SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PRODUSEN OBAT TRADISIONAL
ATAS KESALAHAN PROSES “CPOTB” TERHADAP KONSUMEN
(Kajian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen)
Disusun Oleh :
Benny Ismail
1112048000019
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437H/2016
ABSTRAK
Benny Ismail NIM 1112048000019 PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
PRODUSEN OBAT TRADISIONAL ATAS KESALAHAN PROSES “CPOTB”
TERHADAP KONSUMEN (Kajian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi
Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
1437 H/2016 M. x + 83 halaman.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Pertanggung jawaban produsen obat tradisional
terhadap produk yang dikeluarkan adalah tanggung jawab mutlak yang harus
dipikul oleh produsen obat tradisional (Product Liability) yang tercantum pada
Pasal 19 UUPK. Lebih dari itu tanggung jawab produsen obat tradisional karena
kaitannya dengan hak fundamental dari konsumen yakni kesehatan maka
diwajibkan baginya untuk melakukan serangkaian khusus sebelum mengedarkan
produknya sesuai dengan Peraturan Pepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia nomor hk.03.1.23.06.11.5629 tahun 2011 tentang persyaratan
teknis cara pembuatan obat tradisional yang baik.
Penelitian ini menggunakan metode Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Dimana
yang dikaji adalah aturan-aturan yang tertulis dalam undang-undang, norma,
ataupun kaidah lainnya Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
yaitu tentu merupakan pendekatan undang-undang (statute approach), karena
dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa regulasi perundang-undangan
sebagai pendekatannya seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan,
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi dari penegakan
hukum Perlindungan Konsumen Bidang Kesehatan tidak diatur secara tegas di
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen
melainkan penegakan hukum (Law Enforcement) terdapat pada Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Presiden
Republik Indonesia, hal ini menandakan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen masih tidak tegas dalam penegakan hukum perlindungan konsumen
dalam bidang kesehatan.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Produsen, Obat Tradisional,
Konsumen.
Dosen Pembimbing : Dr. Yayan Sofyan SH. MA. MH
Elviza Fauzia SH. MH
Daftar Pustaka : Tahun 1978 Sampai Tahun 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah هلالج لج yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PRODUSEN OBAT TRADISIONAL
ATAS KESALAHAN PROSES “CPOTB” TERHADAP KONSUME (Kajian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Sholawat serta salam tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad
. yang telah membawa kita kepada jalan yang lurus dan diridhai Allah ملسو هيلع هللا ىلص
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini, Namun demikian penulis tetap berusaha menyelesaikan
dengan kesungguhan dan kerja keras. Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar M.A. Phd, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,
M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
3. Bapak Dr.Yayan Sofyan SH. MA. MH, dosen pembimbing skripsi yang
telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam memberikan
nasihat, kritik, dan saran untuk membimbing penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Ibu Elviza Fauzia SH. MH., dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam memberikan nasihat,
kritik, dan saran untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen serta segenap staff Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah ikhlas mengajarkan ilmu, nasihat, bantuan dan pengalamannya
kepada penulis.
6. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas cinta, doa, semangat, kedua
orang tuaku tercinta Mama Nelti, SE. dan Bapak Ismail Zainur, SE. yang
telah memberikan segala dukungan baik materiil maupun immaterial
sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1 juga kepada
Muhammad Thariq Badrawi SE., adiku yang telah banyak membantu
dalam perjalanan menyelesaikan skripsi ini.
7. Keluarga Pesantren Luhur Sabilussalam dan segenap asatidz yang selalu
sabar dan ikhlas dalam memberikan ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat
dan keluarga istiqomah angkatan 2013 atas semua masa-masa indah yang
sudah dilalui selama 3 tahun ini.
8. Keluarga KKN STARS untuk segalanya dalam menjalani tugas di Desa
Situ Ilir Bogor untuk Milzam, Didin, Fadhli, Ilham Fuady, Rizky, Asep,
Farid, Ghina Rofahiyah, Ghina Ashila, Lina Shobrina, Neng Ayu, Fanny,
Iind, Liza Nur Amalia, Mba Githa, Zulfa
9. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum
Angkatan 2012, Hukum Bisnis maupun Hukum Kelembagaan Negara.
Terimakasih atas berbagai kisah indah yang telah dilalui bersama-sama.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga ALLAH
SWT memberikan berkah dan karunia-NYA serta membalas kebaikan
meraka Aamiin.
Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang sebesar-
besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang
berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Jakarta 8 Oktober 2016
Penulis
Benny Ismail
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................. I
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... II
LEMBAR PERNYATAAN......................................................................... III
ABSTRAK.................................................................................................... IV
KATA PENGANTAR.................................................................................. V
DAFTAR ISI................................................................................................ VI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah................................................... 1
B. Identifikasi Masalah......................................................... 9
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah................................. 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................10
E. Kajian Studi Terdahulu.................................................... 11
F. Kerangka Konseptual....................................................... 15
G. Metode Penelitian............................................................ 16
H. Sistematika Penulisan...................................................... 21
BAB II : PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM BIDANG
KESEHATAN
A. Hak Mendapatkan Layanan Kesehatan........................... 23
B. Hak Perlindungan Konsumen.......................................... 27
C. Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Bidang
Kesehatan......................................................................... 33
BAB III: PENGATURAN TENTANG SEDIAAN FARMASI
TERKAIT “CPOTB”
A. Tinjauan Umum BPOM Nasional.................................... 36
1. Pengertian dan Latar Belakang BPOM...................... 36
2. Fungsi dan Wewenang BPOM.................................. 37
3. Prinsip Dasar SisPOM............................................... 39
4. Visi Dan Misi BPOM................................................ 40
5. Struktur Organisasi.................................................... 40
B. Syarat-Syarat Izin Edar Sediaan Farmasi........................ 41
C. Pengaturan Terkait Cara Pembuatan Obat Tradisional
Yang Baik (CPOTB)........................................................47
BAB IV: ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
PRODUSEN OBAT TRADISIONAL ATAS
KESALAHAN PROSES CPOTB
A. Tanggung Jawab Hukum Atas Kesalahan CPOTB Yang
Dilakukan Produsen Obat Tradisional..... ....................... 53
1. Pertanggungjawaban Hukum Produsen obat
tradisional dan Etika Usaha....................................... 57
2. Tanggung Jawab Hukum Produsen Obat Tradisional
Atas Kesalahan CPOTB Menurut Undang-
Undang Kesehatan dan Peraturan Lainnya............... 61
3. Penyelesaian sengketa melalui Jalur Litigasi............ 65
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................... 68
B. Saran................................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dilema dan tantangan penegakan hak konsumen di Indonesia
tampaknya senantiasa mengalami jalan yang berliku-liku dan penuh
rintangan. Persoalan penegakan hak dalam belantara struktur masyarakat
Indonesia masih merupakan hal yang dilematis, meskipun ada banyak
harapan dan tantangan. Susunan dan warna dasar masyarakat yang
berwujud institusi sosial, politik dan ekonomi merupakan rambu-rambu
yang menjadi perintang dalam penegakan hak seseorang.
Sebab, sistem sosial tersebut mempunyai pengaruh yang sangat
mendasar terhadap prospek kehidupan seseorang1. Setelah kemerdekaan
Republik Indonesia hingga tahun 1999, Undang-Undang Indonesia belum
mengenal istilah perlindungan konsumen2. Namun peraturan perundang-
undangan di Indonesia berusaha untuk memenuhi unsur-unsur
perlindungan konsumen. Kendatipun demikian, peraturan perundang-
undangan tersebut belum memiliki ketegasan tentang hak-hak konsumen.
Berbagai upaya yang dilakukan antara lain merancang Undang-undang
yang khusus menitik beratkan pada perlindungan konsumen melalui
rancangan naskah akademik oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
1 Andi Baso Zohra, Langkah Perempuan Menuju Tegaknya Hak-Hak Konsumen,
(Makasar: Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan, 2000), h. 2.
2 Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2003), h. 7.
2
Pada tahun 1999 lahirlah Undang-Undang perlindungan konsumen
yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan keadilan
hukum bagi konsumen untuk memperjuangkan serta menjaga hak-hak
yang menempel pada diri konsumen. Perihal tanggung jawab produsen
dalam memenuhi hak-hak konsumen yang mana pada pokoknya harus
diatur agar para pelaku usaha dan/atau produsen tidak melakukan hal-hal
yang dapat merugikan konsumen. Untuk itu lahirnya Undang-Undang
Tentang Perlindungan Konsumen telah membawa angin segar untuk dunia
bisnis Indonesia.
Dalam beberapa kasus banyak ditemukan tindakan curang atau
pelanggaran produsen yang merugikan konsumen bukan hanya dari segi
kualitas barang namun juga efek buruk untuk kesehatan hingga
menyebabkan kematian. Kesadaran hukum sebagai kontrol, mengambil
andil besar dalam permasalahan kesadaran hukum yang bukan merupakan
masalah baru, tetapi menjadi permasalahan hampir diseluruh pelaksanaan
politik negeri ini, mulai pada masa Orde Lama, Orde Baru maupun masa
transisi “Reformasi”.
Kesadaran hukum tidak hanya ditujukan kepada masyarakat yang
dikatakan kurang sadar hukum, tetapi juga aparat penegak hukum3.
Kesadaran hukum pada dasarnya merupakan kontrol agar hukum dibuat
dan dilaksanakan sebaik mungkin. Oleh karena itu perlu adanya usaha-
3Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, (Jakarta:
Jurisprudence press, 2012), h. 94.
3
usaha kearah pembinaan kesadaran hukum yang berorientasi kepada
penanaman pemasyarakatan nilai-nilai yang mendasar dari sebuah aturan.
Berikut adalah beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan produsen.
1. Sebanyak 1,5 ton mi kuning mengandung formalin ditemukan di Pasar
Bulak Klender, Jakarta Timur. Temuan ini merupakan hasil
penelusuran adanya jajanan mengandung zat berbahaya ketika
menggelar razia makanan pada Ramadan beberapa waktu lalu.4
2. Sebuah pabrik Tahu yang terletak di Jl Raya Hankam Gang Sunter RT
007/005 Jatimurni, Pondok Melato, Bekasi, digerebek aparat Subdit
Industri dan Perdagangan (Indag) Ditrreakrimsus Polda Metro Jaya.
pengolahan Tahu di pabrik milik SM (30) itu menggunakan formalin.
Petugas kemudian melakukan pengujian bersama BPOM "Hasil
pengujian ternyata Tahu di pabrik 'NJM' ini positif mengandung
formalin.5.
3. Kasus penggunaan obat injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy6
(Bupivacaine HCl) produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma Tbk.
Karena telah terjadi kelalaian dalam hal CPOB (Cara Pembuatan Obat
4 http://metro.sindonews.com/read/1127287/170/1-5-ton-mi-kuning-berformalin-beredar-
di-pasar-bulak-klender-1469789770 Artiker Ini Di Akses Pada Tanggal 6 Agustus 2016 Pukul
23:00
5 http://news.detik.com/berita/3087904/polisi-gerebek-pabrik-tahu-berformalin-di-bekasi,
Artikel Ini DI Akses Pada Tanggal 7 Agustus 2016 Pukul 16:00.
6 http://www.pom.go.id/new/index.php/view/pers/256/Penjelasan-Badan-POM-Tentang-
Kejadian-Tidak-Diinginkan-Yang-Serius-Terkait-Injeksi-Buvanest-Spinal.html, Artikel Ini Di
Akses Pada Tanggal 7 Agustus 2016, Pukul 16:10.
4
yang Baik) yang menyebabkan meninggalnya dua pasien setelah
disuntikan obat bius tersebut, Kata Menteri Kesehatan Nila Djuwita
4. Obat tradisional hwang di dong chong xia cao kapsul produksi dari PT
Multi Usaha Sentosa yang telah dicabut izin edarnya oleh BPOM,
mengandung bahan kimia obat berbahaya yang disebabkan tidak sesuai
dosis atau anjuran dokter yang menyebabkan trombositopenia
(kekurangan trombosit) mengakibatkan muntah darah, pendarahan
pada lambung, urin dan feses berdarah.7
Perkembangan ekonomi yang pesat merupakan faktor pendukung
yang harus dipertimbangkan secara serius karena telah menghasilkan
beragam jenis dan variasi barang dan/atau jasa. Dengan dukungan
teknologi dan informasi, perluasan ruang, gerak, dan arus transaksi barang
dan/atau jasa yang ditawarkan menjadi lebih variatif. Konsumen dituntut
agar lebih cermat dalam memilih dan memilah mana produk yang baik dan
mana yang tidak, selain itu tidak semua konsumen mempunyai
kemampuan yang baik dalam menyeleksi produk terutama pada produk
tertentu.
Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi produsen jelas
sangat merugikan kepentingan rakyat8. Pada umumnya produsen
berlindung dibalik informasi semu yang diberikan oleh produsen kepada
konsumen dalam produk yang disajikan. Hal tersebut bukan menjadi
7 Lampiran Public Warning Badan POM RI, Tahun 2013
8 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013), h. 11.
5
gejala regional saja, tetapi sudah menjadi persoalan global yang melanda
seluruh konsumen dunia. Timbulnya kesadaran konsumen ini menjadikan
betapa pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen sebagai dasar hukum
dalam menjaga dan membela hak-hak konsumen.
Indonesia melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen
berperan aktif dalam melindungi hak-hak konsumen, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
1. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang di inginkan
3. Hak atas informasi yang benar, Jelas dan jujur dan mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa
4. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakannya
5. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen sesuai
dengan amanat Undang-Undang
7. Hak diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur secara tidak
diskriminatif.
6
8. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang lainnya selama
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia disingkat YLKI
adalah organisasi non-pemerintah dan nirlaba yang didirikan di Jakarta
pada tanggal 11 Mei 1973) menambahkan satu hak dasar lagi sebagai
pelengkap hak-hak dasar konsumen tersebut diatas yaitu hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal
sebagai “Panca Hak Konsumen” yang berarti pemerintah Indonesia
melalui regulasinya melakukan suatu upaya perlindungan terhadap
konsumen dari perilaku produsen yang dapat merugikan konsumen pada
hal-hal tertentu.9
Meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat,
kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang
sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik good corporate
governance10
(Tata Kelola Perusahaan adalah rangkaian proses, kebiasaan,
kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan,
pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata
kelola perusahaan juga mencakup hubungan antara para pemangku
9 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000),
h.16.
10
https://id.wikipedia.org/wiki/Tata_kelola_perusahaan, artikel ini diakses pada tanggal
22 Maret 2016, pukul 14:30
7
kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan pengelolaan
perusahaan Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah
pemegang saham, manajemen, dan dewan direksi.
Demi tercapainya pengawasan produk yang sesuai dengan standar
“CPOTB”
Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang baik, perusahaan
dan/atau produsen obat dituntut lebih teliti dalam memproduksi maupun
memasarkan produknya sesuai dengan 11
Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011
Tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik.
Produsen obat diharuskan memenuhi hak atas informasi mengenai produk
yang di produksi dan hak lainnya secara lebih detil. Menurut Prof. Hans
W.Micklitz12
, dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat
ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat
komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha
memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas
informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang
berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas
keamanan dan kesehatan). 13
11
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2010),h. 1.
12
RUUPK di mata Pakar Jeman, Warta Konsumen Tahun XXIV No.12 (Desember, 1998),
h. 33-34.
13
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), h.
49.
8
Saat ini di Indonesia khususnya perihal pengawasan obat-obatan
yang beredar di masyarakat maupun rumah sakit dan produsen obat masih
kurang, oleh karenanya pemerintah bersama lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat, dituntut lebih aktif lagi dalam proses
pengawasan. Juga terkait kehalalan produk sampai dengan keamanan
pemakaian oleh konsumen. Tidak sedikit konsumen yang berkeinginan
untuk mendapatkan keadaan lebih baik, justru mengalami sebaliknya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
dan Peraturan-kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Terkait dengan
pengaturan obat tradisional dalam penerapannya harus lebih ditingkatkan,
dari proses pelaksanaan maupun aplikasinya yang kurang maksimal, atau
dengan kata lain peraturan yang ada di dalam Undang-Undang belum
sesuai dengan implementasi yang ada.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis ingin
mengetahui lebih dalam mengenai pengaturan terkait perlindungan
konsumen tentang kesalahan “CPOTB” oleh produsen obat serta upaya
hukum apakah yang dapat dilakukan konsumen untuk mendapatkan
perlindungan terhadap hak-haknya yang didasari oleh UUPK Nomor 8
Tahun 1999, penulis tertarik untuk meneliti dan menuangkan hasil tulisan
berbentuk skripsi maupun sebuah karya ilmiah yang berjudul
“PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN OBAT TRADISIONAL
ATAS KESALAHAN PROSES “CPOTB” TERHADAP
9
KONSUMEN (Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen).
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah cara produsen obat tradisional dalam menjamin hak
kesehatan mengkonsumsi obat tradisional.?
2. Bagaimanakah tanggung jawab hukum produsen obat tradisional
terhadap produk yang mengandung BKO setelah diterbitkannya public
warning ?
3. Perlindungan seperti apakah yang akan didapatkan oleh konsumen
dalam mengkonsumsi obat tradisional.?
4. Bagaimanakah peranan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat
untuk lebih mengutamakan unsur kehati-hatian dalam mengkonsumsi
obat tradisional.?
5. Bagaimanakah mekanisme pembuatan obat tradisional yang baik dan
tidak membahayakan konsumen ?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat cukup luasnya pembahasan mengenai perlindungan
konsumen, maka dalam penelitian skripsi ini penulis membatasi hanya
membahas perlindungan konsumen dalam hal pertanggungjawaban
hukum produsen obat tradisional atas kesalahan “CPOTB” yang di atur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
10
Kesehatan. Serta Peraturan Kepala BadanPOM RI Nomor
HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Teknis Cara
Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang dan pembatasan masalah
yang telah dijelaskan penulis, permasalahan yang sedang melanda
Indonesia dewasa ini adalah lemahnya perlindungan terhadap hak-hak
konsumen yang seolah-olah hanya menjadi perahan laba untuk
produsen tanpa memperhatikan keamanan, kenyamanan, dan
keselamatan konsumen terutama dibidang obat dan makanan.
Minimnya pengetahuan konsumen perihal produk obat yang nantinya
dikonsumsi. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis
menyajikan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimanakah Tanggung jawab hukum produsen obat tradisional
atas produk cacat yang membahayakan ?
b. Bagaimakah mekanisme tanggung jawab hukum produsen obat
tradisional menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas adapun tujuan dari penelitian
ini adalah:
Untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum produsen obat
tradisional atas kesalahan dalam proses “CPOTB”
11
Untuk mengetahui mekanisme pertanggungjawaban hukum
produsen obat tradisional menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis.
1. Untuk lebih memperkaya ilmu penulis baik di bidang hukum
maupun di bidang bisnis terkait bidang kesehatan.
2. Untuk mengeleborasikan ilmu yang diperoleh penulis di
perkuliahan dengan fakta hukum yang terjadi di masyarakat.
3. Untuk menambah khasanah keilmuan di bidang hukum bisnis
bagi pembacanya.
b. Manfaat Praktis.
1. Penelitian ini bermanfaat bagi praktisi hukum, pengamat, dan
mahasiswa ilmu hukum khususnya tentang hukum
perlindungan konsumen yang berkaitan dengan obat tradisional
2. Agar penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan bagi
semua pihak khususnya yang hidup di lingkungan hukum
bisnis.
E. Kajian Studi Terdahulu
Pernah ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan fenomena
perlindungan konsumen khususnya terkait kesehatan konsumen dengan
hal yang akan di teliti oleh penulis, beberapa karya tersebut antara lain :
12
No. Judul Tentang Perbedaan
1. Skripsi Berjudul: Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen
Produk Pangan Dalam
Kemasan Tanpa Label Halal
Pada Usaha Kecil. Disusun
oleh Inayatul Aini.
NIM : 109048000075
Tahun: 1435 H/ 2015 M
Skripsi tersebut membahas
tentang keharusan
pencatuman label halal pada
setiap produk pangan yang
diperdagangkan khususnya
produk industri rumahan
tanpa label dan informasi
pada kemasan, dengan
menggunakan Teori Caveat
Emptor sebagai konsep
dengan metode penelitian
yuridis normatif
Sedangkan perbedaan
dengan Skripsi Penulis
membahas Pertanggung
jawaban produsen obat
tradisional pada lingkup
kesalahan “CPOTB” oleh
produsen untuk produk
BKO berdasarkan
Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 dengan
menggunakan teori
efektifitas dan teori caveat
venditor dengan metode
penelitian yuridis empiris
13
2. Skripsi yang berjudul:
“Perlindungan Hukum.. Bagi
Pasien Korban.. Malpraktek
(Analisis….Putusan Pengadil
an Negeri Jakarta Pusat Nomor
287/PDT.G/2011). Disusun
oleh Verina Pradita Agusti
NIM : 1111048000082
Tahun : 1436 H/2015 M.
Skripsi tersebut membahas
tentang Perlindungan
Hukum bagi
Konsumen/Pasien Koban
Malpraktek dan perbedaan
dengan resiko medis.
Penelitian ini menggunakan
Teori kausalitas Dengan
menggunakan metode
penelitian yuridis normatif
Sedangkan perbedaan
dengan Skripsi Penulis
membahas Pertanggung
jawaban produsen obat
tradisional pada lingkup
kesalahan “CPOTB” oleh
produsen untuk produk
BKO berdasarkan
Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 dengan
menggunakan teori
efektifitas dan teori caveat
venditor dengan metode
penelitian yuridemp
14
3. Buku yang berjudul “Proses
Penyelesaian Sengketa
Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara Serta Kendala
Implementasinya14
Buku ini membahas tentang
dilema penegakan hukum
sengketa konsumen tentang
objek halal suatu produk
juga tentang gugatan yang
diajukan konsumen. Dengan
menggunakan teori
efektifitas dan dengan
menggunakan metode
penelitian yuridis normatif.
Sedangkan perbedaan
dengan Skripsi Penulis
membahas Pertanggung
jawaban produsen obat
tradisional pada lingkup
kesalahan “CPOTB” oleh
produsen untuk produk
BKO berdasarkan
Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 dengan
menggunakan teori
efektifitas dan teori caveat
venditor dengan metode
penelitian yuridis empiris
14
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 15.
15
4. Jurnal Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Atas
Penjualan Obat Obatan Ilegal
Secara Online. Oleh : Rizka
Annisa Ilham
Jurnal ini membahas tentang
peredaran obat-obatan
illegal secara online yakni
kegiatan E-Commerce, yang
mana obat-obatan tersebut
selain illegal juga banyak
ditemukan pemalsuan obat
yang berbahaya bagi
konsumen. Teori yang
digunakan adalah relatifitas
dengan metode penelitian
normatif
Sedangkan perbedaan
dengan Skripsi Penulis
membahas Pertanggung
jawaban produsen obat
tradisional pada lingkup
kesalahan “CPOTB” oleh
produsen untuk produk
BKO berdasarkan
Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 dengan
menggunakan teori
efektifitas dan teori caveat
venditor dengan metode
penelitian yuridis empiris
F. Kerangka Konseptual
Untuk lebih memahami isi daripada penelitian ini, maka akan
diuraikan beberapa istilah yang akan digunakan dalam penulisan penelitian
ini agar tidak terjadinya interpretasi, sebagai berikut :
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
16
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi
Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik yang selanjutnya
disingkat CPOTB adalah seluruh aspek kegiatan pembuatan obat
tradisional yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang
dihasilkan senantiasa memenuhi mutu yang ditetapkan sesuai dengan
tujuan penggunaannya.
Industri Obat Tradisional adalah industri yang membuat semua bentuk
sediaan obat tradisional.
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual,
maupun social yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara social dan ekonomis.
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian.
17
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Dimana yang dikaji
adalah aturan-aturan yang tertulis dalam undang-undang, norma, ataupun
kaidah lainnya.15
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu
tentu merupakan pendekatan undang-undang (statute approach), karena
dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa regulasi perundang-
undangan sebagai pendekatannya seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Kepala BadanPOM RI Nomor
HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Teknis Cara
Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik dan peraturan-peraturan terkait.16
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber penelitian pada skripsi ini antara lain mencakup bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum (tertier).
a. Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan acuan bidang hukum atau rujukan hukum syakni
aturan perundang-undangan terkait perlindungan konsumen,
15
Widya Nukilan, Metode Penelitian Hukum, cet 1 ( Jakarta : Tim Pengajar, 2005), h. 9. 16
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cet II ( Jakarta : PT RINEKA CIPTA, 1998), h. 21.
18
yurisprudensi, perjanjian Internasional, traktat, dan peraturan lain
terkait dengan penelitian ini. Sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
2. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998
Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Presiden Republik Indonesia
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001
Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001
Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007
Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional.
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia No. 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
8. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor
Hk.03.1.23.02.12.1248 Tahun 2012 Tentang Kriteria Dan Tata
Cara Penarikan Obat Tradisional Yang Tidak Memenuhi
Persyaratan.
19
9. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor
Hk.04.1.33.02.12.0883 Tahun 2012 Tentang Dokumen Induk
Industri Farmasi Dan Indurstri Obat Tradisional
10. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 28
Tahun 2013 Tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat, Bahan
Obat Tradisional Bahan Suplemen Kesehatan, Dan Bahan Pangan
Ke dalam Wilayah Indonesia
11. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 2013 Tentang Standar Pelayanan
Publik Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan Makanan
b. Bahan Hukum Sekunder
hukum sekunder erat kaitannya dengan bahan hukum primer
demi kepentingan analisis penarikan kesimpulan dan pengelompokan
data seperti pendapat dan doktrin-doktrin para sarjana hukum, jurnal
hukum, hasil karya tulisan para ahli hukum, artikel, surat kabar,
majalah hukum, makalah atau karya ilmiah dibidang hukum dan
sebagainya yang berguna bagi penelitian.
c. Bahan Non Hukum (Tertier)
Yakni bahan hukum yang membantu penulis dalam hal
pengumpulan data dapat berupa kamus, ensiklopedi, berita, catatan,
ataupun yang dapat menjelaskan bahan hukum primer.
d. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
20
Untuk memperoleh kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi
ini, maka penulis menggunakan cara penelitian kepustakaan (Library
Research) yaitu suatu metode pengumpulan dengan cara membaca
atau merangkai buku-buku, peraturan perundang-undangan dan
sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan objek
penelitian., sebagaimana kita telah ketahui bahwa dalam penelitian
paling sedikit tiga jenis alat pengumpulan data yakni studi dokumen
bahan pustaka, observasi, dan wawancara. Penulis menggunakan studi
dokumen bahan pustaka dalam penelitian yaitu bahan yang
diperuntukan sebagai acuan analisis dan pembahasan terkait kesalahan
proses CPOTB oleh pelaku usaha dalam hal ini adalah produsen
obat.17
e. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Berbagai bahan hukum yang penulis peroleh dalam melakukan
penelitian hukum melalui pendekatan normatif, aturan perundang-
undangan, serta dari buku, surat kabar, website resmi, tentang
tanggung jawab produsen obat tradisional terkait hal yang
menyebabkan obat tradisional mengandung bahan berbahaya
difokuskan kepada rumusan masalah yang akan diteliti setelah itu di
analisa secara mendalam dengan mengaitkan segala data yang didapat
dari hasil studi dokumen dan peraturan-perundang-undangn terkait,
tentang masalah-masalah yang akan di teliti, kemudian dijabarkan dan
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI
Press), 1986), h. 21.
21
dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan
yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang timbul dan
dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum ini dilakukan
secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari permasalahan yang
bersifat umum terhadap masalah yang di khususkan oleh penulis.
sehingga dapat membantu sebagai dasar acuan untuk pertimbangan
hukum dalam mengetahui tanggung jawab pelaku usaha atau produsen
obat tradisional.
4. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “petunjuk penulisan skripsi
Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing
bab terdiri dari beberapa subbab sesuai pembahasan, berikut perinciannya :
Bab pertama, penulis menguraikan mengenai alasan dalam
pemilihan judul atau latar belakang masalah. Selain itu, diuraikan juga
mengenai latar belakang masalah, dilanjutkan dengan batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan terdahulu,
(Review) kajian studi terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab kedua, penulis akan melakukan pembahasan umum mengenai
Perlindungan Konsumen Dalam Bidang Kesehatan yang menguraikan
mengenai teori perlindungan konsumen terkait hak mendapatkan
kesehatan dan lingkungan yang sehat, keharusan adanya perlindungan bagi
22
konsumen, perlindungan konsumen dalam bidang kesehatan, hak dan
kewajiban konsumen, hukum perlindungan konsumen dalam bidang
kesehatan.
Bab ketiga, penulis akan menjelaskan mengenai pengaturan
tentang sediaan farmasi juga Badan Pengawas Obat dan Makanan yang
menguraikan beberapa hal penting seperti dasar hukum industri farmasi di
Indonesia, syarat mendirikan industi farmasi di Indonesia, dasar hukum
terbentuknya BPOM, tujuan dan manfaat dibentuknya BPOM, struktur
organisasi BPOM, dan pengaturan terkait cara pembuatan obat tradisional
yang baik “CPOTB”
Bab keempat, yaitu tentang Analisis Terkait Pertanggungjawaban
Produsen Obat Tradisional Atas Kesalahan Proses “CPOTB” yang
menguraikan analisa akibat hukum bagi produsen dan atau industri farmasi
dalam hal terjadi kesalahan “CPOTB”, Peran pemerintah dalam
mengawasi dan mencegah beredarnya obat tradisional yang tidak sesuai
“CPOTB” serta mekanisme apa saja yang bisa dilakukan oleh produsen
dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Bab kelima, yaitu penutup Penulis akan menguraikan kesimpulan
yang diambil dari penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan
masalah yang telah disusun sebelumnya, dan juga saran-saran yang
dibagikan penulis dengan para pembaca.
23
BAB II
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM BIDANG
KESEHATAN
A. Hak Mendapatkan Layanan Kesehatan.
Definisi dari hukum perlindungan konsumen dapat dimaknai
secara keseluruhan maupun dalam artian terpisah yang akan disatukan
kemudian. Perlindungan hukum bila diartikan secara harfiah bisa
menimbulkan banyak pengertian seperti perlindungan hukum yang berarti
perlindungan terhadap suatu hukum tertentu agar tidak di tafsirkan secara
berbeda dan terpisah-pisah dari tujuan hukum itu sendiri guna
implementasinya yang optimal atau perlindungan hukum dalam artian
bahwa perlindungan yang diberikan oleh hukum akan sesuatu hal atau
seseorang.
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer
(Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari
consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada.
Secara harfiah arti kata consumer itu adalah”(lawan dari produsen) setiap
orang yang menggunakan barang”. Tujuan penggunaan barang atau jasa
itu nanti menentukan termasuk konsumen mana pengguna tersebut.18
Kata
konsumen juga sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari.
18
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, cet. II, (Jakarta :
Diadit Media, 2002), h. 3.
24
Berbagai pengertian tentang “konsumen” yang dikemukakan baik dalam
rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Maupun dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat ditemukan pada kedua hal
tersebut.19
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 2
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersebut dalam masyarakat , baik bagi kepentingandiri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
Secara lengkap pengertian dari perlindungan konsumen yang terdapat pada
kutipan UUPK Pasal 1 Angka 1 yaitu Perlindungan Konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen, secara jelas merupakan aturan yang
mewakili sebagian besar hak konsumen
Kesehatan adalah hak yang melekat pada manusia karena
kelahirannya sebagai manusia. Hak tersebut diperoleh bukan sebagai
pemberian negara namun karena kelahirannya sebagai manusia. Dalam
konteks religius hak-hak ini merupakan karunia Tuhan. Definisi Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis (Pasal 1 Point 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan)
Pelayanan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau
kelompok masyarakat secara keseluruhan. Pelayanan kesehatan adalah
19
Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, cet.
II, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 19.
25
setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama
dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perorangan, keluarga, kelompok dan/atau msyarakat.20
Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai
kondisi yang diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain yang telah diakui
secara Internasional. Hak atas kesehatan meliputi hak untuk mendapatkan
kehidupan yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan
perhatian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak. Pasal 25 Universal
Declaration of Human Right menyatakan hal itu sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya, lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar kekuasaannya
Perkembangan konsepsi hak asasi manusia telah menempuh tiga
tahap, sehingga hak asasi manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kategori, yaitu hak asasi manusia generasi pertama, generasi kedua, dan
generasi ketiga. Hak asasi manusia generasi pertama adalah hak-hak asasi
manusia dalam bidang sipil dan politik, yang oleh T. Koopmans disebut
sebagai de klassieke grondrechten (hak-hak dasar yang klasik). Karakter
hak asasi manusia generasi pertama tersebut adalah negatif, Hak asasi
20
Abdul Bari Syaifudin, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal, (Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, 2002), h. 17.
26
manusia generasi kedua yang disebut oleh T.Koopmans21
sebagai de
sociale grondrechten (hak-hak dasar sosial), sedangkan hak asasi manusia
generasi ketiga ialah yang dikenal dengan sebutan “solidarity rights”, yang
memaknai hak asasi manusia bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat
Meskipun pada masa itu hak asasi manusia terpusat hak-hak sipil dan
politik tetapi diakui tigak yang sangat mendasar yaitu hak hidup (Life),
hak Kemerdekaan (Liberty) , dan kepemilikan (Property)22
Hak atas kesehatan dalam hubungannya dengan kategori hak asasi
manusia tersebut, sering dimasukkan dalam hak asasi manusia generasi
kedua dan hak asasi manusia generasi ketiga. Apabila hak atas kesehatan
tersebut dikaitkan dengan “kesehatan individu”, dia masuk ke dalam hak-
hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi jika terkait dengan “kesehatan
masyarakat”, dia masuk ke dalam hak atas pembangunan.
Menurut
Muladi, kategori hak asasi manusia generasi ketiga diberikan kepada hak-
hak kolektif atas dasar solidaritas antar umat manusia berlandaskan rasa
persaudaraan dan solidaritas yang sangat dibutuhkan. Hak asasi manusia
ini mencakup the right development, right to peace and the right to
healthy. 23
21
Sri Soemantri, Refleksi HAM di Indonesia, Makalah Penataran Hukum Humanoiter
Internasional dan Hukum HAM, kerjasama Fakultas Hukum UGM dan ICRC, Juni 1998, h. 5.
22
James W.Nickel, Making Sense Of Human Rights, Terjemahan Titis Eddy
Arini,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1996), h. 5.
23
Muladi, Sumbang Saran Perubahan UUD 1945, (Yayasan Habibie Center, 2004), h. 63.
27
Indonesia mengakomodir hak kesehatan atas setiap warga negara
yang terdapat dalam, Pasal 28 H Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan : bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Setiap orang berhak atas
kesehatan, artinya kesehatan sebagai kebutuhan dasar manusia merupakan
hak bagi setiap warga negara. ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang
Nomor-36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.24
B. Hak Perlindungan Konsumen
Hak perlindungan konsumen dimaknai dengan kepentingan para
pihak yang berada dalam ruang lingkup hukum perlindungan konsumen,
namun dalam hal ini konsumen adalah pihak yang berada pada posisi
tawar rendah, berikut adalah penjabaran mengenai hak dan kewajiban
konsumen :Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy25
, pernah
mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu:
1. The right to safe product
2. The right to be informed about product
3. The right to definite choices in selecting product
4. The right to be heard regarding consumer interest
Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248
Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen, (Guide Lines For
24
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/kesehatan sebagai hakasasi-
manusia .pdf Artikel Ini Di Akses Pada Tanggal 5 Mei 2016, Pukul 11:00.
25 John F. Kennedy, Declaration Of Consumer Right, 15 Maret 1962.
28
Consumer Protection) juga merumuskan berbagai kepentingan
konsumen yang perlu dilindungi, yaitu meliputi:
a. Perlindungangan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap
kesehatan dan keamanannya
b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat
sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau
organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan
kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka.26
Hak dan kewajian konsumen terdapat pula pada Undang-Undang
Perlindungan Konsumen pada pasal 4 sebagai berikut: Pada Pasal 4 “Hak
konsumen, adalah:
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;
26
Abdul Halim Barakatullah, Hukum Perlindungan Konsumen : Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran, (Bandung: Nusa Media, 2008), h. 22.
29
Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan
lainnya.
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UUPK
lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali
dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F Kennedy27
di depan
kongres pada tanggal 15 Maret 1962, sedangkan dalam Rancangan
Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen yang
27
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 40.
30
dikeluarkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Departemen
Perdagangan dikemukakan enam hak dasar konsumen, yaitu empat hak
dasar yang disebut pertama, ditambah dengan hak untuk mendapatkan
barang sesuai dengan nilai tukar dan hak mendapat penyelesaian hukum.
a. Hak atas keamanan dan keselamatan
Hak atas keamananan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk
menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan
barang atau jasa yang diperolehnya.
b. Hak untuk memperoleh informasi
Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya
informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga
merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan
cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai.
c. Hak untuk memilih
Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai
dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan pihak dari luar. Berdasarkan
itu maka ketentuan yang dapat membantu penegakan hak tersebut
dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik
dalam pasal 19 maupun Pasal 25 ayat (1). Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Menentukan bahwa
31
“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa:
1. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang
bersangkutan
2. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya
untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu
3. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa
pada pasar yang bersangkutan
4. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
5. Hak untuk didengar
d. Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari
kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang
diperoleh tentang produk tertentu kurang memadai.
e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup Hak ini merupakan hak yang
sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Dengan
demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh
kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya
32
(secara layak). Hak-hak ini terutama yang berupa hak atas pangan,
sandang, papan, serta hak-hak lainnya yang berupa hak untuk
memperoleh pendidikan, kesehatan, dan lain lain.
f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan
yang telah menjadi rusah (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan
barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini
sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan
konsumen, baik yang berupa materi, maupun yang menyangkut diri
(sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen.
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar
konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang
diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan
produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen
akan dapat menjadi lebih kritis dalam memilih suatu produk yang
dibutuhkan.
h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;Hak atas
lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap
konsumen hak ini ada dalam Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 1997.
i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari
kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam
33
keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang
yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas
barang atau jasa yang diperolehnya. Penegakan konsumen ini
didukung pula oleh ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.28
Selain memperoleh hak tersebut, sebagai Penyeimbang
(balance), konsumen juga diwajibkan untuk: 29
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut. Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri
memperoleh perlindungan dan kepastian hukum bagi dirinya.
C. Hukum Perlindungan Konsumen Bidang Kesehatan
Perlindungan konsumen dalam bidang kesehatan yang dimaksud
adalah perlindungan terhadap manusia agar kesehatannya tidak menurun
28
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 41-45.
29
Abdul Halim Barakatullah, Hukum Perlindungan Konsumen : Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran, (Bandung : Nusa Media, 2008), h. 28.
34
atau hilang sebagai akibat penggunaan produk. Perlindungan konsumen
bidang kesehatan ini sangat penting bagi konsumen, sehingga perlu bagi
setiap konsumen. Begitu pentingnya hal ini, maka dalam WTO dijadikan
suatu bahasan tersendiri, yaitu persetujuan tentang Pelaksanaan Tindakan
Perlindungan Kesehatan Manusia, Hewan dan Tumbuh-tumbuhan
(selanjutnya disebut perlindungan kesehatan manusia), yang mana salah
satu ketentuan yang terkandung didalamnya adalah perlindungan
kesehatan manusia yang didasarkan pada bukti Ilmiah.30
Ketentuan yang menghendaki perlindungan kesehatan manusia
didasarkan pada bukti ilmiah dimaksudkan agar suatu Negara anggota
tidak memperlakukan secara berlebihan terhadap produk Negara lain
dengan dalih tindakan perlindungan kesehatan manusia. Apabila dikaitkan
dengan UUPK, maka dalam UUPK tidak ditemukan ketentuan khusus
menyebutkan bahwa untuk melindungi kesehatan konsumen, dan hanya
menyebutkan kata keamanan dan keselamatan konsumen pada uraian
tentang asas perlindungan konsumen dan hak konsumen tanpa uraian lebih
lanjut.31
Ketentuan mengenai perlindungan kesehatan bagi konsumen diatur
lebih khusus pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, berdasarkan ketentuan yang ada, pengawasan terhadap produk
yang berkaitan langsung dengan kesehatan manusia, baik yang berupa
30
Lampiran IA persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
31
Ahmad Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 184.
35
makanan/minuman maupum sediaan farmasi (obat-obatan, kosmetik dan
alat kesehatan) 32
dilakukan dalam berbagai tahap, baik mengenai bahan,
cara produksi, lingkungan produksi, pengangkutan, dan lain-lain, sehingga
apabila berbagai ketentuan tersebut dilaksanakan dengan baik maka
konsumen akan terlindungi.
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam
pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial.
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan
melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangka pembangunan kesehatan
secara menyeluruh yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional.
.33
32
Ahmad Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 193
33
Cecep Triwibowo, Etika & Hukum Kesehatan, (Yoyakarta: Nuha Medika, 2014), h. 13.
36
BAB III
PENGATURAN TENTANG SEDIAAN FARMASI TERKAIT
CPOTB
A. Tinjauan Umum BPOM Nasional
1. Pengertian dan Latar Belakang BPOM
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan
yang cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia,
makanan, kosmetika dan alat kesehatan. Dengan menggunakan
teknologi modern, industri-industri tersebut kini mampu memproduksi
dalam skala yang sangat besar mencakup berbagai produk dengan
cakupan yang sangat luas. Dengan dukungan kemajuan teknologi
transportasi dan penghalang yang makin tipis dalam perdagangan
internasional, maka produk-produk tersebut dalam waktu yang amat
singkat dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan distribusi
yang sangat luas dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat.
Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk termaksud
cenderung terus meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup
masyarakat termasuk pola konsumsinya. Sementara itu pengetahuan
masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan
menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di lain pihak iklan
dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk
mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidak rasional.
37
Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan
internasional dan gaya hidup konsumen tersebut pada realitasnya
meningkatkan resiko dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan
keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau
terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan
berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.
Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat
dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu
mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud
untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya
baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk BPOM
yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan
penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi. 34
2. Fungsi Dan Wewenang BPOM
Berdasarakan Pasal 68 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun
2001, BPOM mempunyai fungsi :
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
pengawasan Obat dan Makanan.
b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM.
34
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/latarbelakang Artikel Ini Diakses Pada
Tanggal 15 Juli 2016, Pukul 11:00.
38
d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap
kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di
bindang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata
laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian,
perlengkapan dan rumah tangga.
3. Fungsi Balai Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis)
Berasarkan Pasal 3 Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun
2014, Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai fungsi:
a. Penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan.
b. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan
penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika zat
adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan
bahan berbahaya.
c. Pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian dan penilaian
mutu produk secara mikrobiologi.
d. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi
e. Investigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum.
Pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi
tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM.
39
f. Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen.
g. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan.
h. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan.
i. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala
BadanPengawas Obatdan Makanan, sesuai dengan bidang
tugasnya.35
4. Prinsip Dasar SisPOM
a. Tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat dan profesional.
b. Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat risiko dan berbasis
bukti-bukti ilmiah.
c. Lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh
siklus proses.
d. Berskala nasional/lintas propinsi, dengan jaringan kerja
internasional.
e. Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum.
f. Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan kuat
yang berkolaborasi dengan jaringan global.
g. Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk.36
5. Visi: Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat
dan Daya Saing Bangsa.
35
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/fungsi. artikel ini diakses pada tanggal 15
Juli 2016, pukul 11:00.
36
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/prinsipdasar. artikel ini diakses pada
tanggal 15 Juli 2016, pukul 11:00.
40
Misi
a. Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis
risiko untuk melindungi masyarakat
b. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan
keamanan Obat dan Makanan serta memperkuat kemitraan dengan
pemangku kepentingan.
c. Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM.37
6. Struktur Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan
Strukturisasi organisasi pada BPOM diawali dengan Kepala
BPOM selaku pimpinan membawahi beberapa bagian yang
mempunyai porsi khusus dalam tugas dan fungsinya sebagai pejabat
BPOM gambaran struktur organisasi yang terdapat pada BPOM
Republik Indonesia yang bersumber dari laman resmi BPOM dengan
data dan informasi yang bersumber dari staf fungsional Badan POM RI
dapat dilihat melalui website (http ://www.pom.go.id).
B. Syarat-Syarat Izin Edar Sediaan Farmasi
Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi
kriteria menurut peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor
007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional sebagai berikut :
1. Menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu
37
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/visimisi. artikel ini diakses pada tanggal 15
Juli 2016, pukul 11:00.
41
2. Dibuat dengan menerapkan CPOTB
3. Memenuhi persyaratan farmakope herbal Indonesia atau persyaratan
lain yang diakui
4. Berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun menurun, dan/atau
secara ilmiah
5. Penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak
menyesatkan
Dalam upaya mendapatkan izin edar sediaan farmasi, produsen
obat tradisional harus mendaftarkan produknya ke Badan Pengawas Obat
dan Makanan dengan melakukan berbagai prosedur yang diperlukan agar
obat tradisional atau sediaan farmasi yang di produksi menjadi aman,
bermanfaat, dan bermutu saat diedarkan di masyarakat luas, dibawah ini
adalah skema prosedur pendaftaran / registrasi obat tradisional yang dapat
dilakukan produsen obat tradisional melalui Badan POM Republik
Indonesia diawali dengan pembagian jenis layanan terhadap obat
tradisional / suplemen kesehatan / obat kuasi38
:
1. Pendaftaran / registrasi baru
2. Pendaftaran ulang
3. Pendaftaran / registrasi variasi
4. Konsultasi
38
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Pedoman Standar Pelayanan
Publik Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, (Jakarta: Badan
POM RI, 2013), h. 108.
42
Maksud penetapan standar pelayanan ini adalah sebagai acuan bagi
pemohon dalam mengajukan permohonan pendaftaran/registrasi obat
tradisional, suplemen kesehatan, obat kuasi dan pedoman bagi
penyelenggaraan pelayanan pendaftaran/registrasi obat tradisional,
suplemen kesehatan dan obat kuasi. Untuk obat tradisional low risk,
permohonan pra-registrasi dan registrasi dapat diajukan secara elektronik.
Beberapa definisi terkait dengan pendaftaran / registrasi obat tradisional,
a. fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra klinik dan uji
klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi.
b. Izin edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran obat tradisional, obat
herbal terstandar, fitofarmaka, suplemen kesehatan dan obat kuasi yang
diberikan oleh kepala badan untuk dapat diedarkan di wilayah
Indonesia
c. Jamu adalah obat tradisional Indonesia
d. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan bahan baku telah distandarisasi.
e. Obat kuasi adalah obat yang telah lama dikenal dan digunakan untuk
keluhan ringan dan tidak memiliki efek farmakologi dengan
kandungan bahan tunggal maupun kombinasi.
f. Obat tradisional adalah bahan baku atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (glenik)
43
atau campuran dari bahan tersebut secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
g. Suplemen kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk
melengkapi kebutuhan zat gizi, memelihara, meningkatkan dan
memperbaiki fungsi kesehatan, mengandung satu atau lebih bahan
berupa vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari
tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau
efek fisiologis, yang tidak dimaksudkan sebagai pangan.39
6. Kerangka Prosedur Pendaftaran/Registrasi
Standar operasi pelayanan yang bisa dilakukan oleh pelaku usaha atau
produsen obat tradisional untuk pra registrasi obat tradisional
dilakukan 1-20 hari dengan tarif disesuaikan, dilanjutkan dengan
permohonan pendaftaran / registrasi dengan penyelesaian paling lama
90 hari untuk mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE) dan bila ingin
melakukan pendaftaran ulang tanpa perubahan jenis dan konten dari
obat tradisional hanya perlu memperpanjang sebelum berakhirnya
masa berlaku.
Tidak termasuk produk obat tradisional/suplemen kesehatan/obat
kuasi yang harus menyesuaikan dengan peraturan terbaru. Pengajuan
permohonan registrasi ulang dilakukan paling cepat 60 (enam puluh) Hari
dan paling lambat 10 (sepuluh) Hari sebelum berakhir masa berlaku izin
39
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Pedoman Standar Pelayanan
Publik Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, (Jakarta: Badan
POM RI, 2013), h. 55.
44
edar Apabila terdapat data terbaru terkait keamanan, khasiat dan/atau
kerasionalan formula, maka perpanjangan persetujuan izin edar dapat
ditinjau kembali.
Keterangan:
1. Sistem perhitungan waktu adalah clock on dan clock off, di mana
jangka waktu terhitung sejak diterimanya formulir Pendaftaran dengan
bukti bayar Bank;
2. Dalam hal hasil penilaian lebih lanjut memerlukan tambahan data dan
atau kajian lebih lanjut, maka penghitungan waktu dihentikan
sementara (off) terhitung setelah tanggal surat permintaan tambahan
data; dan40
3. Penghitungan waktu yang dihentikan sementara akan dilanjutkan sejak
tanggal diterimanya surat pemenuhan tambahan data (on).
4. Prosedur pelayanan permohonan pendaftaran registrasi obat
tradisional (jamu, OHT, Fitofarmaka), Suplemen kesehatan dan Obat
Kuasi
pendaftaran/registrasi secara elektronik (e-Registration) Obat Tradisional
tahap I
a. Pendaftaran Akun Perusahaan
Dokumen Pendukung: Lokal Izin industri, Sertifikat cara pembuatan
yang baik, NPWP, Berita Acara Hasil Pemeriksaan sarana Balai, Surat
persetujuan fasilitas bersama untuk industri farmasi.
40
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Standar Pelayanan
Permohonan Pendaftaran / Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan Dan Obat Kuasi,
(Jakarta: Badan POM RI, 2013), h. 105.
45
Impor Surat izin Usaha Perdagangan (SIUP), Angka Pengenal Importir
(API), Importir terdaftar (IT) Berita Acara Hasil Pemeriksaan sarana
untuk importir baru, NPWP.
b. Pendafataran/Registrasi Produk
Persyaratan Permohonan Pendaftaran/Registrasi Baru
Dokumen Administratif
1. Form Pendaftaran berisi Identitas produk & produsen/perusahaan
2. Registrasi obat tradisional, suplemen kesehatan dan obat kuasi
dalam negeri
3. Izin Industri
Obat Tradisional : Industri di Bidang Obat Tradisional
Suplemen Kesehatan : Industri Farmasi, Industri Obat
Tradisional dan Industri Pangan
Obat Kuasi : Industri Farmasi dan Industri Obat Tradisional
4. Persetujuan penggunaan fasilitas bersama, Sertifikat CPOB/CPOTB/CPPB,
Industri pangan hanya boleh mendaftar produk dengan, sediaan serbuk yang
dilarutkan, cairan (COD), Surat perjanjian kerjasama/ toll manufacturing
untuk produk yang dibuat berdasarkan kontrak
c. Registrasi obat tradisional, suplemen kesehatan dan obat kuasi impor dan lisensi
Izin Importir
1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dari Kementerian
Perdagangan dengan kategori usaha: Suplemen kesehatan, suplemen
kesehatan, obat-obat tanpa resep, kesehatan kesehatan atau dari
46
BKPM untuk distribusi di bidang obatobatan atau suplemen
kesehatan dan obat tradisional
2. Angka Pengenal Importir (API-U dan API-P), Importir Terdaftar
(IT) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan
Untuk pendaftar baru :
2.1.Akta Notaris Pendirian Perusahaan, Hasil Audit Sarana dari
Direktorat Insepeksi dan Sertifikasi atau Balai POM setempat
2.2.Certificate of Free Sale (CFS) atau Certificate of
Pharmaceutical Products (CPP) yang diterbitkan oleh instansi
kesehatan atau instansi pemerintah yang berwenang di negara
asal dan telah disahkan oleh pejabat perwakilan Pemerintah
Republik Indonesia setempat
2.3.Surat penunjukkan keagenan dari industri di negara asal yang
mencantumkan masa berlaku penunjukan, Surat kerjasama
lisensi untuk produk lisensi, Sertifikat CPOB untuk penerima
lisensi, GMP certificate yang dikeluarkan oleh pemerintah
d. Permohonan Pendaftaran/Registrasi Ulang41
Membutuhkan dokumen sebagai berikut :
1. Surat permohonan registrasi ulang, Formula produk;
2. Desain kemasan berwarna yang terbaru dan SK Persetujuan serta
semua jenis variasi yang pernah disetujui beserta desain kemasan
terakhir yang disetujui;
41
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Standar Pelayanan
Permohonan Pendaftaran / Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan Dan Obat Kuasi,
(Jakarta: Badan POM RI, 2013), h. 115.
47
3. Surat pernyataan bermaterai bahwa pendaftaran ulang yang
diajukan tidak disertai perubahan;
4. Surat pernyataan bahwa produk masih diedarkan. Untuk produk
lokal dinyatakan dengan nomor bets terakhir sedangkan untuk
produk impor mencantumkan surat keterangan impor (SKI)
terakhir;
5. Desain kemasan berwarna yang terbaru dan SK Persetujuan serta
semua jenis variasi yang pernah disetujui beserta desain kemasan
terakhir yang disetujui;
6. Untuk produk impor atau kontrak/ lisensi agar melampirkan surat
penunjukan atau surat perjanjian kontrak/ lisensi yang masih
berlaku.
C. Pengaturan Terkait Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik
(CPOTB) 42
.
CPOTB adalah bagian dari pemastian mutu yang memastikan
bahwa obat tradisional dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk
mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan
dipersyaratkan dalam izin edar dan Spesifikasi produk. CPOTB mencakup
produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur tervalidasi
yang telah ditetapkan dan memenuhi standar CPOTB yang menjamin
senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi ketentuan izin
pembuatan dan izin edar. Persyaratan dasar dari CPOTB adalah:
42
Katalog Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Pedoman Cara
Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik, (Jakarta: Badan POM RI, 2011), h. 73.
48
a) semua proses pembuatan obat tradisional dijabarkan dengan jelas, dikaji
secara sistematis berdasarkan pengalaman dan terbukti mampu secara
konsisten menghasilkan obat tradisional yang memenuhi persyaratan
mutu dan spesifikasi yang telah ditetapkan;
b) tahap proses yang kritis dalam proses pembuatan, pengawasan dan
sarana penunjang serta perubahannya yang signifikan divalidasi
c) tersedia semua sarana yang diperlukan untuk CPOTB termasuk:
1. personil yang terkualifikasi dan terlatih;
2. bangunan dan sarana dengan luas yang memadai;
3. peralatan dan sarana penunjang yang sesuai;
4. bahan, wadah dan label yang benar;
5. prosedur dan instruksi yang disetujui; dan
6. tempat penyimpanan dan transportasi yang memadai.
d) prosedur dan instruksi ditulis dalam bentuk instruksi dengan bahasa
yang jelas, tidak bermakna ganda, dapat diterapkan secara spesifik
pada sarana yang tersedia;
e) operator memperoleh pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar;
f) pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama
pembuatan yang menunjukkan bahwa semua langkah yang
dipersyaratkan dalam prosedur dan instruksi yang ditetapkan benar-
49
benar dilaksanakan dan jumlah serta mutu produk yang dihasilkan
sesuai dengan yang diharapkan. Tiap penyimpangan dicatat secara
lengkap dan diinvestigasi;
g) catatan pembuatan termasuk distribusi yang memungkinkan
penelusuran riwayat bets secara lengkap, disimpan secara
komprehensif dan dalam bentuk yang mudah diakses;
h) penyimpanan dan distribusi obat tradisional yang dapat memperkecil
risiko terhadap mutu obat tradisional;
i) tersedia sistem penarikan kembali bets obat tradisional mana pun dari
peredaran; dan
j) keluhan terhadap produk yang beredar dikaji, penyebab cacat mutu
diinvestigasi serta dilakukan tindakan perbaikan yang tepat dan
pencegahan pengulangan kembali keluhan.
Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOTB yang berhubungan
dengan pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian, serta dengan
organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa
pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan dan bahwa bahan
yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk yang belum diluluskan
tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan dinyatakan memenuhi
syarat.43
43
Katalog Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Pedoman Cara
Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik, (Jakarta: Badan POM RI, 2011), h. 77.
50
Setiap industri obat tradisional hendaklah mempunyai fungsi
pengawasan mutu. Fungsi ini hendaklah independen dari bagian lain.
Sumber daya yang memadai hendaklah tersedia untuk memastikan
bahwa semua fungsi Pengawasan Mutu dapat dilaksanakan secara
efektif dan dapat diandalkan. Persyaratan dasar dari pengawasan
mutu adalah bahwa:
a) sarana dan prasarana yang memadai, personil yang terlatih dan
prosedur yang disetujui tersedia untuk pengambilan sampel,
pemeriksaan dan pengujian bahan awal, bahan pengemas, produk
antara, produk ruahan dan produk jadi, dan bila perlu untuk
pemantauan lingkungan sesuai dengan tujuan CPOTB;
b) pengambilan sampel bahan awal, bahan pengemas, produk
antara, produk ruahan dan produk jadi dilakukan oleh personil
dengan metode yang disetujui oleh Pengawasan Mutu;
c) metode pengujian disiapkan dan divalidasi (bila perlu);
d) pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat
selama pembuatan yang menunjukkan bahwa semua langkah
yang dipersyaratkan dalam prosedur pengambilan sampel,
inspeksi dan pengujian benar-benar telah dilaksanakan Tiap
penyimpangan dicatat secara lengkap dan diinvestigasi;
51
e) produk jadi berisi bahan atau ramuan bahan yang dapat berupa
bahan nabati, bahan hewani, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut dengan
komposisi kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan yang disetujui
pada saat pendaftaran, serta dikemas dalam wadah yang sesuai
dan diberi label yang benar;
f) dibuat catatan hasil pemeriksaan dan analisis bahan awal, bahan
pengemas, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi secara
formal dinilai dan dibandingkan terhadap spesifikasi; dan
g) sampel pertinggal bahan awal dan produk jadi disimpan dalam
jumlah yang cukup untuk dilakukan pengujian ulang bila perlu.
Sampel produk jadi disimpan dalam kemasan akhir kecuali untuk
kemasan yang besar.
Pengawasan Mutu secara menyeluruh juga mempunyai tugas
lain, antara lain menetapkan, memvalidasi dan menerapkan semua
prosedur pengawasan mutu, mengevaluasi, mengawasi, dan
menyimpan baku pembanding, memastikan kebenaran label wadah
bahan dan produk, memastikan bahwa stabilitas dari zat aktif dan
produk jadi dipantau, mengambil bagian dalam investigasi keluhan
yang terkait dengan mutu produk, dan ikut mengambil bagian dalam
52
pemantauan lingkungan. Semua kegiatan tersebut hendaklah
dilaksanakan sesuai dengan prosedur tertulis dan jika perlu dicatat.44
Serangkaian CPOTB tersebut secara umum adalah upaya untuk
45mencegah terjadinya kontaminasi obat kedalam suatu jenis obat
yang pada hal ini adalah obat tradisional. Hak konsumen yang
dilanggar adalah hak mendapatkan informasi yakni hak untuk
memperoleh fakta yang diperlukan untuk menentukan pilihan atas
produk dan dilindungi pada setiap ketidak sesuaian antara informasi
dengan fakta produk
44
Katalog Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Pedoman Cara
Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik, (Jakarta: Badan POM RI, 2011), h. 83.
45
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 72.
53
BAB IV
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PRODUSEN
OBAT TRADISIONAL ATAS KESALAHAN PROSES CPOTB
A. Tanggung jawab Hukum Atas Kesalahan CPOTB Yang Dilakukan
Produsen Obat Tradisional
Tanggung jawab pada kesalahan produk cacat adalah sebuah istilah
hukum yang digunakan sebagai alih bahasa dari “product liability”.
Berbeda dari tanggung jawab sesuatu hal atau peristiwa yang telah kita
kenal, maka tanggung jawab produk, barang dan/atau jasa, yang
meletakkan beban tanggung jawab produk itu kepada pelaku usaha
pembuat produk (produsen) itu (strict liability). Kerugian yang diderita
seorang pemakai produk cacat atau membahayakannya, bahkan juga bukan
pemakai yang turut menjadi korban, merupakan tanggung jawab mutlak
dari pelaku usaha pembuat produk itu atau mereka yang dipersamakan
dengannya.46
Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku
usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap
bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk itu,
kecuali apabila ia dapat membuktikan keadaan sebaliknya, yaitu bahwa
kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya (onus of proof
reversed). Tanggung jawab produk tanpa kesalahan merupakan doktrin
46
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2002), h. 247.
54
hukum yang masih baru dan merupakan perluasan dari tanggung jawab
melawan hukum. Perkembangan pesat kegiatan dunia usaha berkat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya merupakan
pendorong utama dari doktrin baru ini. Di samping hal-hal yang telah
dikemukakan diatas, makin canggih proses pembuatan produk, tumbuhnya
sistem produk massal, makin maju sistem pemasaran yang digunakannya
dan/atau penggabungan-penggabungan usaha yang dilakukan, makin
terasa tidak mengertinya konsumen akan semua hal itu.
Dari batasan ini terlihat bahwa pihak yang bertanggung jawab
adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut (produsen), tanpa kesalahan
dari pihaknya. Perlkembangan ini dipicu juga oleh tujuan yang ingin
dicapai doktrin ini, yaitu:
1. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat yang
tidak dapat dihindari
2. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi (korban) produk cacat
yang tidak dapat dihindari.
Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya dibawah
tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian rupa
sehingga dapat membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh atau jiwa
konsumen. Misalnya, setiap orang mengharapkan air minum dalam botol
tidak berisi butir-butir pasir, seperti juga tepung gandum tidak berisi
potongan-potongan kecil besi, saus tomat tidak terbuat dari labu siam di
tambah dengan zat pewarna atau dapat pula biskuit seharusnya dibuat di
55
samping bahan baku terdiri dari tepung terigu, garam, dan tidak bercampur
dengan NANO yang beracun. Cacat yang demikian termasuk kedalam
cacat desain, sebab kalau desain produk itu dipenuhi sebagaimana
mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi,
ceperti halnya standarisasi CPOTB dalam produksi obat tradisional yang
dilakukan oleh produsen. 47
Cacat peringatan atau instruksi juga merupakan dari cacat produk
yang mana adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan
peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu.
Misalnya, peringatan produk harus disimpan pada suhu kamar atau suhu
lemari pendingin (makanan dalam kemasan). Atau dapat pula peringatan
agar dalam penggunaannya harus menggunakan voltase listrik tertentu
(televisi), larangan memakai kendaran bermotor selama menggunakannya
(Jamu Nostresa), atau pengguna ang biasa minum minuman keras melebihi
ukuran tertentu harus meminta nasihat dokter (Obat Tylenol), dan
sebagainya.
Jadi tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab
pelaku usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat
terletak pada tanggung jawab cacatnya produk berakibat pada orang, orang
lain atau barang lain, sedang tanggung jawab pelaku usaha karena
perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas rusaknya,
47
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2002), h. 248.
56
tercemarnya, berbahaya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri yang
berakibat kerugian bagi konsumen secara langsung saat mengkonsumsi
produk tersebut.
Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan
pelaku usaha yang berakibat menimbulkan kerugian dan atau
membahayakan konsumen diatur dalam Pasal 5,6,7 sampai dengan Pasal
17, Pasal 19 sampai Pasal 21 dan Pasal 24 Sampai dengan Pasal 28.
Pasal 19, Misalnya berbunyi :
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat
(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
57
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen
Dari ketentuan termuat di atas, pertama, tentang tanggung jawab
pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yang
dirugikan akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan atau
diperdagangkannya; kedua, tentang bentuk-bentuk ganti rugi berupa
pengembalian uang pembelian, atau penggantian produk, atau perawatan
kesehatan dan/atau santunan (dari asuransi), ketiga, ganti rugi harus
diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari, dan keempat, pembelana diri
dari pelaku usaha dengan pembuktian terbalik. Ternyata pelaku usahalah
yang menaggung beban pembuktian bersalah tidaknya pelaku usaha
tersebut (Pasal 22 jo. Pasal 19). Sekalipun demikian, sekiranya pelaku
usaha “segan: melakukan pembuktian tidak bersalahnya dia, maka terbuka
kemungkinan kejaksaan untuk membuktikannya. 48
1) Pertanggungjawaban Hukum Produsen Obat Tradisional dan Etika
Usaha
Menelusuri asal-usul etika tak lepas dari asli kata etbos dalam
bahasa Yunani yang berarti kebiasaan atau karakter. Dalam kata lain
48
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2002), h. 252.
58
seperti dalam pemaknaan kamus webster berarti “the distinguishing
character, sentiment, moral nature, or guiding beliefs of person,
group, or institution. “(karakter istimewa, sentimen, tabiat moral, atau
keyakinan yang membimbing seseorang, kelompok, atau institusi.
Sementara ethics yang menjadi padanan dari etika, secara
etimologis berarti „the discipline dealing with what is good and bad
and moral duty and obligation‟, „a set of moral principles or values‟,
„a theory or system of moral values. Definisi lain tentang etika
mengatakan sebagai philosophical inquiry into the nature and grounds
of morality‟. Dalam makna yang lebih tegas yaitu kutipan dalam buku
Kuliah Etika mendefinisikan etika secara berikut : The systematic
study of nature or value concepts, good, bad, ought, right wrong, etc.
Bahwa etika merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai,
baik, buruk, harus, benar, salah dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip
umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikannya atas apa
saja, disini etika dapat dimaknai sebagai dasar moralitas seseorang dan
di saat yang bersamaan juga sebagai filosofinya dalam berperilaku.49
Dari uraian diatas, di sini kita mendefinisikan etika bisnis
sebagai seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, dan salah dalam
dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam arti
lain etika bisnis berarti seperangkat prinsip dan norma di mana para
49
Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005), h. 4.
59
pelaku bisnis harus komit padanya dalam bertransaksi, berperilaku,
berelasi, dan berproduksi agar tujuan-tujuan bisnis atau usaha tercapai.
Dasar-dasar kode etik islami bagi para pelaku usaha dan/atau
bisnis berupa penamaan, makna, manfaat, sasaran, prinsip-prinsip dan
sumber yang menjadi sandaran dalam mengembangkan motivasi bisnis
guna mematuhi kode-kode etik tersebut. Penamaan dan makna kode
etik islami bagi para pelaku usaha adalah Mitsaq secara bahasa berarti
perjanjian, perserikatan, dan kesetiaan hal ini di gambarkan dengan
firman ALLAH,
نعمة الله عليكم وميثاقه الذي واثقكم بهواذكروا
“Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu dan perjanjiannya yang
telah di ikatkanNya dengan kamu (QS. Al-Maidah : 7)
Yang dimaksud kode etik islami adalah perjanjian yang
diambil oleh para pelaku usaha terhadap dirinya sendiri mengenai
sejumlah etika, contohnya etika hukum, etika moral, etika perilaku,
etika seni, dan lain-lain, yang berlaku sebagai petunjuk mereka dalam
berusaha dan menjadi sebuah standar dalam mengevaluasi perbuatan
mereka, juga menghukum mereka ketika mereka lalai atau melanggar
peraturan.50
50
Husain Shahatah, Transaksi & Etika Bisnis Islam, (Jakarta: Visi Insani Publishing,
2005), h. 31.
60
Tanggung jawab pengusaha sesuai dengan hukum positif yang
berlaku di Indonesia. Seorang konsumen bila dirugikan dalam
mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang
menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut bisa berarti
produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual
ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang
melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan
kerugian bagi konsumen, bahkan kematian pada konsumen.
Kualifikasi gugatan yang lazim digunakan di berbagai negara,
termasuk Indonesia, adalah wanprestasi (default) atau perbuatan
melawan hukum (tort) 51
Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dengan
pengusaha/perusahaan, maka kualifikasi gugatannya adalah
wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen, tidak lain karena tidak
dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha. Dalam Ilmu Hukum disebut
Doktrin Privity Of Contract. 52
Dalam doktrin ini tidak ada hubungan
kontraktual, tidak ada tanggung jawab” (no privity no liability
principle). Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan
melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah disyaratkan.
51
A Zen Umar Purba, Kesederajatan Kedudukan Antara Konsumen Dan Pengusaha,
(Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1994)
52
Yusuf Sofie, Perindunan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Jakarta:
PT.Citra Aditya Bakti Bandung, 2003), h. 250.
61
Dengan kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus
membuktikan unsur-unsur:
1. Adanya perbuatan melawan hukum
2. Adanya kesalahan/kelalaian pengusaha/perusahaan
3. Adanya kerugian yang diderita konsumen
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum
dengan kerugian yang dialami konsumen.
Jadi konsumen dihadapkan pada beban pembuktian (burden of
prover) karena harus membuktikan keempat unsur tersebut. Hal ini
dirasakan berat bagi konsumen dengan dasar beberapa pertimbangan
pertama, secara sosial ekonomi kedudukan konsumen lemah
dibandingkan dengan kedudukan pengusaha/perusahaan, walaupun di
mata hukum semua memiliki kedudukan yang sama. Dalam
menghadapi gugatan konsumen, pengusaha lebih mudah mendapatkan
pengacara untuk membela kepentingan-kepentingannya, termasuk
dalam membuktikan dalil-dalilnya lewat keahlian para ahli dari
berbagai bidang sesuai dengan produk yang dihasilkannya. Bagi
konsumen sulit membuktikan “unsur ada tidaknya kesalahan/kelalaian
pengusaha/perusahaan dalam proses produksi, pendistribusian dan
penjualan barang atau jasa yang telah dikonsumsi oleh konsumen.
2) Tanggung Jawab Hukum Produsen Obat Tradisional Atas Kesalahan
CPOTB Menurut Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Lainnya
62
Tanggung jawab berdasarkan jaminan produk yang tertulis,
tuntutan ganti kerugian konsumen atas dasar ingkar janji yang
sifatnya dinyatakan secara terbuka atau tegas-tegas dinyatakan oleh
produsen merupakan suatu bentuk perlindungan konsumen yang
minimal, karena gugatan konsumen hanya dibatasi pada hal-hal yang
secara tegas diperjanjikan. Padahal keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan konsumen untuk mengetahui kondisi produk dalam hal
ini obat tradisional, serta bentuk-bentuk perjanjian standar yang
cenderung membatasi tanggung jawab pihak produsen mengakibatkan
berkurangnya tanggung jawab pihak produsen.53
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
menanggapi tanggung jawab atas sediaan farmasi merupakan beban
pemerintah dalam hal pencegahan terjadinya obat tradisional
mengandung BKO yang termaktub dalam pasal 17 menjelaskan
bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses
informasi, edukasi, dan fasilitas kesehatan, untuk meningkatkan dan
memelihara derajat kesehatan, yang setinggi-tingginya, jelas bahwa
upaya perlindungan konsumen yang dilakukan pemerintah merupakan
tanggung jawab pencegahan.
Tanggung jawab produsen atas kesalahan CPOTB menurut
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan di
wujudkan dalam bentuk sanksi yang menjadi buah dari penegakan
53
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Tanggung Jawab Mutlak, ( Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), 75.
63
hukum perlindungan konsumen dalam bidang kesehatan yang tidak
diatur secara khusus pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Produsen obat tradisional yang
melakukan perbuatan melawan hukum (Tort) dapat dijerat dengan
pasal 196 terkait kesengajaan setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan / alat kesehatan
yang tidak memenuhi standar dan/ atau persyaratan keamanan, khasiat
atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam pasal 98
ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
Tahun dan denda paling banyak Rp 1000.000.000.00,- (Satu Miliar)
Sistem tanggung jawab hukum Produsen juga diatur di
peraturan lainnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998
Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan bahwa
produsen secara langsung bertanggung jawab atas produk yang akan
di edarkan ke pasar melalui serangkaian prosedur registrasi obat demi
mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE), setelah itu dilakukan pengujian
laboratoris secara berkala sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) dan Pasal
36 yang berbunyi :
Pasal 34 (1) Dalam rangka menjamin sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan diselenggarakan upaya pemeliharaan mutu sediaan
farmasi dan alat kesehatan,
Pasal 36 : Untuk melindungi masyarakat dari bahaya disebabkan oleh
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan, dilakukan pengujian
kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan.
64
dan bila terbukti ada unsur kesengajaan seacara tegas produsen obat
tradisional dapat diekanakan tindakan administratif sesuai Pasal 72
Sebagai berikut:
1. Peringatan secara tertulis
2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah
menarik produk sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran
yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan.
3. Perintah pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan, jika
terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan
4. Pencabutan sementara atau pencabutan tetap izin usaha industri
obat tradisional, izin edar sediaan dan alat kesehatan serta izin lain
yang diberikan.
Ketentuan pidana yang dapat diberlakukan sebagai bentuk lain
tanggung jawab hukum produsen obat tradisional yang tidak terdapat
di dalam Undang-undang Nomo 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yakni terdapat pada Pasal 76 Peraturam Pemerintah Nomor
72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat
Kesehatan Republik Indonesia, sebagai berikut :
Pasal 76 Barangsiapa dengan sengaja :
a. Memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa
obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf b
b. Memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa
kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf c.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00- (Seratus
juta rupiah) .
65
3) Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi54
Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur litigasi atau
pengadilan telah diatur pada Pasal 48 UUPK “Penyelesaian sengketa
konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang
peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan
dalam padal 45 di atas” Penunjukan pasal 45 dalam hal ini, lebih
banyak tertuju pada ketentuan tersebut dalam ayat (4). Artinya
penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya
dimungkinkan apabila :
a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, atau
b. Upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa.
Satu hal yang harus diingat, bahwa cara penyelesaian sengketa
melalui pengadilan menggunakan hukum acara yang umum berlaku
selama ini, yaitu HIO/RBg. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam
dunia bisnis dalam hal ini obat tradisional merupakan masalah
tersendiri, karena apabila para pelaku bisnis menghadapi sengketa
tertentu, maka dia akan berhadapan dengan proses peradilan yang
berlangsung lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit,
54
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 235.
66
sedangkan dalam dunia usaha, penyelesaian sengketa adalah yang
dapat berlangsung cepat dan murah.
Hal ini sulit terwujud apabila ditemukan pihak yang
bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan, karena proses
penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), akan berakhir
dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan pihak lainnya.
Disamping itu, secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan
terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu karena:55
1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya
lambat atau disebut buang-buang waktu lama diakibatkan oleh
proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis.
Disamping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan
pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak.
2. Biaya perkara yang mahal
Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dirasakan sangat mahal, lebih-lebih jika dikaitkan
dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena semakin lama
penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus
dikeluarkan. Biaya ini akan semakin bertambah jika
diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit.
55
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 186-187.
67
3. Pengadilan umumnya tidak responsif
Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dilihat dari
kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi
kepentingan umum. Demikian pula pengadilan dianggap sering
berlaku tidak adil, karena hanya memberi pelayanan dan
kesempatan serta keleluasaan kepada “lembaga besar” atau “orang
kaya”.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
penulis paparkan pada bab sebelumnya dengan mengacu pada rumusan
masalah yang telah penulis rinci, maka penulis menyimpulkan sebagai
berikut :
Pertama, untuk melindungi konsumen dari perlakuan produsen
serta tanggung jawab dalam hal kesalahan proses "CPOTB" telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
dan,Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Teknis Cara
Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Didalam peraturan-pertaturan
tersebut telah jelas mengemukakan mengenai hal-hal yang harus dilakukan
dan tidak dilakukan oleh pelaku usaha maupun konsumen.
Kesalahan "CPOTB" yang dilakukan oleh produsen dan/atau
pelaku usaha baik disengaja maupun tidak sengaja mempunyai
konsekuensi hukum yang serius, dikarenakan efek yang ditimbulkan telah
masuk pada tatanan hak fundamental yakni hak kesehatan dalam kaitannya
dengan kesehatan konsumen.
69
Kedua pemerintah berperan aktif dalam memberikan informasi
tentang obat tradisional yang harus dihindari oleh konsumen melalui
booklet peringatan publik yang setiap tahunnya di keluarkan oleh Badan
POM RI, baik melalui media cetak maupun media elektronik melalui
laman resmi Badan POM RI. Hal yang perlu disayangkan adalah
minimnya pengetahuan masyarakat tentang obat tradisional yang
dikonsumsinya dikarenakan penyebaran informasi belum merata ke
kalangan masyarakat bawah ataupun sikap kurang kehati-hatian.
Mengenai tanggung jawab pelaku usaha terkait kesalahan
"CPOTB" tanggung jawab produk, barang dan/atau jasa, yang meletakkan
beban tanggung jawab produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk
(produsen) itu (strict liability). Kerugian yang diderita seorang pemakai
produk cacat atau membahayakannya, bahkan juga bukan pemakai yang
turut menjadi korban, merupakan tanggung jawab mutlak dari pelaku
usaha pembuat produk itu atau mereka yang dipersamakan dengannya
kecuali apabila ia dapat membuktikan keadaan sebaliknya, yaitu bahwa
kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya (onus of proof
reversed).
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
penulis paparkan pada bab sebelumnya serta kesimpulan yang telah
diuraikan di atas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
70
1. Kepada Produsen dan/atau pelaku usaha dan yang dipersamakan
kedudukannya, harus lebih mengedepankan prinsip kehati-hatian
dalam proses pembuatan obat tradisional yang baik sesuai dengan
pedoman teknis yang ada, untuk iklim industri obat yang sehat serta
untuk membangun kepercayaan masyarakat akan obat tradisional yang
beredar.
2. Kepada pemerintah khususnya Badan POM RI diharapkan lebih
ditingkatkan kembali dalam melakukan koordinasi dengan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dalam melindungi
konsumen dan melakukan pengawasan berkala terhadap obat impor
dan perusahaan importir guna mencegah adanya obat yang tidak
standar tidak bermutu dan mengandung bahan kimia obat, dalam
pemberian izin edar seharusnya BPOM melakukan pengujian setiap
triwulan sekali dikarenakan banyak produsen dan/atau pelaku usaha
yang menurun tingkat keawasannya setelah mendapatkan izin edar.
3. Kepada Masyarakat diharapkan lebih aktif dalam memilih dan
mengetahui secara jelas apapun yang akan dikonsumsi dan digunakan,
agar terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan, karena telah banyak
fasilitas yang diberikan guna mendapatkan informasi tersebut contoh
dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada bagian pengaduan
konsumen, juga pada Badan POM RI unit pengaduan konsumen.
4. Kepada lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dalam
hal ini Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dalam hal ini
71
diharapkan lebih meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak yang
terkait dengan perlindungan konsumen guna terciptanya rasa aman
kepada konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
72
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adi Rianto, Metode Penelitian Sosial Dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004.
Ali Zainuddin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Ahmadi Muhammad Fahmi, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Pedoman
Standar Pelayanan Publik Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan
Makanan Republik Indonesia, Jakarta: Badan POM RI, 2013.
Barakatullah Halim Abdul, Hukum Perlindungan Konsumen : Kajian
Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, Bandung: Nusa Media, 2008.
Badroen Faisal, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta : UIN Jakarta Press,
2005.
Bryan A, Garner, Black‟s Law Dictionary. St. Paul, Minnesota: West
Publishing, 2004. Eight Edition
Harahap.M Yahya, Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Harahap M Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Indonesia Konsumen Lembaga Yayasan, Lika-Liku Perjalanan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: YLKI, 2001.
Katalog Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia,
Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik, Jakarta: Badan
POM RI, 2011.
Kelsen Hans, Pure Theory of Law. Barkely University of California Press,
1978.
Marzuki Mahmud Peter, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008
Miru Ahmadi, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013
73
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2010.
Muladi, Sumbang Saran Perubahan UUD 1945, Yayasan Habibie Center,
2004
Nugroho Adi Susanti, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
dari Hukum Acara; Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008.
Nasution AZ, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Diadit Media,
2002.
Peter Colin, Business English Dictionary. London: Linguaphone Institute
Limited.
Purba Umar Zen A, Kesederajatan Kedudukan Antara Konsumen Dan
Pengusaha, Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1994.
Samsul Inosentius, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan
Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
Setiawan Rachmat, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum
Bandung: Binacipta, 1991.
Shahatah Husein, Transaksi & Etika Bisnis Islam, Jakarta: Visi Insani
Publishing, 2005
Sofie Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen
Hukumnya..Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo,
2000.
Sulastri Dan D Tantri C, Gerakan Organisasi Konsumen, Jakarta:Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, 1995.
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia. UI Press, 1986.
Soemanti Sri, Refleksi HAM di Indonesia, Makalah Penataran Hukum
Humanoiter Internasional dan Hukum HAM, kerjasama Fakultas Hukum
UGM dan ICRC, Juni 1998.
74
Sularsi, Penyelesaikan Sengketa Konsumen dalam UU Perlindungan
Konsumen dalam Lika Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2001.
Syaifudin Bari Abdul, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal Dan Neonatal, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, 2002.
Triwibowo Cecep, Etika & Hukum Kesehatan, Yoyakarta: Nuha Media,
2014.
W.Nickel James, Making Sense Of Human Rights, Terjemahan Titis Eddy
Arini, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1996.
Yunus Nur Rohim, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia.
Jakarta: Jurisprudence press, 2012.
Yodo Sutarman dan Miru Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Zohra Baso Andi, Langkah Perempuan Menuju Tegaknya Hak-Hak
Konsumen Makasar: Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan.
2000.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada
group, 2013.
Website :
www.kbbi.web.id
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/latarbelakang
https://id.wikipedia.org/wiki/Tata_kelola_perusahaan
https://id.m.wikipedia.org/wiki/penelitian_kuantitatif
http://metro.sindonews.com/read/1127287/170/1-5-ton-mi-kuning-
berformalin-beredar-di-pasar-bulak-klender-1469789770
http://news.detik.com/berita/3087904/polisi-gerebek-pabrik-tahu-
berformalin-di-bekasi
75
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/pers/256/Penjelasan-Badan-
POM-Tentang-Kejadian-Tidak-Diinginkan-Yang-Serius-Terkait-Injeksi-
Buvanest-Spinal.html
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/kesehatan sebagai
hakasasi-manusia .pdf
http://uad.ac.id/id/bahaya-jamu-berbahan-kimia-obat,
Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Presiden Republik Indonesia
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
No. 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor
Hk.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi
Obat Yang Baik
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Teknis Cara
Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 2013 Tentang Standar Pelayanan Publik Di Lingkungan
Badan Pengawas Obat Dan Makanan.