PROSES MORFOFONEMIK BAHASA BALI KAJIAN GENERATIF
I NYOMAN DARSANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkank ehadapanTuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, karena berkat rahmat-Nyalah tulisan ini dapat diselesaikan. Penulisan Proses
Morfofonemik Bahasa Bali Kajian Generatif dalam rangka pengembangn salah satu Tri dharma
perguruan tinggi yaitu bidang penelitian.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kejanggalan-kejanggalan.Hal ini
disebabkan karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, maka dari ini segala kritik dan
saran dari pembaca penulis terima dengan senang hati demi perbaikan lebih lanjut.
Penelitian ini dapat penulis selesaikan berka tbantuan semua pihak, oleh karena itu dalam
keempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih.
Denpasar, 16 Juni 2016
Penulis
KATA PENGANTAR
PujisyukurpenulispanjatkankehadapanTuhan Yang MahaEsa/Ida Sang
HyangWidhiWasa, karenaberkatrahmat-Nyalahtulisaninidapatdiselesaikan.PenulisanProses
MorfofonemikBahasa BaliKajianGeneratifdalamrangkapengembangnsalahsatu Tri dharma
perguruantinggiyaitubidangpenelitian.
Penulismenyadaribahwatulisaninitidakluputdarikejanggalan-kejanggalan.Hal
inidisebabkankarenaketerbatasanpengetahuan yang penulismiliki, makadariinisegalakritikdan
saran daripembacapenulisterimadengansenanghati demi perbaikanlebihlanjut.
Penelitianinidapatpenulisselesaikanberkatbantuansemuapihak,
olehkarenaitudalamkeempataninipenulismenyampaikanucapanterimakasih.
Denpasar, 20 Juni 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KULIT DALAM KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah 1.3. Tujuan 1.4. MetodePenulisan 1.5.Sumber Data
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1StrukturBahasa Bali 2.1.2 Tata Bahasa Bali 2.2.Konsep 2.2.1 PengertianMorfem 2.2.2 Morfem,Alomorf, Morf 2.2.3JenisMorfem 2.2.4 Pengertian Proses Morfofenemik 2.3. LandasanTeori BAB III PROSES MORFOFONEMIK BAHASA BALI 3.1 Proses PerubahanBunyi 3.2 Proses HilangnyaFonem 3.3 Proses PenambahanFonem BAB IV SIMPULAN Simpulan DAFTAR PUSTAKA
i ii
iii
1 2 3 3 4
5 5 5 6 6 8 9 9
10
19 21 22
28
29
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ferguson (dalamAbac, 1903:11) mengemukakan bahwa profil kebahasaan
dapat digambarkan berdasarkan status, fungsi dan penggunaannya di dalam
negara/masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan penggambaran itu, Bahasa
Bali (BB) berstatus sebagai Bahasa mayor, karena jika didasarkan pada .jumlah
pemakainya, ia dituturkan oleh lebih dari satu juta orang. Menurut fungsinya, BB
adalah bahasa kelompok etnik (group language), bahasa pendidikan (language of
education), bahasa agama language ox i~&j.2g2on) ,dan bahasa yang dipelajari di
sekolah-sekolah (study language}. Penggunaannya dalam tulisan, BB digolongkan
da lam goiongan W2 (writing 2) karena bahasa ini digunakan untuk tulisan-tulisan
di surat kabar, majalah, dan buku-buku.
Bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yakni Dialek Bali Dataran dan
Dialek Bali Aga, Wilayah pemakaian Dialek Bali Aga meliputi daerah-daerah:
Nusa Penida, Bugbug, Tenganan, Seraya, Sembiran, Gugusan Danu, Selulung,
Pedawa, Sidatapa, Tigawasa, Mayong, Bantiran, dan Belimbing. Wilayah
pemakaian Dialek Bali Dataran meliputi daerah-daerah tertentu yang terdapat di
depan kabupaten yang ada di Provinsi Bali, yakni : Karangasem, Klungkung,
Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana dan Buleleng (Bawa dan Jendra,
1981:2).
2
Dialek Bali Dataran dibedakan atas dua tingkatan tutur yang umum, yakni
tingkatan kasar dan tingkatan alus‘halus’. Tingkatan kasar digunakan oleh penutur
yang kedudukannya sama atau di antara peserta bicara yang sudah akrab dalam
pergaulan. Penggunaan bentuk kasar jika digunakan dalam situasi yang wajar
tidaklah dianggap kurang sopan, melainkan sebagai hal yang wajar karena sesuai
dengan norma sopan santun berbahasa (Duarsa, dkk. 1979:14). Tingkatan alus
dibedakan atas mengandung nilai rasa sedang, tidak kasar dan tidak halus sekali:
(ii) alus sor, yakni tingkatan halus yang digunakan untuk merendahkan diri: (iii)
alus mider, adalah tingkatan halus yang digunakan baik untuk wangsa (wangsa =
kelas sosial secara tradisional berdasarkan keturunan) rendah maupun wangsa
tinggi; dan (iv) alus singgih, adalah tingkatan halus yang digunakan oleh penutur
untuk menghormati wangsa yang lebih tinggi atau untuk memuliakan seseorang
(Bandingkan Duarsa, dkk., 1979:23-25, Jendra, 1981:3-4; dan Kersten, 1970:15).
Menurut Kersten (1970:14), peraturan pemakaian tingkatan alus (yang
disebutnya “kata berwarna”) berkembang pada jaman dahulu dalam lingkungan
bangsawan tinggi. Orang Bali yang tidak erat pergaulannya dengan puri (kerajaan)
jarang menguasainya dengan sempurna.Lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah kosa
kata BB pada tingkatan alus berjumlah sekitar 500 kata.Jumlah ini jauh lebih kecil
dibandingkan jumlah kosa kata tingkatan kasar yang jumlahnya mencapai ribuan.
1.2 Masalah
Dua masalah dibahas dalam tulisan ini yakni :
(i) Bagaimanakah realisasi morfem-morfem BB pada proses afiksasi
(ii) Bagaimanakah proses dan kaedah-kaedah morfofonemik dalam BB
3
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan ii adalah i) mendapatkan gambaran proses morfofonemik
bahasa Bali dengan pendekatan generatif; ii) menyajikan suatu analisis yang lebih
lengkap dan sederhana; iii) memberikan masukan kepada peneliti lain yang ingin
meneliti bahasa Bali dengan menggunakan teori tata Bahasa Ceneratif.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode
kwalitatif.Penelitian kwalitatif sebagai jenis penelitian yang lebih menekankan
pada upaya menghasilkan deskripsi serta pemahaman yang lebih mendalam dari
suatu fenomena yang dapat diaplikasikan da lam berbagai bidang yang berkaitan
dengan ilmu social humaniora.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih lengkap dalam penyajian data maka
dipergunakan juga met ode formal dan metode informal. Metode formal adalah
met ode yang digunakan xint.uk mendeskripsikan proses dan kaidah-kaidah
morfologisnya sedangkan metode informal adalah metode yang digunakan; dalam
menyusun dengan menggunakan kata-kata sehingga ditemukan kaidah-kaidah
tertentu didalam analisis data.
1.5. Sumber Data
4
Sumber data dalam tulisan ini adalah berdasarkan sumber data primair dan
sumber data sekunder.Sumber data primer meliputi hail penelitian yang sudah
pernah dilakukan sebelumnya sedangkan sumber data sekunder penulis dapatkan
dari penulis sendiri karena selau penutur asli dan dari beberapa informan yang,
juga penutur asli bahasa Bali.
BAB II
5
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Struktur Bahasa Bali (1985) oleh Bawa dkk.
Penelitian yang dilakukan oleh Bawa dan Jendra dengan landasan teori
struktural hanya membicarakan morfofonemik secara implisit. Pembahasan
morfofonemik dikaitkan dengan bentuk verba dalam proses morfologis (30—37)
misalnya, afiks N- dikatakan membentuk verba transitif, kemudian dalam proses
morfologis terjadi juga perubahan fonem sebagai akibat dua morfem yang
bersinggungan.
Contoh: N-+patok---->matok ‘mematok’
N-+tunu----> nunu ‘membakar’
Afiks dibedakan menjadi prefiks, konfiks infiks dan sufiks.
Afiks dibedakan menjadi afiks produktif dan afiks nonproduktif. Afiks
produktif misalnya: a-, ka-, sa-, pa-, ma-, pi-, N-, dan nga- sedangkan afiks
nonproduktif: pra-, para-, pari-, maka-, pati-, kuma-, upa-, su- dan swa (26-29).
Meskipun kajiannya tentang morfofonemik sebagai bagian dari proses
morfologis, usaha untuk menentukan jenis-jenis afiks dan pengklasifikaisnya
patut dihargai.
2.1.2 Tata Bahasa Bali (1984/1985) oleh Granoka dkk.
Hasil penelitian yang dilandasi dengan teori struktural ini disusun oleh
Granoka dkk memang memberi porsi khusus untuk pembahasan proses
6
morfofonemik (126-147). Misalnya N- menjadi n, -n-, m-, dan n dalam ngomong
‘berbicara’, nyampat ‘menyapu’, meli ‘membeli’ dan nagih ‘meminta’.
Proses gede ‘besar’ +ang menjadi gedenang ‘besarkan’ disebut proses
penambahan fonem npada proses morfofonemik. Sedangkan dari prefiks ma –
+ ubad ‘obat’ menjadi mubad ‘berobat’ dianggap terjadi penghilangan fonem /a/
pada prefiks ma- dalam penelitian itu menguraikan proses morfofonemik tidak
dikaitkan bahwa perubahan –perubahan yang terjadi pada morfem-morfem yang
bersinggung bisa terjadi pada morfem-morfem yang bersinggungan bisa terjadi
peristiwa asimilasi, dissimilasi, umlaut, dan netralisasi. Disamping itu dibahas
hanya terbatas pada proses afikssasi dengan kata lain tidak dikaji bagaimana
proses morfofonemik itu pada pemajemukan perulangan bahkan pada frase yang
konstruksinya.
2.2 Konsep
2.2.1 Pengertian Morfem
Mengenal batasan morfem banyak diberikan oleh para linguist atau para
ahli bahasa, antara lain: Bloomfield memberikan definisi morfem sebagai
berikut.” a linguistic from which bears partial phonetic- semantic resemblance to
any other form or morphem “( 1933:161). Terjemahannya sebagai berikut ‘suatu
bentuk bahasa yang sebagaiannya tidak mirip dengan bentuk lain manapun juga
baik secara bunyi maupun secara arti adalah bentuk tunggal atau
morfem.’Charles F. Hocket sebagai tokoh dari linguistik Amerika memberikan
definisi sebagai berikut, “ morpheme are the smallest individually meaningful
7
elements in the utterances of langage” (158.128), yang terjemahannya kurang
lebih morfem adalah unsur-unsur yang terkecil yang masing-masing mempunyai
makna dalam tutur sebuah bahasa. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan apa
yang didefinisikan oleh Matthews (1974:6 ) dalam bukunya yang berjudul
Morphology The Descritiptive Analysis of Words menyebutka bahwa “
morpheme are the minimal meaningful units wich may constutute word part of
word”. Terjemahannya kurang lebih, morfem adalah unsur terkecil yang
mengandung makna dalam ujaran bahasa.Demikian pula Ramlan seorang
linguistist Indonesia memberikan definisi yang secara prinsipiil tidak jauh berbeda
dengan batasn yang telah diberikan seperti tersebut di atas. Adapun definisinya
adalah morfem ialah satuan gramatik yag terkecil; satuan gramatik yang tidak
mempunyai satuan lain sebagai unsur (1985, : 26).
Dari definis –definisi yang telah diungkapkan di atas dapatlah diketahui
bahwa morfem tersebut harus merupakan kesatuan unsur yang terkecil yang
mengandung arti (makna). Dengan kata lain dapat pula disebutkan morfem
merupakan satuan yang paling kecil, yaitu satuan ujaran yang memiliki satuan
gramatikal yang lebih kecil lagi sebagai unsurnya. Misalnya satuanma-/ ma-/
(dalam bentuk majujuk/majujuk/ ‘berdiri’), -ang/an/ dan –ne/ ne/ ( dalam
jemakang/jemakan/ ‘ambilkan’ dan memene/memene/ ‘ibunya’) adalah morfem,
karena memiliki satuan gramatikal yang lebih kecil sebagai unsurnya. Demikian
juga satuan-satuan seperti daar/daar/ ‘makan’ , ane/ ane/ ‘yang’ dan jujuk/jujuk/ ‘-
-----‘ merupakan satuan gramatikal yang terkecil, yaitu tidak memiliki satuan
8
gramatikal yang lebih kecil sebagai unsurnya , maka satuan sepert itu dapat juga
disebut morfem.
2.2.2 Morfem, Alomorf, dan Morf
Morfem merupakan satuan hasil abstraksi wujud lahiriah atau bentuk
fonologisnya sebuah morfem dapat dipandang sebagai anggota-anggota atau wakil
morfem tersebut.
Dalam bahasa Bali ada morfem yang memiliki wujud lahiriah yang tetap
di manapun tempatnya (posisinya).Sebagai contoh morfem ane ‘yang’ diatas
merupakan morfem yang memiliki satu wujud fonologis saja.Morfem N-
merupakan contoh morfem yang memiliki beberapa wujud fonologis. Bila N-
dibubuhkan pada morfem dasar pancing/pancin/ ‘pancing’, tugel/ tugel/ ‘ potong’
, nyangluh/nanluh/ ‘gurih’ dari proses morfologis tersebut dapat diwujudkan
bentuk-bentuk berupa mancing/ mancin/ ‘mengail’, nugel/ nugel/ ‘memotong’.
Dengan demikian maka akan ditemukan wujud fonologis (bentuk-bentuk)
me/ m-/,n/-n/, ny-/n-/ dan nga-/na/. meskipun wujud fonologisnya berbeda,
kemiripan fonologis yang masih nyata serta kesamaan makna di antara keempat
wujud itu memberikan kedudukan kepada keempat bentuk itu sebagai wakil-wakil
atau anggota dari satu morfem saja. Anggota-anggota dari satu morfem itulah
alomorf.
9
2.2.3 Jenis Morfem
Berdasarkan kriteria distribusi morfem dapat dibagi dua yaitu, morfem
bebas adalah morfem yang berupa satuan bebas yakni satuan –satuan yang dalam
tuturan biasa sebagai bentuk lepas dapat berdiri sendiri.Morfem terikat hanya
dapat bergabung dengan morfem dasar.Jadi morfem dasar dapat berupa morfem
dasar terikat atau bebas.Selanjutnya morfem dasar atau dapat berupa morfem
kompleks.Berdasarkan urutan linier bagian-bagiannya morfem afiks dapat berupa
morfem, utuh dan dapat juga berupa morfem terbagi.
2.2.4 Pengertian Proses Morfofonemik
Dalam pengertian proses morfofonemik setidak-tidaknya terdapat dua
peristiwa kebahasaan, yaitu peristiwa morfologi dan peristiwa fonemik (Sawito,
dalam Bahasa dan Sastra tahun IV nomor 4, 1978:2). Morfofonemik sebagai
peristiwa bahasa tidak bisa hanya dimasukkan merupakan peristiwa fonologi
ataupun morfologi, namun kenyataan memperlihatkan proses morfofonemik
melibatkan kedua tataran tersebut. Dengan kata lain adanya proses fonologis
adalah sebagai akibat dari proses morfologis (Trubetskoy da lam Djoko Kontjono,
1902:130) .
Mengenai batasan morfofonemik akan penulis petik dari dua akhli bahasa
yaitu, pertama menurut Ramlan proses morfofonemik adalah mempelajari
perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem
dengan morfem (1980:73). Kedua menurut Samsuri dengan member ikan batasan
yang tidak jauh berbeda sebagai berikut, Apabila dua mortem berhubungan atau
10
diucapkan yang satu sesudah yang lain ada kalanya terjadi perubahan pada fonem-
fonem yang bersinggungan. Studi tentang perubahan-perubahan fonem yang
disebabkan oleh hubungan dua morfem atau lebih itu serta pemberian tanda-
tandanya disebut morfofonemik (1981:201).
2.3 Landasan Teori
Sehubungan dengan kajian proses morfofonemik ini, kerangka teori yang
diterapkan berpangkal pada teori morfologi generatif) ,yang dipadukan dengan
teori lain sepanjang tidak bertentangan dengan kajian ini untuk memudahkan dan
menyempurnakan pembahasan, sehingga dalam penerapannya terjadi suatu
komprehensif. Misalnya dalam proses pembentukan kata melalui afiksasi, dapat
dijelaskan berdasarkan fonologi generatif. Teori ini menyatakan ketika morfem-
morfem bergabung untuk membentuk kata, segmen-segmen dari morfem-morfem
yang berdekatan berjejeran, dan kadang-kadang mengalami perubahan (Schane,
1992:50).Contoh :
Morfem prefiks+ morfem dasar----> kata
N-+tugel----> nugel
Disini terjadi proses perpaduan dua konsonan yang bersebelahan digantikan
dengan satu konsonan yang mempunyai ciri yang sama dengan kedua konsonan
asal(Schane, 1992:56). Dapat dijelaskan konsonan nasal sebagai afiks dengan
simbul N- dilekatkan dengan bentuk dasar yang berawal dengan konsonan
11
dental,/t/ berubah menjadi nasal dental /n/, dan melalui kaedah berurutan fonem /t/
dilesapkan.
Contoh yang lain:
Morfem dasar+ morfem sufiks kata
Gede + -an gedenan
Di sini terjadi proses perpaduan dua vokal yang bersebelahan disisipkan konsonan
/n/ untuk memisahkan gugus vokal (bandingkan dengan Schane, 1993:55).
Proses penyisipan /n/ ini menghasilkan alomorf (-nan) dari sufiks (-an).
Perkembangan teori morfologi generatif ini sejak Chomsky (1970) mengajukan
makalah "Remarks on Nominalization" yang menggugah para peneliti untuk
memberikan perhatian pada bidang morfologi.Yang pertama menyambut anjuran
Chomsky itu ialah Morris Halle.Halle (1972) dengan tegas menulis sebuah
makalah dengan judul “Morphology in a Generative Grammar”, yang tahun
berikutnya (1973) diterbitkan dalam bentuk artikeldengan judul "Prologemena to
a Theory of Word Formation".Selanjutnya beberapa pakar yang mengikuti jejak
Halle, ialah Aronoff (1976) menerbitkan buku "Word Formation Generative
Morphology", Scalice (1984) Generative Morphology", Spencer (1991)
menerbitkan Morphological Theory: An Introduction to Word Structure In
Generative Grammar (1991), dan seorang pakar Indonesia patut disebut ialah
Dardjowidjojo menulis artikel "Beberapa Masalah dalam Teori Morfologi
Generatif: Suatu Kasus dalam Pembentukan Kata Kerja" (1983).
Menurut teori Morfologi Generatif modal Halle, morfologi mempunyai
tiga komponen yang saling terpisah, yaitu: (1) List of Morphemes (‘Daftar
12
Morfem’, disingkat DM), (2) Word Formation Rules (‘Kaedah Pembentukan
Kata’, disingkat KPK), dan (3) Filter (‘Saringan’), (Halle, 1973:8 Dardjowidjojo,
1988:34).
Dalam komponen pertama yaitu DM, ditemukan dua macam anggota,
yaitu morfem dan bermacam-macam afiks, balk yang derivasional maupun yang
infleksional sebagai contoh, entri bahasa Inggris morfem write harus
diinformasikan sebagai: bahwa write adalah akar kata verbal, tidak berasal dari
bahasa Latin, dankonjugasinya bukan konjugasi umum atau "Strong"
conjugation," tidak cukup hanya dengan fonotaktik dari write itu. Pengertian
morfem disini ber-beda dengan Pengertian yang telah umum, misalnya,
Transformational terjadi dari lima morfem: transformational, Pengertian ini tidak
dapat diterapkan dalam bahasa Bali, misalnya kata kacang, tentu tak dapat diurai
mnenjadi dua morfem kacang atau kacang, karena adanya morfem afiks ka- dan –
ang.
Komponen kedua adalah KPK, yaitu semua aturan tentang pembentukan
kata dari morfem-morfem yang termuat dalam DM. Dengan kata lain DM
bersama KPK :membentuk kata-kata, baik kata-kata yang benar-benar ada,
maupun bentuk "kata" potensial yaitu bentuk satuan lingual yang belum ada
dalam realitas tetapi mungkin akan ada karena memenuhi persyaratan KPK.
Dardjowidjojo (1988:35) memberikan contoh: derivation dan *derival untuk
bahasa Inggris serta pemerian dan pemberian, berlayar dan *berbisuntuk bahasa
Indonesia akan terhasilkan oleh KPK, karena bentuk-bentuk berbintang ini pun
memenuhi semua aturan dalam kedua bahasa ini. Tetapi dalam kenyataan kata-
13
kata berbintang itu tidak muncul.Pencegatan terhadap kata-kata seperti ini
dilakukan oleh komponen Saringan.
Komponen ketiga adalah Saringan, yang tugas utamanya menempelkan
segala macam idiosinkresi yang terdapat dalam kata balk bersifat fonologis,
semantik, maupunleksikal. Idiosinkresi bersifat fonologi misainya pada kata
mempunyai, menurut aturan /p/ seharusnya lecap.bandingkan dengan memukul
dari bentuk dasar pukul. Idiosinkesi semantik dapat dicontohkan kata perjuangan
bermakna suatu kegiatan yang bertaraf nasional ataupun kehidupan. Demikian
pula kata-kata wafat, mangkat, gugurdalam bahasa Indonesia dan kata-kata lebar,
miang "wafat" dalam bahasa Bali. Idiosinkresi adalah kata bentukan melalui
KPKyang dalam kenyataan tidak ada, tetapi potensial seperti ‘mencantik,
memperbetuli, *tamnyaan, *serahan dalam bahasa Bali dapat dicontohkan
*pengenahan.
Halle (1973) menempatkan sebuah komponen lagi, apa yang disebutnya
Dictionary (‘Kamus’) sebagai tempat apa yang dapat diterima dari proses KPK.
Bentukan yang tidak lulus menjadi anggota dalam Karnus tertahan pada Saringan.
Kata bentukan yang telah lulus menjadi anggota Kamus dapat pula diproses
kembali da lam KPK dengan proses afiksasi untuk memperoleh kata bentukan
baru, dan menjadi anggota Kamus kembali.
Perkembangan lebih lanjut tentang teori morfologi generatif ditulis oleh
Aronoff (1976) dengan judul Word Formation in Generative Grammar.Dijelaskan
bahwa bentuk dasar yang diproses dalam KFK ialah kata, bukan morfem seperti
pendapat Halie (1973), sehingga pendapat Halle yang berpangkal dengan morfem
14
dapat disebut morpheme based dan pendapat Aronoff word based. Kata yang
menjadi dasar Pembentukan ini dirangkum oleh Schalise (1904:40), harus
memenuhi syarat: (1) dasar pembentukan kata adalah kata, (2) kata itu ialah kata
yang benar-benar ada dan bukan kata-kata yang mungkin ada (atau kata
potensial)). (3) KFK hanya berlaku terhadap kata tunggal,bentuk yang lebih besar
(seperti frase) danyangkategorisintaksisyang utama(Aronoff, kecil dari kata
(seperti bentuk terikat), (4)dan (5) baik masukan maupun keluaran dariKPKharus
merupakan kategori sintaksis yang utama (Aronoff, 1970:40), Dengan demikian
pengertian kata sebagai dasar menentukan kata ini dapat disamakan dengan istilah
_eksem, yaitu unit yang menjadi pokok dari leksikon Matthews, 1974:22),
sehingga teori KPK Aronoff dapat dikatakan lexem based morphology
(Dardjowidjojo , 1998:07). Afiks sebagai pembentuk kata bukan menjadi anggota
dari DM tetapi termasuk dalam KPK yang memiliki informasi relasional.
Dalam KFK Aronoff sangat peka terhadap fitur sintaksis maupun
pembatasan seleksional.Dicontohkan pelekatan sufiks -ness hanya dapat
dilakukan pada adjektiva seperti redness ‘merah’, porousness "keropos’ dan
sufiks -ee hanya pada verfoa transitif, sepertiemployee,payee, t’travelee.(Aronoll,
1976:65). Konseppangkajianbanana Bali,seperti misalnya mengapa bentuk melaib
diterima, tetapi *nglaib ditolak, ngarit diterima dan *niuk ditolak. Untuk
penyaring ini Aronoff menggunakan konsep blocking, ‘pembendungan’ yaitu
mekanisme yang mencegah muncul suatu kata karena telah ada kata lain yang
mewakilinya (1976 : 43).
15
Selanjutnya Aronoff mengemukakanaturanataukaedah yang dinamai
Adjustment Rules ‘Aturan penyesuaian, disingkat AP (1976:105-132). Tidak
semua pembentukan kata melalui KPK mulus secara langsung menjadi anggota
Kamus.
Banyak contoh dapat ditunjukkan bahwa penambahan afiks (sufiks atau
prefiks) memerlukan perubahan wujud, baik pada kata dasar pada afiks itu sendiri.
Misalnya dalam bahasa Inggris sufiks –ee memenggal morfem dari kata dasar,
nominate nominee, evacuate Evacuee (1974:106). Hal ini menimbulkan
kaedah pemenggalan atau Truncation Rules.Kedua ialah kaedah alomorfi atau
Allmorphy Rules (1974:116-118). Salah satu contoh dapat disebutkan
penambahan dengan sufiks –ation :
fascinate fascination
realize realization *relazion *realization
educate *education education * educatition
resolve *resolvation *resolvion *resolution
Dapat disimpulkan sufiks –ation mempunyai sekurang-kurangnya lima
bentuk: -ation, -ition- ution, -ion, -tion. Ini dapat dibandingkan dengan prerfiks
{N-} yang mempunyai alomorf: {(-2 –n –n –m –n)}.
Teori-teori yang dikemukakan oleh Halle dan Aronoff di depan perlu
disesuaikan untuk membahas pembentukan kata da lam bahasa Bali,, sesuai
dengan pendapat Dardjowidjojo (1888:47--58)karena beberapa masalah.
Daftar morfem atau DM yang dikemukakan oleh Halle tidak dapat
diterapkan, karena pengertian morfem itu tidak sesuai dengan pengertian yang
16
umum diketahui.Demikian pula bentuk dasar dari APK yang dikemukakan
Aronoff yaitu kata dengan syarat-syarat tertentu, tidak sepenuhnya
dapat.diterapkan karena kata dasar dalam bahasa Bali mempunyai ciri, yaitu kata
dasar bentuk bebas dan kata dasar bentuk terikat, seperti "bangun’, arit,
sabit,sebagai bentuk bebas, -laib, -iber, sebagai bentuk terikat.
Dua kata terakhir adalah bentuk terikat, atau kata dasar terikat yang setelah
memperoleh afiks tertentu baru dapat ditentukan kategori sintaksisnya, seperti
malaib verba, pelaib nomina, ngiber verfoa, iberan nomina. Affiks yang oleh
Halle dimasukkan ke dalam Dm, baik afiks devaktif dan infleksional secara
sejajar, yang oleh Aronoff dimasukkan ke dalam APKdengan fungsi relational,
untuk bahasa Bali dapat dimasukkan ke da lam DM dengan ketentuan merupakan
subkelompok tersendiri.
Dalam KFK, tidak selalu bentuk dasarnya berasal dari DM, dapat pula dari
kamus, berupa bentuk kompleks, yaitu haoil APK dan lulus Garingan, seperti
goren noren, lulus Saringan masuk ke dalam kamus, lalu noren menjadi dasar
pembentukan berikutnya: norenpenorenan. Demikian proses APK dengan
kombinasi afiks: jemak ‘ambil’ jemakan‘ambilkan’ ;jemakannemakan
‘mengambilkan’ dan dalam proses yang lain: jemak jemakin ‘ambili; jemakin
nemakin ‘mengambili’
Saringan mempunyai fungsi utama untuk meluluskan bentuk-bentuk yang
nyata ada dan membendung bentuk-bentuk yang tidak nyata ada dan menyalahi
aturan APK. Untuk mengembangkan dan membina bahasa Bali menjadi bahasa
yang tumbuh menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan pemakaian
17
bahasa, saringan dapat meluluskan bentukan-bentukan yang potensial, sebagai
contoh :
genahnenahanpanenahan
‘tempat’ ‘menempatkan’ ‘penempatan’
Bentukan semacam ini dapat lulus masuk ke dalam kamus sebagai
bentukan yang potensial. Demikian usulan modifikasi Dardjowidjojo (1988:56-
58) menjadi bahan dalam pengkajian sistem verba kombinasi afiks (N-… (-an/-in)
dalam bahasa Bali, termasuk diagram yang diusulkannya.
18
D
19
BAB III
PROSES MORFOFONEMIK BAHASA BALI
3.1 Proses Perubahan Bunyi Nasal
Denganpengambilandatamakadapatdicatat peristiwa tutur sebagai berikut :
1) Dabdabmayahanggan di warung
‘Dabdab membayar bon di warung’
2) Luh Sukerti nandah beli Kiul
" LunSukerti menuntun beli Kiul’
3) Pan Mandi ngambar togog mesaput poleng
"Pan Mandimenggambar patung berkain loreng"
4) Kiul nyemak keris sakti di Puri
"Kiul mengambil keria bertuah di Puri"
5) Krama banjare ngwangun palinggih di Pura Desa
"Anggota banjaritu mendirikanpelinggihdiPura Desa"
6) Sari nganengneng Beli Kiul uli joh
"Sari melirik Beli Kiul dari jauh"
Dari pencatatan kalimat-kalimat di atas maka tampak beberapa bentuk
bahasa yang menjalankan fungsinya yang sama, distribusi yang sarna (dalam
kalimat), maka yang hampir sama, akan tetapi bangun fonetis yang tampak
berbeda. Jika bentuk-bentuk sepertimayah/mayah/"membayar’naar/naar/
"makan"ngar/ nae/ "membuat",nyemak /n mak/ "mengambil", ngwangun/nwanun/
20
‘membangun",nganengneng /n nn n/"menatap"diuraikan atausatuan-
satuanbermakna yang lebihkecil,maka akandijumpai bentuk-bentuk
pecahanseperti: /vn-/dan /bayah/,/n/dan /dandan/, n-/ dan gambar/,n-/dan jmak/,/n-
/ dan/wangun/,, dan ,/n -/ dan n nn n/.
Sekalipun bangun bentuk-bentuk /rn-, n-, n-, n-, n -/ berbeda namun
fungal, distribusi sintaksis dan maknanya sarna. Satuan-satuan yang mempunyai
struktur fonologi yang berbeda merupakan satu morfem, apabila satuan-satuan itu
mempunyai arti atau makna yang sama dan struktur fonologinya dapat
diterangkan secara fonologik (Ramlan- 1903, cet.ke-5:02; Samsuri, 1981:74;
Gorys Keraf, 1976:59).
Gejala di atas menunjukkan adanya hubungan antara b bentuk-bentuk
morfem dan fonem. Dengan catatan peristiwa serupa dapatlah disebutkan disini
bahwa ; sebuah morfem tidak selamanya terbatas pada satu dibangun fonemis
saja, kadang-kadang sebuah morfem dalam lingkungan tertentu dinyatakan
dengan bangun fonemis yang lain.Dari contoh-contoh tersebut dapat pula kita
lihat bangun-bangun fonemis yang berbeda itu adalahdari morfem yang sarna,
sehingga perlu adanya nama untuk bangun fonetis yang berbeda itu. Di
sampingitu diharuskan untuk memilih abstraksi dari bangun fonemis yang
berbeda untuk morfem yang sarna agar menjadi dasar.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka kadang-kadang dapat ditemukan
sebuah morfem diwakili oleh bangun fonemis tertentu sesuai dengan
lingkungannya dan kadang-kadang diwakili oleh bangun fonemis yang lain, maka
bentuk-bentuk ini dikatakan saling beralternasi atau suatu proses yang
21
memperlihatkan perubahan-perubahan bentuk-bentuk bahasa da lam lingkungan
yang dapat diramalkan. Setiap perwakilan dari sebuah morfem tertentu disebut
alomorf atau dengan kata lain alomoff itu adalah namauntuk bentuk-bentuk
perwakilan dari debuan morfem berdasarkan lingkungannya.
3.2 Proses Hilangnya Fonem
Sebagaimana telah diungkapkan pada masalah pengertian morfofonemik
bahwa proses perubahan bunyi (fonem) dalam arti luas , dan sekaligus melibatkan
perubahan bentuk tidak saja terjadi pada morfem terikat, tetapi terjadi juga pada
bentuk dasarnya. Dalam uraian berikut ini yang akan dipaparkan adalah
perubahan bentuk yang ditandai hilangnya bunyi (fonem) pada bentuk dasarnya.
1) Proses hilang (luluhnya) fonem bilabial baik yang bersuara seperti /p, b/ yang
mengawali bentuk dasar, yang diganti dengan bunyi nasal /m/ sebagai akibat
pembubuhan morfem N- dengan bentuk dasarnya.
Contoh.
N- + piragi miragi
N- + betek…… matek
2) Pross hilangnya fonem apiko alveolar baik yang bersuara yang tan bersuara
seperti /t, d/ yang mengawali bentuk dasar, yang diganti dengan bunyi nasal
/n/ sebagai akibat pembubuhan morfem dengan bentuk dasarnya.
Contoh-contoh.
N- + tulis nulis
N- + dandan…… nandan
22
3) Proses hilangnya fonem konsonan medic laminal baik yang bersuara maupun
yang tak bersuara seperti /’c.j/dan begitu juga konsonan alveolar /s/ yang
mengawali bentuk dasar, yang diganti dengan bunyi nasal /n/ sebagai akibat
pembubuhan morfem nasal pada bentuk dasarnya.
Contoh-contoh.
N- + capat nyapatin
N- + seggot …… nyenggot
4) Proses hilangnya (luluhnya) fonem konsonan dorso velar yang bersuara
maupun yang tak bersuara seperti /k,g/ yang mengawali bentuk dasar, yang
sekaligus diganti dengan bunui nasal /n/ sebagai pembubuhan morfem nasal
/N-/ dengan bentuk dasarnya.
Contoh - contoh
N-+ kutangngutang
N-+ gebuggebug
3.3 Proses Penambahan Fonem
1) proses penambahan fonem // terjadi sebagai akibat pertemuan morfemN-
denganbentukdasaryang diawali dengan bunyi nasal /n, m, /
Contoh-contohnya.
N- + nyungyung------nganyungnyung
‘lihat dalam‘melihat dengan seksama’
jarak dekat’
23
N-+ nengneng ------ nganengneng
"pandang’‘melihat terus menerus’
N- + maling------ngamaling
‘pencuri‘mencuri’
2) Proses penambahan fonem /n/’ pada sufiks -a /- /, -an/-an/, -ang/-ap/, -in/-
in/, -ing /-in/, -e/-e/, dan -/le/’-ne/ sebagai akibat pertemuan morfem
tersebut dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem vokal, karena
adanya penambahan fonem seperti itu maka itu berarti mengakibatkan
adanya perubahan bentuk dari morfem terikat tersebut. Perubahan bentuk-
bentuk morfem terikat tersebut dapat diiktiarkan sebagai berikut.
-a berubah bentuknya menjadi na,
-an berubah bentuknya menjadinan,
-ang berubah bentuknya menjadi nang,
-in berubah bentuknya mendaji nin,
-ing berubah bentuknya menjadi ning,
-e berubah bentuknya menjadi -ne
-ne berubah bentuknya menjadi -nne
Disamping hai tersebut di atas terjadi juga permunculan fonem pada
pertemuan ma- + ajah misalnya dalam tuturan biasa dalam bahasa Bali, dapat
penulis catat kalimat sebagai berikut, ≠ ≠ I Nyoman malajah megending ≠ ≠ ,/i
noman mlajah m gending/ ‘I Nyoman belajar bernyanyi". Kalimat tersebut
didukung oleh kata jadian nialajah /m lajah/ ‘belajar’ Bentuk kata
jadiantersebutterdiri atas morfem dasar ajah/ajah/‘-------‘ dan morfem terikat ma-
24
/m -/. Jika kita bandingkan dengan proses morfemis prefiks ma-/m -/ yang
bergabung dengan bentuk dasar yang diawali dengan fonem vokal (selain bentuk
ajah), pada umumnya bunyi a / / pada morfem terikat ins- / m / luluh sehingga
menjadi /m-/ misalnya dalam madan /madan/ ‘bernama’ mubad /mubad/ ‘berobat’
diperhatikan 3.2.2.3). Atau sudah merupakan gejala yang umum pula bila ma-/ m
-/ bergabung dengan bentuk dasar yang diawali konsonan pada umumnya morfem
terikat Tersebut mengalami perubahan zero, sehingga bentuknya tetap ma- / m -/
(misalnya da lam magae/ m gae/ "bekerja’, majalan /m jalan/ "berjalan",
perhatikan 3.3). Namun dalam proses morfemis seperti yang dideskripkan
sekarang ini yaitu ma-/m -/’ dibubuhi bentuk dasarajah/ajah/ ‘----‘ terjadilah kata
turunan malajah/m lajah/ ‘belajar’. Peristiwa ini dalam proses morfofonemis
bersifat bersifatagak khusus, karenapemunculan fonem /1/ itu disamping tidak
sesuai denganlingkungan bunyinya, perubahan /m -/ menjadi /m l/ ini hanya
dapat melekat pada bentuk ajah saja.
Dari peristiwa tersebut dapat kita lihat bahwa telah terjadi perubahan
struktur fonologik /m -/ menjadi /m 1-/ yang ditandai dengan munculnya fonem
/1/. Perubahan tersebut terjadi karena morfem ajah /ajah/ ‘---------’ itu sendiri,
maka bentuk /m 1-/ ini dapat juga merupakan variasi bentuk (alomorf, dari
morfem terikat ma- /m -/ (lihat Ramlan, 1983, cet, ke-5 : 33; Samsuri ; 1981, cet,
ke -3 : 175).
Perbedaan antara ma-/m -/ dan m- /m-/ di satu pihak dengan mal-/ m 1-/ di
pihak lainnya hanya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan morfem-morfem yang
mengikutinya. Peristiwa seperti itu dapat disebut bahwa distribusi ma-/m -/ dan m-
25
/m-/ di satu pihak dan mal-/ m 1-/ dipihak lain itu komplementer, maksudnya
bahwa ma-/m -/ atau m-/m-/ tidak pernah mendahului bentuk dasar ajah dan
begitu pula mal-/m 1-/ itu sendiri tidak pernah melekat pada bentuk dasar seperti
abian /abian/ ‘kebun’, opak/opak/ ‘marahi’, gae /gae/ ‘kerja’. Dengan demikian
maka perubahan bentuk /m -/ menjadi /m 1-/ yang ditandai dengan munculnya
bunyi /1/ tidak sesuai dengan lingkungannya atau tidak beralternasi.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam diagram berikut ini.
26
27
28
BAB IV
SIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan di depan, maka dapat disimpulkan
seperti di bawah ini :
(1) Perubahan bunyi pada morfem N- bila morfem tersebut dibubuhi bentuk
dasar yang diawali fonem konsonan dan fonem vokal sehingga realisasinya
menjadi /n, m, n, n, dan n/;
(2) Hilangnya atau luluhnya fonem vokal / / pada morfem terikat ma-/m-/;
(3) Hilangnya atau luluhya fonem /p, b, c, j, t, dalam, k, g, s/ pada posisi awal
bentuk dasar bila dibubuhi morfem N- dan bunyi-bunyi awal dari bentuk
dasar tersebut diganti oleh realisasi dari morfem N- yang sehormogan, kecuali
realisasi N- menjadi /n/ di depan bentuk dasar yang berawal dari bunyi /s/;
(4) Penambahan fonem /n/ pada morfem terikat –a/- / -an/-an/, -in/- in, -e/-e, dan
–ne/ -ne/ sebagai akiabt pertemuan morfem tersebut dengan bentuk dasar
yang pada posisi akhir dengan vokal sehingga bentuknya berubah menjadi /-n
/, -an/ -nan/, -nin/, -ne/, dan –inne/;
29
DAFTAR PUSTAKA
Anom, I Gusti Ketut, dkk., 1983, Tata Bahasa Bali Denpasar, Dinas Pengajaran
Daerah Tingkat I Bali.
Aronoff, Mark. 1976. Word Formation in Generative Grammar, Cambridge :
MIT Press.
Bawa, I Wayan dan I Wayan Jendra, 1981.Struktur Bahasa Bali.Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Dardjowidjojo, Soenjono, 1983. Beberapa Aspek Linguistik Indonesia.Jakarta :
Djambatan.
Dardjowidjojo, Soenjono, 1988. “Morfologi Generatif: Teori dan Permasalahan”,
PELLBA I : 31-60. Jakarta : Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Grenoka, Ida Wayan Oka, dkk., 1984/1985. “Tata Bahasa Bali”. Denpasar:
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Halle, Morris, 1973. “Problegomena to a Theory of Word Formation”, Linguistic
Inguiry, 4:3-116.
Langacker, Ronald W. 1972. Fundamentals of
LinguistickAnalysis,NewYork/Chicago/SanFransisco/ Atlanta: Hercourt
Erase Javanovich- Inc.
Matthews, H.P..1974. Morphology: An Introduction to the Theory of Word
Structure, London: University Press.
30
Niels., Eugene A..19G2. Morphology? The Descriptive Analysis of Word, (Second
edition) Ann Arbor: The University of Michigan Press.
Gamsuri, 1991.Analisis Bahasa, Memahami BahasaSecara Ilmiah,Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Scalise, Sergio. 1984. Generative Morphology. Dordrecht: Foric Publication.
Spencer, Andrew. 1991. Morphological Theory : An Introduction to Word
Structure inGenerative Grammar. Cambridge: BasilBlackwell
Verhaar, G.J.J.W.M. 1975. Pengantar Linguist Ik.Jakarta:University Press.