itu dalam
kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana beserta staff
2. Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi terkait
dengan materi penelitian ini
3. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.
Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu saran dan kritik bagi penyempurnaan penelitian ini sangat kami harapkan.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum
terutama terkait dengan bidang hukum.
Denpasar, 13 Oktober 2015
Tim Peneliti
6
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Permasalahan narkoba di negeri ini telah sangat meresahkan masyarakat dan
bangsa Indonesia, tidak hanya dari kalangan berada, warga miskin - menengah, pegawai
negeri atau swasta, tua - muda, bahkan anak sekolah, tidak sedikit terjebak menjadi
korban penyalahgunaan narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) mendata kasus
penyalahgunaan narkotika di Indonesia naik tajam. Korbannya mencapai lebih 5 juta
jiwa. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai sekitar 921.695 orang.
Pengguna yang meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per hari.1
Sebenarnya narkoba dibutuhkan dalam dunia kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, sehingga pengadaannya perlu dijamin dan tidak bertentangan ketentuan
undang-undang yang berlaku. Di sisi lain narkoba dapat menimbulkan bahaya apabila
disalahgunakan, narkoba dapat menyebabkan timbulnya penyakit, gangguan kesehatan
sampai dengan kematian, bahkan efek negatif lain kejahatan narkoba dapat
menimbulkan kejahatan atau prilaku kriminal lainnya seperti tindak kekerasan fisik,
kesusilaan atau kejahatan terhadap harta benda. Penyalahgunaan narkoba dapat
mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah
pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu.
Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial,
ekonomi dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan
bangsa dan negara. Penyalahgunaan narkoba oleh Pilot Lion Air dan kasus kecelakaan
maut Tugu Tani oleh pelaku Afriyani merupakan bukti nyata ancaman keselamatan
penumpang serta kerugian terhadap negara dan masyarakat.
Penyalahgunaan narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian
dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok narkoba agar
1BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam
http://www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013.
7
orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat. Terjalinnya
hubungan antara pengedar/bandar dengan korban membuat korban sulit melepaskan diri
dari pengedar/bandar, bahkan tidak jarang korban juga terlibat peredaran gelap karena
meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan mereka akan narkoba.2
Dunia internasional menggangap kejahatan narkoba telah masuk dalam
kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Penyelenggaraan konferensi tentang
narkotika/psikotropika yang pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations
Conference for the Adaption of Protocol on Psychotropic Substances mulai tanggal 11
Januari - 21 Februari 1971 di Wina, Austria telah menghasilkan Convention Psycotropic
Substances 1971.3 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention of Psychotropic
Substance 1971 berdasarkan UU No. 8 Tahun 1996. Ratifikasi terhadap konvensi
tentang substansi psikotropika tersebut memberikan konsekuensi hukum. Oleh karena
itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menanggulangi pemberantasan kejahatan
penyalahgunaan narkoba tersebut. Penyalahgunaan narkoba serta peredaran dan
perdagangan gelap dapat digolongkan ke dalam kejahatan internasional. Kejahatan
internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke
arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan
kerjasama yang bersifat regional maupun internasional.4
Indonesia kembali telah berusaha mengantisipasi dan penanggulangi masalah
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dengan meratifikasi Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika Tahun 1988 (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Subtances 1988) dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 (Covention on
Psychotropic Subtances 1971) dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997
Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan
2 Lydia Harlina Martono & Satya Joewana, 2006, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba & Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta, hal.1.
3 Siswanto Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1.
4 Ibid, hal 3.
8
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996
Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika.
Selanjutnya dikeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
dan Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-
undang yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang narkotika. Dan
disempurnakan dengan membuat aturan hukum baru yang cukup memadai dan
terakomodasi yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia
dijadikan ajang transaksi maupun sasaran peredaran gelap narkotika.
Ketentuan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2009 menyebutkan
bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan
Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN, selanjutnya pada Ayat (2)
menyebutkan BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga
pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung
jawab kepada Presiden. Sehingga BNN memegang peranan penting yang ditetapkan
oleh undang-undang dalam hal pemberantasan peredaran gelap serta pencegahan
penyalahgunaan narkoba. Pula sesuai visinya BBN menjadi lembaga yang profesional
dan mampu berperan sebagai focal point Indonesia di bidang pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor
dan bahan adiktif lainnya di Indonesia.5
Pada tahap implementasi aparat penegak hukum juga telah gencar menghentikan
laju penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba antara lain dengan melakukan razia,
ataupun penjatuhan sanksi yang berat. Dalam sistem pemidanaan di Indonesia hukuman
yang paling berat dijatuhkan adalah pidana mati namun pemberlakuannya selalu
mengundang kontroversi, beberapa pendapat menyebutkan bahwa pidana mati tidak
sesuai dengan ajaran hukum Islam, Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Selain
itu pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 28 A UUD
1945 perubahan kedua, Pasal 4 dan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang HAM No. 39
5 http://www.bnn.go.id
9
Tahun 1999 bahwa setiap orang bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan
nyawa. Timbul pertanyaan apakah dengan pemidanaan berat cukup bagi
penganggulangan penyalahgunaan narkoba?
Kasus Pilot Lion Air Syaiful Salam, yang tertangkap basah nyabu di Hotel
Golden Palace tanggal 4 Februari 2012, dalam putusannya Hakim Pengadilan Negeri
Surabaya menjatuhi sanksi penjara selama satu tahun, sebelumnya majelis hakim telah
menolak permintaan rehab dari terdakwa6. Terdakwa dianggap melanggar ketentuan
Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009, pemberian sanksi pidana penjara ini merupakan
contoh pengenaan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkoba. Selain sanksi
pidana yang dijatuhkan terhadap penyalahgunaan narkoba, ada kasus, pengguna hanya
dikenakan sanksi rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial, seperti pengguna
narkoba di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, hanya dikenakan rehabilitasi7. Hal kedua
ini sejalan dengan SEMA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban
Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi
Sosial, yang menempatkan agar hakim memberikan perintah penempatan pada lembaga
rehabilitasi sosial dan medik baik dalam bentuk penetapan ataupun putusan bagi
penyalah guna, korban penyalahgunaan dan pecandu narkoba.
Hingga terkait penyalahgunaan narkoba, dalam memutus suatu perkara otoritas
hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak
terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya
perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang
satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung
mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama.8
Dengan demikian ada kemungkinan terjadi disparitas putusan hakim dalam
kasus narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara
pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pemakai yang satu
6 Nyuciek Asih, 2012, Nyabu, Eks Pilot Lion Air Diganjar Satu Tahun,
http://www.beritajatim.com diakses 12 April 2013. 7 Lima Pengguna Narkoba Di Sumenep Jalani Rehabilitasi, http://www.ciputranews.com,
diakses 12 April 2013. 8 Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, hal.10.
10
bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi.
Diharapkan akan ada putusan–putusan Hakim yang progresif dalam menyikapi
situasi para pemakai narkotika. Hal ini tentunya akan dapat dilakukan manakala
kebijakan atas pemakai narkotika terutama mereka yang mengalami kecanduan sesuai
dengan hak atas kesehatan dan hak asasi mereka. Putusan yang progresif membutuhkan
landasan kebijakan negara yang juga progresif.
Kebijakan tersebut tentu akan muncul manakala peraturan dan penengak hukum
peka atas hak asasi manusia.Sayangnya, hingga kini, UU Narkotika dan RUU Narkotika
masih jauh dari semangat penyembuhan bagi mereka yang mengalami adiksi. Hal ini
dapat dilihat dari semangat pemidanaan yang muncul dalam Berkas Acara Pemeriksaan
(BAP) yang dibuat ditingkatan kepolisian dan kemudian dilanjutkan dengan tuntutan
para Jaksa yang sesuai dengan UU dan RUU tentang Narkotika mengkriminalkan para
pengguna.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor
798/Pid.B/2009/PN Jkt.Pst, dengan ketua H. Makmun Masduki, SH, MH menjatuhkan
vonis rehabilitasi kepada seorang pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan.
Dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan bahwa banyak narapidana
narkotika yang dari sisi kesehatan adalah orang sakit yang butuh terapi kesehatan.
Selanjutnya penjara bukanlah tempat yang tepat untuk para pecandu narkotika yang
mengalami ketergantungan. Oleh karena itu hakim memerintahkan terdakwa untuk
menjalani rehabilitasi di RSKO Cibubur terlebih dahulu.
Sedangkan khususnya di Propinsi Bali yang merupakan daerah tujuan wisata
tidak sedikit terjadi kasus penyalahgunaan narkoba. Seperti dikatakan Kepala Badan
Narkotika Provinsi Bali Gusti Ketut Budiarta dalam keteranganya di Denpasar
(7/2/2013) mengatakan tingginya angka prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali
karena daya imunitas dan kesadaran akan ancaman narkotika di Bali masih rendah
Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia menunjukkan bahwa tingkat prevalensi penyalahgunaan narkotika
di Bali mencapai 1,8 persen dari jumlah penduduk atau mencapai 50.530 orang.9
Sejak tanggal 2 Maret 2012, telah diresmikan Kantor BNN (Badan Narkita
9 Pengguna Narkotika di Bali Mencapai 50.530 Orang, http://www.beritabali.com, diakses 12
April 2013.
11
Nasional) RI Provinsi Bali, yang diresmikan oleh Gories Mere, Ketua BNN RI Pusat.
Pemelaspasan atau sejenis upacara keagamaan umat Hindu dengan tujuan
membersihkan objek upacara dalam hal ini kantor baru BNN Provinsi Bali, dipandu
langsung oleh salah satu pemuka agama, Pedanda asal Griya Yang Batu, Renon,
Denpasar. Dihadiri secara langsung Kombes Pol I Gusti Ketut Budiarta, Ketua BNN
Bali, beserta sebagian besar staf atau jajaran pegawai kantor setempat. Ditemui usai
pelaksanaan prosesi upacara, Budiartha, menuturkan harapannya dalam mengomandani
BNN RI Provinsi Bali kedepan. Kantor yang berlokasi diseputuran Jalan Kamboja,
Denpasar, diharapkan membawa dampak baik terhadap institusi dalam menjalankan
tugas dan kewajiban. Minimal mampu menekan peningkatan kasus yang terjadi di Bali,
prediksi sekitar 15 % lebih meningkat dari tahun sebelumnya.10
Bahkan BNN telah berencana membangun pusat rehabilitasi di Bali untuk
merehabilitasi pencandu narkotika. Rencana BNN itu mendapat dukungan dari
Gubernur Bali. Kepala BNN Provinsi Bali Gusti Ketut Budiartha mengatakan, pihaknya
sudah menemui Gubernur Bali untuk menyampaikan rencana pembangunan pusat
rehabilitasi BNN di Bali. "Gubernur mendukung sebab pada prinsipnya pusat
rehabilitasi itu untuk kepentingan masyarakat Bali," Direncanakan dibangun di Bangli.
Pusat rehabilitasi BNN itu akan memakai lahan milik pemerintah seluas dua hektar, dan
diperkirakan dapat menampung 300 orang.11
Pada akhirnya penyalahgunaan narkoba pastinya sangat merusak generasi muda secara
umum di negeri kita ini. Berdasarkan pemahaman diatas antara lain maraknya kasus
penyalahgunaan narkoba serta adanya disparitas terhadap sanksi yang dijatuhkan,
dengan penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana penanggulangan
penyalahgunaan Norkoba khususnya di Provinsi Bali. Dan diharapkan kedepannya
dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia akademisi maupun praktik
pemidanaan terhadap pelaku penyalah guna narkoba di indonesia dan khususnya di Bali.
10 Roelly Rosuli, 2012, Kantor Baru BNN Bali Dipelaspas,
http://balinasionalnews.blogspot.com, diakses 11 April 2013. 11 Cokorda Yudhistira, 2013, BNN Bangun Pusat Rehabilitasi di Bali,
http://nasional.kompas.com, diakses 11 April 2013.
12
2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Kota
Denpasar?
2. Hambatan-hambatan apa yang di hadapi serta upaya BNN di wilayah Kota
Denpasar dalam mengatasi kasus penyalahgunaan narkotika?
3. Bagaimana penentuan sanksi pidana atau rehabilitasi terhadap pelaku
penyalahgunaan narkotika?
13
BAB : II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tugas BNN Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika
Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang
canggih, aparat penegak hukum di harapkan mampu mencegah dan menanggulangi
kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di
Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.
Pencegahan dan Pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dilakukan dengan membangun upaya pencegahan yang berbasis masyarakat,
termasuk didalamnya melalui jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah dengan
menggugah dan mendorong kesadaran masyarakat, kepedulian san peran serta aktif
masyarakat.
Pemerintah juga mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral
dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.
Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan ini mempunyai tugas melakukan
koordiansi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika.
Di dalam penjelasan Keputusan Presiden no 17 Tahun 2002 dinyataka bahwa
Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam kegiatan Pencegahan, Pemberantasan,
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika melaksanakan beberapa peran yaitu
sebagai berikut :
a. Bidang Pencegahan, dengan memberikan pembinaan kepada
masyarakat tentang bahaya narkotika, mendorong dan menggugah
kesadaran masyarakat untuk tidak mengkonsumsi narkotika, serta
membangktikan peran aktif serta kepedulian masyarakat untuk
memerangi narkotika.
b. Bidang Rehabilitasi, dilakukan dengan cara medis dan sprtitual dalam
mengobati orang yang telah mengkonsumsi narkotika yang bertujuan
14
untuk menyembuhkan dan memulihkan kesehatan fisik dan mental jiwa
dri pda pemakai narkotika. Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika
dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri
Sosial.
c. Bidang Penegakan Hukum, menggelar operasi rutin dengan target
daerah merah (kawasan jual-beli) untuk dijadikan kawasan hijau
(wilayah bebas narkoba). Hal ini merupakan langkah untuk
meminimalkan atau membendung penyalahgunaan narkoba yang tidak
mengenal waktu, lokasi dan korbannya.
Pada masa ini merupakan perkembangan ketiga dari BNN, akan tetapi badan
narkotika nasional pada masa itu dianggap kurang begitu efektif dikarenakan lembaga
tersebut hanya bersifat koordinatif dan administratif.
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta
dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika. Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila
mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
B. Peranan BNN dalam Pencegahan Tindak Pidana Narkotika
Peran Badan Narkotika Nasional jika dikaitkan dengan pencegahan tindak
pidana narkotika adalah suatu realitas yang tidak mungkin dilepaskan, sesuai dengan
Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional,
Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut
:
a) Melakukan pengkoordinasian dengan instansi pemerintah terkait dalam
penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang
ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif
lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN. Pengkoordinasian ini
meliputi berbagai hal yaitu :
1) Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan
penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN.
15
2) Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan
kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN serta pemecahan
permasalahan dalam pelaksanaan tugas.
3) Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan
pengadaan, pengendalian, dan pengawasan di bidang narkotika
psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya.
4) Pengoordinasian BNP dan BNK/Kota berkaitan dengan
pelaksanaan kebijakan di bidang P4GN
5) Pengoordinasian antara instansi pemerintah terkait maupun
komponen masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan
penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan
bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika
serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau
dan alkohol di tingkat pusat dan daerah;
6) Pengoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika
serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau
dan alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat;
b) Membentuk satuan satgas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah
terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.
c) Menyusun perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,
psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan
adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan
P4GN;
d) Menyusun dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan
masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama di bidang
P4GN;
e) Melaksanakan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal
di lingkungan BNN;
16
f) Menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan
BNN;
g) Melaksanakan fasilitasi dan pengoordinasian wadah peran serta
masyarakat;
h) Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
i) Melakukan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang
narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;
j) Peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau
pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik
atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya;
k) Melaksanakan kerja sama nasional, regional, dan internasional di bidang
P4GN;
l) Melakukan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di
lingkungan BNN;
Kemudian di dalam Bab II, Pasal 15 tentang peranan Badan Narkotika Propinsi
dalam bidang pencegahan tindak pidana narkotika, adalah sebagai berikut :
a. Melakukan pengkoordinasian antara perangkat daerah dan instansi
pemerintah di provinsi dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan
kebijakan operasional BNN di bidang ketersediaan dan P4GN.
b. Membentuk satuan satgas sesuai kebijakan operasional BNN yang terdiri
dari atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di provinsi
sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.
Selanjutnya peranan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota di dalam
bidang pencegahan tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut :
a. Melakukan pengkoordinasian antara petangkat daerah dan instansi
pemerintah di Kabupaten/Kota, dalam penyiapan dan penyusunan
kebijakan pelaksanaan operasional di bidang P4GN
b. Melakukan pengoperasian satgas yang terdiri dari atas unsur perangkat
daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota di bidang P4GN
17
sesuai dengan bidang tugas, dan fungsi dan kewenangannya masing-
masing
c. Pelaksanaan pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotropika,
prekursor dan bahan adiktif lainnya melalui satuan tugas di lingkungan
Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan operasional BNN
d. Pembangunan dan pengembangan sistem informasi sesuai dengan
kebijakan operasional BNN
Seiring dengan perkembangannya, pemerintah telah memberlakukan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam Undang-Undang ini
disebutkan bahwa setiap pengguna narkoba yang setelah vonis pengadilan terbukti tidak
mengedarkan atau memproduksi narkotika, dalam hal ini mereka hanya sebatas
pengguna saja, maka mereka berhak mengajukan untuk mendapatkan pelayanan
rehabilitasi. Melihat hal tersebut, Undang-Undang ini memberikan kesempatan bagi
para pecandu yang sudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika agar dapat
terbebas dari kondisi tersebut dan dapat kembali melanjutkan hidupnya secara sehat dan
normal.
Badan Narkotika Nasional mempunyai tugas membantu Presiden dalam
mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan
pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan,
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor
dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN. Melaksanakan P4GN
dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah terkait
sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing masing di bidang Pencegahan,
Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika pencegahan yang
ditempuh oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebagai berikut :
Pencegahan Primer, ditujukan pada anak-anak dan generasi muda yang belum
pernah menyalahgunakan narkoba. Semua sektor masyarakat yang berpotensi
membantu generasi muda untuk tidak menyalahgunakan narkoba Kegiatan pencegahan
primer terutama dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan pendidikan12
Strategi pencegahan primer bertujuan untuk mencegah pergeseran populasi yang
12 http://www.beritaindonesia.co.id/nasional/narkoba-menyebar-ke-penjuru-negeri, Jan 6, 2013
at 22:40 pm
18
awalnya pengguna tak berkala menjadi pengguna rutin yang seharusnya masuk dalam
informasi kategori frekuensi penggunaan narkoba, jumlah narkoba yang digunakan serta
faktor-faktor yang berhubungan dalam proses transisi pecandu narkoba berat 13
Pencegahan Sekunder adalah pencegahan yang ditujukan pada anak-anak atau
generasi muda yang sudah mulai mencoba-coba menyalahgunakan narkoba. Sektor-
sektor masyarakat yang dapat membantu anak-anak, generasi muda berhenti
menyalahgunakan narkoba. Kegiatan pencegahan sekunder menitikberatkan pada
kegiatan deteksi secara dini terhadap anak yang menyalahgunakan narkoba, konseling
perorangan dan keluarga pengguna, bimbingan sosial melalui kunjungan rumah.
Pencegahan Tertier ditujukan pada korban Narkoba atau bekas korban
narkoba. Sektor-sektor masyarakat yang bisa membantu bekas korban Narkoba untuk
tidak menggunakan Narkoba lagi. Kegiatan pencegahan tertier dilaksanakan dalam
bentuk bimbingan sosial dan konseling terhadap yang bersangkutan dan keluarga serta
kelompok sebayanya, penciptaan lingkungan sosial dan pengawasan sosial yang
menguntungkan bekas korban untuk mantapnya kesembuhan, pengembangan minat,
bakat dan keterampilan kerja, pembinaan org tua, keluarga, teman dmn korban tinggal,
agar siap menerima bekas korban dgn baik jgn sampai bekas korban kembali
menyalahgunakan Narkotika.
Kuratif disebut juga program pengobatan. Program kuratif ditujukan kepada
pemakai narkoba. Tujuannya adalah mengobati ketergantungan dan menyembuhkan
penyakit sebagai akibat dari pemakaian narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian
narkoba. Tidak sembarang orang boleh mengobati pemakai narkoba. Pemakaian
narkoba sering diikuti oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan
mental dan moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari
narkoba secara khusus. Pengobatan terhadap pemakai narkoba sangat rumit dan
membutuhkan kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga, dan penderita. Inilah sebabnya
mengapa pengobatan pemakai narkoba memerlukan biaya besar tetapi hasilnya banyak
yang gagal.
Kunci sukses pengobatan adalah kerjasama yang baik antara dokter, keluarga dan
penderita. Rehabilitasi adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan
13 http://www. cribd.com/doc/43029701/Untitled , Mart 7, 2013 at 10.48 am
19
kepada pemakai narkoba yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya agar ia tidak
memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian
narkoba. Seperti kerusakan fisik (syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru, ginjal, dati dan
lain-lain), kerusakan mental, perubahan karakter ke arah negatif, asocial dan penyakit-
penyakit ikutan (HIV/AIDS, hepatitis, sifili dan lain-lain). Itulah sebabnya mengapa
pengobatan narkoba tanpa upaya pemulihan (rehabilitasi) tidak bermanfaat. Setelah
sembuh, masih banyak masalah lain yang akan timbul. Semua dampak negatif tersebut
sangat sulit diatasi. Karenanya, banyak pemakai narkoba yang ketika ”sudah sadar”
malah mengalami putus asa, kemudian bunuh diri.
Program represif adalah program penindakan terhadap produsen, bandar,
pengedar dan pemakai berdasar hukum. Program ini merupakan instansi pemerintah
yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan produksi maupun distribusi semua
zat yang tergolong narkoba.Selain mengendalikan produksi dan distribusi, program
represif berupa penindakan juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar undang-
undang tentang narkoba. Instansi yang bertanggung jawab terhadap distribusi, produksi,
penyimpanan, dan penyalahgunaan narkoba adalah : Badan Obat dan Makanan (POM),
Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal
Imigrasi, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung/ Kejaksaan Tinggi/
Kejaksaan Negeri, Mahkamah Agung (Pengadilan Tinggi/ Pengadilan Negeri).
Upaya pencegahan di bidang Penegakan Hukum adalah upaya terpadu dalam
pemberantasan narkoba secara kompherehensif, organisasi kejahatan narkoba dengan
menerapkan undang–undang dan peraturan–peraturan secara tegas , konsisten dan
dilakukan dengan sungguh–sungguh, serta adanya kerjasama anatar instansi dan
kerjasama internasional yang saling menguntungkan. Strategi yang dilakukan dalam
pengakan hukum dimaksudkan untuk :
a. Mengungkap dan memutus jaringan sindikat perdagangan dan peredaran
gelap narkoba, baik nasional maupun internasional.
b. Melakukan proses penanganan perkara sejak penyidikan sampai lembaga
pemasyarakatan secara konsisten dan sungguh – sungguh.
c. Mengungkapkan motivasi/latar belakang dari kejahatan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkoba.
20
d. Pemusnahan barang bukti narkoba yang berhasil disita, khususnya
terhadap narkotika dan psikotropika golongan I.
e. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap ketersediaan dan
peredaran prekursor serta penyitaan terhadap asset milik pelaku
kejahatan perdagangan dan peredarn gelap narkoba
Untuk memperlancar pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNN,
yang diketuai oleh Kepala Kepolisian Negara Repbulik Indonesia, dibentuklah
Pelaksana Harian BNN, yang selanjutnya disebut sebagai Lakhar BNN yang berada
dibawah dan bertanggung jawab kepada Ketua BNN. Lakhar BNN dipimpin oleh
Kepala Pelaksana Harian yang selanjutnya disebut Kalakhar BNN. Lakhar BNN
mempunyai tugas memberikan dukungan teknis dan administratif kepada BNN di
bidang ketersediaan dan P4GN. Lakhar BNN terdiri atas sekretariat, inspektorat, pusat
dan satuan tugas.
BNN dalam operasionalnya ditingkat provinsi dilaksanakan oleh Badan
Narkotika Provinsi (BNP) dan pada tingkat kabupaten Kota oleh Badan narkotika
Kabupaten/Kota (BNK). Sampai saat ini telah terbentuk 31 BNP dari 33 provinsi dan
baru terbentuk 270 BNK dari 460 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia.14
Badan Narkotika Kabupaten/Kota juga mempunyai peran yang sama dengan
Badan Narkotika Nasional dan Badan Narkotika Propinsi yaitu mengkoordinasikan
perangkat daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan
tugas, setiap pempinan satuan organisasi di lingkungan Lakhar BNN, Lakhar BNP,
Lakhar BNK/Kota wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap satuan
organisasi di bawahnya.
Ketua BNN wajib melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan
fungsi BNN kepada Presiden secara berkala atau sewaktu – waktu jika dipandang perlu.
Ketua BNP melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNP
kepada Gubernur secara berkala atau sewaktu – waktunya jika dipandang perlu dan
tembusannya disampaikan kepada BNN. Ketua BNK/Kota melaporkan pelaksanaan dan
penyelenggaraan tugas dan fungsi BNK/Kota kepada Bupati/Walikota secara berkala
atau sewaktu – waktu jika dipandang perlu dan tembusannya disampaikan kepada BNN
14 Pedoman P4GN ( Handbook Badan Narkotika Nasional , 2007) , hlm:70-73
21
dan BNP. Dalam melaksanakan tugas BNN,BNP,BNK/Kota dapat mengikutsertakan
peran masyarakat.
Program kegiatan upaya Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkotika atau P4GN terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan
oleh Badan Narkotika Nasional didasari oleh kebijakan dan strategi nasional.15
Strategi Nasional P4GN berupa : Peningkatan kampanye anti Narkotika di
lingkungan kerja, sekolah dan keluarga, untuk mengurangi tingkat prevalensi
penyalahguna Narkotika yang saat ini berjumlah 1,99 % dari total populasi penduduk
indonesia. Mengupayakan agar korban yang sembuh meningkat dan korban yang
relapse berkurang. Pengungkapan jaringan sindikat meningkat.
Adapun Kebijakan nasional P4GN yaitu menjadikan masyarakat imun terhadap
penyalahgunaan Narkotika, menyembuhkan korban penyalahguna Narkotika melalui
proram terapi dan rehabilitasi dan terus menerus memberantas jaringan sindikat
Narkotika.
Pelaksanaan program kegiatan yang difokuskan pada dua bidang, yaitu :
a. Supply Reduction (pemberantasan jaringan sindikat Narkotika), BNN melalui
satgas-satgas di bidang penegakan hukum telah dilakukan berbagai langkah dan
upaya untuk menghentikan serta memutus mata rantai jaringan dan pasokan
Narkotika di pasaran, melalui upaya-upaya antara lain :
a) Pengawasan terhadap peredaran Narkotika, khususnya prekursor yang
merupakan bahan utama pembuat Narkotika, dengan cara memonitor
para importir atau distributor bahan prekursor.
b) Latihan operasi maritim bersama -- interdiksi antara BNN dengan TNI
Angkatan Laut yang merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota
kesepahaman beberapa waktu lalu.
c) Sosialisasi dan pengawasan prekursor untuk para penegak hukum di 11
propinsi. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan para petugas di lapangan mengenai mekanisme dan proses
pengawasan prekursor.
15http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=PressRelease&op=detail_press_relea
se&id=68&mn=2&smn=e, Jakarta, 31 Peb 2013
22
d) Peningkatan kemampuan aparat penegak hukum di bidang penyelidikan
tindak pidana Narkotika melalui pelatihan controlled delivery dan
computer based training.
b. Primary Demand Reduction (aktualisasi partisipasi masyarakat). Guna
mendorong partisipasi masyarakat dalam menekan penyalahgunaan Narkotika,
juga telah dilaksanakan berbagai kegiatan preventif. Penyuluhan dan penerangan
tentang bahaya penyalahgunaan Narkotika di 33 propinsi kepada berbagai
lapisan masyarakat, seperti lingkungan pendidikan, tokoh agama, tokoh
masyarakat, instansi pemerintah dan swasta, para ibu, mahasiswa, pelajar, LSM,
dan pemuda. Selain itu juga dilaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat yang
melibatkan 3.220 orang yang berasal dari lingkungan pendidikan, tenaga kerja,
media massa, dan penyandang cacat.
c. Demand Reduction (penyembuhan penyalahguna Narkotika),
diimplementasikan dalam kegiatan terapi dan rehabilitasi korban
penyalahgunaan Narkotika. Kemudian melaksanakan kegiatan - kegiatan lain di
bidang terapi rehabilitasi yaitu :
a) Family support group, untuk memberikan pemahaman dan keterampilan
praktis bagi orang tua dan keluarga dalam mendukung kesembuhan para
pecandu.
b) Recovery dari segi sosial bagi para pecandu, Narkotika melalui kegiatan
bermusik dan olahraga sepakbola.
c) Pengembangan sistem dan metode dengan memberikan akses kunjungan
untuk keperluan penelitian, studi banding ataupun konsultasi seputar
upaya penanggulangan korban Narkotika.
Analisis mengenai penanggulangan penyalahgunaan narkotika sesuai Undang–
undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika berdasarkan pada teori kebijakan. Teori
efektivitas hukum, teori kepatuhan dan ketaatan hukum serta teori sistem hukum
digunakan untuk menganalisis hambatan-hambatan dalam menanggulangi dan
memberantas tindak pidana narkotika.
23
Tindak pidana narkotika begitu membahayakan kelangsungan generasi muda,
oleh sebab itu tindak pidana ini perlu ditanggulangi dan diberantas. Marjono
Reksodiputro merumuskan penanggulangan sebagai untuk mengendalikan kejahatan
agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa:
Kebijakan penanggulangan dalam hukum pidana pada hakikatnya merupakan
bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Kebijakan
penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana merupakan bagian
integral dari kebijakan perlindungan masyarakat serta merupakan bagian integral dari
politik sosial. Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat.16
Pemberantasan tindak pidana narkotika merupakan usaha-usaha yang dilakukan
penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, serta
konsekuensi yuridis terhadap pelanggaran Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika. Pemberantasan tindak pidana narkotika dihubung dengan fakta–fakta
sosial. Pound sangat menekankan efektif bekerjanya dan untuk itu ia sangat
mementingkan beroperasinya hukum di dalam masyarakat. Oleh karena itu Pound
membedakan pengertian Law in hook’s di satu pihak dan law in action di pihak lain.
Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum. Ajaran itu menonjolkan
masalah apakah hukum yang diterapkan sesuai dengan pola -pola prikelakuan.
Pada dasarnya, pemerintah telah berupaya keras untuk mengatasi masalah
pecandu yang masih minim direhabilitasi. Turunnya Peraturan Pemerintah (PP) No.25
Tahun 2011 Tentang Wajib Lapor Bagi Penyalahguna Narkoba, merupakan wujud
komitmen negara untuk mengakomodir hak pecandu dalam mendapatkan layanan terapi
dan rehabililtasi termasuk didalamnya dapat diketahui kepribadiannya dengan
pemeriksaan MMPI yang dapat menetapkan kepribadian yang akan terganggu fungsi
berpikirnya, perilaku dan emosi.
Masih dalam konteks penanganan penyalahguna narkoba, BNN segera
membentuk tim persiapan pelaksanaan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI)
16 Arief Amrullah, 2010, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia, Jakarta, hal. 22.
24
tanggal 26 Juni 2012 yang untuk tahun ini akan diselenggarakan di Sulawesi Selatan.
Menjelang HANI 2012 tersebut, BNN dengan terobosan baru dalam bidang terapi
rehabilitasi, yaitu dengan mulai memfokuskan pada program Pasca Rehabilitasi untuk
pemulihan pecandu berbasis konservasi alam di bidang Kehutanan dan Pertanian di
Tambling Lampung juga di Bengo Bengo Sulawesi Selatan; sedangkan untuk yang
berbasis konservasi alam di bidang Kelautan dan Perikanan di Pulau Sebaru DKI
Jakarta dan Wakatobi Sulawesi Tenggara. Konsep pemulihan para pecandu dengan
metode ini, mulai digerakkan sejak akhir tahun 2011 lalu
Selain itu, BNN juga telah membentuk banyak kader anti narkoba di berbagai
provinsi, yang diharapkan bisa menjadi corong untuk menyampaikan pesan-pesan
bahaya penyalahgunaan narkoba pada orang lain di sekitarnya. Mengatasi masalah
narkoba,memang bukan persoalan gampang, tapi dengan sinergi yang kuat di antara
elemen masyarakat dan juga pemerintah serta dukungan dari seluruh komponen bangsa,
maka wacana Menuju Indonesia Negeri Bebas Narkoba 2015, akan menjadi nyata.
25
BAB : III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
TUJUAN PENELITIAN
a) Untuk mengetahui bagaimanakah langkah-langkah yang dilakukan oleh para
penegak hukum yang terkait
b) Untuk melihat hambatan-hambatan apa yang di hadapi para penegak hukum dan
BNN serta bagaimanakah upaya BNN mengahatasi kasus-kasus narkotika yang
terjadi di Kota Denpasar
c) Untuk melihat cara pengambilan keputusan dalam pemberian saksi pidana
maupun rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika
3. URGENSI KEGIATAN
1. Untuk mengupayakan langkah-langkah yang lebih efektif bagi penanggulangan
bahaya narkotika
2. Untuk meminimalisasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam penanggulangan
narkotika baik oleh penegak hukum maupun BNN
3. Untuk meningkatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pelaku dan
pengguna narkotika dalam pemberian saksi pidana maupun rehabilitasi.
26
BAB : IV
METODE PENELITIAN
1. Konsep, Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan.
A. Konsep Penelitian
Konsep hukum yang dikedepankan adalah konsep hukum yang berkeadilan
holistik bagi masyarakat, serta berkeadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pengguna
(end user) dalam dimensi fair used. Konsep keadilan holistik dalam penelitian ini
adalah keadilan yang berbasis masyarakat secara keseluruhan dan keadilan dalam
konteks deep ecology.
B. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum dalam ranah Socio Legal. Penelitian
ini mengkaji hukum Undang-Undang sebagaimana oleh berbagai faktor sosial yang
melahirkan aliran-aliran baru yang amat kritis pada pengkajian hukum yang yang
beraliran legisme murni. Milovanovic dan pengikutnya juga menyebutnya sebagai
kajian dalam ranah the sociological jurisprudence, the functional jurisprudence, dan the
critical legal studies.17
Penelitian dengan aspek empiris ini menggunakan data sekunder sebagai data
awal yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan dengan data primer yang diperoleh
melalui studi lapangan. Penelitian hukum dengan aspek empiris tetap bertumpu pada
premis normatif dengan fokus kajiannya pada esensi hukum yang tertuang dalam bentuk
norma-norma, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan ataupun ketentuan
hukum lainnya yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Morris L.Chohen dan Kent C. Olson mengemukakan legal research is an essential
component of legal practice. It is the process offending the law that governs an activity
and materials that explain or analyze that law.18
17 Soetandyo Wignjosoebroto,2008, Bahan Bacaan Penulisan Disertasi (Selanjutnya disebut
Soetandyo Wignjosoebroto III), UNDIP Semarang. 18 Morris L. Cohen, Kent C. Olson, 2000, Legai Research, West Group,USA, p.. 1
27
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif naturalistik. Melalui penggunaan
metode kualitatif ini diharapkan dapat ditemukan makna-makna yang tersembunyi di
balik objek maupun subjek yang akan diteliti. Sebagaimana suatu penelitian naturalistik,
maka penelitian inipun berpedoman pada kreteria sebagai berikut : sumber data adalah
situasi yang wajar (natural setting), peneliti sebagai instrumen penelitian, sangat
deskriftif, mementingkan proses maupun produk, mencari makna, mengutamakan data
langsung, triangulasi, menonjolkan rincian kontekstual, subjek yang diteliti dipandang
berkedudukan sama dengan peneliti, mengutamakan perspektif emic, verifikasi,
sampling yang purposif, serta mengadakan analisis sejak awal. 19
C. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini : Conceptual approach, Statute
approach, serta comparative approach. Teori yang digunakan untuk menganalisis
permasalahan adalah : Legal System Theory dari W. Friedman, Natural Rights Theory
dari John Locke, serta Social Planning Theory dari William Fisher.
2. Data dan Sumber Data
Data yang diteliti dalam penelitian ini adalah Data Primer dan Data Sekunder.
Data Primer adalah data yang sumbernya langsung dari pihak- pihak yang terlibat dalam
objek penelitian atau dengan kata lain data yang diperoleh dari penelitian lapangan.
Sedangkan Data Sekunder adalah terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum; b. Bahan Hukum
Sekunder yang bersumber dari buku-buku dan tulisan- tulisan hukum dan textbooks;20 c.
Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder.
Selain meneliti Bahan Hukum Primer, juga diteliti Bahan Hukum Sekunder yang
terdiri dari Case Law dari Jurnal Hukum baik Digital Journal maupun konvensional
Jurnal Hukum maupun Buku-Buku Literatur. Mengingat kegiatan penelitian ini juga
dilanjutkan dengan kegiatan pengkajian, pendokumentasian, pendaftaran dan
19 S. Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal.9-12. 20 Ibid.
28
pembublikasian, maka amat penting untuk mengumpulkan data yang bersumber dari
data sekunder dalam bentuk Buku-Buku atau tulisan dalam format lainnya yang telah
memuat berbagai informasi tentang permasalahan yang di kaji.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan Data Sekunder dilakukan dengan cara
Studi Kepustakaan (studi dokumen) serta studi perbandingan yaitu serangkaian usaha
untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklasifikasikan,
mengidentifikasikan, memotret dan melakukan scanning atas dokumen-dokumen
kemudian dilakukan pemahaman serta pengkajian terhadap data yang diperoleh. Hasil
dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dianalisis secara sistematis sebagai intisari
hasil pengkajian studi dokumen yang nantinya akan dideskripsikan serta di-input.
Teknik pengumpulan Data Primer, dilakukan melalui studi lapangan yaitu suatu
cara untuk memperoleh data dengan cara terjun langsung ke lapangan melakukan
wawancara (interview), dengan menggunakan pedoman wawancara, untuk mendapatkan
data kualitatif. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, pedoman wawancara, alat
perekam dan kamera, serta video. Sumber informasi berasal dari informan kunci
dengan menggunakan teknik snow bowling. Selain itu dalam penelitian ini juga
digunakan teknik penyebaran kwesioner pada responden untuk memperoleh data
sekunder guna menunjang data kualitatif. Instrumen penelitian adalah tenaga lapangan,
kwesioner, kamera, serta video
.
4. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini akan mengambil lokasi: BNN di wilayah Kota Denpasar,
BNN Provinsi Bali, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, LSM yang
berkaitan dengan permasalahan, LAPAS, BAPPAS.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Sebagai komponen-komponen analisis data digunakan model interaktif yang
dikembangkan oleh Milles Huberman. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan model analisis mengalir (flow model of analysis).21
29
Secara lebih rinci data yang diperoleh dari penelitian, baik yang bersumber dari
data primer maupun dari data sekunder akan diolah dan dianalisis secara kritis analitis
dan disajikan secara deskriptif analitis. Tahap analisis data merupakan satu tahapan
yang penting dalam suatu proses penelitian.
6. Teknik Pengecekan Validitas Data
Uji validitas digunakan untuk mengetahui apakah setiap pertanyaan dalam
variabel dapat dimengerti oleh responden maupun informan sehingga dapat memberikan
jawaban yang tepat. Suatu instrumen dalam penelitian dikatakan valid apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan untuk diukur, dan dapat mengungkapkan data dari
variabel-variabel yang diteliti secara tetap. Dalam pengecekan terhadap validitas data
dalam penelitian kualitatif dapat digunakan triangulasi data, yakni tehnik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding data itu.
Penelitian ini menggunakan tehnik pengecekan keabsahan ketekunan
pengamatan dan triangulasi. Melalui tehnik pengecekan ketekunan pengamatan akan
dapat diketahui unsur-unsur yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
Sementara itu dengan tehnik triangulasi sumber dapat diperbandingkan perbedaan dan
persamaan situasi sumber saat penyampaian data dan kesesuaiannya dengan dokumen –
dokumen dalam format data sekunder yang menjadi data penelitian. Triangulasi metode
digunakan untuk mengecek validitas data yang diperoleh melalui observasi, wawancara
mendalam serta data yang diperoleh melalui penyebaran kwesioner pada pengumpulan
data primer.
21 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press,
Jakarta, hal 19-20.
30
BAB : V
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda, yaitu strafbaarfeit.22 Kata strafbaarfeit terdiri dari feit yang dalam
bahasa belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de
werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara
harafiah perkataan strafbaarfeit diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum.”23
Seorang ahli hukum pidana, yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa
pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana
adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.”24
Wiryono Prodjodikoro memberi pandangan mengenai tindak pidana atau
dalam Bahasa Belanda strafbaarfeit yang menyatakan bahwa:
Tindak pidana atau strafbaarfeit yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam straafwetbook atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict atau tindak pidana yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.25
22
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 67.
23
P. A. F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 172.
24Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 54.
25
Wiryono Prodjodikoro, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, P.T. ERESCO, Jakarta, h. 50.
31
Seorang ahli hukum, yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
1. Diancam dengan pidana oleh hukum.
2. Bertentangan dengan hukum.
3. Dilakukan oleh orang yang bersalah.
4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.26
Unsur-unsur tindak pidana dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Unsur obyektif terdapat di luar pelaku yang berupa perbuatan yang dilarang
dan diancam undang-undang, akibat, serta keadaan yang dilarang.
2. Unsur subyektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri pelaku yang
berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan dan kesalahan.27
Adapun pengertian dari narkotika itu sendiri, Sudarto mengatakan bahwa:
“Kata narkotika berasal dari perkataan Yunani“Narke” , yang berarti terbius
sehingga tidak merasa apa-apa.”28 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengertian narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
26Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 88.
27P. A. F Lamintang dan Djisman Samosir, 1981, Tindak Pidana-Tindak Pidana Khusus Kejahatan
Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul dari Hak Milik, Tarsito, Bandung, h.
25.
28
Taufik Makarao, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 17.
32
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, jenis-jenis narkotika dibagi menjadi 3 (tiga) golongan. Setiap
golongan narkotika memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu:
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : heroin, kokain, ganja.
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan,
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Contoh : morfin, petidin.
3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: codein.
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika termasuk kualifikasi tindak
pidana khusus karena tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak menggunakan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai dasar pengaturannya, akan tetapi
menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kelompok
kejahatan di bidang narkotika terdiri atas: kejahatan yang menyangkut produksi
narkotika, kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika, kejahatan yang
menyangkut pengangkutan dan transito narkotika, kejahatan yang menyangkut
penguasaan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika,
33
kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika, kejahatan yang
menyangkut label dan publikasi narkotika, kejahatan yang menyangkut jalannya
peradilan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan
narkotika, kejahatan yang menyangkut keterangan palsu, dan kejahatan yang
menyangkut penyimpangan fungsi lembaga.29
Sanksi pidana maupun denda terhadap orang yang menyalahgunakan
narkotika terdapat dalam ketentuan pidana pada Bab XV mulai dari Pasal 111
sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Ketentuan mengenai sanksi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika sangat besar. Sanksi pidana paling sedikit 1 (satu) tahun
penjara sampai 20 (dua puluh) tahun penjara bahkan pidana mati. Denda yang
dicantumkan dalam Undang-Undang Narkotika tersebut berkisar antara
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah). Secara filosofis pembentukan Undang-Undang Narkotika
dengan mencantumkan sanksi yang besar dan tinggi dalam ketentuan pidana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah menunjukkan
bahwa terdapat suatu makna untuk melindungi korban dari kejahatan
penyalahgunaan narkotika. Dengan demikian, korban yang pernah dipidana akan
menjadi takut untuk mengulangi kejahatannya lagi.
2.2 Penegakan Hukum Pidana
Jimly Asshiddiqie menulis dalam makalahnya, penegakan hukum adalah
proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
29
Gatot Supramono, 2002, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 200.
34
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.30
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial, dan keadilan menjadi
kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari
penegakan hukum. Penegakan hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan
hukum oleh petugas penegak hukum dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum
yang berlaku.31
Penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan
mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum
pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut
oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan
melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan
nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.32
Dalam menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang
dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk
mencapai tujuan tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang
tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan
pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah:
1. Tahap Formulasi Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan
30Jimly Asshiddiqie, “Makalah Penegakan Hukum”, available from: URL: http://www.jimly.com diakses tanggal 10 Oktober 2014.
31Satjipto Raharjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Cetakan Terakhir, Angkasa, Bandung, h. 15.
32Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 60.
35
keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif.
2. Tahap Aplikasi Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan- peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang- undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.
3. Tahap Eksekusi Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian, proses pelaksanaan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang daya guna.33
Sementara itu, proses penegakan hukum dalam pandangan Soerjono
Soekanto dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor, yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu berupa undang-undang. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.34
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum.
33
Sudarto. 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 25-26.
34Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali,
Jakarta, h. 4-5.
36
2.3 Korban Penyalahgunaan Narkotika
Secara umum yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.35 Menurut Black’s Law
Dictionary, victims adalah The person who is the object of a crime or tort, as the
victim of robbery is the person robbed.36
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika dapat
diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang tidak sebagaimana mestinya
(menyimpang atau bertentangan dengan yang seharusnya) yang mempergunakan
narkotika secara berlebihan (overdosis) sehingga membahayakan diri sendiri,
baik secara fisik maupun psikis.37
Pengertian korban penyalahgunaan narkotika menurut Penjelasan Pasal 54
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa
korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja
35
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 6.
36Henry Campbell Black, 1979, Black’s Law Dictionary, West Publishing Company, St. Paul Minn.
37A. W. Widjaya,1985, Masalah kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Amirco, Bandung, h. 13.
37
menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau
diancam untuk menggunakan narkotika.
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya
kejahatan, Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:
1. Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal atau menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan;
2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;
3. Propocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan;
4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban;
5. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.38
Apabila ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka
Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu:
1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya ada di pihak korban.
2. Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4. Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak berdaya.
5. Socially weak adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang
38Lilik Mulyadi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan,
Denpasar, h. 124.
38
lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6. Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7. Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.39
Selain dari prespektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai
suatu perbandingan perlu pula dikemukakan beberapa tipologi yang
dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang sebagai berikut:
1. Primary victimization adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok);
2. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya badan hukum;
3. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas; 4. Mutual victimization, yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri,
misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika; 5. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada
korbanmelainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.40
Berdasarkan tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan,
korban penyalahgunaan narkotika termasuk dalam tipologi false victims, yaitu
pelaku yang menjadi korban karena dirinya sendiri. Merujuk perspektif
tanggung jawab korban, Stephen Schafer menyatakan adanya self victimizing
victims, yakni pelaku yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya
sendiri. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban
sekaligus sebagai pelaku kejahatan. Sedangkan menurut Sellin dan Wolfgang
korban penyalahgunaan narkotika merupakan mutual victimization, yaitu pelaku
39Ibid, h. 123.
40Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom II), h. 49.
39
yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri. Seperti halnya pelacuran, dan
perzinahan.
Selain itu, penyalah guna narkotika juga dapat dikategorikan sebagai
kejahatan tanpa korban (crime without victim). Pengertian kejahatan tanpa korban
berarti kejahatan ini tidak menimbulkan korban sama sekali akan tetapi si pelaku
sebagai korban. Sementara dalam kategori kejahatan, suatu perbuatan jahat haruslah
menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain (an act must take place that
involves harm inflicted on someone by the actor). Artinya, apabila hanya diri sendiri
yang menjadi korban, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan.41
3.1 Pengguna Narkotika Berdasarkan Perundang-Undangan
Jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, hakikatnya pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan zat
atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Narkotika.
Pengguna narkotika dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna
narkotika terhadap orang lain (Pasal 116, Pasal 121, Pasal 126 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) dan pengguna narkotika untuk diri
sendiri (Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).
Pengguna narkotika terhadap orang lain adalah setiap orang yang tanpa
hak atau melawan hukum memberikan narkotika untuk digunakan oleh orang lain.
Melawan hukum dalam bahasa Belanda adalah wederrechtelijk (weder:
bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Melawan hukum berarti pula
41
http://www.gepenta.com/artikel-Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx diakses tanggal
10 Oktober 2014.
40
dengan tanpa hak atau ijin dari pihak yang berwenang. Sedangkan pengguna
narkotika untuk diri sendiri adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh
seseorang tanpa hak atau melawan hukum. Jika orang yang bersangkutan dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka ia harus
menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dan masa rehabilitasinya
akan diperhitungkan sebaga masa menjalani hukuman.
Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk memudahkan
dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika dan untuk
membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir, dan pengedar narkotika.
Walaupun penanam, produsen, penyalur, kurir, dan pengedar narkotika juga
menggunakan narkotika, namun yang dimaksud dengan pengguna narkotika
adalah orang yang menggunakan narkotika bukan penanam, produsen, penyalur,
kurir dan pengedar narkotika.42
Jika dikaitkan dengan orang yang menggunakan narkotika, dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat ditemukan berbagai
istilah antara lain:
1. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang menyebutkan bahwa “Pecandu narkotika adalah orang yang
menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis”.
2. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang menyebutkan bahwa: “Penyalah guna adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum”.
42
http://www.slideshare.net/adeblonde/kedudukan-hukum-pengguna-narkotiska-dalam-uu-ri-no-
35-thn-2009 diakses tanggal 21 Oktober 2014.
41
3. Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang
yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.
4. Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang dimaksud dengan mantan pecandu narkotika adalah orang yang telah
sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis.
Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut berpotensi
membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan baik dalam merumuskan
berbagai ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika maupun pada pelaksanaannya. Salah satu permasalahan akibat
banyaknya istilah adalah kerancuan pengaturan, yaitu didalam Pasal 4 huruf d
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa
“Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: menjamin pengaturan upaya
rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika”, namun,
dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyebutkan bahwa “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Berdasarkan Pasal 54
hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi menjadi diabaikan.
Penyalah guna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi
namun dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka
dalam pelaksanaannya penyalahguna narkotika harus menghadapi resiko ancaman
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa:
42
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah
guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Namun, hakim juga diberikan kemungkinan untuk tidak menjatuhkan
pidana penjara karena dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan Pasal 127
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pula
penjatuhan sanksi tindakan rehabilitasi oleh hakim. Pasal yang dimaksud, yaitu
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
menyatakan bahwa, "Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial” dan Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
(1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
43
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau
dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang menyatakan bahwa:
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika
tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.
3.2 Kriteria Pengguna Narkotika Dapat Dikatakan Sebagai Korban
Penyalahgunaan Narkotika
44
Di dalam Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika disebutkan bahwa penyalah guna wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial jika dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
penyalahgunaan narkotika.
Pada Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyalah guna adalah orang
yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Sedangkan di
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
disyaratkan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selanjutnya di
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika lebih
membatasi penggunaan Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan
I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan. Sehingga bila seseorang yang menggunakan narkotika melanggar
aturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau
perbuatannya bersifat melawan hukum.
Selanjutnya yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika,
menurut penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
45
narkotika. Dengan demikian, seorang korban penyalahgunaan narkotika harus
terbukti tidak mempunyai unsur kesengajaan dikarenakan adanya keadaan yang
memaksa untuk menggunakan narkotika atau ketidaktahuan yang bersangkutan
jika yang digunakannya adalah narkotika.
Pembuktian penyalah guna narkotika merupakan korban penyalahgunaan
narkotika merupakan hal yang sulit karena harus melihat awal penyalah guna
narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktian bahwa penyalah
guna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya,
ditipu, dipaksa, dan/ atau diancam untuk menggunakan narkotika.
Dalam implementasinya, Mahkamah Agung mengeluarkan terobosan
dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun
2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu
Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang
menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu persoalan hukum terhadap
pengguna narkotika, maka ditentukan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut:
1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik Badan
Narkotika Nasional dalam kondisi tertangkap tangan.
2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti
pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut:
a. Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu) seberat 1 gram.
b. Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/ sebanyak 8 butir.
c. Kelompok Heroin seberat 1,8 gram.
d. Kelompok Kokain seberat 1,8 gram.
e. Kelompok Ganja seberat 5 gram.
46
f. Daun Koka seberat 5 gram.
g. Meskalin seberat 5 gram.
h. Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.
i. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) seberat 2 gram.
j. Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat 3 gram.
k. Kelompok Fentanil seberat 1 gram.
l. Kelompok Metadon seberat 0,5 gram.
m. Kelompok Morfin seberat 1,8 gram.
n. Kelompok Petidine seberat 0,96 gram.
o. Kelompok Kodein seberat 72 gram.
p. Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram.
3. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan
penyidik.
4. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk
oleh hakim.
5. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap
narkotika.
Dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk
dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, majelis hakim
harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam
amar putusannya. Tempat-tempat rehabilitasi yang dimaksud adalah:
a. Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan
diawasi oleh Badan Narkotika Nasional.
b. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta.
47
c. Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia).
d. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial Republik Indonesia dan Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD).
e. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau
Departemen Sosial (dengan biaya sendiri).
Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus sungguh-
sungguh mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan terdakwa sehingga
wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi
dan rehabilitasi adalah sebagai berikut:
a. Program Detoksifikasi dan Stabilisasi, lamanya 1 (satu) bulan.
Pada fase ini, pecandu menghadapi gejala putus zat (withdrawal). Untuk
membantu melewati masa putus zat digunakan pendekatan pharmakoterapi
dengan cara simptomatik atau substitusi.
b. Program Primer, lamanya 6 (enam) bulan.
Fase dilakukannya perubahan-perubahan yang bersifat internal. Pada fase ini
dibangun kembali sikap, pola hidup, kemampuan mengelola emosi,
pemahaman dan penerimaan diri, dan intelektual. Fase ini merupakan landasan
bagi proses pertumbuhan seorang pecandu dalam menjalankan pemulihannya.
c. Program Re-Entry, lamanya 6 (enam) bulan.
Maksud dari re-entry adalah kembali berintegerasi dengan kehidupan sosial
masyarakat (mainstream). Pada fase ini seorang pecandu di dalam program
sudah mulai kembali berintegerasi dengan lingkungan sosial masyarakat.
48
Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan berupa rehabilitasi terhadap
pengguna narkotika yang telah dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
narkotika merupakan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut
pendekatan kebijakan sosial, yaitu upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial
(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat). Tindakan rehabilitasi berupa rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial
terhadap korban penyalahgunaan narkotika dapat menjadikan hukum positif menjadi
lebih baik.
Sanksi Yang Dijatuhkan Oleh Hakim Pada Pengguna Narkotika
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, sanksi bagi pengguna narkotika diatur dalam pasal sebagai berikut:
Pasal 116:
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I
untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 121:
49
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II
untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 126:
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III
untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika tehadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
50
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 127:
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah
guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128:
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang
tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak
dituntut pidana.
51
(3) Pecandu narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa
perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang
ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
(4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 134:
(1) Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak
melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Keluarga dari pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
52
BAB : VI
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Pengguna narkotika yang dimaksud sebagai korban penyalahgunaan narkotika
sebagaimana menurut Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa korban penyalahgunaan
narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
narkotika.
2. Pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri Denpasar dalam menjatuhkan
sanksi pada pengguna narkotika antara lain:
a. Dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang artinya tanpa hak atau
tanpa ijin dari pihak yang berwenang.
a. Adanya rekam medis bahwa orang tersebut positif mengkonsumsi
narkotika.
b. Barang bukti berdasarkan uji laboratorium forensik positif mengandung
sediaan narkotika.
c. Adanya barang bukti berupa alat hisap narkotika (bong).
Saran
53
Berdasarkan uraian dan simpulan di atas, maka diajukan saran sebagai
berikut:
1. Kualifikasi pengguna narkotika sebagai korban penyalahgunaan narkotika
sebaiknya memenuhi hasil pemeriksaan penyidik Polri yang dituangkan dalam
berkas perkara bahwa yang bersangkutan telah menyalahgunakan narkotika
minimal 6 (enam) bulan yang lalu dan dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial bagi pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika, di Bali belum ada tempat khusus untuk
melaksanakan rehabilitasi sosial. Oleh karena itu, diharapkan agar pihak yang
berkompeten dibidang ini menyediakan tempat khusus untuk melaksanakan
rehabilitasi sosial.
2. Hakim dalam memberikan putusannya terhadap korban penyalahgunaan
narkotika selain berdasarkan pertimbangan hakim juga harus ada bukti secara
tertulis yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang (dokter) tentang hasil test
darah dan urine terdakwa yang positif telah menggunakan narkotika secara
melawan hukum (tanpa seijin dokter). Hal ini diajukan saran mengingat dalam
putusan hakim walaupun hasil test darah dan urine terdakwa negatif (tidak ada
indikasi telah menggunakan narkotika), tetapi oleh hakim diputus berdasarkan
Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
54
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Bahan Bacaan Penulisan Disertasi (Selanjutnya
disebut Soetandyo Wignjosoebroto III), UNDIP Semarang. Siswanto Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi
Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta S. Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung Pedoman P4GN ( Handbook Badan Narkotika Nasional , 2007) Morris L. Cohen, Kent C. Olson, 2000, Legai Research, West Group,USA Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press,
Jakarta Lydia Harlina Martono & Satya Joewana, 2006, Membantu Pemulihan Pecandu
Narkoba & Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang
Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta Arief Amrullah, 2010, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia, Jakarta INTERNET Roelly Rosuli, 2012, Kantor Baru BNN Bali Dipelaspas,
http://balinasionalnews.blogspot.com, diakses 11 April 2013. Cokorda Yudhistira, 2013, BNN Bangun Pusat Rehabilitasi di Bali,
http://nasional.kompas.com, diakses 11 April 2013. BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam
http://www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013. http://www.bnn.go.id Nyuciek Asih, 2012, Nyabu, Eks Pilot Lion Air Diganjar Satu Tahun,
http://www.beritajatim.com diakses 12 April 2013. Lima Pengguna Narkoba Di Sumenep Jalani Rehabilitasi, http://www.ciputranews.com,
diakses 12 April 2013. Pengguna Narkotika di Bali Mencapai 50.530 Orang, http://www.beritabali.com,
diakses 12 April 2013.
55
http://www.beritaindonesia.co.id/nasional/narkoba-menyebar-ke-penjuru-negeri, Jan 6,
2013 at 22:40 pm http://www. cribd.com/doc/43029701/Untitled , Mart 7, 2013 at 10.48 am http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=PressRelease&op=detail_pre
ss_release&id=68&mn=2&smn=e, Jakarta, 31 Peb 2013