PERANCANGAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NON IONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS PATI SAGU DAN
DODEKANOL SERTA KARAKTERISASINYA PADA FORMULASI HERBISIDA
MOCHAMAD NOERDIN N.K.
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Mochamad Noerdin N.K. NIM F 351060091
ABSTRACT MOCHAMAD NOERDIN N.K. Process Design of Non Ionic Alkyl Polyglicosides (APG) Surfactant Production from Sago Starch and Dodekanol and Its Characteristics on Herbicide Formulation. Under direction of ANI SURYANI and DADANG.
Alkyl poliglycosides (APG) are non ionic surfactant which is commonly used in some products like herbicides, personal care products, cosmetics and textile bleachings. APG is new generation of surfactant that is environmental friendly. Raw materials of APG are fatty alcohol from palm oil or palm kernel oil and carbohydrates like the strach, that make APG as biodegradable surfactant. The aim of research was to obtain non ionic surfactant alkyl polyglycosides (APG) based on sago starch and fatty alcohol C12 (dodekanol). This research is modification of production process of APG two steps method from Wuest, et al. (1992), in order to obtain optimum condition temperature of butanolysis and mol ratio of sago starch-dodecanol to emulsion stability (water : xylene), characterisisation of APG, herbicide formulation and its hebicide formulation effectiveness. Result of response surface, showed that emulsion stability (water:xylene) added APG (%) was 72.58% at temperature of butanolysis 147.8oC and at ratio of sago starch-dodekanol 1:3.27 (w/w). Result of validation showed that emulsion stability (water : xylene) with addtion of APG was 72.3%. Equation model of optimum condition was Y= 64.29 + 35.53X1 – 29.82X1
2 – 9.63x2 – 23.09X2
2 -20.56X1X2 which similar with experimental datas. APG at 1 % (w/v) was able to decrease surface tension 23.375 dyne/cm and interfacial tension between water : xylene at APG concentration of 0.4% (w/v) was 8.17 dyne/cm. Value of HLB was 8.8 so that the catogorize of this surfactant emulsion of oil in water (O/W) and wetting agent. APG pH in optimum process condition was 7.15. Application of herbicide formulation (glyphosate and APG surfactant) that was stored five weeks at temperature of 150C, room temperatur (26-290C) and 400C showed high effectiveness. The storeage temperature was not significantly different on herbicide efectiveness.
Key word: Surfactant, Alkyl Polyglycosides (APG), Fatty alcohol, Sago starch, Herbicide
RINGKASAN MOCHAMAD NOERDIN N.K. Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya Pada Formulasi Herbisida. Di bimbing oleh ANI SURYANI dan DADANG
Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang pada umumnya diproduksi dari minyak bumi (petrokimia) dan minyak-lemak (oleokimia). Penggunaan oleokimia sebagai bahan baku surfaktan perlu pengembangan lebih lanjut karena beberapa kelebihan oleokimia jika dibandingkan petrokomia, diantaranya mudah terurai secara biologis dan dapat diperbaharui.
Alkil Poliglikosida (APG) merupakan surfaktan non ionik yang dapat digunakan pada formulasi beberapa produk seperti formulasi herbisida, produk-produk perawatan tubuh, produk kosmetik, dan pemucatan kain tekstil. Bahan baku APG adalah alkohol lemak dari oleokimia minyak kelapa atau minyak inti sawit dan karbohidrat dari sumber pati seperti kentang, jagung, dan sagu.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh surfaktan non ionik APG yang berbasis pada pati sagu dan alkohol lemak C 12 (dodekanol). Penelitian ini mengkaji rancang proses produksi APG metode dua tahap, optimasi suhu proses butanolisis dan rasio mol pati sagu-dodekanol terhadap nilai kestabilan emulsi air:xilena, karakterisasi APG dan hasil formulasi dan efektivitas herbisidanya. Rancang proses produksi APG dilakukan dengan memodifikasi proses produksi dua tahap Wuest, et al. (1992) dengan merubah sumber patinya dari kentang menjadi pati sagu dan netralisasi mengganti MgO dengan NaOH, serta penggunaan 2 buah reaktor menjadi 1 buah reaktor. Rancangan percobaan yang digunakan untuk optimasi menggunakan metode permukaan respon dengan faktor rasio mol pati sagu – dodekanol = 1 : 2,5 sampai dengan 1 : 6 dan suhu proses butanolisis dari suhu 1300C sampai 1500C.
Rancangan percobaan optimasi sintesis APG menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Method) dan penelitian menggunakan rancangan komposit terpusat. Faktor yang dianalisis ada dua yaitu suhu proses butanolisis (X1) dengan rentang antara 130 – 150 °C dan rasio mol pati : alkohol lemak (X2) dengan rentang antara 1:2,5 – 1:6. Sedangkan rancangan percobaan pada aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang dikaji adalah variasi suhu penyimpanan yaitu suhu 15oC, suhu ruang (26-290C), dan suhu 40oC , variasi konsentrasi glifosat yaitu konsentrasi 16%, 24% dan 48%, variasi konsentrasi surfaktan APG terdiri dari 4%, 6%, 8% dan 10%. Untuk pengujian efektivitas dengan skoring menggunakan statistik non parametrik uji Kruskal Wallis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu butanolisis memiliki pengaruh 2,76 % dengan selang kepercayaan 97,53 %. Suhu butanolisis berpengaruh positif terhadap nilai kestabilan emulsi air : xilene dengan penambahan surfaktan APG. Sedangkan faktor rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak memberikan pengaruh negatif dengan selang kepercayaan 60,44 %. Hasil analisis terhadap permukaan respon kestabilan emulsi APG dari suhu proses butanolisis (X1) dan rasio mol pati sagu-dodekanol (X2) menunjukkan model yang berbentuk optimum dengan persamaan Y= 64,29 + 35,53X1 – 29,82X1
2 - 9,63x2 – 23,09X2
2 -20,56X1X2 Hasil analisis statistik dari model tersebut menunjukkan nilai kestabilan emulsi
air:xilena dengan penambahan APG (%) yaitu 72,58% pada suhu butanolisis 147,8oC dan pada rasio mol pati sagu-dodekanol 1:3,27 (b/b). Hasil validasi dengan melakukan percobaan dititik tersebut menunjukkan nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan APG yang dihasilkan sebesar 72,3%.
Selain itu, hasil validasi dibandingkan dengan APG komersial dengan parameter tegangan permukaan, tegangan antarmuka, HLB dan pH. Pada pengukuran tegangan permukaan air pada konsentrasi APG 1% (b/v) diperoleh nilai tegangan permukaan APG
komersial 21,36 dyne/cm dan APG hasil validasi 23,375 dyne/cm. Nilai tegangan antarmuka antara air dan xilene pada konsentrasi 0.4% (b/v) APG komersial 7,96 dyne/cm dan APG hasil validasi 8.17 dyne/cm. Nilai HLB yang diperoleh APG komersial 13,4 dan APG hasil validasi 8,8. Menurut Griffin, APG yang dihasilkan termasuk kategori surfaktan jenis minyak dalam air (O/W) dan bahan pembasah. Pengukuran pH penting dilakukan mengingat APG merupakan suatu asetal yang akan stabil pada kondisi netral dan lebih baik lagi pada kondisi basa. Pengukuran dilakukan dengan pengenceran sebesar 10% (b/v) dikarenakan APG berbentuk pasta. Dari hasil pengukuran pH APG komersial sebesar 7,55 dan APG hasil validasi kondisi optimum sebesar 7,15.
Karakterisasi formulasi herbisida antara lain warna formulasi herbisida adalah coklat keruh, derajat keasaman (pH) sekitar basa (6,7) nilai tegangan permukaan formulasi herbisida berkisar antara 27,69 - 29,25 dyne/cm.
Penyimpanan 5 minggu pada suhu 150C menyebabkan formulasi herbisida membeku, pada suhu ruang kestabilan formulasi berubah sampai minggu kedua dan minggu selanjutnya tidak berubah. Sedangkan penyimpanan pada suhu 400C, kestabilan emulsi formulasi herbisida konstan.
Pengamatan aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan 5 minggu dengan suhu 150C, suhu ruang (26-290C) dan 400C antara lain persentase penutupan gulma dan efektivitas herbisida. Semakin tinggi konsentrasi glifosat maka persentase penutupan gulma akan semakin rendah dan dengan konsentrasi APG 6 % atau 8 % sudah cukup meningkatkan efektivitas herbisidanya terutama pada 2 MSA. Berdasarkan uji Kruskal Wallis, hanya konsentrasi glifosat yang signifikan yaitu konsentrasi 48 % sedangkan konsentrasi APG tidak berpengaruh nyata Kata kunci : Alkil Poliglikosida (APG); Alcohol lemak; butanolisis, Transasetalisasi;
Kestabilan Emulsi; Metode Permukaan Respon, Persentase Penutupan Gulma, Bobot Kering Gulma, uji efektivitas
©. Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERANCANGAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NON IONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS PATI SAGU DAN
DODEKANOL SERTA KARAKTERISASINYA PADA FORMULASI HERBISIDA
MOCHAMAD NOERDIN N.K.
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Tesis : Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida
Nama : Mochamad Noerdin N K NIM : F351060091
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Ketua
Dr. Ir. Dadang, MSc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian : 27 Agustus 2008 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2007 hingga bulan Juni 2008. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP), Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Dr. Ir. Dadang, MSc selaku pembimbing, atas segala arahan dan bimbingan selama penelitian serta kepercayaan dan kesabaran dalam membimbing sampai terselesaikannya tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor, yang memberikan kesempatan belajar di IPB dengan biaya dari Anggaran DIPA 2006 Departemen Perindustrian. Terima kasih pula disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Irawadi Jamaran selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana TIP, para staf pengajar TIP dan teman-teman TIP angkatan 2006 atas bantuan dan dukungan selama studi. Semasa studi banyak orang yang membantu saya namun tidak ada yang melebihi bantuan isteri, anak, orang tua, kakak-kakak dan adik-adik tercinta yang dengan sabar memberikan semangat serta mendoakan keberhasilan studi ini. Terima kasih kepada bapak dan ibu di Laboratorium TIP dan Balai Besar Industri Agro serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berperan dalam proses penulisan karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2008
Mochamad Noerdin N.K.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung Jawa Barat tanggal 8 Juli 1963 sebagai anak pertama
dari enam bersaudara. Ayah bernama Nana Kurniadji dan ibu Imas Maspupah.
Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung, dan lulus pada tahun 1988.
Penulis pernah bekerja pada Silvonsult Wanayasa di Bogor selama dua tahun, sejak
tahun 1992 bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Departemen Perindustrian Bogor. Selama bekerja sebagai peneliti di BBIA, penulis
berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan non gelar di dalam dan luar negeri. Dalam
bidang lingkungan, tahun 1995 penulis mendapat beasiswa dari Carl Duisberg
Gesselschaft (CDG) untuk pelatihan penanganan limbah cair di Bremen Universitat
Jerman selama 13 bulan.
Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan dari BBIA untuk melanjutkan
sekolah di program studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB dengan
mendapat bantuan dukungan dana dari program DIPA 2006 BBIA.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... . xvi
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................ 2
Tujuan Penelitian................................................................................ 2
Ruang Lingkup ................................................................................... 3
Hipotesis ............................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4
Kelapa................................................................................................ 4
Alkohol Lemak .................................................................................... 7
Pati Sagu............................................................................................ 11
Surfaktan ........................................................................................... 12
Alkil Poliglikosida (APG)....................................................................... 17
Herbisida ........................................................................................... 23
METODE PENELITIAN ................................................................................... 26
Kerangka Pemikiran ............................................................................ 26
Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 26
Alat dan Bahan ................................................................................... 26
Tahapan Penelitian ............................................................................ 27
Rancangan Percobaan......................................................................... 30
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 32
Perancangan Proses Produksi APG ....................................................... 34
Proses Produksi APG dengan Dua Tahap .............................................. 35
Optimasi Proses Produksi APG ............................................................. 38
Karakterisasi APG................................................................................ 43
Karakterisasi Formulasi Herbisida......................................................... 57
SIMPULAN DAN SARAN.................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 86
LAMPIRAN..................................................................................................... 90
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Peta potensi kelapa dunia........................................................................... 4 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain ............................. 5
3 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%). 6
4 Reaksi kimia alkohol lemak dan hasilnya.................................................... 9
5 Karakteristik alkohol lemak dengan berbagai panjang rantai ..................... 10
6 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per
100 g ......................................................................................................... 12
7 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati ............................ 12
8 Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin ................................ 17
9 Desain percobaan untuk optimasi sintesis APG ......................................... 31
10 Koefisien parameter dan nilai signifikansi pengaruh faktor suhu
butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan lemak alkohol dengan
respon uji kestabilan emulsi air : xilena dengan penambahan
surfaktan APG............................................................................................ 39
11 Nilai uji perbandingan tegangan permukaan air akibat pengaruh
penambahan APG pada berbagai konsentrasi .......................................... 44
12 Nilai uji perbandingan tegangan antar muka air : xilena ............................ 45
13 Nilai KL dan Γ∞ untuk tegangan peremukaan hasil optimasi metode
Nedler-Mead .............................................................................................. 47
14 Perbandingan tegangan permukaan (γ) APG komersial dan APG yang
dihasilkan dengan model............................................................................ 48
15 Nilai KL dan Γ∞ untuk tegangan antarmuka hasil optimasi metode
Nedler-Mead .............................................................................................. 49
16 Perbandingan tegangan antar muka APG komersial dan APG yang
dihasilkan dengan model............................................................................ 50
17 Penentuan kurva standar HLB.................................................................... 52
18 Nilai HLB APG ............................................................................................ 52
19 Pita serapan spektrofotometer FTIR APG hasil sintesa dan komersial
(cm-1) .......................................................................................................... 55
20 Komposisi formulasi herbisida .................................................................... 58
21 Derajat keasaman (pH) formulasi herbisida................................................ 60
xii
22 Kestabilan formulasi herbisida (%) perminggu selama penyimpanan lima
minggu pada suhu 150C, 26-290C, dan 400C............................................. 61
23 Persentase penutupan gulma pada aplikasi formulasi herbisida hasil
penyimpanan 5 minggu pada suhu 150C, suhu ruang (26-290C) dan 400C 66
24 Persentase penutupan gulma dari aplikasi formulasi herbisida hasil
penyimpanan lima minggu pada suhu 150C, suhu ruang (26-290C), dan
400C ........................................................................................................... 70
25 Efektivitas formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu
150C, 26-290C, dan 400C ........................................................................... 73
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Proses pembuatan alkohol lemak ............................................................ 8
2 Micelles dan pembentukannya ............................................................... 14
3 Proses sintesis APG................................................................................. 18
4 Proses reaksi dan struktur alkyl polyglycoside (APG).......................... 19
5 Sintesis Fischer secara langsung .................................................. 19
6 Sintesis Fischer metode dua tahap .............................................. 20
7 Tutup reaktor dengan barometer tekanan tinggi dan vakum ........................ 27
8 Metode sintesis APG dua tahap.................................................... 29
9 Reaktorberjaket dan thermoset .................................................. 34
10 Rangkaian peralatan proses produksi APG.................................................. 34
11 Hasil akhir proses butanolisis........................................................................ 35
12 Hasil akhir proses transasetalisasi................................................................ 36
13 Hasil akhir destilasi ....................................................................................... 37
14 Hasil akhir pemucatan .................................................................................. 38
15 Grafik pola interaksi faktor suhu butanolisis terhadap faktor rasio mol pati
sagu-dodekanol............................................................................................. 40
16 Grafik pola interaksi faktor rasio mol pati sagu–dodecanol terhadap
faktor suhu butanolisis .................................................................................. 40
17 Permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan penambahan
APG............................................................................................................... 42
18 Kontur permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan
penambahan APG......................................................................................... 42
19 Grafik tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada
berbagai konsentrasi. .................................................................................... 44
20 Grafik tegangan antarmuka air : xilena akibat pengaruh penambahan
APG pada berbagai konsentrasi. .................................................................. 46
21 Tegangan permukaan APG komersial dan model ........................................ 48
22 Tegangan permukaan APG hasil penelitian dan model................................ 49
23 Tegangan antar muka APG komersial dan model ...................................... 50
24 Tegangan antar muka APG yang dihasilkan dan model............................. 50
25 Kurva standar HLB........................................................................................ 52
xiv
26 Hasil analisa FTIR APG komersial sebagai standar ..................................... 54
27 Hasil analisa FTIR APG pada kondisi optimum ............................................ 54
28 Neraca massa proses produksi APG dua tahap .......................................... 56
29 Formulasi herbisida berbahan aktif glifosat dengan APG dan formulasi
pembanding .................................................................................................. 59
30 Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah satu minggu pada
suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ................................................. 62
31 Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah dua/tiga/empat/
lima minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC.................... 63
32 Histogram persentase penutupan gulma 1 MSA hasil penyimpanan ....lima
minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ........................... 67
33 Histogram persentase penutupan gulma 2 MSA hasil penyimpanan ....lima
minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ........................... 68
34 Histogram bobot kering gulma 1 MSA hasil penyimpanan lima minggu
pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ....................................... 71
35 Histogram bobot kering gulma 2 MSA hasil penyimpanan lima minggu
pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC ....................................... 71
36 Foto lahan percobaan awal penelitian (0 MSA) untuk aplikasi formulasi
herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada
suhu 400C (a), suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c) ................... 75
37 Foto lahan percobaan awal penelitian (4 HSA) untuk aplikasi formulasi
herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada
suhu 400C (a), suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c) ....................... 76
38 Foto lahan percobaan awal penelitian (7 HSA) untuk aplikasi formulasi
herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada
suhu 400C (a), suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c) ....................... 77
39 Foto lahan percobaan awal penelitian (14 HSA) untuk aplikasi formulasi
herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada
suhu 400C (a), suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c) ....................... 78
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Proses produksi alkil poliglikosida dengan dua tahap................................... 84
2 Metode analisa APG ..................................................................................... 85
3 Data proses produksi APG............................................................................ 88
4 Data analisa pengujian APG......................................................................... 91
5 Pengolahan data suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu-alkohol lemak
terhadap nilai kestabilan emulsi pada sintesa APG dua tahap ................... 92
6 Aplikasi formulasi herbisida........................................................................... 94
7 Analisis statistik kestabilan formulasi herbisida (%)...................................... 95
8 Analisis statistik persentase penutupan gulma .............................................. 101
9 Analisis statistik bobot kering gulma .............................................................. 104
10 Analisis statistik efektivitas herbisida hasil penyimpanan ............................ 108
xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat
diproduksi secara sintesis kimiawi ataupun biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus
hidrofobik dan hidrofilik dalam satu molekul. Pembentukan film pada antar muka fasa
menurunkan energi antar muka. Surfaktan dimanfaatkan sebagai bahan penggumpal,
pembasah, pembusaan, emulsifier oleh industri farmasi, industri kosmetika, industri
kimia, industri pertanian, industri pangan.
Bahan baku surfaktan dapat terbuat dari sumber nabati yang bersifat dapat
diperbaharui dan mudah terurai, tidak menggangu aktivitas enzim, proses produksi
lebih bersih sehingga sejalan dengan isu lingkungan (Suryani et al., 2002).
Industri surfaktan di Indonesia masih terbatas, padahal surfaktan dibutuhkan
dalam jumlah besar. Kebutuhan surfaktan Indonesia pada tahun 2006 adalah 95.000
ton, sekitar 45.000 ton, masih diimpor (Wuryaningsih, 2007) dan diperkirakan jumlah
impor tersebut setiap tahunnya terus bertambah sejalan dengan tumbuhnya industri
kosmetik, industri makanan, industri minuman, industri farmasi, industri tekstil dan
industri penyamakan kulit (Sofiyaningsih dan Nurcahyani, 2006).
Indonesia merupakan negara yang berbasis pertanian sehingga mempunyai
potensi bahan nabati yang berlimpah, misalnya kelapa sebagai bahan baku alkohol
lemak. Selain itu, potensi pati-patian di Indonesia cukup besar.
Salah satu surfaktan yang dapat diproduksi dari bahan nabati adalah Alkil
poliglikosida (APG) dan surfaktan ini telah diklasifikasikan di Jerman sebagai surfaktan
kelas I yang ramah lingkungan (Hill et al., 1996), sehingga potensi pengembangan dan
produksi APG masih sangat besar mengingat potensi pasar yang cukup besar pada
berbagai industri, seperti industri herbisida, personal care, kosmetik dan industri tekstil.
Surfaktan APG ini tidak berbahaya untuk mata, kulit dan membran lendir, mengurangi
efek iritan serta dapat terurai baik secara aerob maupun anaerob.
Menurut Hall et al. (2000), surfaktan APG dapat diproduksi secara langsung
(asetalisasi) dan secara tidak langsung melalui dua tahap yaitu butanolisis dan
transasetalisasi dan selanjutnya melalui tahapan netralisasi, distilasi, pelarutan dan
pemucatan.
Dalam formulasi herbisida, surfaktan dapat meningkatkan penetrasi bahan aktif
herbisida kedalam tanaman (Van Valkenburg, 1990). Formulasi glifosat (N-
phosponomethyl glycine) dengan surfaktan APG dapat digunakan untuk mengendalikan
gulma terutama dari golongan rumput (grasses).
2
Herbisida umumnya dikirim ke berbagai daerah dengan suhu yang berbeda-
beda, mulai dari daerah dingin sampai daerah panas, bahkan ada yang disimpan dalam
ruangan yang beratap seng yang suhunya dapat mencapai 400C.
Salah satu penilaian pengguna herbisida antara lain kestabilan formulasi
herbisida. Menurut Suryani et al. (2001), usaha untuk mempertahankan stabilitas emulsi
antara lain dengan penyimpanan pada suhu yang tepat, terlindung dari sinar matahari,
dan terhindar dari guncangan.
Perumusan Masalah Beberapa permasalahan pada penelitian ini antara lain :
• Bagaimana modifikasi rancangan proses produksi APG dua tahap menggunakan
pati sagu pada proses butanolisis dan transasetalisasi terhadap APG yang
dihasilkan?
• Bagaimana kondisi suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak
yang optimum pada proses produksi APG ?
• Bagaimana karakteristik APG yang diperoleh pada kondisi proses produksi
optimum ?
• Bagaimana karakteristik formulasi herbisida dari bahan aktif glifosat dengan APG
yang dihasilkan ?
• Bagaimana pengaruh penyimpanan pada suhu yang berbeda formulasi herbisida
dari bahan aktif glifosat dengan surfaktan APG terhadap efektivitas pengendalian
gulma ?
Tujuan Penelitian : o Memperoleh modifikasi rancangan proses produksi surfaktan alkil poliglikosida
(APG) berbasis alkohol lemak dari kelapa dan pati sagu khususnya proses dua
tahap (butanolisis dan transasetalisasi)
o Mendapatkan informasi karakteristik APG yang dihasilkan pada kondisi optimum
proses produksinya.
o Mendapatkan karakteristik (fisik-kimia, efektivitas, dan daya tahan simpan pada suhu
yang berbeda) formulasi herbisida terbaik dengan menggunakan APG yang
dihasilkan.
3
Ruang Lingkup Penelitian pendahuluan meliputi penentuan rancangan proses produksi APG
untuk reaksi dua tahap terutama pada reaksi butanolisis dan transasetalisasi.
Penelitian utama meliputi :
• Penentuan kondisi optimum proses produksi APG dua tahap (butanolisis dan
transasetalisasi) dengan perlakuan suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan
lauril alkohol.
• Karakterisasi APG yang dihasilkan meliputi, kemampuan menstabilkan emulsi,
kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka,
mengontrol jenis formasi emulsi dengan menentukan nilai Hidrofil Lipofil Balance dari
APG, dan mengetahui struktur gugus fungsi APG dengan menggunakan FTIR.
• Formulasi herbisida menggunakan bahan aktif glifosat dengan surfaktan APG yang
dihasilkan dan uji efektivitas herbisida hasil penyimpanan dengan suhu yang
berbeda .
Hipotesis
• Suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak diduga berpengaruh
terhadap produksi surfaktan APG yang dihasilkan.
• Konsentrasi bahan aktif glifosat dan penggunaan surfaktan APG diduga
berpengaruh terhadap karakteristik formulasi herbisida.
• Penyimpanan formulasi herbisida pada suhu yang berbeda diduga berpengaruh
terhadap efektivitas pengendalian gulma.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia.
Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal pertanaman kelapa 3,818 juta Ha (32,37
%) disusul berturut-turut oleh Filipina 3,243 juta hektar (27,50%), India 1,935 juta
hektar (16,41 %), Srilangka 0,395 juta hektar (3,35 %), dan Thailand 0,226 juta hektar
(1,91 %) (APCC, 2007). Potensi kelapa dunia dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan
potensi kelapa Indonesia disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 No. Negara
1000 ha
1. Indonesia 3.885 3.911 3.870 3.894 3.818
2. Filipina 3.182 3.217 3.259 3.243 3.243
3. India 1.892 1.919 1.899 1.935 1.935
4. Sri Lanka 442 442 395 395 395
5. Thailand 327 328 343 344 226
6. Tanzania 310 310 310 310 313
7. Papua New Guinea 260 260 260 260 260
8. Brazil 263 271 275 281 280
9. Mexico 171` 148 148 150 12
10. Vietnam 165 136 133 132 133
159 131 131 130 115
70 70 70 70 78
Sumber : APCC (2007)
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa produktivitas kelapa Indonesia 4.235 butir
kelapa per hektar per tahun masih rendah dibanding negara-negara penghasil kelapa
lainnya misalnya Philipina, India, Sri Lanka, Brazil, Mexico, Vietnam, Myanmar dan Cina.
Brazil, Cina, Myanmar dan Mexico merupakan negara-negara penghasil kelapa dengan
5
produktivitas tertinggi yaitu masing-masing 13.496, 12.500, 10.671 dan 7.917 butir
kelapa per hektar per tahun.
Bagi masyarakat Indonesia, kelapa merupakan bagian dari kehidupannya karena
semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,
sosial dan budaya. Di samping itu, arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin
dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% (sejak tahun 2004) dan
melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani.
Tabel 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain
No Negara Produktivitas kelapa (butir/hektar/tahun)
1. Indonesia 4.235
2. Philipina 4.334
3. India 6.632
4. Sri Lanka 5.608
5. Thailand 3.500
6. Tanzania 1.492
7. Brazil 13.496
8. Papua New Guinea 3.125
9. Mexico 7.917
10. Vietnam 5.132
11. Malayasia 3.008
12. Vanuatu 3.125
13. Myanmar 10.671
14. China 12.500
Sumber : APCC (2007)
Kelapa biasa disebut sebagai pohon kehidupan (tree of life) dan pohon surga (A
heavenly tree) karena semua bagian tanaman ini dapat digunakan untuk kehidupan.
Pada umumnya, produk kelapa di Indonesia dipasarkan dalam bentuk primer sehingga
nilai ekonominya sangat rentan terhadap fluktuasi musim yang menyebabkan nilai jual
rendah dan menimbulkan kerugian di pihak petani. Namun demikian, penerimaan dari
sektor komoditas kelapa masih dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki
6
pengelolaan dan efisiensi pengolahan serta pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan
nilai tambah dari komoditi ini.
Komposisi kimia minyak kelapa berbeda dengan komposisi kimia sumber minyak
lainnya. Keunikan minyak kelapa, yaitu kaya akan kandungan asam-asam lemak jenuh
berantai pendek dan berantai menengah. Minyak biji sawit atau palm kernel oil (PKO)
merupakan minyak yang komposisi kimiawinya mirip dengan minyak kelapa Sebagai
perbandingan komposisi asam-asam lemak berbagai sumber minyak nabati dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%)
Sumber minyak
Kelapa Biji sawit Sawit Jagung Kedelai
Jenuh :
C6:0 kaproat 0,50 0,30 - - -
C8:0 kaprilat 8,00 3,90 - - -
C10:0 kaprat 7,00 4,00 - - -
C12:0 laurat 48,00 49,60 0,30 - -
C14:0 miristat 17,00 16,00 1,10 - 0,10
C16:0 palmitat 9,00 8,00 45,20 11,50 10,50
C18:0 stearat 2,00 2,40 4,70 2,20 3,20
C20:0 arahidat 0,10 0,10 0,20 0,20 0,20
Tidak jenuh :
C16:1 palmitoleat 0,10 - - - -
C18:1 oleat 6,00 13,70 38,80 26,60 22,30
C18:2 linoleat 2,30 2,00 9,40 58,70 54,50
C18:3 linolenat - - 0,30 0,80 8,30
C20:4 arahidonat - - - - 0,90
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Persen tidak jenuh 8,40 15,70 48,50 86,10 86,00
Sumber : Thampan dalam Supriatna (2008)
7
Alkohol Lemak (Fatty Alcohol) Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa
maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai Alkohol lemak alami
sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) dikenal sebagai Alkohol lemak
sintetik (Hall et al., 2000).
Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang merupakan
alkohol alifatik rantai panjang. dengan panjang rantai antara C6 sampai C22. Sebagian
besar merupakan rantai lurus dan monohidrat serta dapat diserap atau mempunyai satu
atau lebih ikatan ganda. Alkohol dengan panjang atom karbon lurus di atas C22 lebih
dikenal dengan Wax Alkohol. Karakter Alkohol lemak (primer atau sekunder) linier atau
bercabang, jenuh atau tidak jenuh ditentukan oleh proses pabrik dan bahan baku yang
digunakan (Presents, 2000).
Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di Eropa Barat
hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95 % dimanfaatkan dalam
bentuk turunannya. Pemanfaatan Alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira
sebesar 70-75% (Presents, 2000)
Menurut Suryani et al. (2001), Alkohol lemak diturunkan dari asam lemak dan metil
ester melalui reaksi hidrogenasi. Reaksi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
• Minyak nabati ditransesterifikasi menjadi metil ester, lalu dihidrogenasi menjadi
Alkohol lemak.
• Minyak nabati dihidrolisis menjadi asam lemak, lalu dihidrogenasi menjadi Alkohol
lemak
Untuk menghasilkan Alkohol lemak terlebih dahulu dilakukan transesterifikasi
yang merupakan proses paling efektif untuk transformasi molekul trigliserida menjadi
molekul ester asam lemak. Transesterifikasi melalui reaksi antara alkohol dan molekul
trigliserida dengan adanya katalis asam atau basa (Gambar 1). Sedangkan reaksi kimia
Alkohol lemak dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (Aldehid/ keton), gugus OR akan melekat
pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat bereaksi dengan
alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan Keton dapat bereaksi dengan alkohol
membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan hemiasetal/hemiketal melibatkan tiga
langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O) diprotonasi oleh katalis asam, kemudian
oksigen alkohol menyatu dengan karbon karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen
positif yang dihasilkan (Hart, 2003).
8
Gambar 1 Proses pembuatan Alkohol lemak (Present, 2000)
Dengan kehadiran alkohol berlebih, hemiasetal/hemiketal bereaksi lebih lanjut
membentuk asetal/ketal. Gugus hidroksil (OH) dari hemiasetal digantikan oleh gugus
alkoksil (OR). Reaksi pembentukan asetal terjadi karena salah satu dari kedua oksigen
hemiasetal dapat diprotonasi. Bila oksigen hidroksil diprotonasi, lepasnya air
menghasilkan karbokation resonansi. Reaksi karbokation ini bereaksi dengan alkohol
yang biasa sebagai pelarut dan berada dalam keadaaan berlebih menghasilkan asetal
(sesudah proton lepas).
.
Minyak kelapa/sawit
Pemurnian
Transesterifikasi Hidrolisis
Gliserin
Asam lemak
Esterifikasi Fraksinasi destilasi
Gliserin
Metil ester
Fraksinasi destilasi
Hidrogenasi Hidrogenasi
Alkohol lemak
9
Tabel 4 Reaksi kimia alkohol lemak dan hasilnya
Pereaksi
+ Oksigen Aldehid, Asam karboksilat
+ Basa cair Asam karboksilat
+ Basa Alkohol dimerik
+ Proton Eter, Olefin
+ Alkina Vinil eter
+ Asam karboksilat Ester
+ Hidrogen halida Alkil Halida
+ Ammonia Amina
+ Aldehid / Keton Asetal
+ Sulfat Thiol
+ Alkoholat / H2S Xanthat
Alkohol lemak
+ Metals Metal Alkoksida
Sumber: (Presents, 2000)
Pada Tabel 5 dapat dilihat beberapa karakteristik Alkohol lemak dengan
berbagai panjang rantai.
Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril (dodekanol/ dodecyl
alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6, densitas 0,8309 dan titik
didih sekitar 2590C, tidak berwarna dan tidak larut dalam air
10
Tabel 5 Karakteristik Alkohol lemak dengan bebagai panjang rantai
IUPAC Nama umum
Rumus molekul
Berat Molekul
Titik Lebur
°C
Titik Didih (°C)
1-Hexanol Alkohol kaproat C6H14O 102,2 -52 157
1-Heptanol Alkohol enanthat C7H16O 116,2 -30 176
1-Octanol Alkohol kaprilat C8H18O 130,2 -16 195
1-Nonanol Alkohol elargonat C9H20O 144,3 -4 213
1-Decanol Alkohol kaprat C10H22O 158,3 7 230
1-Undecanol C11H24O 172,3 16 245
1-Dodekanol Alkohol lauril C12H26O 186,6 23 260
1-Tridecanol C13H28O 200,4 30 276
1-Tetradecanol Alkohol miristil C14H30O 214,4 38 172
1-Pentadecanol C15H32O 228,4 44
1-Hexadecanol Alkohol setil C16H34O 242,5 49 194
1-Heptadecanol Alkohol margaril C17H36O 256,5 54
1-Octadecanol Alkohol stearil C18H38O 270,5 58 214
1-Nonadecanol C19H40O 284,5 62
1-Eicosanol Alkohol arakidat C20H42O 298,6 64 215
1-Heneicosanol C21H44O 312,6 68
1-Docosanol Alkohol behenil C22H46O 326,6 71 241
1-Tricosanol C23H48O 340,6 74
1-Tetracosanol Alkohol lignoceril C24H50O 354,7 77
1-Pentacosanol C25H52O 368,7 78
Sumber: (Presents, 2000)
11
Pati Sagu
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat
potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di
Papua dan Maluku yang dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan
sehari-hari. Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai
bahan baku pada industri kosmetik, makanan, kertas, dan plastik (Limbongan, 2007)
Potensi sagu yang masih dapat digarap di Indonesia sangat tinggi, karena masih
terdapat hutan sagu seluas 1,25 juta ha di Papua dan Maluku, serta 148 ribu ha lahan
sagu semibudidaya di Kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, kalimantan, Sulawesi,
Maluku, dan Papua. Lahan sagu ini merupakan lahan terluas di dunia (Humas, 2006)
Tepung sagu merupakan hasil ekstraksi inti batang sagu (Metroxylon sp.) yang
juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Kandungan pati sagu sekitar 84 %
sehingga sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha.
Indonesia termasuk satu dari dua negara yang memiliki areal sagu terbesar di
dunia selain Papua Nugini. Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal
sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk
komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar 0,1%
dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam
mengelola sagu, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung sagu menjadi bentuk-
bentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman sagu umumnya
berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya
kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu adalah tidak superior seperti
halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya.
Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik
dibanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara)
dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per
pohon. Produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini
sekitar 7-10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 56% saja yang dimanfaatkan
dengan baik.
Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat
dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terkena hama penyakit (Bujang
dan Ahmad, 2000). Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya
per 100 g dapat dilihat pada Tabel 6.
12
Tabel 6 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g
Komponen Sagu Jagung Tapioka
Kalori (cal) 357,0 349,0 98,0
Protein (g) 1,4 9,1 0,7
Lemak (g) 0,2 4,2 0,1
Karbohidrat (g) 85,9 71,7 23,7
Air (g) 15,0 14,0 19,0
Fe (g) 1,4 2,8 0,6
Sumber : www. pustaka bogor.net 2007
Granula pati dapat menyerap air dan mengembang. Pengembangan granula
pati bersifat bolak balik sebelum mencapai suhu tertentu. Proses dimana granula pati
bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut gelatinisasi. Suhu dimana larutan pati
bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati
berbeda-beda tergantung jenis pati. Kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah 72 -
74oC. Kandungan amilosa dan amilopektin dari setiap jenis pati dapat dilihat pada Tabel
7.
Tabel 7 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati
Sumber Pati Amilosa (%) Amilopektin (%)
Sagu 27 73
Jagung 28 72
Beras 17 83
Kentang 21 79
Gandum 28 72
Ubikayu 17 83
Sumber : Swinkel dalam Herliana (2005).
Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface
active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan
bagian ekor bersifat hidrofobik sehingga menyebabkan surfaktan cenderung berada
pada antar muka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen
13
seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain untuk menurunkan tegangan
permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan
mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O)
(Rieger,1985).
Secara umum surfaktan dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok, yaitu
kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik. Klasifikasi tersebut berdasarkan
keberadaan gugus hidrofilik yang bersifat menarik air. Gugus hidrofilik yang bermuatan
negatif disebut anionik, yang bermuatan positif disebut kationik, yang tidak bermuatan
disebut nonionik, dan yang bermuatan positif dan negatif disebut amfoterik (Metheson,
1996). Sedangkan Swern (1997) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai
berikut:
• Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus
hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam
amonium kuarterner atau amina.
• Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofobiknya dengan ion
bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi
menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif.
• Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air,
kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan
elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen
dipol.
• Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti
pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai pH.
Menurut Sadi (1994), Surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak
nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak. Proses-proses yang
diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetilasi, etoksilasi,
esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Jenis surfaktan
yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan
karektiristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan.
Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi
menjadi empat kelompok yaitu :
• Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, digliserida, dan poligliserol ester.
• Berbasis karbohidrat seperti alkyl poliglikosida, dan n-metil glukamida.
• Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin.
• Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan
sophorolipid.
14
Menurut Porter (1991), sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya
kelompok yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi, yaitu kelompok hidroksil (R-
OH) dan kelompok eter (R-O-R’). Daya kelarutan dalam air kelompok hidroksil dan eter
lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan kelompok sulfat atau sulfonat.
Micelle
Pada konsentrasi rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada
permukaan udara atau air. Jika ditambahkan konsentrasi surfaktan, maka surfaktan
akan teradsorpsi pada permukaan hingga mencapai kejenuhan dan tegangan
permukaan menjadi konstan. Jika surfaktan terus ditambahkan ke dalam larutan
tersebut, maka molekul surfaktan berada dalam larutan namun bagian hidrofobik dari
surfaktan tetap menolak air sehingga molekul-molekul surfaktan membentuk bulatan
yang dikenal micelles (Gambar 2.a) dan pembentukan micelles dapat dilihat pada
Gambar 2.b.
Gambar 2a. Micelles Gambar 2b. Pembentukan micelles
Gambar 2 Micelles dan pembentukannya
Pembasah
Jika setetes air dijatuhkan di atas suatu permukaan maka tetesan air tersebut
dapat saja menyebar pada permukaan (membasahi) atau membentuk suatu tetesan
stabil di atas permukaan tersebut (tidak membasahi). Penurunan tegangan permukaan
pada air oleh surfaktan dapat membuat sebuah larutan sukar basah menjadi larutan
mudah basah. Semakin pendek rantai hidrokarbon pada struktur kimia suatu surfaktan
semakin baik daya basahnya. Karakteristik daya basah yang optimum dimiliki surfaktan
dengan rantai sekitar C12 (Porter, 1991).
Keterangan :
Micelles surfaktan
Molekul air
Molekul surfaktan
15
Pembentukan buih
Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk buih, baik diinginkan
maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Buih cair adalah sistem koloid dengan
fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Kestabilan buih diperoleh dari
adanya zat pembuih (surfaktan). Zat pembuih ini teradsorpsi ke daerah antar - fase dan
mengikat gelembung -gelembung gas sehingga diperoleh suatu kestabilan. Struktur buih cair tidak ditentukan oleh komposisi kimia atau ukuran buih rata-
rata, melainkan kandungan zat cairnya. Jika fraksi zat cair lebih dari 5%, maka
gelembung gas akan mempunyai bentuk hampir seperti bola. Sebaliknya, jika kurang
dari 5% maka bentuk gelembung gas adalah polihedral. Struktur buih cair dapat berubah jika diberi gaya dari luar. Apabila aya tersebut
kecil, maka struktur buih akan kembali ke bentuk awal setelah gaya tersebut ditiadakan.
Namun, jika gaya yang diberikan cukup besar, maka akan terjadi deformasi. Pengujian surfaktan meliputi kemampuan untuk menstabilkan emulsi,
kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka,
mengontrol jenis formasi emulsi dengan hidrophilic lipophilic balance, dan penentuan
gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red Spectroscopy).
Kestabilan Emulsi Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat
sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang
diinginkan (Kamel, 1991).
Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata
pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi (Suryani
et al., 2000). Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk
mengalir pada sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu
emulsi, diantaranya untuk ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan
globula berukuran halus lebih tinggi viskositasnya dibandingkan dengan emulsi yang
globulanya tidak seragam (Muchtadi, 1990).
Tegangan Permukaan Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-
menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi.
Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-
partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani et al.
2000).
16
Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk
memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan
disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik dari molekul cairan. Tegangan permukaan
diukur menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan dalam dyne per centimeter
(dyne/cm) atau miliNewton per meter (mN/m).
Pada cairan, terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah permukaan dan
pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-menarik
molekul-molekul di bawah permukaan cairan adalah sama pada semua arahnya.
Molekul-molekul di atas permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik
dari molekul-molekul di bawahnya yang mencoba untuk menariknya kembali ke tubuh
cairan, sehingga menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas
permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere).
Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan tegangan
permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan maka semakin
besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue, 1989).
Air merupakan cairan yang umumnya digunakan untuk membersihkan sesuatu
yang memiliki tegangan permukaan. Setiap molekul dalam struktur molekul air,
dikelilingi dan ditarik oleh molekul air yang lainnya. Tegangan permukaan tersebut pada
saat molekul air yang terdapat pada permukaan air ditarik ke tubuh air. Tegangan ini
mengakibatkan air membentuk butiran-butiran pada permukaan gelas atau kain yang
lambat laun akan membasahi bagian permukaan dan menghambat proses
pembersihan.
Tegangan antarmuka
Tegangan antarmuka adalah gaya per satuan panjang yang terjadi pada
antarmuka antara dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka
sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan
selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama
(Moecthar, 1989).
Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) Menurut Suryani et al. (2000), HLB adalah ukuran empiris untuk mengetahui
hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu surfaktan. Sistem HLB
digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan. Terdapat
dua tipe emulsi, yaitu :
a. Water-in-oil (w/o), artinya air terdispersi di dalam minyak.
Memerlukan surfaktan dengan nilai HLB rendah.
17
b. Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air
Memerlukan surfaktan dengan nilai HLB tinggi.
Makin tinggi nilai HLB, maka surfaktan makin bersifat larut air, makin rendah nilai
HLB, surfaktan makin bersifat larut minyak. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan
konsep Grifin disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 8 Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin
Nilai HLB Aplikasi
3 – 6 Pengemulsi W/O
7 – 9 Wetting agent
8 – 14 Pengemulsi O/W
9 – 13 Detergen
10 -13 Solubilizer
12 -14 Dispersant Sumber : Holmberg et al. (2003)
Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR) Fourier Transform Infra Red Spectroscopy merupakan pencirian unsur dan
gugus fungsi dalam suatu polimer. Analisis ini diperlukan karena dalam suatu polimer
terkandung aneka unsur kimia baik logam maupun bukan logam. Spektrum inframerah
dari senyawa organik mempunyai sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah akan
diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau
vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C=C, C=O, O-H dan sebagainya
mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga kemungkinan dua senyawa
berbeda akan mempunyai absorpsi yang sama adalah kecil sekali (Randall et al.,
dalam Indrawanto, 2007).
Alkil poliglikosida (APG)
APG pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil fischer (Margaretha,
1999). APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan
bahan baku yang berbasis pati (kentang, sagu, tapioka dan lain-lain) dengan alkohol
lemak berbasis minyak nabati (kelapa, sawit, biji kapok dan biji karet).
Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu pertama
berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak sedang kedua berbasis dekstrose dan
alkohol lemak. Diagram proses pembuatan APG disajikan pada Gambar 3.
Pada diagram proses Gambar 3 tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis
APG antara metode pertama dengan kedua. Metode pertama melalui proses butanolisis
18
dan transasetalisasi, sedang metode kedua hanya melalui proses asetalisasi yang
selanjutnya dari masing-masing metode masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan,
dan pemucatan.
APG mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik
(lipofilik) dan hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon
tersebut tersusun dari alkohol lemak yang berasal dari minyak sawit atau minyak kelapa.
Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG tersusun dari molekul
glukosa/pati. Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Proses sintesis APG
Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan
mencampurkan alkohol lemak dan glukosa dengan perbandingan 2:1 sampai dengan
perbandingan 10:1 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada
suhu 100-120°C selama 3-4 jam pada tekanan 15-25 mmHg. Setelah itu, campuran
bahan dilakukan netralisasi sampai pH 8-10 dengan menggunakan NaOH 50 % pada
suhu 80°C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur
dengan residu (air + alkohol lemak ) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan
dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan alkohol
Pati atau sirup dekstrosa
Butanolisis
Transasetalisasi
Butanol
Alkohol lemak
Butanol/ Air Netralisasi
Destilasi
Pelarutan
Pemucatan
Alkil poliglikosida
Asetalisasi Alkohol lemak
Glukosa anhidrat atau glukosa monohidrat (dekstrosa)
Air
Alkohol lemak
Air
19
lemak dilakukan pada suhu 160-200°C dan tekanan 15 mmHg. Tahap akhir adalah
pemucatan untuk memperoleh APG murni pada suhu 50-100°C kurang lebih selama 2
jam (Indrawanto, 2007).
Gambar 4. Proses reaksi dan struktur alkyl polyglycoside (APG)
Gambar 4 Proses reaksi dan struktur APG
Menurut Wuest et al. (1992), sintesis surfaktan APG dapat dengan reaksi 2
tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap
pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua
transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C 12-18 dari
alkohol lemak bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas
125oC dan dengan tekanan 4-10 bar dalam zone reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi
dilaksanakan pada temperatur 115-118 oC pada kondisi vakum dengan rasio mol pati
dengan alkohol rantai panjang adalah 1: 1,5 sampai 1: 7, 1:2,5 sampai 1:7, dan 1:3
sampai 1: 5.sedangkan rasio mol sakarida : air = 1:5 sampai 1:12, 1:6 sampai 1:12, 1:6
sampai 1:9, 1:6 sampai 1:8. Pada Gambar 5 dapat dilihat proses reaksi sintesa APG
satu tahap dan Gambar 6 sintesis APG dengan dua tahap.
Gambar 5 Proses sintesis APG satu tahap
20
Gambar 6 Proses sintesis APG dua tahap
Tahapan proses sintesa APG dengan dua tahap meliputi tahap dasar sebagai
berikut:
Reaksi butanolisis Reaksi butanolisis merupakan reaksi antara sumber pati dengan menggunakan
katalis asam dengan butanol untuk membentuk produk butil glikosida.
Pemilihan katalis pada proses sintesa APG juga sangat menentukan
keberhasilan terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesa
berlangsung. Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses
asetalisasi meliputi:
• Asam anorganik: asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.
• Asam organik: asam triflouroasetat, asam p-toluen sulfonat, asam sulfosuksinat,
asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam lemak tersulfonasi , dll.
• Asam dari surfaktan: asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat, alkoksilat
alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari asam sulfosuccinat,
alkil naphthalena sulfonat dll.
Dari katalis tersebut diatas dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat, karena
katalis cenderung bersifat organik dan dapat terurai serta berupa asam lemah. Jika
menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi dengan menghidrolisa
glukosa. Penggunaan asam lemah juga akan memudahkan dalam proses netralisasi.
Selain itu asam p-toluena sulfonat juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun
stainless steel (Hill et al., 1996)
Gibson et al. (2001) menentukan katalis asam yang digunakan dalam proses
asetalisasi/transasetalisasi menggunakan perhitungan sebagai berikut :
• Katalis pertama kira-kira 0,7-1,4% dari berat pati
• Katalis kedua kira-kira 25-50% dari berat katalis yang pertama.
21
• Katalis yang digunakan pada tahapan proses asetalisasi adalah penjumlahan dari
katalis pertama dan katalis kedua.
Reaksi Transasetalisasi Produk akhir proses butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol
rantai panjang (C8-C22) dengan katalisator asam yang jumlahnya 25-50% dari berat
katalis pertama membentuk alkil poliglikosida, sedangkan butanol dan air pada suhu
proses ini (1200C) akan teruapkan dan ditampung dalam separator.
Alkil poliglikosida (APG) merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati
(glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8-C22), sehingga proses pengikatan glukosa
siklik terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (wuest et al, 1992). Salah satu
proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan glikosida) glukosa
dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesa APG
sering pula disebut glycosidation.
McCurry et al, (1996) menyatakan bahwa alkohol lemak rantai panjang yang
diperkenankan dalam sintesa APG adalah mulai rantai C8-C22, tetapi menurut Hill et al.
(1996) rantai panjang alkohol lemak yang dapat digunakan C8–C18 lebih dianjurkan.
Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH) yang sifat kelarutannya sangat
dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang berikatan dengan atom karbon. Dengan
bertambah panjangnya rantai karbon, maka pengaruh gugus hidroksil yang bersifat
polar menurun dan sifat non polar akan semakin tinggi. Alkohol lemak pada APG
diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat
hidrofobik. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan berpengaruh pada suhu
transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai maka titik didih alkohol
lemak semakin tinggi.
Netralisasi Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menghentikan proses asetalisasi/
transasetalisasi dengan menambahkan basa hingga tercapai suasana basa yaitu pH
sekitar 8-10. Basa yang dapat digunakan untuk proses netralisasi ini meliputi alkali
metal, alumunium salt selain itu juga dapat dari anion dari basa organik maupun
inorganik seperti sodium hidroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida,
alumunium hidroksida dan sebagainya (Wuest et al., 1996)
Penggunaan larutan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi
dengan alkohol atau produk. Selain proses penambahan akan lebih mudah karena
berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang
terbentuk (Wuest et al, 1996).
22
Pada proses netralisasi, rasio mol pati terhadap alkohol lemak akan berpengaruh
pada jumlah basa yang digunakan karena alkohol lemak cenderung bersifat asam
semakin banyak jumlah alkohol lemak yang digunakan maka semakin banyak pula basa
yang dipakai. Pada tahapan proses destilasi semakin banyak alkohol lemak yang
digunakan maka akan semakin banyak alkohol lemak yang tidak bereaksi sehingga
semakin banyak alkohol lemak yang harus didestilasi dan terbuang.
Proses netralisasi dilakukan pada suhu 70-1000C dan dilakukan pada tekanan
normal. Lama proses netralisasi kurang lebih 30-60 menit sampai dicapai nilai pH
antara 8-10.
Destilasi Tahapan destilasi ini bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak
bereaksi dari produk APG. Proses destilasi dapat dilakukan pada interval suhu sekitar
160 -1800 C dengan tekanan sekitar 0,1-2 mmHg tergantung alkohol lemak yang
digunakan yaitu semakin panjang rantai maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah
tekanan yang dibutuhkan. Dalam proses ini diperlukan suhu tinggi dan tekanan rendah
untuk dapat menguapkanalkohol lemak yang tidak bereaksi.
Pada tahapan destilasi diharapkan dapat menguapkan alkohol lemak secara
maksimal untuk memperoleh produk APG dengan kandungan alkohol lemak kurang dari
5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak akan mengurangi efektivitas kerja dari
surfaktan APG. Untuk itu, dilakukan pengecekan setiap saat selama proses destilasi
berlangsung untuk memperoleh produk dengan kandungan alkohol lemak serendah
mungkin dan terhindar dari kerusakan (kering) jika waktu destilasi terlalu lama atau
kandungan alkohol lemak masih terlalu banyak jika waktu reaksi terlalu singkat. Karena
kondisi reaktor tertutup dan tidak terlihat dari luar maka pengecekan dilakukan dengan
menggunakan batang pengaduk dengan memasukannya ke dalam reaktor untuk
mengamati kekentalan/viskositas dari larutan reaksi.
Hasil akhir proses destilasi akan diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang
berwarna coklat kehitaman. Untuk itu perlu dilakukan pemucatan untuk memperoleh
APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat.
Pemucatan (Bleaching) Bahan pemucat ramah lingkungan tidak meninggalkan residu yang berbahaya,
salah satunya adalah hidrogen peroksida. Sebagai contoh dalam industri pulp dan
kertas, penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH.
Proses pemucatan dilakukan sebagai tahap akhir proses APG yang bertujuan
untuk membuat penampakan dan bau yang lebih baik. Proses pemucatan dilakukan
dengan menambahkan larutan H2O2 ditambah air dan NaOH hingga diperoleh produk
23
dengan pH 8-10 (Hill et al., 1996). Proses bleaching/pemucatan dilakukan pada suhu
80-900C selama 30-120 menit pada tekanan normal.
APG dapat diklasifikasikan sebagai surfaktan non ionik. Menurut Matheson
(1996) surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi
ionisasi molekul. Oleh karena cabang dari surfaktan tersebut adalah rantai dari alkohol
lemak dan gugus gula (dekstrosa) yang tidak bermuatan. Sifat hidrofilik yang dimiliki
surfaktan non ionik didapatkan karena keberadaan gugus hidroksil dari dekstrosa.
Selain itu gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik) juga menentukan
kemampuan surfaktan dalam membentuk kestabilan emulsi didalam campuran produk
(Swern, 1979).
Herbisida Gulma merupakan salah satu faktor kendala utama dalam usahatani yang
berperan sebagai pesaing tanaman dalam pemanfaatan unsur hara, air, dan ruang.
Sebagian gulma juga menjadi tempat hidup dan tempat bernaung hama dan penyakit
tanaman, serta dapat menyumbat saluran air.
Teknik pengendalian gulma dapat di lakukan dengan berbagai cara, antara lain:
kultur teknis, cara mekanis, cara hayati, penggunaan racun rumput (herbisida) dan
pengendalian gulma secara terpadu (Noor, 1997)
Berdasarkan cara kerja herbisida dikelompokkan menjadi dua yaitu: herbisida
kontak dan sistemik. Herbisida kontak, hanya mampu membasmi gulma yang terkena
semprotan saja, terutama bagian yang berhijau daun dan aktif berfotosintesis.
Kelebihannya adalah dapat membasmi gulma secara cepat, yaitu 2-3 jam setelah
disemprot gulma akan layu dan 2-3 hari kemudian mati. Hal ini akan bermanfaat jika
waktu penanaman harus segera dilakukan. Kelemahannya adalah gulma akan tumbuh
kembali secara cepat sekitar 2 minggu kemudian. Contoh herbisida kontak adalah
paraquat.
Herbisida sistemik, cara kerjanya ditranslokasikan ke seluruh jaringan tanaman
gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai ke
perakarannya. Kelebihannya adalah dapat mematikan tunas - tunas yang ada dalam
tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut. Contoh herbisida sistemik
adalah glifosat, dan sulfosat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas herbisida sistemik, yaitu:
- Gulma harus dalam masa pertumbuhan aktif
- Cuaca cerah ketika aplikasi
- Kondisi kering pada areal yang akan diaplikasikan
- Air bersih sebagai bahan pelarut.
24
Herbisida selektif hanya membasmi gulma dan tidak mempengaruhi pertumbuhan
tanaman.
Herbisida sebagai bahan racun aktif (active ingredient) dalam formulasi biasanya
dinyatakan dalam berat per volume atau berat per berat . Bahan aktif dalam formulasi
herbisida yang bersifat ramah lingkungan seperti glifosat (N-phosponomethyl glycine),
sulfosat ataupun agral (N-phenol glycine). Bahan-bahan lain yang tidak aktif sebagai
inertnya yang dicampurkan dalam herbisida yang telah diformulasi dapat berupa :
• Pelarut (solvent) adalah bahan cair pelarut misalnya alkohol, minyak tanah, xylene
dan air. Biasanya bahan pelarut ini telah diberi deodorant (bahan penghilang bau
tidak enak baik yang berasal dari pelarut maupun dari bahan aktif).
• Sinergis, sejenis bahan yang dapat meningkatkan daya racun, walaupun bahan itu
sendiri mungkin tidak beracun, seperti sesamin (berasal dari biji wijen) dan piperonil
butoksida.
• Emulsifier dan surfaktan, merupakan bahan detergen yang akan memudahkan
terjadinya emulsi bila bahan minyak diencerkan dalam air dan berperan dalam
menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka zat yang dicampurkan.
• Beberapa penambahan bahan-bahan lain dalam formula seperti pencegah
kebakaran, penghilang bau yang tidak enak (deodorizer) dan pembau yang
diinginkan serta pewarna.
Bahan aktif dari formulasi herbisida secara langsung menentukan efektivitas
herbisida tersebut. Pembuatan dosis herbisida yang tepat dapat mengurangi
penggunaan herbisida yang berlebih dan dapat menghemat biaya serta mengurangi
kerusakan berlebih pada lingkungan (Tollenean et al.,1994).
Penggunaan herbisida melalui penyemprotan membutuhkan jenis surfaktan yang
memiliki sifat yang dapat meningkatkan daya penyebaran pembasahan dan dapat
meningkatkan efektivitas herbisida tersebut serta tidak mengganggu stabilitas bahan
aktif yang digunakan dalam formula herbisida tersebut. Surfaktan bekerja dengan
memperluas penyebaran genangan larutan herbisida pada permukaan daun sehingga
semprotan herbisida tersebar lebih merata. Dengan penggunaan surfaktan tersebut,
permukaan daun yang tertutup larutan herbisida menjadi lebih luas dan menjadikan
larutan herbisida bertahan lebih lama di atas permukaan daun. Beberapa surfaktan juga
membantu herbisida tertentu untuk meresap ke dalam permukaan daun dan akar
dengan lebih cepat dan merata (Tominack, 2000).
Salah satu bahan aktif pada herbisida adalah glifosat dan dapat digunakan untuk
semua jenis gulma. Pengaruh bahan aktif glifosat agak lambat, yaitu sekitar 2-4 bahkan
10 hari waktu aplikasi. Menurut Utomo (1995), kelemahan pada aplikasi herbisida
25
berbahan aktif glifosat adalah bila hujan turun kurang dari enam jam setelah aplikasi
akan menyebabkan pengendalian gulma kurang berhasil dan glifosat juga memerlukan
air bersih untuk aplikasinya.
Mekanisme kerja glifosat adalah bahan aktif glifosat diserap oleh daun dan
dibawa kebagian lain melalui filum. Selanjutnya glifosat menghambat pembentukan
asam amino aromatik, terutama menghambat kerja enzim 5-enolpyruvyl shikimate-3-
phosphate syntease (EPSPs) dalam lintasan asam shikimat yang akan membentuk
asam-asam amino aromatic seperti tryptophan, tyrosin, dan phenylalanine sehingga
menghambat sintesis protein yang dibutuhkan tumbuhan (Cremlyn, 1991). Dengan
dihambatnya kerja enzim EPSPs, produksi asam amino aromatik berkurang sehinga sel
akan mati.
Keuntungan penggunaan herbisida antara lain: menghemat waktu, tenaga kerja,
dan biaya, pengendalian gulma dapat dipilih saatnya yang disesuaikan dengan waktu
yang tersedia. Areal pertanaman dapat diperluas. Herbisida mengurangi gangguan
terhadap struktur tanah, bahkan gulma yang mati berfungsi sebagai mulsa yang
bermanfaat mempertahankan kelembaban tanah, mengurangi erosi, menekan
pertumbuhan gulma baru, dan berfungsi sebagai sumber bahan organik dan hara.
Sedangkan akibat sampingan, penggunaan herbisida antara lain: gangguan
kesehatan bagi penyemprot, keracunan karena residu yang termakan, keracunan pada
tanaman dan hewan peliharaan dan pencemaran terhadap lingkungan.
26
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Proses produksi surfaktan APG berbasis pati sagu dan alkohol lemak kelapa
merupakan modifikasi proses produksi dua tahap Wuest, et al. (1992) dengan merubah
sumber patinya dari kentang menjadi pati sagu dan netralisasi dengan MgO diganti
dengan NaOH serta 2 buah reaktor dimodifikasi menjadi 1 buah reaktor. Dengan
perlakuan variasi suhu butanolisis dan variasi rasio mol pati sagu denganalkohol lemak
diharapkan akan menghasilkan kondisi proses produksi APG yang optimum.
APG yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai bahan tambahan pada
herbisida dengan tujuan untuk meningkatkan penetrasi bahan aktif herbisida kedalam
tanaman (Van Valkenburg, 1990). Formulasi herbisida yang terdiri dari bahan aktif
glifosat dan APG dapat digunakan untuk mengendalikan gulma jenis rumput-rumputan.
Formulasi herbisida yang diperoleh disimpan selama 5 minggu dengan suhu
penyimpanan berkisar 150C, suhu ruang (26-29oC), dan 400C. Hal ini dilakukan karena
kondisi di lapangan ternyata bahwa herbisida ini akan dikirim ke daerah dingin sampai
daerah panas atau disimpan di ruangan beratap seng yang suhunya dapat mencapai
400C. Untuk menguji efektivitasnya, formulasi herbisida diaplikasikan untuk gulma
rumput.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia, Departemen
Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB dan Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik, Departemen Pertanian Badan Litbang Pertanian. Penelitian dilakukan mulai
bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2008.
Alat dan Bahan
Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah alkohol lemak C12 yang diperoleh
dari PT. Ecogreen Oleochemical, pati sagu, butanol, asam p-toluena sulfonat, NaOH
50%, H2O2, dan aquades. Bahan yang digunakan untuk analisa contoh meliputi xilena,
piridina, benzena, span 20, twen 80, dan asam oleat.
Alat-alat yang digunakan dalam sintesa APG meliputi reaktor double jacket yang
dilengkapi dengan termoset, kondensor, pompa vakum ”Robinair” ½ Hp, pompa
sirkulasi, hotplate stirrer. Adapun alat untuk analisa meliputi, vortex mixer, Cole-parmer
surface tensiometer, buret serta peralatan gelas.
27
Tahapan Penelitian Tahap 1. Perancangan proses produksi APG
Proses produksi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan konversi bahan baku
(input produksi) menjadi produk (output produksi). Untuk melaksanakan proses atau
kegiatan tersebut diperlukan satu rangkaian proses pengerjaan yang bertahap.
Perancangan proses produksi APG berbasis pati sagu dan alkohol lemak
merupakan modifikasi proses produksi Wuest et al. (1992). Penelitian telah
dilaksanakan menggunakan reaktor double jacket dengan bahan stainless steel yang
dilengkapi dengan thermoset digital dan termometer untuk mengontrol kondisi suhu
reaksi. Reaktor dipanaskan dengan menggunakan media silicon oil dan elemen-elemen
listrik yang dipasang di sekeliling reaktor.
Modifikasi reaktor yang dilakukan adalah menggunakan satu reaktor dengan
memodifikasi tutup reaktor yang dilengkapi dengan peralatan yang memungkinkan
kedua proses yaitu, butanolisis dan transasetalisasi dapat dilakukan, yaitu untuk proses
butanolisis yang memerlukan tekanan tinggi karena suhu sekitar 130-1500C dipasang
barometer tekanan tinggi, sedangkan untuk proses transasetalisasi, kondisi reaktor
memerlukan kondisi vakum dengan cara menghisap udara yang terdapat dalam reaktor
dengan menggunakan pompa vakum, tekanan dapat diukur dengan barometer vakum.
Gambar 7 Tutup reaktor dengan barometer tekanan tinggi dan vakum
Kelebihan proses dua tahap antara lain menggunakan bahan baku pati yang
harganya lebih murah daripada turunannya dan waktu proses sintesis APG lebih
singkat, sedangkan kekurangannya antara lain menggunakan alkohol rantai pendek
(butanol) akan mempengaruhi biaya produksi, APG yang dihasilkan berwarna gelap,
dan kondisi proses butanolisis menggunakan tekanan tinggi.
28
Tahap 2. Proses produksi APG • Tahap butanolisis
Proses butanolisis dilakukan pada reaktor double jacket dengan mencampurkan
butanol dengan pati sagu, air dan katalisator asam p-toluena sulfonat. Kondisi
proses pada suhu 130-1500C dengan tekanan 3– 5 bar, selama 30 menit. Tahap
butanolisis akan menghasilkan butil glikosida, kelebihan butanol, air, dan residu.
• Tahap transasetalisasi
Proses transasetalisasi dilakukan pada reaktor double jacket dengan mencampurkan
hasil proses butanolisis dengan alkohol lemak (C12) dan katalisator asam p-toluena
sulfonat. Kondisi proses pada suhu 110 – 1200C dengan kondisi vakum pada
tekanan 15-25 mmHg selama 2 jam.
Tahap transasetalisasi akan mengeluarkan kelebihan butanol yang tidak bereaksi
dan air. Pada tahap ini dihasilkan APG yang masih bercampur dengan alkohol
lemak.
• Tahap netralisasi
Campuran bahan hasil transasetalisasi didinginkan sampai mencapai suhu 900C
yang kemudian dilakukan netralisasi sampai pH 8-10 dengan menggunakan NaOH
50 %.
• Tahap destilasi
Proses destilasi bertujuan untuk mengeluarkan alkohol lemak yang tidak bereaksi
dengan menggunakan kondenser yang dilakukan pada suhu 160-180°C dan
tekanan 15 mmHg.
• Tahap pelarutan
APG yang diperoleh dari proses destilasi setelah suhu diturunkan sampai 800C
ditambah air disesuaikan dengan kemurnian produk yang diinginkan.
• Tahap pemucatan
Proses pemucatan menggunakan H2O2 dan penambahan NaOH untuk
mempertahankan pH APG murni. Secara skematis tahapan proses produksi APG dapat dilihat pada Gambar 7.
29
Suhu 130-150oC Katalis asam (asam p-toluene sulfonat) + asam p-toluene sulfonat Suhu 110-120oC Tekanan vakum Didinginkan sampai suhu 90oC
+ NaOH s/d pH 8-10 Selama 30 menit, tekanan normal
Suhu 160-180 oC Tekanan 15 mmHg +Air +H2O2 + NaOH
Gambar 8 Metode sintesis APG metode dua tahap (modifikasi metode Wuest et al.
(1992)
Netralisasi
Destilasi
APG Kasar Alkohol lemak
Pelarutan
APG
Transasetalisasi
Butanolisis
Alkohol lemak
air + butanol
Air Butanol Pati Sagu
Pemucatan/Bleaching
30
Tahap 3. Optimasi APG dengan respon stabilitas emulsi Optimasi sintesis APG dilakukan dengan menggunakan metode permukaan
respon (Response Surface Method) dengan mengkaji pengaruh dua faktor, yaitu variasi
suhu butanolisis dan variasi rasio mol pati sagu-alkohol lemak. Parameter uji untuk
optimasi ini adalah stabilitas emulsi (%) APG yang diperoleh. Setelah mendapatkan
kondisi proses yang optimum, dilanjutkan proses validasi produksi APG pada kondisi
optimum laboratorium.
Tahap 4. Karakterisasi APG Karaketristik APG yang dihasilkan dibandingkan dengan APG komersial sebagai
standard. Karakterisasi pada penelitian ini meliputi kemampuan untuk menurunkan
tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis pembentuk emulsi
dengan menentukan nilai Hidrofil Lipofil Balance, penentuan gugus fungsi APG dengan
FTIR, rendemen dan pH. Adapun metode analisa disajikan pada Lampiran 2.
Tahap 5. Karakterisasi (fisik dan kimiawi, stabilitas emulsi dan efektivitas) formulasi herbisida
Formulasi herbisida dalam penelitian ini bertujuan membuat beberapa formula
yang merupakan campuran APG yang dihasilkan dengan bahan aktif glifosat yang
sudah terlarut dalam isopropil amina. APG sebagai bahan tambahan dapat
dicampurkan dengan berbagai konsentrasi dengan konsentrasi glifosat yang ada di
pasaran sehingga didapat formulasi herbisida yang paling baik. Formulasi herbisida
tersebut juga akan mengalami perlakuan penyimpanan pada suhu 15oC, suhu ruang,
dan 40oC selama lima minggu. Parameter untuk menilai formulasi herbisida adalah
kestabilan emulsi.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan optimasi sintesis APG Rancangan percobaan optimasi sintesis APG menggunakan metode
permukaan respon (Response Surface Mehtod) dan penelitian menggunakan rancangan
komposit terpusat. Faktor yang dianalisis ada dua yaitu:
1. Suhu proses butanolisis (X1) dengan rentang antara 130 – 150 °C.
2. Rasio mol pati : alkohol lemak (X2) dengan rentang antara 1:2,5 – 1:6,
Dengan basis percobaan 20,25 g pati sagu. Desain rancangan percobaan dapat
dilihat pada Tabel 9.
31
Tabel 9 Desain percobaan untuk optimasi sintesis APG
Kode variabel No. Suhu butanolisis (oC) Rasio mol
X1 X2
1 130 2,5 -1 -1
2 130 6 -1 1
3 150 2,5 1 -1
4 150 6 1 1
5 140 4,25 0 0
6 140 4,25 0 0
7 125,9 4,25 0 -1,41
8 154,1 4,25 0 1,41
9 140 1,78 -1,41 0
10 140 6,72 1,41 0
Parameter yang dianalisis adalah stabilitas emulsi surfaktan APG yang diperoleh
(Y). Model rancangan percobaan faktorial untuk mengetahui pengaruh dari kedua faktor
terhadap respon yang diinginkan adalah sebagai berikut:
215224
21322110 xxaxaxaxaxaaY +++++=
Keterangan:
Y = Stabilitas emulsi surfaktan APG (%)
a0, a1, a2, a3, a4, a5 = Koefisien regresi
X1 = Pengaruh linier faktor rasio mol pati dan alkohol lemak
X2 = Pengaruh linier faktor suhu proses butanolisis (°C)
X1X2 = Pengaruh linier interaksi faktor rasio mol pati sagu dan alkohol
lemak dan suhu proses butanolisis
X12 = Pengaruh kuadratik faktor suhu butanolisis (0C)
X22 = Pengaruh kuadratik faktor rasio mol pati sagu dengan alkohol
lemak (gram)
Menurut Cohan dalam Anwar (2008), hasil statistik ini dapat digunakan untuk
mengetahui persen pengaruh faktor yang menggambarkan pengaruh perubahan faktor
terhadap permukaan respon. Persamaan persen pengaruh sebagai berikut :
Persen pengaruh : F x 100 %
α0(Xh-Xi)
Keterangan: F : pendugaan parameter
α0 : intersep
32
Xh : nilai tinggi faktor
Xi : nilai rendah faktor
Rancangan percobaan formulasi herbisida hasil penyimpanan pada suhu yang berbeda
Aplikasi formulasi herbisida dilakukan pada petak percobaan dengan ukuran 3
m x 2 m, dengan jarak antar petak 0,5 m, dengan dua kali ulangan. Penyemprotan
menggunakan knapsack sprayer merk Golden Spray tipe GS-008 dengan volume
semprot 400 l/ha. Aplikasi formula herbisida dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00
- 09.00 dan cuaca dalam keadaan cerah minimal 6 jam setelah aplikasi tidak turun
hujan.
Rancangan percobaan pada aplikasi formulasi herbisida adalah rancangan acak
lengkap faktorial dengan 3 faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang dikaji adalah :
• Variasi suhu penyimpanan yaitu suhu 15oC, suhu ruang (26-290C), dan suhu 40oC
• Variasi konsentrasi glifosat yaitu konsentrasi 16%, 24%, dan 48%
• Variasi konsentrasi surfaktan APG terdiri dari 2%, 4%, 6%, dan 10%.
Model rancangan percobaan yang digunakan adalah:
Yijk = μ + Ai + Bj + Ck + ABij + ACik + BCjk + ABCijk + εijk
Keterangan:
Yijk = Nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-I, faktor B taraf-j pada ulangan ke-l
μ = Nilai rata-rata
Ai = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i
Bj = Pengaruh faktor B pada taraf ke-j
Ck = Pengaruh faktor C pada taraf ke-k
ABij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j
ACik = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor C taraf ke-k
BCjk = Pengaruh interaksi faktor B taraf ke-j dengan faktor C taraf ke-k
εijk = Pengaruh kesalahan percobaan
ABCijk = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j dengan faktor
C taraf ke-k
Untuk data non parametrik seperti uji efektivitas yang pengamatannya
berdasarkan skoring dilakukan dengan uji Kruskal Wallis.
Apabila pengaruh perlakuan itu nyata, diteruskan dengan uji lanjut Duncan pada
taraf nyata 5 % atau 1 %. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program
Software SPSS 11,5.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan Proses Produksi APG Proses produksi alkil poliglikosida (APG) dilakukan dengan memodifikasi
tutup reaktor untuk proses dengan tekanan tinggi atau kondisi vakum. Tutup
reaktor dilengkapi dengan tiga buah kran yang masing-masing kran dihubungkan
dengan barometer tekanan tinggi, barometer vakum, dan pendingin. Untuk
proses butanolisis, kran pada barometer tekanan tinggi dibuka sedangkan yang
lain ditutup, sedangkan untuk proses transasetalisasi kran pada barometer
tekanan tinggi ditutup dan kran pada barometer vakum serta kran pendingin
dibuka.
Reaktor yang digunakan merupakan reaktor double jacket yang
dilengkapi dengan thermoset digital untuk mengatur suhu dengan memanaskan
silicon oil sebagai media panas untuk memanaskan reaktor. Foto reaktor dengan
tutupnya dapat dilihat pada Gambar 9.
Untuk keamanan pada proses dengan tekanan tinggi (butanolisis)
dipasang safety valve yang diatur sesuai dengan tekanan maksimum yang
dipergunakan. Seal antara penutup reaktor dengan reaktor menggunakan seal
silicon yang tahan sampai suhu 2000C. Sedangkan untuk mengukur suhu dalam
reaktor menggunakan termometer manual dengan kisaran suhu 0 sampai 3000C
yang diletakan dalam wadah/lubang tutup reaktor.
Pengadukan dalam reaktor masih menggunakan pengaduk magnetik
berukuran 6 cm dengan kecepatan putaran sekitar 200 rpm. Pada tutup reaktor
terdapat lubang untuk memasukan bahan dan mengontrol perputaran pengaduk
magnetik dengan menggunakan kawat batang pengaduk. Selain itu lubang
tersebut dapat berfungsi untuk mengontrol kekentalan APG dalam reaktor pada
saat destilasi sehingga alkohol lemak yang masih ada dalam reaktor sudah
minimum.
Proses destilasi pada sintesa APG adalah untuk memisahkan butanol dan
alkohol lemak yang tidak bereaksi dari APG, perbedaan titik didih akan
memisahkan komponen tersebut dari APG. Komponen uap akan diubah dalam
bentuk cair dalam kondensor dan masuk dalam separator stainless steel. Proses
pemakuman menggunakan pompa vakum 0,5 PK. Gambar rangkaian peralatan
proses produksi APG dapat dilihat pada Gambar 10.
34
Gambar 9 Reaktor berjaket dan thermoset
Gambar 10 Rangkaian peralatan proses produksi APG
keterangan : 1 = reaktor berjaket 2 = barometer bertekanan tinggi 3 = barometer vakum 4 = safety valve 5 = wadah untuk termometer 6 = lubang kontrol stirer 7 = kondensor 7a = inlet 7b = outlet
8 = separator 9 = tangki silika gel 10 = pompa vakum
7
101
9
2 3
4
5 6
8
7b
7a
35
Proses Produksi APG dengan Dua Tahap Sintesa APG dua tahap meliputi: (1) Butanolisis; mereaksikan pati sagu
dengan butanol (C4) dengan katalis asam; (2) Transasetalisasi; mereaksikan
hasil butanolisis (butil glikosida) dengan alkohol lauril (dodekanol) dengan katalis
asam dengan mengganti butil oleh lauril dan menguapkan butanol dan air; (3)
Netralisasi katalis asam yang digunakan pada proses butanolisis dan
transasetalisasi; (4) Destilasi dodekanol yang tidak bereaksi; (5) Pelarutan
dengan air dan (6) Pemucatan produk APG) yang terbentuk.
1. Butanolisis
Tahapan butanolisis pada sintesa APG merupakan tahapan reaksi dalam
reaktor double jacket antara pati sagu dengan butanol, air dan katalisator asam
p-toluena sulfonat. Pada tahapan ini air akan menghidrolisis pati sagu memecah
ikatan glikosida yang selanjutnya bereaksi dengan butanol pada suhu proses
antara 130-1500C, tekanan sekitar 4 - 5 bar, dengan katalisator asam p-toluena
sulfonat selama 30 menit. Hasil akhir proses butanolisis menghasilkan larutan
butil glikosida yang berwarna coklat muda. Foto hasil akhir dari tahapan
butanolisis dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Hasil akhir proses butanolisis
Transasetalisasi
Secara umum tahapan ini merupakan proses penggantian C4 oleh C12
dengan katalis asam p-toluena sulfonat sebanyak 50 % dari proses butanolisis
dan kondisi selama reaksi pada suhu 110-120oC, tekanan vakum selama 2 jam..
Alkohol lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai
panjang sebagai bagian yang bersifat hidrofobik. Semakin panjang rantai gugus
alkil, sifat non polar akan semakin tinggi. Pemilihan alkohol lemak yang tepat
juga akan berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin
panjang rantai maka titik didih alkohol lemak semakin tinggi. Wuest et al. (1992)
36
menyatakan bahwa penggunaan alkohol lemak lebih disarankan untuk
menggunakan fatty alkohol dengan panjang rantai C 8- C12.
Penambahan dodekanol pada larutan hasil proses butanolisis secara
langsung ternyata membentuk kristal dan tidak dapat bercampur karena
perbedaan polaritas larutan hasil butanolisis dengan dodekanol sehingga
diperlukan solubilizer. McDaniel et al. dalam Balzer (2000) menggunakan
solubelizer N-metil 2 pyrrolidone (NMP) untuk melarutkan metil monoglikosida
dengan dodekanol. Namun NMP ini bersifat racun terhadap lingkungan. Salah
satu solubilizer sejenis NMP yang tidak mencemari lingkungan adalah dimetil
sulfoxida (DMSO) dengan rumus kimia (CH3)2SO yang merupakan asam lemah
dan toleran terhadap basa kuat dengan titik didih 189oC yang akan terpisah dari
APG pada saat proses destilasi.
Pada proses transasetalisasi, dengan penambahan DMSO pada
campuran larutan hasil butanolisis dengan dodekanol menghasilkan larutan
berwarna coklat tua yang terdiri dari dodecil poliglikosida dan dodekanol berlebih.
Derajat keasaman larutan yang dihasilkan mempunyai pH antara 4 dan 5.
Sedangkan air dan butanol terdestilasi dan ditampung dalam separator. Hasil
akhir proses transasetalisasi dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Hasil akhir proses transsetalisasi
Netralisasi Proses netralisasi dilakukan pada suhu 70-900C dan dilakukan pada
tekanan normal. Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menetralisir asam p-
toluena sulfonat dengan menambahkan basa NaOH 50 % hingga tercapai
suasana basa yaitu pada pH sekitar 8-10.
Penggunaan larutan sodium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan karena
NaOH tidak bereaksi terhadap alkohol atau produk. Selain proses penambahan
akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan
untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al., 1996).
37
Destilasi Tahapan destilasi dilakukan pada interval suhu sekitar 160-1800 C
dengan kondisi vakum dan lamanya tergantung pada jenis alkohol lemak dan
jumlahnya.
Pada tahapan destilasi diharapkan kandungan dodekanol yang tidak
bereaksi kurang dari 5% dari berat produk APG yang dihasilkan. Keberadaan
alkohol lemak dalam APG yang dihasilkan dapat terlihat dari kekentalan dan
tercium dari bau alkohol lemaknya. Lamanya destilasi tergantung dari jumlah
dodekanol yang tidak bereaksi pada proses transasetalisasi. Pada penelitian ini,
lamanya destilasi sekitar 60 menit dengan cara mengontrol aliran alkohol lemak
dari kondensor, jika alkohol lemak sudah tidak mengalir, suhu segera dimatikan.
Hasil akhir proses destilasi akan diperoleh dodecil poliglikosida (APG)
kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat tua dan kerak hitam yang
menempel pada dinding reaktor. Bentuk pasta ini akan segera mengeras pada
suhu ruang sehingga dengan segera dicampur air sesuai kemurnian yang
dikehendaki. Gambar APG kasar dari hasil akhir destilasi dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.
Gambar 13 Hasil akhir destilasi
Pelarutan Proses pelarutan bertujuan untuk menentukan derajat kemurnian APG
yang diinginkan dengan cara penambahan air dan untuk menjaga pH netral atau
basa dapat ditambahkan kembali NaOH 50% karena pH asam akan merusak
produk APG (Hill et al., 1996.) Penambahan air pada dodecil glikosida menyebabkan terbentuknya buih
karena sifat APG yang menghasilkan banyak busa. Dalam penelitian ini
kemurnian APG ditentukan 70 % sesuai dengan APG komersial. Menentukan
jumlah air yang ditambahkan pada APG dengan kemurnian 70 % adalah 3/7 x
berat rendemen APG yang dihasilkan.
38
Pemucatan (Bleaching) Proses pemucatan bertujuan untuk membuat penampakan (warna) yang
lebih cerah pada produk APG. Proses pemucatan dilakukan dengan
menambahkan larutan H2O2 35%. Proses pemucatan dilakukan pada suhu 80-
900C selama 30-120 menit pada tekanan normal. Pada penelitian ini
ditambahkan sekitar sekitar 2 ml H2O2 untuk menghasilkan produk akhir APG
berbentuk pasta dan berwarna coklat muda. Hasil akhir pemucatan dapat dilihat
pada Gambar 14.
Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan
oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak
meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur
sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas,
penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH
(http://www.h2o2.com).
Gambar 14 Hasil akhir pemucatan
Optimasi Proses Produksi APG Pengaruh faktor suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu : alkohol lemak terhadap kestabilan emulsi air:xilene
Stabilitas emulsi air : xilene dengan variasi suhu butanolisis dan variasi
rasio mol pati sagu-alkohol lemak dapat dilihat pada Lampiran 5. Pengaruh suhu
butanolisis dan rasio mol pati sagu - dodekanol terhadap kestabilan emulsi air :
xilena dengan penambahan APG dapat dilihat pada Tabel 10.
Suhu butanolisis (X1) memiliki pengaruh positif terhadap kestabilan
emulsi air : xilena dengan penambahan APG pada tingkat signifikansi 98,69 %.
Pengaruh suhu butanolisis terhadap rasio mol pati sagu-dodekanol dapat dilihat
pada Gambar 13. Butanolisis dilakukan pada suhu 130-1400C dan tekanan 3-5
bar sehingga akan terjadi hidrolisis yang menyebabkan pengikatan gugus aldehid
dari polisakarida pati sagu dan gugus hidroksil dari butanol yang menghasilkan
39
butil glikosida. Pada proses transasetalisasi, butil glikosida bereaksi dengan
dodekanol yang dilakukan pada kondisi vakum sehingga menurunkan titik didih
dari dodekanol sehingga gugus OH akan menjadi lebih reaktif untuk
menggantikan rantai pendek alkohol (butil) oleh rantai panjang alkohol
(dodekanol) membentuk senyawa surfaktan dodecil poliglikosida (APG).
Tabel 10 Koefisien parameter, nilai signifikansi dan persen pengaruh dengan
respon kestabilan emulsi air :xilene dengan penambahan surfaktan APG
Koefisien parameter
Signifikansi
(%)
Pengaruh (%)
Titik potong 64,29 99,69
Suhu butanolisis (X1) 35,53 97,53 2,76
Rasio mol (X2) -9,63 60,44 -4.28
X1*X2 -20,56 77,60
X1*X1 -29,82 90,94
X2*X2 -23,09 83,98
Dari Tabel 10 menunjukkan bahwa suhu butanolisis memiliki pengaruh
2,76 % dengan selang kepercayaan 97,53 %. Suhu butanolisis berpengaruh
positif terhadap nilai kestabilan emulsi air : xilene dengan penambahan surfaktan
APG. Semakin tinggi suhu butanolisis sampai dengan suhu optimum
menyebabkan proses butanolisis semakin sempurna sehingga APG yang
dihasilkan mempunyai kemampuan untuk lebih mempertahankan kestabilan air:
xilene. Sedangkan faktor rasio mol pati sagu dengan alkohol lemak memiliki
pengaruh -4,28 % dengan selang kepercayaan 60,44 %. Faktor rasio mol pati
sagu dengan alkohol lemak memberikan pengaruh negatif terhadap kestabilan
emulsi air :xilene dengan penambahan surfaktan.
Faktor interaksi antara suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu dengan
alkohol lemak terhadap kestabilan emulsi air:xilene memiliki pengaruh negatif
dengan tingkat kepercayaan 77,60 %. Interaksi suhu butanolisis terhadap rasio
mol pati sagu–dodekanol dapat dilihat pada Gambar 15. sedangkan interaksi
rasio mol pati sagu-dodekanol terhadap suhu butanolisis pada Gambar 16.
40
Gambar 15 Grafik pola interaksi faktor suhu butanolisis terhadap faktor rasio mol
pati sagu-dodekanol
Gambar 16 Grafik pola interaksi faktor rasio mol pati sagu–dodekanol terhadap
faktor suhu butanolisis
Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa kestabilan emulsi air:xilene
meningkat dengan meningkatnya suhu butanolisis pada rasio mol pati sagu-
alkohol lemak 1 : 2,5, sedangkan kestabilan emulsi air:xilene meningkat sedikit
dengan meningkatnya suhu butanolis pada rasio mol pati sagu-alkohol lemak 1 :
6. Sedangkan pada Gambar 16 menunjukkan bahwa kestabilan emulsi air:xilene
meningkat dengan meningkatnya rasio mol pati sagu-dodekanol dari 1: 2,5 ke 1:
6 pada suhu butanolisis 1300C, tetapi terjadi penurunan kestabilan emulsi
air:xilene pada suhu butanolisis 1500C dengan meningkatnya rasio mol pati
sagu-alkohol lemak dari 1 : 2,5 ke 1 : 6 . Penurunan kestabilan emulsi pada suhu
1500Cdari rasio mol pati sagu : dodekanol = 1 : 6 dapat disebabkan oleh jumlah
Rasio mol
41
alkohol lemak (dodekanol) sangat berlebihan dan tidak bereaksi dengan pati
sagu, yang dapat menyebabkan menambah waktu destilasi (160-1800C) yang
dapat merusak produk APG yang dihasilkan dan menurunkan kestabilan emulsi
APG dalam air : xilena.
Analisis hasil optimasi kestabilan emulsi air:xilene menggunakan RSM Optimasi proses produksi APG dengan respon nilai kestabilan emulsi
menggunakan analisa Response Surface Method (RSM) dengan menggunakan
software Statistica versi 6.0.
Hasil optimasi diperoleh hubungan antara respon uji kestabilan emulsi air
: xilena dengan penambahan APG dengan 2 faktor yaitu suhu butanolisis (X1)
dan rasio mol pati sagu : dodekanol (X2) dan diperoleh persamaan:
Y= 64,29 + 35,53X1 – 29,82X12 - 9,63x2 – 23,09X2
2 -20,56X1X2
Dimana Y merupakan nilai kestabilan emulsi air : xilena dengan penambahan
APG (%), X1 adalah suhu butanolisis (0C). dan X2 adalah rasio mol pati sagu :
dodekanol.
Permukaan respon dan kontur permukaan respon kestabilan emulsi air :
xilena dengan penambahan APG dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18.
Pada gambar 17 dan Gambar 18 merupakan gambar grafik dan kontur
permukaan respon kestabilan emulsi air : xilene . Titik optimum yang dihasilkan
dari grafik dan kontur tersebut adalah pada nilai kestabilan emulsi air:xilene
72,64 %. Nilai kestabilan emulsi air : xilene sebesar 72,64 didapatkan pada
faktor suhu butanolisis 0,79 dan faktor rasio mol pati sagu : alkohol lemak -0,56.
Titik variabel tersebut dikembalikan dalam bentuk suhu butanolisis dan rasio mol
pati jagung : alkohol lemak, yaitu :
X1 (suhu butanolisis) = 147,8 0C
X2 (rasio mol pati sagu : alkohol lemak) = 1 : 3,27
42
Gambar 17 Permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan
penambahan APG
Gambar 18 Kontur permukaan respon nilai kestabilan emulsi air:xilena
dengan penambahan APG
Suhu butanolisis sintesa APG pada penelitian ini hampir sama dengan
paten Wuest et al. (1992) yang telah mensintesa APG dengan suhu butanolisis
antara 140-1450C. Sedangkan rasio mol pati sagu : dodekanol optimum dalam
penelitian adalah 1:3,27 sedangkan dalam paten Wuest et al. (1992), rasio mol
pati jagung dengan alkohol lemak C12-14 adalah 1 : 5,2. Penggunaan alkohol
lemak yang lebih sedikit dapat disebabkan oleh jenis pati yang digunakan atau
kondisi proses yang lebih efisien. Respon suhu melebihi optimasi yang
diharapkan sedangkan rasio mol pati sagu : dodekanol kurang dari yang
43
diharapkan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh keterbatasan reaktor percobaan
seperti ketebalan reaktor yang hanya dapat diberi perlakuan suhu butanolisis
sampai 1500C yang seharusnya dapat mencapai 1700C dengan tekanan sekitar 7
bar namun diperkirakan reaktor tidak kuat.
Permukaan respon hasil analisis kanonik tersebut kemudian dilakukan
validasi untuk mengetahui kesesuaian model permukaan respon terhadap nilai
kestabilan emulsi air : xilene. Validasi dilakukan pada kondisi percobaan yang
optimum, yaitu pada suhu butanolisis 147,80C dan rasio mol pati sagu:alkohol
lemak 1 : 3,27 .
Hasil validasi menunjukkan nilai kestabilan emulsi air:xilena dengan
penambahan APG sebesar 72,3 % hampir sama seperti pada kondisi optimum,
yaitu sebesar 72,64%. Dengan demikian, model yang dihasilkan mendekati
kondisi proses yang diharapkan untuk menghasilkan kestabilan emulsi air:xilene
yang paling maksimum.
Karakterisasi APG
Karakterisasi pada penelitian ini meliputi kemampuan untuk menurunkan
tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis pembentuk
emulsi dengan menentukan nilai HLB, penentuan gugus fungsi dengan FTIR,
rendemen dan pH.
Kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan Pengukuran tegangan permukaan air dengan berbagai konsentrasi APG
yang dihasilkan dilakukan dengan tensiometer metode du Nouy. Pada metode ini
tegangan permukaan sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk menarik
cincin hingga lapisan tipis tepat putus.
Surfaktan APG yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk menurunkan
tegangan permukaan air, namun penurunan tegangan permukaan dengan
penambahan APG komersial lebih besar daripada APG hasil validasi proses
kondisi optimum.
Kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan
gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila
gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-
partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani,
et al. 2000). Pada Tabel 11 dan Gambar 19 menunjukkan bahwa semakin tinggi
44
konsentrasi APG yang digunakan maka tegangan permukaan air akan semakin
menurun.
Tabel 11 Nilai uji perbandingan tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi
Tegangan permukaan (dyne/cm)
Konsentrasi APG (%) pada sistem emulsi APG komersial APG hasil validasi
0,1 32,20 26,250
0,2 29,04 25,875
0,3 27,12 25,375
0,4 25,54 25,250
0,5 24,96 25,125
0,6 23,96 24,875
0,7 24,00 24,750
0,8 22,96 24,375
0,9 21,98 24,250
1 21,36 23,375
Keterangan: tegangan permukaan air: 72 dyne/cm Moecthar (1989)
20
22
24
26
28
30
32
34
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
Konsentrasi surfaktan (% : b/v)
Tega
ngan
per
muk
aan
(dyn
e/cm
)
APG KomersialAPG hasil validasi
Gambar 19 Grafik tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG
hasil sintesa dan komersial pada berbagai konsentrasi.
45
Kemampuan untuk Menurunkan Tegangan Antar Muka Pengukuran tegangan antarmuka air:xilena dengan penambahan APG
dengan berbagai konsentrasi dilakukan dengan menggunakan tensiometer
metode du Nouy. Pengukuran ini menggunakan larutan yang yang tidak saling
bercampur satu sama lain yaitu antara air (polar) dengan xilena (non polar).
Besarnya tegangan antar muka sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk
menarik cincin hingga lapisan tipis pada cincin yang terbentuk pada batas dua
larutan tepat putus.
Hasil pengukuran tegangan antar muka larutan APG sebanding dengan
nilai tegangan permukaan hanya nilai yang diperoleh lebih kecil. Menurut
Moecthar (1989) bahwa tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan
permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil
daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama. Dari Tabel 12 dan
Gambar 20 menunjukkan bahwa penurunan nilai tegangan antarmuka air:xilena
dengan peningkatan konsentrasi APG yang digunakan. Berdasarkan hasil
pengukuran menunjukkan bahwa APG hasil validasi pada kondisi proses
optimum mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka lebih
baik dibandingkan dengan APG komersial.
Tabel 12 Nilai uji perbandingan tegangan antar muka air : xilena
Tegangan antarmuka (dyne/cm) Konsentrasi
APG (%) APG komersial APG hasil validasi
0,1 13,08 10,33
0,2 11,50 9,17
0,3 10,00 8,50
0,4 7,96 8,17
Ket: Tegangan antar muka air:xilena= 1:1 = 44 dyne/cm Moecthar (1989)
46
0
2
4
6
8
10
12
14
0.1 0.2 0.3 0.4
Konsentrasi APG (%:b/v)
Tega
ngan
ant
ar m
uka
(dyn
e/cm
)APG komersialAPG hasil validasi
Gambar 20 Grafik tegangan antarmuka air : xilena akibat pengaruh penambahan APG hasil validasi dan komersial pada berbagai konsentrasi.
Model tegangan permukaan dan antarmuka surfaktan non ionik (Giribabu
dan Ghosh, 2007)
Persamaan adsorpsi Gibbs untuk permukaan surfaktan non ionik adalah:
cddy
RT ln1
−=Γ (1)
Dimana γ dalah tegangan permukaan atau antar muka dan c adalah
konsentrasi surfaktan. Berdasarkan isoterm adsorpsi Langmuir, permukaan
dihubungkan dengan konsentrasi larutan surfaktan sebagai
cKcK
L
L
+Γ
=Γ ∞
1 (2)
Dimana Γ∞ adalah kapasitas adsorpsi. Nilainya tergantung pada area
permukaan minimum yang diduduki oleh molekul surfaktan yang teradsorpsi.
Tetapan keseimbangan, KL, adalah rasio konstanta laju adsorpsi dan desorpsi.
Untuk surfaktan nonionik, tidak ada interaksi ionik yang nyata antara molekul
surfaktan yang teradsorpsi pada antar muka. Namun, bila antar muka mendekati
jenuh (yaitu 0Γ→Γ ) rantai polimer dari molekul surfaktan dapat berinteraksi
satu sama lainnya. Model Langmuir diharapkan menjadi sahih pada konsentrasi
surfaktan dibawah CMC. Dari persamaan (1) dan (2) diperoleh
cdcK
cKRTdyL
L ln1 ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+
Γ−= ∞ (3)
47
Jika tegangan antar muka antara dua fase fluida yang tanpa surfaktan
dinyatakan dengan γ0, integrasi persamaan 3 menghasilkan
( )cKRT LO +Γ−= ∞ 1lnγγ (4)
Persamaan 4 dikenal dengan persamaan keadaan permukaan yang
menghubungkan tegangan antarmuka dengan konsentrasi surfaktan. R adalah
konstanta gas : 8,3147 x 10 7 dyne cm/mol K dan T suhu : 25 0C. Persamaan ini
mempunyai dua parameter yang tidak diketahui, yaitu Γ∞ dan KL, yang dapat
diperoleh dengan mencocokkan harga γ terhadap c.
Untuk menghitung KL dan Γ∞ dapat dengan cara optimasi non linear multi
variabel yang dapat dihitung dengan metode optimasi Nedler-Mead yang
diselesaikan dengan Turbo Pascal. Hasil optimasi diperoleh nilai KL dan Γ∞
dapat dilihat pada Tabel 13.
Dengan persamaan (4) dan data KL dan Γ∞ dapat diperoleh nilai
tegangan permukaan percobaan dan model dari APG komersial dan APG yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 13 Nilai KL dan Γ∞ untuk tegangan peremukaan hasil optimasi metode Nedler-Mead
Tegangan permukaan Parameter
Komersial Percobaan
KL 64.212,528 9.558.342.487,4
Γ∞ 1,3 x 10-10 0,9 x 10-10
Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan (4) ternyata model
tegangan permukaan sesuai dengan tegangan permukaan APG komersial
dengan kesalahan 0,7994%. Grafik tegangan permukaan model dengan
tegangan permukaan APG komersial dapat dilihat pada Gambar.. Sedangkan
untuk tegangan permukaan APG yang dihasilkan, ternyata model tegangan
permukaan sesuai dengan tegangan permukaan APG yang dihasilkan dengan
kesalahan 3,9002%. Grafik tegangan permukaan model dengan tegangan
permukaan APG yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22.
48
Tabel 14 Perbandingan tegangan permukaan (γ) APG komersial dan APG yang dihasilkan dengan model
Tegangan permukaan APG komersial (dyne/cm)
Tegangan permukaan APG yang dihasilkan
(dyne/cm) Konsentrasi
surfaktan
(%) Percobaan Model Percobaan Model
0 72,00 72,000 72,000 72,000
0.100 32,20 32,173 26,250 28,184
0.200 29,04 29,025 25,875 26,715
0.300 27,12 27,183 25,375 25,856
0.400 25,54 25,876 25,250 25,247
0.500 24,96 24,862 25,125 24,774
0.600 23,96 24,034 24,875 24,388
0.700 24,00 23,334 24,750 24,061
0.800 22,96 22,728 24,375 23,778
0.900 21,98 22,192 24,250 23,528
1.000 21,36 21,714 23,375 23,305
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi surfaktan (% : b/v)
Tega
ngan
per
muk
aan
(dyn
e/cm
)
TP KomTP Mod
Gambar 21. Tegangan permukaan APG komersial dan model
49
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi surfaktan (%: b/v)
Tega
ngan
per
muk
aa (d
yne/
cm)
TP PenTP Mod
Gambar 22. Tegangan permukaan APG hasil penelitian dan model
Berdasarkan metode optimasi Nedler-Mead, hasil optimasi diperoleh nilai
KL dan Γ∞ yang dapat dilihat pada Tabel 15.
Dengan persamaan (4) dan data KL dan Γ∞ dapat diperoleh nilai
tegangan antarmuka percobaan dan model dari APG komersial dan APG yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 16
Tabel 15. Nilai KL dan Γ∞ untuk tegangan antarmuka hasil optimasi metode
Nedler-Mead
Tegangan antarmuka Parameter
Komersial Percobaan
KL 94.874.787,998 1.299.222.398,7
Γ∞ 1,5 x 10-10 1,3 x 10-10
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan (4) ternyata
model tegangan antar muka sesuai dengan tegangan antar muka APG komersial
dengan kesalahan 3,8096 %. Grafik tegangan antar muka model dengan
tegangan antar muka APG komersial dapat dilihat pada Gambar.. Sedangkan
tegangan antamuka APG yang dihasilkan ternyata model tegangan antar muka
sesuai dengan tegangan antar muka APG yang dihasilkan dengan kesalahan
6,4704%. Grafik tegangan antar muka model dengan tegangan antar muka APG
hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24.
50
Tabel 16. Perbandingan tegangan antar muka APG komersial dan APG yang dihasilkan dengan model
Tegangan antar muka APG komersial (dyne/cm)
Tegangan antar muka APG yang dihasilkan
(dyne/cm) Konsentrasi
surfaktan
(%) Percobaan Model Percobaan Model
0 72,000 72,000 72,000 72,000
0.100 13,080 13,562 10,330 11,642
0.200 11,500 11,041 9,170 9,403
0.300 10,000 9,566 8,500 8,093
0.400 7,960 8,519 8,170 7,163
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Konsentrasi surfaktan (% : b/v)
Tega
ngan
ant
ar m
uka
(dyn
e/cm
)
TAM PenTAM Mod
Gambar 23 Tegangan antar muka APG komersial dan model
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Konsentrasi surfaktan (% : b/v)
Tega
ngan
ant
ar m
uka
(dyn
e/cm
)
TAM KomTAM Mod
Gambar 24 Tegangan antar muka APG hasil penelitian dan model
51
Jenis formasi emulsi dengan menentukan nilai HLB
Metode untuk menentukan HLB dari APG adalah metode titrimetri,
dengan aquades sebagai titran dan larutan yang mengandung APG 1 gr dalam
25 ml campuran (95:5 v/v) piridina (23,75 ml) dan benzena (1,25) sebagai titrat.
Kepala polar yang diperoleh dari glukosa yang bersifat hidrofilik akan tarik
menarik dengan molekul air yang bersifat polar dan ion nitrogen dari piridina
yang bersifat semi polar. Ekor dari APG yang diperoleh dari alkohol lemak
bersifat hidrofobik akan menarik molekul benzena yang non polar dan cincin
heterosiklik aromatik molekul piridina. Titik akhir titrasi dicapai pada saat
kekeruhan permanen. Karena pada saat kekeruhan permanen larutan telah
jenuh dan molekul APG sudah tidak dapat berikatan dengan molekul air maupun
piridina dan benzena.
HLB merupakan nilai yang ditentukan dari perbandingan antara rantai
hidrofilik dan lipofilik suatu molekul surfaktan. Semakin panjang rantai hidrofilik
maka semakin tinggi nilai HLB. Sebaliknya semakin panjang rantai lipofilik maka
semakin rendah nilai HLB. Surfaktan yang memiliki nilai HLB yang sama dapat
berbeda dalam hal kelarutannya. Surfaktan mempunyai dua aksi yang berbeda
yaitu membantu pembentukan suatu sistem emulsi dan menentukan suatu jenis
emulsi yang terbentuk apakah dalam bentuk minyak dalam air (O/W) atau air
dalam minyak (W/O). Penentuan suatu jenis emulsi ini berhubungan erat dengan
nilai HLB (Suryani, et al. 2000). Surfaktan dengan nilai HLB rendah larut dalam
minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (W/O). Sebaliknya surfaktan
dengan nilai HLB tinggi larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak dalam
air (O/W). Nilai HLB berkisar 1 hingga 20 (Holmberg et al., 2003).
Perhitungan nilai HLB dengan mencari persamaan linier dari jenis
surfaktan yang telah diketahui nilainya. Menurut Martin et al. dalam Moechtar
(1989) bahwa nilai HLB dari tween 80 ialah 15,0, span 20 ialah 8,6 dan asam
oleat ialah 1 dan hasil pengukuran nilai HLB dari surfaktan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 17. Nilai HLB yang dibandingkan diperoleh melalui persamaan linier
y= 0,2593x-2,3808 dengan R2=0,9805. Persamaan linier tersebut diperoleh dari
kurva standar yang didapat dari pengukuran standar tween 80, span 20 dan
asam oleat yang dapat dilihat pada Gambar 25.
52
Tabel 17 Penentuan kurva standar HLB
Surfaktan Aquades yang dipakai (ml) Rata-rata HLB
Asam oleat 14,3 16,8 15,55 1
Span 20 38,3 37,7 38 8,6
Twen80 67,7 70 68,85 15
Sumber : Indrawanto (2007)
Chart Title
y = 0.2593x - 2.3808R2 = 0.9805
02468
1012141618
0 20 40 60 80
Volume aquades (ml)
HLB HLB
Linear (HLB)
Gambar 25 Kurva standar HLB
Hasil pengukuran nilai HLB APG komersial dan APG hasil validasi kondisi
optimum diperoleh dengan cara interpolasi dengan kurva standar. Nilai HLB yang
diperoleh dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Nilai HLB APG
Jenis surfaktan Aquades yang dipakai (ml) Rata-rata HLB
Komersial 61,10 62,50 61,80 13,64
Hasil validasi 43,10 43,20 43,15 8,81
Nilai HLB yang diperoleh APG komersial sebesar 13,64 dan APG validasi
pada kondisi optimum sebesar 8,81. Berdasar konsep Grifin dalam Holmberg et
al (2003), APG hasil validasi pada kondisi proses optimum tergolong dalam
pengemulsi O/W dan bahan pembasah.
53
APG merupakan suatu asetal, dimana asetal akan lebih stabil pada
kondisi netral dan lebih baik lagi pada kondisi basa. Pengujian pH dilakukan
dengan mengencerkan APG yang berupa pasta dalam air dengan konsentrasi 10
% (b/v). Pengujian pH menggunakan pH meter dan diperoleh hasil pH APG
komersial sebesar 7,55 dan APG hasil validasi kondisi optimum sebesar 7,15.
Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pH yang diperoleh mendekati pH
standar yang diinginkan. Kondisi basa diperoleh pada waktu proses netralisasi
dan pelarutan dan bleaching dengan penambahan NaOH 50%.
Analisa Gugus Fungsi APG dengan FT-IR Spektrofotometer Infra Merah Transformasi Fourier (FT-IR) merupakan
salah satu jenis spektrofotometer infra merah. Pada dasarnya Spektrofotometer
FTIR adalah sama dengan Spektrofotometer infra merah dispersi, yang
membedakannya adalah pengembangan pada sistim optiknya sebelum berkas
sinar infra merah melewati contoh. FTIR mempunyai konfigurasi serta
komponen-komponen yang sangat berbeda dengan spektrofotometer infra merah
dispersive (Harmita, 2006).
FTIR adalah alat untuk mendeteksi gugus fungsi dari suatu senyawa
dengan spektrum inframerah dari senyawa organik yang mempunyai sifat fisik
yang khas sehingga kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum sama
adalah kecil sekali. Energi radiasi inframerah akan diabsorpsi oleh senyawa
organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan
kimia yang berbeda seperti C-C, C-H, C=O, O-H dan sebagainya mempunyai
frekuensi vibrasi yang berbeda.
Pencirian gugus fungsi ini juga digunakan untuk melakukan perbandingan
terhadap APG komersial dan APG hasil sintesa. Gambar spektrum FT-IR dari
APG komersial dapat dilihat pada Gambar 26 dan APG hasil sintesa pada
kondisi optimum Gambar 27.
Formula alkil poliglikosida adalah RO(CR’H-CH2O)yGx yang terdiri dari
gugus C-C, C-H, C=O, dan C-O sebagai komponen gugus utama pada APG
telah terbentuk yaitu pada bilangan gelombang (1) 1.680-1.600 cm-1 (C=C), (2)
1.085-1.030 cm-1 (C-O), dan (3) 2.800-2.700 cm-1 (CH). Pada APG komersial
terbentuk banyak pita serapan yang tidak terbentuk pada kurva APG standar.
Pita serapan tersebut diperkirakan merupakan ketidakmurnian APG hasil sintesa
yang bercampur dengan kerak-kerak sehingga muncul gugus-gugus tersebut.
54
Gambar 26 Hasil analisa FTIR APG komersial sebagai standar
Gambar 27 Hasil analisa FTIR APG hasil sintesa
Dari hasil analisa FTIR secara umum diperoleh pita serapan antara APG
komersial dan APG hasil sintesa dapat dilihat pada Tabel 19.
55
Tabel 19. Pita serapan spektrofotometer FTIR APG hasil sintesa dan komersial (cm-1)
No. Standar kisaran pita serapan
APG komersial
APG hasil sintesa Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
3.450-3.400
2.940-2.820
2.800-2.700
1.680-1.600
1.465
1.370-1.365
1.200-1.140
1.085-1.030
900 - 690
900 – 690
3.400,34
2.923,25
2.853,29
1.639,00
1.485,54
1.377,14
1.151,73
1.050,30
918,33
721,26
3.394,26
2.921,56
2.733,73
1.594,31
1.465,78
1.376,19
1.151,96
1.031,44
917,01
720,74
Vibrasi ulur OH
Vibrasi ulur C-H
Aldehid CH
Alkana C-C
Vibrasi tekukC-H
Vibrasi tekuk C-H
Vibrasi tekuk C=O
Vibrasi tekuki C-H dan C-O
aromatis
aromatis
Sumber : Harmita (2006)
Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah
dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.
Berat APG murni Rendemen (%) = x 100 %
Berat total bahan baku awal
Bahan baku untuk setiap tahap pada sintesa APG optimum pada
kondisi proses dua tahap antara lain :
• Proses butanolisis :
20,25 g pati sagu + 78,5 g butanol + 17,5 g air + 0,24 gkatalisastor p toluene
sulfonat
• Proses tranasetalisasi :
produk hasil butanolisis + 76 g dodekanol + 0,12 g p toluene sulfonat + 2ml
DMSO dan memisahkan butanol dan air
• Netralisasi : penambahan 2 ml NaOH sampai pH 8-10
• Destilasi : memisahkan dodekanol berlebih
• Pelarutan : penambahan air sampai dengan kemurnian 70%
• Bleaching : penambahan H2O2 1-2 ml
56
Rendemen APG = 19,28 x 100%
20,25 + 78,5 + 76
= 11,03 % Neraca Massa
Neraca massa digunakan untuk melihat jumlah aliran bahan yang masuk
dengan bahan yang keluar dalam suatu proses berdasarkan hukum kekekalan
massa, yaitu jumlah aliran masuk sama dengan jumlah aliran keluar. Prinsip
dasar yang digunakan apabila dalam suatu proses tidak ada akumulasi dalam
peralatan prosesing, maka jumlah bahan yang masuk akan sama dengan jumlah
bahan keluaran. Atau dengan kata lain tidak ada bahan yang hilang maupun
tidak ada penambahan dari luar.
Gambar 28. Neraca massa proses produksi APG dua tahap
1. Butanolisis Bahan masuk Bahan keluar
Sagu Butanol Air PTSA
20,2578,5017,50
0,24
gram Butil glikosida Air Butanol berlebih
- - -
gram
Jumlah 116,49 Jumlah 116,49 gram 2. Transasetalisasi
Bahan masuk Bahan keluar Hasil butanolisis Dodekanol PTSA
116,4976
0,12
gram APG Dodekanol berlebihButanol dan air
- -
36,82
gram gram
Jumlah 117,37 gram Jumlah 80,55 gram
Butanolisis
1 Bahan masukan • Sagu • Butanol • Air
5 Keluaran: APG
3 • Butanol • air
Trans asetalisasi
Destilasi
4 Dodekanol berlebih
2 Dodekanol
57
3. Netralisasi Bahan masuk Bahan keluar
Hasil transasetalisasi NaOH 50 %
80,552
Gram ml
Hasil netralisasi 80,55 gram
Jumlah 80,55 gram Jumlah 80,55 gram 4. Destilasi
Bahan masuk Bahan keluar Hasil netralisasi 80,55 gram APG kasar
residu Dodekanol berlebih
3,75
57,52
gram gram gram
Jumlah 80,55 gram Jumlah 19,28 gram 5. Pelarutan
Bahan masuk Bahan meluar APG Air 3/7 x berat hasil destilasi
19,288,30
Gram gram
APG kemurnian 70 % 27,58 gram gram
Jumlah 27,58 gram Jumlah 27,58 gram 6. Pemucatan
Bahan masuk Bahan keluar APG kemurnian 70 % H2O2 2 ml
27,58 gram APG Kemurnian 70%
27,58 Gramgram
Jumlah gram Jumlah 27,58 gram
Perhitungan keseluruhan neraca massa di atas menunjukkan bahwa total
produksi APG dari 20,25 gram pati sagu dengan 78,5 g butanol dan 76 g
dodekanol akan menghasilkan APG 19,28 gram atau APG dengan kemurnian 70
% sebanyak 27,58 gram.
Karakterisasi Formulasi Herbisida
Herbisida adalah golongan pestisida yang digunakan untuk
mengendalikan gulma. Bahan aktif herbisida pada penelitian ini adalah glifosat
karena bahan aktif ini dapat digunakan untuk membasmi semua golongan gulma
baik itu golongan rumput (grases), teki (sedges) maupun berdaun lebar (broad
leaves). Selain itu, glifosat juga bersifat ramah bagi lingkungan. Menurut
Moenandir (1988), glifosat merupakan herbisida yang dapat didegradasi oleh
mikroorganisme. Secara kimia hal ini berhubungan erat dengan asam amino
glycine yang juga dikandung aleh sistem hewan dan tanaman, sebagai akibatnya
mikroorganisme di dalam tanaman dapat dengan mudah mendegradasi glifosat.
Penerapan APG yang dihasilkan dari kondisi proses optimum adalah
pada formulasi herbisida dengan bahan aktif glifosat. Pengujian formulasi
58
herbisida meliputi sifat fisiko kima dan uji efektivitas setelah penyimpanan 5
minggu. Lahan percobaan di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat Bogor.
Menurut Darto (2008), aplikasi formulasi herbisida tanpa penyimpanan
dengan variasi konsentrasi glifosat (16%, 24% dan 48%) dan variasi konsentrasi
APG hasil sintesa (4%, 6%, 8%, dan 10%) menyimpulkan bahwa konsentrasi
glifosat 48 % dengan variasi konsentrasi APG merupakan formulasi herbisida
yang efektif. Penambahan surfaktan untuk herbisida berkisar antara 2 – 15%.
(McWhorter,1990).
Pengujian stabilitas emulsi formulasi herbisida dan kemungkinan
pengiriman herbisida ke daerah-daerah dingin sampai panas dapat dilakukan
dengan penyimpanan dengan berbagai variasi suhu. Pada penelitian ini
dilakukan penyimpanan pada suhu 150C, suhu kamar (26-290C) dan suhu 40 0C
selama 5 minggu. Formulasi herbisida dengan bahan aktif glifosat dan surfaktan
APG (dodecil poliglikosida) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 20 Komposisi formulasi herbisida
Kode Formulasi
Glifosat (%)
APG (%)
Glifosat (ml)
APG (gr)
Air (ml)
A 16 4 11,12 2 38,88
B 16 6 11,12 3 38,88
C 16 8 11,12 4 38,88
D 16 10 11,12 5 38,88
E 24 4 16,69 2 33,31
F 24 6 16,69 3 33,31
G 24 8 16,69 4 33,31
H 24 10 16,69 5 33,31
I 48 4 23,37 2 26,63
J 48 6 23,37 3 26,63
K 48 8 23,37 4 26,63
L 48 10 23,37 5 26,63
M Herbisida komersial dengan 16 % glifosat
N Herbisida komersial dengan 24 % glifosat
0 Herbisida komersial dengan 48 % glifosat
59
Sifat Fisiko Kimia Formulasi Herbisida Sifat fisiko kimia formulasi herbisida antara lain warna, pH, dan kestabilan
formulasi herbisida. Pengujian dilakukan setiap minggu selama 5 minggu. .
Warna Warna formulasi herbisida yang dihasilkan adalah coklat muda keruh
lebih muda dari warna APG yang dihasilkan dan formulasi herbisida pembanding
digunakan tiga jenis herbisida komersial yaitu Serbu (glifosat 16%), Sistemik
(glifosat 24%) dan Round Up (glifosat 48%). Herbisida komersial berwarna
menarik dan bening (Serbu-hijau, Sistemik-merah, Round Up-kuning) karena
ditambah pewarna. Foto formulasi herbisida dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29 Formulasi herbisida berbahan aktif glifosat dengan APG
dan formulasi herbisida pembanding Selama penyimpanan 5 minggu, warna formulasi herbisida relatif tidak
berubah, hanya yang mengalami perubahan kestabilan yang berubah warna
namun masih didominasi oleh warna asal. Umumnya emulsi yang terpisah
berwarna coklat tua yang diperkirakan dari residu APG yang masih tersi
60
Derajat Keasaman Berdasarkan pengujian derajat keasaman (pH) dengan pH meter,
formulasi herbisida dengan bahan aktif glifosat dan surfaktan dodecil
poliglikosida mempunyai derajat keasaman mendekati netral (6,7) sedangkan
herbisida pembanding mempunyai pH 5. Hal tersebut dapat disebabkan oleh pH
asal masing-masing larutan. pH isopropil amina glifosat adalah sekitar 5,2
sedangkan pH APG hasil validasi sekitar 7,15. Derajat keasaman formulasi
herbisida dengan bahan aktif glifosat dan surfaktan APG dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 21 Derajat Keasaman (pH) Formulasi Herbisida
Kode Konsentrasi
Glifosat (%(b/v))
Konsentrasi APG
(%(b/v)) pH
A 16 4 6,7 B 16 6 6,7. C 16 8 6,7 D 16 10 6,7 E 24 4 6,7 F 24 6 6,7 G 24 8 6,6 H 24 10 6,6 I 48 4 6,6 J 48 6 6.6 K 48 8 6.6 L 48 10 6,6 M 16 % glifosat 5,0 N 24 % glifosat 5,0 0 48 % glifosat 5,0
Derajat keasaman fromulasi herbisida setelah penyimpanan tidak
berubah, yaitu untuk formulasi herbisida dengan menggunakan surfaktan APG
yang dihasilkan mempunyai pH netral dan herbisida pembanding masih
mempunyai pH sekitar 5.
Kestabilan Formulasi Herbisida
Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakter
terpenting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika
dipasarkan (Suryani et al. 2000).
61
Pengamatan terhadap kestabilan formulasi herbisida dilakukan setiap
minggu selama lima minggu, hasil pengamatan kestabilan formulasi herbisida
selama penyimpanan pada suhu 150C, 26-290C, dan 400C dapat dilihat pada
Tabel 22.
Tabel 22 Kestabilan formulasi herbisida (%) perminggu selama penyimpanan lima minggu pada suhu 150C, 26-290C, dan 400C
Minggu ke-1
(oC) Minggu ke-2
(oC) Minggu ke-3
(oC) Kode Formulasi 15 26-29 40 15 26-29 40 15 26-29 40
A 100,00 96,15 100,00 100,00 96,15 100,00 100,00 96,15 100,00
B 100,00 93,08 100,00 100,00 92,31 100,00 100,00 92,31 100,00
C 100,00 83,08 100,00 100,00 82,31 100,00 100,00 82,31 100,00
D 100,00 69,23 100,00 100,00 68,46 100,00 100,00 68,46 100,00
E 100,00 100,00 100,00 100,00 99,23 100,00 100,00 99,23 100,00
F 100,00 99,23 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00
G 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00
H 100,00 99,23 100,00 100,00 99,23 100,00 100,00 99,23 100,00
I 100,00 99,23 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00
J 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00
K 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00
L 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00 100,00 98,46 100,00
M 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
N 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
O 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Catatan : kesatbilan formulasi minggu kedua sama dengan minggu ketiga dan seterusnya untuk penyimpanan suhu ruang
Penyimpanan pada suhu 150C menyebabkan formulasi herbisida sejak
minggu pertama menjadi beku karena pada suhu 150C semua komponen dalam
formulasi sudah mencapai titik beku. Namun ketika dikeluarkan dari lemari
pendingin (suhu ruang) pada saat akan diaplikasikan, formulasi herbisida
mencair kembali. Pembekuan dapat merusak lapisan emulsifier yang
menyelimuti setiap globula (Suryani et al.,2000).
62
Penyimpanan pada suhu ruang (26-290C), menyebabkan perubahan
kestabilan emulsi formulasi herbisida pada minggu pertama, kemudian pada
minggu kedua, stabilitas emulsinya mengalami perubahan lagi pada beberapa
perlakuan. Namun pada minggu ketiga sampai kelima, kestabilan emulsi
formulasi herbisida tetap seperti pada minggu kedua. Perubahan kestabilan
emulsi dapat diduga karena APG yang digunakan dalam formulasi herbisida
masih kasar karena belum dilakukan proses pemurnian lengkap sehingga
kemungkinan masih terdapat bahan pengotor yang mengurangi stabilitasnya.
Untuk penyimpanan pada suhu 400C, kestabilan emulsi formulasi
herbisida dari minggu pertama sampai minggu kelima tidak mengalami
perubahan. Kestabilan emulsi formulasi herbisida pada suhu 400C diduga
karena APG yang dihasilkan bersifat padat pada suhu ruang dan penyimpanan
hangat (400C) dapat merubah APG menjadi cair sehingga kestabilan emulsi pada
suhu tersebut lebih konstan.
Grafik stabilitas emulsi formulasi herbisida hasil penyimpanan pada suhu
150C, 26-290C, dan 400C setelah satu minggu pengamatan dapat dilihat pada
Gambar 30, sedangkan untuk pengamatan setelah dua minggu atau minggu
berikutnya sampai minggu kelima pada Gambar 31.
0
20
40
60
80
100
120
A B C D E F G H I J K L M N O
Konsentrasi glifosat dan surfaktan APG
Kes
tabi
lan
emul
si fo
rmul
asi h
erbi
sida
pa
da 1
MSA penyimpanan suhu 15oC
penyimpanan suhu ruangpenyimpanan suhu 40oC
Gambar 30 Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah satu
minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC
63
0
20
40
60
80
100
120
A B C D E F G H I J K L M N OKonsentrasi glifosat dan surfaktan APG
Kes
tabi
lan
emul
si fo
rmul
asi h
erbi
sida
pa
da 2
MSA
- 5
MSA
penyimpanan suhu 15oCpenyimpanan suhu ruangpenyimpanan suhu 40oC
Gambar 31 Histogram kestabilan emulsi formulasi herbisida setelah
dua/tiga/empat/lima minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC
Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 7.1 dan 7.6)
menunjukkan bahwa suhu penyimpanan, konsentrasi glifosat, konsentrasi APG
dan interaksi perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
kestabilan formulasi herbisida baik pengamatan satu minggu dan dua minggu
(pengamatan 3 minggu sampai 5 minggu sama dengan pengamatan pada 2
minggu)
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7.2 dan 7.7) menunjukkan bahwa
kestabilan formulasi herbisida pada penyimpanan suhu ruang berbeda nyata
dengan kestabilan formulasi herbisida pada penyimpanan suhu 150C dan 400C
dan kestabilan formulasi herbisida pada penyimpanan suhu 150C tidak berbeda
nyata dengan kestabilan formulasi herbisida pada penyimpanan suhu 400C.
Penyimpanan pada suhu 150C menyebabkan formulasi herbisida membeku
dianggap mempunyai stabilitas 100 % dan pada penyimpanan 400C
menyebabkan bagian hidrofil akan mengembang lebih menarik air yang dapat
menyebabkan stabilitas formulasi herbisida konstan.
Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 7.3 dan 7.8), menunjukkan
bahwa kestabilan formulasi herbisida pada konsentrasi glifosat 16 % berbeda
nyata dengan kestabilan formulasi herbisida pada konsentrasi 24 % dan 48 %
dan kestabilan formulasi herbisida pada konsentrasi 24 % tidak berbeda nyata
dengan kestabilan formulasi herbisida pada konsentrasi 48 %. Sedangkan untuk
konsentrasi APG (Lampiran 7.7 dan 7.12) menunjukkan bahwa kestabilan
64
formulasi herbisida pada konsentrasi APG 10 % tidak berbeda nyata dengan
konsentrasi APG 8 % dan 6 % tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi APG 4
%. Sedangkan kestabilan formulasi herbisida 4 % tidak berbeda nyata dengan
konsentrasi 6 % dan 8 %. Konsentrasi surfaktan semakin rendah menghasilkan
stabilitas formulasi herbisida semakin tinggi. Kondisi ini diduga karena APG
yang dihasilkan masih mengandung residu yang berasal dari pemucatan yang
belum sempurna sehingga dapat mengganggu kestabilan formulasi herbisida.
Interaksi antara konsentrasi glifosat dan APG dengan suhu penyimpanan
melalui uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu ruang dengan
konsentrasi glifosat 16 % dan konsentrasi APG 8 % dan 10 % berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya yang kestabilan emulsinya lebih tinggi. Surfaktan APG
yang dihasilkan pada suhu ruang, cenderung bersifat padat sehingga pada
formulasi herbisida yang disimpan pada suhu ruang akan mengganggu
kestabilannya.
Aplikasi formulasi herbisida setelah penyimpanan
Efektivitas pemberian herbisida antara lain ditentukan oleh dosis herbisida
yang tepat akan dapat mematikan gulma, tetapi jika dosis herbisida terlalu tinggi
akan merusak atau mematikan tanaman yang dibudidayakan (Nurjannah, 2003).
Glifosat diaplikasikan lewat daun dan bekerja pada saat pertumbuhan daun
aktif hidup sehingga dapat menyerap bahan yang selanjutnya ditranslokasikan
ke seluruh bagian tumbuhan sekitar 5 hari (120 jam) setelah aplikasi (Asthon et
al. dalam Rohsid, 2006).
Mekanisme kerja surfaktan dalam formulasi herbisida adalah menurunkan
tegangan permukaan herbisida sehingga glifosat tersebar lebih merata dan
membasahi permukaan daun kemudian terjadi penetrasi herbisida masuk ke
dalam sistem tanaman melalui lapisan kutikula dan selanjutnya ditranslokasikan
ke tempat reaksi akan terjadi melalui floem bersama dengan hasil asimilasi.
Glifosat akan menghambat kerja enzim EPSPs dalam membentuk asam amino
aromatik seperti tryptophan, tyrosin, dan phenylalanine sehingga menghambat
sintesis protein yang dibutuhkan dan menyebabkan tumbuhan akan mati
(Tjitrosoedirdjo, 1984).
Hasil penyimpanan formulasi herbisida selama lima minggu pada suhu
150C, ruang (26-290C) dan suhu 400C diaplikasikan dengan cara menyemprotkan
pada gulma yang sebagian besar berupa rumput. Pengamatan dilakukan
65
terhadap persentase penutupan gulma dan efektivitas formulasi herbisida pada
1 MSA dan 2 MSA .
Aplikasi formulasi herbisida dilakukan di Kebun Percobaan Balitro ,
Departemen Pertanian. Penyemprotan dilakukan pagi hari mulai sekitar jam
07.00. Aplikasi formulasi herbisida disemprotkan pada petak tanah seluas 2 m x
3 m yang ditumbuhi sebagian besar rumput. Luas bidang percobaan 6 x 16 m2 =
96 m2 dengan dua kali ulangan (192 m2) untuk masing-masing suhu
penyimpanan (150C, 26-290C, dan 400C).
Kondisi awal sebelum penyemprotan, penutupan gulma pada petak tanah
adalah 100%. Dosis semprot herbisida yang digunakan adalah 3 liter/ha
sehingga setiap petak hanya membutuhkan 1,8 ml formula herbisida.
Penyemprotan menggunakan knapsack sprayer dengan konsentrasi semprot
0,72% (v/v). Setelah penyemprotan, pengamatan dilakukan setiap minggu
selama dua minggu. Pengamatan meliputi persentase penutupan gulma dan
efektivitas herbisida.
Persentase penutupan gulma Persentase penutupan gulma merupakan persentase gulma hijau (gulma
hidup) terhadap gulma mati yang diamati secara visual. Penutupan gulma
didapat dari ketahanan gulma terhadap aplikasi herbisida atau adanya
pertumbuhan baru yang berasal dari biji setelah aplikasi herbisida dilaksanakan.
Persentase penutupan gulma 1 MSA dari formulasi herbisida hasil
penyimpanan lima minggu pada suhu 150C, suhu ruang (26-290C) dan 400C
dapat dilihat pada Tabel 23.
Dalam Tabel 23 terlihat bahwa persentase penutupan gulma semakin
rendah dengan semakin lama waktu pengamatan. Persentase penutupan gulma
pada formulasi I, J, K, dan L (konsentrasi glifosat 48%) dapat menyamai
herbisida glifosat komersial 48%, terutama pada 2 MSA, tetapi pada 1 MSA
herbisida komersial menunjukkan persentase penutupan gulma yang lebih tinggi.
Penyimpanan formulasi herbisida pada suhu ruang dengan konsentrasi
glifosat 48 % dan konsentrasi APG 6 % dan 8 % menghasilkan persentase
penutupan gulma paling rendah terutama pada 2 MSA. Semakin tinggi kadar
bahan aktif semakin tinggi daya basmi herbisidanya. Konsentrasi APG 6 %
sudah menunjukkan persentase penutupan gulma yang tinggi pada 2 MSA.
66
Tabel 23 Persentase penutupan gulma dari aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 150C, suhu ruang (26-290C), dan 400C
1 MSA 2 MSA
Suhu penyimpanan (0C) Suhu penyimpanan (0C) Kode Konsentrasi
glifosat (%(b/v))
Konsentrasi APG
(%(b/v)) 15 26-29 40 15 26-29 40
A 16 4 82,50 85,00 81,25 62,50 43,75 66,25
B 16 6 86,25 82,50 88,25 65,00 58,75 67,50
C 16 8 87,50 81,25 86,25 63,75 53,75 60,00
D 16 10 85,00 83,75 83,25 56,25 53,75 65,00
E 24 4 83,75 86,25 86,75 68,75 40,00 65,00
F 24 6 82,50 81,25 81,25 56,25 46,25 58,75
G 24 8 86,25 77,50 78,75 51,25 32,50 58,75
H 24 10 82,50 71,25 73,75 60,00 37,50 60,00
I 48 4 63,75 68,75 57,50 22,50 21,25 26,25
J 48 6 63,75 62,50 63,75 16,25 8,00 18,75
K 48 8 68,75 67,50 57,50 11,25 8,00 11,25
L 48 10 61,25 66,25 51,75 10,00 17,50 9,50
M 16 % glifosat 85,00 73,80 81,30 46,30 26,30 62,50
N 24 % glifosat 71,30 77,50 58,80 31,30 40,00 30,00
O 48 % glifosat 55,00 63,80 66,30 20,00 13,80 13,75
P Air 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00Catatan: MSA = Minggu Setelah Aplikasi
Persentase Penutupan gulma 1 MSA Histogram pengamatan persentase penutupan gulma pada 1 MSA dapat
dilihat pada Gambar 32. Dalam grafik terlihat bahwa perlakuan I, J, K, L
(herbisida pembanding dengan konsentratsi glifosat 48%) relatif sama
persentase penutupan gulmanya dengan perlakuan O (konsentrasi glifosat 48%).
Sedangkan persentase penutupan gulma perlakuan lain masih lebih tinggi
daripada herbisida pembandingnya
67
0102030405060708090
100
A B C D E F G H I J K L M N O PPerlakuan konsentrasi glifosat dan surfaktan APG
Per
sent
ase
penu
tupa
n gu
lma
Penyimpanan 40oCPenyimpanan suhu ruangPenyimpanan suhu 15oC
Gambar 32 Histogram persentase penutupan gulma 1 MSA hasil penyimpanan
lima minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC
Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 8.1)
menunjukkan bahwa hanya konsentrasi glifosat pada formulasi herbisida hasil
penyimpanan lima minggu memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap persentase penutupan gulma 1 MSA. Sedangkan hasil uji lanjut
(Lampiran 8.2) dengan metode Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi glifosat
48% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 24% dan 16%, sedangkan
konsentrasi glifosat 16% dan 24% tidak berbeda nyata terhadap persentase
penutupan gulma 1MSA. Semakin tinggi konsentrasi glifosat akan semakin
tinggi pula daya basminya yang menyebabkan persentase penutupan gulma
semakin rendah.
Persentase penutupan gulma 2 MSA Grafik hasil pengamatan aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan
lima minggu pada 2 MSA dapat dilihat pada gambar 31. Dalam histogram
terlihat bahwa secara umum persentase penutupan gulma dari formulasi
herbisida dengan penyimpanan suhu ruang menghasilkan persentase penutupan
gulma lebih rendah daripada formulasi herbisida yang disimpan pada suhu 150C
dan 400C. Persentase penutupan gulma perlakuan J, K dan L (kandungan
glifosat 48%) relatif lebih rendah daripada persentase penutupan gulma
perlakuan O (herbisida pembanding dengan konsentrasi glifosat 48%).
68
0102030405060708090
100
A B C D E F G H I J K L M N O PPerlakuan konsentrasi glifosat dan surfaktan APG
Pers
enta
se p
enut
upan
gul
ma
Penyimpanan 40oCPenyimpanan suhu ruangPenyimpanan suhu 15oC
Gambar 33 Histogram persentase penutupan gulma 2 MSA hasil penyimpanan
lima minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC
Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 8.3)
menunjukkan bahwa suhu penyimpanan, konsentrasi glifosat, konsentrasi APG
dan interaksi glifosat dengan APG memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap persentase penutupan gulma 2 MSA.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 8.4) menunjukkan
bahwa penyimpanan pada suhu ruang (26-290C) berbeda nyata dengan hasil
penyimpanan pada suhu 150C dan suhu penyimpanan 480C. Sedangkan
penyimpanan pada suhu 150C tidak berbeda nyata dengan penyimpanan pada
suhu 400C.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 8.5) menunjukkan
bahwa konsentrasi glifosat 48% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 24%
juga dengan konsentrasi glifosat 16%. Semakin tinggi konsentrasi glifosat
semakin tinggi daya basminya sehingga persentase penutupan gulmanya
semakin rendah.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 8.6) menunjukkan
bahwa konsentrasi APG 8% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 10%, 8
% dan 4 %, sedangkan konsentrasi APG 10 tidak berbeda nyata dengan
konsentrasi APG 6 % tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi APG 4 % dan
konsentrasi 6 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi APG 4 %. Konsentrasi
APG 8 % dalam formulasi herbisida sudah cukup membantu aktifitas bahan aktif
herbisida glifosat.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 8.10) menunjukkan
bahwa interaksi antara perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata.
69
Penyimpanan pada suhu 150C, suhu ruang, dan 400C dengan konsentrasi
glifosat 48% dan konsentrasi APG 6%, 8% dan 10 % tidak berbeda nyata tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi glifosat yang lebih rendah.
Berdasarkan uji T, hasil penyimpanan pada suhu 150C, suhu ruang, dan
400C pada konsentrasi glifosat 48 % dapat menggunakan konsentrasi APG 8 %,
sedangkan untuk konsentrasi glifosat 24 % dapat menggunakan konsentrasi
APG 8 % dan konsentrasi glifosat 24 % dapat menggunakan konsentrasi APG
6 %.
Bobot Kering Gulma
Perhitungan nilai bobot kering gulma diperoleh dengan intrapolasi dari
hasil penelitian Darto (2008). Berdasarkan pengamatan pada bobot kering
gulma (Darto, 2008) diperoleh persamaan eksponensial untuk pengamatan
bobot kering gulma pada 1 MSA adalah 0,7911e0,0369x dan pada 2 MSA adalah
0,8834e0,0362x. Hasil intrapolasi bobot kering gulma ditunjukkan pada Tabel 24.
Pengamatan bobot kering gulma dilakukan untuk menimbang biomassa
gulma secara umum. Sampel gulma diambil dalam luasan 0,5 x 0,5 m2,
kemudian dipisahkan gulma yang hidup dan yang sudah mati. Gulma yang masih
hidup dan segar kemudian di oven pada suhu 105 °C selama 24 jam supaya
bobotnya konstan kemudian ditimbang.
Bobot kering gulma pada 1 MSA Histogram pengamatan bobot kering gulma 1 MSA dapat dilihat pada
Gambar 34. Dalam grafik terlihat bahwa perlakuan I, J, K, L (kandungan glifosat
48%) relatif sama persentase penutupan gulmanya dengan perlakuan O
(herbisida pembanding dengan konsentrasi glifosat 48%). Sedangkan bobot
kering gulma dari perlakuan lain masih lebih tinggi daripada hasil herbisida
pembandingnya. Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 9.1)
menunjukkan bahwa hanya konsentrasi glifosat pada formulasi herbisida hasil
penyimpanan lima minggu memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap bobot kering gulma 1 MSA. Sedangkan hasil uji lanjut (Lampiran 9.2)
dengan metode Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi glifosat 48% berbeda
nyata dengan konsentrasi glifosat 24% dan 16%, serta konsentrasi glifosat
24% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 16% Semakin tinggi
70
konsentrasi glifosat akan semakin tinggi pula daya basminya yang
menyebabkan bobot kering gulma semakin rendah.
Tabel 24 Persentase penutupan gulma dari aplikasi formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 150C, suhu ruang (26-290C), dan 400C
1 MSA 2 MSA
Suhu penyimpanan (0C) Suhu penyimpanan (0C)
15 26-29 40 15 26-29 40 Kode
Konsentrasi glifosat (%(b/v))
Konsentrasi APG
(%(b/v))
(gram/0,25 m2) (gram/0,25 m2)
A 16 4 16,52 18,11 15,78 8,46 4,29 9,69
B 16 6 18,97 16,52 20,42 9,26 7,39 10,13
C 16 8 19,86 15,78 18,97 8,85 6,16 7,73
D 16 10 18,11 17,30 16,98 6,75 6,16 9,26
E 24 4 17,30 18,97 19,32 10,60 3,75 9,26
F 24 6 16,52 15,78 15,78 6,75 4,70 7,39
G 24 8 18,97 13,74 14,39 5,63 2,86 7,39
H 24 10 16,52 10,91 11,97 7,73 3,43 7,73
I 48 4 8,28 9,95 6,58 1,99 1,90 2,28
J 48 6 8,28 7,91 8,28 1,59 1,18 1,74
K 48 8 9,95 9,51 6,58 1,33 1,18 1,33
L 48 10 7,55 9,08 5,32 1,27 1,66 1,25
M 16 % glifosat 18,11 11,99 15,81 4,71 2,29 8,46
N 24 % glifosat 10,93 13,74 6,90 2,74 3,75 2,61
O 48 % glifosat 5,99 8,29 9,09 1,82 1,45 1,45
P Air 31,48 31,48 31,48 32,81 32,81 32,81Catatan: MSA = Minggu Setelah Aplikasi
71
0
10
20
30
40
A B C D E F G H I J K L M N O P
konsentrasi glifosat dan surfaktan APG
Bob
ot k
erin
g gu
lma
(g)
Penyimpanan 40oCPenyimpanan suhu ruangPenyimpanan suhu 15oC
Gambar 34 Histogram bobot kering gulma 1 MSA hasil penyimpanan lima
minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC
Bobot kering gulma pada 2 MSA Dari histogram pengamatan bobot kering gulma 2 MSA (Gambar 35)
menunjukkan bahwa perlakuan I, J, K, L (kandungan glifosat 48%) relatif sama
persentase penutupan gulmanya dengan perlakuan O (herbisida pembanding
dengan konsentrasi glifosat 48%). Sedangkan bobot kering gulma dari perlakuan
lain masih lebih tinggi daripada hasil herbisida pembandingnya.
0
10
20
30
40
A B C D E F G H I J K L M N O P
konsentrasi glifosat dan surfaktan APG
Bob
ot k
erin
g gu
lma
(g)
Penyimpanan 40oCPenyimpanan suhu ruangPenyimpanan suhu 15oC
Gambar 35 Histogram bobot kering gulma 2 MSA hasil penyimpanan lima
minggu pada suhu 15oC, suhu ruang (26-29oC) dan 40oC
Hasil analisis keragaman (ANOVA) pada α=0,05 (Lampiran 9.3)
menunjukkan bahwa suhu penyimpanan, konsentrasi glifosat, konsentrasi APG
dan interaksi glifosat dengan APG memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap bobot kering gulma 2 MSA.
72
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 9.4) menunjukkan
bahwa penyimpanan pada suhu ruang (26-290C) berbeda nyata dengan hasil
penyimpanan pada suhu 150C dan suhu penyimpanan 480C. Sedangkan
penyimpanan pada suhu 150C tidak berbeda nyata dengan penyimpanan pada
suhu 400C.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 9.5) menunjukkan
bahwa konsentrasi glifosat 48% berbeda nyata dengan konsentrasi glifosat 24%
juga dengan konsentrasi glifosat 16%. Semakin tinggi konsentrasi glifosat
semakin tinggi daya basminya sehingga persentase penutupan gulmanya
semakin rendah.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 9.6) menunjukkan
bahwa konsentrasi APG 8% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi APG 10 %
dan 6 % tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi APG 4 %, tetapi konsentrasi
APG 8% dan 10% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 4 %.. Fungsi APG
Konsentrasi APG 6 % dalam formulasi herbisida sudah cukup membantu aktifitas
bahan aktif herbisida glifosat.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 9.7) menunjukkan
bahwa interaksi antara perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata.
Penyimpanan pada suhu 15oC, suhu ruang dan 400C, dengan konsentrasi
glifosat 48% dan konsentrasi APG 6%, 8% dan 10 % tidak berbeda nyata tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi glifosat yang lebih rendah.
Efektivitas Formulasi Herbisida
Pengamatan efektivitas herbisida dilakukan secara visual dan dinilai
berdasarkan skoring 0 – 4. Daya berantas dilihat berdasarkan penampakan
gulma yang menguning/layu/mati akibat penyemprotan herbisida. Skoring
efektivitas adalah sebagai berikut:
0 : tidak efektif
1 : kurang efektif
2 : cukup efektif
3 : efektif
4 : sangat efektif
Efektivitas formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu dapat
dilihat pada Tabel 24. Pada tabel tersebut, efektivitas herbisida sangat terlihat
pada 2 MSA dibandingkan dengan 1 MSA
73
Efektivitas formulasi herbisida yang dibuat dapat menyamai efektivitas
herbisida komersial. Formulasi herbisida I, J, K, L (konsentrasi glifosat 48%)
dapat menyamai herbisida glifosat komersial 48% pada 1 MSA dan 2 MSA.
Demikian juga formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 24 % dan 16 %
pada 1 MSA dan 2 MSA.dapat menyamai herbisida glifosat komersial 24 % dan
16 %.
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 10.1 sampai 10.4) menunjukkan
bahwa efektivitas herbisida pada 1 MSA dan 2 MSA, hanya konsentrasi glifosat
48 % memberikan pengaruh yang nyata sedangkan konsentrasi APG tidak
berpengaruh nyata.
Tabel 24 Efektivitas formulasi herbisida hasil penyimpanan lima minggu pada suhu 150C, 26-290C, dan 400C
1 MSA 2 MSA Suhu penyimpanan
(0C) Suhu penyimpanan
(0C) Kode Konsentrasi
glifosat (%(b/v))
Konsentrasi APG
(%(b/v)) 15 26-29 40 15 26-29 40
A 16 4 1 1 1 2 2 2
B 16 6 1 1 1 2 2 2
C 16 8 1 1 1 2 2 2
D 16 10 1 1 1 2 2 2
E 24 4 1 1 1 2 2 2
F 24 6 1 1 1 2 2 2
G 24 8 1 1 1 2 2 2
H 24 10 1 1 1 2 2 2
I 48 4 2 2 2 3 2 3
J 48 6 2 2 2 3 3 3
K 48 8 2 2 2 3 3 3
L 48 10 2 2 2 3 3 3
M 16 % glifosat 1 1 1 1 2 2
N 24 % glifosat 1 1 1 2 2 2
O 48 % glifosat 2 2 2 2 3 3
P Air 100 0 0 0 0 0Catatan: MSA = Minggu Setelah Aplikasi
74
Pengamatan Visual Pengamatan visual berlangsung setiap dua hari sampai 14 hari.
Pengamatan 4 hari setelah aplikasi (HSA), menunjukkan daun mengalami
kelayuan dan terjadi perubahan warna. Semakin lama gejala tersebut semakin
menyebar dan akhirnya mengering dan mati. Menurut Ashton dan Monaco dalam
Roshid (2006) gejala umum yang terjadi akibat herbisida glifosat adalah daun
mengalami klorosis dan kemudian diikuti dengan nekrosis.
Berdasarkan pengamatan visual tersebut dapat diketahui bahwa
pengaruh surfaktan APG dalam formulasi herbisida dapat diketahui dengan
membandingkan dengan herbisida komersial. Konsentrasi bahan aktif semakin
tinggi akan mempengaruhi daya basminya namun konsentrasi surfaktan APG 6
% atau 8% sudah cukup meningkatkan efektivitas herbisida.
Pengamatan visual mulai aplikasi formulasi herbisida (0 MSA), 4 HSA, 7
HSA dan 14 HSA selama penelitian dapat dilihat pada foto-foto berikut.
75
Gambar 36 Foto lahan percobaan awal penelitian (0 MSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 400C (a), suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c)
a
b
c
76
Gambar 37 Foto lahan percobaan awal penelitian (4 HSA) untuk aplikasi
formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 400C (a), suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c)
a
b
c
77
Gambar 37. Foto lahan percobaan awal penelitian (7 HSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 400C (a), suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c)
a
b
c
78
Gambar 42. Foto lahan percobaan awal penelitian (14 HSA) untuk aplikasi formulasi herbisida dengan konsentrasi glifosat 48 % dan konsentrasi APG 8 % pada suhu 400C (a), suhu 150C (b), dan suhu ruang (26-290C) (c)
a
b
c
79
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan:
1. Kondisi proses optimum diperoleh pada suhu butanolisis 147,860C dan rasio
mol pati sagu-fatty alkohol 1:3,27 dengan respon stabilitas emulsi air:xilena
dengan penambahan APG (%) sebesar 72,68%. Model persamaan optimasi
yang diperoleh Y= 64,29 + 35,53X1 – 29,82X12 - 9,63x2 – 23,09X2
2 -20,56X1X2
2. Validasi dilakukan pada kondisi optimum yaitu pada rasio mol 1 : 3,27 dan
pada suhu butanolisis 147,86oC dan nilai stabilitas emulsi air:xilena dengan
penambahan APG (%) yang diperoleh sebesar 72,3%.
3. Karakterisasi APG yang dihasilkan hampir sama dengan karakteristik standar
dengan respon uji kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan
tegangan antar muka, HLB, FTIR dan pH.
4. Formulasi herbisida hasil penyimpanan pada suhu 150C, suhu ruang (26-
290C), dan 400C dengan bahan aktif glifosat pada konsentrasi 48% dengan
konsentrasi APG 6 % dan 8% efektif mengendalikan gulma rumput terutama
mulai pengamatan 2 MSA bahkan lebih efektif dibandingkan dengan
herbisida pembanding yang ada di pasar
5. Penyimpanan pada suhu 150C, suhu ruang (26-290C), dan 400C tidak
mempengaruhi efektivitas formulasi herbisida.
Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disarankan
penelitian lanjutan antara lain:
1. Penelitian lanjutan dengan penggandaan skala (skala pilot) dan perhitungan
tekno-ekonomi usaha pembuatan surfaktan APG
2. Penelitian lanjutan dengan pemanfaatan sumber karbohidrat dan alkohol
lemak lain sebagai bahan baku sintesa APG.
3. Dilakukan modifikasi penggunaan butanol dan katalis yang digunakan pada
tahapan proses butanolisis dan transasetalisasi
4. Penelitian lanjutan proses pemucatan surfaktan APG sama dengan warna
surfaktan yang beredar di pasar.
5. Penelitian lanjutan mengenai keefektifan terhadap gulma spesies dominan di
lahan pertanian
80
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Kajian Pasar dan Poduk Hilir Kelapa Sawit. http://209.85.175.104/search?q=cache:NoBsfQhi4v0J:seafast.ipb.ac.id/seafast.info/ 20 Agustus 2007.
Anwar, K. 2008. Optimasi Suhu dan Konsentrasi Sodium Bisulfit (NaHSO3) pada
Proses Pembuatan Sodium Lignosulfonat Berbasis Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
APCC (Asian Pacific Coconut Community). 2007. Peta Potensi Dunia Kelapa
dan Sebaran Potensi Kelapa di Indonesia. Jakarta. Balzer, D. and Luders, H., 2000. Nonionik Surfactant Alkyl Polyglucosides.
Marcell Dekker Inc. New York Basel. Bodner, G. M, dan Pardue, H. L. 1989. Chemistry An Experimental Science.
John Willey and sons. Inc., New York. BPS. 2006. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Badan Pusat
Statistik, Jakarta
Bujang, K. dan Ahmad, F.B. 2000. Production and Utilization in Malaysia. Dalam : Sagu Untuk Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Oktober 2003. manado. Pusat Penelitian dan pengembangan Perkebunan manado. Halaman 16-19.
Cremlyn, R. J. 1991. Agrochemicals: Preparation and Mode of Action. John &
Wiley Sons. New York. 369p. Darto. 2008. Aplikasi Alkyl Polyglycoside (Apg) Berbasis Fatty Alcohol Minyak
Kelapa Dan Pati Sagu Sebagai Surfaktan Dalam Formulasi Herbisida. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor
Faber, R.D. 2002. Patens: Hard Surface Cleaner Containing Alkyl
Polyglycosides. Dalam www.uspot.gov. 12 Februari 2007.
Flider, F.J. 2001. Commercial Consideration and Markets for Naturally Derived Biodegradable Surfactant. Inform 12(12):1161-1164.
Gibson, M.W., dan Leedy, C 2001. Patens: Process for Reducing Cycle Times in
Reaction During The Production of Alkyl Polylicosides. Dalam www.uspto.gov. 12 Februari 2007.
Giribabu, K dan Ghosh, P. 2007. Adsorption of Non ionik Surfactants at Fluid-
Fluid Interfaces: Importance in the Coalescence of Bubbles and drops. Chemical Engineering Science 62; 3057-3067.
Hall, et al. 2000. Sustainable Surfactant: Renewable Feedstocks for The 21st
Century Fat and Oil as Oleochemical Raw Material. Dalam http://www.nf.org. 12 Maret 2007.
81
Harmita. 2006. Analisis Fisikokimia. Departemen Farmasi FMIPA, Universitas Indonesia.
Hart. 2003. Kimia Organik. Suatu Kuliah Singkat Edisi ke-11. Erlangga, Jakarta Haryadi. 2004. Kembangkan Sagu untuk Tekan Impor Beras dalam Jangka
Panjang. Pidato ilmiah pengukuhan Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,
Herliana, E. 2005. Fraksinasi Pati Sagu (Metroxylon sp.) dengan Metode
Pelarutan Air Panas. Fateta IPB. Bogor.
Hill, K., M. Biermann., Rossmaier, H., Eskuchen, R., Wuest, W., Wollmann, J., Bruns, B., Hellmann, G., Ott, K., Winkle, W., dan Wollmann, K. 1996. Patens: Process for Direct Production of Alkyl polyglycosides. Dalam www.uspto.gov. 12 Februari 2007.
Hill, K., Von Rybinski and Stoll, W.G. (Eds). 1997. Alkyl Polyglycoside
Technology, Properties and Application. Dalam http:/www.scf-online.com. 12 Februari 2007.
Hill, K. 2000. Fats and Oil as Oleochemical Raw Material. Dalam Pure
Appl.Chem Vol. 72, No. 7, pp. 1255-1264,. Cognis D GmbH, Germany
Holmberg, K., Kronberg, B., dan Lindman, B. 2003. Surfactant and Polimer in Aques Solution. Ed ke-2. Chichester: J. Wiley.
Humas. 2006. Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. Dalam
www.bbpt.go.id. 12 Maret 2007 Indrawanto, R., 2008. Optimasi Nisbah Mol Glukosa-Fatty Alcohol C12 Dan Suhu
Asetalisasi Pada Proses Pembuatan Surfaktan Nonionik Alkyl Polyglycosides (APG). Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor.
Kadir, M. 2007. Efektivitas Berbagai Dosis Dan Waktu Aplikasi Herbisida 2,4
Dimetilamina Terhadap Gulma Echinocloa Colonum, Echinocloa Cruss-Galli, Dan Cyperus Iria Pada Padi Sawah. Jurnal Agrisistem, Juni 2007, Vol. 3 No. 1 ISSN 1858-4330
Kamel, B. S. 1991. Emulsifier. Di dalam Food Additive User’s Handbook. Smith,
Jim (ed). Van Nostrand Reinhoid. NY. Kuang, D., Obaje, O.J., dan Ali, O.M. 2000. Synthesis and Characterization of
Acetylated Glucose Fatty Esters from Palm and Palm Kernel Oil Fatty Methyl Esters. J. of Oil Palm Re 12 (2):14-19.
Limbongan, J. 2007. Morfologi Beberapa Jenis Sagu Potensial Di Papua.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007. Margaretha, A. 1999. Synthesis of Fructosa-Based Surfactans. Ph.D dissertation:
Technische Universiteit Delft.
82
McWhorter, C. G. 1990. Adjuvants for Herbicides chapter 2: The use of Adjuvants. Weed science Society of America, Champaign, Illinois.
McCurry, Jr.; Patrick M. Varvil; Janet R. dan Pickens; Carl E. 1996. Patens:
“Process for Making Alkyl Glycosides. Dalam www. Uspto.gov, 12 Februari 2007
Metheson. 1996. Surfactant Raw Materials. Clasification, Synthesis, and Uses.
In : Soap and Etergen : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L.. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois.
Moechtar. 1989. Farmasi Fisika: Bagian Larutan dan Sistem Dispersi, Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Muchtadi, T.R. 1990. Emulsi Bahan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta, IPB, Bogor.
Moenandir, J. 1988. Fisiologi Herbisida (Ilmu Gulma : buku II). Rajawali Pers.
Jakarta. Noor, E. dan Sutisna, N . 1997. Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut
Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Nurjannah, U. 2003. Pengaruh Dosis Herbisida Glifosat dan 2,4-D terhadap
Pergeseran Gulma dan Tanaman Kedelai tanpa Olah Tanah. Program Studi Agronomi. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Jurnal Ilmu- Pertanian Indonesia. Vol 5 No. 1 hal. 27-33.
Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Second
Edition. Academic Press Inc Porter, M.R. 1991. Handbook of Surfactant. Chapman & Hall, New York. Presents, Z. 2000. All About Fatty alkohol. Dalam http://www.condea.org. 12
Maret 2007. Rieger, M.M. 1985. Surfactant in Cosmetic. Surfactant Science Series. Marcel
Dekker Inc., New York. pp 488. Roshid, I. 2006. Kajian Aplikasi Campuran Herbisida Glifosat dengan
Metsulfuron Metil dalam Pengendalian Beberapa Gulma Pertanian. Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian, IPB.
Sadi, S. 1994. Gliserolisis Minyak Sawit dan Inti Sawit dengan Piridin. Buletin
PPKS 2 (3) : 155 – 164.
Samad, M. Y. 2002. Meningkatkan Produksi Industri Kecil Sagu Melalui Penerapan Teknologi Ekstraksi Semi Mekanis. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol.4, No.5, (Agustus 2002), hal. 11-17 Humas-BPPT/ANY
83
Sofiyaningsih, N dan Nurcahyani, N. 2006. Esterifikasi Asam Oleat dengan Sorbitol Menggunakan H2SO4 Sebagai Katalisator Melalui Distilasi Reaktif. Pusat Penelitian Kimia LIPI.
Supriatna, D. 2008. Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO)
terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Statistik Perkebunan Indonesia. 2006. Kelapa (Coconut). Direktorat Jenderal
Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta 2006. Suryani, A., Sailah, I., dan Hambali, E. 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian-Fateta IPB, Bogor. Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and fat Products. Vol. 14 th Edition. John
Willey and Son Inc., New York. Tollenean, M., Dibo,A.A., Aguilera,A., Weise,S.F., and Swanron, C.J. 1994.
Effect of Crop Density on Weed Inference in Maize. J. Agronomy 86 (4):592-595.
Tominack, R. L. 2000. Herbicide Formulations. J. Toxicol Clin Toxico l38:129–
135. Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmojo. 1984. Pengelolaan Gulma di
Perkebunan. PT. Gramedia. Jakarta. Utomo, I. H. 1995. Beberapa Hasil Penelitian Pengujian Round Up 75 WSG pada
Lahan Alang-alang di Perkebunan. Kumpulan Makalah Peluncuran Produk BaruHerbisida 75 WSG. PT. Monagro Kimia. Bandar Lampung. 8 hal.
Van Valkenburg, J.W. 1990. Terminology, Classificationj and Chemistry.
Adjuvan for Hebicides. The Weed Science Society of America 309 West Clark Street Champaign, Illinois 51820.
Wuest, W., Eskuchen,R., Wollman, J., Hill, K., dan Biermann, M. 1992 . Patens:
Process for Preparing Alkyl Glucosides Compounds from Oligo-and/or Polysaccharides. dalam www.uspto.gov. 12 Februari 2007.
Wuest, W., Eskuchen, R., Schulz, P., Bauer, V., Carduck, F., Esser, H., Zeise, C., Weuthen, M., dan Penninger, J. 1996. Patens: Process for Bleaching Discolored Surface-Active Alkyl Glycosides and for Working Up The Bleached Material. Dalam www.uspto.gov. 12 Februari 2007.
Wuryaningsih, S.R. 2007. LIPI Manfaatkan Sawit sebagai Pengganti Petrokimia.
Pusat Penelitian Kimia LIPI. Jakarta
84
Lampiran 1. Proses produksi alkil poliglikosida dengan dua tahap
Suhu 140-145oC, 4,3 – 4,7 bar Katalis asam (asam p-toluene sulfonat) Suhu 115-1180C, vakum Didinginkan pada suhu 90oC
+ MgO s/d pH 8-10 selama 30 menit, tekanan normal Suhu 160-180 oC tekanan 15 mmHg +Air +H2O2 +NaOH
Netralisasi
Destilasi
APG Kasar Alkohol lemak
Pemucatan/Bleaching
APG
Reaktor 2 Transasetalisasi
Reaktor 1 Butanolisis
Alkohol lemak
air + butanol
Air Butanol Pati Sagu
asam p-toluene sulfonat
85
Lampiran 2. Metode analisa APG Stabilitas emulsi (Modifikasi ASTM D 1436, 2000)
Stabilitas emulsi diukur diantara air dan xilena. Xilena dan air dicampur
dengan perbandingan 6:4. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit
menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antara xilena dan air diukur
berdasarkan lamannya pemisahan antar fasa sebelum dan sesudah
ditambahkan surfaktan dibandingkan nilainya. Penetapan stabilitas emulsi
dengan cara yang sederhana, yaitu dengan cara pengukuran berdasarkan
pemisahan dengan asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100.
% stabilitas = (Tinggi keseluruhan-tinggi pemisahan) x 100 Tinggi keseluruhan
Pengukuran tegangan permukaan metode Du Nouy (ASTM D-1331. 2000) Peralatan dan wadah sampel yang digunakan harus dibersihkan terlebih
dahulu dengan larutan asam sulfat-kromat dan dibilas dengan aquades, lalu
dikeringkan. Cincin platinum yang digunakan pada alat tensiometer dan
mempunyai mean circumferense = 5,945.
Posisi alat diatur agar horizontal dengan menggunakan water pass dan
diletakkan pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar
matahari dan panas. Larutan surfaktan dengan ragam konsentrasi, dimasukkan
ke dalam gelas kimia dan diletakkan di atas dudukan tensiometer. Suhu cairan
diukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel
tersebut (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah permukaan cincin). Skala
vernier tensiometer diatur pada posisi nol dan jarum penunjuk harus berada pada
posisi terhimpit dengan garis pada kaca. Selanjutnya kawat torsi diputar
perlahan-lahan sampai film cairan tepat putus, saat film cairan tepat putus, skala
dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan.
Pengukuran tegangan antar muka (ASTM D-1331. 2000) Metode menentukan tegangan antar muka hampir sama dengan
pengukuran tegangan permukaan. Tegangan antar muka menggunakan dua
cairan yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu larutan surfaktan dengan ragam
konsentrasi dan xilena (1:1). Larutan surfaktan terlebih dahulu dimasukkan ke
dalam wadah sampel, kemudian dicelupkan cincin platinum ke dalamnya
(lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah permukaan cincin). Setelah itu,
86
secara hati-hati larutan xilena ditambahkan di atas larutan surfaktan sehingga
sistem terdiri atas dua lapisan. Kontak antara cincin dan larutan xilena sebelum
pengukuran harus dihindari. Setelah tegangan antar muka mencapai equilibrium,
yaitu benar-benar terbentuk dua lapisan terpisah yang sangat jelas, pengukuran
selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama pada pengukuran tegangan
permukaan.
Penentuan nilai HLB
Nilai HLB digunakan untuk menentukan sifat kelarutan surfaktan APG di
dalam air dan menentukan aplikasi surfaktan berdasarkan nilai HLB yang dimiliki
surfaktan APG.
Penentuan nilai HLB (Gupta et al. 1983 dalam Kuang et al. 2000). HLB
dari surfaktan APG ditentukan menggunakan metode bilangan air (water number
method). Larutan surfaktan APG yang mengandung 1 g surfaktan APG dalam 25
ml campuran piridina dan benzena 95:5 (v/V) dititrasi dengan aquades sampai
kekeruhan permanen. Nilai HLB dari sampel surfaktan APG diperoleh dengan
interpolasi pada kurva standar HLB.
Tabel 2.1. Pengaruh nilai HLB pada kelarutan surfaktan dalam air.
Kelarutan dalam air Nilai HLB Aplikasi
Tidak mampu terdispersi dalam air
Pengemulsi w/o
Kemampuan mendispersi kurang baik
Dispersi seperti susu; tidak stabil
Wetting agent
Dispersi seperti susu;stabil
Tembus cahaya untuk larutan jernih Larutan jernih
0 2
4 6 8 10 12
14
16 18
Detergent Pengemulsi o/w Solubilizer
Sumber: Adamson dalam Indrawanto (2008)
87
Spektroskopi infra merah
Analisis spektroskopi infra merah memberikan informasi mengenai
adanya gugus fungsi yang terdapat dalam molekul. Vibrasi dari setiap gugus
fungsi akan muncul pada bilangan gelombang yang berbeda.
Vibrasi ulur OH muncul pada 3.500-3.300 cm-1
Vibrasi ulur C=C cincin benzena pada 1.605,1.495 dan 1.466 cm-1
Vibrasi C=O muncul pada 1740-1675 cm-1 dan 1110-1220 cm-1
Tabel 2. 2. Pita serapan FTIR
Bilangan Gelombang (cm-1) Pita serapan gugus
3.450-3.400 Vibrasi ulur OH 2.940-2.820 Vibrasi ulur C-H 1.715-1.710 Vibrasi ulur C=O 1.675-1.660 Vibrasi ulur C=C 1.600-1.505 Vibrasi cincin aromatik 1.470-1.460 Vibrasi tekuk C-H 1.430-1.425 Vibrasi cincin aromatik 1.370-1.365 Vibrasi tekuk C-H 1.110-1.220 Vibrasi tekuk C=O 1.085-1.030 Vibrasi tekuk CH dan C-O
F. Rendemen
Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah
dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.
Berat APG murni Rendemen (%) = x 100 %
Berat total bahan baku awal
88
Lampiran 3. Data proses produksi APG Tabel 3.1. Hasil pengamatan tahapan proses butanolisis
Simbol satuan
percobaan Pati sagu
(gr) Butanol
(gr) Air (gr)
Katalis para asam toluene sulfonat (gr) Suhu (°C) Tekanan Hasil (butil glikosida)
A 20,25 78,5 17,5 0,24 130 2,6 – 3,0 Larutan coklat muda dan sedikit pasta B 20,25 78,5 17,5 0,24 130 2,6 – 3,0 Larutan coklat muda dan sedikit pasta C 20,25 78,5 17,5 0,24 150 4,5 – 5,0 Larutan coklat muda D 20,25 78,5 17,5 0,24 150 4,5 – 5,0 Larutan coklat muda E1 20,25 78,5 17,5 0,24 140 3,5 – 4,5 Larutan coklat muda E2 20,25 78,5 17,5 0,24 140 3,5 – 4,5 Larutan coklat muda F 20,25 78,5 17,5 0,24 125,9 2,2 -2,4 Larutan coklat muda G 20,25 78,5 17,5 0,24 154,1 4,8 – 5,2 Larutan coklat muda H 20,25 78,5 17,5 0,24 140 3,5 – 4,5 Larutan coklat muda I 20,25 78,5 17,5 0,24 140 3,5 – 4,5 Larutan coklat muda
Keterangan
A Suhu butanolisis 130 dengan rasio mol pati sagu –alkohol lemak 1:2,5 B Suhu butanolisis 130 dengan rasio mol pati sagu - alkohol lemak 1:6 C Suhu butanolisis 150 dengan rasio mol pati sagu - alkohol lemak 1:2,5 D Suhu butanolisis 150 dengan rasio mol pati sagu - alkohol lemak 1:6 E1 Suhu butanolisis 140 dengan rasio mol pati sagu - alkohol lemak 1:4,25 E2 Suhu butanolisis 140 dengan rasio mol pati sagu - alkohol lemak 1:4,25 F Suhu butanolisis 125,9 dengan rasio mol pati sagu - alkohol lemak 1:4,25 G H
Suhu butanolisis 154,1 dengan rasio mol pati sagu - alkohol lemak 1:4,25 Suhu butanolisis 140 dengan rasio mol pati sagu - alkohol lemak 1:1,78
I Suhu butanolisis 140 dengan rasio mol pati sagu - alkohol lemak 1:6,72
89
Tabel 3.2 . Hasil pengamatan tahapan proses transasetalisasi
Simbol satuan
percobaan
Alcohol lemak (gr)
Katalis para asam
toluena sulfonat (gr)
Suhu (°C) Tekanan Hasil
A 58,13 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
B 139,50 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
C 58,13 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
D 139,50 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
E1 98,81 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
E2 98,81 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
F 98,81 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
G 98,81 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
H 41,39 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
I 156,24 0,12 110-120 Vakum Larutan coklat muda
Tabel 3.3 . Hasil pengamatan tahapan proses netralisasi
Netralisasai Simbol satuan
percobaan
Suhu (0C)
Waktu (menit) pH
awal
NaOH 50%
(tetes) Warna awal pH
akhir Warna akhir
A 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
B 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
C 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
D 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
E1 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
E2 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
F 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
G 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
H 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
I 80-90 30 4 20 Coklat muda 10 Coklat muda
90
Tabel 3.4. Hasil pengamatan tahapan proses destilasi
Produk Simbol satuan
percobaan
Suhu (0C)
Waktu (menit)
Tekanan (mmHg)
Rendemen (gr) Karakter fisik A 160-180 30-60 20-50 13,848 Pasta, warna coklat
gelap B 160-180 30-60 20-50 7,240 Pasta, warna coklat
gelap C 160-180 30-60 20-50 15,905 Pasta, warna coklat
gelap D 160-180 30-60 20-50 26,416 Pasta, warna coklat
gelap E1 160-180 30-60 20-50 13,140 Pasta, warna coklat
gelap E2 160-180 30-60 20-50 22,316 Pasta, warna coklat
gelap F 160-180 30-60 20-50 15,854 Pasta, warna coklat
gelap G 160-180 30-60 20-50 19,682 Pasta, warna coklat
gelap H 160-180 30-60 20-50 8,257 Pasta, warna coklat
gelap I 160-180 30-60 20-50 12,392 Pasta, warna coklat
gelap
Tabel 3 5.. Hasil pengamatan tahapan proses pemucatan
Pemucatan Simbol satuan percobaan
Suhu (0C)
Waktu (menit) Air (ml) H2O2
(tetes) Karakter fisik
A 60-80 30 5,9 10 Pasta, warna coklat tua
B 60-80 30 3,1 10 Pasta, warna coklat tua
C 60-80 30 6,8 10 Pasta, warna coklat muda
D 60-80 30 11,3 10 Pasta, warna coklat muda
E1 60-80 30 5,6 10 Pasta, warna coklat muda
E2 60-80 30 9,0 10 Pasta, warna coklat muda
F 60-80 30 6,8 10 Pasta, warna coklat muda
G 60-80 30 8,4 10 Pasta, warna coklat muda
H 60-80 30 3,5 10 Pasta, warna coklat muda
I 60-80 30 5,3 10 Pasta, warna coklat muda
91
Lampiran 4. Data analisa pengujian AOG Tabel 4.1. Hasil pengujian tegangan permukaan APG
Tegangan permukaan (dyne/cm)
Konsentrasi APG (b/v) APG komersial Rata-
rata APG hasil validasi Rata-rata
0,1 32,3 31,6 31,6 32,4 33,1 32,2 25,0 26,0 27,0 27,0 26,25 0,2 29,0 29,2 28,7 29,2 29,1 29,04 25,0 25,0 27,0 26.5 25,88 0,3 27,2 27,0 27,1 27,1 27,2 27,12 24,0 25,0 26.5 26,0 25,38 0,4 25,6 25,4 25,5 25,8 25,4 25,54 25,0 24,0 25.5 26.5 25,25 0,5 25,0 25,1 24,9 25,0 24,8 24,96 25,0 24.5 26,0 25,0 25,13 0,6 24,1 23,7 23,9 24,1 24,0 23,96 23.5 25,0 26,0 25,0 24,88 0,7 24,0 24,3 23,8 24,0 23,9 24,0 23,0 24,0 26,0 26,0 24,80 0,8 22,8 22,9 23,0 23,0 23,1 22,96 23,0 23,0 25,5 26,0 24,38 0,9 22,1 22,1 22,0 21,8 21,9 21,98 24,0 24,0 24,0 25,0 24,25
1,00 21,3 21,4 21,4 21,3 21,4 21,36 22,0 23,0 23,5 25,0 23,38
Tabel 4.2. Hasil pengujian tegangan antarmuka
Tegangan antarmuka (dyne/cm) Konsentrasi APG (b/v) APG komersial Rata-rata APG hasil
validasi Rata-rata
0,1 13,2 13,1 13,0 13,0 13,1 13,08 10,0 10.5 10.5 10,33 0,2 11,6 11,5 11,5 11,4 11,5 11,5 9,0 9.5 9,0 9,17 0,3 9,9 9,8 10,1 10,1 10,1 10,0 9,0 8,0 8.5 8,50 0,4 8,1 8,0 8,0 7,8 7,9 7,96 8,0 9,0 7.5 8,17
Tabel 4.3. Hasil pengujian pH
Uji pH APG komersial APG hasil validasi
Ulangan 1 7,363 7,100 Ulangan 2 7,639 7,200
Tabel 4.4. Hasil pengujian nilai HLB
Jenis surfaktan Aquades yang dipakai (ml) Rata-rata HLB
Asam oleat 14,3 16,8 15,55 1,0 Span 20 38,3 37,7 38,00 8,6 Twen80 67,7 70,0 68,85 15,0 APG komersial 61,1 62,5 61,80 13,4 APG hasil validasi 43,1 43,2 43,15 8,8
92
Lampiran 5. Pengolahan data suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu-alkohol lemak terhadap nilai kestabilan emulsi pada sintesa APG dua tahap
Tabel 5.1. Hasil optimasi nilai kestabilan emulsi metode permukaan respon
Ket *: hasil validasi kondisi optimum
Tabel 5.2. Kode koefisien untuk variabel independen
Faktor Ditambahkan oleh Pembagian oleh
X1 0 1,41
X2 0 1,41
Tabel 5.3. Hasil analisis ragam pada respon
Regresi Derajat bebas
Jumlah kuadrat R2 F ratio Prob>F
X1 1 2.517,876 2.517,876 12,30483 0,024720
X2 1 184,934 184,934 0,90377 0,395606
X1*X1 1 1.008,012 1.008,012 4,92614 0,090664
X2*X2 1 606,676 606,676 2,96482 0,160200
X2*X1 1 422,508 422,508 2,06479 0,224097
Galat 4 818,500 204,625
Total 9 5.102,135
Kestabilan emulsi rasio mol (gr)
Suhu
butanolisis
Pati sagu (gr)
Alcohol lemak
(gr)
Tinggi emulsi
(cm) Rata-rata
Kestabilan emulsi
(%)
130 20,25 58,125 0,215 0,163 0,189 18,9 130 20,25 139,5 0,473 0,100 0,287 28,7 150 20,25 58,125 0,622 0,551 0,587 58,7 150 20,25 139,5 0,301 0,309 0,305 30,5 140 20,25 98,81 0,714 0,706 0,710 71,0 140 20,25 98,81 0,629 0,500 0,565 56,5
125,9 20,25 98,81 0,028 0,021 0,025 2,5 154,1 20,25 98,81 0,755 0,760 0,758 75,8 140 20,25 41,39 0,553 0,481 0,517 51,7 140 20,25 156,24 0,427 0,505 0,466 46,6
147,8 20,25 77,54 0,778 0,667 0,723 72,3* Kestabilan komersial 0,9 1,0 0,950 95,0
93
Tabel 5.4. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kestabilan emulsi air : xilene setelah penambahan APG yang dihasilkan pada nilai T
Parameter Derajat bebas
Pendugaan parameter Std.err. Prob>
F Pendugaan dari
data berkode
Titik potong 1 64,2892 10,11484 0,0031 64,2892
X1 1 35,5344 10,13004 0,0247 17,7672
X2 1 -9,6254 10,12493 0,3956 -4,8127
X1*X1 1 -29,8188 13,43499 0,0906 -14,9094
X2*X2 1 -23,0932 13,41176 0,1602 -11,5466
X2*X1 1 -20,5550 14,30472 0,2240 -10,2775
Tabel 5.5. Hasil analisis kanonik permukaan respon kestabilan emulsi air ; xilene setelah penambahan APG yang dihasilkan
Faktor Titik kritis
X1 (suhu butanolisis) 0,788347
X2 (rasio mol pati sagu:dodecanol -0,558144
Nilai duga pada titik stationer
Eigenvalues Eigenvectors
X1 X2
-0,125437 0,996771 -0,080303
-3,79398 0,08030 0,99677
Stationary point is a maximum
Tabel 5.6. Nilai optimum perlakuan
Faktor Nilai kritis
X1 147,86 Suhu butanolisis X2 3,27 Rasio mol pati sagu :
glukosa
94
Lampiran 6. Aplikasi formulasi herbisida
• Persentase penutupan gulma Pengamatan dilakukan secara visual pada setiap petak percobaan.
Selang penutupan gulma antara 0 – 100% yang diamati pada 1, 2, dan 3
MSA. Untuk menghilangkan subyektifitas, pengamatan dilakukan minimal oleh
tiga orang.
• Efektivitas herbisida Pengamatan dilaksanakan pada 1dan 2 MSA. Penilaian efektivitas
herbisida dilakukan dengan membuat skoring skala 0 – 4, keterangan nilai
skoring adalah sebagai berikut:
0 = efektif
1 = kurang efektif
2 = cukup efektif
3 = efektif
4 = efektif sekali
• Stabilitas formulasi herbisida Untuk mengetahui perubahan stabilitas formulasi herbisida terhadap
penyimpanan, maka formulasi herbisida yang telah dibuat disimpan selama 5
minggu pada suhu 150C, suhu ruang (26-290C), 400C. Setiap minggu diamati
kestabilan formulasinya.
95
Lampiran 7. Analisis statistik kestabilan formulasi herbisida (%) Tabel 7.1. Analisis ragam pengaruh penyimpanan pada suhu 150C, 26-290C, 400C
terhadap kestabilan formulasi herbisida pada minggu pertama
Sumber Jumlah kuadrat db Kuadrat
tengah F Sig.
Corrected Model 2.365,601(a) 35 67,589 4,540 0,000Intercept 693.474,905 1 693.474,905 46.584,8
99 0,000
Suhu 0,000 0 . . .Glifosat 0,000 0 . . .APG 0,000 0 . . .Perlakuan 0,000 0 . . .Suhu * Glifosat 0,000 0 . . .Suhu * APG 0,000 0 . . .Glifosat * APG 0,000 0 . . .Suhu * Glifosat * APG 0,000 0 . . .Suhu * Perlakuan 0,000 0 . . .Glifosat * Perlakuan 0,000 0 . . .Suhu * Glifosat * Perlakuan 0,000 0 . . .
Apg * Perlakuan 0,000 0 . . .Suhu * APG * Perlakuan 0,000 0 . . .
Glifosat * APG * Perlakuan 0,000 0 . . .
Suhu * Glifosat * APG * Perlakuan 0,000 0 . . .
Error 535,905 36 14,886 Total 696.376,412 72 Corrected Total 2.901,507 71 • Nilai signifikasi < α : berpengaruh nyata • Nilai signifikasi > α : tidak Berpengaruh nyata
Tabel 7.2 Uji Duncan kestabilan formulasi herbisida pada minggu pertama untuk
faktor suhu
Suhu (0C) N Rataan Pengelompokan Duncan
26-29 24 94,4221 A
15 8 100,0000 B
40 8 100,0000 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
96
Tabel 7.3. Uji Duncan kestabilan formulasi herbisida pada minggu pertama untuk faktor konsentrasi glifosat
Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
16 24 95,1279 A
48 24 99,5508 B
24 24 99,7433 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
Tabel 7.4. Uji Duncan kestabilan formulasi herbisida pada minggu pertama untuk
faktor konsentrasi APG
Konsentrasi APG (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
10 18 96,3244 A
8 18 97,7772 AB
6 18 98,9739 AB
4 18 99,4872 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
Tabel 7.5. Uji Duncan kestabilan formulasi herbisida pada minggu pertama untuk
aktor perlakuan
Perlakuan N Rataan Pengelompokan Duncan
RD 2 69,2300 A
RC 2 83,0750 B
RB 2 93,0750 C
RA 2 96,1550 C
RG 2 98,4600 C
RJ 2 98,4600 C
RK 2 98,4600 C
RL 2 98,4600 C
RF 2 99,2300 C
RH 2 99,2300 C
RI 2 99,2300 C
RE 2 100,00 C
15A 2 100,00 C
97
Perlakuan N Rataan Pengelompokan Duncan
15B 2 100,00 C
15C 2 100,00 C
15D 2 100,00 C
15E 2 100,00 C
15F 2 100,00 C
15G 2 100,00 C
15H 2 100,00 C
15I 2 100,00 C
15J 2 100,00 C
15K 2 100,00 C
15L 2 100,00 C
40A 2 100,00 C
40B 2 100,00 C
40C 2 100,00 C
40D 2 100,00 C
40E 2 100,00 C
40F 2 100,00 C
40G 2 100,00 C
40H 2 100,00 C
40I 2 100,00 C
40J 2 100,00 C
40K 2 100,00 C
40L 2 100,00 C • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
98
Tabel 7.6. Analisis ragam pengaruh penyimpanan pada suhu 150C, 26-290C, 400C terhadap kestabilan formulasi herbisida pada minggu kedua sampai minggu kelima
Sumber Jumlah kuadrat db Kuadrat
tengah F Sig.
Corrected Model 2.510,143(a) 35 71,718 4,818 0,000Intercept 691.66,.451 1 691.662,451 46.463,145 0,000Suhu 0,000 0 . . .Glifosat 0,000 0 . . .APG 0,000 0 . . .Perlakuan 0,000 0 . . .Suhu * Glifosat .0,000 0 . . .Suhu * APG 0,000 0 . . .Glifosat * APG 0,000 0 . . .Suhu * Glifosat * APG 0,000 0 . . .Suhu * Perlakuan 0,000 0 . . .Glifosat * Perlakuan 0,000 0 . . .Suhu * Glifosat * Perlakuan 0,000 0 . . .
Apg * Perlakuan 0,000 0 . . .Suhu * APG * Perlakuan 0,000 0 . . .
Glifosat * APG * Perlakuan 0,000 0 . . .
Suhu * Glifosat * Apg * Perlakuan 0,000 0 . . .
Galat 535,905 36 14,886 Total 694.708,500 72 Corrected Total 3.046,048 71 • Nilai signifikasi < α : berpengaruh nyata • Nilai signifikasi > α : tidak Berpengaruh nyata
Tabel 7.7. Uji Duncan kestabilan formulasi herbisida pada pada minggu kedua
sampai minggu kelima untuk faktor suhu
Suhu (0C) N Rataan Pengelompokan Duncan
26-29 24 94,0371 A
15 8 100,0000 B
40 8 100,0000 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
99
Tabel 7.8. Uji Duncan kestabilan formulasi herbisida pada minggu kedua sampai minggu kelima untuk faktor konsentrasi glifosat
Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
16 24 94,9354 A
48 24 99,4867 B
24 24 99,6150 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
Tabel 7.9. Uji Duncan kestabilan formulasi herbisida pada minggu kedua sampai
minggu kelima untuk faktor konsentrasi APG
Konsentrasi APG (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
10 18 96,2389 A
8 18 97,6917 AB
6 18 98,8028 AB
4 18 99,3161 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
Tabel 7.10. Uji Duncan kestabilan formulasi herbisida pada minggu kedua sampai
minggu kelima untuk faktor Perlakuan
Perlakuan N Rataan Pengelompokan Duncan
RD 2 68,4600 A
RC 2 82,3050 B
RB 2 92,3050 C
RA 2 96,1550 C
RF 2 98,4600 C
RG 2 98,4600 C
RI 2 98,4600 C
RJ 2 98,4600 C
RK 2 98,4600 C
RL 2 98,4600 C
RE 2 99,2300 C
RH 2 99,2300 C
15A 2 100,00 C
100
Perlakuan N Rataan Pengelompokan Duncan
15B 2 100,00 C
15C 2 100,00 C
15D 2 100,00 C
15E 2 100,00 C
15F 2 100,00 C
15G 2 100,00 C
15H 2 100,00 C
15I 2 100,00 C
15J 2 100,00 C
15K 2 100,00 C
15L 2 100,00 C
40A 2 100,00 C
40B 2 100,00 C
40C 2 100,00 C
40D 2 100,00 C
40E 2 100,00 C
40F 2 100,00 C
40G 2 100,00 C
40H 2 100,00 C
40I 2 100,00 C
40J 2 100,00 C
40K 2 100,00 C
40L 2 100,00 C • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
101
Lampiran 8. Analisis statistik persentase penutupan gulma Tabel 8.1. Analisis sidik ragam pangaruh suhu penyimpanan dan formulasi herbisida
terhadap persentase penutupan gulma 1 MSA
Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat
Tengah F Sig.
Suhu 159,896 2 79,948 2,046 0,144Glifosat 6500,146 2 3250,073 83,158 0,000APG 196,847 3 65,616 1,679 0,189Suhu * Glifosat 286,646 4 71,661 1,834 0,144Suhu * APG 220,049 6 36,675 0,938 0,480Glifosat * APG 196,382 6 32,730 0,837 0,549Suhu * Glifosat * APG 168,910 12 14,076 0,360 0,969Galat 1407,000 36 39,083 Total 425.464,000 72 • Nilai signifikasi < α : berpengaruh nyata • Nilai signifikasi > α : tidak Berpengaruh nyata
Tabel 8.2 Uji Duncan persentase penutupan gulma (%) 1 MSA hasil penyimpanan
suhu 150C, suhu ruang dan 400C untuk faktor konsentrasi glifosat
Konsentrasi Glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
48 24 62,7500 A
24 24 80,9792 B
16 24 84,3956 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata Tabel 8.3. Analisis sidik ragam pangaruh suhu penyimpanan dan formulasi herbisida
terhadap persentase penutupan gulma 2 MSA
Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat
Tengah F Sig.
Suhu 2051,340 2 1025,670 16,242 0,000Glifosat 27788,882 2 13894,441 220,025 0,000APG 555,622 3 185,207 2,933 0,046Suhu * Glifosat 943,514 4 235,878 3,735 0,012Suhu * APG 211,076 6 35,179 0,557 0,761Glifosat * APG 518,118 6 86,353 1,367 0,254Suhu * Glifosat * APG 504,653 12 42,054 .0,666 0,771Galat 2273,375 36 63,149 Total 165.194,250 72 • Nilai signifikasi < α : berpengaruh nyata • Nilai signifikasi > α : tidak Berpengaruh nyata
102
Tabel 8.4 . Uji Duncan persentase penutupan gulma (%) 2 MSA hasil penyimpanan suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor suhu penyimpanan
Suhu (0C) N Rataan Pengelompokan Duncan
26-29 24 35,0833 A
15 24 45,3125 B
40 24 47,2500 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata Tabel 8.5. Uji Duncan persentase penutupan gulma (%) 2 MSA hasil penyimpanan
suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor konsentrasi glifosat
Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
48 24 15,0417 A
24 24 52,9167 B
16 24 59,6875 C • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata Tabel 8.6. Uji Duncan persentase penutupan gulma (%) 2 MSA hasil penyimpanan
suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor konsentrasi APG
Konsentrasi APG (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
8 18 38,9444 A
10 18 41,0556 B
6 18 43,9444 BC
4 18 45,2500 C • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
103
Tabel 8.7 Uji Duncan persentase penutupan gulma (%) 2 MSA hasil penyimpanan suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor interaksi
Perlakuan N Pengelompokan Duncan RJ 2 A RK 2 A 40L 2 A 15L 2 A 15K 2 A 40K 2 A 15J 2 AB RL 2 AB 40J 2 AB RI 2 ABC 15I 2 ABCD 40I 2 ABCDE RG 2 BCDEF RH 2 CDEFG RE 2 DEFGH RA 2 EFGHI RF 2 FGHIJ 15G 2 GHIJK RC 2 GHIJK RD 2 GHIJK 15D 2 HIJK 15F 2 HIJK RB 2 HIJK 40F 2 HIJK 40G 2 HIJK 15H 2 IJK 40C 2 IJK 40H 2 IJK 15A 2 IJK 15C 2 JK 15B 2 JK 40D 2 JK 40E 2 JK 40A 2 K 40B 2 K 15E 2 K • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
104
Lampiran 9. Analisis statistik bobot kering gulma Tabel 9.1. Analisis ragam pengaruh penyimpanan pada suhu 150C, 26-290C, 400C
terhadap bobot kering gulma pada 1 MSA
Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat
Tengah F Sig.
Corrected Model 1511.102(a) 35 43.174 4.807 .000Intercept 14257.942 1 14257.942 1587.463 .000Suhu .000 0 . . .Glifosat .000 0 . . .APG .000 0 . . .Perlakuan .000 0 . . .Suhu * glifosat .000 0 . . .Suhu * APG .000 0 . . .glifosat * APG .000 0 . . .Suhu * glifosat * APG .000 0 . . .Suhu * perlakuan .000 0 . . .glifosat * perlakuan .000 0 . . .Suhu * glifosat * perlakuan .000 0 . . .
APG * perlakuan .000 0 . . .Suhu * APG * perlakuan .000 0 . . .
glifosat * APG * perlakuan .000 0 . . .
Suhu * glifosat *APG * perlakuan .000 0 . . .
Galat 323.337 36 8.982 Total 16092.381 72 Corrected Total 1834.439 71 • Nilai signifikasi < α : berpengaruh nyata • Nilai signifikasi > α : tidak Berpengaruh nyata Tabel 9.2. Uji Duncan bobot kering gulma (%) 1 MSA hasil penyimpanan suhu 150C,
suhu ruang, dan 400C untuk faktor konsentrasi glifosat
Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
48 24 8,2101 A
24 24 16,0271 B
16 24 17,9794 C • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
105
Tabel 9.3. Analisis ragam pengaruh penyimpanan pada suhu 150C, 26-290C, 400C terhadap bobot kering gulma pada 2 MSA
Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.
Corrected Model 728.444(a) 35 20.813 8.841 .000Intercept 2081.107 1 2081.107 884.001 .000Suhu .000 0 . . .Glifosat .000 0 . . .APG .000 0 . . .Perlakuan .000 0 . . .Suhu * glifosat .000 0 . . .suhu * APG .000 0 . . .glifosat * APG .000 0 . . .suhu * glifosat * APG .000 0 . . .suhu * perlakuan .000 0 . . .glifosat * perlakuan .000 0 . . .suhu * glifosat * perlakuan .000 0 . . .
apg * perlakuan .000 0 . . .suhu * APG * perlakuan .000 0 . . .
glifosat * APG * perlakuan .000 0 . . .
suhu * glifosat * APG * perlakuan .000 0 . . .
Galat 84.751 36 2.354 Total 2894.302 72 Corrected Total 813.195 71 • Nilai signifikasi < α : berpengaruh nyata • Nilai signifikasi > α : tidak Berpengaruh nyata
Tabel 9.4. Uji Duncan persentase bobot kering gulma (g) 2 MSA hasil penyimpanan
suhu 150C, suhu ruang dan 400C untuk factor suhu Suhu (0C) N Rataan Pengelompokan Duncan
26-29 24 3,8894 A
15 24 5,0246 B
40 24 6,3148 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
106
Tabel 9.5. Uji Duncan bobot kering gulma (g) 1 MSA hasil penyimpanan suhu 150C, suhu ruang, dan 400C untuk faktor konsentrasi glifosat
Konsentrasi glifosat (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
48 24 1,5867 A
24 24 6,5019 B
16 24 8,0402 C • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata Tabel 9.6. Uji Duncan bobot kering gulma (g) 2 MSA hasil penyimpanan suhu 150C,
suhu ruang, dan 400C untuk faktor konsentrasi APG
Konsentrasi APG (%) N Rataan Pengelompokan Duncan
8 18 4,7393 A
10 18 5,1178 AB
6 18 5,6489 AB
4 18 5,9994 B • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
Tabel 9.7. Uji Duncan bobot kering gulma (g) 2 MSA hasil penyimpanan suhu 150C,
suhu ruang, dan 400C untuk faktor perlakuan
Perlakuan N Rataan Pengelompokan Duncan RJ 2 1.1794 A RK 2 1.1794 A 40L 2 1.2451 A 15L 2 1.2677 A 15K 2 1.3276 A 40K 2 1.3385 A 15J 2 1.5906 A RL 2 1.6897 AB 40J 2 1.7411 AB RI 2 1.9999 AB 15I 2 2.1987 ABC 40I 2 2.2833 ABC
107
RG 2 2.8709 ABCD RH 2 3.5524 ABCDE RE 2 3.8112 ABCDEF RF 2 4.8208 ABCEFG RA 2 5.3189 BCDEFGH 15G 2 5.6373 CDEFGHI RC 2 6.3222 DEFGHIJ RD 2 6.4751 EFGHIJK 15F 2 6.9202 FGHIJKL 15D 2 7.0876 FGHIJKL 40G 2 7.3930 GHIJKL RB 2 7.4534 GHIJKL 40F 2 7.5747 GHIJKL 40C 2 7.7268 GHIJKL 40H 2 7.7268 GHIJKL 15H 2 7.7584 GHIJKL 15A 2 8.4922 GHIJKL 15C 2 8.8576 HIJKL 15B 2 9.2576 IJKL 40D 2 9.2576 IJKL 40E 2 9.2576 IJKL 40A 2 9.9338 JKL 40B 2 10.2993 KL 15E 2 10.6993 L
• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
108
Lampiran 10. Analisis statistik efektivitas herbisida hasil penyimpanan
Tabel 10.1. Uji Kruskal Wallis untuk efektivitas formulasi herbisida 1 MSA
Tes statistik Efektivitas 1 MSA
Chi-Square 71Df 2Asymp. Sig. 0.000
Tabel 10.2. Uji Kruskal Wallis untuk efektivitas formulasi herbisida 1 MSA untuk
konsentrasi glifosat
glifosat N Mean rank
16 24 24.50
24 24 24.50
48 24 60.50
Total 72
Tabel 10.3. Uji Kruskal Wallis untuk efektivitas herbisida 2 MSA
Tes Statistik Efektivitas 2 MSA
Chi-Square 62,495Df 2Asymp. Sig. 0,000
Tabel 10.4. Uji Kruskal Wallis untuk efektivitas formulasi herbisida 2 MSA untuk
konsentrasi glifosat
glifosat N Mean Rank
16 24 26.00
24 24 24.50
48 24 59.00
Total 72