Download - Presus TON
PRESENTASI KASUS
HALAMAN SAMPUL
TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY (TON)
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Syaraf Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh
Tegar Jati Kusuma 20100310220
Diajukan Kepada :
dr. Kurdi Sp.S
BAGIAN ILMU SYARAF
RSUD SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY (TON)
Disusun Oleh:
Tegar Jati Kusuma 20100310220
Disetujui oleh:
Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Syaraf
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
dr. Kurdi Sp. S
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
BAB I RANGKUMAN KASUS 1
A. Identitas Pasien 1
B. Anamnesis 1
C. Pemeriksaan Fisik 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
A. TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY 8
B. VERTIGO 19
C. EPIDURAL HEMATOMA 24
BAB III PEMBAHASAN 29
BAB IV KESIMPULAN 31
DAFTAR PUSTAKA 32
iii
BAB I
RANGKUMAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Bapak M.
Usia : 31 tahun
Alamat : Mekarsari 12/3 Kalibeber Mojotengah
Pekerjaan : Buruh
No. CM : 638161
B. Anamnesis
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami kecelakaan 11 hari SMRS. Pasien terluka pada bagian
pelipis kiri dan mendapat perawatan jahit luka. Saat kejadian pasien tidak
sadar selama +14 jam. Saat itu pasien dirawat di RSUP Semarang. Saat
sadar pasien mengeluh pusing berputar dan pandangan mata kirinya kabur.
Pasien menolak dilakukan operasi.
Sekarang pasien datang dengan keluhan kepala pusing berputar dan
pandangan mata kiri yang belum membaik. Keluhan dirasa saat berubah
posisi dari tidur ke berdiri atau posisi miring. Keluhan berkurang jika
pasien tiduran. Pasien tidak mual, tidak muntah, tidak sesak, tidak nyeri
perut, dan tidak mengalami kelemahan anggota gerak. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
1
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Kejang (-), penglihatan kabur (-), vertigo (-), trauma (-), hipertensi (-), DM
(-)
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Kejang (-), penglihatan kabur (-), vertigo (-), trauma (-), hipertensi (-), DM
(-)
4. Riwayat Sosial
Pasien memiliki riwayat merokok namun saat sakit pasien tidak merokok
lagi. Semenjak sakit pasien tinggal dengan ibu dan saudara kandungnya.
5. Anamnesis Sistem
Sistem Cerebrospinal : pusing berputar
Sistem Indra : pandangan mata kiri kabur
Sistem Cardiovaskuler : tak ada keluhan
Sistem Respirasi : taka da keluhan
Sistem Pencernaan : tak ada keluhan
Sistem Urogenital : taka da keluhan
Sistem Integumentum : luka pada pelipis kiri
Sistem Muskuloskeletal : taka da keluhan
C. Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan Generalisata
1. Kesadaran : kompos mentis
2. GCS : E4V5M6
3. Orientasi : Waktu, tempat, situasi, orang baik
4. Memori : Jangka panjang dan pendek baik
5. Kemampuan bicara : normal
6. Intelegensi : baik
2
7. Vital Sign
a) TD : 110/70 mmHg
b) HR : 92x/menit, regular, isi tegangan cukup.
c) RR : 24x/menit
d) Suhu : 37ºC
8. Kulit : warna sawo matang, kelembaban baik
9. Kepala : simetris, rambut hitam.
10. Mata : reflek cahaya (+/-), pupil isokor (3mm/3mm),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
oedema palpebra (-/-)
11. Hidung : bentuk normal, sekret (-/-)
12. Telinga : sekret (-/-)
13. Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor (-), uvula di
tengah, tonsil T0 –T0 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
14. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar, kaku kuduk (-)
15. Thorax : retraksi (-)
16. Pulmo : I = pengembangan dada kanan sama dengan kiri
P = fremitus raba dada kanan sama dengan kiri
P = sonor/sonor
A = Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)
17. Cor : I = ictus cordis tampak di SIC V Linea midclavicularis sinistra
P = ictus cordis kuat angkat
P = batas jantung kesan tidak melebar
A = Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
18. Abdomen : I = dinding perut sejajar dinding dada
A = bising usus (+) normal
P = timpani
P = supel, nyeri tekan (-) pada regio epigastrica, hepar
permukaan licin, sudut lancip, konsistensi lunak, ukuran
tidak membesar, lien tidak teraba.
3
19. Ekstremitas:
akral dingin edema Kekuatan otot
555 555
555 555
Tonus di keempat ekstremitas normal
Tidak ada clonus
Trofi di keempat ekstremitas normal
Reflek fisiologis normal
Reflek patologis negatif
b) Pemeriksaan neurologis
1. Nervus Cranialis
Nervus I Tidak keluhan penciuman
Nervus II a) Ketajaman penglihatan OD normal, OS menurun
b) Reflek cahaya langsung (+/-)
c) Pengenalan warna OD normal OS sulit membedakan
kuning dan hijau
d) Konfrontasi normal
e) Funduskopi tidak dilakukan
Nervus III a) Ptosis mata kiri
b) Gerak mata medial, atas, bawah OD dan OS normal
c) Ukuran pupil isokor 3mm/3mm
d) Reflek cahaya konsensual (+/-)
Nervus IV a) Gerak mata lateral bawah OD dan OS normal
b) Strabismus (-) diplopia (-)
Nervus V Normal
Nervus VI Gerak mata ke lateral OD dan OS normal
Nervus VII Normal
Nervus VIII Normal
4
Nervus IX Normal
Nervus X Normal
Nervus XI Normal
Nervus XII Normal
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Laboraterium
Tak ada kelainan
2. Foto Cranium
Tampak fraktur linier di orbita sinistra
3. CT Scan
Gambaran hipodens bentuk bikonveks di orbita sinistra
d) Resume
Anamnesis
Pasien laki-laki berumur 31 tahun mengeluh pusing berputar dan
penglihatan mata kiri kabur paska kecelakaan 11 hari SMRS. Keluhan lain
tidak ada.
Pemeriksaan Fisik
Didapatkan bekas luka pada pelipis kiri dan gangguan pada N.II kiri
e) Diagnosis
Diagnosis Klinis
- Vertigo
- Penurunan fungsi visual mata kiri
Diagnosis Etiologi
- Epidural Hematoma
Diagnosis Topik
- Lesi pada N.II sinistra
5
f) Usulan Terapi
Infus RL 20tpm
Inj. Dexamethasone 5mg/intravena/12jam (diberikan saat cedera kepala
fase akut)
Inf. Manitol 20% 16tpm/1fl/24jam (diberikan saat cedera kepala fase akut)
Benzodiazepine 2mg tablet/oral/12jam
Fluoxetin 10mg tablet/oral/24jam malam
Betahistine Mesilat 8mg tablet/oral/8jam
Diet nasi 3x sehari
Observasi
Tindakan bedah tidak dilakukan karena klinis pasien masih baik dan
hematom berukuran kecil
Neuroprotektan tidak diberikan karena tidak ada protap pemberian
neuroprotektan pada EDH
g) Prognosis
- Sebanyak 50% pasien mengalami perbaikan visiual meskipun minimum, namun 50%
sisanya tidak mengalami perbaikan.
- Pada trauma tidak langsung memiliki prognosis yang lebih tinggi (20-57%) mengalami
perbaikan meskipun minimum
- 85% pasien dengan fraktur orbitae memiliki cedera canalis optikus dan nervus optikus
sehingga morbiditas lebih tinggi.
- Pemberian terapi steroid memberikan hasil perbaikan fungsi penglihatan yang sama
dengan pasien tanpa terapi steroid (observasi)
Secara umum cedera langsung memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan cedera tidak langsung saraf optik. Berdasarkan studi, ada 3 variabel yang dianggap
sebagai faktor prognosis yang buruk untuk perbaikan fungsivisual, antara lain :
1. Adanya darah dalam rongga ethmoid posterior
2. Usia diatas 40 tahun
6
3. Kehilangan kesadaran diikuti dengan TON
Selain itu, fraktur orbita posterior menyebabkan penglihatan yang lebih
buruk dibandingkan dengan fraktur anterior. Pasien dengan tidak adanya persepsi terhadap cahaya
kemungkinan besar tidak akan terjadi perbaikan dalam kemampuan melihat.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY
Definisi
Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan suatu bentuk neuropati
optikus oleh adanya kerusakan pada saraf optik yang menyebabkan kerusakan
pada fungsi visual diikuti dengan defek pupil aferen relative (Marcus-Gunn
pupil).1
Fisiologi penglihatan
Saraf optik merupakan indera khusus untuk penglihatan.Cahaya dideteksi
oleh sel-sel batang dan kerucut di retina, yang dapat dianggap sebagai end-organ
sensorik khusus untuk penglihatan.Badan sel dari reseptor-reseptor ini
mengeluarkan tonjolan (prosesus) yang bersinaps dengan sel bipolar, neuron
kedua di jalur penglihatan.Sel-sel bipolar kemudian bersinaps dengan sel-sel
ganglion retina.Akson-akson sel ganglion membentuk lapisan serat saraf pada
retina dan menyatu membentuk saraf optikus.Saraf keluar dari bagian belakang
bola mata dan berjalan ke posterior di dalam kerucut otot untuk masuk ke dalam
rongga tengkorak melalui kanal optik.
Di dalam tengkorak, dua saraf optikus menyatu membentuk kiasma
optikum. Di kiasma, lebih dari separuh serat mengalami dekusasio dan menyatu
dengan serat-serat temporal yang tidak menyilang dari saraf optikus sisi lain untuk
membentuk traktus optikus. Masing-masing traktus optikus berjalan ke nukleus
8
genikulatum lateral.Dengan demikian, semua serat yang menerima impuls dari
separuh kanan lapang pandang masing-masing mata membentuk traktus optikus
kiri dan berproyeksi ke hemisfer serebrum kiri dan separuh kiri lapang pandang
berproyeksi ke hemisfer serebrum kanan.Dua puluh persen serat di traktus
melayani fungsi pupil. Serat-serat ini menuju ke nukleus pretektalis otak tengah,
sementara serat lainnya bersinaps di nukleus genikulatum lateral membentuk
traktus genikulo-kalkarina. Traktus ini berjalan melalui tungkai posterior kapsula
interna dan kemudian menyebar ke dalam radiasi optikus yang melintasi lobus
temporalis dan parietalis dalam perjalanan ke korteks oksipitalis (korteks
kalkarina).2
Gambar 2.2. Jaras Penglihatan3
9
Etiologi
TON dikaitkan dengan kecelakaan dengan momentum tinggi dan trauma
wajah.Kecelakaan sepeda motor, kekerasan, luka tumpul, luka tusuk, luka tembak,
dan pembedahan endoskopi sinus merupakan penyebab TON.Luka tumpul
umumnya terjadi akibat deselerasi cedera pada region antefrontal
kepala.Keparahan trauma tidak selalu terkait dengan derajat penurunan
penglihatan.1
Klasifikasi
Cedera saraf optik dapat diklasifikasikan menjadi cedera langsung dan
tidak langsung berdasarkan jenis cedera.
a. Cedera Tidak Langsung Saraf Optik
Cedera tidak langsung terjadi pada trauma tertutup pada kepala,
menyebabkan timbulnya tekanan yang kemudian menekan saraf optik.Pada
pemeriksaan, tidak terdapat perubahan cepat pada pemeriksaan fundus.Diskus
optik dapat normal hingga 3-5 minggu setelahnya dan berubah pucat seiring
atrofi diskus terjadi.1,5
b. Cedera Langsung Saraf Optik
Cedera langsung saraf optik terjadi akibat dari avulsi saraf atau akibat adanya
penetrasi pada orbita, penetrasi fragmen tulang dan mengenai saraf optik
menyebabkan neuropati optikus parsial atau komplit pada pembungkus saraf
optikus.Perdarahan didalam dan sekitar saraf optik juga dapat terjadi.7,8
10
Tidak seperti cedera tidak langsung, cedera langsung menyebabkan
perubahan segera pada fundus yang merangsang oklusi arteri retina sentralis,
oklusi vena retina sentralis atau iskemia anterior neuropati optik.1,9
Patofisiologi
TON terjadi secara multifaktorial, beberapa penelitian menyimpulkan
adanya mekanisme primer dan sekunder dari cedera yang terjadi.Cedera langsung
terjadi pada trauma tajam, fraktur orbita dengan fraktur midfasial. Cedera tidak
langsung umumnya disebabkan oleh adanya gaya tekanan pada cedera kepala
yang ditransmisikan hingga ke saraf optik. Baik cedera langsung maupun tidak
langsung menyebabkan kerusakan mekanis ataupun iskemia pada saraf
optik.Terkadang cedera okuli sangat kecil hingga tidak terlihat adanya penyebab
eksternal.Edema pada rongga tertutup, nekrosis akibat kontusio, robekan serabut
saraf, dan infark oleh karena thrombus dan spasme berpotensial menyebabkan
cedera saraf optik.3,9
a. Primer
Mekanisme primer menyebabkan kerusakan permanen pada akson saraf optik
pada saat terjadinya cedera.Kontusio pada akson saraf optik menyebabkan
iskemia dan edema lokal saraf optik, selanjutnya menyebabkan kompresi
neural dalam rongga kanal optik.Abnormalitas axon fokal terangsang, dengan
karakteristik gangguan transpor aksonal, hingga terjadi apoptosis sel. Robekan
pada mikrovaskular dan cedera akson menyebabkan terjadinya perdarahan
dalam saraf optik dan pembungkusnya.1,6,8
11
b. Sekunder
Mekanisme sekunder menyebabkan pembengkakan saraf optik setelah terjadi
cedera akut.Gangguan homeostasis selular disekitar area kerusakan saraf optik
yang ireversibel, melalui mekanisme yang berbeda namun saling berhubungan
yang menyebabkan kerusakan akson.Meskipun nantinya pembengkakan atau
kontusio pada saraf dapat membaik, kerusakan pada akson merupakan kerusakan
permanen.1,1
Mekanisme ini antara lain :
1. Iskemia dan cedera reperfusi - iskemia parsial oleh karena berkurangnya
aliran darah. Tetapi reperfusi pada area iskemik transien menyebabkan
peroksidasi lipid membran sel dan pelepasan radikal bebas yang
menyebabkan kerusakan jaringan.
2. Bradikinin : diaktivasi setelah terjadinya trauma, dan menyebabkan
pelepasan asam arakhidonat dari neuron. Prostaglandin yang dihasilkan
dari metabolisme asam arakhidonat, radikal bebas dan lipid peroksidase
menyebabkan edema pada kanal optik.
3. Ion kalsium : setelah terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium masuk ke
intraselular. Meningkatnya konsentrasi kalsium intrasel berperan menjadi
toksin metabolik dan menyebabkan kematian sel.
4. Proses inflamasi : sel polimorfonuklear (PMN) banyak pada 2 hari
pertama setelah trauma, kemudian digantikan oleh makrofag dalam 5-7
12
hari. PMN menyebabkan kerusakan yang cepat, sementara makrofag
menunda kerusakan jaringan, demielinasi dan gliosis.1,3,8
Gambaran Klinis
TON posterior terkadang sulit dinilai terutama pada pasien dengan cedera
multipel, terutama pada pasien tidak sadarkan diri.Pemeriksaan teliti harus
dilakukan secepat mungkin, kemungkinan hanya diperoleh defek aferen pupil
pada pemeriksaan. Defisit penglihatan bervariasi dari penglihatan normal dengan
defek lapangan pandang hingga kehilangan total terhadap persepsi cahaya.3
Diagnosis
Diagnosis TON berdasarkan klinis, dengan adanya trauma kepala dan
wajah yang menyebabkan gangguan penglihatan. Pasien mengalami kehilangan
penglihatan yang mendadak, berat, dan unilateral. Kondisi ini dapat
bermanifestasi segera atau dalam hitungan jam hingga hari setelah trauma.
Riwayat penyakit perlu ditanyakan apakah adanya defisit penglihatan sebelum
trauma, riwayat penyakit sebelumnya, obat-obatan dan alergi obat.1,2
Pemeriksaan Klinis
Pada situasi akut, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar dan
penilaian ketajaman penglihatan tidak dapat dilakukan, penegakan diagnosis
TON dapat terhambat. Pada pasien sadar, dapat dilakukan berbagai tes untuk
membantu penegakan diagnosis , antara lain:
13
1. Ketajaman penglihatan. Diperiksa dengan menggunakan Snellen's chart
atau kartu baca jarak dekat. Angka kejadian tidak respon cahaya bervariasi
tergantung pada kejadian trauma. Harus diingat bahwa kurang dari 10%
kasus terjadi penurunan penglihatan akibat cedera saraf optik sekunder.
Bagaimanapun tajam penglihatan harus dinilai kembali setelah 24 jam.
2. Relative afferent pupillary defect (RAPD) :dinilai dengan swinging
flashlight test. Cahaya yang masuk ke mata normal akan merangsang pupil
konstriksi dan juga merangsang pupil mata lain ikut berkonstriksi. Terjadi
penurunan stimulasi pupilomotor yang mencapai batang otak ketika
cahaya masuk ke mata pada cedera saraf optik dibandingkan pada bagian
yang tidak cedera, sehingga respon pupil menurun. RAPD tidak ada pada
TON bilateral.
3. Penglihatan warna. Pasien dimintauntuk melihat objek berwarna merah
dengan sebelah mata. Objek akan dipersepsikan berwarna hitam, coklat,
atau merah buram pada mata yang cedera.
4. Lapangan pandang. Meskipun tidak ada tanda patognomonic defek
lapangan pandang dalam mendiagnosa trauma saraf optik, lapangan
pandang harus dinilai pada pasien sadar dan kooperatif sebagai informasi
kemungkinan lokasi kerusakan saraf optik.
5. Optalmoskopi. Optalmoskopi dilakukan dengan bantuan agen midriatik
kerja pendek pada semua pasien stabil. Evaluasi sirkulasi retinal dan
koroidal, morfologi saraf optik. Adanya perdarahan berbentuk cincin
didekat kepala saraf optik menunjukkan adanya avulsi parsial atau komplit
14
saraf optik. Neuropati optik anterior menyebabkan gangguan sirkulasi
berakibat obstruksi arteri dan vena dan pembengkakan diskus optikus.
Atrofi optik pada trauma kepala akut dengan neuropati optikus
menunjukkan gangguan saraf optik sudah ada sebelum trauma. Kerusakan
pada saraf optik distal pada orbita, kanal optik, atau rongga intrakranial
tidak menunjukkan perubahan tampilan selama 3-5 minggu
6. Adneksa okuli. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur tepi atau dinding
orbita, edema orbita, proptosis atau enopthalmus, atau disfungsi otot ekstra
okuli.
7. Tekanan intraokuli. Tonometri harus dilakukan pada orbita yang intak.
Peningkatan tekanan intraokuli dapat bersamaan pada hematom orbital,
perdarahan orbital, emfisema orbital, atau edema jaringan lunak.1,8
Pemeriksaan Penunjang
1. Visual evoked potential (VEP)
Karena sulitnya penilaian neuro-oftalmologi pada fungsi jaras
visual pada pasien cedera berat atau selama rekonstruksi
kraniomaksilofasial, VEP dan elektroretinogram (ERG) diyakini sebagai
metode elektrofisiologis untuk mengumpulkan informasi apakah fungsi
penglihatan intak ataupun patologis.VEP juga digunakan sebagai alat
diagnostik pada pasien yang diduga cedera saraf optik bilateral.
Evaluasi elektrofisiologi dengan multiplanar CT penting pada
identifikasi segera pada trauma saraf optik.Hasil evaluasi memberikan
15
informasi apakah dibutuhkan intervensi bedah dan/atau terapi konservatif
untuk mencegah kerusakan sekunder saraf optik.1
2. Imaging
Pada pasien politrauma dengan penurunan kesadaran, CT scan
dengan eksplorasi klinis merupakan metode penting untuk menilai TON
pada keadaan darurat yang akut. Hasil pemeriksaan dapat menunjukkan
tanda patologi saraf optik, berupa hematoma pembungkus saraf optik,
fraktur pada greater atau lesser wing sphenoid, hematoma superiosteal,
perdarahan hingga apeks orbital, sinus ethmoid dam sphenoid, dan
pneumoencephalus.1,3
Penatalaksanaan
Berbagai kontroversial muncul dalam penanganan TON.Sebagian besar
penanganan pada TON meliputi observasi, steroid dan dekompresi bedah.
1. Medikamentosa.
Selama beberapa decade, kortokosteroid diyakini dapat menstabilisasi
membran lipid, mengurangi spasme, meningkatkan pemasokan darah, dan
mengurangi edema jaringan neural dan nekrosis. Penanganan medikamentosa
TON dengan steroid mega-dose dilakukan oleh National Acute Spinal Cord Injury
StudyII (NASCIS II) yang dievaluasi pada pasien cedera tulang belakang akut.
Pada studi ini, pasien diterapi dengan plasebo, metilprednisolone, atau
naloxone.Secara farmakologis, terapi metilprednisolone dosis besar atau
16
megadosis terkait dalam stabilisasi sirkulasi mikrovaskular dan homeostasis
kalsium.
Pada kasus TON dimana tidak terdapat kontraindikasi pemberian
kortikosteroid, dosis awal metilprednisolone diberikan sebanyak 30mg/kg/IV,
dilanjutkan 15mg/kgBB pada 2 jam kemudia, dan 15 mg/kgBB setiap 6 jam. Jika
terdapat perbaikan visual, dosis steroid dilanjutkan hingga hari ke-5, kemudian
diturunkan secara cepat.Jika tidak terdapat perbaikan dalam 48-72 jam, pemberian
steroid langsung dihentikan tanpa penurunan dosis sebelumnya. Pemberian
kortikosteroid mega dosis dalam 8 jam pertama setelah cedera kemungkinan dapat
memperbaiki pembengkakan saraf optik.Apakah terapi metilprednisolone
memiliki efek yang samadibandingkan hanya observasi dalam penatalaksanaan
TON belum terbukti, dan keterlambatan penanganan terapi dan derajat kehilangan
penglihatan belum jelas terbukti mempengaruhi prognosis.1,3,6,9
2. Pembedahan
Dekompresi bedah optik kanal dan pembungkus saraf optik digunakan
sebagai terapi TON indirek.Tetapi tidak terdapat konsensus waktu optimum untuk
intervensi optimum.Peningkatan tekanan intrakanalikuli dapat menyebabkan
gangguan vaskular dengan iskemia hingga kebutaan, dan dekompresi saraf optik
secara teori membebaskan strangulasi dan memngembalikan fungsi saraf.Prosedur
ini ditambah dengan pemberian steroid untuk mengurangi inflamasi dan
edema.Berbagai metode bedah yang digunakan berupa kraniotomi trans nasalis,
17
extra-nasal trans-ethmoidalis, trans-nasal trans-ethmoidalis, lateral fasial,
sublabial, dan endoskopi.1,9
18
B. VERTIGO
Definisi
Vertigo adalah suatu istilah yang bersumber dari bahasa latin vertere
yang artinya memutar. Vertigo merupakan keluhan subyektif dalam bentuk rasa
berputar dari tubuh/kepala atau lingkungan disekitarnya. Vertigo dapat merupakan
gejala mandiri tanpa ada gejala lain tetapi dapat juga merupakan kumpulan gejala
(sindroma). Sindroma vertigo biasanya terdiri dari gejala vertigo, mual, muntah,
nistagmus dan unsteadiness (rasa goyah).12
Etiologi
Di tingkat pusat, iskemia vertebra-basiler merupakan penyebab yang
sering dari vertigo.Vertigo dapat juga disebabkan oleh lesi di serebelum dan lobus
temporalis.Keadaan patologis yang merusak nervus akustikus dapat pula
menyebabkan lesi di nervus vestibularis. Berikut ini dikemukakan penyebab yang
sering dijumpai.13
Gangguan jenis perifer
Neuronitis vestibular
Vertigo posisional benigna
Mabuk kendaraan (motion sickness)
Trauma
Obat-obatan, misalnya streptomisin
Labirinitis
Penyakit Meniere
Tumor difossa posterior, misalnya neuroma akustik
Keadaan patologis yang merusak nervus akustikus, dapat pula menyebabkan
lesi di nervus vestibularis.
19
Gangguan jenis sentral
Stroke atau iskemia batang otak (vertebra-basiler)
Migren basilar
Trauma
Perdarahan atau lesi di serebelum
Lesi lobus temporalis
Neoplasma
Lain-lain
1. Toksik (misalnya antikonvulsan fenitoin, sedatif)
2. Infeksi
3. Hipotiroidi
Patogenesis / patofisiologi
Secara umum vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen)
yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat (pusat
kesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan
vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan
impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik
dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan
nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi
paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang
paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik (Kovar M, 2006).14
20
Pada Vertigo post trauma dapat terjadi akibat kerusakan telinga dalam,
N.VIII atau hubungan vertibular sentral atau adanya salah pilih antara input
sensoris yang dibutuhkan untuk keseimbangan yang sempurna. Mekanisme
vertigo post trauma kepala adalah trauma kepala penetrasi seperti luka tembak
yang merupakan penyebab utamanya, 40% mengenai tulang temporal dan pada
penderita yang hidup kerusakan labirin dan N. VIII menyebabkan kerusakan
permanen fungsi kohlea dan vertibular ; fraktur tulang tempora peka terhadap
trauma karena ia padat terletak pada dasar tengkorak dan mengandung rongga
labyrin; komosio labyrin yaitu perdarahan mikroskopis kohlea dan labyrin, terjadi
paling sering sesudah trauma oksipital; komosio serebri dimana vertigo
disebabkan perubahan otak mikroskopis yang difus yang menyertai komosio
ringan, mekanisme paling sering kerusakan otak akibat trauma kepala tumpul
adalah gerakan dan deformitas otak pada waktu gerakan kepala yang cepat tiba-
tiba dihentikan, bagian viskoelastik otak menyebabkan ia tetap bergerak, dengan
rotasi di sekitar sumbu batang otak sehingga dapat menyebabkan keruskaan saraf
cranial, termasuk N.VIII; dan fistula perilympatik sebagai akibat rupture
membrane “oval or round window”.12
Diagnosis
Diagnosis vertigo sentral dan perifer ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
Pemeriksaan fisik terdiri dari nistagmus; pemeriksaan neurologis dengan
perhatian khusus pada: tes Romberg yang dipertajam, past-pointing test,
21
maneuver nylen-barany atau dix-hallpike, tes kalori, saraf-saraf cranial, fungsi
saraf motorik dan sensorik.
Pemeriksaanpenunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium (darah
lengkap, profil lipid, asam urat, dan hemostatis), foto rontgen servikal,
neurofisiologi sesuai indikasi EEG (Elektroensefalografi), ENG
(Elektronistagmografi), EMG (Elektromigrafi) Brainstream Auditory Evoked
Potential dan audimetri, neuroimaging: CT-Scan, MRI, arteriografi.15
Pada vertigo post trauma (VPT) kebanyakan akibat trauma kepala,
trauma leher atau baro trauma. Sindroma VPT dapat berupa: vertigo posisional
benigna tipe paroksismal akibat trauma kepala ringan, vertigo akut akibat
komosio labyrin, sindroma neurologis yang berat akibat trauma kepala berat
dengan vertigo dan ataxia karena kerusakan batang otak dan serebelum, Gejala
trauma kepala tumpul tanpa fraktur sering didapat gangguan vestibular disertai
tuli persepsi bilateral akibat komosio labyrin. Ada 2 sindom labyrin yang
menonjol:
1) vertigo posisional benigna tipe paroksismal merupakan sindrom
terbanyak, penderita mengalami serangan vertigo dan nystagmus yang
mendadak, singkat yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepala.
Prognosa baik tapi dapat kambuh selama beberapa tahun.
2) Vertigo post trauma akut akibat gangguan vestibuler perifer: onset
mendadak setelah trauma kepala dengan gejala vertigo mual muntah yang
akut dengan atau tanpa tuli persepsi. Prognosa baik dimana biasanya
vertigo menghilang spontan dalam beberapa hari dan sembuh total secara
22
bertahap dalam beberapa minggu (1-3 bulan). Bila terdapat tuli persepsi
biasanya permanen.
Gangguan vestibuler perifer yang khas bila ditemukan nystagmus
vestibuler spontan ke arah telinga yang normal.12
Penatalaksanaan
Benzodiazepine (Diazepam)
Antiemetik
Vestibulosupressant
23
C. EPIDURAL HEMATOMA
Definisi
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat dikepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dandura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutanepidural
hematom.17 Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat
emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan
arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural
hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung
perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi padamiddle meningeal artery yang
terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk kedalam ruang epidural, bila
terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.19
Etiologi
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya
24
benturan padakepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat
trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi pembuluh darah.18
Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak
dan durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah
satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital.18
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale.Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh
hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar.18 Hematoma yang membesar di daerah temporal
menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah
pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik
yang dapat dikenal oleh tim medis.17 Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi
arteria yang mengurus formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan
hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga
(okulomotorius). Tekanan pada saraf inimengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis
kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortiko spinalis yang berjalan naik pada
25
daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks
hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.17 Dengan makin
membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang
berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda
lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.17 Karena perdarahan ini berasal
dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin
besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar
dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan
nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun.
Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera
primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma
cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma
primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri
dan tidak pernah mengalami fase sadar.18
Penatalaksanaan
Penanganan darurat
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi Medikamentosa
26
Elevasi kepala 30º dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera
spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan
intracranial danmeningkakan drainase vena.18 Pengobatan yang lazim diberikan
pada cedera kepala adalah golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg
kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari)
yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini
masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk
memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama)
untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka
panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri-hidroksimetil-amino-metana
(THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan
secarateoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk
mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan
inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari
anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10
mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3
jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum3-4mg%.18
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 3 mm Indikasi operasi di bidang bedah saraf
adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving .
27
Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi
emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.18
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
>25 cc → desak ruang supra tentorial
>10 cc→ desak ruang infratentorial
>5 cc→ desak ruang thalamus.
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunanklinis yang progresif.
28
BAB
III PEMBAHASAN
Pada kasus ini diagnosis Traumatic Optic Neuropathy ditegakkan
berdasarkan :
A. Anamnesis didapatkan :
1. Riwayat trauma tumpul pada kepala
2. Penglihatan kabur mendadak unilateral
3. Terdapat gangguan membedakan warna
4. Tidak ada riwayat penurunan penglihatan sebelumnya
5. Tidak ada riwayat hipertensi maupun diabetes sebelumnya
B. Pemeriksaan Fisik didapatkan
1. Gangguan nervus II (tajam penglihatan, gangguan melihat warna, reflek
cahaya direct (+/-))
2. Gangguan nervus III (ptosis dan reflek cahaya konsensual (+/-)
C. Pemeriksaan penunjang
Didapatkan gambaran radiologi fraktur pada orbita dan adanya lesi
hipodens bentuk bikonveks di orbita sinistra. Hal ini menunjukkan adanya
perdarahan epidural.
Bila berdasarkan kriteria diagnosis TON, pasien dapat didiagnosis dengan
TON berdasarkan penemuan klinis sebagai berikut :
1. Adanya riwayat trauma tumpul
2. Terdapat penurunan visus unilateral tiba-tiba dan berat
3. Terdapat gangguan membedakan warna karena adanya atrofi
nervus II
4. Bisa disertai gangguan gerak bola mata
5. Penurunan visus bukan disebabkan oleh komplikasi penyakit
sistemik seperti hipertensi atau diabetes mellitus
29
Pada kasus ini, Penderita dimondokkan, karena adanya keluhan pusing
berputar yang mengganggu aktivitas. Pusing berputar dicurigai akibat adanya
rangsangan nervus VIII akibat trauma. Gangguan visual pada pasien ini
disebabkan oleh adanya gangguan pada nervus opticus maupun okulomotor akibat
trauma.
Terapi yang diberikan ialah observasi dan pemberiaan golongan
benzodiazepam, anti anxiety serta antihistamin. Penatalaksanaan vertigo pada
kasus ini ialah menggunakan diazepam, fluoxetin dan betahistin. Sedangkan
manajemen TON pada pasien ini ialah cukup diobservasi karena menurut
penelitian Steinsapir & Goldberg, 2011 menunjukkan tidak ada perbedaan yang
bermakna antara pemberian steroid sistemik dengan observasi pada fungsi visual
pasien TON. Steroid sistemik diduga meningkatkan morbiditas karena dosis yang
tinggi sehingga menimbulkan efek samping yang merugikan pasien. Perbaikan
fungsi visual dapat terjadi meskipun minimal meski tanpa pemberian steroid..
Prognosis gangguan visual pada pasien ini adalah dubia ad malam karena
adanya gangguan kesadaran saat trauma disertai adanya fraktur orbitae.
30
BAB IV
KESIMPULAN
Traumatic Optic Neuropathy (TON) adalah kasus yang jarang terjadi.
Kejadian ini disebabkan oleh trauma tumpul yang secara langsung maupun tidak
langsung merusak saraf optikus maupun okulomotor. Pada pasien ini didiagnosis
TON karena :
1) Riwayat trauma tumpul pada kepala
2) Penglihatan kabur mendadak unilateral
3) Terdapat gangguan membedakan warna
4) Tidak ada riwayat penurunan penglihatan sebelumnya
5) Tidak ada riwayat hipertensi maupun diabetes sebelumnya
6) Gangguan nervus II (tajam penglihatan, gangguan melihat warna, reflek
cahaya direct (+/-))
7) Gangguan nervus III (ptosis dan reflek cahaya konsensual (+/-)
Terapi yang diberikan ialah observasi untuk TON dan pemberian
diazepam, anti anxiety serta anti histamin yang dimaksudkan untuk terapi vertigo.
Prognosis gangguan visual pada pasien ini ialah dubia ad malam.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Tsai, et al. 2011. Neuro-Ophthalmology. In :Oxford American Handbook
of Ophthalmology. Oxford:University Press. P:514-521.
2. Awan, Ayyaz Hussain. 2007. Traumatic Optic Neuropathy. Available in:
[www.pjo.com.pk]. Accessed at September 25, 2012.
3. Remington, Lee Ann. 2005. Visual Pathway. In: Remington, Lee Ann.
Clinical Anatomy Of The Visual System, Second Edition. USA: Elsevier.
P:232-253.
4. Zoumalan, Christopher. 2012. Traumatic Optic Neuropathy. Available in :
[http://emedicine.medscape.com/article/868129-overview]. Accessed at
September 24, 2012.
5. Srinivasan, Renuka, Chaitra. Traumatic Optik Neuropathy [TON] – A
Review. Available
in :[ksos.in/ksosjournal/jounalsub/jounal_article_11_138.pdf]. Accessed at
September 24, 2012.
6. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Neuro-Oftalmologi. In :
Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. Oftalmologi umum (General
Ophthalmology)edisi14. EGC: Jakarta: Widya Medika.
7. Liesegang, et al. 2007. Optic Neuropathy. In :Neuro-Ophthalmology,
American Academy of Ophthalmology. San Francisco : AAO, The Eye
MD Association. P:153-155.
8. Girkin, Christopher A dan Kline, Lanning B. 2002. Optic Nerve and
Visual Pathway. In: Kuhn, Ferenc. Ocular Trauma, Principles and
Practice. Italy:Thieme. P:392-404
9. Sarkies, N. 2003. Traumatic Optic Neuropathy. Available in :
[http://www.nature.com/eye/journal/v18/n11/full/6701571a.html].
Accessed at September 24,2012.
10. Boughton, Barbara. 2009. Traumatic Optik Neuropathy:Previous
Therapies Now Questioned or Shelved. Available in:
[http://www.aao.org/publications/eyenet/200911/trauma.efm]. Accessed at
September 24,2012.
32
11. Man, Yu Wai dan Griffiths. 2011. Steroids for Traumatic Optic
Neuropathy. Available in : [www.ncni.nlm.nih.gov/pubmed/21249673].
Accessed at September 24, 2012.
12. Joesoef AA dan Kusumastuti Kurnia. 2002. Neuro-Otologi Klinis:
Vertigo. Surabaya: Airlangga University Press.
13. Lumbantobing, SM. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2010.
14. Kovar, M, Jepson, T, Jones, S. 2006. Diagnosing and Treating: Benign
Paroxysmal Positional Vertigo in Journal Gerontological of Nursing.
December:2006
15. Dewanto G, Suwono WJ., Riyanto B dan TuranaYuda. 2007. Diagnostik
dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
16. Steinsapir KD & Goldbreg RA. Treatment of Traumatic Optic Neuropathy
with High-Dose Corticosteroid. J Neuroophtalmol. 2011;26(1)
17. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi
4,Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
18. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong
W.D.EGC, Jakarta, 2004, 818-819
19. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral,
Updates In Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2002, 80
33