JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 1
POTENSI DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR DI
KECAMATAN PATUK, YOGYAKARTA MENGGUNAKAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)
(1)Reni Aqwil Masithah(2)Dra. Hj. Lily Handayani, M.Si(2)Ir. Warsiyah, M.Sc
(1)Mahasiswa Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Yogyakarta
(STTL”YLH) (2)Dosen Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Yogyakarta (STTL”YLH)
Jalan Janti Km. 04 Gedongkuning Yogyakarta
Email: [email protected]
INTISARI
Kecamatan Patuk termasuk salah satu Sub Zona Fisiografi Pegunungan
Baturagung bersama Kecamatan Gedangsari, Ngawen dan Semin. Wilayah tersebut
didominasi perbukitan-pergunungan, dengan ketinggian berkisar 200 - 700 m dan
kelerengan berkisar 8 - >40%. Di daerah Patuk ini juga terdapat formasi Geologi
Nglanggeran, Wonosari, Sambipitu, Semilir, dan Nampol, sedangkan untuk jenis
tanahnya mayoritas terdiri dari litosol, regosol dan grumusol yang relatif peka
terhadap longsor. Curah hujan yang tinggi berkisar 2000-2500 mm/tahun membuat
Kecamatan Patuk rawan terhadap terjadinya bencana longsor. Dengan dilakukan
penelitian ini, akan diketahui persebaran dari risiko rawan longsor di Kecamatan
Patuk dan usaha mitigasi yang dapat dilakukan.
Pengumpulan data beberapa parameter melalui BAPPEDA tentang curah
hujan, kondisi batuan, jenis tanah, penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Selain
itu juga dilakukan observasi secara langsung melalui fieldcheck. Data yang telah
dikumpulkan lalu diolah melalui seperangkat komputer dengan software ArcGIS
10.3.Setelah dilakukan overlay dari kelima parameter maka didapatkan
petadistribusi risiko bencana tanah longsor. Analisis data hasil penelitian berupa
peta rawan bencana tanah longsor akan dilakukan secara deskriptif.
Wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi terletak pada Desa Nglegi
dengan luasan 5,94 km2, Desa Terbah dengan luasan 4,96 km2 dan Desa Ngoro oro
dengan luasan 2,91 km2. Pada 3 desa tersebut diketahui memiliki kemiringanlereng
tinggi yaitu lebih dari 45% dan curah hujan tinggi berkisar 2000-2500 mm/tahun.
Jenis tanah Desa Nglegi berupa komplek regosol dan grumusol memiliki kepekaan
terhadap longsor tinggi. Wilayah yang memiliki tingkat kerawanan rendah berada di
Desa Bunder dengan luasan yaitu 5,29 km2, kemiringanlereng yang cukup landai
dan banyaknya kebun di Desa Bunder membuatsebagian besar daerah desa tidak
mudah mengalami bencana longsor. Wilayah dengan tingkat kerawanan sedang
yang cukup luas terletak pada Desa Nglanggeran dengan luasan 6,31 km2, Desa
Semoyo dengan luasan 5,70 km2 dan Desa Putat dengan luasan 5,21 km2. Tindakan
mitigasi yang dapat dilakukan yaitu dengan papan peringatan rawan bencana tanah
longsor, penggunaan webbing jute dan slope reshapping.
Kata kunci: Tanah longsor, Sistim Infromasi Geografis
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 2
POTENTIAL AREAS PRONE TO LANDSLIDES IN DISTRICT
PATUK, YOGYAKARTA USING THE GEOGRAPHIC
INFORMATION SYSTEM (GIS
ABSTRACT
Patuk Sub district was one of subzone of Baturagung Mt. together with
Gedangsari Sub district, Ngawen and Semin. That area contained many hills and
mountains with average height 200 – 700 m and the slope interval was 8 - >40%.
At Patuk Sub district could be found Nglanggaran Geology Formation, Wonosari,
Sambipitu, Semilir, and Nampol, while the soil was mostly contained of grumusol,
regosol and litosol type which relatively so sensitive with erosion. High rainfall rate
in Patuk Sub district revolved at 2000-2500 mm/year. So the research done with
purpose to know about the risk distribution of landslide in Patuk Sub district and
how to prevent it.
First step of this research was to collect few parameter data by BAPPEDA
about rainfall rate, geology condition, soil type, land use and slope data. In addition
we did observation too directly to the location. The data that have been obtained, to
process with GIS Software 10.3. After we did the overlay from five parameter,
results of analysis showed risk distribution map of landslide in Patuk District. The
result of this research will be a map which shows the dangerous area which
vulnerable with landslide. Data analysis about the research result would do
descriptively.
Highest risk located at Nglegi Village 5,94 km2, Terbah Village 4,96 km2
and Ngoro oro 2,91 km2. At those 3 villages can be found out that they have steep
slope more than 45% and high rainfall rate about 2000-2500 mm/year. The soil in
Nglegi village was sensitive type to landslide which contain of regosol and grumusol
soil. Lowest risk located at Bunder Village 5,29 km2 with land which relatively flat
and many plantation at that village make this village not in danger condition.
Middle risk located at nglanggeran Village 6,31 km2, Semoyo Village 5,70 km2 and
Putat Village 5,21 km2. Prevention action that will do is to supply warning street
sign about landslide risk, using webbing jute in several location and do slope
reshaping.
Keywords:landslide, Geography Information System
Pendahuluan
Cuaca ekstrim akibat perubahan
iklim global banyak mendatangkan
bencana alam baik bencana banjir,
longsor dan lain-lain. Contoh dari
cuaca ekstrim tersebut antara lain
Elnino, Lanina dan Dipole Mode.
Cuaca ekstrim tersebut membuat
Indonesia sangat rawan terjadi bencana
alam karena Indonesia sendiri berada
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 3
pada tiga lempeng tektonik aktif
(Arsjad dan Riadi, 2013). Diantara
bencana alam yang berpotensi
mendatangkan bahaya bagi penduduk
di suatu wilayah adalah tanah longsor
atau land slide. Longsor merupakan
proses geomorfologi dalam menuju
keseimbangan baru permukaan bumi.
Jika longsor terjadi dalam skala besar
maka akan mendatangkan kerugian
besar karena bersifat destruktif dan
juga terkadang menelan korban jiwa
(Arsjad, 2012).
Kabupaten Gunungkidul adalah
salah satu propinsi yang terletak di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Penelitian ini akan bertempat di
Kecamatan Patuk yang termasuk salah
satu Sub Zona Fisiografi Pegunungan
Baturagung bersama Kecamatan
Gedangsari, Ngawen dan Semin.
Secara dominan wilayah tersebut
berupa perbukitan-pergunungan,
dengan ketinggian berkisar 200 - 700
m dan kelerengan berkisar 8 - >40%.
Di daerah Patuk ini juga terdapat
formasi Geologi Andesit,
Gunungwungkal, Wuni, Semilir,
Nglangran dan Mandalika, sedangkan
untuk jenis tanahnya adalah jenis
rensina (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Gunungkidul, 2013).
Terjadinya longsor bisa
diketahui sebelumnya dengan cara
salah satunya yaitu memetakan daerah
yang diprediksi rawan tanah longsor
sebagai alat bantu dan melakukan
tindakan pencegahan. Dengan
mengetahui status kawasan tersebut
kita dapat melakukan upaya-upaya
komprehensif untuk mengurangi
resiko bencana tanah longsor, antara
lain dengan melakukan kegiatan
mitigasi yaitu upaya-upaya untuk
meminimalkan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana dengan
melakukan analisis terhadap
kerawanan tanah longsor.
Mitigasi tanah longsor dilakukan
dengan memperhatikan
keberlangsungan kondisi tanah pada
suatu lereng. Oleh karena itu,
perlakuan khusus melalui upaya
konservasi tanah menjadi suatu hal
yang penting. Upaya konservasi tanah
sangat membantu dalam menstabilkan
tanah, terutama untuk membuat lereng
stabil.
Untuk dapat memantau dan
mengetahui potensi daerah-daerah
yang memiliki potensi terjadinya tanah
longsor, penelitian ini akan dibantu
dengan software ArcGIS 10.3 yang
akan dilakukan perhitungan skor
kerawanan (kumulatif) sehingga
didapatkan peta persebaran daerah
rawan longsor. Dengan dihasilkannya
peta persebaran daerah rawan longsor
di Kecamatan Wonosari, maka hasil
dari kajian peta tersebut dapat
memberikan kita gambaran tentang
upaya konservasi yang dapat dilakukan
terhadap daerah tersebut.
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 4
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sebaran potensi
tanah longsor di Kecamatan
Patuk?
2. Apa saja faktor yang
berpengaruh terhadap potensi
terjadinya tanah longsor di
Kecamatan Patuk?
3. Apa saja kegiatan konservasi
yang dilakukan sebagai bentuk
mitigasi terhadap bencana
tanah longsor tersebut?
Tujuan
1. Mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap
terjadinya tanah longsor di
Kecamatan Patuk.
2. Memetakan penyebaran
kawasan rawan bencana tanah
longsor di Kecamatan Patuk.
3. Mengetahui tindakan
konservasi tanah yang harus
diupayakan sebagai bentuk
mitigasi bencana tanah longsor
di Kecamatan Patuk.
Manfaat
1. Memberikan informasi yang
termuat dalam bentuk peta
mengenai daerah rawan tanah
longsor.
2. Memberikan peringatan sedini
mungkin terhadap
kemungkinan terjadinya tanah
longsor.
Tinjauan Pustaka
Tanah Longsor
Tanah longsor merupakan
bencana alam yang sering terjadi di
Indonesia dan menimbulkan dampak
cukup besar secara material maupun
non material. Tanah longsor dapat
terjadi akibat faktor statis (kemiringan
lereng) dan faktor dinamis (tata guna
lahan). Beberapa daerah rawan longsor
di Indonesia antara lain Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sumatra Barat, sebagain
Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara Timur dan
sebagian Papua (Rendra dkk, 2016).
Tanah Longsor secara umum
adalah perpindahan material
pembentuk lereng berupa batuan,
bahan rombakan, atau tanah yang
bergerak ke bawah atau keluar lereng.
Secara geologi tanah longsor adalah
suatu peristiwa geologi dimana terjadi
pergerakan tanah seperti jatuhnya
bebatuan atau gumpalan besar tanah
(Nandi, 2007).
Penyebab Terjadinya Tanah
Longsor
Highland dan Bobrowsky (2008)
menuliskan bahwa ada 2 penyebab
primer dari tanah longsor yaitu :
manusia dan alam. Bahkan terkadang
tanah longsor disebabkan dari
kombinasi keduanya yang membuat
kejadian tanah longsor tersebut lebih
buruk. Faktor alam utama yang dapat
menyebabkan tanah longsor yaitu air,
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 5
aktivitas seismik dan aktivitas gunung
berapi. Efek dari ketiga penyebab
tersebut sangatlah bervariasi dan
tergantung dari faktornya, antara lain
kemiringan lereng, morfologi atau
bentuk dari sebuah medan, jenis tanah,
dan ada atau tidaknya masyarakat
disekitar area yang terkena efeknya.
Faktor Alam : Air
Kejenuhan air sebuah lereng
merupakan penyebab utama terjadinya
tanah longsor. Kejenuhan tersebut bisa
muncul dalam bentuk turunnya hujan
lebat, perubahan tingkat dalam air
tanah, kenaikan level permukaan air
sepanjang pantai, di danau, bendungan
air, dan sungai (Highland dan
Bobrowsky, 2008). Musim kering
yang panjang akan menyebabkan
terjadinya penguapan air di permukaan
tanah dalam jumlah besar. Hal itu
menyebabkan munculnya pori-pori
atau rongga tanah hingga terjadi
retakan dan merekahnya tanah
permukaan. Ketika hujan, air akan
menyusup ke bagian yang retak
sehingga tanah dengan cepat
mengembang kembali. Pada awal
musim hujan, intensitas hujan yang
tinggi biasanya sering terjadi, sehingga
kandungan air pada tanah menjadi
jenuh dalam waktu singkat. Hujan
lebat pada awal musim dapat
menimbulkan longsor karena melalui
tanah yang merekah air akan masuk
dan terakumulasi dibagian dasar
lereng, sehingga menimbulkan gerakan
lateral (Nandi, 2007).
Curah hujan yang turun akan
mempengaruhi kondisi air tanah, tanah
yang kandungan air tanahnya
meningkat maka akan meningkat
massanya dan semakin rendah tingkat
kepadatan dan kekompakannya.
Longsoran disebabkan oleh
kondisi tata air tanah dan sifat
fisik/mekanik tanah yang tidak baik,
sehingga pada saat musim hujan telah
terjadi air tinggi sehingga dapat
menimbulkan peningkatan tekanan air
tanah (pore water pressure),
penurunan kekuatan dan tahanan geser
tanah akan menyebabkan longsoran
(BBSDLP , 2009).
Faktor Alam : Aktivitas Seismik
Banyaknya daerah yang berbukit
membuat daerah tersebut lebih mudah
mengalami tanah longsor. Dan juga
daerah yang sering mengalami gempa
bumi. Terjadinya gempa bumi di
daerah dataran yang cukup tinggi
meningkatkan kemungkinan terjadinya
tanah longsor di daerah tersebut
(Highland dan Bobrowsky, 2008).
Getaran yang yang terjadi biasanya
diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan,
getaran mesin dan getaran lalu lintas
kendaraan. Akibat yang
ditimbulkannya adalah tanah, badan
jalan, lantai, dan dinding rumah
menjadi retak (Nandi, 2007).
Munculnya retakan di permukaan
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 6
bumi tersebut yang membuat infiltrasi
air lebih mudah terjadi.
Faktor Alam : Aktivitas Gunung
Berapi
Menurut Highland dan
Bobrowsky (2008), tanah longsor yang
disebabkan aktivitas gunung berapi
merupakan tipe paling mengenaskan.
Lava gunung berapi dapat melelehkan
salju dengan cepat dan menyebabkan
banjir lahar dingin yang akan turun
dengan cepat dan menghabcurkan
segala benda di depannya. Bangunan-
bangunan volkanik rata-rata masih
muda, tidak solid dan secara geologis
memiliki struktur yang lemah yang
dapat runtuh kapan saja dan
menyebabkan runtuhnya bebatuan dan
tanah longsor.
1. Faktor Manusia
Meningkatnya populasi yang
mengisi lahan baru dan membangun
sebuah desa dan kota merupakan arti
sebenarnya dari kontribusi manusia
terhadap terjadinya tanah longsor.
Mengganggu atau mengubah bentuk
drainase alami, membuat
ketidakstabilan sebuah lereng, dan
menghilangkan vegetasi alami
merupakan tindakan yang umum
dilakukan oleh manusia yang akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya tanah
longsor (Highland dan Bobrowsky,
2008).
Berdasarkan Paimin dkk (2009)
pengalaman lapangan, proses tanah
longsor bisa dipilah dalam tiga
tingkatan yakni: massa tanah sebagian
besar telah meluncur ke bawah
(longsor), massa tanah bergeser
sehingga menimbulkan rekahan/retak
(rayapan), dan massa tanah belum
bergerak tetapi memiliki potensi
longsor tinggi (potensial longsor)
Beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada daerah longsor
maupun rawan longsor adalah sebagai
berikut:
1. Slope reshaping lereng terjal
(pembentukan lereng lahan menjadi
lebih landai) pada daerah yang
potensial longsor.
2. Penguatan lereng terjal dengan
bronjong kawat pada kaki lereng.
3. Penutupan rekahan/retakan
tanah dengan segera karena pada
musim penghujan rekahan bisa diisi
oleh air hujan yang masuk ke dalam
tanah sehingga menjenuhi tanah di atas
lapisan kedap.
Bangunan rumah dari kontruksi
kayu (semi permanen) lebih tahan
terhadap retakan tanah disbanding
dengan bangunan pasangan batu/bata
pada lahan yang masih akan bergerak.
Teknik Konservasi Vegetatif
Rendra dkk (2009) menyatakan
bahwa rekayasa vegetatif merupakan
teknik penggunaan tumbuhan dan sisa-
sisa tumbuhan untuk mengurangi daya
rusak akibat hujan yang jatuh,
mengurangi jumlah dan daya rusak
aliran permukaan serta erosi. Teknik
ini menjadi salah satu teknik
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 7
pencegahan tanah longsor yang efektif
dan efisien bagi kondisi lereng karena
mampu memperbaiki kapasitas
infiltrasi lereng dengan biaya yang
relatif lebih murah dan menambah
keindahan bentang alam.
Teknik pengendalian tanah
longsor metode vegetatif (konservasi
vegetatif) harus dipilahkan antara
bagian kaki, bagian tengah, dan bagian
atas lereng. Stabilisasi tanah
diutamakan pada kaki lereng, baik
dengan tanaman (vegetatif) maupun
bangunan. Persyaratan vegetasi untuk
pengendalian tanah longsor antara lain:
jenis tanaman memiliki sifat perakaran
dalam (mencapai batuan), perakaran
rapat dan mengikat agregat tanah, dan
bobot biomassanya ringan. Pada lahan
yang rawan longsor, kerapatan
tanaman beda antara bagian kaki
lereng (paling rapat=standar kerapatan
tanaman), tengah (agak jarang= ½
standar) dan atas (jarang= ¼ standar).
Kerapatan yang jarang diisi dengan
tanaman rumput dan atau tanaman
penutup tanah (cover crop) dengan
drainase baik, seperti pola agroforestri.
Pada bagian tengah dan atas lereng
diupayakan perbaikan sistem drainase
(internal dan eksternal) yang baik
sehingga air yang masuk ke dalam
tanah tidak terlalu besar, agar tingkat
kejenuhan air pada yanah yang berada
di atas lapisan kedap (bidang gelincir)
bisa dikurangi bebannya (Paimin dkk,
2009).
Teknik Konservasi Mekanik
Konservasi tanah mekanik
adalah semua perlakuan fisik mekanis
yang diberikan kepada tanah dan
pembuatan bangunan yang ditujukan
untuk mengurangi aliran permukaan
dan erosi serta meningkatkan kelas
kemampuan tanah. Teknik konservasi
tanah ini dikenal pula dengan sebutan
metode teknis sipil.
Perlakuan fisik mekanis terhadap
tanah tetap diperlukan meskipun
metode sipil teknis bukan menjadi
pilihan utama, namun perlakuan fisik
mekanis seperti pembuatan saluran
pembuangan air (SPA) atau bangunan
terjunan masih tetap diperlukan untuk
mengalirkan sisa aliran permukaan
yang tidak terserap oleh tanah. Teknik
konservasi mekanik juga perlu
dipertimbangkan bila masalah erosi
sangat serius dan atau teknik
konservasi vegetatif dinilai sudah
tidak efektif lagi untuk menanggulangi
erosi yang terjadi. Pada prakteknya,
sulit dipisahkan antara teknik
konservasi mekanik dan teknik
konservasi vegetatif. Penenerapan
teknik konservasi tanah secara
mekanik juga akan lebih efektif dan
efisien apabila dikombinasikan dengan
teknik konservasi tanah vegetatif,
seperti penggunaan rumput atau
legume sebagai tanaman penguat teras,
penggunaan mulsa, ataupun
pengaturan pola tanam.
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 8
Selain terasering dan berbagai
bentuk teras lainnya, misalnya teras
gulud, teras kebun, teras kredit, dan
teras individu, metode konservasi
tanah lainnya yang tergolong sebagai
tindakan mekanik adalah rorak,mulsa
vertical, barisan batu, saluran drainase
(saluran pengelak, saluran
pembuangan air dan bangunan
terjunan), pembuatan bedengan searah
kontur, dan lain sebagainya. Olah
tanah konservais (olah tanah
minimum, tanpa olah tanah,
pengolahan tanah menurut kontur)
juga termasuk teknik konservasi
mekanik (Dariah dkk, 2009).
Sistem Informasi Geografis
Tantangan besar yang sedang
kita hadapi di seluruh dunia saat ini
yaitu overpopulation, polusi,
berkurangnya luas hutan dan bencanan
alam. Semua permasalahan itu
mempunyai dimensi secara geografis.
Permasalahan lokal juga memiliki
komponen geografis yang dapat
divisualisasikan dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG).
Definisi SIG
Beberapa definisi SIG menurut
para ahli :
1. Menurut Aronoff, 1989.
SIG adalah sistem informasi
yang didasarkan pada kerja
komputer yang memasukkan,
mengelola, memanipulasi dan
menganalisa data serta memberi
uraian.
2. Menurut Burrough, 1986.
SIG merupakan alat yang
bermanfaat untuk pengumpulan,
penimbunan, pengambilan
kembali data yang diinginkan
dan penayangan data keruangan
yang berasal dari kenyataan
dunia.
3. Menurut Marble et al, 1983.
SIG merupakan sistem
penanganan data keruangan.
4. Menurut Berry, 1988.
SIG merupakan sistem
informasi, referensi internal, serta
otomatisasi data keruangan.
5. Menurut Calkin dan
Tomlinson, 1984.
SIG merupakan sistem
komputerisasi data yang penting.
Secara umum pengertian SIG
yaitu suatu komponen yang terdiri dari
perangkat keras, perangkat lunak, data
geografis dan sumberdaya manusia
yang bekerja bersama secara efektif
untuk memasukan, menyimpan,
memperbaiki, memperbaharui,
mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan dan menampilkan
data dalam suatu informasi berbasis
geografis ( Hartoyo dkk, 2010).
SIG mempunyai kemampuan
untuk menghubungkan berbagai data
pada suatu titik tertentu di bumi,
menggabungkannya, menganalisa dan
akhirnya memetakan hasilnya.data
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 9
yang akan diolah padda SIG
merupakan data spasial yaitu sebuah
data yang berorientasi geografis dan
merupakan lokasi yang memiliki
sistem koordinat tertentu, sebagai
dasar referensinya. Sehingga aplikasi
SIG dapat menjawab beberapa
pertanyaan seperti; lokasi, kondisi,
trend, pola dan pemodelan.
Kemampuan inilah yang membedakan
SIG dari sistem informasi lainnya.
Cara Kerja SIG
SIG menyimpan semua
informasi deskriptif unsur-unsurnya
sebagai atribut-atribut basis data.
Kemudian SIG membentuk dan
menyimpannya dalam tabel-tabel.
Setelah itu SIG menghubungkan
unsur-unsur diatas dengan tabel-tabel
bersangkutan. Dengan demikian
atribut-atribut dapat diakses melalui
lokasi-lokasi unsur-unsur peta dan
sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat
diakses melalui atributnya. Karena itu,
unsur tersebut dapat dicari dan
ditemukan berdasarkan atribut-
atributnya.
SIG menghubungkan
sekumpulan unsur-unsur peta dengan
atributnya didalam satuan-satuan yang
disebut layer. Sungai, bangunan, jalan,
laut batas-batas administratif,
perkebunan dan hutan merupakan
contoh layer. Kumpulan layer tersebut
membentuk basis data SIG. dengan
demikian, perancangan basis data
merupakan hal yang esensial didalam
SIG. Rancangan basis data akan
menentukan efektifitas dan efisiensi
proses-proses masukan, pengelolaan
dan keluaran SIG (Prahasta, 2009).
Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
diambil hipotesis sebagai berikut:
Kecamatan patuk merupakan daerah
dengan mayoritas kerawanan terhadap
tanah longsor kategori tinggi.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kondisi Curah
Hujan Kecamatan Patuk, kondisi
Geologi Kecamatan Patuk, kondisi
Jenis Tanah Kecamatan Patuk, kondisi
Penutupan Lahan Kecamatan Patuk
dan kondisi Kemiringan Lereng
Kecamatan Patuk. Data primer juga
akan diukur dalam penelitian ini untuk
parameter jenis tanah dan kemiringan
lahan di daerah Kecamatan Patuk.
Program yang digunakan dalam
pengolahan data dan penyusunan hasil
penelitian adalah ArcGIS 10.3 dan
Microsoft Word 2010.
Metode Penelitian
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam proses
penelitian terdiri dari beberapa jenis
data dasar berupa peta seperti
tercantum pada Tabel 1.
Sumber: BBSDLP (2009)
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 10
Pengolahan Data Spasial
Dalam pengolahan tahap awal
setiap data harus dijadikan peta digital.
Data analog juga harus dijadikan peta
digital format vektor. Peta digital
format vektor merupakan salah satu
jenis data masukan yang disimpan
dalam bentuk garis, titik dan poligon.
Proses pemasukan data-data dilakukan
melalui seperangkat computer dengan
software ArcGIS 10.3.
Analisis Data
Analisis kerawanan tanah
longsor dilakukan setelah peta-peta
tematik yaitu kondisi Curah Hujan,
kondisi Jenis Tanah, kondisi Geologi,
kondisi Penutupan Lahan dan kondisi
Kemiringan Lahan wilayah tersebut
tersedia dan siap dalam bentuk peta
digital. Setiap jenis peta tersebut
dilakukan klasifikasi berdasarkan skor
serta diberi bobot kemudian
ditumpangsusunkan (Overlay).
Overlay tersebut dilakukan dengan
software ArcGIS 10.3, pada proses
overlay setiap parameter memiliki
klasifikasi skor yang dikalikan dengan
bobot masing-masing parameter,
kemudian hasil perkalian skor dan
bobot tersebut dijumlahkan.
Penentuan skor tiap kelas
parameter didasarkan pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh
BBSDLP (2009). Skor dari yang
paling tinggi sampai yang paling
rendah sebanding dengan tingkat
bahaya yang tanah longsor akan
ditimbulkan. Semakin tinggi skor,
maka semakin tinggi pula potensi
tanah longsor yang akan terjadi.
Dalam penentuan skor curah
hujan, BBSDLP (2009) membagi
menjadi lima kelas, semakin besar
curah hujan yang turun maka semakin
tinggi skor curah hujan tersebut seperti
tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi curah hujan
(mm/tahun)
Sumber: BBSDLP (2009)
Skoring dan pembobotan pada tiap
jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi jenis batuan
Sumber: BBSDLP (2009)
Dalam bencana tanah longsor,
faktor kemiringan lahan sangat
berpengaruh, semakin tinggi dan
semakin tegak lereng maka
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 11
kemungkinan terjadinya longsoran
semakin tinggi. Skor dan bobot
parameter kemiringan lahan dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Skor parameter kemiringan
lahan
Sumber: BBSDLP (2009)
Kondisi penutupan lahan sebagai
faktor penyebab tanah longsor
berkaitan dengan kestabilan lahan,
kontrol terhadap kejenuhan air serta
kekuatan ikatan partikel tanah. Skor
dan bobot parameter penutupan lahan
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kondisi penutupan lahan
Sumber: BBSDLP (2009)
Penentuan skor jenis tanah
dilakukan berdasarkan tingkat
kepekaan terhadap longsor jenis tanah
tersebut, semakin peka terhadap
longsor maka semakin tinggi skor
yang diberikan. Skor dan bobot
parameter kondisi tanah dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Klasifikasi kondisi tanah
Sumber: BBSDLP (2009)
Acuan yang digunakan untuk
menganalisis kerawanan longsor
adalah model pendugaan yang
mengacu pada penelitian BBSDLP
(2009) dengan formula sebagai berikut
:
Skor Total = (0,2 x Faktor
Curah Hujan) + (0,25 x Faktor jenis
batuan) + (0,2 x Faktor Kemiringan
Lereng) + (0,1 Faktor Penutupan
Lahan) + (0,1 Faktor Jenis Tanah)
Skor hasil akhir overlay dibagi
menjadi tiga kelas kerawanan longsor
yaitu : rendah, sedang dan tinggi
berdasarkan jumlah skor akhir dengan
penentuan selang skor :
a. Kerawanan rendah : daerah
dengan hasil skor akhir 1
b. Kerawanan sedang : daerah
dengan hasil skor akhir 2
c. Kerawanan tinggi : daerah
dengan hasil skor akhir 3
Setelah diperoleh peta sebaran
kawasan rawan bencana tanah longsor
di Kecamatan Patuk lalu data yang
terangkum dalam peta sebaran tersebut
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 12
dikaji berdasarkan teknik konservasi
yang harus dilakukan terhadap
kawasan tersebut. Setiap faktor yang
mempengaruhi terjadinya bencana
tanah longsor harus dicegah dengan
tindakan konservasi secara vegetatif
ataupun mekanik. Maka akan
didapatkan hasil kajian dari data
tersebut yang dapat bermanfaat secara
nyata pada penerapannya di lapangan.
HASIL
Komponen yang digunakan
untuk memperoleh tingkat risiko
bencana suatu kawasan dengan meng-
overlay data dari 5 parameter yang
didapat yaitu kondisi curah hujan,
kondisi batuan, kondisi kemiringan
lereng, jenis tanah dan kondisi
penggunaan lahan. Selain tingkat
risiko, kajian diharapkan mampu
menghasilkan peta risiko untuk setiap
lokasi yang ada di Kecamatan Patuk.
Kajian dan peta risiko bencana ini
harus mampu menjadi dasar yang
memadai bagi kecamatan untuk
menyusun kebijakan penanggulangan
bencana. Ditingkat administrasi yang
lebih tinggi, hasil pengkajian
diharapkan dapat dijadikan dasar yang
kuat dalam perencanaan upaya
pengurangan risiko bencana.
Letak, Luas dan Batas Wilayah
Bukit Patuk Gunungkidul
terletak di perbatasan antara
Kabupaten Gunungkidul dan
Kabupaten Bantul yang memiliki
topografi khas pegunungan dengan
kontur yang bervariasi (Rahayu, 2012).
Kecamatan Patuk memiliki luas
daerah sekitar 72,04 km2 yang
merupakan 4,85% dari seluruh luas
daerah di Kabupaten Gunungkidul.
Kecamatan Patuk sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan
Gedangsari, sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Playen, Sebelah
timur berbatasan dengan Kecamatan
Gedangsari dan sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan
Piyungan dan Bantul (BPS, 2015).
Daerah penelitian terletak di
lereng perbukitan dengan kemiringan
lereng yang beragam namun
didominasi oleh kemiringan lereng
miring hingga terjal yang
mengakibatkan semakin rawan terjadi
bencana tanah longsor. Kejadian
bencana tanah longsor pernah terjadi
pada bulan Februari 2015 yang sangat
merugikan bagi penduduk di
Kecamatan Patuk.
Iklim dan Curah Hujan
Curah hujan rata-rata Kecamatan
Patuk pada tahun 2015 berada pada
rentang angka 1501 – 2500. Bulan
basah pada Kecamatan Patuk berkisar
4 – 6 bulan, sedangkan bulan kering
berkisar antara 4 – 5 bulan. Musim
hujan dimulai pada bulan Nopember
dan berakhir pada bulan Mei. Puncak
curah hujan dicapai pada bulan Januari
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 13
– Februari. Wilayah Kecamatan Patuk
merupakan wilayah yang memiliki
curah hujan cukup tinggi (BPS, 2015).
Sebagai salah satu parameter
untuk menentukan wilayah rawan
longsor, faktor-faktor curah hujan
seperti besarnya curah hujan, intensitas
hujan dan distribusi curah hujan akan
menentukan seberapa besar peluang
terjadinya longsor dan dimana longsor
itu akan terjadi. Intensitas dan
distribusi curah hujan di Kecamatan
Patuk dapat dilihat pada Tabel 7. Dan
Gambar 10.
Tabel 7. Intensitas dan distribusi curah
hujan
Sumber : Peta curah hujan Kecamatan
Patuk (BAPPEDA)
Berdasarkan klasifikasi curah
hujan di atas, Kecamatan Patuk
memiliki 2 kelas curah hujan yaitu
1500-2000 mm/tahun dan 2000-2500
mm/tahun. Curah hujan dengan
intensitas 1500-2000 mm/tahun
dengan luasan wilayah paling kecil
terletak pada Desa Beji yaitu seluas
555,215.90 m2 (0,56 km2) dan paling
luas terletak di Desa Semoyo dengan
wilayah seluas 6,302,681.83 m2 (6,3
km2). Untuk curah hujan dengan
intensitas 2000-2500 mm/tahun
dengan luasan wilayah paling kecil
terletak pada Desa Patuk yaitu seluas
26,285.80 m2 (0,026 km2) dan paling
luas terletak di Desa Nglegi dengan
wilayah seluas 9,698,939.01 m2 (9,6
km2).
Gambar 10. Peta curah hujan
Kecamatan Patuk
Jenis Batuan
Zona Pegunungan Selatan dapat
dibagi menjadi tiga subzona, yaitu
Subzona Baturagung, Subzona
Wonosari dan Subzona Gunung Sewu.
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 14
Subzona Baturagung terutama terletak
di bagian utara dimana Kecamatan
Patuk termasuk dalam subzona
tersebut. Subzona Baturagung ini
membentuk relief paling kasar dengan
sudut lereng antara 10o – 30o dan beda
tinggi sekitar 200-700 meter serta
hampir seluruhnya tersusun oleh
batuan asal gunung api.
Terdapat 6 jenis formasi batuan
pada Kecamatan Patuk yaitu, Formasi
Nglanggaran, Formasi Kebonbutak,
Formasi Nampol, Formasi Sambipitu,
Formasi Semilir dan Formasi
Wonosari. Jenis dan distribusi batuan
di Kecamatan Patuk dapat dilihat pada
Tabel 8. Dan Gambar 11.
Tabel 8. Jenis dan distribusi batuan
Sumber: Peta Jenis Batuan Kecamatan
Patuk (BAPPEDA)
Gambar 11. Peta Jenis Batuan
Kecamatan Patuk
Jenis Tanah
Kondisi geologis yang berbeda
di Kabupaten Gunungkidul
berpengaruh terhadap pembentukan
tanah di masing-masing kecamatan.
Untuk Kecamatan Patuk terdapat
beberapa jenis tanah yaitu, latosol
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 15
yang merupakan batuan induk
kompleks sedimen tufan dan batuan
vulkanik, yang terletak pada wilayah
bergunung-gunung dan asosiasi latosol
merah dan litosol, dengan bahan induk
tufan dan batuan vulkanik intermediet,
bentuk wilayah yang bergelombang
sampai berbukit.
Tabel 9. Jenis dan distribusi tanah
Sumber: Peta Jenis Tanah Kecamatan
Patuk (BAPPEDA)
Tanah grumusol atau margalith
adalah tanah yang berbentuk dari batu
kapur dan material halus berlempung.
Jenis tanah ini berwarna kelabu hitam
dan bersifat subur, tersebar di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Madura, Nusa
Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Tanah grumusol pada umumnya
dengan kadar liat lebih dari 30%
bersifat mengembang dan mengerut,
jika musim kering tanah keras dan
retak-retak karena mengerut, jika
musim basah tanah menjadi lengket,
tanah jenis ini digolongkan kedalam
jenis dengan kepekaan tinggi terhadap
longsor (Surbadja S dkk, 2014).
Daerah dengan jenis tanah grumusol
ini yaitu Desa Beji, DesaNglanggeran,
Desa Nglegi, Desa Patuk dan Desa
Putat.
Tanah Regosol, jenis tanah ini
berbentuk dari bahan induk abu dan
pasir vulkan intermedier. Bentuk
wilayahnya berombak sampai
bergunung. Tanah regosol belum jelas
menempatkan perbedaan horizon-
horizon. Tekstur tanah ini biasanya
kasar, tanpa ada struktur tanah,
konsistensi lepas sampai gembur dan
keasaman tanah dengan pH sekitar 6-7.
Tanah jenis ini digolongkan kedalam
jenis dengan kepekaan tinggi terhadap
longsor (Surbadja S dkk, 2014).
Wilayah dengan jenis tanah regosol ini
terletak pada Desa Beji, Desa
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 16
Nglanggeran, Desa Nglegi, Desa Patuk
dan Desa Putat.
Tanah litosol, jenis tanah ini
biasa disebut ‘laterit’. Penampang
umumnya tebal, tanah atasnya
mengandung beberapa persen bahan
organik. Berwarna coklat, kuning,
hingga kemerahan. Bersifat berbutir,
teguh, mantap, mengandung kaolinit,
bersifat tidak plastis, dan dapat diolah
pertanian sepanjang tahun. Jenis tanah
ini bersifat meniris, tahan terhadap
erosi (Surbadja S dkk, 2014). Tanah
jenis ini digolongkan kedalam jenis
dengan kepekaan rendah terhadap
longsor. Jenis tanah ini tersebar
diseluruh Kecamatan Patuk dengan
luasan yang berbeda-beda disetiap
desa. Wilayah dengan jenis tanah
litosol paling luas yaitu Desa Terbah
yaitu seluas 6,154,233.33 m2 (6,15
km2) sedangkan wilayah dengan tanah
jenis litosol paling kecil yaitu Desa
Salam yaitu seluas 400,226.73 m2 (0,4
km2
Gambar 12. Peta jenis tanah
berdasarkan kepekaan
terhadap longsor
Kecamatan Patuk
Kemiringan Lahan
Subzona fisiografi Pegunungan
Baturagung yang meliputi daerah
Kecamatan Patuk, secara dominan
wilayah tersebut berupa perbukitan-
pegunungan, dengan ketinggian
berkisar 200-700 meter dan kelerengan
berkisar 8 - >40%. Berdasarkan data
kemiringan lahan Kecamatan Patuk,
didapatkan klasifikasi kemiringan
lahan datar (kemiringan 0-8%), landai
(kemiringan (8-15%), terjal
(kemiringan 15-25%), curam
(kemiringan 25-45%) dan sangat
curam (kemiringan >45%). Luas dan
distribusi masing-masing kelas
kemiringan lahan dapat dilihat pada
Tabel 10. dan Gambar 6.
Wilayah dengan kemiringan
lahan <8% (datar) memiliki areal
penyebaran terluas di Desa bunder
yaitu 3,46 km2. Wilayah dengan
kemiringan lahan 8-15%(landai)
terluas terletak di Desa Bunder yaitu
seluas 3,46 km2. Wilayah
dengankemiringan lahan 15-25%
(terjal) terluas terletak di Desa Nglegi
yaitu seluas 2,85 km2. Wilayah dengan
kemiringan lahan 25-45% (curam)
terluas terletak di Desa Nglegi yaitu
seluas 2,89 km2. Wilayah dengan
kemiringan lahan >45%(sangat curam
terluas terletak di Desa Nglegi yaitu
seluas 2,75 km2, wilayah ini umumnya
berada di tepi pegunungan ataupun
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 17
daerah aliran sungai yaitu di sekitar
tebing sungai.
Wilayah dengan lereng >45%
(sangat curam) merupakan wilayah
yangsangat berpotensi untuk terjadinya
tanah longsor. Dalam bencana tanah
longsor,faktor kemiringan lahan sangat
berpengaruh, semakin tinggi dan
semakin tegaklereng maka
kemungkinan terjadinya longsoran
semakin tinggi. Hal tersebutberkaitan
dengan kestabilan lereng, semakin
curam lereng maka lereng
akanmengalami tekanan beban yang
lebih besar sehingga makin tidak
stabil untukmenahan beban di atasnya
dari pengaruh gravitasi bumi.
Gambar 13. Peta kemiringan lereng
Kecamatan Patuk
Penggunaan Lahan
Penutupan lahan di Kecamatan
Patuk terbagi kedalam Sembilan tipe
yaitu : air tawar, belukar/semak,
gedung, kebun, pemukiman, rumput,
sawah irigasi, sawah tadah hujan dan
tegalan.
Tabel 10. Tipe dan distribusi
penutupan lahan
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 18
Sumber: Peta Penggunaan Lahan
Kecamatan Patuk (BAPPEDA)
Penutupan lahan di suatu
wilayah erat hubungannya dengan
kondisi ekonomi dan tipe masyarakat
yang tinggal di wilayah tersebut. Dapat
dilihat pada tabel 11. bahwa
penggunaan lahan di Kecamatan Patuk
sebagian besar diperuntukkan untuk
tegalan, sawah tadah hujan dan kebun.
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa sebagian besar mata
pencaharian masyarakat Kecamatan
Patuk berasal dari mengelola sawah,
kebun dan tegalan mereka.
Gambar 14. Peta penggunaan lahan
Kecamatan Patuk
Menurut Rahmat (2010) kondisi
penutupan lahan sebagai faktor
penyebab tanah longsor berkaitan
dengan kestabilan lahan, kontrol
terhadap kejenuhan air serta kekuatan
ikatan partikel tanah. Tipe penutupan
lahan memiliki kontribusi yang
berbeda-beda tergantung pada sifat dan
kondisi penutupan lahan tersebut
seperti bentuknya berupa bangunan
atau tanaman, jenis tanaman, sifat
tanaman, luasan penutupan lahan serta
lokasi dimana penutupan lahan itu
berada adalah hal-hal yang
berpengaruh dalam penentuan
kerawanan wilayah.
Lahan yang ditutupi hutan dan
perkebunan relatif lebih bisa menjaga
stabilitas lahan karena sistem
perakaran yang dalam sehingga bisa
menjaga kekompakkan antar partikel
tanah serta partikel tanah dengan
batuan dasar dan bisa mengatur
limpasan dan resapan air ketika hujan.
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 19
Sedangkan tegalan dan sawah
memiliki vegetasi yang tidak bisa
menjaga stabilitas permukaan karena
bersifat tergenang, serta memiliki
sistem perakaran yang dangkal
sehingga kurang menjaga
kekompakkan partikel tanah. Pada
lahan dengan tipe penutupan lahan
demikianlah tanah longsor seringkali
terjadi.
Distribusi Kawasan Rawan Tanah
Longsor
Gambar 15. Peta risiko bencana tanah
longsor Kecamatan Patuk
Hasil analisis kerawanan tanah
longsor dibagi kedalam tiga kelas
kerawanan longsor yaitu wilayah
dengan tingkat kerawanan rendah,
sedang dan tinggi dengan gambaran
distribusi spasial dapat dilihat pada
Tabel 12. dan Gambar 15.
Tabel 12. Luas dan distribusi tingkat
kerawanan tanah longsor
Sumber: Peta risiko bencana tanah
longsor Kecamatan Patuk
Berdasarkan hasil analisis
tumpang susun (overlay) parameter
yang ada di lokasi penelitian diperoleh
klasifikasi kelas kerawanan longsor
yaitu wilayah dengan tingkat
kerawanan rendah, sedang dan tinggi.
Kelas kerawanan longsor rendah
merupakan wilayah yang memiliki
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 20
tingkat kerawanan rendah untuk
terjadinya tanah longsor. Wilayah ini
berada di Desa Bunder dengan luasan
paling besar yaitu 5,29 km2. Desa yang
memiliki kerawanan rendah lainnya
yaitu Desa Salam dengan luasan 2,75
km2.
Kelas kerawanan longsor sedang
merupakan wilayah yang secara umum
memiliki tingkat kerawanan sedang
untuk terjadinya tanah longsor.
Wilayah dengan tingkat kerawanan
sedang yang cukup luas terletak pada
Desa Nglanggeran dengan luasan 6,31
km2, Desa Semoyo dengan luasan 5,70
km2 dan Desa Putat dengan luasan
5,21 km2.
Kelas kerawanan longsor tinggi
merupakan wilayah yang secara umum
memiliki tingkat kerawanan tinggi
untuk terjadinya tanah longsor.
Wilayah dengan tingkat kerawanan
tinggi terletak pada Desa Nglegi
dengan luasan 5,94 km2, Desa Terbah
dengan luasan 4,96 km2 dan Desa
Ngoro ono dengan luasan 2,91 km2.
PEMBAHASAN
Terdapat 6 jenis formasi batuan
pada Kecamatan Patuk yaitu, Formasi
Nglanggaran, Formasi Kebobutak,
Formasi Nampol, Formasi Sambipitu,
Formasi Semilir dan Formasi
Wonosari. Lokasi tipe Formasi
Kebobutak terletak di Gunung Kebo
dan Gunung Butak yang terletak di
lereng dan kaki utara gawir
Baturagung. Litologi penyusun
formasi ini di bagian bawah berupa
batu pasir berlapis, batu lanau, batu
lempung. Bagian atasnya berupa
perselingan batu pasir dan batu
lempung dengan sisipan tipis tuf asam.
Karena pada formasi ini terdapat
campuran batuan yang rentan bergerak
yaitu pada batuan lempung yang
memiliki kekedapan air cukup tinggi
sehingga tingkat kesolidan rendah dan
tidak rentan bergerak yaitu batu pasir
yang kekedapan airnya rendah
sehingga bisa berfungsi sebagai
penahan air dalam tanah, maka untuk
skoring dari jenis batuan formasi
kebobutak dikategorikan sebagai
sedang.
Untuk kategori kepekaan
terhadap longsor sedang terdapat dua
formasi batuan yang masuk di
dalamnya yaitu Formasi Kebobutak
dan Formasi Wonosari, sedangkan
untuk kategori kepekaan terhadap
tanah longsor rendah ada 4 formasi
batuan yaitu Formasi Semilir, Formasi
Nglanggaran, Formasi Sambipitu dan
Formasi Nampol. Untuk 4 formasi
yang masuk kedalam kategori
kepekaan terhadap longsor rendah
mayoritas merupakan batuan yang
berasal dari gunungapi dan merupakan
hasil endapan proses geodinamika.
Batuan penyusun formasi-formasi
tersebut beraneka ragam mulai
batupasir kasar, breksi gunungapi,
aliran lava andesit-basal, lava andesit,
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 21
breksi batu apung dan serpih. Batuan
penyusun formasi tersebut memiliki
permeabilitas yang cukup tinggi
sehingga dapat menahan air dengan
baik dan memiliki kesolidan yang
bagus .
Untuk jenis tanah di Kecamatan
Patuk sesuai dengan yang
digambarkan pada Gambar 12. pada
daerah utara Kecamatan Patuk
mayoritas jenis tanah memiliki
kepekaan terhadap longsor rendah,
jenis tanah di wilayah ini merupakan
jenis regosol coklat keabuan dan
kompleks regosol dengan campuan
abu/pasir dan batu kapur. Tingkat
permeabilitas pada jenis tanah ini
cepat sehingga dapat dimasukkan ke
dalam kategori rendah. Pada wilayah
selatan dan timur Kecamatan Patuk
yaitu Desa Bunder, Desa Nglegi, Desa
Nglanggeran merupakan wilayah
dengan jenis tanah yang sangat peka
terhadap terjadinya bencana longsor.
Jenis tanah di wilayah-wilayah
tersebut terdiri dari tanah jenis
grumusol dan regosol. Jenis tanah
tersebut memiliki permeabilitas lambat
sehingga ketika terjadi hujan dapat
menimbulkan runoff yang cukup tinggi
dan dapat meningkatkan terjadinya
bencana longsor.
Setelah dilakukan overlay dari
kelima parameter maka didapatkan
peta distribusi risiko bencana tanah
longsor Kecamatan Patuk. Seperti
yang bisa dilihat pada Gambar 15.
Wilayah yang memiliki tingkat
kerawanan rendah berada di Desa
Bunder dengan luasan paling besar
yaitu 5,29 km2. Desa Bunder dengan
lahan yang relatif landai merupakan
daerah dengan mayoritas kebun dan
tegalan, tanah di Desa Bunder yang
mayoritas merupakan jenis litosol
merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kerawanan
rendah pada desa tersebut. Walaupun
curah hujan pada Desa Bunder cukup
tinggi yaitu 2000-2500 mm/tahun, air
hujab tersebut akan menyerap dengan
baik ke dalam tanah dikarenakan
banyaknya perakaran kuat yang
berasal dari perkebunan masyarakat
dan tanah jenis litosol yang mudah
menyerap dan menyimpan air. Desa
yang memiliki kerawanan rendah
lainnya yaitu Desa Salam dengan
luasan 2,75 km2.
Wilayah dengan tingkat
kerawanan sedang yang cukup luas
terletak pada Desa Nglanggeran
dengan luasan 6,31 km2, Desa Semoyo
dengan luasan 5,70 km2 dan Desa
Putat dengan luasan 5,21 km2. Curah
hujan yang tinggi dengan intensitas
200-2500 mm/tahun dan sebagian
daerah dengan kemiringan lereng
curam dan sangat curam di beberapa
desa ini merupakan faktor utama yang
menyebabkan meningkatnya tingkat
kerawanan di desa ini. Jenis tanah
yang cukup peka terhadap erosi serta
penggunaan lahan yang mayoritas
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 22
diperuntukkan sebagai tegalan oleh
masyarakat membuat tanah di
beberapa desa tersebut mudah terpecah
dan akan terbawa oleh air hujan yang
akan membahayakan masyarakat
sekitar.
Wilayah dengan tingkat
kerawanan tinggi terletak pada Desa
Nglegi dengan luasan 5,94 km2, Desa
Terbah dengan luasan 4,96 km2 dan
Desa Ngoro ono dengan luasan 2,91
km2. Kemiringan lereng pada desa-
desa tersebut yang sangat curam akan
sangat berbahaya ketika memasuki
bulan basah. Dengan intensitas curah
hujan yang tinggi akan menyebabkan
mudah terjadinya longsor di daerah
tersebut. Tindakan pencegahan yang
dapat dilakukan yaitu pengalihan
fungsi lahan tegalan menjadi kebun
buah yang relatif tidak membutuhkan
banyak air juga seperti halnya tegalan.
Usaha lain yang bisa dilakukan yaitu
pengolahan tanah menurut kontur
dimana setiap jenis pengolahan tanah
(pembajakan, pencangkulan dan
pemerataan) mengikuti garis kontur
sehingga terbentuk alur-alur dan jalur
tumpukan tanah yang searah kontur
dan memotong lereng. Alur-alur ini
akan menghambat aliran air di
permukaan dan mencegah erosi
sehingga dapat menunjang konservasi
di daerah tersebut. Pelaksanaan slope
reshaping, pembuatan bronjong kawat
dan webbing jute juga dapat dilakukan
agar lereng terjal tidak mudah terjadi
erosi. Slope reshapping dapat
dilakukan pada daerah terjal dengan
mengubah lereng menjadi lebih landai,
mengubah lereng menjadi terasering,
dan lain-lain. Tujuan dari slope
reshaping yaitu mengurangi derajat
kemiringan lereng sehingga dapat
mengurangi tingkat kerawanan
terjadinya bencana tanah longsor.
Bronjong kawat merupakan usaha
menguatkan tepian lereng atau pun
tepian sungai yang rawan terjadi erosi.
Webbing jute atau yang dikenal
dengan bronjong sabut kelapa yang
dipadu dengan rumput akar wangi
merupakan upaya pencegahan bencana
yang rawan lingkungan. Penggunaan
sabut kelapa sebagai bahan untuk
penahan longsor lebih ramah
lingkungan, karena disela-sela
anyaman dapat ditanami rumput akar
wangi. Dengan perpaduan tersebut,
mampu menahan longsor hingga
puluhan tahun.
Geocell merupakan salah satu
jenis Geosynthetics yang terbuat dari
HDPE yang didesain untuk
menyeimbangkan/stabilisasi tanah dan
juga berfungsi sebagai peningkat
kinerja untuk bahan konstruksi
standart, maupun sebagai pengontrol
erosi pada tebing/lereng.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
di Kecamatan Patuk, Kabupaten
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 23
Gunungkidul maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Wilayah yang memiliki tingkat
kerawanan rendah berada di
Desa Bunder dengan luasan
paling besar yaitu 5,29 km2.
Kemiringan kereng yang landai
dan banyaknya wilayah kebun
menjadi faktor utama yang
menjadikan desa ini memiliki
resiko rendah terhadap bencana
tanah longsor.
2. Wilayah dengan tingkat
kerawanan sedang terletak pada
Desa Nglanggeran dengan luasan
6,31 km2, Desa Semoyo dengan
luasan 5,70 km2 dan Desa Putat
dengan luasan 5,21 km2.
Kemiringan di desa-desa tersebut
merupakan kemiringan cukup
curam, curah hujan tinggi
berkisar 2000-2500 mm/tahun
dan banyaknya tegalan yang
menyebabkan wilayah tersebut
kebih rawan bencana tanah
longsor.
3. Wilayah dengan tingkat
kerawanan tinggi terletak pada
Desa Nglegi dengan luasan 5,94
km2, Desa Terbah dengan luasan
4,96 km2 dan Desa Ngoro ono
dengan luasan 2,91 km2.
Kemiringan lereng yang
mayoritas >45%, didukung
dengan curah hujan tinggi
berkisar 2000-2500 mm/tahun,
jenis tanah regosol dan grumusol
yang peka terhadap tanah
longsor, penggunaan lahan yang
sebagain besasr merupakan
tegalan menjadikan wilayah
tersebut berpotensi tinggi
terjadinya bencana tanah
longsor..
Saran
Berdasarkan hasil penelitian
di Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunungkidul maka saran yang
dapat diberikan sebagai berikut:
1. Tindakan pencegahan yang
dapat dilakukan yaitu
pengalihan fungsi lahan tegalan
menjadi kebun buah yang
relatif tidak membutuhkan
banyak air juga seperti halnya
tegalan.
2. Pengadaan papan peringatan
rawan bencana tanah longsor di
jalan raya Kecamatan Patuk.
3. Pengolahan tanah menurut
kontur dimana setiap jenis
pengolahan tanah (pembajakan,
pencangkulan dan pemerataan)
mengikuti garis kontur
sehingga terbentuk alur-alur
dan jalur tumpukan tanah yang
searah kontur dan memotong
lereng. Alur-alur ini akan
menghambat aliran air di
permukaan dan mencegah erosi
sehingga dapat menunjang
konservasi di daerah tersebut.
4. Pelaksanaan slope reshaping,
pembuatan bronjong kawat dan
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 24
webbing jute juga dapat
dilakukan agar lereng terjal
tidak mudah terjadi erosi.
Perlunya penelitian lebih lanjut tentang
parameter lainnya yang dapat
mempengaruhi terjadinya longsor
secara lengkap dan pelaksanaan
mitigasi secara nyata di daerah
Kecamatan Patuk.
DAFTAR PUSTAKA
Arsjad,A.B. Suriadi M. 2012.
Informasi Geospasial Daerah
Rawan Longsor Sebagai Bahan
Masukan Dalam Perencanaan
Tata Ruang Wilayah. Cibinong :
Globe Volume 14 No.1 Juni
2012 : 37-45.
Arsjad, A.B. Suriadi M dan Riadi,
Bambang. 2013. Potensi Risiko
Bencana Alam Longsor Terkait
Cuaca Ekstrim di Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Cibinong :
Jurnal Ilmiah Geomatika
Volume 19 No.1 Agustus 2013 :
57-63.
Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Gunungkidul. 2013.
Gunung Kidul Dalam Angka
(Gunungkidul in Figure) 2013.
Gunungkidul : Badan Pusat
Statistik Kabupaten
Gunungkidul.
Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Gunungkidul. 2015.
Gunung Kidul Dalam Angka
(Gunungkidul in Figure) 2015.
Gunungkidul : Badan Pusat
Statistik Kabupaten
Gunungkidul.
BBSDLP (Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian).
2009. Identifikasi dan
Karakterisasi Lahan Rawan
Longsor dan Rawan Erosi di
Dataran Tinggi untuk
Mendukung Keberlanjutan
Pengelolaan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Bogor : Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian.
Dariah, Ai., Haryati, Umi. dan
Budhyastoro, Torry. 2009.
Teknologi Konservasi Tanah
Mekanik. Bogor : Teknik
konservasi tanah 103-123.
Hartoyo, G.Manjella Eko., Nugroho,
Yuli., Bhirowo, Ario. Dan
Khalil, Bilaludin. 2010. Modul
Pelatihan Sistem Informasi
Geografis (SIG) Tingkat Dasar.
Balikpapan : Tropenbos
International Indonesia
Programme.
Highland, Lynn.M dan Bobrowsky.
2008. The Landslide Handbook –
A Guide to Understanding
landslides. Virginia : U.S.
Geological Survey.
Lo, C.P. 1995. Penginderaan Jauh
Terapan Terjemahan. Jakarta :
Universitas Indonesia.
Nandi. 2007. Longsor. Bandung :
FPIPS-UPI.
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.18/NO.2/Oktober 2018 Page 25
Nasiah dan Invanni, Ichsan. 2014.
Identifikasi Daerah Rawan
Bencana Longsor Lahan Sebagai
Upaya Penanggulangan
Bencana di Kabupaten Sinjai.
Makassar : Jurnal Sainsmat,
ISSN 2086-6755, Halaman 109-
121.
Noorwantoro, Muhammad.,
Asmaranto, Runi. dan
Harisuseno, Donny. 2014.
Analisa Kawasan Rawan
Bencana Tanah Longsor di DAS
Upper Brantas Menggunakan
Sistem Informasi Geografi.
Malang : Jurusan Teknik
Pengairan Fakultas Teknik,
Universitas Brawijaya.
Paimin., Sukresno. dan Pramono, Irfan
Budi. 2009. Teknik Mitigasi
Banjir dan Tanah Longsor.
Balikpapan : Tropenbos
International Indonesia
Programme ISBN 978-979-
3145-46-4.
Prahasta, Eddy. 2009. Sistem
Informasi Geografis : Konsep-
konsep Dasar (Perspektif
Geodesi dan Geomatika).
Bandung : Informatika.
Rahayu, Theresia Emi. 2012. Konsep
Perencanaan dan Perancangan
Hotel Resort di Bukit Patuk
Gunungkidul yang Mengangkat
Kearifan Lokal. Surakarta :
Jurusan Arsitektur Fakultas
Teknik Universitas Sebelas
Maret.
Rahmat AH. 2010. Pemetaan
Kawasan Rawan Bencana dan
Analisis Resiko Bencana Tanah
Longsor dengan Sistem
Informasi Geografis (SIG) (Studi
Kasus Kawasan Kaki Gunung
Ciremai, Kabupaten
Majalengka) [Skripsi]. Bogor:
Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Rendra, Pradnya P. Raditya.,
Sulaksana, Nana. dan Alam, Boy
Yoseph. 2016. Optimalisasi
Pemanfaatan Sistem
Agroforestri Sebagai Bentuk
Adaptasi dan Mitigasi Tanah
Longsor. Sumedang : Bulletin of
Scientific Contribution, Volume
14, No.2 p-ISSN : 1693-4873.
Subardja S, Djaja., Ritung, Sofyan.,
Anda, Markus., Sukarman.,
Suryani, erna., Subandiono,
Rudi. 2014. Petunjuk Teknis
Klasifikasi Tanah Nasional.
Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian (Agro
Inovasi