PERNIKAHAN SEDARAH (INCEST TABOO) DALAM
PRESPEKTIF HUKUM ISLAM, UU NO 1 TAHUN 1974 DAN
SOSIOLOGI
(Studi Kasus Atas Tiga Keluarga)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Muh Khoerudin
Nim: 21112035
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
2017
i
ii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Penagajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan Hormat, Setelah dilaksanakan bimbingan, arahan
dan koreksi,maka naskah skripsi mahasiswa
Nama : Muh Khoerudin
NIM : 211-12-035
Judul :PERNIKAHAN SEDARAH (INCEST TABOO)
PRESPEKTIF HUKUM ISLAM, UU NO.1 TAHUN
1974 DAN SOSIOLOGI (STUDI KASUS ATAS TIGA
KELUARGA)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diajukan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Salatiaga, 13 Februari 2017 Pembimbing
Sukron Ma’mun, S.Hi, M. Si. NIP. 197904162009121001
iii
KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH
Jl. Nakula Sadewa
iv
PERYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini
Nama : Muh Khoerudin
Nim : 211-12-035
Jurusan : Ahwal al Syakhshiyyah
Fakultas : Syari’ah
Judul Skripsi : PERNIKAHAN SEDARAH (INCEST TABOO)
PRESPEKTIFHUKUM ISLAM DAN SOSIOLOGI(STUDI
KASUS ATAS TIGA KELUARGA)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini benar-benar merupakan hasil karaya
sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapat dalam skripsi saya ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 13 Februar2017
Yang Menyatakan
Muh Khoerudin
NIM: 21112035
v
MOTTO
Yakinlah Bahwa Setiap Usaha Pasti Akan
Sampainya Pada Tujuan
vi
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta
karunian-Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Bapak dan Ibuku tercinta, Bapak Muhamad Basthoni dan Ibu Siti Amanah
yang telah mencurahkan segenap kasih sayangnya , do’anya serta segala
dukungannya dalam setiap langkah-langkahku.
Adikku tersayang Maftukhatus Salisah
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirahim
Alhamdulillahhirobbil Alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ PERNIKAHAN
SEDARAH (INCEST TABOO) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, UU
NO 1 TAHUN 1974 DAN SOSIOLOGI (STUDI KASUS ATAS TIGA
KELUARGA)
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Agung nabi
Akhiruzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta
pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah
yang membawa umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman terang
benderang dan semoga kita semua mendapatkan Syawaatnya nanti di yaumul
qiyamah, Amin yarobbalalamim.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan bayak terima kasih kepada:
1. Dr . Rahmat Haryadi , M.Pd. , selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dra. Siti Zumrotun, M, Ag. , Selaku Dekan Fakultas Syariah
3. Sukron Ma’mun, M. Si, selaku Ketua Jurusan AhwalAL Syakhshiyyah
dan juga selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas membimbing,
viii
mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya untuk penulis
sehingga skripsi ini terselesaikan.
4. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat
bermanfaat.
5. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyelesaian skripsi ini
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat menbangun sangat penulis
harapkan. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, serta pembaca pada umumnya. Amin.
Salatiga, 13 Februari 2017
Muh Khoerudin
ix
ABSTRAK
Khoerudin, Muh. 2017. Pernikahan Sedarah (Incest Taboo) Dalam Prespektif
Hukum Islam Dan Sosiologi (Studi Kasus Atas Tiga Keluarga). Skripsi, Jurusan
syariah, Program Studi Hukum keluarga Islam, Institut Agama Islam Negeri
Salatiga. Dosen Pembimbing: Sukron Ma’mun, S.Hi, M.Si.
Kata Kunci: Pernikahan, Sedarah (incest taboo).
Penelitian ini berusaha menguak fenomena perkawinann terlarang yang
terjadi di masyarakat, salah satunya adalah perkawinan sedarah yang ditemukan
dibeberapa keluarga. Dalam penelitian ini meneliti tiga keluarga. Pertayaan utama
yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana dinamika
pernikahan sedarah (incest taboo) ? (2) Bagaimana prespektif hukum Islam, UU
No 1 Tahun 1974 dan sosiologi terkait pernikahan yang demikian? Untuk
menjawab pertayaan tersebut maka peneliti menggunakan metode kualitatif.
1. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dinamika atau potret keluarga
pernikahan sedarah sama seperti keluarga lainya atau keluarga normal pada
umumnya.
2. Tinjauan Hukum
a. Tinajuan hukum Islam tentang pernikahan sedarah yang dilakukan pada
penelitian ini yaitu pernikahan kakak dengan adik itu tidak boleh
dilakukan dan pernikahan antar sepupu boleh dilakukan berlandaskan
Surat An-Nisa 4 ayat 23 dan KHI.
b. Pernikahan kakak dengan adik dan Paman dengan Keponakan tidak boleh
dilakukan menurut UU No 1 Tahun 1974 pasal 8, sedangkan antar sepupu
boleh karena tidak tercantum dalam larangan pernikahan UU No 1 Tahun
1974
c. Menurut tinjauan sosiologi pernikahan sedarah yang diteliti tidak boleh
dilakukan semua karena mereka merupakan kerabat dekat dan di Hukum
Sosiologi ada larangan adanya pernikahan antar kerabat dekat.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i
HALAMAN BERLOGO .................................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN NASKAH SKRIPSI ......................................................... iv
HALAMAN PERYATAAN KEASLIAAN TULISAN ................................................... v
HALAMAN MOTTO ....................................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... viii
ABSTRAK ........................................................................................................................ x
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
E. Penegasan Istilah .......................................................................................... 5
F. Kerangka Teori ............................................................................................ 7
G. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
H. Metodologi Penelitian .................................................................................. 12
a) Jenis Penelitian ..................................................................................... 12
b) Sumber Data ......................................................................................... 12
xi
c) Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 13
d) Teknis Analisis Data ............................................................................. 14
I. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 15
BAB II Pernikahan Sedarah Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Sosiologi
A. Pengertian Pernikahan ............................................................................... 17
B. Hukum Melakukan Pernikahan ................................................................. 19
C. Tujuan Pernikahan ..................................................................................... 21
D. Rukun dan syarat Pernikahan .................................................................... 23
E. Mahar ......................................................................................................... 27
F. Syarat-Syarat Perkawinan Dalam Hukum Positif ..................................... 27
G. Pernikahan Yang Dilarang Dalam Tinjauan Fiqih dan Undang-
Undang Perkawinan di Indonesia .............................................................. 28
1. Pernikahan Yang Haram Dinikahi Untuk Selamanya .......................... 28
2. Pernikahan Yang Haram Dinikahi Untuk sementara ............................ 31
3. Larangan Perkawinan Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1994
Pasal 8 ................................................................................................... 31
4. Larangan Perkawinan Dalam Hukum KHI ........................................... 32
H. Pernikahan Dalam Tinjauan Sosiologi ...................................................... 35
BAB III Profil Keluarga Pernikahan Sedarah
A. Profil Pasangan Sedarah Antara Budi Dan Asti .......................................... 41
B. Profil Pasangan Sedarah Antara Iksan Dan Mariah ..................................... 46
C. Profil Pasangan Sedarah Antara Samiun Dan Maryati ................................ 52
xii
BAB IV Analisis Dinamika Perkawinan Sedarah dan Analisis Prespektif Hukum
Islam, UU No 1 Tahun 1974 dan Sosiologi
A. Keharmonisan Perkawinan Sumbang ..................................................... 55
1. Dinamika Pasangan Budi dan Asti .................................................. 55
2. Dinamika Pasangan Iksan dan Mariah ............................................ 57
3. Dinamika Samiun Dan Maryati ....................................................... 58
B. Analisis Hukum Islam dan Sosiologi Perkawinan Sedarah .................. 60
1. Analisis Hukum Islam ..................................................................... 60
2. Analisis Hukum Positif UU No 1 Tahun 1974 dan KHI ................. 63
C. Analisis Sosiologi......... ......................................................................... 67
BAB V A. Kesimpulan.................. ......................................................................... 69
B. Saran.......................... ......................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiii
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan mahluk di dunia ini semuanya dengan berpasang-
pasangan tidak terkecuali manusia yang dipasangkan antara laki-laki dan
perempuan yang didasari dengan rasa cinta dan kasih sayang sesuai dengan
firman Allah SWT pada Surat Arum ayat 21 :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Qs. ArRuum : 21)
Hukum Islam menjelaskan bahwa untuk menyatukan dua insan yang
berlainan jenis maka ditempuh jalan berdasarkan ketentuan Allah yang terdapat
dalam syariat Islam yaitu jalan pernikahan. Pernikahan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha Esa. (Sudarsono,2005:9)
Di dalam Islam seorang laki-laki dapat menikahi satu sampai empat wanita
yang sudah dijelaskan Allah pada surat An-Nisa ayat 3 yang artinya “Maka
1
nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja”.
Dari ayat An-Nisa ayat 3 dapat diambil kesimpulan bahwa seorang laki-
laki bebas menikahi wanita sampai empat orang, asalkan dapat berlaku adil
kepada semua istrinya. Akan tetapi di dalam syariat Islam tidak semua wanita
boleh dinikahi oleh seorang laki-laki atau haram untuk dinikahi salah satu
sebabnya adalah karena sebab pertalian darah. Hal ini sudah di jelaskan Allah
SWT dalam surat An- Nisa 4 ayat 23 :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An Nisa : 23 )
2
Akan tetapi pada kenyataanya masih ada beberapa orang yang melakukan
pernikahan yang sudah diharamkan oleh Allah SWT. Wanita yang dialarang
dinikahi oleh Allah SWT dibagi menjadi dua bagian yaitu wanita yang haram
dinikahi untuk sementara dan haram dinikahi untuk selamanya. Sebab wanita
yang haram dinikahi untuk selamanya salah satunya adalah mempunyai hubungan
darah yang sudah dijelaskan pada ayat An-Nisa 4 ayat 23 diatas. Walaupun dalam
Al Qur’an tidak disebutkan dengan jelas mengapa pernikahan sedarah itu
dilarang, akan tetapi dalam penelitian sebelumnya yang membahas tentang incest
mengemukakan bahwa pernikahan sedarah dapat menimbulkan atau
mengakibatkan keturunan yang abnormal. Dalam sosiologis pernikahan sedarah
disebut incest taboo.
Dalam pernikahan sedarah pada umunya ke dua belah pihak sudah saling
mengenal lebih lama bahkan sejak kecil, sehingga hubungan diantara mereka
lebih akrab dari pada pasangan yang mengenal pasangannya hanya dengan waktu
yang singkat, sehinnga pasangan sedarah dapat lebih memahami sifat dan karakter
masing-masing dalam berumah tangga atau justru sebaliknya dengan keakrabanya
pasangan rumah tangga sedarah itu menjadi tidak harmonis setelah menikah.
Sehinnga penulis ingin meneliti tentang hal itu.
Ada beberapa kasus pernikahan sedarah yang dilakukan oleh beberapa
orang yang akan diteliti oleh penulis, apakah pasangan pernikahan yang dilakukan
oleh pasangan tersebut boleh atau tidak apabila ditinjau dari segi hukum islam,
UU No 1 Tahun 1974 dan sosiologis.
3
Untuk itu penulis merasa tertarik untuk menulis mengenai hal tersebut.
Permasalahan tersebut menjadikan dasar bagi penulis untuk melakukan studi
kasus dengan judul PERNIKAHAN SEDARAH ( INCEST TABOO) DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, UU NO 1 TAHUN 1974 DAN SOSIOLOGI.
(Studi Kasus atas 3 Keluarga)
B. Rumusan Masalah
Dari beberapa masalah tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana dinamika pernikahan incest taboo?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam, UU No 1 Tahun 1974 dan Sosiologi
terkait tentang pernikahan yang demikian ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Bagaimana dinamika pernikahan incest taboo.
2. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam, UU No 1 Tahun 1974 dan
sosiologi terkait tentang pernikahan yang demikian.
D. Manfaat Penelitian
a) mamfaat teoriritik untuk memberikan penjelasan teori hukum Islam dan
Sosiologi tentang masalah keluarga yang diteliti, jika pada nantinya
muncul masalah yang sama.
b) Manfaat untuk praktisi seperti Hakim, Ulama, untuk menambah ilmu
pengetahuan atau wawasan mengenai pernikahan sedarah untuk dapat
menjadi tambahan ilmu dalam menghadapi persoalan pernikahan yang
sama.
4
c) Manfaat untuk masyarakat umum untuk memberikan pengetahuan bagi
masyarakat yang kurang mengetahui tentang pernikahan sedarah, agar
masyarakat tidak melakukan dan mencegah terjadinya pernikahan sedarah.
E. Penegasan Istilah
Untuk memepermudah pemahaman mengenai penelitian ini,penulis akan
mengemukakan definisi istilah-istilah yang terkandung dalam judul skripsi
ini,sehingga tidak menimbulkan kerancuan. Skripsi ini berjudul PERNIKAHAN
SEDARAH (INCEST TABOO) DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM, UU
NO 1 TAHUN 1974 DAN SOSIOLOGI (Studi Kasua atas 3 Keluarga).
1. Pernikahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pernikahan adalah
Perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran
agama.
Pernikahan adalah melakukan aqad (perjanjian) antara calon suami
istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana suami istri
dengan mengikuti norma-norma, nilai-nilai sosial dan etikad
agama.(Asmawi, 2004:17)
Pernikahan adalah akad yang menghalalkan kedua belah pihak
laki-laki dan perempuan untuk bersenang-senang antara satu dengan yang
lainya.(Takariawan, 2009:1)
5
2. Pernikahan Sedarah
Pernikahan sedarah sering disebut juga incest yaitu hubungan
saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang
memiliki ikaatan keluarga (kekerabatan) yang dekat.
3. Incest Taboo
Menurut kamus sosiologi incest taboo atau tabu inset adalah suatu
larangan terjadinya inset atau hubungan sumbang. (Poetra, 1992:195)
Incset taboo atau tabu incest adalah larangan hubungan seks antara
kerabat langsung, seperti orang tua, anak dan saudara. (Haviland, 1985:79)
4. Hukum Islam
Hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan Alqur’an dan Hadist.
Hukum islan adalah kekuatan untuk mendorong umat islam untuk
mematuhi atau tunduk kepadanya(Allah). (Roibin, 2010: 8)
Hukum islam adalah satu-satunya konsep untuk menggambarkan
islam sebagai suatu fungsi konsep syari’ah atau syar yang mempunyai
banyak aspek. (Roibin, 2008:15)
Hukum islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian
dari agama islam. (Ali, 2011:24).
5. Sosiologis
Sosiologis adalah Ilmu yang mempelajari struktur sosial, proses
sosial termasuk perubahan-perubahan sosial dan masalah-masalah sosial.
(Soekanto, 1993:469)
6
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari sifat keadaan dan
pertumbuhan masyarakat (kehidupan manusia dalam masyarakat).
(Poerwadatminto, 2006:1142)
F. Kerangka Teori
Untuk sahnya suatu akad nikah, disyaratkan agar tidak ada larangan-
larangan pada diri wanita tersebut untuk dikawini. Artinya, boleh dilakukan akad
nikah terhadap wanita tersebut. Larangan-larangan itu menjadi dua bagian: karena
hubungan nasab dan karena sebab (yang lain). Larangan yang pertama ada tujuh
macam dan itu menyebabkan keharaman untuk selama-lamanya. Sedangkan yang
kedua ada sepuluh macam yang sebagian menyebabkan keharaman untuk
selamanya, dan sebagian lagi hanya bersifat sementara.
Larangan karena nasab: Para Ulama Mazhab sepakat bahwa wanita-wanita
tersebut di bawah ini haram dikawini karena hubungan nasabnya:
a) Ibu, termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu.
b) Anak-anak perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki
atau anak perempuan, hingga keturunan di bawahnya.
c) Saudara-saudara perempuan, baik saudara seayah, seibu, maupun
seayah dan seibu.
d) Saudara perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan
nenek dari pihak ayah dan seterusnya.
e) Saudara perempuan ibu, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek
dari pihak ibu dan seterusnya.
7
f) Anak-anak perempuan saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya.
g) Anak-anak perempuan saudara perempuan hingga keturunan di
bawahnya.Dalil yang dijadikan pijakan adalah (QS, 4:23).
Adapun yang dilarang karena sebab lain adalah berikut:
a) Karena Ikatan Perkawinan (mushaharah)
a) Seluruh mazhab sepakat bahwa isteri ayah haram dinikahi oleh
anak ke bawah, semata-mata karena adanya akad nikah, baik
sudah dicampuri atau belum.
b) Seluruh mazhab sependapat bahwa isteri anak laki-laki haram
dikawini oleh ayah ke atas, semata-mata karena akad nikah.
c) Seluruh mazhab sepakat bahwa ibu istri (mertua wanita) dan
seterusnya ke atas adalah haram dinikahi karena semata-mata
adanya akad nikah dengan anak perempuannya, sekalipun
belum dicampuri.
d) Anak tiri, Imamiyah, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa
keharaman hanya terjadi setelah dicampuri. Menyentuh,
memandang dengan birahi dan sebagainya tidak berpengaruh.
Sementara itu Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa
menyentuh dan melihat dengan birahi menyebabkan
keharaman, persis seperti mencampuri.
8
e) Menyatukan dua wanita “muhrim” sebagai istri, seluruh
mazhab sependapat dalam hal mengawini dua wanita
bersaudara sekaligus.
f) Mengawini anak hasil zina, Syafi’i dan Maliki berpendapat
seorang laki-laki boleh mengawini anak perempuannya dari
hasil zina. Karena secara syar’i bukan muhrim dan di antara
mereka berdua tidak saling mewarisi. Sementara itu, Hanafi,
Imamiyah dan Hambali menyatakan anak perempuan hasil zina
itu haram dikawini sebagaimana keharaman anak perempuan
yang sah. Sebab, anak perempuan tersebut merupakan darah-
dagingnya sendiri. Dari segi bahasa dan tradisi masyarakat dia
adalah anaknya sendiri. Tidak diakuinya sebagai anak oleh
syar’i dari sisi hukum waris berarti ia bukan anak kandungnya
secara hakiki, namun yang dimaksud adalah menafikan akibat-
akibat syar’i-nya saja misalnya hukum waris dan memberi
nafkah. (Mughniyah,1994:30-37)
G. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan sekripsi ini, penulis merujuk pada penelitian
sebelumnya:
Yang pertama berjudul Pengaruh Pernikahahn Sedarah Terhadap
Keturunan (Studi Analisis Tafsir Sains Dalam QS An-Nisa:23)karya
Thalichati diterbirkan oleh IAIN Wali songo pada 26 Mei 2015. Penelitian
ini mengemukakan tentang mengapa dalam Al Qu’ran sampai
9
mengharamkan pernikahan sedarah dan mengaitkanya dengan ilmu sains
untuk mengetahui bagaimana hasil keturunann prernikahan sedarah.
Penelitian ini menggunakan penelitian Tafsir Ilmiy yaitu memahami Al
Qur’an melalui pendekatan sains modern. Hasil penelitian ini adalah
dalam pernikahan diharapkan bisa memperluas hubungan kekeluargaan,
jadi tidak ada urgensi apabila menikahi kerabat dekat sendiridan
perkawinan yang dilakukan antar keluarga cenderung menghasilkan
keturunan abnormal.
Skripsi yang ke dua berjudul Kedudukan Anak Hasil Perkawinan
Incest Dalam Perspektif Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia
karya Anif Rahmawati diterbitkan UIN Sunan Kalijaga pada 2012. Latar
belakang penelitian ini tentang hukum agama dan perundang-undangan
yang ada di indonesia telah mengatur sedemikian rupa tentang tata cara
perkawinan tapi pada kenyataannya masih banyak penyimpangan yang
terjadi yang salah satunya adalah pernikahan sedarah. Dalam penelitian ini
penulis mencari bagaimana kedudukan anak hasil perkawinan incest
perspektif perundang-undangan perkawinan indonesia dan akibat hukum
yang timbul dari kedudukan anak hasil incest. Penelitian ini menggunakan
kepustakaan (Library Research), hasil penelitian ini adalah kedudukan
anak hasil perkawinan incest menurut perundang-undangan perkawinan
Indonesia adalah tetap sebagai anak sah dari kedua orang tuanya.
Sedangkan akibat hukum yang ditimbulkan adalah: nasab anak tersebut
disandarkan kepada kedua orang tuanya, anak tersebut juga mendapatkan
10
hak nafkah, hadanah, dan hak waris sama seperti yang didapatkan seorang
anak yang mempunyai kedudukan sebagai anak sah.
Skripsi sebelumnya yang ketiga berjudul Status Hak Waris Anak
Dari Pernikahan Sedarah Perspektif Fiqeh Kontemporerkarya Mustofa
Ali diterbitkan Universitas Islam Negeri Maulan Malik Ibrahim Malang
pada 2010. Latar belakang penelitian ini tentang terdapat beberapa hal
yang menjadikan pernikahan tidak sah dimata hukum diantaranya jika
syaratnya tidak terpenuhi, hubungan sedarah juga merupakan alasan dapat
dibatalkanya suatu ikatan pernikahan dan pernikahan itu sudah
menghasilkan anak. Sedangkan pernikahan sedarah itu dilarang oleh
berbagai hal, apakah anak itu berhak dinasabkan kepada orang tuanya dan
anak tersebut mendapatkan hak-haknya atau tidak. Penelitian ini
menggunakan kepustakaan (Library Research), hasil penelitian ini adalah
pernikahan sedarah dilarang karena berbagai akibat negatif yang muncul
dari aspek medis psikologi serta sosiologis bagi anak dan keluarganya.
Terkait dengan kedudukan anak, tetap mendapatkan hak-haknya.
Walaupun pernikahan itu sedarah tapi anak itu tetap terlahir dari
pernikahan yang sah.
Skripsi sebelumnya yang keempat berjudul Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Larangan Perkawinan Antar Canggah Sedarah Di Desa
Maryarejo Kabupaten Gresik karya Abdur Rohim diterbitkan oleh
Universitas Islam Negri Sunan Ampel pada 2014. Data penelitian
11
dihimpun melalui teknik dokumentasi beberapa buku yang berdasarkan
dengan subyek penelitian dan wawancara langsung dengan subyek
penelitian. Hasil penelitian ini adalah bahwa larangan perkawinan antar
canggah sedarah adalah perkawinan yang terjadi antara keturunan ke
empat dengan keturunan ke empat yang masih mempunyai hubungan
darah dan apabila ditarik garis lurus ke atas keduanya akan bertemu dalam
satu keluarga. Adapun dasar itu menyimpang dari peraturan perundang-
undangan indonesia tentang larangan perkawinan seperti dalam KHI pasal
39 Dan pasal 1 tahun 1974 di pasal tersebut bahwa larangan menikah antar
canggah tidak termasuk larangan pernikahan.
H. Metodologi Penelitian
a) Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara
holisti, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa.
Penelitian kualitatif digunakan oleh peneliti bermaksud meneliti
sesuatu secara mendalam. (Moleong,2009:6-7)
b) Sumber Data
Menurut Lofland (1984) yang dikutip dari Moleong (2009:157)
sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan.
12
Selebihnya adalah datatambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber
data penelitian ini sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari pihak pertama berupa
hasil wawancara dengan subjek penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data pendukung yang membantu peneliti
dalam melakukan proses penelitian, dalam penelitian ini penulis
menggunakan ayat-ayat Al Qu’ran dan hadist-hadist tentang pernikahan
sedarah.
3. Data Tersier
Data tersier merupakan data penunjang yang dapat memberi
petunjuk terhadap data primer dan sekunder. Dalam hal ini data tersier
yang digunakan adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia
c) Teknik Pengumpulan Data
a) Wawancara
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik
wawancara mendalam (in dept interview). Dengan wawancara
mendalam, bisa digali apa yang bersembuyi di sanubari
seseorang apakah yang menyangkut masa lampau, masa kini
maupun masa sekarang. (Bungin, 2010:67)
13
Yang diwawancarai dalam penelitian ini dapat tentangga
yang akan diteliti, kerabat dekat, tetangga atau kepada pasangan
yang bersangkutan.
b) Observasi
Observasi adalah pengamatan mengoptimalkan kemampuan
peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak
sadar, kebiasaan, dan sebagainya, pengamatan memungkinkan
pengamat untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek
penelitian.(Moleong, 2009:175)
c) Telaah Dokumen
Dokumen yang dimaksud adalah segala catatan baik
berbentuk catatan dalam kertas (Hard Copy) maupun
elektronik(Soft Copy). Dokumen dapat berupa buku ,artikel,
media masa, catatan harian, manifesto, undang-undang notulen,
blok, halaman web, foto, dan lainya.(Sarosa, 2012:61)
d) Teknis Analisis Data
Analisis data ini dilakukan dalam suatu proses. Proses
berarti pelaksanaanya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan
data dilakukan dan dikerjakan secara intensif sesudah
meninggalkan lapangan penelitian.(Moloeng, 2009:281)
14
I. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, penegasan istilah, kerangka teori, kajian pustaka, metodelogi
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II PERNIKAHAN SEDARAH DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM,
UU NO 1 TAHUN 1974 DAN SOSIOLOGI
Bab ini berisi tentang gambar pernikahan sedarah menurut hukum islam
atau hukum pasti yang digunakan disni adalah Al Qur’an, Hadits dan buku
fiqeh Islam tentang pernikahan yang terkait, meliputi syarat dan rukun
pernikahan, pengertian pernikahan sedarah, wanita-wanita yang tidak boleh
dinikahi. Bab ini juga berisi pandangan hukum Sosiologis tentang pernikahan
incest taboo atau sedarah.
BAB III PROFIL KELUARGA PERNIKAHAN SEDARAH
Bab ini berisi tentang profil pasangan-pasangan yang melakukakan incest
atau penggambaran tentang pasangan incest yang meliputi incest apa yang
dilakukan pasangan yang akan diteliti, latar belakang menikah, kehidupan
setelah menikah dan semua tentang pasangan incest akan digali di bab ini.
BAB IV ANALISIS DINAMIKA PERNIKAHAN SEDARAH DAN
ANALISIS PRESPEKTIF HUKUM ISLAM, UU NO 1 TAHUN 1974 DAN
SOSIOLOGI
Bab ini membahas tentang dinamika atau potret pernikahan incest taboo
yang dilakukan oleh tiga pasangan dan Analisis pernikahan incest taboo
15
tentang boleh tidaknya incest yang dilakukan oleh pasangan-pasangan yang
akan diteliti apabila ditinjau dari hukuk islam yaitu hukum Islam, Undang-
Undang no 1 tahun 1974, dan Sosiologi.
BAB IV KESIMPULAN
Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
16
BAB II
Pernikahan Sedarah Dalam Tinjauan Hukum Islam, UU No 1 Tahun 1974 Dan Sosiologi
A. Pengertian Pernikahan
Dalam Alquran, perkawinan disebut dengan an-nikah ( انكا ح) dan
az-zawaj/az-ziwaj yang terambil dari kata zawwaja-yuzawwiju-tazwijan
dalam bentuk timbangan “fa’ala –yufa’ilu-taf’ilan yang secara harfiah
berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai
dan memperistri.
Adapun yang dimaksud dengan nikah dalam kontek syar’i seperti
diformulasikan para ulama fiqeh, terdapat rumusan yang satu sama lain
berbeda-beda.Menurut ulama Hanafiah, “nikah adalah akad yang
memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang–
senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita,
terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut
sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau
titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih
kenikmatan (seksual) semata-mata”.Oleh mazhab Syafi’iah, nikah
dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh
dengan menggunaka redaksi (lafal) “inkah atau tazwij atau turunan
(makna) dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan
nikah dengan “akad” yang dilakukan dengan menggunakan kata inkah
atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang).
17
Masih dalam kaitan dengan definisi perkawinan (pernikahan)
tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam
kaitan ini Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991
Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: “ Pernikahan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Definisi ini tampak jauh lebih representatif dan lebih jelas serta
tegas dibandingkan dengan definisi perkawinan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang merumuskan sebagai berikut: “Perkawinan menurut
hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah”.
Alquran menjuluki pernikahan dengan mitsaqan ghalizan, janji
yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan
perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai
perempuan (istri). Karena pernikahan yang sudah dilakukan harus
dipertahankan kelasungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu
dimungkinkan (dibolehkan) dalam islam, tetapi Rasulullah SAW
menjulukinya sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah. Dan itulah pula
sebabnya mengapa dalam akad nikah harus ada saksi minimal dua orang di
samping wali nikah meskipun tentang status hukumnya apakah dia sebagai
18
rukun atau hanya tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan oleh para
ulama(fuqaha). (Summa, 2004: 42-50)
Dalam pandangan islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah
dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti: menurut qudrat dan iradat Allah
dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti sesuatu tradisi
yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk
umatnya.(Syarifuddin, 2003: 76)
B. Hukum Melakukan Perkawinan
Meskipun pada dasarnya islam menganjurkan kawin, namun
apabila ditinjau dari keadaan yang melaksanaanya, perkawinan dapat
dikenai hukum wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
1. Perkawinan yang wajib
Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah
mempunyai keinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban
dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran, apabila tidak kawin
akan mudah tergelincir untuk bernuat zina.
Alasan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: apabila
menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib, padahal bagi seseorang
tertentu penjagaan diri itu hanya terjamin dengan jalan kawin, maka
bagi orang itu melakukan perkawinan hukumnya adalah wajib.
19
2. Perkawinan yang sunnat
Perkawinan hukumya sunnat bagi orang yang telah
berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan
untuk melaksanaan dan memikul kewajiban dalam perkawinan, tetapi
apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina.
Alasan hukum sunnah ini diperoleh dari ayat-ayat Alqur’an
dan hadits-hadist nabi sebagaimana telah disebutkan dalam hal Islam
menganjurkan perkawinan di atas kebanyaka ulama’ berpendapat
bahwa beralasan ayat-ayat Alqur’an dan hadits-hadits nabi itu, hukum
dasar perkawinan adalah sunnat.
3. Perkawinan yang haram
Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum
berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanaan
dan memikul kewajiban-kewajiban hidup perkawinan, hingga apabila
kawin juga akan berakibat menyusahkan istrinya. Hadits nabi
mengajarkan agar orang jangan sampai berbuat yang berakibat
menyusahkan diri sendiri dan orang lain.
4. Perkawinan yang makruh
Perkawinann hukumnya makruh bagi seorang yang mampu
dalam segi materiil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama
hingga tidak khawatir akan terseret dalam perbutan zina, tetap
20
mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-
kewajibannya terhadap istrinya, meskipun tidak akan berakibat
menyusahkan piha istri, misalnya calon istri tergolong orang kaya atau
calon suami belum mempunyai keinginan untuk kawin.
Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan
dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada
Allah dan semangat bekerja dalam bidang ilmiah, hukumya lebih
makruh dari pada yang telah disebutkan di atas.
5. Perkawinan yang mubah
Perkawinan hukunya mubah bagi orang yang mempunyai
harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat
zina dan andai kata kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-
nyiakan kewajibanya terhadap istreri. Perkawinan dilakukan sekedar
untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan
membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama. (Basyir,
1996: 12-14)
C. Tujuan Pernikahan
Ada beberapa tujuan dari disyari’atkanya pernikahan atas umat
Islam. Di antaranya adalah:
1. mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkann generasi yang akan
datang. Hal ini terlihat dari surat An-Nisa’ (4) ayat 1:
21
Artinya: Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang
menjadikan kamu dari diri yang satu dari padanya Allah menjadikan istri-istri dan dari keduanya Allah menjadikan anak keturunan nyang banyak, laki-laki dan perempuan.(juga dalam jumlah yang banyak. dan bertakwalah kamu kepada allah yang dengan mempergunakan namanya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah hubungan silaturahmi sesungguhnya allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS An-Nisa:1)
2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup
dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat
Al-Rum ayat 21 yang telah dikutip di atas. Adapun di antara hikmah
yang dapat ditemukan dalam perkawinan itu adalah menghalangi mata
dari melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara’ dan menjaga
kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual.
(Syarifuddin,2003:80-81)
Undan-Undang Perkawinkan menyebutkan tujuan perkawinan
yakni ”membentuk keluarga (rumah tangga) bahagiadan kekal,”
sementara KHI yang memuat tujuan perkawinan secara tersendiri
dalam pasal 3 lebih menginformasikan nilai-nilai ritual dari
perkawinan seperti terdapat dalam kalimat: “untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah”. Padahal rata-rata kitab
hadis hukum dan fiqih memasukkan bahasa munakahat (perkawinan)
22
dalam kitab (bab) muamalah dalam kitab (bab) ibadah. Ini
menunjukkan bahwa aspekk muamalah dalam perkawinan jauh lebih
menonjol dari pada aspek ibadah sungguhpun di dalamya memang
terkandung pula nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam
perkawinan.(Summa, 2004: 47)
Sedangkan menurut (Basyir,1996:11) tujuan pernikahan adalah
untuk memenuhi tuntunan naluriah manusia, berhubungan antara laki-
laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga
sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.
D. Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun dan syarat menentukan suatu hukum terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya. Rukun syarat perkawinan itu
adalah segala yang harus terwujud dalam suatu perkawinan, baik yang
menyangkut unsur dalam, maupun unsur luarnya.
Unsur pokok sutu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang
akan kawin, akad perkawinan iti sendiri, wali yang melangsungkan akad
dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya
akad perkawinan itu dan mahar. Para ulama jumhur menetapkan akad,
kedua mempelai, wali si perempuan dan saksi sebagai rukun dari
perkawinan, yang bila tidak ada salah satu diantaranya perkawinan itu
tidak sah. Sedangkan mahar ditempatkan sebagai syarat dalam arti tidak
menentukan kelansungan akad nikah, namun harus dilaksanakan dalam
23
masa perkawinan. Untuk setiap unsur atau rukun itu berlaku pula beberapa
syarat.
1. Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak
yang berakad dalam bentuk ijab dan qabul.Ijab penyerahan dari
pihak pertama, sedangkan Qabul adalah penerimaan dari pihak
kedua. Syarat-syarat akad adalah :
a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
Yang melakukan ijab boleh dari pihak laki-laki boleh pula dari
pihak wali perempuan.
b. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si
perempuan secara lengkap dan bentuk mahar.
c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa
terputus walaupun sesaat.
d. Ijab dan qabul mesti menggunnakan lafaz yang jelas danterus
terang.
e. Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan lafaz yang
mengandung maksud membatasi perkawinan untuk masa
tertentu.
2. Syarat laki-laki perempuan yang nikah
a. Keduanya jelas keberadaanya dan jelas identitasnya.
b. Keduanya sama-sama beragama islam.
c. Antara keduanya tidak terlarang melagsungkan perkawinan.
24
d. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan
perkawinan.
3. Wali Nikah
Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam
suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak
laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan
pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Keberadaan seorang
wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali,ini adalah pendapat
jumhur ulama. Hal ini berlaku untuk semua perempuan, yang dewasa
atau masih kecil, masih perawan atau sudah janda.
Orang-orang yang berhak menjadi wali, jumhur
ulma’membagi wali itu kepada dua kelompok:
1. Wali dekat atau wali qarib yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah
pindak kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang
mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkanya. Ia
dapat mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia
muda tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali
dekat kedudukan seperti ini disebut wali mujbir.
2. Wali jauh atau wali ab’ad. Yang menjadi wali jauh ini secara
berurutan adalah:
25
a) Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada
b) Saudar laki-laki seayah, kalu tidak ada pindah kepada
c) Anak saudar laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah
kepada
d) Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada
e) Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada
f) Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada
g) Anak paman seayah
h) Ahli waris kerabat lainya
i) Sultan atau wali hakim yang memegang wilayah umum.
3. Syarat-syarat menjadi wali
a) Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau
orang gila tidak berhak menjadi wali.
b) Laki-laki.
c) Orang merdeka
d) Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih
e) Berfikir baik.
f) Adil dalm arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar
g) Tidak sedang melakukan ihram
4. Syarat-syarat menjadi saksi
a) Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang
b) Kedua saksi itu adalah beragama islam
c) Kedua saksi itu adah orang merdeka
26
d) Kedua saksi itu laki-laki
e) Kedua saksi itu adil
f) Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat
E. Mahar
Mahar atau yang disebut juga shadaqah ialah pemberian khusus laki-
laki kepada perempuan yang melangsungkan perkawinan pada waktu akad
nikah.(Syarifuddin,2003:87-97)
F. Syarat-syrat perkawinan dalam hukum positif
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan, sesorang belum mencapai umur
21(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
27
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atau permintaan orang tersebut dapet dari memberi izin setelah lebih
dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal
ini.(Sudarsono,2005:40)
G. Pernikahan yang dilarang dalam tinjauan Fiqih dan UU di Indonesia
Perkawinan yang dilarang dalam islam itu adalah menikahi
perempuan-perempuan yang diharamkan oleh Allah untuk dinikahi yang
sudah dijelaskan Allah dalam Al Qur’an S. An-Nisa : 22-24 menyebutkan
macam-macam perempuan yang haram dinikahi oleh laki-laki, sebagai
berikut: ibu tiri (janda ayah), ibu, anak perempuan, saudara perempuan,
bibi(saudara perempuan ayah), keponakan(anak perempuan,saudara
perempuan), ibu susunan, saudara perempuan sesusuan, mertua(ibu
isteri)anak tiri, apabila ibunya sudah dicampuri(sebelumnya ibunya
dicampuri apabila berpisah, anak tiri dapat dikawini), menantu(isteri anak
kandung), mengumpulkan dua perempuan bersaudara sebagai isteri dan
perempuan yang dalm ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.
Dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut, perempuan yang haram dinikahi
dapat di bagi menjadi dua bagian yaitu perempuan yang haram dinikahi
untuk selamanya dan haram untuk sementara yang dijelaskan oleh Basyir
dalam bukunya Hukum Islam, 1996: 28-31 yaitu
1. Perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya.
28
Sebab-sebab perempuan haram dinikahi selamanya ada empat macam.
a. Karena hubungan nasab.
1) Ibu, yang dimaksud adalah perempuan yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas, yaitu ibu,
nenek garis ayah atau ibu dean seterusnya ke atas.
2) Anak perempuan, yang dimaksud adalah perempuan yang yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah, yaitu anak perempuan,cucu perempuan, (dari anak laki-
laki perempuan), piyut perempuan dan seterusnya ke bawah.
3) Saudara perempuan kandung(seayah dan seibu).
4) Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu kandung, seayah
atau seibu dan seterusnya ke atas.
5) Keponakan perempuan, yaitu anak saudara laki-laki atau
perempuan dan seterusnya ke bawah.
b. Karena hubungan susuan.
1) Ibu susuan, ibu yang menyusui seorang anak dipandang
sebagai ibu anak yang disusuinya.
2) Nenek susuan,yaitu ibu dari ibu susuan dan ibu dari suami ibu
susuan.
3) Keponakan perempuan susuan yaitu cucu-cucu dari ibu susuan
sebab mereka itu dipandang anak dari saudara-saudara
perempuan.
29
4) Saudar perempuan sesusuan, baik seayah seibu, seayah saja
atau seibu saja.
c. Karena hubungan semenda.
1) Mertua, yaitu ibu kandung isteri.
2) Anak tiri, dengan syarat telah terjadi persetubuhan antara
suami dengan ibu si anak.
3) Menantu, yaitu isteri anak, isteri cucu dari anak laki-laki
seterusnya kebawah.
4) Ibu tiri, yaitu janda ayah tanpa syarat pernah terjadi
persetubuhan antara suami dan isteri.
d. Karena sumpah li’an
Apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa
saksi yang cukup, maka sebagai gantinya adalah suami
mengucapkan persaksiaan kepada Allah bahwa ia di pihak yang
benar dalam tuduhanya itu, sampai empat kali dan yang
kelimanya menyatakan bersedia menerima laknat Allah.
Ketentuan tersebut diperoleh dari Al Qur’an S. An-Nur:6-9.
Setelah suami isteri mengucapkan sumpah li’an(sumpah laknat)
itu, maka terjadilah perceraian antara mereka yang berakibat
haram nikah antara mereka berdua untu selamanya.
30
2. Haram dinikah untuk sementara
a. Mengumpulkan antara dua perempuan besaudara menjadi isteri.
Apabial berpisah dengan saudara yang satu dan baru menikahi
saudaranya diperbolehkan.
b. Perempuan dalam ikatan laki-lakilain yang sudah dijelaskan
dalam surat An-Nisa’ ayat 24.
c. Perempuan yang ditalak tiga kali, boleh rujuk apabila istrinya
menikah dulu dengan laki-laki lain. Setelah itu boleh rujuk
kembali.
d. Perkawinan orang yang sedang ihram, baik melakukan akad nikah
untuk diri sendiri atau bertindak sebagai wali atau wakil orang
lain. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Utsman bin Affan
mengajarkan: “Orang yang sedang menjalani ihram tidak boleh
menikah, tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh meminang.”
Nikah orang yang yang sedang menjalani ihram apabila terjadi
juga, dipandang batal dan tidak mempunyai akibat hukum.
e. Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik dengan
perempuan pelacur atau perempuan dengan laki-laki pezina, tidak
dihalalkan kecuali masing-masing menyatakan taubat.
3. Larangan perkawinan di atas juga diatur dalam Undang-Undang No 1
Tahun 1974 pasal 8, ditegaskan bahwa: Perkawinana dilarang antara
dua orang yang akan menikah
31
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
ataupun ke atas
b. Berhubungan darah dalam garis ketutunan menyamping yaitu
antar saudara. Antrara seseorang dengan saudara tua dan antara
seseorang dengan saudara nenenknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak atiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan saudara susuan anak
susuan dan bibib atau paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal seseorang suami beristri lebih dari
seseorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanaya atau peraturan air
yang berlaku dilarang kawin.(Sudarsono,2005:46).
4. Larangan perkawinan juga diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum
Islam) pada pasal 39 yang menyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan:
a. Kareana Pertalian Nasab:
1) Dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkanya
atau keturunannya.
2) Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
3) Dengan seorang wanita saudara yang melahirkan.
32
b. Karena pertaliaan kerabat semenda.
1) Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas
istrinya.
2) Dengan seorang wanita bekas istri orang yang
menurunkanya.
3) Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya,
kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas
istrinya itu qabla al dukhul.
4) Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
c. Karena pertalian susuuan
1) Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut
garis lurus ke atas.
2) Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut
garis lurus ke bawah.
3) Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan
susuan kebawah.
4) Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenenk bibi
sesusuan ke atas.
5) Dengan anak yang disusui istrinya dan keturunannya.
Pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita dengan keadaan:
1) Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu
perkawinann dengan pria lain.
33
2) Seorang wanita yang berada dalam masa iddah dengan pria
lain.
3) Seorang wanita yang tidak beragama islam
Pasal 41 :
a) Seorang pria dilaramg memadu istrinya dengan seorang
wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau
sesusuan dengan istrinya. Saudara sekandung seayah, seibu
atau keturunananya.
Pasal 42 :
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai (4)
empat seorang isteri yang keempatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam masa iddah talak raj’i.
Pasal 43, dilarang melangsungkan pernikahan antara seora pria dengan:
a) Seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.
b) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang di li’an.
Pasal 44 :
Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama islam.
34
H. Pernikahan sedarah dalam tinjauan Sosiologi.
Secara sosiologi, perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup
yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antar
anggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam
lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau
kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.
Menurut Koentjaraningrat perkawinan disebut sebagai masa
peralihan dari level hidup remaja ke level hidup membangun rumah
tangga. Didalam budaya manusia, perkawinan merupakan pengatur
tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kebutuhan biologis. Sesudah
menjalankan perkawinan, keluarga baru ini akan tinggal pada sebuah
tempat tinggal atau rumah bersama. Pendapat dari J.A. Barnes, terdapat
berbagai adat menetap setelah selesai melaksanakan perkawinan yang
berlaku pada umumnya dimasyarakat di seluruh penjuru dunia. Walaupun
begitu, adat menetap ini akan beradaptasi dengan sistem persaudaraan
yang dianut atau berlaku oleh sebuah golongan masyarakat yang terkait
dengan itu. (http/-perkawinan-dalam-kajian-sosiologi.68031, 1 Maret 2017
Jam10:27).
Di dalam ilmu sosiologi ada larangan melakukan incest (hubungan
seksual dengan kerabat dekat) Cercaan keras tentu ditunjukan pada
ketidakabsahan karena incest. Hal itu melanggar pantangan incest yang
secara umum terdapat di semua masyarakat, yang melarang adanya
hubungan seks antara keluarga inti kecuali antara suami dan istri.
35
Peraturan tersebut memaksa yang muda pada tiap generasi untuk
meninggalkan keluarga inti untuk mendapatkan pasangan. Dengan
demikian masyarakat di buat lebih terikat, karena banyak hubungan
terbentuk antara keluarga-keluarga yang jika tidak demikian akan terbalik
kedalam diri sendiri. Keistimewaan atau penemuan-penemuan suatu
keluarga akan dikeluarkan atau dibagi-bagikan lebih meluas dalam
keluarga. Persaingan seks dihilangkan dari keluarga inti, yang jika tidak
akan menimbulkan perpecahan.
Anak hasil hubungan incest menimbulkan persoalan khusus dalam
soal penempatan sosial karena kedudukannya demikian kacau, sama
halnya dengan orang tuanya, jika anak itu dilahirkan dari hubungan anak
perempuan dengan ayahnya, maka ibunya merupakan kakak
perempuannya. Ayahnya kawin dengan neneknya, dan ayahnya dan
ayahnya itu juga kakeknya. Kakanya (setengah kakak) juga pamanya
(yaitu kakak ibunya). Kekacauan yang serupa juga timbul jika anak itu
merupakan keturunan dari hubungan saudara perempuan dengan suadara
lelakinya, atau hubungan ibu dengan anak laki-laki, sudah jelas
perkawinan seperti ini akan memperburuk keadaan keluarga. Perkawinan
yang sedemikian itu dilarang dan bagaimana juga tidak akan
menyelesaikan kesemprawutan antar anggota keluarga. Yang merupakan
unsur penting dalam pengaertian ketidakabsahan ialah penempatan sang
anak.(Goode,2002:48-50).
36
Semua masyarakat sepanjang waktu dalam sejarahnya sepanjang
waktu dalam sejarahnya telah merumuskan peraturan, yang disebut tabu
incest, yang melarang hubungan seksual antar keluarga yang masih
berhubungan dekat. Sifat universal dari peraturan itu telah mempesona
para ahli antropologi dan para sarjana perilaku manusia lainya. Dalam
semua masyarakat yang dikenal, hubungan seksual antara orang tua dan
anak dilarang dan (dengan beberapa kekecualian) juga antar saudara.
Telah menjadi masalah yang penting bagi para ahli antropologi untuk
menerangkan mengapa incest harus selalu dipandang sebagai sesuatu yang
begitu menjijikkan.
Banyak penjelasan yang telah dikemukakan salah satu yang pernah
populer yang paling sederhana dan paling tidak memuaskan didasarkan
atas “kodrat manusia” (human nature) – yaitu perasaan perasaan ngeri
yang instingtif terhadap incest,juga sudah terbukti bahwa mahluk manusia
yang dibesarkan bersama –sama kehilangan daya tarik seksualnya yang
satu kepada yang lain, tetapi argumen itu sendiri hanyalah sekedar
menetapkan akibat di tempat sebabnya. Tabu incest menyebabkan anak
dan orangtuanya, yang terus menerus berhubungan erat, menahan diri
untuk saling memandang sebagai objek seksual. Di samping itu, kalu ada
rasa ngeri instingtif terhadap incest, kita akan menghadapi kesulitan besar
untuk menerangkan pelanggaran yang tidak jarang terjadi terhadap tabu
incest, seperti yang terjadi dalm masyarakat kita sendiri atau kasus-kasus
37
incest yang dilembagakan, seperti yang mengharuskan kepala kekaaisaran
Inca untuk kawin dengan saudaranya sendiri.
Bermacam-macam penjelasan psikologis pernah dikemukakan
pada waktu-waktu tertentu. Sigmund Freud mencoba menerangkanya
dalam teori psikoanalisisnya tentang bawah sadar. Si anak lelaki
mengingini ibunya sendiri dan menimbulkan persaingan dengan ayahnya.
Ia harus menahan perasaan itu, kalau tidak, ia akan menghadapi
kemarahan ayahnya yang jauh lebih kuat dari padanya.daya tarik anak
perempuan kepada ayahnya atau Komplek Electra, membuat menjadi
saingan ibunya.. Teori Freud dapat dipandang sebagai penjabaran sebab-
sebab yang mendalam dari perasaan jijik terhadap hubunganm seksual di
dalam keluarga.
Studi-studi tentang perilaku binatang menunjukkan adanya tedensi
umum di antara jenis-jenis binatang yang relatif besar, berumur
panjang,lamban menjadi dewasa, dan intelegensinya tinggi. Dilihat dari
segala segi,manusia memenuhi memenuhi syarat untuk dimasukkan ke
dalam kelompok ini.Demekian juga sejumlah primata lain, termasuk yang
paling dekat dengan manusia yaitu simpanse, meskipun tidak banyak yang
mengenal larangan seksual, simpanse memang cenderung menghindari
perkawinan sedarah antar saudara dan antara binatang betina dengan
anaknya yang jantan. Dengan demikian barangkali tedensi anak-anak
manusia untuk mencari pasangan seks di luar kelompok bukan hanya
akibat dari tabu incest saja.(Haviland,1985:78-79)
38
Penjelasan mengenai perbuatan sumbang, meskipun banyak teori
mengenai penghindaraan sumbang, sesungguhnya semua itu termasuk
dalam salah satu dari dua tipe dasar ini: teori sosial-budaya dan teori
biologi. Penjelasan sosial budaya yang terkenal telah dikemukakan oleh
Malinowski (1972), Parson (1945), dan Levi-Staruss (1969). Malinowski
menandaskan bahwa hubungan-hubungan seks di kalangan anggota-
anggota keluarga batih akan membuat keluarga batih itu sebagai kawan
kecemburuan dan konflik yang mendidih, sehingga akan mengancam
untuk menghancurkan organisasi dasarnya. Karena itu perbuatan sumbang
dilarang agar dapat memelihara kesatuan dan intergritas keluarga batih itu
sebagai suatu yunit sosial yang mendasar.
Argumen yang sama juga dikemukakan oleh Parsons.
Ditandaskanya bahwa perbuatan sumbang akan mengganggu kesetabilan
keluarga batih karena menjurus kepada kacaunya peranan dan timbulnya
kesulita-kesulitan dalam mensosilisasikan anak-anak. Salah satu dari teori
yang terkenal itu ialah yang dikembangkan oleh Claude Levi-Strausss.
Argumen Levi-Strauss ialah bahwa adanya tabu perbuatan sumbang
menandai berlalunya umat manusia dari keadaan alamiah ke keadaan
kebudayaan. Dengan dilarangnya hubungan seks dan perkawinan di antara
kerabat dekat, masyarakat manusia memaksakan orang mencari pasangan
di luar keluarga sendiri. Hal ini akan menjurus kepada terbentuknya
ikatan-ikatan atau”aliansi-aliansi” di antara beberapa kelompok manusia,
39
sehingga memungkinkan orang-orang itu hidup damai antara yang satu
dengan yang lainya.
Teori-teori biologis tentang perbuatan sumbang sering mengambil
titi tolak ialah kepercayaan bahwa perkawinan sumbang akan menjurus
kepada lahirnya sejumlah besar anak yang cacat secara genetik yang tak
dapat diterima. Teori ini kadang-kadang menyatakan bahwa tingginya
frekuensi kawin di kalangan sendiri pada manusia akhirnya akan menjurus
kepada kemusnahan manusia melalaui pertambahan sejumlah besar cacat
genetik.(Sanderson,2010:444-445)
Fenomena perbuatan incest berpasangan antara saudara laki-laki
dan saudara perempuan, dan antara ayah dan anak perempuan rupa-
rupanya umum diterima di Mesir pada zaman Ptolemaeus dan masa di
bawah kekuasaan Romawi dan diantara orang-orang Azande di Afrika
beberapa aris tokrat diperbolehkan memelihara anak perempuan dan
saudara perempuan mereka sebagai gundik, meskipun mereka tidak boleh
sampai mengandung. Ada beberapa kasus incest dinasti misalnya di Mesir,
Peru, dan Hawaii dahulu di mana saudara laki-laki dan perempuan
keluarga kerajaan yang dianggap mendekati kedudukan dewa-dewa
dipertemukan sebagai pasangan untuk menjaga kesucian garis keturunan
raja-raja.(Keesing, 1981:17).
40
BAB III
PROFIL KELUARGA PERNIKAHAN SEDARAH
A. Pasangan Sedarah Antara Budi Dan Asti.
Budi dan Asti adalah salah satu contoh dari pasangan pernikahan
sumbang di Desa Ringin agung RT 05 RW 03 Salatiga. Pernikahan yang
dilakukakan oleh Budi dan Asti adalah incest antara seorang kakak kandung
mengawini adik kandungnya sendiri.
Budi terlahir dari pasangan Bapak Suhadi dan Ibu Darmi. Budi
merupakan anak pertama dari Ibu Darmi dan Pak Suhadi. Budi lahir pada
tahun 1960, Budi beragama Islam, mempunyai tinggi badan kurang lebih 160
cm, berambut agak bergelombang dan berkulit putih. Pendidikan terakhir yang
ditempuh Budi hanya sampai kejenjang SD. Saat ini Budi bekerja sebagai
penjaga sekolah di Sebuah Sekolah Dasar di Salatiga.
Asti merupakan anak kedua dari Pak Suhadi dan Ibu Darmi , yang
sekaligus menjadi adik dari Budi. Asti lahir di Salatiga pada tahun 1963. Asti
tinggal di dan besar di Ringin agung Salatiga,Asti berjenis kelamin
perempuan, beragama Islam, mempunyai tinggi badan kurang lebih 145 cm,
berambut lurus dan berkulit putih. Pendididikan terakhir yang ditempuh oleh
Asti hanya samapai tingkat SMP. Sekarang Asti bekerja sebagai penjahit baju
di rumahnya sendiri.
Pada masa kecil Budi dan Asti dibesarkan sama-sama oleh kedua orang
tuanya. Pada waktu kecil mereka bermain dan berhubungan selayaknya
seorang kakak beradik seperti hubungan kakak beradik pada umunya. Tidak
41
ada kejanggalan yang terlihat di antara mereka bahwa kelak mereka akan
saling mencitai dan menyanyai sebagai seorang Suami dan Istri.
Asti dan Budi menikah pada tahun 1978 yang dilakukan dirumah
mereka sendiri. Pernikahan mereka dilaksanakan diam-diam dikarenakan
pernikahan mereka tidak banyak diketahui oleh para tetangganya. Pernikahan
Budi dan Asti tidak dicatatatkan kedalam buku pencatat pernikahan yang sah
oleh negara melaikan hanya pernikahan siri atau hanya secara agama.
Walaupun pernikahan mereka dilaksanakan dengan diam-diam akan
tetapi kabar pernikahan mereka tersebar luas dari mulut-kemulut, bahkan
berita pernikahan mereka sampai tercantum dalam sebuah koran lebih tepatnya
yaitu koran Suara Merdeka.
Sebab mereka menikah dikarenakan Budi dan Asti itu tidurnya tidak
dipisah atau satu ranjang, sehingga memicu hubungan seks di antara mereka.
Sesuai dengan peryataan Mbah Giyanto yaitu tetangga dari Budi dan Asti,
ketika saya bertanya tentang sebab terjadinya pernikahan sumbang ini, beliau
menjawab:
“ Iyo, margane Budi ro Asti ki seko cilik turune ura dipisah sak umah lan sak kasur. Wong jenenge menungso turu bareng mesti yo ono pikiran sek neko-neko, asale menungsoki gone syahwat pertama sek lanang demek sek wedok kroso penak sek didemek yo kroso penak. Selot suwe hubungan kakang adi kui dadi koyo bojo. Lan akhir e Budi ro Asti kui duwe anak seko hubungane cah loro kui”.(wawancara Pak Giyanto,7 Oktober2016).
Terjemah dari wawancara di atas :
(Iya, sebabnya Asti dan Budi itu dari kecil tidurnya tidak dipisah satu
rumah dan sat keranjang sampai remaja, namanya juga manusia pasti ada
42
pikiran yang aneh-aneh dan asalnya manusia itumemang tempatnya syahwat.
Pertama yan laki-laki pegang yang perempuan merasa enak dan yang dipegang
juga merasakan enaklalu lama kelamaan hubungan kakak beradik itu seperti
suami istri. Dan pada akhirnya Budi Dan Asti memiliki anak dari hubungan
mereka berdua).
Reaksi tetangga-tetangga Budi dan Asti ketika mengetahui bahwa
mereka memiliki anak dari hubungan merek bermacam–macam antara lain
reaksi dari Bapak Giyanto pada saat saya bertanya kepada beliau apa
tanggapan Pak Giyanto beliau menjawab: Pak Giyanto,7 Oktober 2016 : Aku
yo ra ngiro mas, aku krungu kabar kui, langsung kaget aku mas. Lha wong
loro kui nak karo tonggo-tonggo yo terkenal apek, kok iso ngelakokke hal seng
ko ngono.
Terjemahan: ( Saya ya tidak mengira mas, saya mendengar kabar itu,
langsung kaget saya mas. Lha mereka itu terkenal kalau tetangga-tetangganya
juga terkenal baik, kok bisa melakukan hal seperti itu).
Reaksi ke dua dari Mbah Tarom 9 Oktober 2016: Pertamane aku reti Budi
karo Asti duwe anak aku yo kaget, yo ra percoyo, lha kakang adi kok duwe
anak, eh jebule kok tenan kakang adi kui bebojoan.
Terjemahan : ( Pertamanya saya mengetahui Budi dan Asti memeiliki
anak, saya ya kaget, ya gak percaya. Lha kaka beradik kok punya anak, eh
teryata beneran menjadi suami istri).
43
Pada umumnya reaksi masyarakat di tempat Asti dan Budi itu kaget
dan tidak percaya tentang hal itu. Tetpai para masyarakat ditempat itu tidak
begitu memperdulikan tentang hal itu, karena sistem masyarakat di tempat iru
“ nak ura dijiwet yo kene ra bakal jiwit” (apabila perbuatan orang itu (Budi
dan Asti) tidak merugikan para tetangga di sekitarnya, maka mereka juga tidak
memperdulikan tentang hal itu).
Kehidupan Asti dan Budi setelah menikah tidak mengalami perubahan
apa-apa.Mereka malah terlihat romantis dan mereka pun tidak mempunya rasa
malu akan hal yang sudah Asti dan Budi lakukakan. Hubungan antara Asti dan
Budi biasa saja selayaknya hubungan suami istri normal, mereka juga tetap
berinteraksi biasa saja terhadap masyarakat sekitarnya seperti sebelum mereka
melakukan incest.
Budi dan Asti dikaruniani 3 (tiga) orang anak dari hubungan mereka
yaitu satu anak laki-laki dan dua permepuan. Anak pertama dari Budi dan Asti
yaitu bernama Wawan. Sekarang Wawan berumur 38 (tiga puluh delapan)
tahun. Wawan terlahir dengan keadaan abnormal atau cacat, Wawan terlahir
dengan bentuk mata yang tidak normal dan bentuk kepala yang kurang normal
agak lonjong selain itu Wawan juga mengalami kecacatan mental. Walaupun
keadaan Wawan cacat akan tetapai Wawan tetap mau berintereksi dengan
masyarakat di sekitarnya. Dengan keadaan wawan yang seperti itu, sampai
sekarang wawan belum bekerja dan belum mempunyai istri.
Anak kedua (2) berjenis kelamin perempuan yang bernama Ratna,
jarak Ratna dan Wawan tidak terpaut jauh hanya berselisih dua tahun sekarang
44
Ratna berumur (36) tiga puluh enam tahun, Ratna juga terlahir dengan dalam
keadaan abnormal seperti halnya Wawan akan tetapi Ratna cacat pada bagian
mata dan kurang normal. Ratna juga tidak dapat bekerja dan belum
mempunyai suami sampai saat ini, akan tetapi walaupun Ratna dan Wawan
terlahir cacat tapi mereka tetap mau berinteraksi dengan masyarakat sekitar
Anak ke 3 (tiga) dari Budi dan Asti juga berjenis kelamin
perempuan, yang bernama Lia. Sekarang Lia berumur 34 (tiga puluh empat)
tahun , Lia terlahir berbeda dengan kakak-kakaknya. Lia terlahir ndengan
keadaan normal seperti wanita biasa. Lia juga menempuh sampai kejenjang
perguruan tinggi jurusan keperawatan dan Lia saat ini bekerja menjadi PNS(
Pegawai Negri Sipil) ) di sebuah RSU menjadi suster. Walaupun Lia tidak
terlahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan akan tetapi Lia dapat menjadi
PNS, dikarenakan paman dari Lia pada saat itu menjadi Lurah pada masa itu,
sehingga paman tersebut bisa memanipulasi data dari Lia sehingga Lia dapat
mendapatkan surat-surat yang akan dibutuhkan oleh Lia.
Lia juga saat ini mempunyai keluarga yang utuh, Lia mempunyai
suami dan anak dan sekarang Lia tinggal bersama suami dan anak-anaknya.
Bagan Keluarga Budi dan Asti
Suhadi Darmi
Budi Asti
Wawan Ratna Lia
(anak pertama) (anak kedua) (anak ketiga)
45
B. Pasangan Iksan dan Mariah
Iksan dan Mariah adalah adalah pasangan lain yang melakukan
pernikahan sedarah. Incest yang dilakukan oleh pasangan ini adalah paman
menikahi ponakan. Pernikahan tersebut terjadi di Desa Gentan RT 02 RW
08Kecamatan Bringin Kab. Semarang. Iksan lahir dari pasangan Pak Munir
dan Ibu Asiyah pada tanggal 23-Agustus 1969 dan sekarang umur Iksan
adalah 46 (empat puluh enam) tahun. Iksan beragama Islam, mempunyai
tinggi badan kurang lebih 150 cm, mempunyai rambut lurus, agak gemuk dan
berkulit tidak terlalu putih. Iksan menempuh pendidikan hanya kejenjang SD
setelah itu Iksan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren sampai lulus dan
sekarang Iksan bekerja sebagai petani.
Mariah merupakan keponakan dari Iksan, Mariah terlahir dari Pak
Shodaqoh dan Ibu Robiah. Mariah lahir pada tanggal 15 Mei 1981sekarang
Mariah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun. Mariah beragama Islam,
mempunyai tinggi badan kurang lebih 140 cm, mempunyai rambut lurus,
berbadan kurus dan memiliki kulit putih. Mariah menempuh pendidikan hanya
sampai tingakt SMP . setelah lulus SMP Mariah melanjutkan pendidikannya
ke Pondok pesantren dan sekarang juga bekerja sebagai petani.
Iksan dan Mariah menikah pada tahun 2000 setelah Mariah mengandung
anak dari Iksan. Mereka menikah di Sumatera karena di sana tidak ada yang
mengetahui bahwa Iksan dan Mariah memeiliki satu garis keturunan yaitu
anatara keponakan dan paman. Akan tetapi walaupun di Sumatera tidak
46
mengetahui tentang hal itu Iksan dan Mariah tetap melakukan pernikahannya
dengan tidak dicatatkan ke KUA atau hanya menikah secara agama.
Sebelum Iksan melakukan incest tersebut, Iksan sudah mempunyai 3
(tiga) istri. Istri pertama dari Iksan yaitu bernama Murtiah yang berasal dari
Dusun Taruman Desa Truko, dari perkawinan anatara Iksan dan Murtiah tidak
dikaruniani seorang anak dan rumah tangga mereka berakhir dengan
perceraian. Alasan percerain mereka karena Murtiah tidak bisa memberikan
keturunan kepada Iksan sehingga Iksan lama-kelamaan tidak memeperdulikan
keluarganya. Keadaan tersebut sering memicu adu mulut anatara Iksan dan
Murtiah, dan kekacauan tersebut sering didengar oleh tetangga-tetangga
mereka kemeudian rumah tangga mereka berakhir perceraian dan yang
mengajukan perceraian itu adalah dari pihak Murtiah.
Istri ke dua dari Iksan yaitu bernama Kaumi yang berasal dari Dusun
Gunung Tengis Desa Truko, dari perkawinan keduanya dengan Kaumi
dikaruniani 2 (dua) anak tetapi walaupun dikaruniani anak pernikahan mereka
juga berakhir dengan perceraian. Alasan mereka bercerai dikarenakan Kaumi
menjadi TKW di Arab Saudi, setelah tiga tahun lebih Kaumi tidak pernah
memberi kabar kepada Iksan atau mengirim uang untuk anak-anaknya. Kaumi
memberi kabar kepada Iksan hanya awal-awal Kaumi menjadi TKW Kaumi
memberi kabar setelah itu Kaumi tidak memberi kabar apapun kepada Iksan.
Setelah genap 3 tahun di Arab Saudi Kaumi pulang ke kampungnya, setelah
Kaumi pulang, Kaumi tidak menemui Iksan melainkan hanya mengambil
anak-anaknya lalu dibawa tinggal bersamanya dirumah orang tua kaumi.
47
Setelah kurang lebih satu bulan di rumah Kaumi meminta cerai kepada Iksan
dan setelah itu pernikahan mereka berakhir perceraian.
Istri ke 3 (tiga) dari Iksan bernama Siti Nurhidayah yang berasal dari
Dusun Waron, Gubug dari pernikahan mereka tidak dikaruniani anak dan juga
berakhir dengan perceraian. Alasan perceraian mereka dikarenakan rumah
tangga mereka diganggu oleh kedatangan Mariah yaitu keponakan Iksan
sekaligus istri keempat Iksan. Setelah Siti Nurhidayah mengetahui bahwa
suaminya ada hubungan dengan Mariah (ponakan) Nurhidayah langsung
meninggal Iksan dan meninggalkan Desa Gentan kemudian Nurhidayah
kembali lagi ke Gubug ke tempat orang tuanya.
Sebenarnya tidak ada akta perceraian antara Iksan dan Nurhidayah
dikarenakan tidak ada proses perceraian diantara mereka melainkan
Nurhidayah meninggalkan Iksan begitu saja dan tidak ada hubungan lagi atau
komunikasi kepada Iksan ataupun saudara-saudara Iksan sampai saat ini.
Istri ke 4 (empat) Iksan adalah Mariah yang merupakan keponakanya
sendiri yang dinikahinya secara siri.
Asal mula terjadinya incest ini dikarenakan keponakanIksan itu ikut
tinggal bersama Iksan dan Istrinya yang ke tiga. Alasan Mariah tinggal
bersama Iksan dikarenakan Mariah ingin mengobati penyakit Asmanya
dirumah Iksan. Iksan pada saat itu merupakan Dukun Alternatif di Desa
Gentan dan Iksan pun merupakan tokoh masyarakat. Pada saat Mariah ikut
tinggal bersama Iksan berumur 17 tahun
48
Saat saya bertanya kepada Pak Mad yang merupakan tentangga sekaligus
Kadus dari iksan tentang sebab faktor terjadinya incest tersebut beliau
menjawab:
Mergo Iksan Lan Mariah kui turune sak keranjang karo Iksan yo bojone Iksan, lan si Mariah ponakan Iksan kui nak turu ndesel-ndesel nek tengah-tengah e Iksan lan bojone terus. Lha suwe-suwe ono kabar Mariah kui ngandek, lan jebule sek metengi yo Iksan kui Pak lik e dewe.(wawancara Pak Mad,15 Oktober 2016).
Terjemahan: ( Sebab Iksan dan Mariah itu tidurnya satu ranjang bersama
Iksan dan juga istrinya Iksan, dan Mariah keponakan Iksan itu kalau tidur
sukanya ditengah-tengah Iksan dan Istrinya. Dan lama- kelamaan ada kabar
Mariah itu hamil, dan ternyata yang menghamili itu pamanya sendiri).
Setelah kabar itu diketahui oleh banyak masyarakat Gentan, Iksan
langsung pergi ke Sumatera bersama Mariah karena tidak ingin menanggung
malu,dan proses pernikahannya dilakukan di Sumatra karena disana tidak ada
yang mengetahui apabila Mariah dan Iksan itu masih satu garis keturunan
sedarah (keponakan).Walupun di Sumatra tidak ada yang mengetahui tentang
incest yang mereka lakukan, pernikahan itu tetap tidak dicatatkan di KUA atau
nikah hanya secara agama.
Setelah 5 (lima) tahun Iksan pun pulang lagi bersama Mariah ke
kampunnya Gentan bersama Mariah dan anaknya hasil hubungan dengan
Mariah. Anak tersebut berjenis kelamin perempuan dan bernama Umi Fatimah
yang berumur 17 tahun,anak tersebut tidak mengalami kecacatan walaupun
49
terlahir dari pasangan incest taboo, akan tetapi IQ anak tersebut di bawah rata-
rata. Sesudah tinggal di Gentan lagi kehidupan mereka lebih tertutup kepada
masyarakat, ketika sudah di kampung Iksan tidak mempunyai tempat tinggal
karena Iksan tidak bisa kembali lagi, pada rumahnya yang dulu pernah di
tempati karena rumah itu bukan rumah sendiri melainkan rumah saudaranya.
Iksan pun tinggal beberapa waktu di masjid di Desa tersebut bersama istri
dan anaknya, setelah kurang lebih (4) bulan akhirnya Iksan dapat membangun
rumah sendiri walaupun seadanya dan letak rumah tersebut jauh dari rumah
warga-warga di Desa tersebut. Keadaan keluarga mereka harmonis sama
seperti keluarga yang lain.
Walaupun Iksan melakukan incest tetapi masyarakat tetap terbuka dan
tidak mengucilkan Iksan karena bagaimanapun Iksan merupakan warga asli
Gentan, akan tetapi Iksan merasa dikucilkan oleh masyarakat sehingga Iksan
tidak mau mengikuti Kegiatan masyarakat di Getan seperti halnya kegiatan
yasinan, kegiatan tahlilan dan lain-lain. Tetapi pada dasarnya masyarakat di
desa tersebut tidak merasa keberatan apabila Iksan mengikuti acara-acara
tersebut, karena Iksan masih dibutuhkan sebagai salah satu tokoh masyarakat
dan Iksan juga menjadi Qori’ah di Getan sebelum dia melakukan incest.
Tetapi dalam acara besar Desa sesekali Iksan mengikuti acara tersebut,
seperti acara pengajian –pengajian besar di Desa tersebut. Setelah mereka
berpisah, Iksan tetap tinggal di Gentan bersama putrinya sedangkan Mariah
tinggal kembali bersama orang tuanya. Perpisahan pernikahan mereka di
karenakan Kiyai pondok yang dulu pernah ditempati oleh Mariah
50
mengetahui bahwa mereka melakukan pernikahan yang dilarang oleh agama,
sehingga Kiyai tersebut menyuruh mereka untuk berpisah karena pernikahan
itu melanggar larangan agama.
Proses Kiyai Mariah mengetahui bahwa mereka menikah itu pada
awalnya, di Pondok Kiyai tersebut ada acara Akhirusanah untuk pengajian
rutin tahunan. Dan pada acara tersebut Iksan dan Mariah Sowan kepada Kiyai
tersebut, kemudian Kiyai itu melihat Iksan dan Mariah masuk kedalam rumah
Kiyai itu dengan berpegangan tangan. Karena Kiyai itu kenal dengan Iksan
ataupun Mariah dan mengetahui hubungan mereka adalah paman dan
keponakan. Kemudian Kiyai tersebut bertanya kepada bahwa mereka berdua
kenapa berpegangan tangan, dan mereka pun menjawab bahwa mereka adalah
suami istri, dan seketika itu juga kiyai itu marah dan menyuruh mereka untuk
berpisah.
Bagan Keluarga Iksan dan Mariah
Munir Asiyah Shodaqoh Modah
Shodaqoh Dalail Iksan Hikmah Mariah Imron
Umi Fatimah
51
C. Pasangan Samiun dan Maryati
Samiun dan Maryati adalah contoh lain dari pasangan yang melakukan
pernikahan sedarah. Pernikahan tersebut terjadi di Desa Ringin Agung
Salatiga RT 05 RW 04. Incest yang dilakukan oleh mereka ialah incest antar
Sepupu yaitu anak kakak kandungnya.
Samiun merupakan anak dari Pak Kamidi dan Ibu Sofiah , Samiun
beragama Islam, lahir di Salatiga pada tahun 1979, Samiun mempunyai tinggi
badan kurang lebih 160 cm, memiliki rambut lurus, memiliki badan ideal dan
berkulit putih. Pendidikan terakhir Samiun adalah sampai kejenjang SMA dan
sekarang Samiun bekerja di sebuah pabrik di Magelang.
Maryati adalah anak dari Pak Ngadino dan Ibu Sri Mulyani yang lahir di
Salatiga pada tahun 1982, Maryati beragama Islam, mempunyai tinggi badan
kurang lebih 150 cm, berbadan kurus, berkulit putih, memakai hijab.
Pendidikan terakhir Marytai adalah SMK dan sekarang Maryati bekerja di
sebuah pabrik di Magelang bersama Samiun. Samiun dan Maryati Menikah
resmi atau di catatkan kedalam buku nikah di Jakarta, mereka menikah pada
tahun 2004. Sejak kecil dan kedekatan mereka diperkuat pada saat mereka
sama-sama merantau ke Jakarta untuk sama-sama mencari pekerjaan, Samiun
bekerja di Jakarta sebagai supir taksi sedangkan Mariah bekerja sebagai
karyawan pabrik Sebab terjadinya pernikahan ini dikarenakan mereka sudah
mengenal di Jakarta.
Setelah mereka sudah resmi menikah, jarak satu tahun Samiun dan
Maryati pulang lagi ke tempat asalnya yaitu Ringin Agung salatiga,
52
masyarakat di tempat itu menerima dengan baik kedatangan kembali Samiun
dan Maryati pulang sebagi pasangan suami istri. Kehidupan keluarga mereka
terhadap masyarakat biasa seperti sebelum mereka menikah, keadaan keluarga
mereka harmonis dan dari pernikahan mereka dikaruniani dua anak yang
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Anak mereka tidak mengalami kecatatan apapun, mereka terlahir normal,
anak pertama bernama Deni sedangakan anak ke dua bernama devi.
Sesudah kembalinya Samiun dan Maryati pulang ke Salatiga mereka
sekarang bekerja di Magelang dalam satu pabrik. Walaupun tempat kerja
Samiun dan Maryati jauh dari tempat tinggalnya yaitu Salatiga, mereka tidak
kos ataupun mengontrak di Magelang melaiankan mereka tetap tinggal di
Salatiga.
53
Bagan Keluarga Samiun dan Maryati
Fatah Sriyah
Lailah Kamidi Ngadino
Kamidi Sofiah Ngadino Sri Mulyani
Samiun Maryati
Deni Devi
54
BAB IV
ANALISIS DINAMIKA PERNIKAHAN SEDARAH DAN PERSPEKTIF,
HUKUM ISLAM, UU NO 1 TAHUN 1974 DAN SOSIOLOGI
A. Dinamika Perkawinan Sedarah
1. Pasangan Budi dan Asti
Dalam kehidupan sehari-hari Budi dan Asti melakukan segala
seuatunya dengan bersama–sama. Budi sebagai kepala rumah tangga yang
bertugas untuk mencarikan nafkah untuk menghidupi istri dan anak-
anaknya. Sedangkan Asti berperan sebagai istri dan ibu untuk anak dan
suaminya. Selain itu Asti juga ikut menunjang pemasukan keluarganya
dengan menjadi penjahit baju yang berlokasi di rumahnya sendiri. Asti dan
budi mempunyai tugas yang sama yaitu merawat anak-anaknya, menjaga,
mendidik dan lain sebagainya. Dalam kehidupan senari-hari Budi
memanggil Asti dengan sebutan Dek, dan sebaliknya Asti memanggil
Budi dengan sebutan Mas.
Walaupun anak-anaknya terlahir kurang normal kecuali anak yang
terakhir Budi dan Asti tetap mengajarkan anak-anaknya seperti membaca,
menghitunag, menulis dan lain-lain. Karena ke dua anaknya yang
abnormal tidak sekolahkan di sekolah formal seperti SLB, sehingga
mereka berdua diberi pelajaran oleh ke dua orang tuanya.
Hubungan antara anak dan orang tua terjalin dengan baik, sampai
anaknya menginjak usia dewasa, tidak ada perubahan perlakuan orang tua
55
kepada anak. Terkadang anak-anak dari Budi dan Asti juga membantu
pekerjaan rumah seperti membelikan bumbu untuk masak, menyapu,
menyuci piring, menyuci baju dan lain-lain.
Hubungan suami istri antara Budi dan Asti pada saat sesudah
mereka menikah hubungan mereka terjalin baik walaupun mereka sudah
melakukan perkawinan sumbang, mereka tidak menghiraukan itu. Bahkan
mereka ketika memiliki anak yang terlahir abnormal pun mereka tetap saja
terjalin baik dan menerima jalan hidup mereka bahwa mereka mempunyai
anak yang abnormal.
Sedangkan hubungan Budi dan Asti dengan tetangga-tetangganya
terjalin baik-baik saja. Walaupun para tetangga mengetahui bahwa
mereka melakukan pernikahan yang terlarang, para tetangga disekitarnya
tidak mengucilkan Budi dan Asti. Mereka tetap berinteraksi seperti biasa,
tidak ada batas apapun yang menghalangi untuk berinteraksi antara
tetangga dengan Budi dan Asti. Mereka juga tidak menutup diri dengan
masyarakat sekitar, mereka tidak merasa malu tentang apa yang sudah
mereka lakukan. Anak-anak mereka juga berinteraksi baik dengan tetang-
tetangganya, anak-anak Budi dan Asti terkadang juga main ke rumah
tetangga-tetangganya.
Keluaraga besar dari Budi dan Asti juga bersikap baik terhadap
mereka, keluarga besar mereka dapat menerima dengan apa yang sudah
56
mereka lakukan. Pada saat hari raya idul fitri banyak juga yang datang dan
bersilaturahmi ke rumah Budi dan Asti.
2. Pasangan Iksan dan Mariah
Iksan dan Mariah menjalankan kehidupannya bersama-sama
setelah mereka mempunyai anak kehidupan mereka semakin terjalin
dengan baik. Iksan berperan sebagai kepala rumah tangga sedangkan
Mariah sebagai ibu rumah tangga. Iksan bertugas untuk mencarikan
nafkah untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai petani atau
berkebun sedangkan Mariah di rumah untuk membereskan pekerjaan
rumah seperti halnya yang dilakukan ibu rumah tangga seperti halnya
menyapu, mencuci baju, memasak dan menjaga anaknya ketika ditinggal
budi berkebun. Terkadang Mariah juga ikut ke kebun untuk menemani
Iksan. Panggilan Iksan untuk Mariah adalah namanya sendiri yaitu Mariah
sedangkan Mariah memanggil Iksan dengan sebutan Bapak.
Hubungan suami istri antara Iksan dan Mariah setelah menikah
semakin baik, walaupun pada saat diketahui bahwa Mariah hamil anak
dari Iksan banyak yang menentang tentang hal itu dan Iksan memutuskan
untuk membawa Mariah pergi ke Sumatera.
Hubungan Iksan dan Mariah dengan anak satu-satunya yang
bernama Umi terjalin sangat baik. Mereka melakukan apa yang biasa
dilakukan orang tua pada umunya sepertihalnya membesarkan, menjaga,
57
merawat dan juga menyekolahkan ananknya. Umi memanggil Ayahnya
dengan sebutan “Pak e” dan memanggil Ibunya dengan sebutan “Mak e”.
Sedangkan hubungan Iksan dan Mariah dengan tetangga-
tetangganya kurang baik. Dikarenakan Iksan dan Mariah menutup diri dari
masyarakat disekitarnya dan mereka merasa dikucilkan. Tetapi pada
kenyataanya masyarakat di mana Iksan dan Mariah tinggal tidak
mengucilkan mereka bahkan Iksan juga sering diundang dalam kegiatan-
kegiatan Desa, akan tetapi Iksan tidak mau menghadiri acara tersebut.
Tetapi sekarang setelah sudah berpisah dengan mariah terkadang Iksan
mau menghadiri acara-acara besar di Desa Iksan tinggal, terakhir Iksan
mau menghadiri acara pengajian di Desanya dalam acara mauludan 2016
kemarin sebagai Qori’ atau pembaca Al Quran.
Hubungan Iksan dan Mariah dengan keluarga besarnya sama
dengan hubungan dengan tetangga-tetangga mereka. Iksan dan Mariah
juga bersikap tertutup dengan keluarga besarnya.Walaupun pada awalnya
keluarga Iksan dan Mariah berjalan dengan sangat baik akan tetapi pada
akhirnya mereka berpisah.
3. Pasangan Samiun dan Maryati
Kehidupan Samiun dan Maryati terjalin sangat baik mereka
dikaruniani 2 anak laki-laki dan perempuan. Samiun berperan sebagai
ayah yang mencarikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Maryati
berperan sebagai Ibu rumah tangga yang bertugas mengerjakan pekerjaan
58
rumah, tetapi pada saat anak-anaknya sudah bersekolah SD Maryati ikut
bekerja bersama suaminya untuk menunjang pemasukan keluarga mereka.
Hubungan suami istri antara Samiun dan Maryati baik-baik saja
dan terlihat rukun. Samiun memanggil istrinya dengan sebutan Ibuk dan
Maryati memanggil suamminya dengan sebutan Ayah. Sedangkan anak
mereka juga memanggil mereka dengan sebutan Ayah dan Ibu.
Hubungan Samiun, Maryati dengan anak-anaknya terjalin sangat
baik, mereka melakukan apa yang harus dilakukan orang tua terhadap
anak-anaknya seperti halnya merawat, membesarkan dan memberikan
fasilitas pendidikan untuk anak-anaknya. Sedangkan anaknya juga
bersikap sopan dan hormat terhadap ke dua orang tuanya.
Keadaan Samiun dan Maryati dengan tetangga-tetangga mereka
terjalin sangat baik. Mereka bersikap terbuka dengan masyarakat sekitar
dan sebaliknya masyarakat sekitar bersikap terbuka kepada Samiun dan
Maryati. Mereka saling tolong menolong contohnya pada saat tetangga
mereka membutuhkan tenaga mereka, Samiun dan Maryati membantunya
sebisa mungkin.
Hubungan Samiun dan Maryati dengan keluarga besarnya terjalin
dengan biak, mereka terlihat sangat dekat dengan keluarga besarnya. Dan
rumah mereka tidak jauh dari keluarga besarnya seingga setiap hari
mereka dapat bertemu dan berinteraksi sepertihalnya yang biasa dilakukan
oleh keluarga dengan keluarga besar lainya.
59
B. Analisis Hukum Islam, UU NO. 1 Tahun 1974 dan Sosiologi tentang
Perkawinan Sedarah
1. Analisi Hukum Islam
Pernikahan yang dialarang dalam islam sudah dijelaskan dalm surat An-
nisa ayat 23:
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari ayat di atas dapat dijelaskan bahwa :
a. Pernikahan Budi dan Asti tidak boleh dilakukan oleh agama islam
karena Budi termasuk kriteria yang tidak boleh menikahi Asti
dikarenakan mereka adalah satu garis keturunan yaitu kakak dan
adik. Ayat yang menyatakan bahwa pernikahan Budi dan Asti tidak
boleh dilakukan dalam surat An-Nisa ayat 23 adalah “saudara-
saudaramu yang perempuan dan saudara sepersusuan”. Dari ayat
tersebut sudah jelas bahwa pernikahan mereka tidak boleh dalam
islam karena Budi dan Asti merupakan saudara sekandung dalam
satu garis keturunann dan satu ibu susuan yaitu ibu mereka.
60
Didalam Islam ada pernikahan yang dilarang untuk selamanya dan
sementara, pernikahan yang tidak boleh dilakukan untukn selamnya
adalah
Karena hubungan nasab.
1) Ibu, yang dimaksud adalah perempuan yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas, yaitu ibu,
nenek garis ayah atau ibu dan seterusnya ke atas.
2) Anak perempuan, yang dimaksud adalah perempuan yang yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah, yaitu anak perempuan,cucu perempuan, (dari anak laki-
laki perempuan), piyut perempuan dan seterusnya ke bawah.
3) Saudara perempuan kandung(seayah dan seibu).
4) Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu kandung, seayah
atau seibu dan seterusnya ke atas.
5) Keponakan perempuan, yaitu anak saudara laki-laki atau
perempuan dan seterusnya ke bawah.
Dari uraian di atas sudah jelas bahwa pernikahan antara Budi dan
Asti tidak boleh dilakukan sampai kapanpunatau tidak boleh dilakukan
untuk selamnaya. Karena mereka termasuk “saudara perempuan
kandung (seayah dan seibu)”.
61
b. Pernikahan Iksan dan Mariah
Pernikahan Iksan dan Mariah adalah pernikahan antara paman
dan keponakan. Dalam Al Quran An-Nisa ayat 23 yang
menjelaskan tentang larangan pernikahan-pernikahan yang haram
dilakukan. Di Surat An-Nisa ayat 23 tersebut tercantum larangan
menikahi keponakan yaitu ( Anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan). Jadi dari ayat tersebut dapat menjadi
landasan yang kuat bahwa pernikahan yang dilakukan Iksan dan
Mariah tidak boleh dilakukan menurut hukum Islam.
Pernikahan ini juga tidak boleh dilakukan untuk selamanya
karena pertalian nasab (keponakan perempuan, yaitu anak saudara
laki-laki atau perempuan dan seterusnya ke bawah).
c. Pernikahan Samiun dan Maryati
Pernikahan antara Samiun dan Maryati adalah pernikahan
antar sepupu atau anak saudara lelaki ayah atau anak saudara ibu.
Apabila ditinjau dari hukum Islam pernikahan antar sepupu boleh
dilakukakn karena mereka tidak disebutkan oleh ayat yang
berbicara tentang mahram yaitu QS A-nisa 4 ayat 23, tidak juga
terdapat dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Jadi pernikaha antar
sepupu boleh dilakukan menurut hukum Islam.
62
2. Analisis Hukum Positif (Undang-Undang dan KHI)
Dalam hukum positif pernikahan yang tidak boleh dilakukan
tercantum pada UU No1 Tahun 1974 yang ada dalam pasal 8 yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun
ke atas
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar
saudara,. Antrara seseorang dengan saudara tua dan antara seseorang
dengan saudara nenenknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan saudara susuan anak
susuan dan bibib/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal seseorang suami beristri lebih dari
seseorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanaya atau peraturan air yang
berlaku dilarang kawin.
Sedangkan perkawinan-perkawinan yang dilarang dalam KHI
tercantum pada pasal 39 yaitu :
a) Karena Pertalian Nasab:
• Dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkanya atau
keturunannya.
• Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
63
• Dengan seorang wanita saudara yang melahirkan
b) Karena pertaliaan kerabat semenda.
• Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas
istrinya.
• Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkanya.
• Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla al
dukhul
• Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya
c) Karena pertalian susuuan
• Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas.
• Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus ke bawah.
• Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan susuan
kebawah.
• Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenenk bibi sesusuan
ke atas.
• Dengan anak yang disusui istrinya dan keturunannya
Jadi dengan demikian dapat di analisis apakah pernikahan yang
diteliti oleh peneliti boleh dilakukan apa tidak apabila di tinjau dari
Undang-Undang dan KHI.
64
1) Pasangan Budi dan Asti
Pernikahan antara Budi dan Asti apabila ditinjau dari segi
undang-undang no 1tahun 1974, pernikahan tersebut jels tidak boleh
dilakukan antara mereka. Karena di pasal 8 sudah jelas menerangkan
bahwa tidak bolehnya melakukan perkawinan” berhubungan darah
dalm garis keturunan” dan “mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan air yang berlaku dilarang kawin”.
Jadi mennurut peraturan tersebut jelas Budi dan Asti tidak boleh
melakukan perkawinan tersebut. Karena mereka merupakan satu garis
keturunan yaitu kakak adik dan Budi dan Asti adalah beraga islam. Di
dalam islam sendiri sudah jelas bahwa pernikahan tersebut tidak boleh
dilakukan yang terdapat dalam surat An-Nisa 4 ayat 23 karena mereka
merupakan satu mahram.
Serdangkan apabila ditinjau dalam KHI pasal 39 pernikahan
antara Budi dan Asti juga tidak boleh dilakukan karena mereka
termasuk orang yang tidak boleh karena pertalian nasab yang sudah
tercantum di atas adalah tidak bolehnya menikahi seorang wanita
keturunan ayah atau ibu. Dan mereka sudah jelas keturunan satu ayah
dan satu ibu
.2) Pasangan Iksan dan Mariah
Pernikahan antara Iksan dan Mariah adalah pernikahan antara
paman dan keponakan apabila ditinjau dari segi UU No 1 tahun 1974
65
pernikahan tersebut tidak boleh dilakukan karena mereka tercantum
dalam pereturan tersebut yang tidak boleh melakukan pernikahan
diantara keduanya yaitu”berhubungan susuan yaitu orang tua susuan,
saudara susuan, anak susuan dan bibi atau paman” dan “mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan air yang berlaku”
dilarang kawin.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pernikahan mereka melanggar
peraturan perkawian, dan Iksan dan Mariah meruapakan umat islam,
di dalam islam pernikahan tersebut tidak boleh dilakukan dalam Surat
An-Nisa 4 ayat 23 karena mereka berdua termasuk mahram.
Sedangkan menurut KHI pasal 39 perkawinan antara paman dan
keponakan tidak boleh dilakukan karena mereka melanggar peraturan
tidak boleh menikahi wanita yang ada pertalian pertalian nasab.
3) Pasangan Samiun dan Maryati
Samiun dan Maryati melakukan perkawinan anara sepupu atau
anak dari saudra ayah atau ibu. Apabila ditinjau dari UU No 1 tahun
1974 dalam pasal 8 tidak disebutkan larangan tidak bolehnya
melakukan pernikahan antar sepupu dan peraturan agama juga tidak
ada larangan melakukan pernikahan antar sepupu karena mereka tidak
termasuk mahram.
Sejalan dengan Undang-undang No 1 tahun 1974, KHI juga
tidak ada larangan melakukan perkawinan antar sepupu. Karena
66
dipasal 39 tidak ada yang menyatakan bahwa pernikahan antar sepupu
dilarang. Jadi pernikahan antar sepupu boleh dilakukan menurut
Undang-Undang perkawian maupun KHI.
C. Analisis Sosiologi
Menurut sosiologi pernikahan yang dilakukan dalam peneliti ini
tidak boleh dilakukan terutama antara keponak dan paman, kakak dan adik..
Karena secara sosiologi pernikahan antar saudara atau kerabat dapat membuat
kekacauan tatanan sosial yang sudah ada.Sebagaimana dijelaskan oleh
Goode,(2002:50) bahwa pernikahan yang dilakukan di dalam keluarga batih
akan menyebabkan anak hasil hubungan incest menimbulkan persoalan
khusus dalam soal penempatan sosial karena kedudukannya demikian kacau,
sama halnya dengan orang tuanya. Jika anak itu dilahirkan dari hubungan
anak perempuan dengan ayahnya, maka ibunya merupakan kakak
perempuannya. Ayahnya kawin dengan neneknya, dan ayahnya dan ayahnya
itu juga kakeknya. Kakanya (setengah kakak) juga pamanya (yaitu kakak
ibunya).
Kekacauan yang serupa juga timbul jika anak itu merupakan
keturuna dari hubungan saudara perempuan dengan suadara lelakinya, atau
hubungan ibu dengan anka laki-laki, sudah jelas perkawinan seperti ini akan
memperburuk keadaan keluarga. Perkawinan yang sedemikian itu dilarang
dan bagaimana juga tidak akan menyelesaikan kesemprawutan antar anggota
keluarga. Yang merupakan unsur penting dalam pengertian ketidakabsahan
ialah penempatan sang anak.
67
Argumen yang sama juga dikemukakan oleh Parsons dalam buku
Sanderson,(2010:444) ditandaskanya bahwa perbuatan sumbang akan
mengganggu kestabilan keluarga batih karena menjurus kepada kacaunya
peranan dan timbulnya kesulita-kesulitan dalam mensosilisasikan anak-anak.
Dengan dilarangnya hubungan seks dan perkawinan di antara
kerabat dekat, masyarakat manusia memaksakan orang mencari pasangan di
luar keluarga sendiri. Hal ini akan menjurus kepada terbentuknya ikatan-
ikatan atau”aliansi-aliansi” di antara beberapa kelompok manusia, sehingga
memungkinkan orang-orang itu hidup damai antara yang satu dengan yang
lainya.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan terhadap pelaku perkawinan sedarah,
menghasilkan kesimpulan yang merupakan gambaran menyeluruh dari
pembahasan dalam skripsi ini, yang dapat ditemukan sebagai berikut:
1. Dinamika atau potret tiga keluarga yang diteliti oleh peneliti pada umunya
sama dengan pernikahan-pernikahan yang lain, mereka menjalani
kehidupannya penuh dengan kasih sayang. Pembagian tugas dalam ketiga
keluarga pernikahan sedarah itu juga seperti keluarga yang lain yaitu
bapak sebagai kepala rumah tangga sedangkan seorang istri menjadi ibu
rumah tangga. Hubungan orang tua dengan anak juga terjalin dengan baik,
Sedangkan hubungan keluarga sedarah dengan tetangga-tetangga
disekitarnya terjalin sangat baik tidak ada masalah diantara mereka,
kecuali keluarga Iksan dan Mariah merka memilih menjauh dari tetangga
disekitarnya. Hubungan ketiga keluarga besar keluarga sedarah dengan
mereka terjalin dengan baik keakraban itu dapat dilihat pada perayaan hari
raya idul fitri, antara keluarga pernikahan sedarah dengan keluarga
besarnya saling bersilaturahmi.
2. Pernikahan Sedarah Perspektif Hukum Islam, UU No 1 Tahun 1974 dan
Sosiologi.
Di dalam penelitian ini ada tiga kasus pernikahan sedarah yang diteliti.
Yaitu pertama pernikahan sedarah antara kakak dengan adik, yang kedua
69
pernikahan antara paman dengan keponakan dan yang ke tiga penikahan antara
sepupu dengan sepupu.
Dari landasan Surat An-Nisa ayat 23 dapat disimpulkan bahwa pernikahan
antara kakak dengan adik dan antara paman dengan keponakan tidak
diperbolehkan dalam islam yang sudah tercantum dalam surat tersebut yaitu “
saudara-saudaramu yang perempuan dan anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
perempuan.Sedangkan pernikahan antar sepupu atau menikahi perempuan anak
saudara ayahatau ibu, menurut surat tersebut diperbolehkan karena mereka
tidak tercantum dalam Surat An-Nisa ayat 23 jadi mereka bukan mahram.
Pernikahan sumbang yang diteliti bila ditinjau dari hukum KHI dan UU
NO 1 Tahun 1974 tentang pernikahan. Sejalan dengan Surat An-Nisa ayat 23
dalam KHI pasal 39 juga melarang terjadinya pernikahan antara kakak dengan
adik dan antara paman dan keponakan yaitu tidak boleh karena adanya
pertalian Nasab. Sedangkan pernikahan antar sepupu juga tidak terdapat dalam
KHI.
Sedangkan bila dintinjau dari Undang-Undang No 1tahun 1974 yang
terdapat dalam pasal 8. Juga sejalan dengan KHI dan Hukum Fiqih yaitu tidak
bolehnya melakukan pernikahan antara kakak dengan adik dan paman dengan
keponakan yaitu yang berbunyi :Berhubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke bawah ataupun ke atas ,Berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping yaitu antar saudara,. Antrara seseorang dengan saudara tua dan
antara seseorang dengan saudara nenenknya,dan Mempunyai hubungan yang
70
oleh agamanaya atau peraturan air yang berlaku dilarang kawin. Jadi menurut
undang-undang tersebut pernikahan yang boleh dilakukan hanya pernikahan
sepupu.
Pernikahan Sedarah Perspektif Sosiologi
Menurut hukum sosiologis pernikahan yang dilakukan dalam peneliti
ini tidak boleh dilakukan terutama antara keponak dan paman, kakak dan adik..
Karena menurut hukum sosiologis pernikahan antar saudara atau kerabat dapat
mebuat kekacauan tatanan sosial yang sudah ada. yang sudah di jelaskan
( Goode,2002:50) bahwa pernikahan yang dilakukan di dalam keluarga batih
akan menyebabkan anak hasil hubungan incest menimbulkan persoalan khusus
dalam soal penempatan sosial karena kedudukannya demikian kacau, sama
halnya dengan orang tuanya, jika anak itu dilahirkan dari hubungan anak
perempuan dengan ayahnya, maka ibunya merupakan kakak perempuannya.
Ayahnya kawin dengan neneknya, dan ayahnya dan ayahnya itu juga
kakeknya. Kakanya (setengah kakak) juga pamanya (yaitu kakak ibunya).
Kekacauan yang serupa juga timbul jika anak itu merupakan keturuna dari
hubungan saudara perempuan dengan suadara lelakinya, atau hubungan ibu
dengan anka laki-laki, sudah jelas perkawinan seperti ini akan memperburuk
keadaan keluarga. Perkawinan yang sedemikian itu dilarang dan bagaimana
juga tidak akan menyelesaikan kesemprawutan antar anggota keluarga. Yang
merupakan unsur penting dalam pengaertian ketidakabsahan ialah penempatan
sang anak. Argumen yang sama juga dikemukakan oleh Parsons dalam buku
Sanderson,2010:444 Ditandaskanya bahwa perbuatan sumbang akan
71
mengganggu kestabilan keluarga batih karena menjurus kepada kacaunya
peranan dan timbulnya kesulita-kesulitan dalam mensosilisasikan anak-anak.
B. Saran
1. Pemerintah
Pemerintah diharapkan lebih maksimal dalam kegiatan penyuluhan
keagamaan yaitu dengan memberikan pengarahan kepada masyartakat
tentang hukum perkawinan tentang apa saja yang menyangkut tentang
perkawinan khususnya perkawinan-perkawinan yang dilarang oleh agama
ataupun hukum positif. Sehingga masyarakat dapat mengerti hukum
perkawinan dan diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang melanggar
tentang peraturan tersebut. Selain penanggulangan dapat juga dilakukan
pemberantasan dan membentuk aturan pidana mengenai pelanggaran
terhadap peraturan perkawinan.
2. Masyarakat
Masyarakat seharusnya dapat dengan tegas menolak warga yang
sengan sengaja melakukan perkawinan yang terlarang. Dengan demikian
dapat diharapkan dapat menjadi alasan untuk masyarakat yang ingin
melakukan pernikahan yang dilarang.
Masyarakat seharusnya juga cepat memberi respon terhadap perilaku
masyarakat yang mencurigakan seperti, yang dilakukan paman dan
keponakan yang sering terlihat mesra, pergi berdua bahkan tidur dalam
satu atap terus menerus. Hal ini dapat megindikasikan adanya suatu
hubungan spesial anatar paman dan keponakan. Sehingga, jika masyarakat
72
respon terhadap keadaan seperti itu, dan sigap untuk mengambil tindakan
preventif di harapkan tidak akan terjadi kasus-kasus pernikahan yang akan
terjadi.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika Presindo.
Ali, Mohammad Daud. 2011. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada.
Asmawi, Mohammad. 2004. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta: Darussalam.
Basyir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Islam. Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Bungin, Burhan. 2002. Analisis Data Kualitatif Pemahaman Filosofi dan Metodologi Ke Arah Penguasaan Modal Aplikasi. Jakarta: Rajawali.
Goode, William J. 2002. Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Haviland, William dan Soekadijo.1985. Antropologi.Surakatra: Erlangga.
Keesing, Roger M dan Samuel Gunawan. 1981. AntropologiBudaya (edisi 2). Jakarta: Erlangga.
Moleong, M.A.,Lexy J.Prof.DR. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mugniyah, Muhamad Jawad. 1994. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Basrie Press.
Poerwadaminto. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Pustaka.
Poetra, G Kartosa. 1992. Kamus Sosiologi dan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga).
Roibin. 2008. Sosiologi Hukum. Malang: UIN Malang Prees.
Roibin. 2010. Hukum Islam(Penetapan Hukum Islam). Malang: UIN Malang
Press.
Sanderson, Stephen K. 2010. Makro Sosiologi. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi(Edisi Baru). Jakarta: PT Grafindo Persada.
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Summa, Muhamad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di DuniaIslam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta Timur: Prenada
Media.
Takariawan, Cahyadi. 2009. Di Jalan Dakwah Kugapai Sakinah. Solo: Era Inter
Media.
FOTO WAWANCARA
Wawancara dengan Pak Giyanto
Wawancara dengan Pak Ahmad