1
PERKEMBANGAN TARI KLASIK GAYA YOGYAKARTA DI ERA GLOBAL
Oleh: Titik Putraningsih
ABSTRAK
Budaya Jawa sedang mengalami perubahan dan pergeseran dari berbagai sisi kehidupan yang dipengaruhi oleh perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perkembangan tari klasik gaya Yogyakarta di era global dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, menjamurnya industri pariwisata, dan perubahan selera estetis masyarakat kota.
Bagaimana pecinta dan pekerja seni menghadapi tantangan zaman agar tari klasik gaya Yogyakarta tetap eksis di masyarakat dan bertahan hidup sepanjang zaman. Pakar tari menciptakan bentuk-bentuk tari yang inovatif sehingga mudah dipelajari oleh siswa-siswinya. Organisasi tari menyelenggarakan program pendidikan dengan mengadakan pembelajaran tari. Pendidikan tari itu menghasilkan individu-individu yang mampu mengembangkannya sebagai penari, pengajar di sanggar tari, dan pengajar tari pada pendidikan formal. Selain itu organisasi tari juga menghasilkan generasi baru yang akan meneruskan, melestarikan, dan mengembangkan tari klasik gaya Yogyakarta di masa yang akan datang.
Organisasi tari Yayasan Siswa Among Beksa dan Yayasan Pamulangan Beksa sasminta Mardawa berupaya untuk menghadapi tantangan zaman, walaupun mengalami pasang surut namun mampu menjalankan roda kehidupan organisasinya hingga sekarang. Kata kunci: organisasi tari, tari klasik gaya Yogyakarta, era global.
A. Pengantar
Saat ini kondisi kehidupan seni tari di keraton Yogyakarta
sedang lesu dan memerlukan dukungan dari lembaga pendidikan
formal seperti Sekolah Menengah Kejuruan I Bantul (SMKI),
Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta,
dan organisasi tari yang berkembang di luar keraton Yogyakarta.
2
Sejarah kehidupan seni pertunjukan di Indonesia tidak akan
terlepas dari perkembangan berbagai aspek kehidupan yang
berkaitan dengan politik, sosial, dan ekonomi. Tari istana yang
disebut seni adi luhung semula hanya dinikmati oleh kaum
bangsawan kemudian berkembang ke luar istana, sehingga
masyarakat luas bisa turut menikmati dan mempelajarinya.
Sultan Hamengku Buwono VII mengijinkan orang-orang di luar
keraton untuk belajar tari istana tetapi kegiatannya di luar tembok
keraton. Pada tahun 1918 berdirilah organisasi tari Krida Beksa
Wirama yang dipelopori oleh dua putra Sultan yaitu Pangeran
Tedjokusuma dan Pangeran Soeryodiningrat. (Fred Wibowo, ed.,
1981, 221-222).
Pada masa perang kemerdekaan kegiatan kesenian di
keraton Yogyakarta terhenti. Pada tahun 1951 untuk
mengembangkan kesenian kraton, Sultan memindahkan kegiatan
kesenian di dalem Purwadiningratan. Hal ini dimaksudkan untuk
menampung para peminat seni tari dan karawitan di luar keraton.
Perkembangan berikutnya muncul beberapa organisasi tari
lainnya yaitu: Irama Citra (1949), Paguyuban Siswa Among Beksa
(1952), Mardawa Budaya (1962) dan Pamulangan Beksa
Ngayogyakarta (1976), kemudian pada tahun 1992 kedua
organisasi tari itu bergabung menjadi Yayasan Pamulangan Beksa
Mardawa Budaya (YPBSM).
Pada saat ini budaya Jawa dan masyarakatnya sedang
mengalami perubahan dan pergeseran diberbagai sisi kehidupan
yang dipengaruhi oleh: 1). Sosial, politik, dan budaya, 2).
Semangat nasionalisme, 3). Arus indutrialisasi (Sumaryono,
2003,108-109). Perubahan itu mempengaruhi kehidupan tari
klasik gaya Yogyakarta dalam menghadapi era globalisasi, karena
kemajuan teknologi dan gaya hidup masyarakat modern.
3
Masyarakat di era global lebih cenderung menerima seni modern
yang lebih bersifat praktis dan menarik, sehingga mempunyai
kesan penikmat tari klasik menjadi berkurang.
Walaupun minat masyarakat terhadap tari klasik gaya
Yogyakarta berkurang, namun masih bisa dinikmati pada
beberapa event yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pada Festival Sendratari, Festival Kesenian
Yogyakarta yang diadakan setiap tahun, Festival Wayang Wong
diselenggarakan pada tahun 1996, 2000, dan 2005. Pertunjukan
tari di keraton Yogyakarta untuk upacara peringatan hari
penobatan raja, menjamu pejabat pemerintahan maupun tamu
mancanegara, dan setiap Minggu siang pertunjukan untuk
wisatawan. Di luar keraton tari klasik dikemas untuk hiburan
resepsi pernikahan, opening ceremony sebuah acara dan hiburan
untuk kepentingan pariwisata di restoran, hotel-hotel berbintang,
dan rumah keluarga bangsawan Dalem Jaya Kusuman dan dalem
Pujakusuman. Akibat pengaruh perkembangan politik, ekonomi dan sosial
di Daerah Istimewa Yogyakarta, maka hanya dua organisasi tari
gaya Yogyakarta yang telah cukup lama mampu bertahan hingga
sekarang. Organisasi tari Yayasan Siswa Among Beksa berdiri
sejak tahun 1952 dengan menyelenggarakan kegiatan kursus tari.
Begitu pula Organisasi tari Mardawa Budaya sejak tahun 1962,
kemudian tahun 1992 menjadi Yayasan Pamulangan Beksa
Sasminta Mardawa, mampu bertahan sampai sekarang
menyelenggarakan kursus tari dan pertunjukan sendratari
Ramayana untuk wisatawan. Walaupun mengalami pasang surut,
namun dua organisasi tersebut mampu mempertahankan
eksistensinya hingga sekarang.
4
Kondisi pada saat ini bahwa kehidupan tari klasik gaya
Yogyakarta perlu mendapat perhatian untuk menghadapi
tantangan zaman. Seiring dengan kemajuan teknologi dan
kondisi perekonomian yang tidak menentu, di era globalisasi ini
bagaimanakah kegiatan organisasi tari untuk melestarikan dan
mengembangkan tari klasik gaya Yogyakarta, dan bagaimanakah
peranan organisasi tari dalam masyarakat yang selalu mengalami
perubahan?
B. Peranan Organisasi Tari Dalam Pendidikan Sistem pendidikan di Indonesia menjelaskan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian,
mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin,
beretos kerja, bertanggung jawab, profesional, dan produktif, serta
sehat jasmani rohani. (Endraswara, 2006: 53). Merujuk pada
tujuan pendidikan nasional tersebut, maka pendidikan kesenian
disetujui menjadi bagian dari kurikulum di sekolah. Pendidikan
kesenian khususnya seni tari semula berkembang pada lembaga
pendidikan non formal. Setelah mengalami perkembangan yang
cukup pesat dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat,
kemudian dikembangkan pada lembaga pendidikan formal.
Manfaat pendidikan kesenian pada lembaga pendidikan non
formal adalah untuk persiapan profesi dan peningkatan kualitas
diri. Pendidikan melalui kesenian sangat bermanfaat bagi
pembentukan kepribadian sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia. Pendidikan
budi pekerti dan tatakrama tidak selalu diperoleh melalui
pendidikan formal. (Suwardi Endraswara, 2006: 11). Melalui
kegiatan kesenian khususnya pembelajaran tari sekaligus belajar
5
tentang etika dan tatakrama bermanfaat untuk kehidupan sehari-
hari.
Organisasi tari menyelenggarakan program pendidikan
keterampilan menari sekaligus mengandung pendidikan nilai-nilai
budaya Jawa. Setelah mengikuti program pendidikan berupa
kegiatan pelatihan (kursus) tari, siswa diharapkan mampu
terampil dan luwes dalam menari sesuai dengan iringan dan
karakter tari yang dibawakan. Lebih dari itu siswa diharapkan
mampu mengembangkannya, baik sebagai penari maupun
pengajar tari. Program pendidikan dibagi menjadi beberapa kelas
yang dibedakan menjadi tari putra dan putri. Pembelajaran tari
yang ditempuh selama tiga tahun melalui pentahapan yaitu, tahap
dasar, tahap terampil, dan tahap mahir.
1. Pendidikan sebagai pembentuk mental anak Sal Murgiyanto dalam bukunya Tradisi dan Inovasi Beberapa
Masalah Tari di Indonesia lebih jauh menjelaskan bahwa
pendidikan kesenian sangat penting sebagai pembentuk watak
dan mental anak. Pendidikan dan pengalaman tari memberikan
manfaat secara pribadi, sosial, kebudayaan, maupun kreativitas.
Seni tari seperti cabang seni lainnya, memberikan kesenangan dan
kegembiraan pada pelakunya. Gerakan tari dilakukan oleh
seluruh tubuh secara intelektual, emosional, dan fisikal, tari
merupakan sarana yang ideal untuk menumbuhkan kesadaran
diri, perkembangan diri, dan rasa percaya diri pada anak-anak.
(Sal Murgiyanto, 2004: 152).
Persepsi anak mulai meningkat ketika dapat melakukan
rangkaian gerak sesuai dengan irama iringannya. Jika diajarkan
secara kreatif, tari dapat menumbuhkan imajinasi anak, dan
dapat menjadi sarana pribadi anak untuk mengkomunikasikan
pengalaman realitasnya kepada orang lain dalam bentuk gerak
6
yang ritmis dan indah. Kegiatan kesenian tidak untuk dinikmati
sendiri oleh pelaku atau penciptanya. Dalam proses menari, baik
penari maupun penata tari mengkomunikasikan pengalaman
pribadinya kepada orang lain, sehingga terjadi komunikasi antara
penari dan penonton, oleh karena itu tari memasuki dimensi
sosial. (Sal Murgiyanto, 2004: 153).
Kegiatan tari selalu membutuhkan bantuan orang lain, yaitu
penari, pemain musik, penata panggung, penata cahya, perias,
penata busana, bahkan penjaga gedung dan pembersih tempat
kegiatan itu diselenggarakan. Dapat dikatakan tari merupakan
kegiatan kesenian yang menjadi wadah sosialisasi anak-anak, dan
menggugah kesadaran posisinya dalam kelompok ketika menari,
secara tidak langsung mereka belajar menempatkan diri di tengah
masyarakat.
2. Pendidikan lahir dan batin Tari klasik gaya Yogyakarta diajarkan atau dipelajari sebagai
dasar pendidikan lahir maupun batin bagi manusia pada
umumnya, khususnya di lingkungan keraton Yogyakarta.
Sumaryono mengatakan bahwa proses belajar tari, sebenarnya
merupakan proses belajar kesenian yang utuh. Suatu proses yang
selalu menempatkan seni pada bingkai kebudayaan. Belajar tari
klasik gaya Yogyakarta merupakan sarana untuk belajar tentang
tata krama, etika, dan kepribadian. (Joan Suyenaga, dkk., 1999:
69). Terutama murid-murid dari mancanegara, mereka mampu
beradaptasi, bertingkah laku secara Jawa dalam pergaulannya
dengan teman-teman peserta kursus tari. Pendidikan secara lahir adalah berhubungan dengan tata-
susila yaitu sopan santun di dalam pergaulan manusia. Selama
belajar tari diberikan paugeran (aturan) tata gerak yang dilatih
secara teratur dan dilakukan seirama dengan ritme gending yang
7
mengiringi. Apabila hal itu dapat dikuasai dengan baik maka
dalam pergaulan sehari-hari, tindak-tanduk atau gerak-geriknya
akan enak dipandang, menyenagkan, dan teratur, sehingga tidak
menimbulkan sifat kaku dan janggal yang menimbulkan perasaan
tidak enak dalam pergaulan. Paugeran dalam tata gerak tari klasik
gaya Yogyakarta disusun berdasarkan penelitian sifat tubuh
manusia yang dapat mewujudkan tata gerak yang luwes dan
indah, maka akan berpengaruh dalam pergaulan sehari-hari.
Dalam proses pembelajaran yang cukup lama dan terus menerus
akan membentuk kepribadian yang tampak pada tingkah laku
yang baik. (Joan Suyenaga, dkk., 1999: 18-19).
Pendidikan secara batin adalah pada kehalusan jiwa, yaitu
kehalusan budi pekerti yang meliputi cara berfikir, pandangan
hidup, dalam kaitannya percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
R.M. Soedarsono dalam sebuah seminar pada tanggal 13
Nopember 2006 menyampaikan makalah yang berjudul “Kearifan
Lokal Dalam Seni Pertunjukan Tradisional” mengatakan bahwa
‘dulu” orang Jawa, lebih-lebih dari golongan aristrocrat selalu
mewajibkan anak-anak mereka belajar menari, dengan belajar tari
Jawa sebenarnya seseorang juga belajar etika, etiket (tatakrama),
bahasa Jawa yang terdiri dari sembilan srtata, dan sastra
terutama sastra pewayangan. Secara tidak langsung nilai-nilai
pendidikan tersebut akan melekat pada pribadi yang melakukan
aktifitas pembelajaran seni tari, hasil pendidikan itu akan
tercermin pada sikap dan perilaku sehari-hari.
Hasil kegiatan pembelajaran tari diimplementasikan pada
pementasan yang bertujuan memberi pengalaman kepada peserta
kursus. Pengalaman pentas diberikan dalam rangka ujian
untuk melanjutkan pada tingkat kelas berikutnya, pertunjukan
dalam rangka memperingati HUT berdirinya organisasi, dan
8
pertunjukan tari untuk wisatawan dalam rangka mendukung
program pariwisata di Yogyakarta. Pengalaman tampil di muka
penonton perlu diberikan pada murid-murid sekaligus sebagai
evaluasi untuk meningkatkan kualitas kemampuan menari.
Mereka dapat menuangkan apa yang telah mereka dapat setelah
mengikuti pembelajaran tari, baik kemampuan teknik tari
maupun kemampuan olah rasa dalam mengontrol diri pada saat
menari di panggung.
Perlu disadari bahwa pembelajaran tari pada pelajaran ekstra
kurikuler di sekolah tidak mencapai hasil yang maksimal, apabila
terbatas pada jam pelajaran di sekolah. Hal ini telah dibuktikan
bahwa para pelajar yang bersedia meluangkan waktu untuk
belajar tari di organisasi tari tampak berhasil lebih baik, setelah
menambah latihan dengan mengikuti kursus tari.
Kelebihan pembelajaran tari pada organisasi tari adalah
kedekatan hubungan guru dan murid adalah untuk membimbing
muridnya agar hasilnya lebih baik. Hubungan yang terjalin itu
tidak sekedar membimbing secara teknis tentang materi tari,
namun kesempatan itu bisa digunakan untuk membimbing siswa
dalam menyampaikan nilai-nilai yang terkandung dalam
pembelajaran tari itu. Manfaat lan dari hasil pembelajaran tari itu
adalah mantan murid-murid dari organisasi tari dapat
mengembangkannya sebagai penari, pengajar atau pengelola
sanggar tari dan menjadi pengajar tari pada lembaga pendidikan
formal TK, SD, SLTP, SLTA, bahkan perguruan tinggi.
3. Seni tari di lembaga pendidikan formal Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan kesenian
atau rasa dengan sendirinya menuju kepada pendidikan
intelektual, dan akhirnya sampai pada pendidikan watak yaitu
pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti. Tujuan
9
pendidikan kesenian adalah mendekatkan peserta didik kepada
sifat-sifat keindahan dalam kehidupan manusia, karena hidup
manusia dalam kebudayaan keseniannya di atas tingkatan hidup
hewani. (Ki Hadjar Dewantara, 2004: 336). Manfaat pendidikan
kesenian yang diperoleh dari lembaga pendidikan formal akan
menghasilkan individu-individu yang mempunyai rasa percaya
diri dan berkepribadian yang baik.
Usaha untuk mempertahankan kehidupan tari klasik gaya
Yogyakarta telah dilakukan oleh seorang pakar di bidang tari
klasik gaya Yogyakarta yaitu K.R.T. Sasmintadipura atau lebih
dikenal dengan panggilan Rama Sas. Ia seorang yang kreatif dan
produktif agar tari klasik gaya Yogyakarta dapat selalu diminati
oleh masyarakat. Rama Sas dikenal sebagai tokoh pembaharuan
dalam perkembangan tari klasik gaya Yogyakarta ia berani
membuat bentuk-bentuk tari dengan durasi penyajian lebih
pendek agar penonton tidak merasa bosan, agar lebih menarik
membuat koreografi tari non dramatik, beksan pethilan, dan
sendratari Ramayana untuk paket wisata. Namun demikian
bentuk-bentuk tari itu tidak meninggalkan paugeran atau norma
pada tari klasik gaya Yogyakarta.
Pada tingkat SD, SLTP, SLTA, SMK, maupun perguruan tinggi
menggunakan tarian ciptaan Rama Sas sebagai materi pelajaran.
Bentuk tari yang digunakan untuk materi pelajaran di sekolah
diterapkan untuk siswa puteri maupun putera. Materi tari puteri
adalah tari golek Surungdayung untuk tingkat SD, tari golek
Kenyotinembe untuk tingkat SLTP, sedangkan tari Golek
Asmaradana untuk tingkat SLTA. Materi putera tari Cantrik atau
Kuda-kuda untuk tingkat SD, tari Klana Raja atau Klana Alus
untuk tingkat SLTP, sedangkan tari Klana Topeng Gagah atau
Klana Topeng Alus untuk tingkat SLTA. Materi tari yang digunakan
10
pada tingkat perguruan tinggi adalah Beksan Srikandi versus
Suradewati, Srimpi Pandelori, Klana Topeng Gagah, dan Klana
Topeng Alus, dan sebagainya.
Pada tahun 1962 berdirilah Konservatori Tari (KONRI) dan
tahun 1963 berdirilah Akademi Seni Tari Indonesia. Sekolah
kejuruan tingkat SLTA dan perguruan tinggi khusus seni tari,
karawitan, dan pedalangan tersebut merupakan usaha para pakar
kesenian agar kesenian dapat dikembangkan menjadi bidang ilmu.
Pada saat itu pula siswa-siswi KONRI dan ASTI menjadi peserta
kursus di organisasi tari klasik gaya Yogyakarta yang ada di
Yogyakarta. Mereka mendukung perkembangan organisasi tari,
karena membantu mereka untuk meningkatkan olah keterampilan
tari dan karawitan.
Pada perkembangan berikutnya kegiatan pada organisasi dapat
digunakan sebagai tempat praktek kerja lapangan bagi siswa
SMKI (sekarang menjadi SMK I Bantul) yang bermanfaat untuk
memberikan pengalaman pada siswa. Mereka perlu belajar dan
melihat secara langsung pada lembaga non formal yang
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran tari, sekaligus
mengetahui tentang manajemen pertunjukan pada sebuah
organisasi tari.
Organisasi tari Yayasan Siswa Among Beksa (YASAB) maupun
Yayasan pamulangan Beksa sasminta Mardawa (YPBSM)
memberikan manfaat pada mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni
Tari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan mahasiswa Jurusan
Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta untuk
menimba belajar tari pada nara sumber tari klasik gaya
Yogyakarta. Mahasiswa mendapat pengalaman untuk
merekonstruksi tarian yang sudah cukup lama tidak dipentaskan
yang dibuat rekaman aoudio fisual, misalnya tari Golek
11
Clunthang, tari Batik, Beksan Srikandi Larasati, Beksan Srikandi
Bisma, Srimpi Pandelori, Srimpi Gambirsawit, Bedaya Angron
Sekar, Bedaya Sangupati, dan sebagainya.
Manfaat yang diperoleh mahasiswa diharapkan tidak hanya
sekedar keterampilan teknik tari saja. Setelah mendapat
bimbingan dari nara sumber yang patut dihandalkan, maka
diharapkan akan mendapatkan pendidikan tentang nilai-nilai
budaya dan wawasan yang lebih luas dari pembelajaran tari yang
diikutinya.
Tari klasik gaya Yogyakarta dapat digunakan sebagai sumber
inspirasi gerak yang bisa dikembangkan menjadi sebuah karya tari
garapan. Aspek lain yang menyertai tarian seperti pakaian yang
dikenakan penari dapat menjadi inspirasi yang dikembangkan
dari sisi seni rupa. Pada pola atau motif bordir baju, dan motif
kain batik yang penuh arti dan filisofi. Sisi lain yang menarik
adalah bentuk dan ukiran (tatahan) pada kulitan yang dikenakan
untuk hiasan kepala seperti irah-irahan, slepe yang dikenakan
sebagai ikat pinggang, sumping yang dikenakan di telinga, kalung,
kelat bahu pada lengan atas, dan sebagainya.
C. Peran Organisasi Tari dalam Industri Pariwisata Yogyakarta sebagai kota budaya semakin marak dengan
industri pariwisata yang menyelenggarakan pertunjukan tari
untuk wisatawan. Pertunjukan tari di hotel-hotel berbintang,
restoran, dan rumah para bangsawan, industri wisata ini saling
bersaing untuk mendatangkan tamu. Pertunjukan tari untuk
wisatawan adalah untuk memenuhi kebutuhan hiburan dan
rekreasi wisatawan yang berkunjung di Yogyakarta.
Hal ini telah diprediksi oleh Alvi Toffler, seorang futuris
kondang dari Amerika Serikat, bahwa zaman modern ini terjadi
pergeseran fungsi kekuasaan di negara-negara bekas jajahan
12
negara-negara Barat. Setelah merdeka, maka bekas kerajaan
yaitu istana-istana di negara berkembang bukan lagi menjadi
sentra politik, namun berubah menjadi objek wisata yang cukup
menarik. Di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,
istana-istana kerajaan Yogyakarta serta kadipaten, selain
arsitektur serta benda-benda kerajaan, dan seni pertunjukannya
menarik perhatian para wisatawan mancanegara maupun
wisatawan Nusantara. (Soedarsono, 1999: 233-237). Pertunjukan
tari istana untuk wisatawan dapat dinikmati di keraton
Yogyakarta setiap hari Minggu pukul 11.00 WIB. Selain keraton
Yogyakarta yang menyelenggarakan kemasan seni pertunjukan
wisata, juga rumah para bangsawan kerabat Sultan, yaitu Dalem
Jayakusuman, Dalem Pujakusuman, dan Dalem Kaneman.
1. Kejayaan Pertunjukan wisata Beberapa tempat yang menyelenggarakan pertunjukan
wisata mengalami pasang surut. Pada tahun 1981 di Dalem
Pujakusuman, dan di Dalem Kaneman tahun 1982 diadakan
pertunjukan sendratari Ramayana untuk wisatawan. Tempat yang
mampu bertahan cukup lama adalah di Pujakusuman sejak 1981
sampai sekarang. Puncak kejayaan Mardawa Budaya (sekarang
YPBSM) dalam menyelenggarakan pertunjukan wisata adalah pada
tahuan 1983-1984 yang mampu mendatangkan penonton 120
turis pada setiap malam pertunjukan. Informasi dari Dinas
Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, menerangkan bahwa
pertunjukan Mardawa Budaya tahun 1981 dikunjungi wisatawan
6000 orang, tahun 1982 dikunjungi 6000 orang, dan tahun 1883-
1984 naik menjadi 10.000.1
1 Kedaulatan Rakyat, “120 Turis Asing Terpesona Pentas Tari
Klasik di Pujakusuman” , 25 Juli 1984.
13
Dalem Pujakusuman sebagai tempat kegiatan pembelajaran
tari klasik gaya Yogyakarta dan pertunjukan sendratari
Ramayana, tempat ini patut dikunjungi oleh wisatawan.
Yogyakarta merupakan kota tujuan wisata nomor dua setelah
pulau Bali. Pertunjukan drama tari Ramayana yang disajikan
selama satu setengah jam telah dikemas dan disajikan sebagai
pertunjukan untuk wisatawan. Untuk itu perlu memperhatikan
kriteria seni pertunjukan untuk wisata yang mempunyai ciri
khusus yaitu, singkat, padat, dan murah. Hal ini perlu
dipertimbangkan dengan memperhatikan kondisi dan selera
wisatawan bahwa wisatawan mempunyai waktu terbatas untuk
menikmati pertunjukan, wisatawan tidak memerlukan bentuk
pertunjukan secara utuh, mereka ingin mempunyai kesan baik
dan menarik dengan pertunjukan yang dilihatnya.
Pada tahun 1981 Mardawa Budaya bekerjasama dengan
Gradika Pariwisata Yogyakarta (GYP) telah berhasil
menyelenggarakan pertunjukan sendratari Ramayana yang
dipadati oleh penonton asing. Pertunjukan itu dimulai pada 4
April 1981, kemudian diselenggarakan setiap hari Rabu, Jumat.
Dalam perkembangannya disampaikan oleh Hasbullah Ashari,
seorang pengurus GYP bahwa lama tinggal seorang wisatawan di
Yogyakarta rata-rata dua hari dan menginginkan mendapatkan
hiburan malam yang bercirikan Yogyakarta.2
Hal itu mendapat perhatian dari GYP, maka akan
diperpanjang dengan meyelenggarakan hiburan malam yang
kontinyu, yaitu pertunjukan di Mardawa Budaya pada hari Senin,
Rabu, dan Jumat. Pengunjung pertunjukan di Pujakusuman
semakin padat pada bulan musim turis bulan Juli dan Agustus.
2 Kompas, “Selalu Tersedia, Pertunjukan Tari Klasik Gaya
Yogyakart”, 9 April 1981.
14
Namun mulai 1990-an jumlah penonton asing mulai menurun,
kemudian pada tahun 1993 GYP melepas kerjasamanya, sehingga
manajemen pertunjukan dikelola secara mandiri oleh YPBSM.
Pihak pengurus dan pendukung pertunjukan membuat
kesepakatan, bahwa untuk sementara seluruh pendukung
mendapatkan honor Rp 2000,- baik ada penonton maupun tidak
sama sekali.3 Pada tahun 1981-1990-an Mardawa Budaya bisa dikatakan
sukses mencapai puncaknya, karena bisa mendatangkan tamu
cukup banyak bahkan penonton rela duduk dilantai sekitar
pendapa Pujakusuman. Namun sejak tahun 1998 gejolak politik
dan perekonomian di Indonesia semakin tidak menentu, maka
berakibat turunnya jumlah wisatawan yang berkunjung di
Indonesia. Hal ini mempunyai dampak pada menurunnya jumlah
pertunjukan untuk wisatawan, sehingga mengurangi pendapatan
bagi yang mempunyai profesi penari di restoran, hotel-hotel
berbintang, maupun pertunjukan untuk wisatawan di Dalem
Jayakusuman dan Dalem Pujakusuman.
2. Pertunjukan wisata di era global Pada tahun 1998 situasi dan kondisi semakin buruk dengan
adanya peristiwa demonstrasi secara besar-besaran yang
menuntut lengsernya Presiden Suharto. Peristiwa itu berakibat
pada semakin menurunnya jumlah wisatawan yang berkunjung
ke Yogyakarta, karena mereka merasa tidak terjamin
keamanannya untuk rekreasi di Indonesia. Pihak penyelenggara
pertunjukan untuk wisatawan hanya mampu mendatangkan
penonton 5-10 orang sampai pada tahun 2006. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan organisasi dalam
3 Pada saat itu tahun 1993 penulis masih aktif sebagai penari di
YPBSM.
15
mengelola manajemen seni pertunjukan, terutama manajemen
pemasaran dan publikasi.
Pertunjukan untuk industri pariwisata ini lama kelamaan
semakin rugi, karena hasil penjualan tiket pada setiap malam
pertunjukan tidak cukup untuk beaya produksi dan memberi
honor yang layak kepada pendukung pertunjukan. Pertunjukan
yang diselenggarakan setiap hari Senin dan Jumat, sejak tahun
1998 tiket untuk menyaksikan drama tari Ramayana seharga @Rp
30.000,-. Setiap malam pertunjukan memerlukan beaya produksi
kurang lebih Rp 600.000,- di antaranya untuk uang lelah
seluruh pendukung pertunjukan 45 orang yang terdiri penari,
pengrawit, dan pembantu pelaksana @. Rp 5.000,-. Hasil
pemasukan dari penjualan tiket tidak cukup untuk beaya
produksi pertunjukan, namun kekurangan beaya produksi dapat
dipenuhi oleh bendahara yang mendapatkan uang dari donator.
Setelah melihat pendapatan dari penjualan tiket tidak mampu lagi
untuk beaya produksi, maka pada bulan Mei 2005 tiket dinaikan
menjadi Rp 50.000.4
Walaupun sudah diupayakan sedemikian rupa, program ini
tidak berhasil mendatangkan penonton yang cukup banyak, yaitu
tidak lebih dari 10 orang. Kecuali secara insidental tamu asing
yang datang menghendaki melihat pertunjukan tari bersama
makan malam, kadang-kadang mereka berjumlah 15 sampai 20
orang. Di zaman sekarang ini perkembangan perekonomian
semakin tidak menentu, beaya hidup semakin mahal, maka sudah
tidak layak lagi pendukung pertunjukan untuk pariwisata
pendapat honor sebesar Rp. 5.000,- setiap pementasan. Sejak
4 Wawancara dengan Ny. Siti Sutiyah ketua YPBSM di rumahnya
Pujakusuman Yogyakarta pada tanggal 3 Mei 2006.
16
peristiwa gempa bumi Mei 2006 pertunjukan sendratari Ramayana
untuk wisatawan dihentikan, karena pendapa dan bangunan
sekitarnya rusak.Oleh sebab itu banyak pihak yang menyarankan
kegiatan itu untuk sementara dihentikan. YPBSM kemudian
memfokuskan pada kegiatan pendidikan yaitu kursus tari yang
sampai sekarang aktif diikuti oleh anak-anak, remaja, dan dewasa,
baik pribumi maupun orang mancanegara.
Kegiatan lain untuk mendukung program pariwisata adalah
mengisi pertunjukan tari di keraton Yogyakarta secara bergantian
dengan organisasi tari lain. Grup tari yang menjadi pendukung
program ini mendapat jadwal pementasan tiga bulan sekali yang
terdiri dari lembaga formal ISI Yogyakarta, SMKI, UNY, dan UKM
UGM Yogyakarta. Organisasi tari klasik gaya Yogyakarta yang lain,
yaitu Yayasan Among Beksa, Yayasan Pamulangan Beksa
Sasminta Mardawa, Surya Kencana, dan Irama Citra.
Sejak tahun 1990-an pertunjukan untuk wisatawan di
keraton Yogyakarta diselenggarakan setiap hari Minggu pukul
11.00 WIB, selama satu setengah jam pertunjukan diawali oleh
tari tunggal putri atau putra, tari berpasangan, dan diakhiri oleh
sendratari Ramayana atau Mahabarata. Beberapa tarian yang
biasanya dipentaskan adalah tari Golek, Srimpi, Klana Topeng
Gagah atau Klana Topeng Alus. Tari berpasangan yang
menggambarkan dua tokoh dengan tema peperangan seperti
Srikandi versus Suradewati, Srikandi versus Bisma, Sudarawerti
versus Sirtupelaeli, Rengganis versus Widaninggar, Anoman versus
Yaksadewa, Gatutkaca versus Suteja, Umarmaya versus
Umarmadi, dan sebagainya.
17
D. Penutup
Pada era global ini kondisi kehidupan seni tari di keraton
Yogyakarta sedang lesu, sehingga memerlukan dukungan dari
lembaga pendidikan formal seperti Sekolah Menengah Kejuruan I
Bantul (SMKI), Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas
Negeri Yogyakarta, dan organisasi tari yang berkembang di luar
keraton Yogyakarta. Yayasan Siswa Among Beksa dan Yayasan
Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa mempunyai persamaan
dalam mencapai tujuan organisasi, yaitu mendidik putra putri
Indonesia dalam bidang kesenian khususnya seni tari klasik gaya
Yogyakarta dan juga seni karawitan, dengan maksud
menanamkan rasa cinta terhadap seni dan budaya bangsa sendiri.
Hal ini akan memperkokoh kepribadian bangsa yang
didukung ileh pribadi generasi muda yang dapat menghargai dan
mencintai budaya bangsa sendiri, sehingga dapat digunakan
sebagai filter dari pengaruh budaya barat. Di sisi lain kedua
organisasi tari tersebut bertujuan untuk melestarikan dan
mengembangkan seni tari klasik gaya Yogyakarta dengan tujuan
untuk meneruskan nilai-nilai budaya dan artistik kepada generasi
penerus.
K.R.T Sasmintadipura sebagai ketua organisasi tari
Mardawa Budaya dan YPBSM sejak 1962-1996 memegang
peranan yang sangat penting dalam melestarikan tradisi tari klasik
gaya Yogyakarta. Namun demikian Rama Sas panggilan akrab
K.R.T. Sasmintadipura tetap berorientasi pada perkembangan
jaman, artinya segala sesuatu harus mampu memenuhi
kebutuhan meski misi utamanya pelestarian5. Dalam konteks ini
ia telah mengembangkan materi pelajaran tari yang memenuhi
5 Sastrataya MSPI, Rama Sas, Pribadi, Idealisme, dan Tekadnya
(Bandung: Sastrataya MSPI, 1999), 30
18
norma tradisi klasik yang menjadi lebih mudah dipelajari oleh
siswa-siswinya sesuai dengan generasi jaman ini. Lembaga
pendidikan formal pada tingkat sekolah dasar, menengah maupun
perguruan tinggi menggunakan materi tari yang diperoleh di
organisasi tari sebagai materi pelajaran seni tari.
Begitu pula penuturan R.M. Dinu Satama selaku pimpinan
Yayasan Siswa Among Beksa bahwa seorang pimpinan sebuah
organisasi mempunyai peranan sangat penting dan bertanggung
jawab dengan kelangsungan hidup organisasi, secara profesional
menghimpun dana dan mempunyai loyalitas di masyarakat. Upaya yang telah dilakukan oleh kedua organisasi tari
tersebut untuk mencapai tujuan organisasi, yaitu
menyelenggarakan kegiatan kursus tari, mengadakan pertunjukan
tari sebagai hiburan masyarakat, membuat dokumentasi
mengenai tari klasik gaya Yogyakarta, menyusun deskripsi tari,
menyediakan kaset rekaman iringan tari, dan rekaman yang
berupa video audiovisual agar tari klasik gaya Yogyakarta lebih
dikenal oleh masyarakat.
Tari ciptaan Rama Sas menjadi populer untuk materi
pelajaran di sangaar tari maupun pada lembaga pendidikan
formal, yaitu tari Golek Surungdayung, Golek Kenyotinembe, Golek
Asmaradana Bawaraga, Beksan Srikandi versus Suradewati, Klana
Alus, dan Klana Raja. Tidak hanya di lingkungan pendidikan,
siapa saja bisa mempelajari tarian tersebut karena kaset iringan
tari yang diproduksi oleh Borobudur Record dan Samudra Record
telah dijual bebas di toko-toko kaset.
Mantan siswa-siswi yang pernah aktif dalam organisasi tari
mampu mengembangkan menjadi penari, pengajar tari di sanggar
tari, maupun pengajar di lembaga pendidikan formal. Bisa
19
dikatakan jumlah yang tak terhitung lagi guru-guru tari yang
tersebar di seluruh Indonesia bahkan sampai ke luar negeri.
Usaha yang telah dilakukan Yayasan Siswa Among Beksa
dan Yayasan Pamulangan Beksa Sasmintadipura beserta
pendukungnya, memberikan secercah harapan bahwa tari klasik
gaya Yogyakarta tidak akan punah. Anak-anak, remaja, dan
dewasa baik dari kalangan pelajar maupun masyarakat umum
berminat mengikuti pendidikan pada kedua organisasi tari
tersebut ini.
Tujuan untuk melestarikan bagi Rama Sas adalah diawali
dari rasa handarbeni atau merasa memiliki, dengan kecintaan
penuh maka akan timbul niat supaya tari klasik gaya Yogyakarta
ini langgeng hidup sepanjang masa. Dijelaskan pula oleh Ny. Siti
Sutiyah istri Sasmintadipura bahwa bagaimanapun kondisi
YPBSM, ia akan berusaha meneruskan cita-cita Rama Sas untuk
selalu melestarikan dan mengembangkan tari klasik gaya
Yogyakarta.
Dua organisasi tari itu telah mengembangkan tari klasik
gaya Yogyakarta baik pengembangan dalam arti menciptakan
bentuk-bentuk baru maupun pengembangan untuk menyebar
luaskan. Istilah mengembangkan adalah menambah
perbendaharaan elemen gerak, ragam, iringan, dan tata
busananya. Pengembangan sebagai pendukung pelestarian artinya
suatu pengembangan harus tetap berpegang pada sumber
pokoknya, sehingga hasil pengembangan masih tetap terasa nafas
denga apa yang dikembangkan, tidak menyimpang dari norma
yang ada6. Kaset iringan tari klasik gaya Yogyakarta yang dijual di
toko kaset kebanyakan adalah iringan tari dari organisasi tari
Mardawa Budaya pimpinan Rama Sas. Yayasan Siswa Among
6 Sastrataya MSPI, 22
20
Beksa menjual kaset iringan tari hanya untuk lingkungan sendiri
artinya belum diproduksi oleh studio rekaman, dan Yayasan ini
telah menjual CD rekaman sendratari Ramayana dalam beberapa
episode yang tersedia di toko Mirota Batik. Pelaku seni baik sebagai seniman, guru, pengelola
organisasi tari, maupun pelaku birokrasi di pemerintahan
selayaknya mempunyai rasa tanggung jawab bersama dan kompak
dalam menghadapi tantangan kelangsungan hidup tari klasik
gaya Yogyakarta. Pengelola organisasi tari hendaknya mempunyai
kemampuan manajemen secara profesional. Walaupun mengelola
seni pertunjukan tradisional, namun perlu menerapkan
manajemen secara profesional agar organisasi mampu hidup dan
berkembang sepanjang zaman sesuai dengan perubahan
masyarakatnya.
KEPUSTAKAAN
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.
Joan Suyenaga, dkk., Rama Sas. Pribadi, Idealisme, dan
Tekadnya. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan,
1999.
Kayam, Umar. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan,
1981.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1987.
______________. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN. Balau Pustaka,
1984.
21
Lindsay, Jennifer. Klasik, Kitsch, Kontemporer: Sebuah Studi
Tentang Seni Pertunjukan Jawa.Terj. Nin Bakdi Sumanto.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990.
Soedarsono, R.M. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Dan Seni
Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan, 1999.
______________. Wayang Wong Drama tari Ritual Kenegaraan di
Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1997.
______________. Seni Pertunjukan Dan Pariwisata. Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan, 1999.
_____________. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
_____________. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan
Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.
_____________. Makalah yang berjudul “Kearifan Lokal Dalam Seni
Pertunjukan Tradisional” Pada Seminar Seni Pertunjukan
Dalam Rangka Festival Seni Pertunjukan Internasional,
dengan tema “Art To The Earth: Bringing Traditionalns to
Light” PPPG Kesenian Yogyakarta, pada tanggal 13
Nopember 2006.
Soemaryatmi. “ Kehadiran Tari gaya Surakarta di Daerah Istimewa
Yogayakarta”. Tesis untuk memperoleh Strata S-2 Pada
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1998
Sumardjan, Selo. “Kesenian Dalam Perubahan Kebudayaan” Dalam
Analisis Kebudayaan”. Jakarta: Pendidikan dan
Kebudayaan, 1980/1981.
Sumaryono. Restorasi Seni Tari Dan Transformasi Budaya.
Yogyakarta: ELKAPI, 2003.
22
Supadma. “Festival Sendratari: Suatu Pengamatan Dalam Wacana
Dialektika”. Tesis untuk memperoleh Strata S-2 Pada
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2003.
Tati Narawati, Tari Sunda, Dulu, Kini, dan Esok. Bandung: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional
Universitas Pendidikan Indonesia, 2005.
Wibowo, Fred, ed. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta.
Yogyakarta: Dewan Kesenian Yogyakarta, 1981.
Kedaulatan Rakyat, “120 Turis Asing Terpesona Pentas Tari Klasik di
Pujakusuman” , 25 Juli 1984. Kompas, “Selalu Tersedia, Pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakart”, 9
April 1981.