Download - Perda Tentang Transportasi Angkutan Laut
LEMBARAN DAERAHKOTA TANJUNGPINANG
TAHUN 2010 NOMOR 01 SERI A NOMOR 01
PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG
NOMOR 01 TAHUN 2010
TENTANG
TRANSPORTASI ANGKUTAN LAUT
DISUSUN OLEH:1. DEPI KURNIANI2. ARIA BINARDI3. LARASTYA YULIYANDRI
PRODI/SMT:ILMU ADMINISTRASI NEGARA/ III
FISIP UMRAH
PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANGTAHUN 2010
PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG
PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG
NOMOR 01 TAHUN 2010
TENTANG
TRANSPORTASI ANGKUTAN LAUT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA TANJUNGPINANG,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah sesuai Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
guna menunjang pembangunan daerah pada subsektor
perhubungan laut perlu dilakukan penataan dan pengaturan
kegiatan pelayaran di Kota Tanjungpinang dalam suatu Peraturan
Daerah;
b. bahwa bahwa transportasi angkutan laut selain mempunyai peranan
yang strategis dalam pertumbuhan ekonomi daerah melalui
tersedianya sarana dan prasarana yang baik maka distribusi barang,
jasa, maupun manusia akan mampu berjalan lebih lancar, cepat,
dan dalam kuantitas yang besar sehingga pembangunan di daerah
akan berjalan dengan mulus:
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b maka diperlukan pembentukan peraturan daerah
tentang transportasi angkutan laut.
Mengingat : a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1958 Penetapan Bagian VIIIB
(Kementrian Perhubungan Jawatan Pengawasan Pelayaran) dari
Anggaran Republik Indonesia untuk Tahun Dinas 1955
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut)
c. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah
f. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
g. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan
h. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan
Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam
Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur Laut
yang Ditetapkan
i. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.71 Tahun 2005
tantang Pengangkutan Barang/Muatan Antarpelabuhan Laut
Dalam Negeri
j. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.26 Tahun 2006
tentang Penyederhanaan Sistem Dan Prosedur Pengadaan Kapal
Dan Penggunaan/Penggantian Bendera Kapal
k. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.55 Tahun 2006
tentang Tata Cara Pemeriksaan Kecelakaan Kapal
l. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.30 Tahun 2008
tentang Dokumen Identitas Pelaut
m. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.010/2008 Tahun
2008 tentang Besar Santunan Dan Iuran Wajib Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Umum Di Darat,
Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara
n. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang
Kepelabuhanan
o. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.65 Tahun 2009
tentang Standar Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia
p. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Kenavigasian
q. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan
Di Laut
r. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang
Perlindungan Lingkungan Maritim
s. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.12 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Umum Bidang
Angkutan Laut Untuk Penumpang Kelas Ekonomi Tahun
Anggaran 2010
t. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.33 Tahun 2001
tentang Penyelenggaraan Pengusahaan Angkutan Laut
u. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.54 Tahun 2002
tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TANJUNGPINANG
dan
WALIKOTA TANJUNGPINANG
MEMUTUSKAN;
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR
01 TAHUN 2010 TENTANG TRANSPORTASI ANGKUTAN
LAUT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang di maksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Tanjungpinang.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Tanjungpinang yang terdiri dari Walikota
beserta perangkat otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
3. Walikota adalah Walikota Tanjungpinang.
4. Dinas Perhubungan adalah Dinas Perhubungan Kota Tanjungpinang.
5. Kepala Dinas Perhubungan adalah Kepala Dinas Perhubungan Kota Tanjungpinang.
6. Angkutan laut adalah setiap kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal untuk
mengangkut penumpang, barang dan/atau hewan dalam satu perjalanan atau lebih dari satu
pelabuhan kepelabuhan lain, yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut.
7. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga
mekanik, tenaga angin atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis,
kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang berpindah-
pindah.
8. Kapal berbendera Indonesia adalah kapal yang memiliki Kebangsaan Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Perairan adalah perairan sejauh 4 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau
kearah perairan kepulauan atau dari perairan propinsi.
10. Awak kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau
operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum
dalam buku sijil.
11. Nakhoda kapal adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum di atas
kapal serta mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
12. Pemimpin kapal adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum di atas
kapal untuk jenis dan ukuran tertentu serta mempunyai wewenang dan tanggung jawab
tertentu, berbeda dengan yang dimiliki oleh nakhoda.
13. Anak buah kapal adalah awak kapal selain nakhoda atau pemimpin kapal.
14. Operator kapal adalah orang atau badan hukum yang mengoperasikan kapal.
15. Pelayar adalah semua orang yang ada di atas kapal.
16. Penumpang adalah pelayar yang ada di atas kapal selain awak kapal dan anak berumur
kurang dari 1 (satu) tahun.
17. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran.
18. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
19. Usaha penunjang angkutan laut adalah kegiatan usaha yang bersifat menunjang kelancaran
proses kegiatan angkutan laut;
20. Usaha bongkar muat barang adalah kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar
muat barang dan/atau hewan dari dan ke kapal;
21. Usaha jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) adalah kegiatan usaha yang
ditujukan untuk semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan
penerimaan barang dan/atau hewan melalui angkutan darat, laut dan/atau udara;
22. Usaha ekspedisi muatan kapal laut adalah kegiatan usaha mengurus dokumen dan
melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan penerimaan dan penyerahan muatan yang
diangkut melalui laut;
23. Usaha angkutan di perairan pelabuhan adalah kegiatan usaha untuk memindahkan
penumpang, barang dan/atau hewan dari dermaga ke kapal atau sebaliknya dan dari kapal ke
kapal, diperairan pelabuhan;
24. Usaha penyewaan peralatan angkutan laut/alat apung adalah kegiatan usaha untuk
menyediakan dan menyewakan peralatan penunjang angkutan laut dan/atau alat-alat apung
untuk pelayanan kapal;
25. Usaha tally adalah kegiatan usaha jasa menghitung, mengukur, menimbang dan membuat
catatan mengenai muatan-muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan pengangkut;
26. Usaha depo peti kemas adalah kegiatan usaha yang meliputi penyimpanan, penumpukan,
membersihkan dan memperbaiki peti kemas serta kegiatan lain yang berkaitan dengan
pengurusan peti kemas.
BAB II
OBJEK TRANSPORTASI ANGKUTAN LAUT
Pasal 2
(1) Objek transportasi angkutan laut meliputi kegiatan yang terkait dengan :
a. kegiatan pelayanan jasa perkapalan;
b. kegiatan pelayanan jasa kepelabuhanan;
c. kegiatan pelayanan jasa kenavigasian;
d. kegiatan pelayanan jasa lainnya.
BAB III
SUBJEK TRANSPORTASI ANGKUTAN LAUT
Pasal 3
(2) Subjek transportasi angkutan laut meliputi orang atau badan yang mendapat izin dalam
penyelenggaraan transportasi angkutan laut, yaitu:
a. badan usaha milik swasta;
b. badan usaha milik daerah atau koperasi.
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan angkutan laut dilakukan:
a. oleh perusahaan angkutan laut swasta maupun pemerintah daerah;
b. dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia;
c. untuk menghubungkan pelabuhan laut antar pulau atau daerah di wilayah perairan;
(2) Penyelenggaraan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
kegiatan turun naik penumpang/ hewan.
BAB IV
PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT
Pasal 5
(1) Usaha angkutan laut dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas,
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Koperasi,yang didirikan khusus
untuk usaha itu.
(2) Untuk dapat melakukan kegiatan usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib memiliki izin usaha.
(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan selama perusahaan yang
bersangkutan masih menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 6
(1) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), harus dipenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran GT.175 (seratus tujuh
puluh lima);
b. memiliki tenaga ahli sesuai dengan bidangnya;
c. memiliki Akte Pendirian Perusahaan bagi pemohon berbentuk Badan Hukum Indonesia
yang mengajukan permohonan izin usaha angkutan laut;
d. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;dan
e. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 7
(1) Usaha angkutan laut yang telah mendapat izin usaha wajib untuk :
a. memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam izin usaha angkutan laut;
b. melakukan kegiatan operasional secara nyata dan terus menerus selambat-lambatnya 6
(enam) bulan setelah izin usaha diterbitkan;
c. mematuhi peraturan perundang-undangan dibidang pelayaran dan peraturan perundang-
undangan lainnya;
d. menyediakan fasilitas untuk angkutan pos;
e. melaporkan kegiatan usahanya setiap tahun kepada pemberi izin;dan
f. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab atau pemilik perusahaan,
domisili perusahaan dan pemilikan kapal.
BAB V
PEMBAGIAN KEWENANGAN
Pasal 8
(1) Badan atau orang yang terlibat dalam transportasi angkutan laut meliputi :
a. perusahaan swasta maupun negeri maupun daerah;
a. nahkoda;
b. awak kapal;
c. mualim.
(2) Pembagian kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada pasal (1) adalah :
a. pemilik dan/atau operator angkutan laut menyediakan sarana atau fasilitas angkutan laut;
b. nahkoda atau pemimpin di atas kapal berwenang menjaga keselamatan, keamanan,
ketertiban kapal, pelayar dan barang muatan yang menjadi kewajibannya;
c. setiap kapal harus diawaki oleh orang-orang yang mempunyao kemampuan dan terlatih;
d. mualim berwenang atas keselamatan kapal, menjalankan perintah nahkoda, menjalankan
peraturan/ketentuan yang berlaku, dan menentukan posisi kapal secara rutin.
BAB VI
KELAIKLAUTAN KAPAL
Pasal 9
(1) Setiap kapal wajib memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal yang meliputi :
a. keselamatan kapal;
b. pengawakan kapal;
c. manajemen keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan pencemaran dari kapal;
d. pemuatan; dan
e. status hukum kapal.
(2) Pemenuhan setiap persyaratan kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibuktikan dengan sertifikat kapal dan/atau surat kapal sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Ketentuan tentang pengawakan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
(1) Bagi kapal yang telah selesai dibangun di tempat yang tidak dapat menerbitkan surat-surat
kapal atau kapal dibangun atas pesanan pihak asing, dapat diterbitkan surat izin khusus untuk 1
(satu) kali pelayaran ke pelabuhan lain yang dapat menerbitkan surat-surat kapal.
(2) Kapal yang berlayar dengan surat izin khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang
untuk mengangkut muatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan surat izin khusus sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
(1) Setiap kapal yang akan berlayar dan telah memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diberikan surat izin berlayar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat izin berlayar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
BAB VII
TATA CARA PELAYARAN
Pasal 12
(1) Kewajiban sebelum berlayar :
a. setiap kapal yang akan berlayar wajib memiliki surat izin berlayar yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang setelah memenuhi persyaratan kalaiklautan;
b. nahkoda atau pemimpin kapal yang akan berlayar, wajib memastikan bahwa kapalnya
telah memenuhi persyaratan kelaiklautan;
c. nahkoda atau pemimpin kapal berhak menolak untuk melayarkan kapalnya apabila
mengetahui kapal tersebut tidak memenuhi persyaratan kelaiklautan;
d. nahkoda atau pemimpin kapal wajib memperhatikan dan memelihara kondisi kapalnya
tetap laik laut untuk berlayar;
e. ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kelaiklautan kapal sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
(2) Kewajiban selama dalam pelayaran :
a. setiap nahkoda atau pemimpin kapal dan/atau anak buah kapal wajib mencagah
terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapalnya;
b. setiap nahkoda atau pemimpin kapal wajib menanggulangi pencemaran yang bersumber
dari kapalnya dan juga wajib melaporkan kepada pejabat pemerintahan yang berwenang
atau instansi yang berwenang mengenai terjadinya pencemaran laut;
c. nahkoda atau pemimpin kapal yang mengetahui adanya bahaya bagi keselamatan berlayar
wajib mengambil tindakan pencegahan;
d. nahkoda atau pemimpin kapal yang sedang berlayar wajib memnerikan pertolongan
dalam batas kemampuannya kepada setiap orang atau kapal yang ditemukan dalam
keadaan bahaya di laut.
BAB VIII
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Penumpang
Pasal 13
(1) Hak penumpang adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau
jasa;
b. hak untuk memilih barang jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang digunakan;
e. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
f. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
g. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 14
(2) Kewajiban konsumen adalah:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan jasa yang diterima;
c. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 15
(1) Hak pelaku usaha adalah:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
jasa yang diberikan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan penumpang yang beritikad tidak
baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa;
d. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 16
(2) Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin jasa yang diberikan berdasarkan ketentuan standar jasa yang berlaku;
e. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan jasa yang diberikan.
BAB IX
USAHA PENUNJANG ANGKUTAN LAUT
Bagian pertama
Jenis Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Laut
Pasal 17
(1) Jenis kegiatan usaha penunjang angkutan laut terdiri dari:
a. usaha bongkar muat barang;
b. usaha jasa pengurusan transportasi;
c. usaha ekspedisi muatan kapal laut;
d. usaha angkutan perairan pelabuhan;
e. usaha penyewaan peralatan angkutan laut/peralatan penunjang angkutan laut;
f. usaha tally;dan
g. usaha depo peti kemas.
Bagian Kedua
Usaha Bongkar Muat
Pasal 18
(1) Kegiatan usaha bongkar muat dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia berbentuk Perseroan
Terbatas, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah atau Koperasi, yang
didirikan khusus untuk usaha itu.
(2) Untuk dapat melakukan kegiatan usaha bongkar muat sebagai mana dimaksud pada ayat (1),
wajib memiliki izin usaha.
(3) Izin usaha bongkar muat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),diberikan selama perusahaan
yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 19
(1) Untuk memperoleh izin usaha bongkar muat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2),
wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki modal dan peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi;
b. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
c. memiliki Akte Pendirian Perusahaan;
d. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;dan
e. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk memperoleh izin usaha dan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Usaha Jasa Pengurusan Transportasi
Pasal 20
(1) Kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia
berbentuk Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah
atau Koperasi, yang didirikan khusus untuk usaha itu.
(2) Untuk dapat melakukan kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib memiliki izin usaha.
(3) Izin usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),diberikan
selama perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 21
(1) Untuk memperoleh izin usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2), wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki modal dan peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi;
b. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
c. memiliki Akte Pendirian Perusahaan;
d. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;dan
e. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk memperoleh izin usaha dan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keempat
Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut
Pasal 22
(1) Kegiatan usaha ekspedisi muatan kapal laut dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia
berbentuk Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau
Koperasi,yang didirikan khusus untuk usaha itu.
(2) Untuk dapat melakukan kegiatan usaha ekspedisi muatan kapal laut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),wajib memiliki izin usaha.
(3) Izin usaha ekspedisi muatan kapal laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan
selama perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 23
(1) Untuk memperoleh izin usaha ekspedisi muatan kapal laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2), wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki modal yang cukup;
b. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
c. memiliki Akte Pendirian Perusahaan;
d. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;dan
e. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk memperoleh izin usaha dan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Usaha Angkutan Perairan Pelabuhan
Pasal 24
(1) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia
yang didirikan khusus untuk usaha itu atau perusahaan angkutan laut.
(2) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan yang dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia
yang khusus didirikan untuk usaha itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki
izin usaha.
(3) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan yang dilakukan oleh perusahaan Angkutan Laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),izin usahanya melekat pada usaha pokoknya.
(4) Izin usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan
selama perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 25
(1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2), wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki modal dan menguasai sarana angkutan perairan pelabuhan yang memenuhi
persyaratan kelaikan;
b. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
c. memiliki Akte Pendirian Perusahaan;
d. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;dan
e. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk memperoleh izin usaha dan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keenam
Usaha Penyewaan Peralatan Angkutan Laut/Peralatan
Penunjang Angkutan Laut
Pasal 26
(1) Kegiatan usaha penyewaan peralatan angkutan laut/peralatan penunjang angkutan laut dapat
dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk usaha itu.
(2) Usaha penyewaan peralatan angkutan laut/peralatan penunjang angkutan laut yang dilakukan
oleh Badan Hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin
usaha.
(3) Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut/peralatan penunjang angkutan laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan selama perusahaan yang bersangkutan masih
menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 27
(1) Untuk memperoleh izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut / peralatan penunjang
angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), wajib dipenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki modal dan menguasai peralatan angkutan laut/peralatan penunjang angkutan
laut;
b. memiliki Akte Pendirian Perusahaan;
c. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;dan
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk memperoleh izin usaha dan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketujuh
Usaha Tally
Pasal 28
(1) Kegiatan tally dapat dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk
usaha itu,perusahaan angkutan laut, perusahaan bongkar muat, perusahaan ekspedisi muatan
kapal laut, atau perusahaan jasa pengurusan transportasi.
(2) Izin usaha untuk kegiatan tally yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut, perusahaan
bongkar muat, perusahaan ekspedisi muatan kapal laut, perusahaan jasa pengurusan
transportasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melekat pada usaha pokoknya.
(3) Kegiatan usaha tally yang dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia yang khusus didirikan
untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat(1) wajib memiliki izin usaha itu.
(4) Izin usaha tally sebagaimana dimaksud pada ayat(3), diberikan selama perusahaan yang
bersangkutan masih menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 29
(1) Untuk memperoleh izin usaha tally sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), wajib
dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki modal dan peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi;
b. memiliki Akte Pendirian Perusahaan;
c. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;dan
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk memperoleh izin usaha dan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedelapan
Usaha Depo Peti Kemas
Pasal 30
(1) Kegiatan usaha depo peti kemas dapat dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia berbentuk
Perseroan Terbatas,Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Koperasi,
yang didirikan khusus untuk usaha itu.
(2) Untuk dapat melakukan kegiatan usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib memiliki izin usaha.
(3) Izin usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan selama
perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 31
(1) Untuk memperoleh izin usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(2), wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki modal dan peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi;
b. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
c. memiliki Akte Pendirian Perusahaan;
d. memiliki surat keterangan domisili perusahaan;dan
e. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk memperoleh izin usaha dan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.
BAB IX
TARIF ANGKUTAN DI PERAIRAN
Bagian Pertama
Tarif Angkutan Penumpang
Pasal 32
(1) Tarif angkutan penumpang angkutan laut terdiri dari tarif pelayanan ekonomi dan tarif
pelayanan non ekonomi.
(2) Persyaratan tentang pelayanan dan besarnya perimbangan kapasitas tempat tidur/duduk
dalam kapal untuk pelayanan ekonomi dan pelayanan non ekonomi diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 33
(1) Struktur tarif pelayanan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) terdiri dari
tarif dasar dan tarif jarak.
(2) Struktur tarif pelayanan non ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) terdiri
dari tarif dasar, tarif jarak dan tarif pelayanan tambahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 34
(1) Tarif dasar dan tarif jarak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(2) Tarif pelayanan tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) ditetapkan oleh
penyedia jasa angkutan.
Bagian Kedua
Tarif Angkutan Barang, Hewan dan Kendaraan
Pasal 35
(1) Struktur tarif angkutan barang dan hewan dan angkutan sungai dan danau serta angkutan
kendaraan beserta barang untuk angkutan penyeberangan, merupakan komponen perhitungan
biaya sebagai pedoman untuk mencantumkan besaran tarif.
(2) Golongan tarif angkutan sungai dan danau merupakan pedoman dalam menentukan besaran
tarif yang ditetapkan berdasarkan pengelompokan jenis barang yang diangkut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan golongan tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 36
(1) Besaran tarif angkutan barang dan hewan untuk angkatan laut dalam negeri, ditetapkan atas
dasar kesepakatan bersama antara penyedia jasa dan pengguna jasa.
(2) Besaran tarif angkutan barang dan hewan untuk angkatan sungai dan danau ditetapkan atas
dasar kesepakatan antara penyedia jasa dan pengguna jasa berdasarkan struktur tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
(3) Besaran tarif angkutan kendaraan beserta muatannya untuk angkutan penyeberangan
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan struktur tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat(1).
Bagian Ketiga
Tarif Usaha Penunjang Angkutan Laut
Pasal 37
(1) Tarif usaha penunjang angkutan laut terdiri dari:
a. tarif bongkar muat barang;
b. tarif jasa pengurusan transportasi;
c. tarif ekspedisi muatan kapal taut;
d. tarif angkutan perairan pelabuhan;
e. tarif penyewaan peralatan angkutan laut/peralatan penunjang
f. angkutan laut;
g. tarif tally;
h. tarif depo peti kemas.
Pasal 38
(1) Struktur tarif usaha penunjang angkutan laut merupakan komponen dasar untuk pedoman
perhitungan besaran tarif.
(2) Jenis tarif usaha penunjang angkutan laut adalah tarif yang diberlakukan untuk barang umum
(genera/cargo), barang kemasan, barang mengganggu (harmfu/ substances), barang
berbahaya dan barang yang memerlukan penanganan dan peralatan khusus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan jenis tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat(2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 39
(1) Besaran tarif usaha penunjang angkutan laut ditetapkan atas dasar kesepakatan bersama
antara penyedia jasa dan pengguna jasa berdasarkan jenis dan struktur tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang
mengenai tehnik pelaksanaannya diatur dengan KeputusanWalikota.
Pasal 41
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat menget
ahuinya memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang.
Ditetapkan di : Tanjungpinang
Pada tanggal : Desember 2010
WALIKOTA TANJUNGPINANG
ttd
Hj. SURYATATI A. MANAN