POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI
AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS RESIDU LIMBAH PADAT
INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN
FUZI MUCHLISSOH
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/ 1440 H
POTENSI Stenotrophomonas maltophilia LA3B SEBAGAI
AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS RESIDU LIMBAH PADAT
INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
FUZI MUCHLISSOH
11140950000017
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/ 1440 H
v
ABSTRAK
Fuzi Muchlissoh. Potensi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai Agen
Pupuk Hayati Berbasis Residu Limbah Padat Industri Agar-Agar dan
Tepung Ikan. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Dibimbing oleh
Dr. Ifah Munifah, M.Si. dan Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
Keberadaan bakteri indigenous Stenotrophomonas maltophilia LA3B belum
dimanfaatkan secara optimal. Salah satu upaya pemanfaatannya adalah dijadikan
sebagai agen pupuk hayati. Limbah padat hasil industri pengolahan agar-agar
(LIA) dan tepung ikan potensial dijadikan sebagai bahan pembawa pupuk hayati.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi S. maltophilia LA3B sebagai
agen pupuk hayati serta menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi antara
konsentrasi LIA, tepung ikan, dan waktu inkubasi terhadap pertumbuhan sel,
aktivitas enzim selulase dan produksi hormon IAA. Penelitian ini meliputi
karakterisasi S. maltophilia LA3B sebagai kelompok Plant Growth Promoting
Bacteria (PGPB) pada media selektif serta pengukuran pertumbuhan sel, aktivitas
enzim selulase, dan produksi hormon IAA pada media perlakuan dengan variasi
konsentrasi LIA (1%,2%,3%), tepung ikan (0,1%,0,2%,0,3%), dan waktu inkubasi
(hari ke-1,3,5,7,9,11). Hasil karakterisasi S. maltophilia LA3B sebagai kelompok
PGPB menunjukkan kemampuan bakteri sebagai pelarut fosfat, kalium,
kitinolitik, dan penghasil hormon IAA. Hasil analisis variansi (ANOVA)
menunjukkan interaksi dari kombinasi ketiga faktor perlakuan (konsentrasi LIA,
tepung ikan, dan waktu inkubasi) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sel,
aktivitas enzim selulase, dan produksi hormon IAA (sig.<0,05). S. maltophilia
LA3B berpotensi sebagai agen pupuk hayati. Formulasi terbaik bagi pertumbuhan
sel adalah konsentrasi LIA 3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari
ke-5 inkubasi, aktivitas selulase adalah LIA 1% dengan penambahan 0,3% tepung
ikan pada hari ke-7 inkubasi, dan produksi hormon IAA adalah LIA 3% dengan
penambahan 0,3% tepung ikan pada hari ke-1 inkubasi.
Kata kunci: Limbah padat industri agar-agar, Pupuk hayati, Stenotrophomonas
maltophilia LA3B, Tepung ikan
vi
ABSTRACT
FUZI MUCHLISSOH. Potential of Stenotrophomonas maltophilia LA3B as A
Biological Fertilizer Agent Based on Solid Waste Residue in Agar-Agar
Industry and Fish Meal. Undergraduate Thesis. Department of Biology.
Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2019. Advised by Dr. Ifah Munifah, M.Si. and Dr.
Nani Radiastuti, M.Si.
The existence of indigenous bacteria Stenotrophomonas maltophilia LA3B has
not been used optimally. One of the utilization efforts is used as an agent for
biological fertilizer. Solid waste residue in agar-agar industry (LIA) and fish meal
have the potential to be used as carriers of biological fertilizer. This study aims to
determine the potential of S. maltophilia LA3B as a biological fertilizer agent and
find the best formulation resulting from a combination of substrate concentration
LIA, fish meal, and incubation time on the growth and activity of S. maltophilia
LA3B as a biological fertilizer agent. This study included the characterization of
S. maltophilia LA3B as a group of Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB) on
selective media and measurement of cell growth, cellulase enzyme activity, and
IAA hormone production on treatment media with variations in LIA concentration
(1%,2%,3%), fish meal concentration (0,1%,0,2%,0,3%), and incubation times
(days 1,3,5,7,9,11). The results of characterization of S. maltophilia LA3B as a
PGPB group showed the ability of bacteria as solubilizer phosphate, potassium,
chitinolytic, and producing IAA hormone. The results of analysis of variance
(ANOVA) showed that the interactions of the three treatment factors
(concentration of LIA, fish meal, and incubation time) had a significant effect on
cell growth, cellulase enzyme activity, and IAA hormone production (sig.<0,05).
S. maltophilia LA3B has potential as an agent of biological fertilizer based on
solid waste residue in agar-agar industry and fish meal. The best formulation for
cell growth was the concentration LIA 3% with the addition of 0,1% fish meal on
the 5th days incubation, for cellulase activity was LIA 1% with the addition of
0,3% fish meal on the 7th days incubation, and IAA hormone production was LIA
3% with the addition of 0,3% fish meal on the 1st day incubation.
Keywords: Biofertilizer, Fish meal, Solid waste in agar-agar industry (LIA),
Stenotrophomonas maltophilia LA3B
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan
rahmat, kasih sayang serta ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Potensi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai Agen Pupuk
Hayati Berbasis Residu Limbah Padat Industri Agar-agar dan Tepung
Ikan”. Shalawat serta salam tidak lupa diberikan kepada Nabi Muhammad SAW,
seorang rasul pembawa kebenaran bagi seluruh umat manusia.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari
bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud., selaku Dekan Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. Priyanti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Ifah Munifah, M.Si., selaku pembimbing I yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Nani Radiastuti, M.Si., selaku pembimbing II yang telah membimbing
dan memberikan banyak masukan kepada penulis dalam pembuatan skripsi
ini.
5. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si. dan Dr. Dasumiati, M.Si., selaku dosen
penguji seminar proposal dan seminar hasil yang telah banyak memberikan
masukan dalam pembuatan skripsi ini.
6. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. dan Etyn Yunita, M.Si., selaku dosen penguji
sidang skripsi (Munaqosyah) yang telah banyak memberikan masukan
dalam pembuatan skripsi ini.
7. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) Slipi Jakarta sebagai
tempat penulis melakukan penelitian skripsi.
viii
8. Segenap dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi atas
ilmu pengetahuan dan ilmu hidup yang dengan ikhlas diajarkan kepada
penulis.
9. Semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung,
yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan motivasi yang
diberikan untuk penulis.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca untuk perbaikan dalam kegiatan dan penulisan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memiliki
kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.
Jakarta, Agustus 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .......................................................................................................... v
ABSTRACT ........................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 3
1.3. Hipotesis Penelitian ............................................................................ 4
1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
1.5. Manfaat Penelitian .............................................................................. 4
1.6. Kerangka Berpikir .............................................................................. 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Padat Industri Agar-Agar ...................................................... 6
2.2. Tepung Ikan ........................................................................................ 7
2.3. Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB) ........................................ 9
2.4. Karakteristik Stenotrophomonas maltophilia LA3B .......................... 11
2.5. Pupuk Hayati (Biofertilizer) ............................................................... 13
2.6. Kriteria Pupuk Hayati Berdasarkan Permentan No.70 Tahun 2011 ... 14
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 17
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................... 17
3.3. Rancangan Penelitian .......................................................................... 17
3.4. Cara Kerja ........................................................................................... 18
3.5. Analisis Data ...................................................................................... 27
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Uji Pelarutan Fosfat Stenotrophomonas maltophilia LA3B ..... 28
4.2. Hasil Uji Pelarutan Kalium Stenotrophomonas maltophilia LA3B ... 29
4.3. Hasil Uji Kitinolitik Stenotrophomonas maltophilia LA3B ............... 31
4.4. Hasil Uji Potensi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai
Penghasil Hormon IAA ...................................................................... 32
4.5. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu
Inkubasi terhadap Pertumbuhan Sel Stenotrophomonas
maltophilia LA3B ............................................................................... 34
4.6. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu
Inkubasi terhadap aktivitas enzim selulase dari Stenotrophomonas
maltophilia LA3B .............................................................................. 39
x
4.7. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu
Inkubasi terhadap Produksi Hormon IAA dari Stenotrophomonas
maltophilia LA3B ............................................................................... 43
4.8. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu
Inkubasi terhadap Kondisi pH media ................................................ 47
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 51
5.2. Saran ................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 52
LAMPIRAN ........................................................................................................ 59
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian potensi S. maltophilia LA3B
sebagai agen pupuk hayati berbasis residu limbah padat industri
agar-agar dan tepung ikan ............................................................. 5
Gambar 2. Residu limbah padat industri agar-agar dari PT. Agarindo
Bogatama Tangerang ..................................................................... 6
Gambar 3. Tepung ikan rucah hasil produksi BBRP2BKP ............................. 8
Gambar 4. Penampakan S. maltophilia LA3B secara mikroskopis sebagai
bakteri Gram negatif ..................................................................... 12
Gambar 5. Hasil uji pelarutan fosfat S. maltophilia LA3B pada media
padat Pikovskaya (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) ....................... 28
Gambar 6. Hasil uji pelarutan kalium S. maltophilia LA3B pada media
padat Aleksandrov (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) .................... 30
Gambar 7. Hasil uji kitinolitik S. maltophilia LA3B pada media padat
kitin 1% (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) ..................................... 31
Gambar 8. Hasil uji potensi penghasil hormon IAA pada media NB yang
ditambahkan 0,1% L-triptofan selama 5 hari inkubasi .................. 33
Gambar 9. Grafik rerata pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B hasil
interaksi antara konsentrasi substrat dan waktu inkubasi pada
berbagai kelompok konsentrasi LIA ............................................. 37
Gambar 10. Grafik rerata aktivitas selulase hasil interaksi antara
konsentrasi substrat dan waktu inkubasi pada berbagai
kelompok konsentrasi LIA ............................................................ 42
Gambar 11. Grafik rerata produksi hormon IAA hasil interaksi antara
konsentrasi substrat dan waktu inkubasi pada berbagai kelompok
konsentrasi LIA ............................................................................. 46
Gambar 12. Grafik rerata pH media hasil interaksi antara konsentrasi
substrat dan waktu inkubasi pada berbagai kelompok
konsentrasi LIA ............................................................................. 49
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kriteria pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik .................. 15
Tabel 2. Persyaratan khusus pupuk hayati (menurut fungsi) .............................. 16
Tabel 3. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor
konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap
jumlah sel S. maltophilia LA3B (log CFU/ml) ..................................... 34
Tabel 4. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor
konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap
aktivitas selulase S. maltophilia LA3B (U/ml) ..................................... 40
Tabel 5. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor
konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap
produksi hormon IAA S. maltophilia LA3B (ppm) .............................. 44
Tabel 6. Rerata nilai pH berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi
substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi ................................... 48
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rancangan percobaan ................................................................... 59
Lampiran 2. Diagram alir penelitian ................................................................. 60
Lampiran 3. Kurva standar glukosa .................................................................. 61
Lampiran 4. Kurva standar IAA........................................................................ 62
Lampiran 5. Data hasil uji karakterisasi isolat sebagai kelompok PGPB ......... 63
Lampiran 6. Data rerata hasil pengukuran parameter perlakuan ...................... 64
Lampiran 7. Hasil statistik uji ANOVA ............................................................ 66
Lampiran 8. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antar faktor
konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi ...... 68
Lampiran 9. Dokumentasi media perlakuan (formulasi LIA dan tepung ikan) 76
Lampiran 10. Dokumentasi hasil pengukuran parameter media perlakuan ........ 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Produksi pengolahan rumput laut menghasilkan jumlah limbah yang sangat
besar, salah satunya adalah limbah padat hasil industri pengolahan agar-agar.
Berdasarkan hasil observasi di salah satu industri pengolahan agar-agar terbesar di
Indonesia, yakni PT. Agarindo Bogatama Tangerang, jumlah limbah padat
industri agar-agar cukup melimpah. Perkiraan jumlah limbah yang dihasilkan oleh
PT. Agarindo Bogatama mencapai 2.700 ton/tahun dengan perkiraan selulosa
yang dihasilkan mencapai 1.620 ton/tahun (P2HP, 2012).
Keberadaan limbah padat industri agar-agar belum termanfaatkan secara
optimal. Umumnya limbah tersebut hanya dibiarkan tertimbun di lokasi
pembuangan. Hal ini akan menjadi masalah apabila tempat pembuangan sudah
tidak mampu menampung limbah padat yang dihasilkan serta akan menimbulkan
bau yang tidak sedap di sekitar lingkungan.
Selain itu, limbah padat industri agar-agar diketahui masih mengandung
selulosa yang cukup tinggi, yakni sebesar 15-25% (Kim et al., 2008). Hal ini
menyebabkan limbah membutuhkan waktu lama untuk terdegradasi secara alami.
Salah satu solusi untuk meminimalisir kelimpahan limbah padat yang dihasilkan
dari industri pengolahan agar-agar adalah dimanfaatkan oleh agen hayati, seperti
mikroorganisme selulolitik sebagai substrat bagi pertumbuhannya. Kandungan
selulosa yang terkandung pada limbah padat industri agar-agar diharapkan dapat
menjadi sumber karbon alternatif bagi pertumbuhan mikroorganisme.
Stenotrophomonas maltophilia LA3B merupakan salah satu bakteri
selulolitik yang potensial hidup pada substrat berselulosa, termasuk limbah padat
industri agar-agar. Munifah (2017) melaporkan potensi selulolitik S. maltophilia
LA3B sebesar 0,157 U/ml pada media limbah padat industri agar-agar (LIA) 1%
asal CV. Agar Sari Malang. Selain itu, beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya potensi pemacu tumbuh tanaman (Plant Growth Promoting Bacteria) dari
bakteri jenis Stenotrophomonas sp. Potensi PGPB yang dihasilkan, antara lain
sebagai penghasil hormon pengatur tumbuh tanaman, seperti Indole-3-Asetic-Acid
2
(IAA), giberelin, dan sitokinin serta penyedia unsur hara, seperti fosfat terlarut
(Kumar & Audipudi, 2015; Verma et al., 2015; Ngoma et al., 2013). Melihat hal
tersebut, keberadaan bakteri indigenous S. maltophilia LA3B berpeluang untuk
dijadikan sebagai agen pupuk hayati.
Salah satu upaya pemanfaatan bakteri indigenous S. maltophilia LA3B dan
limbah padat industri agar-agar adalah mengombinasikan kedua bahan tersebut
untuk dijadikan sebagai pupuk hayati (biofertilizer). Keberadaan limbah padat
industri agar-agar berpotensi untuk dapat dimanfaatkan dalam skala besar sebagai
bahan pembawa pupuk hayati yang bernilai ekonomis. Selain itu, kajian mengenai
potensi S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk hayati pada substrat limbah
padat industri agar-agar belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, kombinasi
S. maltophilia LA3B dan limbah padat industri agar-agar diharapkan dapat
menghasilkan formulasi pupuk hayati.
Terkait dengan formulasi pupuk hayati, ketersediaan nutrisi merupakan
salah satu faktor penting untuk menunjang pertumbuhan bakteri, seperti sumber
nitrogen. Sumber nitrogen alami yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan
tambahan pupuk adalah tepung ikan (Sundari et al., 2014; Zahroh, 2015).
Kandungan protein pada tepung ikan masih cukup tinggi, yakni sebesar 51-58%
(Assadad et al., 2015). Umumnya bahan baku tepung ikan berasal dari ikan rucah
(ikan-ikan kecil) yang kurang diminati oleh masyarakat dan harganya relatif
murah sehingga cenderung tidak diproses dan dibuang oleh pengolah atau
nelayan. Penambahan tepung ikan dalam formulasi pupuk hayati diharapkan dapat
menjadi bahan tambahan pupuk yang bernilai ekonomis untuk dijadikan sebagai
sumber nitrogen alternatif bagi pertumbuhan bakteri.
Lama inkubasi juga termasuk faktor penting dalam menentukan masa
simpan suatu bakteri dalam bahan pembawa pupuk. Lama inkubasi berkaitan
dengan masa adaptasi bakteri terhadap substrat berselulosa untuk memproduksi
enzim selulase. Hal ini disebabkan setiap mikroorganisme mempunyai masa
pertumbuhan beragam yang dapat mempengaruhi aktivitas metabolismenya
(Gandjar, 2006) sehingga perlu adanya optimasi waktu inkubasi terbaik untuk
melihat kemampuan agen hayati tumbuh dan beraktivitas selama berada pada
bahan pembawa pupuk dan ketika diaplikasikan sebagai pupuk.
3
Terkait dengan aktivitas metabolisme bakteri pada bahan pembawa pupuk,
hormon IAA merupakan salah satu produk hasil metabolisme bakteri yang
berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pengaplikasian
formula pupuk hayati yang tepat dapat menjaga kesuburan tanah sekaligus
memacu pertumbuhan tanaman (Sutariati et al., 2014). Oleh karena itu, penelitian
mengenai kemampuan bakteri untuk tumbuh serta memproduksi enzim selulase
dan hormon IAA pada variasi konsentrasi substrat dan lama inkubasi penting
dilakukan.
Penelitian sebelumnya terkait potensi pemanfaatan limbah padat industri
agar-agar (LIA) sebagai pupuk tanpa penambahan mikroorganisme telah
dilakukan oleh Adiguna et al. (2014) pada sampel industri pengolahan Agar-agar
di Pemengpeuk Jawa Barat. Namun nilai rasio C/N belum memenuhi kriteria
sebagai pupuk organik. Pemanfaatan lain terkait LIA sebagai media tumbuh
bakteri selulolitik juga telah diteliti oleh Munifah (2017) pada sampel industri
pengolahan agar-agar CV. Agar Sari Malang dengan variasi konsentrasi LIA,
yakni 0,5-3%. Namun penelitian mengenai potensi S. maltophilia LA3B sebagai
agen pupuk hayati pada substrat limbah padat industri agar-agar (LIA) dari PT.
Agarindo Bogatama Tangerang dengan bahan tambahan tepung ikan belum
pernah dilakukan.
Penelitian ini merupakan penelitian awal berskala laboratorium yang
berfokus pada karakteristik S. maltophilia LA3B sebagai kelompok PGPB serta
potensi pertumbuhan dan aktivitas S. maltophilia LA3B dalam memproduksi
enzim selulase dan hormon IAA. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi awal mengenai potensi S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk hayati
serta menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi antara konsentrasi substrat
LIA, tepung ikan, dan waktu inkubasi sebagai formula pupuk hayati untuk dapat
diaplikasikan ke tanaman.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah S. maltophilia LA3B berpotensi sebagai agen pupuk hayati?
4
2. Formulasi manakah hasil kombinasi antara konsentrasi LIA, tepung ikan,
dan waktu inkubasi yang terbaik bagi pertumbuhan sel, aktivitas enzim
selulase dan produksi hormon IAA dari S. maltophilia LA3B?
1.3. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Stenotrophomonas maltophilia LA3B berpotensi sebagai agen pupuk hayati.
2. Formulasi terbaik hasil kombinasi antara konsentrasi LIA, tepung ikan, dan
waktu inkubasi terhadap pertumbuhan sel, aktivitas enzim selulase, dan
produksi hormon IAA adalah yang memenuhi kriteria minimum Peraturan
Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011 tentang pupuk hayati tunggal.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui potensi S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk hayati.
2. Menentukan formulasi terbaik hasil kombinasi antara konsentrasi LIA,
tepung ikan, dan waktu inkubasi untuk pertumbuhan sel, aktivitas enzim
selulase dan produksi hormon IAA.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi peneliti: sebagai sumber informasi (data awal) mengenai karakteristik
S. maltophilia LA3B sebagai kelompok PGPB dan agen pupuk hayati.
2. Bagi industri: salah satu upaya mengurangi jumlah limbah padat industri
agar-agar, nilai tambah bagi industri karena menerapkan zero-waste
treatment, dan dapat dijadikan sebagai nilai komersial.
3. Bagi masyarakat: solusi untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia sintetis
dan upaya penerapan sistem pertanian organik.
5
1.6. Kerangka Berpikir
Adapun skema kerangka berpikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut
(Gambar 1).
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian potensi S. maltophilia LA3B sebagai
agen pupuk hayati berbasis residu limbah padat industri agar-agar
dan tepung ikan
Limbah padat industri agar-agar (LIA)
melimpah
Peneliti:
sumber
informasi
Industri:
mengurangi jumlah
limbah, nilai
komersial
Masyarakat:
mengurangi
penggunaan pupuk
kimia sintetis
selulosa masih cukup tinggi
dimanfaatkan oleh bakteri
selulolitik
Lama
inkubasi
Stenotrophomonas maltophilia
LA3B (agen hayati)
Formulasi pupuk hayati
(biofertilizer)
Sumber protein
Tepung
ikan
(Sumber C)
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Padat Industri Agar-Agar
Salah satu industri pengolahan rumput laut (agar-agar) terbesar di Indonesia
yang cukup banyak menghasilkan jumlah limbah per tahunnya adalah PT.
Agarindo Bogatama. Bahan baku yang digunakan adalah rumput laut jenis
Gracilaria sp. Perkiraan jumlah bahan baku yang digunakan oleh PT. Agarindo
Bogatama Tangerang dapat mencapai 10.800 ton/tahun, produksi agar-agar
mencapai 3.000 ton/tahun, jumlah limbah padat yang dihasilkan sebanyak 2.700
ton/tahun, dan perkiraan selulosa mencapai 1.620 ton/tahun (P2HP, 2012).
Karakteristik limbah hasil industri pengolahan rumput laut (agar-agar)
menghasilkan dua fase, yakni fase cair dan fase padat. Fase cair berasal dari
pencucian dan presipitasi ekstraksi rumput laut, sedangkan fase padat berasal dari
pemisahan ekstrak rumput laut dari padatannya (Sedayu et al., 2008). Limbah
padat yang dihasilkan dari industri pengolahan agar-agar umumnya masih
mengandung komponen utama selulosa, sedangkan komponen lainnya adalah
mineral-mineral (Sedayu et al., 2008). Basmal (2017) melaporkan kandungan
unsur-unsur yang terdapat pada limbah padat industri agar-agar asal PT. Agarindo
Bogatama Tangerang, antara lain nitrogen (0,25%), fosfor (0,042%), kalium
(0,27%), natrium (1,05%), kalsium (0,29%), magnesium (0,092%), C-organik
(12,57%), KTK (22,33%), besi (0,17 ppm), tembaga (tidak terdeteksi), mangan
(45,46 ppm), seng (6,16 ppm), dan boron (33,99 ppm). Berikut merupakan sampel
limbah padat yang dihasilkan dari industri pengolahan agar-agar asal PT.
Agarindo Bogatama Tangerang (Gambar 2).
Gambar 2. Residu limbah padat industri agar-agar dari PT. Agarindo Bogatama
Tangerang; a.) sebelum dikeringkan b.) setelah dikeringkan (sumber:
dokumen pribadi)
b. a.
7
Limbah padat industri pengolahan agar-agar dari PT. Agarindo Bogatama
mengandung holoselulosa sebagai polisakarida sebesar 17,70%, selulosa alfa, dan
pentosan sebagai hemiselulosa, masing-masing sebesar 14,26% dan 1,65%, serta
lignin sebesar 1,12% (Basmal, 2018). Limbah padat agar-agar dalam skala
industri umumnya masih bercampur dengan celite. Celite merupakan mineral
yang memiliki komposisi serupa dengan tanah diatom, tersusun atas silika dan
alumina (Munifah, 2017). Umumnya celite mudah diperoleh, murah, dan
merupakan material anorganik yang memiliki polaritas rendah serta adhesi yang
luas sehingga celite banyak dimanfaatkan sebagai penyaring dan imobilisasi
beberapa senyawa aktif (Ansari & Husain, 2012). Industri pengolahan rumput laut
biasa memanfaatkan celite untuk media filtrasi karena memiliki porositas yang
tinggi berupa lubang-lubang kecil yang banyak sehingga proses pemisahan agar-
agar dari rumput laut menjadi lebih optimal (Munifah, 2017).
Beberapa penelitian terkait pemanfaatan limbah padat industri agar-agar
telah banyak dilakukan, antara lain untuk pembuatan papan partikel (Sedayu et
al., 2008), media tumbuh isolat dalam memproduksi enzim selulase (Munifah,
2017; Latifa, 2012), pupuk organik (Adiguna et al., 2014; Suptijah et al., 2011;
Sahwan, 2010), media fermentasi limbah industri agar (Gracilaria sp.) untuk
memproduksi bioetanol dengan bantuan khamir Saccharomyces cerevisiae
(Ningrum, 2016).
2.2. Tepung Ikan
Tepung ikan adalah suatu produk pengawetan ikan dalam bentuk kering
yang digiling menjadi tepung yang berasal dari daging ikan atau bagian ikan yang
biasanya dibuang (kepala ikan, isi perut dan lain-lain) (Assadad et al., 2015).
Bahan baku tepung ikan pada umumnya merupakan ikan-ikan yang kurang
ekonomis, hasil samping dari penangkapan selektif, ikan yang melimpah pada
musim penangkapan dan sisa-sisa pabrik pengolahan ikan (pabrik pengalengan,
pembekuan ikan dan minyak ikan) (Liliasari, 2016). Salah satu jenis ikan yang
potensial dan ekonomis untuk diolah menjadi tepung ikan adalah ikan rucah (ikan-
ikan kecil). Ikan rucah merupakan hasil samping pengolahan utama ikan maupun
dari hasil tangkapan sampingan yang dipandang tidak memiliki nilai ekonomis
8
karena dianggap sudah tidak dapat dikonsumsi oleh manusia (Utomo et al., 2013)
sehingga cenderung tidak diproses dan dibuang oleh pengolah atau nelayan.
Tepung ikan dapat diolah dari berbagai jenis ikan laut. Namun, ikan rucah
memiliki protein yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk diproses
menjadi suatu produk dalam rangka pemanfaaatan hasil samping, penerapan
konsep zero waste, dan peningkatan nilai tambah (Assadad et al., 2015). Tepung
ikan yang berasal dari ikan rucah kaya asam amino, energi, asam lemak, dan
mineral serta atraktan (Utomo et al., 2013). Berikut merupakan salah satu tepung
ikan rucah hasil produksi Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan (BBRB2BKP) (Gambar 3).
Gambar 3. Tepung ikan rucah hasil produksi BBRP2BKP (sumber: dokumen
pribadi)
Proses produksi tepung ikan menurut Mariastuti (2015) dibagi menjadi
beberapa tahapan, antara lain: (1) perebusan, bertujuan untuk mengkoagulasi
(menggumpalkan) protein dan mempermudah pemisahan air dan minyak; (2)
pressing, bertujuan untuk memisahkan sebagian besar air dan minyak ikan yang
telah dimasak; (3) pengeringan, bertujuan untuk mengeluarkan air dalam jumlah
yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas sehingga
diperoleh bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan kadar air
atmosfer normal atau setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan
mikrobiologis, enzimatis, dan kimiawi; (4) penggilingan, bertujuan untuk
menghancurkan gumpalan-gumpalan daging, tulang, dan sebagainya; (5)
pengayakan, untuk membersihkan tepung ikan dan memisahkan dari kontaminan.
Berdasarkan penelitan Assadad et al. (2015), tepung ikan rucah pada
berbagai perlakuan (perebusan, pengukusan, presto) mengandung berbagai
komponen, seperti protein (51-58%), air (5-6%), serat (1-3%), abu (13-17%),
lemak (12-14%), kalsium (4-5%), fosfor (4,13–4,65%), dan garam (0,36-0,65%).
9
Unsur-unsur tersebut sangat bermanfaat untuk pertumbuhan mikroorganisme
sebagai kofaktor untuk berbagai aktivitas metabolik (Ramkumar et al., 2016).
Pemanfaatan tepung ikan rucah, antara lain sebagai pakan ikan (Utomo et al.,
2013) dan bahan campuran pupuk organik (Sundari et al., 2014; Zahroh, 2015).
2.3. Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB)
Bakteri merupakan salah satu makhluk hidup ciptaan Allah SWT. yang
berukuran sangat kecil (mikro) dan tidak kasat mata. Allah menciptakan makhluk
hidup di muka bumi melainkan agar dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup di
bumi, sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Hijr ayat 20 sebagai berikut.
يش ومن لستم له برازقين )الحجر: (٠٢وجعلنا لكم فيها مع
Artinya: “Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan
hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu
sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya” (QS. Al-Hijr: 20)
Allah SWT. menciptakan makhluk hidup termasuk bakteri dan
membekalinya keperluan-keperluan untuk menunjang kehidupan bakteri tersebut,
misalnya kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim atau senyawa metabolit.
Hal tersebut bertujuan agar bakteri dapat hidup dan saling berinteraksi satu sama
lain, baik dengan mikroorganisme lain ataupun dengan lingkungannya.
Keberadaan bakteri menguntungkan yang mampu membangun interaksi positif
antara mikroorganisme lain ataupun dengan lingkungannya banyak dieksplorasi,
salah satunya interaksi menguntungkan antara bakteri dengan tanaman.
Kelompok bakteri pemacu tumbuh tanaman atau yang dikenal sebagai Plant
Growth Promoting Bacteria (PGPB) merupakan bakteri yang menguntungkan
bagi tanaman dalam hal pertumbuhan dan perlindungan penyakit (Sutariati et al.,
2014). Kelompok PGPB mampu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman melalui beberapa tahapan mekanisme, baik secara langsung maupun
tidak langsung, antara lain melalui pelarutan fosfat, fiksasi nitrogen, penghasil
fitohormon, protein insektisida, antibiotik, siderofor, asam sianida dan sebagainya
(Vandana et al., 2017). Beberapa kelompok spesies bakteri yang telah terbukti
memfasilitasi pertumbuhan tanaman melalui berbagai perilaku mekanisme, antara
10
lain Rhizobia, Azospirillum, Azotobacter; Bacillus subtilis, B. megaterium,
B. licheniformis, Pseudomonas fluorescens, P. putida; Cellulomonas,
Lactobacillus plantarum, khamir Saccharomyces cerevisiae (Purnomo, 2016) .
Peran mikroorganisme PGPB berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya.
Peran mikroorganisme pemfiksasi nitrogen, yaitu membantu dalam membuat
ketersediaan dinitrogen untuk eukariotik lainnya melalui proses biologis ATP
untuk direduksi menjadi ammonia (Vandana et al., 2017). Bakteri pelarut fosfat
membantu menyediakan unsur hara fosfor bagi tanaman dengan melalui tiga
mekanisme: (1) menghasilkan senyawa pelarut fosfat berupa asam organik,
siderofor, proton, ion hidroksil, dan karbon dioksida; (2) menyekresikan enzim
pelarut fosfat (enzim fosfatase dan fitase); (3) melepas fosfat dalam proses
degradasi substrat (Sharma et al., 2013).
Bakteri pelarut kalium dapat melarutkan kalium dari ikatan kalium tidak
larut pada suatu media melalui sekresi asam-asam organik dan memanfaatkannya
untuk pembentukan sel-sel baru sehingga terjadi proses pengikatan (imobilisasi)
kalium oleh bakteri (Basak & Biswas, 2009). Bakteri pelarut kalium berperan
penting pada tanaman, salah satunya sebagai fasilitator ketersediaan unsur hara
kalium dalam tanah dengan mengubah bentuk kalium tidak tersedia menjadi
tersedia bagi tanaman (Verma et al., 2015).
Bakteri penghasil hormon Indole-3-Asetic-Acid (IAA) mampu mengonversi
triptofan menjadi IAA melalui beberapa jalur, antara lain indole-3-acetamide
(IAM), indole-3-pyruvat (IpyA), tryptamine (TAM), dan indole-3-acetonitril
(IAN) (Spaepen et al., 2007). Menurut Spaepen et al. (2017), umumnya jalur
terbaik bagi bakteri untuk menyintesis IAA adalah jalur IAM dan IpyA,
sedangkan IAA yang dibutuhkan tanaman biasanya diproduksi melalui jalur IpyA.
Adapun mekanisme biosintesis IAA melalui jalur IpyA, yakni triptofan diubah
menjadi indol-3-piruvat oleh enzim amino transferase melalui reaksi deaminasi
kemudian diubah menjadi IAAld oleh reaksi dekarboksilasi enzimatis. Perubahan
IAAld menjadi IAA terjadi secara hidrolisis oleh IAAld dehidrogenase (Spaepen
et al., 2007). Bakteri penghasil IAA akan berwarna merah saat ditetesi pereaksi
Salkowski karena adanya interaksi antara IAA dan Fe yang membentuk senyawa
kompleks berupa tris-indole-3-aceto-iron (III). Warna merah muda yang semakin
11
pekat menunjukkan konsentrasi IAA yang dihasilkan oleh bakteri semakin tinggi
(Kovacs, 2009).
Beberapa kelompok bakteri PGPB juga dapat menekan pertumbuhan
berbagai patogen dengan berbagai cara, seperti bersaing untuk mendapatkan
nutrisi dan tempat sehingga pasokan zat besi (unsur Fe) tersedia melalui produksi
siderofor, enzim litik, dan antibiosis (Jing et al., 2007; Sutariati et al., 2006).
Efektivitas PGPB sebagai agen antagonis ditentukan dari kemampuannya dalam
menghasilkan senyawa siderofor dan hidrogen sianida (Zhuang et al., 2007) atau
menyekresikan berbagai enzim ekstraseluler, seperti kitinase, protease, dan
selulase (Sutariati et al., 2006).
Senyawa hidrogen sianida yang diproduksi oleh PGPB bersifat toksik
terhadap sejumlah patogen tanaman. Sementara itu, senyawa siderofor berkaitan
dengan upaya bakteri untuk mengeliminasi populasi patogen dengan cara
mengikat unsur besi (Fe) sehingga unsur besi menjadi tidak tersedia bagi patogen,
akibatnya patogen akan mati karena mengalami defisensi unsur besi (Zhuang et
al., 2007).
Enzim ekstraseluler kitinase dan selulase yang disekresikan PGPB mampu
mendegradasi dinding sel patogen yang menginfeksi tanaman sehingga
perkembangan patogen tersebut terganggu. Bakteri kitinolitik dapat berperan
dalam mengontrol fungi patogen tanaman secara mikoparasitisme dengan
menghidrolisis struktur kitin yang merupakan senyawa utama penyusun dinding
sel tabung pada spora dan miselia fungi sehingga fungi patogen tidak mampu
menginfeksi tanaman (Priyatno et al., 2000). Sekresi protease berperan dalam
menghancurkan berbagai enzim pendegradasi dinding sel tanaman yang
diproduksi oleh patogen dalam proses infeksi, seperti selulase, pektinase dan
xilanase (Sutariati et al., 2006).
2.4. Karakteristik Stenotrophomonas maltophilia LA3B
Stenotrophomonas maltophilia merupakan bakteri yang termasuk ke
dalam subkelas γ-proteobakteria (Anzai et al., 2000). Bakteri ini dapat ditemukan
secara luas di lingkungan alami, seperti pada rizosfer atau di tanah sekitar akar
tanaman ataupun di lingkungan antropogenik (Pages et al., 2008). Karakteristik
12
S. maltophilia LA3B secara makroskopis dan mikroskopis, antara lain merupakan
bakteri aerob non-fermentatif, berbentuk batang sangat pendek, Gram negatif,
koloni berwarna putih, tepi sedikit bergelombang dan permukaan rata. Suhu
optimum untuk tumbuh berada pada suhu 37ºC (Munifah, 2017).
Gambar 4. Penampakan S. maltophilia LA3B secara mikroskopis sebagai bakteri
Gram negatif (perbesaran 2000x menggunakan mikroskop cahaya)
(sumber: dokumen pribadi)
Beberapa penelitian terkait peranan dan potensi S. maltophilia, antara lain
dilaporkan oleh Kumar dan Audipudi (2015) tentang potensi S. maltophilia
AVP27 asal rizosfer tanaman cabai sebagi bakteri kelompok PGPB yang memliki
kemampuan melarutkan fosfat anorganik (818 ppm), aktivitas enzim fosfatase
(1,62 IU/ml), produksi hormon IAA (93 µg/ml), senyawa amonia (80 µg/ml),
siderofor, dan hidrogen sianida. Hal yang sama dilaporkan oleh Ngoma et al.
(2013) yang menemukan S. maltophilia (KC 010525 dan KC 010529) asal akar
tanaman bayam berpotensi sebagai bakteri penghasil hormon IAA (0,32 µg/ml
dan 0,49 µg/ml). Selain itu, S. maltophilia KC 010529 mampu melarutkan fosfat,
memproduksi amonia, dan memiliki aktivitas antifungi (55%).
Verma et al. (2015) juga melaporkan potensi S. maltophilia asal rizosfer
tanaman gandum yang berpotensi sama, yakni mampu melarutkan fosfat (55,7
mg/l), kalium (28 mg/ml), memproduksi IAA (66,1 µg/mg), siderofor, amonia,
hidrogen sianida, hormon giberelin, ACC deaminase dan biokontrol. Selain itu,
peranan lainnya dari S. maltophilia, yakni sebagai kontrol biologis yang
dimanfaatkan untuk pengembangan biopestisida (Suryadi et al., 2014) dan agen
bioremediasi (Pages et al., 2008). Selain itu, S. maltophilia juga berpotensi
sebagai bakteri penghasil enzim selulase (selulolitik) (Munifah, 2017).
13
2.5. Pupuk Hayati (Biofertilizer)
Pupuk hayati merupakan pupuk organik yang mengandung formulasi
mikroorganisme hidup pemacu tumbuh tanaman. Pengaplikasian pupuk hayati
pada benih, permukaan tanaman atau tanah akan mengolonisasi rizosfer atau
bagian dalam tanaman sehingga meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, baik melalui fiksasi nitrogen, pelarutan fosfat, pengomposan limbah
organik atau dengan menghasilkan hormon tumbuh melalui aktivitas biologisnya
(Vessey, 2003). Penggunaan pupuk hayati memiliki beberapa keuntungan, yakni
meningkatkan jumlah mikroorganisme dan mempercepat proses mikrobiologi,
meningkatkan ketersediaan hara, mengaktifkan serapan hara, menekan soil-borne
disease, mempercepat proses pengomposan, memperbaiki struktur tanah, dan
menghasilkan substansi aktif yang dapat meningkatkan pertumbuhan serta
perkembangan tanaman (Nursanti, 2017).
Komponen utama pupuk hayati adalah mikroba, baik bakteri maupun fungi
yang berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan menyediakan
unsur-unsur mineral dan esensial bagi tanaman ataupun tanah. Komponen lainnya
adalah bahan pembawa (carrier) yang berupa cairan atau bahan padatan dan
bahan perekat (Sutariati et al., 2014). Jenis carrier yang banyak digunakan adalah
bahan-bahan organik yang berasal dari limbah pertanian, seperti kompos, gambut,
arang, dan sekam. Sementara itu, bahan pembawa anorganik yang umum
digunakan, antara lain bentonit, vermikulit atau zeolite. Bahan perekat yang
umumnya digunakan antara lain sukrosa, pepton, gliserol, molase, gum, dan
karboksimetilselulase (Nursanti, 2017).
Menurut Sutariati et al. (2014), beberapa jenis pupuk hayati yang umum
dijumpai di pasaran, antara lain: (1) pupuk hayati sumber nitrogen melalui
kemampuannya mengikat nitrogen bebas untuk diubah menjadi ammonia yang
selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tanaman; (2) pupuk hayati sumber fosfat dan
mineral lainnya (kalium, sulfur) dengan cara melarutkan fosfat atau kalium yang
tidak larut menjadi fosfat atau kalium terlarut sehingga dapat diserap oleh
tanaman; (3) pupuk hayati penyedia biohormon. Biohormon adalah hormon yang
dihasilkan oleh mikroba untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, berupa
auksin, sitokinin, dan giberelin. Hormon-hormon tersebut sangat diperlukan oleh
14
tanaman untuk perkecambahan, pertumbuhan tunas dan batang, perpanjangan
akar, pembungaan maupun pembuahan.
2.6. Kriteria Pupuk Hayati Berdasarkan Permentan No.70 Tahun 2011
Produk pupuk hayati yang dihasilkan harus memenuhi standar mutu yang
ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam bentuk SNI atau yang
ditetapkan oleh Menteri Pertanian dalam bentuk persayaratan teknis minimal agar
dapat dikomersilkan secara luas kepada masyarakat atau pengguna.
Terdapat beberapa persyaratan uji untuk menjadi pupuk hayati yang
terdaftar resmi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan), antara lain:
(1) jumlah populasi mikroorganisme hidup yang terdapat dalam pupuk; (2)
efektivitas mikroorganisme, seperti fungsi pupuk hayati sebagai penambat
nitrogen, pelarut fosfat, penghasil fitohormon, dan perombak bahan organik; (3)
bahan pembawa sebagai media tempat mikroorganisme hidup; (4) masa
kadaluarsa; (5) tidak bersifat patogen terhadap manusia maupun tumbuhan.
Adapun kriteria pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik menurut
Peraturan Menteri Pertanian No.70/permentan/SR.140/10/2011 adalah sebagai
berikut (Tabel 1).
15
Tabel 1. Kriteria pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik
Parameter
Syarat Teknis Menurut Jenis Bahan
Pembawa Metode
Pengujian Tepung/Serbuk Granul/Pelet Cair
Total sel hidup
(Bakteri)
≥ 107 cfu/g
(BK)
≥ 107 cfu/g
(BK)
≥ 108
cfu/mL
TPC*)
Fungsional
a) Pelarut P Positif Pikovskaya
b) Penghasil
fitohormon
> 0,0 Spektrofotometer
atau HPLC
c) Perombak
bahan
organik
(dekomposer)
Positif Media agar
CMC/Avicel/
Guaicol/Indulin
Patogenisitas Negatif Infeksi ke daun
tembakau
Kontaminan:
E. coli/
Salmonella spp.
< 103 MPN/g atau MPN/mL
MPN-durham
dan uji lanjut
pada media
diferensial
Kadar Air (%)
**)
≤ 35 ADBB
Kadar pH 5 – 8 pH H2O, pH-
meter
Sumber: Peraturan Menteri Pertanian (2011). *)TPC (Total Plate Count) dilakukan pada media spesifik untuk mikroba tersebut, **) Kadar air atas dasar berat basah
Adapun kriteria khusus pupuk hayati menurut fungsi dari pupuk hayati yang
tercantum pada Peraturan Menteri Pertanian No.70/permentan/SR.140/10/2011
adalah sebagai berikut (Tabel 2).
16
Tabel 2. Persyaratan khusus pupuk hayati (menurut fungsi)
No Fungsi Parameter Uji Kriteria Metode Pengujian
1. Penambat N2
a) simbiotik
Terbentuk
lendir
eksopolisakari
da pada
medium
karbohidrat
dan
pembentukan
bintil akar
Positif bereaksi
asam/basa
pada media
YEMA +
kongo/
Bromtimol
blue
Plating media JNFB
b) hidup bebas Pembentukan
pelikel/gelang
pada medium
JNFB
Positif
pembentukan
bintil akar
pada siratro
Inokulasi tanaman
Siratro
2. Pelarut P dan
Fasilitator P
a) Zona
pelarutan P
Positif
membentuk
zona bening
pada media
agar
Plating media
Pikovskaya
b) Pelarutan
P
Positif ( ≥
10% selisih P)
pada 0 – 48
jam
Spektrofotometer
c) % infeksi/
kolonisasi
tanaman
inang
Positif = ≥
50%
Pewarnaan
Fuchsin
3. Pemacu
tumbuh
Produksi
fitohormon
Positif Spektrofotometer
4. Penghasil anti
mikroba
Terbentuknya
zona hambat
Positif Plating
5. Perombak
bahan organik
(dekomposer)
a) Aktivitas
selulase
(kualitatif)
(+) = terbentuk
zona bening
pada media
agar CMC
Plating
b) Aktivitas
selulase
(kuantitatif)
≥ 0,3 unit Fp-
ase per mL
Spektrofotometer
Sumber: Peraturan Menteri Pertanian (2011)
17
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan
(BBRP2BKP) Slipi, Jakarta Pusat dari bulan Mei 2018 hingga Februari 2019.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain laminar air flow
(ESCO Fume Hood), autoklaf (Hirayama HVA 85), hot plate, magnetic stirer,
timbangan analitik, mikroskop cahaya (Olympus), shaking incubator,
thermoblock, colony counter, drygalski, mikropipet 10-1000 µl, microsentrifuge,
microplate 96-well flat bottom, spektrofotometer UV-Vis (Spectronic®20
Genesys TM), dan kertas pH indikator.
Bahan-bahan yang digunakan, antara lain isolat Stenotrophomonas
maltophilia LA3B asal limbah padat industri agar-agar di Malang koleksi
BBRP2BKP, limbah padat industri agar-agar (LIA) dari PT. Agarindo Bogatama
Tangerang, tepung ikan rucah koleksi BBRP2BKP, Nutrient Agar (NA) (Oxoid),
Nutrient Broth (NB) (Oxoid), Carboxyl Methyl Cellulose (CMC), Pikovskaya,
Aleksandrov, kitin agar, Plate Count Agar (PCA), akuades, glukosa, pewarna
Gram, pewarna merah kongo, parafilm, natrium klorida 0,9%, pereaksi Salkowski,
pereaksi dinitrosalisilat (DNS), L-triptofan (Lift Mode), dan standar auksin
(Sigma).
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF) dengan tiga faktor.
Faktor pertama adalah konsentrasi LIA, terdiri atas 3 taraf (1%, 2%, dan 3%).
Faktor kedua adalah konsentrasi tepung ikan, terdiri atas 3 taraf (0,1%; 0,2%, dan
0,3%). Faktor ketiga adalah waktu inkubasi, terdiri atas 6 taraf (hari ke-1, hari ke-
18
3, hari ke-5, hari ke-7, hari ke-9, dan hari ke-11). Setiap perlakuan diulang
sebanyak dua kali dengan sub-ulangan sebanyak tiga kali (Lampiran 1). Adapun
parameter yang diamati, meliputi pertumbuhan sel bakteri menggunakan metode
Total Plate Count (TPC), aktivitas enzim selulase, produksi hormon IAA dan
pengukuran pH media.
3.4. Cara Kerja
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan kerja, antara lain preparasi
(pembuatan media, pereaksi, dan kurva standar), peremajaan isolat, uji
karakterisasi isolat, serta penentuan konsentrasi dan waktu inkubasi optimum
isolat pada media perlakuan (Lampiran 2). Adapun rincian cara kerja dari
penelitian ini adalah sebagai berikut.
3.4.1. Pembuatan Media Selektif dan Media Perlakuan
Pembuatan Media Kultur NB dan NA
Sebanyak 13 g media NB dilarutkan dalam 1 liter akuades. Media
dipanaskan menggunakan penangas air hingga homogen. Media disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Prosedur yang sama
dilakukan untuk pembuatan media NA (28 g/ l).
Pembuatan Media Padat CMC 1%
Media padat CMC 1% merupakan media selektif yang digunakan untuk
proses peremajaan bakteri selulolitik. Komposisi media yang digunakan mengacu
dari Munifah (2017). Sebanyak 10 g/l CMC dilarutkan dalam akuades panas dan
diaduk hingga larutan menjadi homogen. Bahan-bahan pendukung (makro dan
mikro nutrien) ditambahkan ke dalam campuran, seperti glukosa (1 g/l), yeast
ekstrak (2 g/l), agar bakto (15 g/l), kalium dihidrogen fosfat (1 g/l), magnesium
sulfat heptahidrat (0,5 g/l), natrium klorida (0,5 g/l), besi sulfat heptahidrat (0,01
g/l), mangan sulfat heptahidrat (0,01 g/l), amonium nitrat (0,3 g/l), dan kalsium
klorida dihidrat (0,04 g/l). Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu
121˚C selama 15 menit.
19
Pembuatan Media Padat Pikovskaya
Media Pikovskaya merupakan media selektif yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan isolat dalam melarutkan fosfat dari sumber fosfat
anorganik. Komposisi media yang digunakan mengacu dari Permentan (2011)
dengan memodifikasi sumber fosfat. Bahan–bahan yang digunakan, yaitu glukosa
(10 g/l), natrium klorida (0,2 g/l), kalium klorida (0,1 g/l), magnesium sulfat
heptahidrat (0,1 g/l), mangan sulfat heptahidrat (4 mg/l), besi sulfat heptahidrat (2
mg/l), kalsium hidrogen fosfat dihidrat (sumber fosfat) (5 g/l), amonium sulfat
(0,5 g/l), yeast ekstrak (0,5 g/l), dan agar bakto (15 g/l). Media disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Pembuatan Media Padat Aleksandrov
Media Aleksandrov merupakan media selektif yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan isolat dalam melarutkan kalium (K). Komposisi media
yang digunakan mengacu dari Angraini (2015) dengan memodifikasi sumber K.
Bahan–bahan yang digunakan, antara lain, glukosa (5 g/l), magnesium sulfat
heptahidrat (0,5 g/l), besi klorida (6 mg/l), kalsium karbonat (0,1 g/l), kalsium
hidrogen fosfat dihidrat (2 g/l), kalium klorida (sumber K) (3 g/l), dan agar bakto
(20 g/l). Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15
menit.
Pembuatan Media Padat Kitin
Media kitin agar merupakan media selektif untuk mengetahui kemampuan
isolat dalam mendegradasi kitin. Prosedur ini diadaptasi dari Mubarik et al.
(2010). Komposisi pada media kitin agar, antara lain koloidal kitin (10 g/l);
magnesium sulfat heptahidrat (0,1 g/l), dikalium hidrogen fosfat (0,1 g/l), yeast
ekstrak (0,5 g/l), amonium sulfat (7 g/l), natrium klorida (1 g/l), dan agar bakto
(15 g/l). Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit.
Pembuatan koloidal kitin dilakukan mengikuti metode Arnold dan Solomon
(Dewi, 2008). Sebanyak 30 g serbuk kitin dilarutkan dalam 600 ml asam klorida
pekat. Larutan disimpan semalaman pada suhu 4ºC. Setelah itu, larutan disaring
20
menggunakan glass wool dalam ruang asam (posisi larutan ditempatkan dalam
wadah yang berisi es). Filtrat yang terbentuk dari hasil penyaringan ditambahkan
dengan 400 ml akuades dingin sambil diaduk perlahan. Filtrat dinetralkan dengan
cara ditambahkan natrium hidroksida 12 N hingga kondisi pH netral. Setelah itu,
filtrat disentrifugasi dengan kecepatan agitasi sebesar 7000 rpm selama 15 menit
pada suhu 4ºC. Endapan dicuci dengan akuades dingin sebanyak dua kali untuk
menghilangkan garam yang terbentuk selama proses pemisahan asam dan basa
lalu supernatan dibuang. Endapan yang terbentuk merupakan koloidal kitin dan
selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin sebagai stok.
Pembuatan Media Perlakuan (Kombinasi LIA dan Tepung Ikan)
Pembuatan media perlakuan bertujuan untuk mengetahui potensi
pertumbuhan dan aktivitas S. maltophilia LA3B, terutama dalam memproduksi
enzim selulase dan hormon IAA. Komposisi media perlakuan sebagai media
tumbuh isolat diadaptasi dari penelitian Munifah (2017) dan dimodifikasi.
Komposisi bahan-bahan yang digunakan, yaitu serbuk LIA (0,5 g atau 1 g
atau 1,5 g) (disesuaikan seperti pada perlakuan), tepung ikan (0,05 g atau 0,1 g
atau 0,15 g) (disesuaikan seperti pada perlakuan), glukosa (0,05 g), kalium
dihidrogen fosfat (0,05 g), magnesium sulfat heptahidrat (25 mg), natrium klorida
(25 mg), besi sulfat heptahidrat (0,5 mg), mangan sulfat heptahidrat (0,5 mg),
amonium nitrat (15 mg), kalsium klorida dihidrat (2 mg), dan akuades (45 ml).
Media disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit. Media yang telah steril
ditambahkan L-triptofan steril 0,1% (5 ml) sebagai prekursor IAA. Media
dihomogenkan dengan dikocok perlahan.
3.4.2. Pembuatan Pereaksi Dinitrosalisilat (DNS)
Pereaksi DNS berperan sebagai indikator pereaksi dalam proses pengukuran
aktivitas enzim selulase. Sebanyak 1 g DNS dilarutkan dalam 20 ml NaOH 2 N
sedikit demi sedikit sambil dihomogenkan dengan stirrer hingga larutan
berwarna jingga. Selanjutnya, 30 g natrium kalium tartrat yang telah dilarutkan
dalam 50 ml pure water dicampurkan dengan larutan DNS sambil
21
dihomogenkan kembali. Sebanyak 0,2 g fenol dicampur ke dalam larutan.
Apabila semua larutan telah homogen maka larutan dimasukkan ke dalam labu
ukur bervolume 100 ml lalu ditambahkan sedikit demi sedikit pure water hingga
mencapai batas tera.
3.4.3. Pembuatan Kurva Standar
Kurva Standar Glukosa
Pembuatan kurva standar glukosa diawali dengan membuat larutan stok 100
ppm (5 mg gula standar (glukosa) dalam 50 ml akuades). Serial standar glukosa
yang dibuat adalah 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90 ppm hasil pengenceran
dari larutan stok standar glukosa 100 ppm. Setelah seluruh larutan standar siap,
sebanyak 1 ml dari tiap larutan serial standar glukosa ditambahkan dengan 1 ml
pereaksi DNS. Larutan dihomogenkan dengan vorteks lalu dipanaskan dalam air
mendidih pada suhu ±100°C selama 15 menit di dalam waterbath. Larutan
didinginkan dan absorbansi diukur pada panjang gelombang 540 nm. Kurva
standar terbentuk dari hubungan antara nilai absorbansi yang dihasilkan (sumbu-
y) dengan konsentrasi larutan (sumbu-x) sehingga dihasilkan persamaan regresi
(Lampiran 3).
Kurva Standar IAA
Pembuatan kurva standar IAA diawali dengan membuat larutan stok 100
ppm (5 mg standar auksin dalam 50 ml akuades). Larutan serial standar IAA yang
dibuat adalah 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 ppm hasil pengenceran dari larutan
stok standar IAA 100 ppm. Setelah seluruh larutan standar siap, sebanyak 1 ml
dari tiap larutan serial standar IAA ditambahkan dengan 2 ml pereaksi Salkowski
(komposisi: 2 ml besi klorin 0,5 M; 49 ml akuades; 49 ml asam perklorat).
Larutan dihomogenkan dengan vorteks lalu diinkubasi dalam ruang gelap pada
suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu, absorbansi larutan diukur pada panjang
gelombang 530 nm. Kurva standar terbentuk dari hubungan antara nilai
absorbansi yang dihasilkan (sumbu-y) dengan konsentrasi larutan (sumbu-x)
sehingga dihasilkan persamaan regresi (Lampiran 4).
22
3.4.4. Peremajaan Isolat Stenotrophomonas maltophilia LA3B
Isolat diremajakan pada media NB, NA dan CMC padat. Isolat disegarkan
dalam 100 ml media NB secara aseptis dan diinkubasi dalam shaking incubator
selama 24 jam pada suhu 37ºC. Sebanyak 100 µl kultur cair umur 24–48 jam
dipindahkan ke dalam media NA plate secara aseptis dengan metode sebar
(spread plate) lalu diinkubasi selama 24–48 jam pada suhu 37ºC. Isolat diuji
kemurniannya menggunakan metode gores (streak) pada media NA untuk diamati
ciri morfologi koloni isolat yang diinginkan. Setelah itu, koloni diamati secara
mikroskopik menggunakan pewarna Gram di bawah mikroskop cahaya. Isolat
yang telah murni dipindahkan ke dalam media NA miring untuk dijadikan sebagai
isolat stok. Isolat diremajakan kembali pada media padat CMC untuk dilakukan
uji konfirmasi aktivitas selulolitik.
3.4.5. Uji Karakterisasi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai PGPB
Uji Pelarutan Fosfat
Aktivitas pelarutan fosfat diuji secara kualitatif pada media padat
Pikovskaya. Koloni tunggal dari isolat murni umur 24 jam diambil sebanyak satu
ujung ose lalu diinokulasikan pada media padat Pikovskaya dengan metode totol.
Sampel diinkubasi selama 5 hari pada suhu 37°C. Hasil positif ditandai dengan
adanya zona bening di sekitar koloni.
Kriteria zona bening berdasarkan ukuran diameter zona bening yang
dihasilkan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: zona bening kecil (<0,5 cm),
sedang (0,5-1 cm), dan luas (>1 cm) (Afzal et al., 2015). Indeks pelarutan fosfat
(IPF) untuk menggambarkan kemampuan bakteri dihitung menggunakan
persamaan rasio diameter zona bening terhadap diameter koloni (cm) (Santosa,
2007).
Uji Pelarutan Kalium
Pengujian dilakukan pada media padat Aleksandrov. Koloni tunggal dari
isolat murni umur 24 jam diambil sebanyak satu ujung ose lalu diinokulasikan
pada media padat Aleksandrov dengan metode totol. Sampel diinkubasi selama 5
23
hari pada suhu 37°C. Indikator positif ditandai dengan terbentuknya zona bening
di sekitar koloni.
Indeks pelarutan kalium (IPK) ditentukan melalui persamaan rasio diameter
zona bening terhadap diameter koloni (cm) (Setiawati & Mutmainnah, 2016).
Kriteria besar diameter zona bening yang dihasilkan diadopsi dari Afzal et al.
(2015), yaitu zona bening kecil (<0,5 cm), sedang (0,5-1 cm) dan luas (>1 cm).
Uji Kitinolitik
Koloni tunggal dari isolat murni umur 24 jam diambil sebanyak satu ujung
ose lalu ditumbuhkan pada media kitin agar dengan metode totol. Sampel
diinkubasi pada suhu 37°C selama 5 hari. Zona bening yang terbentuk
menunjukkan aktivitas kitinolitik. Skrining aktivitas produksi enzim kitinase
diukur berdasarkan besar indeks kitinolitik (IK), yakni rasio diameter zona bening
terhadap diameter koloni (cm) (Mubarik et al., 2010).
Kriteria ukuran diameter zona bening yang dihasilkan bakteri diadopsi dari
Afzal et al. (2015), yaitu zona bening kecil (<0,5 cm), sedang (0,5-1 cm) dan luas
(>1 cm). Sementara itu, kriteria kemampuan bakteri dalam menghidrolisis kitin
diketahui melalui perhitungan indeks kitinolitik dengan klasifikasi sebagai
berikut: lemah (IK= <1), sedang (IK= 1-1,5), tinggi (IK = >1,5) (Suryadi et al.,
2014).
Uji Potensi Penghasil Hormon Indole Asetic Acid (IAA)
Pengujian potensi isolat dalam menghasilkan hormon IAA dilakukan secara
kualitatif pada media NB dengan penambahan 0,1% L-triptofan steril (1000 ppm).
Prosedur diadaptasi dari penelitian Ngoma et al. (2013) dan dimodifikasi.
Sebanyak satu ose biakan murni isolat dimasukkan ke dalam 20 ml media NB
steril yang telah ditambahkan 2 ml L-triptofan steril 0,1%. Inokulum diinkubasi
dalam shaking incubator pada kecepatan medium, suhu 37°C selama 5 hari.
Biakan isolat disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit
pada suhu 4°C untuk memisahkan supernatan dan sel debris (endapan).
Selanjutnya, supernatan sampel ditambahkan pereaksi Salkowski (1:2) dan
dihomogenkan. Sampel diinkubasi dalam ruang gelap selama 30 menit pada suhu
24
ruang. Indikator positif sebagai bakteri penghasil hormon IAA ditandai dengan
adanya perubahan gradasi warna merah hingga merah muda pada supernatan
sampel setelah diinkubasi.
3.4.6. Penentuan Kombinasi Substrat dan Waktu Inkubasi Optimum
terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Stenotrophomonas maltophilia
LA3B sebagai Agen Pupuk Hayati
Penelitian ini merupakan tahapan lanjutan dari pengujian sebelumnya (uji
karakterisasi S. maltophilia LA3B sebagai kelompok PGPB) dan merupakan
pengujian utama untuk melihat potensi S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk
hayati pada bahan pembawa. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan
tumbuh dan aktivitas S. maltophilia LA3B pada substrat LIA yang ditambahkan
tepung ikan dengan berbagai konsentrasi sehingga menghasilkan formulasi terbaik
hasil kombinasi antara konsentrasi LIA, tepung ikan, dan waktu inkubasi untuk
pertumbuhan serta aktivitas S. maltophilia LA3B sebagai agen pupuk hayati,
terutama dalam memproduksi enzim selulase dan hormon IAA.
Tahapan awal yang dilakukan, yakni stok isolat S. maltophilia LA3B dalam
media NA miring diremajakan pada media kultur NB 50 ml lalu diinkubasi
menggunakan shaking incubator pada suhu 37°C selama 24 jam. Biakan segar
umur ±24 jam dipindahkan ke dalam tiap kelompok media perlakuan sebanyak
10% dari total volume media perlakuan (5 ml biakan per 50 ml media perlakuan).
Media dibungkus plastik hitam untuk menghindari paparan cahaya. Media
perlakuan yang telah berisi biakan isolat diinkubasi dalam shaking incubator pada
suhu 35±2°C dengan kecepatan medium. Pengambilan sampel pada tiap media
perlakuan dilakukan pada hari ke-1, 3, 5, 7, 9, dan 11 waktu inkubasi secara
kontinu dan aseptis untuk dilakukan pengukuran paramater. Adapun cara kerja
dari tiap parameter adalah sebagai berikut.
Perhitungan Jumlah Sel Bakteri pada Media Perlakuan
Analisis pertumbuhan sel bakteri dilakukan untuk memperkirakan jumlah
sel bakteri yang tumbuh pada media perlakuan menggunakan metode Total Plate
25
Count (TPC). Durasi pengukuran pertumbuhan sel disesuaikan dengan waktu
pengambilan sampel, yakni tiap hari ke-1, 3, 5, 7, 9 dan 11 masa inkubasi. Metode
perhitungan TPC dimodifikasi dari Purnomo (2016) menggunakan teknik sebar
(spread plate) pada media PCA. Jumlah koloni bakteri yang memenuhi
persyaratan perhitungan adalah 30-300 koloni. Nilai log [sel] yang diperoleh dari
pengukuran dengan TPC selanjutnya diplotkan untuk memperoleh grafik rerata
pertumbuhan (log [sel] vs waktu). Adapun persamaan yang digunakan untuk
menghitung jumlah sel bakteri (CFU/ml) adalah sebagai berikut.
Perhitungan jumlah sel bakteri (CFU/ml) = Jumlah koloni
F1xFP
Keterangan:
CFU/ml = Colony Forming Unit per milliliter (satuan internasional perhitungan
jumlah sel bakteri)
FP = Faktor seri pengenceran
F1 = Inokulasi biakan yang dituang (0,1 ml).
Pengukuran Aktivitas Enzim Selulase pada Media Perlakuan
Aktivitas enzim selulase diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang (λ) 540 nm dengan indikator pereaksi DNS. Prosedur
pengujian diadaptasi dari Munifah (2017) dan dimodifikasi. Pengukuran aktivitas
selulase disesuaikan dengan durasi waktu pengambilan sampel. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui konsentrasi substrat dan lama waktu inkubasi yang optimum
untuk memproduksi enzim selulase.
Sebanyak 100 µl supernatan sampel dituang ke dalam microtube lalu
ditambahkan 100 µl CMC 1% dan dihomogenkan dengan vorteks. Sampel
diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Selanjutnya, sampel ditambahkan
200 µl pereaksi DNS lalu dihomogenkan kembali. Sampel dipanaskan dalam
thermoblock pada suhu ± 95°C selama 15 menit. Setelah sampel dingin, sebanyak
100 µl sampel diletakkan pada microplate 96-well untuk dilakukan pengukuran
absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540
nm. Nilai absorbansi yang terukur dimasukkan ke dalam persamaan berikut.
26
Absorbansi = ((As-Ab) – (Ak-Ab))
Keterangan:
As = Absorbansi sampel
Ab = Absorbansi blanko
Ak = Absorbansi kontrol
Kadar glukosa (nilai-x) (mg/l) diperoleh dengan memasukkan nilai
absorbansi (nilai -y) yang telah diukur ke dalam persamaan kurva standar glukosa
yang telah dibuat (Lampiran 3). Aktivitas selulase dalam memecah selulosa untuk
menghasilkan 1 µmol glukosa dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut.
Aktivitas selulase (U/ml) = Kadar glukosa (mg/l) x 1000
V x t x BM
Keterangan:
V = volume enzim (0,1ml)
t = waktu inkubasi (30 menit)
BM = berat molekul glukosa (180 Dalton)
Perlakuan kontrol dan blanko dilakukan secara bersamaan dengan metode
dan tahapan yang sama. Pada kontrol, enzim yang akan direaksikan dengan
substrat telah diinaktivasi terlebih dahulu dengan memansakan enzim selama 15
menit menggunakan thermoblock pada suhu ±95˚C. Sementara itu, pada perlakuan
blanko, larutan enzim diganti dengan akuades untuk direaksikan dengan substrat.
Pengulangan pengukuran aktivitas enzim selulase dilakukan sebanyak tiga kali
untuk tiap perlakuan.
Pengukuran Konsentrasi Hormon IAA pada Media Perlakuan
Konsentrasi hormon IAA diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang (λ) 530 nm dengan indikator pewarna Salkowski.
Pengukuran konsentrasi hormon IAA disesuaikan dengan waktu pengambilan
sampel. Hal ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi substrat dan lama waktu
inkubasi yang optimum untuk produksi IAA.
Sebanyak 75 µl supernatan sampel diletakkan dalam microplate 96-well.
Selanjutnya, sampel ditambahkan 150 µl pereaksi Salkowski (1:2) lalu
dihomogenkan. Sampel diinkubasi dalam ruang gelap pada suhu ruang selama 30
menit. Nilai absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
27
gelombang 530 nm. Konsentrasi hormon IAA pada sampel diperoleh dari
persamaan kurva standar IAA murni yang telah dibuat (Lampiran 4.). Tahapan
yang sama juga dilakukan pada larutan blanko. Pengulangan pengukuran
konsentrasi hormon IAA dilakukan sebanyak tiga kali untuk tiap perlakuan.
Pengukuran pH Media Perlakuan
Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi pH media
yang terjadi selama masa inkubasi. Pengukuran pH dilakukan menggunakan
kertas pH indikator. Waktu pengukuran disesuaikan dengan waktu pengambilan
sampel. Pengulangan pengukuran pH media dilakukan sebanyak tiga kali untuk
tiap perlakuan.
3.5 Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan statistik. Analisis
deskriptif dilakukan pada pengujian karakteristik S. maltophilia LA3B sebagai
kelompok PGPB, antara lain hasil uji potensi pelarutan fosfat dan kalium,
aktivitas kitinolitik, serta produksi hormon IAA. Data dideskripsikan sesuai hasil
pengamatan keberadaan zona bening ataupun perubahan warna supernatan.
Analisis statistik digunakan untuk mengetahui pengaruh interaksi dari ketiga
faktor perlakuan (konsentrasi LIA, tepung ikan, dan waktu inkubasi) serta untuk
menentukan formulasi terbaik bagi pertumbuhan sel dan aktivitas S.maltophilia
LA3B dalam menghasilkan enzim selulase dan hormon IAA. Data dianalisis
secara statistik menggunakan aplikasi Statistical Product and Service Solution
(SPSS) versi 20 dengan uji ANOVA tiga arah pada batas kepercayaan 95% (α =
0,05). Nilai signifikansi ditentukan pada taraf 5%. Nilai signifikansi (sig. <0,05)
menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima, atau sebaliknya. Perlakuan yang
berpengaruh nyata kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari tiap
perlakuan.
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Uji Pelarutan Fosfat Stenotrophomonas maltophilia LA3B
Hasil pengujian pada media padat Pikovskaya menunjukkan hasil positif
yang ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni (Gambar 5). Hal ini
diasumsikan bahwa S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan dalam melarutkan
fosfat tidak terlarut yang terdapat pada media padat Pikovskaya secara kualitatif.
Terbentuknya zona bening di sekitar koloni disebabkan adanya aktivitas pelarutan
kalsium hidrogen fosfat dihidrat sebagai sumber fosfat tidak terlarut. Santosa
(2007) menjelaskan bahwa bakteri pelarut fosfat dalam eksresinya akan
menghasilkan asam-asam organik (sitrat, malat, oksalat, dan asetat) yang akan
bereaksi dengan pengikat fosfat, seperti kalsium dan membentuk khelat organik
stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat dalam media.
Gambar 5. Hasil uji pelarutan fosfat S. maltophilia LA3B pada media padat
Pikovskaya (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) (keterangan: a. zona
bening; b. koloni bakteri)
Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 5), keadaan zona bening yang
terbentuk di sekitar koloni terlihat jelas dan jernih. Rerata diameter zona bening
yang dihasilkan S. maltophilia LA3B selama 5 hari inkubasi sebesar 1,08±0,12
cm dan rerata diameter koloni sebesar 0,78±0,08 cm sehingga nilai rerata indeks
pelarutan fosfat yang dihasilkan S. maltophilia LA3B sebesar 1,40±0,26 (Gambar
5; Lampiran 5). Ukuran diameter zona bening yang dihasilkan pada penelitian ini
di atas 1,0 cm (>1,0 cm) sehingga termasuk ke dalam kategori luas berdasarkan
kriteria Afzal et al. (2015).
a. b.
29
Penelitian serupa terkait potensi S. maltophilia sebagai bakteri pelarut fosfat
dilaporkan oleh Fitriyanti (2017), yakni pada S. maltophilia GPA2.2 asal sampel
tanah di sekitar area penambangan batu kapur Cirebon. Isolat tersebut memiliki
indeks pelarutan fosfat sebesar 0,26. Penelitian lainnya dilaporkan oleh Ngoma et
al. (2013) yang mengisolasi S. maltophilia KC 010529 dari perakaran tanaman
bayam dan menghasilkan indeks pelarutan fosfat sebesar 1,0. Jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Fitriyanti (2017) dan Ngoma et al. (2013), nilai indeks
pelarutan fosfat yang dihasilkan S. maltophilia LA3B lebih tinggi dibandingkan
dengan S. maltophilia GPA2.2 (Fitriyanti, 2017) ataupun S. maltophilia KC
010529 (Ngoma et al., 2013). Hal ini menunjukkan bahwa S. maltophilia LA3B
berpotensi sebagai bakteri pelarut fosfat.
Perbedaan nilai indeks pelarutan fosfat diduga karena adanya perbedaan
strain bakteri. Hal ini didukung oleh hasil penelitian John dan Tangavel (2017),
yakni dari 19 isolat dengan jenis bakteri dan sumber isolat yang sama, namun
potensi pemacu tumbuh tanaman dari tiap isolat berbeda-beda, mulai dari tidak
ada aktivitas dalam melarutkan fosfat hingga memiliki aktivitas pelarutan fosfat.
Menurut Santosa (2007) pembentukan zona bening yang semakin luas dan indeks
pelarutan fosfat yang semakin tinggi mengindikasikan tingginya kemampuan
isolat dalam melarutkan sumber fosfat pada media sehingga bakteri tersebut dapat
dipilih atau diisolasi sebagai bakteri pelarut fosfat yang mempunyai potensi untuk
dapat dikembangkan lebih lanjut.
4.2. Hasil Uji Pelarutan Kalium Stenotrophomonas maltophilia LA3B
Hasil pengujian pada media padat Aleksandrov menunjukkan hasil positif
yang ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni (Gambar 6). Hal ini
diasumsikan bahwa S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan dalam melarutkan
kalium tidak larut yang terdapat pada media padat Aleksandrov secara kualitatif.
Basak dan Biswas (2009) menjelaskan bahwa pembentukan zona bening terjadi
karena adanya proses penyekresian asam-asam organik sehingga ion kalium dapat
larut dan dimanfaatkan oleh bakteri untuk pembentukan sel-sel baru.
30
Berdasarkan hasil pengamatan, keberadaan zona bening terlihat jelas di
sekitar koloni (Gambar 6). Rerata diameter zona bening yang dihasilkan
S. maltophilia LA3B selama 5 hari inkubasi sebesar 1,03±0,12 cm. Rerata
diameter koloni sebesar 0,68±0,03 cm dan rerata indeks pelarutan kalium sebesar
1,52±0,21 (Gambar 6; Lampiran 5.b). Nilai rerata diameter zona bening yang
dihasilkan S. maltophilia LA3B berada di atas 1,0 cm sehingga termasuk dalam
kategori luas berdasarkan kriteria Afzal et al. (2015).
Penelitian serupa terkait potensi bakteri pelarut kalium dilaporkan oleh John
dan Tangavel (2017) pada isolat S. maltophilia asal sedimen laut. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa dari 19 jenis isolat S. maltophilia dengan strain
yang berbeda-beda menghasilkan rerata aktivitas pelarutan kalium yang
didominasi oleh aktivitas pelarutan kalium yang lemah (11 dari 19 isolat memiliki
diameter zona bening kurang dari 0,5 cm, 7 dari 19 isolat tidak memiliki aktivitas,
dan 1 isolat memiliki aktivitas yang tinggi). Jika dibandingkan dengan penelitian
John dan Tangavel (2017) maka S. maltophilia LA3B berpotensi sebagai bakteri
pelarut kalium. Berdasarkan hasil tersebut, salah satu faktor yang mempengaruhi
adanya perbedaan kemampuan bakteri dalam melarutkan kalium diduga karena
perbedaan strain bakteri.
Gambar 6. Hasil uji pelarutan kalium S. maltophilia LA3B pada media padat
Aleksandrov (inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) (keterangan: a. zona
bening; b. koloni bakteri)
b.
a.
31
4.3. Hasil Uji Kitinolitik Stenotrophomonas maltophilia LA3B
Hasil pengujian pada media padat kitin menunjukkan hasil positif yang
ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni (Gambar 7). Hal ini
diasumsikan bahwa S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan dalam
menghidrolisis sumber kitin yang terdapat pada media padat kitin secara kualitatif.
Rupaedah et al. (2018) menjelaskan bahwa pembentukan zona bening di sekitar
koloni terjadi karena adanya aktivitas pemutusan ikatan -1,4 homopolimer N-
asetil glukosamin (polimer kitin) menjadi monomer kitin (N-asetil glukosamin)
yang dilakukan oleh bakteri.
Gambar 7. Hasil uji kitinolitik S. maltophilia LA3B pada media padat kitin 1%
(inkubasi 37°C, 5 hari inkubasi) (keterangan: A. zona bening)
Rerata diameter zona bening yang dihasilkan S. maltophilia LA3B selama 5
hari inkubasi sebesar 1,30±0,10 cm dan rerata diameter koloni sebesar 0,25±0,05
cm sehingga diperoleh rerata indeks kitinolitik pada S. maltophilia LA3B sebesar
5,32±1,02 (Lampiran 5). Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 7), keberadaan
zona bening terlihat jelas namun koloni yang tumbuh sangat kecil dan tipis
sehingga keberadaan koloni tidak teramati dengan jelas. Ukuran rerata diameter
zona bening yang dihasilkan S. maltophilia LA3B berada pada kisaran di atas 1,0
cm (>1,0 cm) sehingga termasuk dalam kategori luas berdasarkan kriteria Afzal et
al. (2015).
S. maltophilia LA3B berpotensi sebagai bakteri kitinolitik dan memiliki
kemampuan yang tinggi dalam menghidrolisis kitin. Hal ini disebabkan pada hasil
penelitian menunjukkan nilai indeks kitinolitik yang dihasilkan S. maltophilia
LA3B berada di atas 3,0. Berdasarkan kriteria Suryadi et al. (2014), nilai indeks
kitinolitik di atas 3,0 menggambarkan tingkat kemampuan kitinolitik yang tinggi.
A
.
1 cm
32
Potensi S. maltophilia LA3B sebagai bakteri kitinolitik menunjukkan nilai
indeks kitinolitik yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian
Chasanah et al. (2007) dan Puspita et al. (2017) pada isolat S. maltophilia dengan
sumber asal isolasi yang berbeda. Nilai indeks kitinolitik pada S. maltophilia KPU
2123 asal limbah udang sebesar 2,27 di media padat kitin yang mengandung 0,5%
koloidal kitin (Chasanah et al., 2007). Sementara itu, Puspita et al. (2017)
mengisolasi S. maltophilia strain Roi_3A (THK 1) asal udang rusip dan
menghasilkan indeks kitinolitik sebesar 1,22 pada media padat kitin yang
mengandung 2% koloidal kitin. Berdasarkan hasil tersebut, adanya perbedaan
kemampuan bakteri dalam menghidrolisis kitin diduga berkaitan dengan
perbedaan strain bakteri dan konsentrasi koloidal kitin yang digunakan. Menurut
Jabeen et al. (2018), beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi aktivitas
kitinolitik bakteri, antara lain kondisi pH, konsentrasi substrat terutama sumber
nitrogen, dan suhu.
Bakteri S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan dalam menghidrolisis
kitin. Peran bakteri kitinolitik terhadap tanaman berkaitan dengan kemampuannya
dalam mendegradasi dinding sel patogen pada fungi yang menginfeksi tanaman.
Priyatno et al. (2000) menjelaskan bahwa bakteri kitinolitik dapat berperan dalam
mengontrol fungi patogen tanaman secara mikoparasitisme dengan menghidrolisis
struktur kitin yang merupakan senyawa utama penyusun dinding sel tabung pada
spora dan miselia fungi sehingga fungi patogen tidak mampu menginfeksi
tanaman.
4.4. Hasil Uji Potensi Stenotrophomonas maltophilia LA3B sebagai
Penghasil Hormon IAA
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal S. maltophilia
LA3B sebagai bakteri penghasil hormon IAA agar dapat memperkaya fungsi
pupuk hayati sebagai penyedia hormon tumbuh tanaman. Hasil pengujian
supernatan S. maltophilia LA3B pada hari ke-5 inkubasi menunjukkan hasil
positif yang ditandai dengan perubahan warna supernatan menjadi merah muda
transparan setelah diberi pewarna Salkowsi (Gambar 8). Hal ini mengindikasikan
bahwa S. maltophilia LA3B memiliki kemampuan sebagai penghasil hormon IAA
33
A
.
B
.
serta diduga mampu menyintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk proses
sintesis L-triptofan menjadi IAA.
Gambar 8. Hasil uji potensi penghasil hormon IAA pada media NB yang
ditambahkan 0,1% L-triptofan selama 5 hari inkubasi (keterangan:
a. sebelum diberi pewarna Salkowski; b. setelah diberi pewarna
Salkowski)
Rerata konsentrasi hormon IAA yang diproduksi oleh S. maltophilia LA3B
pada media NB selama 5 hari inkubasi sebesar 1,31±0,01 ppm (Lampiran 5).
Sementara itu, penelitian lain terkait potensi S. maltophilia sebagai bakteri
penghasil hormon IAA dilaporkan oleh Ngoma et al. (2013), yakni pada
S. maltophilia KC 010525 dan KC 010529 asal perakaran tanaman bayam.
Konsentrasi IAA yang dihasilkan berturut-turut sebesar 0,32 dan 0,49 ppm pada
media NB dengan penambahan 0,1% L-triptofan. Konsentrasi hormon IAA yang
dihasilkan S. maltophilia LA3B lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian
Ngoma et al. (2013).
Bakteri S. maltophilia LA3B memiliki potensi sebagai bakteri penghasil
hormon IAA. Perbedaan konsentrasi hormon IAA yang dihasilkan oleh bakteri
diduga karena perbedaan strain bakteri pada S. maltophilia (John & Tangavel,
2017). Selain itu, menurut Radif et al. (2016), faktor lain yang turut
mempengaruhi optimasi produksi hormon IAA, antara lain perbedaan kondisi
kultur, ketersediaan substrat, dan waktu inkubasi.
b. a.
34
4.5. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan dan Waktu
Inkubasi terhadap Pertumbuhan Sel Stenotrophomonas maltophilia
LA3B
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui masa pertumbuhan optimum
bakteri selama berada pada bahan pembawa pupuk dengan variasi konsentrasi
substrat dan lama waktu inkubasi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat
menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi LIA, tepung ikan, dan waktu
inkubasi yang sesuai dengan kriteria minimum Peraturan Menteri Pertanian No.70
Tahun 2011.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tiap faktor perlakuan, yakni
konsentrasi LIA, konsentrasi tepung ikan, dan waktu inkubasi serta interaksi
secara simultan dari ketiga faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B (sig.<0,05) (Lampiran 7). Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B dipengaruhi oleh
variasi kombinasi konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu inkubasi. Adapun
hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan adalah
sebagai berikut (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi
substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap jumlah sel
S. maltophilia LA3B (log CFU/ml)
Konsentrasi
LIA
Konsentrasi
Tepung
Ikan
Waktu inkubasi
H1 H3 H5 H7 H9 H11
1% (L1)
0,1% (T1) 8,41p-s 9,92a-e 7,45t 9,13f-p 9,76a-h 9,43b-l
0,2% (T2) 8,41p-s 10,14ab 8,90i-r 9,22e-o 8,72j-s 9,30c-m
0,3% (T3) 8,46o-s 9,98a-d 9,44b-k 9,46b-j 9,79a-g 9,02h-r
2% (L2)
0,1% (T1) 9,10f-p 8,08s 8,97i-r 8,27rs 8,92i-r 8,68k-s
0,2% (T2) 9,31c-m 8,76i-s 9,32c-m 8,33q-s 8,56m-s 8,66l-s
0,3% (T3) 10,03a-c 9,42b-l 9,31c-m 8,61m-s 8,52n-s 8,64m-s
3% (L3)
0,1% (T1) 9,83a-g 8,78i-s 10,27a 9,45b-j 8,79i-s 8,12s
0,2% (T2) 9,80a-g 9,13f-p 9,85a-f 9,50b-i 9,08g-q 8,79i-s
0,3% (T3) 9,15f-p 8,67l-s 10,00a-
d 9,25d-n 8,97i-r 8,64m-s
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
35
Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan
menunjukkan rerata jumlah sel tertinggi dihasilkan pada kelompok perlakuan
konsentrasi LIA 3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5
inkubasi (L3T1H5), yakni sebesar 10,27±0,49 log CFU/ml atau setara dengan
18,62x109 CFU/ml (Tabel 3; Lampiran 6.a). Jumlah sel terendah berada pada
perlakuan LIA 1% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5 inkubasi
(L1T1H5), yakni sebesar 7,45±0,04 log CFU/ml atau setara dengan 0,28x108
CFU/ml (Tabel 3; Lampiran 6.a).
Formulasi LIA 3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5
inkubasi (L3T1H5) tidak berbeda nyata dengan beberapa formulasi, antara lain LIA
3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-1 inkubasi (L3T1H1), LIA
3% dengan penambahan 0,2% tepung ikan pada hari ke-1 dan ke-5 inkubasi
(L3T2H1 dan L3T2H5), LIA 3% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari
ke-5 inkubasi (L3T3H5), LIA 2% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari
ke-1 inkubasi (L2T3H1), LIA 1% dengan penambahan tepung ikan 0,1% pada hari
ke-3 dan ke-9 inkubasi (L1T1H3 dan L1T1H9), LIA 1% dengan penambahan tepung
ikan 0,2% pada hari ke-3 inkubasi (L1T2H3), serta LIA 1% dengan penambahan
tepung ikan 0,3% pada hari ke-3 dan 9 inkubasi (L1T3H3 dan L1T3H9 ) (Tabel 3;
Lampiran 6.a).
Jika ditinjau dari formula yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa
formulasi terbaik hasil interaksi dari faktor konsentrasi LIA, konsentrasi tepung
ikan, dan waktu inkubasi terhadap parameter pertumbuhan sel bakteri adalah LIA
3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5 inkubasi (L3T1H5). Hal
ini ditandai dengan tingginya jumlah sel bakteri yang mampu tumbuh pada
formulasi tersebut selama 5 hari masa inkubasi. Tingginya jumlah sel bakteri
diharapkan dapat berperan secara optimal sebagai agen hayati saat proses
pengaplikasian pada tanah ataupun tanaman. Menurut Rohmah et al. (2016)
tingginya kepadatan sel bakteri pada media pembawa pupuk hayati menunjukkan
adanya kesesuaian antara media pembawa dengan pertumbuhan bakteri.
Jika ditinjau dari segi ekonomis, formulasi LIA 3% dengan penambahan
0,1% tepung ikan (L3T1) lebih bersifat ekonomis dan menguntungkan untuk
diproduksi dalam skala besar. Pemanfaatan LIA dalam jumlah (konsentrasi) yang
36
tinggi diharapkan dapat membantu mengurangi kelimpahan jumlah limbah serta
cukup menguntungkan untuk dijadikan sebagai sumber karbon alternatif bagi
pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan menggunakan media kultur bakteri
yang banyak tersedia di pasaran. Selain itu, pemanfaatan tepung ikan dalam
konsentrasi yang kecil diharapkan mampu meminimalisir biaya produksi
pembuatan pupuk hayati. Penggunaan tepung ikan dalam jumlah sedikit dapat
menjadi sumber nitrogen alternatif bagi bakteri dan lebih murah dibandingkan
dengan sumber nitrogen organik komersil lain, seperti yeast ekstrak, pepton, dan
sebagainya.
Sementara itu, jika ditinjau dari masa penyimpanan (lama inkubasi),
formulasi kombinasi LIA 3% dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-
1 dan ke-5 inkubasi tidak berbeda nyata (Tabel 3; Lampiran 6.a). Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri optimal dalam masa penyimpanan
selama 1-5 hari inkubasi. Semakin lama masa penyimpanan (waktu inkubasi)
maka diperkirakan ketersediaan nutrisi semakin berkurang sehingga dapat
menurunkan viabilitas sel bakteri. Sumber karbon yang terkandung di dalam
formulasi pupuk hayati menjadi faktor utama sebagai nutrisi untuk pertumbuhan
bakteri. Yelti et al. (2014) menjelaskan bahwa penurunan populasi sel bakteri
selama masa penyimpanan disebabkan oleh adanya kompetisi antar bakteri dalam
memperoleh nutrisi untuk pertumbuhannya.
Adanya perbedaan jumlah sel bakteri yang dihasilkan dari berbagai
formulasi (Tabel 3) dapat disebabkan karena kandungan nutrisi yang berbeda-
beda pada setiap formulasi, terutama konsentrasi sumber karbon yang berasal dari
LIA dan sumber nitrogen yang berasal dari tepung ikan. Hal ini menghasilkan
pola pertumbuhan sel yang berbeda-beda. Adapun pola pertumbuhan sel
S. maltophilia LA3B hasil interaksi antara faktor konsentrasi substrat (LIA,
tepung ikan) pada waktu inkubasi yang bervariasi adalah sebagai berikut (Gambar
9).
37
Gambar 9. Grafik rerata pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B hasil interaksi
antara konsentrasi substrat dan waktu inkubasi pada berbagai
kelompok konsentrasi LIA: a. LIA 1%; b. LIA 2%; c. LIA 3%
(keterangan: L1= LIA 1%; L2= LIA 2%; L3= LIA 3%; T1= tepung
ikan 0,1% T2= tepung ikan 0,2%; T3= tepung ikan 0,3%)
Secara keseluruhan, rerata jumlah sel S. maltophilia LA3B yang tumbuh
pada bahan pembawa pupuk hayati berupa substrat LIA dengan penambahan
tepung ikan menghasilkan pola pertumbuhan yang fluktuatif seiring lamanya masa
inkubasi (Gambar 9). Meskipun terjadi kenaikan dan penurunan jumlah sel bakteri
selama 11 hari masa inkubasi untuk seluruh perlakuan, namun jumlah sel bakteri
b.
c.
a.
38
masih berada dalam kisaran kriteria minimum formulasi pupuk hayati tunggal
menurut Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011, yaitu 108 CFU/ml
(Tabel 1). Jumlah sel bakteri yang diinokulasikan ke dalam semua media
perlakuan pada awal inkubasi (hari ke-0) sebesar 2,0x107 CFU/ml atau setara
dengan 7,30 log CFU/ml untuk seluruh perlakuan (Gambar 9). Rerata jumlah sel
bakteri yang dihasilkan selama 11 hari inkubasi untuk semua perlakuan mencapai
108 CFU/ml atau berkisar antara 7,45-10,27 log CFU/ml (Lampiran 6.a).
Berdasarkan hasil pengamatan, fase pertumbuhan sel S. maltophilia LA3B
yang cukup jelas teramati di setiap formulasi perlakuan adalah fase eksponensial.
Pada kelompok perlakuan LIA 1% (L1), fase eksponensial diduga mulai terjadi
pada hari ke-1 hingga hari ke-3 inkubasi (Gambar 9.a). Sementara itu, pada
kelompok perlakuan LIA 2% (L2) dan 3% (L3), fase eksponensial mulai terjadi
setelah hari ke-0 hingga hari ke-1 inkubasi (Gambar 9.b & 9.c).
Fase eksponensial yang terjadi pada awal inkubasi diduga karena adanya
penambahan glukosa pada komposisi media perlakuan sehingga bakteri dapat
menggunakan glukosa tersebut sebagai sumber karbon. Hal ini serupa dengan
penelitian Sari (2010) dan Septiani et al. (2017) yang menumbuhkan isolat bakteri
pada medium yang mengandung dua jenis sumber karbon (glukosa dan CMC)
cenderung menghasilkan fase eksponensial dalam waktu singkat, yakni jam ke-0
hingga jam ke-6 inkubasi (Sari, 2010) ataupun jam ke-0 hingga jam ke-12
inkubasi (Septiani et al., 2017). Lisdiyanti et al. (2012) menjelaskan bahwa
penambahan glukosa pada media berfungsi sebagai inisiasi atau permulaan untuk
mempercepat pembelahan sel pada fase eksponensial.
Sementara itu, pada penelitian ini fase lag diduga berlangsung sangat cepat.
Perkiraan fase lag terjadi dalam hitungan menit sampai per jam tepat setelah masa
inkubasi hari ke-0 dimulai sehingga pada grafik tidak terlihat adanya fase lag
bakteri. Hal ini diduga terjadi karena bakteri telah beradaptasi cukup baik pada
substrat LIA sehingga bakteri tidak membutuhkan waktu lama untuk berada pada
fase lag. Hal serupa juga terjadi pada fase stasioner yang diperkirakan terjadi
sangat singkat sehingga tidak teramati dengan jelas pada keseluruhan profil
tumbuh selama waktu inkubasi.
39
Hogg (2005) menjelaskan bahwa saat mikroba ditumbuhkan dalam medium
yang mengandung dua jenis sumber karbon maka bakteri akan cenderung
menggunakan sumber karbon yang mudah dicerna terlebih dahulu, seperti glukosa
sampai sumber karbon tersebut habis, kemudian baru menggunakan sumber
karbon yang kurang dipilih sebagai sumber karbon berikutnya. Black (2008)
menjelaskan bahwa glukosa dipilih sebagai sumber karbon yang pertama
digunakan bakteri karena memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dalam sel.
Glukosa merupakan monosakarida yang penting untuk reaksi glikolisis dan secara
aktif digunakan oleh sel karena enzim-enzim glikolisis tersedia secara permanen
atau bersifat konstitutif (Hogg, 2005).
4.6. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan dan Waktu
Inkubasi terhadap Aktivitas Enzim Selulase dari Stenotrophomonas
maltophilia LA3B
Pengukuran aktivitas enzim selulase bertujuan untuk mengetahui kecepatan
produksi enzim selulase dari kombinasi substrat LIA dan tepung ikan pada waktu
inkubasi yang bervariasi serta menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi
antara konsentrasi substrat dan waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim selulase
yang sesuai dengan kriteria minimum Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun
2011.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tiap faktor perlakuan, yakni
konsentrasi LIA, konsentrasi tepung ikan, dan waktu inkubasi serta interaksi
secara simultan dari ketiga faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap aktivitas
selulase dari S. maltophilia LA3B (sig.<0,05) (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan
bahwa kombinasi konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu inkubasi
mempengaruhi aktivitas selulase yang dihasilkan S. maltophilia LA3B. Adapun
hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan adalah
sebagai berikut (Tabel 4).
40
Tabel 4. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi
substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap aktivitas
selulase S. maltophilia LA3B (U/ml)
Konsentrasi
LIA
Konsentrasi
Tepung
Ikan
Waktu inkubasi
H1 H3 H5 H7 H9 H11
1% (L1)
0,1% (T1) 0,32e-l 0,35b-h 0,36b-g 0,36b-h 0,32e-l 0,31f-l
0,2% (T2) 0,33d-k 0,34d-k 0,33e-k 0,40a-c 0,33d-k 0,35c-i
0,3% (T3) 0,41ab 0,39b-d 0,33e-k 0,45a 0,35c-i 0,40a-c
2% (L2)
0,1% (T1) 0,03q 0,36b-g 0,28k-n 0,34d-k 0,32e-l 0,25mn
0,2% (T2) 0,11p 0,35b-h 0,30g-m 0,32e-l 0,34c-j 0,29i-n
0,3% (T3) 0,04q 0,37b-f 0,31f-m 0,36b-h 0,35b-h 0,35c-i
3% (L3)
0,1% (T1) 0,36b-h 0,37b-f 0,30g-m 0,28j-n 0,24no 0,41ab
0,2% (T2) 0,33d-k 0,35b-h 0,35c-i 0,26l-n 0,34d-k 0,19o
0,3% (T3) 0,30h-n 0,34c-j 0,33e-k 0,25mn 0,28j-n 0,38b-e
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan
menunjukkan rerata aktivitas selulase tertinggi dihasilkan pada kelompok
perlakuan konsentrasi LIA 1% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari
ke-7 inkubasi (L1T3H7), yakni sebesar 0,45±0,04 U/ml (Tabel 4; Lampiran 6.b)
dan jumlah sel terendah berada pada perlakuan LIA 2% dengan penambahan 0,1%
tepung ikan pada hari ke-1 inkubasi (L2T1H1), yakni sebesar 0,03±0,00 U/ml
(Tabel 4; Lampiran 6.b). Formulasi LIA 1% dengan penambahan 0,3% tepung
ikan pada hari ke-7 inkubasi (L1T3H7) tidak berbeda nyata dengan beberapa
formulasi, antara lain LIA 1% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari
ke-1 dan ke-11 inkubasi (L1T3H1 dan L1T3H11), LIA 3% dengan penambahan
0,2% tepung ikan pada hari ke-7 inkubasi (L1T2H7), dan LIA 3% dengan
penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-11 inkubasi (L3T1H11) (Tabel 4;
Lampiran 6.b).
Jika ditinjau dari kombinasi formula yang digunakan, dapat disimpulkan
bahwa formulasi terbaik terhadap parameter aktivitas enzim selulase adalah LIA
1% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari ke-7 inkubasi (L1T3H7). Hal
ini ditandai dengan tingginya aktivitas enzim selulase yang dihasilkan selama 7
hari masa inkubasi. Tingginya aktivitas enzim selulase diduga terjadi karena
perbandingan antara konsentrasi substrat dan enzim berada dalam jumlah yang
41
seimbang. Selain itu, pada waktu inkubasi tersebut, diduga enzim selulase telah
bekerja dengan maksimal untuk mendegradasi substrat LIA. Hal ini didukung
oleh penyataan Rahmatia et al. (2014) bahwa aktivitas enzim selulase yang
semakin naik diduga karena kuatnya interaksi antara substrat dan enzim yang
disebabkan oleh luasnya permukaan pori dari selulosa. Hal ini menyebabkan
substrat mudah terikat pada sisi aktif enzim sehingga selulosa mudah untuk
didegradasi oleh enzim selulase menjadi glukosa.
Jika ditinjau dari konsentrasi LIA sebagai sumber karbon, tingginya
konsentrasi substrat belum tentu menghasilkan aktivitas enzim selulase yang
semakin tinggi. Budiman (2009) menerangkan bahwa kondisi konsentrasi substrat
yang tidak terlalu tinggi menyebabkan difusi oksigen dan adsorbsi enzim terhadap
substrat akan berjalan optimal. Sementara itu, penambahan konsentrasi LIA dapat
menyebabkan pengaruh kompetitif inhibitor akibat substrat berlebih sehingga
cenderung tidak memberikan kenaikan aktivitas enzim. Rahmatia et al. (2014)
menjelaskan bahwa peningkatan konsentrasi substrat dapat menyebabkan situs
katalitik pada enzim sudah terisi oleh substrat dan situs aktifnya mengalami
kejenuhan.
Jika ditinjau dari konsentrasi tepung ikan sebagai sumber nitrogen,
penambahan konsentrasi tepung ikan diduga mampu memberikan kenaikan
aktivitas enzim selulase. Madigan et al. (2012) menyatakan bahwa sumber karbon
membantu dalam pembentukan materi sel saat pembelahan, sedangkan nitrogen
berperan penting saat sintesis protein, termasuk produksi enzim. Hal ini didukug
oleh hasil penelitian sebelumnya bahwa pada substrat LIA 1% tanpa penambahan
tepung ikan, aktivitas selulase yang dihasilkan S. maltophilia LA3B mencapai
0,157 U/ml selama 120 jam inkubasi (Munifah, 2017). Jika dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya, aktivitas selulase yang dihasilkan pada penelitian ini
cenderung lebih tinggi.
Kandungan nutrisi yang berbeda-beda pada setiap formulasi, terutama
konsentrasi sumber karbon yang berasal dari LIA dan sumber nitrogen yang
berasal dari tepung ikan diduga menyebabkan kemampuan bakteri untuk
menyintesis enzim selulase menjadi berbeda-beda sehingga mempengaruhi pola
aktivitas selulasenya. Adapun grafik pola aktivitas enzim selulase yang dihasilkan
42
S. maltophilia LA3B hasil interaksi antara faktor konsentrasi substrat (LIA,
tepung ikan) pada waktu inkubasi yang bervariasi adalah sebagai berikut (Gambar
10).
Gambar 10. Grafik rerata aktivitas selulase hasil interaksi antara konsentrasi
substrat dan waktu inkubasi pada berbagai kelompok konsentrasi
LIA: a.) LIA 1%; b.) LIA 2%; c.) LIA 3%. (Keterangan: L1= LIA
1%; L2= LIA 2%; L3= LIA 3%; T1= tepung ikan 0,1% T2= tepung
ikan 0,2%; T3= tepung ikan 0,3%)
a.
b.
c.
43
Pola aktivitas selulase dari S. maltophilia LA3B pada seluruh kelompok
perlakuan cenderung fluktuatif (Gambar 10). Besar rerata aktivitas selulase yang
dihasilkan selama 11 hari masa inkubasi untuk seluruh perlakuan berkisar antara
0,03-0,45 U/ml (Lampiran 6.b). Berdasarkan kriteria Peraturan Menteri Pertanian
No.70 Tahun 2011 (Tabel 2), kelompok perlakuan LIA 1% dengan penambahan
0,1%, 0,2% ataupun 0,3% tepung ikan (L1T1,L1T2, dan L1T3) telah memenuhi
persyaratan minimum sebagai formula bahan pembawa untuk bakteri selulolitik,
yakni aktivitas selulase minimum sebesar 0,3 U/ml (Tabel 4; Lampiran 6.b),
sedangkan aktivitas selulase yang dihasilkan pada kelompok perlakuan LIA 2%
(L2) dan 3% (L3) relatif belum stabil untuk berada dalam kisaran baku mutu
kriteria Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011 (Tabel 4; Lampiran
6.b).
Rendahnya aktivitas enzim selulase pada awal inkubasi diduga karena
ketersediaan glukosa yang masih cukup tinggi sehingga cenderung bersifat represi
terhadap produksi enzim selulase. Munifah (2017) menerangkan bahwa produksi
enzim selulase dikendalikan oleh mekanisme aktivasi dan represi, yakni enzim
selulase akan diinduksi hanya ketika ada substrat dan direpresi ketika senyawa
gula sederhana tersedia. Selain itu, penurunan aktivitas enzim selulase juga dapat
terjadi karena bakteri menyekresikan enzim lain selain selulase. Martina et al.
(2002) menjelaskan bahwa pada saat awal inkubasi, sel bakteri dapat
mengeluarkan enzim lain selain selulase, seperti protease yang dapat menguraikan
atau merusak enzim selulase.
4.7. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu
Inkubasi terhadap Produksi Hormon IAA dari Stenotrophomonas
maltophilia LA3B
Pengujian produksi hormon IAA dilakukan secara kuantitatif untuk
mengetahui besar konsentrasi hormon IAA yang dihasilkan S. maltophilia LA3B
pada kombinasi konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi serta
menemukan formulasi terbaik terhadap produksi hormon IAA yang sesuai dengan
kriteria minimum Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011.
44
Hasil pengujian secara kualitatif menunjukkan hasil positif S. maltophilia
LA3B ketika ditumbuhkan pada media LIA. Hal ini ditandai dengan adanya
perubahan warna supernatan menjadi merah muda (Lampiran 10.C). Sementara
itu, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tiap faktor perlakuan, yakni
konsentrasi LIA, konsentrasi tepung ikan, dan waktu inkubasi serta interaksi
secara simultan dari ketiga faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap produksi
hormon IAA dari S. maltophilia LA3B (sig.<0,05) (Lampiran 7). Hal ini
menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu
inkubasi mempengaruhi produksi hormon IAA yang dihasilkan S. maltophilia
LA3B. Adapun hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor
perlakuan adalah sebagai berikut (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi
substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi terhadap produksi
hormon IAA S. maltophilia LA3B (ppm)
Konsentrasi
LIA
Konsentrasi
Tepung
Ikan
Waktu inkubasi
H1 H3 H5 H7 H9 H11
1% (L1)
0,1% (T1) 1,25b-f 1,27b-e 1,25b-f 1,16c-m 1,11c-n 1,10d-n
0,2% (T2) 1,19b-j 1,31bc 1,26b-f 1,28b-d 1,26b-f 1,28b-d
0,3% (T3) 1,25b-f 1,25b-f 1,28b-d 1,38b 1,18b-k 1,18b-l
2% (L2)
0,1% (T1) 1,22b-h 1,16c-m 1,21b-i 1,15c-m 1,15c-m 1,15c-m
0,2% (T2) 1,23b-g 1,11c-n 1,17b-m 1,06e-n 1,05f-n 1,06f-n
0,3% (T3) 1,25b-f 1,11c-n 1,19b-j 1,16c-m 1,15c-m 1,17b-m
3% (L3)
0,1% (T1) 1,59a 1,09d-n 0,91n 0,98k-n 0,97l-n 0,96mn
0,2% (T2) 1,62a 1,22b-h 1,03g-n 1,19b-k 1,00i-n 0,99j-n
0,3% (T3) 1,64a 1,23b-g 1,06f-n 1,22b-h 1,01h-n 1,02g-n
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi dari ketiga faktor perlakuan
menunjukkan rerata produksi hormon IAA tertinggi dihasilkan pada kelompok
perlakuan konsentrasi LIA 3% dengan penambahan 0,3% tepung ikan pada hari
ke-1 inkubasi (L3T3H1), yakni sebesar 1,64±0,01 ppm (Tabel 5; Lampiran 6.c) dan
konsentrasi hormon IAA terendah, yakni perlakuan LIA 3% dengan penambahan
0,1% tepung ikan pada hari ke-5 inkubasi (L3T1H5), yakni sebesar 0,91±0,01 ppm
(Tabel 5; Lampiran 6.c). Formulasi LIA 3% dengan penambahan 0,3% tepung
45
ikan pada hari ke-1 inkubasi (L3T3H1) berbeda nyata dengan seluruh formulasi
perlakuan, kecuali LIA 3% dengan penambahan 0,1% dan 0,2% tepung ikan pada
hari ke-1 inkubasi (L3T1H1 dan L3T2H1) (Tabel 5; Lampiran 6.c).
Tingginya produksi hormon IAA pada formulasi konsentrasi LIA 3% yang
dipadukan dengan 0,3% tepung ikan (L3T3) diduga merupakan perpaduan sumber
nutrisi yang cukup ideal bagi S. maltophilia LA3B untuk memaksimalkan proses
biosintesis IAA. Penambahan konsentrasi tepung ikan sebagai sumber protein
diduga mampu meningkatkan produksi hormon IAA. Hal ini disebabkan tepung
ikan kaya asam-asam amino esensial (terutama metionin dan lysin) serta mineral-
mineral (Ca, P, vitamin B12) (Haryono et al., 2015). Selain itu, didukung dengan
penambahan asam amino L-triptofan sebagai prekursor utama IAA yang berperan
untuk merangsang jalur biosintesis IAA. Hal ini diperkuat dengan pernyataan
Radif et al. (2016) bahwa kandungan mineral, komponen protein pada media serta
penambahan L-triptofan turut mendukung produksi IAA.
Jika ditinjau dari masa inkubasi, hasil penelitian menunjukkan produksi
hormon IAA tertinggi dihasilkan pada awal inkubasi (Tabel 5; Lampiran 6.c). Hal
ini diduga karena ketersediaan sumber nutrisi pada media masih cukup tinggi.
Selain itu, jumlah L-triptofan diduga masih cukup banyak pada awal inkubasi
sehingga mampu mengefisienkan proses sintesis IAA terkait peranannya sebagai
prekursor IAA. Lestari et al. (2007) menjelaskan bahwa pada awal inkubasi,
kondisi ketersediaan sumber nutrisi masih tinggi sehingga produksi hormon IAA
tinggi dan akan terus mengalami peningkatan seiring pertambahan jumlah selnya.
Larosa et al. (2013) juga menjelaskan adanya keterkaitan antara jumlah sel bakteri
dengan kemampuan bakteri dalam mengonversi L-Triptofan, yakni semakin
banyak sel bakteri yang tumbuh, maka prekursor (L-triptofan) yang dikonversi
menjadi IAA juga semakin banyak.
Adanya variasi konsentrasi substrat, yakni LIA dan tepung ikan diduga
mempengaruhi bakteri untuk menyekresikan enzim-enzim yang berperan dalam
proses sintesis hormon IAA. Pant et al. (2014) menjelaskan bahwa salah satu
faktor yang turut mempengaruhi produksi hormon IAA oleh bakteri adalah
ketersediaan substrat. Selain itu, waktu inkubasi juga mempengaruhi produksi
hormon IAA karena berkaitan dengan ketersediaan substrat (Radif et al., 2016).
46
Adapun pola produksi hormon IAA yang dihasilkan S. maltophilia LA3B hasil
interaksi antara faktor konsentrasi substrat (LIA dan tepung ikan) pada waktu
inkubasi yang bervariasi adalah sebagai berikut (Gambar 11).
Gambar 11. Grafik rerata produksi hormon IAA hasil interaksi antara konsentrasi
substrat dan waktu inkubasi pada berbagai kelompok konsentrasi
LIA: a.) LIA 1%; b.) LIA 2%; c.) LIA 3%. (Keterangan: L1= LIA
1%; L2= LIA 2%; L3= LIA 3%; T1= tepung ikan 0,1% T2= tepung
ikan 0,2%; T3= tepung ikan 0,3%)
a.
b.
c.
47
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa S. maltophilia LA3B mampu
tumbuh dan memproduksi hormon IAA pada substrat LIA dengan penambahan
tepung ikan (Gambar 11). Rerata produksi hormon IAA yang dihasilkan
S. maltophilia LA3B selama masa inkubasi cenderung fluktuatif untuk seluruh
perlakuan (Gambar 11). Meskipun mengalami penurunan, namun konsentrasi
hormon IAA pada seluruh formulasi perlakuan selama 11 hari masa inkubasi tetap
memenuhi kriteria minimum Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011,
yakni produksi hormon IAA di atas 0 ppm (>0,0 ppm) (Tabel 1 & Tabel 2).
Rerata konsentrasi hormon IAA yang dihasilkan S. maltophilia LA3B selama 11
hari masa inkubasi untuk seluruh perlakuan berkisar antara 0,91-1,64 ppm
(Lampiran 6.c).
Penurunan produksi hormon IAA diduga terjadi karena ketersediaan sumber
nutrisi pada media yang mulai berkurang sehingga konsentrasi hormon IAA yang
dihasilkan bakteri digunakan kembali untuk proses metabolisme. Arteca (1996)
menjelaskan bahwa penurunan konsentrasi hormon IAA dapat terjadi akibat
degradasi hormon IAA yang dilakukan oleh bakteri menjadi senyawa lain. Proses
degradasi hormon IAA terjadi melalui proses pelepasan enzim pendegradasi IAA,
seperti IAA oksidase dan IAA peroksidase (Sridevi & Mallaiah, 2007) akibat
ketersediaan nutrisi dalam media yang mulai berkurang sehingga hormon IAA
akan dirombak kembali dan digunakan oleh bakteri untuk melakukan sintesis
protein maupun kegiatan fisiologis lainnya (Anggara et al., 2014)
Selain itu, menurut Hidayatullah et al. (2017) penurunan produksi hormon
IAA juga dapat terjadi karena ketersediaan oksigen bebas dalam media dan
sekitarnya akibat proses aerasi. Enzim triptofan 2,3-dioksigenase yang dimiliki
bakteri akan aktif saat berinteraksi dengan oksigen bebas dan akan merusak cincin
indol penyusun IAA sehingga hormon IAA terdegradasi (Egebo et al., 1991).
4.8. Pengaruh Interaksi Konsentrasi LIA, Tepung Ikan, dan Waktu Inkubasi
terhadap Kondisi pH Media
Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi derajat
keasaman pada media tumbuh akibat adanya aktivitas metabolisme bakteri. Hasil
analisis sidik ragam pada media perlakuan menunjukkan interaksi secara simultan
48
dari ketiga faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi hormon
IAA dari S. maltophilia LA3B (sig. >0,05) (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan
bahwa kombinasi konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu inkubasi tidak
mempengaruhi kondisi pH media. Adapun rerata kondisi pH media hasil interaksi
dari konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi adalah sebagai
berikut (Tabel 6).
Tabel 6. Rerata nilai pH berdasarkan interaksi antara faktor konsentrasi substrat
(LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi
Konsentrasi
LIA
Konsentrasi
Tepung
Ikan
Waktu inkubasi
H1 H3 H5 H7 H9 H11
1% (L1)
0,1% (T1) 6,50 7,50 7,75 8,00 8,00 8,00
0,2% (T2) 6,50 7,50 7,50 7,00 8,00 7,00
0,3% (T3) 6,50 7,50 7,50 7,75 8,00 8,00
2% (L2)
0,1% (T1) 7,00 7,00 7,75 7,75 7,75 7,75
0,2% (T2) 6,75 7,00 7,75 7,75 8,25 8,00
0,3% (T3) 6,75 7,25 8,00 8,00 8,00 8,00
3% (L3)
0,1% (T1) 7,00 7,00 7,75 8,00 8,00 8,00
0,2% (T2) 7,00 7,00 8,00 8,00 8,00 8,00
0,3% (T3) 7,00 7,00 7,50 8,00 8,00 7,50
Rerata nilai pH yang dihasilkan selama 11 hari masa inkubasi untuk seluruh
perlakuan berkisar antara 6,5-8,25 (Tabel 6). Kondisi pH dalam kisaran tersebut
diduga mampu mendukung pertumbuhan dan aktivitas S. maltophilia LA3B
dalam memproduksi enzim selulase dan hormon IAA. Larosa et al. (2013)
menerangkan bahwa pH optimum untuk aktivitas enzim selulase berkisar antara
6-8. Sementara itu, menurut Radif et al. (2016), produksi hormon IAA optimum
yang dihasilkan oleh bakteri berada dalam kisaran pH 6,5-7,0.
Berdasarkan kriteria khusus pupuk hayati menurut Peraturan Menteri
Pertanian No.70 Tahun 2011 tentang persyaratan kadar nilai pH yang dihasilkan
bakteri pada bahan pembawa (Tabel 1.), kadar pH media untuk seluruh perlakuan
selama 11 hari masa inkubasi telah memenuhi persyaratan optimum yang
ditetapkan, yakni berkisar antara 5-8, kecuali pada perlakuan L2T2 pada hari ke-9
inkubasi (L2T2H9). Adapun grafik rerata kondisi pH media selama masa inkubasi
adalah sebagai berikut (Gambar 12).
49
Gambar 12. Grafik rerata pH media hasil interaksi antara konsentrasi substrat dan
waktu inkubasi pada berbagai kelompok konsentrasi LIA: a.) LIA
1%; b.) LIA 2%; c.) LIA 3%. (Keterangan: L1= LIA 1%; L2= LIA
2%; L3= LIA 3%; T1= tepung ikan 0,1% T2= tepung ikan 0,2%;
T3= tepung ikan 0,3%)
Hasil pengukuran pH media menunjukkan pola kondisi pH yang
berfluktuasi selama 11 hari masa inkubasi (Gambar 12). Kondisi pH media pada
kelompok perlakuan (LIA 1%, 2%, dan 3%) cenderung meningkat menjadi basa
setelah melewati hari ke-1 inkubasi (Gambar 12; Tabel 6). Hal ini diduga terjadi
karena adanya reaksi antara bakteri yang bersifat asam dengan tepung ikan yang
bersifat basa. Sundari et al. (2014) menjelaskan bahwa perubahan pH menjadi
a.
c.
b.
.
50
netral dapat disebabkan adanya reaksi asam-basa yang terbentuk antara
bioaktivator (mikroorganisme) yang bersifat asam dan tepung ikan yang bersifat
basa.
Selain itu, peningkatan pH diduga terjadi karena adanya proses pemecahan
senyawa nitrogen organik yang berasal dari tepung ikan sekaligus proses
pemecahan rantai selulosa yang berasal dari LIA menjadi senyawa karbon yang
lebih sederhana oleh aktivitas enzim selulase hasil sintesis bakteri. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan De Bertoldi et al. (1983) bahwa peningkatan nilai pH
dapat terjadi karena adanya mineralisasi nitrogen organik menjadi nitrogen
ammonia selama dekomposisi, sedangkan penurunan pH disebabkan oleh
produksi asam-asam organik yang mulai meningkat atau proses nitrifikasi.
Perubahan kondisi pH media yang menjadi basa juga memiliki dampak yang baik
dalam dekomposisi. Menurut Van Heerden et al. (2002) perubahan suasana pH
substrat yang bersifat asidik menjadi alkalin akan memudahkan pemecahan ikatan
lignin-selulosa oleh enzim yang diproduksi oleh mikroba selulolitik.
51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut.
1. Hasil pengujian secara kualitatif menunjukkan bahwa Stenotrophomonas
maltophilia LA3B berpotensi sebagai agen pupuk hayati, antara lain sebagai
bakteri pelarut fosfat, pelarut kalium, kitinolitik, dan penghasil hormon
IAA.
2. Formulasi terbaik hasil kombinasi antara konsentrasi LIA, tepung ikan, dan
waktu inkubasi terhadap pertumbuhan sel bakteri adalah formulasi LIA 3%
dengan penambahan 0,1% tepung ikan pada hari ke-5 inkubasi, untuk
produksi enzim selulase adalah formulasi LIA 1% dengan penambahan
0,3% tepung ikan pada hari ke-7 inkubasi, dan formulasi terbaik untuk
produksi hormon IAA adalah LIA 3% dengan penambahan 0,3% tepung
ikan pada hari ke-1 inkubasi.
5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai potensi S. maltophilia LA3B
untuk memproduksi hormon tumbuh lainnya, seperti giberelin dan sitokinin.
Selain itu, perlu adanya pengujian hipersensitivitas isolat pada tanaman serta
pengujian keefektifan formulasi terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini
terhadap pertumbuhan tanaman.
52
DAFTAR PUSTAKA
Adiguna, G., Pramesti, R., & Susanto, A. (2014). Kajian pemanfaatan limbah
padat industri pengolahan agar-agar kertas berbahan baku rumput laut
Gracilaria sp. sebagai pupuk pada tanaman bayam (Amaranthus sp.).
Journal of Marine Research, 3(1), 37–43.
Afzal, I., Shinwari, Z. K., & Iqrar, I. (2015). Selective isolation and
characterization of agriculturally beneficial endophytic bacteria from wild
hemp using canola. Pakistan Journal, 47(5), 1999–2008.
Anggara, B. S., Yuliani., & Lisdiana, L. (2014). Isolasi dan karakterisasi bakteri
endofit penghasil hormon indole acetic acid dari akar tanaman ubi jalar.
LenteraBio, 3(3), 160-167.
Angraini, E. (2015). Kajian potensi bakteri pelarut kalium dari lahan
penambangan batu kapur Palimanan Cirebon. Tesis. Institut Pertanian
Bogor.
Ansari, S. A., & Husain, Q. (2012). Lactose hydrolysis from milk/whey in batch
and continuous processes by concanavalin a-celite 545 immobilized
Aspergillus oryzae galactosidase. Food and Bioproducts Processing, 90,
351–359.
Anzai, Y., Kim, H., Park, J., Wakabayashi, H., & Oyaizu, H. (2000). Phylogenetic
affiliation of the Pseudomonads based on 16S rRNA sequence.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 50,
1563–1589.
Arteca, R. N. (1996). Plant growth substances. New York: Chapman and Hall.
Assadad, L., Hakim, A. R., & Widianto, T. N. (2015). Mutu tepung ikan rucah
pada berbagai proses pengolahan. Seminar Nasional Tahunan XII Hasil
Penelitian Perikanan dan Kelautan, 1–11.
Basak, B., & Biswas, D. R. (2009). Influence of potassium solubilizing
microorganism (Bacillus mucilaginosus) and waste mica on potassium
uptake dynamics by sudan grass (Sorghum vulgare Pers.) grown under two
alfisols. Journal Plant Soil, 317, 235–255.
Basmal. (2017). Laporan hasil pengujian limbah padat rumput laut asal
PT.Agarindo Bogatama DF.5.10.1.2. Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan Perikanan.
Basmal. (2018). Laporan hasil analisa karakteristik kimia limbah agar. Balai
Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan.
Black, J. (2008). Microbiology: principles and exploration (7th Eds.). Arlington,
53
Virginia: John Wiley & Sons Ltd.
Budiman, A. (2009). Pengaruh konsentrasi substrat, lama inkubasi, dan pH dalam
proses isolasi enzim xylanase dengan menggunakan media jerami padi.
Skripsi. Universitas Diponegoro.
Chasanah, E., Fawzya, Y. N., Putro, S., Oktavia, D. O., Krisnawang, H., & Dewi,
A. S. (2007). Riset depolimerisasi kitosan secara enzimatis untuk produksi
kitooligosakarida. Laporan Teknis. Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
De Bertoldi, M., Vallini, G., & Pera, A. (1983). The biology of composting a
review. Waste Management and Research, 1, 157–176.
Dewi, I. M. (2008). Isolasi bakteri dan uji aktivitas kitinase termofilik kasar dari
sumber air panas Tinggi Raja, Simalungun Sumatera Utara. Tesis.
Universitas Sumatera Utara.
Egebo, L. A., Nielsen, S. V. S., & Jochimsen, B. U. (1991). Oxygen-dependent
catabolism of indole-3-acetic-acid in Bradyrhizobium japonicum. Journal of
Bacteriology, 173(15), 4897-4901.
Fitriyanti, D. (2017). Karakterisasi bakteri pelarut fosfat dan penambat nitrogen
dari area penambangan batuan kapur. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Gandjar, I. (2006). Mikologi dasar dan terapan. Jakarta: IKAPI.
Haryono, H. N., Pinandoyo., & Chilmawati, D. (2015). Pengaruh pakan buatan
dengan tepung ikan petek terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan ikan
nila strain Larasati (Oreochromis niloticus). Journal of Aquaculture
Management and Technology, 4(1), 64-70.
Hidayatullah, F., Yuni, S. R., & Lisa, L. (2017). Produksi hormon IAA oleh
bakteri endofit dari akar tanaman ubi jalar (Ipomea batatas) dalam media
limbah cair tahu. Lentera Bio, 6(3), 80-85.
Hogg, S. (2005). Essential microbiology. UK: John Wiley & Sons Ltd.
Jabeen, F., Hussain, A., Manzoor, M., Younis, T., Rasul, A., & Qazi, J. I. (2018).
Potential of bacterial chitinolytic, Stenotrophomonas maltophilia, in
biological control of termites. Egyptian Journal of Biological Pest Control,
28(86), 1-10.
Jing, Y., Zhen-li, H., & Xiao-e, Y. (2007). Role of soil rhizobacteria in
phytoremediation of heavy metal contaminated soils of heavy metal
contaminated soils. Journal of Zheijang University Science, 8(3), 192–207.
John, N., & Thangavel, M. (2017). Stenotrophomonas maltophilia: a novel plant
54
growth promoter and biocontrol agent from marine environment.
International Journal of Advanced Research, 5(4), 207–214.
Kim, G. S., Shin, M. K., Jin, K. Y., Keun, O. K., Seok, K. J., Jin, R. H., & Kim,
K. H. (2008). Method of producting biofuel using sea algae. Korea.
Kovacs, K. (2009). Applications of mössbauer spectroscopy in plant physiology.
ELTE Chemistry Doctoral School Head.
Kumar, N. P., & Audipudi, A. V. (2015). Exploration of a novel plant growth
promoting bacteria Stenotrophomonas maltophilia AVP27 isolated from the
chilli rhizosphere soil. International Journal of Engineering Research and
General Science, 3(1), 265–276.
Larosa, S. F., Kusdiyantini, E., Raharjo, B., & Sarjiya, A. (2013). Kemampuan
isolat bakteri penghasil Indole Asetic Acid (IAA) dari tanah gambut Sampit
Kalimantan Tengah. Jurnal Biologi, 2(3), 41–54.
Latifa, A. (2012). Produksi enzim selulase dari isolat bakteri SGS 1609
menggunakan medium yang mengandung limbah pengolahan rumput laut
(limbah agar). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Lestari, P., Susilowati, D.N., & Riyanti, E.I. (2007). Pengaruh hormon asam indol
asetat yang dihasilkan Azospirillum sp. terhadap perkembangan akar padi.
Jurnal AgroBiogen, 3(2), 66-72.
Liliasari, G. A. (2016). Degradasi bahan organik limbah cair tepung ikan dengan
penambahan konsentrasi bioaktivator dan variasi lama fermentasi. Skripsi.
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Lisdiyanti, P., Suyanto, E., Gusmawati, N. F., & Rahayu, W. (2012). Isolation and
characterization of cellulase produced by cellulolytic bacteria from peat soil
of Ogan Komering Ilir, South Sumatera. International Journal of
Environment and Bioenergy, 3(3), 145–153.
Madigan, M. T., Martinko, J. M., Dunlap, P. V., & Clark, D. P. (2012). Brock:
biology of microorganism. US: Pearson Benjamin Cummings.
Mariastuti, H. D. (2015). Pengaruh konsentrasi konsorsium mikroba dan lama
waktu biokonversi limbah cair pabrik tepung ikan sebagai pupuk organik
cair. Skripsi. Universitas Airlangga, Surabaya.
Martina, A., Yuli, N., & Sutisna, M. (2002). Optimasi beberapa faktor fisik
terhadap laju degradasi selulosa kayu albasia Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen dan karboksilmetilselulosa (CMC) secara enzimatik oleh jamur.
Jurnal Natur Indonesia, 4(2), 156-163.
McHugh, D. (2003). A guide to the seaweed industry. Canberra, Australia: FAO
55
Fisherier Technical Paper.
Mubarik, N. R., Mahagiani, I., Anindyaputri, A., Santoso, S., & Rusmana, I.
(2010). Chitinolytic bacteria isolated from chili rhizosphere: chitinase
characterization and its application as biocontrol for whitefly (Bemisia
tabaci Genn.). Ammerican Journal of Agricultural and Biological Sciences,
5(4), 430–435.
Munifah, I. (2017). Bakteri penghasil selulase dan potensinya sebagai
pendegradasi limbah padat industri agar-agar. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor.
Ngoma, L., Esau, B., & Babalola, O. O. (2013). Isolation and characterization of
beneficial indigenous endophytic bacteria for plant growth promoting
activity in Molelwane Farm, Mafikeng, South Africa. African Journal of
Biotechnology, 12(26), 4105–4114.
Ningrum, G. A. (2016). Optimasi fermentasi limbah industri agar (Gracilaria sp.)
untuk produksi bioetanol dengan khamir Saccharomyces cerevisiae. Skripsi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Nursanti, I. (2017). Teknologi produksi dan aplikasi mikroba pelarut hara sebagai
pupuk hayati. Jurnal Media Pertanian, 2(1), 24–36.
Pages, D., Rose, J., Conrod, S., Cuine, S., Carrier, P., Heulin, T., & Achouak, W.
(2008). Heavy metal tolerance in Stenotrophomonas maltophilia. Plos One,
(2), 1–6.
Pant., & Agrawal, P. K. (2014). Isolation and characterization of indole acetic
acid producing plant growth promoting rhizobacteria from rhizospheric soil
of Withania somnifera. Journal of Biological and Scientific Opinion,
2(6),377-383.
Peraturan Menteri Pertanian No.70/Permentan/SR.140/10/2011 (2011).
Priyatno, T. P., Chaerani, Suryadi, Y., & Sudjadi, M. (2000). Teknik produksi dan
formulasi bakteri kitinolitik untuk pengendalian penyakit karat kedelai.
Jurnal Natur Indonesia, 5, 229–235.
Purnomo, S. A. E. (2016). Pengaruh variasi konsentrasi biofertilizer terhadap
produktivitas tanaman Pakcoy (Brassica rapa L. var. chinensis) pada sistem
hidroponik NFT (nutrient film technique). Skripsi. Universitas Airlangga,
Surabaya.
Puspita, I. D., Wardani, A., Puspitasari, O. A., Nugraheni, P., Putra, M. P.,
Pudjiraharti, S., & Ustadi. (2017). Occurrence of chitinolytic bacteria in
shrimp rusip and measurement of their chitin-degrading enzyme activities.
Biodiversitas, 18(3), 1275-1281.
56
P2HP (Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan). (2012). Industri pengolahan
rumput laut nasional. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pengolahan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Radif, H. M., Tawfeeq, S., Adnan, F. G., & Hashim, H. D. (2016). Effect of
growth media components and growth condition on indole-3-acetic acid
(IAA) production by Pseudomonas putida isolated from soil. Iraqi Journal
of Science, 57(4), 2386-2395.
Rahmatia, L., Umaroh, T., Rohmaniyah, A., Hafidzoh, N., & Herdyastuti, N.
(2014). Pengaruh konsentrasi substrat dan lama waktu inkubasi pada
pengolahan limbah padat industri kertas dengan enzim selulase dari Bacillus
sp. Journal of Chemistry, 3(1), 73-78.
Ramkumar, A., Sivakumar, N., & Victor, R. (2016). Fish waste-potential low cost
substrate for bacterial protease production: a brief review. The Open
Biotechnology Journal, 10, 335–341.
Rohmah, N., Muslihatin, W., & Nurhidayati, T. (2016). Pengaruh kombinasi
media pembawa pupuk hayati bakteri penambat nitrogen terhadap pH dan
unsur hara nitrogen dalam tanah. Jurnal Sains dan Seni ITS, 4(1), 2337-
3520.
Rupaedah, B., Amanda, D.V., Indrayanti, R., Asiani, N., Sukmadi, B., Ali, A.,
Wahid, A., Firmansyah, T., & Sugiato, M. (2018). Aktivitas
Stenotrophomonas rhizophila dan Trichoderma sp. dalam menghambat
pertumbuhan Ganoderma boninense. Bioteknologi Biosains Indonesia, 5(1),
53-63.
Santosa, E. (2007). Bakteri pelarut fosfat. In R. Saraswati, E. Husen, & R. D. M.
Simanungkalit (Ed.), Metode analisis biologi tanah. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Sari, R. F. (2010). Optimasi aktivitas selulase ekstraseluler dari isolat bakteri Rf-
10. Skripsi. Institut Pertanian Bogor
Sedayu, B. B., Widianto, T. N., Basmal, J., & Utomo, B. S. B. (2008).
Pemanfaatan limbah padat rumput laut Gracilaria sp. untuk pembuatan
papan partikel. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan, 3(1), 1–10.
Septiani, A., Wijanarka, & Rukmi, I. (2017). Produksi enzim selulase dari bakteri
Serratia marcescens KE-B6 dengan penambahan sumber karbon, nitrogen,
dan kalsium pada medium produksi. Bioma, 19(2), 159-163.
Setiawati, T. C., & Mutmainnah, L. (2016). Solubilization of potassium
containing mineral by microorganisms from sugarcane rhizosphere.
Agriculture anda Agricultural Science Procedia, 9, 108–117.
57
Sharma, S. B., Sayyed, R. Z., Trivedi, M. H., & Gobi, T. A. (2013). Phosphate
solubilizing microbes: sustainable approach for managing phosphorus
deficiency in agricultural soils. SpringerPlus, 2(1), 1–14.
Spaepen, S., Vanderleyden, J., & Remans, R. (2007). Indole-3-acetic acid in
microbial and microorganism-plant signaling. FEMS Microbiology Reviews,
31(4), 425–448.
Sridevi, M., & Mallaiah, K. V. (2007). Production of indole-3-acetic acid by
rhizobium isolates from Sesbania Species. African Journal of Microbiology
Research, 1(7), 125–128.
Sundari, I., Farid, M. W., & Dewi, E. N. (2014). Pengaruh penggunaan
bioaktivator EM4 dan penambahan tepung ikan terhadap spesifikasi pupuk
organik cair rumput laut. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Perikanan, 3(3), 88–94.
Suptijah, P., Wasis, B., & Mandella, A. (2011). Pemanfaatan pupuk limbah agar-
agar terhadap pertumbuhan semai mahoni (Swietenia macrophylla, King) di
media tailing tambang emas PT. Antam Ubpe Pongkor. Jurnal Sumberdaya
Perairan (Akuatik), 5(1), 9–12.
Suryadi, Y., Susilowati, D. N., Lestari, P., Priyatno, T. P., Samudra, I. M.,
Hikmawati, N., & Mubarik, N. R. (2014). Characterization of bacterial
isolates producing chitinase and glucanase for biocontrol of plant fungal
pathogens. International Journal of Agricultural Technology, 10(4), 983–
999.
Sutariati, G. A. K., Khaeruni, R. A., & Muhidin. (2014). Biofertilizer: solusi
teknologi pengembangan lahan sub optimal. (F. S. Rembon & L. O. Safuan,
Ed.). Kendari: Unhalu Press.
Sutariati, G. A. K., Widodo, Sudarsono, & Ilyas, S. (2006). Karakter fisiologis
dan keefektifan isolat rizobakteri sebagai agen antagonis Colletotrichum
capsici dan rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman cabai. Jurnal Ilmiah
Pertanian Kultura, 41(1), 28–34.
Utomo, N. B. P., Susan, & Setiawati, M. (2013). Peran tepung ikan dari berbagai
bahan baku terhadap pertumbuhan lele sangkuriang Clarias sp. Jurnal
Akuakultur Indonesia, 12(2), 158–168.
Van Heerden, I., Cronjé, C., Swart, S. H., & Kotzé, J. M. (2002). Microbial,
chemical and physical aspects of citrus waste composting. Bioresource
Technology, 81(1), 71–76.
Vandana, U. K., Chopra, A., Bhattacharjee, S., & Mazumder, P. (2017). Microbial
biofertilizer: a potential tool for sustainable agriculture. In D. Panpatte (Ed.),
Microorganism for sustainability (6th Eds.), 25–52.
58
Verma, P., Yadav, A. N. Y., Khannam, K. S., Panjiar, N., Kumar, S., Saxena, A.
K., & Suman, A. (2015). Assessment of genetic diversity and plant growth
promoting attributes of psychrotolerant bacteria allied with wheat (Triticum
aestivum) from the northern hills zone of India. Annals of Microbiology.
Vessey, J. K. (2003). Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizers. Plant
and Soil, 255, 571–586.
Yelti, S. N., Zul, D., & Fibriarti, B. L. (2014). Fomulasi biofertilizer cair
menggunakan bakteri pelarut fosfat indigenus asal tanah gambut Riau.
Jurnal Online Mahasiswa FMIPA, 1(2), 651-662.
Zahroh, F. (2015). Perbandingan variasi konsentrasi pupuk organik cair dari
limbah ikan terhadap pertumbuhan tanaman cabai merah (Capsicum annum
L.). Skripsi. Unversitas Islam Negeri Walisongo, Semarang.
Zhuang, X., Chen, J., Shim, H., & Bai, Z. (2007). New advances in plant growth-
promoting rhizobacteria for bioremediation. Environment International, 33,
406–413.
59
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rancangan percobaan
Faktor
A
Faktor
B
Faktor C
H1 H3 H5 H7 H9 H11
L1 T1 L1T1H1 L1T1H3 L1T1H5 L1T1H7 L1T1H9 L1T1H11
T2 L1T2H1 L1T2H3 L1T2H5 L1T2H7 L1T2H9 L1T2H11
T3 L1T3 H1 L1T3 H3 L1T3 H5 L1T3 H7 L1T3 H9 L1T3 H11
L2 T1 L2T1H1 L2T1H3 L2T1H5 L2T1H7 L2T1H9 L2T1H11
T2 L2T2H1 L2T2H3 L2T2H5 L2T2H7 L2T2H9 L2T2H11
T3 L2T3H1 L2T3H3 L2T3H5 L2T3H7 L2T3H9 L2T3H11
L3 T1 L3T1H1 L3T1H3 L3T1H5 L3T1H7 L3T1H9 L3T1H11
T2 L3T2H1 L3T2H3 L3T2H5 L3T2H7 L3T2H9 L3T2H11
T3 L3T3H1 L3T3H3 L3T3H5 L3T3H7 L3T3H9 L3T3H11
Desain tata letak percobaan (secara acak)
Keterangan:
L1= LIA 1% H1 = Hari ke-1 U=ulangan
L2=LIA 2% H3 = Hari ke-3 s= sub-ulangan
L3= LIA 3% H5 = Hari ke-5
T1=Tepung ikan 0,1% H7 = Hari ke-7
T2= Tepung ikan 0,2% H9 = Hari ke-9
T3= Tepung ikan 0,3% H11= Hari ke-11
L1T3-U1-s1,s2,s3 L1T1-U1-s1-s2,s3 L2T1-U1-s1-s2,s3
L2T2-U2-s1,s2,s3 L2T1-U2-s1,s2,s3 L1T3-U2-s1,s2,s3
L3T1-U1-s1-s2,s3 L3T2-U2-s1,s2,s3 L2T2-U1-s1,s2,s3
L1T2-U1-s1,s2,s3 L3T2-U1-s1,s2,s3 L1T2-U2-s1,s2,s3
L1T1-U2-s1,s2,s3 L3T3-U1-s1,s2,s3 L2T3-U1-s1,s2,s3
L3T3-U2-s1,s2,s3 L2T3-U2-s1,s2,s3 L3T1-U2-s1,s2,s3
60
Lampiran 2. Diagram alir penelitian
Isolat S.maltophilia
LA3B
Preparasi Pembuatan media,
larutan pereaksi, kurva standar
Penentuan konsentrasi dan waktu inkubasi optimum
S. maltophilia LA3B pada media perlakuan
Pengukuran
pH media
Produksi IAA
metode kolorimetri,
λ= 530 nm
Populasi tumbuh
sel bakteri
(metode TPC)
Aktivitas selulase
metode DNS,
λ= 540 nm
Perhitungan teoritis dan
uji statistik SPSS
Uji karakterisasi isolat sebagai
Plant Growth Promoting Bacteria
(PGPB)
Peremajaan pada media
NA, NB, CMC 1%
61
Lampiran 3. Kurva standar glukosa
Konsentrasi (ppm) Blanko Respon
Instrumen Absorbansi
100 0,0426 0,1382 0,0956
200 0,0426 0,4040 0,3614
300 0,0426 0,7092 0,6666
400 0,0426 0,9535 0,9109
500 0,0426 1,2356 1,1930
600 0,0426 1,5892 1,5466
700 0,0426 1,7718 1,7292
800 0,0426 1,9641 1,9215
900 0,0426 2,1367 2,0941
1000 0,0426 2,3504 2,3078
100 ppm
200 ppm
300 ppm
400 ppm
500 ppm
600 ppm
700 ppm
800 ppm
900 ppm
1000 ppm
Ulangan
62
Lampiran 4. Kurva standar IAA
Konsentrasi (ppm) Blanko Respon
Instrumen Absorbansi
0 0,0426 0,04655 0,00395
10 0,0426 0,2422 0,1996
20 0,0426 0,4888 0,4462
30 0,0426 0,64695 0,60435
40 0,0426 0,84865 0,80605
50 0,0426 1,05845 1,01585
60 0,0426 1,16595 1,12335
70 0,0426 1,3994 1,3568
80 0,0426 1,57865 1,53605
90 0,0426 1,69915 1,65655
100 0,0426 1,95135 1,90875
0 ppm
10 ppm
20 ppm
30 ppm
40 ppm
50 ppm
60 ppm
70 ppm
80 ppm
90 ppm
100 ppm
Ulangan
63
Lampiran 5. Data hasil uji karakterisasi isolat sebagai kelompok PGPB
a) Perhitungan rerata indeks pelarutan fosfat (masa inkubasi 5 hari)
Keterangan: Ø = diameter
b) Perhitungan rerata indeks pelarutan kalium (masa inkubasi 5 hari)
Keterangan: Ø = diameter
c.) Perhitungan indeks kitinolitik (inkubasi 5 hari)
Keterangan: Ø = diameter
d.) Pengukuran konsentrasi hormon IAA (inkubasi 5 hari)
Ulangan Absorbansi Blanko (Abs-blanko) Konsentrasi IAA
(ppm)
1 0,138 0,043 0,095 1,30
2 0,142 0,043 0,100 1,32
3 0,139 0,043 0,096 1,30
Rerata 0,14 0,04 0,10 1,31
St. Deviasi 0,00 0,00 0,00 0,01
Ulangan (Ø) total
(cm)
(Ø) koloni
(cm)
(Ø) zona
bening
(cm)
Indeks pelarutan
fosfat (IPF)
1 1,85 0,7 1,15 1,64
2 1,8 0,85 0,95 1,12
3 1,95 0,8 1,15 1,44
Rerata 1,87 0,78 1,08 1,40
St.Deviasi 0,08 0,08 0,12 0,26
Ulangan (Ø) total
(cm)
(Ø) koloni
(cm)
(Ø) zona
bening
(cm)
Indeks pelarutan
kalium (IPK)
1 1,75 0,65 1,10 1,69
2 1,80 0,70 1,10 1,57
3 1,60 0,70 0,90 1,29
Rerata 1,72 0,68 1,03 1,52
St.Deviasi 0,10 0,03 0,12 0,21
Ulangan (Ø) total
(cm)
(Ø) koloni
(cm)
(Ø) zona
bening
(cm)
Indeks kitinolitik
1 1,7 0,3 1,4 4,67
2 1,45 0,25 1,2 4,80
3 1,5 0,2 1,3 6,50
Rerata 1,55 0,25 1,30 5,32
St.Deviasi 0,13 0,05 0,10 1,02
64
Lampiran 6. Data rerata hasil pengukuran parameter perlakuan
a.) Jumlah sel (log CFU/ml)
LIA Tepung
Ikan
Waktu inkubasi (Hari ke-)
1 3 5 7 9 11
L1 T1 8,41±0,01 9,92±0,62 7,45±0,04 9,13±0,05 9,76±0,26 9,43±0,13
T2 8,41±0,03 10,14±0,45 8,90±0,70 9,22±0,33 8,72±0,95 9,30±0,20
T3 8,46±0,03 9,98±0,07 9,44±0,26 9,46±0,13 9,79±0,06 9,02±0,20
L2 T1 9,10±0,08 8,08±0,85 8,97±0,19 8,27±0,05 8,92±0,43 8,68±0,21
T2 9,31±0,01 8,76±0,26 9,32±0,12 8,33±0,01 8,56±0,06 8,66±0,13
T3 10,03±0,53 9,42±0,10 9,31±0,33 8,61±0,18 8,52±0,08 8,64±0,36
L3 T1 9,83±0,08 8,78±0,20 10,27±0,49 9,45±0,07 8,79±0,27 8,12±0,08
T2 9,80±0,33 9,13±0,11 9,85±0,02 9,50±0,16 9,08±0,02 8,79±0,44
T3 9,15±0,50 8,67±0,21 10,00±0,22 9,25±0,15 8,97±0,12 8,64±0,27
Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; Satuan = log CFU/ml (Mean±SD)
Jumlah sel (108 CFU/ml)
LIA Tepung
Ikan
Waktu inkubasi (Hari ke-)
1 3 5 7 9 11
L1 T1 2,56 82,80 0,28 13,33 56,88 26,60
T2 2,56 138,03 7,85 16,59 5,24 19,95
T3 2,86 95,50 27,22 28,51 61,65 10,47
L2 T1 12,50 1,20 9,22 1,84 8,22 4,78
T2 20,40 5,68 20,65 2,13 3,58 4,57
T3 105,92 26,30 20,18 4,07 3,27 4,31
L3 T1 67,60 6,02 186,20 28,18 6,16 1,31
T2 63,09 13,48 69,98 31,26 12,02 6,16
T3 13,96 4,62 98,85 17,57 9,22 4,36
Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; Satuan = 108 CFU/ml (Mean±SD)
b.) Aktivitas Selulase
LIA Tepung
Ikan
Waktu inkubasi (Hari ke-)
1 3 5 7 9 11
L1 T1 0,32±0,01 0,35±0,00 0,36±0,00 0,36±0,05 0,32±0,01 0,31±0,01
T2 0,34±0,01 0,33±0,01 0,33±0,01 0,40±0,03 0,33±0,01 0,35±0,01
T3 0,41±0,03 0,39±0,03 0,33±0,01 0,45±0,04 0,35±0,01 0,40±0,01
L2 T1 0,03±0,00 0,36±0,00 0,28±0,03 0,34±0,01 0,32±0,03 0,25±0,01
T2 0,11±0,06 0,35±0,00 0,30±0,03 0,32±0,02 0,34±0,00 0,29±0,01
T3 0,36±0,01 0,37±0,02 0,30±0,03 0,28±0,01 0,24±0,01 0,41±0,03
L3 T1 0,36±0,01 0,37±0,02 0,30±0,03 0,28±0,01 0,24±0,01 0,41±0,03
T2 0,33±0,00 0,35±0,01 0,35±0,05 0,26±0,00 0,34±0,01 0,19±0,05
T3 0,30±0,04 0,34±0,03 0,33±0,01 0,25±0,02 0,28±0,06 0,38±0,08
Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; Satuan = U/ml (Mean± SD)
65
Lampiran 6 (lanjutan)
c.) Konsentrasi IAA
LIA Tepung
Ikan
Waktu inkubasi (Hari ke-)
1 3 5 7 9 11
L1 T1 1,25±0,20 1,27±0,06 1,25±0,04 1,16±0,13 1,11±0,14 1,10±0,15
T2 1,19±0,24 1,31±0,60 1,26±0,02 1,28±0,07 1,26±0,04 1,28±0,05
T3 1,25±0,30 1,25±0,00 1,28±0,01 1,38±0,06 1,18±0,16 1,18±0,16
L2 T1 1,22±0,02 1,16±0,08 1,21±0,04 1,15±0,01 1,15±0,03 1,15±0,02
T2 1,23±0,04 1,11±0,04 1,17±0,05 1,06±0,07 1,05±0,08 1,06±0,09
T3 1,25±0,04 1,11±0,04 1,19±0,03 1,16±0,05 1,15±0,05 1,17±0,06
L3 T1 1,59±0,01 1,09±0,13 0,91±0,01 0,98±0,01 0,97±0,01 0,96±0,00
T2 1,62±0,02 1,22±0,02 1,03±0,04 1,19±0,04 1,00±0,01 0,99±0,01
T3 1,64±0,01 1,23±0,05 1,06±0,04 1,22±0,07 1,01±0,01 1,02±0,00
Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; Satuan = ppm (part per million)
(Mean ± SD)
d.) pH media
LIA Tepung
Ikan
Waktu inkubasi (Hari ke-)
1 3 5 7 9 11
L1 T1 6,50±0,00 7,50±0,00 7,75±0,35 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00
T2 6,50±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 7,00±1,41 8,00±0,00 7,00±1,41
T3 6,50±0,00 7,50±0,00 7,50±0,00 7,75±0,35 8,00±0,00 8,00±0,00
L2 T1 7,00±0,00 7,00±0,00 7,75±0,35 7,75±0,35 7,75±0,35 7,75±0,35
T2 6,75±0,35 7,00±0,00 7,75±0,35 7,75±0,35 8,25±0,35 8,00±0,00
T3 6,75±0,35 7,25±0,35 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00
L3 T1 7,00±0,00 7,00±0,00 7,75±0,35 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00
T2 7,00±0,00 7,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00
T3 7,00±0,00 7,00±0,00 7,50±0,00 8,00±0,00 8,00±0,00 7,50±0,00
Keterangan: L1= 1%; L2= 2%; L3= 3%; T1 = 0,1%; T2 = 0,2%; T3 = 0,3%; (Mean ± SD)
66
Lampiran 7. Hasil statistik uji ANOVA
Between-Subjects Factors
Value Label N
Konsentrasi LIA 1 L1 36
2 L2 36
3 L3 36
Konsentrasi Tepung Ikan 1 T1 36
2 T2 36
3 T3 36
Waktu Inkubasi 1 Hari ke-1 18
2 Hari ke-3 18
3 Hari ke-5 18
4 Hari ke-7 18
5 Hari ke-9 18
6 Hari ke-11 18
Tests of Between-Subjects Effects
Source Dependent
Variable
Type III
Sum of
Squares
df Mean
Square F Sig.
Corrected
Model
Jumlah sel 37,781a 53 ,713 7,418 ,000
Aktivitas Selulase ,657c 53 ,012 18,303 ,000
Konsentrasi IAA 2,310d 53 ,044 5,867 ,000
pH Media 25,845b 53 ,488 4,299 ,000
Intercept Jumlah sel 8906,146 1 8906,146 92676,215 ,000
Aktivitas Selulase 10,729 1 10,729 15829,530 ,000
Konsentrasi IAA 149,601 1 149,601 20133,274 ,000
pH Media 6157,780 1 6157,780 54289,000 ,000
LIA Jumlah sel 2,762 2 1,381 14,371 ,000
Aktivitas Selulase ,105 2 ,052 77,415 ,000
Konsentrasi IAA ,168 2 ,084 11,330 ,000
pH Media ,338 2 ,169 1,490 ,235
Tepung
Ikan
Jumlah sel ,894 2 ,447 4,653 ,014
Aktivitas Selulase ,012 2 ,006 8,846 ,000
Konsentrasi IAA ,062 2 ,031 4,176 ,021
pH Media ,144 2 ,072 ,633 ,535
Inkubasi Jumlah sel 2,589 5 ,518 5,387 ,000
Aktivitas Selulase ,124 5 ,025 36,602 ,000
Konsentrasi IAA ,834 5 ,167 22,435 ,000
pH Media 19,539 5 3,908 34,453 ,000
LIA * TI Jumlah sel 1,297 4 ,324 3,373 ,016
Aktivitas Selulase ,017 4 ,004 6,104 ,000
Konsentrasi IAA ,093 4 ,023 3,133 ,022
pH Media 1,134 4 ,284 2,500 ,053
LIA *
Inkubasi
Jumlah sel 21,481 10 2,148 22,352 ,000
Aktivitas Selulase ,298 10 ,030 44,009 ,000
Konsentrasi IAA 1,023 10 ,102 13,774 ,000
pH Media 2,218 10 ,222 1,955 ,057
TI *
Inkubasi
Jumlah sel 1,956 10 ,196 2,035 ,047
Aktivitas Selulase ,032 10 ,003 4,652 ,000
Konsentrasi IAA ,042 10 ,004 ,569 ,031
pH Media ,662 10 ,066 ,584 ,820
67
Lampiran 7. (lanjutan) LIA * TI *
Inkubasi
Jumlah sel 6,803 20 ,340 3,539 ,000
Aktivitas Selulase ,070 20 ,004 5,176 ,000
Konsentrasi IAA ,088 20 ,004 ,589 ,000
pH Media 1,810 20 ,091 ,798 ,705
Error
Jumlah sel 5,189 54 ,096
Aktivitas Selulase ,037 54 ,001
Konsentrasi IAA ,401 54 ,007
pH Media 6,125 54 ,113
Total
Jumlah sel 8949,116 108
Aktivitas Selulase 11,423 108
Konsentrasi IAA 152,313 108
pH Media 6189,750 108
Corrected
Total
Jumlah sel 42,970 107
Aktivitas Selulase ,694 107
Konsentrasi IAA 2,712 107
pH Media 31,970 107
a. R Squared = ,879 (Adjusted R Squared = ,761)
b. R Squared = ,947 (Adjusted R Squared = ,896)
c. R Squared = ,852 (Adjusted R Squared = ,707)
d. R Squared = ,808 (Adjusted R Squared = ,620)
68
Lampiran 8. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antar faktor konsentrasi substrat (LIA, tepung ikan) dan waktu inkubasi
a.) Jumlah sel
LIAxTIX
Inkubasi
Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
L1T1H5 7,45
L2T1H3
8,08
L3T1H11
8,12
L2T1H7
8,27 8,27
L2T2H7
8,33 8,33 8,33
L1T1H1
8,41 8,41 8,41 8,41
L1T2H1
8,41 8,41 8,41 8,41
L1T3H1
8,46 8,46 8,46 8,46 8,46
L2T3H9
8,52 8,52 8,52 8,52 8,52 8,52
L2T2H9
8,56 8,56 8,56 8,56 8,56 8,56 8,56
L2T3H7
8,61 8,61 8,61 8,61 8,61 8,61 8,61
L2T3H11
8,64 8,64 8,64 8,64 8,64 8,64 8,64
L3T3H11
8,64 8,64 8,64 8,64 8,64 8,64 8,64
L2T2H11
8,66 8,66 8,66 8,66 8,66 8,66 8,66 8,66
L3T3H3
8,67 8,67 8,67 8,67 8,67 8,67 8,67 8,67
L2T1H11
8,68 8,68 8,68 8,68 8,68 8,68 8,68 8,68 8,68
L1T2H9
8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72 8,72
L2T2H3
8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76 8,76
L3T1H3
8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78 8,78
L3T1H9
8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79
L3T2H11 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79 8,79
L1T2H5 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90 8,90
69
Lampiran 8.a (lanjutan)
L2T1H9 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92 8,92
L2T1H5 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97
L3T3H9 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97 8,97
L1T3H11 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02 9,02
L3T2H9 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08 9,08
L2T1H1 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10 9,10
L1T1H7 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13
L3T2H3 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13 9,13
L3T3H1 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15 9,15
L1T2H7 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22 9,22
L3T3H7 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25 9,25
L1T2H11 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30 9,30
L2T3H5 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31
L2T2H1 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31 9,31
L2T2H5 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32 9,32
L2T3H3 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42 9,42
L1T1H11 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43 9,43
L1T3H5 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44 9,44
L3T1H7
9,45 9,45 9,45 9,45 9,45 9,45 9,45 9,45 9,45
L1T3H7 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46 9,46
L3T2H7 9,50 9,50 9,50 9,50 9,50 9,50 9,50 9,50
L1T1H9 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76
L1T3H9 9,79 9,79 9,79 9,79 9,79 9,79 9,79
L3T2H1 9,80 9,80 9,80 9,80 9,80 9,80 9,80
L3T1H1 9,83 9,83 9,83 9,83 9,83 9,83 9,83
L3T2H5 9,85 9,85 9,85 9,85 9,85 9,85
70
Lampiran 8.a (lanjutan)
L1T1H3 9,92 9,92 9,92 9,92 9,92
L1T3H3 9,98 9,98 9,98 9,98
L3T3H5 10,0 10,0 10,0 10,0
L2T3H1 10,03 10,03 10,03
L1T2H3 10,14 10,14
L3T1H5
10,27
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,096.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
b. Alpha = ,05.
b.) Aktivitas selulase
Duncan
LIAxTIX
Inkubasi
Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
L2T1H1 0,03
L2T3H1 0,04
L2T2H1 0,11
L3T2H11 0,19
L3T1H9 0,24 0,24
L3T3H7 0,25 0,25
L2T1H11 0,25 0,25
L3T2H7 0,26 0,26 0,26
L2T1H5 0,28 0,28 0,28 0,28
L3T1H7 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28
L3T3H9 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28
L2T2H11 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29
L3T3H1 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30
71
Lampiran 8.b (lanjutan) L2T2H5 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30
L3T1H5 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30
L2T3H5 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31
L1T1H11 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31 0,31
L1T1H1 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32
L2T2H7 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32
L1T1H9 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32
L2T1H9 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32
L1T2H5 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33
L1T3H5 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33
L3T3H5 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33
L1T2H1 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33
L3T2H1 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33
L1T2H9 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33
L1T2H3 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34
L2T1H7 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34
L3T2H9 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34
L3T3H3 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34
L2T2H9 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34 0,34
L3T2H5 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35
L1T3H9 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35
L1T2H11 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35
L2T3H11 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35
L1T1H3 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35
L2T2H3 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35
L3T2H3 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35
72
Lampiran 8.b (lanjutan) L2T3H9 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35
L3T1H1 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36
L1T1H7 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36
L2T3H7 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36
L2T1H3 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36
L1T1H5 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36
L2T3H3 0,37 0,37 0,37 0,37 0,37
L3T1H3 0,37 0,37 0,37 0,37 0,37
L3T3H11 0,38 0,38 0,38 0,38
L1T3H3 0,39 0,39 0,39
L1T2H7 0,40 0,40 0,40
L1T3H11 0,40 0,40 0,40
L1T3H1 0,41 0,41
L3T1H11 0,41 0,41
L1T3H7 0,45
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
c. Alpha = ,05.
73
c.) Konsentrasi IAA
Duncan
LIAxTIx
Inkubasi
Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
L3T1H5 0,91
L3T1H11 0,96 0,96
L3T1H9 0,97 0,97 0,97
L3T1H7 0,98 0,98 0,98 0,98
L3T2H11 0,99 0,99 0,99 0,99 ,99
L3T2H9 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
L3T3H9 1,01 1,01 1,01 1,01 1,01 1,01 1,01
L3T3H11 1,02 1,02 1,02 1,02 1,02 1,02 1,02 1,02
L3T2H5 1,03 1,03 1,03 1,03 1,03 1,03 1,03 1,03
L2T2H9 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05 1,05
L3T3H5 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06
L2T2H11 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06
L2T2H7 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06
L3T1H3 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09 1,09
L1T1H11 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10
L2T2H3 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11
L2T3H3 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11
L1T1H9 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11
L2T3H9 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15
L2T1H11 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15
L2T1H7 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15
L2T1H9 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15
L1T1H7 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16
74
Lampiran 8.c (lanjutan) L2T3H7 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16
L2T1H3 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16 1,16
L2T2H5 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17
L2T3H11 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17 1,17
L1T3H11 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18
L1T3H9 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18
L3T2H7 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19
L1T2H1 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19
L2T3H5 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19
L2T1H5 1,21 1,21 1,21 1,21 1,21 1,21 1,21 1,21
L2T1H1 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22
L3T2H3 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22
L3T3H7 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22 1,22
L2T2H1 1,23 1,23 1,23 1,23 1,23 1,23
L3T3H3 1,23 1,23 1,23 1,23 1,23 1,23
L1T3H1 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25
L1T1H5 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25
L1T1H1 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25
L2T3H1 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25
L1T3H3 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25
L1T2H5 1,26 1,26 1,26 1,26 1,26
L1T2H9 1,26 1,26 1,26 1,26 1,26
L1T1H3 1,27 1,27 1,27 1,27
L1T3H5 1,28 1,28 1,28
L1T2H11 1,28 1,28 1,28
L1T2H7 1,28 1,28 1,28
75
Lampiran 8.c (lanjutan)
L1T2H3 1,31 1,31
L1T3H7 1,38
L3T1H1 1,59
L3T2H1 1,62
L3T3H1 1,64
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,007.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
c. Alpha = ,05.
76
Lampiran 9. Dokumentasi media perlakuan (formulasi LIA dan tepung ikan)
a.) Perlakuan LIA 1% pada berbagai variasi konsentrasi tepung ikan
(0,1%,0,2%, 0,3%)
b.) Perlakuan LIA 2% pada berbagai variasi konsentrasi tepung ikan
(0,1%,0,2%, 0,3%)
c.) Perlakuan LIA 3% pada berbagai variasi konsentrasi tepung ikan
(0,1%,0,2%, 0,3%)
Lampiran 10. Dokumentasi hasil pengukuran parameter media perlakuan
A.) Koloni hasil pengenceran pada media perlakuan dengan teknik spread plate
(pengenceran 10-5 (a.); 10-6 (b.); 10-7 (c.))
a
.
b
.
c
.
77
Lampiran 10. (lanjutan)
B.) Hasil uji aktivitas selulase pada media perlakuan
- LIA 1% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2% dan 0,3%)
- LIA 2% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2% dan 0,3%)
LIA 3% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2% dan 0,3%)
C.) Hasil u
D.)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
L1T1
11
L1T2 L1T3
Kontrol
L1T1 L1T2 L1T3
Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
L2T1 L2T2 L2T3
Kontrol
L2T1 L2T2 L2T3
Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
L3T1 L3T2 L3T3
Kontrol Sampel
L3T1 L3T2 L3T3
78
Lampiran 10. (lanjutan)
C.) Hasil uji aktivitas produksi IAA pada media perlakuan
- LIA 1% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2%; 0,3%)
- LIA 2% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2%; 0,3%)
- LIA 3% pada berbagai konsentrasi tepung ikan (0,1%; 0,2%; 0,3%)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
L1T1 L1T2 L1T3
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
L2T1 L2T2 L2T3
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
L3T1 L3T2 L3T3