Download - PRESUS ANESTESI Wisnu Tonsilitis
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
PRESENTASI KASUS
IDENTITAS
Nama lengkap : An. Y.RUmur : 7 tahunJenis kelamin : Laki lakiAlamat : YogyakartaMasuk RS tanggal : 29 Februarit 2016Bangsal : Bugenville kelas I
Preceptor : dr. Basuki Rahmat Sp.An Ko-asisten : Septian Wisnu Sewaka
I. DATA SUBJEKTIF (Autoanamnesis 29 februari 2016 PUKUL 17.00 WIB) DI
BANGSA L BUGENVILLE
A. Keluhan Utama: Nyeri tenggorokan
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak usia 7 tahun datang dengan keluhan tidur ngorok dan nyeri tenggorokan.
Nyeri tenggorokan dirasakan sudah 1 tahun hilang timbul, kadang disertai demam.
Keluhan sesak (-) batuk (-) mual (-) muntah (-) pusing (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan serupa (-)
2. Riwayat asma (-)
3. Alergi obat dan atau makanan/minuman (-)
4. Riwayat mondok (-)
5. Riwayat operasi sebelumnya (-)
D. Riwayat Penyakit pada keluarga
1. Riwayat keluhan serupa (-)
2. Riwayat asma atau alergi (-)
3. Riwayat hipertensi, DM (-)
E. Anamnesis Sistem
Sistem SSP : demam (-), pusing (-)
Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
Sistem respirasi : nyeri telan (+) sesak nafas (-), batuk (-), pilek (-)
Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), diare (-), sembelit (-)
Sistem urogenital : nyeri berkemih (-)
RM 01
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
Sistem integumentum : pucat (-), kuning (-), bengkak-bengkak (-)
Sistem muskuloskeletal : gerakan otot dan tulang bebas (+), nyeri sendi/otot (-).
II. DATA OBJEKTIF ( 29 Februari 2016 PUKUL 17.00 WIB) DI BANGSA L
BOUGENVILE
A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum : baik, compos mentis
2. Tanda Utama : Nadi : 96 x/menit, isi & tegangan cukup, teratur, simetris
Suhu : 36,OC (axila)
Pernapasan : 20 x/menit, tipe thorakoabdominal
3. Antropometri :
TB : 135
BB : 25
4. Pemeriksaan Umum
a. Kulit: sianosis (-), pucat (-), ikterik (-), rash (-)
b. Otot: eutrofi (+), tonus baik (+), tanda radang (-), kekuatan : 5/5/5/5
c. Tulang: tanda radang (-), deformitas (-)
d. Sendi: tanda radang (-), gerakan bebas (+)
5. Pemeriksaan Khusus dan Status Interna
a. Kepala: mesosefal, rambut: hitam, tidak mudah dicabut
- Mata: CA -/-, SI -/-, edema palpebra -/-
- Hidung: rhinorea -/-, epistaksis -/-
- Sinus: tanda peradangan (-)
- Mulut: mukosa bibir basah (+), stomatitis (-), gusi berdarah (-), hiperemis
faring (-), tonsil hipertrofi (+)
- Telinga: ottorea - /-, tragus pain - / -
b. Leher
Simetris (+), pembesaran limfonodi (-), pembesaran kelenjar gondok (-),
pembesaran massa (-), peningkatan JVP (-),
RM 02
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
c. Thorak
Cor Pulmo
Inspeksi:- Iktus kordis tidak tampak
Inspeksi:- Bentuk dada simetris (+) N- Nafas thorakoabdominal (+)- Ketinggalan gerak (-)- Retraksi (-)
Palpasi:- Ictus kordis tidak teraba
Palpasi:- Fremitus suara hemithorak dextra =
sinistra (+)- Pergerakkan dada kesan simetris
Perkusi:- Batas jantung tidak mengalami
pergeseran
Perkusi:- Sonor pada semua lapang paru,- Pemeriksaan batas paru hepar SIC V
Auskultasi:- Suara jantung:
S1 - S2 reguler, bising jantung (-), gallop (-)
Auskultasi:- Suara paru: Suara dasar vesikuler +/+,
suara tambahan -/-.
d. Abdomen
- Inspeksi: tanda peradangan (-)
- Auskultasi: peristaltik usus (+) normal, metalic sound (-)
- Perkusi: timpani (+), nyeri ketok ginjal (-), undulasi (-)
- Palpasi: supel (+), nyeri tekan suprapubik (-), hepar/lien ttb, balotement (-),
massa ttb
e. Ekstremitas
Pemeriksaan Superior InferiorDextra/Sinistra Dextra/Sinistra
Perfusi akral Hangat HangatPulsasi a. Brachialis +/+, kuatPulsasi a. Dorsalis Pedis +/+, kuatKekuatan 5/5 5/5Reflek fisiologis +/+, N +/+, N
c. Anogenital: tidak dilakukan.
RM 03
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
6. Status Anestesi
a. Airway: jalan nafas bersih, buka mulut > 3 jari, gigi palsu (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-).
b. Breathing: suara dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-, sesak (-), ekspansi
paru simetris (+)
c. Circulation: nadi 96 x/menit, s1-s2 reguler, bising (-), gallop (-), akral hangat nadi
kuat dengan CRT < 2’’
d. Disability: GCS E4V5M6, Kesadaran kompos mentis, KU: baik
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 29 Februari 2016 pukul 12.30 WIB
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
UNIT
HEMATOLOGILeukosit 18,7 4.0-10 10e3/ulEritrosit 4,69 4.00-5.50 10e3/ulHemoglobin 13,4 11.0-16.0 gr/dlHematokrit 40,4 32-44 %MCV 86,2 81-99 FlMCH 28,6 27-31 PgMCHC 33,1 33-37 Gr/dlTrombosit 438 150-450 10e3/ulDifferential Telling MikroskopisNeutrofil% 68,0 50-70 %Lymposit% 24,6 20-40 %Monosit% 2,0 3-12 %Eosinofil% 5,1 0,5-5,0 %Basofil% 0,3 0-1 %Neutrofil# 12,74 2-7 10e3/ulLymposit# 4,61 0,8-4 10e3/ulMonosit# 0,39 0,12-1,2 10e3/ulEosinofil# 0,94 0,02-0,50 10e3/ulBasofil# 0,06 0-1 10e3/ulGolongan Darah ARhesus Positif (+)Masa Perdarahan 2’00” <6Masa Penjendalan 8’10” <12KIMIA
RM 04
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
Glukosa Darah Sewaktu 91 70-140 mg/dl
III. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis klinis : Sinusitis kronis
2. Status anestesi : ASA I
IV. PLANNING DAN PERSIAPAN PRE-OPERASI
a. Puasa 10 jam sebelum induksi anestesi
b. Planning anestesi : digunakan general anestesi dengan penguasaan jalan nafas
menggunakan ETT
V. STATUS ANESTESI (INTRAOPERASI) tanggal 1 Maret 2016
Nama : An. Y.R
Umur : 7 tahun
Bangsal/ kelas : Bugenville kelas I
Diagnosis Pra-Bedah : Tonsilitis Kronis
Diagnosis Pasca Bedah: Post tonsilektomi ec tonsillitis kronis
ASA : I
Ahli anestesi : dr. Ardi Pramono. Sp. An
Ahli bedah : dr. Indera Istiadi, Sp.THT
Perawat anestesi : Yadi
Pemeriksaan Fisik :
- Vital sign Nadi : 96x/menit
Suhu : 36oC
Respiration rate : 20 x/menit
- Berat badan : 25 kg
- Jantung dan Paru : BJ regular, bising (-), ronkhi -/-, wheezing -/-
Jenis anestesi: General Anesthesia
- Premedikasi Fentanyl 25 mcg
- Induksi: Propofol 100 mg
- Pemeliharaan: O2, N20, Sevo
RM 05
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
Teknik penguasaan jalan nafas : ETT
Ijin Operasi : (+)
Tanggal Operasi : 1 maret 2016
Jenis Operasi : Tonsilektomi
GDS : 91 mg/dl
Obat-obat :
- Ondansentron 4 mg
- Tamoliv 250 mg
- Ketoprofen suppository
Jumlah Cairan
Infus:
Maintenance : 25 x 2 cc = 50 cc/ jam
Puasa: 10 jam pengganti puasa : 10 (jam) x 50 cc = 1250 cc/jam
Stres operasi sedang: 6 cc/kgBB/jam 6 x 25 = 150 cc/jam
Pada jam I : 50% (1250) + 50 + 150 = 835 cc/jam
Pada jam II/III : 25%(1250) + 50 = 362,5 cc/jam
Instruksi Pasca Bedah
a. Infus : RL 20 tpm
b. Antibiotika : Amoxicillin syr 250 mg / 8 jam
c. Analgesika : Paracetamol syr 250 mg / 8 jam
d. Anti muntah : Ondansentron 4 mg (k/p)
e. Posisi pasien : Supine
f. Roborantia : Awasi KU, vital sign, balance cairan dan perdarahan.
g. Lain-lain : -
VI. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
RM 06
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
VII. PEMBAHASAN
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatine.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring
yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk
terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi
saluran napas dan hipertrofi tonsil.
a. Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi.
b. Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat.
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis.
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik β-laktamase resisten.
c. Kontraindikasi
Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
A. Persiapan Praoperasi
a. Penilaian Praanestesia
Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses evaluasi/penilaian
klinis yang dilakukan sebelum melaksanakan pelayanan anestesi baik untuk prosedur
bedah maupun nonbedah. Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter
ahli anestesia dan terdiri dari :
Anamnesis dan Evaluasi rekam medic
RM 07
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam mengetahui
riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang diderita pasien. Terutama
adanya infeksi saluran pernapasan atas yang dapat mengganggu manajemen anestesi.
Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk
mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang mungkin akan dihadapi dokter
anestesi yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisi-
kondisi tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping data dari rekam
medik.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk feasibility
intubasi, evaluasi paru-paru, jantung dan catatan mengenai tanda vital pasien.
Penilaian praanestesia dilakukan sebelum pelaksanaan operasi.
B. Teknik Anestesi
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi
kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter
anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi
umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan
tujuan untuk pendidikan.
a. Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:
Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik.
Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi.
Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau obat-obatan
yang dibutuhkan.
Menyediakan rapid emergence.
b. Premedikasi
Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat pemberian obat
premedikasi dilakukan setelah pasien berada di bawah pengawasan dokter/perawat terlatih.
RM 08
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
Anak-anak dengan riwayat sleep apneu atau obstruksi saluran napas intermitten atau
dengan tonsil yang sangat besar harus lebih diperhatikan.
c. Anestesi Umum
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia eter
tidak boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan kauter/diatermi. Teknik
anestesi yang dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini saturasi
oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol
dengan mudah. Dokter ahli anestesi serta perawat anestesi walaupun berada di luar
lapangan operasi namun masih memegang kendali jalan napas.
Anestesi dengan endotrakeal tube
Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor ECG
(bila tidak ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur tekanan
darah dipasang di lengan dan infus dextrose 5% atau larutan Ringer dipasang di tangan.
Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan dengan
halotan. Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial, infus
menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.
Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan dengan halotan atau
sevoflurane dengan oksigen dan nitrous oxide. Kehadiran orangtua di ruang operasi
selama induksi inhalasi bisa membantu menenangkan anak yang gelisah.
Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu dengan
pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya darah ke
dalam trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah di daerah
supraglotik tepat di atas pita suara dan sekitar endotrakeal tube.
Selama maintenance, pernapasan dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan sekresi di lapangan
operasi.
Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction),
dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang pharyngeal
airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup. Ekstubasi dapat dilakukan bila
pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah terjagabebas (intact protective airway
RM 09
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
reflexes).32 Ekstubasi juga dapat dilakukan saat pasien masih dalam anestesi dalam.
Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa mengurangi risiko batuk dan laringospasme
pada saat ekstubasi.
Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih rendah
daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah mengumpul di
sekitar pipi dan mudah dihisap keluar. Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi
adalah sebesar 60% sehingga dapat diberikan antiemetik sebagai pencegahan.
Anastesi dengan LMA
Laryngeal Mask Airway (LMA) sebagai pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA
dibanding ETT adalah berkurangnya risiko stridor postoperasi. Obstruksi saluran napas
postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi cara ini memerlukan perhatian khusus seperti:
Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan positif akan
meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan jalan napas besar dan
compliance paru rendah.
Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil. LMA harus
dilepaskan sebelum pasien sadar kembali. Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi
harus ditimbang juga dengan risiko yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan
harus berdasarkan pertimbangan per individu.
d. Pengamatan selama operasi
Selama operasi yang harus dipantau jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak
mengganggu operasi. Pernapasan dan gerak dada cukup, Saturasi oksigen di atas 95%,
denyut nadi yang teratur, jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus yang masuk.
e. Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit).
Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri
dengan posisi kepala lebih rendah dan mendongak.33 Pasien diobservasi selama beberapa
waktu di ruang pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan
efektivitas biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi
sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi secara
tepat sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum
pasien dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama minimal 6 jam untuk
RM 010
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
mengawasi adanya perdarahan dini. Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse
oximetry, pola dan frekuensi respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah
dan suhu. Frekuensi pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering
dilakukan setiap 15 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.
f. Perawatan postoperasi
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara jelas
menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan
postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan
secara bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan
intravena diteruskan sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai
intake oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah
operasi dan bisa dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara
adekuat, muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam
keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering hanya
berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat
menunjang keputusan tersebut.
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi randomized
oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya nyeri dan bau
mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah
antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per
oral. Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau
memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada pasien
dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang
berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu juga bisa
menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien harus
dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi keluhan
pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.
g. Komplikasi anestesi
RM 011
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan
adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan status
kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan
henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi
Pada pasien ini dilakukan tonsilektomi atas indikasi absolut yaitu pembengkakan tonsil yang
menyebabkan obstruksi sehingga terjadi gangguan tidur dan nyeri telan. Sebelum melakukan
operasi ada beberapa hal yang harus dilakukan terlebih dahulu, yaitu menilai kondisi pasien
praanastesi. Pada penilaian praanastesi dilakukan anamnesis untuk mengetahui riwayat
kesehatan pasien. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya permasalahan pada jalan nafas yang
dapat menimbulkan kesulitan dalam anastesi. Sedangkan hasil pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan airway, breating dan circulation tidak ditemuakan kelainan. Pada pemeriksaan
penunjang darah rutin tida ditemukan kelainan. Setelah menilai keaadaan pasien praanastesi
selanjutnya menentukan teknik anastesi yang akan dilakukan. Teknik anastesi dipilih
berdasarkan beberapa hal, yaitu jenis operasi, lokasi operasi, usia, kondisi kesehatan pasien,
serta ketersediaan alat dan ketrampilan anastesi. Pada pasien ini jenis operasi yang akan
dilakukan adalah tonsilektomi, yang lokasinya di leher (jalan nafas) dan pada pasien anak anak,
sehingga teknik anastesi yang akan dilakukan adalah general anastesi (intravena dan inhalasi)
dengan manipulasi jalan nafas menggunakan ETT yang dimasukan melalui hidung. Teknik ini
adalah teknik yang direkomendasikan karena dapat menjaga jalan nafas tetap bebas. Selain itu
ETT juga dapat meningkatkan saturasi oksigen dan memudahkan dalam mengontrol obat
anastesi. Pada pasien ini sebelum dilakukan induksi dengan obat intravena, dilakukan induksi
dengan obat inhalasi terlebih dahulu. Hal ini dilakukan sebagai pertimbangan bahwa pasien
adalah anak anak yang kemungkinan akan kurang kooperatif saat dilakukan induksi intravena.
Pada pasien ini tidak dilakukan general anastesi dengan manipukasi jalan nafas menggunakan
LMA karena akan mengganggu kenyaman operator dalam melakukan tindakan bedah. Selain
RM 012
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
itu pemasangan LMA akan sulit dilakukan pada pasien dengan pembesaran tonsil dan
menimbulkan efek regurgitasi yang lebih besar. Selama operasi berlangsung dilakukan
monitoring vital sign, saturasi oksigen, jumlah perdarahan dan jumlah cairan yang masuk.
Setelah operasi selesai pasien dibaringkan menghadap ke kiri dengan posisi kepala lebih rendah
dan agak mengongak. Observasi pasien dilakukan setelah 6 jam post operasi. Pemberian
analgetik dan antibiotik sesuai dengan indikasi.
VIII. KESIMPULAN
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatine. Terdapat 2
indikasi dilakukannya tonsilektomi yaitu indkasi absolut dan indikasi rekatif. Selain itu terdapat
pula kontraindikasi tonsilektomi seperti gangguan perdarahan, anemia, infeksi akut yang berat.
Pada persiapan preoperasi dimulai dengan penilaian praanastesi yang meliputi anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Teknik anastesi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan
keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat
anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum. Alat bantu yang
dapat digunakan untuk mempertahan jalan nafas saat melakukan anatesi antara lain dengan
pemasangan ETT atau dengan LMA. Selama operasi dimulai amati tanda tanda vital, saturasi
oksigen harus diatas 95%, jumlah perdarahan serta jumlah cairan yang masuk. Setelah operasi
selesai maka lakukan observasi minimal 6 jam, pastikan tidak terjadi komplikasi pasca operasi
Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi respirasi,
frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Pemberian antibiotik ataupun
analgesik dapat diberikan sesuai dengan indikasi.
RM 013
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
DAFTAR PUSTAKA
1. Brodsky L and Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Bailey. Head and neck
surgery-otolaryngology. Philadelphia. 2001:980-91
2. Williams PJ, Bailey PM. Comparison of the reinforced laryngeal mask airway and tracheal
intubation for adenotonsillectomy. Br J Anaesth 1993;70:30-3.
3. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ. Anaesthesia
for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal intubation and the armoured laryngeal
mask airway. Can J Anaesth 1993;40:1171-7.
Yogyakarta, 10 Maret 2016
Preceptor,
dr. Basuki Rahmat, Sp. An
RM 014