PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN
PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH
DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG WARUNG BUNCIT
Oleh
HINDAYANTI
NIM. 107046100539
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar sarjana (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 9 Juni 2011
(HINDAYANTI)
KATA PENGANTAR
بسم الِله الزَ حمهِ الزَ حِيمِ
Puja dan puji serta sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang
berjudul: “Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan
Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah Cabang Warung Buncit”
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa bimbingan dari semua pihak baik berupa
moril maupun materil, dapat membantu skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag. Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam.
3. Bapak Drs. Noryamin Aini,M.A sebagai Dosen Pembimbing Akademik.
4. Bapak Dr. H. Fuad Thohari, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang memberikan
arahan dalam penulisan skripsi ini.
5. Kepada seluruh dosen di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu kepada penulis selama belajar di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada pimpinan perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis memanfaatkan dan meminjam buku yang berhubungan dengan pembahasan
skripsi ini.
7. Bapak Ridwan, staf Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit dan karyawan
lainnya.
8. Bapak, ibu, kakak-kakakku dan adikku tercinta.
9. Kepada Dimas, Zurrahmah Arif, Salmi Hayati dan teman lainnya yang telah banyak
membantu saya.
Semoga semua yang telah mereka berikan baik berupa bimbingan dan bantuan
dalam rangka penyelesaian skripsi ini mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah
SWT, Amin.
Jakarta, 9 Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6
D. Kajian Pustaka (Review Studi Terdahulu) 8
E. Kerangka Teori dan Konsep 10
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 16
G. Sistematika Penulisan 18
BAB II PANDANGAN ULAMA TENTANG KEDUDUKAN JAMINAN
PADA AKAD MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH
A. Pengertian Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 20
B. Landasan Hukum Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 22
C. Jenis-Jenis Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 27
D. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 30
E. Pandangan Ulama tentang Kedudukan Jaminan pada Akad
Mudhârabah dan Musyârakah 33
BAB III KONSEP PENERAPAN JAMINAN PADA AKAD
MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH
A. Karakteristik Pembiayaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah 39
B. Konsep Jaminan menurut Hukum Positif 44
C. Konsep Jaminan menurut Hukum Islam 51
D. Konsep Penerapan Jaminan pada Akad Mudhârabah dan Musyârakah 58
BAB IV PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN
PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN
MUSYARAKAH DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG
WARUNG BUNCIT
A. Profil Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit 61
B. Perbedaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah 66
C. Aplikasi Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah
Mandiri Cabang Warung Buncit 68
D. Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan Mudhârabah dan
Musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit 71
E. Analisis Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada
Akad Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah
Cabang Warung Buncit 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 79
B. Saran-Saran 82
DAFTAR PUSTAKA 84
LAMPIRAN-LAMPIRAN 87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Para rentenir di dalam membantu petani tidak hanya berupa pinjaman uang
yang berbunga tinggi, tetapi juga memberikan pinjaman dalam membentuk beras,
pangan dan keperluan lainnya, yang ke semua pembayarannya dilakukan dalam
bentuk uang sehingga praktis masih menerapkan sistem bunga yang bersifat
mencekik.1
Dengan adanya bank syariah, jika pengusaha kekurangan modal untuk
menjalankan usahanya maka pengusaha dapat meminjam modal kepada bank syariah.
Bank syariah mendorong para pengusaha untuk mengembangkan usahanya dengan
prinsip bagi hasil. Penyaluran pembiayaan yang diberikan bank syariah merupakan
kegiatan utama bank untuk memperoleh laba namun rawan risiko karena dalam
penyaluran pembiayaan dapat mengakibatkan wanprestasi sehingga dapat merugikan
bank.
Bank syariah merupakan lembaga intermediasi dalam menghimpun dan
menyalurkan dana kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah. Keinginan
masyarakat menggunakan jasa perbankan syariah tanpa bunga membuat
perkembangan perbankan syariah semakin baik, sehingga bank syariah banyak
diminati masyarakat.
1 Sumitro Warkum, Asas-asas Perbankan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.129.
Pembiayaan perbankan syariah yang didasarkan pada akad bagi hasil,
menempatkan bank sebagai pihak penyandang dana. Untuk iu bank berhak atas
kontraprestasi berupa bagi hasil sebesar nisbah terhadap pendapatan atau keuntungan
yang diperleh oleh pemilik usaha (mudhârib). Sedangkan apabila bank hanya
bertindak sebagai penghubung antara pengusaha dengan nasabah, maka ia berhak atas
kontraprestasi berupa fee.2
Bentuk penyaluran dana yang ditunjukan untuk kepentingan investasi dalam
perbankan islam secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
musyârakah dan mudhârabah. Musyârakah adalah akad bagi hasil ketika dua atau
lebih pengusaha milik dana/modal bekerjasama sebagai mitra usaha, membiayai
investasi usaha baru atau yang sudah berjalan.3 Musyârakah merupakan pembiayaan
berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Seorang mitra dapat melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya dan
dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Pada
prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk
menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
2Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007), h. 138.
3Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 51.
Jaminan pada dasarnya dalam sebuah kontrak bagi hasil mudhârabah, eksistensi
dari jaminan tidak dibutuhkan, mengingat didalamnya sudah mengatur mengenai
risiko bagi para pihak ketika terjadi kerugian. Tingkat urgenitas dari jaminan ini
adalah berkaitan dengan kekhawatiran shâhibul mâl mengenai kemungkinan
terjadinya penyelewengan yang dilakukan mudhârib. Dengan kata lain moral hazard
menjadi faktor mengapa jaminan menjadi penting. Adanya jaminan juga diharapkan
dapat mengcover kemungkinan terjadinya total loss. Akan tetapi jaminan ini masih
menjadi perdebatan para ulama.4
Mudhârabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak di mana
pemilik modal (shâhibul mâl) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola
(mudhârib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan
kerjasama dengan konstribusi 100% modal dari shâhibul mâl dan keahlian dari
mudhârib. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.5
Perbedaan yang esensial dari musyârakah dan mudhârabah terletak pada
besarnya konstribusi atas manajemen dan keuangan. Dalam mudhârabah, modal
hanya berasal dari satu pihak. Sedangakan dalam musyârakah modal berasal dari dua
pihak atau lebih.
4Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 134.
5Karnaen Perwataatmadja, Apa dan bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992),
cet.1 h. 33.
Dalam literatur fiqh, musyârakah dan mudhârabah berbentuk perjanjian
kepercayaan (uqud al-amanah) yang merupakan tingkat kejujuran yang tinggi dan
menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran
untuk kepentingan bersama.6
Pada dasarnya bila jaminan diperbolehkan dalam kondisi dan situasi tertentu,
shâhibul mâl dapat meminta agunan sebagai jaminan modal mudhârabah dari
mudhârib, maka tentunya dia juga dapat menyita agunan tersebut bila berbentuk
barang, atau meminta pertanggung jawaban dari pemberi surat rekomendasi (memo)
untuk mengganti kerugian akibat kesalahan mudhârib.7
Menjaminkan barang-barang yang tidak mengandung risiko biaya perawatan
dan tidak menimbulkan manfaat, seperti menjadikan bukti pemilikan bukan
barangnya, sebagaimana yang berkembang sekarang ini agaknya lebih baik untuk
menghindarkan perselisihan antara kedua belah pihak sehubungan dengan risiko dan
manfaat barang jaminan. Pihak yang berhutang menjaga amanah atas pelunasan
hutang, sedangkan pihak pemegang jaminan bersikap amanah atas barang yang
dipercayakan sebagai jaminan.8
Jika barang jaminan dapat dimanfaatkan maka dapat
diadakan kesepakatan baru mengenai pemanfaatan barang jaminan.
6Ahmad Rodoni, Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Bestari Buana Murni, 2008), h. 28.
7Bank Muamalat, Konsep Al-Mudharabah, (Jakarta: Grup Rekayasa Bisnis), h. 27.
8Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalat Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.179.
Jaminan merupakan suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang
atas suatu barang bergerak. Jaminan atau gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut
bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan atau
menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat
diambil kembali sebagai tebusan. Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan.9 Salah satu bank yang melakukan
pelaksanaan jaminan pada pembiayaan mudhârabah dan musyârakah adalah BSM
Cabang Warung Buncit.
Masalah yang timbul kemudian adalah dalam pengajuan pembiayaan
mudhârabah dan musyârakah di BSM Cabang Warung Buncit, dalam penyaluran
pembiayaan diperlukan adanya jaminan atau agunan. Pada prinsipnya, dalam
pembiayaan mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan, tetapi untuk
menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan. Namun bagi
masyarakat kalangan bawah dan menengah masih sulit melakukan pinjaman dengan
adanya jaminan tersebut. Untuk itulah penulis merasa perlu untuk membahas
mengenai bagaimana perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad
pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung
Buncit
9Dewan Syariah Nasional (DSN), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2002),
h.1.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka disini penulis merumuskan
perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah
dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit. Untuk itu, dalam
memudahkan pemahaman sekaligus pengantar dalam skripsi ini, penulis memandang
perlu mengadakan penulisan. Setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada, maka
penulis merumuskannya dalam pertanyaaan sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah
dan musyârakah?
2. Bagaimana konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah?
3. Apakah konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah
dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit sudah sesuai
dengan prinsip jaminan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan skripsi ini,
penulisan bertujuan untuk:
1. Mengetahui pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad
mudhârabah dan musyârakah.
2. Mengetahui perbedaan konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan
musyârakah.
3. Mengetahui gambaran tentang kesesuaian konsep dan implementasi jaminan
pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri
Cabang Warung Buncit .
Manfaat Penelitian :
a. Manfaat Akademis
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan konstribusi berupa buku
bacaan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbankan
Syariah.
b. Manfaat Praktis
Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
berarti bagi Lembaga Perbankan, khususnya Perbankan Syariah dan sekaligus
dapat memberikan penjelasan tentang penerapan jaminan dalam pembiayaan
mudhârabah dan musyârakah.
c. Masyarakat
Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat,
khususnya para nasabah untuk selalu menyertakan jaminan dalam rangka
mendapatkan pembiayaan mudhârabah dan musyârakah dari Bank Syariah
Mandiri Cabang Warung Buncit.
D. Kajian Pustaka
Setelah membuka daftar skripsi tahun sebelumnya maka dapat di simpulkan
bahwa belum ada skripsi sebelumnya yang membahas mengenai perbandingan
konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan
musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit. Skripsi sebelumnya
yang membahas mengenai jaminan dan telah terdaftar dalam pustaka skripsi UIN
Syarif Hidayatullah adalah :
1. Aplikasi Agunan dalam Pembiayaan Mudharabah dan Murabahah, (Studi Kasus
PT.BMI,Tbk.), Irawati FSH / Muamalat / Perbankan Syariah, 2007). Dalam
skripsi ini dibahas mengenai aplikasi agunan dalam pembiayaan mudharabah dan
murabahah. Tinjauannya adalah pada teknis operasional pembiayaan
mudharabah dan murabahah di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
2. Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap jaminan di pegadaian syariah
oleh Elis Nuryani. 2006. Pembahasan mengenai tinjauan hukum islam terhadap
jaminan di pegadaian syariah, peneliti mengemukakan hadis-hadis dan juga
pendapat beberapa ulama tentang pelelangan barang jaminan.
3. Penjaminan barang gadai dalam perspektif Islam dan aplikasinya pada Bank
Syariah (studi kasus pada BNI Syariah) oleh Livia, 201046100855, 2005.
Pembahasan mengenai Gadai dalam perbankan Syariah ditetapkan dalam 2
produk perbankan yaitu sebagai produk pelengkap dan produk pinjaman/ produk
sendiri.
4. Konsep dan aplikasi pembiayaan Ar-rahn usaha mikro pada pegadaian syariah
cabang Dewi Sartika oleh Ahmad Fauki, 2010. Pembahasan mengenai konsep
pembiayaan ARRUM serta aplikasinya pada pegadaian syariah cabang Dewi
Sartika.
5. Fungsi jaminan dalam pembiayaan mudharabah (studi pada LKS Berkah Madani
Kelapa Dua, 2008. Pembahasan mengenai pandangan hukum islam mengenai
penyertaan jaminan.
Dalam penelitian ini penulis mengkaji bagaimana perbandingan konsep dan
implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank
Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya
terlihat pada fokus penelitian yang permasalahannya ada terhadap perbandingan
konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan
musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit.
E. Kerangka Teori dan Konsep
Musyârakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Musyârakah merupakan istilah yang sering dipakai dalam konteks skim
pembiayaan syariah.10
Syarat umum musyârakah:11
a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan besama-
sama menyediakan dana atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha
tertentu.
b. Nasabah bertindak sebagai penegelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat
ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang
disepakati.
c. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk
mengelola usaha
d. Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan atau barang.
e. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, pembagian keuntungan ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah.
f. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan.
10Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, h. 49.
11Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 136.
g. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila
nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana diuat dalam akad karena
kelalaian atau kecurangan.
Objek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama.
Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti dan
sebagainya. Jika modal dalam bentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai
dan disepakati oleh para mitra para pihak, tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyârakah kepada pihak lain, kecuali
atas dasar kesepakatan. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyârakah tidak ada
jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta
jaminan.
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyârakah. Akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. seorang
mitra dapat melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya dan dalam hal ini ia
boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Setiap mitra
melaksanakan kerja dalam musyârakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya.
Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam akad.
Keuntungan harus dikuantitatifkan dengan jelas untuk menghindarkan
perbedaandan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian
musyârakah. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar
seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan
bagi seorang mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan
melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem
pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham
masing-masing dalam modal. Dalam persengketaan, biaya operasional dibebankan
pada modal bersama. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Mudhârabah adalah akad bagi hasil ketika pemilik dana/modal (pemodal), biasa
disebut shâhibul mâl, menyediakan modal 100% kepada pengusaha sebagai
pengelola, biasa disebut mudhârib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan
syarat bahawa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi diantara meeka menurut
kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad.12
Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi mudhârabah yaitu
kepercayaan dari shâhibul mâl kepada mudhârib. Kepercayaaan merupakan unsur
terpenting karena dalam transaksi mudhârabah, shâhibul mâl tidak boleh meminta
jaminan atau agunan dari mudhârib dan tidak boleh ikut campur di dalam
pengelolaan.
12Warkum, Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam, h.129.
Sebagai bentuk kontrak, mudhârabah merupakan akad bagi hasil ketika pemilik
dana/modal (pemodal), yang disebut shâhibul mâl menyediakan modal (100%)
kepada pengusaha sebagai pengelola (mudhârib), untuk melakukan aktivitas
produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara
mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (besarnya juga
dipengaruhi oleh kekuatan pasar). Shâhibul mâl (pemodal) adalah pihak yang
memiliki modal, dan mudhârib (pengelola) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi
tidak memiliki modal.
Apabila usaha tersebut mengalami kegagalan sehingga terjadi kerugian yang
sampai mengakibatkan sebagian atau seluruh modal shâhibul mâl habis, maka yang
menanggung kerugian keuangannya adalah shâhibul mâl sendiri kecuali apabila
kerugian tersebut terjadi akibat kecurangan yang dilakukan oleh mudhârib. Agunan
atau jaminan tersebut disita sebagai pengganti kerugian atau kehilangan modal yang
harus ditanggung oleh mudhârib dalam kondisi seperti diatas.13
Sistem penyelesaian sengketa menurut hukum Islam yaitu melalui perdamaian,
arbitrase dan pengadilan kekuasaan kehakiman. Dalam PBI No. 7/46/2005, terkait
dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah diatur dalam ketentuan Bab
III pasal 20 tentang penyelesaian sengketa sebagai berikut:
13Bank Muamalat, Konsep Al-Mudharabah, h. 28.
1. Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan diantara bank dan nasabah
maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah.
2. Dalam hal musyawarah sebagaiamana dimaksud pada ayat 1 tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif
penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah.
Tata cara pengajuan kredit :
a. Mencari informasi mengenai jenis produk perbankan yang akan di gunakan,
informasi di peroleh dari bagian layanan nasabah.
b. Setelah melakukan negoisasi untuk memperoleh informasi, yaitu tahap pendataan
yang akan di layani oleh bagian pemberi kredit dan tahap investigasi.
c. Bila di setujui maka selanjutnya adalah akad atau transaksi, di Bank akan di wakili
oleh bagian hukum dan investigasi. Sedangkan proses pengucuran dana akan
dilakukan bagian Teller.
d. Keputusan akan di putuskan oleh bagian komite pembiayaan.
Untuk mendapatkan fasiltas pembiayaan harus melalui beberapa tahapan yaitu :
a. Tahap permohonan (aplikasi), wawancara, pemeriksaan lokasi usaha, evaluasi dan
penilaian, negosiasi, keputusan pembiayaan, pembukaan rekening, dokumentasi,
pencairan dan monitoring.
b. Perjanjian pembiayaan pada bank dibuat dengan sederhana, sehingga pada
umumnya hanya mengatur tentang pokok dari hak dan kewajiban para pihak saja.
c. Sebagai barang jaminan, nasabah debitur dapat menyerahkan barang tidak
bergerak atau menyerahkan barang bergerak seperti BPKB kendaraan bermotor,
emas, sertifikat deposito dan lain-lain yang kemudian diikat dengan akte otentik
perjanjian pengikatan jaminan yang dibedakan berdasarkan benda yang
dijaminkan.
d. Secara yuridis pada persetujuan akad pembiayaan belum terdapat perlindungan
yang memadai terhadap nasabah debitur pada perjanjian pembiayaan, namun pada
prakteknya bank memberikan keringan-keringan yang memadai bagi nasabah
untuk melunasi kembali piutangnya.
e. Perjanjian pembiayaan bank tidak secara tegas menyatakan wanprestasinya
seorang debitur, hanya ditentukan bahwa hak-hak bank hanya dapat dilaksanankan
jika telah lewat jangka waktu dan nasabah lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Untuk penyelesaiannya diutamakan penyelesaian secara musyawarah, akan tetapi
jika musyawarah tidak membawa penyelesaian, maka dilaksanakan hak-hak atas
barang jaminan dengan tahapan penarikan jaminan, penjualan dengan lelang
terbuka, penyelesaian melalui lembaga Peradilan..
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis ANN dalam bukunya
”Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model dan Sistem Ekonomi” oleh Dr.Ir.H.Murasa
Sarkaniputra dan Disertasi Dr. Euis Amalia, M.Ag yang berjudul ”Reformasi
Kebijakan Bagi Penguatan Peran Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Kecil Mikro
di Indonesia (Analisis Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam). Metode penelitian
ini digunakan karena berhasil tidaknya suatu penelitian dipengaruhi oleh tepat
tidaknya dalam memilih metode yang akan dipakai. Dalam penelitian, metode yang
digunakan adalah metode deskriptif kualitatif yaitu suatu penelitian yang
menggambarkan atau menerangkan data secara kualitatif, dimana data yang
terkumpul berdasarkan proses pemaparan.
Proses pegumpulan data dilakukan penulis untuk menghasilkan penelitian
kualitatif menggunakan data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari Bank Syariah
Mandiri Cabang Mampang Prapatan. Untuk memperoleh data primer ini, penulis
mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak yang telah ditunjuk oleh
Bank Syariah Mandiri Cabang Mampang Prapatan.
b. Data Sekunder
Dokumentasi atau arsip yang berhubungan dengan penelitian.
Penelitian kepustakaan (library research dari buku, artkiel dan karya ilmiah yang
berkaitan dengan penelitian).
Dalam rangka menyusun dan mengumpul bahan skripsi ini, penulis
menggunakan dua macam teknik pengumpulan data yaitu :
a. Penelitian Kepustakaan
Untuk menambah referensi serta kekayaan literatur, penelitian ini mengkaji
lebih dalam literatur yang ada, baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil
penelitian terdahulu.
b. Penelitian Lapangan
Penulis juga langsung terjun ke lapangan penelitian untuk mendapatkan data
hasil pengamatan lapangan atau informasi dari responden. Dengan menggunakan
metode deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia,
suatu objek, suatu kondisi, suatu pemikiran, atau suatu peristiwa pada masa
sekarang.
Adapun teknik penulisan, penulis merujuk kepada sistem penulisan skripsi yang
terdapat di dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2009.
G. Sistematika Penulisan
Pengolahan data menjelaskan bagaimana suatu data dianalisis atau diolah, dan
teknik memberikan gambaran terperinci, penulisan ini disusun bab demi bab yang
menunjukan bagaimana perbandingan konsep dan pelaksanaan jaminan pada akad
pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung
Buncit.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, kerangka teori dan konsep, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab ke dua berisi pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad
mudhârabah dan musyârakah, yang mencakup teori yang digunakan dalam penelitian.
Teori yang digunakan yaitu pengertian pembiayaan mudhârabah dan musyârakah,
landasan hukum pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, jenis-jenis pembiayaan
mudhârabah dan musyârakah, rukun dan syarat pembiayaan mudhârabah dan
musyârakah, pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah
dan musyârakah.
Bab ke tiga merupakan konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan
musyârakah. Bab ini berisi karakteristik pembiayaan akad mudhârabah dan
musyârakah, konsep penerapan jaminan dalam akad mudhârabah dan musyârakah
menurut hukum positif, konsep penerapan jaminan dalam akad mudhârabah dan
musyârakah menurut hukum islam.
Bab ke empat tentang perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada
akad pembiayaan mudharabah dan musyarakah di Bank Syariah Cabang Warung
Buncit.. Mengangkat pembahasan dari perbedaan, persamaan jaminan pada akad
pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, juga analisis perbandingan konsep dan
implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank
Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit.
Bab ke lima adalah bagian penutup yang berisi kesimpulan hasil analisis dan
saran-saran yang bermanfaat.
BAB II
PANDANGAN ULAMA TENTANG KEDUDUKAN JAMINAN PADA AKAD
MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH
A. Pengertian Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah
Secara teknis, mudhârabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shâhibul mâl) menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudhârabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si
pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.1
Dalam mengaplikasikan mudhârabah, penyimpanan atau deposan bertindak
sebagai shâhibul mâl (pemilik modal) dan bank sebagai mudhârib (pengelola). Dana
tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudhârabah. Dalam
pembiayaan mudhârabah, hasil usahanya akan dibagi berdasarkan nisbah yang
disepakati.2
1Ahmad Al-Syarbasi, Al-Mu’jam Al-Iqtishad Al-islam, (Beirut: Daar Al-„Alamil Kutub, 1987) dalam
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: 2001), cet. ke-1, h.95. Lihat juga
Nrjjatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1996), h. 15-18.
2Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1987), h. 73.
Mudhârabah adalah produk pembiayaan pada bank syariah yang berdasarkan
prinsip bagi hasil. Pada akad mudhârabah hubungan kontrak terjadi antara penyedia
dana (shâhibul mâl) dengan pengusaha (mudhârib). Akad Mudhârabah hampir sama
dengan akad musyârakah.
Mudharâbah, modal sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal (shâhibul
mâl), keuntungan dibagi atas persetujuan bersama, kerugian materi akan ditanggung
penuh oleh pemilik modal jika kerugian dalam berusaha tidak disebabkan oleh
kelalain si pengusaha, shâhibul mâl tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan
usaha, tetapi boleh ikut mengawasi jalannya usaha.
Dapat disimpulkan bahwa akad mudhârabah adalah akad yang dilakukan oleh
nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha atau
pembiayaan yang bersifat produktif. Nasabah akan memberikan bagi hasil
berdasarkan keuntungan dalam kesepakatan.
Sedangkan musyârakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu di mana-mana masing pihak memberikan konstribusi dana
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.3
Dalam Musyârakah, keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas
untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau
penghentian musyârakah.
3Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek. h. 90.
Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang
mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah
tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem pembagian
keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. Kerugian modal di bagi
berdasarkan persentase modal masing-masing.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa pembiayaan musyârakah
dilakukan oleh dua orang pemilik modal atau lebih untuk menjalankan suatu proyek.
Semua pihak berhak ikut serta dalam manajemen proyek. Proporsi pembagian laba
tidak harus sebanding dengan persentase penyertaan modal, karena pada prinsipnya
penyertaan tidak hanya modal tetapi juga keahlian dan waktu. Apabila terjadi
kerugian masing-masing pihak bertanggung jawab sesuai proporsi modal masing-
masing.
B. Landasan Hukum Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah
Mudhârabah yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua mudhârib, nasabah
bertindak selaku pengelola dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Landasan hukum positif terdapat dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang
perbankan, yakni pada ketentuan pasal 1 ayat 13 yang mendefinisikan mengenai
prinsip syariah dimana mudhârabah secara eksplisit merupakan salah satu akad yang
dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah.5
Akad mudhârabah berdasarkan UU no 21 tahun 2008 tentang perbankan
syariah dan Fatwa DSN No.7/DSN-MUI/IV/2000. Mengenai pembiayaan
mudhârabah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No.6/24/PBI/2004
tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip
kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana
melalui prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudhârabah.
Dalam Fatwa DSN No.2/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 bahwa
dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syariah
(LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara
mudhârabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (nasabah) bertindak
selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan
yang dituangkan dalam kontrak.
5Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007), h. 126.
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata dharb (mengambil) keuntungan
dengan saham yang dimiliki. Disebut juga dengan qiradh, karena diambil dari kata
muqaradhah, yang artinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan
Dua orang penyair melakukan muqaradhah
Yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Adapun yang dimaksud
dengan qiradh disini, yaitu perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal
yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang.
QS. Al Baqarah 198
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah
di Masyarilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat.
Firman Allah QS. al-Nisa‟ [4]: 29 :
يَا أَيُهَا الَذِيهَ آمَىُىاْ لَا تَأْكُلُىاْ أَمْىَالَكُمْ بَيْىَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَا أَن تَكُىنَ
تِجَارَةً عَه تَزَاضٍ مِىكُمْ وَلَا تَقْتُلُىاْ أَوفُسَكُمْ إِنَ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil)
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan sukarela di antaramu”.6
Allâh Ta'ala berfirman : (QS al Muzzammil:20)
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu, orang-orang yang berjalan
di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang lain yang berperang
di jalan Allah.
6Dewan Syariah Nasional (DSN), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000),
h.1.
Musyârakah adalah kemitraan antara bank dan nasabah untuk bersama-sama
memberikan modal dengan cara membeli saham untuk membiayai suatu investasi.7
Musyârakah merupakan pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan. Dasar hukum musyârakah berdasarkan UU no
21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan Fatwa DSN No.8/DSN-MUI/IV/2000.
Secara teknis pembiayaan musyârakah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin
kedua PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah yang initinya menyatakan bahwa bank wajib
melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan
usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil berdasarkan akad
musyârakah.8
Firman Allah QS. al-Ma‟idah [5]: 1:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.9
7Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 57.
8Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 128.
9Dewan Syariah Nasional (DSN), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000),
h.1.
C. Jenis-jenis Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah
Secara umum, mudhârabah terbagi menjadi dua jenis yaitu mudhârabah
muthlaqah dan mudhârabah muqayyadah. Mudhârabah muthlaqah dalam perbankan
syariah pada umumnya diterapkan di sisi penghimpun dana. Sedangkan dalam
kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, bank akan cenderung memilih akad
mudhârabah muqayadah untuk memudahkan monitoring dari bank terhadap usaha
nasabah.10
1. Mudhârabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shâhibul mâl dan
mudhârib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis
usaha, waktu dan daerah bisnis. Pemilik dana memberikan dana kepada
pengusaha dan memberikan kekuasaan mutlak kepada pengusaha untuk
menggunakan dana tersebut selama kegiatan yang dilakukan dianggap
meguntungkan. Pengelola bertanggung jawab mengelola dana tersebut sebaik-
baiknya.
2. Mudhârabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudhârabah muthlaqah.
Mudhârib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Pemilik
dana menentukan batasan-batsan tertentu kepada pengusaha dalam menjalankan
usahanya. Misalnya jenis usaha, tempat usaha, jangka waktu usaha dan lainnya.
10Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 131.
Musyarâkah ada dua jenis yaiu musyârakah pemilikan dan musyârakah akad
(kontrak). Dalam musyârakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam
sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.11
Musyârakah akad terbagi dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau
lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyârakah.
Merekapun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
Musyârakah akad terbagi menjadi :
1. Syirkah al-inan adalah kontrak dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak
berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara
mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja
atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
Mayoritas ulama membolehkan jenis musyârakah ini.
2. Syirkah a‟maal adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima
pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.
Musyârakah ini kadang-kadang disebut musyârakah abdan atau sanaa‟i.
Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau
kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah
kantor.
11Ibid., h. 91.
3. Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi
dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit
dari suatu perusahaaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi
dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang
disediakan oleh tiap mitra.
Jenis al-musyârakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit
berdasar pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut
sebagai musyârakah piutang.
4. Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih.
Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi
dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama,
dengan demikian, syarat utama dari jenis musyârakah ini adalah kesamaan dana
yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-
masing pihak.12
12Al-Mabsuth, vol. XI, h. 203 dan sesudahnya; Abu Bakar Ibn Mas‟ud Al-Kasani, Al-Bada‟i
Was Sana‟i fi Tartib Ash-Shara‟i, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi), edisi ke-2, vol. VI, h. 72 dalam
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; dari Teori ke Praktek, (Jakarta: 2001), cet. ke-1, h. 92.
D. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah
Rukun mudhârabah yaitu adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor dan
pengelola, objek transaksi kerjasama yaitu modal, usaha dan keuntungan, dan akad
lafal perjanjian. Menurut Zulkifli, rukun mudhârabah yaitu pemilik modal, pemilik
usaha, proyek, modal, ijab dan qabul serta nisbah bagi hasil.13
Rukun-rukun syirkah ini ada tiga:
a. Dua pihak transaktor yang memiliki kompetensi beraktivitas. Boleh dilakukan
bersama non muslim, asal dia tidak dibiarkan mengoperasikan modal sendirian,
karena khawatir akan memasuki berbagai bentuk usaha yang diharamkan.
b. Objek transaksi yakni modal, usaha dan keuntungan. Modal syaratnya harus
diketahui dan harus ada ketika dilakukan transaksi pembelian, tidak boleh berupa
hutang di tangan orang yang kesulitan membayarnya. Sementara berkaitan dengan
usaha, masing-masing dari transaktor bebas beroperasi sesuai dengan kebiasaan
dikalangan para pedagang. Masing-masing juga bisa menyerahkan tugasnya
kepada pihak lain. Adapun tentang keuntungan, syaratnya harus diketahui
prosentasenya.
c. Pelafalan perjanjian, yakni yang disebut ijab qabul. Pelafalan ini dapat dilakukan
dengan segala cara yang dapat mengindikasikan kearah terlaksananya perjanjian,
baik berupa ucapan maupun tindakan.
13Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007), cet.
ke-3, h. 57.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudhârabah
adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan menurut Jumhur, rukun mudhârabah terdiri atas
shâhibul mâl dan mudhârib, modal, pekerjaan, keuntungan, ijab dan qabul.14
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa akad mudhârabah dibagi ke dalam dua
golongan yaitu mudhârabah fasidah dan mudhârabah shohihah. Jika mudhârabah
yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah dan
Hanabilah, maka pekerja itu hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan
standar yang berlaku di daerah itu. Sementara seluruh keuntungan menjadi milik
shâhibul mâl.
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa dalam mudhârabah fasidah, status pekerja
tetap seperti dalam mudhârabah shahihah. Artinya bahwa pengelola tetap
mendapatkan bagian dari keuntungan. Namun yang terpenting adalah proses dan
faktor yang menyebabkan adanya unsur ketidak jelasan tersebut.15
Adapun syarat-syarat mudhârabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan
Jumhur Ulama di atas adalah :
a. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai
wakil.
b. Mengenai modal disyaratkan : berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, dan
diserahkan sepenuhya kepada mudhârib (pengelola).
14Azharuddin lathif, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 135.
15Ibid., h. 37.
Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak
diperbolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.
c. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus
jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akad mudhârabah pelaku akad, objek
akad, dan ijab kabul. Adapun syaratnya adalah modal harus berupa uang, modal harus
jelas dan diketahui jumlahnya, modal harus tunai bukan utang, modal harus
diserahkan kepada mitra kerja.
Rukun dari akad musyârakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa, yaitu :16
1. Pelaku akad yaitu para mitra usaha
2. Objek akad yaitu modal, kerja, dan keuntungan
3. Ijab dan Kabul
Syarat-syarat umum syirkah :
Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan
kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner
mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain.
Keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas.
Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya. Keuntungan harus
disebar kepada semua patner.
16Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 52.
Syarat-syarat khusus:
Modal yang disetor berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal
masih berupah utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad. Tidak
disyaratkan modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama lain.
Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk
harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan
ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena
keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal
yang disetor akibat sulitnya dinilai.
Dapat ditarik kesimpulan rukun musyârakah sama dengan mudhârabah yaitu
pelaku akad, objek akad, dan ijab kabul. Adapun syarat musyârakah adalah
keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas. Modal
yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan, tidak diperbolehkan modal masih
berupa hutang.
E. Pandangan Ulama tentang Jaminan dalam akad Mudhârabah dan Musyârakah
Di Indonesia, praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dan
musyârakah sah adanya baik berdasarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan
maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga
Dewan Syari‟ah Nasional (DSN) juga membolehkan praktek jaminan tersebut.
Dalam fiqih Islam, mudhârabah merupakan salah satu bentuk kerjasama
antara shâhibul mâl (investor) dengan seorang pihak kedua (mudhârib) yang
berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudhârabah oleh ulama fiqh
Hijaz menyebutkan dengan Qiradh.
Mudhârabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukul kakinya dalam menjalankan usaha.17
Secara terminologi, para Ulama Fiqh
mendefinisikan mudhârabah atau qiradh dengan: “Pemilik modal (investor)
menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan,
sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut
kesepakatan”.
Musyârakah di dalam bahasa arab berasal dari kata syaraka yang artinya
pencampuran atau keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu
dengan sejumlah modal yang di tetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama
menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian dalam bagian
yang ditentukan.
Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan,
akan tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan
untuk memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat
meminta jaminan kepada nasabah.
17Muhammad Syafi‟i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, hal. 95.
Namun menurut pandangan ulama dalam jaminan, mengingat hubungan
antara investor dengan mudhârib adalah hubungan yang bersifat gadai dan mudhârib
adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudhârib kepada investor.
Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudhârib untuk mengembalikan
modal dengan keuntungan. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari
mudhârib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudhârabah
mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi‟i.
Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan
dari mudhârib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta jaminan. Hal ini
mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan
yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan
dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudhârib sendiri maupun dari pihak
ketiga. Jaminan yang diminta oleh bank bank Islam tersebut tidak dibuat untuk
memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudhârib
sesuai dengan syarat-syarat kontrak.
Asy-Syafi‟i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan
barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan
aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Mahzab Maliki berpendapat, gadai wajib
dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk
menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadaian
(murtahin). Jika borg sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin) orang
yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan
pendapat Imam Asy-Syafi‟i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama
tidak merugikan atau membahayakan pemegang gadaian.18
Pada dasarnya biaya pemeliharaan barang gadai adalah kewajiban bagi rahin
dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Namun apabila marhun (barang
gadaian) menjadi kekuasaan murtahin dan murtahin mengizinkan untuk memelihara
marhun, maka yang menanggung biaya pemeliharaan marhun adalah murtahin.
Sedangkan untuk mengganti biaya pemeliharaan tersebut, apabila murtahin diizinkan
rahin, maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dengan biaya
pemeliharaan yang telah dikeluarkan.
Para ahli hukum Islam kontemporer, di antaranya adalah Muhammad Abdul
Mun‟im Abu Zaid dalam bukunya Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-
Masharif al-Islamiyah, menyatakan bahwa jaminan untuk pembiayaan mudhârabah
dalam praktek perbankan syari‟ah diperbolehkan dan sangat penting keberadaannya
atas dasar 2 (dua) alasan berikut ini:
1. Pada konteks perbankan syari‟ah saat ini mudhârabah yang dilakukan berbeda
dengan mudhârabah tradisional yang hanya melibatkan dua pihak shâhibul mâl
dan mudhârib, di mana keduanya sudah saling bertemu secara langung.
18Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta:
Ekonisia, 2003), h. 160.
Sementara praktek mudhârabah di perbankan syari‟ah saat ini, bank berfungsi
sebagai lembaga intermediari memudhârabahkan dana shâhibul mâl yang
jumlahnya banyak kepada mudhârib lain, dan shâhibul mâl yang jumlahnya
banyak tersebut tidak bertemu langsung dengan mudhârib sehingga mereka tidak
bisa mengetahui dengan pasti kredibilitas dan kapabilitas mudhârib. Oleh karena
itu, untuk menjaga kepercayaan dari nasabah investor, bank syari‟ah harus
menerapkan asas prudential, di antaranya dengan mengenakan jaminan kepada
nasabah penerima pembiayaan.
2. Situasi dan kondisi masyarakat saat ini telah berubah dalam hal komitmen
terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur, seperti kepercayaan (trust) dan kejujuran.
Berkaitan dengan hal ini, Abdul Mun‟im Abu Zaid dalam karyanya yang lain “Al-
Dhaman fi al-Fiqh al-Islamy” juga menyatakan bahwa faktor terbesar yang
menjadi hambatan perkembangan perbankan syari‟ah, khususnya dalam bidang
investasi adalah rendahnya moralitas para nasabah penerima dana pembiayaan
dalam hal kejujuran (al-shidq) dan memegang amanah (al-amanah). Oleh sebab
itu, larangan jaminan dalam mudhârabah karena bertentangan dengan prinsip
dasarnya yang bersifat amanah bisa berubah karena adanya perubahan kondisi
obyektif masyarakat dalam bidang moralitas. sesuai dengan kaidah al hukmu
yaduru ma‟a illat wujudan wa „adaman. Artinya: keberadaan hukum ditentukan
oleh ada atau tidaknya „illat (alasan). Jika „illat berubah maka akibat hukumnya
pun berubah. Namun demikian, meskipun jaminan dalam mudhârabah dalam
praktek perbankan saat ini diperbolehkan, tetapi disyaratkan bahwa jaminan
tersebut harus didasarkan pada tujuan menjaga agar tidak terjadi moral hazard
berupa penyimpangan oleh pengelola dana (taqshir al-amiil), bukan bertujuan
mengembalikan modal bank atau sebagai ganti rugi (dhaman) setiap kerugian atas
kegagalan usaha mudhârib secara mutlak. Oleh karena itu, jaminan hanya dapat
dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran (ta‟addi),
kelalaian (taqshir), atau menyalahi kesepakatan yang telah ditentukan
(mukhalafatu al syurut). Di samping itu, kewajiban adanya jaminan dalam
mudhârabah tidak harus dibebankan kepada mudhârib tetapi bank dapat meminta
jaminan kepada pihak ketiga yang akan menjamin mudhârib bila melakukan
kesalahan.
BAB III
KONSEP PENERAPAN JAMINAN
PADA AKAD MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH
A. Karakteristik Pembiayaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah
Pembiayaan mudhârabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS
kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS
sebagai shâhibul mâl (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek
(usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudhârib atau pengelola
usaha. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
Mudhârib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan
sesuai dengan syari‟ah dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau
proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.1
Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai
dan bukan piutang. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat
dari mudhârabah kecuali jika mudhârib (nasabah) melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan
mudhârabah tidak ada jaminan, namun agar mudhârib tidak melakukan
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudhârib atau pihak ketiga.
1Dewan Syarian Nasional (DSN), Himpunan fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000),
h.3.
Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudhârib terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. Kriteria
pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh
LKS dengan memperhatikan fatwa DSN. Biaya operasional dibebankan kepada
mudharib. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau
melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi
atau biaya yang telah dikeluarkan.
Pembiayaan musyârakah: pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh
para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),
dengan memperhatikan hal-hal berikut:2
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak.
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal
berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
2Dewan Syarian Nasional (DSN), Himpunan fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000),
h.2.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis
normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan
masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas
musyârakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan
kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk
kepentingannya sendiri.
Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian): modal yang diberikan
harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset
perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk
aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau
menghadiahkan modal musyârakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyârakah tidak ada jaminan, namun untuk
menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
Kerja: Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan;
musyârakah akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang
mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia
boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Setiap mitra
melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya.
Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan
perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian
musyarakah. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar
seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan
bagi seorang mitra.
Dengan pengertian di atas, kesimpulan dari karakteristik akad musyârakah adalah:
a. Dalam pembiayaan musyârakah setiap mitra tidak dapat menjamin modal mitra
lainnya, namun setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan
jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang di sengaja.
b. Keuntungan atau pendapatan musyârakah dibagi di antara mitra musyârakah
berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian musyârakah dibagi diantara mitra
musyârakah secara proporsional berdasarkan modal yang disetorkan Keuntungan
dibagi menggunakan nisbah yang disepakati dan menggunakan nilai realisasi
keuntungan jaminan modal, setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk
menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang di sengaja.
c. Perjanjian: untuk menghindari persengketaan di kemudian hari, sebaiknya akad
kerjasama dibuat secara tertulis dan dihadiri para saksi. Akad atau perjanjian
tersebut harus mencakup berbagai aspek antara lain terkait dengan besaran modal
dan penggunaannya (tujuan usaha musyârakah), pembagian kerja diantara mitra,
nisbah yang digunakan sebagai dasar pembagian laba, periode pembagian laba
dan lain sebagainya.
d. Persengketaan: Apabila terjadi perselisihan diantara dua belah pihak maka dapat
diselesaikan secara musyawarah diantara mereka berdua atau melalui badan
arbitrase syari‟ah.
Sedangkan karakteristik akad mudhârabah:
a. Shâhibul mâl (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha),
sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudhârib atau pengelola
usaha.
b. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudhârabah kecuali jika mudhârib (nasabah) melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
c. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudhârabah tidak ada jaminan, namun agar
mudhârib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari
mudhrâib atau pihak ketiga.
B. Konsep Jaminan menurut Hukum Positif
1. Pengertian Jaminan
Jaminan dalam kamus Bahasa Indonesia, jaminan berasal dari kata jamin yang
artinya adalah menanggung. Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima
atau garansi atau janji seseorang untuk menanggung utang atau kewajiban tersebut
tidak terpenuhi.3
Jaminan adalah segala sesuatu yang diserahkan debitur kepada kreditur untuk
menjamin suatu hutang piutang dalam masyarakat. Menurut UU no.10 tahun 1998
pasal 1 ayat 23 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah agunan
tambahan yang diserahkan nasabah kepada bank dalam pemberian fasilitas
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.4
Dalam peraturan perundang-undangan, kata jaminan terdapat dalam Pasal 1131
dan Pasal 1132 KUHPerdata, dan dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU yang diubah.
Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia No.23/69/KEP/DIR
pada tanggal 28 februari 1991, yaitu: "Suatu keyakinan kreditur bank atas
kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan".
3Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta, Balai Pustaka, 1989), h. 348.
4Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), cet.
ke-3, h.73.
Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank
wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas i‟tikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah untuk melunasi hutangnya atau
mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.5
2. Dasar Hukum Jaminan
Bahwa dasar hukum jaminan menurut hukum positif adalah Undang-undang
Perbankan No. 10 tahun 1998, peraturan Bank Indonesia No.8/3/PBI/2006 pasal 40
dinyatakan bahwa bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan
kegiatan usahanya, artinya bank tidak mungkin memberikan fasilitas tanpa adanya
jaminan dan pasal 24 UU Perbankan No.14 tahun 1967 yang dinyatakan bahwa bank
tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan.
Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No.25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman
dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Ketentuan umum :
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang)
sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
5Satrio, Hukum Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2007), cet. ke-5, h.3.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan
dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin.
b. Ketentuan khusus
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana
mestinya.
3. Manfaat Jaminan
Manfaat benda jaminan bagi debitur adalah untuk memperoleh fasilitas kredit
dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya. Fungsi jaminan juga
memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya
mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar
debitor dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah
dijaminkan kepada bank.
Sedangkan manfaat benda jaminan bagi kreditur yaitu terwujudnya keamanan
yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup dan memberikan kepastian hukum
bagi kreditur. Jaminan menjamin agar debitor berperan serta dalam transaksi untuk
membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau
proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau
sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.6
Jaminan merupakan pernyataan yang sifatnya menjamin suatu pembayaran
tertentu yang dikaitkan dengan pembayaran kewajiban nasabah kepada pihak bank.
Apabila sesuatu pembiayaan mengalami kredit macet, maka pihak bank harus
bertanggung jawab atas pembiayaan tersebut.7
4. Macam-macam jaminan
Penggolongan Jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Jaminan yang bersifat umum.
Merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan
menyangkut semua harta benda milik debitur, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1131 KUHPerdata.
Yaitu "segala harta/hak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa
mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan".
6Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
2003), cet. ke-2, h. 286.
7Bank Muamalat Indonesia, Buku Panduan Pelaksanaan Pembiayaan, (Jakarta: BMT Tbk, 1996),
h.30.
2. Jaminan yang bersifat khusus.
Merupakan jaminan yang diberikan dengan penunjukan atau penyerahan atas
suatu benda/barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi
utang/kewajiban debitur, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang
hanya berlaku bagi kreditur tertentu saja.
3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan perorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas
suatu benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan/bersifat kebendaan
dilembagakan dalam bentuk: hipotik (Pasal 1162 KUHPerdata), hak
tanggungan, gadai (pand), dan fidusia.
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Sedangkan jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtogh (personal
guarantee) yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga secara perorangan, dan
jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan usaha yang
berbadan hukum.
5. Eksekusi Jaminan
Eksekusi berasal dari kata “executie”, yang artinya melaksanakan putusan
hakim, dimana maksud eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Eksekusi putusan perdata berarti menjalankan putusan dalam perkara perdata
secara paksa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak
tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela.8 Menurut Undang-Undang
Hipotik, eksekusi jaminan mengandung hak bagi pelaksanaan pemenuhan piutangnya
terhadap benda jaminan. Jika piutangnya sudah dapat ditagih dan debiturnya ternyata
wanprestasi, maka seorang kreditur memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi
secara langsung terhadap benda yang menjadi jaminan tanpa perantara hakim.9
Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada melaksanakan isi putusan
pengadilan, yakni melaksanakan ”secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan
alat-alat negara apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela.
Pada masa belakangan ini, menurut Yahya hampir baku dipergunakan istilah hukum
eksekusi.
8Wildan Suyuthi, Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, (PUSDIKLAT: Pegawai Mahkamah
Agung RI, 2005), h. 64.
9Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan
Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Ofset, 2001), cet. ke-2, h. 34.
Dengan pengertian di atas, maka pada prinsipnya eksekusi merupakan realisasi
kewajiban yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang
tercantum dalam amar putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi terhadap putusan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (BHT), di mana proses ini merupakan
tahap terakhir dalam proses acara berperkara di pengadilan, termasuk juga terhadap
sengketa perkara di bidang Bisnis Syari‟ah.
C. Konsep Jaminan menurut Hukum Islam
1. Pengertian Jaminan
Jaminan dalam hukum islam dikenal dengan istilah dhaman. Dhaman artinya
adalah jaminan hutang atau dengan kata lain menghadirkan seseorang atau barang ke
tempat tertentu untuk diminta pertanggung jawabannya atas barang jaminan.
Dalam kamus istilah fiqh, jaminan adalah suatu jenis perjanjian dengan cara
memberikan barang yang dijadikan sebagai penguat kepercayaan dalam masalah
hutang piutang.10 Jika ditinjau dari segi istilah, dhaman dalam hukum positif sama
dengan penanggungan hutang yaitu suatu perjanjian dimana pihak ketiga menangguh
tempo guna kepentingan yang berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatannya si berhutang manakala ia tidak mampu memenuhinya.
10M. Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 132.
Tidak ada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun
kiranya seseorang dapat menanggung diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan,
walaupun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tanggungan yang hanya
mengenal dirinya pribadi si berhutang, misalnya dalam hal belumnya adanya sifat
kedewasaan.11
Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari
fasilitas pembayaran yang diberikan. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn
sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn
dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang
mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun
sebagiannya”.
Sedangkan ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan gadai
(rahn) yaitu menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu. Para
ulama Mazhab Hambali (Al-Hanabilah) menjelaskan bahwa dhaman ialah
menyanggupi hak yang telah tetap atau bakal tetap atas orang lain karena beserta hak
tersebut masih tetap pada orang yang dijamin atau mrnyanggupi untuk mendatangkan
orang yang memikul suatu hak.12
11Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), h. 10.
12Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, jilid IV, (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1994), h. 376.
6. Dasar Hukum Jaminan
Berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 283:
Jika (hendak bermuamalah secara tidak tunai) engkau dalam perjalanan
sedangkan engkau tidak menemukan seorang penulis, maka hendaklah ada barang
jaminan. Jika kamu sekalian saling mempercayai, maka hendaklah orang yang
dipercayai tersebut selalu menjaga kepercayaan tersebut. (Al-Baqarah: 283). 13
Pada hakekatnya, para ulama kontemporer berfatwa dan berpendapat tentang
bolehnya bagi shahibul maal untuk meminta suatu jaminan dari „amil berpijak pada
kaedah ushul fiqh yaitu „Al Mashaalih Al Mursalah” yang mengacu kepada
kebutuhan, kepentingan, kebaikan dan mashlahat umum selama tidak bertentangan
dengan prinsip dan dalil syari‟at dan benar-benar membawa kepada kebaikan
bersama yang tidak berdampak menyulitkan serta merugikan orang atau pihak lain
secara umum.14
13Ghufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalat Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h.176.
14Bank Muamalat, Konsep Al-Mudharabah, (Jakarta: Grup Rekayasa Bisnis), h. 27.
7. Manfaat Jaminan
Tujuan jaminan menurut islam adalah turut dan melaksanakan serta menjunjung
tinggi kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan
nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar jaminan.
Secara spesifik, tujuan jaminan menurut islam adalah menghindari praktek ijon,
pegadaian gelap, riba dan pinjaman yang tidak wajar lainnya.15
Manfaat jaminan :
a. Memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya
mengenai pembiayaan kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui
agar debitor dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan
yang telah dijaminkan kepada bank
b. Memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak lembaga keuangan bahwa
kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit.
c. Memberikan hak dan kekuasaan pada lembaga keuangan untuk mendapat
pelunaan dari agunan apabila debitor melakukan cidera janji yaitu untuk
pengembalian dana yang telah ditentukan oleh debitor pada waktu yang telah
ditentukan.
15Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: FEUI, 2001), cet. ke-4, h.503.
Manfaat jaminan adalah proses cepat. Dalam Perbankan Syariah, nasabah dapat
memperoleh pinjaman yang diperlukan dalam waktu relatif cepat baik proses
administrasi maupun penaksiran barang jaminan. Manfaat lain dari adanya jaminan
adalah caranya cukup mudah yakni dengan membawa jaminan beserta bukti
kepemilikan jaminan. Manfaat jaminan yang tidak kalah pentingnya adalah jaminan
keamanan atas jaminan yang diserahkan dengan standar keamanan yang telah teruji
dan diasuransikan.16
8. Macam-Macam Jaminan
Jaminan yg tergolong dalam jaminan umum ialah seluruh harta debitur yang
dijadikan jaminan atas utang debitur. Jaminan khusus ialah jaminan kebendaan dan
jaminan perorangan. Jaminan perorangan adalah jaminan seseorang dari pihak ketiga
yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur.
Selain jaminan perorangan, jenis lain dari jaminan adalah jaminan kebendaan.
Jaminan kebendaan adalah suatu tindakan berupa suatu penjamin yang dilakukan oleh
kreditur terhadap debiturnya, atau antara si berpiutang dengan seorang pihak ketiga
guna memenuhi kewajiban-kewajiban debitur.17
16Muhammad Firdaus, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta: Reinansan, 2005),
cet. ke-1, h. 18.
17Azharuddin Lathif, Pengantar Hukum Bisnis; Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet. ke-1, h. 199.
Pemberian jaminan kebendaan selalu berupaya menyendirikan suatu bagian dari
kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakan guna pemenuhan
kewajiban seorang debitur. Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan debitur sendiri
atau kekayaan pihak ketiga. Pemberian jaminan kebendaan ini kepada kreditur
tertentu, memberikan kepada debitur tersebut suatu hak istimewa terhadap kreditur
lainnya.
9. Eksekusi Jaminan
Proses eksekusi jaminan harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan
perdata kepada Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga
turunnya putusan pengadilan.
Jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) bentuk , yaitu:
1. Melaksanakan suatu perbuatan
Jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyata ia
tidak melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk
meminta pertolongan pada ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan.
2. Eksekusi Riil
Eksekusi riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil” seperti
menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah,
melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau
keadaan. Misalnya meyerahkan barang, pengkosongan sebidang tanah atau
rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain.
Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan
putusan tanpa memerlukan lelang.
3. Eksekusi membayar sejumlah uang
Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar
sejumlah uang. Ini kebalikannya dari eksekusi riil, dimana eksekusi tidak dapat
dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa pelelangan terlebih
dahulu. Dengan kata lain, eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan
terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang.18
Adapun proses eksekusi jaminan pada BSM Cabang Warung Buncit tidak jauh
beda dengan proses eksekusi jaminan. Jaminan yang diagunkan nasabah kepada BSM
Cabang Warung Buncit dapat dilakukan penyitaan.
Masalah eksekusi jaminan pada bank syariah tergantung kebijakan manajemen.
Ada yang memberlakukan upaya rescheduling yaitu dengan cara melakukan
penjadwalan ulang tagihan, reconditioning berupa penyelamatan terhadap kondisi
nasabah dan pembiayaan ulang dalam bentuk Al-Qardhul Hasan dan jaminan harus
tetap ada sebagai persyaratan jaminan.19
18Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 1998), h.181.
19Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: AMI YKPN, 2005), cet. ke-2.
D. Konsep Penerapan Jaminan pada Akad Mudhârabah dan Musyârakah
Jaminan adalah sesuatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan
dalam bentuk pinjaman uang. Jaminan menurut kamus diartikan sebagai tanggungan.
Jaminan adalah sesuatu yg diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan
bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yg dapat dinilai dengan uang yg timbul dari
suatu perikatan. Dalam hukum islam jaminan identik dengan kata rahn. Secara
etimologi, rahn berarti harta yang jadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang
bersifat mengikat.20
Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan,
akan tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan
untuk memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat
meminta jaminan kepada nasabah. Biasanya bila terjadi perselisihan para pihak
sepakat untuk menyelesaikan melalui musyawarah. Apabila musyawarah tidak
menghasilkan kesepakatan, maka perselisihan sepakat untuk diselesaikan melalui
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
Praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah
berdasarkan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan maupun menurut peraturan
Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga Dewan Syari‟ah Nasional
(DSN) yang membolehkan praktik jaminan tersebut.
20Azharuddin lathif, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2009), cet. ke-1, h. 208.
Dalam cara penentuan jaminan, pada dasarnya jaminan bukan menjadi tujuan
bank, yang menjadi tujuan bank adalah pemberian pembiayaan usaha. Jadi
pembiayaan usaha itulah nomor satu yang dilakukan bank. Sementara, jaminan atau
agunan hanyalah salah satu cara bank untuk menjamin apakah peminjam itu akan
melaksanakan kewajibannya dengan baik. Jaminan dianggap sebagai jalan keluar
kedua atau jalan keluar terakhir pada saat nasabah tidak melaksanakan kewajibannya
dengan baik jaminan itulah yang dicairkan untuk melunasi kewajibannya.
Bila terjadi wanprestasi dan pihak nasabah tidak bisa mengembalikan modal
pinjaman maka dilakukan pelelangan jaminan. Pada prinsipnya, islam membolehkan
jual-beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqh disebut sebagai akad
Ba‟I muzayadah. Praktek lelang dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan
oleh Rasulullah SAW.
Lelang itu sendiri merupakan suatu bentuk penjualan barang di depan umum
kepada penawar tertinggi. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada
penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian
semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga
tertinggi.
Ketentuan Umum Fatwa DSN yang memuat tentang lelang/penjualan marhun
yakni Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002 yaitu:
1. Apabila telah jatuh tempo, murtahin (Pegadaian Syariah) harus memperingatkan
rahin (nasabah) untuk segera melunasi hutangnya.
2. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa /
dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
3. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan
dan penyimpanan (jasa simpan-pen) yang belum dibayar serta biaya penjualan
(bea lelang pembeli, bea lelang penjual dan dana sosial- pen ).
4. Kelebuhan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin.
BAB IV
PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN
PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH
DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG WARUNG BUNCIT
A. Profil Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit
1. Sejarah dan Tujuan Pendirian
BSM merupakan anak perusahaan dari Bank Mandiri. Pertama didirikan pada
tanggal 1 November 1999. Pemegang saham BSM Cabang Warung Buncit adalah
99,999999% milik PT Bank Mandiri Tbk. dan 0,000001% milik PT Mandiri
Sekuritas. Bank Mandiri merupakan Bank komersial terbesar di Indonesia.
BSM Cabang Warung Buncit memiliki Dewan Pengawas Syariah yang diketuai
oleh Prof. KH. Ali Yafie, komisaris independen Ahmad Marzuki, direktur utama
Yuslam Fauzi. Adanya Bank Syariah Mandiri untuk menawarkan sistem perbankan
secara prinsip syariah, yang tidak memakai sistem riba.1
Bank Syariah Mandiri berkembang pesat selama lebih kurang 11 tahun, hal ini
dibuktikan dengan aset tahun 2011 sebesar 32,59 Triliun. BSM memiliki Cabang
pembantu di Cilitan, Kemang, Ciracas, dan Kantor Layanan Kas Syariah di Plaza
Mandiri dan Departemen Pertanian.
1Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.
Tujuan didirikan BSM Cabang Warung Buncit yaitu untuk mempromosikan
akad syariah dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip syariah kedalam
perbankan dan bisnis lainnnya.2
2. Visi dan Misi
Visi BSM Cabang Warung Buncit adalah menjadi bank syariah terpercaya
pilihan mitra usaha. Adapun moto BSM lebih adil dan menentramkan. Adapun misi
BSM adalah :
- Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan
- Mengutamakan penghimpunan dana konsumer dan penyaluran pembiayan pada
segmen UMKM
- Merekrut dan mengembangkan pegawai yang profesional pada lingkungan kerja
yang sehat
- Mengembangkan nilai-nilai syariah universal
- Menyelenggarakan operasional perbankan sesuai standar perbankan yang sehat
3. Prinsip Operasional BSM
BSM Cabang Warung Buncit melakukan kegiatan operasionalnya mengacu
kepada prinsip syariah yang terkandung dalam al-qur‟an dan hadis Rasulullah SAW.
2Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.
a. Mudhârabah adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama
menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
b. Musyârakah (syirkah/syarikah/serikat/kongsi) adalah bentuk umum dari usaha
bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan
manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi
sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut
proporsi modal.
c. Murâbaha adalah transaksi jual beli barang antara bank dan nasabah.3
merupakan akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati. Penjual harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Jual beli ini dapat
dilakukan untuk pembelian secara pesanan.
d. Salam adalah akad jual beli barang pesanan yang pembelian barangnya
diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di muka secara
penuh.
e. Istishna adalah akad jual beli barang antara pemesan dengan penerima pesanan.
Spesifikasi dan harga pesanan disepakati di awal akad dengan pembayaran
dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan.
3Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007), h. 126.
f. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barang itu sendiri. Ijarah serupa dengan kegiatan leasing dalam system
keuangan tradisional.4
4. Produk dan Jasa
Produk dan jasa di BSM Cabang Warung Buncit yaitu penghimpunan dana,
pembiayaan dan pelayanan jasa.5
a. Giro wadiah adalah simpanan pihak ketiga pada bank syariah (perorangan atau
badan hukum, dalam mata uang rupiah atau valuta asing) dengan prinsip
syariah, penarikannya dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan menggunakan
cek, bilyet giro atau pemindah-bukuan lainnya.
b. Tabungan mudhârabah adalah jenis simpanan pada bank syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu.
Tabungan ini merupakan simpanan yang berprinsip mudhârabah (bagi hasil)
yang dapat dipergunakan oleh bank dengan imbalan bagi hasil bagi si
penyimpan dana.
4Ibid., h. 70
5Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.
c. Deposito mudhârabah merupakan suatu kerjasama antara dua pihak dimana
pihak pertama selaku pemilik dana (shâhibul mâl) menyediakan dana, dan
pihak kedua selaku pengelola dana (mudhârib) bertanggung jawab atas
pengelolaan dana.
Untuk itu pihak bank akan memberitahukan kepada pihak deposan mengenai
nisbah dan tata cara pemberian keuntungan dan perhitungan pembagian
keuntungan serta risiko yang dapat timbul dari penyimpanan dana. Apabila
telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut dicantumkan dalam akad. Periode
penyimpanan dana ditentukan berdasarkan periode bulanan. Bank dapat
memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan deposito kepada pemilik dana.
Deposito mudhârabah hanya dapat ditarik sesuai dengan jangka waktu yang
disepakati dimuka.
Prinsip Jasa (Fee Based Services) adalah suatu prinsip penetapan imbalan
sehubungan dengan kegiatan usaha lain bank syariah yang lazim dilakukan terdiri
dari:
a. Kafalah: akad pemberian jaminan yang diberikan suatu pihak kepada pihak lain
sebagai pemberi jaminan yang bertanggung jawab atas pembayaran kembali
suatu utang yang menjadi hak penerima jaminan.
b. Hiwalah: akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal’alaih)
dari nasabah lain (muhal). Muhil meminta muhal’alaih untuk membayarkan
terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual beli. Pada saat piutang tersebut
jatuh tempo, muhal akan membayar kepada muhal’alaih. Muhal akan
memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan piutang.
c. Wakalah: akad pemberian kuasa dari dari pemberi kuasa (muwakhil) kepada
penerima kuasa (wakil) untuk melaksankan tugas (taukil) atas nama pemberi
kuasa.
d. Rahn: akad penyerahan barang harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada
bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang.
B. Perbedaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah
Mudhârabah dan musyârakah atau yang sering dikenal dengan istilah profit and
loss sharing (PLS) adalah dua model perkongsian yang direkomendasikan dalam
Islam karena bebas dari sistem riba. Mudhârabah biasanya diterapkan pada produk-
produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudhârabah
diterapkan pada:
a. tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti
tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa;
b. deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus
untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudhârabah diterapkan untuk :
a. pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;
b. investasi khusus, disebut juga dengan mudhârabah muqayyadah, dimana sumber
dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh shahib al-mal (bank).6
Pada prinsipnya musyârakah tidak jauh berbeda dengan mudhârabah karena
keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau
lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai
porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad).
Mudhârabah dan musyârakah memiliki perbedaan pada beberapa hal, yaitu:
1. dalam aqad mudhârabah, shâhibul mâl menyediakan seluruh dana yang
dibutuhkan mudhârib, sedang dalam musyârakah kedua belah pihak ikut andil
dalam pemodalan (equity participation).
2. dalam manajemen mudhârabah, shâhibul mâl tidak diperkenankan melakukan
intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi
terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyârakah masing-masing pihak dapat
turut dalam manajemen.7
6Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, h. 97.
7Ibid., h. 97
3. mudhârabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan
setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudhârib selesai dijalankan, sedang
dalam musyârakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh
besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses
manajemen.
4. mudhârabah kerugian ditanggung oleh shâhibul mâl selama kerugian tersebut
bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak mudharib, sedang dalam musyârakah
kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.
C. Aplikasi Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah Mandiri
Cabang Warung Buncit
Adapun aplikasi pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di BSM Cabang Warung
Buncit adalah sebagai berikut:
Ketika nasabah mengajukan pembiayaan mudhârabah atau musyârakah pada
BSM Cabang Warung Buncit maka pihak bank akan menanyakan tentang
kepemilikan rekening di bank tersebut. Apabila nasabah belum mempunyai rekening
maka nasabah diharuskan membuka rekening tabungan. Nasabah diharuskan mengisi
formulir pembukaan rekening dan melampirkan photo copy Kartu Tanda Penduduk
dan setoran awal sebesar 80 ribu.8
8Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.
Setelah menjadi nasabah BSM Cabang Warung Buncit, maka ia akan
mendapatkan nomor rekening dan buku tabungan, lalu mengisi persyaratan dukumen
untuk permohonan pembiayaan mudhârabah atau musyârakah.
Persyaratan tersebut diantaranya mengisi formulir permohonan pembiayaan,
photo copy kartu keluarga, pas foto, apabila sudah menikah maka mengisi surat
persetujuan suami-istri, melampirkan photo copy surat nikah, rekening tabungan,
telepon, rekening listrik dan photo copy jaminan bila berupa BPKB atau sertifikat
tanah/SHM (Surat Hak Milik) dan SPPT PBB untuk tanah.
Setelah persyaratan dokumen lengkap, maka tahap selanjutnya akan dianalisis
sebagai bahan pertimbangan pihak bank. Dalam pembiayaan mudhârabah atau
musyârakah di BSM Cabang Warung Buncit minimal pembiayaan adalah 50 juta dan
maksimal tidak terbatas sesuai permintaan nasabah. Sedangkan pembiayaan dibawah
50 juta akan masuk ke UMKM, dan dalam pembiayaan harus disertakan jaminan
yang nominalnya diatas nilai pinjaman.
Tahap selanjutnya setelah pendataan maka pelaksana Marketing Support
melakukan survei untuk melihat secara langsung kondisi nasabah tersebut dan
melakukan analisis apakah nasabah tersebut memenuhi kriteria 5C yaitu character,
capital, condition, coleteral dan capacity. Penilaian terhadap karakter dapat dilakukan
denggan melihat watak dan sifat untuk menjadi tolak ukur tentang kesanggupan dan
kemauan nasabah untuk membayar.9
9Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.
Untuk menilai nasabah yang mengajukan pembiayaan bisa dilihat dari
kelayakan usaha yang dilakukan dengan melihat kondisi ekonomi, sosial, dan politik.
atau melihat kondisi keuangan tagihan listrik, tagihan telepon apakah lancar atau
mengalami kemacetan.
Setelah tahap survei maka Komite Pembiayaan Bank Syariah Mandiri Cabang
Warung Buncit yang menerima dan mempertimbangkan pengajuan pembiayaan
mudhârabah atau musyârakah yang diajukan nasabah.
Jika pembiayaan mudhârabah atau musyârakah ini ditolak maka pihak bank
akan mengembalikan seluruh data dan dokumen yang telah diserahkan. Tahap akhir
adalah pencairan dana yang dilakukan di bagian keuangan. Pihak BSM Cabang
Warung Buncit akan melakukan monitoring kepada pengelola dana dengan
memantau pembayaran cicilan oleh nasabah yang melakukan pinjaman modal. Hal
tersebut untuk menghindari risiko wanprestasi yang tidak membayar cicilan tidak
tepat waktu. Bila terjadi kemacetan maka akan diberi teguran, surat peringatan
sampai eksekusi jaminan.
D. Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah
di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit
Jaminan yang diberlakukan di BSM Cabang Warung Buncit besarnya mencapai
80%. Hal tersebut dilakukan agar nasabah memiliki tanggung jawab untuk
mengembalikan pinjaman kepada BSM Cabang Warung Buncit, jaminan tersebut
merupakan syarat yang menentukan dibatalkan atau disetujui dalam pengajuan
pembiayaan mudhârabah dan musyârakah.
Bila tidak ada jaminan dalam permohonan pembiayaan, maka pihak bank tidak
akan menyetujui permohonan tersebut, karena BSM Cabang Warung Buncit
melakukan prinsip kehati-hatian agar nasabah tidak lari dari tanggung jawab
pengembalian pinjaman, dimana dengan menerapkan adanya jaminan bila nasabah
tidak mampu membayar cicilan tersebut maka jaminan tersebut yang digunakan
sebagai tebusannya.
Jaminan yang diserahkan pihak nasabah kepada BSM Cabang Warung Buncit
adalah surat-surat kepemilikan bukan barangnya secara langsung. Jaminan barang
tersebut dapat digunakan nasabah sehari-hari. Hal ini bertujuan untuk mempermudah
peminjam (nasabah) dalam melaksanakan kesahariannya. Surat-surat diamankan
pihak bank sebagai jaminan pembiayaan dan sewaktu-waktu dapat digunakan bila
nasabah mengalami wanprestasi. Namun bila perjanjian bank dan nasabah selesai dan
pihak nasabah telah mengembalikan modal pinjaman beserta keuntungan bagi hasil
maka jaminan tersebut akan dikembalikan pihak nasabah.
Pihak bank akan memberikan toleransi dengan memberikan jangka waktu
kepada nasabah dalam mengembalikan pinjaman bila terjadi kemacetan dalam
pengembalian pinjaman. Namun bila jangka waktu yang diberikan, nasabah belum
bisa mengembalikannya maka pihak bank akan memberi surat teguran atau surat
pemberitahuan keterangan telambat. Jika dalam waktu seminggu belum juga dapat
mengembalikan dana pinjaman maka akan diberikan surat peringatan.10
Surat peringatan akan diberikan sebanyak tiga kali dalam batas waktu
pengembalian, apabila nasabah juga belum mampu mengembalikan maka pihak bank
memberikan surat peringatan keras dimana peringatan tersebut akan melakukan
eksekusi jaminan bila nasabah tidak dapat lagi mengembalikan pinjamannnya. Tujuh
hari berikutnya pihak bank akan memanggil pihak nasabah. Jika belum ada respon
pertanggung jawaban nasabah, maka pihak Bank Syariah Mandiri akan mengeksekusi
jaminan nasabah. Jaminan eksekusi akan dijual atau dilelang atas persetujuan nasabah
sesuai perjanjian yang telah ditentukan.
Setelah jaminan dilelang atau dijual maka hasil penjualan akan diberikan
kepada pihak bank dan bila ada kelebihan dari sisa pinjaman dari hasil penjualan akan
diberikan kepada nasabah. Biaya dalam eksekusi jaminan akan dilimpahkan
sepenuhnya pada pemilik jaminan.
10Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta, 14 Maret 2011.
E. Analisis Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada Akad
Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah Cabang Warung
Buncit
Analisis kesesuaian konsep dan implementasi menggunakan ANN (Artificial Neuron
Network). Adapun variabel yang digunakan adalah:
1. Keamanan bank 3. Pemenuhan janji
2. Kepastian hukum 4. Kelanjutan kerjasama
Tingkat kesesuaian konsep dan implementasi sistem jaminan di BSM Cabang Warung
Buncit setinggi 90%, score (1-5).
No Manfaat Jaminan Score Bobot Output
1 Keamanan bank 5 0.3 1.5
2 Kepastian hukum 4 0.3 1.2
3 Pemenuhan janji 4 0.2 0.8
4 Kelanjutan kerjasama 4 0.1 0.4
Jumlah output 3.9
Dalam penelitian ini, analisis bersifat kompleks (antara variabel saling berpengaruh).
Adapun fungsi transformasi ditunjukan oleh rumus ANN: YT
= [1 / (1 + e-Y
)]
Dimana Y adalah output dari proses hubungan yang saling mempengaruhi perkalian
antara nilai score dan nilai bobot tiap-tiap variabel.
Diketahui Y adalah 3.9 atau 39% (jumlah keseluruhan output)
YT
= [1 / (1 + e-Y
)]
YT
= [1 / (1 + e-3.9
)]
YT
= [1 / (1 + 0.02)]
YT
= 0.98 atau 98%
Setelah dihitung dengan rumus ANN, nilai yang dihasilkan adalah 0.98 atau 98%,
artinya kebijakan yang dilakukan oleh manajemen dapat diteruskan pada tahun-tahun
berikutnya.
Adanya jaminan di BSM Cabang Warung Buncit mengacu pada Undang-
undang Perbankan No.10 tahun 1998 Pasal 1 No.23 yaitu agunan adalah jaminan
tambahan yang diserahkan nasabah kepada debitur kepada bank dalam rangka
pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan
dari mudhârib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta jaminan. Hal ini
mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan
yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan
dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudhârib sendiri maupun dari pihak
ketiga. Jaminan yang diminta oleh bank bank Islam tersebut tidak dibuat untuk
memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudhârib
sesuai dengan syarat-syarat kontrak.
Ada beberapa hal yang mendasari bank dalam memberikan nilai jaminan:
1. Untuk usaha yang dijamin dengan menggunakan uang tunai yang nilainya seratus
persen. Jadi, kalau misalnya Anda meminjam uang dengan jaminan sebesar Rp
100 juta maka nilainya dihitung sama Rp 100 juta.
2. Untuk usaha yang memiliki jaminan tanah maka ada beberapa ketentuan karena
untuk jaminan tanah ini ada beberapa hak antara lain tanah milik, tanah hak guna
bangunan, dan tanah hak sewa. Untuk tanah hak milik, bank memberikan nilai
antara 70% hingga 80%. Untuk tanah hak guna bangunan nilainya antara 60%
sampai 70%, jaminan hak sewa itu tergantung banknya tetapi biasanya sekitar
50%. Kebanyakan persentase untuk bank ini menggunakan nilai PBB (pajak bumi
dan bangunan) yang biasanya nilainya setengah dari harga pasar dan nilai likuidasi
yaitu nilai saat menjual barang jaminan (untuk nilai ini biasanya sudah
diperhitungkan biaya lelang, biaya notaris). Sebaliknya, bank jarang menggunakan
nilai pasar (atau nilai jual sekarang).
3. Jaminan persediaan baik persediaan barang maupun persediaan piutang. Dalam
jaminan persediaan ini dikenal adanya resi gudang. Akibat resi gudang ini, nilai
persediaan barang bisa naik nilainya antara 50% hingga 60%, tapi kalau tanpa resi
gudang, maka jaminan persediaan barang tidak ada nilainya atau jika ada maka
nilainya sangat rendah. Hal ini disebabkan karena jaminan ini tidak bisa dipegang.
Penilaian bank atas barang jaminan bersifat konservatif dalam arti benar-benar
menjamin kepentingan bank karena diharapkan nilai jaminan itu saat dieksekusi
harganya akan sama dengan yang diperkirakan oleh bank. Perkiraan bank itu
berdasarkan pengalaman pada saat bank mengeksekusi atau pada saat menjual barang
jaminan, karena menjual jaminan pada saat kolaps harganya akan jauh dibandingkan
menjual pada saat usaha sedang berkembang. Oleh karena itu, bank mengambil nilai
pada saat perusahaan macet. Pada prinsipnya, bank memang bukan membayar barang
jaminan tetapi membiayai usaha.
Apabila nasabah tidak mampu mengembalikan pinjaman maka pihak bank akan
mengeksekusi atau melakukan pelelangan terhadap jaminan nasabah. Jual beli ini
diperbolehkan karena bukan merupakan jual beli atas jual beli orang lain. Jual beli
barang jaminan dengan cara lelang akan disebut sah apabila memenuhi syarat-syarat
dalam jual beli, adanya syarat kejelasan dalam hal wujud barang, kualitas, ukuran
ataupun harga. Dan pada dasarnya jual beli lelang barang jaminan diperbolehkan
menurut perspektif hukum islam.
Di dalam Al-Qur‟an tidak ada aturan pasti yang mengatur tentang lelang, begitu
juga dengan hadits. Berdasarkan definisi lelang, dapat disamakan (diqiyaskan)
dengan jual beli di mana ada pihak penjual dan pembeli. Di mana bank dalam hal ini
sebagai pihak penjual dan masyarakat yang hadir dalam pelelangan tersebut sebagai
pihak pembeli.
Ketentuan Umum Fatwa DSN yang memuat tentang lelang/penjualan marhun
dalam Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002, yaitu:
a. Apabila telah jatuh tempo, murtahin (bank) harus memperingatkan rahin
(nasabah) untuk segera melunasi hutangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun (barang
jaminan) dijual paksa / dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan
dan penyimpanan (jasa simpan-pen) yang belum dibayar serta biaya penjualan
(bea lelang pembeli, bea lelang penjual dan dana sosial- pen ).
d. Kelebuhan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin.
Di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit dalam praktiknya:
a. Pihak nasabah yang telah jatuh tempo maka bank memberikan surat pemberitahuan
keterangan terlambat dan surat peringatan sebanyak 3x. Bila nasabah tidak
menghiraukan maka pihak bank akan memanggil nasabah dan mengeksekusi
langsung jaminan tersebut. Dilihat dari praktiknya, dalam hal peringatan bank
terhadap nasabah pada saat jatuh tempo, maka dapat dikatakan BSM telah sesuai
dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah No.25/DSN-MUI/III/2002.
b. Sanksi atas nasabah yang tidak dapat melunasi hutangnya. Fatwa DSN
memberikan ketentuan apabila nasabah tetap tidak dapat melunasi hutangnya,
maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. BSM dalam
praktiknya, marhun yang telah jatuh tempo dan akhirnya tidak dapat ditebus oleh
rahin oleh BSM dijual. Adapun maksud dari penjualan marhun tersebut adalah
sebagai salah satu upaya pengembalian uang pinjaman beserta jasa simpan yang
tidak dapat dilunasi sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika dilihat dari
praktiknya, dalam hal perlakuan terhadap marhun yang jatuh tempo dan tidak
ditebus, maka BSM telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No.25/DSN-MUI/III/2002.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang rahin, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan (biaya
lelang pembeli, biaya lelang penjual, dan dana sosial). Dilihat dari praktiknya,
dalam hal perlakuan terhadap hasil penjualan marhun, maka BSM telah sesuai
dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002.
d. Hasil penjualan marhun diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi sebesar
lakunya marhun tersebut. Kalaupun ada uang dari kelebihan penjualan marhun
menjadi hak milik rahin. Adapun yang dimaksud dengan uang kelebihan
penjualan adalah selisih antara harga lakunya penjualan dikurangi dengan uang
pinjaman ditambah jasa simpan ditambah biaya penjualan. Dilihat dari praktiknya,
perlakuan terhadap kelebihan hasil penjualan marhun di BSM, telah sesuai dengan
ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan penulis, maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah dan
musyârakah: menurut Malik dan Syafi‟I mengingat hubungan antara investor
dengan mudhârib adalah hubungan yang bersifat gadai dan mudhârib adalah orang
yang dipercaya maka tidak ada jaminan. Namun para ahli hukum Islam
kontemporer, di antaranya adalah Muhammad Abdul Mun‟im Abu Zaid dalam
bukunya Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyah,
menyatakan bahwa jaminan dalam praktek perbankan syari‟ah diperbolehkan
karena untuk menjaga kepercayaan dari nasabah investor, bank syari‟ah harus
menerapkan asas prudential dan kondisi masyarakat yang telah berubah dalam hal
komitmen terhadap nilai-nilai akhlak, seperti kepercayaan dan kejujuran. Oleh
sebab itu, larangan jaminan dalam mudhârabah yang prinsip dasarnya bersifat
amanah bisa berubah karena adanya perubahan kondisi obyektif masyarakat dalam
bidang moralitas. Meskipun jaminan dalam mudhârabah dalam praktek perbankan
saat ini diperbolehkan, tetapi disyaratkan bahwa jaminan tersebut harus didasarkan
pada tujuan menjaga agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan.
2. Konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah:
Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan, akan
tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan untuk
memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat
meminta jaminan kepada nasabah. Praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan
mudhârabah dan musyârakah berdasarkan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan
maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui
lembaga Dewan Syari‟ah Nasional (DSN) yang membolehkan praktik jaminan
tersebut. Bila terjadi wanprestasi dan pihak nasabah tidak bisa mengembalikan
modal pinjaman maka dilakukan eksekusi / pelelangan jaminan. Pada prinsipnya,
islam membolehkan jual-beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqh
disebut sebagai akad Ba‟I muzayadah, berdasarkan ketentuan umum Fatwa DSN
No: 25/DSN-MUI/2002.
3. Konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan
musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit sudah sesuai dengan
prinsip jaminan karena mengacu pada Undang-undang Perbankan No.10 tahun
1998, Fatwa DSN No.7/DSN-MUI/IV/2000 dan Fatwa DSN No.8/DSN-
MUI/IV/2000 yang membolehkan lembaga keuangan syariah meminta jaminan.
Apabila nasabah tidak mampu mengembalikan pinjaman maka pihak bank akan
mengeksekusi atau melakukan pelelangan terhadap jaminan nasabah berdasarkan
Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002. Implementasi bank tentang pelelangan sudah
sesuai Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002 yaitu:
a. Pihak nasabah yang telah jatuh tempo maka bank memberikan surat
pemberitahuan keterangan terlambat dan surat peringatan sebanyak 3x. Bila
nasabah tidak menghiraukan maka pihak bank akan memanggil nasabah dan
mengeksekusi langsung jaminan tersebut.
b. Sanksi atas nasabah yang tidak dapat melunasi hutangnya. Fatwa DSN
memberikan ketentuan apabila nasabah tetap tidak dapat melunasi hutangnya,
maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. BSM dalam
praktiknya, marhun yang telah jatuh tempo dan akhirnya tidak dapat ditebus
oleh rahin oleh BSM dijual. Adapun maksud dari penjualan marhun tersebut
adalah sebagai salah satu upaya pengembalian uang pinjaman beserta jasa
simpan yang tidak dapat dilunasi sampai batas waktu yang telah ditentukan.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang rahin, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan
(biaya lelang pembeli, biaya lelang penjual, dan dana sosial).
d. Hasil penjualan marhun diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi sebesar
lakunya marhun tersebut. Kalaupun ada uang dari kelebihan penjualan marhun
menjadi hak milik rahin. Adapun yang dimaksud dengan uang kelebihan
penjualan adalah selisih antara harga lakunya penjualan dikurangi dengan uang
pinjaman ditambah jasa simpan ditambah biaya penjualan.
Dari analisis tingkat kesesuaian konsep dan implementasi sistem jaminan di BSM
Cabang Warung Buncit, dengan menggunakan analisis ANN (Artificial Neuron
Network) diketahui tingkat kesesuaian antara konsep dan implementasi setinggi
0.98 atau 98%. Artinya kebijakan yang dilakukan oleh manajemen dapat diteruskan
pada tahun-tahun berikutnya.
B. Saran-Saran
Adapun masukan atau saran-saran yang bermanfaat dari penulis untuk
pembahasan skripsi ini adalah :
1. Hendaknya nasabah yang melakukan pinjaman di Bank Syariah Mandiri Cabang
Warung Buncit diharapkan memiliki rasa tanggung jawab penuh untuk
mengembalikan modal pinjaman atas pinjaman yang diberikan.
2. Pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, untuk pembiayaan
pinjaman yang relatif kecil, sebaiknya di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung
Buncit diberikan toleransi pinjaman tanpa jaminan agar masyarakat kelas kecil
dan menengah dapat melakukan pinjaman di bank.
3. Dalam akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, diharapkan peminjam
dan bank bersifat amanah agar masing-masing pihak memiliki rasa kepercayaan
yang penuh dalam menjalankan usahanya.
4. Dana pinjaman yang diberikan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah
adalah dana milik pribadi bank dan tabungan nasabah sehingga dengan adanya
jaminan merupakan alternatif agar peminjam mengembalikan dana pinjamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Mudjieb M. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Abdul, Mudjieb M. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, cet ke-3.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Fiqh Empat Mazhab. jilid IV, Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1994.
Anshori, A.Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007.
Antonio, M.Syafi‟i. Bank Syariah; dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001,
cet. ke-1.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Bank Muamalat Indonesia. Buku Panduan Pelaksanaan Pembiayaan. Jakarta: BMT Tbk,
1996.
Bank Muamalat. konsep Al-Mudharabah. Jakarta: Grup Rekayasa Bisnis.
Dewan Syariah Nasional (DSN). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Jakarta: DSN,
2000.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti,
2003.
Firdaus, Muhammad. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah. Jakarta: Reinansan,
2005, cet. ke-1.
Harahap, Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Lathif, Azharuddin. Fiqh Muamalah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Lathif, Azharuddin. Pengantar Hukum Bisnis; Pendekatan Hukum Positif dan Hukum
Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, cet. ke-1.
Mas‟adi, Ghufron A. Fiqh Muamalat Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1998.
Muhammad. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: AMI YKPN, 2005, cet. ke-2.
Perwataatmadja, Karnaen. Apa dan bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1992.
Renaisan. Mengatasi Masalah dan Penggadaian Syariah. Jakarta: 2005.
Rodoni. Ahmad, Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Bestari Buana Murni, 2008.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Bandung: Al-Ma‟arif, 1987, juz XII.
Satrio. Hukum Jaminan Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2007, cet. ke-5.
Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: FEUI, 2001, cet. ke-4.
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesi., Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007.
Soedewi Masjchoen Sofwan, Sri. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum
Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty Ofset, 2001, cet. ke-2.
Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.
Subekti. Hukum Acara Perdata. Jakarta : BPHN, 1977.
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonosia, 2003,
cet.ke-2.
Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Suyuthi, Wildan. Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama. PUSDIKLAT: Pegawai
Mahkamah Agung RI, 2005.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989, cet. ke-2.
Undang-undang Perbankan No.7 Tahun 1992. Jakarta: Sinar Grafika, 1992, cet. ke-3.
Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998. Jakarata: Sinar Grafika, 2001, cet. ke-1.
Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003, cet. ke-2.
Wawancara Pribadi dengan Ridwan. Jakarta. 14 Meret 2011.
Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim,
2007, cet. ke-3.
Hasil Wawancara : Perbandingan Konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan
mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang
Warung Buncit
Responden : Ridwan
Jabatan : Consumer Financing Executive
Hari/Tanggal : Senen, 14 Maret 2011
Tempat : Kantor BSM Cabang Warung Buncit
Gedung Fortune Lantai Dasar
Jl. Mampang Prapatan No. 96
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7989007, 7989009
Fax. (021) 7989006
Pertanyaan dan jawaban
X : Bagaimana Profil Umum BSM Cabang Warung Buncit?
Y : Pemegang Saham PT Bank Mandiri Tbk (99,9999999%) dan PT Mandiri Sekuritas
(0,000001%), tanggal berdiri pada 1 November 1999, Modal disetor : IDR 1 Triliun,
Modal ditempatkan : IDR 558 Milyar. Bank Mandiri dimiliki pemerintah Indonesia
sebesar 30%, merupakan Bank komersial terbesar di Indonesia, Aset lebih dari Rp
300 triliun, dengan DPS oleh Prof. KH Ali Yafie.
X : Apa visi BSM Cabang Warung Buncit?
Y : Menjadi Bank Syariah terpercaya pilihan mitra syariah
X : Apa misi BSM Cabang Warung Buncit?
Y : Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan,
mengutamakan penghimpunan dana consumer dan penyaluran pembiayaan pada
segmen UMKM, merekrut dan mengembangkan pegawai professional dalam kerja
lingkungan yang sehat, mengembangkan nilai-nilai syariah universal, dan
menyelenggarakan operasional Bank sesuai standar perbankan yang sehat
X : Apa tujuan didirikan BSM Cabang Warung Buncit?
Y : Untuk mengimplementasian nilai keislaman berdasarkan prinsip syariah dalam
perbankan
X : Produk apa yang ditawarkan BSM Cabang Warung Buncit?
Y : Penghimpunan dana, pembiayaaan dan pelayanan jasa. Penghimpunan dana terdiri
dari giro wadiah, tabungan mudhârabah wadiah dan deposito mudhârabah. Dan
produk pembiayaan terdiri dari mudhârabah, musyârakah, ijarah, salam, istisna.
X : Bagaimana aplikasi pembiayaan mudhârabah?
Y : Aplikasi pembiayaan mudhârabah harus disertakan jaminan yang berupa BPKB atau
SHM (Surat Hak Milik). Dimana Bank memberikan Dana atau modal 100% kepada
nasabah, dan keuntungan sesuai nisbah bagi hasil.
X : Bagaimana aplikasi pembiayaan musyârakah?
Y : Aplikasi musyârakah juga harus disertakan jaminan yang berupa sertifikat tanah
atau SHM,dan BPKB. Pembiayaan musyârakah dimana Bank bekerjasama antara
dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan
konstribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di
tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan
X : Darimana sumber pembiayaan mudhârabah dan musyârakah pada BSM cabang
Warung Buncit?
Y : Berasal dari nasabah dan simpanan berjangka. Dana tersebut merupakan dana milik
masyarakat dan milik pribadi BSM Cabang Warung Buncit.
X : Berapa jumlah minimal dan maksimal untuk pembiayaan mudhârabah dan
musyârakah?
Y : Jumlah minimal untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah sama yaitu
minimal 50 juta dan maksimal tidak terbatas sesuai permohonan nasabah. Untuk
pembiayaan di bawah 50 juta masuk ke dalam pembiayaan UMKM.
X : Apakah dalam setiap pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di BSM Cabang
Warung Buncit harus menyertakan jaminan?
Y : Ya, karena jaminan merupakan salah satu prosedur pembiayaan yang ditetapkan
manajemen BSM Cabang Warung Buncit dengan menggunakan prinsip prudential
demi mengamankan dana masyarakat yang disalurkan kepada nasabah yang
membutuhkan.
X : Dalam bentuk apa jaminan itu diberikan nasabah kepada BSM Cabang Warung
Buncit?
Y : Jaminan dapat berupa slip gaji dan agunan berupa BPKB, sertifikat tanah atau SHM
(Sertifikat Hak Milik).
X : Langkah apa yang ditempuh BSM Cabang Warung Buncit bila terjadi wanprestasi
atau kemacetan pada usaha nasabah?
Y : Memberikan tempo (waktu) kepada nasabah yang telah ditentukan BSM Cabang
Warung Buncit sampai usaha tersebut membaik dan bila usaha tersebut memburuk
maka akan dilakukan eksekusi jaminan.
X : Bagaimana eksekusi jaminan dilakukan?
Y : Eksekusi jaminan dilakukan apabila waktu toleransi yang telah ditentukan Bank
belum dipenuhi kewajibannya maka BSM Cabang Warung Buncit akan
menerbitkan SPKT (Surat Pemberitahuan Keterangan Telambat). Jika dalam
seminggu berikutnya nasabah belum melunasi pinjamannya maka diberikan surat
peringantan 1 kepada nasabah. Jika selama 1 bulan dan tiga kali surat peringatan
berturut-turut tidak dihiraukan maka pihak bank akan memanggil nasabah yang
besangkutan untuk mengeksekusi jaminan untuk penyelesaian tunggakan nasabah
yang tersisa.
X : Bagaimana eksekusi prosedur jaminan?
Y : Eksekusi jaminan dilakukan setelah disetujui pemilik jaminan tersebut dan eksekusi
jaminan dilelang atau dijual dihadapan pemilik barang jaminan tersebut. Harga yang
diperoleh dari harga penjualan tersebut akan diberikan kepada Bank terhadap sisa
pembayaran yang belum terlunasi. Bila terdapat kelebihan dari penjualan tersebut
akan dikembalikan kepada nasabah tersebut. Dalam pembiayaan eksekusi jaminan
menjadi tanggungan pemilik jaminan.
X : Kendala apa yang dihadapi BSM Cabang Warung Buncit dalam menerapkan pada
pembiayaan mudhârabah dan musyârakah?
Y : Salah satunya yaitu bagi nasabah yang enggan untuk menyertakan jaminan. Dan
pada saat jatuh tempo, pihak nasabah tidak mau menjual jaminan maka di selesaikan
di pengadilan perbankan (Arbitrase Syariah).
Jakarta, 4 April 2011
Mengetahui,
Yang mewancarai PT. Bank Syariah Mandiri
Kantor Cabang Warung Buncit
Hindayanti