Program Penyediaan Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga (Samijaga) di Indonesia 1974—1998
Galuh Fathim Az Zahra’ dan Linda Sunarti
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Abstrak
Artikel ini membahas tentang implementasi program penyediaan sarana air minum dan jamban keluarga (Samijaga) dan dampaknya dalam memperbaiki derajat kesehatan masyarakat di Indonesia. Tingginya angka penyakit waterborne disease (diare atau kolera) membuat pemerintah Orde Baru pada Pelita II mengeluarkan Inpres Samijaga yang memberikan bantuan pembangunan Samijaga bagi penduduk berpenghasilan rendah. Penelitian ini membuktikan bahwa melalui program Samijaga jumlah penduduk yang memiliki sarana air minum dan jamban meningkat. Penyakit diare juga berhasil dikendalikan meskipun terdapat kendala-kendala sosial budaya dalam pelaksanaannya. Artikel ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode penelitian sejarah, salah satunya melalui penggunaan sumber-sumber primer (a.l. dokumen pemerintah, surat kabar sezaman, dll.) dan sumber sekunder (a.l. buku, jurnal, majalah, dll.).
Water Supply and Sanitation Program (Samijaga) in Indonesia 1974—1998
Abstract
This article discusses about the implementation of water supply and sanitation program in Indonesia during the New Order on promoting people’s health status. In Indonesia, waterborne diseases (i.e. diarrhea or cholera) were the major causes of illness and death. Therefore, the New Order government launched a presidential instruction on providing access to water supply and sanitation (Inpres Samijaga) for Indonesia’s poor in the Second Five-Year Development (Pelita II). According to this article, it indisputably proves that through Samijaga program, percentage of households with access to water supply and sanitation was increased. Diarrhea disease was successfully controlled although facing some socio-cultural obstacles. This article is a qualitative study using historical research method, such as, the use of primary sources (e.g. government documents, newspapers, etc.) and secondary sources (e.g. books, journal articles, magazine articles, etc.). Keywords: New Order; sanitation; water supply; Samijaga program; waterborne disease. Pendahuluan
Berdasarkan Tujuan Pembangunan Milenium (Milennium Development Goals atau
MDGs), disepakati bahwa tahun 2015 negara-negara di dunia dapat menurunkan separuh dari
proporsi penduduk yang tidak memiliki akses air minum dan sanitasi.1 Sanitasi merupakan
salah satu elemen penting karena erat kaitannya dengan kesehatan lingkungan dan kondisi
1 Peter Stalker, Kita Suarakan MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia, Cet. ke-2, (Jakarta: Bappenas dan UNDP, 2008), hlm. 30—32. Lihat juga dalam Kementrian Kesehatan R.I., Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, (Jakarta: Kemenkes R.I., 2014), hlm. 2.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
sanitasi yang buruk akan berdampak negatif antara lain meningkatnya kejadian diare.2 Di
Indonesia, diare menjadi penyebab 20% kematian dari jumlah anak-anak yang meninggal tiap
tahun dan menjadi penyebab terbesar kedua pada kematian balita.3 Pemerintah kemudian
menjadikan usaha yang bersifat preventif, melalui program Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM), untuk mendorong kesadaran masyarakat agar tidak buang air besar
sembarangan dan mengelola air minum rumah tangga.
Usaha preventif melalui perbaikan kualitas air dan pendidikan mengenai higiene dan
sanitasi bukanlah hal baru di Indonesia. Pada masa Hindia Belanda, usaha tersebut dirintis
oleh De Vogel (1920) dan dilanjutkan dengan kampanye cacing tambang J.L. Hydrick (1924).
Setelah kemerdekaan, pemikiran untuk mengangkat kembali sanitasi datang dari Menteri
Kesehatan Leimena (1955), tetapi gangguan stabilitas politik menyebabkan niatan tersebut
tidak berhasil dilaksanakan. Barulah pada masa Demokrasi Terpimpin4 (1959—1965), Dewan
Perancang Nasional melakukan perluasan jangkauan air minum dan sanitasi baik perkotaan
maupun perdesaan. Namun demikian, usaha kesehatan masih memberikan porsi yang lebih
pada usaha kuratif (pembangunan fasilitas kesehatan dan penyediaan obat-obatan) sehingga
usaha preventif melalui sanitasi belum menjadi prioritas.
Pendekatan terencana dan sistematis dalam penyediaan air minum dan sanitasi di
Indonesia dimulai pada masa Orde Baru5 yaitu semenjak Pelita II (1974). Atas usul Menteri
Kesehatan Siwabessy (1966—1978), dikeluarkanlah Inpres No.5/1974 tentang Program
Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan yang didalamnya mengatur antara lain tentang
program penyediaan air minum dan jamban keluarga (Inpres Samijaga). Pemerintah
memberikan bantuan sarana air minum dan jamban utamanya di rumah-rumah keluarga di
perdesaan dan penerangan-penerangan dalam bidang kesehatan terhadap masyarakat yang
masih tuna aksara untuk mendorong masyarakat membiasakan diri hidup bersih dan sehat.6
Program Samijaga diharapkan dapat mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih baik dan
2 Kementrian Kesehatan R.I., Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, (Jakarta: Kemenkes R.I., 2014), hlm. 179—180 3 Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP), Buku Panduan Pemberdayaan Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangunan Sanitasi Kota, (Jakarta: Bappenas, 2010), hlm. 3. 4 Demokrasi terpimpin adalah istilah umum untuk periode 1959—1965 ketika Indonesia didominasi secara politik oleh Sukarno dan periode munculnya ketegangan politik yang sangat besar antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia. Lihat selengkapnya dalam Robert Cribb dan Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, Terj. Gatot Triwira, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), Terj. dari. Historical Dictionary of Indonesia 2004, hlm. 111. 5 Orde baru adalah istilah umum untuk sistem politik yang berlaku setelah berkuasanya Suharto pada 1966 hingga kejatuhannya pada Mei 1998. Ibid., hlm. 335. 6Broto Wasisto, dkk., Sejarah Pembangunan Kesehatan Indonesia 1973—2012, (Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2012), hlm. 27.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
dapat mengendalikan wabah penyakit utamanya penyakit diare dan/atau kolera (muntah
berak) yang sedang mewabah pada waktu itu.
Permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana pengaruh program
Samijaga dalam memperbaiki derajat kesehatan masyarakat dan mengubah kebiasaan
masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Dengan adanya program Samijaga, penyediaan
sarana air minum dan jamban keluarga dapat dilakukan secara merata di seluruh wilayah
Indonesia. Perbaikan derajat kesehatan masyarakat melalui usaha sanitasi hingga saat ini
masih menjadi permasalahan klasik yang penting sehingga penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan untuk perbaikan ke depan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode sejarah, yaitu
proses pengujian dan analisis kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, baik lisan maupun
tulisan menggunakan tahapan-tahapan historiografi. Metode sejarah terdiri atas empat
kelompok kegiatan, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.7 Pada tahap pertama
yaitu heuristik, penulis mencari dan mengumpulkan berbagai sumber melalui studi
kepustakaan. Sumber-sumber tersebut bersifat primer (a.l. dokumen Instruksi Presiden No. 5
Tahun 1974 hingga Instruksi Presiden No. 8 Tahun 1983, almanak kesehatan, surat kabar,
statistik kesehatan dan lingkungan hidup, laporan penelitian terkait program Samijaga, dll)
dan sekunder (a.l. buku, artikel jurnal, dll).
Dalam melakukan studi kepustakaan, penulis mengalami kendala-kendala akibat
kurang baiknya pengarsipan dokumen-dokumen pada instasi pemerintahan selama rentang
waktu yang diambil dalam penelitian. Melihat kendala-kendala tersebut, penulis memutuskan
untuk mengambil wilayah Indonesia sebagai spasial dengan memberikan contoh pelaksanaan
program Samijaga di beberapa wilayah di Indonesia. Pemilihan pelaksanaan program
Samijaga di beberapa wilayah di Sumatera, Jawa, Bali, dan Timor Timur dilatarbelakangi oleh
ketersediaan sumber yang didapatkan penulis. Sumber-sumber sejarah seperti artikel surat
kabar, laporan penelitian, artikel majalah, dan laporan program Samijaga oleh pemerintah
daerah (yang berhasil didapatkan) cenderung membahas pelaksanaan program Samijaga di
beberapa wilayah di Sumatera, Jawa, Bali, dan Timor-Timur.
Selanjutnya, untuk menguji keotentikan sumber dilakukan kritik sumber dan penulis
dalam skripsi ini melakukan kritik internal. Kritik internal dilakukan dengan cara 7 Nugroho Notosusanto, Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sedjarah, (Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sedjarah ABRI, 1971), hlm. 17.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
menganalisis materi yang telah didapat agar diperoleh informasi-informasi yang dapat
digunakan dalam penulisan ini. Dalam kritik internal, data-data diperbandingkan satu sama
lain agar diperoleh validitas dan kredibilitas informasi yang digunakan dalam penulisan.
Penulis banyak melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang bersifat kuantitatif karena
penulis menemukan angka-angka yang berbeda-beda dari sumber yang ada. Data-data yang
telah dikritik kemudian diintrepretasi yaitu pemberian penafsiran terhadap data dan fakta yang
telah ditemukan, kemudian fakta-fakta yang telah diinterpretasi dituliskan kedalam kerangka
ilmiah yang kronologis dan sistematis atau disebut tahap historiografi.
Kondisi Kesehatan Masyarakat dan Permasalahan Kesehatan Nasional
Berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin juga mengakhiri suatu babak dalam sejarah
Indonesia yaitu rezim Orde Lama. Suharto kemudian terpilih menjadi presiden menggantikan
Sukarno dan Indonesia memasuki masa Orde Baru. Pembangunan nasional menjadi ciri utama
pemerintahan Orde Baru. Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional sesuai dengan
arah pembangunan nasional yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara 8
(GBHN), pembangunan di bidang kesehatan menjadi aspek yang penting. Hal ini karena, arah
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Meskipun titik
berat pembangunan adalah pembangunan di bidang ekonomi, namun pembangunan bidang
lain utamanya yang menunjang pembangunan ekonomi juga dijadikan fokus utama, salah
satunya pembangunan di bidang kesehatan 9 Menurut data World Health Organization
(WHO), kondisi kesehatan dan pendidikan yang baik akan mempercepat pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan di suatu negara.10
Indonesia memiliki permasalahan kependudukan yang cukup rumit baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Penduduk Indonesia termasuk dalam lima besar terbanyak di dunia
dan hasil sensus penduduk tahun 1960 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia
mencapai 97 juta jiwa, yang sekitar 60% penduduk bermukim di pulau Jawa.11 Jumlah
tersebut telah bertambah di tahun 1950 dengan kisaran penduduk 76,6 juta jiwa. 12
Pertumbuhan penduduk di Indonesia periode tahun 1960—1971 sebesar 2,1% dan pada tahun
8 Departemen Penerangan R.I., Garis-Garis Besar Halauan Negara, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1973). 9 Departemen Kesehatan R.I., Informasi Ringkas Kesehatan, (Jakarta: Pusat Data Depkes R.I., 1991), hlm. 1—2. 10 Departemen Kesehatan R.I., Investasi Kesehatan untuk Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2003), hlm. 21. 11 Soetjipto Wirosardjono, “Masalah Kependudukan di Indonesia,” Prisma: Kita dan Dunia Februari 1982: 16. 12 Nathan Keyfitz dan Widjojo Nitisastro, Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1955), hlm. 67.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
1971 penduduk Indonesia telah mencapai 119 juta jiwa.13 Pertumbuhan penduduk yang tinggi
secara kuantitas tersebut tidak didukung oleh derajat kesehatan penduduk yang baik dengan
tingginya angka kematian dan kesakitan (terutama pada bayi dan balita) dan tingkat harapan
hidup yang rendah.14
Sejak 1 April 1969, Pembangunan Lima Tahun Pertama (Pelita I) mulai dilaksanakan,
yang di dalamnya juga termasuk Pelita I Bidang Kesehatan. Meskipun Pelita I di bidang
kesehatan telah dilakukan dari tahun 1969—1974, kondisi kesehatan nasional masih berada
dalam kondisi yang memprihatinkan. Dari seribu penduduk, rata-rata 45 orang menderita sakit
dan dalam setahun terjadi dua puluh kematian. Tingkat kematian bayi juga sangat tinggi yaitu
125—150 bayi per seribu bayi yang lahir setiap tahunnya.
Seperti di negara berkembang lainnya, pola penyakit di Indonesia adalah pemyakit
menular akibat kondisi higiene dan sanitasi yang kurang baik. Buruknya kondisi higiene dan
sanitasi akan memudahkan penularan dan penyebaran kembali bermacam-macam penyakit
menular seperti penyakit infeksi, diare (juga diare akut atau kolera), dan penyakit perut
(cacingan). Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya penduduk Indonesia
yang tinggal di perdesaan dan pada umumnya mereka tidak memiliki jamban yang baik dan
air minum yang aman. Penyakit menular yang menjadi perhatian Menteri Kesehatan
Siwabessy (1966—1978) adalah diare dan atau kolera karena jumlah penderita kolera yang
terus meningkat.
Pada awal Pelita I (1969/1970), jumlah penderita diare dan kolera tercatat sebanyak
1.723 jiwa dan jumlah tersebut kemudian berkembang menjadi 51.061 jiwa di akhir Pelita I
(1973/1974).15 Total penderita diare dan kolera selama Pelita I (1969—1974) adalah 126.028
jiwa dan kematian akibat diare dan kolera sebanyak 15.475 jiwa.16 Hingga memasuki Pelita II,
masih banyak rumah-rumah penduduk baik di perdesaan maupun perkotaan yang belum
memiliki fasilitas air minum dan pembuangan kotoran. Dari rumah-rumah yang berada di
perdesaan Jawa dan Madura, hanya 12% yang memiliki jamban sendiri, 23% mempunyai
kamar mandi, dan 75% kondisinya masih berlantai tanah.17
Menurut Siwabessy, dengan melihat pola penyakit menular yang ada, faktor kesehatan
yang sangat esensial dan hakiki adalah menjaga kebersihan lingkungan melalui penyediaan air
13 Fadjri Alihar, “Penduduk dan Perubahan Sosial,” Indonesia Dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi Jilid 8, Ed. Taufik Abdullah, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), hlm. 165. 14 Soetjipto Wirosardjono, Loc. Cit., hlm. 20. 15 Departemen Kesehatan R.I., Sejarah Kesehatan Nasional Jilid III, (Jakarta: Depkes R.I., 1980), hlm. 130. 16 Ibid. 17 Departemen Penerangan R.I., Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua 1974/75—1978/79: Buku II, (Jakarta: Deppen R.I., 1974), hlm. 43.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
minum dan jamban keluarga atau kemudian dikenal dengan program Samijaga. Ide untuk
melaksanakan program Samijaga ini muncul dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu
permasalahan wabah penyakit menular yang tidak kunjung membaik keadaannya dan
permasalahan kemiskinan. Program kesehatan pada dasarnya harus memperhatikan kelompok
masyarakat yang berpenghasilan rendah. Untuk mengatasi permasalahan daya beli masyarakat
berpenghasilan rendah dalam mengakses pelayanan kesehatan, Siwabessy mengupayakan
program kesehatan yang dapat memelihara kesehatan masyarakat atau usaha-usaha bersifat
preventif melalui pembangunan Samijaga.
Program Samijaga bertujuan untuk mengusahakan pelayanan kesehatan secara lebih
merata dan sedekat mungkin dengan masyarakat khususnya penduduk perdesaan dan
perkotaan yang berpenghasilan rendah dengan memberikan bantuan pembangunan sarana air
minum dan jamban keluarga.18 Dengan menekankan pada aspek air dan sanitasi, diharapkan
program Samijaga dapat mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih baik dan dapat
mencegah wabah penyakit diare dan atau kolera. Presiden Suharto kemudian mengeluarkan
Inpres No.5 tahun 1974 tetang Program Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan pada 17
April 1974 yang salah satunya mengatur tentang pembangunan berbagai jenis penyediaan air
minum dan jamban keluarga (Samijaga) di seluruh Indonesia.19
Program Samijaga yang terdapat dalam Program Bantuan Pembangunan Sarana
Kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab Menteri Kesehatan saja. Program Samijaga
bersifat lintas sektoral dan pihak-pihak yang terlibat dalam program ini antara lain Menteri
Dalam Negeri (menyusun petunjuk lebih lanjut pelaksanaan program di daerah-daerah),
Menteri Keuangan (menentukan jumlah bantuan yang akan dialokasikan sesuai dengan
perencanaan), Menteri Pekerjaan Umum & Tenaga Listrik (mengatur pembangunan fasilitas-
fasilitas dalam program bantuan), dan Menteri EKUIN/Ketua Bappenas (mengkoordinir tugas
kementerian-kementerian terkait).
Program Penyediaan Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga (Samijaga)
Pada masa Pelita II hingga Pelita III, pembangunan Program Samijaga lebih
ditekankan pada pembangunan fisik sarana air minum dan jamban keluarga. Barulah pada
masa Pelita IV hingga Pelita VI, disamping realisasi fisik, pelaksanaan Program Bantuan
Pembangunan Sarana Kesehatan juga menjadikan penyuluhan kesehatan dan peran serta
18 Ibid., Pasal 2. 19 Departemen Kesehatan R.I. ( Sejarah Kesehatan Nasional Jilid III), Op. Cit., hlm. 61.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
masyarakat sebagai sasaran keberhasilan program.20 Sarana penyediaan air minum dalam
Program Samijaga yang akan dibangun adalah sarana penyediaan air minum perdesaan
berupa: 1) penampungan mata air dengan perpipaannya (PP); 2) penampungan air hujan
(PAH); 3) perlindungan mata air (PMA); 4) sumur artesis; 5) sumur pompa tangan dangkal
(SPT DKL); 6) sumur pompa tangan dalam (SPT DLM); 7) sumur gali; 8) hidran umum.21
Sedangkan untuk pembuangan kotoran diusahakan pembangunan jamban yang sesuai dengan
syarat kesehatan dan pada Program Samijaga bentuk kontruski jamban yang digunakan adalah
jamban model leher angsa.
Sarana air minum dan jamban keluarga yang dibangun selama Pelita II hingga Pelita
III mengalami peningkatan. Dana yang dialokasikan pada Pelita II untuk sarana air minum
adalah 21,889 milyar rupiah dan sanitasi sebesar 5,59 milyar rupiah. Pada Pelita III, di bawah
Menteri Kesehatan Soewardjono Soeryaningrat (1978—1988), program Samijaga semakin
gencar dijalankan dengan penambahan alokasi dana menjadi 86,2 milyar rupiah untuk sarana
air minum dan 11,7 milyar rupiah untuk sanitasi.22 Alokasi dana yang meningkat selain untuk
lebih memeratakan jumlah bantuan ke pelosok juga dipengaruhi oleh deklarasi PBB yang
menjadikan tahun 1980 hingga tahun 1990 sebagai dasawarsa air dan sanitasi (International
Water Supply and Sanitation Decade).
Dana yang dialokasikan pada Pelita IV menurun menjadi 74,8 milyar rupiah untuk
sarana air minum dan 5,1 milyar rupiah untuk sanitasi.23 Menurut Soewardjono, pemerintah
mulai mengurangi bantuan dengan tujuan agar masyarakat secara mandiri dapat membangun
Samijaga dengan biaya dan kemampuan mereka sendiri. Pada Pelita V, dalam pelaksanaan
program Samijaga, Menteri Kesehatan Adhyatma (1988—1993) lebih memberikan perhatian
besar kepada peran serta masyarakat dalam pencarian sumber air bersih, perencanaan dan
pembangunan sarana serta pemanfaatan dan pemeliharannya. Hal ini mengakibatkan jumlah
sarana yang diberikan pada Pelita V berkurang drastis. Hingga Pelita VI, jumlah sarana yang
diberikan terus mengalami penurunan. Dibawah kepemimpinan Menteri Kesehatan Sujudi
(1993—1998), pembangunan fisik akhirnya dialihkan menjadi kegiatan penyuluhan kesehatan
20 Departemen Kesehatan R.I., Pelaksanaan Inpres Program Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan Sampai Akhir Repelita IV, (Jakarta: Library of Congress Office, 1994), hlm. 3. 21 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 1974 tentang Petunjuk Lebih Lanjut Pelaksanaan Program Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan tahun 1974/1975, hlm. 2. 22 Ibid., hlm. 50. 23 Departemen Kesehatan R.I. (Pelaksanaan Inpres Program Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan Sampai Akhir Repelita IV), Op. Cit.,hlm. 50.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
untuk memberikan pemahaman tentang program Samijaga dan pengawasan mutu lingkungan
melalui strategi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).24
Berbagai usaha dilakukan oleh pemerintah untuk mendidik masyarakat akan
pentingnya air bersih dan sanitasi dengan mengadakan penyuluhan tentang program Samijaga
melalui program-program lain seperti Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), PKMD
(Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LKMD), Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga),
dan Pramuka.
Pelaksanaan Program Samijaga di Beberapa Wilayah di Indonesia Pelaksanaan pembangunan program Samijaga oleh pemerintah daerah dapat dilakukan
secara swakelola (pekerjaan dilakukan sendiri) atau diborongkan pada perusahaan yang
ditunjuk. Bupati/Walikota bersama-sama dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Pekerjaan
Umum melakukan diskusi untuk menentukan cara pelaksanaan pembangunan program
Samijaga. 25 Dengan demikian, masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk
menentukan cara pelaksanaan sesuai dengan kemampuan mereka tetapi tetap berpedoman
pada instruksi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan program antara lain26: (1) Gubernur
sebagai pembina dan pengawas program dibantu oleh Kepala Dinas Kesehatan Daerah
Tingkat I, (2) Bupati/Walikota dibantu oleh Kepala Bagian Pembangunan berperan sebagai
penanggung jawab program dan bertanggung jawab kepada gubernur, (3) Kepala Dinas
Kesehatan Daerah Tingkat II sebagai pimpinan proyek yang kemudian menunjuk salah satu
pejabat dalam dinasnya untuk menjadi bendaharawan proyek, (4) Kepala Dinas Pekerjaan
Umum melakukan pengawasan yang terkait dengan teknis pembangunan sarana air bersih, (5)
Camat berperan sebagai Badan Pengawas Proyek (BPP) dibantu oleh petugas Dinas
Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan.
Meskipun bantuan Samijaga diberikan dalam bentuk dana, pemerintah pusat telah
memberikan patokan jumlah Samijaga yang harus dibeli dengan dana yang dialokasikan
kepada suatu wilayah. Dana yang paling besar untuk pembangunan sarana air minum
24 Broto Wasisto, dkk., Op. Cit., hlm. 235. 25 Lihat selengkapnya dalam Instruksi Mendagri No.19 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lebih Lanjut Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan Pasal 29. 26 Diolah dari Instruksi Dalam Negeri No. 19 Tahun 1974 tentang Petunjuk Lebih Lanjut Pelaksanaan Program Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan Tahun 1974/1975 dan Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 19 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lebih Lanjut Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
dialokasikan untuk pemasangan sumur pompa tangan dangkal (SPT DKL). Alasan
pengalokasian yang besar untuk pembangunan SPT DKL adalah sarana tersebut sangat umum
dipakai masyarakat Indonesia. Khususnya bagi penyediaan sarana air minum untuk
masyarakat perdesaan, SPT DKL mudah dalam pembangunannya dan biayanya tidak begitu
mahal. Akan tetapi, tidak semua wilayah di Indonesia cocok menggunakan sarana ini.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, penggunaan SPT DKL
tidak cocok untuk diterapkan karena air yang dihasilkan dari sumur pompa tersebut
kualitasnya buruk. Akibatnya, banyak sarana air minum yang dibangun melalui program
Samijaga (umumnya sumur pompa tangan dangkal/ SPT DKL) di wilayah tersebut rusak dan
tidak dipakai.27 Di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, masyarakat terbiasa memenuhi kebutuhan
air minum sehari-hari melalui sarana PAH karena curah hujan di Kabupaten Indragiri Hilir
yang tinggi.28 Melihat banyaknya kerusakan SPT DKL, Pemda Kabupaten Indragiri Hilir pada
Pelita IV lebih memfokuskan pembangunan sarana air dalam bentuk PAH.
Pada dasarnya ketetapan dari pemerintah pusat tidak bersifat kaku, pemerintah daerah
memiliki kesempatan mengajukan rancangan kerja yang disesuaikan kemampuan daerahnya.
Dengan begitu akan terlihat bagaimana komitmen pemerintah daerah dalam melaksanakan
pembangunan kesehatan di wilayahnya. Seperti Pelaksanaan program Samijaga di Bali yang
menarik perhatian karena ketegasan Gubernur Sukarmen (1967—1978) dalam melakukan
kontrol yang ketat. Gubernur Bali dalam menerapkan pembangunan program Samijaga tidak
menggunakan pemaksaan dan diserahkan pelaksanaan sepenuhnya kepada wilayah yang
mendapat bantuan.29
Pelaksanaan program Samijaga di Kabupaten Indragiri Hilir pada Pelita IV juga
menarik karena pemerintah daerah berhasil mewujudkan pelaksanaan program Samijaga
dalam bentuk “Gerakan Masyarakat”. Dari “Gerakan Masyarakat” tersebut muncul dana
swadaya masyarakat untuk pembangunan Samijaga yang berasal dari sistem arisan dan non
arisan. 30 Di wilayah DKI Jakarta, Dinas Kesehatan memiliki cara baru dalam menentukan
keluarga yang mendapatkan bantuan Samijaga untuk tahun anggaran 1985/1986, yaitu dengan
27 North Sumatra Health Promotion Project, Final Report of North Sumatra Health Promotion Project Part. 2 Vol III: Water Supply, (Medan: North Sumatra Health Promotion Project, 1989), hlm. 5. 28 Said Rusli, Sumardjo, dan Yusman Syaukat, eds., Pembangunan dan Fenomena Kemiskinan: Kasus Profil Propinsi Riau, (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm. 23. 29 “Harap Mengaku Kalau Tak Mampu Menerima Proyek Pembangunan.” Kompas. 6 Jun. 1975: 1. 30“Pelaksanaan Pembangunan Samijaga Melalui Peran Serta Masyarakat Daerah Indragiri Hilir,” Majalah Kesehatan No. 127 1989: Pelaksanaan Pembangunan Samijaga Melalui Peran Serta Masyarakat Daerah Indragiri Hilir,” Majalah Kesehatan No. 127 1989: 53—54.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
menghimbau masyarakat yang membutuhkan bantuan Samijaga agar mendaftarkan diri ke
Puskesmas agar bantuan benar-benar diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan.31
Usaha pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan Samijaga juga dilakukan
di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dengan membentuk Badan Air yang memiliki peran
mengumpulkan dana masyarakat untuk rehabilitasi Samijaga. Perhatian dari pemerintah
daerah juga terdapat di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang, Jawa Barat, yang
mendorong masyarakat dengan memberikan dana rangsangan sebesar Rp. 25.000 per
jamban/keluarga. Dana rangsangan nantinya akan dikembalikan kepada pemerintah dengan
cara dicicil agar dapat diberikan kepada keluarga lain, tetapi apabila masyarakat tidak sanggup
mengembalikan, pemerintah juga tidak memaksakan.32
Di Kabupaten Lebak, tidak hanya bantuan fisik saja yang dimaksimalkan oleh
pimpinan proyek, melainkan juga mendorong partisipasi masyarakat dengan melakukan
pendekatan pada tokoh masyarakat yang paling dihormati, antara lain olot (tetua desa) dan
pemuka agama (alim ulama). Bupati Serang juga ikut menyukseskan program Samijaga
dengan mengeluarkan SK Bupati No. 13/1993 yang mengharuskan pegawai negeri di
lingkungan Kabupaten Serang untuk memiliki jamban keluarga karena pegawai negeri adalah
abdi negara sehingga harus menjadi panutan bagi masyarakat.33 Di Propinsi Timor Timur,
pemerintah daerah memanfaatkan LKMD untuk menggerakkan masyarakat, ketua adat atau
kepala desa untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan Samijaga. Di Desa Montaun
(Liquisa) dan Desa Taibako (Ambeno) misalnya, untuk pembangunan jamban, masyarakat
mengumpulkan dana melalui LKMD dengan nominal sebesar Rp 200.000—250.000 dalam
waktu dua hingga tiga bulan.34
Beberapa wilayah juga melakukan kerjasama dengan pihak luar untuk upaya
pemeliharaan dan teknis. Seperti Kabupaten Asahan yang bekerjasama dengan JICA (Japan
International Cooperation Agency) untuk perbaikan sarana Samijaga yang rusak dan bantuan
pembangunan SPT DLM. Selain itu, terdapat juga Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang
yang bekerjasama dengan WHO untuk melakukan rehabilitasi SPT DLM dan SPT DKL yang
dibangun pada tahun anggaran 1974/1975—1980/1981. Kemudian di Kabupaten Lebak dan
Kabupaten Serang yang mendapatkan mendapatkan bantuan dari Unicef berupa dana
rangsangan untuk program Samijaga tahun 1993.
31“Daftar ke Puskesmas, Warga DKI yang Butuhkan Samijaga,” Kompas, 19 Sep. 1985: 6. 32 “Banyak Kepala Desa yang Belum Punya Jamban.” Suara Karya. 26 Des. 1994: 9 33 Ibid. 34 Sri Irianti dan Tri P. Sasimartoyo, “Aspek Sosio-Budaya dalam Pengembangan Program Penyediaan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan di Propinsi Timor Timur,” Buletin Penelitian Kesehatan 22:3 (1994): 13.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
Pelaksanaan program Samijaga tidak selamanya berjalan dengan baik yang
diakibatkan kurangnya perencanaan, pengawasan dan pemeliharaan, hingga adanya
penyelewengan yang dilakukan oleh petugas-petugas yang melaksanakan pembangunan
Samijaga. Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, penampungan mata air yang dibangun
dengan dana Inpres Kesehatan No.5 Tahun 1974/1975 di kecamatan Gabus, Kabupaten
Grobogan, semenjak pertengahan tahun 1976 airnya tidak mengalir lagi akibat kesalahan
teknis saat membangun PP yang menyebabkan saluran air bocor dan pembangunan PP
menyebabkan berpindahnya sumber air.35
Pada bulan Juni 1975, dilaporkan bahwa pembangunan Samijaga di Bali telah 100%
dilaksanakan. Akan tetapi, kenyataan di lapangan adalah di Desa Bunutin, Kabupaten Bangli,
dari 53 buah jamban yang direncanakan baru 13 buah jamban yang selesai dibangun.36 Seperti
halnya di Kabupaten Bangli, di wilayah Jakarta Utara dan Selatan terdapat pembangunan
sarana yang terbengkalai untuk tahun anggaran 1981/1982 akibat pimpinan proyek tidak
melakukan perencanaan yang baik, utamanya perencanaan lokasi yang cocok.
Selain itu, terdapat juga kasus penyelewengan dana inpres oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Padeglang.37 Realisasi dana yang dilaporkan untuk membeli sarana juga jauh
berbeda dengan kondisi yang ada di lapangan. Setelah diselidiki oleh pihak kejaksaan,
terdapat pihak pemerintah daerah yang menerima keuntungan pribadi sebesar Rp
300.000,00.38
Dampak Positif Program Samijaga dalam Mengendalikan Penyakit Diare
Dilihat dari tujuan yang ingin dicapai oleh program Samijaga yaitu “pencegahan dan
pemberantasan penyakit waterborne disease melalui peningkatan penyediaan air minum dan
jamban keluarga”, terdapat dua hal yang dapat dijadikan tolak ukur dalam mengevaluasi
dampak program Samijaga. Tolak ukur tersebut adalah perkembangan jumlah kepemilikan
Samijaga dalam masyarakat perdesaan untuk melihat keberhasilan realisasi fisik, serta angka
kesakitan dan risiko kematian akibat penyakit diare untuk melihat dampak Samijaga terhadap
derajat kesehatan masyarakat.
35“ Produk Proyek Inpres, Empat Tahun Tak Berfungsi,” Kompas, 7 Mei 1981: 5. 36“Harap Mengaku Kalau Tak Mampu Menerima Proyek Pembangunan,” Kompas. 6 Jun. 1975: 1. 37 “Terlambat Selesai, Pembangunan Sarana Fisik Kesehatan,” Kompas, 27 Sep. 1984: 9. 38 Ibid.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
Berdasarkan survei yang dilakukan WHO, di tahun 1970 hanya 4% saja masyarakat
perdesaan yang memiliki sarana sanitasi yang baik.39 Setelah pelaksanaan program Samijaga
pada tahun 1974, presentase kepemilikan jamban di perdesaan naik menjadi 5,1 %. 40 Pada
tahun 1976, berdasarkan survei yang dilakukan Kementrian Kesehatan dan Unicef, presentase
kepemilikan jamban meningkat menjadi 18%. Di tahun 1980, menurut Survei Kesehatan
Rumah Tangga yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hingga
tahun 1998, presentase masyarakat perdesaan yang telah memiliki jamban mencapai 54,2%.41
Sama halnya dengan kepemilikan jamban yang meningkat, jumlah masyarakat yang
mendapatkan cakupan air minum yang baik juga meningkat setelah adanya program
Samijaga. Berdasarkan survei WHO, pada tahun 1971 masyarakat yang memiliki sarana air
minum yang baik hanya 4,3%.42 Jumlah tersebut kemudian mengalami peningkatan menjadi
11.2% di tahun 1980. Hingga akhir Pelita IV (1988/1989), jangkauan air minum berhasil
ditingkatkan menjadi 30,5% bagi masyarakat perdesaan.43 Pada tahun 1998, 67% rumah
tangga telah memiliki sarana air minum yang baik.44
Dampak positif program Samijaga dalam mengendalikan penyakit diare dapat dilihat
dari adanya penurunn Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA).
Hal ini karena, kasus penyakit diare paling banyak menyerang anak-anak usia 0—4 tahun
(bayi dan balita). 45 Berdasarkat Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1980, diare
merupakan penyebab nomor satu kematian bayi (hampir 55% penyebab kematian bayi dan
balita adalah penyakit diare) dan balita disusul kemudian penyakit influenza dan pneumonia.46
Setelah dilaksanakannya program Samijaga, AKB pada tahun 1971 sebesar 145 per 1000
kelahiran dan AKABA sebesar 218 per 1000 kelahiran berhasil diturunkan menjadi 58 untuk
AKB dan 71 untuk AKB di tahun 1997.47
39Sumengen Sutomo, et al., “Water Supply and Sanitation in Rural Area Indonesia,” Buletin Penelitian Kesehatan 14:4 (1986): 7. 40 Ibid. 41 Departemen Kesehatan R.I., Profil Kesehatan Indonesia 2000, (Jakarta: Pusat Data Kesehatan Depkes R.I. , 2001), hlm. 32. 42 Sumengen Sutomo, et al., Loc. Cit., hlm. 6. 43 Departemen Kesehatan R.I., Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima Bidang Kesehatan 1989/1990—1993/1994, (Jakarta: Depkes R.I., 1989), hlm. 22. 44 Departemen Kesehatan R.I. (Profil Kesehatan Indonesia 2000), Op. Cit. 45 Sidik Wasito, Sri S. Soesanto, dan Ida Bagus Indra Gotama, “Pola Distribusi Dampak Perbaikan Air Minum Terhadap Penyakit Diare Pada Anak Umur Antara 0 Sampai Dengan 10 Tahun,” Buletin Penelitian Kesehatan 15:3 (1987): 43—44. 46 Ruth P. Puffer dan L. Ratna P. Budiarso, “Mortality in Infancy and Childhood,” Buletin Penelitian Kesehatan 15:2 (1987): 42. 47 Broto Wasisto dkk., Op. Cit., hlm. 19, 63, 273; Lihat juga Departemen Kesehatan R.I. (Profil Kesehatan Indonesia 2000), Op. Cit., hlm. 22, 24.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
Berdasarkan SKRT 1986, terjadi pergeseran penyakit yang menyebabkan kematian
bayi dan diare tidak lagi mendominasi sebagai penyakit nomor satu yang mendominasi
kematian bayi (diare menyebabkan 15,5% kematian bayi).48 Pada SKRT 1992 penyakit diare
menduduki posisi kedua kematian bayi tetapi presentasenya mengalami penurunan
dibandingkan pada SKRT 1986 (diare menyebabkan 11% kematian bayi). Meskipun manfaat
kesehatan dari program Samijaga mengalami kemuduran (dengan adanya peningkatan
presentase penyakit diare menjadi 13,9% pada SKRT 1995) jumlah kematian akibat diare
tidak begitu tinggi.
Tidak hanya mengendalikan kematian bayi dan balita, program Samijaga juga
memiliki dampak positif dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat diare untuk
semua umur. Dalam kurun waktu 1984—1998, meskipun terdapat fluktuasi, angka kesakitan
dan kematian akibat diare cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1984, angka
kesakitan akibat diare adalah 26,59 per 1000 penduduk dan turun menjadi 20,68 per 1000
penduduk di tahun 1998.49 Untuk angka kefatalan kasus diare yang menyebabkan kematian
pada tahun 1984 sebesar 0.40% dan turun menjadi 0,009% di tahun 1998.50
Angka kematian (CFR) saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga mengalami
penurunan yang sangat signifikan dalam kurun waktu 1972—1997. Pada tahun 1972 CFR
pada KLB diare/kolera adalah 16% dan berhasil diturunkan pada tahun menjadi 1,8%.51
Hingga tahun 1997, pemerintah Indonesia berhasil menekan angka kematian KLB diare
hingga 1,03%. Meskipun idealnya menurut WHO angka kematian harus ditekan dibawah 1%,
penurunan yang cukup signifikan menunjukkan adanya kemajuan dari pembangunan
kesehatan dan tentunya masyarakat telah mendapatkan manfaat dari program Samijaga. Selain
itu, dapat ditekannya angka kematian juga tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk
mencegah kematian penderitanya malalui program rehidrasi yang diselenggarakan melalui
Puskesmas atau Rumah Sakit.
Hambatan-Hambatan Sosial Budaya
Kumoro Palupi dkk. mengadakan penelitian tentang pola penggunaan Samijaga di
perdesaan di pulau Jawa pada tahun 1982 untuk mengetahui aspek sosial yang mungkin akan
48 Departemen Kesehatan R.I. (Profil Kesehatan Indonesia 2000), Op. Cit., hlm. 22, 24. 49 Badan Pusat Statistik, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1990, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 1991), hlm. 258; Badan Pusat Statistik, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1991, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 1992), hlm. 253. 50 Ibid. 51 Departemen Kesehatan R.I., Indonesia Health Profile 1991, (Jakarta: Depkes R.I., 1992), hlm. 34.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
mempengaruhi pola penggunaan dan kepemilikan Samijaga. Hasilnya, alasan tidak
menggunakan jamban karena faktor sosial budaya (kebiasaan tidak menggunakan jamban)
dan ekonomi (tidak ada biaya untuk membangun jamban) menempati dua urutan teratas.52
Membahas tentang aspek sosial budaya, sangat penting untuk memahami motivasi mengapa
masyarakat menolak sistem pelayanan kesehatan atau suatu inovasi kesehatan. Motivasi
tersebut sangat dipengaruhi oleh konsep atau kepercayaan dan kebiasaan atau tingkah laku
yang telah tumbuh di dalam masyarakat yang telah diterapkan secara turun temurun bahkan
sejak lahir.
Masyarakat perdesaan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, memandang bahwa
seseorang terkena diare karena terlalu banyak mengonsumsi makanan pedas, mengonsumsi
buah setengah matang atau es.53 Apabila bayi yang terkena diare, menandakan bahwa bayi
tersebut sedang mengalami fase tumbuh kembang dan akan mengalami kemajuan seperti
mulai dapat duduk atau berjalan.54 Kepercayaan dalam masyarakat tersebut diperparah dengan
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya penyakit diare (terutama bila terserang
diare akut) sehingga masyarakat menganggap penyakit tersebut hanya penyakit perut biasa
dan mengatasinya dengan meminum obat sakit perut yang dijual di warung.55
Masyarakat perdesaan tidak menggunakan fasilitas Samijaga yang ada karena mereka
lebih suka buang air besar bersama-sama dengan tetangga agar dapat meningkatkan rasa
kebersamaan dengan tetangga.56 Sebagai contoh di Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta,
buang air besar secara berkelompok di sungai menjadi forum tukar informasi antarpetani di
perdesaan. 57 Masyarakat perdesaan di Indonesia memiliki kebiasaan untuk buang air besar di
sungai atau tempat-tempat terbuka. karena tidak membutuhkan air dan air senantiasa mengalir
di bawah mereka. Seperti masyarakat di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan,
yang lebih suka buang air besar di sungai karena lebih praktis, tidak perlu naik turun ke sungai
(untuk mengambil air) lalu jamban untuk buang air dan masyarakat di Samarinda yang lebih
suka membuat jamban rakit di tepi sungai.58
52 Kumoro Palupi et.al., “Some Social Aspect of Excreta Disposal Facilities in Java,” Buletin Penelitian Kesehatan 16:1 (1988): 15. 53 Solita Sarwono, “Personalistic Belief in Health: A Case in West Java,” Health Care in Java: Past and Present, Eds. Peter Boomgard, Rosalia Sciortino, and Ines Smyth, (Leiden: KITLV Press, 1996), hlm. 54 Ibid. 55 “Daerah-Daerah yang Terjangkit Dijaga: Enam Orang Tewas & 135 Dirawat, Terserang Muntaber Di Bekasi,” Sinar Harapan, 21 Apr. 1983: 2. 56 Kumoro Palupi et.al., Loc. Cit. 57 “Buang Hajat Besar Jadi Ajang Tukar Informasi Antarpetani,” Kompas, 26 Nov. 1992: 13. 58 “Jamban Keluarga Tidak Dimanfaatkan,” Kompas, 20 Okt. 1976: 9; Lihat juga “Lomba Jamban Keluarga di Samarinda,” Kompas, 10 Mar. 1979: 8.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
Buang hajat di tempat terbuka seperti kebun atau lahan kosong bagi masyarakat juga
praktis karena tidak perlu air dan tidak perlu membersihkan bekas kotoran. Seperti yang
dilakukan masyarakat di Kota Tegal yang lebih suka buang air besar di kebun, selokan (di
pagi hari masyarakat antre jongkok di selokan), bahkan di atas kertas koran kemudian dibuang
di jalan.59 Masyarakat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, memiliki kebiasaan dolong atau
buang air besar di balong (kolam ikan) dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah perbukitan
namun kesulitan air melakukan dolbon atau buang air besar di kebun. Kepala desa setempat
tidak melarang kebiasaan tersebut dan menjunjung tinggi kebiasaan tersebut karena buang air
besar di kolam ikan dapat membuat ikan cepat besar.60 Masyarakat desa pun menjadi terbiasa
dan wajar dengan kebiasaan tersebut karena pemimpin mereka pun bertindak demikian.
Kesimpulan
Sebagai salah satu program pembangunan kesehatan pada masa Orde Baru, program
Samijaga telah berhasil memperbaiki dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di
Indonesia. Hal ini terlihat dari angka kematian dan kesakitan akibat penyakit diare mengalami
penurunan yang signifikan dan pemerintah berhasil untuk mencegah penyakit diare
berkembang menjadi wabah. Peningkatan presentase kepemilikan sarana air minum dan
sanitasi menunjukkan bahwa program Samijaga telah mampu mendorong kesadaran
masyarakat untuk memiliki jamban supaya menghindari buang kotoran di sembarang tempat
atau di wilayah terbuka.
Keberhasilan program Samijaga dalam memperbaiki derajat kesehatan masyarakat
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kerjasama lintas sektoral yang
memanfaatkan banyak pihak (tidak hanya sektor kesehatan saja). Kedua, perencanaan
program Samijaga yang memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah (hingga pada
tingkat administrasi paling bawah yaitu pemerintahan desa) untuk mengembangkan strategi
pelaksanaan program Samijaga sesuai karakteristik wilayah dan kemampuan masyarakatnya.
Ketiga, komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk ikut dalam kesepakatan internasional
yaitu Dasawarsa Air dan Sanitasi. Keempat, adanya penelitian dan evaluasi yang dilakukan
Departemen Kesehatan untuk mengetahui dampak nyata program Samijaga. Kelima, yang
merupakan faktor terpenting dan menjadi kunci keberhasilan program Samijaga, adalah
penyuluhan tentang program Samijaga dalam program-program kesehatan atau program
59 “Kredit Pembuatan Jamban Mengantar Kodya Tegal Meraih Piala Adipura”, Kompas, 31 Desember 1993, hlm. 17. 60 “Dolong dan Dolbon, Sayang Ikan Tidak Sayang Nyawa,” Kompas, 02 Jan. 1995: 12.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
pembangunan lainnya, antara lain Puskesmas, PKMD, Posyandu, LKMD, PKK, dan
Pramuka.
Tidak dapat dimungkiri bahwa tidak semua wilayah menunjukkan pencapaian yang
gemilang. Hal tersebut utamanya dipengaruhi oleh faktor sosial budaya seperti masyarakat
yang lamban dalam menerima nilai-nilai baru tentang sanitasi modern. Mengubah masyarakat
dan memperkenalkan hal baru atau kebiasaan baru tidak dapat dilakukan secara instan dan
melalui program Samijaga pemerintah menunjukkan hasil nyata upaya penyediaan sarana air
minum dan sanitasi yang meskipun bertahap namun terencana dan berkelanjutan. Program
Samijaga adalah salah satu kebijakan penting dalam usaha pemerataan pelayanan kesehatan
pada masa Orde Baru dank arena kebijakan tersebut, Presiden Suharto mendapatkan tanda
penghargaan dari WHO berupa Health for All: Gold Medal Award.
Daftar Referensi Dokumen Pemerintah dan Statistik: Badan Pusat Statistik. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1990. Jakarta: Badan Pusat
Statistik, 1991. -------------. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1991. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 1992. Departemen Dalam Negeri. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 1974 Tentang
Petunjuk Lebih Lanjut Pelaksanaan Program Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan Tahun 1974/1975. 17 Juni 1974.
Departemen Dalam Negeri R.I.. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 1984
Tentang Pelaksanaan Lebih Lanjut Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan. 24 Mei 1984.
Departemen Kesehatan R.I. Pelaksanaan Program Pembangunan Bidang Kesehatan Tahun
Pertama Sampai Dengan Tahun Keempat Pelita II (1974/1975—1977/1978). Jakarta: Depkes R.I., 1978.
-------------. Pelaksanaan Inpres Program Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan Sampai
Akhir Repelita IV. Jakarta: Library of Congress Office, 1994. -------------. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta: Pusat Data Kesehatan Departemen
Kesehatan R.I., 2001. Department of Health Directorate of CDC Central Java Province. Rehabilitation of Existing
Water Supply in Kabupatens Rembang and Karanganyar. Semarang: Department of Health Central Java Province, 1982.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
North Sumatra Health Promotion Project. Final Report of North Sumatra Health Promotion Project Part. 2 Vol III: Water Supply. Medan: North Sumatra Health Promotion Project, 1989.
Surat Kabar: Tajuk Rencana “ Gubernur Melakukan Kontrol.” Kompas. 6 Jun. 1975: 2. “Produk Proyek Inpres, Empat Tahun Tak Berfungsi.” Kompas. 7 Mei 1981: 5. “Terlambat Selesai, Pembangunan Sarana Fisik Kesehatan.” Kompas. 27 Sep. 1984: 9. “Daftar ke Puskesmas, Warga DKI yang Butuhkan Samijaga.” Kompas. 19 Sep. 1985: 6. “Buang Hajat Besar Jadi Ajang Tukar Informasi Antarpetani.” Kompas. 26 Nov. 1992: 13. “Kredit Pembuatan Jamban Mengantar Kodya Tegal Meraih Piala Adipura.” Kompas. 31 Des.
1993: 17. “Dolong dan Dolbon, Sayang Ikan Tidak Sayang Nyawa.” Kompas. 02 Jan. 1995: 12. “Daerah-Daerah yang Terjangkit Dijaga: Enam Orang Tewas & 135 Dirawat, Terserang
Muntaber Di Bekasi.” Sinar Harapan. 21 Apr. 1983: 2. “Banyak Kepala Desa yang Belum Punya Jamban.” Suara Karya. 26 Des. 1994: 9.
Artikel Jurnal dan Majalah Sezaman (sezaman periodedisasi): Irianti, Sri, dan Tri P. Sasimartoyo, “Aspek Sosio-Budaya dalam Pengembangan Program
Penyediaan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan di Propinsi Timor Timur.” Buletin Penelitian Kesehatan 22:3 (1994): 9—23.
Palupi, Kumoro, et al., “Some Social Aspect of Excreta Disposal Facilities in Java.” Buletin
Penelitian Kesehatan 16:1 (1988): 12—17. Puffer, Ruth P., dan L. Ratna P. Budiarso. “Mortality in Infancy and Childhood.” Buletin
Penelitian Kesehatan 15:2 (1987): 40—58. Wirosardjono, Soetjipto. “Masalah Kependudukan di Indonesia.” Prisma: Kita dan Dunia
Februari 1982: 16—24. Sutomo, Sumengen, et al. “Water Supply and Sanitation in Rural Area Indonesia.” Buletin
Penelitian Kesehatan 14:4 (1986): 1—9. Wasito, Sidik, Sri S. Soesanto, dan Ida Bagus Indra Gotama. “Pola Distribusi Dampak
Perbaikan Air Minum Terhadap Penyakit Diare Pada Anak Umur Antara 0 Sampai Dengan 10 Tahun.” Buletin Penelitian Kesehatan 15:3 (1987): 35—46.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016
Buku: Alihar, Fadjri. “Penduduk dan Perubahan Sosial.” Indonesia Dalam Arus Sejarah: Orde Baru
dan Reformasi Jilid 8. Ed. Taufik Abdullah. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011. 165—189.
Cribb, Robert dan Audrey Kahin. Kamus Sejarah Indonesia. Terj. Gatot Triwira. Jakarta:
Komunitas Bambu, 2012. Terj. dari. Historical Dictionary of Indonesia, 2004. Departemen Kesehatan R.I. Sejarah Kesehatan Nasional Jilid III. Jakarta: Depkes R.I., 1980. -------------. Investasi Kesehatan untuk Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Departemen
Kesehatan R.I., 2003. Departemen Penerangan R.I. Garis-Garis Besar Halauan Negara. Jakarta: Departemen
Penerangan RI, 1973. -------------. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua 1974/75—1978/79: Buku II. Jakarta:
Deppen R.I., 1974. Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP). Buku Panduan Pemberdayaan
Masyarakat dengan Pelibatan Jender dan Kemiskinan dalam Pembangunan Sanitasi Kota. Jakarta: Bappenas, 2010.
Kementrian Kesehatan R.I. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes R.I.,
2014. Keyfitz, Nathan dan Widjojo Nitisastro. Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia. Jakarta:
PT. Pembangunan, 1955. Notosusanto, Nugroho. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sedjarah. Jakarta:
Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sedjarah ABRI, 1971. Riyadi, A.L. Slamet. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Dasar-Dasar dan Sejarah
Perkembangannya. Surabaya: Usana Offset Printing, 1982. Sarwono, Solita. “Personalistic Belief in Health: A Case in West Java.” Health Care in Java:
Past and Present. Eds. Peter Boomgard, Rosalia Sciortino, and Ines Smyth. Leiden: KITLV Press, 1996. 81—91.
Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan Indonesia. Perkembangan dan Tantangan Masa
Depan Promosi Kesehatan di Indonesia: Dari Propaganda sampai Promosi Kesehatan. Jakarta: Kemenkes R.I., 2011.
Siwabessy, Geritz A. Upuleru: Memoar Dr. G.A. Siwabessy. Jakarta: Gunung Agung, 1979. Wasisto, Broto, dkk. Sejarah Pembangunan Kesehatan Indonesia 1973—2012. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI, 2012.
Program Penyediaan ..., Galuh Fathim Az Zahra, FIB UI, 2016