Download - PRESUS ANESTESI Ragil
PRESENTASI KASUS
_____________________________________________________________________________________
GENERAL ANESTESI PADA LAPAROSKOPI APPENDICTOMI
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi
Di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul
Diajukan Kepada:
dr.K.Trubus, Sp. An.
Disusun Oleh:
Ragil Tribakti Hutomo
(20050310103)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAGIAN ANESTESIOLOGI RS PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2010
1
LEMBAR PENGESAHAN
“GENERAL ANESTESI PADA LAPAROSKOPI APPENDICTOMI”
Telah dipresentasikan dan disetujui di RSD Panembahan Senopati Bantul
Pada tanggal Desember 2010
Mengetahui
Pembimbing dan Penguji
dr.K.Trubus, Sp. An.
2
KATA PENGANTAR
Assalamualauikum, Wr. Wb.
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas hidayah,
rahmat dan anugerahnya, penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan presentasi kasus
berjudul “GENERAL ANESTESI PADA LAPAROSKOPI APPENDICTOMI”, untuk memenuhi sebagian
syarat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Anastesiologi RSD Kabupaten Bantul.
Penulisan kasus ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak. Maka pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terimah kasih kepada :
1. Dr. K. Trubus Sp.An selaku dosen pembimbing dan penguji
2. Perawat di RSD Kabupaten Bantul
3. Adik-adik perawat yang tidak bisa kami sebutkan semua.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan presus ini, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran semoga presus ini dapat menambah pengetahuan bagi
penulis khususnya dan para koas di RSD panembahan Senopati Bantul
Wassalammualaikum Wr.Wb.
Bantul, Des 2010
Penulis
RagilTribhakti Hutomo (20050310103)
3
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AY.
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kragilan – Banguntapan
Agama : Islam
Bangsa : Jawa
B. ANAMNESIS
Keluhan utama: nyeri perut bagian kanan (terutama kanan bawah).
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan sejak kemarin pagi. Pada awalnya
rasa nyeri dirasakan di ulu hati lalu pindah ke daerah sekitar pusar lalu bertambah nyeri
terutama di perut kanan bawah. Pasien merasakan mual, tidak muntah dan nafsu makan
menurun. Pasien mengeluh demam sejak 1 hari yang lalu. BAB terakhir kemarin siang
sebanyak dua kali, tidak diare. Pasien tidak mengeluhkan gangguan BAK, BAK lancar, tidak ada
rasa nyeri pada saat BAK, warnanya kuning seperti biasa, tidak disertai darah. Pasien tidak
mengeluh adanya perubahan pada pola Bab, tidak ada perubahan pada besarnya kotorannya,
pasien juga merasakan puas setelah buang air besar, tidak ada rasa penuh. Riwayat nyeri
serupa sebelumnya (-). Pasien telah dipuasakan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah menjalani operasi. Riwayat alergi obat disangkal. Riwayat asma, maag,
hipertensi, diabetes mellitus dan gangguan ginjal disangkal.
4
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat penyakit jantung, ginjal disangkal. Riwayat asma, hipertensi, diabetes mellitus
disangkal.
Riwayat kebiasaan hidup:
Riwayat merokok dan kebiasaan minum alkohol disangkal. Pasien tidak menggunakan protesa
gigi.
Anamnesis Sistem:
- Sistem saraf pusat : nyeri kepala (-)
- Sistem kardiovaskular : nyeri dada (-) berdebar (-) sesak napas (-)
- Sistem respirasi : sesak napas (-), batuk (-) pilek (-)
- Sistem gastrointestinal : mual (+) muntah (-) BAB (-), nyei perut kanan bawah (+)
- Sistem urogenital : tidak ada gangguan BAK
- Sistem muskuloskeletal : gerakan bebas
- Sistem integumentum : sianosis(-), ikterik (-)
-
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : baik, kesan gizi cukup
Kesadaran : compos mentis, GCS: E4M6V5
Vital Sign: TD : 110/70 mmHg
N : 92 kali/menit
RR : 18 kali/menit
S : 36,6 °C
Berat badan : 63 kg
Tinggi badan : 162 cm
1. Kepala
Bentuk kepala : mesosefal, simetris, deformitas (-), tanda trauma (-)
Rambut : hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut
Nyeri tekan : (-)
Mata : konjungtiva anemi (-/-), sklera ikterik (-/-), radang (-/-)
Hidung : simetris, deformitas (-), sekret (-), darah (-)
5
Mulut : tidak ada gangguan dalam membuka rahang, tampak arkus faring,
uvula dan palatum molle, darah (-), susunan gigi baik
Telinga : nyeri tekan tragus (-), darah (-)
2. Leher
Leher pendek (-), kaku (-)
Trakea : deviasi (-)
Kelenjar tiroid : tidak membesar
Kelenjar limfe : tidak membesar
3. Dada
a. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak kuat angkat
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC IV linea midclavicula sinistra, tidak kuat
angkat
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1-S2 reguler, bising (-)
b. Pulmo
Inspeksi : dinding dada intak, tanda trauma (-), deformitas (-),gerakan
pernapasan simetris tipe torakoabdominal
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, suara tambahan (-)
4. Abdomen
Inspeksi : kulit abdomen intak, jejas (-), sikatrik (-)
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (+)Mc Burney, nyeri tekan lepas (-), tidak teraba massa (-),
hepar dan lien tidak teraba. Psoas Sign (-), Obturator Sign (-) Rovsing Sign(-), Blumberg Sign
(-).
Perkusi : timpani, pekak beralih (-)
5. Anogenital
Tidak dilakukan pemeriksaan anogenital
6
6. Ekstremitas
a. Superior :
tanda trauma (-/-), deformitas (-/-), keterbatasan gerak (-/-), hangat (+/+) pucat (-/-)
b. Inferior :
Dextra : tanda trauma (-), deformitas (-), keterbatasan gerak (-), hangat (+),
pucat (-)
Sinistra : tanda trauma (-), deformitas (-), keterbatasan gerak (-), hangat (+),
pucat (-)
Alvarado Score
Abdominal Pain : 2
AL>10.000 : 2
Vomit :-
Anoreksia :1
Rebound Tend :1
Abd Migrate Pain :1
Suhu > 38,1 :1
N.Segmen >75 : 1
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi (tanggal 2 April 2010 dari RSUD Wirosaban)
Hb : 14,9 gr/dL
AL : 13,8 x103/μL
AT : 265
N.Segmen : 80
Tanggal 3 April 2010 di RSU PKU Muhammadiyah
Hb : 15,1 gr/dL
AL : 10,2 x103/μL
AT : 221
HCT : 45,9
7
CT : 13’
BT : 3’30”
Gol. Darah : B
GDS : 111 mg/dL
HBsAg : negatif
E. DIAGNOSIS KERJA
- Appendicitis Acute
- Status ASA I dengan general anestesi
F. TATALAKSANA
Laparoscopi Appendictomi
1. Preoperatif
Pasien menjalani program puasa selama kurang lebih 6 jam sebelum operasi dimulai.
Keadaan pasien tenang, kooperatif, nadi 88 x/menit, RR 18 x/menit, suhu afebris.
2. Premedikasi
Petidin 100mg IM
Midazolam 5 mg IV
3. Induksi (09.45 WIB)
Propofol 100mg iv
Succinylcholine 50 mg iv
4. Intraoperatif (durasi operasi 90 menit)
Selama operasi berlangsung pasien diobservasi tekanan darah, nadi dan pernapasannya.
Pasien diberi anestesi inhalasi berupa halotane 0,5 %, N2O dan O2. Nadi rata-rata 96 x/menit,
operasi berlangsung selama 90 menit.
Pukul 09.50 : injeksi Attracurium 10mg iv
Injeksi ketorolac 30 mg iv
Injeksi terfacef(seftriakson) 2 gram iv
Pukul 10.20 : injeksi Attracurium 10mg iv
Pukul 10.50 : injeksi Attracurium 10mg iv
Pukul 11.05 : drip Ketorolac dalam RL 500 cc ( analgesic post operatif)
8
5. Recovery
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan diobservasi berdasarkan
Aldrete Score. Jika Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa ada nilai 0 atau Aldrete Score > 9, maka
pasien dapat dipindahkan ke bangsal.
11.15 WIB : Monitor tekanan darah: 114/68 mmHg, nadi 83 kali/menit, saturasi oksigen
99%, observasi dengan Aldrete Score: 9
Kesadaran : sadar, orientasi baik (2)
Pernapasan : napas dalam, teratur (2)
Sirkulasi : baik (2)
Warna : merah muda, SaO2 > 92% (2)
Aktivitas : 4 ekstremitas dapat digerakkan (1)
Program post operasi :
- Awasi vital sign dan kesadaran
- Posisi tidur terlentang tanpa bantal sampai sadar
- Sadar penuh boleh minum secara bertahap
- Lain-lain sesuai dokter bedah
- Emergensi lapor dokter anestesi.
G. KESIMPULAN
- Diagnosis pre-operatif: Appendicities acute
- Diagnosis post-operatif: Appendicities acute
- Status fisik: ASA I
- Jenis operasi: Laparoscopi appendictomi
- Jenis anesthesia: General Anestesi
- Tehnik anesthesia : GETA, induksi iv, intubasi apneu, ET no 7,5, cuff (+), mayo (+), fiksasi (+),
CRCS (Control Respirasi Close system).
9
BAB II
PEMBAHASAN
Pada kasus di atas, akan dilakukan tindakan laparoskopi appendiktomi dengan general anestesi
dan teknik GETA. Dipilihnya jenis anestesi ini dikarenakan pada laparoskopi dengan menggunakan gas
(Insuflasi CO2), jika menggunakan tehnik Regional Anestesi akan menimbulkan rasa tidak nyaman pada
pasien karena iritasi peritoneal langsung yang menimbulkan rasa sakit selama laparoskopi, karena CO2
membentuk asam karbonat saat kontak dengan permukaan peritoneum sehingga menyebabkan rasa
sakit pada pundak. Selain itu selama prosedur laparoskopi pasien biasanya diposisikan tredelenburg
atau reverse tredelenburg, jika menggunakan RA, perubahan posisi ini akan menimbulkan rasa tidak
nyaman pada pasien.1
Pada tindakan laparoskopi diperlukan relaksasi otot (agar organ abdomen tidak keluar dan terjadi
relaksasi) sehingga diperlukan muscle relaxant muscle relaxant ini bekerja pada otot lurik
terjadi kelumpuhan otot pernafasan, otot interostalis, abdominalis, dan relaksasi otot-otot ekstremitas
pasien tidak dapat bernafas spontan, karena otot pernafasan lumpuh perlu control nafas perlu
tehnik anestesi yang menjamin zat anestesi inhalasi serta N2O dan O2 masuk ke trakhea 100% GETA.
Pada kasus di atas, saat premedikasi digunakan petidin dan midazolam. Petidin merupakan
golongan narkotika, dengan sifat analgetik kuat, tujuan diberikan petidin ini untuk mengurangi rasa
nyeri saat pembedahan. Petidin mempunyai durasi yang lebih pendek dari morfin, dan memiliki efek
minimal pada pernafasan. Midazolam merupakan obat penenang (transquilaizer) yang memiliki sifat
antiansietas, sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot skelet. Dosis midazolam yaitu 0,025-0,1
mg/kgBB (5mg/5cc). Dengan awitan aksi iv 30 detik, efek puncak 3-5 menit dan lama aksi 15-80 menit.2
Induksi diberikan Propofol dan succinylcholine. Propofol merupakan suatu obat hipnotik
intravena diisopropilfenol yang menimbulkan induksi anestesi yang cepat dengan aktivitas eksitasi
minimal (contohnya mioklonus). Propofol diberikan dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB (200mg/20cc) dengan
awitan aksi 40 detik, dengan efek puncak 1 menit dan lama aksi 5-10 menit. Succinylcholine merupakan
suatu relaksan otot skelet depolarisasi beraksi ultrapendek. Succinylcholine tidak mempunyai efek
terhadap kesadaran, ambang nyeri atau serebrasi dan tidak mempunyai efek langsung terhadap otot
polos. Dosis iv 0,7-1 mg/kgBB (200mg/10ml) dengan awitan aksi 30-60 detik, efek puncak 60 detik dan
lama aksi 4-6 menit.2
10
Saat durante operasi diberikan atracurium dan ketorolac. Atrakurium merupakan relaksan otot
skelet nondepolarisasi (long acting), diberikan sebagai obat relaksasi otot dengan mula kerja yang cepat.
Relaksasi otot ini dimaksudkan untuk :
Membuat relaksasi otot selama berlangsungnya operasi.
Menghilangkan spasme laring dan refleks jalan napas atas selama operasi.
Memudahkan pernapasan terkendali selama anestesi.
Dosis rumatan 0,1-0,2 mg/kgBB intravena. Awitan aksi <3 menit, efek puncak 3-5 menit dan lama
aksi 20-3 menit. Sehingga setelah 30 menit diberikan injeksi atracurium, sebagai rumatan.
Ketorolac merupakan obat antiinflamasi non steroid(NSAID) memperlihatkan aktivitas analgesik,
antiinflamasi dan antipiretik. Ketorolac menghambat sintesis prostaglansin dan dapat di anggap
sebagai analgesik yang bekerja secara perifer. Digunakan sebagai analgesik selama laparoskopi
berlangsung.2
Maintenance
a) N2O dan O2
N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan
memanaskan ammonium nitrat sampai 240°C.
NH4 NO3 → 2H2O + N2O (reaksi dalam suhu 240°C)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar,
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal
25 %.Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan
sebaagainya.3
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu 60% :
40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesic digunakan dengan perbandingan
20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila
digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan
timpanoplasti. 3
11
b)Halothane
Halothane mempunyai sifat hipnotik kuat, relaksasi cukup, namun analgetik kurang baik.
Halothane mempunyai keunggulan tidak merangsang saluran nafas, salvias tidak banyak,
bronkodilator serta waktu pemulihan cepat. Halothane mempunyai MAC 0,87%.1
Pada kasus ini, respirasi dikontrol dengan menggunakan ventilator. Dan menggunaan system close,
ini berarti halothane + O2 + N2O yang dihirup pasien, lalu di ekspirasi menjadi CO2 dan diikat oleh
sodalime( CaCO3) menghasilkan H2O+O2+panas. Lalu bersama halothane + O2 + N2O, O2 yang
dihasilkan dari reaksi CO2 dan sodalime kembali dihirup oleh pasien lagi.1
Setelah operasi selesai, diberikan Ketorolac per drip sebagai obat analgetik untuk menghilangkan
rasa sakit pasca operasi.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management. Lippincott Williams
and Wilkins, USA. 2001
2. Omoigui, sota. 1997. Buku saku obat-obatan anestesia. Jakarta:EGC
3. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill. New York.
2006.
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan memasukkan gas
CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera,
sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.1
Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus puasa
empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya mengempis. Sebelum
puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah
sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna.1
Penggunaan gas CO2 pada laparoskopi adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah
terbakar, tidak membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari paru-
paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur,
dan pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2 cukup,
konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir. Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini
menyebabkan . CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan sel darah merah, oleh karena
itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan
sakit pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui
batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi,
takikardi, vasodilatasi pembuluh darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.2
Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan karena insisi yang kecil
dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu dan sedikit
kemungkinan terjadi atelektasis setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi pencernaan pasien
pulih lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali beraktivitas.
Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.3
Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung
karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah
secara cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan
cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur precordial, transesofugeal
echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat secara sementara kemudian turun
kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan insuflasi CO2, hiperventilasi dengan 100% O2 dan
13
resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side up dan memasang kateter vena central untuk aspirasi
gas.3
Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau prosedur laparoskopi
meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema
subkutan bisa terjadi, volume tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai level tinggi dan
terdapat krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal serius lain adalah pneumothorak,
jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau insisi yang dibuat sewaktu pembedahan atau
dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak selalu harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika
insuflasi dihentikan.3
Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi
Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani prosedur
laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO2.
Insuflasi CO2 ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang
bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan tekanan
intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga curah jantung menjadi turun
sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien bisa merubah respon ini. Pada saat posisi
tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu mencolok dibandingkan posisi
anti tredelenburg.3
Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO2 memegang
peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama beberapa menit dimana kenaikan CO2
biasanya mencapai 30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu
operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi untuk terjadi disritmia
dan respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari
pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan
penurunan pulmonary compliance dan kapasitas residu fungsional serta peningkatan dead space.3
Manajemen Anestesi pada Laparoskopi
Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain : umur, jenis kelamin,
status fisik, jenis operasi, ketrampilan operator dan peralatan yang dipakai, ketrampilan/kemampuan
pelaksana anestesi dan sarananya, status rumah sakit, dan permintaan pasien. Saat ini sekitar 70-75 %
operasi pada rumah sakit, dilakukan di bawah anestesi umum (general anesthesia). Operasi sekitar
14
kepala, leher, dada, dan abdomen sangat baik dilakukan dengan anestesi umum inhalasi dengan
pemasangan pipa endotrakheal, sejak diketahui bahwa dengan metode ini jalan nafas dapat dikontrol
dengan baik sepanjang waktu.4
Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena iritasi yang mengenai
diafragma dari insuflasi CO2. bisa menyebabkan sakit pada pundak, ditambah lagi waktu penyembuhan
untuk pengembalian fungsi yang lengkap bisa lama. Dengan lidocaine dosis rendah dan teknik spinal
opioid, salah satu studi menemukan bahwa nyeri pasca operasi setelah laparoskopi ginekologi lebih
sedikit dibandingkan dengan general anestesi dengan desflurane.4
Evaluasi Preoperasi
Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien selama prosedur
laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru
berat dan gangguan fungsi jantung.3
Manajemen Intraoperatif.
Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum dengan menggunakan
monitor standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive dan kapnografi penting untuk mengikuti efek
hemodinamik dan pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi tertentu,
monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan monitor tekanan arteri secara
invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang
menurun. Sama halnya dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri
paru atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung
atau hipertensi paru.4
Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur laparoskopi,
seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk memasukkan obat secara intravena yang adekuat
adalah kunci dari resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau
emboli gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan vena perifer.4
Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa endotrakeal.
Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai dapat mengurangi
tekanan udara lambung, menurunkan resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama
operasi. Pada saat tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal
15
dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk mencegah hipoksemia dan
untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yang diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan
perubahan posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana ketika carina
bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga memasang pipa
endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa
endotrakeal pada pasien.4
Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid intravena, dan obat
pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari selama prosedur
laparoskopi karena ini akan meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi. Penggunaan
klinis N2O ini masih menjadi perdebatkan.4
Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg atau Reverse
Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari dengan mengamankan dan membantali
seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi,
biasanya butuh penyesuaian.4
Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan anestesi
umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan hemodinamik.
Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali CO2
ini, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume tidal yang
tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur bedah diubah menjadi prosedur
bedah terbuka. 4
Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur laparoskopi. Jika
tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat
ditambahkan dengan pemberian obat seperti nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek tackikardi,
berpotensi untuk menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau calcium channel blocker. Pengobatan
dengan alpha agonist seperti clonidine atau dexmedetomidine adalah strategy lain (alpha agonist dapat
menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi inhalasi, berpotensi menjadi bradikardi). Walaupun
pasien yang sehat dapat mentoleransi perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung
yang buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaan monitor
secara invasif (arterial line, central line, transesofageal ochocardiografi) selama prosedur berlangsung.4
Manajemen Pasca Operasi
16
Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45 menit setelah
prosedur selesai.1 Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu
mencapai 42%.7 Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari
prosedur, sisa dari pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal
maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi metoclopramide,
ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual dan muntah pasca operasi dapat
dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan mempertimbangkan pemberian propofol untuk
anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada saat
pasien akan pulang juga diperlukan.4
Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit dibandingkan
dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik harus menghilangkan nyeri yang bisa
terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali
sebelum atau selama prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfine) dalam
kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur. Infiltrasi
dari anestesi lokal, seperti bupivacaine pada port sites kulit dan peritoneum memblock nyeri somatik
dan visceral.4
Analgesik pasca operasi dilanjutkan dengan pemberian opioid intravena secara intermiten atau
medikasi nyeri peroral. Pada beberapa pasien bisa dilakukan dengan pemasangan sebuah kateter
epidural untuk manajemen nyeri pasca operasi.3
DAFTAR PUSTAKA
17
2. Anonynim, Laparoskopi Cikal Bakal Bedah Masa Depan available:
http://www.kompas.com/LaparoskopiCikalBakalBedahMasaDepan.asp (Accessed: 2008,
January 22)
3. Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management. Lippincott
Williams and Wilkins, USA. 2001
4. Cole, D.J., Schlunt, M., Adult Perioperative Anesthesia: The Requisites in Anesthesiology.
Mosby. 2004
5. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill.
New York. 2006.
18