Download - Psikologi Penerapan Hukuman
PRAKTIK TA’ZIR DAN PSIKOLOGI PENERAPAN HUKUMAN DIPONDOK PESANTREN
(Studi Fenomenologi di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan)
PROPOSAL SKRIPSI
Oleh:FADLUR RAHMAN
NIM : 10410002
FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANGFAKULTAS PSIKOLOGI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam dunia pendidikan sering dijumpai istilah punishment (hukuman).
Punishment adalah menghadirkan atau memberikan sebuah situasi yang tidak
menyenangkan dan situasi yang ingin dihindari untuk menurunkan perilaku
(Baharuddin & Esa, 2010). Karena hukuman adalah salah satu alat pendidikan
yang juga diperlukan dalam pendidikan. Hukuman diberikan sebagai akibat dari
pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan yang dilakukan oleh anak didik. Tidak
seperti akibat yang ditimbulkan oleh ganjaran, hukuman mengakibatkan
penderitaan atau kedukaan bagi anak didik yang menerimanya (Djamarah, 2010).
Secara psikologis hukuman dapat dipandang sebagai sumber motivasi
dalam keseluruhan perilaku manusia. Misalnya, seorang anak menghindari tidak
menyontek dalam ujian karena tahu bahwa perbuatan menyontek tersebut tidak
baik, dapat dikenakan hukuman antara lain tidak lulus. Dari sudut pandang
pendidikan, hukuman merupakan alat pendidikan baik di sekolah maupun di luar
sekolah, yaitu sebagai alat dalam proses upaya mengembangkan kepribadian
peserta didik (Surya, 2003)
Tidak ada bukti yang mendukung gagasan bahwa hukuman itu buruk bagi
anak. Dalam teknik disiplin manapun, semua hukuman bisa efektif jika diterapkan
dengan benar, tetapi menjadi tidak efektif jika tidak diterapkan dengan benar
(Steinberg, 2004). Salah satu lembaga pendidikan yang selama ini dipandang
efektif dalam memberikan hukuman dalam menanamkan kedisiplinan adalah
pondok pesantren.
Pondok Pesantren pada hakikatnya adalah sebuah lembaga pendidikan
keagamaan yang memerankan fungsi sebagai institusi sosial. Sebagai institusi
sosial, maka Pondok Pesantren memiliki dan menjadi pedoman etika serta
moralitas masyarakat (Halim, 2009). Oleh karena itu, bagi Pondok Pesantren
pengembangan Sumber Daya Manusia merupakan suatu keharusan. Sebab untuk
mencapai kemajuan masyarakat arus dipenuhi prasyarat yang diperlukan. Dengan
pengembangan Sumber Daya Manusia akan memberikan kontribusi signifikan
bagi upaya peningkatan kehidupan masa depan kehidupan masyarakat (Halim,
2009).
Dalam hal ini, Pondok Pesantren sebagai agen pengembangan masyarakat
sangat diharapakan dapat mempersiapkan sejumlah konsep pengembangan
Sumber Daya Manusia baik untuk peningkatan kualitas Pondok Pesantren itu
sendiri maupun untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Salah satu
upaya tersebut diantaranya memperbaiki sistem pendidikan yang ada di dalam
Pondok Pesantren. Salah satu misi berdirinya pesantren adalah menanamkan
kedisiplinan sejak dini. Dalam menanamkan kedisiplinan, banyak hal yang
dilakukan oleh pondok pesantren agar santri-santrinya dapat menjalankan tata
tertib dengan baik, meskipun awalnya harus melalui paksaan. Strategi untuk
mencapai tujuan mengembangkan pesantren antara lain melalui keteladanan
pengasuhnya melalui nasehat-nasehat, bimbingan dan pemberian ta'zir
(hukuman).
Di dalam dunia pesantren sering dijumpai istilah ta'zir (hukuman) atau
dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan sebutan punishment. Adapun ta'zir
adalah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang
terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri
yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah sudah tidak bisa
diperbaiki (Burhanuddin, 2001).
Di dalam fiqih, ta'zir secara harfiah berarti membinasakan pelaku kriminal
karena tindak pidana yang memalukan. Menurut ketentuan ta'zir, hukuman itu
diterapkan dengan ketentuan hukum, dan hakim diperkenankan
mempertimbangkan baik bentuk ataupun hukuman yang akan dikenakan. Bentuk
hukuman dengan kebijaksanaan ini diberikan dengan pertimbangan khusus
tentang berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dalam peradaban
manusia dan bervariasi berdasarkan metode yang digunakan pengadilan ataupun
jenis tindak pidana yang dapat ditunjukkan dalam undang-undang. Pelanggaran
yang dapat dihukum dengan metode ini adalah yang mengganggu kehidupan,
harta, serta kedamaian, dan ketentraman masyarakat. Ringkasnya ta'zir dapat
didefinisikan sebagai berikut:
والكفارة فيه الحد ذنب على تأديب
"Ini merupakan hukuman disipliner karena tindak kejahatan, (namun) tak
ada ketetapan had ataupun kafarah di dalamnya"(Rahman, 1996).
Di dalam al-Qur'an, hukuman juga telah ditetapkan Allah sebagai balasan
bagi suatu pelanggaran, di antaranya pada ayat berikut ini:
Artinya: "(keadaan mereka) adalah sebagai Keadaan kaum Fir'aun dan
orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat kami;
karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan
Allah sangat keras siksa-Nya."(QS. Ali Imran: 11)
Berkenaan dengan hukuman dalam pendidikan, Rasulullah menjelaskan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan AlHakim dari Amr
bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda:
: صلى الله رسول قال قال جده عن أبيه عن شعيب بن عمر عن
سنين سبع ابناء وهم بالصالة أوالدكم مروا وسلم عليه الله
رواه ( المضاجع فى بينهم وفرقوا عشر ابناء وهم عليها واضربوهم
ابوداود)
"Dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata: Rasulullah
bersabda: suruhlah anak-anak kalian mengerjakan shalat sejak mereka
berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika melalaikannya, ketika
mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dari tempat
tidurnya" (Mahdi, 2007).
Dengan demikian, telah diketahui bahwa Islam juga menyarankan
pemberian hukuman kepada anak jika memang diperlukan. Oleh karena itu,
sebagai institusi sosial yang bertanggung jawab untuk ikut andil dalam mendidik
generasi muda, pesantren berusaha seoptimal mungkin memberikan pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Termasuk di dalamnya hukuman yang
dapat membuat santri berkembang menjadi lebih baik.
Mengenai hukuman ini Gunning, Kohnstamn dan Scheler berkata:
"Hukuman dalam pendidikan harus mengandung tujuan membangun keinsyafan
batin, atau menumbuhkan dan mempertajam hati nurani." Harus ditekankan pula,
bahwa hukuman itu sifatnya tidak boleh memperhinakan anak dan tidak
merendahkan martabat dirinya. Sebaliknya, hukuman tersebut supaya bisa
membangkitkan rasa rendah hati dan kesediaan untuk mengakui kesalahan dan
kelemahan sendiri, lalu bersedia memperbaiki tingkah lakunya. Oleh karena itu,
hukuman harus bisa membangunkan nilai-nilai moril dan etis anak didik
(Kartono, 1992).
Dengan memperhatikan pendapat di atas, ada baiknya sebagai pendidik
hendaknya memikirkan cara yang terbaik dalam mendidik. Khususnya dalam hal
memberi hukuman. Agar nantinya tidak berdampak negatif bagi perkembangan
anak didik.
Pelaksanaan pemberian ta'zir (hukuman) di pesantren pada umumnya
lebih menekankan dengan menggunakan hukuman fisik. Hukuman tersebut
semata-mata hanya menginginkan agar santri jera dan tidak mengulangi kesalahan
kembali. Sehingga dianggap tidak relevan dengan tujuan pendidikan karena tidak
memperhatikan segi psikis para santri. Sebagai akibatnya, dewasa ini ta'zir
mendapatkan kritik dari pendidik modern. Pendidik modern berpendapat bahwa
Punishment (khususnya hukuman fisik) pada umumnya tidak akan membawa
dampak positif (sebaliknya membawa kenangan horror nightmare bagi siswa)
(Syukur, 2006).
Dalam hal ini Ibnu Khaldun berakata : "Pendidikan yang bersikap keras,
baik itu terhadap anak didik (murid), hamba sahaya, atau pembantu, maka
pendidik itu telah menyempitkan jiwanya dalam hal perkembangan,
menghilangkan semangat, menyebabkan malas, dan menyeretnya untuk berdusta
karena takut terhadap tangan-tangan keras dan kejam singgah di mukanya. Hal itu
berarti telah mengajarkan anak untuk berbuat makar dan tipu daya yang
berkembang mejadi kebinasaannya. Dengan demikian rusaklah makna
kemanusiaan yang ada padanya” (Ulwan, 1988)
Agar dampak negatif tersebut tidak terjadi pada santri, Pondok Pesantren
Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan merupakan salah satu
lembaga pendidikan yang penulis pandang sebagai Pondok Pesantren yang
mengaplikasikan ta'zir yang berbentuk ritual keagamaan dalam mendisiplinkan
para santri. Dengan alasan yang demikian, menurut penulis Pondok Pesantren
Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan berbeda dengan
Pondok Pesantren lainnya dalam kegiatan kontrol terhadap kedisiplinan santri.
Oleh karena alasan di atas, penelitian ini mengambil tema ta'zir dengan
judul “Praktik Ta’zir dan Psikologi Penerapan Hukuman di Pesantren (Studi
Kasus di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien
Prenduan) penulis tetapkan sebagai pembahasan yang akan penulis uraikan secara
bertahap.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Praktik Ta’zir
dan Psikologi Penerapan Hukuman di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien
Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Praktik Ta’zir
dan Psikologi Penerapan Hukuman di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien
Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
a. Peneliti ini tentunya sangat berguna bagi peneliti sebagai media
pengembangan diri.
b. Dapat memperluas ilmu pengetahuan baik secara teori maupun praktik
pendidikan ilmupsikologi sesuai dengan disiplin yang peneliti tekuni.
2. Bagi Fakultas atau Kampus
a. Sebagai bahan informasi bagi pemerhati kajian psiokologi serta praktisi
dan civitas akademika pendidikan yang ada pada lingkungan UIN
MALIKI Malang.
b. Sebagai acuan atau bahan dasar bagi peneliti lain yang akan
mengadakan penelitian lebihlanjut.
3. Bagi Masyarakat Umum
a. Sebagai wacana kedepannya lebih dapat meningkatkan pemahaman
tentang Ta’zir dan Hukuman yang lebih baik.
b. Bahan referensi bagi masyarkat luas khususnya Pondok Pesantren.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Ta’zir
1. Pengertian Ta'zir
Ta'zir berasal dari kata 'azzara, yu azziru, ta'zir yang berarti
menghukum atau melatih disiplin. Menurut istilah, ta'zir bermakna at-Ta'dib
(pendidikan) dan at-Tankil (pengekangan). Dalam kamus istilah fiqih kata
"ta'zir" adalah bentuk masdar dari kata 'azzara yang artinya menolak, adapun
menurut istilah hukum syara' berarti pencegahan dan pengajaran terhadap
tindak pidana yang tidak mempunyai hukum had, kafarat, dan kisas (Mujib,
1994).
Menurut Abu Bakr Jabir Al Jaziri, ta'zir adalah sanksi disiplin dengan
pemukulan, atau pemukulan, atau embargo, atau pengasingan. Adapun
menurut A. Rahman I Doi, ta'zir secara harfiah berarti membinasakan pelaku
kriminal karena tindak pidana yang memalukan. Hukuman itu dapat berupa
cambukan, kurungan penjara, denda, peringatan, dan lain-lain (Faruq, 2009).
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa
ta'ziradalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditentukan oleh syara'. Di kalangan fukaha, jarimah-
jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara' dinamakan dengan
jarimah ta'zir. Jadi, istilah ta'zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga
untuk jarimah (tindak pidana).
Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta'zir terdiri
atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had dan tidak
dikenakan kafarat, dengan demikian inti dari jarimah ta'zir adalah perbuatan
maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan
perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan
(dilarang). Di samping itu juga hukuman ta'zir dapat dijatuhkan apabila hal
itu dikehendaki oleh kemaslahatan umum.
Dari uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa jarimah ta'zir
dibagi kepada tiga bagian yaitu:
a. Ta'zir karena melakukan perbuatan maksiat
b. Ta'zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan
kepentingan umum
c. Ta'zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah)
Selain itu pula jika dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah
ta'zir dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Jarimah ta'zir yang menyinggung hak Allah
b. Jarimah ta'zir yang menyinggung hak perorangan (individu)
Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta'zir yang menyinggung hak
Allah adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan
kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, pencurian
yang tidak memenuhi syarat, mencium wanita lain yang bukan istri,
penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain-lain. Sedangkan
yang dimaksud dengan jarimah ta'zir yang menyinggung hak perorangan
(individu) adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada
orang tertentu, bukan orang banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan,
pemukulan, dan lain-lain.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa ta'zir merupakan
suatu istilah untuk hukuman atas tindak pidana yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara' dan tidak dikenakan had serta kafarat.
2. Dasar Hukum dan Tujuan Disyariatkannya
Ta'zir Pada jarimah ta'zir, di dalam al-Qur'an dan hadis tidak
menetapkan secara terperinci, baik dari segi bentuk jarimah maupun
hukumannya. Dasar hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta'zir
adalah al-ta'zir yaduru ma'a al-maslahah. Artinya hukum ta'zir didasarkan
pada pertimbangan kemaslahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip
keadilan dalam masyarakat.
Menurut Syarbini al-Khatib, bahwa ayat al-Qur'an yang dijadikan
landasan adanya jarimah ta'zir adalan Qur'an Surat al-Fath ayat 8-9:
Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa
beritagembira dan pemberi peringatan, (Q. S. al-Fath: 8)
Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama)Nya, membebaskan-Nya. dan bertasbih kepada-
Nya di waktu pagi dan petang. (Q. S. al-Fath:9)
Dari terjemahan tersebut di atas A. Hasan menerjemahkan
watu'azziruhu sebagaimana dikutip oleh Haliman dengan dan supaya kamu
teguhkan (agamanya) dan untuk mencapai tujuan ini, satu diantaranya ialah
dengan mencegah musuh-musuh Allah, sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh Syarbini al-Khatib.
Adapun hadis yang dijadikan dasar adanya jarimah ta'zir adalah
sebagai berikut:
a. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz Ibn Hakim
, 5ه4 6ي ع6ل الله7 ص6ل8ى 4َّي8 6ب الن َّن86 أ ج6د;ه4 ع6ن5 5ه4 4ي ب
6 أ ع6ن5 < 5م ح6ِك4ي 5ن4 اب 6ه5ِز4 ب ع6ن5
) والترمذى داود ابو رواه Cه5م6ِة4 الت ف4ى D ج7ال ر6 6َس6 ح6ب 8م6 ل و6س6
( الحاكم وصححه والبيهقى والنسائى
Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw.
Menahan seseorang yang disangka melakukan kejahatan. (H.R. Abu
Dawud, Turmudzi, Nasa'i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh
Hakim)
b. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah
الله4 و5ل6 س7 ر6 م4ع6 س6 8ه7 ن6 أ 5ه7 ع6ن الله7 ض4ى6 ر6 5ص6ار4ى ن
6 اَأل Dد6ة 7ر5 ب 4ى 6ب ا ع6ن5
: 4ال8 ِإ و6اٍط> 6س5 ا ة4 ر6 ع6ش5 ف6و5َق6 4د7وا ل 6ْج5 ت ال6 6ق7و5ل7 ي 8م6 ل و6س6 5ه4 6ي ع6ل الله7 ص6ل8ى
( عليه ( متفق 6ع6ال6ى ت الله4 ح7د7و5د4 م4ن5 ح6د; ف4ى
Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah
saw. Bersabda: "Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk keuali di
dalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta'ala. (Muttafaq
Alaih).
c. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah
4 8م ل و6س6 5ه4 6ي ع6ل الله7 ص6ل8ى 4َّي8 8ب الن َّن86 أ 5ه6ا ع6ن الله7 ض4ى6 ر6 ِة6 4ش6 ع6ائ و6ع6ن5
) ابو: احمد رواه 5ح7د7و5د6 ال 4ال8 ِإ 4ه4م5 ات 6ر6 ع6َث 6اِت4 5َئ 5ه6ي ال ذ6و4ى 7و5ا 5ل ق4ي6 أ ق6ال6
( والبيهقى والنسائى داود
Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi saw. bersabda: ”Ringankanlah
hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan
atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud. (H.R.
Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, dan Baihaqi).
Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi
ta'zirdalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi
yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan
tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Hadis kedua menjelaskan tentang
batas hukuman ta'zir yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan,
untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan batas hukuman ini
dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah hudud dan mana yang
jarimah ta'zir. Sedangkan hadis ketiga mengatur tentang teknis pelaksanaan
hukuman ta'zir yang bisa berbedaantara satu pelaku dengan pelaku lainnya,
tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
Adapun tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta'zirdan
hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur
masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta dapat
menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.
Jadi jelaslah bahwa ta'zir juga telah diterapkan pada zaman Nabi dan
eksistensinya juga telah disyariatkan dalam Islam. Sedangkan tujuan ta'zir
sendiri adalah agar penguasa dapat dengan baik mengatur masyarakat dalam
kepemimpinannya untuk menegakkan keadilan hukum yang sifatnya
mendadak, dan saat itu juga harus diputuskan, karena dengan ta'zir hakim
dapat diberi keleluasaan untuk berijtihad dalam menentukan hukuman.
3. Jenis-jenis Ta'zir
Jarimah ta'zir tidak dijelaskan tentang macam dan sanksinya yang jelas
oleh nas, melainkan hak ulil amri dan hakim dalam setiap ketetapannya.
Maka jarimah ta'zir dapat berupa perbuatan yang menyinggung hak Allah
atau hak individu. Jarimah ta'zir adakalanya melakukan perbuatan maksiat
dan pelanggaran yang dapat membahayakan kepentingan umum.
Adapun pembagian jarimah ta'zir menurut Abdul Qadir Awdah ada tiga
macam:
a. Jarimah ta'zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qisas,
tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti
pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri.
b. Jarimah ta'zir yang jenisnya disebutkan dalam nas syara' tetapi
hukumnya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi
takaran dan timbangan.
c. Jarimah ta'zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan
oleh syara'. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri,
seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta'zir secara terperinci kepada
beberapa bagian, yaitu:
a. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan pembunuhan
b. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan pelukaan
c. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan
dan kerusakan akhlak
d. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan harta
e. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
f. Jarimah ta'zir yang berkaitan dengan keamanan umum.
Secara umum, tindak pidana ta'zir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
sebagai berikut:
a. Tindak pidana hudud dan qisas yang syubhat, atau tidak jelas, atau
tidak memenuhi syarat, tetapi merupakan maksiat. Contohnya:
percobaan pencurian, percobaan perzinaan, pencurian dalam
keluarga, dan lain-lain.
b. Tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh al-Qur'an dan
hadis, tetapi tidak ditentukan sanksinya. Contohnya: penghinaan,
saksi palsu, tidak melaksanakan amanah, makan babi, mengurangi
timbangan, riba, dan sebagainya.
c. Berbagai tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh ulil
amri (penguasa) berdasarkan ajaran Islam demi kemaslahatan
umum. Contohnya pelanggaran terhadap berbagai peraturan
penguasa yang telah ditetapkan berdasarkan ajaran Islam, korupsi,
kejahatan ekonomi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pelanggarannya, tindak pidana ta'zir terbagi menjadi tujuh
kelompok, yaitu sebagai berikut:
a. Pelanggaran terhadap kehormatan, diantaranya:
perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan
perbuatan-perbuatan yang melanggar kesopanan
perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan suami istri,
penculikan
b. Pelanggaran terhadap kemuliaan, diantaranya:
tuduhan-tuduhan palsu
pencemaran nama baik
penghinaan, penghujatan, dan celaan
c. Perbuatan yang merusak akal di antaranya adalah perbuatan-
perbuatan yang berhubungan dengan sesuatu yang dapat merusak
akal seperti, menjual, membeli, membuat, mengedarkan,
menyimpan, atau mempromosikan minuman khamr, narkotika,
psikotropika, dan sejenisnya.
d. menjual bahan-bahan tertentu, seperti anggur, gandum, atau apa pun
dengan maksud untuk dibuat khamr oleh pembelinya.
e. Pelanggaran terhadap harta, di antaranya:
penipuan dalam masalah muamalah
kecurangan dalam perdagangan
ghasab (meminjam tanpa izin)
pengkhianatan terhadap amanah harta
f. Gangguan keamanan, di antaranya:
berbagai gangguan keamanan terhadap orang lain, selain dalam
perkara hudud dan qisas
menteror, mengancam, atau menakut-nakuti orang lain
penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk dirinya sendiri dan
merugikan orang lain.
g. Subversi/gangguan terhadap keamanan negara, di antaranya:
makar, yang tidak melalui pemberontakan,
spionase (mata-mata),
membocorkan rahasia negara,
h. Perbuatan yang berhubungan dengan agama, di antaranya:
menyebarkan ideologi dan pemikiran kufur
mencela salah satu dari risalah Islam, baik melalui lisan maupun
tulisan.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan syariat, seperti
meninggalkan shalat, terlambat membayar zakat, berbuka puasa
di siang hari pada bulan Ramadhan tanpa uzur.
Jenis tindak pidana ta'zir tidak hanya terbatas pada macam-macam
tindak pidana di atas. Ta'zir sangat luat dan elastis, sehingga perbuatan apa
pun (selain hudud dan jinayat) yang menyebabkan pelanggaran terhadap
agama, atau terhadap penguasa, terhadap masyarakat, atau terhadap
perorangan, maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan ta'zir.
4. Macam-macam Hukuman Pada Tindak Pidana Ta'zir
Dalam uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa hukuman ta'zir
adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara' dan diserahkan kepada
ulil amri untuk menetapkannya. Hukuman ta'zir ini jenisnya beragam, namun
secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu
sebagai berikut:
a. Hukuman ta'zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan
cambuk (dera). Sebagian fukaha Syafi'iyah membolehkan hukuman
mati sebagai ta'zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang
menyimpang dari ajaran al-Qur'an dan al-Sunah. Demikian pula
hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual dengan
tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhsan.
b. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti
hukuman penjara dan pengasingan.
c. Hukuman ta'zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda,
penyitaan/perampasan harta, dan penghancuran barang.
d. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi
kemaslahatan umum.
Di samping hukuman-hukuman yang telah disebutkan terdapat
hukuman-hukuman ta'zir yang lain. Hukuman-hukuman tersebut adalah:
a. peringatan keras
b. dihadirkan dalam sidang
c. nasihat
d. celaan
e. pengucilan
f. pemecatan
g. pengumuman kesalahan secara terbuka
5. Manfaat dan Hikmah Ta'zir
Manfaat ta'zir antara lain adalah untuk memberikan keleluasaan kepada
hakim untuk menentukan hukuman bagi pelanggar serta memberikan
kesempatan kepada pelanggar pidana untuk jera dan tidak mengulangi
kesalahan kembali.
Adapun hikmah diterapkannya ta'zir di antaranya ialah:
a. Segi Pengampunan
Dalam jarimah ta'zir sifat pengampunannya lebih luas.
Pengampunan tersebut bisa diberikan oleh korban dalam hal yang
menyangkut hak individu dan bisa juga oleh penguasa dalam hal
yang menyangkut hak masyarakat.
b. Segi Kompetensi hakim
Dalam jarimah ta'zir hakim mempunyai kebebasan untuk berijtihad.
Sehingga dalam segi kompetensi, hakim mempunyai kekuasaan yang
luas. Mulai dari memilih macamnya hukuman atau bahkan
membebaskannya.
c. Segi keadaan yang meringankan
Dalam jarimah hudud dan qisas, hukuman tidak terpengaruh oleh
keadaankeadaan tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan
jarimah, kecuali apabila pelaku tidak memenuhi syarat-syarat taklif,
seperti gila atau di bawah umur. Akan tetapi dalam jarimah ta'zir,
keadaan korban atau suasana ketika jarimah itu dilakukan dapat
mempengaruhi berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan
kepada pelaku.
d. Segi alat-alat pembuktian
Untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, syara' telah menetapkan
bilangan saksi tertentu, apabila alat pembuktian yang digunakan
berupa saksi.
Dalam membuktikan jarimah zina misalnya diperlukan empat orang
saksi yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri terjadinya jarimah
tersebut. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir kadang-kadang hanya diperlukan
seorang saksi saja.
Hukuman
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan tentang "Praktik Ta’zir dan Psikologi
Penerapan Hukuman (Studi Kasus di Pondok Pesantren Tarbiyatul Mu’allimen
Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan) ini merupakan jenis penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jadi penelitian ini hanya
mendeskripsikan dan menganalisis tentang data-data maupun informasi yang
didapat sesuai dengan realita yang ada dan tidak dibuat-buat.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakanpada lembaga pendidikan non formal di Pondok
Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan. Pondok
Pesantren Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Al-Amien Prenduan ini adalah
salah satu pondok pesantren yang mempertahankan pola pendidikan khas
pesantren yang telah lama berlaku di pesantren, baik kurikulum maupun metode
pembelajarannya. Dalam metode pembelajarannya masih diterapkan ta'zir sebagai
hukuman sekaligus alternatif dalam mendisiplinkan para santri.
Peneliti memilih pondok pesantren ini karena di dalam metode
pembelajarannya, berbagai macam bentuk ta'zir diterapkan. Baik yang berupa
hukuman fisik maupun non fisik. Adapun yang berupa non fisik disebut sebagai
ta'zir dengan pola ritual keagamaan. Karena dalam praktiknya, ta'zir ini lebih
menekankan pada santri untuk melaksanakan hukuman yang sifatnya ibadah. Hal
yang demikianlah yang menurut hemat peneliti berbeda dengan pondok pesantren
pada umumnya.
C. Metode Pengumpulan Data
Alsa (2003) berpendapat bahwa peneliti kualitatif cenderung
mengumpulkan data melalui kontak secara terus menerus dengan subjek dalam
setting alamiah, seperti rutinitas mereka sehari-hari. Metode pengumpulan data
yang paling mewakili karakteristik penelitian kualitatif adalah interview dan
observasi partisipan.
1. Wawancara
Berdasar taxonomi bentuk pertanyaannya, wawancara dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bentuk yaitu verbal dan non verbal. Ada dua
bentuk pertanyaan verbal yaitu pertanyaan langsung dan tidak langsung;
sementara itu untuk yang non verbal juga mempunyai dua bentuk pertanyaan
yaitu overt dan covert. Sementara itu pertanyaan langsung dari verbal
mempunyai dua bentuk yaitu terbuka dan tertutup (Werner dan Schoepfle,
1987 dalam Koentjoro, 2007).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara partisipan dan
tidak berstruktur, pemilihan model wawancara ini didasarkan atas kemampuan
model ini untuk terhindar dari bias. Koentjoro (2007) membagi interview
berdasar cara pengambilan datanya menjadi dua, yaitu interview partisipatif
dan non partisipatif. Wawancara partisipatif pada umumnya berbentuk verbal
terstruktur maupun tidak, terbuka maupun tertutup. Yang membedakan adalah
adanya kecenderungan responden tidak menyadari kalau tengah diinterview,
karena peneliti memanfaatkan momen-momen khusus. Karenanya penggunaan
interview partisipatif dapat menekan bias khususnya yang berbetuk faking
good dan faking bad.
2. Observasi
Walaupun sudah dilakukan interview, peneliti akan melakukan
observasi untuk memperoleh informasi-informasi mengenai perasaan-perasaan
subjek penelitian, Bogdan (1993) menegaskan peneliti juga melakukan
pencatatan tentang perasaan perasaan subjektif dan sikap pribadi sebagai
peneliti atas tema-tema yang dibahas. Selain itu tujuan observasi adalah untuk
mendapat data tentang suatu masalah sehingga diperoleh pemahaman atau
sebagai alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan
yang diperoleh sebelumnya. (Koentjoro, 2007).
D. Instrumen Penelitian
Alsa (2003) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah
instrumen utama, sehingga ia dapat melakukan penyesuaian yang sejalan dengan
kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan. Karena itu, peneliti dapat
berhubungan dengan subjek penelitian dan mampu memahami keterkaitannya
dengan kenyataan di lapangan.
E. Analisa Data
Menurut Alsa (2003) dalam penelitian kualitatif, karena data terdiri dari
teks maka setelah terkumpulnya data base teks, kemudian dilakukan analisis teks
dengan memasukkan kedalam kelompok-kelompok kalimat dan menetapkan arti.
Keseluruhan laporan kualitatif umumnya merupakan deskripsi yang panjang
untuk memberikan gambaran kompleks mengenai fenomena. Dari gambaran
kompleks ini peneliti membuat interpretasi tentang makna data melalui refleksi.
Refleksi berarti bahwa peneliti merefleksikan bias, nilai, dan asumsi-asumsi
personal mereka kedalam penelitiannya.
Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan memadukan hasil
wawancara. Hasil wawancara dirangkum sebagai catatan otobiografi subjek
kemudian hasil tes grafis di interpretasi secara mendetail sehingga dapat
disimpulkan bagaimana cara individu menyatakan dorongan, afeksi dan kognisi,
sikap sosial, seksual, serta hubungan dengan keluarga.
Hasil akhir dari kesimpulan tema diagnostik dan catatan klinis tersebut
dirangkum secara keseluruhan sehingga dalam summary dan final raportnya akan
tergambar bagaimana penerimaan keluarga terhadap penderita tersebut.
F. Teknik Keabsahan Data
Peneliti melakukan teknik triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan
data yang menekankan adanya penggunaan lebih dari satu metode yang berfungsi
sebagai rechecking terhadap informasi atau data yang diperoleh. (Koentjoro,
2007).
KAJIAN PUSTAKA
Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Bandung: Asysyifa', 1988
Abdur Rahman I Doi, Hudud dan Kewarisan Syari'ah III, alih bahasa: Zaimudin danRusydi Sulaiman dalam Syari'ah The Islamic Law, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar & Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010
Halim, dkk,Manajemen Pesantren, Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2009
Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009
Charles Schaefer, Cara Efektif Mendidik dan Mendisiplinkan Anak terj. R. Turman Sirait, Jakarta: Mitra Utama, 1994
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005
Muhammad Abdul Mujib, dkk. Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998
Alsa, A., Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003
Bogdan, R. & Taylor, S., Kualitatif (Dasar-dasar Penelitian) (terjemahan), Surabaya;Usaha Nasional,1993