BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pancasila sebagai asas kerohanian dan dasar filsafat Negara merupakan
unsur penentu dari pada ada dan berlakunya tertib hukum Indonesia dan pokok
kaidah Negara yang fundamental itu, maka pancasila itu adalah inti dari pada
pembukaan. Dengan dicantumkannya pancasila didalam Pembukaan UUD maka
pancasila berkedudukan sebagai norma dasar hukum obyektif. Sesuai dengan
kedudukan Pembukaan sebagai pokok kaidah fundamental dari pada Negara
Republik Indonesia, mempunyai kedudukan yang sangat kuat, tetap, tidak dapat
diubah oleh siapapun, dengan perkataan lain perumusan pancasila yang sah adalah
seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD.[1]
Jika kita berbicara tentang Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum, maka kita berbicara tentang Pancasila dalam kedudukan yang pertama
(sebagai cita hukum). Sumber dari segala sumber hukum berarti sama dengan
sumber sistem hukum atau sumber tertib hukum. Dengan perkataan lain, cita
hukum Pancasila itu adalah sumber dari sistem hukum Indonesia.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Peranan Filsafat Pancasila
Sebagai Sumber Hukum Tata Usaha Negara Ideal Di Indonesia”?
[[1] Hartono, Pancasila; Ditinjau Dari Segi Historis, Cetakan Pertama, 1992,hlm.92-93
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SUMBER HUKUM DAN SUMBER HTUN
Pengertian sumber hukum pada umumnya terdiri dari dua (aspek), yaitu
aspek jiwa (sumber hukum materiil) dan aspek raga (sumber hukum formil).
Selanjutnya, dalam buku berjudul Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-
Dasarnya, Usep Ranawijaya mengemukakan bahwa perkataan sumber hukum
sebenarnya mempunyai dua (2) arti. Pertama; sumber hukum sebagai penyebab
adanya hukum. penyebab adanya hukum tidak lain adalah keyakinan hukum dari
orang-orang yang melakukan peranan menentukan tentang apa yang harus
menjadi hukum didalam Negara (welbron). Kedua; sumber hukum dalam arti
bentuk perumusan dari kaidah-kaidah Hukum Tata Negara yang terdapat didalam
masyarakat dari mana kita dapat mengetahui apa yang menjadi hukum itu
(kenbron).
Pengertian diatas menunjukkan bahwa sumber hukum terdiri dari segala
sesuatu yang menentukan isi dari hukum (sumber hukum ditinjau dari aspek
materiil) dan sumber hukum yang menunjukkan pada bentuk perumusan kaidah -
kaidah hukum (sumber hukum dalam pengertian formal).
Eugen Ehrlich, pemuka aliran sociological jurisprudence antara lain
mengemukakan bahwa Hukum Positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah
hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Oleh sebab itu, didalam
2
pembuatan Undang-Undang hendaklah diperhatikan apa yang hidup didalam
masyarakat. pendapat ini bila dihubungkan dengan pendapat dari Usep
Ranawijaya menunjukkan bahwa yang dimaksud sumber hukum dalam arti yang
pertama (welbron) tidak lain wujudnya adalah living law yang mencerminkan
nilai - nilai yang ada di dalam masyarakat. Pendapat ini bila dihubungkan dengan
pendapat dari Usep Ranawijaya menunjukkan bahwa yang dimaksud sumber
hukum dalam arti yang pertama (welbron) tidak lain wujudnya adalah living law
yang mencerminkan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat. Dengan demikian
sumber hukum dalam arti materiil tidak lain adalah nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat yang diakui kebenarannya serta diberlakukan secara umum dan
bersifat mengikat.
Donner mengemukakan bahwa sumber hukum adalah ajaran yang
memberikan ukuran (kriteria) apakah suatu ketentuan itu merupakan ketentuan
yang berlaku umum atau tidak. Jika ketentuan itu berlaku umum maka hal ini
disebut hukum, sedangkan tidak berlaku umum maka bukan merupakan hukum.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menentukan ukuran (kriteria) tersebut
dikenal adanya dua (2) pendekatan, yakni :
1. Ukuran materiil, adalah ukuran yang dipergunakan untuk menilai apakah isi
dari ketentuan tersebut dapat menjadi ketentuan hukum atau tidak, dan;
2. Ukuran formil, yakni yang dipergunakan untuk menilai apakah proses
pembentukan suatu ketentuan itu menjadi ketentuan hukum dapat dipenuhi.
Proses pembentukan disini menyangkut :
a) Perumusan;
3
b) Pembahasan;
c) Pengesahan; dan
d) pengundangan.
Bila argumentasi ini diterapkan dalam konteks Hukum Tata Negara
Indonesia, maka dapat ditarik garis pengertian sebagai berikut :
a) Sumber hukum materiil dari Hukum Tata Negara Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila yang berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm dapat dikategorikan
sebagai living law, karena berisi nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat dan
bangsa Indonesia yang telah diakui kebenarannya serta mengikat dalam kehidupan
masyarakat dan bangsa. Dengan demikian Pancasila yang terdiri dari 5 (lima)
prinsip (the five principles) merupakan manifestasi dari isi dari hukum di
Indonesia, dan oleh karenanya Pancasila merupakan sumber hukum dalam arti
materiil.
b) Sumber hukum formil dari Hukum Tata Negara Indonesia tidak lain adalah :
1. Perundang-undangan;
2. Yurisprudensi;
3. Kebiasaan;
4. Traktat; dan
5. Doktrin / Pendapat para sarjana.
Kelima hal tersebut diatas dikatakan sebagai sumber hukum dalam arti
formil, karena menunjukan kepada proses pembentukkannya dan sekaligus organ
pembentuknya. Dengan demikian yang disebut sumber hukum dalam artian formil
bagi Hukum Tata Negara Indonesia, bukan menunjuk pada bentuknya, seperti
4
UUD, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk
perundangan ini pada prinsipnya adalah hasil atau produk dari proses. [2] [2]
Van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding to de Studie van het
Nederlandsrecht, mengatakan bahwa kadang-kadang perkataan sumber hukum
dimaksud dipakai dalam konteks sejarah, kadang-kadang dalam konteks filsafat,
atau kadang-kadang dalam konteks sosial.
Seperti yang dilakukan oleh Utrecht, kita dapat ,membedakan dua (2)
macam pengertian sumber hukum (source of law), yaitu sumber hukum dalam arti
formal atau formele zin (source of law in its formal sense) dan sumber hukum
dalam arti substansial. materiil, atau in materiele zin (source of law in its material
sense). Sumber hukum dalam arti formal ialah tempat formal dalam bentuk
tertulis dari mana suatu kaidah hukum diambil, sedangkan sumber hukum dalam
arti materiil adalah tempat dari mana norma itu berasal, baik yang berbentuk
tertulis maupun tidak tertulis.[3]
[2] [2] B. Hestu Cipto Handoyo., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan Dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Cetakan.I, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2003., hlm.27-29[[3] Jimly Asshiddiqie., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan.3, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.126
5
B. TATANAN NILAI PANCASILA
Falsafah hidup suatu bangsa akan menjelmakan suatu tata nilai yang di cita-
citakan bangsa yang bersangkutan, ia membentuk keyakinan hidup berkelompok
sekaligus menjadi tolak ukur kesejahteraan kehidupan berkelompok sesuai yang
dicita-citakan bangsa yang bersangkutan.[4]
Tatanan nilai-nilai Pancasila yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Nilai materiil
Nilai ini adalah yang terindah, sifatnya pokok, tetapi kebutuhannya terbatas.
Tuhan, Hukum semesta, dan alam menjamin berbagai kemudahan untuk
memenuhi kebutuhan materiil. Nilai materiil itu harus di konkritkan, materi bukan
sebagai tujuan, tetapi sebagai kelengkapan. (segala sesuatu yang mampu
melahirkan kebahagiaan, baik secara fisik maupun lahiriah) Nilai-nilai materiil ini
penting,tetapi hanya sebatas hal-hal tertentu.
2. Nilai vital
Nilai-nilai yang berupa kemudahan-kemudahan bagi manusia, dalam rangka
melakukan aktivitas-aktivitasnya. Nilai ini mengandung beragam kontekstual
Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, ketertiban, kemakmuran. Hukum
menjadi nilai vital yang tinggi. Pada nilai vital ini, kebutuhan materiil harus dapat
terpenuhi, kebutuhan rohaniah juga harus terpenuhi.
3. Nilai Rohaniah
a) Nilai kebenaran / kenyataan
[[4] Oesman Oetojo., Pancasila Sebagai Ideologi; Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Masyarakat, Berbangsa Dan Bernegara, BP-7 Pusat, 1990, hlm.88-89
6
b) Nilai estetika / keindahan
c) Nilai moral / etika
Akhlak, melalui suatu tata cara yang santun dan sopan. Kaitannya dengan
kepekaan terhadap hati.
Nilai moralitasnya : hukum harus bisa memberikan ketentraman dan kenyamanan
terhadap manusia. Ketika ada hukum, kita merasa terlindungi, terjamin.
d) Nilai religius / Ketuhanan
Nilai kerohanian merupakan nilai yang repenting, pada bagian-bagian di dalam
pancasila.Setiap orang tentu pada ujung atau puncaknya akan mencari
Tuhan,pencarian seperti ini ada yang dilakukan secara mudah atau sulit. Hukum
harus memiliki nilai religius seperti ini, tidak boleh memisahkan dari nilai agama /
Ketuhanan dengan mengatur segala sesuatunya di dalam dunia ini.
Nilai kerohanian; nilai kebenaran (penting dalam aplikasinya di berbagai ilmu).
Berbicara mengenai ilmu, berbicara kebenaran, sebagai nilai rohani yang dapat
menentramkan hati kita.
Nilai-nilai tersebut diatas kemudian dioperasionalkan dalam bentuk norma.
a) Nilai positif dioperasionalkan menjadi perintah
b) Nilai negatif diperasionalkan menjadi larangan
c) Sanksi / hukuman merupakan sarana untuk penegakan norma.
Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan 2 (dua) cara didalam
menentukan petunjuk-petunjuk tentang nilai-nilai dasar tersebut :
a. Yang pertama ialah dengan jelas diberikan petunjuk tentang suatu tatanan
dasar;
7
b. Nilai suatu tatanan dasar diserahkan pada Undang-Undang untuk
merumuskannya, artinya dengan persetujuan (wakil) rakyat pula.
Beberapa tatanan dasar dengan petunjuk-petunjuknya adalah sebagai beikut :
a) Tatanan bermasyarakat, nilai-nilai dasarnya ialah tidak boleh ada eksploitasi
sesama manusia (penjajahan), berprikemnusiaan dan berkeadilan sosial (Alinea I
Pembukaan).
b) Tatanan bernegara, dengan nilai dasar merdeka, berdaulat, bersatu adil dan
makmur (Alinea II Pembukaan)
c) Tatanan kerja sama antar Negara atau tatanan luar negeri dengan nilai tertib
dunia, kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Alinea IV
Pembukaan)
d) Tatanan pemerintahan daerah dengan nilai permusyawaratan dan mengakui
asal usul keistimewaan daerah (Pasal 18)
e) Tatanan keuangan Negara ditentukan dengan Undang – Undang (Pasal 23)
f) Tatanan hidup beragama dengan nilai dasar dijamin oleh Negara
kebebasannya serta beribadahnya dengan agama dan kepercayaannya itu (Pasal
29)
g) Tatanan bela negara, hak dan kewajiban warga Negara merupakan nilai
dasarnya (Pasal 30)
h) Tatanan pendidikan diatur dengan Undang – Undang (Pasal 31)
i) Tatanan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat
8
j) Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintahan dengan nilai – nilai
dasar kesamaan bagi setiap warga Negara dan kewajiban menjunjungnya tanpa
kecuali (Pasal 27 ayat 1)
k) Tatanan pekerjaan dan penghidupan, dengan nilai dasar harus layak dari segi
kemanusiaan
l) Tatanan budaya dengan nilai dasar, berdasarkan budaya daerah, menuju
kemajuan adab, dan persatuan serta tidak menolak budaya asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
m) Tatanan kesejahteraan sosial dengan nilai dasar kemakmuran masyarakat
yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang
n) Tatanan gelar dan tanda kehormatan diatur dengan Undang-Undang (Pasal
15)
Penjabaran nilai tersebut di atas menjadi suatu keharusan agar diperoleh
suatu gambaran yang lebih konkrit dari setiap tatanan sehingga memudahkan
perumusan haluan Negara ataupun pembangunan di setiap bidangnya.
C. PERANAN FILSAFAT PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM TATA
USAHA NEGARA
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1)
Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu
9
kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan
epistemologi.
Pakar Filsafat kenamaan Plato (427 - 347 SM) mendefinisikan filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli, Kemudian
Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu ; metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin
mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1)
rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro
kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat kebenaran
yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan,
bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.
Istilah “Pancasila” berasal dari kata Sansekerta “Pancasyila” (Panca =
lima, Syila = dasar atau asas atau diartikan juga prinsip), yang diartikan “lima
dasar” atau “lima prinsip”. Selanjutnya kedua istilah digabungkan menjadi
“Filsafat Pancasila”, yang secara etimologis berarti “cinta kebijaksanaan yang
berlandaskan lima dasar”, atau diartikan juga “cinta kebijaksanaan dengan
berpedoman pada lima prinsip”.[5]
Di dalam setiap negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok
kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata
negara disebut staatsfundamentalnorm. Di negara Indonesia, sumber hukum
[[5] Noor Ms Bakry., Orientasi Filsafat Pancasila, Edisi Kedua Cetakan I, Liberty, Yogyakarta, 1994, hlm.1-2
10
positif tersebut intinya adalah Pancasila. Dengan demikian Pancasila merupakan
cita-cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan
dan perubahan hukum positif di Indonesia.[6]
Untuk mencari hakikat Pancasila adalah dengan mengamati rumusan lima
sila dari Pancasila, yang sesungguhnya identik dengan pokok-pokok pikiran
dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila merupakan suatu kesatuan, sila yang satu
tidak bisa dilepas-lepaskan dari sila yang lain, keseluruhan sila di dalam Pancasila
merupakan suatu kesatuan organis, atau suatu kesatuan keseluruhan yang bulat.[7]
Dengan demikian maka Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan dua
macam terhadap tertib hukum Indonesia. Pertama, menjadi dasarnya, karena
Pembukaanlah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum
Indonesia itu. Kedua, memasukkan diri di dalamnya sebagai ketentuan hukum yang
tertinggi, sesuai dengan kedudukannya asli sebagai asas bagi hukum dasar lainnya, baik
Undang-Undang Dasar yang tertulis maupun Undang-Undang Dasar yang tidak tertulis
dan peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih rendah.[8]
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang
merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami
dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi
dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk
menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa,
[[6] Kaelan., Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2003, hlm.244[7] Darji Darmodiharjo., Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1991, hlm.37 [8] Notonagoro., Pancasila Dasar Falsafah Negara, Bina Aksara, Jakarta 1984, hlm.74.[
[
11
dan prinsip kekeluargaan. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai Pancasila ini
merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tersusun secara sistematis-
hierarkhis. Artinya bahwa antara nilai dasar yang satu dengan nilai dasar lainnya
saling berhubungan, tidak boleh dipisah-pisahkan, dipecah-pecahkan, maupun
ditukar tempatnya.[9]
Pengertian, fungsi dan perwujudan cita hukum (rechtidee) menunjukkan
betapa fundamental kedudukan dan peranan cita-cita hukum adalah sumber
genetik dari tata hukum (rechtsorder). Oleh karena itu cita hukum (rechtidee)
hendaknya diwujudkan sebagai suatu realitas. Maknanya bahwa filsafat hukum
menjadi dasar dan acuan pembangunan kehidupan suatu bangsa serta acuan bagi
pembanguan hukum dalam bidang-bidang lainnya. Kewajiban negara untuk
menegakkan cita keadilan sebagai cita hukum itu tersirat didalam asas Hukum
Kodrat yang dimaksud untuk mengukur kebaikan Hukum Positif, apakah betul-
betul telah sesuai dengan aturan yang berasal dari Hukum Tuhan, dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan dengan kebaikan Hukum Etis dan dengan asas
dasar hukum umum abstrak Hukum Filosofis.[1[10]
Berdasarkan teori jenjang hukum (Stufentheorie) gagasan Hans Kelsen.
Kelsen menyatakan bahwa Grundnorm (Norma Dasar) adalah norma tertinggi
dalam suatu sistem norma yang tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih
tinggi lagi. Grundnorm adalah norma terakhir yang bersifat hopotetis dan fiktif
yang menurut Indrati “ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat”, sebagai
[[9] Subandi Al Marsudi., Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.39[1[10]Notonagoro.,Pembukaan Oendang-oendang Dasar 1945, Pokok Kaidah Negara yang Fundamental Negara Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,1948
12
gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma
Dasar itu dikatakan pre-supposed (ditetapkan terlebih dahulu).[11]
Hans Nawiasky tidak sependapat dengan Kelsen dalam penggunaan istilah
Grundnorm sebagai norma tertinggi. Menurut Nawiasky, norma hukum tertinggi
dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum negara adalah
Staatsfundamentalnorm, yang diterjemahkan A. Hamid S. Attamimi sebagai
“Norma Fundamental Negara”. Staatsfundamentalnorm sebagai norma tertinggi
suatu negara merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih
tinggi lagi, namun bersifat pre-supposed oleh masyarakat dalam suatu negara, dan
merupakan norma hukum bagi bergantungnya norma-norma hukum di
bawahnya.[12]
[[11] S. Maria Farida Indrati., Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm.41[12] A. Hamid S Attamimi.,“Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV)”, Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm.43
[
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peranan Filsafat Pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal
di Indonesia, yakni Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD
1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan
Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam
Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia.
Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita,
Dengan demikian filsafat hukum Indonesia di mulai dari pemaham kembali (re
interpretasi) terhadap pembukaan UUD 1945; hal ini merupakan peran penting
bagi aparat pemerintah dalam hal pembuatan produk hukum tersebut selalu
dijiwai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum maka setiap butir
ketetapan harus mencerminkan sila-sila Pancasila sebagai suatu landasan yang
kokoh dalam negara hukum Pancasila.
Bahwa di Indonesia, Pancasila (staatsfundamentalnorm) merupakan
sumber dari segala sumber hukum, yang berarti bahwa segala bentuk hukum di
Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan
didalam aturan hukum itu harus tercermin kesadaran dan rasa keadilan yang
sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa. Nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai-nilai yang mencerminkan atau menggambarkan keanekaragaman
14
budaya, suku, bahasa, daerah dari suatu kemajemukan bangsa Indonesia, yang
oleh Negara melalui aparatur pemerintah mengatur sistem nilai-nilai dasar
tersebut menjadi suatu norma/hukum yang mengatur kehidupan masyarakat
bangsa indonesia sendiri, yang tidak berakar secara utuh pada salah satu budaya
masyarakat etnik atau tradisi keagamaan melainkan berakar pada semua sistem
budaya yang ada.
B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa
saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa pemerintah dalam upaya untuk melakukan pembangunan hukum
yang mencakup upaya-upaya pembaharuan tatanan hukum, hendaknya Filsafat
Pancasila dijadikan paradigma hidup bangsa Indonesia yang akan berperan
menjelmakan suatu tata nilai yang dicita-citakan bangsa Indonesia dalam
membentuk peraturan perundang-undangan atau norma-norma hukum
berdasarkan UUD 1945, demi memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
15
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan.3, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011
Attamimi, A. Hamid S. “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV”), Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta, 1990
Bakry, Noor Ms., Orientasi Filsafat Pancasila, Edisi Kedua Cetakan I, Liberty, Yogyakarta, 1994
Darji, Darmodiharjo., Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1991
Handoyo, B. Hestu Cipto., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan Dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Cetakan.I, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2003
Hartono, Pancasila; ditinjau dari segi historis, cetakan pertama, 1992
Indrati, S. Maria Farida., Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Kanisius, Yogyakarta, 2007
Kaelan., Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2003
Marsudi, Subandi Al., Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001
Notonagoro., Pancasila Dasar Falsafah Negara, Bina Aksara, Jakarta 1984
----------------.,Pembukaan Oendang-oendang Dasar 1945, Pokok Kaidah Negara yang Fundamental Negara Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,1948
Oetojo,Oesman., Pancasila Sebagai Ideologi; dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, BP-7 Pusat, 1990
16