Download - Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Tanggal Lahir : 11 Mei 2013
Umur : 1 Tahun 10 bulan 14 Hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Masjid Attayibah No.48, Pulo Gadung, Jakarta Timur
Tanggal Masuk: 25 Maret 2015
Bangsal : Bougenville Bawah
1.2. IDENTITAS ORANG TUA/WALI
Nama Ayah/Wali Ibu/Wali
Nama Tn. A Ny. S
Umur 30 Tahun 19 Tahun
Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga
Pendidikan SMA SMA
Penghasilan Rp. 3.000.000,- -
Agama Islam Islam
Alamat Jl. Masjid Attayibah No.48,
Pulo Gadung, Jakarta Timur
Jl. Masjid Attayibah No.48,
Pulo Gadung, Jakarta Timur
1.3. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 25 Maret 2015 dengan
Orang tua pasien dan berdasarkan data dari rekam medis
Keluhan Utama : Sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan : Batuk, Demam, Pilek
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami batuk. Batuk
disertai dengan riak, namun riak tidak dapat keluar. Keluhan batuk timbul tiba-tiba.
Keluhan batuk tidak didahului dengan tersedak sebelumnya. Keluhan batuk darah,
berkeringat di malam hari maupun napas berbunyi ngik disangkal. Untuk mengurangi
1
keluhan batuk oleh ibu pasien dibalurkan minyak kayu putih di dada pasien, namun
keluhan dirasa tidak berkurang. Napas pasien berbunyi grok-grok. Pasien juga
mengalami pilek. Ingus kental berwarna bening. Pasien masih mau minum sebanyak 4
botol susu perhari dan 5 botol air putih dan makan nasi tim tiga kali sehari setengah
mangkuk bubur bayi. Suhu tubuh pasien normal, tidak demam, buang air besar
normal, konsistensi tidak lunak dan tidak keras. Buang air kecil tidak ada keluhan.
Orang tua pasien terbiasa mengganti pampers sebanyak 3 kali sehari dan pampers
penuh.
Dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam, demam
timbul mendadak, demam dirasakan terus menerus pada pagi, siang dan malam hari.
Saat dirumah suhu tubuh saat demam tidak diukur menggunakan thermometer oleh
ibu, ibu hanya meletakkan punggung tangannya ke dahi, dan merasakan suhu tubuh
pasien lebih tinggi dari pada hari-hari biasanya. Demam tidak disertai dengan kejang.
Oleh ibu, pasien di kompres untuk menurunkan demam. Oleh ibu pasien tidak
diberikan obat penurun panas. Batuk, pilek juga masih dirasakan oleh pasien, keluhan
dirasakan masih sama dari hari sebelumnya. Buang air besar dan buang air kecil
normal seperti biasanya, tidak ada keluhan. Oleh karena itu pasien dibawa ke
puskesmas, diberi obat puyer, namun keluhan tak membaik.
Hari masuk rumah sakit pasien nampak sulit bernapas dan pasien nampak
lebih lemas. Pasien tampak bernapas melalui mulut dan pasien semakin malas untuk
makan. Kulit kebiruan pada pasien disangkal baik pada kulit tubuh dan kulit sekitar
hidung dan mulut, tangan dan kaki pucat pada pasien disangkal. Sesak timbul
mendadak, tidak diakibatkan oleh perubahan suhu menjadi dingin sebelumnya. Sesak
napas tidak disertai suara ngik. Sesak tidak timbul setelah pasien berlari ataupun
berjalan. Sesak tidak disertai dengan bengkak pada kedua kaki ataupun anggota tubuh
lain. Sesak juga tidak timbul akibat tersedak sebelumnya. Pasien juga masih
mengalami batuk, batuk dirasakan lebih sering dibandingkan sebelumnya. Pasien juga
masih mengalami keluhan pilek, seperti hari sebelumnya. Pasien mengalami muntah
sebanyak dua kali berisi susu berwarna putih kental, muntah warna kekuningan dan
coklat kehitaman disangkal. Sejak delapan jam sebelum masuk rumah sakit, pasien
hanya minum susu sebanyak kurang lebih 2 botol susu. Pasien masih buang air kecil.
Pasien diganti pampers sebanyak dua kali dan pampers tidak penuh. Ibu pasien
biasanya mengganti pampers sebanyak tiga kali sehari dan pampers penuh. Jika
2
pasien menangis, diakui air mata masih ada. Buang air besar tidak ada keluhan. Oleh
karena itu pasien dibawa oleh orang tua pasien ke IGD RS Persahabatan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien belum pernah mengalami keluhan kesulitan bernapas sebelumnya sejak
pasien lahir, pasien pernah mengalami batuk, dan pilek sebelumnya namun tidak
pernah sampai sulit bernapas.
- Riwayat alergi disangkal.
- Batuk lama disangkal.
- Riwayat kebiruan ketika pasien menangis sejak lahir disangkal.
- Riwayat sesak napas akibat perubahan udara menjadi dingin disangkal.
- Riwayat sesak disertai dengan bengkak pada kedua kaki disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Keluhan sesak napas disertai demam pada anggota keluarga lain disangkal.
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat alergi disangkal
- Keluhan batuk lama di keluarga maupun di lingkungan rumah disangkal.
- Ayah pasien memiliki keluhan batuk dan pilek sejak beberapa hari sebelum
pasien sakit.
Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan
Pasien tinggal dilingkungan padat penduduk. Jarak antara rumah yang satu dengan
rumah yang lainnya berdekatan. Pasien tinggal di rumah kontrakan dengan satu kamar
tidur. Dengan luas kurang lebih 20 meter persegi. Rumah pasien beralaskan keramik,
berdinding tembok, satu buah jendela berada pada bagian depan rumah, dan satu pada
bagian dapur, ventilasi dirasakan kurang. Satu rumah dihuni oleh tiga orang yaitu,
ayah, ibu dan pasien. Ayah pasien memiliki kebiasaan merokok. Air minum yang
digunakan dirumah adalah air isi ulang. Terdapat sebuah kamar mandi yang terletak
dekat dengan dapur dan menggunakan jamban jongkok. Jarak antara septiktank dan
rumah tidak tahu. Sumber air bersih yang digunakan di rumah berasal dari air PDAM.
Penanganan sampah dengan dibuang disekitar tempat rumah. Penghasilan keluarga
hanya didapatkan dari penghasilan ayah sebesar Rp. 3.000.000 , dan digunakan untuk
membiayai tiga orang anggota keluarga yaitu ayah, ibu serta pasien.
3
Kesimpulan : Lingkungan padat penduduk, ekonomi menengah kebawah dan
higienitas kurang
Riwayat Antenatal :
Status obstetric ibu P1A0
Kontrol kehamilan Ibu kontrol kehamilan di bidan sebanyak
6x selama masa kehamilan, mulai minum
vitamin asam folat sejak usia kehamilan 1
bulan.
Penyakit yang diderita selama masa
kehamilan
Demam, nyeri kepala, keputihan dan
batuk pilek selama kehamilan disangkal
Ibu pasien tidak mengkonsumsi obat-
obatan lain selain vitamin, tidak merokok,
dan minum-minuman beralkohol.
Kesan : kontrol kehamilan rutin, kelanian selama kehamilan tidak ada.
Riwayat Kelahiran :
Kelahiran Tempat kelahiran Di Bidan
Cara persalinan Spontan
Masa gestasi Cukup bulan, 38 minggu
Ketuban Pada saat pasien dibawa ke bidan belum ada
cairan ketuban yang merembes, ibu tidak tahu
air ketuban berwarna apa
Keadaan bayi Berat lahir 2700 gr
Panjang lahir lupa
Langsung menangis spontan
Nilai APGAR tidak tahu
Kelainan bawaan tidak ada
Kesan: Bayi lahir spontan, neonatus cukup bulan, sesuai masa kehamilan
4
Riwayat imunisasi :
IMUNISASI DASAR ULANGAN
BCG 2 bulan
Hepatitis B 0, 1, 6 bulan
DPT / POLIO 0, 2, 4 dan 6 bulan 18 bulan
Campak Tidak dilakukan
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap berdasarkan rekomendasi PPI ( Program
Pengembangan Imunisasi)
Riwayat makanan :
UMUR ASI /
PASI
BUAH / BISKUIT BUBUR NESTLE NASI TIM
0–1 Minggu ASI
(sesuai
kemauan)
1 minggu –
6 bulan
PASI
(sesuai
kemauan)
6 – 8 bulan PASI
(sesuai
kemauan)
Buah pisang
dikerik ( 1 kali 1
buah pisang
sehari)
Bubur nestle (3
kali 1 mangkuk
bayi sehari)
8 – 10 bulan PASI
(sesuai
kemauan)
Buah pisang
dikerik (2 kali 1
buah pisang
sehari)
Nasi tim saring (3
kali 1 mangkuk
bayi sehari)
10 -12 bulan PASI
(sesuai
kemauan)
Buah pisang
dikerik (2 kali 1
buah pisang
sehari)
Nasi tim
ditambah
dengan sayuran
( 3 kali 1
mangkuk bayi
sehari)
Kesan : Kuantitas baik, kualitas makanan kurang, makanan pokok diberikan 3 kali sehari.
5
UMUR DIATAS 1 TAHUN
MAKANAN BIASA FREKUENSI
Nasi Nasi tiga kali sehari, sebanyak 1 piring
kecil, terkadang tidak dihabiskan
Sayur Tiga kali sehari, memilih-milih sayuran
yang dikonsumsi.
Daging Satu kali sehari (selang-seling)
Telur Satu kali sehari (selang-seling)
Ikan Satu kali sehari (selang-seling)
Tahu Dua kali sehari (selang-seling)
Tempe Dua kali sehari (selang-seling)
Susu Formula Tiga kali sehari, 1 botol susu
Kesan : Kuantitas kurang, kualitas makanan kurang, makanan pokok diberikan 3 kali sehari.
Riwayat Perkembangan :
Berdasarkan Denver Development Screening Test II. ( Terlampir )
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan anak usia 22 bulan.
1.4. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di Bougenvile Bawah tanggal 25 Maret 2015 jam 14.20
WIB
Kesan Umum : Tampak sesak, rewel, gizi cukup, compos mentis, pasien
tampak sakit berat, kulit tidak tampak kebiruan.
Tanda Vital :
Nadi : 176 x/menit, kuat angkat, reguler, isi cukup
RR : 56 x/ menit
Suhu : 37,8oC
Saturasi O2 : 93% dengan menggunakan nasal kanul 1 liter permenit
6
Status Antropometri :
BB : 10 kg PB : 82cm
- BB/U : -2 < Z score < 0
- TB/U : -2 < Z score < 0
- BB/TB : -1 < Z score < 0
- Kesan gizi menurut WHO: Gizi baik (kurva terlampir)
Kepala : Lingkar Kepala=48cm, Normocephal. Ubun-ubun sudah menutup.
Rambut : Hitam, distribusi rambut merata, tidak mudah dicabut.
Mata : Conjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+, isokor Ø
2mm/2mm. Palpebra cekung (-/-)
Telinga : Bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen -/-
Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret (+/+) putih kental,
darah (-/-), pernapasan cuping hidung (+)
Tenggorokan : Mukosa bibir basah, coated tongue (-), faring hiperemis, Tonsil T1-
T1
Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada deviasi
trakhea, tidak teraba pembesaran KGB cervical.
Thorak : bentuk dada simetris, retraksi suprasternal (+), pergerakan dada statis
dan dinamis.
- Pulmo
• I : Normochest, dinding dada simetris
• P : fremitus taktil kanan = kiri
• P : Sonor di kedua lapang paru
• A : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi basah halus (+/+), wheezing (-/-)
- Cor
• I : Tidak tampak ictus cordis
• P : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
• P :
o Batas kanan atas : linea para sternalis dekstra ICS II
o Batas kiri atas : linea para sternalis sinistra ICS II
o Batas kanan bawah : linea parasternalis dekstra ICS IV
7
o Batas kiri bawah : linea midclavicularis sinistra ICS IV
• A : bunyi jantung I tunggal, bunyi jantung II split tidak konstan, Gallop -/-,
Murmur -/-
Kesan : tidak ada kardiomegali, bising -
Abdomen : I : Datar
A : Bising usus (+) normal ( 4 kali dalam 1 menit)
P : Dinding perut supel, turgor kulit baik
P : Timpani
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran
Ginjal : Ballotement -/-
Ekstremitas : Akral hangat (+), capilary refill <2detik, sianosis (-), motorik aktif,
kekuatan normal.
Kulit : ruam (-), lebam (-), sianosis (-), turgor kembali cepat
Genitalia : Perempuan, eritema (-)
Status Neurologis :
- Nervus cranialis : parese (-), tidak ditemukan kelainan
- Rangsang meningeal : kaku kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-).
- Refleks fisiologis :biceps (++/++), patella (++/++)
- Refleks patologis : babinski (-/-), oppenheim (-/-), chaddok (-/-)
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah pada tanggal 25 Maret 2015
PemeriksaanHasil
25-3-2015Nilai Rujukan
Hematologi
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12,9 11,5-13,5 g/dl
Leukosit
Hitung Jenis :
Netrofil
Limfosit
Monosit
15,63
78
16,5
5,1
5-14,5 ribu/mm3
17-60%
20-70%
1-11%
8
Eosinofil
Basofil
0,1
0,3
1-5%
0-1%
Eritrosit 5,35 3,87-5,39 juta/uL
Hematokrit 38 34-40 %
Trombosit 369 150-440 ribu/mm3
MCV 70,7 75-87 fL
MCH 24,1 24-30 pg
MCHC 34,1 31-37 %
RDW-CV 14,4 11,5-14,5 %
Kesimpulan : terdapat lekositosis, dan peningkatan netrofil (shift to the left) .
PemeriksaanHasil
25-3-2015Nilai Rujukan
Analisa Gas Darah
PH 7,361 7,34-7,44
PCO2
PO2
HCO3
TCO2
Base Excess
Std HCO3
Saturasi O2
30,9 mmHg (↓)
77,3 mmHg (↓)
17,3 mmol/L (↓)
18,2 mmol/L (↓)
-7,1
18,7 mmol/L (↓)
95,1%
35-45 mmHg
85-95 mmHg
22- 26 mmol/L
23-27 mmol/L
-2.5 - 2.5
22-26 mmol/L
96- 97 %
Glukosa darah sewaktu 96 mg/dL < 180 mg/dL
Elektrolit
Natrium 140 mmol/L 135-145 mmol/L
Kalium 4,6 mmol/L 3,5-5,5 mmol/L
Klorida 102,0 mmol/L 98-109 mmol/L
Hasil analisa gas darah didapatkan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Glukosa darah
sewaktu dan elektrolit dalam batas normal.
9
Foto rontgent thoraks AP :
Pemeriksaan radiographi thorax proyeksi PA, dengan hasil sebagai berikut :
Inspirasi kurang optimal,
Jantung kesan tidak membesar,
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar,
Trachea ditengah. Hilus kanan-kiri tidak menebal.
Ground glass opacity di kedua paru.
Lengkung hemidiafragma kanan-kiri licin. Sinus kostofrenikus kanan-kiri lancip.
Tulang-tulang intak.
Kesan : cor dalam batas normal
Pneumonia
1.5. RESUME
Pasien seorang perempuan usia 1 tahun 10 bulan, datang dengan keluhan sesak
napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan batuk. Batuk
dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk disertai dengan riak, namun
riak sulit keluar. Pilek (+) lendir bening, kental. Napas berbunyi grok-grok. Pasien
menjadi semakin lemas dan tidak mamu makan, namun pasien masih mau untuk
minum. Frekuensi buang air kecil pada pasien dirasakan brkurang, namun jika pasien
10
menangis masih mengeluarkan air mata. Ayah pasien memiliki keuhan batuk dengan
pilek beberapa hari sebelum pasien sakit.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis. Nadi takikardia
176 x/menit, RR : takipneu 56 x/menit, suhu 37,8 derajat Celcius dan saturasi O2 : 93
%. Pada hidung didapatkan adanya secret kental bening, napas cuping hidung (+),
faring hiperemis, dan pada pemeriksaan dada didapatkan adanya retraksi suprasternal,
suara napas dasar vesikuler normal dan terdapat rhonki basah halus (+/+).
Dari pemeriksaan laboratorium saat awal masuk dilakukan pemeriksaan darah
rutin dan didapatkan hasil lekositosis , hal ini mengindikasikan adanya infeksi pada
tubuh pasien dan juga terdapat peningkatan netrofil yang mengindikasikan infeksi
oleh organisme bakteri.
1.6. DIAGNOSA KERJA
Pneumonia
1.7. DIAGNOSA BANDING
Bronkiolitis
Asma
1.8. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana di bangsal/ruang rawat :
a. Oksigen 1-2 liter/ menit
b. Diet : Makanan lunak 100 kkal/kgBB/hari
= 1000 kkal
Cara pemberian :
o Makan pagi = 25 % energi total = 25/100 x 1000 = 250 kkal
o Snack = 10 % energi total = 10/100 x 1000 = 100 kkal
o Makan siang = 30 % energi total = 30/100 x 1000 = 300 kkal
o Snack = 10 % energi total = 10/100 x 1000 = 100 kkal
o Makan malam = 25 % energi total = 25/100x1000= 250 kkal
11
Menu makanan pokok adalah nasi tim/ bubur, lauk pauk, dan sayuran
disertakan dengan satu potong buah. Makanan pokok diberikan 3 kali sehari
dan diselingi oleh pemberian snack.
c. IVFD KaEN 3B 14 tpm makro,
Kebutuhan cairan rumatan anak dengan BB 10 kg = 100 ml/ kgBB adalah :
= {(100 x 10)
= (1000) x 20 / (24 x 60) = 13,8 ~ 14 tpm makro
d. Ampicilin : 100 mg/kgBB/hari setiap 6 jam
100x10 = 1000 / 4
4x 250 mg IV
e. Chloramphenicol : 75 mg/kgBB/hari diberikan setiap 6 jam
75 x 10 = 750 /4 = 187,5 ~ 200
4 x 200 mg IV
f. Inhalasi ventolin 1 resp + NaCl 0,9% 3 cc setiap 6 jam
g. Parasetamol 10-15 mg/kgBB/x jika perlu
= 100-150 mg/kgBB
= 120 mg
= Paracetamol syrup : 120 mg / 5 ml → 4 x 1 cth (jika perlu)
h. Salbutamol 0,05 mg-0,1 mg/kgBB/x diberikan setiap 6 jam + ambroxol 0,5
mg/kgBB/x
= Salbutamol 0,5 mg + ambroxol 5 mg -> puyer 4 x1
Sediaan ambroxol tablet : 30 mg
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.1
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi,
tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens
kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi
industri atau asap rokok). 1
Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain
(aspirasi, radiasi dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan
penting adalah penyebab dari Pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali
dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri.
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral.
Demikian pula pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata.
Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat,
batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan
radiologis. 1
13
Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur
pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, streptokokus
grup B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Walaupun pneumonia viral dapat
ditatalaksana tanpa antibiotik, tapi umumnya sebagian besar pasien diberi antibiotik karena
infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan. 1
Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri.
Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus. Pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri-bakteri ini umumnya responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di
lain pihak, terdapat pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta-laktam dan
dikenal sebagai pneumonia atipik. Pneumonia atipik terutama disebabkan oleh Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae. 1
Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO : 2,3
a. Pneumonia berat
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini :
- Kepala terangguk-angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah kedalam
- Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia.
Selain itu didapatkan pula tanda berikut ini :
- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali permenit
o Anak umur 2-11 bulan : > 50 kali permenit
o Anak umur 1-5 tahun : > 40 kali permenit
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali permenit
- Suara merintih (grunting)
- Pada auskultasi tersengar :
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
14
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis atau tidak sadar
- Sianosis dan distress pernapasan berat
Pneumonia ringan :
- bila tidak ada sesak napas
- ada napas cepat dengan laju napas:
>50 x/menit untuk anak usia 2 bulan–1 tahun
>40 x/menit untuk anak >1–5 tahun
- tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.
Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu: 1)
pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia), bila infeksinya terjadi di
masyarakat, dan 2) pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired
pneumonia), bila infeksinya didapat di RS. Selain berbeda dalam lokasi tempat terjadinya
infeksi, kedua bentuk pneumonia ini juga berbeda dalam spektrum etiologi, gambaran klinis,
penyakit dasar atau penyakit penyerta, dan prognosisnya. Pneumonia yang didapat di RS
sering merupakan infeksi sekunder pada berbagai penyakit dasar yang sudah ada, sehingga
spektrum etiologinya berbeda dengan infeksi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu,
gejala klinis, derajat beratnya penyakit, dan komplikasi yang timbul lebih kompleks.
Pneumonia yang didapat di RS memerlukan penanganan khusus sesuai dengan penyakit
dasarnya. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan menjadi pneumonia lobaris
dan pneumonia lobularis (bronchopneumonia) dan pneumonia interstitialis.1,2
Broncopneumonia ditandai dengan demam, batuk dan sesak napas disertai dengan
adanya bercak infiltrat menyeluruh pada gambaran rontgent thoraks. Sedangkan pada
pneumonia lobaris, gejala yang didapatkan serupa namun pada pemeriksaan rontgent thoraks
didapatkan gambaran konsolidasi pada lobus tertentu. 1,2
Etiologi 1
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi
pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda
dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
15
Streptococcus group B dan bakteri Gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau
Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. 1
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, di samping
bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia
anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan
bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus
(RSV), Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak
berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak daripada anak
berusia di bawah 2 tahun. 1,3
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber
dari data di negara maju dapat dilihat pada Tabel 1. Spektrum etiologi tersebut tentu saja
tidak dapat begitu saja diekstrapolasikan pada Indonesia atau negara berkembang lainnya,
oleh karena faktor risiko pneumonia yang tidak sama. Di negara maju, pelayanan kesehatan
dan akses ke pelayanan kesehatan sangat baik. Vaksinasi dengan vaksin konyugat Hib dan
vaksin konyugat Pneumokokus telah mempunyai cakupan yang luas. Selain menurunkan
morbiditas dan mortalitas, hal-hal tersebut juga mengubah spektrum etiologi pneumonia pada
anak. 1,3
Secara klinis, umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.
Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat
menentukan etiologi. 1,2,3
Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju1
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
Lahir-20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria moonocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonia
Ureaplasma urealyticum
Virus
16
Virus Sitomegalo
Virus Herpes Simpleks
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumonia Haemophillus influenzae tipe
B
Virus Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainflueza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial virus Virus Sitomegalo
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumonia Haemophillus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis
Streptococcus pneumonia Neisseria meningitides
Virus Staphylococcus aureus
Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
5 tahun-remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumonia Legionella sp
17
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
Virus Varisela-Zoster
Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI.
Jakarta:Cetakan Kedua;350-3651
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,
sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri
tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri
lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak
konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau
remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau
abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi
kecil, karena Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan
nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan
menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi
eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman.
Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang
serius. Pneumotokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan
terapi lebih lanjut. 1,2
Patologi dan patogenesis
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi
dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin
18
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis
yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru
yang tidak terkena akan tetap normal. 1
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :4
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan
cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
19
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
20
Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS.1
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah
imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang
kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik
invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Disamping itu,
kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik
penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.1
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit
kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual,
muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. 1
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. 1,2,3
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru
umumnya tidak ditemukan kelainan. 1,2,3
Pneumonia pada Neonatus dan bayi kecil 1,2,5
Pneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang
berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber
infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, atau dari serviks ibu.
Infeksi dapat berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS (hospital-acquired
pneumonia), misalnya dari perawat, dokter, atau pasien lain; atau dari alat kedokteran,
misalnya penggunaan ventilator. Di samping itu, infeksi dapat terjadi akibat kontaminasi
dengan sumber infeksi dari masyarakat (community-acquired pneumonia).
Spektrum etiologi pneumonia neonatus meliputi Streptococcus group B, Chlamydia
trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti bakteri E. colli, Pseudomonas, atau Klebsiela;
disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylloccus aureus. Oleh karena itu, pengobatannya
meliputi antibiotik yang sensitif terhadap semua kelompok bakteri tersebut, misalnya
21
kombinasi antibiotik beta-laktam dan amikasin, kecuali bila dicurigai adanya infeksi
Chlamydia trachomatis yang tidak responsif terhadap antibotik beta-laktam.
Penularan transplasenta juga terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela,
virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks (TORCH), Varisela-Zoster, dan Listeria
monocytogenes. Selain itu, RSV, virus Adeno, virus Parainfluenza, virus Rino, dan virus
Entero dapat juga menimbulkan pneumonia. Suatu penelitian melaporkan bahwa 25% infeksi
virus Adeno pada bayi terjadi bersamaan dengan infeksi RSV dan virus Parainfluenza, dan
67% bersamaan dengan infeksi bakteri Haemophillus influenzae, Streptococcus pneumoniae,
atau Chlamydia trachomatis. Prognosis infeksi virus Adeno pada neonatus sangat buruk
karena sering terjadi sepsis.
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau
minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering
terjadi hipotermi. Gambaran klinis tersebut sulit dibedakan dengan sepsis atau meningitis.
Sepsis pada pneumonia neonatus dan bayi kecil sering ditemukan sebelum 48 jam pertama.
Angka mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu dilaporkan 20–50%. Angka kematian di
Indonesia dan di negara berkembang lainnya diduga lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap
kemungkinan adanya pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berusia di bawah 2 bulan
harus segera dirawat di RS.
Infeksi oleh Chlamydia trachomatis merupakan infeksi perinatal dan dapat
menyebabkan pneumonia pada bayi berusia dibawah 2 bulan. Umumnya bayi mendapat
infeksi dari ibu pada masa persalinan. Port d‘ entrée infeksi meliputi mata, nasofaring,
saluran respiratori, dan vagina. Gejala baru timbul pada usia 4–12 minggu, pada beberapa
kasus dilaporkan terjadi pada usia 2 minggu, tetapi jarang terjadi setelah usia 4 bulan. Awitan
gejala timbul perlahan-lahan, dan dapat berlangsung selama beberapa hari hingga berminggu-
minggu. Gejala umumnya berupa gejala infeksi respiratori ringan−sedang, ditandai dengan
batuk staccato (inspirasi diantara setiap satu kali batuk), kadang-kadang disertai muntah,
umumnya pasien tidak demam. Pada pasien seperti ini, panduan tatalaksana adalah berobat
jalan dengan terapi makrolid oral dan observasi yang ketat. Lebih kurang 30% dari infeksi
Chlamydia trachomatis berkembang menjadi pneumonia berat, dikenal juga sebagai sindrom
pneumonitis, dan memerlukan perawatan. Gejala klinis meliputi ronki atau mengi, takipnea,
dan sianosis. Gambaran foto rontgen toraks tidak khas, umumnya terlihat tanda-tanda
hiperinflasi bilateral dengan berbagai bentuk infiltrat difus, seperti infiltrat intersisial,
22
retikulonoduler, atelektasis, bronkopneumonia, dan gambaran milier. Antibiotik pilihan
adalah makrolid intravena.
Pneumonia pada Balita dan anak yang lebih besar1,2,5
Spektrum etiologi pneumonia pada anak meliputi Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae tipe B, Staphylococcus aureus, Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, di samping berbagai virus respiratori. Pada anak yang lebih besar
dan remaja, Mycoplasma pneumoniae merupakan etiologi pneumonia atipik yang cukup
signifikan.
Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-
kadang keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala
respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), napas cuping hidung, ronki,
dan sianosis.
Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media,
faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat
alveoler. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila
terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan
dada juga akan terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi pleura
bertambah, sesak napas akan semakin bertambah, tetapi nyeri pleura semakin berkurang dan
berubah menjadi nyeri tumpul.
Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah
yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen dapat menyebar ke kuadran kanan
bawah dan menyerupai apendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung
yang disebabkan oleh aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh
diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi
pneumonia.
Pneumonia atipik1
Istilah pneumonia atipik pertama kali digunakan untuk membedakan dengan
gambaran pneumonia yang lazim dikenal. Mikroorganisme penyebabnya adalah Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia sp, Legionnela pneumofila, dan Ureaplasma urealyticum. Chlamydia
trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi akut respiratori pada bayi melalui
transmisi vertikal dari ibu pada masa persalinan dan merupakan etiologi infeksi perinatal
23
yang penting. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab
potensial infeksi respiratori dan pneumonia pada anak, terutama pada anak usia sekolah dan
remaja. Sedangkan Legionella pneumophila dan Ureaplasma urealiticum jarang dilaporkan
menyebabkan infeksi pada anak. Suatu penelitian melaporkan pneumonia mikoplasma pada
anak berusia >5 tahun mencapai 20%, dan bersama dengan Chlamydia pneumoniae
diperkirakan prevalensnya mencapai 40%. Deteksi kedua mikroorganisme ini sulit dilakukan
sehingga dahulu prevalensnya tidak dapat dipastikan. Dengan berkembangnya metode deteksi
seperti microimmunofluorescence (MIF) dan polymerase chain reaction (PCR), akhir-akhir
ini banyak laporan tentang prevalens infeksi Mycoplasma pneumoniae yang dapat dipercaya.
Peningkatan kewaspadaan terhadap Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia
pneumoniae sebagai penyebab potensial pneumonia atipik pada anak disertai dengan
perkembangan metode deteksi yang lebih akurat diharapkan akan menurunkan morbiditas
penyakit. Infeksi Mycoplasma pneumoniae biasanya endemik namun dapat terjadi epidemik
dengan interval 4–7 tahun.
Infeksi oleh Mycoplasma pneumoniae1
Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat, terutama terjadi di asrama atau
keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Masa inkubasi lebih kurang 3 minggu.
Penularan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam jangka waktu berbulan-bulan. Meskipun
umumnya gejala klinis ringan, tetapi kasus berat yang fatal dan mengancam jiwa dapat
terjadi. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza
(influenza like syndrome) seperti demam, malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal,
dan batuk. Suhu tubuh jarang mencapai lebih dari 38.5 0C. Kadang-kadang dapat juga
berlanjut menjadi bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. Batuk terjadi 3–5 hari setelah
awitan penyakit, awalnya tidak produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum
mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu-minggu. Hasil
pemeriksaan auskultasi paru bervariasi. Mengi ditemukan pada 30–40% kasus pneumonia
mikoplasma dan lebih sering ditemukan pada anak yang lebih besar. Oleh karena itu,
diagnosis klinis pneumonia mikoplasma tanpa pemeriksaan radiologis dapat dikacaukan
dengan asma. Sering terjadi underdiagnosis pada infeksi Mycoplasma pneumoniae. Hal ini
dikarenakan uji mikrobiologis tidak dapat dipakai sebagai alat diagnostik, oleh karena itu
tidak dikerjakan secara rutin. Kultur memerlukan waktu 2 minggu dan uji serologis hanya
bermanfaat bila telah terjadi pembentukan antibodi, yaitu ketika penyakit telah sangat
berkembang. Umumnya gejala klinis infeksi Mycoplasma pneumoniae adalah ringan dan
24
kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe necrotizing
pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi pleura pernah dilaporkan.
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia mikoplasma bervariasi, meliputi gambaran infiltrat
intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak konsolidasi, pembesaran kelenjar hilus, dan
kadang-kadang disertai efusi pleura.
Infeksi oleh Chlamydia pneumoniae 1
Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab tersering infeksi respirasi akut atas
seperti faringitis, sinusitis, dan otitis. Akan tetapi, dapat juga menyebabkan bronkitis dan
pneumonia. Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia, sakit
kepala, malaise, pilek, dan demam yang tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak
ditemukan kelainan. Gejala respiratori umumnya tidak mencolok. Leukosit darah tepi
biasanya normal. Gambaran foto rontgen toraks menunjukkan infiltrat difus atau gambaran
peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat daripada gejala klinis.
Pneumonia Klamidia dapat ditemukan di seluruh dunia, tetapi lebih sering di daerah
tropis, bersifat endemik, dan epidemik dapat terjadi dengan interval 3–4 tahun. Umumnya
perjalanan penyakit dan gejala klinis pneumonia Klamidia sulit dibedakan dengan pneumonia
mikoplasma.
Seperti infeksi virus, infeksi Chlamydia pneumoniae dapat berperan dalam
patogenesis asma. Diduga terdapat hubungan antara infeksi Chlamydia pneumoniae kronis
dengan eksaserbasi asma pada anak. Dari beberapa penelitian ditemukan prevalens yang
tinggi dari infeksi kronis Chlamydia pneumoniae pada kelompok anak dengan asma.
Chlamydia pneumoniae juga dihubungkan dengan penyakit kronis lain, seperti penyakit arteri
koroner, endokarditis, arteritis, sindrom Guillan Barre, dan eritema nodosum. Meskipun
terdapat hubungan kausal yang langsung, patogenesis pasti masih belum jelas.
Peran Makrolid pada Pneumonia atipik1,2,5
Bakteri atipik seperti Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia sp. umumnya tidak
responsif terhadap antibiotik golongan beta-laktam. Hal ini dikarenakan Mycoplasma
pneumoniae tidak mempunyai dinding sel dan Chlamydia spp merupakan bakteri intraselular.
Makrolid merupakan antibiotik pilihan utama pada pneumonia atipik, baik pneumonia pada
anak besar dan remaja yang disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae atau Chlamydia
pneumoniae, maupun pneumonia pada bayi kecil yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis. Makrolid yang sering dipakai adalah eritromisin atau makrolid-baru seperti
25
azitromisin, klaritromisin, dan roksitromisin. Eritromisin mempunyai efektivitas klinis yang
baik pada infeksi Mycoplasma pneumoniae, tetapi tidak efektif dalam mengeradikasi
mikroorganisme dari jaringan.
Umumnya makrolid-baru lebih unggul dalam hal bioavailabilitas dan efektivitas
antimikroba serta efek samping yang lebih minimal. Makrolid-baru seperti klaritromisin
menunjukkan efektivitas klinis yang baik, selain itu mampu mengeradikasi mikroorganisme
dari jaringan.
Keunggulan lain dari setiap makrolid-baru bervariasi, misalnya waktu paruh yang
lebih panjang, konsentrasi hambat minimum yang lebih rendah, adanya efek pascaantibiotik,
konsentrasi dalam serum tinggi, penetrasi ke dalam jaringan, sel dan sekret lebih tinggi,
metabolit merupakan zat aktif, dan adanya efek antiinflamasi. Di samping itu, makrolid-baru
mempunyai spektrum antibakteri yang lebih luas, yaitu mencakup bakteri atipik dan bakteri
tipik.
Dosis eritromisin untuk anak berkisar antara 30–50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6
jam selama 10–14 hari. Klaritromisin dan roksitromisin diberikan dua kali sehari dengan
dosis 15 mg/kgBB untuk klaritromisin dan 5–10 mg/kgBB untuk roksitromisin. Azitromisin
dapat diberikan sekali sehari dengan lama pemberian lebih pendek, yaitu selama 3–5 hari
dengan dosis 10 mg/kgBB pada hari pertama, dilanjutkan dengan dosis 5 mg/kgBB untuk
hari berikutnya.
Pemeriksaan penunjang1
1. Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000–40.000/mm3 dengan predominan PMN.
Leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat
(>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada
keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chlamydia
pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat
dengan sel PMN berkisar antara 300–100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa relatif
lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap
darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan
LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
26
2. C-Reactive Protein (CRP)
C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respons infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi
pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme
atau sel yang rusak.
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. C-reactive protein kadang-kadang digunakan
untuk evaluasi respons terapi antibiotik. Suatu penelitian melaporkan bahwa CRP cukup
sensitif tidak hanya untuk diagnosis empiema torasis, tetapi juga untuk memantau respons
pengobatan. Dari 38 kasus empiema yang diselidiki, ternyata sebelum pengobatan semua
kasus mempunyai CRP yang tinggi. Dengan pengobatan antibiotik, kadar CRP turun secara
meyakinkan pada hari pertama pengobatan. Hanya empat pasien yang CRP nya tidak kembali
normal pada saat pulang dari RS. Meskipun demikian, secara umum CRP belum terbukti
secara konklusif dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri.
3. Uji serologis
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya
infeksi terdahulu. Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen
(paired sera).
Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi
bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma dan
Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV, Sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3,
Influenza A dan B, dan Adeno, peningkatan antibodi IGM dan IgG dapat mengkonfirmasi
diagnosis.
4. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi
pleura, atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah,
27
cairan pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada masa neonatus, kejadian bakteremia sangat
rendah sehingga kultur darah jarang yang positif. Pada pneumonia anak dilaporkan hanya 10–
30% ditemukan bakteri pada kultur darah. Pada anak besar dan remaja, spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologik dapat berasal dari sputum, baik untuk pewarnaan Gram maupun
untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25
leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan
pembesaran kecil. Spesimen dari nasofaring untuk kultur maupun untuk deteksi antigen
bakteri kurang bermanfaat karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri di nasofaring.
Kultur darah jarang positif pada infeksi Mikoplasma dan Klamidia, oleh karena itu
tidak rutin dianjurkan. Pemeriksaan PCR memerlukan laboratorium yang canggih; di
samping tidak selalu tersedia, hasil PCR positif pun tidak selalu menunjukkan diagnosis pasti.
5. Pemeriksaan Rontgen toraks
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada
pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang bercak-bercak
sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi,
resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang.
Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen toraks tidak
diperlukan. Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit
memburuk, atau untuk tindak lanjut.
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia di
Instalasi Gawat Darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Lynch dkk.
mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto rontgen toraks
AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distres pernapasan
seperti takipnea, batuk, dan ronki, dengan atau tanpa suara napas yang melemah.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari: Infiltrat interstisial, ditandai dengan
peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi
dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi
tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan
menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
28
Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada
satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa
lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila
ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu merupakan prediktor
perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Beberapa faktor teknis radiologis dan faktor noninfeksi dapat menyebabkan gambaran
yang menyerupai pneumonia pada foto rontgen toraks.
Faktor teknis radiologis:
intensitas sinar rendah (underpenetration)
grid pada film tidak merata
kurang inspirasi.
Faktor noninfeksi:
bayangan timus
bayangan payudara
gambaran atelektasis.
Gambaran atelektasis sulit dibedakan dengan gambaran pneumonia pada foto rontgen
toraks. Atelektasis disebabkan oleh berbagai penyebab seperti kompresi ekstrinsik pada
bronkus (malformasi kongenital, limfadenopati, tumor, penyakit kardiovaskular, web, atau
ring) dan obstruksi bronkial intrinsik (benda asing, edema, inflamasi, bronkomalasia atau
stenosis, tumor, dan sumbatan mukus). Di samping itu, penyakit paru noninfeksi dapat juga
menyebabkan atelektasis, misalnya penyakit membran hialin atau edema paru.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi
pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat intersisial merata, dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada
pneumonia Stafilokokus sering ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan
berbagai ukuran.
29
Gambaran foto rontgen toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada
beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus.
Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama di lobus bawah,
infiltrat intersisial retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau
subsegmen. Biasanya lesi foto rontgen toraks lebih berat daripada gambaran klinisnya.
Meskipun tidak terdapat gambaran foto rotgen toraks yang khas, tetapi bila terdapat
gambaran retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi
Mikoplasma. Demikian pula bila terlihat gambaran perkabutan atau ground-glass
consolidation, serta transient pseudoconsolidation karena infiltrat intersisial yang konfluens,
patut dipertimbangkan adanya infeksi Mikoplasma. Gambaran radiologis pneumonia
Klamidia sulit dibedakan dengan pneumonia Mikoplasma.
Meskipun terdapat beberapa pola yang memberikan kecenderungan, secara umum
gambaran foto rontgen toraks tidak dapat membedakan secara pasti anatar pneumonia virus,
bakteri, Mikoplasma, atau campuran mikroorganisme tersebut.
1. Pemeriksaan analisa gas darah6
Keseimbangan asam-basa sebenarnya mengacu kepada pengaturan ketat konsentrasi ion
hidrogen (H+) bebas didalam cairan tubuh. PH darah arteri dalam keadaan normal adalah 7,45
dan PH darah vena adalah 7,35, untuk PH darah rata-rata adalah 7,4. PH darah vena sedikit
lebih rendah daripada PH darah arteri karena adanya H+ yang dihasilkan oleh H2CO3 dari
CO2 yang diserap dikapiler jaringan. Asidosis terjadi apabila PH darah turun dibawah 7,35
sementara alkalosis terjadi jika PH darah lebih dari 7,45.
Pasangan penyangga H2CO3 : HCO3- adalah sistem penyangga asam-basa terpenting pada
cairan ekstra seluler untuk menyangga perubahan PH akibat berbagai salah satunya fluktuasi
H2CO3 yang dihasilkan oleh CO2 melalui reaksi : H+ + HCO3- ↔ H2CO3 ↔ CO2 + H2O .
Asidosis respiratorik terjadi akibat peningkatan [CO2], Alkalosis respiratorik terjadi
akibat penurunan [CO2], Asidosis metabolik berkaitan dengan penurunan [HCO3-] , Alkalosis
metabolik berkaitan dengan peningkatan [HCO3-] .
Diagnosis 1,5
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis
merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak selalu
mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Oleh karena itu,
pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan
keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya
30
pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut:
takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah.
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam
upaya penanggulangannya, WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang
sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan Primer, dan sebagai
pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang. Tujuannya ialah
menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat langsung dideteksi;
menetapkan klasifikasi penyakit, dan menentukan dasar pemakaian antibiotik. Gejala klinis
sederhana tersebut meliputi napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak
segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi
napas selama satu menit penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan
melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi
epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan–5 tahun adalah tidak dapat minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk; tanda bahaya untuk bayi berusia di
bawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan
demam/badan terasa dingin.
Kriteria rawat inap
Bayi :
- Saturasi oksigen < 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 60 x/menit
- Distress pernapasan, apnea intermiten, atau grunting
- Tidak mau minum atau menetek
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak :
- Saturasi oksigen < 92%, sianosis
- Frekuensi napas >50 x / menit
- Distress pernapasan
- Grunting
- Terdapat tanda dehidrasi
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah
31
Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak
mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A
tidak terbukti efektif. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi
yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi.1,2,5,7
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar harus
diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan
saturasi oksigen > 92%.
- Pada pneumonia berat atau asupan peroral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat.
- Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan
mengontrol batuk
- Nebulasi dengan ᵝ2 agonis dan/ atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.
Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri. 1,2,5,7
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak
tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan
pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kemungkinan
etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor
epidemiologis.
Pemberian antibiotik, berdasarkan epidemiologi agen penyebab terbanyak, dapat
dimulai dari amoksisilin pada anak <5 tahun karena efektif, dapat ditoleransi dan moral.
Alternatif meliputi co-amoxiclav, eritromisin, klaritromisin dan azitromisin. Pada anak >5
tahun, pneumonia lebih sering disebabkan oleh M.pneumoniae sehingga makrolida lebih
32
sering diberikan sebagai terapi empiric. Antibiotik intravena diindikasikan pada pasien
dengan gangguan asupan oral, misalnya akibat muntah, atau pada kasus pneumonia berat.
Pilihan antibiotik antara lain ampisilin dan kloramfenikol, seftriakson, sefotaksim. 1,2,5,7
Tabel 2. Dosis terapi antibiotik
Rekomendasi UUK Repirologi mengenai antibiotik pada pneumonia komunitas:1
Pada neonatus hingga bayi <2 bulan: ampisilin dan gentamisin
Pada bayi >2 bulan: ampisilin, bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat
ditambahkan kloramfenikol. Lini kedua dapat menggunakan seftriakson.
Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun dan dilanjutkan
dengan pemberian oral sampai 4-5 hari bebas demam. Pasien dapat dipulangkan bila gejala
dan tanda pneumonia sudah hilang, asupan per oral adekuat, pemberian antibiotik dapat
dilanjutkan per oral, keluarga mengerti dan dapat melakukan pemberian terapi dan rencana
control, serta kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan.1
Pneumonia rawat jalan1,2,5,7
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat
diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Penelitian
multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian
amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis
33
amoksisilin yang diberikan adalah 25-50 mg/kgBB/x diberikan setiap 6 jam, sedangkan
kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP−20 mg/kgBB sulfametoksazol).
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta-laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya
aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik.
Pneumonia rawat inap
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-laktam
atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta-laktam dan
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin,
sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7−10
hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol
mengenai lama terapi antibiotik yang optimal. 1,2,5,7
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera
mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis,
antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta-
laktam/klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan
sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari. 1,2,5,7
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta-laktam dengan/atau tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan
beta-laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin
generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti
dengan antibiotik oral dan berobat jalan. 1,2,5,7
Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik beta-
laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan kloramfenikol. Feyzullah dkk.
melaporkan hasil perbandingan pemberian antibiotik pada anak dengan pneumonia berat
berusia 2–24 bulan. Antibiotik yang dibandingkan adalah gabungan penisilin G intravena
(25.000 U/kgBB setiap 4 jam) dan kloramfenikol (15 mg/kgBB setiap 6 jam), dan seftriakson
intravena (50 mg/kgBB setiap 12 jam). Keduanya diberikan selama 10 hari, dan ternyata
memiliki efektifitas yang sama. 1,5
Kriteria pulang 5
- Gejala dan tanda pneumonia hilang
- Asupan peroral adekuat
34
- Pemberian antibiotic dapat diteruskan di rumah
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana control
- Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.
Komplikasi 1,2,5,7
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,
pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis
merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.
Ilten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel
kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2–24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal,
maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.
2.2 Bronkiolitis
Definisi 1
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respirasi akut-bawah yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara
klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala
infeksi respirasi akut.1
Etiologi
Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi
RSV. Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus, virus
Influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus, dan mikoplasma, tetapi belum ada bukti kuat
bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri.1
Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling sering
terjadi pada usia 2–24 bulan, puncaknya pada usia 2–8 bulan. Sembilan puluh lima persen
kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75% di antaranya terjadi pada anak
berusia di bawah 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada
35
bayi laki-laki berusia 3–6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan padat
penduduk. Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih
banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan. 1,5
Rerata insidens perawatan setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun adalah 21,7
per 1000, dan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada
usia 1–2 tahun. 1
Kenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu perubahan kriteria perawatan anak dengan IRA, kebiasaan pengasuhan dengan lebih
banyak anak yang dititipkan di tempat penitipan anak (TPA), dan faktor virus sendiri yaitu
perubahan virulensi strain RSV. Selain itu, terdapat juga faktor perubahan kriteria diagnostik
terutama mikrobiologis dan panduan terapi, serta turunnya mortalitas bayi prematur dan bayi
dengan kelainan bawaan kompleks yang merupakan risiko tinggi perawatan karena RSV.1,5
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada
di negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi,
kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka
mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1–3%. 1
Patofisiologi
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut,
ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris
selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial
dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter
penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan
hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran
respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi,
tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan
air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan
udara yang terjebak diabsorbsi. 1
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan
kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (ventilation-
perfusion mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksia (hiperkapnea) tidak selalu terjadi,
kecuali pada beberapa penderita. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah
tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan (work of breathing) akan meningkat selama end-
36
expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya
baru terjadi bila respirasi mencapai 60 x/menit. 1
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3–4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua
minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. 1
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori-atas akibat virus, seperti pilek ringan,
batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak
napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi,
muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan napsu makan. 1,5
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya
takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,5 °C. Selain itu, dapat juga ditemukan
konjungtivitis ringan dan faringitis. 1,5
Obstruksi saluran respiratori-bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan
gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak
untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkostal.
Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat
terjadi, dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6
minggu. 1,5
Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal,
demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan
sakit berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik.
Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat (patchy
infiltrates), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia
viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada
37
saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping,
diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV
dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay dan
enzyme-linked immunosorbent assays, ELISA) atau polymerase chain reaction (PCR), dan
pengukuran titer antibodi pada fase akut dan konvalesens.1
Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis, perlu memperhatikan manifestasi klinis yang
dapat menyerupai penyakit lain. Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma,
bronkitis, gagal jantung kongestif, dan edema paru, yang memiliki gambaran klinis
menyerupai bronkiolitis. Selain itu, pneumonia dengan berbagai sebab (aspirasi, virus,
bakteri, dan mikoplasma) juga dapat memberikan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang yang menyerupai bronkiolitis. Oleh karena itu, untuk menentukan diagnosis
bronkiolitis pada anak, penting untuk memperhatikan epidemiologi, rentang usia terjadinya
kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun. 1
Tatalaksana
Bronkiolitis pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Pasien bronkiolitis
dengan klinis ringan dapat rawat jalan, jika klinis berat harus rawat inap.1,5,7
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian
oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian
suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi.
Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral
seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclonal),
atau humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab). Namun menurut penelitian,
pemberian antiviral, antibiotik, inhalasi ᵝ2 agonis, inhalasi antikolinergik (ipratropium) dan
inhalasi kortikosteroid tidak direkomendasikan. 1,5
Bronkodilator1
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratori adalah
inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya
saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis.
Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator -adrenergik selektif adalah:
1. Kerja konstriktor -adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi
absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada
ventilation-perfusion matching.
38
2. Relaksasi otot bronkus karena efek -adrenergik.
3. Kerja -adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.
4. Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema.
5. Mengurangi sekresi kataral.
Efek epinefrin terhadap denyut jantung
Penelitian membandingkan antara nebulisasi epinefrin dengan normal salina
didapatkan dalam bentuk 1% epinefrin tartrat dengan sodium metabisulfit dan vehikulum
sebanyak 4 ml, diberikan tiga kali dengan interval 4 jam selama 24 jam pertama
dibandingkan dengan normal salin. Tidak ada perbedaan bermakna pada laju respiratori,
tekanan darah, atau usaha napas sebelum maupun setelah perlakuan. Akan tetapi, epinefrin
menyebabkan kenaikan yang secara statisitik tidak bermakna pada laju pernapasan yaitu
sebesar 2 x/menit, dan kenaikan tekanan darah sebesar 5 mmHg baik sistolik maupun
diastolik, dan tampak usaha napas lebih rendah.
Efek pemberian terapi β-agonis
Beta-agonis masih sering digunakan dengan alasan 15–25% pasien bronkiolitis
nantinya akan menjadi asma. Inhalasi 2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose. Karena
efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan hanya diberikan bila pasien menunjukkan
perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap.
Kortikosteroid1
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, prednisolon, metilprednison,
hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata dosis per
hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dalam equivalen mg/kgBB prednison. Rata-rata
dosis per hari berkisar antara 0,6−6,3 mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0−18,9
mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral, intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek
merugikan yang dilaporkan.
Dari pemikiran bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecenderungan asma
maka kortikosteroid lebih efektif pada anak dengan predisposisi asma dari pada dengan anak
yang tidak. Karena faktor predisposisi tersebut tidak dapat diidentifikasi sebelumnya, maka
penggunaan kortikosteroid harus dipertimbangkan dengan bijaksana pada bayi yang dirawat
dengan bronkiolitis
Ribavirin
Guerguerian meneliti efektifitas klinis ribavirin pada bayi yang sebelumnya sehat
kemudian menggunakan ventilator karena distress respirasi akibat bronkiolitis RSV.
Digunakan ribavirin aerosol 20mg/ml dibandingkan dengan plasebo yaitu NaCl 0,9%
39
diberikan 18 jam per hari selama maksimum 7 hari atau sampai ekstubasi. Hasilnya
menunjukan aerosol ditoleransi dengan baik dan tidak dilaporkan adanya kematian namun
analisis keluaran menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok
perlakuan pada lamanya penggunaan ventilator, terapi aerosol, lama perawatan di unit
intensif, total terapi oksigen, dan lama perawatan di rumah sakit. Penelitian ini menunjukan
tidak efektifnya ribavirin aerosol untuk mengurangi lamanya penggunaan ventilator dan
perjalanan penyakit pada bayi yang menderita bronkiolitis RSV. Dilaporkan adanya plugging
karena sisa ribavirin di pipa endotrakeal dan ventilation circuit. Meert tahun 1994 juga
menyatakan bahwa ribavirin tidak mengurangi lamanya ventilasi mekanik. 1,5
Sebaliknya, Edell yang meneliti secara prospektif pada bayi dengan bronkiolitis RSV
berat sebelum 5 hari dari gejala awal segera diberi ribavirin dosis tinggi jangka pendek:
60mg/ml selama 2 jam, diberikan 3 kali sampai total 6g/100ml tiap 24 jam selama 3 hari
dibandingkan dengan terapi konservatif. Pemberian terapi konservatif berupa O2 untuk
mempertahankan saturasi O2 transkutan > 92%, cairan intravena, nebulisasi 2,5 mg albuterol
tiap 3–4 jam, methylprednisolone 1 mg/kg berat badan/kali intravena tiap 12 jam selama 3
hari dan ranitidin oral 3 mg/kg per kali tiap 12 jam. Pada pengamatan 1 tahun kemudian
kelompok ribavirin mempunyai lebih sedikit episode penyakit saluran respiratori reaktif
(2,7±2,3 dibanding 6,2±4,2 episode per pasien/tahun), berat penyakit saluran respiratori
reaktif berkurang (0,08 dibanding 1,09 penyakit sedang sampai berat per pasien/tahun ),dan
perawatan oleh karena penyakit saluran respiratori berkurang (25 hari perawatan dibanding
90/100 pasien/tahun). Edell menyimpulkan pemberian ribavirin dini kurang dari 5 hari akan
mengurangi insidens dan beratnya penyakit saluran respiratori reaktif maupun perawatan di
rumah sakit, sehingga akan mengurangi biaya. Efek yang menguntungkan ini mungkin juga
efek sinergistik pemberian ribavirin sedini mungkin ditambah pengobatan lain yang
berpotensi mengurangi reaktivitas saluran respiratori. 1,5
Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan pemberian oksigen
selama 10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi oksigen menetap di atas 93% atau stabil
selama 4 jam), retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan perbaikan tanda klinis yang
lain. 1,5
Prognosis 1,5
Sekitar 40–50% bayi yang dirawat dengan bronkiolitis karena RSV akan menderita
mengi di kemudian hari. Peran virus respiratori pada mengi dijelaskan dengan kesamaan
respons inflamasi yang ditunjukkan pada serangan asma dan infeksi virus. Infeksi RSV
40
dihubungkan dengan respons sel T, yang terutama ditandai dengan produksi sitokin oleh sel
Th tipe 2; hal yang juga terjadi pada asma. Keadaan ini ditandai dengan penggunaan sel T
dan eosinofil, serta pelepasan mediator yang larut (histamin, kinin, dan leukotrien lain). Pada
anak dengan bronkiolitis, mengi yang lebih sering dan berat berhubungan dengan
peningkatan kadar antibodi IgE terhadap RSV dan virus Parainfluenza, menunjukkan
antibodi yang dirangsang virus meningkatkan pelepasan mediator inflamasi. RSV juga dapat
mempengaruhi mengi dengan cara mengubah jalur saraf yang menyebabkan responsifnya
saluran respiratori.
Tidak dapat dibuktikan secara jelas bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan
kecenderungan asma, tetapi bila bayi yang terkena bronkiolitis dihubungkan dengan asma,
keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalens asma
pada anak dari kelompok pengobatan.
2.3 Asma
Definisi
Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, asma adalah mengi berulang
dan/atau batuk persisten (menetap) dengan karakteristik sebagai berikut:
timbul secara episodik,
cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),
musiman,
setelah aktivitas fisik,
ada riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya. 1,7
Sedangkan menurut GINA ( Global Initiative for Asthma ) Asma didefinisikan sebagai
gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya
sel mast, eosinofil, dan limfosit T. 7
Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga
beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun
demikian, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat
tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat
atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau
berminggu-minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa
keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan kematian. 7
41
Patogenesis Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,
terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan
berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma. Selama 30 tahun terakhir, konsep inflamasi kronis sebagai hal yang berperan
penting pada patogenesis asma, telah dibuktikan dengan penelitian-penelitian. GINA (Global
Initiative for Asma) dengan jelas menggambarkan konsep inflamasi pada asma merupakan
suatu proses inflamasi kronis yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, dan
menyebabkan terbatasnya aliran udara serta meningkatnya reaktivitas saluran respiratori.
Dalam proses ini terjadi hal-hal sebagai berikut :
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan,
alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik
Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15
menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator
seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien,
prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos,
sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara
spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat
dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya.
Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat
sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat
mencegah reaksi ini.
Reaksi fase lambat dan lama
Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis
reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil
4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan
reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga
mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat
oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya. 1,2,7
42
2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan
inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti
limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada
otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan
sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus
ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear
terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF
yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi
otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang
lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat
juga mencegah fase ketiga ini. 1,2,7
Airway remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya
seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic
growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat
inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan
gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan
jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling
bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses
tersebut. 7
43
Diagnosis
Mengi berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menuju
diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang
hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda-tanda
mengi, sesak, dan lain-lain sedang tidak timbul. Kelompok anak yang patut diduga asma
adalah anak-anak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik,
cenderung pada malam / dini hari (nokturnal / morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik,
serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya. Untuk anak yang sudah
besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana
dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus
dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan
salin hipertonis, sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung
diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:
• Variabilitas pada PFR atau FEV1 >15%.
• Kenaikan >15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
• Penurunan >15% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
Variabilitas adalah peningkatan dan penurunan hasil PFR dalam satu hari. Penilaian
yang baik dapat dilakukan jika pemeriksaannya berlangsung >2 minggu. Jika gejala dan
tanda asmanya jelas, serta respons terhadap pengobatan baik sekali maka tidak perlu
pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik maka perlu
dinilai dahulu apakah dosisnya sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar,
serta ketaatan pasien baik, sebelum melanjutkan pengobatan dengan obat yang lebih poten.
Bila semua aspek tersebut sudah baik dan benar maka perlu dipikirkan kemungkinan bukan
asma.
Pasien dengan batuk produktif, infeksi saluran napas berulang, gejala respiratorik
sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru, perlu pe-
meriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto Rontgen paru, uji
fungsi paru, dan uji provokasi.
Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranaslis, uji keringat, uji
imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan sampai
bronkoskopi.
Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan
salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulin perlu
44
dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan. Dengan cara itu
maka penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan
diterapi.
Pemeriksaan Fisik9
Hasil yang didapat tergantung stadium serangan serta lamanya serangan serta jenis
asmanya. Pada asma yang ringan dan sedang tidak di temukan kelainan fisik di luar serangan.
Pada inpeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal,
kadang-kadang terdapat suara ‘wheezing’ (mengi), ekspirium memanjang, pada inspirasi
terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma
kronik terlihat betuk toraks emfisematus, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter
anteroposterior toraks bertambah. Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama
bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
Pada auskultasi mula-mula bunyi nafas kasar/mengeras, tapi pada stadium lanjut suara
nafas melemah atau hamper tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Dalam keadaan
normal fase ekspirasi 1/3 – 1/2 dari fase inspirasi, Pada waktu serangan waktu ekspirasi
memanjang. Terdengar juga ronki kering dan ronki basah serta suara lendir bila banyak
sekresi bronkus.
Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin juga hubungannya dengan
tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat
perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat.
Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena perbaikan
akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya. Bentuk toraks perlu
diperhatikan untuk melihat adanya dada burung atau sulkus Harrison sebagai tanda obstruksi
jalan nafas yang lama. Tanda ini hanyaditemukan pada asma yang berta dan menahun dengan
pengolahan asma yang tidak adekuat sebelumnya.
Klasifikasi Klinis
GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten, Asma
persisten ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dasar pembagiannya
adalah gambaran klinis, faal paru, dan obat yang dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit.
Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya.
Pembagian asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
45
Tabel 3. klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis1
Derajat
asma
Gejala Gejala
malam
Faal paru
Intermitten Bulanan
Gejala < 1x/minggu
Tanpa gejala diluar serangan
Serangan singkat
≤ 2x/bulan APE ≥ 80%
VEP1 ≥ 80% nilai
prediksi APE ≥ 80%
nilai terbaik
Variabilitas APE <
20%
Persisten
ringan
Mingguan
Gejala > 1x/minggu tetapi <
1x/hari
Serangan dpt mengganggu
aktivitas dan tidur
> 2x/bulan APE > 80%
VEP1 ≥ 80% nilai
prediksi APE ≥ 80%
nilai terbaik
Variabilitas APE 20-
30%
Persisten
sedang
Harian
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu
aktivitas dan tidur
membutuhkan bronkodilator
setiap hari
>
1x/minggu
APE 60-80%
VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80%
nilai terbaik
Variabilitas APE >
30%
Persisten
berat
Kontinua
Gejala terus menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik terbatas
Sering APE ≤ 60%
VEp1 ≤ 60% nilai
prediksi ≤ 60% nilai
terbaik
Variabilitas APE >
30%
Konsensus Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan klinis dan
kebutuhan obat menjadi 3 yaitu , asma episodik jarang (asma ringan) yang meliputi 75%
populasi anak asma, asma episodik sering (asma sedang) meliputi 20% populasi, dan asma
persisten (asma berat) meliputi 5% populasi.
46
Tabel 4. Klasifikasi asma1
Tanda dan Gejala pada Asma1,7,9
Gejala asma terdiri dari trias asma : dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang
paling khas, asma merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut dapat
timbul bersama-sama. Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang
menghasilkan lendir atu mukus yang lengket seperti benang yang liat.
Pada serangan asma ringan:
Anak tampak sesak saat berjalan.
Pada bayi: menangis keras.
Posisi anak: bisa berbaring.
Dapat berbicara dengan kalimat.
Kesadaran: mungkin irritable.
Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.
Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan dangkal.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: normal.
Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)
SaO2 % > 95%.
47
PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.
PaCO2 < 45 mmHg
Pada serangan asma sedang:
Anak tampak sesak saat berbicara.
Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.
Posisi anak: lebih suka duduk.
Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.
Kesadaran: biasanya irritable.
Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi.
Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)
SaO2 % sebesar 91-95%.
PaO2 > 60 mmHg.
PaCO2 < 45 mmHg
Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:
Anak tampak sesak saat beristirahat.
Pada bayi: tidak mau minum/makan.
Posisi anak: duduk bertopang lengan.
Dapat berbicara dengan kata-kata.
Kesadaran: biasanya irritable.
Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi.
Menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
48
Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)
SaO2 % sebesar < 90 %.
PaO2 < 60 mmHg.
PaCO2 > 45 mmHg
Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:
Kesadaran: kebingungan.
Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sulit atau tidak terdengar.
Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal.
Retraksi dangkal/hilang.
Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).
Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).
Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.
Tujuan Tatalaksana
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai
adalah:
• Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain dan
berolahraga.
• Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
• Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
• Uji fungsi paru normal, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF.
• Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan
tidak ada serangan.
• Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tatalaksana
Pengobatan Asma
49
Pasien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan
serangan. Serangan asma dapat ringan, sedang dan berat. Bahkan dapat jatuh dalam keadaan
status asmatikus, yakni serangan asma yang berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat
biasa yang dapat mengatasi serangan tersebut.
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,
terdiri dari pengontrol dan pelega.
1. Pengontrol (controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifier
2. Pelega (reliever)
Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut,
seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
Agonis beta-2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofilin
Adrenalin
50
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung
ke jalan napas adalah :
1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan
3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat
bila diberikan secara inhalasi daripada oral.
Serangan asma dan penanggulangannya
o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator oral
atau aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan
pengobatan.
o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang kerjanya
cepat, misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti adrenalin.
o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan ringan
kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan
bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 1–2 liter/menit.
o Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau subkutan
dan kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi keseimbangan cairan,
asam-basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau diduga akan gagal,
keadaan jiwa anak mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah masuk dalam
keadaan status asmatikus. 1,3,7
Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai
untuk mengobati asma juga dapat digunakan untuk mencegah asma. Dianjurkan
dipakai golongan beta-2 selektif. Sebaiknya digunakan dalam bentuk aerosol
(inhalasi) karena dapat bekerja secara cepat.
Kortikosteroid masih merupakan salah satu obat yang penting dalam mencegah asma
dan hendaklah dipertimbangkan bila hasil dengan bronkodilator optimal tidak
memadai. Prednison 1-2 mg/kgBB perhari dengan pemberian 1-2 minggu biasanya
tidak memberikan efek samping.
Tabel 5. Daftar obat yang dipakai untuk asma pada anak9
Nama Obat Nama Dagang Dosis
51
Obat simpatomimetik :
Salbutamol Ventolin Oral : 0,05-0,1 mg/kgBB tiap
6 jam
Larutan respirator : 0,02-0,03
ml/kgBB tiap 4 – 6 jam
Terbutaline Bricasma Oral : 0,075 mg/kgBB tiap 6
jam
Subkutan : 0,005 mg/kgBB
Larutan respirator : 0,02-0,03
ml/kgBB tiap 4-6 jam
Methylxanthine :
Aminophyline Dosis awal (bolus) 6-8
mg/kgBB dalam 20 menit
Dosis rumatan 0,5-1
mg/kgBB/jam
Steroid :
Budesonid Pulmicort Aerosol : 2-4 semprotan
(100-200 mikrogram) 3-4
kali sehari
Beclomethasone Aldecin Aerosol : 2-4 semprotan
(100-200 mikrogram) 3-4
kali sehari
Puyer kering 100-200 mg 3-
4kali sehari
Edukasi terhadap pasien dan keluarga
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasien dan orang
tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi dan penghindaran alergen,
pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan dan pemantauan, dan yang paling
utama adalah menguasai cara penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya
diberikan secara individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi perlu dijelaskan diagnosis
dan informasi sederhana tentang macam pengobatan, alasan pemilihan obat, cara
menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya. Kemudian perlu
52
diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi kesempatan mencoba
sampai dapat menggunakan dengan teknik yang benar. Berikut beberapa hal yang mendasar
tentang edukasi asma yang dapat diberikan pada pasien dan keluarganya:
- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan
terhadap faktor pencetus
- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya
mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna mencegah asma
menjadi lebih berat.
1. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma Kriteria asma terkontrol
- Tidak ada gejala asma atau minimal
- Tidak ada gejala asma malam
- Tidak ada keterbatasan aktivitas
- Nilai APE/VEP1 normal
- Penggunaan obat pelega napas minimal
- Tidak ada kunjungan ke UGD
2. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup.
Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya
rangsangan terhadap salur an respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema
mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi
rangsangan terhadap saluran respiratorik.
Tatalaksana asma jangka panjang
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai
adalah :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
53
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti β2-agonis
dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan asma biasanya digunakan
dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau
Dry Powder Inhaler) cukup sulit untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya
diberikan pada anak yang sudah mulai besar (usia 1x/bulan atau pengobatan yang diberikan
sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang baik maka
tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung
penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam
sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi. 1,3 Tahap
pertama obat pengendali pada asma episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis
rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid,
sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-
200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun,
dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12
tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau
setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa anti-
inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian
efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan
inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis
rendah tidak menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau
aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid
hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika
tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak
baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up).
Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih
54
ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya. Sebelum
melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan
obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis.dan
dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma yang
terjadi secara bersamaan.
Asma Persisten
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan
menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200- 400
ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-
600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan menggunakan steroid hirupan dosis
rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline
Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.) Apabila dengan
pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan
alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis
tinggi pada pemberian >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak
berusia di atas 12 tahun. atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau
ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya
yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas
hidupnya. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak
mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan
kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan
steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya
dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis
awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil
yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-
hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat. Pada pemberian antileukotrien
(zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati
merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian
antileukotrien belum ada rekomendasi. Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif
(misalnya ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan
asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen
55
sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena tidak
mempunyai manfaat yang berarti. Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi
paru yang optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid
dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan
asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan
kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan anak perlu
dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa
(Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Tabel 6. Karakteristik pneumonia, bronkiolitis dan asma
Pneumonia Bronkiolitis Asma
Epidemiologi Angka kejadian
tertinggi pada anak
usia kurang dari 4
tahun
Usia 2-24 bulan.
Puncak usia 2-8
bulan
Berkisar antara 5-10
% anak di Indonesia
yang mengalami
asma
Etiologi - Bakteri terutama
- Virus
- Non-infeksi
(radiasi, aspirasi)
95% disebabkan oleh
Respiratory Syncytial
Virus
- Hipereaktivitas
bronkus
Gejala
- Demam
- Sesak
- Riwayat
penyakit
keluarga
Pemeriksaan fisik
Demam tinggi
- Timbul didahului
oleh batuk, dan
pilek.
- Riwayat tersedak
sebelumnya
-
Auskultasi :
Crackles (rhonki
Demam subfebril
Didahului oleh batuk
pilek, kemudian
sesak yang semakin
lama semakin
memberat
-
Auskultasi :
- Ekspirasi
-
Timbul akibat adanya
faktor pencetus..
Riwayat atopi dan
asma pada keluarga
Auskultasi :
- Ekspirasi
56
basah) memanjang
- Wheezing
memanjang
- Wheezing
Tatalaksana Antibiotik Tidak berespon baik
terhadap
bronkodilator
Berespon baik
terhadap
bronkodilator
BAB III
ANALISA KASUS
57
Pasien seorang perempuan usia 1 tahun 10 bulan, datang dengan keluhan sesak napas
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan batuk. Batuk dirasakan
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk disertai dengan riak, namun riak sulit keluar.
Pilek (+) lendir bening, kental. Napas berbunyi grok-grok. Dari keluhan yang di dapatkan
kita dapat menduga beberapa penyakit yang menyebabkan manifestasi klinis sesak napas dan
batuk yaitu kelainan pneumonia, bronkiolitis, asma, penyakit jantung bawaan, penyakit
ginjal dan akibat aspirasi. Namun penyakit jantung bawaan dapat disingkarkan dari hasil
anamnesa yang menyatakan keluhan sesak napas belum pernah dirasakan sebelumnya sejak
pasien lahir dan riwayat kulit kebiruan disangkal. Penyakit ginjal dapat disingkirkan dari
hasil anamnesa yang menyatakan bahwa sesak napas tidak disertai dengan pembengkakan
pada kedua kaki ataupun bagian tubuh lainnya. Sesak napas akibat aspirasi dapat disingkirkan
dengan tidak adanya riwayat tersedak sebelum keluhan sesak napas muncul. Asma dapat
dilemahkan karena sesak napas yang terjadi merupakan sesak napas berbunyi ngik
(wheezing) berulang dan kadang tidak berhubungan dengan batuk dan pilek dan pada asma
biasanya menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada
malam / dini hari (nokturnal / morning dip), musiman, dan setelah aktivitas fisik. 7
Pasien masih mungkin mengalami bronkiolitis karena pada bronkiolitis gejala awal
yang terjadi dapat berupa gejala infeksi respiratori-atas akibat virus, seperti pilek ringan,
batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak
napas.1
Ayah pasien memiliki keluhan batuk dengan pilek beberapa hari sebelum pasien sakit.
Riwayat alergi dan asma di keluarga disangkal. Hal ini merupakan faktor resiko sebagai
terjadinya suatu infeksi respiratori akut, sehingga dapat melemahkan dugaan asma karena
pada asma didapatkan adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya. dan
memperkuat dugaan pada pneumonia dan bronkiolitis.1
Pasien semakin lemas dan tidak mau makan, namun pasien masih mau untuk minum.
Frekuensi buang air kecil pada pasien dirasakan berkurang, namun jika pasien menangis
masih mengeluarkan air mata. Hal ini ditanyakan pada keluarga pasien untuk memeriksa
status kondisi hidrasi pada pasien, dikarenakan pada pasien sesak intake menjadi sulit
sehingga yang di khawatirkan terjadi adalah dehidrasi pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis. Nadi takikardia 176
x/menit, RR : takipneu 56 x/menit, suhu 37,8 derajat Celcius dan saturasi O2 : 93 %. Pada
58
hidung didapatkan adanya secret kental bening, napas cuping hidung (+), faring hiperemis,
dan pada pemeriksaan dada didapatkan adanya retraksi suprasternal, suara napas dasar
vesikuler normal dan terdapat rhonki basah halus (+/+). Hal ini menunjang pada diagnosa
pneumonia, dan melemahkan dugaan ke arah asma dan bronkiolitis. Karena pada pneumonia
didapatkan ronkhi (crackles) pada auskultasi sedangkan pada bronkiolitis dan asma
didapatkan tanda-tanda air trapping seperti ekspirasi memanjang dan wheezing pada
auskultasi. Dan pada bronkiolitis dapat didapatkan hiperinflasi dinding dada.1,2,7
Dari pemeriksaan laboratorium saat awal masuk dilakukan pemeriksaan darah rutin
dan didapatkan hasil lekositosis. Kondisi ini menunjukkan adanya infeksi pada pasien.
Dengan didapatkan nya peningkatan netrofil relatif dibandingkan dengan limfosit
menunjukkan pada keadaan ini adalah shift to the left yaitu dimana hal ini menunjukkan
infeksi yang terjadi adalah akibat bakteri, hal ini memperkuat diagnosis pneumonia. Karena
pneumonia pada negara berkembang terutama diakibatkan oleh infeksi bakteri.1,9
Dari hasil analisa gas darah didapatkan asidosis metabolik yang terkompensasi yang
ditunjukkan dengan PH normal disertai dengan PCO2, PO2, HCO3 yang menurun dan base
excess yang negatif. Asidosis tersebut dapat diakibatkan karena keadaan sesak napas pada
pasien.
Di bangsal pasien mendapatkan terapi IVFD KaEN 3B 14 tpm makro, Kebutuhan
cairan rumatan anak dengan BB 10 kg = 100 ml/ kgBB untuk BB 10 kg. Antibiotik yang
diberikan Ampicilin 4x 250 mg IV, Chloramphenicol 4 x 200 mg IV antibiotik yang
diberikan pada pasien merupakan pilihan antibiotik lini pertama.1 Inhalasi ventolin 1 resp +
NaCl 0,9% 3 cc setiap 6 jam. Pasien diberikan obat lini pertama untuk pneumonia dan
dievaluasi selama 24 sampai dengan 72 jam, jika keadaan klinis memburuk dipikirkan untuk
mengganti antibiotik yang digunakan menjadi obat lini kedua. Pasien diberikan inhalasi,
untuk membantu mucocilliary clearance. 1
DAFTAR PUSTAKA
59
1. Rahajoe Nastiti N, Supriyanto Bambang, dkk. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Th; 2010.hal; 351-363
2. WHO. 2008. Global Action Plan for Prevention and Control Pneumonia.
3. Alih bahasa, Tim Adaptasi Indonesia. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit
rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta : WHO Indonesia.th;2008. Hal 86-93
4. Robbins C. Kumar. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Jakarta : EGC. Hal; 539-540
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007.
6. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. EGC. 1997: 55-69.
7. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson
Textbook of Pediatrics 17 ed. Saunders. 2004 :1272-6.
8. Rudolph, abraham, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 2. Volume 1. Jakarta: EGC
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985.
LAMPIRAN
60
61
62
63
Pemeriksaan fisik pada anak
a. Data antropometrik :
Hasil pengukuran berat badan, lingkar lengan atas harus di plot ke kurva
pertumbuhan untuk menentukan status antropometri pasien. Acuan yang pada saat ini
digunakan adalah kurva pertumbuhan WHO untuk bayi dan anak usia 0-5 tahun, dan
kurva CDC-NCHS 2000 untuk anak berusia > 5 tahun sampai dengan 18 tahun.
Berat badan (BB) :
Berat badan adalah parameter pertumbuhan yang paling sederhana, mudah
diukur dan diulang. Beberapa keadaan klinis dapat mempengaruhi berat badan seperti
terdapatnya edema, organomegali, hidrosefalus dan lain sebagainya. Hasil
pengukuran berat badan dipetakan pada kurva standar berat badan menurut usia
(BB/U). Untuk anak usia 0-5 tahun digunakan kurva weight for age WHO 2006
dengan interpretasi sebagai berikut :
- Terletak di < -3 SD : berat badan sangat kurang
- Terletak di antara <-2 SD sampai -3SD : berat badan kurang
- Terletak di antara -2 SD sampai +2 SD : berat badan cukup
- Terletak di >+2 SD : mungkin ada masalah pertumbuhan, lakukan penilaian berat
badan menurut tinggi badan.
Untuk anak usia >5-18 tahun digunakan kurva CDC - NCHS 2000 dengan
interpretasi sebagai berikut :
- >120 % : berat badan lebih
- 80-120 % : berat badan baik
- 60-80 % : berat badan kurang
- < 60 % : berat badan sangat kurang
Tingi badan (TB)
Tinggi/panjang badan pasien harus diukur tiap kunjungan.
Untuk anak usia 0-5 tahun digunakan kurva length for age WHO 2006 , dengan
interpretasi sebagai berikut :
- Terletak di < -3 SD : sangat pendek
- Terletak di antara <-2 SD sampai -3SD : pendek
64
- Terletak di antara -2 SD sampai +3 SD: normal
- Terletak di >+3 SD : sangat tinggi
Untuk anak usia >5-18 tahun digunakan kurva pertumbuhan CDC-NCHS
2000 dengan interpretasi sebagai berikut :
TB/U pada kurva :
- < sentil 3 : pendek
- Sentil 3-97 : normal
- Sentil >97 : tinggi
TB/U dibandingkan baku (%) :
- 90-110% : baik/ normal
- 70-89% : tinggi kurang
- <70% : tinggi sangat kurang
Rasio berat badan menurut panjang/tinggi badan (BB/TB)
Penilaian BB/TB merupakan indikator status gizi. BB/TB (%) : (BB terukur saat itu)/
(BB standar sesuai untuk TB terukur) x 100 %
Untuk anak 0-5 tahun digunakan kurva wieght for length/height WHO 2006, dengan
interpretasi sebagai berikut :
- Terletak di < -3 SD : gizi buruk
- Terletak di antara <-2 SD sampai -3SD : gizi kurang
- Terletak di antara -2 SD sampai +2 SD: gizi baik/ cukup
- Terletak di >+2 SD sampai +3 SD : gizi lebih, harus dilakukan
penghitungan indeks masa tubuh dan diplot ke kurva IMT
WHO/CDC NCHS
Penilaian status gizi berdasarkan persentase BB/TB untuk anak usia > 5-18 tahun
menggunakan kurva CDC-NCHS 2000 :
- > 120 % : obesitas
- 110-120 % : overweight
- 90-110% : normal
- 70-90% : gizi kurang
- < 70% : gizi buruk
65
b. Thoraks
Sela iga dihitung dengan meraba angulus sterni Ludovici (angle of Louis)
yaitu sudut yang dibentuk oleh manubrium sterni dan korpus sterni. Pada angulus
sterni Ludovici menempel iga ke-2, berarti sela iga di bawahnya adalah sela iga ke-2,
di bawahnya lagi sela iga ke-3 dan seterusnya.
Dengan inspeksi diteliti untuk mendapatkan gambaran tentang dinding dada,
bentuk dan besar dada, simetri dada baik dalam keadaan statis maupun dinamis,
gerakan dada pada pernapasan, terdapatnya deformitas, pembonjolan, pembengkakan,
serta kelainan lokal lain. Perhatikan pula adanya jaringan parut dan sifat serta pula
pembuluh darah subkutan, keadaan ini kadang dapat memberi petunjuk adanya
sirkulasi kolateral pada sumbatan vena kava superior.
Beberapa macam bentuk dada:
Pektus ekskavatum (funnel chest): sternum bagian bawah serta rawan iga masuk
ke dalam; terutama pada saat inspirasi. Keadaan ini dapat merupakan kelainan
kongenital, atau akibat hipertrofi adenoid yang berat.
Pektus karinatum (pigeon chest, dada burung): sternum membonjol ke luar,
biasanya disertai dengan depresi vertikal daerah kostokundral. Kelainan ini dapat
terlihat pada rakitis, osteoporosis.
Barrel chest, toraks emfisematikus; dada berbentuk bulat seperti tong, ditandai
dengan sternum yang terdorong ke depan dengan iga-iga horizontal; terdapat pada
penyakit paru obstruktif kronik misalnya asma, fibrosis kistik, emfisema.
Perlu diperhatikan pengembangan dada dan gerakan sela iga pada pernapasan;
demikian pula kecepatan, kedalaman, simetri, serta pola gerakan pernapasan. Gerakan
dada berkurang pada sisi dada yang mengalami pneumonia, hidrotoraks atau
pneumotoraks, atelektasis, serta sumbatan oleh benda asing. Seperti setelah disebut di
atas, retraksi suprasternal biasanya menunjukkan terdapatnya obstruksi tinggi seperti
sumbatan laring, sedang retraksi infrasternal (subkostal) mengarah pada obstruksi
rendah, misalnya bronkiolitis.
66
Paru
Inspeksi
Inspeksi keadaan pada paru telah dicakup pada waktu inspeksi dada.
Palpasi
Palpasi dilakukan dengan cara meletakkan telapak tangan serta jari-jari pada
seluruh dinding dada dan punggung dengan palpasi dicari dan ditentukan hal-hal
sebagai berikut:
Simetri atau asimetri toraks, kelainan tasbih (rosary) pada rakitis, setiap
benjolan abnormal, bagian-bagian yang nyeri, pembesaran kelenjar limfe pada aksila,
fusa supraklavikularis, fosa infraklavikularis.
Fremitus suara; pemeriksaan ini mudah dilakukan pada anak yang menangis
atau anak yang sudah dapat diajak berbicara (misalnya disuruh mengatakan “tujuh
puluh tujuh”); dalam keadaan normal akan teraba getaran yang sama pada telapak
tangan yang diletakkan pada kedua sisi dada, kemudian kedua sisi punggung.
Fremitus suara ini meninggi bila ada konsolidasi, misalnya pada pneumonia. Fremitus
akan mengurang apabila terdapat obstruksi jalan napas, atelektasis, pleuritis, efusi
pleura, pleuritis dengan schwarte, serta tumor antara paru dan dinding dada. Bila ada
mukus yang banyak pada saluran napas bagian atas, akan teraba fremitus yang kasar.
Perkusi
Perkusi paru dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni perkusi langsung dan
perkusi tidak langsung. Perkusi langsung dilakukan dengan mengetukkan ujung jari
tengah atau telunjuk langsung ke dinding dada. Cara ini cepat, lembut, akan tetapi
agak sulit dan memerlukan banyak latihan yang lebih sering dikerjakan adalah perkusi
tidak langsung, yang dilakukan dengan meletakkan 1 jari pada dinding dada dan
mengetuknya dengan jari tangan yang lain. Pada bayi dan anak, perkusi tidak boleh
dilakukan terlalu keras, karena dinding dada anak masih tipis dan otot-ototnya masih
kecil, sehingga suara perkusi lebih resonans dibandingkan dengan suara perkusi pada
orang dewasa.
Biasanya perkusi dilakukan mulai dari daerah supraklavikular, kemudian turun
ke bawah, setiap kali satu sela iga, dan tiap kali dibandingkan sisi kanan dan sisi kiri.
Demikian pula perkusi punggung biasanya dilakukan dari atas ke bawah, dan juga
dibandingkan sisi kanan dan kiri.
67
Suara perkusi paru normal adalah sonor. Perkusi untuk menentukan batas
paru-jantung sulit dilakukan pada bayi dan anak kecil. Pada anak yang lebih besar
perkusi yang cermat dapat memberikan informasi besarnya jantung.
Bunyi perkusi yang abnormal dapat berupa; (1) hipersonor atau timpani, yang
terjadi bila udara dalam paru atau pleura bertambah, misalnya emfisema paru atau
pneumotoraks, dan (2) redup atau pekak apabila terdapat konsolidasi jaringan paru
(pneumonia lobaris, atelektasis, tumor) dan cairan dalam rongga pleura.
Auskultasi
Auskultasi paru dilakukan untuk mendeteksi suara napas dasar dan suara
napas tambahan.
Suara napas dasar
Suara napas vesikular. Ini adalah suara napas normal yang terjadi karena udara
masuk dan keluar melalui jalan napas. Suara inspirasi lebih keras dan lebih panjang
daripada suara ekspirasi. Suara napas vesikular melemah terdapat pada penyempitan
bronkus (bronkostenosis), dan setiap keadaan yang menyebabkan ventilasi berkurang,
atau bertambahnya hambatan konduksi suara, atau keduanya. Keadaan tersebut dapat
ditemukan pada pasien pneumonia, atelektasis, edema paru, efusi pleura, emfisema,
pneumotoraks, atau emfisema. Suara vesikular mengeras terdapat pada bertambahnya
ventilasi dan bertambah baiknya konduksi suara, misalnya fase resolusi pneumonia,
konsolidasi paru, serta tumor yang mengantarkan suara lebih baik.
Suara napas bronkial. Pada suara napas ini terdengar inspirasi keras yang
disusul oleh ekspirasi yang lebih keras. Suara napas ini pada keadaan normal hanya
terdengar pada bronkus besar kanan dan kiri, di daerah parasternal atas di dada depan
dan di daerah interskapular di belakang. Bila suara napas bronkial terdengar di tempat
lain, berarti terdapat konsolidasi yang luas, misalnya pada pnuemonia lobaris. Dikenal
pula suara napas subbronkial atau bronkovesikular yang merupakan kombinasi antara
suara antara napas vesikular dan bronkial.
Suara nafas amforik. Suara napas ini sangat menyerupai bunyi tiupan di atas
mulut botol kosong, dapat didengar pada kaverne.
Suara napas tambahan
Suara napas tambahan yang dapat kita dengar dengan auskultasi adalah : 1.
Ronki basah dan ronki kering, 2. krepitasi, 3. bunyi gesekan pleura (pleural friction
rub).
68
Ronki basah (dalam bahasa Inggris disebut rales) adalah suara napas tambahan
berupa vibrasi terputus – putus (tidak kontinu) akibat getaran yang terjadi karena
cairan dalam jalan napas dilalui oleh udara. Perlu dibedakan ronki basah halus (dari
duktus alveolos, bronkiolus, bronkus halus), ronki basah sedang (dari bronkus kecil
dan sedang), dan ronki basah kasar (dari bronkus di luar jaringan paru). Pada ronki
basah halus dan sedang dibedakan pula ronki basahg nyaring dan tidak nyaring.
Ronki basah nyaring berarti nyata benar terdengar, oleh karena suara
disalurkan melalui benda padat (yakni infiltrat atau konsolidasi) ke stetoskop,
sedangkan pada ronki basah tidak nyaring suara ronki disalurkan melalui media
normal (tidak terdapat infiltrate atau konsolidasi). Seringkali ronki basah halus hanya
terdengar pada akhir inspirasi atau pada inspirasi yang dalam. Pada bayi yang
menangis hal ini mudah terdengar, oleh karena antara 2 teriakan tangusan bayi akan
melakukan inspirasi dalam; pada anak besar dapat disuruh inspirasi yang dalam.
Ronki kering (dalam basaha Inggris disebut rhonchi) adalah suara kontinu
yang terjadi oleh karena udara melalui halan napas yang menyempit baik akibat factor
intraluminar (spasme bronkus, edema, lender yang kental, benda asing) maupun factor
ekstraluminar (desakan oleh tumor). Ronki kering lebih jelas terdengar pada fase
ekspirasi daripada fase inspirasi.
Wheezing (mengi) adalah jenis ronki kering yang terdengar lebih musical atau
sonor dibandingkan dengan ronki kering lainnya. Mengi lebih sering terdengar pada
fase ekspirasi. Mengi pada fase inspirasi biasanya menunjukkan obstruksi saluran
napas bagian atas, edema laring atau benda asing, sedang mengi ekspirasi terdengar
pada obstruksi saluran napas bagian bawah seperti asma dan bronkiolitis.
Krepitasi adalah suara membukanya alveoli. Krepitasi normal dapat terdengar
di belakang bawah dan samping pada waktu inspirasi yang dalam sesudah istirahat
telentang beberapa waktu lamanya. Krepitasi patologis terdapat pada pneumonia
lobaris.
Pleural friction rub (bunyi gesekan pleura) terdapat pada pleuritus fibrinosa,
oleh karena pleura biserale dan parietale yang saling bergesakan dengan fibrin di
tengahnya. Suara yang terdengar adalah suara gesekan kasar seolah dekat dengan
telinga, baik pada fase inspirasi maupun ekpirasi (paling jelas pada akhir inspirasi).
Suara gesekan ini biasanya terdengar di bagian bawah belakang paru, jarang terdengar
di apeks paru.
69
Jantung
lnspeksi dan palpasi
Denyut apeks dan aktivitas ventrikel
Denyut apeks, atau iktus kordis, biasanya sulit dilihat pada bayi dan anak
kecil, kecuali pada anak yang sangat kurus atau bila terdapat kardiomegali. Dengan
palpasi iktus kordis dapat ditentukan, meskipun biasanya batasnya tidak sejelas pada
anak besar. Pada bayi dan anak kecil, oleh karena posisi jantung yang lebih
horizontal, iktus kordis dalam keadaan normal terdapat di sela iga ke-4 pada garis
mid-klavikularis kiri atau sedikit lateral. Pada anak berusia 3 tahun ke atas, iktus
kordis terdapat pada sela iga ke-5, sedikit medial dari garis mid-klavikularis kiri. Iktus
kordis paling baik diraba dengan anak duduk, atau sedikit membungkuk.
Getaran bising
Getaran bising (thrill) adalah getaran pada dinding dada yang terjadi akibat
bising jantung yang keras. Perabaan dapat dilakukan dengan ujung – ujung jari II dan
III atau telapak tangan dengan palpasi ringan, meski kadang getaran tersebut teraba
lebih baik dengan palpasi yang agak keras. Getaran bising menandakan terdapatnya
bising jantung yang keras (derajat 4/6 atau lebih), yang biasanya menunjukkan
kelainan organic. Tempat getaran bising adalah sesuai dengan tempat pungtum
maksimum bising.
Perkusi
Pada bayi dan anak kecil perkusi untuk menentukan bentuk dan besar jantung
sulit dilakukan, bahkan dapat memberi informasi yang menyesatkan. Inspeksi dan
palpasi yang cermat untuk menentukan denyut apeks serta aktivitas ventrikel memberi
infurmasi yang lebih baik daripada perkusi untuk menentukan besar jantung.
Auskultasi
Bunyi jantung
Bunyi akibat vibrasi pendek pada siklus jantung disebut bunyi jantung,
sedangkan bunyi akibat vibrasi yang lebih panjang disebut bising jantung.
70
Bunyi jantung I
Bunyi jantung I dianggap terjadi akibat bunyi penutupan katup
atrioventrikular, meski sebenarnya bunyi ini setidaknya terjadi dari 4 kompleks
komponen bunyi pada awal kontraksi jantung. Komponen mitral bunyi jantung I
disebut M1, sedang komponen trikuspid disebut T1. Karena T1 terjadi kira-kira 0,03
detik setelah M1, maka bunyi jantung I terdengar terpecah (split) sempit, praktis
terdengar tunggal.
Pada auskultasi, dinilai intensitas bunyi jantung I (normal, melemah,
mengeras) dan apakah terdapat duplikasi/split. Jangan membuat deskripsi bunyi
jantung ‘murni’, karena pengertiannya yang rancu; apabila tidak ditemukan kelainan,
cukup disebut bunyi jantung I ‘normal’. Bunyi jantung I mengeras pada defek septum
atrium, stenosis mitral, stenosis tricuspid, dan pada keadaan dengan interval P-R yang
pendek. Bunyi jantung I lemah pada insufisiensi mitral dan trukuspid, interval P-R
yang panjang, miokarditis, serta perikarditis dengan efusi pericardium.
Bunyi jantung II
Bunyi jantung II terjadi akibat penutupan katupsemilunar (katup aorta dan
pulmonal). Komponen aorta bunyi jantung II disebut A2, kumponen pulmonalnya
disebut P2. Pada bayi, anak dan dewasa muda, bunyi jantung II split pada inspirasi,
dan terdengar tunggal pada ekspirasi. Fenomena ini dapat diterangkan sebagai
berikut :
Pada inspirasi, akibat tekanan negatif intratorakal yang makin menurun, alir
balik (venous return) dari vena kava superior dan inferior ke jantung kanan
bertambah, sehingga pengisian atrium kanan dan ventrikel kanan bertambah.
Akibatnya waktu ejeksi ventrikel kanan bertambah lama dan penutupan
katup pulmonal (P2) lebih lambat.
Pada inspirasi, resistensi vaskular paru menurun, sehingga kapasitas
pembuluh darah paru untuk menerima darah dari a. pulmonalis bertambah;
hal tersebut menyebabkan tahanan ejeksi ventrikel kanan berkurang sehingga
waktu ejeksi ventrikel kanan bertambah dan penutupan katup pulmonal (P2)
lebih lambat.
Pada waktu inspirasi juga terjadi penumpukan darah di pembuluh vena paru,
sehingga alir balik ke atrium kiri berkurang. Akibatnya waktu ejeksi
ventrikel kiri lebih pendek sehingga A2 terjadi lebih cepat.
71
Akibatnya, pada saat inspirasi A2 maju dan P2 mundur, sehingga bunyi
jantung II jelas terpecah. Pada ekspirasi mekanisme yang sebaliknya terjadi, sehingga
bunyi jantung II terdengar tunggal atau terpecah sempit.
Karakteristik bunyi jantung II pada anak mempunyai arti yang sangat penting.
Dalam keadaan normal harus terdengar bunyi jantung II yang terpecah pada saat
inspirasi; bila bunyi jantung II selalu terdengar tunggal berarti kalup semilunaris
hanya satu, dapat terjadi karena obstruksi jalan keluar ventrikel yang berat atau atresia
(tetralogi Fallot, atresia pulnuonal, atresia aorta), atau malposisi arteri besar.
Seperti halnya dengan bunyi jantung I, maka bunyi jantung II juga
diidentifikasi intensitasnya (normal, melemah, mengeras) serta terpecahnya bunyi
jantung II. Bunyi jantung II terpecah lebar pada beberapa keadaan seperti right bundle
branch block (RBBB), defek septum atrium, stenosis pulmonal sedang, gagal jantung
kanan berat, dilatasi a. pulmonalis, insufisiensi mitral akut, atau defek septum
ventrikel (jarang). Bunyi jantung II terpecah sempit pada hipertensi pulmonal,
biasanya disertai P2 yang keras. Kadang terdengar P2 mendahului A2, disebut
reversed splitting, misalnya pada stenosis aorta, left bundle branch block (LBBB) dan
pada sindrom Wolff-Parkinson-White. Pada keadaan ini maka pecahnya bunyi
jantung II lebih jelas terdengar pada fase ekspirasi, sedangkan pada inspirasi akan
terdengar bunyi jantung II tunggal atau tidak terpecah.
Pada beberapa keadaan P2 terdengar lemah atau tidak terdengar sama sekali
sehingga bunyi jantung II terdengar tunggal pada seluruh siklus pernapasan, baik pada
inspirasi maupun pada ekspirasi. Keadaan ini dapat terjadi pada stenosis pulmonal
berat, tetralogi Fallot, atresia pulmonal, atresia trikuspid, transposisi arteri besar, atau
trunkus arteriosus persiten. Selain pada hipertensi pulmonal, P2 juga keras pada
insufisiensi pulmonal. Pada insufisiensi aorta bunyi jantung II juga terdengar keras
akibat mengerasnya A2, mengawali bising diastolik dini yang bernada tinggi.
72