Download - Proposal Tugas Pengenalan Profesi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan global baik di negara
maju dan terlebih di negara berkembang. Di Indonesia penyakit infeksi merupakan salah
satu masalah penting yang menjadi perhatian dalam upaya peningkatan kesehatan, dari
data statistik menunjukkan bahwa penyakit infeksi merupakan penyebab kematian kedua
di negara berkembang termasuk Indonesia setelah penyakit jantung (Ridwan, 2012).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian
tersering pada anak di negara berkembang. ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang
dapat berlangsung sampai 14 hari, di mana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat
infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernapasan atau struktur yang berhubungan dengan
saluran pernapasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002).
Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke
sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15-30% dari
seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah episode ISPA di Indonesia
diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda antar daerah (Wantania, Roni dan Audrey,
2008).
Mengingat tingginya kasus ISPA pada anak-anak di Indonesia, maka pada tugas
pengenalan profesi blok respirasi ini penulis merasa perlu untuk membahas mengenai
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada anak di Lingkungan Tempat Tinggal.
Tugas pengenalan profesi ini mengharuskan mahasiswa untuk turun langsung ke
lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat sehingga akan menambah pengalaman
mahasiswa dalam observasi lapangan.
1.2 Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah dalam tugas pengenalan profesi kali ini:
1. Apa saja faktor risiko dari ISPA pada pasien?
2. Bagaimana manifestasi klinis yang terdapat pada pasien?
3. Bagaimana pencegakkan diagnosis pada pasien?
4. Bagaimana penatalaksanaan yang sudah dilakukan pada pasein?
5. Bagaimana pencegahan yang dilakukan agar penyakit tidak berulang pada pasien?
6. Adakah pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan?
1
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu:
1. Mengetahui infeksi saluran pernapasan akut yang paling sering terjadi pada
anak-anak.
2. Memenuhi kewajiban tugas pengenalan profesi demi mencapai kelulusan blok
XI.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan menjelaskan faktor risiko ISPA pada pasien.
2. Menjelaskan manifestasi klinis yang terdapat pada pasien serta perjalanan
penyakitnya.
3. Menjelaskan cara penegakkan diagnosis pada pasien.
4. Menjelaskan penatalaksanaan yang sudah dilakukan pada pasien.
5. Menjelaskan pencegahan yang dapat dilakukan agar penyakit tidak berulang pada
pasien.
6. Menjelaskan ada atau tidak pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan.
1.4 Manfaat
Berikut ini adalah manfaat dari tugas pengenalan profesi kali ini:
1. Menambah ilmu tentang embriologi, anatomi, fisiologi dan mekanisme pertahanan
sistem respirasi.
2. Menambah ilmu tentang definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi faktor risiko,
manifestasi klinis, cara penularan dan pencegahan ISPA.
3. Menambah pengalaman dalam observasi lapangan terhadap pasien ISPA anak secara
langsung.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi dan Perkembangan Sistem Respirasi
Menurut Jeremy, dkk (2008), asal embriologis paru adalah endoderm primitif usus
depan (foregut), yang akhirnya membentuk epitel dan kelenjar-kelenjar laring, trakea dan
paru, serta mesoderm splanknik yang membentuk kartilago, otot polos, parenkim paru dan
jaringan ikat. Seperti umumnya banyak organ glandular, paru berkembang melalui
morfogenesis percabangan, dengan pertunasan dan percabangan endoderm/epitel ke dalam
mesoderm. Proses tersebut memerlukan pemberian sinyal resiprokal di antara epitel dan
mesoderm, dengan mesoderm terutama berperan untuk pemrograman perkembangan
epitel yang berdekatan menjadi struktur-struktur yang relevan. Banyak molekul yang
memberi sinyal penting untuk orkestrasi morfogenesis percabangan selama perkembangan
paru, termasuk faktor-faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan fibroblas (fibroblast
growth factor; FGF), faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth factor, EGF) dan
faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (platelet-derived growth factor, PDGF);
faktor pertumbuhan endotelial vaskuler (vascular endothelial growth factor, VEGF)
penting untuk perkembangan pembuluh darah paru. Perkembangan sistem respirasi
biasanya dibagi menjadi lima tahap atau periode, yaitu periode embrionik,
pseudoglandular, kanalikular, sakular dan alveolar.
Gambar 1. Embriologis Paru
3
2.1.1 Periode Embrionik
Cabang trakeobronkial berasal dari saluran laringotrakeal, di bawah
kantong faringeal IV pada ujung (ekor) kaudal faring primordial. Saluran
laringotrakeal mulai tampak sesaat sebelum minggu keempat perkembangan,
setelah jantung mulai berdenyut. Pada akhir minggu ke-4, ujungnya bercabang
dua menjadi dua tunas bronkial, progenitor-progenitor dua bronkus utama dan
cabang bronkial (Jeremy dkk, 2008).
Gambar 2. Tunas Bronkial
2.1.2 Periode Pseudoglandular (minggu ke 5 – 17)
Menurut Jeremy, dkk (2008), saat ini tunas bronkial telah berkembang
menjadi celah primordial dan bronkus primer sedikit lebih besar, yang akhirnya
dibagi oleh morfogenesis percabangan menjadi lima bronkus sekunder (tiga
kanan, dua kiri). Pada minggu ketujuh, bagian tersebut mulai bercabang secara
progresis menjadi 10 (kanan) atau delapan sampai Sembilan (kiri) bronkus
segmental (tersier), masing-masing akhirnya membentuk segmen
bronkopulmonal. Pada minggu ke-17, sebagian besar struktur utama paru telah
terbentuk dan dilapisi oleh sel-sel epitel kulumnar. Terdapat pembuluh darah
konduktan, tetapi permukaan pertukaran gas masih belum berkembang sehingga
janin yang dilahirkan selama periode ini tidak dapat hidup.
Gambar 3. Morfogenesis Percabangan
4
2.1.3 Periode Kanalikular (minggu ke 16 – 25)
Kartilago bronkial, otot polos, kapiler paru dan jaringan ikat berkembang
dari mesoderm. Terjadi diferensiasi progresif dan penipisan sel-sel epitel. Bronkus
akan mengalami subdivisi sampai 17 kali setelah 24 minggu, yang akhirnya
membentuk bronkiolus respiratorius yang membagi dengan sendirinya menjadi
tiga sampai enam duktus alveolares dan beberapa sakus terminalis berdinding
tipis. Semuanya dilapisi oleh pneumosit alveolar tipe I yang sangat tipis (sel
skuamosa), yang bersama-sama dengan sel endotelial dari kapiler membentuk
membran alveolakapiler (permukaan pertukaran gas). Terdapat beberapa
pneumosit tipe II, yaitu sel-sel epitel sekretori yang menghasilkan surfaktan.
Surfaktan tersebut mengurangi tegangan permukaan dan memungkinkan ekspansi
sakus terminalis/alveolus, tetapi meskipun ada dalam jumlah kecil dari minggu
ke-20, tetap saja tidak cukup menunjang pernapasan yang tidak dibantu sampai
setelah 26 minggu. Beberapa pertukaran gas dapat terjadi pada akhir periode ini,
karena terdapat sakus terminalis berdinding tipis maupun vaskularisasi yang baik,
tetapi tingkat umum imaturitas mempunyai arti bahwa janin yang lahir akhir
minggu ke-24 secara normal akan meninggal meskipun mendapatkan perawatan
intensif (Jeremy dkk, 2008).
2.1.4 Periode Sakular (minggu ke 24 sampai partus)
Menurut Jeremy, dkk (2008), Pada periode ini terjadi perkembangan cepat
jumlah sakus terminanlis dan jalinan kapiler pulmonal dan kapiler limfatik.
Surfaktan dan vaskularisasi yang cukup terbentuk dalam keadaan normal antara
minggu ke-24 sampai minggu ke-26 sehingga memungkinkan beberapa janin
prematur tetap hidup, meskipun sangat bervariasi. Surfaktan betambah secara
signifikan dalam dua minggu sebelum lahir.
2.1.5 Periode Alveolar (akhir masa janin sampai masa kanak-kanak)
Kelompok alveolus imatur terbentuk selama bagian awal periode ini,
alveolus tipe matur dalam septum-septum interalveolar dan permukaan pertukaran
gas tidak tampak sampai setelah lahir. Gerakan pernapasan janin ada sebelum
lahir, dengan aspirasi cairan amniotik dan hal tersebut merangsang pertumbuhan
paru dan pengkondisian otot respirasi. Perkembangan paru terganggu jika
pernapasan janin tidak ada, cairan amniotik tidak adekuat (oligohidramnion), atau
ruang untuk pertumbuhan paru tidak ada. Penambahan ukuran paru pada lebih
5
dari 3 tahun pertama terutama disebabkan oleh penambahan jumlah alveolus dan
bronkus respiratorius. Setelah itu, baik jumlah maupun ukuran alveolus
bertambah. Lebih dari 90 % alveolus terbentuk setelah lahir, yang mencapai
maksimum setelah 7-8 tahun. Pada akhir perkembangan paru, terdapat sekitar 23
generasi jalan napas, dengan sekitar 17 juta cabang (Jeremy dkk, 2008).
2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi
2.2.1 Anatomi Sistem Respirasi
Gambar 4. Anatomi Sistem Respirasi
A. Hidung
Menurut Snell (2006), hidung terdiri atas nasus externus (hidung luar)
dan cavum nasi. Nasus externus mempunyai ujung yang bebas, yang
dilekatkan ke dahi melalui radix nasi atau jembatan hidung. Lubang luar
hidung adalah kedua nares atau lubang hidung. Setiap naris dibatasi di lateral
oleh ala nasi dan di medial oleh septum nasi.
Rangka nasus externus dibentuk di atas oleh os. nasale, processus
frontalis ossis maxillaries dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah rangka ini
dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu kartilago nasi superior dan
inferior serta kartilago septi nasi (Snell, 2006).
Cavum nasi merupakan rongga yang dipisahkan oleh septum. Lubang
depan disebut sebagai nares anterior dan lubang belakang merupakan koana
yang memisahkan antara cavum nasi dengan nasofaring. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang
6
sedangkan bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian dari cavum nasi
yang tepat berada di belakang nares anterior disebut vestibulum, yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang. Dasar
rongga hidung melekat dengan palatum durum dan sebagian besar dari atap
hidung dibentuk oleh epitel olfaktorius dan lamina kribiformis os ethmoidalis,
yang memisahkannya dengan rongga tengkorak (Boediman dan Muljono,
2008).
Cavum nasi memiliki 4 dinding dan pada dinding lateralnya terdapat 3
buah konka, yaitu konka superior, konka media dan konka inferior. Rongga
yang terletak di antara konka disebut sebagai meatus. Bergantung pada
letaknya, meatus dibagi menjadi 3, yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dasar hidung dengan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di bawah konka medius dan merupakan
saluran yang penting karena hampir seluruh sinus bermuara di saluran ini, yang
kemudian membentuk osteo-meatal kompleks. Adanya kelainan pada daerah
ini dapat mengganggu ventilasi dan bersihan mukosiliar sehingga
mempermudah terjadinya rinosinusitis. Meatus superior merupakan muara dari
sinus spenoidalis (Boediman dan Muljono, 2008).
Cavum nasi merupakan saluran respiratori primer pada saat bernapas.
Saat bernapas dengan menggunakan pernapasan hidung, terdapat tahanan
sebesar lebih dari 50 %, dari seluruh tahanan pada saluran respiratori. Tahanan
tersebut dua kali lipat lebih banyak bila dibandingkan dengan pernapasan
mulut (Boediman dan Muljono, 2008).
B. Faring
Menurut Boediman dan Muljono (2008), faring memiliki 3 bagian yang
terdiri dari nasofaring yaitu bagian yang langsung berhubungan dengan cavum
nasi, kemudian dilanjutkan dengan orofaring dan terakhir adalah laringofaring.
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral, yang secara anatomi termasuk bagian faring. Orofaring
yang merupakan bagian kedua faring, setelah nasofaring, dipisahkan oleh otot
membranosa dari palatum lunak. Yang termasuk bagian orofaring adalah dasar
lidah (1/3 posterior lidah), valekula, palatum, ovula, dinding lateral faring
termasuk tonsila palatine serta dinding posterior faring. Laringofaring
merupakan bagian faring yang dimulai dari lipatan faringoepiglotika ke arah
7
posterior, inferior terhadap esofagus segmen atas (Boediman dan Muljono,
2008).
C. Laring
Menurut Snell (2006), laring adalah organ khusus yang mempunyai
sphincter pelindung pada pintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam
pembentukan suara (fonasi). Di atas laring terbuka ke dalam laringofaring dan
di bawah laring berlanjut sebagai trakea.
Kerangka laring dibentuk oleh beberapa kartilago yang dihubungkan
oleh membrana dan ligamentum dan digerakan oleh otot. Laring dilapisi oleh
membrana mukosa (Snell, 2006).
Epiglotis merupakan kartilago yang berbentuk seperti lembaran, yang
melekat pada dasar lidah dan kartilago tiroid. Kartilago tiroid merupakan
struktur kartilago yang terbesar pada laring, yang membentuk jakun (Adam’s
Apple). Kartilago tiroid terdiri atas 2 sayap atau alae yang bergabung pada
garis tengah anterior dan meluas ke arah belakang. Pada bagian depan terdapat
tonjolan yang disebut thyroid notch. Pada bagian belakang terdapat 2 prosesus,
yaitu prosesus superior dan inferior. Kartilago krikoid melekat pada daerah
posterior inferior. Pada bagian depan, kartilago krikoid disatukan oleh
membrane krikotiroid. Kartilago krikoid merupakan tulang rawan yang
berbentuk cincin penuh. Kartilago aritenoid merupakan bagian dari laring yang
berperan pada pergerakan pita suara. Kartilago ini terletak di belakang
kartilago tiroid dan merupakan kartilago paling bawah dari laring. Di setiap
sisi kartilago krikoid, terdapat ligamentum krikoaritenoid, otot krikoartitenoid
lateral dan otot krikoaritenoid posterior (Boediman dan Muljono, 2008).
Pada bagian dalam laring terdapat 2 lipatan yang menyatu pada bagian
depan serta memiliki mukosa yang berwarna merah. Lipatan ini disebut
sebagai pita suara palsu. Pada bagian bawah lipatan terdapat ruang yang
disebut sebagai ventrikel. Bibir bawah ventrikel dibentuk oleh otot yang
disebut sebagai pita suara asli. Bagian anterior pita suara asli melekat pada
garis tengah sampai permukaan posterior kartilago tiroid dan bagian posterior
pita suara melekat pada kartilago aritenoid. Pada bagian bawah pita suata
terdapat bagian tersempit dari laring yaitu celah subglotis yang membentang
pada membran krikotiroid (Boediman dan Muljono, 2008).
8
D. Trakea, Brokus dan Bronkiolus
Menurut Boediman dan Muljono (2008), trakea merupakan bagian dari
saluran respiratori yang bentuknya menyerupai pipa serta memanjang mulai
dari bagian inferior laring, yaitu setinggi servikal 6 sampai daerah
percabangannya (bifurcatio) yaitu antara torakal 5-7. Panjangnya sekitar 9-15
cm. Trakea terdiri dari 15-20 kartilago hyaline yang berbentuk huruf C dengan
bagian posterior yang tertutup oleh otot. Bentuk tersebut dapat mencegah
trakea untuk kolaps. Adanya serat elastin longitudinal pada trakea,
menyebabkan trakea dapat melebar dan menyempit seusai dengan irama
pernapasan. Trakea mengandung banyak reseptor yang sensitive terhadap
stimulus mekanik dan kimia. Otot trakea yang terletak pada bagian posterior
mengandung reseptor yang berperan pada regulasi kecepatan dan dalamnya
pernapasan.
Trakea terbagi menjadi 2 bronkus utama, yaitu bronkus utama kanan
dan kiri. Bronkus utama kanan memiliki rongga yang lebih sempit dan lebih
horizontal bila dibandingkan dengan bronkus utama kiri. Hal tersebut
menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke paru kanan daripada kiri.
Trakea dan bronkus terdiri dari kartilago dan dilapisi oleh epiter bersilia yang
mengandung mukus dan kelenjar serosa. Bronkus kemudian akan bercabang
menjadi bagian yang lebih kecil dan halus yaitu bronkiolus. Bronkiolus dilapisi
oleh epitel bersilia namun tidak mengandung kelenjar serta dindingnya tidak
mengandung jaringan kartilago (Boediman dan Muljono, 2008).
E. Alveolus
Menurut Boediman dan Muljono (2008), bronkiolus berakhir pada
suatu struktur yang menyerupai kantung, yang dikenal dengan nama alveolus.
Alveolus terdiri dari lapisan epitel dan matriks ekstraseluler yang dikelilingi
oleh pembuluh darah kapiler. Alveolus mengandung 2 tipe sel utama, yaitu sel
tipe 1 yang membentuk struktur dinding alveolus dan sel tipe 2 yang
menghasilkan surfaktan. Alveolus memiliki kecenderungan untuk kolaps
karena ukurannya yang kecil, bentuknya yang sferikal dan adanya tegangan
permukaan. Namun hal tersebut dapat dicegah dengan adanya fosfolipid, yang
dikenal dengan nama surfaktan dan pori-pori pada dindingnya.
Alveolus berdiameter 0,1 mm dengan ketebalan dinding hanya 0,1 µm.
Pertukaran gas terjadi secara difusi pasif dengan bergantung pada gradien
konsentrasi. Setiap paru mengandung lebih dari 300 juta alveolus. Setiap
9
alveolus dikelilingi oleh sebuah pembuluh darah (Boediman dan Muljono,
2008).
2.2.2 Fisiologi Sistem Respirasi
Menurut Djojodibroto (2009), respirasi adalah suatu proses pertukaran gas
antara organisme dengan lingkungan, yaitu pengambilan oksigen dan eliminasi
karbondioksida. Respirasi eksternal adalah proses pertukaran gas (O2 dan CO2)
antara alveoli dengan kapiler pulmonal sedangkan respirasi internal adalah proses
pertukaran gas (O2 dan CO2) antara kapiler sistemik dengan jaringan.
Situasi faal paru seseorang dikatakan normal jika hasil kerja proses
ventilasi, distribusi, perfusi, difusi, serta hubungan antara ventilasi dengan perfusi
pada orang tersebut dalam keadaan santai menghasilkan tekanan parsial gas darah
arteri (PaO2 dan PaCO2) yang normal. Yang dimaksud dengan santai adalah
keadaan ketika jantung dan paru tanpa beban kerja berat (Djojodibroto, 2009).
Ventilasi meliputi volume udara yang bergerak masuk dan keluar dari
hidung atau mulut pada proses bernapas. Setelah proses ventilasi, udara yang telah
memasuki saluran napas didistribusikan ke seluruh paru, kemudian masuk ke
dalam alveoli. Perfusi paru adalah sirkulasi darah di dalam pembuluh darah
kapiler paru. Difusi yang terjadi di dalam paru adalah perpindahan molekul
oksigen dari rongga alveoli melintasi membrana kapiler alveolar, kemudian
melintasi plasma darah, selanjutnya menembus sel darah merah dan akhirnya
masuk ke interior sel darah merah hingga berikatan dengan hemoglobin
(Djojodibroto, 2009).
10
2.3 Mekanisme Pertahanan Sistem Respirasi
Gambar 5. Mekanisme Pertahanan Paru
Menurut Jeremy, dkk (2008), inhalasi udara juga memungkinkan masuknya debu,
partikel iritan dan patogen. Area permukaan paru yang sangat luas menyebabkan banyak
kemungkinan mengalami kerusakan akibat benda asing tersebut. Lingkungan lembab dan
hangat merupakan kondisi ideal untuk perkembangan bakteri dan lain-lain. Namun,
saluran napas memiliki suatu kisaran mekanisme pertahanan yang kuat. Disfungsi
mekanisme tersebut mendasari timbulnya penyakit respirasi.
2.3.1 Pertahanan Fisik dan Fisiologis
Cavum nasi dan nasofaring berperan sebagai sawar fisik terhadap partikel-
partikel dengan ukuran > 10 µm, dalam bentuk rambut dan mukus yang menjadi
tempat perlekatan partikel-partikel. Transpor mukosilier pada akhirnya
memindahkan partikel-partikell tersebut ke faring, kemudian ditelan. Hanya
partikel yang < 5 µm biasanya kemudian masuk melewati trakea. Nasofaring juga
memiliki fungsi sebagai penghangat dan pelembab penting bagi udara inhalasi,
sehingga mencegah kekeringan epitel. Partikel iritan dalam hidung dan trakea
yang diinhalasi atau dibawa dari regio distal melalui transpor mukosilier
merangsang reseptor iritan, yang mencetuskan bersin dan batuk untuk
mengeluarkan benda asing (Jeremy dkk, 2008).
2.3.2 Sekresi Jalan Napas dan Mukus
11
Menurut Jeremy, dkk (2008), epitel respiratori dilapisi oleh 5-10 µm
lapisan mukus gelatinosa (fase gel) yang mengambang pada suatu lapisan cair
yang sedikit lebih tipis (fase sol). Silia pada sel-sel epitel berdenyut secara
sinkron, sehingga ujungnya dijumpai fase gel dan menyebabkannya bergerak ke
arah mulut, membawa partikel dan debris seluler bersamanya (transpor
mukosilier).
Waktu yang diperlukan mukus dari bronkus besar untuk mencapai faring
adalah sekitar 40 menit dan dari bronkiolus respiratorius perlu beberapa hari
(Jeremy dkk, 2008).
Mukus dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar submukosa.
Unsur utamanya adalah glikoprotein kaya karbohidrat yang disebut dengan musin
yang memberikan sifat seperti gel pada mukus (Jeremy dkk, 2008).
Menurut Jeremy, dkk (2008), lisozim disekresi dalam jumlah besar pada
jalan napas dan memiliki sifat anti-jamur dan bakterisidal; enzim tersebut
memberikan imunitas non-spesifik pada saluran napas.
Imunoglobulin A sekretori (IgA) adalah immunoglobulin utama dalam
sekresi jalan napas serta dengan IgM dan IgG mengaglutinasi dan mengopsonisasi
partikel antigenik; IgA juga menahan perlekatan mikroba ke mukosa (Jeremy dkk,
2008).
2.3.3 Makrofag Paru
Menurut Jeremy, dkk (2008), makrofag adalah fagosit mononuklear yang
ditemukan di sepanjang saluran napas. Makrofag bekerja sebagai sentinel dalam
jalan napas, yang memberikan proteksi halus melawan mikroorganisme yang
diinhalasi serta partikel lain dengan fagositosis dan produksi agen-agen
antimikroba poten yang meliputi spesies oksigen reaktif.
Epitel alveolar tidak memiliki silia, sehingga makrofag alveolar
merupakan kunci untuk membuang materi dan merupakan sel utama yang ada
dalam alveoli. Makrofag alveolar ini juga dapat bekerja sama dengan sel-sel dan
zat-zat lain yang memberikan respon imun (Jeremy dkk, 2008).
2.4 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak
12
2.4.1 Definisi
ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari
saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003).
Menurut Depkes RI (2004), Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering
disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris
Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,
saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan
bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran
pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran
pernapasan (respiratory tract).
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang dapat
berlangsung sampai 14 hari, di mana secara klinis suatu tanda dan gejala akut
akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernapasan atau struktur yang
berhubungan dengan saluran pernapasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
2.4.2 Klasifikasi
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomi
Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), berdasarkan lokasi anatomisnya
ISPA digolongkan menjadi infeksi saluran pernapasan atas akut dan infeksi
saluran pernapasan bawah akut.
a. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut
Infeksi saluran pernapasan atas akut adalah infeksi primer respiratori di
atas laring. Infeksi saluran pernapasan atas akut terdiri dari rhinitis,
faringitis, tonsillitis, rhinosinusitis dan otitis media (Wantania, Roni dan
Audrey, 2008).
1) Rhinitis (common cold)
13
Rhinitis atau dikenal juga sebagai common cold, coryza, cold atau
selesma adalah salah saru dari penyakit infeksi saluran pernapasan atas
akut tersering pada anak. Rhinitis ditandai dengan pilek, bersin, hidung
tersumbat, iritasi tenggorokan dan dapat disertai dengan atau tanpa
demam. Gejala lain meliputi nyeri tenggorokan, batuk, rewel, gangguan
tidur dan penurunan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik tidak
menunjukkan tanda yang khas, tetapi dapat dijumpai edema dan
eritema mukosa hidung serta limfadenopati servikal anterior (Naning,
Rina dan Amalia, 2008).
Hampir semua rhinitis disebabkan oleh virus. Virus penyebab tersering
adalah Rhinovirus, sedangkan virus lain adalah virus parainfluenza,
Respiratory Syncytil Virus (RSV) dan Coronavirus. Dengan demikian,
antibiotik tidak diperlukan dalam tatalaksana rhinitis. Hanya dalam
keadaan tertentu saja bakteri berperan dalam rhinitis yaitu jika
merupakan bagian dari faringitis seperti pada rhinofaringitis atau
nasofaringitis (Naning, Rina dan Amalia, 2008).
2) Faringitis dan Tonsilitis
Faringitis dan tonsilitis akut sebagian besar disebabkan oleh virus, yaitu
adenovirus, rhinovirus, coronavirus, dan influenza. Penyebab infeksi
bakteri adalah Streptococci B, Streptococcus pneumoniae, dan
Haemophilus influenza (Chapman dkk, 2005).
Manifestasi klinis adalah nyeri tenggorokan, yang biasanya bersifat
self-limiting. Gejala klinis yang lain muncul adalah demam, malaise,
lymphadenopathy, conjunctivitis, sakit kepala, mual, dan muntah.
Penatalaksanaan biasanya bersifat supportif, tetapi penggunaan
antibiotik bisa mengurangi komplikasi yang terjadi misalnya sinusitis
dan demam rematik. Penatalaksanaan awal adalah penicilin atau
makrolida (Chapman, 2005).
3) Sinusitis
Sinus paranasal umumnya steril, ia berhubungan dengan hidung,
sehingga rentan untuk mengalami infeksi. Mukosiliar membersihkan
drainase sinus, jika terjadi blokade dari drainase maka akan rentan
mengalami infeksi bakteri. Awalnya sinusitis diawali dengan batuk
pilek, atau infeksi gigi. Gejala klinis yang dialami pasien adalah
demam dan nyeri sinus, yang diperburuk dengan posisi condong ke
14
depan. Sinusitis akut adalah radang pada sinus paranasal yang terjadi
kurang dari 3 bulan (Chapman, 2005).
Secara epidemiologi, sinusitis akut muncul 1 dari 200 kasus infeksi
saluran napas atas yang akut di dunia. Etiologi yang paling sering
dialami adalah virus dan bakteri. Virus akan mengganggu barrier dari
mukosa sehingga memproduksi eksudat dengan disertai infeksi
bakterial sekunder. Etiologi dari bakteri yang tersering adalah S.
Pneumoniae, H. Influenzae, S. aureus dan S. Pyogenes (Chapman,
2005).
4) Otitis Media
Otitis media adalah suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan
efusi telinga tengah, yang merupakan penumpukan cairan di telinga
tengah. Otitis media akut paling sering terjadi pada anak-anak dan
termasuk diagnosis yang paling sering pada anak dengan gejala panas.
Membran timpani yang cembung merupkan salah satu tanda kecurigaan
terhadap otitis media (Dadiyanto, 2008).
Gejala dapat diawali dengan infeksi saluran napas yang kemudian
disertai keluhan nyeri telinga, demam dan gangguan pendengaran. Pada
bayi gejala ini dapat tidak khas sehingga gejala yang timbul seperti
iritabel, diare, muntah, malas minum dan sering menangis. Pada anak
yang lebih besar keluhan biasanya rasa nyeri dan tidak nyaman pada
telinga (Dadiyanto, 2008).
b. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut
Infeksi saluran pernapasan bawah akut adalah infeksi dari laring ke bawah.
Infeksi saluran pernapsan bawah akut terdiri dari epiglotitis, croup
(laringotrakeobronkitis), bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia (Wantania,
Roni dan Audrey, 2008).
1) Epiglotitis
Epiglotitis merupakan infeksi yang sangat serius dari epiglotis dan
struktur supraglotis, yang berakibat obstruksi jalan napas akut dan
menyebabkan kematian jika tidak diobati. Epiglotitis hampir selalu
disebabkan oleh Haemophilus influenza tipe B. Penyebab lain adalah
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan lain-lain
(Yangtjik dan Fatimah, 2008).
15
Gambaran klinis epiglotitis antara lain demam tinggi, tidak selalu batuk
(batuk jarang), disfagia berat, dispnea, drooling dan gambaran
radiologis Positive thumb sign (Yangtjik dan Fatimah, 2008).
2) Croup Syndrome (Laringotrakeobronkitis Akut)
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit
heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus.
Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara
serak, stidor inspirasi dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.
(Yangtjik dan Dwi, 2008).
Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah
Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3 dan 4, virus
influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan
virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma
pneumonia (Yangtjik dan Dwi, 2008).
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu
tinggi selama 12-72 hari, hidung berair, nyeri menelan dan batuk
ringan. Kondisi ini akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara
menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik yang berkembang seperti
demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stidor
inspiratorik yang berat, retraksi, anak tampak gelisah, dan akan
bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam
pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu
satu minggu. Anak akan sering menangis, rewel dan akan merasa
nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong (Yangtjik dan Dwi,
2008).
3) Bronkitis
Bronkitis akut merupakan peradangan akut membrane mukosa bronkus
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Penyebab yang paling sering
adalah virus influenza, parainfluenza, adenovirus serta rhinovirus.
Bakteri yang sering menjadi penyebab adalah Mycoplasma pneumonia,
tetapi biasanya bukan merupakan infeksi primer (Djojodibroto, 2009).
Manifestasi klinis biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran
pernapasan bagian atas seperti hidung buntu (stuffy), pilek (runny nose)
dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan sampai berat,
biasanya dimulai dengan batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat
16
mengganggu di waktu malam. Udara dingin, banyak bicara, napas
dalam serta tertawa akan merangsang terjadinya batuk. Pasien akan
mengeluh ada nyeri retrosternal dan rasa gatal pada kulit. Setelah
beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang banyak; dapat
bersifat mukus tetapi dapat juga mukopurulen. Peradangan bronkus
biasanya menyebabkan hiperreaktivitas saluran pernapasan yang
memudahkan terjadinya bronkospasme (Djojodibroto, 2009).
4) Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran pernapasan bawah akut
yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya,
infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Sekitar 95% dari kasus tersebut
secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Secara klinis
ditandai dengan periode pertama wheezing pada bayi yang didahului
dengan gejala ISPA (Naning, Hadianto dan Amalia, 2008).
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Berdasarkan anamnesis, gejala awal berupa gejala ISPA akibat virus,
seperti pilek ringan, batuk dan demam. Satu hingga dua hari kemudian
timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat
ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi,
muntah setelah batuk, rewel dan penurunan nafsu makan. Pemeriksaan
fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya
takipnea, takikardi dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Selain itu,
dapat juga ditemukan konjungtivitis dan faringitis. Obstruksi saluran
pernapasan bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan
gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan
yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan
napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga
ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat
terjadi dan bila gejala menghebat dapat terjadi apnea, terutama pada
bayi berusia < 6 minggu. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur
virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay
dan enzyme-linked immunosorbent assay, ELISA) atau polymerase
chain reaction (PCR) dan pengukuran titer antibody pada fase akut dan
konvalesens (Naning, Hadianto dan Amalia, 2008).
17
5) Pneumonia
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Etiologi
pneumonia pada neonates dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B
dan bakteri Gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau
Klesiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia
sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza tipe B dan Staphylococcus aureus, sedangkan
pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering
juga ditemukan Mycoplasma pneumoniae (Said, 2008).
Menurut Said (2008), gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak
bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah
sebagai berikut:
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual,
muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.
2. Klasifikasi ISPA Menurut Depkes RI
Menurut Depkes RI (2002), klasifikasi ISPA dibagi berdasarkan tingkat berat
ringannya.
a. ISPA Ringan
Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala
batuk pilek dan sesak.
b. ISPA Sedang
Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang apabila timbul gejala sesak
napas, suhu tubuh lebih dari 39oC dan bila bernapas mengeluarkan suara
seperti mengorok.
c. ISPA Berat
Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat apabila kesadaran menurun,
nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi
membiru (sianosis) dan gelisah.
18
3. Klasifikasi ISPA Menurut WHO
Berikut ini adalah klasifikasi ISPA menurut WHO:
a. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan, terdiri dari:
1) Pneumonia berat, ditandai dengan adanya napas cepat yaitu frekuensi
pernapasan sama atau lebih dari 60 kali per menit atau adanya tarikan
yang kuat pada dinding dada bagian bawah.
2) Bukan pneumonia, ditandai dengan batuk dan pilek dengan atau tanpa
dahak, lendir dan demam, tidak menunjukkan gejala peningkatan
frekuensi napas dan tidak ada tarikan dinding dada.
b. Untuk kelompok umur 2 bulan sampai 5 tahun, terdiri dari:
1) Pneumonia berat, yaitu berdasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah.
Dikenal pula diagnosis pneumonia sangat berat, yaitu batuk atau
kesukaran bernapas yang disertai adanya gejala sianosis sentral dan
anak tidak dapat minum.
2) Pneumonia, yaitu berdasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, tidak ada tarikan
dinding dada bagian bawah. Batas napas cepat pada anak usia 2 bulan
sampai kurang dari 1 tahun adalah 50 kali atau lebih permenit
sedangkan untuk anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun adalah
40 kali atau lebih per menit.
3) Bukan pneumonia, meliputi batuk dan pilek dengan atau tanpa dahak,
lendir dan demam, tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi
napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian
bawah. Klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit
ISPA lain di luar pneumonia seperti rhinitis (common cold), faringitis,
tonsillitis, rhinosinusitis, otitis media, epiglotitis, croup syndrome
(laringotrakeobronkitis), bronkitis dan bronkiolitis.
2.4.3 Epidemiologi
Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), infeksi saluran pernapasan
akut paling sering terjadi pada anak. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh
penyakit pada anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% pada anak berusia 5-12
tahun. Walaupun sebagian besar terbatas pada saluran pernapasan atas, tetapi
19
sekitar 5% juga melibatkan saluran pernapasan bawah, terutama pneumonia. Anak
berusia 1-6 tahun dapat mengalami episode ISPA sebanyak 7-9 kali per tahun,
tetapi biasanya ringan. Puncak insidens biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun.
Insidens ISPA di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak
daripada negara maju. Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama
kunjungan pasien ke sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke
puskesmas dan 15-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS.
Jumlah episode ISPA di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda
antar daerah (Wantania, Roni dan Audrey, 2008).
2.4.4 Etiologi
Menurut Suhandayani (2007), etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri,
virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus
Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, dan Corynebacterium. Virus
penyebab ISPA antara lain adalah golongan Myxovirus (Orthamyxoviruses dan
Paramyxoviruses), Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,
Herpesvirus dan lain-lain.
Gambar 6. Etiologi ISPA
20
2.4.5 Faktor Risiko
Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), terdapat banyak faktor yang
mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal ini berhubungan dengan
penjamu, agen penyakit dan lingkungan.
1. Usia
Setelah telah dikemukakan sebelumnya, ISPA dapat ditemukan pada 50% anak
berusia di bawah 5 tahun dan 30% anak usia 5-12 tahun. World Health
Organization melaporkan bahwa di Negara berkembang, ISPA termasuk
infeksi saluran pernapasan bawah (pneumonia, bronkiolitis dan lain-lain)
adalah penyebab utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak, dengan
kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.
2. Jenis Kelamin
Pada umumnya, tidak ada perbedaan insidens ISPA akibat virus atau bakteri
pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ada yang mengemukakan bahwa
terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki
berusia 6 tahun.
3. Status Gizi
Status gizi anak merupakan faktor risiko penting timbulnya pneumonia. Gizi
buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini
dikarenakan adanya gangguan respon imun. Vitamin A sangat berhubungan
dengan beratnya infeksi. Anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan
mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami
defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan pemberian
ASI, harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk
mencegah ISPA.
4. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara pemberian
ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai nilai proteksi terhadap
pneumonia, terutama selama 1 bulan pertama. Bayi yang tidak pernah diberi
ASI lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI
paling sedikit selama 1 bulan. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih
rentan mengalami perawatan di RS akibat pneumonia dibandingkan dengan
bayi yang mendapat ASI. Pemberian ASI dengan durasi yang lama mempunyai
pengaruh proteksi terhadap infeksi saluran pernapasan bawah akut selama
tahun pertama.
21
5. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Di
Negara berkembang, kematian akibat pneumonia diperkirakan terjadi pada
BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR kematian
6,4 pada bayi berusia di bawah 6 bulan dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan.
6. Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko
terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat
dicegah. Di India, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan
berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering daripada anak yang
tidak terkena campak. Campak, pertusis dan difteri bersama-sama dapat
menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA.
Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%.
Usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis
telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. Vaksin
pneumokokus dan H. influenza tipe B saat ini sudah diberikan pada anak-anak
dengan efektivitas yang cukup baik.
7. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik antara
angka kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan ini berhubungan
erat dengan keadaan sosial ekonomi dan juga berkaitan dengan pengetahuan
orang tua. Kurangnnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak
diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.
8. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain
seperti nutrisi, lingkungan dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang
berasal dari keluarga dengan status soal ekonomi rendah mempunyai risiko
lebih besar mengalami episode ISPA. Risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali
lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah.
9. Penggunaan Fasilitas Kesehatan
Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih
rendah. Hal ini dapat berdampak pada tingkat keparahan ISPA.
10. Penyakit Lain
Human immunodeficiency virus / AIDS serta penyakit-penyakit lain
merupakan faktor risiko ISPA. Di beberapa Negara, HIV mulai menjadi
22
masalah karena pneumonia terjadi lebih sering dan lebih berat pada pasien
HIV. Penelitian menunjukkan bahwa 25% dari kematian HIV disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan bawah akut.
11. Lingkungan
a. Polusi Udara
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi
udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah, berhubungan dengan
beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi
polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori.
Anak yang tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka
insidens ISPA yang lebih rendah daripada anak yang berada di dalam
rumah berventilasi buruk.
Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap
pneumonia. Pajanan terhadap suhu dingin juga merupakan salah satu
faktor risiko pneumnonia.
b. Bencana Alam
Bencana alam seperti tsunami (yang melanda Aceh dan beberapa negara
lain di dunia) dapat menyebabkan peningkatan kasus dan kematian akibat
ISPA, khususnya pneumonia. Pneumonia yang ditimbulkan adalah
pneumonia aspirasi akibat masuknya cairan dan benda-benda asing lain ke
dalam paru, misalnya pada keadaan hampir tenggelam. Selain itu, di
tempat pengungsian insidens ISPA juga meningkat dikarenakan kepadatan
tempat tinggal dan keadaan lingkungan yang kurang baik.
2.4.6 Manifestasi Klinis
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernapasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema
mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur
fungsi siliare (Muttaqin, 2008).
Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing,
malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia
(takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dispnea
(kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang
oksigen) dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan
dan mengakibatkan kematian (Nelson, 2003).
23
2.4.7 Cara Penularan
Pada umumnya ISPA termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan
melalui udara. Sumber penularan adalah penderita ISPA yang menyebarkan
kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi
merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab ISPA kedalam saluran
pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, disamping itu terdapat juga cara
penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh
penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita,
transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang/menggunakan benda
yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Depkes RI, 2002).
2.4.8 Pencegahan
Menurut Depkes RI (2002), ISPA dapat dicegah dengan cara berikut ini:
1) Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik
Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita
atau terhindar dari penyakit yang terutama penyakit ISPA. Misalnya dengan
mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak minum air putih,
olahraga dengan teratur, serta istirahat yang cukup, semuanya itu akan menjaga
badan kita tetap sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh
kita akan semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus ataupun bakteri
penyakit yang akan masuk ke tubuh kita.
2) Imunisasi
Pemberian imunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun
orang dewasa. Imunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita
supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh
virus/bakteri.
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan
mengurangi polusi asap dapur/asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga
dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan
terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi
udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia.
4) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/
bakteri yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini
24
melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Bibit
penyakit ini biasanya berupa virus / bakteri di udara yang umumnya berbentuk
aerosol (suspensi yang melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni
droplet nuclei (sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh
secara droplet dan melayang di udara berisi bibit penyakit). Oleh karena itu,
kontak langsung anak dengan penderita ISPA harus dihindari.
25
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Tugas pengenalan profesi (TPP) ini akan dilaksanakan pada:
Hari, tanggal :
Pukul :
Tempat : Plaju.
3.2 Subjek dan Pengambilan Data
Berikut ini adalah subjek dan metode pengambilan data tugas pengenalan profesi:
Subjek : Anak-anak penderita ISPA di lingkungan tempat tinggal.
Metode pengambilan data : wawancara / kuisioner terbuka.
3.3 Instrumen Kegiatan
Instrumen kegiatan merupakan peralatan untuk mendapatkan data sesuai dengan
tujuan kegiatan. Dalam kegiatan ini peralatan yang digunakan untuk pengambilan data
beserta pendukungnya adalah:
1. Kuisioner dan Alat Tulis
Kuisioner digunakan sebagai panduan dalam wawancara untuk mendapatkan data
mengenai ISPA dari pasien atau keluarga pasien. Adapun kuisioner tersebut dapat
dilihat pada lampiran 1.
2. Kamera
Kamera digunakan untuk dokumentasi, yakni sebagai bukti bahwa mahasiswa telah
melaksanakan tugas pengenalan profesi. Bukti tersebut nantinya akan dilampirkan
pada laporan akhir.
3. Komputer / Laptop
Komputer / Laptop digunakan sebagai sarana pembuatan proposal dan laporan akhir
kegiatan.
26
3.4 Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap persiapan
a. Membuat proposal.
b. Melakukan konsultasi kepada pembimbing tugas pengenalan profesi.
c. Mendapatkan izin atau ACC dari pembimbing tugas pengenalan profesi.
2. Tahap pelaksanaan
Mahasiswa:
a. Melakukan wawancara dengan pasien atau keluarga pasien.
b. Mengisi kuisioner yang digunakan sebagai panduan wawancara tersebut sesuai
dengan jawaban dari pasien atau keluarga pasien.
3. Tahap Penyelesaian
a. Mengumpulkan semua data, mengolah, menganalisa dan menyimpulkan.
b. Menyusun laporan hasil pengamatan dan pemeriksaan.
c. Mendapatkan ACC laporan hasil pengamatan dan pemeriksaan dari pembimbing
tugas pengenalan profesi.
3.5 Jadwal Kegiatan
Pada tabel 1 dapat dilihat jadwal pelaksanaan tugas pengenalan profesi Blok XI
(sistem respirasi). Tugas pengenalan profesi ini terbagi menjadi lima kegiatan yaitu
penyusunan proposal pada minggu pertama dan kedua, wawancara terhadap pasien,
pembahasan dan penyusunan laporan pada minggu ketiga serta pleno dilakukan pada
minggu keempat.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan TPP
No Jenis Kegiatan
Maret 2013
Minggu
I
Minggu
II
Minggu
III
Minggu
IV
1 Penyusunan proposal
2 Wawancara
3 Pembahasan
4 Penyusunan Laporan
5 Pleno
27
DAFTAR PUSTAKA
Boediman dan Muljono Wirjodiardjo. 2008. Anatomi Sistem Respiratori dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Chapman S, dkk. 2005. Acute upper respiratory tract infections (URTIs) dalam Oxford Handbook of Respiratory Medicine 1st Edition. Oxford: Oxford University Press.
Dadiyanto, Dwi Wastoro. 2008. Otitis Media dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia Balita. Jakarta : Depkes RI.
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.
Jeremy, dkk. 2008. At a Glance Sistem Respirasi Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga.
Muttaqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Naning, Roni, Hadianto Ismangoen dan Amalia Setyati. 2008. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
___________, Rina Triasih dan Amaliah Setyati. 2008. Rinitis dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Nelson. 2003. Ilmu Kedokteran Anak. Jakarta: EGC.
Ridwan, Hibsah, dkk. 2012. Modul Pembelajaran Blok VII Imunologi dan Infeksi. Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Said, Mardjanis. 2008. Pneumonia dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC.
Suhandayani, I. 2007. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006. Semarang: Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang.
Wantania, Jan M., Roni Naning, Audrey Wahani. 2008. Infeksi Respiratori Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Yangtjik, Kiagus dan Fatimah Arifin. 2008. Epiglotitis dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
______________ dan Dwi Wastoro Dadiyanto. 2008. Croup (Laringotrakeobronkitis Akut) dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
28
LAMPIRAN
29