Download - Pudarnya Toleransi Beragama
PUDARNYA TOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia terlahir dari sejarah bersama dan dengan
mengusung cita-cita bersama. Kesamaan inilah yang menyatukan
Indonesia dengan segala pluralitasnya. Pluralitas ini menyebabkan
Indonesia menjadi suatu negara yang kaya akan nilai-nilai kebudayaan,
suku, agama, serta ras. Karena pluralitas ini pula Indonesia, mengusung
nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan pada pancasila dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.
Salah satu nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat
indonesia ialah toleransi antar umat beragama. Karena agama yang ada di
Indonesia tidak hanya satu melainkan beragam, maka sudah seharusnya
kita saling menghormati sesama pemeluk agama lain, dan terus mencoba
untuk membuka dialog antarumat beragama sehingga dapat
memperkokoh persatuan bangsa Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman, nilai-nilai luhur yang
ditanamkan semakin memudar pula. Sikap saling menghormati dan
toleransi antar umat beragama perlahan menghilang dari hati setiap
bangsa Indonesia. Kebanyakan masyarakat Indonesia semakin bersikap
tertutup dan cenderung untuk bersikap egois. Sebagai akibatnya, banyak
terjadi perselisihan antar umat beragama, yang berujung pada konflik-
konflik bersenjata di berbagai daerah. Hal ini tentu saja berdampak buruk
bagi negara kita tercinta, Indonesia. Persatuan dan kesatuan yang dulu
dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu kita perlahan mulai
goyah. Banyak generasi muda yang tidak terketuk hatinya untuk mulai
memperbaiki keadaan, malah sebaliknya justru semakin memperkeruh
konflik yang ada.
Seharusnya, perbedaan yang ada dijadikan sebagai kelebihan dari
negara Indonesia yang dapat ditunjukan dengan bangga kepada bangsa
lain. Perbedaan yang sering kita temukan di Indonesia belum tentu dapat
kita jumpai di tempat lain. Oleh karena itu, sikap yang seharusnya mulai
ditanamkan pada diri tiap individu terutama generasi muda ialah sikap
saling menghargai dan menghormati atas perbedaan yang ada. Harusnya
kita tidak melulu mencari kekurangan yang ada dalam bangsa kita,
melainkan memperkuat kelebihan dari keberagaman bangsa kita sehingga
dapat digunakan sebagai senjata dalam menghadapi bangsa lain.
B. Tujuan
Mengetahui kondisi toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Mengetahui penyebab konflik antar umat beragama di Indonesia.
Mengetahui solusi yang tepat untuk mengatasi konflik antar umat
beragama.
C. Rumusan Masalah
Bagaimana kondisi toleransi antar umat beragama di Indonesia?
Apa penyebab konflik antar umat beragama di Indonesia?
Bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi konflik antar umat
beragama?
II. Kondisi Toleransi antar Umat Beragama di Indonesia
Bangsa Indonesia sudah ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang plural.
Bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama, adat istiadat,
latar belakang, dan golongan. Semua itu sudah disadari oleh pendiri bangsa
Indonesia sehingga terbentuklah semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang
artinya sekalipun berbeda tetapi tetap satu juga.
Di tengah masyarakat plural tentu saja terdapat banyak pendapat dan
pemikiran yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Seharusnya, walaupun
pendapat dan pemikiran mereka berbeda, mereka tetaplah sama. Meraka
merupakan masyarakat dengan derajat yang sama, tidak ada yang lebih
berkuasa maupun yang tidak berkuasa. Semua memiliki hak dan kewajiban
masing-masing. Tetapi justru perbedaan ini yang sering kali menimbulkan
konflik antar masyarakat.
Seperti yang kita ketahui, masa-masa sekarang merupakan masa berat
bagi bangsa Indonesia. Banyak konflik-konflik yang terjadi sebagai tindakan
nyata kekesalan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan yang ada.
Banyak pula konflik lain yang terjadi hanya untuk memperkeruh suasana
semata, seperti konflik antar umat beragama maupun antar ras. Agama
merupakan suatu hal yang sangat asasi dalam diri seseorang dan dapat dengan
mudah menimbulkan gejolak emosional. Setiap agama sebenarnya
mengajarkan perdamaian, hidup rukun, dan tentram. Tidak ada satupun
agama yang mengajarkan hidup dengan cara kekerasan, permusuhan, dan hal
yang tidak baik lainnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa sikap toleransi
dalam diri bangsa Indonesia semakin memudar. Kebanyakan dari kita
semakin egois dan lebih mementingkan kepentingan golongan daripada
kepentingan bersama sebagai bangsa Indonesia.
Banyak sekali konflik-konflik yang terjadi di Indonesia yang berbau
keagamaan, seperti kasus pembangunan Gereja Yasmin, konflik di Poso
(1999-2002), Maluku (1998-2001), dan Sampang Madura (2012).
Mencuatnya aksi-aksi kekerasan yang berbalut konflik agama tersebut tak
terlepas dari munculnya Krisis Politik dan Krisis Kepemimpinan baik dalam
skala lokal maupun Nasional serta semakin lemahnya peran dari pemerintah
ataupun aparat keamanan. Dengan situasi yang demikian, membuat keadaan
larut dalam segala ketidakpastian, dan pikiran masyarakat dinaungi dengan
keresahan dan kewaspadaan. Keadaan tersebut dapat diibaratkan sebagai
rumput-rumput kering di musim kemarau, yang kapan saja dapat mudah
untuk terbakar dan tinggal menunggu penyulutnya saja.
Biasanya, pemicu konflik-konflik antar agama ini merupakan suatu hal
yang sangat sepele. Dengan keadaan masyarakat yang sangat sensitif, suatu
konflik yang besar sangat mungkin terjadi. Masyarakat dapat dengan mudah
tersulut emosi dan menggalang banyak massa untuk terlibat dalam konflik
tersebut. Keadaan tersebut terjadi karena adanya kerentanan di dalam
masyarakat itu sendiri. Sehingga kemudian terjadi penerjemahan terhadap
peristiwa yang sepele tersebut bahwa si-A sebagai korban adalah warga etnis
A dan si-B sebagai Pelaku adalah warga etnis B.
Dengan penerjemahan tersebut, kemudian seakan goresan yang sepele
tersebut dianggap mewakili perseteruan antara etnis-A dan etnis-B. Sehingga
sekat-sekat pembedaan tersebut dapat dengan cepat ikut memprovokasi atau
memancing kemarahan warga, dan eskalasi mobilisasi warga akhirnya dapat
dengan cepat membesar baik secara terorganisir maupun dengan sendirinya.
Dengan demikian konflik kekerasan tersebut tak dapat dielakan lagi, apalagi
ditambah dengan lemahnya tindakan dan penanganan dari Aparat Keamanan.
Seperti konflik di Poso, peristiwa ini diawali dengan pertikaian antara
dua orang pemuda yang berbeda agama pada akhir 1998 yang berujung pada
pembacokan. Peristiwa ini terjadi di dalam masjid pesantren pada bulan
Ramadhan. Konflik ini awalnya dapat di atasi oleh pihak keamanan dan
diikuti dengan komitmen kedua belah pihak untuk tidak berseteru kembali.
dan berujung pada kerusuhan. Tetapi kenyataannya konflik tersebut masih
terus berlanjut dengan membawa massa yang lebih besar sehingga terlihat
sebagai konflik antar agama.
Konflik Gereja Yasmin berawal dari niat umat gereja untuk
membangun gererja di daerah tersebut yang ditentang oleh masyarakat daerah
tersebut. Umat gereja sebenarnya telah meminta izin sejak tahun 2002 untuk
membangun gereja. Tetapi permintaan izin itu tidak dikabulkan dengan
alasan mayoritas masyarakat di daerah tersebut adalah Muslim. Perjuangan
untuk mendapatkan izin terus berlanjut hingga tahun 2006 dan membuahkan
hasil berupa IMB yang dikeluarkan oleh PEMKOT Bogor. Sejak saat itu,
umat gereja memulai pembangunan gereja. Pembangunan gereja tidak
berjalan dengan mulus dan lancar. Banyak konflik yang terjadi karena
masyarakat tersebut tidak setuju dan merasa terganggu dengan pembangunan
gereja. Konflik terus terjadi dan pada akhirnya IMB untuk pembangunan
gereja Yasmin dicabut.
Dari pemaparan masalah gereja Yasmin diatas, dapat terlihat bahwa
sikap toleransi umat beragama yang masih sangat rendah. Sebagian
masyarakat tidak dapat menerima perbedaan kepercayaan umat lain dan hidup
berdampingan. Masyarakat seperti ini, cenderung memiliki pandangan bahwa
agama merekalah yang paling benar dan agama lain merupakan bahaya yang
mengancam golongan mereka.
III. Penyebab Konflik antar Umat Beragama di Indonesia
Konflik antar Umat Beragama di Indonesia disebabkan oleh beberapa
hal. Menurut Peter Suwarno, Ph.D, Associated Professor Arizona State
University, Arizona USA pada Seminar Internastional bertema
Understanding the Causes of Religious Conflict, konflik agama di Indonesia
disebabkan oleh; pertama, meningkatnya konservatisme dan
fundamentalisme agama. Kedua, keyakinan bahwa hanya ada satu intepretasi
dan kebenaran yang absolute. Ketiga, ketidakdewasaan umat
beragama. Keempat, kurangnya dialog antaragama. Kelima, kurangnya ruang
publik dimana orang-orang yang berbeda agama dapat bertemu. Keenam,
kehausan akan kekuasaan. Ketujuh, ketidakterpisahan antara agama dan
Negara. Kedelapan, ketiadaan kebebasan beragama. Kesembilan, kekerasan
agama tidak diadili. Kesepuluh, kemiskinan dan ketidakadilan. Kesebelas,
hukum agama lebih diutamakan ketimbang akhlak orang beragama.
Meningkatnya konservatisme dan fundamentalisme agama ditandai
dengan munculnya umat beragama dengan pikiran radikal. Orang-orang
seperti inilah yg bisa memunculkan konflik beragama di tanah air. Mereka
menganggap bahwa orang lain yang berbeda dengan mereka adalah musuh
yang harus disingkirkan. Contoh orang-orang yang termasuk kategori ini
adalah Imam Samudra, Amrozi dan lain-lain yang membunuh banyak orang
atas nama agama.
Keyakinan bahwa hanya ada satu intepretasi dan kebenaran yang
absolute menyebabkan kebanyakan umat beragama menjadi berpikiran
dangkal dan sempit. Mereka beranggapan bahwa ajaran yang mereka anut
adalah yang paling benar, sedangkan ajaran lain adalah salah. Penyebab
konflik yang kedua ini biasanya diiringi oleh tindakan radikal yang
merupakan poin pertama penyebab konflik.
Ketidakdewasaan umat beragama sangat mempengaruhi konflik.
Tidakadanya kedewasaan dalam menganut suatu agama menyebabkan
seseorang sangat mudah terbawa emosi. Emosi yang tidak dikendalikan
dengan baik menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dengan jernih
sehingga seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik. Contohnya adalah
seperti kasus kerusuhan Poso seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
dimana konflik antar agama yang terjadi sebenarnya bermula pada konflik
individu yang berbeda agama saja.
Kurangnya dialog antaragama menyebabkan minimnya pemahaman
antara satu agama dengan agama yg lain. Minimnya pemahaman antara
agama ini sering dibayar mahal dengan terjadinya konflik antar agama.
Tragedi Ambon, Afghanistan dan lain lain adalah beberapa contoh kurangnya
dialog antar umat beragama.
Kurangnya ruang publik dimana orang-orang yang berbeda agama
dapat bertemu sangat berhubungan erat dengan poin sebelumnya yaitu
kurangnya dialog antaragama. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya
kedua belah pihak untuk duduk bersama di ruang public. Ruang publik yang
bias dimanfaatkan untuk dialog antaragama misalnya seminar-seminar dialog
antaragama.
Kehausan akan kekuasaan menyebabkan sebagian besar orang akan
berusaha untuk saling menjatuhkan satu dengan yang lain. Dalam perebutan
kekuasaan ini kolusi seringkali terjadi. Salah satu bentuk kolusi adalah
seringkali pihak yang berkuasa menerapkan peraturan yang berpihak pada
agama tertentu saja. Hal ini dapat menimbulkan perlakuan semena-mena dari
pihak berkuasa dan dapat menimbulkan kecemburuan sosial pihak yang tidak
memiliki kekuasaan sehingga dapat memicu timbulnya konflik.
Ketidakterpisahan antara agama dan Negara mirip dengan poin
sebelumnya. Pemerintah yang menjalankan Negara memiliki kekuasaan
terbesar di Indonesia. Pemerintah Indonesia cenderung berpihak dan
dipengaruhi oleh agama Islam yang sekaligus merupakan agama mayoritas.
Hal ini dapat dilihat dari aturan-aturan di Indonesia yang didominasi doktrin
Islam. Sehingga dapat menimbulkan kesenjangan yang dapat menimbulkan
konflik.
Ketiadaan kebebasan beragama merupakan hal yang selama ini kerap
memicu konflik meskipun hal ini sebenarnya telah diatur dalam undang-
undang. Misalnya saja pendirian rumah ibadah yang sedikit dipersulit atau
bahkan harus seijin warga setempat dengan kepercayaan terbesar meskipun
telah memperoleh ijin dari pemerintah yang berwenang. Contoh konkretnya
adalah kasus pendirian Gereja Yasmin di Bogor yang telah dijelaskan
sebelumnya. Hal lain yang menegaskan belum adanya kebebasan beragama
adalah masih adanya ancaman teror yang diterima kaum minoritas di
Indonesia sehingga pada perayaan hari besar agama masih harus diawasi oleh
aparat keamanan.
Kekerasan agama tidak diadili menyebabkan pelaku kekerasan terus
saja menebar teror. Kasus perusakan rumah ibadah oleh kelompok-kelompok
yang terkenal saklek dan radikal sering melenggang tanpa hukuman setelah
melakukan aksi brutal mereka. Dengan mengatasnamakan agama tertentu
mereka membenarkan aksi mereka. Tidak adanya hukuman yang setimpal
bagi mereka menyebabkan kasus ini terus berulang dan memicu konflik
dimana-mana.
Kemiskinan dan ketidakadilan sama halnya dengan poin keenam yaitu
kehausan akan kekuasaan dapat menimbulkan dampak yang sama. Adanya
perbedaan, termasuk perbedaan agama masih sering menimbulkan
ketidakadilan yang berdampak pada kemiskinan. Perlakuan semena-mena
dari pihak mayoritas seringkali menyebabkan konflik tak terelakkan.
Hukum agama lebih diutamakan ketimbang akhlak orang
beragama. Banyak orang beragama yang menganggap hokum agama (fiqih)
lebih penting dibanding moral/ akhlak. Akibatnya kebanyakan orang terjebak
hanya pada permasalahan teknis dalam menjalankan ajaran agama yang
justru dapat menimbulkan konflik. Padahal jika secara moral jelas sekali
bahwa sebagai umat beragama seharusnya dapat menghindari terjadinya
konflik.
IV. Solusi untuk Mengatasi Konflik antar Umat Beragama
1. Konflik Itu Harus di Management Menuju Rekonsiliasi
Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang yang
hidup di dunia ini. Apa lagi konflik yang bernuansa karena perbedaan
agama yang dianut dan pebedaan etnis. Konflik yang demikian itu
memang suatu konflik yang sangat serius. Untuk meredam wajah bahaya
dari konflik itu, maka konflik itu harus dimanagement agar ia berproses
ke arah yang positif. Dr. Judo Poerwowidagdo, MA. Dosen Senior di
Universitas Duta Wacana Yogyakarta menyatakan bahwa proses konflik
menuju arah yang positif itu adalah sbb: Dari kondisi yang “Fight” harus
diupayakan agar menuju Flight. Dari kondisi Flight diupaykan lagi agar
dapat menciptakan kondisi yang Flaw. Dari Flaw inilah baru diarahkan
menuju kondisi Agreement, terus ke Rekonsiliasi. Karena itu, masyarakat
terutama para pemuka agama dan etnis haruslah dibekali ilmu
Management Konflik setidak-tidaknya untuk tingkat dasar.
2. Merobah Sistem Pemahaman Agama.
Konflik yang bernuansa agama bukanlah karena agama yang dianutnya
itu mengajarkan untuk konflik. Karena cara umat memahami ajaran
agamanyalah yang menyebabkan mereka menjadi termotivasi untuk
melakukan konflik. Keluhuran ajaran agama masing-masing hendaknya
tidak di retorikakan secara berlebihan. Retorika yang berlebihan dalam
mengajarkan agama kepada umat masing-masing menyebabkan umat
akan merasa dirinya lebih superior dari pemeluk agama lain. Arahkanlah
pembinaan kehidupan beragma untuk menampilkan nilai-nilai universal
dari ajaran agama yang dianut. Misalnya, semua agama mengajarkan
umatnya untuk hidup sabar menghadapi proses kehidupan ini.
Menjadi lebih tabah menghadapi berbagai AGHT (ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan) dalam menghadapi hidup ini. Rela
berkorban demi kepentingan yang lebih mulia. Tidak mudah putus
asa memperjuangkan sesuatu yang benar dan adil. Tidak mudah
mabuk atau lupa diri kalau mencapai sukses. Orang yang sukses seperti
menjadi kaya, pintar, menjadi penguasa, cantik, cakep, memiliki suatu
power, merasa diri bangsawan. Semuanya itu dapat menyebabkan orang
menjadi mabuk kalau kurang waspada membawa diri. Hal-hal yang
seperti itulah yang sesungguhnya lebih dipentingkan oleh masyarakat
bangsa kita dewasa ini.
3. Mengurangi Penampilan Berhura-Hura dalam Kehidupan
Beragama.
Kegiatan beragama seperti perayaan hari raya agama, umat hendaknya
mengurangi bentuk perayaan dengan penampilan yang berhura-hura.
Seperti menunjukan existensi diri secara berlebihan, bahwa saya adalah
umat yang hebat dan besar banyak pengikut dll. Hal ini sangat mudah
juga memancing konflik. Karena umat lain juga dapat terpancing untuk
menunjukan existensi dirinya bahwa ia juga menganut agama yang
sangat hebat dan luhur.
4. Jangan Menyalah Gunakan Jabatan Demi Agama.
Banyak oknum Pejabat kadang-kadang menjadikan jabatanya itu sebagai
kesempatan untuk berbuat tidak adil demi membantu pengembangan
agama yang dianut oleh pejabat bersangkutan. Dan menjadikan jabatanya
itu sebagai media melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan umat
agama yang dianutnya.
5. Redam Nafsu Distinksi Untuk Menghindari Konflik Etnis.
Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari dalam dirinya.
Salah satu nafsu itu ada yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini
mendorong seseorang untuk menjadi lebih dari yang lainya. Kalau nafsu
ini dikelola dengan baik justru akan membawa manusia menjadi siap
hidup bersaing. Tidak ada kemajuan tanpa persaingan. Namun,
persaingan itu adalah persaingan yang sehat. Persaingan yang sehat itu
adalah persaingan yang berdasarkan noram-norma Agama, norma
Hukum dan norma-norma kemanusiaan yang lainya. Namun, sering
nafsu Distinksi ini menjadi dasar untuk mendorong suatu etnis bahwa
mereka adalah memiliki berbagai kelebihan dari etnis yang lainya. Nafsu
Distinksi ini sering membuat orang buta akan berbagai kekuranganya.
Hal inilah banyak orang menjadi bersikap sombong dan exlusive karena
merasa memiliki kelebihan etnisnya.
Untuk membangun kebersamaan yang setara, bersaudara dan merdeka
mengembangkkan fungsi, profesi dan posisi, maka dalam hubungan
dengan sesama dalam suatu masyarakat ada baiknya kami sampaikan
pandangan Swami Satya Narayana sbb: “Agar hubungan sesama manusia
menjadi harmonis, seriuslah melihat kelebihan pihak lain dan remehkan
kekuarangannya. Seriuslah melihat kekurangan diri sendiri dan remehkan
kelebiihan diri”.
Dengan demikian semua pihak akan mendapatkan manfaat dari
hubungan sosial tersebut. Di samping mendapatkan sahabat yang semakin
erat, juga mendapatkan tambahan pengalaman positif dari sesama dalam
pergaulan sosial. Dengan melihat kelebiihan sesama maka akan semakin
tumbuh rasa persahabatan yang semakin kekal. Kalau kita lihat
kekurangannya maka kita akan terus merasa jauh dengan sesama dalam
hubungan sosial tersebut.
Pada bagian ini akan diuraikan peranan dialog sebagai salah satu
alternatif pemecahan dan pencegahan konflik antar kelompok agama di
Indonesia.
A. Kepentingan Dialog
Dialog menjadi suatu kebutuhan dan keharusan dalam kehidupan
kebersamaan dari segenap warga dunia ini disebabkan oleh pelbagai faktor
yang dapat ditemukan baik dalam perkembangan dunia sendiri maupun dalam
perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pandangan
agama-agama sendiri.
Ada berbagai faktor kepentingan dari dialog, antara lain: pertama, kenyataan
dunia ini semakin menjadi majemuk dalam kawasan keagamaan dewasa ini.
Serentak dengan itu, dalam diri agama-agama dunia sendiri telah tumbuh dan
berkembang pemahamannya tentang dunia ini sebagai keseluruhan,
bersamaan dengan itu telah timbul semangat misioner dari masing-masing
agama dunia. Kedua, dalam konteks Indonesia, agama Islam dan agama
Kristen menghadapi tantangan yang sama saat ini yaitu materialisme dot
sekularisme. Sehingga wajar jika saling memperkuat satu sama lain dan
mengadakan pendekatan suka damai dan suka membangun. Keempat,
kenyataan konflik yang terjadi di Indonesia antara Islam Kristen banyak
disebabkan diantaranya adalah karena salah pengertian dan miskomunikasi,
perasaan curiga, dan cemburu antar kelompok dalam masyarakat.
B. Batasan Dialog
Dialog adalah suatu percakapan yang bertolak pada upaya untuk mengerti
mitra percakapan dengan baik, saling mendengar pendapat masing-masing.
Karena itu, dialog merupakan pertukaran pikiran yang di dalamnya peserta
mengungkapkan pendapat atau keyakinannya, mempertimbangkannya, dan
berusaha memahami pendapat orang lain.
Dialog dapat dibedakan dalam dua kategori: pertama: Dialog Formal, yaitu
suatu dialog yang membahas suatu tema tertentu dalam suatu pertemuan,
yang pembahasannya bertolak dari visi teologis masing-masing. Kedua:
Dialog Informal, yaitu suatu dialog yang terjadi dalam bentuk-bentuk
pergaulan, kerjasama, dan hubungan sosial antar umat yang berbeda agama.
Melalui kesempatan itu, mereka saling mengenal satu sama lain.
C. Sikap dalam Dialog
Yang menentukan dalam hubungan antar agama adalah sikap dasar manusia
di hadapan Tuhan. Karena sikap mendasar dalam dialog adalah sikap rendah
hati di hadapan Tuhan dan keterbukaan hati.
Orang Kristen mengambil bagian di dalam dialog dengan orang Islam dengan
sikap: pertama, kita ambil bagian dalam dialog dengan Islam dalam
keyakinan kita semua memiliki sifat umum (common nature) sebagai yang
diciptakan oleh Allah yang satu, yang adalah Bapa bagi semuanya. Kita
semua hidup dari anugerah-Nya, dan kita semua bertanggung jawab kepada-
Nya. Kedua, kita berdialog dengan keyakinan bahwa kita anggota tubuh
Kristus yang diutus Allah Bapa untuk melanjutkan misi Kristus. Dialog
merupakan panggilan misi kristiani. Karena Allah datang ke dalam dunia
melalui Kristus yang menjadi manusia dan berdialog dengan bahasa manusia.
Ketiga, kita ambil bagian dalam dialog dengan Islam, dalam keyakinan dan
pengharapan bahwa Roh Kudus dapat dan akan menggunakan dialog ini
untuk melakukan karya-Nya.
D. Saran Praktis untuk Dialog
Ada hal-hal praktis yang perlu diperhatikan dalam dialog antara lain: pertama,
kita memerlukan pendalaman tentang isi kepercayaan atau agama kita sendiri.
Kita mesti mampu menjelaskan dengan jujur pokok-pokok iman kita, tradisi
gereja, dan lain-lain yang berkaitan dengan gereja kita sendiri. Kedua, kita
memerlukan pemahaman tentang agama mereka (Islam). Ketiga, kita harus
bersikap saling menghormati tanpa memandang latar belakang, mayoritas
atau minoritas, dan lain-lain. Keempat, dialog tidak berarti merelatifkan
kebenaran Injil atau menuju sinkretisme. Dialog bukanlah pengganti atau
identik dari misi namun melalui dialog kesaksian kristiani bisa diungkapkan.
Dalam dialog informal, selain kaidah-kaidah agama secara umum, maka nilai-
nilai budaya, sikap etis, dan penampilan kita akan sangat berperan dalam
membantu proses dialog.
Seperti yang kita ketahui, masa-masa sekarang merupakan masa berat
bagi bangsa Indonesia. Banyak konflik-konflik yang terjadi sebagai tindakan
nyata kekesalan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan yang ada.
Banyak pula konflik lain yang terjadi hanya untuk memperkeruh suasana
semata, seperti konflik antar umat beragama maupun antar ras. Hal ini
menunjukan bahwa sikap toleransi dalam diri bangsa Indonesia semakin
memudar. Kebanyakan dari kita semakin egois dan lebih mementingkan
kepentingan golongan daripada kepentingan bersama sebagai bangsa
Indonesia.
Penyebabnya bisa dikarenakan minimnya sosialisasi maupun dialog antar
masyarakat, yang mengakibatkan persatuan bangsa ini mulai goyah, dan
dapat di manfaatkan oleh sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab
untuk menyerang bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, sikap yang perlu dilakukan saat ini ialah berpikir jernih
dengan menyelesaikan masalah keberagaman yang ada dengan sikap toleransi,
bukannya dengan kekerasan yang berujung pada jatuhnya korban-korban yang
tidak bersalah. Pemerintah juga harus mengambil andil yang besar agar dapat
menyelesaikan masalah keberagaman budaya, agama, maupun ras dengan
lebih menunjukan sisi positif yang dapat dikembangkan ketimbang dengan sisi
negatif yang dapat semakin melemahkan bangsa kita.