Download - Presus selulitis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang dinyatakan dengan
adanya hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan, disfungsi dan kerusakan beberapa
organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Suyono, 2007).
Sebagian besar gambaran patologik Diabetes Melitus (DM) dapat dihubungkan
dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu: (1)Berkurangnya pemakaian
glukosa oleh sel-sel tubuh, mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah hingga
300-1.200 mg/dL; (2)Peningkatan metabolisme lemak, menyebabkan terjadinya metabolisme
lemak abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah sehingga
timbul gejala aterosklerosis; dan (3)Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh (Soegondo,
2005).
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit dengan konsentrasi gula darah tinggi
dalam darah (hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut.
Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolisme
glukosa yang terganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan
mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen dan
kira-kira 30–40% diubah menjadi lemak. Pada penderita DM semua proses terganggu,
glukosa tidak dapat ke dalam sel, sehingga energi terutama diperoleh dari metabolisme
protein dan lemak (Soegondo, 2005).
Hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali apabila berlebihan sehingga
darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Kondisi yang berbahaya adalah
glukosuria karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis meningkat disertai
hilangnya berbagai elektrolit. Hal ini menyebabkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada
penderita Diabetes Melitus (DM) yang tidak diobati. Karena adanya dehidrasi, maka tubuh
berusaha mengatasi dengan banyak minum (polidipsia). Badan kehilangan empat kalori untuk
setiap gram glukosa yang diekskresi. Sedangkan, polifagia timbul karena perangsangan pusat
1
nafsu makan di hipotalamus oleh kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu (Soegondo,
2006).
Saat ini angka kejadian Diabetes Melitus (DM) diperkirakan akan terus meningkat.
Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi
5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun (Subekti, 2004). Diabetes Melitus (DM) sering
disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang tidak ditangani dapat mengakibatkan
berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi komplikasi akut dan kronik (Supartondo dan
Waspadji, 2003).
Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari
orang dewasa. Negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat
menonjol, seperti di Singapura, kekerapan DM sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun
yang lalu. Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
kekerapan DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di
Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6% (Suyono, 2007).
Gaya hidup mempengaruhi kejadian Diabetes Melitus (DM), di mana penelitian yang
dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayu
putih adalah 5,69%, sedangkan di daerah rural di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995,
angka kejadian sekitar 1,1%. Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok
didapatkan pevalensi DM Tipe 2 sebesar 14.7%, di Makassar prevalensi DM terakhir tahun
2005 yang mencapai 12.5% (Soegondo, 2006).
Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86-138%.
Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya (Suryono Slamet, 2006) :
a. Faktor demografi : 1) Jumlah penduduk meningkat
2) Penduduk usia lanjut betambah banyak
3) Urbanisasi makin tak terkendali
b. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi
2) Restoran siap santap
3) Teknologi canggih menimbulkan sedentary
2
life, kurang gerak badan
c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang sangat sering
dijumpai di Indonesia. Semakin hari angka kesakitannya semakin meningkat. Dengan referat
ini diharapkan dapat menambah pemahaman pembaca tentang Diabetes Melitus (DM) serta
dapat berguna bagi panduan untuk tatalaksana penyakit metabolik yang paling sering di
jumpai di masyarakat Indonesia.
3
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.S
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl.Kalimantan III B2 Perumnas III Jakarta
Tanggal masuk RS : 18 Maret 2013
Tanggal anamnesis : 21 Maret 2013
No. CM : 007408
II. DATA DASAR
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 21 Maret 2013 pukul 13.00 WIB.
Keluhan Utama : kaki kanan bengkak kemerahan sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang perempuan usia 52 tahun datang dari poliklinik Penyakit Dalam
RSPAD dengan keluhan kaki kanan bengkak kemerahan, nyeri, dan demam. Riwayat
trauma/luka disangkal. Pemakaian sepatu/sandal sempit disangkal. Jalan tanpa alas kaki
juga disangkal. Pasien juga mengeluhkan kakinya kesemutan dan sedikit baal. Selain itu
pasien juga mengeluhkan pandangannya sedikit berkurang. Pasien menyangkal pernah
melahirkan anak dengan berat >4kg.
Pasien sudah menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Semenjak saat
itu pasien mulai merasakan keluhan frekuensi BAK yang meningkat (> 8x) terutama saat
malam hari dan mengganggu tidur, pasien merasakan mudah haus dan meminum air yang
lebih banyak dari biasanya, frekuensi makan yang meningkat pada pasien dan pasien juga
mengatakan semenjak menderita DM pasien mengalami penurunan berat badan 9-10
kg. Pasien rutin kontrol berobat untuk mengontrol DM. Pasien rutin mengkonsumsi obat
4
diabetes yang termasuk golongan sulfonylurea 3x100 mg/ hari. Pasien juga mempunyai
riwayat hipertensi 2 tahun yang lalu. Berobat rutin dengan tekanan darah rata-rata 150
mmHg.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Diabetes Melitus : tahun 2003
Riwayat Hipertensi : tahun 2011
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya : ada
Riwayat Hipertensi : tidak ada
Riwayat Diabetes Mellitus : ada
Riwayat Penyakit Jantung : tidak ada
Riwayat Alergi : tidak ada
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 21 Maret 2013 pukul 13.00 WIB
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 84 x/menit, isi dan tekanan cukup, teratur
Frekuensi nafas : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,5 °C
Berat badan : 62 kg
Tinggi badan : 160 cm
IMT : 20.33
Status gizi : Normoweight
5
Status Generalisata
Kulit : Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada
hematom, suhu raba normal, turgor kulit baik, ulkus
dekubitus (-)
Kepala&rambut : Normocephal, rambut hitam dengan beberapa rambut
putih, distribusi merata, tidak mudah dicabut & tidak
mudah rontok.
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera tidak ikterik, kedudukan
bola mata simetris, pupil bulat isokor, diameter 3 mm,
lensa keruh -/-, reflek cahaya positif, edema palpebra
tidak ada
Telinga : Normotia, liang telinga lapang, discharge tidak ada,
serumen (+/+)
Hidung : Bentuk normal, tidak terdapat deviasi septum maupun
sekret hidung, tidak ada nafas cuping hidung.
Mulut & gigi : Mukosa mulut basah, lidah tidak kotor, bibir tidak kering,
tidak tampak sianosis.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil TI – TI tenang.
Leher : Simetris, JVP 5-2 cm, trakea lurus ditengah, kelenjar tiroid
tidak teraba membesar, kelenjar getah bening tidak teraba
membesar, tidak ada kaku kuduk.
Thorak : Bentuk normal (Normochest), simetris saat statis dan
dinamis, spider nervi tidak ada
Paru
- Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tidak tampak retraksi
supraklavikula dan interkostal, tidak ada pelebaran vena,
tidak tampak sikatriks.
6
- Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri simetris.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas dasar vesikuler pada kedua lapang paru,
ronkhi tidak ada , wheezing tidak ada..
Jantung :
- Inspeksi : Iktus Cordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus Cordis tidak kuat angkat, teraba pada sela iga V
Linea Midclavicula Sinistra.
- Perkusi : Batas kanan jantung : sela iga IV linea sternalis dextra.
Batas kiri jantung : sela iga V linea midclavicula
Sinistra.
Batas pinggang jantung : sela iga III linea sternalis sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
- Inspeksi : Datar, tidak tampak benjolan, sikatriks maupun venektasi.
- Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba pembesaran, ballotement tidak ada, turgor kulit baik
- Perkusi : Tympani pada seluruh lapang abdomen. Shifting dullness
tidak ada.
- Auskultasi : Bising usus ada, normal
Ekstremitas : Telapak tangan tidak sianosis dan hangat. Kaki kanan
tampak kemerahan, palmar eritem (+/+), CRT <2”, pulsasi
arteri dorsalis pedis dextra masih baik. kekuatan motorik
kaki kanan dan kiri baik.
Edema : terdapat edema pada kaki kanan
7
Refleks fisiologis
Refleks patela
Reflek achilles
Sensibilitas
Nyeri
Tekan
Raba
Kanan Kiri
(+) (+)
(+) (+)
Kanan Kiri
(+) (+)
(+) (+)
(+) (+)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium di RSPAD Gatot Soebroto :
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
18-03-2013 21-3-2013
Hematologi
Hematologi rutin
Hemoglobin 9,8 g/dl 9,9 g/dl 13 – 18 g / dL
Hematokrit 29 30 40 – 52 %
Eritrosit 3,4 3,4 4.3 – 6.0 juta / µL
Leukosit 13600 14300 4.800 – 10.800 / µL
Trombosit 305000 311000 150.000 – 400.000 /
µL
Hitung jenis
Basofil 0 0 0 – 1%
Eosinofil 2 1 1 – 3%
Batang 3 3 2 – 6%
Segmen 74 77 50 – 70%
Limfosit 17 15 20 – 40%
Monosit 4 4 2 – 8%
MCV 86 89 80 – 96 fL
MCH 29 29 27 – 32 pg
MCHC 34 32 32 – 36 g/dL
8
RDW 12,30 12,60 11.5 – 14.5 %
Kimia Klinik
Bilirubin total 0,43 Tidak diperiksa < 1.5 mg / dL
Fosfatase alkali 125 Tidak diperiksa
SGOT ( AST ) 16 Tidak diperiksa < 35 UL
SGPT ( ALT ) 16 Tidak diperiksa < 40 UL
Protein total 7,5 Tidak diperiksa 6 – 8,5 g/dL
Albumin 3,1 Tidak diperiksa 3.5 – 5.0 g/dL
Globulin 4,4 Tidak diperiksa 2.5 – 3.5 g/dL
Ureum 25 Tidak diperiksa 20 – 50 mg/dL
Kreatinin 0,8 Tidak diperiksa 0,5 – 1,5 mg/dL
Gula darah sewaktu
Glukosa darah Puasa
Glukosa 2 jam PP
317
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
432
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
< 140 mg/dL
70-100 mg/dl
<140 mg/dl
Natrium ( Na) 137 Tidak diperiksa 135 – 147 mmol/L
Kalium ( K ) 3,5 Tidak diperiksa 3,5 – 5,0 mmol/L
HbA1c 9,1 Tidak diperiksa
Klorida ( CL ) 98 Tidak diperiksa 95 – 105 mmol /L
Urinalisis Tidak diperiksa
PH 8,0 Tidak diperiksa 4,6 – 8,0
Berat Jenis 1.015 Tidak diperiksa 1.010 – 1.030
Protein +/positif 1 Tidak diperiksa Negatif
Glukosa +++/positif 3 Tidak diperiksa Negatif
III. RESUME
Pasien seorang perempuan usia 62 tahun datang dari poliklinik Penyakit Dalam
RSPAD dengan keluhan kaki kanan bengkak kemerahan, nyeri, dan demam sejak 3 hari
9
SMRS. Pasien juga mengeluhkan kakinya kesemutan dan sedikit baal. Selain itu pasien
juga mengeluhkan pandangannya sedikit berkurang.
Pasien sudah menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Semenjak saat
itu pasien mulai merasakan keluhan frekuensi BAK yang meningkat (> 8x) terutama saat
malam hari, pasien merasakan mudah haus dan meminum air yang lebih banyak dari
biasanya, frekuensi makan yang meningkat pada pasien dan pasien juga mengatakan
semenjak menderita DM pasien mengalami penurunan berat badan 9-10 kg. Pasien
rutin kontrol berobat untuk mengontrol DM. Pasien rutin mengkonsumsi obat diabetes
yang termasuk golongan sulfonylurea 3x100 mg/ hari.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
kompos mentis, dengan tekanan darah 140/ 90 mmHg, frekuensi nadi 84 x / menit,
respirasi rate 20 x / menit dan suhu 36,5 °C. pada pemeriksaan fisik didapatkan dalam
kaki kanan kemerahan dan edema.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil, Gula darah sewaktu 317 mg/dl
IV. DAFTAR MASALAH
Diabetes melitus tipe II dengan selulitis pedis dextra
V. PENGKAJIAN
Diabetes melitus tipe II
• Anamnesis
Pasien menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Semenjak saat itu pasien
mulai merasakan keluhan frekuensi BAK yang meningkat (> 8x) terutama saat malam hari
dan mengganggu tidur, pasien merasakan mudah haus dan meminum air yang lebih banyak
dari biasanya, frekuensi makan yang meningkat pada pasien dan pasien juga mengatakan
semenjak menderita DM pasien mengalami penurunan berat badan 9-10 kg.
• Pemeriksaan fisik
Edema dan kemerahan pada kaki kanan
• Pemeriksaan Laboratorium
Glukosa darah sewaktu 317 mg/dl
Selulitis pedis dextra
• Anamnesis
10
Pasien mengeluhan kaki kanan bengkak kemerahan, nyeri, dan demam sejak 3 hari
SMRS. Riwayat trauma/luka disangkal.
• Pemeriksaan fisik
Edema dan kemerahan pada kaki kanan
Assesment : Diabetes Melitus tipe 2 dengan selulitis pedis dextra
Penatalaksanaan
Rencana diagnostik:
- Cek GDS serial, Hba1c
Rencana terapi:
- NaCl 0,9 % / 500 cc / 24 jam
- Noverapid 3x5IU 5-5-5
- Captopril 2x25
- Paracetamol 3x500mg
- Ceftriaxone 2x2gr
- Diet lunak 1700 kkal / hari
Rencana edukasi :
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit tersebut. Dan memberikan
edukasi untuk mengikuti pola makan sehat, meningkatkan kegiatan
jasmani/aktivitas fisik, pengobatan yang sesuai dan rutin, serta melakukan
pemantauan melalui pemeriksaan secara berkala
FOLLOW UP
Tanggal Pemeriksaan
21 Maret 2013 S: nyeri kaki berkurang
O:
TD 140/80mmHg,
Nadi 84x/’
11
RR 18x/’
T 360C
KU/KES : TSS/ CM
Pemeriksaan fisik Dalam batas normal
Pemeriksaan Laboratorium GDS 157 mg/dl
GDP 161 mg/dl, GD 2pp 231 mg/dl
A: DM tipe 2 dengan selulitis pedis dextra
P :
NaCL 0,9% 1000 cc/ 24 jam
Novorapid 3x12IU
Lantus 1x10IU
Captopril 3x25mg
Metronidazol 3x500mg
PCT 3x500mg
Ceftriaxone 2x2gr
Diet DM lunak 1900 kkal/hari
22 Maret 2013 S: -
O:
TD 150/100mmHg
Nadi 84x/’
RR 18x/’
T 36,50C
KU/ KES : TSS/ CM
Pemeriksaan Fisik dalam batas normal
A : DM tipe 2 dengan selulitis pedis dextra
P:
NaCL 0,9% 1000 cc/ 24 jam
Novorapid 3x12IU
Lantus 1x12IU
Captopril 3x25mg
Metronidazol 3x500mg
PCT 3x500mg
Ceftriaxone 2x2gr
12
Diet DM lunak 1900 kkal/hari
DIAGNOSA AKHIR
Diabetes mellitus tipe II dengan selulitis pedis dextra
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
ANALISA KASUS
PEMBAHASAN DIAGNOSIS
13
1. Diabetes Mielitus Tipe II
Pada Diabetes Tipe II terjadi mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor
genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
Gejala atau keluhan klasik DM :
Sering berkemih/kencing (poliuria),
Sering atau cepat merasa haus/dahaga (polidipsia),
Lapar yang berlebihan (polifagia),
Gejala lain :
Kehilangan berat badan yang tidak jelas penyebabnya
Kesemutan/mati rasa pada ujung saraf di telapak tangan dan kaki
Cepat lelah dan lemah
Mengalami gangguan penglihatan secara tiba-tiba
Pada pasien ini didapatkan keluhan kaki bengkak kemerahan, terasa nyeri, dan
demam sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mempunyai riwayat diabetes sejak 10 tahun yang lalu
dengan diawali gejala-gejala klasik DM dan pasien mengaku rutin minum obat diabetes 3x
100 mg setiap hari. Dari pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Glukosa darah sewaktu 317 mg/dl.
PEMBAHASAN TATALAKSANA
14
1. Diabetes Mielitus Tipe II
Pemicu sekresi insulin
Penambah sensitivitas terhadap insulin
Penghambat glukoneogenesis
Penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Pada perawatan pasien diberikan obat Novorapid 3 x 12IU dan Lantus 1x10IU.
Novorapid adalah insulin aspart, termasuk insulin kerja singkat, mulai kerja 30 menit sampai
puncaknya 1-3 jam dan bertahan sampai 7-8 jam. Lantus adalah jenis insulin yang digunakan
untuk mengontrol tingkat gula darah penderita diabetes selama 24 jam. Hal ini juga disebut
sebagai insulin kerja Panjang. Nama generik Lantus adalah glargine insulin.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
15
2.1.1 GAMBARAN UMUM DIABETES MELITUS
Meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus (DM) di beberapa negara berkembang,
akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak diamati.
Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar,
menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koronner
(PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Suyono, 2007).
Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif (Sudoyo Aru, 2006).
Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor, tetapi
merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). DM
dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada jaringan target
(disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya). Penurunan
kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
pada jaringan termasuk hati (Sudoyo Aru, 2006).
2.1.2. EPIDEMIOLOGI
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling sering
ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat ini angka
kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia
menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih
dari 15 tahun (Subekti, 2004).
Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang
tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi
komplikasi akut dan kronik (Supartondo dan Waspadji, 2003).
Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6%
dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan
diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia. Dengan demikian kita dapat
membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnis tertentu dengan
16
kelompok etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju
pertumbuhan eknominya sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu (Subekti,
2004).
Dari data ini dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama peningkatan
kemakmuran suatu bangsa akan meningkatkan terjadinya Diabetes melitus (DM).
Tabel 1:
Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap Diabetes terbanyak pada penduduk
dewasa di seluruh dunia 1995 dan 2025
Urutan Negara 1995
(juta)
urutan Negara 2025
(juta)
1 India 19,4 1 India 57,2
2 Cina 16,0 2 Cina 37,6
3 Amerika
Serikat
13,9 3 Amerika
Serikat
21,9
4 Federasi
Russia
8,9 4 Pakistan 14,5
5 Jepang 6,3 5 Indonesia 12.4
6 Brazil 4,9 6 Federasi
Russia
12,2
7 Indonesia 4,5 7 Meksiko 11,7
8 Pakistan 4,3 8 Brazil 11,6
9 Meksiko 3,8 9 Mesir 8,8
10 Ukraine 3,6 10 Jepang 8,5
Semua
negara lain
49,7 103,6
Jumlah 135,3 300
Sumber : Subekti, 2004
Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, terjadinya DM di Indonesia berkisar
antara 1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat
Semarang, 2,3 % dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di
daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji
menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari dari
17
orang-orang yang datang dengan suarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari
segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan prevalensi di
Manado tinggi karena prevalensi di Filipina juga tinggi, yaitu sekitar 8,4%-12% di daerah
urban dan 3,85-9,7% di daerah rural.
Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM
tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir tahun 2005 mencapai
12,5%(Supartondo dan Waspadji, 2003).
Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86-138%.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global seperti disebutkan di atas, maka
dengan demikian dapat dimingerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam 1 atau 2 dekade
yang akan datang kekerapan Diabetes Melitus (DM) di Indonesia akan meningkat dengan
drastis.
Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya
(Suryono Slamet, 2006):
a. Faktor demografi : 1) Jumlah penduduk meningkat
2) Penduduk usia lanjut betambah banyak
3) Urbanisasi makin tak terkendali
b. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi
2) Restoran siap santap
3)Teknologi canggih menimbulkan sedentary
life, kurang gerak badan
c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih
panjang.
2.1.3. ETIOLOGI
18
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin
adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan
ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Gustaviani, 2006).
Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis Diabetes Melitus (DM).
Sel β pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar
glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi kelelahan
sel β pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan adanya kadar
glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus (Gustaviani,
2006).
2.1.4. PATOFISIOLOGI
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak.
Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik.
Energi pada ”mesin” tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari,
yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam
sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses
kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut
metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting
yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai
bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas
(Suyono, 2007).
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang disebabkan
oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang
disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA)
menyebabkan hancurnya sel beta (Suyono, 2007).
19
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.
Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada
keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin)
banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan
sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh
darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin (Suyono, 2007).
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-
faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007) :
Obesitas terutama yang berbentuk sentral
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Kurang gerak badan
Faktor keturunan (herediter)
2.1.5. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi),
sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan
yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada
jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka
sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).
20
Perjalanan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama.
Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang
perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.
Tabel 2.
Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun
Keadaan klinis saat
diagnosis
Berat Ringan
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau
tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau
normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin
Sumber : Suyono S, 2007
2.1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan
setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO)
(Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan kadar glukosa darah.
Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 – 12 jam
sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan
21
seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan harus
dihabiskan dalam waktu 15 – 20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk
pemeriksaan glukosa 2 jam PP (Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan dilakukan dengan cara darah disentrifugasi untuk mendapatkan
serumnya, kemudian diperiksa kadar gula darahnya. Bila pemeriksaan tidak langsung
dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik
(gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang
rendah palsu. Ini sangat penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat
menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan akan
menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita Diabetes Melitus (DM)
(Gustaviani Reno, 2006).
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi,
enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode
glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase (Gustaviani Reno, 2006).
a. Metode GOD, akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk
reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang
bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.
b. Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan
presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang
digunakan spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM),
digunakan kriteria dari consensus perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun
1998.
Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)
Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic
antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutomic acid
decarboxylase (anti-GAD) (Gustaviani Reno, 2006).
a. Islet cell cytoplasmic antibodies (ICA) bereaksi dengan antigen yang ada di
sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pancreas. ICA menunjukkan adanya
kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya
penyakit ke arah Diabetes Melitus (DM) tipe 1.
22
b. antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) adalah enzim yang
dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmitter g-aminobutyric acid (GAB).
Anti GAD ini bias teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3
petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala Diabetes Melitus
(DM) muncul.
Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes Melitus (DM) tipe
2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indicator yang baik
untuk fungsi sel beta, juga bias digunakan untuk memonitor respons individual setelah
operasi pancreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pancreas atau
transplantasi sel-sel pulau pancreas (Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan untuk pemantauan Diabetes Melitus (DM)
Untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan adalah kadar
gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta
pemeriksaan fruktosamin (Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini
memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan
ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau
terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin
(Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa
dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini
diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan irevarsibel (Gustaviani
Reno, 2006).
Metode pemeriksaan HbA1C ; ion-exchange chromatography, HPLC (high
performance liquid chromatography), electroforesis, Immunoassay (EIA), Affinity
Chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri (Gustaviani Reno, 2006).
23
a. Metode Ion Exchange Chromatography, harus dikontrol perubahan suhu reagen
dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari buffer, Interferens yang mangganggu adalah
adanya Hbs dan HbC yang bias memberikan hasil negatif palsu.
b. Metode HPLC (high performance liquid chromatography), prinsip sama dengan
ion exchange chromatography, bias diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan
presisi yang baik sekali. Metoce ini juga direkomendasikan menjadi metode
referensi.
c. Metode elektroforesis, hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya
kurang dibanding HPLC, HbF memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion,
pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.
d. Metode immunoassay (EIA), hanya mengukur HbA1C tidak mengukur HbA1C yang
labih maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.
e. Metode Affinity Chromatography, non-glycated hemoglobin serta bentuk labih
dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi
suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode
ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil
pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.
f. Metode Kalorimentri, waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak
dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu
lama, sample besar, dan satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu
m mol/L.
Interpertasi hasil pemeriksaan HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa
darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa
darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya) sejak
3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat : pemberian Therapi lebih intensif untuk
menghindari komplikasi
(Gustaviani Reno, 2006).
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol) : 4%, 5,9%.(6) Jadi, HbA1C
penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya,
penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali
(Gustaviani Reno, 2006).
24
2.1.7. DIAGNOSIS DIABETES MELITUS
Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006).
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan pemeriksaan
penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau
tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka
yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan
dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif (Sudoyo Aru, 2006).
25
Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu
Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes
Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT
(Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien
dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara
menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2002).
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko DM
sebagai berikut (PERKENI, 2002) :
1. Usia ≥ 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m², yang disertai dengan faktor
risiko:
- Kebiasaan tidak aktif
- Turunan pertama dari orang tua dengan DM
- Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4 kg, atau riwayat DM
gestasional
- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg)
- Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL
- Menderita Policictic Ovarial Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin
- Adanya riwayat TGT atau GDPT sebelumnya
- Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
26
Tabel 3.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM
(mg/dl)
Bukan DM Belum pasti
DM
DM
Kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dl)
Plasma vena < 110 110-199 > 200
Darah
kapiler
< 90 90-199 > 200
Kadar glukosa darah
puasa (mg/dl)
Plasma vena < 110 110-125 > 126
Darah
kapiler
< 90 90-199 > 110
Sumber : Soegondo S (2005)
catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Langkah-langkah Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Tolerangi
Glukosa
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada
keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah
sewaktu ³ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan
27
kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl juga digunakan utnuk patokan diagnosis DM
(Sudoyo Aru, 2006).
Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus (DM), hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ³
200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ³ 200 mg/dl (Sudoyo Aru, 2006).
Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2002) :
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum
air putih diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 15 menit
Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
Tabel 4.
Kriteria diagnostik diabetes melitus* dan gangguan toleransi glukosa
28
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl
Atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ³ 126 mg/dl
Atau
3. Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO**
Sumber : PERKENI, 2002
* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat,
seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun
cepat.
** Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar
glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga
dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.
2.1.8. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006).
Tujuan penatalaksanaan
A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas
dan maortalitas dini DM.
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2006)
29
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan
gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus
(PERKENI, 2006)
I. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
- Perjalanan penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- Penyulit DM dan risikonya
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
- Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau
insulin serta obat-obatan lain
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur
- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)
- Pentingnya perawatan diri
30
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
II. Terapi gizi medis (TGM)
- Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai target terapi
- prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
Karbohidrat
- Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
- Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat
tinggi
- Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi
- Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan yang
sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti jumlah besar
gula misalnya pada minuman ringan dan permen
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari
Lemak
- Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori
- Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal
31
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole
milk)
- Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty Acid),
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
Protein
- Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan energi
- Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu, tempe
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg
BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi
Garam
- Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg
atau sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur
- Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada
mereka yang hipertensi
Serat
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari, diutamakan serat larut
Pemanis
- Batasi penggunaan pemanis bergizi
- Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi.
Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori basal
32
sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada
beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi adalah
sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm – 100) x 1 kg
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI – 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Penentuan status gizi dapat digunakan
BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.
BB ( Kg )
IMT =
TB ( M2 )
Klasifikasi IMT :
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB lebih ≥ 23,0
Dengan risiko 23,0 – 24,9
Obes I 25,0 – 29,9
Obes II ≥ 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
33
Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk dekade
antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan dikurangi
20 % untuk usia diatas 70 tahun
Aktifitas fisik atau pekerjaan
Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20 %
pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas sedang, dan 50 %
dengan aktifitas sangat berat
Berat badan
- Bila kegemukan dikurangi 20 – 30 % bergantung pada tingkat
kegemukan
-Bila kurus ditambah 20 – 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB
-Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000 – 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 – 1600 kkal / hari untuk
pria
34
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % )
serta 2 – 3 porsi makan ringan ( 10 – 15 % ) diantaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap
disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
III. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang
sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace training ).
- Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh
: bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan jogging
tanpa istirahat.
- Rytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi dan
berelaksasi secara teratur.
- Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan
cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.
- Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan
sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate
Maksimum Heart Rate = 220-umur
- Endurance
35
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan
(jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai
memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas,
didampingi oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus
membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam
pengobatan, dan memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut
nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :
DNM = 220 – Umur ( dalam Tahun )
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 – 4 kali
seminggu selama ± 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas – malasan.
IV. Terapi Farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006).
1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
36
(Sudoyo Aru, 2006) :
A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis : metformin
D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α
A. Golongan Insulin Secretagogues
Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi
sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
1) SULFONILUREA
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun
1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan
diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi
gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi
kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan
sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila
sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi
penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran
dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca
intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul
yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk
pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat
ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana
kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang
lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat
37
diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan
kadar glukosa darah yang cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya
dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2
minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila glukosa darah
puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya
diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada
obat yang diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi
atau pada makan makanan porsi terbesar.
2) GLINID
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai
struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin)
kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat
dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali
sehari.
B. Golongan Insulin Sensitizing
1) BIGUANID
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak
dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu
metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk
extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk
menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau
pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-
hati pada orang usia lanjut.
38
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa
oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa
di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan
mencapai kadar tertingi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam
keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan
menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik,
tetapi obat antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi
yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat
menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tuggal masing-
masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis
rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak
awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom
Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang
kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tungal metformin atau
sulfonylurea sampai dosis maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien
gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan
sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Penelitian
lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding
dengan insulin saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan
dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan
monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat
anti diabetik lain.
39
2) GLITAZONE
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk
meningkatkan sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione)
merupakan agonist peroxisome proliferators-activated receptor gamma (PPAR)
yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target
kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada
organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan
kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi setelah
1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh
berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal
atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55
mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone
juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis
tunggal. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas I – IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidakdigunakan
sebagai obat tunggal.
C. Penghambat Glukoneogenesis
1) METFORMIN
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer. Terutama
dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien – pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
40
D. Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja
di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh
pada kadar insulin. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung
dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran
pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan,
metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas
enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat
dan sebagian besar diekskresi melalui feses.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:
a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet,
karena lama kerjanya 24 jam).
c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada
insulin.
e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
Tabel 5
Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C
( Hb-glikosilat )
Golongan Cara kerja utama Efeksamping utama Penurunan A1C
41
Sulfonilurea
Meningkatkan
sekresi insulin
BB naik,
hipoglikemia1,5 – 2 %
Glinid
Meningkatkan
sekresi insulin
BB naik,
hipoglikemia1,5 – 2 %
Metformin
Menekan produksi
glukosa hati &
menambah
sensitifitas terhadap
insulin
Diare, dyspepsia,
asidosis laktat
1,5 – 2 %
Penghambat
glukosidase α
Menghambat
absorpsi glukosa
Flatulens, tinja
lembek0,5 – 1,0 %
Tiazolidindion
Menambah
sensitifitas terhadap
insulin
Edema
1,3%
Insulin
Menekan produksi
glukosa hati,
stimulasi
pemanfaatan glukosa
Hipoglikemia, BB
naikPotensial sampai
normal
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006
Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30 menit sebelum makan
Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan
42
Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat
Acarbose : bersama suapan pertama makan
Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
Tabel 6
Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia
Golongan Generik Mg/tab Dosis
harian
Lama
kerja
Frek/hari Waktu
Klorpropamid 100-250 100-
500
24-36 1
Glibenklamid 2,5 – 5 2,5 - 15 12-24 1 – 2
Sulfonilurea Glipizid 5 – 10 5 – 2- 10-16 1 – 2 Sebelum
Glikuidon 30 30 -
120
6 - 8 2 – 3 makan
Glimepirid 1,2,3,4 0,5 - 6 24 1
Glinid Repaglinid 0,5,1,2 1,5 - 6 - 3
Nateglinid 120 360 - 3
Tiazolidindion Rosiglitazon 4 4 - 8 24 1 Tdk
bergantung
Pioglitazon 15,30 15 - 45 24 1 jadwal
makan
Penghambat
glukosidase α
Acarbose 50-100 100-
300
3 Bersama
suapan
pertama
Biguanid Metformin 500-850 250-
3000
6-8 1-3 Bersama/
sesudah
makan
43
Sumber : Sudoyo Aru, 2006
2. INSULIN (Sudoyo Aru, 2006)
Insulin diperlukan pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
- Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
- Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
- Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
- Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
- Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
- Insuln campuran tetap ( premixed insulin )
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
- Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin
-
Table 7
Insulin di Indonesia
Nama Buatan Efek puncak Lama kerja
44
Cepat
Actrapid
Humulin-R
Novo Nordisk (U-40&U-100)
Eli Lilly (U-100)
2-4 jam 6-8 jam
Menengah
Insulatard
Monotard Human
Humulin-N
Novo Nordisk (U-40&U-100)
Novo Nordisk (U-40&U-100)
Eli Lilly (U-100)
4-12 jam 18-24 jam
Campuran
Mixtard 30
Humulin-30/70
Novo Nordisk (U-40&U-100)
Eli Lilly (U-100)
1-8 14-15
Panjang
Lantus
Bentuk Penfill untuk
Bentuk Penfill untuk
Bentuk Penfill untuk
Aventis
Novopen 3 adalah :
Actrapid Human 100
Insulatard Human 100
Maxtard 30 Human 100
Humapen Ergo adalah :
Humulin-R 100
Humulin-N 100
Humulin-30/70
Optipen adalah :
Tidak ada 24 am
45
Lantus
Sumber : PERKENI, 2006
Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan
kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka obat hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja
(PERKENI, 2006)
2.1.9. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
(Sudoyo Aru, 2006).
I. Penyulit akut
46
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus
ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka
kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
II. Penyulit menahun
1. Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
3. Neuropati
2.1.10. PENGENDALIAN DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM
yang baik yag merupakan sasaran terapi. DM terkndali baik, apabila kadar glukosa darah
mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah (Sudoyo Aru, 2006).
Tabel 8
Kriteria pengendalian DM
Baik Sedang Buruk
GD puasa 80 – 109 110 - 125 ≥ 126
GD 2 jam pp 80 – 144 145 - 179 ≥ 180
47
A1C < 6,5 6,5 – 8 >8
Kolesterol total < 200 200 - 239 ≥ 240
LDL < 100 100 - 129 ≥ 130
HDL >45
Trigliserida < 150 150 - 199 ≥ 200
IMT 18,5 – 22,9 23 - 25 >25
Tekanan darah < 130/80 130 – 140 / 80 - 90 >140/90
Sumber : Sudoyo Aru, 2006
2.1.11. PROGNOSIS
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang
normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan kemungkinan untuk
meninggal lebih cepat( Mansjoer, 2001).
2.2 SELULITIS
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi menyebar ke
dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis.1 Infeksi ini biasanya didahului luka atau trauma
dengan penyebab tersering Streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Pada
anak usia di bawah 2 tahun dapat disebabkan oleh Haemophilus influenza, keadaan anak akan
tampak sakit berat, sering disertai gangguan pernapasan bagian atas, dapat pula diikuti
bakterimia dan septikemia.3 Terdapat tanda-tanda peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti
eritema, teraba hangat, dan nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala sistemik seperti
demam dan peningkatan hitungan sel darah putih.4 Selulitis yang mengalami supurasi disebut
flegmon, sedangkan bentuk selulitis superfisial yang mengenai pembuluh limfe yang
disebabkan oleh Streptokokus beta hemolitikus grup A disebut erisepelas. Tidak ada
perbedaan yang bersifat absolut antara selulitis dan erisepelas yang disebabkan oleh
Streptokokus.1
48
Sebagian besar kasus selulitis dapat sembuh dengan pengobatan antibiotik. Infeksi
dapat menjadi berat dan menyebabkan infeksi seluruh tubuh jika terlambat dalam
memberikan pengobatan.
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus aureus dan
Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah
Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang
jarang pada selulitis.6 Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak disebabkan oleh
Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus diabetikum dan
ulkus dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif dan
gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur eksternal maupun
hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan barrier kulit, sedangkan pada
imunokopromais lebih sering melalui aliran darah (buku kuning). Onset timbulnya penyakit
ini pada semua usia.
Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua bentuk
ditandai dengan kemerahan dengan batas tidak jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran
perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan
demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai
limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi lokal
(flegmon, nekrosis atau gangren).
49
Deep thrombophlebitis, dermatitits statis, dermatitis kontak, giant urticaria, insect bite
(respons hipersensitifitas), erupsi obat, eritema nodosum, eritema migran (Lyme borreliosis),
perivascular herpes zooster, acute Gout, Wells syndrome (selulitis eosinofilik), Familial
Mediterranean fever-associated cellulitis like erythema, cutaneous anthrax, pyoderma
gangrenosum, sweet syndrome (acute febrile neutrophilic dermatosis), Kawasaki disease,
carcinoma erysipeloides merupakan beberapa diagnosis banding dari selulitis
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada
pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi tidak meninggi, batas tidak
jelas, edema, infiltrat dan teraba panas, dapat disertai limfangitis dan limfadenitis. Penderita
biasanya demam dan dapat menjadi septikemia.(7)
Selulitis yang disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit berat, toksik dan sering
disertai gejala infeksi traktus respiratorius bagian atas bakteriemia dan septikemia.(6) Lesi
50
kulit berwarna merah keabu-abuan, merah kebiru-biruan atau merah keunguan. Lesi kebiru-
biruan dapat juga ditemukan pada selulitis yang disebabkan oleh Streptokokus pneumonia
Pada pemeriksaan darah tepi selulitis terdapat leukositosis (15.000-400.000) dengan hitung
jenis bergeser ke kiri.(7)
Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G 600.000-2.000.000 IU IM
selama 6 hari atau dengan pengobatan secara oral dengan penisilin V 500 mg setiap 6 jam,
selama 10-14 hari. Pada selulitis karena H. Influenza diberikan Ampicilin untuk anak (3
bulan sampai 12 tahun) 100-200 mg/kg/d (150-300 mg), >12 tahun seperti dosis dewasa.
Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan staphylococcus aureus penghasil
penisilinase (non SAPP) dapat diberi penisilin. Pada yang alergi terhadap penisilin, sebagai
alternatif digunakan eritromisin (dewasa: 250-500 gram peroral; anak-anak: 30-50
mg/kgbb/hari) tiap 6 jam selama 10 hari. Dapat juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450
mg/hari PO; anak-anak 16-20 mg/kgbb/hari). Pada yang penyebabnya SAPP selain
eritromisin dan klindamisin, juga dapat diberikan dikloksasilin 500 mg/hari secara oral
selama 7-10 hari. (6)
BAB V
KESIMPULAN
Diabetes mellitus adalah gangguan endokrin kronis yang ditandai oleh gangguan
semua jenis metabolisme pada latar belakang kekurangan insulin absolut atau relatif. Faktor
utama timbulnya DM adalah karena gaya hidup yang tidak sehat, seperti makan makanan
yang mengandung kalori tinggi dan kurang berolah raga. Meskipun faktor keturunan
berkontribusi, tetapi DM tidak akan muncul bila tidak ada faktor pencetus, yakni gaya hidup
yang tidak sehat. Gangguan metabolisme yang terjadi dengan diabetes, negatif
mempengaruhi keadaan organ internal, yang mengapa diabetes mellitus sering berkembang
dalam keadaan seperti nefropati diabetik. Salah satu konsekuensi dari penyakit ginjal diabetes
adalah anemia yang terjadi pada kebanyakan pasien dengan penyakit ini.
51
Karena DM bisa menimbulkan berbagai komplikasi terutama seperti selulitis pedis,
maka pengobatan DM harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa spesialis yang terkait
dengan komplikasi DM seperti jantung dan pembuluh darah, ginjal, mata dan syaraf.
Pemeriksaan fungsi ginjal, status metabolik dan lemak dalam darah harus dilakukan secara
berkala. 70% orang yang mengalami cuci darah karena gagal ginjal adalah penderita DM.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gustaviani Reno. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1857-1859.
2. Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran ed III jl I. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta : 2001
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta: 2002; hal 1-19
52
4. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe
2 Di Indonesia. Semarang: 2006.
5. Powers C Alvin. Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th. Medical Publishing
Division Mc Graw-Hill. North America: 2005.
6. Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jl 2. Perhimpunan Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: 2005; Hal 1974-80.
7. Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; Hal 1860-3.
8. Subekti I (2004). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 217-23.
9. Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
10. Supartondo, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2003; hal 375-7.
11. Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14
12. Yunir Em, Soebardi Suharko. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
2006; 1864-7.
53