Download - Prekas bedah anak
LAPORAN KASUS BEDAH ANAK
SEORANG ANAK LAKI-LAKI 2 TAHUN DENGAN
MEGACOLON CONGENITAL
Oleh:
Nia Anggarani G99142033
Pembimbing:
dr. Guntur Surya Alam, Sp.B, Sp. BA
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. A
Umur : 2 tahun
Berat badan : 10 kg
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Nama Ayah : Tn. H
Pekerjaan Ayah : Swasta
Agama : Islam
Nama Ibu : Ny. E
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kemiri RT 03 RW 02 Bulakan Sukoharjo
Tanggal masuk : 12 Desember 2015
Tanggal pemeriksaan : 18 Desember 2015
No. RM : 01322811
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Susah buang air besar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Allo anamnesis diperoleh dari orang tua pasien :
Sejak lahir pasien susah buang air besar. BAB pertama pasien saat
berusia 5 hari. Pasien bisa BAB jika diberi pencahar seperti microlax. BAB
sekitar 1 kali dalam seminggu kurang lebih ¼ gelas belimbing, konsistensi
lembek, warna kuning kecoklatan kadang hitam. Perut pasien juga kembung
dan pasien rewel jika mau BAB. Pasien masih mau makan sedikit sedikit,
BAK (+) normal, tidak ditemukan demam, tidak mual, dan tidak muntah.
1
Pasien merupakan rujukan dari RSUD Sukoharjo dengan diagnosis suspect
megacolon congenital.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak didapatkan riwayat gangguan pertumbuhan pada pasien.
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan.
- Riwayat keluarga sakit serupa : (-)
- Riwayat lingkungan diare : (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan : (-)
5. Riwayat Kelahiran
Penderita dilahirkan secara normal oleh bidan dan cukup bulan. Saat
dilahirkan penderita menangis kuat, dan gerak aktif.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
- Keadaan umum : nampak lemah, rewel saat diperiksa.
- Derajat kesadaran : compos mentis
- Derajat gizi : gizi kesan cukup
2. Tanda vital
- Heart Rate : 128x/menit
- Frekuensi Pernafasan : 24 x/ menit, tipe toracoabdominal.
- Suhu : 36,80C
3. Kulit
Kulit kuning langsat, kering (-), ujud kelainan kulit (-), hiperpigmentasi (-)
4. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut kering (-), rambut warna hitam, sukar dicabut.
2
5. Wajah
Odema (-), wajah orang tua (-)
6. Mata
Cekung (-/-), Oedema palpebra (-/-), Odema periorbita (-/-), konjungtiva
anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(2mm/2mm)
7. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi (-/-)
8. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-), malammpati 1
9. Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-)
10. Tenggorok
Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-), tonsil T1 - T1
11. Leher
Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak
membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas, deviasi trakhea (-)
12. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+) normal
Suara tambahan (-/-)
13. Abdomen
Inspeksi : perut distended (+)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
3
Perkusi : hipertimpani
Palpasi : nyeri tekan sulit dievaluasi
14. Ekstremitas
Akral dingin Oedem Ikterik
- Capilary refill time < 2 detik
- Gerak aktif
15. Genital
BAK sehari sekitar 500 cc warna kuning jernih.
RT : TMSA dalam batas normal, mukosa licin, ampulla recti tidak kolaps,
massa (-), STLD (-), Feses menyemprot (+)
D. ASSESSMENT
Suspect Megacolon Congenital
E. PLANNING
- Diet cair / susu
- Terapi sesuai dari bagian anak
Infus D5% ¼ NS 16 tpm
Injeksi ceftriakson 500 mg/12 jam
Injeksi metamizol 150 mg/8 jam
- Wash out pagi, siang, dan sore preparasi colon
- Cek darah lengkap
- Colon in loop
4
- -
- -
- -
- -
- -
- -
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah 11 Desember 2015 di RSUD Dr. Moewardi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Golongan darah
Kimia Klinik
Albumin
Creatinine
Ureum
Homeostasis
PT
APTT
INR
Elektrolit
Natrium darah
Kalium darah
Chlorida darah
Serologi
Hepatitis
HbsAg
10.0
30
8.1
258
3.91
O
4.2
0.2
36
12.7
30.0
0.980
136
4.3
108
Nonreactive
g/dl
%
Ribu/ul
Ribu/ul
Juta/ul
g/dl
mg/dl
mg/dl
detik
detik
mmol/L
mmol/L
mmol/L
11.5-13.5
34-40
5.5-17.0
150-450
3.90-5.30
3.8-5.4
0.3-0.7
<48
10 - 15
20 - 40
132-145
3.3-5.1
98-106
Nonreactive
2. Colon in loop (14 Desember 2014) di RSUD Dr. Moewardi
Menyokong gambaran Hirschprung’s disease pada segmen sigmoid
descendens junction sampai anal
5
G. ASSESSMENT II
Megacolon kongenital
H. PLAN II
Pro TAERPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Megakolon kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi kolon
karena tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen distal
(aganglionosis). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik
yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi
motorik dari segmen ini menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon
proximal yang normal sehingga terjadi kesulitan defekasi dan feses
terakumulasi menyebabkan Megakolon. Kondisi ini dapat segera terlihat
segera setelah lahir ditandai dengan gagalnya penundaan pasase awal dari
mekonium sehingga terjadi distensi abdominal, yang disertai dengan muntah
dalam waktu 48 jam sampai 72 jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic
terdapat pada rectum dan kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama
pada kelainan ini adalah terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan dan
elektrolit serta perforasi pada kolon yang membesar dan tegang atau pada
apendiks dengan peritonitis.1,6,7
Gambar 2.1 Perbedaan normal kolon dan enlarged kolon pada
megakolon kongenital
7
Beberapa literatur menamakan penyakit ini sebagai ultrashort-segment
Hirschsprung, Kongenital aganglionosis, aganglionic Megakolon, dilatasi
kolon Kongenital, aganglionic Megakolon dan pelvirectal achalasia.
B. Etiologi
Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter
melalui mutasi sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada pasien
dengan segmen penyakit yang lebih panjang. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa seseorang dengan riwayat keluarga terpapar penyakit Hirschsprung
beresiko lebih tinggi.
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital
sebagai berikut:
1. Sindroma Down
2. Sindroma Neurocristopathy
3. Sindroma Waardenburg-Shah
4. Sindroma buta-tuli Yemenite
5. Piebaldism
6. Sindroma Goldberg-Shprintzen
7. Neoplasia endokrin multiple tipe II
8. Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat
9. Cartilage-hair hypoplasia
10. Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondine’s curse)
11. Penyakit Chagas, pada penyakit ini tripanosoma mengin-
vasi langsung dinding usus dan menghancurkan pleksus.
Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion
saat hamil ; adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan
usus karena inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau
penyakit Crohn ; dan gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini
tidak berhubungan dengan berkurangnya ganglia dinding usus.1
C. Patofisiologi
8
Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital
pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang
merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal dengan
jarak yang bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan submucosal
(Meissner) yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan
kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltik. Hingga saat ini,
mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit Hirschsprung masih belum
diketahui.7
Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang
apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada minggu
ke 7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12 kehamilan. Salah
satu etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya gangguan migrasi dari
neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun etiologi lain mengatakan
bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun ada kegagalan dari neuroblast
untuk bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi di bagian distal
aganglionik segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus dan komponen-
komponennya membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara
neuronal, seperti fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM),
dan faktor-faktor neurotropik.1
Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal
(Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang lebih
kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada segala
aspek dari fungsi bowel, termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran darah.
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron
intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik hilang.
Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan
dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat
kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat
adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi.
Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk,
sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi, baik
9
kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergik
(excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem kolinergik (inhibitor)
sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos. Dengan hilangnya nerves
inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang meningkat tidak
tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos,
peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional.6
D. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
1. Megakolon kongenital ultra short-segmen
Bila segmen aganglionik meliputi rektum distal-anus
2. Megakolon kongenital segmen pendek (short-segment)
Bila segmen aganglionik meliputi rektum
3. Megakolon kongenital tipikal
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
4. Megakolon kongenital segmen panjang (long-segment)
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%), dapat mencapai
colon descenden atau flexura hepatica.
5. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia gejala klinis mulai terlihat :
Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan distensi abdomen
biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.
Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan
10
saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat
dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen,
feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus
Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat
pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. 1,3,5
Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-
liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak
teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. Kasus
yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari.3
G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang.
Anamnesis
Pada neonatus :
1. mekonium keluar terlambat, > 24 jam
2. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3. perut cembung dan tegang
4. muntah
5. feses encer
Pada anak :
1. Konstipasi kronis
2. Failure to thrive (gagal tumbuh)
3. Berat badan tidak bertambah
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
Pemeriksaan Fisik
11
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus
melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit
lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada
perut menghilang untuk sementara.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan
standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema,
dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi;
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan
feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan
feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium
terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
12
Gambar 2.2. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah
transisi yang melebar.
2. Manometri anus yaitu pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara
mengembangkan balon di dalam rektum
3. Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.
I. Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat
dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga
akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya
sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah
pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian
antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta
pengaturan nutrisi.1
2. Tindakan Bedah
13
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi
abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan
guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat lain dari
kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan
tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada
penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomose.3,5
b. Tindakan Bedah Definitif
1) Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi
penyakit Hirschsprung dengan metode “pull-through”. Tehnik
ini diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada
tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung
rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian
dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal.
Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai
akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk
mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial
posterior. Prosedur ini disebut prosedur Swenson I.1, 9
Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur
Swenson II dimana setelah dilakukan pemotongan segmen
kolon yang aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm di
bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian
langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata
prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani
dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah
14
dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis
lebih tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I. 1,9
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra
abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum
ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat
mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum
diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga
saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos
bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian
kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal.
Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal
verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian
posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan
kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose
dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler.
Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum
pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi,
dan kavum abdomen ditutup.1,5
2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson.
Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal
yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum
yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side.3
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan
pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang
15
ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan
beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
a. Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan
pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi
1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;
b. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa
pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to
side yang panjang;
c. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk
melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari
kemudian;
d. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang
ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose
dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14
pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan
pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari
berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan
pada fungsi hemostasis.1
3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan
Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi
anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang
mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos
kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen
rektum yang telah dikupas tersebut.3
4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection,
dimana dilakukan anastomose end to end antara usus
aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm
16
diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,
sangat penting melakukan businasi secara rutin guna
mencegah stenosis.3
J. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai
faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda
saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang
digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara
pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang
tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses
sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi
yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Kartono mendapatkan
angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan
prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur
Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun
mengalami kebocoran.1
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala
peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,
kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda
dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal. 1,3,4
2. Stenosis
17
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi
prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval
akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya
akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.
Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab
stenosis, mulai dari businasi hingga sfinkterektomi posterior.3,4
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan
dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan
kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan
angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel
modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1%
untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda
enterokolitis adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur
operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi
posterior untuk spasme spingter ani dapat juga dilakukan reseksi ulang
stenosis. Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu
ketat sehingga perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur
Duhamel modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah
18
pemotongan septum yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan
pemotongan ulang yang lebih panjang.1,3
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil
pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan
penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital,
mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena
obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis
anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih
spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti
tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif
cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi
paling parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit
pada megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten
dan enterokolitis berulang pasca bedah.1
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau
kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu
untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis
hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya
feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya
sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya
pasca operasi sangatlah menentukan (Heikkinen dkk,1997; Lister,1996;
Heij dkk,1995). Swenson memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit,
sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur
yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson
dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur
Rehbein juga memberikan angka 0%.Pembedahan dikatakan berhasil
bila penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.1
19
K. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90%
pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan
mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih
mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan
kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20% .1
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Kartono D. 1993. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson
dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI
2. Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. 1997. Longterm anal spincter perfor-
mance after surgery for Hirschsprung’s disease. J Pediatr Surg; 32: 1443-6.
3. Fonkalsrud. 1997. Hirschsprung’s disease. In: Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis
H, editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-
Hall intl.inc.;p.2097-105.
4. Swenson O. 2002. Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr;109:914-918.
5. Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprung’s disease. In: Raf-
fensperger JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Apple-
ton & Lange: 555-77.
6. Farid Nur Mantu. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC
7. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. 2004. Tindakan Bedah: organ dan sistem
organ, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, In:
Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 908-10.
8. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: EGC
9. Lee, Steven L. 2005. Hirschprung disease,
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview - diakses tanggal 17
Desember 2015
21