R. SusantiDiterbitkan olehFakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas Negeri SemarangGedung D5, Kampus Sekaran Gunungpati Phone : (024) 8508112 Website : http://mipa.unnes.ac.id
VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA
R. Susanti VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA M
OLEKULERNYA
MONOGRAF
ISBN : 978-602-18553-5-5
MONOGRAF
VIRUS AVIAN INFLUENZA dan
DINAMIKA MOLEKULERNYA
R. Susanti
Diterbitkan oleh:
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya ii
VIRUS AVIAN INFLUENZA dan
DINAMIKA MOLEKULERNYA
Penulis : Dr. drh R. Susanti M.P
Penyunting : _________________
Desain sampul dan tata letak : Yoris Adi Maretta
ISBN : 978-602-18553-5-5
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi monograf
tanpa ijin tertulis dari penulis
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah swt atas anugerah-Nya
sehingga buku monograf berjudul “Virus Avian Influenza dan
Dinamika Molekulernya” ini dapat terselesaikan. Monograf ini
berisi konsep, teori dan hasil penelitian tentang karakter virus
avian influenza subtipe H5N1 secara molekuler. Hasil-hasil
penelitian mencakup semua isolat virus avian influenza subtipe
H5N1 di dunia, namun paparan lebih rinci pada isolat di
Indonesia.
Virus avian influenza (VAI) adalah virus influenza tipe A
yang menyerang unggas dan menyebabkan penyakit “flu
burung”. Virus ini termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus
influenza memiliki 8 segmen genom RNA berserat tunggal
(single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11
protein. Virus ini merupakan patogen intraseluler, sehingga untuk
dapat beradaptasi, bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh
hospesnya, VAI mempunyai mekanisme untuk menghindar dari
respon imun hospes. Mekanisme untuk menghindar dari respon
hospes tersebut terjadi melalui fenomena yang disebut hanyutan
antigenik (antigenic drift). Hanyutan antigenik adalah
perubahan/mutasi secara periodik akibat mutasi genetik struktur
protein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah terbentuk
oleh tubuh akibat vaksinasi atau infeksi alami sebelumnya tidak
dapat mengenali keberadaan virus tersebut.
Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan
karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari
unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya iv
Tingginya tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas
akibat VIA subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan penyebab
kematian manusia tertinggi di dunia, menarik dilakukan
karakterisasi molekuler gen-gen penyusunnya. Nukleotida
penyusun gen-gen VAI merupakan karakter dasar yang
menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter genotip secara
molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik, transmisi,
resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus berdasarkan
sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom yang terlibat
pada proses tersebut
Buku monograf ini merupakan salah satu bahan ajar
untuk mata kuliah biokimia, imunologi, biologi molekuler,
taksonomi, virologi, mikrobiologi ataupun biologi umum. Monograf
ini juga dapat digunakan sebagai referensi bagi mahasiswa S1,
S2 dan S3, masyarakat umum maupun dinas terkait yang
berkecimpung dalam penelitian, pencegahan dan pengendalian
penyakit hewan khususnya “flu burung”. Tingginya kemanfaatan
hasil-hasil penelitian tentang avian influenza bagi mahasiswa
maupun peneliti, mendorong diterbitkannya monograf ini. Buku
monograf ini berturut-turut berisi (1) Pendahuluan, (2) Biologi virus
avian influenza, (3) Teknik menumbuhkan dan mengisolasi virus
avian influenza, (4) Teknik identifikasi virus avian influenza dan
subtipenya, (5) Teknik analisa molekuler nukleotida penyusun
gen-gen virus avian influenza, (6) Dinamika molekuler virus avian
influenza subtipe H5N1 di Indonesia, (7) Epidemiologi virus avian
influenza dan penularannya dan (8) Penutup.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya v
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Retno
Sri Iswari, SU yang telah menyunting monograf ini. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada mahasiswa yang terlibat dalam penelitian virus avian
influenza, serta semua teman-teman yang telah memotivasi
penulis untuk menyelesaikan monograf ini. Semoga karya buku
monograf ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan penelitian di
Indonesia. Kritik dan saran demi kesempurnaan monograf ini
sangat penulis harapkan.
Semarang, Agustus 2013
Penulis
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya vi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ………………………………… ….…………….. viii
DAFTAR GAMBAR ………………………..................................... x
BAB I PENDAHULUAN 1
Rumusan Masalah …………………………………………. 5
Tujuan ...................……………………………………............ 6
Metode...................……………………………………............ 7
BAB II BIOLOGI VRUS INFLUENZA 8
Morfologi .......................………………………………........... 8
Klasifikasi .....................………………………………............ 9
Siklus Hidup ........……………………………………….......... 14
Mutasi Gen VAI ...……………………………………….......... 20
Hanyutan antigenik ….………………………………….......... 25
Reasorsi dan transmisi VAI…………………………….......... 26
BAB III TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS
AVIAN INFLUENZA 29
Preparasi Sampel..........………………………………........... 31
Media Perbanyakan virus ......……….………………............ 31
Metode Propagasi Virus pada Telur Ayam Berembrio SPF 34
BAB IV TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA
DAN SUBTIPENYA 39
Uji Hemaglutinasi (HA)..………………………………........... 39
Metode Uji Hemaglutinasi (HA)………………………........... 41
Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test ……..……........ 42
Metode uji AGPT….…………………………………….......... 44
Identifikasi subtipe virus avian influenza secara molekuler 46
Metode Isolasi RNA Virus .…………………………….......... 47
Metode RT-PCR……..,.………………………………........... 52
Elektroforesis ………………….………………………........... 54
Metode Elektroforesis Hasil RT-PCR pada Gel Agarose 56
BAB V TEKNIK ANALISA MOLEKULER NUKLEOTIDA 59
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya vii
PENYUSUN GEN-GEN VIRUS AVIAN INFLUENZA
Contoh Metode Amplifikasi Gen HA Dengan Primer
Spesifik 60
Purifikasi produk PCR…………………………..……............ 61
Sekuensing………..…………………………………….......... 62
Metode analisis nukleotida dengan program MEGA 3.1 62
BAB VI DINAMIKA MOLEKULER VIRUS AI SUBTIPE H5N1 DI
INDONESIA 72
Gen Hemaglutnin (HA) ....……………………………............. 73
Gen Non Struktural-1 (NS1) ......…………………………...... 96
Gen Polymerase Basic 1 (PB1) .......…………………........... 102
Gen Polymerase Basic 2 (PB2) ........................................... 108
Gen Neuraminidase (NA) ….…………………………………. 112
BAB VII EPIDEMIOLOGI VIRUS AVIAN INVLUENZA DAN
PERAN UNGGAS AIR
118
Epidemiologi Virus Avian Influenza…………........................ 118
Telaah Virus Avian Influenza di Indonesia …….……........... 121
Peran unggas air pada penyebaran virus avian influenza… 123
Cara Perlindungan dan Pencegahan Infeksi Virus Avian
Influenza 128
BAB VIII PENUTUP …………………………………………………. 132
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 141
GLOSARIUM………. ………………………………………………… 169
INDEKS ……………. ………………………………………………… 174
BIOGRAFI ..………. ………………………………………………… 175
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Segmen genom virus influenza A serta fungsi protein yang disandinya .............................................................
12
Tabel 2 Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan dengan mikroorganisme penyebab penyakit.................
29
Tabel 3 Sekuen basa primer untuk mengamplifikasi gen H5, H1 dan ND serta besaran produk PCR yang diharapkan…………………………………………………
53
Tabel 4 Sekuen nukleotida primer untuk mengamplifikasi gen HA ..................................................................................
59
Tabel 5 Variasi antigenik site dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia …............
76
Tabel 6 Variasi daerah antigenik dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ................
79
Tabel 7 Variasi residu pengikat reseptor dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia…
80
Tabel 8 Variasi peptida fusi dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia .........................
86
Tabel 9 Variasi sekuen daerah pemotongan virus avian influenza H5N1 di Indonesia dari tahun 2003-2010 ….
88
Tabel 10 Variasi posisi glikosilasi dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ...............
92
Tabel 11 Variasi peptida fusi dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia .........................
100
Tabel 12 Variasi dari gen PB1 dan PB1-F2 virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia …….......
105
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya ix
Tabel 13 Variasi dari gen PB2 virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia .............................................
109
Tabel 14 Variasi dari posisi glikosilasi gen NA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ...............
113
Tabel 15 Variasi dari oseltamifir binding pocket gen NA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ..
115
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Bentuk pleiomorfik virus influenza ........................... 9
Gambar 2 Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A ……………………………………….……
14
Gambar 3 Siklus replikasi virus influenza …............................. 15
Gambar 4 Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada TAB ……………………………………………..
36
Gambar 5 Antigen virus virus HPAI H5N1 isolat unggas air pada organ-organ embrio……………………………..
38
Gambar 6 Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang mampu mengaglutinasi ………………………………
40
Gambar 7 Gambaran contoh hasil uji HA ................…….......... 42
Gambar 8 Pembentukan presipitasi pada uji AGPT ................. 43
Gambar 9 Interpretasi hasil AGPT..................…...………........ 44
Gambar 10 Contoh hasil AGPT …………................................... 46
Gambar 11 Elektroforegram RT-PCR gen H5 ………………..... 57
Gambar 12 Elektroforegram RT-PCR gen N1…………….......... 57
Gambar 13 Elektroforegram RT-PCR ……………………..……. 58
Gambar 14 Tampilan program MEGA pada persiapan alignment ………………………………………………
64
Gambar 15 Tampilan prosedur alignment……………................. 66
Gambar 16 Proses menampilkan data alignment pada MEGA... 69
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya xi
Gambar 17 Proses penyimpanan data alignment ke word……... 70
Gambar 18 Pembuatan pohon filogeni dan jarak genetik…….... 71
Gambar 19 Pohon filogenetik 1695 basa gen HA virus AI H5N1 96
Gambar 20 Pohon filogenetik 690 basa gen NS virus AI H5N1.. 101
Gambar 21 Pohon filogenetik 2268 basa gen PB1 virus AI H5N1 ……………………………………………………
107
Gambar 22 Pohon filogenetik 2200 basa gen PB2 virus AI H5N1 ……………………………………………………
111
Gambar 23 Pohon filogenetik 1404 basa gen NA virus AI H5N1 117
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 1
BAB I
PENDAHULUAN
Influenza (atau biasa disingkat menjadi flu) bukan penyakit
yang asing lagi bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Influenza banyak dan sering menyerang manusia dan hewan.
Avian Influenza (AI) atau dikenal juga dengan “flu burung” adalah
penyakit flu pada unggas yang sangat menular, disebabkan oleh
virus influenza tipe A, termasuk famili Orthomyxoviridae (Lamb &
Krug 2001). Virus influenza yang menyerang unggas dan
menyebabkan penyakit “flu burung” disebut Virus Avian Influenza
(VAI).
Virus influenza memiliki 8 segmen genom RNA
(ribonucleic acid) serat tunggal (single-stranded RNA)
berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein. Kedelapan
segmen RNA bersama-sama dengan nukleoprotein (NP)
membentuk ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al.
2001; Munch et al. 2001). Kedelapan segmen genom RNA dari
VAI, segmen genom ke-7 yaitu matriks (M) dianggab paling
stabil/conserve dibandingkan 7 genom lainnya. Sementara genom
yang paling tinggi tingkat mutasinya adalah genom HA
(hemaglutinin). Hasil penelitian Susanti et al. (2008a)
menunjukkan bahwa domain asam amino daerah antigenik, posisi
glikosilasi dan kantong pengikat reseptor pada gen HA virus AI
isolat unggas air di Jawa Barat menunjukkan adanya
polimorfisme, namun spesifisitas reseptor avian α-2,3NeuAcGal
masih tetap dipertahankan. Genom yang berperan pada
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 2
mekanisme zoonotik, transmisi dan virulensi/patogenesitas VAI
adalah segmen genom polymerase basic 2 (PB2), PB1,
hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA), dan non-struktural 1
(NS1).
Sebagai patogen intraseluler, VAI mempunyai mekanisme
untuk menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat
bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan
kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara
langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenesitas virus.
VAI mempunyai berbagai mekanisme untuk menghindar dari
respon imun bawaan dan adaptif hospes (Coleman 2007).
Virus AI mempunyai kemampuan untuk menghindar dari
respon humoral hospes melalui fenomena yang disebut hanyutan
antigenik (antigenic drift). Mutasi yang mengarahkan pada
fenomena ini adalah perubahan asam amino glikoprotein
permukaan hemaglutinin (HA) (Plotkin & Dushoff 2003). Hanyutan
antigenik adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik
struktur protein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah
terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat
mengenali keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Konsep
hanyutan antigenik ini menuntut produksi vaksin selalu
diperbaharui. Ancaman yang lebih besar dari penghindaran
respon imun bawaan dan perolehan adalah kemampuan virus
untuk reasorsi melalui fenomena yang disebut lompatan antigenik
(antigenic shift) (Coleman 2007).
Virus AI dengan kepemilikan mekanisme untuk
menghindar dari respon imun bawaan dan adaptif hospes,
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 3
merupakan salah satu faktor meluasnya wabah virus ini. Wabah
VAI subtipe H5N1 patogenik tinggi (highly pathogenic avian
influenza; HPAI) pertama kali dilaporkan di Cina Selatan tahun
1996-1997, kemudian menyebar dan menyebabkan kematian
unggas di Vietnam, Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur
sejak awal tahun 2004 (Smith et al. 2006). Wabah virus HPAI
subtipe H5N1 pada unggas di Indonesia muncul pertama kali
pada bulan Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam ras
komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun secara resmi
baru dilaporkan pada Januari 2004. Kasus ini kemudian meluas
ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur,
DIY, Lampung, Bali serta beberapa daerah di Sumatera dan
Kalimantan. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan (2012), sejak dideklarasikan Januari 2004,
jumlah kasus infeksi VAI secara bertahap menurun setiap
tahunnya, yakni 1411 kasus pada tahun 2011. Jumlah tersebut
lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yaitu 1502 (tahun
2010), 2293 (tahun 2009), 1413 (tahun 2008), 2751 (tahun 2007)
dan 612 (tahun 2006).
Berdasarkan kajian epidemiologi molekuler, Pulau Jawa
merupakan pusat penyebaran (epicenter) VAI subtipe H5N1 di
Indonesia. Virus-virus H5N1 ini diintroduksi dari pulau Jawa ke
pulau-pulau di sekitarnya melalui jalur perdagangan unggas.
Sampai saat ini, avian influenza dinyatakan endemis di 32 dari 33
propinsi di Indonesia. Infeksi VAI subtipe H5N1 pada manusia
mulai terjadi pada Juli 2005. Infeksi VAI H5N1 pada manusia
terjadi secara sporadis dan menyerang beberapa klaster famili
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 4
(Kandun et al. 2006; Sedyaningsih et al. 2007). Kasus infeksi VAI
H5N1 pada klaster famili kemungkinan dipengaruhi oleh faktor
genetik, tingkah laku, imunologik, dan lingkungan (Kandun et al.
2006). Semua kasus infeksi VAI H5N1 di Indonesia merupakan
VAI H5N1 clade 2 subclade 1 (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih
et al. 2007).
Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan
karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari
unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia (Kalthoff
et al. 2010). Sampai tanggal 10 Agustus 2012, jumlah kasus dan
kematian akibat VAI H5N1 pada manusia Indonesia tercatat
paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 159 orang dari 191
orang positif terinfeksi. Data kejadian dan kematian di seluruh
dunia adalah 359 kematian dari 608 kejadian (WHO 2012).
Kematian manusia paling banyak terjadi di Propinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat dan Banten. Semakin banyaknya kasus transmisi
zoonotik ke manusia, semakin meningkatkan potensi terjadinya
pandemi (Smith et al. 2006).
Virus AI subtipe H5N1 diperkirakan akan selalu bermutasi
sehingga berpotensi meningkatkan kapasitas untuk melompati
barier spesies, dan dapat menular secara mudah antar manusia.
Penularan VAI H5N1 antar manusia merupakan awal terjadinya
pandemik secara global. Nampaknya, semua fragmen gen VAI
H5N1 secara bersama-sama menentukan apakah suatu
strain/galur dapat menginfeksi manusia atau mamalia. Tingginya
tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat flu
burung (virus avian influenza) subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 5
penyebab kematian manusia tertinggi di dunia, menarik untuk
dikaji dinamika molekuler VAI asal manusia dan hewan di
Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan sebagai
dasar penentuan pengobatan, pengendalian dan pencegahan
penyebaran virus ini. Karakterisasi genotip merupakan karakter
dasar yang menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter
fenotip selain ditentukan karakter genotip, juga dipengaruhi oleh
lingkungan dan respon hospes yang diinfeksi. Karakter genotip
secara molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik,
transmisi, resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus
berdasarkan sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom
yang terlibat pada proses tersebut.
Rumusan Masalah
Virus HPAI H5N1 dari Asia menunjukkan karakteristik
zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari unggas ke
berbagai spesies mamalia termasuk manusia. Jumlah kasus dan
kematian akibat VAI subtipe H5N1 pada manusia tercatat paling
tinggi di dunia dengan jumlah kematian 152 orang dari 184 orang
positif terinfeksi. Semakin banyaknya kasus transmisi zoonotik ke
manusia, semakin meningkatkan potensi terjadinya pandemi.
Sebagai patogen intraseluler, VAI mempunyai mekanisme untuk
menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat
bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan
kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara
langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenesitas virus.
VAI mempunyai berbagai mekanisme untuk menghindar dari
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 6
respon imun bawaan dan adaptif hospes. Tingginya tingkat
kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat virus flu
burung (VIA) subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan penyebab
kematian manusia tertinggi di dunia, perlu dilakukan kajian
dinamika molekuler melalui karakter gen-gen penyusun VAI asal
manusia dan hewan di Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting
dilakukan sebagai dasar penentuan pengobatan, pengendalian
dan pencegahan penyebaran virus ini. Karakterisasi genotip
merupakan karakter dasar yang menentukan karakter fenotip
suatu virus. Karakter fenotip selain ditentukan karakter genotip,
juga dipengaruhi oleh lingkungan dan respon hospes yang
diinfeksi. Karakter genotip secara molekuler akan dapat
mengungkap karakter zoonotik, transmisi, resistensi terhadap
obat dan patogenesitas virus berdasarkan sekuen nukleotida dan
asam amino genom-genom yang terlibat pada proses tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut, permasalahan yang
dipecahkan/dikaji dalam buku ini adalah :
1. Bagaimana menumbuhkan dan mengisolasi virus AI ?
2. Bagaimana mengidentifikasi Virus Influenza?
3. Bagaimana mengkarakterisasi virus avian influenza
secara molekuler?
4. Bagaimana dinamika molekuler gen-gen virus AI subtipe
H5N1 di Indonesia ?
Tujuan Penulisan buku
Penulisan buku ini bertujuan untuk menyebarluaskan teori,
konsep dan hasil-hasil penelitian tentang virus AI dengan karakter
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 7
fenotip dan molekulernya. Tulisan ini diharapkan bermanfaat
sebagai (a) bahan pengayaan mata kuliah biokimia, imunologi,
biologi molekuler, taksonomi, virologi, mikrobiologi ataupun
biologi umum (b) dasar pertimbangan berbagai pihak dalam
penelitian virus AI secara molekuler dan (c) dasar pengambil
kebijakan dalam pencegahan, pengobatan dan pengendalian
virus avian influenza (VAI) di Indonesia.
Metode Pemecahan Masalah
Permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan
melakukan kajian pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang
biologi virus AI, prinsip dasar isolasi dan identifikasi virus
influenza khususnya subtipe H5N1, prinsip dasar teknik
karakterisasi molekuler virus influenza,khususnya subtipe H5N1,
dan dinamika molekuler virus AI di Indonesia. Dalam tulisan ini
dibahas kajian teoritis dan hasil penelitian tentang :
1. Biologi Virus Avian Influenza (struktur, morfologi,
klasifikasi, siklus hidup)
2. Teknik menumbuhkan dan mengisolasi virus AI
3. Teknik mengidentifikasi Virus Avian Influenza
4. Teknik analisis gen-gen Virus Avian Influenza secara
molekuler
5. Dinamika molekuler gen-gen Virus Avian Influenza subtipe
H5N1 di Indonesia
6. Epidemiologi Virus Avian Influenza dan peran unggas air
dalam penyebaran virus
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 8
BAB II
BIOLOGI VIRUS AVIAN INFLUENZA
Virus bukan merupakan sel utuh dan tidak dapat
bereproduksi sendiri. Untuk dapat bereproduksi atau
memperbanyak diri, virus harus menyerang sel hidup dan
menggunakan sumber daya sel tersebut untuk memperbanyak
diri. Pada dasarnya, virus hanya merupakan material genetik
yang dibungkus kantong protein, sehingga virus tidak dapat
dikatakan “hidup”. Meskipun demikian, karena mampu
memperbanyak diri dan memiliki material genetik maka sebagian
ilmuwan sepakat virus merupakan makhluk hidup. Berdasarkan
material genetik yang dimiliki virus, ada 2 jenis virus yaitu virus
yang memiliki ribonucleic acid (RNA) atau deoxyribonucleic acid
(DNA).
Morfologi
Bentuk dan ukuran virus influenza bersifat pleiomorfik
(bentuk dan ukuran berubah-ubah), berbentuk filamen atau
sferoid (bola) dengan diameter 80-120 nm (Harris et al. 2006)
(Gambar 1). Virus yang ditumbuhkan secara in vitro, karena
pertumbuhannya yang cepat, sehingga lebih banyak
berbentuk sferoid dengan diameter dan panjang yang
konstan (review oleh Whittaker 2001). Virus yang diisolasi dari
infeksi alami biasanya berbentuk filamen dengan diameter
konstan 100-150nm tetapi panjangnya bervariasi. Virus
influenza mempunyai amplop yang dilapisi protein matriks
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 9
dengan glikoprotein integral yang menjulur keluar
membentuk duri (spike) di permukaan virion (Harris et al.
2006). Virus yang berbentuk filamen lebih infektif dan lebih
banyak mengandung RNA dibanding virus berbentuk sferoid
(Roberts & Compans 1998).
Gambar 1. Bentuk pleiomorfik virus influenza
(A) bentuk filamen (Robert & Compans 1998) (B) sferoid (Whittaker 2001)
Klasifikasi
Virus influenza adalah virus anggota famili
Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Virus ini dibagi menjadi
influenza tipe A, B dan C berdasarkan perbedaan antigenik
pada nukleoprotein (NP) dan matriks (M) (Payungporn et al.
2004). Namun, dari ketiga tipe tersebut hanya tipe A yang
berpotensi menimbulkan pandemik (Liu 2005). Influenza A dan B
memiliki kemiripan biologis, antigenik, genetik dan struktur,
namun cakupan hospes (host range), pola strategi dan evolusi
kode genetiknya bervariasi (Lamb & Krug 1996; Murphy &
Webster 1996). Influenza A dapat menginfeksi berbagai hewan
B
B
A
A
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 10
dan manusia, serta dibagi menjadi beberapa subtipe antigenik.
Influenza B hanya menginfeksi manusia dan tidak ditemukan
menginfeksi hewan secara alamiah, serta tidak dibagi menjadi
subtipe-subtipe antigenik. Virus Influenza B hanya bersirkulasi
pada manusia, dan biasanya tidak menyebabkan penyakit
sesakit akibat Influenza A. Analisis evolusi gen HA influenza B
memiliki karakteristik membentuk 2 jenis antigenik yang berbeda,
yaitu B/Yamagata/16/88-like dan B/Victoria/2/87-like (Kanegae et
al. 1990; Rota et al. 1990; Rota et al. 1992; Nerome et al. 1998;
Lindstrom et al. 1999).
Di dalam virion influenza tipe A dan B terdapat 8
segmen genom RNA serat tunggal (single-stranded RNA)
berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein (Tabel 1).
Delapan segmen tersebut adalah PB1 (PB1 dan PB1-F2), PB2,
PA, HA, NP, NA, M (M1 dan M2), dan NS (NS1 dan NS2)
(Horimoto & Kawaoko 2001; Whittaker 2001). Kedelapan segmen
RNA bersama-sama dengan nukleoprotein (NP) membentuk
ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al. 2001; Munch
et al. 2001). RNP dikelilingi oleh protein matriks M1. Pada
permukaan amplop virus terdapat glikoprotein HA dan NA serta
kanal ion (ion channel) M2 (Elton et al. 2001). Hemaglutinin (HA)
virus disandi dalam segmen ke-4 dan neuraminidase (NA) dalam
segmen ke-6. Segmen yang lain menyandi protein internal virus
dan protein lain yang penting untuk viabilitas virus seperti
misalnya segmen 8 yang menyandi NS1 yaitu suatu protein
nonstruktural yang berfungsi dalam melakukan hambatan
terhadap respon antiviral dari inang (Lamb 1989). Protein lain
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 11
yang dimiliki oleh virus ini antara lain nukleoprotein (NP) yang
menjadi protein struktural utama, protein membran/matriks (M1
dan M2), protein polimerase (PA, PB1, dan PB2), dan protein
nonstruktural (NS1 dan NS2) (Yuen et al. 1998; Chan 2002; Guan
et al. 2002; Peiris et al. 2004). Glikoprotein HA membentuk
tonjolan (spike) pada permukaan virion, berfungsi sebagai media
untuk berikatan dengan reseptor pada sel inang dan memasuki
sel inang kemudian terjadi fusi dengan membran sel inang.
Protein NA membentuk struktur pada permukaan partikel virus
dan mengkatalisis pembebasannya dari sel yang terinfeksi,
sehingga virus dapat menyebar (WHO 2005a).
Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A
terlihat pada Gambar 2. Virus influenza tipe C mempunyai 7
segmen genom RNA, karena hanya mempunyai satu jenis
glikoprotein permukaan yaitu hemagglutinin esterase fusion
(HEF). HEF berfungsi sebagai pengikat reseptor (H), fusi
membran (F) dan esterase (E) (review oleh Whittaker 2001).
Virus influenza tipe A secara natural dapat menginfeksi
unggas dan manusia (Khawaja et al. 2005). Virus ini dibagi ke
dalam berbagai subtipe berdasarkan analisis serologis dan
genetis glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA)
(Lee et al. 2001). Sampai saat ini ada 16 subtipe HA (H1-H16)
dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Russell & Webster 2005). Subtipe H16
baru ditemukan tahun 2004, pertama kali diisolasi dan
diidentifikasi pada burung camar laut kepala hitam (Fouchier et al.
2005). Semua subtipe HA dan NA ditemukan pada unggas air,
dan hanya 3 subtipe HA (H1-H3) dan 2 subtipe NA (N1-N2)
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 12
ditemukan pada manusia (Hoffman et al. 2001). Subtipe H5 dan
H7 yang sangat virulen pada unggas (Lee et al. 2001; Khawaja et
al. 2005) dilaporkan berpotensi sebagai penyebab pandemi
(Russell & Webster 2005).
Semua strain virus influenza diberi nama sesuai
nomenklatur standar, berturut-turut tersusun dari tipe virus
influenza/spesies hewan (jika bukan manusia)/wilayah
isolasi/urutan nomor isolasi laboratorium/tahun isolasi (subtipe)
(WHO 2002). Misalnya Influenza A/goose/Guangdong/1/1996
(H5N1), artinya virus ini termasuk tipe virus influenza A, diisolai
dari angsa di Guangdong dengan nomor isolat 1, diisolasi tahun
1996, virus termasuk subtipe H5N1. Jika virus diisolasi dari
manusia, tidak perlu disebutkan spesiesnya. Contohnya Influenza
A/Indonesia/2A/2005 (H5N1), artinya virus ini termasuk tipe virus
influenza A, diisolai dari manusia di Guangdong dengan nomor
isolat 2A, diisolasi tahun 2005, virus termasuk subtipe H5N1.
Tabel 1. Segmen genom virus influenza A serta fungsi protein
yang disandinya
Segmen/Gen
Protein yang disandi
Fungsi
1/PB2 Polimerase Basa 2
Perampasan tudung (cap snatching) Faktor virulensi
2/PB1 Polimerase Basa 1
Perampasan tudung Polimerisasi sintesis mRNA Perakitan kompleks RdRp (RNA dependent RNA polymerase) Menghambat respon imun seluler
PB1-frame 2 (PB1-F2)
Menginduksi apoptosis makrofag Menurunkan penghilangan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 13
(clearance) virus Meningkatkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri
3/PA Polimerase Asam Perakitan kompleks RdRp Endonuklease Replikasi Menghambat respon imun seluler
4/HA Hemaglutinin Attchment (penempelan virus pada sel hospes) Fusi dengan membran endosom Target netralisasi antibodi
5/NP Nukleoprotein Tanda isyarat (signal) impor vRNP Menghambat respon imun seluler
6/NA Neuraminidase Memotong ujung asam sialat dari reseptor sel hospes sehingga progeni virion lepas dari sel Target netralisasi antibodi
7/M Matriks 1 (M1) Perakitan (assembly) progeni virus
Matriks 2 (M2) Tanda isyarat transpor ke permukaan sel Kanal ion
8/NS Nonstruktural 1 (NS1)
Ekspor mRNA virus dari nukleus Menghambat pemotongan dan penyambungan (splicing) pre mRNA seluler Menghambat ekspor mRNA seluler Menghambat respon anti virus interferon (IFN) Menginduksi badai sitokin (sitokines storm)
Nonstruktural 2 (NS2) atau Nuclear export protein (NEP)
Bersama-sama dengan M1 sebagai tanda isyarat ekspor vRNP dari nukleus
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 14
Siklus Hidup
Siklus replikasi virus influenza A mempunyai keunikan
karena semua sintesis mRNA dan replikasi genom terjadi di
dalam nukleus sel hospes yang terinfeksi. Proses replikasi virus
sangat cepat, sekitar 10 jam/siklus (Coleman 2007). Infeksi virus
influenza diawali dengan masuknya virus ke dalam sel hospes
(entry), diikuti transkripsi, translasi, perakitan dan budding virion-
virion baru keluar sel hospes (Gambar 3).
Gambar 2. Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A (Webster 2001)
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 15
Gambar 3. Siklus replikasi virus influenza (Whittaker 2001)
Virus influenza masuk sel hospes melalui endositosis yang
diperantarai reseptor (receptor–mediated endositosis) (Elton et al.
2001). Ikatan pada reseptor merupakan determinan awal
patogenesitas, dan spesifisitas ikatan reseptor menentukan
tropisme suatu virus pada spesies hospes tertentu. Residu asam
amino bagian dari HA yang berikatan dengan reseptor adalah
asam amino nomor 222 dan 224 (penomoran menurut H5).
Glikoprotein HA virus influenza strain manusia yang mempunyai
asam amino leusin pada posisi 222 dan serin pada 224 dapat
berikatan dengan asam sialat α-2,6NeuAcGal. Sementara HA
virus influenza strain unggas yang mempunyai asam amino
glutamin pada posisi 222 dan glisin pada 224 dapat berikatan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 16
dengan asam sialat α-2,3NeuAcGal (Vines et al. 1998; Zhou et al.
1999; Suzuki et al. 2000; Leung 2007).
Setelah interaksi virus dengan reseptor pada permukaan
sel, terjadi internalisasi virus secara cepat melalui endositosis
(Bui et al. 1996). Rendahnya pH dalam endosom (5,5) memacu
terjadinya pelepasan mantel (uncoating) virus. Kondisi asam itu
juga menyebabkan perubahan konformasi HA sehingga regio
peptida fusi HA dapat disisipkan ke membran endosom dan
terjadi fusi antara membran endosom dengan membran virus.
Proses fusi hanya dapat terjadi jika HA dipotong menjadi HA1 dan
HA2 oleh protease sel hospes (Steinhauer 1999).
Rendahnya pH endosom juga menyebabkan aliran ion ke
bagian interior virus melalui protein M2 dan memutus interaksi
M1-vRNP (Pinto et al. 1992; Bui et al. 1996). Pelepasan mantel
virus menyebabkan vRNP dan M1 masing-masing lepas ke
sitoplasma dan menuju nukleus melewati nuclear core protein
(NCP) (Bui et al. 1996). Impor vRNP melalui NCP diperantarai
oleh nuclear localization signal (NLS) 1 dan 2 pada protein NP
(Cros et al. 2005; Ozawa et al. 2007; Wu et al. 2007). Sementara,
impor protein M1 ke dalam nukleus terjadi secara difusi pasif (Bui
et al. 1996). Amantadin dan rimantadin yang banyak dipakai
sebagai antivirus bekerja dengan menghambat aktivitas M2 untuk
memutus interaksi M1-vRNP sehingga materi genetika virus tidak
dapat masuk nukleus (Hayden 2006)
Transkripsi dan replikasi genom RNA virus (vRNA) influenza
dilakukan di dalam nukleus sel hospes, dikatalisis oleh enzim
RdRp terdiri dari enzim PB1, PB2 dan PA (Honda et al. 2002;
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 17
Crow et al. 2004; Hara et al. 2006). Genom vRNA membentuk
kompleks dengan RdRp dan NP membentuk vRNP sebagai
cetakan transkripsi (membentuk mRNA) dan cetakan replikasi
(membentuk genom vRNA dari cRNA) (Vreede et al. 2004).
Sintesis mRNA virus diawali dengan penambahan fragmen
tudung pada ujung „5 mRNA sebagai primer inisiasi transkripsi.
Fragmen tudung (7mGppp dan 10-13 nukleotida setelah tudung)
dari pre-mRNA sel hospes dipotong oleh enzim PB1 kemudian
dikenal dan diikat oleh enzim PB2. Proses perampasan tudung
dari pre-mRNA seluler tersebut disebut dengan cap snatching
(Rao et al. 2003; Crow et al. 2004; Hara et al. 2006). Setelah
penambahan tudung, pemanjangan (elongasi) rantai mRNA
berjalan sampai pada sekuen kaya uridin yang terletak 15-22
nukleotida sebelum ujung 3‟ mRNA. Pemanjangan mRNA virus ini
dikatalisis oleh enzim PB1. Seperti juga mRNA eukariot, mRNA
virus yang baru disintesis juga mengalami poliadenilasi pada
ujung 3‟, dikatalisis oleh RdRp (Honda et al. 2002).
mRNA virus tetap terlindung dari degradasi selama
kompleks RdRp terikat pada sekuen spesifik
5‟AGCAAAAGCAGG‟3 yang ditemukan pada semua mRNA virus.
Sekuen ini komplementer dengan 12 nukleotida ujung 3‟ dari
genom vRNA. Semua segmen genom virus influenza mempunyai
12 nukleotida pada ujung „3 dan 13 nukleotida pada ujung „5 yang
bersifat stabil (Bae et al. 2001; Crow et al. 2004). Primer untuk
mengamplifikasi secara lengkap semua genom virus didisain
berdasarkan regio genom yang identik dan stabil ini (Hoffman et
al. 2001).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 18
Replikasi genom vRNA tidak memerlukan primer dan
dibentuk dari cetakan cRNA. Pada tahap I replikasi, vRNA dikopi
menjadi cRNA berpolaritas positif. Inisiasi pembentukan cRNA
tidak memerlukan tudung 7mGppp (Crow et al. 2004; Vreede et
al. 2004; Hara et al. 2006). Tahap II replikasi adalah sintesis
vRNA berpolaritas negatif dengan cRNA sebagai cetakannya
(Hara et al. 2006). Seluruh serat cRNA disebut anti genom karena
merupakan cetakan untuk sintesis vRNA. RdRp yang
mengkatalisis replikasi genom, tidak mempunyai mekanisme
untuk memperbaiki kesalahan (proofreading) sehingga tingkat
kesalahan mencapai 1 dari 104 nukleotida per siklus replikasi
(review oleh Webster et al. 1992).
Pembentukan cRNA tidak memerlukan tudung 7mGppp.
Perubahan fungsi katalitik polimerase dari transkripsi mRNA ke
replikasi cRNA diperantarai oleh protein NP yang berikatan
langsung dengan PB1 dan PB2 (Portela & Digard 2002).
Perubahan fungsi katalitik polimerase PB1 memerlukan
perubahan strukter sekunder polimerase, karena regio ikatan
cRNA berbeda dengan regio ikatan mRNA (Gonzales & Ortin
1999). Berbeda dengan mRNA, 2 bentuk RNA lainnya (yaitu
cRNA dan vRNA) dibungkus (encapsidated) oleh protein NP
membentuk vRNP (Portela & Digard 2002).
Translasi (sintesis protein) dari mRNA virus influenza
seluruhnya menggunakan mekanisme translasi dalam sitoplasma
sel hospes. Protein PA, PB1, PB2 dan NP hasil translasi
selanjutnya masuk ke nukleus untuk mengkatalisis transkripsi dan
replikasi, kemudian dirakit dengan vRNA yang baru dan disintesis
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 19
membentuk vRNP (Klumpp et al. 1997). vRNP diekspor ke
sitoplasma melalui pembentukan kompleks NEP-M1-RNP, dan
berinteraksi dengan reseptor ekspor nuklear sel hospes
(superfamili importin-β) yang bersifat stabil (Cullen 2000;
Neumann et al. 2000; Sandri-Goldin 2004). Ekspor vRNP virus
influenza dihambat oleh antibiotik leptomisin B yang berikatan
dengan CRM-1 (Elton et al. 2001).
Fragmen gen virus influenza A ada yang menyandi satu
protein (PB1, PB2, PA, NA, HA, NP) ada yang lebih dari satu
protein (gen NS dan M). Splicing mRNA dari gen NS menjadi
mRNA NS1 dan mRNA NS2 (berturut-turut menyandi protein NS1
dan NS2) dilakukan di nukleus sel hospes menggunakan
mekanisme splicing pre-mRNA sel hospes. Splicing yang sama
juga dilakukan terhadap mRNA gen M menjadi mRNA M1 dan
mRNA M2 (Whittaker 2001).
Sebagai target protein transmembran, protein HA, NA dan
M2 mengalami modifikasi pascatranslasi, berupa glikosilasi dan
pelipatan, selama melintasi retikulum endoplasma dan aparatus
Golgi (Gomez-Puertas et al. 2000). Sebagian molekul M1
berikatan dengan vRNP dan sebagian lagi membentuk selubung
di bawah amplop virus. Glikoprotein HA pada transmembran
menstimulasi M1 untuk berikatan/menempel pada membran.
Interaksi antara ekor transmembran HA dengan M1 merupakan
target perakitan virion (Ali et al. 2000; Gomez-Puertas et al. 2000;
Ruigrok et al. 2000). Pada perakitan virion, semua komponen
virus (HA, NA, M2, M1 dan vRNP) dibawa ke regio plasma
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 20
membran sel yang kaya dengan detergent-insoluble glikolipid
(DIG) atau disebut lipid raft (Zhang et al. 2000).
Perakitan virion diikuti dengan budding, yaitu pembentukan
dan penutupan kuncup vRNP yang dikelilingi amplop pada
membran sel hospes sehingga virion terlepas ke ekstrasel tanpa
merusak membran sel (review oleh Garoff et al. 1998; Chazal &
Gerlier 2003). Budding dapat terjadi melalui permukaan apikal
atau basolateral sel epitel. Jika budding terjadi pada permukaan
membran basolateral epitel, virus akan menyebar secara sistemik
(Whittaker 2001).
Progeni virus dilepaskan ke ekstrasel jika NA memotong
asam sialat dari reseptor sel hospes, sehingga progeni virus yang
baru dilepaskan tidak berikatan kembali dengan reseptornya
(Stray et al. 2000; Mishin et al. 2005). Peningkatan afinitas HA
pada reseptor asam sialat dapat meningkatkan patogenesitas
infeksi, namun di sisi lain dapat menghambat aktivitas NA pada
proses budding. Pelepasan virus dan penyebarannya
memerlukan keseimbangan fungsi antara kedua glikoprotein (HA
dan NA) tersebut (Kobasa et al. 2001). Inhibitor neuraminidase
sebagai antivirus yaitu zanamivir (Relenza) dan oseltamivir
(Tamiflu) menghambat aktivitas NA sehingga budding tidak dapat
terjadi (Hayden 2006).
Mutasi Gen VAI
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa enzim RdRp tidak
mempunyai mekanisme enzimatik perbaikan (repair) kesalahan
replikasi, sehingga perubahan nukleotida VAI terjadi terus
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 21
menerus dengan tingkatan yang cukup tinggi. Berbeda dengan
polimerase DNA yang hanya mempunyai kesalahan 1 dari 109
basa, kesalahan replikasi oleh RdRp adalah 1 dari 104 nukleotida
per siklus replikasi (review oleh Webster et al. 1992). Selain
mutasi di masing-masing gen akibat tidak adanya mekanisme
repair, mutasi juga dilakukan virus sebagai adaptasi terhadap
tekanan imun hospes atau adaptasi terhadap spesies hospes
baru. Mutasi pada level ini biasanya berbentuk delesi atau
substitusi titik/poin. Substitusi titik/poin dapat dibedakan atas
substitusi sinonim dan substitusi nonsinonim.
Substitusi sinonim adalah perubahan nukleotida tidak diikuti
perubahan ekspresi asam amino. Hal ini terjadi pada semua
asam amino, kecuali metionin dan triptofan yang hanya disandi
oleh 1 kodon. Substitusi sinonim ini menyebabkan kodon bias,
yaitu ketidakseimbangan penggunaan kodon sinonim yang
menyandi asam amino. Kodon bias ini terlihat pada semua
spesies di semua bagian genom, baik daerah intron maupun
ekson. Karena kodon bias tidak mengubah fenotip produk
ekspresi, sehingga kodon bias selalu ada dalam genom.
Penggunaan kodon (codon usage) pada gen berkorelasi dengan
akurasi dan tingkat translasi. Kodon pilihan (codon preference)
biasanya adalah kodon yang tRNA untuk kodon tersebut
melimpah sehingga dapat ditranslasi lebih cepat (Lavler & Kotlar
2005; Wu & Freeland 2005).
Seperti organisme lainnya, substitusi sinonim pada VAI juga
berkaitan dengan kelimpahan tRNA (Plotkin & Dushoff 2003).
Namun, mengingat translasi mRNA pada VAI menggunakan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 22
mekanisme translasi sel hospes, substitusi sinonim tersebut lebih
dikarenakan seleksi penyesuaian terhadap penggunaan kodon
sel hospes. Hal ini terjadi karena perbedaan penggunaan kodon
antara virus dengan sel hospes dapat mempengaruhi kecepatan
translasi protein (Garmory et al. 2003).
Substitusi nonsinonim adalah perubahan nukleotida diikuti
dengan perubahan ekspresi asam amino. Substitusi nonsinonim
hanya terjadi pada bagian tertentu dari gen yang mengalami
tekanan. Semakin sering mengalami tekanan, semakin tinggi
tingkat substitusinya (Plotkin & Dushoff 2003). Adanya tekanan
seleksi akan menyebabkan munculnya varian dengan tingkat
efektivitas replikasi yang tinggi (Jong et al. 2000). Tingkat
perubahan asam amino virus di dalam tubuh hospes (in vivo)
lebih tinggi dibandingkan virus yang ditumbuhkan secara in vitro.
Hal ini menunjukkan bahwa tingginya tekanan imun berkorelasi
dengan perubahan asam amino (Nakajima et al. 2003).
Kecepatan substitusi nonsinonim virus influenza mencapai
2-3x substitusi per posisi per tahun (Tumpey et al. 2002; Swayne
& Suarez 2003). Rasio kecepatan mutasi nonsinonim dan sinonim
sangat penting untuk mempelajari mekanisme evolusi molekuler
sekuen gen tertentu. Rasio kecepatan mutasi nonsinonim/sinonim
(ω = dN/dS) juga merupakan indikator tekanan seleksi pada level
protein. Jika ω=1 berarti seleksi netral, ω<1 berarti seleksi
pemurnian (purifying selection) dan ω=>1 berarti seleksi positif
(Yang et al. 2000).
Analisis genom VAI subtipe H5N1 yang menginfeksi unggas
dan manusia dari tahun 1997-2004 menunjukkan bahwa gen
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 23
PB2, HA dan NS1 mengalami tekanan seleksi positif, sementara
gen lainnya (PA, PB1, M, NA, NS2, NP) mengalami tekanan
seleksi pemurnian (Campitelli et al. 2006). Namun, isolat VAI
H5N1 penyebab wabah di Indonesia dan Vietnam pada dekade
terakhir menunjukkan bahwa hanya gen M2 (ω=1,23) dan PB1-F2
(ω=3,01) yang mengalami seleksi positif. Hal ini menunjukkan
keterlibatan gen ini dalam adaptasi VAI pada hospes baru dan
transmisi interspesies. Seleksi positif pada gen M2 terjadi akibat
tekanan seleksi untuk adaptasi VAI dari unggas air ke unggas
darat. Perbedaan pH dan lingkungan seluler antara unggas air
dan unggas darat merupakan tekanan seleksi pada M2 sebagai
kanal ion hidrogen. Tekanan seleksi pada PB1-F2 dikarenakan
peran protein ini dalam menginduksi apoptosis makrofag (Smith
et al. 2006).
Virus AI subtipe H5N1 garis Asia menunjukkan jumlah asam
amino yang mengalami seleksi positif meningkat dari tahun ke
tahun, terutama pada daerah antigenik, posisi glikosilasi dan
kantong pengikat reseptor. Hal ini kemungkinan berhubungan
dengan peningkatan patogenesitas dan kemampuan virus untuk
transmisi ke manusia (Campitelli et al. 2006). Mekanisme virus
untuk menghindar dari sistem imun hospes merupakan tekanan
untuk mutasi secara gradual sehingga muncul strain-strain virus
baru yang secara imunologik berbeda (hanyutan antigenik)
(Munch et al. 2001; Smith et al. 2004). Hanyutan antigenik
berjalan lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan
penyakit yang terbatas pada suatu kawasan tertentu (Tumpey et
al. 2002; Swayne & Suarez 2003).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 24
Adaptasi selalu dilakukan VAI, baik adaptasi terhadap
tekanan imun maupun adaptasi pada spesies hospes baru
(Voeten et al. 2000; Taubenberger et al. 2005). Adaptasi
merupakan kekuatan utama dari evolusi. Perbedaan spesies
hospes dan perbedaan tekanan menyebabkan pebedaan
kecepatan evolusi VAI (Brown et al. 2001). Lama infeksi dan
frekuensi reinfeksi virus influenza pada manusia, menyebabkan
tingginya tekanan seleksi oleh sistem imun (Bush et al. 1999;
Suzuki & Nei 2002).
Kecepatan mutasi glikoprotein HA kira-kira 2 x 10-3
nukleotida per posisi per replikasi (Webster et al. 1992).
Kecepatan mutasi HA tersebut lebih tinggi dibanding NA karena
NA bukan merupakan determinan antigenik utama dan jumlah
NA pada permukaan virion hanya 1/5 jumlah HA (Plotkin &
Dushoff 2003). Sekuen nukleotida VAI isolat unggas air di Jawa
Barat yang disepadankan dengan nukleotida Gs/GD/1/96
menunjukkan bahwa jumlah kodon substitusi bervariasi dari 23
sampai 50, dan jumlah substitusi nonsinonim bervariasi dari 5-18
(Susanti et al. 2008a). Tingkat mutasi yang tinggi akibat lemahnya
mekanisme proofreading dari RdRp, menyebabkan perubahan
nukleotida terjadi terus menerus. Kecepatan mutasi HA lebih
tinggi dibanding NA karena NA bukan merupakan determinan
antigenik utama dan jumlah NA pada permukaan virion hanya 1/5
jumlah HA (Plotkin & Dushoff 2003).
Protein internal tidak berperan dalam pengikatan dengan
reseptor sel hospes dan tersembunyi dari antibodi, sehingga
protein ini lebih stabil dibanding glikoprotein permukaan (Plotkin &
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 25
Dushoff 2003; Berkhoff et al. 2005). Struktur dan fungsi protein
internal juga sangat mendasar sehingga tidak menguntungkan
VAI jika mutasi terjadi secara cepat. Hal ini menyebabkan VAI
menghadapi konflik intragenom tentang kecepatan mutasi. Gen
atau bagian spesifik gen tertentu dalam genom tersebut
mengalami seleksi positif untuk berubah, sementara gen lain
mengalami seleksi pemurnian untuk tidak berubah (Plotkin &
Dushoff 2003).
Protein/regio protein yang fungsinya berkaitan erat dengan
pertahanan terhadap respon imun hospes, daya adaptasi dan
patogenesitas mempunyai tingkat substitusi nonsinonim lebih
tinggi dibanding substitusi sinonim (Plotkin & Dushoff 2003).
Kecepatan substitusi nonsinonim gen subunit HA1 dari VAI
subtipe H3 sebesar 5,7 x10-3 per posisi per tahun. Hal ini
disebabkan karena pada HA1 terdapat daerah antigenik, kantong
pengikat reseptor dan posisi glikosilasi (Bush et al. 1999). Lima
virus AI subtipe H5N1 isolat unggas air (IPB1-RS s/d IPB5-RS),
mengalami substitusi nonsinonim 3 asam amino kantong pengikat
reseptor. Sebanyak 11 substitusi nonsinonim pada isolat IPB6-
RS, 10 diantaranya merupakan daerah antigenik, posisi glikosilasi
dan kantong pengikat reseptor. Dari 17-18 substitusi nonsinonim
pada 3 isolat virus (IPB7-RS, IPB8-RS dan IPB9-RS), 16
substitusi diantaranya merupakan daerah antigenik, posisi
glikosilasi dan kantong pengikat reseptor (Susanti et al. 2008a).
Hanyutan antigenik (antigenic drift)
Adaptasi terhadap tekanan imun hospes dilakukan VAI
untuk menghindar dari pengenalan dan netralisasi antibodi dan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 26
sel T sitotoksik. Antibodi netralisasi terhadap protein HA bersifat
protektif melawan infeksi, sehingga protein ini paling tinggi
mengalami tekanan imun dibandingkan protein internal (Berkhoff
et al. 2005). Mekanisme VAI untuk menghindar dari sistem imun
hospes merupakan tekanan untuk mutasi secara gradual
sehingga muncul strain-strain virus baru yang secara imunologik
berbeda (hanyutan antigenik) (Horimoto & Kawaoka 2001; Munch
et al. 2001; Smith et al. 2004).
Hanyutan antigenik adalah perubahan secara periodik
akibat mutasi genetik struktur glikoprotein permukaan VAI
sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat infeksi
atau vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan
virus tersebut (Munch et al. 2001). Hanyutan antigenik berjalan
lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan penyakit
yang terbatas pada suatu kawasan tertentu (Tumpey et al. 2002;
Swayne & Suarez 2003). Hanyutan antigenik menuntut
pembuatan vaksin selalu diperbarui mengikuti munculnya strain
virus baru (Plotkin et al. 2002; Smith et al. 2004).
Reasorsi dan transmisi VAI
Pandemi dapat terjadi jika subtipe virus influenza baru dapat
melintasi barier hospes antara unggas dan mamalia, termasuk
manusia. Adaptasi VAI strain unggas ke manusia antara lain
melalui reasorsi (reassortment), yaitu pertukaran atau
pencampuran gen. Genom RNA yang tersusun bersegmen-
segmen memudahkan terjadinya reasorsi, yaitu segmen gen
pada strain tertentu digantikan segmen gen sealel dari strain
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 27
lainnya. Reasorsi menyebabkan perubahan struktur antigen
secara dominan, sehingga disebut lompatan antigenik (antigenic
shift). Reasorsi hanya dapat terjadi jika suatu sel secara simultan
terinfeksi oleh 2 atau lebih strain VAI yang berbeda, sehingga
terjadi penyusunan kembali suatu strain virus baru yang
bermanifestasi sebagai genotipe virus baru. Hospes yang dapat
diinfeksi oleh 2 jenis strain VAI yaitu strain avian dan manusia
dikenal dengan “mixing vessel”. Hospes ini memungkinkan
sebagai hospes perantara transmisi VAI dari unggas ke manusia
(Ito et al. 1998; Hoffman et al. 2001; Li et al. 2004).
Virus influenza A subtipe H1N1 penyebab pandemi
influenza tahun 1918 mengalami lompatan antigenik sehingga
tahun 1958 muncul subtipe H2N2 dan tahun 1968 muncul subtipe
H3N2 (Belshe 2005). Transmisi langsung VAI Vdari unggas ke
manusia biasanya mengakibatkan kematian, seperti terjadi di
Hongkong tahun 1997-1998. Virus HPAI H5N1 yang menyerang
dan mematikan manusia dan ayam di Hongkong tersebut (Lee et
al. 2001), merupakan produk reasorsi dengan VAI H9N2 yang
bertindak sebagai donor gen internal (Guan et al. 1999). Virus
tersebut kemudian berkembang cepat di pasar unggas
Hongkong, dan mempunyai kemampuan untuk transmisi
langsung ke manusia (Zhou et al. 1999; Cauthen et al. 2000).
Kejadian tersebut merupakan kasus pertama, dimana
infeksi VAI H5N1 langsung pada manusia tanpa terlebih dulu
beradaptasi pada hospes mamalia perantara (Tumpey et al.
2002; Rowe et al. 2003; Sturm-Ramirez et al. 2004). Virus HPAI
H5N1 penyebab wabah di Danau Qianghai Cina tahun 2005 yang
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 28
mematikan ribuan unggas air migratori dilaporkan juga
merupakan virus hasil reasorsi (Zhou et al. 2006). Burung puyuh
menyediakan lingkungan yang memungkinkan VAI H3N2 babi
mengalami reasorsi dan menghasilkan virus influenza yang
berpotensi menyebabkan pandemi (Perez et al. 2003).
Transmisi VAI H5N1 dari manusia ke manusia belum
pernah dilaporkan (Buxton et al. 2000; The Writing Committee
WHO 2005; Kandun et al. 2006). Namun, VAI subtipe H5N1
berpotensi sebagai penyebab pandemi influenza pada manusia
melalui 2 mekanisme. Manusia yang terinfeksi VAI H5N1 dan
strain influenza manusia (misalnya H1N1) akan memicu reasorsi,
sehingga memunculkan VAI subtipe H5 yang mampu
ditransmisikan dari manusia ke manusia. Alternatif lain adalah
mutasi langsung VAI H5N1 yang berkemampuan untuk transmisi
dari manusia ke manusia (Russell & Webster 2005).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 29
BAB III
TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS AVIAN
INFLUENZA
Penelitian yang berhubungan dengan virus avian influenza
dilakukan di laboratorium standart Biosafety Level 2 (BSL-2) plus
atau BSL-3. Namun untuk propagasi virus AI subtipe H5N1 pada
hewan coba (pada tikus, marmut, ayam atau itik, dll) harus
dilakukan di laboratorium BSL-3. Semakin tinggi potensi suatu
agen penyakit (mikroorganisme) untuk menular dan
menyebabkan penyakit pada manusia (peneliti/pekerja
laboratorium), semakin tinggi tingkat (level) biosafety laboratorium
yang diperlukan. Pada Tabel 2 berisi jenjang safety laboratorium
dan penggunaannya.
Tabel 2. Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan dengan mikroorganisme penyebab penyakit
No Laboratorium Penggunaan Contoh
mikroorganisme
1 Biosafety Level-1 (BSL-1)
Mikroorganisme yang diketahui tidak menyebabkan penyakit pada manusia dewasa yang sehat dan potensi bahayanya minimal bagi pekerja laboratorium dan lingkungan Laboratorium tidak memerlukan lokasi terpisah dari lokasi umum dalam suatu bangunan
Bacillus subtilis
Naegleria gruberi
Infectious canine hepatitis virus
E. Coli‐K12
2 Biosafety Level-2 (BSL-
Mikroorganisme yang berpotensi secara
Epstein‐Barr virus
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 30
2) moderat dapat menyerang pekerja laboratorium dan lingkungan. Akses ke laboratorium dibatasi ketika pekerjaan tengah dilakukan
Hepatitis A, B, C, D, E
Neisseria meningitidis
Salmonella
Clostridium botulinum, tetani
Blastomyces dermatitidis
Entomeoeba histolytia
3 Biosafety Level-3 (BSL-3)
Fasilitas klinis, dignostik, riset atau produksi yang berhubungan dengan agen-agen infeksius yang berpotensi mengakibatkan penyakit berbahaya. Pekerja laboratorium memiliki pelatihan khusus dalam penanganan agen-agen patogenik berbahaya dan diawasi oleh ilmuwan yang kompeten terhadap agen-agen tersebut
Bacillus anthracis
M. tuberculosis
Yersenia pestis
Yellow fever (wild type)
Coccidioides immitis
Avian influenza
HIV
SARS
4 Biosafety Level-4 (BSL-4)
Mikroorganis/agen-agen eksotik yang ekstrem berbahaya, dan beresiko tinggi dapat menyebar melalui udara. Staf laboratorium terlatih khusus, memakai pelindung khusus dengan tabung oksigen tersendiri Fasilitas laboratorium terisolasi dari tempat-tempat umum, pekerjaan dalam tempat tertutup khusus.
Ebola
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 31
Preparasi Sampel
Tahap pertama yang harus dilakukan untuk memperbanyak
dan mengisolasi virus adalah mengambil contoh/sampel yang
diduga mengandung virus. Mengingat VAI berkembang/
bermultiplikasi pada sel epitel saluran pencernaan dan
pernafasan, maka sampel dapat diambil dari usap hidung, usap
anus atau usap kloaka. Sampel usap kloaka diambil dari hewan
yang diperiksa atau hewan/manusia yang diduga terinfeksi VAI.
Sampel usap kloaka/anus/hidung selanjutnya dimasukkan dalam
tabung berisi media transport PBS gliserol (WHO 2002). Sampel
selanjutnya dimasukkan dalam inkubator suhu dingin -4oC atau
lebih dingin lagi. Jika pengambilan sampel dari lapangan, tabung
berisi sampel dimasukkan dalam ice box kemudian dibawa ke
laboratorium. Cara membuat PBS gliserol adalah dengan
mencampurkan PBS 1x dan gliserol dengan perbandingan 1:1.
Dalam 1 liter PBS Gliserol, ditambahkan Penisilin-G 2x106 U/L
dan Srteptomisin 200 mg/L (Susanti et al. 2008b).
Media Perbanyakan virus
Untuk mengetahui apakah pada sampel terdapat virus yang
dimaksud atau tidak, sampel harus ditanam pada media yang
sesuai. Mengingat virus adalah organisme yang hanya dapat
bereplikasi pada sel hidup, maka media yang sesuai untuk
menumbuhkan virus adalah sel hidup. Virus influenza A dapat
bereplikasi secara in ovo pada telur ayam berembrio (TAB)
maupun secara in vitro pada kultur sel Madin Darby Canine
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 32
Kidney (MDCK) (Ito et al. 1997; Whittaker 2001). Sel MDCK
mempunyai reseptor α-(2,6) dan α-(2,3) sehingga efektif untuk
replikasi virus influenza isolat manusia maupun avian. Untuk
dapat menumbuhkan virus influenza pada sel MDCK, perlu
ditambahkan protease tripsin untuk memotong HA menjadi HA1
dan HA2 (Webster et al. 1992). Pertumbuhan virus ditandai
adanya cytopathogenic effect (CPE). Karena sel MDCK memiliki
2 jenis reseptor (α-(2,6) dan α-(2,3)), kultur virus influenza pada
MDCK tidak menyebabkan tekanan seleksi sehingga tidak terjadi
substitusi asam amino tertentu, namun kurang efektif jika
digunakan untuk mendapatkan virus dalam jumlah besar (Ito et al.
1997).
Ruang alantois TAB hanya mempunyai reseptor α-(2,3),
sementara pada sel amnion mempunyai reseptor α-(2,6) dan α-
(2,3). Secara in ovo, perbedaan reseptor sel hospes dengan
spesifisitas asam amino titik pengikat reseptor merupakan
tekanan seleksi yang memicu substitusi hemaglutinin (HA). Kultur
virus influenza strain manusia pada sel amnion (yang mempunyai
reseptor α-(2,6) dan α-(2,3)), sampai pasase ke-2 masih
mempertahankan spesifisitas reseptor pada α-(2,6). Namun, jika
virus influenza strain manusia ini dikultur pada sel alantois yang
hanya mempunyai reseptor α-(2,3) menyebabkan mutasi
substitusi L226G sehingga spesifisitas reseptor bergeser dari α-
(2,6) menjadi α-(2,3) (Ito et al. 1997). Isolasi virus dalam TAB
lebih tepat untuk strain avian (Ito et al. 1997). Meskipun demikian,
menurut hasil-hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa
semua virus influenza dapat tumbuh baik di TAB (Webster et al.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 33
1992; Harimoto & Kawaoka 2001; Whittaker 2001). Hal ini
disebabkan karena protease serupa dengan faktor pembeku
darah “Xa” (anggota famili protrombrin) dalam cairan alantois
bertanggung jawab atas proteolitik HA pada cleavage site
sehingga virus dapat bereplikasi secara in ovo (Harimoto &
Kawaoka 2001). Protease yang dapat memotong HPAI dan LPAI
adalah enzim “trypsin like”, yaitu faktor pembeku darah “Xa”,
triptase, mini plasmin dan protease bakterial (Harimoto &
Kawaoka 2005). Enzim proteolitik mengenal sekuen asam amino
motif B-X-B-R (B=asam amino basa, X=asam amino non-basa)
(Harimoto & Kawaoka 2001).
Propagasi virus pada TAB merupakan metode yang
banyak dilakukan untuk diagnosis, isolasi virus, identifikasi virus
dan uji neutralisasi. TAB merupakan metode terbaik untuk isolasi
virus influenza, karena lebih sensitif dibandingkan sel kultur
MDCK (Clavijo et al. 2002). Meskipun demikian, MDCK
merupakan sel yang paling sensitif untuk isolasi virus influenza A
dibanding sel kultur Vero dan MRC-5 (Reina et al. 1997).
Propagasi virus pada TAB digunakan sebagai metode pembuatan
vaksin influenza A yang telah beredar selama beberapa dekade
(kurang lebih 30 tahun) (Scannon 2006). Lebih lanjut disebutkan
bahwa TAB merupakan media utama produksi vaksin influenza
baik inaktif maupun vaksin hidup yang dilemahkan (Lu et al. 2005;
Szecsi et al. 2006).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 34
Metode Propagasi Virus pada Telur Ayam Berembrio SPF
Setiap sampel dari setiap ekor hewan yang diduga
mengandung virus, idealnya ditumbuhkan pada 1 butir TAB.
Namun, hal ini bergantung pada tujuan penelitian dan
ketersediaan biaya. Jika tujuannya untuk mengetahui apakah
hewan-hewan di suatu tempat (biasanya hewan dipelihara
berkelompok) terinfeksi, maka sampel diambil secara sampling
atau diambil semua. Jika sampel diambil semua, untuk efisiensi
biaya dan tujuan tercapai, maka sampel di-polling. Setiap 1-4
sampel usap kloaka/anus/hidung (masing masing sebanyak 100
µl) dikumpulkan (polling) menjadi satu inokulum berdasarkan jenis
hewan dan pemilik. Hal ini ditujukan untuk efisiensi jumlah TAB.
Jika sampel yang dianalisa menunjukkan hasil positif, hal ini
berimplikasi pada pengambilan keputusan bahwa hewan di lokasi
dan hewan tersebut terdapat hewan positif terinfeksi virus AI
sehingga pencegahan dan pengendaliannya ditujukan pada
semua hewan dan manusia di kawasan tersebut (Susanti et al.
2008b). Inokulum yang berhasil ditumbuhkan dalam TAB,
menunjukkan bahwa pada sampel mengandung virus yang hidup
dengan jumlah melebihi ambang batas untuk dapat tumbuh
dalam TAB yaitu 1 egg infectious dose 50% (EID50) (Beato et al.
2007; Terregino et al. 2007).
TAB yang digunakan hendaknya specific pathogen free
(SPF). Artinya, jika kita akan menumbuhkan sampel yang diduga
mengandung virus AI, maka TAB yang digunakan minimal bebas
dari virus tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan untuk
memastikan bahwa jika hasilnya positif, virus tersebut bebar-
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 35
benar berasal dari sampel dan bukan dari TAB. TAB dapat
diperoleh di laboratorium-laboratorium yang memproduksi TAB
SPF, seperti laboratorium pada perusahaan yang memproduksi
vaksin.
Sampel usap kloaka ditumbuhkan pada TAB (SPF) umur 9
hari. Inokulum dibuat dengan mencampur sampel usap kloaka ke
dalam tabung yang telah berisi 10 µl phosphate buffer saline
(PBS) yang mengandung 2x106 U/L penisilin dan 200 mg/L
streptomisin. Setelah diinkubasi 30 menit pada suhu kamar,
inokulum diinokulasikan pada ruang alantois TAB SPF. Telur
diinkubasi pada suhu 37 oC dan diamati setiap hari selama 4 hari.
Telur ayam berembrio yang mati sebelum hari keempat dan
embrio yang masih hidup sampai hari ke empat, dipanen cairan
alantoisnya untuk diidentifikasi kemampuannya mengaglutinasi
sel darah merah (SDM) (WHO 2002; Susanti et al. 2008b).
Berdasar hasil penelitian, kurva pertumbuhan virus HPAI
H5N1 pada TAB selama 24 jam menunjukkan bahwa virus telah
bereplikasi dengan jumlah titer virus cukup tinggi (Gambar 4)
(Susanti 2009; data tidak dipublikasi). Menurut Coleman (2007),
proses replikasi virus terjadi sangat cepat, yaitu 10 jam. Ambang
batas jumlah virus yang viabel yang dapat tumbuh dalam telur
ayam berembrio adalah 1 EID50 (Beato et al. 2007; Terregino et
al. 2007). Pada kurva pertumbuhan nampak bahwa pertumbuhan
mencapai titer tertinggi pada inkubasi 48 jam (2 hari). Setelah 48
jam, titer virus pada cairan alantois mulai menurun. Menurunnya
jumlah titer virus pada inkubasi lebih dari 48 jam, kemungkinan
disebabkan oleh semakin banyaknya penyebaran virus pada
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 36
berbagai organ embrio, sehingga pada cairan alantois
menunjukkan penurunan titer virus (Susanti 2009, data tidak
dipublikasi).
Gambar 4. Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada
TAB (Susanti 2009)
Pada inkubasi 24 jam, virus dapat terdeteksi di sebagian
besar pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan).
Virus berikatan dengan reseptor α-(2,3) pada sel alantois,
bereplikasi dan dilepaskan dalam cairan alantois. Dari cairan
alantois, virus masuk sistem pembuluh darah dan keluar pada
tissu-blood junction (Kuiken et al. 2006). Virus HPAI dilaporkan
dapat bereplikasi secara efisien pada sel endotel pembuluh darah
dan perivaskuler sel parenkim, sehingga virus dapat terdeteksi
pada berbagai organ internal dan pembuluh darah (Harimoto &
Kawaoka 2005; Swayne 2007). Dengan metoda imunohistokimia,
0
5
10
15
20
15 jam 24 jam 39 jam 48 jam 63 jam
Tite
r vi
rus
(lo
g 2
)
Kurva pertumbuhan virus
Isolat BP6
Isolat SB6
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 37
antigen virus dapat terdeteksi pada organ ginjal, paru-paru, hati
dan intestinum (Gambar 5). Pada ginjal, virus banyak terdapat di
glomerulus. Pada intestinum, virus banyak terdeteksi di epitel vili,
lumen dan serosa. Pada paru, terutama virus banyak terdapat di
pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan). Infeksi
virus HPAI H5N1 secara in vivo pada itik menunjukkan bahwa
virus menyebar secara sistemik pada trakea, paru, hati, pankreas,
rektum, bursa fabrisius, limpa, otak, jantung dan ginjal (Songserm
et al. 2006). Pada mamalia (mencit), infeksi HPAI H5N1 isolat itik
juga menyebar secara sistemik pada limpa, ginjal dan otak (Chen
et al. 2004).
C D
A B
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 38
Gambar 5. Antigen virus virus HPAI H5N1 isolat unggas air pada
organ-organ embrio. (A) Glomerulus, (C) Intestinum, (E) Paru-
paru. B, D dan F adalah kontrol negatif (Susanti 2009)
E F
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 39
BAB IV
TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN
SUBTIPENYA
Deteksi atau identifikais virus AI dapat dilakukan dengan uji
hemaglutinasi (HA), Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test
atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT),
haemagglutination inhibition (HI), atau PRC (WHO 2002; OIE
2005b). Uji HI dan AGID dilakukan untuk mengetahui variasi
antigenik molekul HA virus dengan mereaksikannya dengan
antibodi monoklonal/poliklonal (WHO 2002; OIE 2005).
Uji Hemaglutinasi (HA)
Sebagai skrining awal keberadaan virus influenza adalah uji
hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi digunakan untuk
mendeteksi keberadaan virus yang mempunyai kemampuan
mengaglutinasi sel darah merah. Hemaglutinasi adalah terjadinya
penggumpalan sel darah merah (SDM). Penggumpalan dapat
diakibatkan oleh protein hemaglutinin yang dimiliki oleh beberapa
virus seperti golongan virus influenza, virus New castle disease,
virus mixo, dan virus rabies. Dengan demikian, untuk identifikasi
virus AI menggunakan uji HA ini memiliki diagnostik banding virus
New-castle yang juga memiliki hemaglutinin. Hemaglutinin akan
melekat secara spontan pada SDM. Bagian dari virus yang
melekat SDM merupakan bagian spesifik (yaitu glikoprotein
hemaglutinin), yang mampu berikatan dengan reseptornya (yang
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 40
spesifik juga) pada SDM. Secara sederhana, konsep dasar
hemaglutinasi digambarkan di Gambar 6.
Jika sampel yang diduga mengandung berasal dari unggas,
virus yang berkemampuan mengaglutinasi SDM merupakan virus
golongan Orthomyxoviridae (misal: virus influenza) atau
Paramyxoviridae (misal: New Castle Disease; ND) (OIE 2004).
Dengan demikian, jika hasil uji HA positif, kemungkinan sampel
mengandung virus ND atau virus AI, sehingga perlu diuji lebih
lanjut dengan penanda lain (misal dengan PCR atau uji
antigenesitas). Uji HA dapat dilakukan 2 tahap, yaitu secara
makro dan secara mikro (Susanti et al. 2008b). Uji HA secara
makro hanya ditujukan untuk mendeteksi keberadaan virus yang
memiliki protein hemaglutinin (kualitatif) sehingga mampu
mengaglutinasi, sementara uji HA mikro ditujukan untuk
mengatahui titer virus (kuantitatif) yang mampu mengaglutinasi
sel darah merah.
Gambar 6. Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang
mampu mengaglutinasi
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 41
Metode Uji Hemaglutinasi (HA)
Sebelum uji HA titrasi secara mikro, dilakukan uji aglutinasi
cepat dengan mencampurkan satu tetes cairan alantois dengan
SDM ayam 5% (v/v). Keberadaan virus ditunjukkan adanya
aglutinasi SDM dalam waktu 15 detik setelah dicampur. Cairan
alantois yang positif berdasar uji HA cepat, selanjutnya dilakukan
uji HA secara mikro menggunakan microplate U buttom (Nunc).
Uji hemaglutinasi cairan alantois dilakukan sesuai dengan
prosedur standar yang berlaku. Sumur 1–12 dari microplate diisi
dengan PBS pH 7,2 masing-masing 25 l dengan mikropipet
kapasitas 10-100 l. Cairan alantois diambil sebanyak 25 l dan
dimasukkan ke dalam sumur yang telah ditandai dengan nomor
sampel uji. Selanjutnya cairan alantois diencerkan bertingkat
kelipatan dua dengan PBS, kemudian ditambahkan 25 l
suspensi SDM ayam 0,5% ke dalam seluruh sumur. Tahap
terakhir dilakukan pengocokan microplate dengan menggoyang-
goyangkannya, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama
kurang lebih 30 menit. Pembacaan hasil uji dapat dilakukan
apabila SDM pada sumur kontrol telah teraglutinasi di dasar
sumur. Sampel dinyatakan positif apabila SDM pada sumur
sampel mengalami aglutinasi. Titer HA dihitung berdasarkan
pengenceran tertinggi alantois yang dapat mengaglutinasi SDM
(WHO 2002; Susanti et al. 2008b). Contoh hasil uji HA terlihat
pada Gambar 7.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 42
Gambar 7. Gambaran contoh hasil uji HA
Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test
Uji AGID atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation
test (AGPT) adalah teknik imunopresipitasi, merupakan salah
satu cara yang banyak dipakai untuk mengukur secara kualitatif
antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding
dengan uji pengikatan primer, namun relatif mudah dilakukan.
Pada uji ini digunakan selapis media agar yang dilubangi (dengan
alat khusus) membentuk sumur-sumur. Kemudian ke dalam
sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan
serum yang mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi
akan merembes, berdifusi ke sekitar sumur secara radial
(Gambar 8). Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik,
akan terbentuk kompleks antigen-antibodi yang besar sehingga
kompleks akan mengendap dan terjadi presipitasi yang
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 43
membentuk garis putih (homolog). Tetapi bila tidak ada
kesesuaian antara antigen dan antibodi (heterolog), maka garis
presipitasi tidak akan terbentuk.
Gambar 8. Pembentukan presipitasi pada uji AGPT
Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor
penting dalam reaksi presipitasi. Presipitat terbentuk apabila
antara konsentrasi antigen dengan antibodi tercapai
keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan
melarutnya kembali komplek yang terbentuk, hal ini disebut
postzone effect. Sementara jika antibodi berlebih mengakibatkan
komplek antigen-antibodi tetap ada dalam larutan, kondisi ini
disebut prozone effect.
Uji ini dapat juga digunakan dalam penentuan hubungan
antara dua antigen. Pada percobaan ini menggunakan tiga
lubang di media agar, satu sumur diisi antibodi dan dua sumur
lainnya diisi antigen (Gambar 9). Bila kedua garis presipitasi yang
terbentuk tepat bersesuaian, maka kedua antigen dianggap
identik (9a) Garis-garis presipitasi yang bersilangan menunjukkan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 44
kedua antigen berbeda (9b) Garis presipitasi yang melanjut
sebagai taji mempunyai determinan antigen yang tidak ada pada
yang lain (9c). Bila garis-garis bersatu dengan pembentuk taji,
maka terdapat identitas parsial dengan masing-masing antigen
mempunyai determinan antigen bersama (9d).
Gambar 9. Interpretasi hasil AGPT
Metode uji AGPT
Pada identifikasi virus AI, uji AGPT lebih spesifik
dibandingkan uji HA. Karena uji AGPT dapat digunakan untuk
menentukan subtipe virus AI, meskipun masih sangat kasar
sehingga pelu dilakukan uji subtipe lebih lanjut secara molekuler.
Jika sampel cairan alantois yang positif berdasarkan uji HA, akan
kita identifikasi subipenya menggunakan uji AGPT, maka kita
harus memiliki antibodi spesifik terhadap virus subtipe yang
dimaksud. Misalnya kita akan uji virus subtipe H5N1, maka kita
harus punya antibodi terhadap H5N1.
1 2
3
1 2
3
1 2
3
1 2
3
a b
c
d
d
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 45
Pertama disiapkan agarnya. Caranya adalah Agar Nobel atau
Agarose(0,4gram), Polyethylene Glikol (PEG) 6000 (1,2 gram),
Phosphat Buffer Saline (PBS) pH 7,2 (25 ml) dan Aquadest (25
ml) dicampur sampai larut menggunakan magnetic stirer.
Selanjutnya dipanaskan sampai mendidih dan terlihat bening
semua, yang berarti agar sudah larut sempurna. Kemudian, 4 ml
agar yang masih hangat dituang di atas objek gelas secara
merata. Selanjutnya dibiarkan sampai dingin dan membeku.
Setelah dingin, dibuat sumur-sumur dengan cara melubangi agar
menggunakan cetakan khusus untuk AGPT (Gel Puncher).
Diusahakan supaya pinggiran sumur tidak retak/pecah.
Setelah terbentuk sumur-sumur pada agar, setiap sumur
diisi dengan antigen (cairan alantois) dan serum (berisi antibodi
spesifik H5N1 misalnya). Pengisisan pada sumur-sumur
dilakukan sesuai dengan jumlah sampel yang akan kita uji. Jika
memiliki 6 sampel, maka antibodi dimasukkan pada sumur yang
di tengah, dan masing-masing sampel dimasukkan pada sumur di
tepinya sehingga semua sampel punya kesempatan berinteraksi
dengan antibodi yang posisinya di tengah. Jika sampel sedikit,
polanya disesuaikan dengan kebutuhan, namun yang perlu
diingat bahwa setiap sampel berkesempatan untuk berinteraksi
dengan antibodi. Media agar yang telah diisi (sampel dan
antibodi) tersebut dimasukkan ke dalam baskom yang diberi alas
kertas yang dibasahi PBS. Baskom ditutup dan diinkubasi pada
suhu kamar selama 20-48 jam. Kelembapan dijaga dengan
membasahi alas.kertas. Hasil percobaan diketahui dengan
mengamati terbentuknya garis presipitasi (Gambar 10). Jika
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 46
terbentuk garis presipitat diantara sumur sampel (berisi cairan
alantois) dan antibodi terhadap H5N1 (misalnya), sampel tersebut
mengandung virus AI subtipe H5N1. Namun untuk meneguhkan
dugaan tersebut perlu diuji lebih lanjut secara molekuler.
Gambar 10. Contoh hasil AGPT
Identifikasi subtipe virus avian influenza secara molekuler
Cairan alantois yang positif bersadarkan uji HA, diisolasi
RNA-nya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya berdasarkan gen
hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Seperti disebutkan
sebelumnya bahwa virus influenza dikelompokkan berdasarkan
tipe A, B dan C. Masing-masing tipe dikelompokkan lagi
berdasarkan sub-sub tipe gen HA dan NA. Sampai saat ini telah
diketahui ada 9 subtipe N (N1 s/d N9) dan 16 subtipe H (H1 s/d
H16). Secara garis besar, identifikasi subtipe virus AI adalah
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 47
isolasi RNA virus, RT-PCR menggunakan primer spesifik HA dan
NA dan elektroforesis produk RT-PCR.
Metode Isolasi RNA Virus
Mengapa RNA, dan bukan DNA? Karena material genetik
virus AI adalah RNA, dan bukan DNA. Isolasi RNA virus dapat
dilakukan dengan kit/reagen yang telah dikomersialkan secara
luas. Contoh yang ditampilkan dalam buku ini menggunakan
Trizol®LSReagent, sesuai dengan petunjuk produsen. Sebanyak
250 μl cairan alantois dan 750 μl Trizol dimasukkan dalam tabung
1,5 ml, dan dicampur sampai homogen. Setelah diinkubasi 5
menit pada suhu ruang (15-30 oC), ditambah 200 μl kloroform,
kemudian dikocok dan diinkubasi 10 menit pada suhu ruang (15-
30 oC). Larutan selanjutnya disentrifus 12000 g selama 15 menit
pada suhu 4 oC. Supernatan (fase aqueous) diambil dan
dimasukkan pada tabung 1,5 ml baru (jangan sampai endapan
dan lapisan berwarna merah ikut terambil). Setelah ditambah
isopropanol 500 μl dan dicampur sampai homogen, larutan
diinkubasi 10 menit pada suhu ruang (15-30 oC). Larutan
selanjutnya disentrifus 15 menit dengan kecepatan 12000 g pada
suhu 4 oC. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan
endapannya dicuci dengan 1000 μl etanol 70% (dalam H2O
dietylpirocarbonat (DEPC)). Setelah divorteks beberapa menit,
larutan disentrifus 12000 g pada suhu 4 oC selama 20 menit.
Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan pelet RNA dikeringkan
pada suhu ruang selama 15-20 menit. Setelah pelet kering,
disuspensi kembali dengan 30μl H2O bebas nuklease (ultrapure
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 48
H2O). Larutan RNA selanjutnya disimpan pada suhu -20oC
sampai dilakukan RT-PCR (Susanti et al. 2008b).
Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Reverse transcription (RT) adalah pembuatan cDNA yang
bersifat komplementer dengan RNA virus, menggunakan enzim
reverse transcriptase. Mengapa RT-PCR dan bukan PCR biasa?
Perlu diingat bahwa material genetik virus AI adalah RNA, bukan
DNA. Setelah reaksi pembentukan cDNA dari RNA (melalui
reverse transcription), cDNA selanjutnya diperbanyak pada
sekuen gen spesifik menggunakan sepasang primer
oligonukleotida menggunakan teknik PCR. PCR merupakan
metode alternatif untuk mengidentifikasi virus AI, meskipun
material genetik virus hanya terdapat dalam jumlah sedikit (WHO
2002; Payungporn et al. 2004; OIE 2005). Dengan metode ini,
berbagai subtipe virus dapat didentifikasi, tergantung primer yang
digunakan.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi rantai polimerase (polymerase chain
reaction/PCR), yang ditemukan oleh Kary Mullis pada
pertengahan 1980-an, merupakan salah satu tonggak revolusi
dalam genetika molekuler. Teknik ini memungkinkan pendekatan-
pendekatan baru dalam studi dan analisis gen. Di masa lalu,
masalah utama dalam analisis molekuler adalah gen dalam
genom suatu makhluk yang dianggab sangat rumpil, lebih-lebih
pada mamalia. Mamalia dapat mempunyai sampai lebih dari
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 49
seratus ribu gen. Berbagai teknik dalam genetika molekuler
ditujukan untuk mengatasi masalah ini. Teknik tersebut umumnya
memerlukan waktu yang relatif lama dan prosedur yang sangat
sulit, meliputi pengklonan dan pelacakan urutan DNA yang khas.
PCR merupakan metode yang memungkinkan kita memperoleh
urutan DNA tertentu tanpa melalui pengklonan.
Teknik PCR sebenarnya mengekploitasi berbagai sifat
alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, polimerase-DNA
menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan untuk
mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium,
cetakan berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui
pemanasan DNA berserat ganda pada temperatur mendekati titik
didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu wilayah berserat
ganda pendek untuk memulai (“prime“) proses sintesis. Pada
PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan
menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang
menempel secara komplementer pada cetakan sesuai dengan
tujuan penelitian. Inilah keunggulan PCR yang pertama, yaitu
polimerase-DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA
tertentu.
Kedua serat DNA dapat berfungsi sebagai cetakan untuk
sintesis bila primer oligonukleotida disediakan untuk masing-
masing serat. Sepasang primer dapat dipilih untuk membatasi
(“flanking“) wilayah DNA yang akan diperbanyak, sehingga serat
DNA yang baru akan disintesis dari posisi primer membentang
sampai melewati posisi primer dari serat lainnya. Dengan
demikian, tempat ikatan primer baru akan dibuat pada serat DNA
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 50
yang baru disintesis. Campuran reaksi kemudian dipanaskan lagi
untuk memisahkan serat awal dengan baru, yang kemudian
berperan sebagai cetakan untuk siklus penempelan primer,
sintesis serat DNA dan pemisahan serat. Hasilnya adalah,
setelah n kali siklus, campuran reaksi mengandung sebanyak 2n
molekul DNA serat ganda, yang merupakan salinan dari urutan
DNA di antara kedua primer. Ini merupakan keunggulannya PCR
yang kedua, yaitu PCR menghasilkan amplifikasi wilayah DNA
tertentu.
PCR merupakan teknik laboratorium yang relatif mudah,
sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang kajian makhuk
hidup. Bahan awal dari PCR adalah DNA yang mengandung
urutan yang akan diampliflikasi. Jumlah DNA yang diperlukan
juga relatif kecil. Pada percobaan yang biasa, kurang dari 1μg
DNA dari seluruh DNA genom sudah cukup digunakan untuk
PCR. Bahkan PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi dari
satu molekul DNA. Selain DNA, untuk PCR diperlukan primer
oligonuklotida yang ditujukan sebagai posisi awal untuk sintesis
serat baru, polimerase-DNA, dan campuran keempat dNTP
ditambahkan ke dalam tabung yang mengandung DNA. Volume
keseluruhan biasanya 25-100μl.
Langkah berikutnya adalah pemanasan dari campuran
reaksi pada temperatur 94°C selama beberapa menit. Pada
temperatur ini, molekul DNA yang berserat ganda terpisah
dengan sempurna, menjadi serat tunggal. Temperatur kemudian
diturunkan agar primer oligonukleotida menempel pada posisi
yang sesuai pada cetakan. Temperatur penempelan (“annealing“)
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 51
ini dapat sangat beragam sesuai urutan DNA yang diamplifikasi.
Penempelan primer menghasilkan posisi awal untuk aktivitas
polimerase-DNA.
Langkah berikutnya adalah peningkatan temperatur pada
72°C, sebagai temperatur optimum dari enzim polimerase-DNA
Taq. Kondisi ini dipertahankan beberapa menit untuk
penyelesaian sintesis DNA. Setelah satu siklus berakhir,
temperatur ditingkatkan lagi sampai 94°C selama beberapa puluh
detik, sehingga DNA serat ganda yang pendek (serat awal dan
serat baru) terpisah. Serat tunggal tersebut kemudian berfungsi
sebagai cetakan untuk siklus sintesis DNA berikutnya. Satu
siklus, yang terdiri dari pemanasan untuk pemisahan serat,
penempelan primer, dan sintesis oleh polimerase-DNA, diulang
sampai 30-40 kali.
Polimerase Taq menyederhanakan dan meningkatkan
penampilan PCR. Pada mulanya, Polimerase-DNA dari E. coli
digunakan dalam PCR. Tetapi, karena enzim ini sangat peka
pada panas dan rusak pada temperatur 94oC, enzim segar harus
selalu ditambahkan pada setiap siklus. Ini merupakan proses
yang memerlukan tenaga dan tidak praktis. Dengan
ditemukannya bakteri yang hidup pada sumber air panas,
merupakan penemuan penting untuk mempermudah PCR.
Bakteri ini mempunyai polimerase-DNA yang bekerja optimum
pada temperatur tinggi. Bakteri ini adalah Thermus aquaticus,
yang hidup dalam air dengan temperatur 75°C. Polimerase-DNA-
nya (disebut polimerase Taq) mampunyai temperatur optimum
72°C dan masih stabil pada 94°C. Polimerase Taq cukup
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 52
ditambahkan sekali saja pada awal reaksi dan akan tetap aktif
setelah melewati siklus PCR secara lengkap. Perkembangan ini
memungkinkan otomatisasi PCR melalui mesin penyiklus panas,
merupakan blok pemanas yang dapat diprogram untuk
pelaksanakan siklus PCR dengan waktu dan temperatur tertentu.
Sekarang ini, tabung reaksi dengan komponen reaksinya dapat
diletakkan pada mesin penyiklus panas tanpa intervensi manual.
Metode RT-PCR
Identifikasi subtipe H5 dan N1 dapat dilakukan berturut-
turut menggunakan pasangan primer H5-1 dan H5-3 (WHO
2005a) serta CU-N1F dan CU-N1R (Payungporn et al. 2004).
Sementara, untuk isolat yang bukan subtipe H5 dan bukan N1
identifikasi lebih lanjut terhadap Newcastle disease virus (NDV)
menggunakan pasangan primer NDVF dan NDVR (Creelan et al.
2002). Besaran produk PCR dari ketiga pasang primer tersebut
relatif kecil (yaitu 219bp untuk H5, 131bp untuk N1 dan 202bp
untuk NDV) sehingga lebih sensitif dan spesifik (Payungporn et
al. 2004). Untuk identifikasi subtipe virus, setiap isolat
diamplifikasi dengan primer H5 dan N1. Isolat yang positif
berdasarkan uji hemaglutinasi, namun hasil PCR negatif H5 dan
N1, dilakukan PCR menggunakan primer spesifik untuk NDV
(Creelan et al. 2002) (Susanti et al. 2008b). Sekuen primer gen
H5, N1 dan ND terlihat pada Tabel 3. Selain menggunakan primer
tersebut, dapat juga menggunakan pasangan primer lain yang
direkomendasikan oleh peneliti-peneliti lain, atau didesain
berdasarkan pustaka genom virus ini yang tersedia di GenBank.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 53
Tabel 3. Sekuen basa primer untuk mengamplifikasi gen H5, N1 dan ND serta besaran produk PCR yang diharapkan
Primer Sekuen basa Fragmen Gen
Produk (bp)
1a H5-1: 5‟GCC ATT CCA CAA CAT
ACA CCC‟3 H5-3: 5‟CTC CCC TGC TCA TTG CTA TG‟3
H5 (basa 915-
1133)
219
2b CU-N1F:
5‟GTTTGAGTCTGTTGCTTGGTC‟3 CU-N1R: 5‟TGATAGTGTCTGTTATTATGCC‟3
N1 (basa
479-609)
131
3c NDVF:
5‟GGTGAGTCTATCCGGARGATACAAG‟3* NDVR: 5‟TCATTGGTTGCRGCAATGCTCT‟3*
NDV (basa 4829-
5030)
202
*R=(A/G) aWHO (2005b), bPayungporn et al (2004), cCreelan et
al (2002)
Metode RT-PCR sangat bervariasi tergantung pada primer
dan reagen kit yang digunakan. Salah satu cara RT-PCR untuk
virus AI adalah menggunakan SuperscriptTM III One-step RT-
PCR system. Reaksi PCR dibuat sebanyak 50 l dengan
komposisi 25 l 2x reaction mix, 2 l primer forward (10 M), 2 l
primer reverse (10 M), 2 l Superscript III RT/Platinum Taq Mix,
3 l sampel RNA dan ultrapure H2O sampai volume 50l. Primer
yang digunakan untuk mengamplifikasi gen H5 dan N1 terlihat
pada Tabel 3. Program RT-PCR adalah reverse transcription 45
oC selama 60 menit predenaturasi 95 oC selama 5 menit, 35
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 54
siklus terdiri dari denaturasi 95 oC 30 detik, anneling 55 oC 30
detik, ekstensi 72 oC 40 detik, dan post ekstensi 72 oC 10 menit
(Payungporn et al. 2004; WHO 2005a; Susanti et al. 2008b).
Untuk identifikasi subtipe virus, setiap isolat diamplifikasi dengan
primer H5 dan N1. Isolat yang positif berdasarkan uji
hemaglutinasi, namun hasil PCR negatif H5 dan N1, dilakukan
PCR menggunakan primer spesifik untuk NDV (Tabel 3) dengan
anneling 48 oC (Creelan et al. 2002). Adanya pita DNA spesifik
hasil PCR diidentifikasi dengan elektroforesis pada gel agarose
2%.
Elektroforesis
Elektroforesis merupakan salah satu teknik pemisahan
molekul yang banyak digunakan dalam ilmu-ilmu hayati. Dasar
teknik pemisahan ini adalah molekul yang memiliki gugus
bermuatan memiliki perbedaan migrasi jika diletakkan dalam
suatu medan listrik. Pemisahan terjadi berdasarkan pada
perbedaan kecepatan bergerak dari masing-masing substansi,
tanpa terjadi pengaruh timbal balik secara kimiawi atau absorbsi
antara gel dengan sampel. Molekul biologis yang memiliki gugus
bermuatan antara lain adalah asam amino, peptida, protein dan
asam nukleat.
Gerak medan listrik pada elektroforesis (katoda/anoda)
dapat terjadi karena adanya arus listrik yang berlawanan. Kation
akan bergerak ke arah kutub bermuatan (-) atau anoda,
sedangkan anion akan bergerak ke arah kutub bermuatan (+)
atau anoda. Kecepatan gerak dari masing-masing substansi
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 55
secara individu adalah proporsional dengan mobilitet relatif
secara elektroforesis dari suatu molekul. Mobilitet relatif tersebut
merupakan karakteristik fisiko-kimiawi molekul, hal ini dapat
dibandingkan dengan mobilitet dari substansi standart seperti
bromphenol blue, Xylen-cyanol atau bromkresolgreen. Mobilitet
elektroforesis suatu molekul sangat bergantung pada muatannya,
sedangkan muatannya sendiri tergantung pada pH substansi, pH
buffer, konsentrasi ion dari buffer dan temperatur. Bilamana
diameter molekul dari pori-pori gel mempunyai kesamaan, maka
pergerakan substansi dalam medium (gel) ditentukan pula oleh
kuat gesekan masing-masing molekul besar. Dalam hal ini,
kecepatan bergerak suatu molekul ditentukan oleh muatannya,
diameter ataupun bentuk molekul (seperti struktur tertier dari
protein).
Agar elektroforesis dapat berjalan lancar, sampel harus
dilarutkan atau disuspensikan dalam larutan buffer supaya arus
dapat diantarkan, medium pendukung harus dijenuhkan dengan
buffer. Selama elektroforesis, arus dapat dipertahankan karena
ada elektrolit pada elektroda yang tercelup dalam tendon buffer.
Deteksi dasil pemisahan proses elektroforesis dapat dilakukan
langsung pada gel pewarna, dengan reagen spesifik, enzim
substrat reaction system, immunopresipitasi, autoradiografi,
fluorografi atau secara langsung dengan immunoprint (bloting
teknik).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 56
Metode Elektroforesis Hasil RT-PCR pada Gel Agarose 2%
DNA hasil PCR yang diperoleh dianalisa dengan teknik
elektroforesis menggunakan ultrapureTM agarose 2%. Sebanyak 2
g agarose dilarutkan dengan 100 ml Tris Buffer EDTA (TBE) 1x,
kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larutan menjadi
jernih. Larutan didinginkan pada suhu kamar sampai dingin
(hangat-hangat kuku), kemudian dimasukkan 3 µl ethidium
bromide (10mg/ml) dan dicampur sampai homogen. Agarose
kemudian dituang pada cetakan gel yang telah dipasang sisir,
dan dibiarkan sampai membeku. Setelah membeku, gel
dimasukkan bak elektroforesis yang telah diisi larutan buffer TBE
1x sampai semua gel terendam. Sebanyak 7 µl produk PCR
dicampur dengan 2 µl loading dye kemudian dimasukkan ke
dalam sumur-sumur pada gel. Running dilakukan pada 135 volt
selama 20 menit. Keberadaan pita-pita DNA produk PCR diamati
di atas UV transluminator. Hasil positif ditunjukkan adanya pita
berwarna jingga pada gel agarose (Susanti et al. 2008b). Contoh
hasil elektroforesis produk RT-PCR dengan primer H5-1 dan H5-3
(WHO 2005a), CU-N1F dan CU-N1R (Payungporn et al. 2004),
dan pasangan primer NDVF dan NDVR (Creelan et al. 2002)
berturut-tururt terlihat pada Gambar 11-13. Jika ada sampel
positif H5 tetapi negatif N1, hal ini menunjukkan isolat virus yang
diisolasi subtipe H5 tetapi bukan subtipe N1 (kemungkinan
subtipe N2, N3, N4 dst). Demikian juga jika negatif H5 tetapi
positif N1, isolat yang diisolasi subtipe N1 tetapi bukan H5
(kemungkinan subtipe selain H5). Jika sampel positif H5 dan
positif N1, sampel ini positif subtipe H5N1.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 57
M P 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Gambar 11. Elektroforegram RT-PCR gen H5 menggunakan
primer H5-1 dan H5-3 (produk 219bp). Sumur M: DNA ladder
100bp. Sumur P: Kontrol positif subtipe H5. Sumur 4, 8-11:
Sampel positif subtipe H5. Sumur 1-3, 5-7: Sampel negatif
subtipe H5
M P 1 2 3 4
Gambar 12. Elektroforegram RT-PCR gen N1 menggunakan
primer CU-N1F dan CU-N1R (produk 131bp). Sumur M: DNA
ladder 100bp. Sumur P: Kontrol positif subtipe N1. Sumur 2, 4:
Sampel positif subtipe N1. Sumur 1, 3: Sampel negatif subtipe N1
219bp
131bp
bp
2000
1650
1000
850
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 58
M P 1 2 3 4 5
Gambar 13. Elektroforegram RT-PCR menggunakan primer
NDVF dan NDVR (produk 202bp). Sumur M: DNA ladder 100bp.
Sumur P: Kontrol positif virus ND. Sumur 3-5: Sampel positif virus
ND. Sumur 1, 2: Sampel negatif virus ND
202bp
bp
2000
1650
1000
850
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 59
BAB V
TEKNIK ANALISA MOLEKULER NUKLEOTIDA PENYUSUN
GEN-GEN VIRUS AVIAN INFLUENZA
Untuk menganalisis gen-gen virus AI, langkah pertama
yang dilakukan adalah mengamplifikasi gen yang dimaksud dan
disekuensing. Pada analisis gen, biasanya panjang nukleotida
yang dianalisis cukup panjang (partial) atau bahkan komplit
(lengkap) menggunakan primer full leng atau primer lain yang
didesain sendiri. Contoh primer untuk mengamplifikasi gen H5
yang didisain khusus adalah 2 pasang primer yaitu primer HA01-
HA645 yang mengamplifikasi nukleotida 1-645, dan primer
HA548-HA1215 yang mengamplifikasi nukleotida 548-1215
(Tabel 4; Susanti et al. 2008a). Tingginya tingkat mutasi pada gen
HA, tidak semua isolat virus dapat diamplifikasi menggunakan
primer tertentu. Jika dengan primer yang didesain sendiri tidak
dapat teramplifikasi, sebagai alternatif dapat juga dicoba
menggunakan primer lain yang telah dipublikasi di jurnal-jurnal
ilmiah. Primer untuk amplifikasi secara lengkap masing-masing
genom telah banyak dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah, salah
satunya adalah Hoffmann et al. (2001).
Tabel 4. Sekuen nukleotida primer untuk mengamplifikasi gen HA
Primer Sekuen basa Fragmen gen
Produk (bp)
1a HA01: 5‟
ATGGAGAAAATAGTGCTTCTTCTTGC‟3
HA645: 5‟
H5
(basa 1-645)
645
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 60
GGAAATATAGGTGGTTGGGTTTTG‟3
2a HA548F:
5‟CCAACCRAGARGATCTTTTGG‟3*
HA1215R: 5‟AYRGCCTCAAACTGAGTGTTC‟3*
H5
(bada 548-1215)
667
* Y=(CT), R=(AG) adidisain oleh Dr. Drh. IGN Mahardika & Dr.
Drh. R. Susanti, MP
Contoh Metode Amplifikasi Gen HA Dengan Primer Spesifik
RNA isolat VAI subtipe H5N1 diekstraksi dengan Trizol®LS
Reagent sesuai manual. RT-PCR dilakukan dengan
menggunakan SuperscriptTM III One-step RT-PCR system.
Reaksi PCR dibuat sebanyak 50 l dengan komposisi 25 l 2x
reaction mix, 2 l primer forward (10 M), 2 l primer reverse (10
M), 2 l Superscript III RT/Platinum Taq Mix, 3 l sampel RNA
dan ultrapure H2O sampai volume 50 l. Program PCR untuk
primer HA01-HA645 adalah 45 oC reaksi RT 60 menit,
predenaturasi 95 oC 5 menit, 35 siklus terdiri dari denaturasi 95
oC 30 detik, anneling 55oC 30 detik, ekstensi 72oC 40 detik, dan
post ekstensi 72oC 10 menit. Program PCR untuk primer HA548-
HA1215 menggunakan suhu anneling 51oC (Susanti et al. 2008a).
Isolat yang tidak dapat diamplifikasi dengan primer HA01-HA645,
dilakukan amplifikasi menggunakan primer H5-155F
(5‟ACACATGCYCAR GACATACT‟3) dan H5-699R
(5‟CTYTGRTTYAGTGTTGATGT‟3) (Lee et al. 2001) dengan
anneling 50oC (Susanti et al. 2008a). Adanya pita DNA spesifik
hasil PCR diidentifikasi dengan elektroforesis pada gel agarose
2%.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 61
Purifikasi produk PCR
Pita-pita DNA spesifik produk PCR pada gel elektroforesis
selanjutnya dipurifikasi, sebelum disekuensing. Purifikasi pita
DNA pada gel dapat dilakukan dengan kit, antara lain Wizard® SV
Gel and PCR Clean-Up System sesuai manual dari produsen.
Pita DNA target pada gel elektroforesis dipotong dan dimasukkan
pada tabung 15 ml, kemudian ditambah membrane binding
solution sebanyak 10µl/10mg gel. Setelah divortek, diinkubasi
pada suhu 50-65 oC sampai gel terlarut sempurna. Larutan gel
dimasukkan pada SV minicolumn (pada tabung koleksi),
diinkubasi pada suhu kamar selama 1 menit, dan disentrifuse
pada 16000 g selama 1 menit. Tabung koleksi dan larutan isinya
dibuang, SV minicolumn dipindahkan pada tabung koleksi baru.
Pada SV minicolumn dimasukkan 700 ul membrane wash
solution, kemudian disentrifus 16000 g selama 1 menit. Larutan di
dalam tabung koleksi dibuang, SV minicolumn kembali
dimasukkan pada tabung koleksi. Pada SV minocolumn
dimasukkan 500 µl membrane wash solution, kemudian
disentrifus pada 16000 g selama 1 menit. Larutan di dalam
tabung koleksi dibuang, SV minicolumn kembali dimasukkan
pada tabung koleksi, kemudian disentrifus pada 16000 g selama
1 menit. SV minicolumn dipindahkan ke tabung 1,5 ml yang
bersih, kemudian dimasukkan 50 µl nuclease free water. Setelah
diinkubasi pada suhu kamar selama 1 menit, SV minocolumn
disentrifus 16000 g selama 1 menit. DNA hasil purifikasi yang
terdapat pada tabung 1,5 ml selanjutnya disimpan pada suhu -20
oC sampai dilakukan sekuensing (Susanti et al. 2008a).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 62
Sekuensing
Sekuensing dilakukan dengan metode dideoksi
menggunakan ABI automatic sequencer sesuai prosedur
standart. Runutan nukleotida gen hasil sekuensing dan turunan
asam aminonya dianalisis dengan software tertentu seperti
MEGA 3.1 (Kumar et al. 2004). Sekuen nukleotida yang diperoleh
dengan metode yang standart dan telah diyakini kebenarannya,
didaftarkan di GenBank sebagai salah satu bentuk etika moral
peneliti terhadap peningkatan khasanah keilmuan secara
universal.
Metode analisis nukleotida dengan program MEGA 3.1
Data sekuen nukleotida yang akan dianalisa dapat
bersumber dari hasil sekuensing atau data dari GenBank. Jika
data berasal dari GenBank, sekuen nukleotida dari Genbank
harus dipindahkan dulu dalam file Notepad. Sekuen nukleotida
dari Genbank dikopi, kemudian program Notepad dibuka, dan di-
klik edit, pilih paste. Semua nomor dan spasi harus dihilangkan
sebelum dimasukkan pada program MEGA (Molecular
Evolutionary Genetics Analysis). Caranya adalah dengan meng-
klik edit, kemudian dipilih replace. Selanjutnya isikan pada “find
what” dengan nomor atau spasi yang akan dihapus, kemudian
klik replace all. Jika nomor yang dihapus banyak, penghapusan
dilakukan satu per satu, sampai semua nomor dan spasi tidak
ada lagi (yang ada hanya urutan nukleotida). Setelah selesai,
kemudian disimpan dengan diberi nama.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 63
Langkah pertama dalam menggunakan program MEGA
3.1 adalah membuka program dengan cara meng-klik Mega 3.1
dua kali (Gambar 14a). Selanjutnya, di-klik alignment dan
muncul beberapa pilihan (Gambar 14b). Kemudian dipilih
(klik)alignment exploler/ CLUSTAL dan muncul alignment
editor (Gambar 14c). Pada alignment editor muncul beberapa
pilihan, dan dipilih create a new alignment kemudian di-klik
(Gambar 14c). Akan muncul pertanyaan konfirmasi “Are you
building a DNA (yes) sequence alignment (otherwise choose
(No) for protein)?” (Gambar 14d), dan dijawab/di-klik yes.
Setelah diklik “yes” akan muncul menu-menu dari alignment
explorer (Gambar 14e).
Untuk memasukkan data dari GenBank yang telah
disimpan dalam file notepad, di- klik edit, kemudian dipilih insert
sequence from file (Gambar 14f). Selanjutnya dicari file notepad
yang akan dianalisis,dan klik open. Nama file dan sekuen
nukleotida akan muncul di program (Gambar 14g). Semua
sekuen nukleotidyang akan dianalisa, dimasukkan semua ke
dalam program alignment, dengan cara yang sama.
14a
aa
14b 14b
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 64
Gambar 14. Tampilan program MEGA pada persiapan
alignment
Untuk menganalisa data sekuen nukleotida hasil
sekuensing, langkah pertama sampai muncul alignment
explorer caranya sama dengan penjelasan sebelumnya. Setelah
program alignment explorer terbuka, pilih/klik sequencer,
kemudian klik edit sequencer file (Gambar 14h). Selanjutnya file
14c 14d
14e 14f
14g
14h
14d
14f
14h
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 65
elektrogram hasil sekuensing dibuka, kemudian di-klik data, klik
add to aligment exploler, dan klik ok.
Jika sekuensing dilakukan 2 arah (2 reaksi dengan 2
primer), hasil sekuen dengan primer F (forward) dan R (reverse)
harus disepadankan terlebih dahulu. Sekuen nukleotida hasil
sekuensing dengan primer F dan R, masing-masing dimasukkan
dalam program alignment explorer. Sebelum disepadankan,
sekuen nukleotida dengan primer R harus dibalik terlebih dahulu.
Sekuen yang akan dibalik, di-klik kanan kemudian pilih/klik
reverse complement. Selanjutnya, blok kedua sekuen (atau
tekan Ctrl A), kemudian klik alignment, pilih/klik alignment by
ClustalW, pilih/klik Ok. Jika ada pasangan basa yang tidak sama,
perlu dicermati lagi. Caranya adalah sekuen di sebelah kanan/kiri
dari basa yang meragukan/tidak jelas diblok, kemudian klik
kanan, dipilih copy, kemudian nama file (di sebelah kiri) diklik
kanan, pilih/klik open sequence file, pilih/klik search, pilih find,
klik kanan kotak kosong di bawah sekuen yang disepadankan,
klik paste, klik Ok.
Penyepadanan sekuen nukleotida dilakukan setelah
semua sekuen dimasukkan dalam program alignment explorer
seperti dijelaskan di atas (Gambar 15a). Untuk penyepadanan,
semua sekuen nukleotida diblok, kemudian klik alignment, pilih
alignment by ClustalW (Gambar 15b). Selanjutnya muncul
tampilan seperti Gambar 15c, kemudian klik ok dan terjadi proses
alignment (Gambar 15d).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 66
Gambar 15. Tampilan prosedur alignment
15a 15b
15c 15d
15b
15d
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 67
Untuk menyimpan data alignment, klik data, pilih exit
alnExplorer (Gambar 16a) kemudian muncul pertanyaan “save
the current alignment session to file? (Gambar 16b), di-klik yes
dan diberi nama sesuai keinginan kemudian klik save (file mas)
(Gambar 16c). Selanjutnya akan muncul pertanyaan “save the
data to MEGA file? (Gambar 16d) Klik yes kemudian disimpan
dalam file MEGA (Gambar 16e). Selanjutnya muncul form input
data (Gambar 16f), dan setelah diisi klik Ok. Selanjutnya akan
muncul pertanyaan konfirmasi “protein coding nucleotide
sequence data?” (Gambar 16g) dan dijawab ok. Selanjutnya
akan muncul pertanyaan konfirmasi “open the data in MEGA?”
(Gambar 16h). Setelah dijawab ok, akan muncul tampilan data
seperti Gambar 17a.
Untuk mengambil data alignment ke file word, klik data
dan pilih write data to file (Gambar 17b). Selanjutnya muncul
exporting sequence data yang harus diisi (Gambar 17c). Pada
kolom site per line diisi sesuai keinginan (biasanya 60; artinya 1
baris berisi 60 nukleotida). Pada kolom missing data and
alignment gabs, dipilih include sites with missing/ambiguous
data and gabs. Pada kolom writing site numbers, dipilih sesuai
keinginan, yaitu at the end of line atau for each site. Setelah
terisi semua, kemudian tekan ok, dan akan muncul tampilan
seperti pada Gambar 17d. Selanjutnya semua data yang akan
dikopi diblok, kemudian pilih/klik copy. File word dibuka,
kemudian klik paste. Data di file word, font nya diganti courier
new, karena ukuran setiap jenis huruf pada tipe courier new
adalah sama.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 68
Data alignment dalam bentuk Mega, selanjutnya dapat
dianalisis jarak genetik (distance matrix) dan dibuat pohon
filogenetiknya. Untuk membuat pohon filogenetik, file mega
dibuka kemudian klik phylogeny, pilih construct phylogeny,
pilih menu Neighbor-Joining (NJ) (Gambar 18a), sehingga
muncul analysis preference (Gambar 18b) kemudian klik
compute dan muncul pohon filogeni (Gambar 18c). Untuk
menyimpan pohon filogeni tersebut ke file word, klik images dan
pilih copy to clipboard. Selanjutnya file word dibuka, kemudian
klik paste.
Untuk melihat distance matrix, pilih menu distances pada
file mega, kemudian klik compute pairwise dan akan muncul
analysis preference (Gambar 18d). Setelah diklik compute akan
muncul matrik jarak genetik (Gambar 18e). Untuk menyimpan
matrik jarak genetik, klik file dan pilih export/print distances.
Selanjutnya akan muncul option pilihan (Gambar 18f), dan
setelah diisi semua klik print/save matrix dan akan muncul
tampilan seperti Gambar 18g. Matrik distance dapat dikopi dan
dipindahkan ke file word. Jarak genetik 0.016 artinya adalah ada
perbedaan 1,6% antara 2 unit taksonomi (isolat virus)
berdasarkan karakter yang digunakan (dalam hal ini adalah
nukleotida) atau ada persamaan (homologi) 98,4% atau 0.984.
Untuk mengetahui overall distance dan standart error, klik
distance dan pilih compute overall mean, pilih
distance&std.Err kemudian klik compute dan akan muncul hasil
overal mean distance dan standart error.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 69
Gambar 16. Proses menampilkan data alignment pada MEGA
16a
16c
16b
16d
16e 16f
16g 16h
16b
16d
16f
16h
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 70
Gambar 17. Proses penyimpanan data alignment ke word
17a 17b
17c 17d
18a 18b
18c 18d
17b
17d
18b
18d
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 71
Gambar 18. Pembuatan pohon filogeni dan jarak genetik
18g 18e
18f
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 72
BAB VI
DINAMIKA MOLEKULER VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE
H5N1 DI INDONESIA
Sebagai patogen intraseluler, virus avian influenza (VAI)
mempunyai mekanisme untuk menghindari respon imun hospes
sehingga virus dapat bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh
hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk menghindari sistem
imun hospes, secara langsung berkorelasi dengan peningkatan
patogenesitas virus. VAI mempunyai berbagai mekanisme untuk
menghindar dari sistem imun bawaan dan respon imun perolehan
(adaptif) hospes (Coleman 2007). Implikasi dari berbagai
mekanisme penghindaran dari sistem kekebalan hospes tersebut,
adalah mutasi pada gen-gen yang terlibat pada mekanisme
tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya dinamika
molekuler VAI dari berbagai isolat, dari waktu ke waktu. Dari 8
genom VAI, hanya beberapa gen yang terlibat pada mekanisme
patogenesitas dan adaptasi lintas spesies.
Berdasarkan analisa data gen virus avian influenza
subtipe H5N1 di GenBank diketahui bahwa data yang paling
banyak teregristrasi di GenBank adalah gen HA (sebanyak 565
isolat), disusul berturut-turut gen NA (262 isolat), gen NS (173
isolat), gen PB1 (155 isolat), dan gen PB2 (137 isolat). Dari 5 gen
yang dianalisa, gen HA yang paling banyak memiliki variasi akibat
substitusi nonsinonim (Susanti 2012a).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 73
Gen Hemaglutinin (HA)
Glikoprotein yang disandi gen HA, merupakan faktor
patogenesitas virus influenza. HA berperan sebagai pengikat
reseptor sel, fusi membran serta target utama netralisasi oleh
antibodi sel hospes (Cross et al. 2001; Hulse et al. 2004; Hoffman
et al. 2005; Gambaryan et al. 2006). Protein HA disintesis
sebagai polipeptida 76 kDa. Setelah translasi di retikulum
endoplasma, HA mengalami maturisasi di aparatus Golgi menjadi
homotrimer HA masing-masing 220 kDa. Setiap monomer
awalnya merupakan prekursor polipeptida tunggal (HA0)
kemudian dipotong menjadi 2 subunit yaitu HA1 dan HA2. Kedua
subunit ini dihubungkan oleh ikatan disulfida antara residu asam
amino 14 dari HA1 dengan residu asam amino 137 dari HA2.
Tanpa proteolisis HA menjadi HA1 dan HA2, proses fusi virus
dengan membran endosom tidak terjadi sehingga virus bersifat
noninfeksius (Steinhauer 1999).
Cleavage site (daerah pemotongan) adalah sekuen asam
amino sebagai daerah pemotongan prekursor HA (HA0) menjadi
HA1 dan HA2 secara enzimatis oleh protease sel hospes,
sehingga proses fusi dengan membran endosom pada saat
infeksi VAI ke dalam sel hospes dapat terjadi. Daerah
pemotongan menentukan patogenesitas VAI. Daerah
pemotongan HA0 tergantung pada keberadaan asam amino basa
arginin (R) atau lisin (K). Kebanyakan VAI non-virulen atau low
pathogenic mempunyai satu asam amino basa (monobasic) pada
daerah pemotongan, namun strain highly pathogenic mempunyai
lebih dari satu asam amino basa (polybasic) pada posisi tersebut
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 74
(Munch et al. 2001). Sekuen HA dengan daerah pemotongan
monobasic (contoh: HA1-PSIQVR-GL-HA2) dapat dipotong oleh
tryptase yang dihasilkan sel epitel traktus respirasi dan
pencernaan (Whittaker 2001; Chen et al. 2004). Secara in vitro,
daerah pemotongan HA monobasic juga dapat dipotong oleh
trypsin-like enzyme, seperti faktor pembeku darah “Xa”, mini
plasmin dan protease bakteri (Murakami et al. 2001). Protease
dari Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa juga
dilaporkan dapat memotong daerah pemotongan monobasic
(Zhirnov et al. 2002).
Sekuen HA dengan daerah pemotongan polybasic (contoh:
HA1-KKREKR-GL-HA2), memungkinkan proses proteolitik dapat
dilakukan oleh protease lain seperti furin dan proprotein
konvertase 6 (PC6) yang terdapat di aparatus Golgi semua sel
(Horimoto et al. 1994). Enzim proteolitik furin mengenal sekuen
asam amino motif B-X-B-R (B=asam amino basa, X=asam amino
nonbasa) (Walker et al. 1994).Virus AI dengan daerah
pemotongan polybasic mempunyai jaringan distribusi yang tidak
terbatas dan menyebabkan infeksi sistemik yang fatal (Whittaker
2001; Chen et al. 2004). Daerah pemotongan polybasic pada VAI
H5N1 bertanggung jawab terhadap infeksi sistemik sehingga
virus dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan feses
(WHO et al. 2005).
Identifikasi gen penyandi sekuen asam amino cleavage
site VAI subtipe H5N1 isolat unggas air di Jawa Barat
menunjukkan bahwa semua virus H5N1 (21 isolat) mempunyai
asam amino polibasik dengan 2 pola sekuen yaitu QRERRRKKR
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 75
(20 isolat) dan QRESRRKKR (1 isolat). Hal ini menunjukkan
bahwa semua isolat tersebut termasuk strain patogenik tinggi
(highly pathogenic avian influenza /HPAI) (Susanti et al. 2008c).
Sekuen daerah pemotongan QRERRRKKR khas pada strain
patogenik VAI H5N1 penyebab kematian unggas di Indonesia dan
Vietnam (Smith et al. 2006; Stevens et al. 2006). Titik
pemotongan QRESRRKKR adalah khas pada VAI H5N1
penyebab kematian manusia di Indonesia tahun 2005-2007 (CDC
2007).
Analisis sekuen asam amino daerah pemotongan HA
semua VAI H5N1 penyebab kematian manusia dan unggas di
Indonesia berdasarkan data dari GenBank
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/) menunjukkan bahwa semua VAI
H5N1 yang bersirkulasi di Indonesia memiliki karakter molekuler
HPAI dengan sekuen daerah pemotongan bervariasi (Tabel 5;
Susanti 2012a). Pola sekuen asam amino daerah pemotongan
QRERRRKKR adalah khas penyebab wabah kematian unggas di
Hong Kong tahun 1997 dan negara-negara Asia (2003-2007)
(Guan et al. 2004; Smith et al. 2006; Stevens et al. 2006). Isolat
VAI H5N1 penyebab wabah kematian unggas di Indonesia tahun
2003-2004 mempunyai pola asam amino daerah pemotongan
QRERRRKKR, kecuali isolat A/Chicken/Kulonprogo/BBVet-XIII
yang mengalami delesi satu asam amino lisin (K) sehingga
mempunyai pola daerah pemotongan QRERRK_R. Mulai tahun
2005, muncul isolat VAI H5N1 dengan sekuen daerah
pemotongan QRESRRKKR, QIERRRKKR, QRERRREKR,
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 76
QGERRRKKR, QRERRRK_R dan QRE_RRKKR (Tabel 5;
Susanti 2012a).
Tabel 5. Variasi sekuen asam amino daerah pemotongan virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
No Daerah Pemotongan
Tahun Isolasi
Spesies/Isolat
1 QRERRRKKR 2003-2010
Manusia, ayam, itik, puyuh, kalkun, babi
2 QRESRRKKR 2005-2010
Manusia, ayam, itik, entok, puyuh
3 QRERRRK_R 2004 A/Chicken/Kulonprogo/BBVet-XIII-1
A/Chicken/Kulonprogo/BBVet-XIII-2
4 QIERRRKKR 2005-2007
A/Duck/Pali/BVW1358/2005
A/Chicken/Badung/BBVD-302/2007
5 QRERRREKR 2005-2007
A/Duck/Bufeleng BPPVI/2005
A/Chicken/Denpasar/BBVD-182/2007
6 QRE_RRKKR 2005 A/Chicken/Wates83/2005
7
8
QGERRRKKR
QREGRRKKR
2005
2007
A/Duck/Badung Bali/05
A/Chicken/Inhu/BPPVRII/2007
Sejak Juli 2005 sampai 2007, muncul kasus kematian
manusia Indonesia akibat VAI H5N1 dengan sekuen daerah
pemotongan QRESRRKKR. Namun pada tahun 2006 juga
ditemukan VAI H5N1 dengan sekuen daerah pemotongan
QRERRRKKR pada isolat manusia. Substitusi daerah
pemotongan HA virus AI subtipe H5N1 (dari QRERRRKKR
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 77
menjadi QRESRRKKR) kemungkinan berhubungan dengan
adaptasi virus pada hospes mamalia terutama manusia. Hal ini
didukung data bahwa kasus kematian manusia akibat VAI H5N1
paling banyak dilaporkan di Jawa Barat (Depkes 2007).
Pada HA1 terdapat daerah antigenik, kantong pengikat
reseptor, residu pengikat reseptor dan posisi glikosilasi. Daerah
antigenik fungsinya berkaitan erat dengan pertahanan terhadap
respon imun hospes, sementara kantong pengikat reseptor
fungsinya berkaitan dengan daya adaptasi pada hospes dan
patogenesitas strain. Posisi glikosilasi turut menentukan afinitas
ikatan reseptor serta pengenalan daerah antigenik oleh antibodi
(Hulse et al. 2004; Gambaryan et al. 2006; Smith et al. 2006;
Stevens et al. 2006). Peptida fusi pada ujung N subunit HA2
berperan pada fusi membran saat infeksi virus ke dalam sel
hospes (Cross et al. 2001).
Meskipun tingkat mutasi HA paling tinggi dibanding protein
lain, namun pada bagian-bagian tertentu dari HA bersifat stabil
pada semua influenza A (Wagner et al. 2005). Pada ujung C
glikoprotein HA mempunyai 3 residu sistein pada posisi 551, 559,
562 yang bersifat sekuen stabil (Wagner et al. 2005). Bagian
transmembran HA terdiri dari 10-11 asam amino, dan 5
diantaranya bersifat stabil pada semua influenza A. Meskipun
sekuen ini tidak esensial untuk perakitan dan daya infeksi virus
(Jin et al. 1994), namun interaksi bagian transmembran HA
dengan protein internal sangat menentukan bentuk virion (Jin et
al. 1997). Asam amino pertama (D:aspartat) dan terakhir
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 78
(P:prolin) dari subunit HA1 juga bersifat stabil pada semua
influenza A (Stevens et al. 2006).
Daerah antigenik adalah asam amino sebagai target
pengenalan dan netralisasi oleh antibodi. Substitusi asam amino
pada daerah antigenik meningkatkan potensi terjadinya hanyutan
antigenik (antigenic drift), karena berkaitan dengan mekanisme
virus untuk menghindar dari respon imun hospes. Substitusi ini
disebabkan tekanan seleksi untuk menghindar dari respon
antibodi hospes, termasuk penghindaran pengenalan antibodi
yang terbentuk akibat vaksinasi (Plotkin & Dushoff 2003; Smith et
al. 2004; Campitelli et al. 2006).
Pada glikoprotein HA dikenal 5 epitop daerah antigenik
sebagai target netralisasi antibodi (Smith et al. 2004). Penentuan
5 epitop (A sampai E) daerah antigenik tersebut didasarkan pada
struktur HA virus influenza A subtipe H3N2 penyebab pandemi flu
di Hongkong 1968. Daerah antigenik tersebut tampaknya tidak
bersifat linier, melainkan konformasional. Masing-masing epitop
terbentuk pada struktur tersier molekul HA, sehingga asam-asam
amino yang saling berjauhan bersama-sama membentuk satu
epitop. Kelima epitop tersebut terdapat pada 25 residu asam
amino subunit HA1. Epitop A dibentuk oleh residu asam amino
135, 124, 133, 145, 144, 142, dan 131. Epitop B dibentuk oleh
asam amino 156, 197, 189, 190, 157, 196, 193 dan 158. Epitop C
dibentuk oleh asam amino 276, 278, 275 dan 299. Epitop D
dibentuk oleh asam amino 226, 121 dan 172. Epitop E dibentuk
oleh residu asam amino 262, 62 dan 83 (penomoran menurut H3)
(Plotkin & Dushoff 2003).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 79
Asam amino daerah antigenik pada 5 isolat VAI unggas air
(IPB1-RS s/d IPB5-RS) sama dengan isolat Gs/GD/1/96. Isolat
VAI IPB6-RS mengalami substitusi nonsinonim pada 4 asam
amino daerah antigenik (N45D, S84N, H138Q dan R140S),
sementara 3 isolat VAI unggas air lainnya (IPB7-RS, IPB8-RS
dan IPB9-RS) mengalami substitusi nonsinonim pada 8 asam
amino daerah antigenik (N45D, S84N, A86T, N124D, H138L,
R140S, S141P dan K189R) (Susanti et al. 2008a). Hasil analisis
pada 17 posisi asam amino antigenik site, hanya 3 posisi yang
tidak mengalami substitusi (Tabel 6; Susanti 2012a). Demikian
juga analisis pada sekuen daerah antigenik, semunya (4 daerah)
mengalami substitusi (Tabel 7; Susanti 2012a). Substitusi asam
amino pada daerah antigenik merupakan salah satu pendorong
evolusi gen hemaglutinin (Shih et al. 2007).
Tabel 6. Variasi asam amino antigenik site virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
No Posisi Asam Amino
Variasi No Posisi Asam Amino
Variasi
1 45 D, N 10 138 L, Q, H
2 83 A, V 11 140 S, K, R, T,Q,D, N
3 84 N, S 12 141 S, P, A, H
4 86 A, T, I, N 13 155 S, N, R
5 121 S, Y, D, F 14 189 R, K, S, M
6 124 D, N, G 15 212 K
7 125 H 16 223 S
8 129 S, L 17 263 A, T
9 137 Y, S, L
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 80
Tabel 7. Variasi asam amino daerah antigenik virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
No Daerah Antigenik
Variasi
1 Antigenik 1 RINHFEKIQI, RINHFEKIQR, RINHFKKIQI, RIKHFEKIRI, RINRFEKIQI, RINHFEKTQI, RINHFEKLQI, RINHFEKIRI, STNHFEKIRI
2 Antigenik 2 SPSFFRNVVW, KSSFFRNVVW, RSSFFRNVVW, RSSFFRNVMW, TSSFFRNVVW, RASFFRNVVW, DPSFFRNVVW, TPSFFRNVVW, RPSFFRNVVW, SPSFFRNGVW, RSSFFRNGVW, WSSFFRNVVW, QSSFFRNVVW, SPSFFRNVIW, NPSFFRNVVW, SHSFFRNVVW, SSSFFRNVVW
3 Antigenik 3 LYQNPTTYIS, LYQNPTTHIS, LYQNPSTYIS, LYQNQITYIS, LYQNPITYIS, LYQNLTTYIS, LYQNSITYIS, LYQNPATYIS, LYQNPTTYIF
4 Antigenik 4 SKVN, SKVH, TKVH, PKVN
Substitusi asam amino 138 dan 140 juga berhubungan
dengan patogenesitas virus, karena asam amino ini juga terlibat
dalam ikatan dengan reseptor (Hulse et al. 2004). Substitusi
N124S, L138Q dan K189R pada genotipe Z kemungkinan
berhubungan dengan adaptasi virus pada mamalia (Guan et al.
2004). Daerah antigenik pada asam amino 189 (R atau K) pada
isolat unggas air dalam penelitian ini sama dengan isolat
Hongkong, Vietnam dan Singapura (Hoffman et al. 2005). Daerah
antigenik A-E pada asam amino 86, 138, 140 dan 141 isolat
unggas dan manusia di Indonesia dan Vietnam mengalami
seleksi positif (Smith et al. 2006). Analisis sekuen asam amino
subunit HA1 pada virus influenza A tahun 1968-2005 berhasil
mengidentifikasi 95 substitusi pada 63 asam amino, dan 57
substitusi diantaranya adalah asam amino daerah antigenik (Shih
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 81
et al. 2007). Dari 25 asam amino pada 5 epitop tersebut, 14
residu asam amino diantaranya (121, 124, 133, 135, 142, 145,
156, 158, 190, 193, 197, 226, 262, 275) menunjukkan seleksi
positif (Bush et al. 1999). Perubahan epitop terjadi terus menerus,
dan perubahan epitop pada jangka 2-5 tahun biasanya hanya
didominasi oleh satu epitop saja. Dengan demikian setiap 2-5
tahun terjadi pergeseran dominasi perubahan epitop (Plotkin et al.
2002).
Residu pengikat reseptor adalah asam amino yang
berikatan secara langsung dengan reseptor sel hospes. Residu
pengikat reseptor menentukan spesifisitas ikatan virus dengan
reseptor sel hospes. Bagian dari HA yang berikatan dengan
reseptor adalah asam amino nomor 222 dan 224 (penomoran
menurut H5). Glikoprotein HA virus influenza strain manusia yang
mempunyai asam amino leusin pada posisi 222 dan serin pada
224 hanya dapat berikatan dengan asam sialat α-2,6NeuAcGal.
Sementara HA virus influenza strain unggas yang mempunyai
asam amino glutamin pada posisi 222 dan glisin pada 224 hanya
dapat berikatan dengan asam sialat α-2,3NeuAcGal (Vines et al.
1998; Zhou et al. 1999; Suzuki et al. 2000; Leung 2007). Residu
pengikat reseptor seperti itu dianggap spesifik berikatan dengan
reseptor avian α-2,3NeuAcGal (Gambaryan et al. 2006; Smith et
al. 2006; Leung 2007). Namun, teori yang menyatakan bahwa
ayam hanya mempunyai reseptor α-2,3NeuAcGal dan manusia
hanya mempunyai reseptor α-2,6NeuAcGal tampaknya tidak
berlaku lagi. Pada sel epitel tak bersilia dan sel goblet saluran
respirasi manusia predominan mempunyai asam sialat α-
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 82
2,6NeuAcGal (Ibrecevich et al. 2006; Thompson et al. 2006),
namun pada jaringan trakheobronkhial bersilia mengandung α-
2,6NeuAcGal dan α-2,3NeuAcGal meskipun dalam proporsi
terbatas (Thompson et al. 2006). Pada manusia, reseptor α-
2,3NeuAcGal juga dapat ditemukan pada pneumosit tipe II
(Ibrecevich et al. 2006). Pada saluran respirasi dan pencernaan
ayam dominan mempunyai reseptor α-2,3NeuAcGal, namun
reseptor α-2,6NeuAcGal juga dapat ditemukan pada paru-paru
(minor) maupun sel epitel kolon (mayor) (Kim et al. 2005). Seperti
juga ayam, sel epitel kolon burung puyuh juga banyak terdapat
reseptor α-2,6NeuAcGal. Hal ini menunjukkan bahwa ayam dan
puyuh berpotensi sebagai hospes intermediate untuk transmisi
VAI ke manusia (Guo et al. 2007).
Residu pengikat reseptor pada VAI H5N1 isolat unggas air
di Jawa Barat adalah glutamin (Q) dan glisin (G) berturut-turut
pada asam amino nomor 222 dan 224 (Susanti et al. 2008a).
Demikian juga residu pengikat reseptor pada semua VAI H5N1
isolat hewan dan manusia di Indonesia adalah glutamin (Q222)
dan glisin (G224) (Tabel 8; Susanti 2012a). Residu pengikat
reseptor seperti itu dianggap spesifik berikatan dengan reseptor
avian α-2,3NeuAcGal (Gambaryan et al. 2006; Smith et al. 2006;
Leung 2007).
Substitusi asam amino pada residu pengikat reseptor
menyebabkan perubahan spesifisitas ikatan reseptor. Substitusi
S224G dan L222Q (penomoran menurut H5) pada virus influenza
strain manusia menyebabkan virus ini dapat bereplikasi pada
intestinum itik (Vines et al. 1998). Bahkan disebutkan bahwa
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 83
hanya dengan mutasi 1 asam amino pada residu pengikat
reseptor menyebabkan perubahan spesifisitas ikatan dengan
reseptor (Glasser et al. 2005; Gambaryan et al. 2006). Substitusi
asam amino S223N virus HPAI H5N1 garis Asia, menurunkan
afinitas pada reseptor α-2,3NeuAcGal dan memberi kemampuan
virus berikatan pada α-2,6NeuAcGal secara moderat (Gambaryan
et al. 2006). Hal ini menunjukkan bahwa untuk transmisi lintas
spesies tidak selalu melalui reasorsi, tetapi dapat juga melalui
mutasi pada residu pengikat reseptor (Harvey et al. 2004).
Virus AI yang menginfeksi manusia dapat mengalami mutasi
pada residu pengikat reseptor, sehingga afinitas HA terhadap α-
2,3NeuAcGal menurun dan afinitas terhadap α-2,6NeuAcGal
meningkat (Harvey et al. 2004). Pergeseran spesifisitas reseptor
ini terjadi pada awal setelah transmisi virus pada hospes
(Matrosovich et al. 2000). Perubahan spesifisitas reseptor akibat
tekanan seleksi juga terjadi pada kultur virus secara in ovo. Virus
influenza strain manusia yang ditumbuhkan pada sel amnion
(mempunyai reseptor α-2,6NeuAcGal dan α-2,3NeuAcGal),
sampai pasase ke-2 masih mempertahankan spesifisitas reseptor
pada α-2,6NeuAcGal. Sementara jika dikultur pada sel alantois
yang hanya mempunyai reseptor α-2,3NeuAcGal menyebabkan
substitusi L222Q sehingga spesifisitas reseptor bergeser dari α-
2,6NeuAcGal menjadi α-2,3NeuAcGal (Ito et al. 1997). Hal ini
menunjukkan bahwa defisiensi suatu reseptor spesifik terhadap
residu pengikat reseptor virus influenza merupakan tekanan
seleksi yang memacu terjadinya substitusi sehingga kompatibel
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 84
dengan reseptor yang dimiliki sel hospes. Hal ini dilakukan virus
influenza sebagai prasyarat untuk efisiensi replikasi.
Kantong pengikat reseptor adalah residu asam amino
yang terlibat mempertahankan integritas struktur residu pengikat
reseptor serta mempengaruhi afinitas ikatan pada reseptor sel
hospes. Secara struktural, terdapat 3 elemen dasar kantong
pengikat reseptor VAI H5N1 yaitu α-helix (asam amino HA1 188-
190), loop-130 (asam amino HA1 134-138) dan loop-220 (asam
amino HA1 221-228) (Stevens et al. 2006). Residu asam amino
kantong pengikat reseptor yang bersifat stabil adalah Y94, W149,
H179. Sekuen stabil ini (Y94, W149 dan H179) (penomoran
menurut H5) terlibat kontak secara langsung dengan residu asam
sialat reseptor hospes (Stevens et al. 2006). Substitusi asam
amino kantong pengikat reseptor menyebabkan perubahan
pelipatan protein sehingga mempengaruhi afinitas ikatan virus
pada reseptor (Harvey et al. 2004; Gambaryan et al. 2006;
Auewarakul et al. 2007).
Virus influenza strain avian yang mengalami perubahan
afinitas pada reseptor sel hospes berpeluang memunculkan strain
virus yang mempunyai afinitas tinggi pada sel mamalia (Campitelli
et al. 2006). Substitusi asam amino 129 dan 134 pada subunit
HA1 dari VAI H5N1 isolat manusia menyebabkan pergeseran
spesifisitas ikatan reseptor dari α-2,3NeuAcGal menjadi α-
2,3NeuAcGal dan α-2,6NeuAcGal (Auewarakul et al. 2007).
Variasi asam amino kantong pengikat reseptor terjadi dapa
VAI isolat manusia dan hewan di Indonesia (Tabel 8; Susanti
2012a). Virus AI subtipe H5N1 isolat unggas air (IPB1-RS, IPB2-
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 85
RS, IPB3-RS, IPB4-RS dan IPB5-RS), mengalami 3 substitusi
nonsinonim pada asam amino kantong pengikat reseptor (L175M,
E212K dan P217S). VAI H5N1 isolat IPB6-RS mengalami 7
substitusi nonsinonim asam amino kantong pengikat reseptor
(D94N, T108I, D126E, H138Q, R140S, E212K dan P217S). Tiga
VAI H5N1 isolat unggas air (IPB7-RS, IPB8-RS, IPB9-RS)
mengalami substitusi nonsinonim pada 10 asam amino
pembentuk kantong pengikat reseptor (D94S, T108I, N124D,
D126E, H138L, R140S, D183N, K189R, E212K dan P217S)
(Susanti et al. 2008a). Patogenesitas VAI H5N1 pada hospes
sangat dipengaruhi oleh susunan asam amino kantong pengikat
reseptor. VAI H5N1 dengan asam amino D97, I108, E126, L138,
K212 dan S217 menunjukkan fenotipe highly pathogenic,
sementara asam amino T108, D126, H/Q138 menunjukkan
fenotipe patogenik moderat (Hulse et al. 2004). Tiga VAI H5N1
isolat unggas air (IPB7-RS, IPB8-RS dan IPB9-RS) kemungkinan
mempunyai fenotipe patogenik tinggi, karena mempunyai asam
amino kantong pengikat reseptor khas D97, I108, E126, L138,
K212 dan S217. Sementara 5 VAI H5N1 isolat unggas air lainnya
(IPB1-RS s/d IPB5-RS) mempunyai asam amino khas (T108,
D126, H138) penanda fenotipe patogenik moderat. Fenotipe
patogenesitas VAI H5N1 isolat unggas air dalam penelitian ini
perlu dikaji lebih lanjut dengan uji biologis (Susanti et al. 2008a).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 86
Tabel 8. Variasi asam amino kantong pengikat reseptor virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
Virus AI subtipe H5N1 garis Asia menunjukkan jumlah asam
amino yang mengalami seleksi positif meningkat dari tahun ke
tahun, terutama pada daerah antigenik, posisi glikosilasi dan
kantong pengikat reseptor. Hal ini kemungkinan berhubungan
dengan peningkatan patogenesitas dan kemampuan virus untuk
transmisi ke manusia (Campitelli et al. 2006). Mekanisme virus
untuk menghindar dari sistem imun hospes merupakan tekanan
untuk mutasi secara gradual sehingga muncul strain-strain virus
baru yang secara imunologik berbeda (hanyutan antigenik)
(Munch et al. 2001; Smith et al. 2004). Hanyutan antigenik
berjalan lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan
No Nomor asam amino
Variasi No Nomor asam amino
Variasi
1 94 S, N, K, M, D 16 186 E
2 97 D, N 17 188 T, K
3 108 I, T 18 189 R, K, S, M
4 124 D, N, G 19 190 L
5 126 E, D 20 212 K
6 129 S, L 21 217 S, T
7 130 G 22 218 K
8 132 S 23 221 G
9 138 L, Q, H 24 222 Q
10 140 S, K, T, R, Q, D, N
25 223 S
11 149 W 26 224 G
12 151 I, T 27 263 A, T
13 175 L, M 28 Alpha helix TRL, TKL, KSL, TML
14 179 H 29 Loop 130 ACP, ACS, PKN, SCS
15 183 D, N, G 30 Loop 120 QGS
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 87
penyakit yang terbatas pada suatu kawasan tertentu (Tumpey et
al. 2002; Swayne & Suarez 2003).
Peptida fusi adalah peptida yang berperan pada fusi
membran virus influenza saat infeksi virus ke dalam sel hospes,
terdapat pada ujung N dari HA2. Peptida ini bersifat stabil pada
semua influenza A, terdiri dari 23 asam amino hidrofobik kaya
glisin (G). Sebelas asam amino pertama ujung N dari HA2
(GLFGAIAGFIE) lebih stabil dibandingkan 12 asam amino
berikutnya. Hidrofobisitas asam amino pada peptida fusi sangat
diperlukan untuk destabilisasi membran, sehingga fusi membran
virus influenza dapat dilakukan dengan mudah. Substitusi glisin
(G) menjadi asam amino serin (S), leusin (L) atau fenilalanin (F)
secara signifikan menurunkan fusi virus influenza. Namun
substitusi asam amino pada peptida fusi menjadi glisin juga
menurunkan kemampuan fusi. Hal ini menunjukkan bahwa
stabilitas glisin diperlukan bukan hanya karena hidrofobisitasnya
tetapi juga strukturnya (Cross et al. 2001).
Sekuen asam amino peptida fusi VAI H5N1 asal hewan
dan manusia di Indonesia ada 3 varian, yaitu
GLFGAIAGFIEGGWQGMVDGWYG (345 isolat),
GLFGAIAGFIEG GWQGMIDGWYG (4 isolat),
GLFGAIADFIEGGWQGMVDGWYG (1 isolat) (Tabel 9; Susanti
2012a). Sekuen peptida fusi VAI H5N1 isolat unggas air di Jawa
Barat sama dengan isolat VAI H5N1 penyebab wabah di Asia
(Susanti et al. 2008a), yaitu GLFGAIAGFIEGGWQGMVDGWYG.
Jika dibandingkan dengan peptida fusi virus influenza subtipe
H3N2 penyebab pandemi influenza di Hongkong tahun 1968
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 88
(GLFGAIAGFIENGWEGMIDGWYG), peptida fusi ini hanya
mengalami substitusi 3 asam amino selama hampir 40 tahun
(Cross et al. 2001; Smith et al. 2006).
Tabel 9. Variasi sekuen asam amino peptida fusi virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
No Peptida fusi Isolat, tahun
1 GLFGAIAGFIEGGWQGMVDGWYG
Ayam, manusia, itik, kalkun, babi, angsa, entok, puyuh 2003-2010
2 GLFGAIADFIEGGWQGMVDGWYG
A/Chicken/west jawa 1074/2003
3 GLFGAIAGFIEGGWQGMIDGWYG
A/Chicken/salatiga/BBVet-I/2005 A/Chicken/Kulon Progo/BBVW-822-545/2007 A/Chicken/Kulon Progo/BBVW-922-511/2007 A/Chicken/Sleman/BBVW-493-214/2007
Sekuen GLFGAIADFIEGGWQGMVDGWYG (mutasi G8D
dari ujung N HA2) kemungkinan mengakibatkan penurunan
kemampuan fusi membran virus saat infeksi ke dalam sel hospes.
Hidrofobisitas asam amino pada peptida fusi sangat diperlukan
untuk destabilisasi membran, sehingga fusi membran virus
influenza dapat dilakukan dengan mudah. Substitusi glisin (G)
menjadi asam amino serin (S), leusin (L) atau fenilalanin (F)
secara signifikan menurunkan fusi virus influenza. Namun
substitusi asam amino pada peptida fusi menjadi glisin juga
menurunkan kemampuan fusi. Hal ini menunjukkan bahwa
stabilitas glisin diperlukan bukan hanya karena hidrofobisitasnya
tetapi juga strukturnya (Cross et al. 2001). Sekuen
GLFGAIAGFIEGGWQGMIDGWYG pada 4 isolat ayam di
Indonesia mempunyai mutasi V18I ujung HA2. Peptida fusi
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 89
bersifat stabil pada semua influenza A, terdiri dari 23 asam amino
hidrofobik kaya glisin (G). Sebelas asam amino pertama ujung N
dari HA2 (GLFGAIAGFIE) lebih stabil dibandingkan 12 asam
amino berikutnya (Cross et al. 2001).
Posisi glikosilasi adalah sekuen asam amino yang
berpotensi sebagai tempat penempelan oligosakarida.
Penempelan oligosakarida ini sangat penting dalam orientasi
pelipatan HA untuk berikatan dengan reseptor sel atau antibodi.
Substitusi asam amino pada posisi glikosilasi merupakan strategi
virus untuk mask (menutup) atau unmask (membuka) daerah
antigenik dari pengenalan antibodi sel hospes (Rajakumar et al.
1990; Hoffmann et al 2005; Campitelli et al. 2006; Stevens et al.
2006). Penambahan glikan pada posisi berdekatan dengan asam
amino residu pengikat reseptor dapat mengubah efisiensi ikatan
HA pada reseptor sel (Mishin et al. 2005). Posisi glikosilasi asam
amino terkait asparagin (N) dengan pola sekuen NXS dan NXT
yang berpotensi sebagai tempat penempelan oligosakarida
(Hoffman et al. 2005; Smith et al. 2006; Stevens et al. 2006).
Posisi glikosilasi biasanya tidak stabil karena berhubungan
dengan patogenesitas dan imunogenesitas. Posisi glikosilasi
pada asam amino 154-156 dan 193-195 berdekatan dengan
daerah antigenik dan residu pengikat reseptor, sehingga
mempengaruhi afinitas ikatan pada reseptor dan mekanisme virus
VAI menghindar respon imun hospes (Matrosovich et al. 1999;
WHO 2005b; Campitelli et al. 2006; Gambaryan et al. 2006; Smith
et al. 2006). Penambahan posisi glikosilasi pada asam amino 84-
86 merupakan mekanisme virus untuk menghindar pengenalan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 90
daerah antigenik oleh antibodi (WHO 2005b; Smith et al. 2006).
Hal ini merupakan strategi virus VAI untuk menutup atau
membuka daerah antigenik dari sistem imun (Hoffmann et al
2005; Campitelli et al. 2006; Stevens et al. 2006).
Posisi glikosilasi dari VAI H5N1 isolat hewan dan manusia di
Indonesia menunjukkan bahwa 2 dari 7 posisi glikosilasi masih
konserv/stabil dengan pola NNS (posisi 10-12) dan NVT (posisi
23-25) pada semua isolat yang dianalisis (Tabel 10; Susanti
2012a). Posisi glikosilasi dari VAI H5N1 isolat unggas air di Jawa
Barat menunjukkan bahwa asam amino nomor 84-86 dan 154-
156 pada 5 isolat unggas air (IPB1-RS s/d IPB5-RS) tidak
berpotensi sebagai tempat penempelan oligosakarida. Asam
amino isolat unggas air IPB6-RS mengalami substitusi pada
A156T, sehingga terbentuk sekuen N-S-T pada asam amino 154-
156 yang berpotensi sebagai posisi glikosilasi. Akibat substitusi
pada A86T dan A156T pada 3 VAI isolat unggas air (IPB7-RS,
IPB8-RS, IPB9-RS) menginduksi munculnya posisi glikosilasi
pada asam amino 84-86 dan 154-156 (Susanti et al. 2008a).
Penambahan glikan pada asam amino residu pengikat reseptor
menurunkan efisiensi ikatan HA pada reseptor sel (Mishin et al.
2005). Substitusi S223N dapat meningkatkan sensitivitas uji HI
melalui perubahan spesifisitas reseptor dan/atau ikatan antigen-
antibodi (Hoffmann et al. 2005). Penambahan glikosilasi pada
protein NA juga terlibat dalam peningkatan virulensi VAI (Hulse et
al. 2004).
Isolat VAI tahun 2003-2006, asam amino posisi 84-86
kebanyakan memiliki sekuen NPA (tidak berpotensi sebagai
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 91
posisi glikosilasi). Namun mulai tahun 2005 dan seterusnya mulai
muncul mutasi-mutasi yang mengarah pada potensi glikosilasi
yaitu NPT (Susanti 2012a). Posisi glikosilasi pada asam amino
84-86 merupakan mekanisme VAI untuk menghindar pengenalan
daerah antigenik oleh antibodi (WHO 2005b; Smith et al. 2006).
Asam amino nomor 84-86 pada beberapa isolat mengalami
mutasi pada satu atau lebih asam amino (dari NPT menjadi SPA,
SPT, NPI, NPA, dan NPN) sehingga tidak berpotensi sebagai
tempat penempelan oligosakarida (Susanti 2012a).
Dari 15 isolat, hanya 2 isolat VAI tahun 2003
(A/chicken/Legok dan A/Ck/Indonesia 2A) yang asam amino
posisi 154-156 berpotensi sebagai glikosilasi yaitu NST. Mulai
tahun 2004, posisi 154-156 mengalami mutasi sehingga sebagian
besar isolat tahun 2004 dan seterusnya memiliki potensi
glikosilasi pada posisi tersebut (Tabel 10; Susanti 2012a).
Substitusi pada A156T pada VAI H5N1 garis Asia dihubungkan
dengan adaptasi virus pada hospes unggas darat dan
meningkatkan virulensi pada unggas darat ini (WHO 2005b;
Smith et al. 2006; Stevens et al. 2006). Asam amino nomor 154-
156 pada beberapa isolat mengalami mutasi pada satu atau lebih
asam amino (dari NST menjadi DSA, NNA, NSA, NSI dan DST)
sehingga tidak berpotensi sebagai tempat penempelan
oligosakarida. Namun ada beberapa isolat yang mengalami
mutasi asam amino pada posisi 154-156, tetap berpotensi
sebagai posisi glikosilasi (yaitu dari NST menjadi NNT, NSS dan
NRT) (Tabel 10; Susanti 2012a).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 92
Asam amino nomor 193-195 pada beberapa isolat
mengalami mutasi pada satu atau lebih asam amino (dari NPT
menjadi NQI, NPE, NPI, NSI dan NPA) sehingga tidak berpotensi
sebagai tempat penempelan oligosakarida. Namun ada beberapa
isolat yang mengalami mutasi salah satu asam amino pada posisi
193-195, tetap berpotensi sebagai posisi glikosilasi (yaitu dari
NPT menjadi NPS dan NLT) (Tabel 10; Susanti 2012a). Posisi
glikosilasi pada asam amino posisi 154-156 dan 193-195
berdekatan dengan daerah antigenik dan residu pengikat
reseptor, sehingga mempengaruhi afinitas ikatan pada reseptor
dan mekanisme virus menghindar respon imun hospes
(Matrosovich et al. 1999; WHO 2005b; Campitelli et al. 2006;
Gambaryan et al. 2006; Smith et al. 2006).
Asam amino nomor 165-167 pada beberapa isolat
mengalami mutasi pada salah satu asam amino (dari NNT
menjadi SNT, KNT dan NNA) sehingga tidak berpotensi sebagai
tempat penempelan oligosakarida.Asam amino nomor 286-288
pada 1 isolat mengalami mutasi pada salah satu asam amino
(dari NSS menjadi SSS) sehingga tidak berpotensi sebagai
tempat penempelan oligosakarida (Tabel 10; Susanti 2012a).
Tabel 10. Variasi asam amino posisi glikosilasi HA virus AI
subtipe H5N1 di Indonesia
No Posisi glikosilasi
Variasi Isolat, Tahun
1 10-12 NNS Semua isolat tahun 2003-2010
2 23-25 NVT Semua isolat tahun 2003-2010
3 84-86 NPT Ayam, Manusia, itik puyuh, kalkun, babi tahun 2005-2010
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 93
NPA Ayam, manusia, unggas air tahun 2003-2010
SPA, SPT, NPI, NPN
Ayam dan unggas air 2005-2010
4 154-156 NST Ayam, Manusia, itik, puyuh, kalkun, babi tahun 2003-2010
NNT Ayam, Manusia, itik, puyuh, kalkun, babi tahun 2004-2010
NRT Manusia tahun 2006
NSS Ayam tahun 2005
DSA, NNA, NSA, NSI, DST
Ayam, itik, puyuh, kalkun, babi tahun 2003-2010
5 165-167 NNT Ayam, Manusia, itik, puyuh, kalkun, babi tahun 2003-2010
SNT, KNT,NNA
Ayam 2005-2010, unggas air 1 isolat
6 193-195 NPT Ayam, Manusia, itik, puyuh, kalkun, babi tahun 2003-2010
NPS Ayam tahun 2004
NLT Ayam tahun 2006
NQI, NPE, NPI, NSI,NPA
Ayam 2005-2010, Human tahun 2005
7 286-288 NSS Ayam, Manusia, itik, puyuh, kalkun, babi tahun 2003-2010
SSS Ayam bali 2007
Analisis filogenetik 1695 nukleotida gen HA dari 11 virus
AI subtipe H5N1 Asia dan 27 isolat VAI H5N1 Indonesia baik asal
hewan maupun manusia ditampilkan pada Gambar 19. Pohon
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 94
filogenetik pada Gambar 19 menunjukkan bahwa dari semua
virus yang dianalisa, secara umum membentuk dua klaster
(cluster) terpisah, yaitu klaster Indonesia-Asia (klaster 1) dan
klaster Asia (klaster 2). Pada klaster Indonesia-Asia terbentuk 2
subklaster, yaitu subklaster 1 dan 2. Isolat virus dari Indonesia
semuanya berada pada subklaster 1 (Indonesia), dan virus dari
Asia berada pada subklaster 2. Hal ini menunjukkan bahwa
semua VAI dari Indonesia berkerabat dekat dengan virus garis
Asia. Hasil ini sesuai dengan postulat bahwa semua VAI H5N1
Indonesia membentuk satu kelompok terpisah dengan kelompok
virus dari negara-negara lain (Smith et al. 2006).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 95
A chicken Badung BBVD-175 2007
A chicken Kulon Progo BBVW-453-110
A duck Sleman BBVW-29-32185 2008
A chicken East Kalimantan UT498
A chicken East Java UT551 2010
A chicken Riau UT531 2010
A chicken Indonesia D10014 2010
A Indonesia 5 2005
A Indonesia 292H 2006
A Duck Indramayu BBPW109 2006
A chicken Inhu BPPVRII 2007
A Chicken Papua TA5 2006
A chicken Banten Pdgl-Kas 2004
A Chicken Madiun BBVW1420 2005
A duck Bangli BBVD-246 2007
A Quail Central Java SMRG 2006
A chicken Kupang-1-NTT BPPV6 2004
A Chicken Indonesia Wates83 2005
A chicken Simalanggang BPPVI 2005
A chicken Legok 2003
A chicken Indonesia R60 05
A swine Banten UT3062 2005
A chicken Indonesia 7 2003
A chicken Malang BBVet-IV 2004
A Duck Tabanan BPPV1 2005
A chicken East Java UT1006 2003
A duck East Java UT1046 2004
A duck guangxi 1793 2004
A goose Fujian bb 2003
A chicken Jilin9 2004
A chicken Cambodia LC1AL 2007
A duck Cambodia 072D6 2011
A Vietnam UT3047III 2004
A Thailand1(KAN-1) 2004
HA duck Thailand TS01 2006
A chicken Vietnam200 2005
A muscovy duck Vietnam LBM66
A great crested-grebe Qinghai1 2009
0.005
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 96
Gambar 19. Pohon filogenetik 1695 basa gen HA virus AI H5N1
asal Indonesia baik dari hewan dan manusia, serta virus asal Asia
Gen NS1
Protein yang disandi gen NS1 merupakan faktor virulensi
VAI, berperan sebagai antagonis IFN α/β. NS1 menghambat
pengaktifan dsRNA-dependent protein kinase R (PKR) dari signal
IFN α/β sehingga produksi IFN α/β terhambat (Talon et al. 2000;
Fernandez-Sesma et al. 2006; Garcia-Sastre 2006; Hale et al.
2006; Coleman 2007). Hambatan sintesis IFN α/β oleh sel
terinfeksi VAI juga terjadi melalui penghambatan NS1 pada
pengaktifan 2‟-5‟ oligoadenilat sintetase (2‟-5‟-OAS) (Hale et al.
2006; Min & Krug 2006). Patogenesitas NS1 juga terjadi melalui
ikatan langsung NS1 dengan p85β, yaitu subunit regulator
fosfatidilinositol-3-kinase (PI3K), sehingga replikasi virus dalam
sel terinfeksi tidak terhambat (Hale et al. 2006).
Patogenesitas infeksi VAI H5N1 pada manusia berbeda
dengan influenza biasa (H1N1, H3N2), yaitu adanya hiperinduksi
sitokin proinflamasi sehingga menimbulkan hipersitokinemia,
yang secara populer disebut „badai sitokin‟ (Guan et al. 2004; Lee
et al. 2005). Sintesis berlebihan (overekspresi) protein HA, NP
atau M di dalam sel terinfeksi VAI akan memicu NF-кB signaling
pathway melalui pengaktifan IкB kinase (IKK) (Flory et al. 2000).
Kedua virus influenza A subtipe H5N1 dan H1N1 ini menginduksi
produksi sitokin melalui pengaktifan NF-кB atau degradasi IкB-α.
Namun, VAI subtipe H5N1 mengaktifkan mitogen activated
protein kinase (MAPK) secara dominan, termasuk p38 MAPK dan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 97
extracellular signal regulated kinase 1 dan 2 (ERK1/2), sehingga
meningkatkan ekspresi TNFα oleh makrofag (Lee et al. 2005).
Mutasi NS1 menyebabkan penurunan kemampuan virus
menghambat produksi IFN α/β, sehingga NS1 berpotensi besar
sebagai target pembuatan antivirus dan vaksin (Solorzano et al.
2005; Fernandez-Sesma et al. 2006; Garcia-Sastre 2006).
Imunitas adaptif juga dihambat NS1 melalui induksi
transkripsi faktor-faktor yang terlibat dalam maturasi sel dendritik
serta migrasi dan stimulasi sel T. Hal ini menyebabkan maturasi
dan kapasitas sel dendritik untuk menstimulasi respon imun sel T
terhambat. Imunitas seluler melalui sel T merupakan mekanisme
pertahanan tubuh untuk penghilangan virus dari tubuh
(Fernandez-Sesma et al. 2006). Sel T sitotoksik (cytotoxic T
lymphocyte; CTL) berperan penting mengontrol infeksi virus
(Wherry & Ahmed 2004; Thomas et al. 2006). Untuk menghindari
respon CTL, VAI mengakumulasi substitusi asam amino pada
epitop atau dekat epitop CTL, seperti asam amino 380-388 dan
383-391 pada NP. Substitusi R384G pada NP menyebabkan
hilangnya epitop CTL sehingga virus terhindar dari respon CTL
(Berkoff et al. 2005).
Di dalam nukleus, NS1 menghambat ekspresi gen sel
hospes dengan menghambat ekspor mRNA seluler ke
sitoplasma. Mekanisme tersebut dilakukan NS1 melalui
penghambatan poliadenilasi mRNA seluler dan interaksi NS1
dengan kompleks protein ekspor nuklear sel hospes (Satterly et
al. 2007). Terhambatnya ekspor mRNA seluler dari nukleus
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 98
menyebabkan translasi hanya dilakukan pada mRNA lama yang
diekspor ke sitoplasma sebelum sel terinfeksi VAI.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen NS1 dari 168
virus AI subtipe H5N1 isolat manusia dan hewan di Indonesia
yang dianalisis, semuanya mengalami delesi 5 asam amino
nomor 80-84, kecuali isolat A/Chicken/Pessel/BPPVRII/2007
(Tabel 11; Susanti 2012a). Namun, asam amino nomor 92 (salah
satu marka patogenesitas) dari semua virus yang dianalisis
adalah D (aspartat), atau dengan kata lain tidak mengalami
mutasi D92E (Tabel 11; Susanti 2012a). Strain H5N1 yang
bersifat letal mempunyai mutasi D92E dan atau delesi 80-84
(berdasarkan sistem penomoran H3) atau pada posisi 88-92
(berdasar sistem penomoran H5) pada gen NS1 (Lipatov et
al.2005; Seo et al.2004; Viseshakul et al. 2004). Delesi 5 asam
amino pada gen NS1 menyebabkan resistensi sitokin namun
tidak berpengaruh terhadap virulensi virus (Seo et al. 2002;
Lipatov et al. 2005). Mutasi NS1 menyebabkan penurunan
kemampuan virus menghambat produksi IFN α/β, sehingga NS1
berpotensi besar sebagai target pembuatan antivirus dan vaksin
(Solorzano et al. 2005; Fernandez-Sesma et al. 2006; Garcia-
Sastre 2006). Peran antagonis interferon dari gen NS1 terletak
pada asam amino nomor 92 dan 149 (Li et al. 2006; Min & Krug
2006; Quinlivan et al. 2005). Hasil penelitian Triyana et al. (2010)
menunjukkan bahwa virus AI subtipe H5N1 asal unggas di
Purworejo dan Bantul tidak mengalami mutasi D92E, tetapi
mengalami delesi 5 asam amino nomor 80-84. Hal ini
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 99
menunjukkan bahwa 167 isolat virus AI tersebut bersifat resisten
terhadap sitokin.
Hasil analisis gen NS1 juga menunjukkan bahwa 168 isolat
virus yang dianalisis menunjukkan bahwa asam amino nomor 149
adalah Alanin (A) (Tabel 11; Susanti 2012a). Asam amino A149
merupakan salah satu penentu patogenesitas virus, yaitu bersifat
antagonis terhadap induksi interferon (Li et al. 2006). Seperti
disampaikan Jia et al. (2010), gen NS1 menghambat signal
interferon. NS1 juga berperan menginduksi apoptosis (dependent
caspase) pada sel epitel basal paru manusia (Zhang et al. 2010).
NS1 menghambat pengaktifan dsRNA-dependent protein kinase
R (PKR) dari signal IFN α/β sehingga produksi IFN α/β terhambat
(Talon et al. 2000; Fernandez-Sesma et al. 2006; Garcia-Sastre
2006; Hale et al. 2006; Coleman 2007). Hambatan sintesis IFN
α/β oleh sel terinfeksi VAI juga terjadi melalui penghambatan
NS1pada pengaktifan 2‟-5‟ oligoadenilat sintetase (2‟-5‟-OAS)
(Hale et al. 2006; Min & Krug 2006). Patogenesitas NS1 juga
terjadi melalui ikatan langsung NS1 dengan p85β, yaitu subunit
regulator fosfatidilinositol-3-kinase (PI3K), sehingga replikasi virus
dalam sel terinfeksi tidak terhambat (Hale et al. 2006). Mutasi
NS1 menyebabkan penurunan kemampuan virus menghambat
produksi IFN α/β, sehingga NS1 berpotensi besar sebagai target
pembuatan antivirus dan vaksin (Solorzano et al. 2005;
Fernandez-Sesma et al. 2006; Garcia-Sastre 2006).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 100
Tabel 11. Variasi asam amino yang disandi gen NS1 virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
No Isolat, Tahun Jumlah Isolat
Urutan asam amino ke-
92 149 80-84
1. Manusia 2005 8 D A Delesi
2. Manusia 2006 49 D A Delesi
3. Manusia 2007 11 D A Delesi
4. Ayam 2003 15 D A Delesi
5. Ayam 2004 16 D A Delesi
6. Ayam 2005 19 D A Delesi
7. Ayam 2006 9 D A Delesi
8. Ayam 2007 9 D A Delesi (1)
9. Ayam 2008 5 D A Delesi
10. Itik (5), Muscovy duck (4) 2004-2007
9 D A Delesi
11. Babi 2005-2007 12 D A Delesi
12. Puyuh (5), kalkun (1), 2004
6 D A Delesi
Analisis filogenetik 690 nukleotida gen NS dari 15 virus
AI subtipe H5N1 Asia dan 27 isolat VAI H5N1 Indonesia baik asal
hewan maupun manusia ditampilkan pada Gambar 20. Pohon
filogenetik pada Gambar 20 menunjukkan bahwa dari semua
virus yang dianalisa, secara umum membentuk dua klaster
(cluster) terpisah, yaitu klaster Indonesia-Asia (klaster 1) dan
klaster goose/Guangdong (klaster 2). Pada klaster Indonesia-Asia
terbentuk 2 subklaster, yaitu subklaster 1 dan 2. Subklaster 1
merupakan kelompok VAI Indonesia-Asia, sedangkan subklaster
adalah isolat ayam Pessel/BPPVRII/2007. Nampak bahwa VAI
isolat Indonesia tidak membentuk kelompok terpisah dengan
kelompok virus dari negara-negara Asia.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 101
Gambar 20. Pohon filogenetik 690 basa gen NS virus AI H5N1
asal Indonesia baik dari hewan dan manusia, serta virus asal Asia
A Indonesia CDC887 2006
A Indonesia CDC1031T 2007
A chicken Banten Srg-Fadh 2008
A Indonesia 341H 2006
A chicken Indonesia CDC24 2005
A chicken East Java UT6023 2006
A chicken Inhu BPPVRII 2007
A chicken Gunung Kidal BBVW 2005
A chicken Magetan BBVW 2005
A Indonesia 5 2005
A chicken Indonesia 7 2003
A chicken West Java 1074 2003
A chicken Legok 2003
A chicken Salatiga BBVet-I 2005
NS A turkey Kedaton BPPV3 2004
A chicken Malang BBVet-IV 2004
A Dk Indonesia MS 2004
A chicken East Kalimantan UT1035 2004
A chicken East Java BL-IPA 2003
A chicken Kulon Progo BBVW 2005
A swine East Java UT6003 2006
A chicken East Java UT6031 2007
A swine South Kalimantan UT6015 2006
A chicken Dairi BPPVI 2005
A chicken Tebing Tinggi BPPVI 2005
A swine Banten UT3062 2005
A chicken Wonosobo BPPV4 2003
A duck Hubei3 2005
A great crested-grebe Qinghai1 2009
A muscovy duck Vietnam LBM66
A duck Thailand TS01 2006
A Thailand1(KAN-1) 2004
A quail Malaysia 6309 2004
A Vietnam UT3047III 2004
A chicken Vietnam NCVD10 2005
A duck Cambodia 072D6 2011
A chicken Cambodia LC1AL 2007
A goose fujian bb 2003
A duck guangxi 1793 2004
A chicken Jilin9 2004
A Hong Kong97 98
A chicken Pessel BPPVRII 2007
A goose guangdong1 96
0.05
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 102
Gen PB1-F2 dan PB1
Sesuai dengan namanya, gen PB berfungsi utama
sebagai enzim polimerase sintesis mRNA. Selain itu, PB1 juga
berperan dalam perampasan tudung (cap snatching), perakitan
kompleks RdRp (RNA dependent RNA polimerase) dan
menghambar respon imun seluler. Ketika replikasi, inti sel
menyediakan lingkungan untuk sintesis mRNA virus influenza
melalui proses yang tidak biasa, yaitu inisiasinya memerlukan
primer yang mempunyai cap-m7GpppXm (Lamb & Krug 2001).
Fragmen tudung (7mGppp dan 10-13 nukleotida setelah tudung)
dari pre-mRNA sel hospes dipotong oleh enzim PB1 kemudian
dikenal dan diikat oleh enzim PB2. Proses perampasan tudung
dari pre-mRNA seluler tersebut disebut dengan cap snatching
(Rao et al. 2003; Crow et al. 2004; Hara et al. 2006).
Protein PB1-F2 adalah protein yang diekspresikan dari
bingkai pembacaan terbuka (open reading frame:ORF) alternatif
pada segmen gen polimerase PB1. Protein PB1-F2 terdiri dari 87
asam amino (Gibbs et al. 2003). ORF alternatif terletak pada basa
ke (+)120 setelah ORF gen PB1. Ekspresi ORF alternatif ini
melalui mekanisme ribosomal scanning, yaitu pembacaan
ribosom pada kodon inisiasi translasi (AUG). Jika ribosom
mengenali AUG pada ORF alternatif, polipeptida baru akan
terbentuk. PB1-F2 hanya bertahan dalam sel selama 5 jam
pascainfeksi (Coleman 2007). Protein ini terlokalisasi di membran
mitokondria dan secara dramatik menyebabkan degradasi
morfologi mitokondria, menurunkan potensial membran dan
menginduksi apoptosis (Garcia-Sastre 2006; Coleman 2007).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 103
Protein ini merupakan faktor patogenesitas virus influenza
secara in vivo (Garcia-Sastre 2006; Coleman 2007). Protein PB1-
F2 mampu menginduksi apoptosis makrofag sehingga
menurunkan kemampuan sel hospes untuk menghilangkan virus
dan meningkatkan infeksi sekunder bakteri oportunistik (Coleman
2007). Menurut Pena et al.(2012), PB1-F2 terlibat dalam
mekanisme virulensi, replikasi virus dan respon imun innate.
Protein PB1-F2 merupakan target untuk lokalisasi virus pada
membran dalam mitokondria sel hospes sehingga mengganggu
fungsi mitokondria (Gibbs et al. 2003).
Virus AI yang dihilangkan ORF alternatif PB1-F2 tetap
hidup secara in vitro, namun secara in vivo menurunkan
kemampuan induksi apoptosis makrofag sampai 50%. Hal ini
menunjukkan bahwa protein PB1-F2 hanya meningkatkan
patogenesitas virus secara in vivo (Zamarin et al. 2006). Karena
PB1-F2 dapat menyebabkan apoptosis makrofag sebagai antigen
presenting cell (APC) profesional, kematian makrofag juga
mempengaruhi presentasi antigen pada cabang respon imun
adaptif (Coleman 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 148 isolat virus AI
subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia mempunyai
asam amino N66 pada gen PB1-F2 (Tabel 12; Susanti 2012a).
Disebutkan bahwa PB1-F2 berperan sebagai faktor patogenesitas
virus melalui pro-apoptosis mitokondrial. Asam amino N66 PB1-
F2 merupakan indikator letalitas tinggi pada virus AI tahun 1918
(Schnolke et al. 2011). Lebih lanjut disebutkan bahwa asam
amino N66 berimplikasi patogenesitas pada mamalia (Conello et
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 104
al. 2007; Schnolke et al. 2011). Virus AI yang dihilangkan
ORFalternatif PB1-F2 tetap hidup secara in vitro, namun secara
in vivo menurunkan kemampuan induksi apoptosis makrofag
sampai 50%. Hal ini menunjukkan bahwa protein PB1-F2 hanya
meningkatkan patogenesitas virus secara in vivo (Zamarin et al.
2006). Karena PB1-F2 dapat menyebabkan apoptosis makrofag
sebagai antigen presenting cell (APC) profesional, kematian
makrofag juga mempengaruhi presentasi antigen pada cabang
respon imun adaptif (Coleman 2007).
Sebanyak 148 isolat vrus AI subtipe H5N1 asal manusia
dan hewan di Indonesia yang dianalisis menunjukkan bahwa
asam amino F251 dan F254 dari PB1 (Tabel 12; Susanti 2012a)
merupakan sentral dari sekuen konserv untuk proses polimerase
(Jung et al. 2006). Sebagai gen yang berperan pada proses vital,
biasanya tidak banyak mengalami mutasi yang bermakna.
Menurut Xu et al. (2012), asam amino 473V dan 598P PB1 virus
AI asam unggas berkontribusi pada mekanisme polimerase
terutama pada sel mamalia. Semua virus AI di Indonesia yang
dianalisis mempunyai asam amino 473V dan 598L, hanya 1 isolat
yang mempunyai 598P. Hal ini kemungkinan merupakan faktor
penyebab mudahnya virus asal unggas bereplikasi pada mamalia
termasuk manusia.
Asam amino PB1 semua isolat virus di Indonesia yang
dianalisis adalah T677 (Tabel 12; Susanti 2012a). Mutasi dua
asam amino yaitu T677M dari PB1 dan I63T dari PB2
menurunkan patogenesitas virus. Mutasi T677M menurunkan
efisiensi replikasi virus tetapi meningkatkan aktivitas polimerase
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 105
(Li et al. 2011). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
asam amino PB2 semua isolat virus di Indonesia yang dianalisis
adalah I63, kecuali 5 isolat yang mengalami mutasi I63V (yaitu
A/Chicken/Bangli Bali BBPV6-1/2004; A/Chicken/Bangli Bali
BBPV6-2/2004; A/Chicken /Kupang2 NTT/BBPV6/2004;
A/Chicken/Kupang 3NTT/BBPV6/2004; A/Chicken/ Manggarai
NTT/BBPV6/2004) (Tabel 12; Susanti 2012a). Mutasi I63T protein
PB2 tidak mengubah kemampuan replikasi virus (Li et al. 2011).
Dari hasil analisis asam amino posisi 677 PB1, dapat disimpulkan
bahwa virus AI di Indonesia tidak mengalami mutasi T677M.
Mutasi I63V pada gen PB2 dari 5 isolat VAI di Indonesia perlu
dikaji lebih lanjut tentang fenotip virus secara biologis.
Tabel 12. Variasi asam amino yang disandi gen PB1 dan PB1-F2
virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
No Isolat, Tahun Jumlah Isolat
Urutan asam amino ke-
66 PB1-F2
252 PB1
254 PB1
473 PB1
598 PB1
677 PB1
1. Manusia 2005 12 N F F V L T
2. Manusia 2006 42 N F F V L(1) T
3. Manusia 2007 11 N F F V L T
4. Ayam 2003 13 N F F V L (9 data)
T (9 data)
5. Ayam 2004 16 N F F V L (1 data)
T (1 data)
6. Ayam 2005 17 N F F V L T
7. Ayam 2006 9 N F F V L T
8. Ayam 2007 5 N F F V L T
9. Itik 2004-2005 4 N F F V L T
10. Babi 2005-2007 13 N F F V L T
11. Puyuh (5), kalkun (1), 2004
6 N F F V L T
(1) kecuali 1 isolat A/Indonesia/ CDC759/2006: asam amino P
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 106
Analisis filogenetik 2268 nukleotida gen PB1 dari 11
virus AI subtipe H5N1 Asia dan 27 isolat VAI H5N1 Indonesia
baik asal hewan maupun manusia ditampilkan pada Gambar 21.
Pohon filogenetik pada Gambar 21 menunjukkan bahwa dari
semua virus yang dianalisa, secara umum membentuk dua
klaster (cluster) terpisah, yaitu klaster Indonesia-Asia (klaster 1)
dan klaster Hongkong (klaster 2). Pada klaster 1 (Indonesia-Asia)
terbentuk 2 subklaster, yaitu subklaster 1 dan 2. Subklaster 1
merupakan kelompok VAI Indonesia-Asia, sedangkan subklaster
2 adalah isolat ayam Jilin9/2004. Nampak bahwa VAI isolat
Indonesia tidak membentuk kelompok terpisah dengan kelompok
virus dari negara-negara Asia.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 107
Gambar 21. Pohon filogenetik 2268 basa gen PB1 virus AI H5N1
asal Indonesia baik dari hewan dan manusia, serta virus asal Asia.
A chicken East Java UT6020 2006
A duck Parepare BBVM 2005
A chicken Bali UT2091 2005
A chicken Gunung Kidul BBVW 2005
A chicken Magetan BBVW 2005
A chicken Banten UT6025 2006
A chicken Jakarta DKI-Nurs 2007
A Indonesia 5 2005
A Indonesia 160H 2005
A Indonesia CDC184 2005
A chicken Purworejo BBVW 2005
A chicken Kulon Progo BBVW 2005
A chicken Central Java UT3091 2005
PB1 A Indonesia CDC326T 2006
A duck East Java UT1046 2004
A duck East Java UT1107 2004
A chicken Legok 2003
A chicken West Java UT1001 2003
A chicken East Java UT1006 2003
A chicken Indonesia 3 2007
A chicken Indonesia 7 2003
A chicken Dairi BPPVI 2005
A chicken Simalanggang BPPVI 2005
A chicken Deli Serdang BPPVI 2005
A chicken Tarutung BPPVI 2005
A chicken East Java UT6031 2007
A great crested-grebe Qinghai1 2009
A duck Cambodia 072D6 2011
A chicken Cambodia LC1AL 2007
A Vietnam UT3047III 2004
A duck Thailand TS01 2006
A Thailand1(KAN-1) 2004
A chicken Vietnam200 2005
A goose fujian bb 2003
A duck Hubei3 2005
A chicken Jilin9 2004
A Hong Kong97 98
0.01
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 108
Gen PB2
Protein yang disandi oleh gen PB2, berperan sebagai
pengenalan cap-m7GpppXm pada RNA sel (Lamb & Krug
2001).Domain pengikat cap telah diidentifikasi pada posisi 242-
252 dan 533-564 (Honda et al. 1999; Li et al. 2001). Perubahan
adaptif protein PB2 diperlukan untuk mengatasi barier spesies
dan letalitas strain (Solomon et al. 2006). Asam amino nomor 627
disebutkan sangat menetukan letalitas suatu virus. Pada posisi
tersebut, virus yang teradaptasi dengan baik pada mamalia
mempunyai residu lisin (K), sedangkan virus avian mempunyai
asam amino glutamate (E) (Hatta et al. 2001; Shinya et al. 2004;
Solomon et al. 2006).
Hasil analisis 158 isolat VAI di Indonesia menunjukkan
bahwa hanya 5 isolat virus AI asal manusia
(A/Indonesia/CDC759/2006; A/Indonesia/CDC390/2006;
A/Indonesia/ CDC370E/2006; A/Indonesia/321H/2006; dan
A/Indonesia/CDC1031/2007) yang asam amino pada posisi 627
adalah K (Tabel 13; Susanti 2012a). Hal ini menunjukkan bahwa
bukan hanya mutasi E627K dari PB2 yang berkontribusi pada
mekanisme adaptasi virus dari unggas ke manusia. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa virus yang diisolasi dari
kasus kematian manusia akibat H5N1 sangat sedikit yang
menunjukkan mutasi E627K (de Jong et al. 2006; Guan et al.
2004; Li et al. 2004; Shinya et al.2005; Steel et al. 2009).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 109
Tabel 13. Variasi asam amino yang disandi gen PB2 virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
No Isolat, Tahun Jumlah
Isolat Urutan asam amino ke-
63 242-252 363 404 627
1. Manusia 2005 12 I QMPYTPGGEVR F F E
2. Manusia 2006 55 I QMPYTPGGEVR F F E (1)
3. Manusia 2007 11 I QMPYTPGGEVR F F E(2)
4. Ayam 2003 12 I QMPYTPGGEVR F F E
5. Ayam 2004 16 I (3)
QMPYTPGGEVR F F E
6. Ayam 2005 19 I QMPYTPGGEVR F F E
7. Ayam 2006 9 I QMPYTPGGEVR (4)
F F E
8. Ayam 2007 4 I QMPYTPGGEVR (5)
F F E
9. Itik 2004-2005 4 I QMPYTPGGEVR F F E
10. Babi 2005-2007 11 I QMPYTPGGEVR F F E
11. Puyuh (3), kalkun (1), feline(1) 2004-2006
5 I QMPYTPGGEVR F F E
(1) 4 isolat asam amino K: A/Indonesia/CDC759/2006; A/Indonesia/CDC390/2006; A/Indonesia/CDC370E/2006; A/Indonesia/321H/2006
(2) 1 isolat asam amino K: A/Indonesia/CDC1031/2007 (3) 5 isolat asam amino V: A/Chicken/Bangli Bali BBPV6-
1/2004; A/Chicken/Bangli Bali BBPV6-2/2004; A/Chicken/Kupang 2 NTT/BBPV6/2004; A/Chicken/Kupang 3 NTT/BBPV6/2004; A/Chicken/Manggarai- NTT/BBPV6/2004
(4) 1 isolat asam amino QMPYTPGGDVK : A/Chicken/South Kalimantan/UT6029/2006
(5) 1 isolat asam amino QMPYTPGGEVR : A/Chicken/Indonesia/3/2007)
Dua asam amino yaitu F363 dan F404 dilaporkan
membentuk „sandwich aromatic‟ yang terlibat dalam „cap binding‟
(Fechter et al. 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 110
amino pada PB2 VAI di Indonesia adalah F363 dan F404. Hal ini
menunjukkan bahwa protein untuk proses vital virus tidak banyak
mengalami mutasi bahkan bersifat konserv/stabil. Hasil-hasil
penelitian lain tentang PB2 belum banyak diungkap. Hasil analisis
virus di Indonesia menunjukkan bahwa sekuen asam amino 242-
252 dari PB2 adalah QMPYTPGGEVR, dan hanya 2 isolat yang
mengalami mutasi yaitu QMPYTPGGDVK
(A/Chicken/SouthKalimantan/UT6029/2006) dan
QMPYTPGGEVK (A/Chicken/Indonesia/3/2007) (Tabel 13;
Susanti 2012a). Peran mutasi pada fenotip virus perlu dikaji lebih
lanjut.
Analisis filogenetik 2200 nukleotida gen PB2 dari 11
virus AI subtipe H5N1 Asia dan 22 isolat VAI H5N1 Indonesia
baik asal hewan maupun manusia ditampilkan pada Gambar 22.
Pohon filogenetik pada Gambar 22 menunjukkan bahwa dari
semua virus yang dianalisa, secara umum membentuk dua
klaster (cluster) terpisah, yaitu klaster Indonesia-Asia (klaster 1)
dan klaster Hongkong (klaster 2). Pada klaster Indonesia-Asia
terbentuk 2 subklaster, yaitu subklaster 1 dan 2. Subklaster 1
merupakan kelompok VAI Indonesia-Asia, sedangkan subklaster
2 adalah isolat itik Guangxi1793/2004. Nampak bahwa VAI isolat
Indonesia tidak membentuk kelompok terpisah dengan kelompok
virus dari negara-negara Asia.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 111
Gambar 22. Pohon filogenetik 2200 basa gen PB2 virus AI H5N1
asal Indonesia baik dari hewan dan manusia, serta virus asal Asia.
A chicken Kulon Progo BBVW 2005
A chicken Mangarai-NTT BPPV6 2004
A duck East Java UT1046 2004
A chicken West Java UT1001 2003
A chicken Indonesia 7 2003
A chicken Salatiga BBVet-I 2005
A chicken Dairi BPPVI 2005
A chicken Tebing Tinggi BPPVI 2005
A chicken Legok 2003
A chicken Purworejo BBVW 2005
A feline Indonesia CDC1 2006
A Indonesia CDC370E 2006
A Indonesia 5 2005
A Indonesia CDC7 2005
A chicken Banten UT6025 2006
A chicken Indonesia CDC24 2005
A chicken Magetan BBVW 2005
A chicken Wajo BBVM 2005
A duck Parepare BBVM 2005
A swine Banten UT2071 2005
A chicken East Java UT6031 2007
A swine East Java UT6003 2006
A chicken Jilin9 2004
A Vietnam UT3047III 2004
A duck Cambodia 072D6 2011
A duck Thailand TS01 2006
A Thailand1(KAN-1) 2004
A chicken Vietnam200 2005
A great crested-grebe Qinghai1 2009
A muscovy duck Vietnam LBM66
A goose fujian bb 2003
A duck guangxi 1793 2004
A Hong Kong97 98
0.02
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 112
Gen Neuraminidase (NA)
Pada protein NA, semua virus H5N1 Indonesia asal
manusia dan hewan tahun 2003-2010, mempunyai delesi 20
asam amino pada regio stalk yaitu pada posisi 48-67 (Tabel 14;
Susanti 2012b). Tempat glikosilasi pada regio stalk dari protein
neuraminidase berperan dalam menjaga struktur tetramer dari
protein (Luo et al. 1993). Virus AI H5N1 asal unggas dan manusia
di Hongkong tahun 1997-1998 semuanya mengalami delesi 19
asam amino regio stalk NA (Bender et al. 1999). Hasil penelitian
Nga et al. (2011) menunjukkan bahwa virus AI subtipe H5N1
yang diisolasi tahun 2004-2009 di Vietnam mengalami delesi 20
asam amino, sama seperti strain virus tahun 2003. Namun isolat
yang beredar sebelum tahun 2003 tidak mengalami delesi 20
asam amino, sehingga mempunyai 1410 nukleotida (469 asam
amino). Delesi 20 asam amino pada regio stalk juga terjadi pada
isolat H5N1 berbagai spesies unggas di Thailand tahun 2003-
2004. Hal ini sangat berbeda dengan strain virus H5N1 penyebab
outbreak di Asia Timur tahun 1996-1997 dan 2000-2001
(Keawcharoen et al. 2005). Mutasi drift pada NA ini kemungkinan
merupakan bagian dari proses evolusi virus sehingga memiliki
varian yang penting pada mekanisme patogenesitas virus (Nga et
al. 2011).
Posisi glikosilasi asam amino terkait asparagin (N)
dengan pola sekuen NXS dan NXT yang berpotensi sebagai
tempat penempelan oligosakarida (Hoffman et al. 2005; Smith et
al. 2006; Stevens et al. 2006). Penambahan glikosilasi pada
protein NA juga terlibat dalam peningkatan virulensi VAI (Hulse et
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 113
al. 2004). Semua virus pada penelitian ini tidak mempunyai
tempat glikosilasi pada stalk protein neuraminidase karena
mengalami delesi di daerah ini. Delesi pada daerah glikosilasi ini
akan meningkatkan retensi virion pada membran plasma
(Matrosovich et al. 1999). Analisis posisi glikosilasi pada protein
NA dari 251 isolat VAI subtipe H5N1 di Indonesia menunjukkan
adanya 3 posisi glikosilasi yaitu 87-89 (NSS), 145-147 (NGT) dan
234-236 (NGS) (Tabel 14; Susanti 2012b). Dari ke-3 posisi
tersebut, posisi 234-236 tidak menunjukkan adanya variasi,
semuanya berpola NGS.Terdapat 1 isolat yang kehilangan
glikosilasi posisi 87-89, yaitu A/chicken/Sleman BBVW 626-
233/2007, sedangkan isolat lainnya glikosilasi posisi 87-89
berpola NGT (Tabel 14; Susanti 2012b). Sementara glikosilasi
posisi 145-147 terdapat beberapa variasi pola, yaitu NGT (238
isolat), NGS (1 isolat) dan NET (12 isolat).
Tabel 14. Variasi asam amino posisi glikosilasi yang disandi gen
NA virus AI subtipe H5N1 di Indonesia
No Isolat, Tahun Jumlah Isolat
Urutan asam amino ke-
48-67 87-89 145-147
234-236
1. Manusia 2005 10 Delesi NSS NGT NGS
2. Manusia 2006 49 Delesi NSS NGT(1) NGS
3. Manusia 2007 11 Delesi NSS NGT NGS
4. Ayam 2003 13 Delesi NSS NGT NGS
5. Ayam 2004 15 Delesi NSS NGT NGS
6. Ayam 2005 43 Delesi NSS NGT(2) NGS
7. Ayam 2006 25 Delesi NSS NGT NGS
8. Ayam 2007 20 Delesi NSS(3) NGT NGS
9 Ayam 2008 5 Delesi NSS NGT NGS
10 Ayam 2010 7 Delesi NSS NGT(4) NGS
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 114
11 Itik (25), swan (1), muscovy duck (5)2004-2008
31 Delesi NSS NGT(5) NGS
12 Babi 2005-2007
12 Delesi NSS NGT NGS
13 Puyuh (5), kalkun (2), pigeon(1), tree sparow (2) 2004-2010
10 Delesi NSS NGT(6) NGS
(1) 8 isolat asam amino NET: A/Indonesia/534H/2006; A/Indonesia/535H/2006; A/Indonesia/536H/2006; A/Indonesia/538H/2006; A/Indonesia/546H/2006; A/Indonesia/546bH/2006; A/Indonesia/560H/2006; A/Indonesia/CDC599/2006; A/Indonesia/CDC625/2006; A/Indonesia/CDC625L/2006
(2) 2 isolat asam amino NET: A/chicken/Dairi BPPVI/2005; A/chicken/Langkat BBPVI/2005
(3) 1 isolat asam amino SSS: A/chicken/Sleman BBVW 626-233/2007
(4) 2 isolat asam amino NGS: A/chicken/East Kalimantan UT581/2010; A/chicken/East Kalimantan UT581/2010
(5) 1 isolat asam amino NET: A/duck/Madium BBVW 109/2004 (6) 1 isolat asam amino NET: A/turkey/Langkat BBPVI/2005
Sekuen asam amino pembentuk oseltamifir binding
pocket pada protein NA adalah E119, R224, H274, E276, R292
dan N294 (Moscona 2005a; 2005b). Binding pocket yang sama
juga digunakan oleh zanamivir, obat anti influenza yang lain
(Moscona 2005a). Mutasi pada bagian ini dilaporkan
menyebabkan resistensi terhadap tamiflu. Hasil penelitain pada
virus AI subtipe H5N1 isolat hewan dan manusia tahun 2003-
2010 menunjukkan bahwa asam amino pembentuk oseltamivir
binding pocket yang dapat diidentifikasi adalah R224, H274,
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 115
E276, R292 dan N294.Asam amino posisi tersebut masih konserv
pada semua virus di Indonesia yang datanya terdaftar di
Genbank, kecuali 1 isolat yang mengalami mutasi H274Y yaitu
isolat A/Indonesia/560H/2007. Asam amino posisi 119 mengalami
mutasi E119R pada semua isolat virus yang diidentifikasi (Tabel
15; Susanti 2012b).
Tabel 15. Variasi asam amino oseltamifir binding pocket virus AI
subtipe H5N1 di Indonesia
No Isolat, Tahun Jumlah Isolat
Urutan asam amino ke-
119 224 274 276 292 294
1. Manusia 2005 10 R R H E R N
2. Manusia 2006 49 R R H (1) E R N
3. Manusia 2007 11 R R H E R N
4. Ayam 2003 13 R R H E R N
5. Ayam 2004 15 R R H E R N
6. Ayam 2005 43 R R H E R N
7. Ayam 2006 25 R R H E R N
8. Ayam 2007 20 R R H E R N
9 Ayam 2008 5 R R H E R N
10 Ayam 2010 7 R R H E R N
11 Itik (25), angsa (1), entok (5)2004-2008
31 R R H E R N
12 Babi 2005-2007 12 R R H E R N
13 Puyuh (5), kalkun (2), burung dara (1), tree sparow (2) 2004-2010
10 R R H E R N
(1) 1 isolat Y, yaitu A/Indonesia/560H/2007
Mutasi NA pada posisi 116, 117, 274, dan 294
menurunkan kepekaan virus terhadap oseltamivir karboksilat
(IC50s meningkat 5-940 fold). Mutasi pada posisi Y252H pada NA
berkontribusi pada penurunan kepekaan virus H5N1 terhadap
oseltamivir (Ilyushina et al. 2010). Tingkat resistensi tinggi
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 116
terhadap oseltamivir terjadi akibat mutasi H274T.Varian tersebut
telah dideteksi pada 16% anak-anak terinfeksi virus H1N1 setelah
memperoleh pengobatan oseltamivir (Ward et al. 2005). Hal
serupa juga terjadi pada beberapa pasien positif terinfeksi H5N1
yang memperoleh pengobatan oseltamivir (deJong et al. 2005;
WHO 2008). Penurunan aktivitas NA melalui inhibitor NA sangat
esensial untuk adaptasi virus pada manusia (Ilyushina et al.
2012). Hal ini perlu menjadi perhatian, terutama dalam hal
manajemen pandemi H5N1 yang lebih tepat.
Analisis filogenetik 1404 nukleotida gen NA dari 12 virus
AI subtipe H5N1 Asia dan 29 isolat VAI H5N1 Indonesia baik asal
hewan maupun manusia ditampilkan pada Gambar 23. Pohon
filogenetik pada Gambar 23 menunjukkan bahwa dari semua
virus yang dianalisa, secara umum membentuk dua klaster
(cluster) terpisah, yaitu klaster Indonesia-Asia (klaster 1) dan
klaster Asia (klaster 2). Pada klaster Indonesia-Asia terbentuk 2
subklaster, yaitu subklaster 1 dan 2. Subklaster 1 merupakan
kelompok VAI Indonesia, sedangkan subklaster 2 merupakan
kelompok VAI Asia. Nampak bahwa VAI isolat Indonesia
membentuk kelompok terpisah dengan kelompok virus dari
negara-negara Asia.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 117
Gambar 23. Pohon filogenetik 1404 basa gen NA virus AI H5N1
asal Indonesia baik dari hewan dan manusia, serta virus asal Asia.
A chicken East Java UT6031 2007
A swine Banten UT6008 2007
A chicken Kupang-1-NTT BPPV6 2004
A Dk Indonesia MS 2004
A chicken Indonesia R134 03
A chicken Indonesia 11 2003
A Indonesia 6 2005
A chicken Indonesia R60 05
A swine Banten UT2071 2005
A chicken Legok 2003
A chicken Purworejo BBVW 2005
A chicken Salatiga BBVet-I 2005
A chicken Deli Serdang BPPVI 2005
A chicken Tarutung BPPVI 2005
A chicken Tebing Tinggi BPPVI 2005
A chicken Indonesia 7 2003
A quail Tasikmalaya BPPV4 2004
A chicken East Java UT6021 2006
A chicken Bali UT2092 2005
A swine East UT6005 2006
NA A swine North Sumatra UT6004 2006
A Indonesia 175H 2005
A chicken EastKalimantan UT581 2010
A Indonesia 283H 2006
A Indonesia CDC634P 2006
A Indonesia CDC1032 2007
A chicken EastKalimantan UT498 2010
A chicken Sleman BBVW-626-233 2007
A duck Magelang BBVW-24-44380 2008
A chicken Vietnam200 2005
A Goose Guangdong1 96
A goose fujian bb 2003
A chicken Jilin9 2004
A duck Cambodia 072D6 2011
A chicken Cambodia LC1AL 2007
A Vietnam UT3047III 2004
A quail Malaysia 6309 2004
A duck Thailand TS01 2006
A Thailand1(KAN-1) 2004
A great crested-grebe Qinghai1 2009
A muscovy duck Vietnam LBM66
0.005
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 118
BAB VII
EPIDEMIOLOGI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN
PENULARANNYA
Epidemiologi Virus Avian Influenza
Sejak 1959 sampai akhir tahun 2003, dilaporkan hanya
terjadi 24 wabah virus influenza pada ternak unggas di seluruh
dunia. Kebanyakan wabah tersebut terbatas secara geografis
pada daerah tertentu, dan tidak satupun dari wabah-wabah
tersebut yang ukurannya mendekati wabah H5N1 di Asia tahun
2004. Sampai saat ini, semua wabah virus HPAI disebabkan oleh
virus influenza A dari subtipe H5 dan H7. Faktor utama
penyebaran virus HPAI adalah perdagangan unggas hidup dan
produknya serta melalui mobilitas manusia (wisatawan dan
pengungsi) (WHO 2004).
Dimensi baru wabah virus HPAI mencuat di akhir tahun
2003. Dari pertengahan Desember 2003 sampai awal Februari
2004, wabah yang disebabkan oleh virus HPAI H5N1 garis Asia
dilaporkan telah menyerang unggas di Korea Selatan, Vietnam,
Jepang, Thailand, Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos,
Indonesia dan Cina (Maines et al. 2005; OIE 2005). Kejadian
wabah yang serentak di banyak negara oleh virus HPAI H5N1
belum pernah terjadi sebelumnya. Virus HPAI H5N1 dijumpai
pertama kali tahun 1997, merupakan hasil reasorsi dari VAI H5N1
isolat angsa domestik (A/goose/Guangdong/ 1/96) yang
menyumbangkan gen HA dan VAI H9N2 yang menyumbangkan
segmen-segmen gen penyandi protein internal (Guan et al. 1999).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 119
Meskipun beberapa genotipe pernah dilaporkan (Cauthen et al.
2000), namun genotipe “Z” telah mendominasi wabah yang terjadi
sejak Desember 2003 (Li et al. 2004).
Pada bulan April 2005, untuk pertama kalinya, VAI H5N1
dapat mematikan ungas liar dalam skala besar (Zhou et al. 2006).
Di danau Qinghai Barat Laut Cina, beberapa ribu unggas air
migratori sakit dan mati terkena infeksi VAI H5N1 (Feare & Yasua
2006). Virus “Qinghai-like” tersebut selanjutnya menyebar ke
Rusia, Eropa dan Afrika oleh burung migratori (Webster &
Govorkova 2006). Kematian ternak unggas banyak dilaporkan di
daerah yang berdekatan dengan danau dan rawa-rawa yang
menjadi tempat singgah unggas air liar. Hal ini memperkuat
dugaan bahwa unggas migratori menjadi penyebar virus,
termasuk virus HPAI H5N1 garis Asia. Unggas air liar
diperkirakan dapat membawa virus hanya selama masa inkubasi,
atau beberapa spesies yang masih bertahan meskipun sudah
terinfeksi H5N1 (Sturm-Ramirez et al. 2004).
Virus AI subtipe H5N1 dari berbagai negara, secara
filogenetik terpisah menjadi 2 clade. Clade 1 adalah virus yang
diisolasi pada unggas dan manusia di Kamboja, Thailand,
Vietnam, Laos, Korea Selatan dan Jepang tahun 2003-2004.
Clade 2 terbagi menjadi 3 subclade. Subclade 1 adalah virus dari
Indonesia tahun 2004-2006 dan isolat Hongkong tahun 2003.
Subclade 2 adalah isolat virus dari Rusia, Turki dan Timur
Tengah tahun 2005-2006. Subclade 3 adalah isolat dari Laos,
Thailand, Kamboja dan Vietnam tahun 2005-2006 (WHO 2005b;
Webster & Govorkova 2006).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 120
Virus-virus AI dalam clade dan subclade terpisah
mempunyai perbedaan struktur antigenik, sehingga setiap clade
atau subclade memerlukan vaksin yang berbeda. Studi pada feret
menunjukkan bahwa vaksin terhadap satu clade tidak protektif
terhadap clade lainnya (Webster & Govorkova 2006). Disamping
struktur antigenik, antar clade dan subclade yang berbeda juga
menunjukkan perbedaan sensitifitas terhadap obat antivirus
influenza (Webster & Govorkova 2006). Mayoritas virus clade 1
resisten terhadap amantadin dan rimantadin, namun mayoritas
virus clade 2 sensitif terhadap kedua jenis antivirus tersebut.
Meskipun demikian, semua VAI H5N1 sensitif terhadap inhibitor
neuraminidase (Webster & Govorkova 2006; Kandun et al. 2006).
Penyebaran VAI H5N1 secara global disebabkan oleh
perdagangan unggas dan/atau produk unggas serta pergerakan
unggas migratori (Capua & Marangon 2006; Chen et al. 2006).
Analisis penyebaran global VAI H5N1 di Asia menunjukkan
bahwa 9 dari 21 introduksi virus ke negara-negara Asia melalui
perdagangan unggas atau produk unggas. Burung migratori juga
berperan pada penyebaran dan introduksi VAI H5N1 ke 3 dari 21
negara-negara di Asia. Sementara introduksi VAI H5N1 pada 20
dari 23 negara di Eropa terjadi melalui unggas migratori. Di Afrika,
2 dari 8 negara mengalami introduksi VAI H5N1 melalui
perdagangan unggas dan 3 dari 8 negara melalui unggas
migratori (Kilpatrick et al. 2006). Hasil penelitian Susanti et al.
(2008d) menunjukkan bahwa analisis filogenetik VAI H5N1 isolat
unggas air dari Jawa Barat membentuk tiga percabangan secara
terpisah, yaitu satu percabangan pada klaster Indonesia dan dua
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 121
percabangan pada klaster Asia. Hasil ini mengindikasikan bahwa
introduksi VAI H5N1 ke Indonesia terjadi lebih dari satu kali.
Burung liar migratori nampaknya juga berperan penting pada
introduksi VAI H5N1 ke Indonesia. Enam virus isolat unggas air
(IPB1-RS s/d IPB6 RS) merupakan strain virus yang berbeda
dengan VAI H5N1 yang telah diisolasi di Indonesia sebelumnya.
Hasil ini didukung dengan uji reaksi silang antara VAI H5N1 isolat
ayam Legok 2003 dengan 9 virus AI H5N1 isolat unggas air
tersebut, bahwa semua virus mempunyai struktur antigenik yang
berbeda dengan strain ayam Legok 2003 (Susanti et al. 2008d).
Telaah Virus Avian Influenza di Indonesia
Kasus VAI H5N1 pada unggas di Indonesia muncul pertama
kali pada bulan Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam ras
komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kasus ini kemudian
meluas ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa
Timur, DIY, Lampung, Bali serta beberapa daerah di Sumatera
dan Kalimantan. Sampai akhir tahun 2003, kasus VAI dinyatakan
endemik di 9 propinsi, terdiri dari 51 kabupaten/kota dengan
jumlah kematian unggas mencapai 4,13 juta ekor (Data Dirjen
Peternakan RI 2004). Jumlah kematian unggas sampai bulan
November 2005 diperkirakan mencapai 10,45 juta ekor. Jumlah
kematian unggas pada tahun 2005 cenderung menurun drastis
dibanding tahun 2003 dan 2004, meskipun daerah yang terserang
cenderung lebih luas.
Virus AI subtipe H5N1 di Indonesia termasuk genotipe Z.
Genotipe ini pertama kali ditemukan pada unggas di Cina Selatan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 122
tahun 2002 (Smith et al. 2006). Analisis filogenetik gen HA dari
VAI H5N1 dari berbagai wilayah geografi dan berbagai spesies
hewan di Indonesia menunjukkan bahwa VAI H5N1 di Indonesia
membentuk satu klaster (cluster), terpisah dengan isolat dari
negara lain. Analisis serupa juga menunjukkan bahwa virus
Indonesia mengelompok berdasarkan wilayah geografis,
sehingga terbentuk 3 grup (A, B dan C). Grup A adalah kelompok
virus dari kawasan tengah dan timur Indonesia, yaitu Jawa,
Sulawesi Selatan dan Timor Barat. Grup B juga terdiri dari isolat
virus di kawasan tengah dan timur Indonesia yaitu Jawa, Bali,
Flores dan Timor Barat. Termasuk grup C adalah isolat virus dari
pulau Jawa, Sumatera dan Bangka (Smith et al. 2006). Infeksi
VAI H5N1 pada manusia mulai terjadi pada Juli 2005. Infeksi VAI
H5N1 pada manusia terjadi secara sporadis dan menyerang
beberapa klaster famili (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih et al.
2007). Sejak awal infeksi sampai bulan Juni 2006, tercatat 54
kasus infeksi dan 21 infeksi diantaranya terjadi pada 7 klaster
famili. Tingkat fatalitas kasus VAI H5N1 mencapai 76%, terutama
menginfeksi manusia usia kurang dari 40 tahun dan 57,4%
menyerang laki-laki (Sedyaningsih et al. 2007). Kasus infeksi VAI
H5N1 pada klaster famili kemungkinan dipengaruhi oleh faktor
genetik, tingkah laku, imunologik, dan lingkungan (Kandun et al.
2006). Semua kasus infeksi VAI H5N1 di Indonesia merupakan
VAI H5N1 clade 2 subclade 1 (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih
et al. 2007).
Sampai saat ini (24 Januari 2008), dikonfirmasi sebanyak
120 kasus penularan VAI H5N1 pada manusia dan 97
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 123
diantaranya meninggal dunia (Depkes 2008; WHO 2008). Jumlah
kematian manusia akibat VAI H5N1 di 12 propinsi di Indonesia ini
tercatat paling tinggi di dunia (WHO 2008). Dari tahun 2003-2008
dilaporkan WHO 352 kasus penularan, dan 219 diantaranya
meninggal dunia (WHO 2008). Transmisi VAI dari unggas ke
manusia masih dianggap terjadi secara langsung dari unggas
(ayam) atau lingkungan yang terkontaminasi virus AI (Smith et al.
2006). Sampai tanggal 10 Agustus 2012, jumlah kasus dan
kematian akibat VAI H5N1 pada manusia Indonesia tercatat
paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 159 orang dari 191
orang positif terinfeksi (WHO 2012). Data kejadian dan kematian
di seluruh dunia adalah 359 kematian dari 608 kejadian (WHO
2012).
Peran Unggas Air pada Penyebaran Virus Avian Influenza
Unggas air, termasuk ordo Anseriformes (itik, entok,
angsa) dan Charadriiformes (burung camar dan burung dara
laut) adalah inang alami semua subtipe virus influenza A,
sehingga sangat memungkinkan sebagai reservoir (penampung)
virus influenza A (Olsen et al. 2006; Fouchier et al. 2007; Webster
et al. 2007). Sementara, semua unggas termasuk unggas
domestik (ayam, kalkun, puyuh) termasuk rentan terinfeksi. Pada
inang alami, virus berada dalam keadaan seimbang dan tidak
menunjukkan gejala klinis. Dalam tubuh hospes alami ini, secara
evolusioner virus dalam keadaan statis, yang secara molekuler
ditandai dengan rendahnya rasio substitusi N/S (Taubenberger et
al. 2005). Antara hospes dengan virus terjadi toleransi yang
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 124
seimbang, dimana replikasi virus secara efisien dan tidak
menyebabkan penyakit. Virus bereplikasi di saluran pencernaan
unggas air, sehingga ekskresi virus bersama feses dapat
ditransmisikan ke unggas atau mamalia lain melalui fecal-oral
(Sturm-Ramirez et al. 2004).
Penelitian di Pakistan menunjukkan bahwa 15% itik dan
angsa merupakan reservoir VAI. Selain unggas air, burung liar
juga dilaporkan sebagai reservoir VAI (Khawaja et al. 2005).
Prevalensi VAI subtipe H5N1 di pasar unggas di Hongkong tahun
1997 paling tinggi ditemukan pada ayam (19,5%), diikuti angsa
(2,5%) dan itik (2,4%) (Sortridge 1997). Sementara di pasar
unggas Nanchang, Cina tahun 2000, prevalensi VAI paling tinggi
dijumpai pada itik (1,3%), diikuti ayam (1,2%), puyuh (0,8%) dan
merpati (0,5%) (Liu et al. 2003). Prevalensi virus HPAI subtipe
H5, H7, H9 pada unggas air di Minnesota mencapai 21,5%,
sementara prevalensi subtipe H3, H4 dan H6 mencapai 63,8%.
Prevalensi subtipe H5 dan H9 masing-masing sebesar 0,4% dan
prevalensi subtipe H7 mencapai 0,7% (Hanson et al. 2003).
Sistem penggembalaan itik secara bebas, terutama pada
saat panen padi dilaporkan juga merupakan faktor yang berperan
pada penyebaran virus HPAI H5N1 (Gilbert et al. 2006).
Sebanyak 27% flock itik backyard di Thailand positif terinfeksi VAI
H5N1. Dan pada saat wabah VAI H5N1 pada unggas dan
manusia akhir tahun 2004, 47% flock itik backyard positif
terinfeksi VAI H5N1. Infeksi VAI H5N1 pada itik tersebut di atas
bersifat subklinis, namun virus tetap diekskresikan bersama
feses dalam waktu cukup lama (Songserm et al. 2006).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 125
Seroprevalensi VAI pada unggas air (itik, entok dan angsa)
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan seroprevalensi pada
ayam kampung. Hal ini semakin nyata terlihat pada sampling
pemeriksaan terhadap itik di daerah sangat tercemar seperti
daerah Jawa Barat (FKH IPB 2006). Hasil penelitian Susanti et al.
(2008b) menunjukkan bahwa dari total 460 sampel, 21 isolat
positif VAI H5N1 (4,57%), 13 isolat HxN1(2,83%), 3 isolat H5Nx
(0,65%) dan 8 isolat HxNx (1,74%). Sebaran VAI subtipe H5N1
yang berhasil diisolasi dari unggas air di peternakan skala rumah
tangga di Jawa Barat adalah 17 isolat dari Kabupaten Bogor dan
4 isolat dari Kabupaten Sukabumi. Prevalensi di masing-masing
kabupaten adalah 6,49% di Bogor dan 2,02% di Sukabumi.
Angka prevalensi pada masing-masing spesies adalah 6,67%
pada angsa, 4,85% pada itik, dan 4,04% pada entok. Di
Kabupaten Bogor, prevalensi pada angsa 8,57%, pada itik 6,49%,
dan pada entok 5,48%. Di Kabupaten Sukabumi, prevalensi pada
angsa 4,00%, pada entok 3,33%, dan pada itik 1,40%. Data ini
menunjukkan bahwa unggas air (itik, entok, angsa) ini berpotensi
sebagai sumber penularan VAI H5N1 ke unggas darat dan
manusia. Data ini menunjukkan bahwa unggas air (itik, entok,
angsa) ini berpotensi sebagai sumber penularan VAI H5N1 ke
unggas darat dan manusia.
Salah satu unggas air, yaitu itik, juga dianggap sebagai
sumber VAI H5N1 pada wabah di Cina tahun 2000-2004 (Chen et
al. 2004; Li et al. 2004). Wabah VAI H5N1 di Hongkong tahun
2001 juga berasal dari reservoir itik dan angsa yang mengalami
reasorsi dengan VAI lainnya sehingga muncul virus yang bersifat
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 126
patogenik pada unggas darat (Sturm-Ramirez et al. 2004).
Inokulasi 23 isolat VAI H5N1 pada itik jantan menunjukkan bahwa
semua isolat VAI H5N1 dapat bereplikasi secara efisien dan 22
diantaranya ditransmisikan pada hewan peka melalui kontak
(Sturm-Ramirez et al. 2005). Strain patogenik VAI H5N1 hanya
menyebabkan gejala klinis ringan pada itik, tetapi tetap
mengekskresikan virus bersama kotorannya yang berpotensi
untuk menular ke unggas lain dan (bahkan) juga ke manusia
(Kishida et al. 2005; Strurm-Ramirez et al. 2005).
Penelitian yang dilakukan Chen et al. (2004) dan Li et al.
(2005) juga menunjukkan bahwa isolat VAI H5N1 dari itik sehat
secara progresif dapat bereplikasi dan menyebabkan berbagai
penyakit pada mencit. VAI H5N1 yang bersifat patogenik tinggi
pada unggas darat, menjadi patogenik rendah jika diinokulasikan
pada itik. Pada itik tidak menyebabkan gejala klinis tetapi ekskresi
virus dari itik terjadi terus menerus sehingga berpotensi
menyebarkan virus yang bersifat patogenik bagi unggas lain dan
(bahkan) juga pada manusia (Hulse-Post et al. 2005).
Infeksi VAI sangat jarang terjadi bersifat letal pada unggas
air. Wabah VAI H5N1 di Hongkong akhir tahun 2002
menyebabkan kematian pada burung migratori dan unggas air
domestik termasuk itik, merupakan laporan pertama setelah
tahun 1961, dimana infeksi VAI bersifat letal pada unggas air
(Sturm-Ramirez et al. 2004). Virus HPAI H5N1 juga
menyebabkan wabah di Danau Qinghai Cina tahun 2005 yang
mematikan ribuan unggas air migratori (Zhou et al. 2006).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 127
Transmisi VAI dari unggas air ke unggas lain kemungkinan
melalui pasar unggas, dimana kontak antara unggas air dan
unggas lainnya seperti ayam, puyuh, dan burung-burung lainnya
tidak terhindarkan lagi (Weaver 2005; Gilbert et al. 2006). Puyuh
disebutkan merupakan hospes perantara transmisi VAI dari
unggas air ke unggas darat. Puyuh menyediakan lingkungan
untuk adaptasi VAI subtipe H9 dari itik sehingga membentuk
varian baru yang dapat menginfeksi unggas lainnya (Perez et al.
2003).
Hasil penelitian wabah VAI di Hongkong menunjukkan
bahwa VAI H5N1 isolat ayam berbeda dengan isolat unggas air.
VAI H5N1 isolat ayam mengalami delesi 19 asam amino pada
tangkai (stalk) NA dan ada tambahan posisi glikosilasi pada HA.
Delesi asam amino pada NA menyebabkan penurunan
kemampuan pelepasan virus dari sel, sementara penambahan
glikosilasi pada HA menyebabkan penurunan afinitas ikatan HA
pada reseptor sel hospes. Perubahan NA dan HA pada ayam ini
merupakan bentuk adaptasi virus dari unggas air ke unggas darat
dan memperbesar peluang unggas domestik sebagai hospes
intermedier pada transmisi zoonotik (Matrosovich et al. 1999)
Transmisi virus dari unggas air ke unggas darat dapat
terjadi dua arah. VAI H9N2 yang awalnya berasal dari unggas air
ditransmisikan ke unggas darat dan mengalami reasorsi. Virus
dari unggas darat ini ditransmisikan kembali ke unggas air dan
mengalami reasorsi kembali membentuk varian baru yang
berpotensi untuk menginfeksi manusia secara langsung (Li et al.
2003). Hal ini menunjukkan bahwa unggas air juga berpotensi
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 128
sebagai “mixing vessel” yang memunculkan varian-varian virus
baru yang berpotensi sebagai penyebab pandemi influenza pada
manusia (Xing et al. 2007).
Cara Perlindungan dan Pencegahan Infeksi Virus Avian
Influenza
Virus Avian Influenza seperti virus influenza lainnya,
secara alami sering mengalami mutasi (Bab III), sehingga ketika
ada wabah virus ini dan menimbulkan banyak kematian unggas
dan bahkan manusia, masyarakat tidak perlu panik dan
ketakutan. Pada kondisi demikian langkah yang peling tepat
dilakukan adalah waspada dan berhati-hati. Jika virus ini
bermutasi sedemikian rupa sehingga dapat menyerang manusia
secara rutin, maka mutasi tersebut akan menghasilkan virus yang
jauh berkurang keganasannya. Fakta membuktikan bahwa
dengan berjalannya waktu, kasus kematian unggas dan manusia
semakin menurun dan menurun bahkan tidak ada lagi laporan
yang masuk. Hal ini menunjukkan bahwa virus ini tidak
menunjukkan keganasannya lagi.
Meskipun demikian, ketika wabah mematikan dari virus ini
terjadi di sekitar kita, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan
(Komnas FBPI 2007).
1. Jika menemukan unggas sakit mendadak tanpa gejala sakit,
(a) Segera laporkan ke RT/RW/Kepala Desa. Langkah ini
merupakan upaya peringatan dini sehingga mencegah
terjadinya kasus yang lebih buruk.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 129
(b) Jangan menyentuh unggas sakit/mati tanpa menggunakan
pelindung tangan/kantong plastik, pelindung mulut
(masket/sapu tangan) dan sepatu boot.
(c) Bangkai unggas dibakar dan dikubur sedalam lutut orang
dewasa agar tidak dapat digali hewan lain.
(d) Jangan membuang bangkai ke sungai/selokan, karena
dapat menyebarkan virus melalui air.
(e) Ayam yang sakit atau mati jangan diperjualbelikan dan
dikonsumsi
(f) Pastikan kandang selalu bersih dengan cara mencuci
kandang dengan sabun/detergen secara teratur
(g) Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah
menyentuh unggas sakit/mati
(h) Kosongkan kandang selama 3 minggu sebelum
memasukkan unggas baru
(i) kandangkan segera unggas yang masih hidup. Dengan
dikandangkan akan memudahkan petugas melakukan
pemeriksaan dan tindakan lain yang diperlukan
2. Langkah-langkah sebagai upaya pencegahan:
(a) Jika ada gejala flu dan demam setelah berdekatan dengan
unggas, segera laporkan dan periksakan diri ke puskesmas
atau rumah sakit. Dengan demikian, jika terjadi sesutu
dapat segera diatasi.
(b) Kandang ayam dipisahkan dengan kandang itik.
Pemisahan antar jenis unggas dapat mengurangi kontak
dan resiko terjadinya penularan virus ke unggas lain serta
manusia.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 130
(c) Stok ayam/itik baru dipisahkan dari ayam/itik yang lama
selama 2-3 minggu. Hal ini untuk memastikan bahwa
ayam/itik yang baru tidak membawa virus dan tidak
menularkan pada ayam/itik lama
(d) Kandang ayam/itik harus dipisahkan dari pemukiman.
Unggas harus selalu dikandangkan terpisah dengan
pemukiman, untuk mencegah kemungkinan penularan
virus ke manusia
(e) Bagi pekerja kandang, pakaian kerja, sepatu, alat
transportasi dan kandang segera dicuci dan dibersihkan
dengan sabun atau obat suci hama segera setelah
pekerjaan selesai. Mencucui dengan sabun akan
mencegah pencemaran dari bagian yang terinfeksi ke
bagian yang belum terinfeksi.
(f) Bagi ibu-ibu yang memasak daging unggas, disarankan
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah
menyentuh unggas serta sebelum dan setelah memasak.
Mencuci tangan dan peralatan dengan sabun akan
mencegah penularan ke manusia karena pemakaian ulang
alat yang tidak bersih
(g) Virus flu burung akan mati jika daging dan telur dimasak
hingga matang. Jadi tidak perlu takut mengkonsumsi
daging dan telur ayam yang telah dimasak matang.
Meskipun demikian, lebih baik membeli dan memasak
unggas yang sehat, bukan bangkai.
(h) Pekerja kandang/peternak harus mengenali gejala utama
flu burung pada unggas, yaitu mati mendadak tanpa gejala
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 131
sakit. Gejala lain yang menyertai adalah jengger bengkak
berwarna biru atau berdarah, kepala tertunduk menyatu
dengan badan, kepala dan kelopak mata bengkak,
perdarahan di bawah kulit yang tidak ditumbuhi bulu
(i) Sebagai pencegahan pada ayam yang masih hidup, perlu
dilakukan vaksinasi. Untuk mendapatkan informasi tentang
vaksin, menghubungi petugas dinas peternakan/pertanian
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 132
BAB VIII
PENUTUP
Kasus penyebaran VAI subtipe H5N1 pada unggas di
Indonesia muncul pertama kali pada bulan Agustus 2003 di
beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Kasus ini kemudian meluas ke berbagai daerah di
Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Lampung, Bali serta
beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Infeksi VAI H5N1
pada manusia mulai terjadi pada Juli 2005. Infeksi VAI H5N1
pada manusia terjadi secara sporadis dan menyerang beberapa
klaster famili (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih et al. 2007).
Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan
karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari
unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia (Kalthoff
et al. 2010). Sejak awal infeksi sampai bulan Juni 2006, tercatat
54 kasus infeksi dan 21 infeksi diantaranya terjadi pada 7 klaster
famili. Tingkat fatalitas kasus VAI H5N1 mencapai 76%, terutama
menginfeksi manusia usia kurang dari 40 tahun dan 57,4%
menyerang laki-laki (Sedyaningsih et al. 2007). Dari tahun 2003-
2008 dilaporkan WHO 352 kasus penularan, dan 219 diantaranya
meninggal dunia (WHO 2008). Transmisi VAI dari unggas ke
manusia masih dianggap terjadi secara langsung dari unggas
(ayam) atau lingkungan yang terkontaminasi virus AI (Smith et al.
2006). Sampai tanggal 10 Agustus 2012, jumlah kasus dan
kematian akibat VAI H5N1 pada manusia Indonesia tercatat
paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 159 orang dari 191
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 133
orang positif terinfeksi (WHO 2012). Data kejadian dan kematian
di seluruh dunia adalah 359 kematian dari 608 kejadian (WHO
2012).
Virus influenza, bentuk dan ukuran bersifat
pleiomorfik (berubah-ubah), berbentuk filamen atau sferoid
(bola) dengan diameter 80-120 nm (Harris et al. 2006). Virus
influenza adalah virus anggota famili Orthomyxoviridae (ICTV
2006). Di dalam virion influenza tipe A dan B terdapat 8
segmen genom RNA serat tunggal (single-stranded RNA)
berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein. Delapan
segmen tersebut adalah PB1 (PB1 dan PB1-F2), PB2, PA, HA,
NP, NA, M (M1 dan M2), serta NS (NS1 dan NS2) (Horimoto dan
Kawaoko, 2001; Whittaker, 2001). Kedelapan segmen RNA
bersama-sama dengan nukleoprotein (NP) membentuk
ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al. 2001; Munch
et al. 2001). RNP dikelilingi oleh protein matriks M1. Pada
permukaan amplop virus terdapat glikoprotein HA dan NA serta
kanal ion (ion channel) M2 (Elton et al. 2001).
Virus influenza tipe A secara natural dapat menginfeksi
unggas dan manusia (Khawaja et al. 2005). Virus ini dibagi ke
dalam berbagai subtipe berdasarkan analisis serologis dan
genetis glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA)
(Lee et al. 2001). Sampai saat ini ada 16 subtipe HA (H1-H16)
dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Russell and Webster 2005). Siklus
replikasi virus influenza A mempunyai keunikan karena semua
sintesis mRNA dan replikasi genom terjadi di dalam nukleus sel
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 134
hospes yang terinfeksi. Proses replikasi virus sangat cepat,
sekitar 10 jam/siklus (Coleman 2007).
Penelitian yang berhubungan dengan virus avian influenza
dilakukan di laboratorium standart Biosafety Level 2 (BSL-2) plus
atau BSL-3. Namun untuk propagasi virus AI subtipe H5N1 pada
hewan coba (pada tikus, marmut, ayam atau itik, dll) harus
dilakukan di laboratorium BSL-3. Tahap pertama yang harus
dilakukan untuk memperbanyak dan mengisolasi virus adalah
mengambil contoh/sampel yang diduga mengandung virus.
Mengingat VAI berkembang/bermultiplikasi pada sel epitel
saluran pencernaan dan pernafasan, maka sampel dapat diambil
dari usap hidung, usap anus atau usap kloaka. Untuk mengetahui
apakah pada sampel terdapat virus yang dimaksud atau tidak,
sampel harus ditanam pada media yang sesuai. Mengingat virus
adalah organisme yang hanya dapat bereplikasi pada sel hidup,
maka media yang sesuai untuk menumbuhkan virus adalah sel
hidup. Virus influenza A dapat bereplikasi secara in ovo pada
telur ayam berembrio (TAB) maupun secara in vitro pada kultur
sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) (Whittaker 2001; Ito et
al. 1997). TAB merupakan metode terbaik untuk isolasi virus
influenza, karena lebih sensitif dibandingkan sel kultur MDCK
(Clavijo et al. 2002). Meskipun demikian, MDCK merupakan sel
yang paling sensitif untuk isolasi virus influenza A dibanding sel
kultur Vero dan MRC-5 (Reina et al. 1997). Hasil perbanyakan
virus perlu diuji keberadaan virus influenza, dan sebagai skrining
awal dilakukan uji hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi
digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus yang mempunyai
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 135
kemampuan mengaglutinasi sel darah merah. Hemaglutinin (pada
VAI) akan melekat secara spontan pada sel darah merah. Jika
sampel yang diduga mengandung berasal dari unggas, virus yang
berkemampuan mengaglutinasi SDM merupakan virus golongan
Orthomyxoviridae (misal: virus influenza) atau Paramyxoviridae
(misal: New Castle Disease; ND) (OIE 2004). Dengan demikian,
jika hasil uji HA positif, kemungkinan sampel mengandung virus
ND atau virus AI, sehingga perlu diuji lebih lanjut dengan
penanda lain (misal dengan PCR atau uji antigenesitas).
Cairan alantois yang positif bersadarkan uji HA, selanjutnya
diisolasi RNA-nya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya
berdasarkan gen hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA).
Subtiping (penentuan subtipe) VAI subtipe H5 dan N1 dapat
dilakukan dengan metode reverse transcriptase-polymerase chain
reaction (RT-PCR). Reverse transcription (RT) adalah pembuatan
cDNA yang bersifat komplementer dengan RNA virus,
menggunakan enzim reverse transcriptase. PCR merupakan
metode alternatif untuk mengidentifikasi virus AI, meskipun
material genetik virus hanya terdapat dalam jumlah sedikit (WHO
2002; Payungporn et al. 2004; OIE 2005). Untuk menganalisis
gen-gen virus AI, langkah pertama yang dilakukan adalah
mengamplifikasi gen yang dimaksud dan disekuensing. Pada
analisis gen, biasanya panjang nukleotida yang dianalisis cukup
panjang (partial) atau bahkan komplit (lengkap) menggunakan
primer full length atau primer lain yang didesain sendiri. Pita-pita
DNA spesifik produk PCR pada gel elektroforesis selanjutnya
dipurifikasi, sebelum disekuensing. Sekuensing dilakukan dengan
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 136
metode dideoksi menggunakan ABI automatic sequencer sesuai
prosedur standart. Runutan nukleotida gen hasil sekuensing dan
turunan asam aminonya dianalisis dengan software tertentu
seperti MEGA 3.1 (Kumar et al. 2004). Sekuen nukleotida yang
diperoleh dengan metode yang standart dan telah diyakini
kebenarannya, didaftarkan di GenBank sebagai salah satu bentuk
etika moral peneliti terhadap kelengkapan database dan
peningkatan khasanah keilmuan secara universal.
Gen-gen VAI subtipe H5N1 asal manusia dan hewan di
Indonesia yang teregristrasi di GenBank adalah gen HA
(sebanyak 565 isolat), disusul berturut-turut gen NA (262 isolat),
gen NS (173 isolat), gen PB1 (155 isolat), dan gen PB2 (137
isolat) (Susanti 2012a). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa
VAI subtipe H5N1 asal manusia dan hewan terus berevolusi
terlihat dari dinamika molekuler gen-gen yang teramati. Dinamika
molekuler kemungkinan berhubungan dengan peningkatan
patogenesitas dan kemampuan virus untuk transmisi ke manusia.
Dari 5 gen yang dianalisa (HA, NA, PB1, PB2, NS1), gen HA
yang paling banyak memiliki variasi akibat substitusi non sinonim,
dan gen PB2 yang paling konserv.
Analisis gen HA virus AI subtipe H5N1 isolat manusia dan
hewan di indonesia, variasi banyak terjadi pada posisi asam
amino antigenik site, residu kantong pengikat reseptor, daerah
pemotongan HA dan posisi glikosilasi. Isolat VAI H5N1 penyebab
wabah kematian unggas di Indonesia tahun 2003-2004
mempunyai pola asam amino daerah pemotongan QRERRRKKR,
kecuali isolat A/Chicken/Kulonprogo/BBVet-XIII yang mengalami
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 137
delesi satu asam amino lisin (K) sehingga mempunyai pola
daerah pemotongan QRERRK_R. Mulai tahun 2005, muncul
isolat VAI H5N1 dengan sekuen daerah pemotongan
QRESRRKKR, QIERRRKKR, QRERRREKR, QGERRRKKR,
QRERRRK_R dan QRE_RRKKR (Susanti 2012a). Meskipun
bervariasi, semua VAI H5N1 yang bersirkulasi di Indonesia
menunjukkan karakter molekuler HPAI dengan sekuen daerah
pemotongan bervariasi (Susanti 2012a).
Selain posisi yang menunjukkan banyak
variasi/polimorfisme, posisi-posisi tertentu dari gen HA relatif
stabil, yaitu residu pengikat reseptor dan peptida fusi. Residu
pengikat reseptor pada VAI H5N1 isolat hewan dan manusia di
Indonesia adalah glutamin (Q) dan glisin (G) berturut-turut pada
asam amino nomor 222 dan 224 (Susanti 2012a). Residu
pengikat reseptor seperti itu dianggap spesifik berikatan dengan
reseptor avian α-2,3NeuAcGal (Gambaryan et al. 2006; Smith et
al. 2006; Leung 2007). Sekuen asam amino peptida fusi VAI
H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ada 3 varian, yaitu
GLFGAIAGFIEGGWQGMVDGWYG (345 isolat),
GLFGAIAGFIEG GWQGMIDGWYG (4 isolat),
GLFGAIADFIEGGWQGMVDGWYG (1 isolat) (Susanti 2012a).
Sekuen asam amino peptida fusi
GLFGAIAGFIEGGWQGMVDGWYG adalah khas VAI H5N1
penyebab wabah di Asia (Cross et al. 2001).
Analisis gen NS1 menunjukkan bahwa dari 168 virus AI
subtipe H5N1 isolat manusia dan hewan di Indonesia yang
dianalisis, semuanya mengalami delesi 5 asam amino nomor 80-
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 138
84, kecuali isolat A/Chicken/Pessel/BPPVRII/2007 (Susanti
2012a). Namun, asam amino nomor 92 (salah satu marka
patogenesitas) dari semua virus yang dianalisis adalah D
(aspartat), atau dengan kata lain tidak mengalami mutasi D92E
(Susanti 2012a). Hasil analisis gen NS1 juga menunjukkan bahwa
168 isolat VAI H5N1 di Indonesia semuanya mempunyai asam
amino Alanin (A) pada nomor 149 (Susanti 2012a). Asam amino
A149 merupakan salah satu penentu patogenesitas virus, yaitu
bersifat antagonis terhadap induksi interferon (Li et al. 2006).
Analisis gen PB1-F2 pada 148 isolat virus AI subtipe
H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia menunjukkan bahwa
asam amino nomor 66 adalah N (Susanti 2012a). Asam amino
N66 PB1-F2 merupakan indikator letalitas tinggi pada virus AI
tahun 1918 (Schnolke et al. 2011). Asam amino N66 berimplikasi
patogenesitas pada mamalia (Conello et al. 2007; Schnolke et al.
2011).
Hasil analisis gen PB2 pada 158 isolat virus AI di Indonesia
menunjukkan bahwa hanya 5 isolat virus AI asal manusia
(A/Indonesia/CDC759/2006; A/Indonesia/CDC390/ 2006;
A/Indonesia/ CDC370E/2006; A/Indonesia/321H/2006; dan
A/Indonesia/CDC1031/ 2007) yang asam amino posisi 627
adalah K (Susanti 2012a). Hal ini menunjukkan bahwa bukan
hanya mutasi E627K dari PB2 yang berkontribusi pada
mekanisme adaptasi virus dari unggas ke manusia. Asam amino
pada PB2 adalah F363 dan F404 pada 158 VAI H5N1 di
Indonesia yang dianalisis. Hal ini menunjukkan bahwa protein
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 139
untuk proses vital virus tidak banyak mengalami mutasi bahkan
bersifat konserv.
Pada analisis gen NA, semua virus H5N1 Indonesia asal
manusia dan hewan tahun 2003-2010, mempunyai delesi 20
asam amino pada regio stalk yaitu pada posisi 48-67 (Susanti
2012b). Tempat glikosilasi pada regio stalk dari protein
neuraminidase berperan dalam menjaga struktur tetramer dari
protein (Luo et al. 1993). Delesi pada daerah glikosilasi ini akan
meningkatkan retensi virion pada membran plasma (Matrosovich
et al. 1999). Virus AI subtipe H5N1 isolat hewan dan manusia
tahun 2003-2010 mempunyai 5 asam amino pembentuk
oseltamivir binding pocket yang dapat diidentifikasi yaitu R224,
H274, E276, R292 dan N294. Asam amino posisi tersebut masih
stabil pada semua virus di Indonesia yang datanya terdaftar di
Genbank, kecuali 1 isolat yang mengalami mutasi H274Y yaitu
isolat A/Indonesia/560H/2007 (Susanti 2012b).
Berdasarkan kajian teori dan hasil-hasil penelitian
diketahui bahwa virus Avian Influenza subtipe H5N1 di Indonesia
selalu berevolusi ditunjukkan oleh dinamika molekuler yang
terjadi pada gen-gen virus ini. Dinamika molekuler terutama
terjadi pada gen-gen penyandi glikoprotein permukaan, dan
glikoprotein inilah yang bertanggung jawab terhadap mekanisme
infeksi pada sel hospes dan pengenalan antibodi. Gen-gen yang
bertanggung jawab terhadap aktivitas vital virus tersebut,
nampaknya tidak banyak menymbangkan terjadinya dinamika
mokuler. Gen-gen virus avian influenza secara natural mudah
mengalami mutasi, dan mutasi inilah penyebab terjadinya
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 140
dinamika molekuler. Di sisi lain, mutasi juga terjadi akibat
tingginya tekanan lingkungan hidup virus tersebut. Semakin tinggi
tekanan akibat respon imun hospes, semakin tinggi tingkat
mutasinya. Demikian juga semakin tinggi perubahan lingkungan,
semakin cepat terjadi mutasi akibat adaptasi virus terhadap
lingkungan yang baru. Dinamika molekuler inilah yang
mengakibatkan tidak efisiennya program vaksinasi. Vaksin harus
selalu di up-date sesuai strain virus lokal dan mengikuti dinamika
molekuler (gen-gen) yang terjadi. Dengan terjadinya dinamika
molekuler virus avian influenza, penelitian virus ini akan selalu
berkembang sehingga metode dasar yang dikemukakan dalam
buku ini diharapkan dapat bermanfaat.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 141
DAFTAR PUSTAKA
Ali A, Avalos RT, Ponimaskin E, Nayak DP. 2000. Influenza virus
assembly : effect of influenza virus glycoproteins on the membrane association of M1 protein. J Virol 74: 8709-8719
Auewarakul P, Suptawiwat O, Kongchanagul A, Sangma C,
Suzuki Y, Ungchusak K, Louisirirotchanakul S, Lerdsamran H, Pooruk P, Thitithanyanont A, Pittayawonganon C, Guo C-T, Hiramatsu H, Jampangern W, Chunsutthiwat S, Puthavathana P. 2007. An avian influenza H5N1 virus that binds to a human-type receptor. J Virol 81: 9950-9955
Bae SH, Cheong HK, Lee JH, Cheong C, Kainosho M, Choi BS.
2001. Structural features of an influenza virus promoter and their implications for viral RNA synthesis. Proc Natl Acad Sci USA 98: 10602-10607
Beato MS, Toffan A, Nardi R De, Cristalli A, Terregino C, Cattoli
G, Capua I. 2007. A conventional, inactivated oil emulsion vaccine suppresses shedding and prevents viral meat colonisation in commercial (Pekin) ducks challenged with HPAI H5N1. Vaccine 25: 4054-4072
Belshe RB. 2005. The origins of pandemic influenza-lesson from
the 1918 virus. N Engl J Med 353: 2209-2211 Bender C, Hall H, Huang J, Klimov A, Cox N, Hay A, Gregory V,
Cameron K, Lim W & Subbarao K. 1999. Characterization of the Surface Proteins of Influenza A (H5N1) Viruses Isolated from Humans in 1997–1998. Virology 254 (1): 115-123
Berkoff EGM, Wit E de, Geelhoed-Mieras MM, Boon ACM,
Symons J, Faouchier RAM, Osterhaus ADME, Rimmelzwaan GF. 2005. Functional constraints of influenza A virus epitopes limit escape from cytotoxic T lymphocytes. J Virol 79: 11239-11246
Brown EG, Liu H, Kit LC, Baird S, Nesrallah M. 2001. Pattern of
mutation in the genome of influenza A virus on adaptation to
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 142
increased virulence in the mouse lung: identification of functional themes. Proc Natl Acad Sci USA 98: 6883-6888
Bui M, Wills EG, Helenius A, and Whittaker GR. 2000. Role of the
influenza virus M1 Protein in nuclear export of viral ribonucleoproteins. J Virol 74: 1781-1786
Bui M, Whittaker G, Helenius A.1996. Effect of M1 protein and low
pH on nuclear transport of influenza virus ribonucleoproteins. J Virol 70:8391-401
Bush RM, Bender CA, Subbarao K, Cox NJ, Fitch WM. 1999.
Predicting the evolution of human influenza A. Science 286: 1921-1925
Buxton BC, Katz JM, Seto WH, Chan PK, Tsanq D, Ho W, Mak
KH, Lim W, Tam JS, Clarke M, Williams SG, Mounts AW, Bresee JS, Conn LA, Rowe T, Hu-Primmer J, Abernathy RA, Lu X, Cox NJ, Fukuda K. 2000. Risk of influenza A (H5N1) infection among healt care workers exposed to patients with influenza A (H5N1) HongKong. J Infect Dis 181: 344-348
Campitelli L, Ciccozzi M, Salemi M, Taglia F, Boros S, Donatelli I,
Rezza G. 2006. H5N1 influenza virus evolution: a comparison of different epidemics in birds and humans (1997-2004). J Gen Virol 87: 955-960
Capua I, Marangon S. 2006. Control of avian influenza in poultry.
Emerg Infec Dis 12: 1-2 Cauthen AN, Swayne DE, Schultz-Cherry S, Perdue ML, Suarez
DL. 2000. Continued circulation in China of highly pathogenic avian influenza viruses encoding the hemagglutinin gene associated with the 1997 H5N1 outbreak in poultry and humans. J Virol 74: 6592-6599
CDC Control Diseases Center. 2007. Avian influenza infection in
humans. http://www.cdc.gov/ 30 Mei 2007
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 143
Chan PK. 2002. Outbreak of Avian Influenza A (H5N1) Virus Infection in Hong Kong in 1997. Clin Infect Dis 34:S58-64
Chazal N, Gerlier D. 2003. Virus entry, assembly, budding, and
membrane rafts. Microbiol Mol Biol Rev 67: 226-237 Chen H, Smith GJD, Li KS, Wang J, Fan XH, Rayner JM,
Vijaykrishna D, Zhang JX, Zhang LJ, Guo CT, Cheung CL, Xu KM, Duan L, Huang K, Qin K, Leung YHC, Wu WL, Lu HR, Chen Y, Xia NS, Naipospos TSP, Yuen KY, Hassan SS, Bahri S, Nguyen TD, Webster RG, Peiris JSM, Guan Y. 2006. Establishment of multiple sublineages of H5N1 influenza virus in Asia: implications for pandemic control. Proc Natl Acad Sci USA 103: 2845-2850
Chen H, Deng G, Li Z, Tian G, Li Y, Jiao P, Zhang L, Liu Z,
Webster RG, Yu K. 2004. The evolution of H5N1 influenza viruses in ducks in southern China. Proc Natl Acad Sci USA 101: 10452-10457
Clavijo A, Tresnan DB, Jolie R. Zhou EM. 2002. Comparison of
embrionated chicken eggs with MDCK cell culture for the isolation of swine influenza virus. Can J Vet Res 66: 117-121
Coleman JR. 2007. The PB1-F2 protein of influenza A virus:
increasing pathogenecity by disrupting alveolar macrophages. Virology 4: 1-5
Conenello GM, Zamarin D, Perrone LA, Tumpey T, Palese P.
2007. A single mutation in the PB1-F2 of H5N1 (HK/97) and 1918 influenza A viruses contributes to increased virulence. PLoS Pathog 3(10): e141.
Creelan JL, Graham DA, McCullough SJ. 2002. Detection and
differentiation of pathogenecity of avian paramixovirus serotype 1 from field cases using one-step reverse transcriptase-polymerase chain reaction. Avian Pathol 31: 493-499
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 144
Cros JF, Garcia-sastre A, Palese P. 2005. An unconventional
NLS is critical for the nuclear import of the influenza A virus nucleoprotein and ribonucleoprotein. Traffic 6: 205-213
Cross KJ, Wharton SA, Shekel JJ, Wiley DC, Steinhauer DA.
2001. Studies on influenza hemagglutinin fusion peptide mutants generated by reverse genetics. EMBO J 20: 4432-4442
Crow M, Deng T, Addley M, Brownlee GG. 2004. Mutation
analysis of the influenza virus cRNA promoter and identification of nucleotides critical for replication. J Virol 78: 6263-6270
Cullen BR. 2000. Nuclear RNA export pathways. Mol Cell Biol 20:
4181-4187 [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Data kasus flu brung di
Indonesia sampai dengan tanggal 24 Januari 2008. http://www.ppmplp.depkes.go.id/. [24 Januari 2008]
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012.
Update Perkembangan Kasus Avian Influenza (AI) pada Unggas Kondisi s/d 30 September 2012. http://ditjennak.deptan.go.id. Diakses 21 November 2012.
Elton D, Simpson-Holley M, Archer K, Medcalf L, Hallam R,
McCauley J, Digard P. 2001. Interaction of the influenza virus nucleoprotein with the cellular CRM1-mediated nuclear export pathway. J Virol 75: 408-419
[FKH IPB] Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
2006. Kajian karakter virus avian influenza pada unggas air sebagai dasar pengendalian penyakit Avian Influenza (AI). Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Departemen Pertanian dan FKH IPB. Bogor: FKH IPB; 2006
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 145
Feare CJ, Yasue M. 2006. Asymptomatic infection with highly pathogenic avian influenza H5N1 in wild birds: how sound is the evidence? Virology 3: 96-100
Fechter P, Mingay L, Sharps J, Chambers A, Fodor E, Brownlee
GG. 2003. Two aromatic residues in the PB2 subunit of influenza A RNA polymerase are crucial for cap binding. J Biol Chem 278 (22): 20381–20388
Fernandez-Sesma A, Marukian S, Ebersole BJ, Kaminski D, Park MS, yuen T, Sealfon SC, Garcia-Sastre A, Moran TM. 2006. Influenza virus evades innate and adaptive immunity via the NS1 protein. J Virol 80: 6295-6304
Flory E, Kunz M, Scheller C, Jassoy C, Stauber R, Rapp UR,
Ludwig S. 2000. Influenza virus-induced NF-кB-dependent gene expression is mediated by overexpression of viral proteins and involves oxidative radicals and activation of IкB kinase. J Biol Chem 275: 8307-8314
Fouchier RAM, Munster VJ, Keawcharoen J, Osterhaus ADME,
Kuiken T. 2007. Virology of avian influenza in relation to wild birds. Journal of Wildlife Disease 43: S7-S14
Fouchier RAM, Munster V, Wallensten A, Bestebroer TM, Herfst
S, Smith D, Rimmelzwaan Olesen B, Osterhaus ADME. 2005. Characterization of a novel influenza A virus hemagglutinin subtype (H16) obtained from black-headed gulls. J Virol 79: 2814-2822
Gambaryan A, Tuzikov A, Pazynina G, Bovin N, Balish A, Klimov
A. 2006. Evolution of the receptor binding phenotype of influenza A (H5) viruses. Virology 344: 432-438
Garcia-Sastre A. 2006. Antiviral response in pandemic influenza
viruses. Emerg Infect Dis 12: 44-47 Garmory HS, Brown KA, Titball RW. 2003. DNA vaccines:
improving expression of antigens. Genetic Vaccines and Therapy. 1(2): 1479-86
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 146
Garoff H, Hewson R, Opstelten DE. 1998. Virus maturation by budding. Microbiol Mol Biol Rev 62: 1171-1190
Gibbs JS, Malide D, Hornung F, Bennink JR, Yewdell JW. 2003.
The Influenza A Virus PB1-F2 Protein Targets the Inner Mitochondrial Membrane via a Predicted Basic Amphipathic Helix That Disrupts Mitochondrial Function . J. Virol. 77(13): 7214-7224
Gilbert M, Chaitaweesub P, Parakamawongsa T, Premashthira S,
Tiensin T, Kalpravidh W, Wagner H, Slingenbergh J. 2006. Free-grazing ducks and highly pathogenic avian influenza, Thailand. Emerg Infect Dis 12: 56-62
Glaser L, Stevens J, Zamarin D, Wilson IA, Garcia-Sastre A,
Tumpey TM, Basler CF, Taubenberger JK, Palese P. 2005. A single amino acid substitution in 1918 influenza virus hemagglutinin changes receptor binding specificity. J Virol 79: 11533-11536
Gomez-Puertas P, Albo C, Perez-Pastrana E, vivo A, Portela A.
2000. Influenza virus matrix protein is the major driving force in virus budding. J Virol 74: 11538-11547
Gonzales S, Ortin J. 1999. Distinct regions of influenza virus PB1
polymerase subunit recognize vRNA and cRNA templates. EMBO J 18: 3767-3775
Guan Y, Peiris M, Kong KF, Dyrting KC, Ellis TM, Sit T, Zhank LJ,
Shortridge KF. 2002. H5N1 influenza viruses isolated from geese in southeastern Cina: evidence for genetic reassortment and interspecies transmission to duck. Virology 292: 16-23
Guan Y, Poon LLM, Cheung CY, Ellis TM, Lim W, Lipatov AS,
Chan KH, Sturm-Ramirez KM, Cheung CL, Leung YHC, Yuen KY, Webster RG, Peiris JSM. 2004. H5N1 influenza: A protean pandemic threat. Proc Natl Acad Sci USA 101: 8156-8161
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 147
Guan Y, Shortridge KF, Krauss S, Webster RG.1999. Molecular characterization of H9N2 influenza viruses: Were they the donors of the "internal" genes of H5N1 viruses in Hong Kong? J Virol 96: 9363-9367
Guo CT, Takahashi N, Yagi H, Kato K, Takahashi T, Yi SQ, Chen
Y, Ito T, Otsuki K, Kida H, Kawaoka Y, Hidari KIPJ, Miyamoto D, Suzuki T, Suzuki Y. 2007. The quail and chicken intestine have sialyl-galactose sugar chains responsible for the binding of influenza A viruses to human type receptors. Glycobiology 17: 713-724
Hale BG, Jackson D, Chen YH, Lamb RA, Randall RE. 2006. Influenza A virus NS1 protein binds p85β and activates phosphatiylinositol-3-kinase signaling. Proc Natl Acad Sci USA 103: 14194-14199
Hanson BA, Stallknecht DE, Swayne DE, Lewis LA, Senne DA.
2003. Avian influenza in Minnesota ducks during 1998-2000. Avian Dis 47: 867-871
Hara K, Schmidt FI, Crow M, Brownlee GG. 2006. Amino acid
residues in the N-terminal region of the PA subunit of influenza A virus RNA polymerase play a critical role in protein stability, endonuclease activity, cap binding and virion RNA promoter binding. J Virol 80: 7789-7798
Harris A, Cardone G, Winkler DC, Heymann JB, Brecher M, White
JM, Steven A. 2006. Influenza virus pleiomorphy characterizad by cryoelectron tomography. Proc Natl Acad Sci USA 103: 19123-19127
Harvey R, Martin ACR, Zambon M, Barclay WS. 2004. Restriction
to the adaptation of influenza A virus H5 hemagglutinin to the human host. J Virol 78: 502-507
Hatta M, Gao P, Halfmann P & Kawaoka Y. 2001. Molecular basis
for high virulence of Hong Kong H5N1 influenza A viruses. Science 293: 1840–1842.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 148
Hayden FG. 2006. Antiviral resistance in influenza viruses-implications for management and pandemic response. N Engl J Med 354: 785-788
Hoffmann E, Lipatov AS, Webby RJ, Govorkova AE, Webster RG.
2005. Role of Specific hemagglutinin amino acids in the immunogenicity and protection of H5N1 Influenza virus vaccines. Proc Natl Acad Sci USA 102: 12915-12920
Hoffmann E, Stech J, Guan Y, Webster RG, Perez DR. 2001.
Universal primer set for the full-length amplification of all influenza A viruses. Arch Virol 146: 2275-2289
Honda A, Mizumoto K, Ishihama A. 2002. Minimum molecular
architectures for transcription and replication of the influenza virus. Proc Natl Acad Sci USA 99: 13166-13171
Honda A, Mizumoto K, Ishihama A. 1999. Two separate
sequences of PB2 subunit constitute the RNA cap-binding site of influenza virus RNA polymerase. Genes Cells. 4: 475-485.
Horimoto T, Kawaoka Y. 2005. Influenza: Lessons from past
pandemics, warnings from current incidents. Nature Rev 3: 591-598
Horimoto T, Kawaoka Y. 2001. Pandemic threat posed by avian
influenza A viruses. Clin Microbiol Rev 14: 129-149 Horimoto T, Nakayana K, Smeekens SP, Kawaoka Y. 1994.
Proprotein-processing endoproteases PC6 and furin both activate hemagglutinin of virulent avian influenza viruses. J Virol 68: 6074-6078
Hulse DJ, Webster RG, Russell RJ, Perez DR. 2004. Molecular
determinants within the surface proteins involved in the pathogenicity of H5N1 influenza viruses in chickens. J Virol 78: 9954-9964
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 149
Hulse-Post DJ, Sturm-Ramirez KM, Humberd J, Seiler P, Govorkova EA, Krauss S, Scholtissek C, Puthavathana P, Buranathai C, Nguyen TD, Long HT, Naipospos TSP, Chen H, Ellis TM, Guan Y, Peiris JSM, Webster RG.. 2005. Role of domestic ducks in the propagation and biological evolution of highly pathogenic H5N1 influenza viruses in Asia. Proc Natl Acad Sci USA 102: 10682-10687
Ibrecevich A, Pekosz A, Walter MJ, Newby C, Battaile JT, Brown
EG, Holtzman MJ, Brody SL. 2006. Influenza virus receptor specificity and cell tropism in mouse and human airway epithelial cells. J Virol 80: 7469-7480
[ICTV] International Commite on Taxonomy of Viruses. 2006.
http://www.ncbi.nlm.nih. /ICTVdb/ . [14 April 2006].
Ilyushina NA, Bovin NV & Webster RG. 2012. Decreased
neuraminidase activity is important for the adaptation of H5N1 influenza virus to human airway epithelium. J Virol 86(9):4724-33
Ilyushina NA, Seiler JP, Rehg JE, Webster RG, Govorkova EA.
2010. Effect of Neuraminidase Inhibitor–Resistant Mutations on Pathogenicity of Clade 2.2 A/Turkey/15/06 (H5N1) Influenza Virus in Ferrets. PLoS Pathog 6(5): e1000933
Ito T, Couceiro JNSS, Kelm S, Baum LG, Krauss S, Castrucci
MR, Donatelli I, Kida H, Paulson JC, Webster RG, Kawaoka Y. 1998. Molecular basis for the generation in pigs of influenza A viruses with pandemic potential. J Virol 72: 7367-7373
Ito T, Suzuki Y, Takada A, Kawamoto A, Otsuki K, Masuda H,
Yamada M, Suzuki T, Kida H, Kawaoka Y. 1997. Differences in sialic acid-galactose linkages in the chiken egg amnion and allantois influence human influenza virus receptor specificity and variant selection. J Virol 71: 3357-3362
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 150
Jia D, Rahbar R, Chan RWY, Lee SMY, Chan MCW, Wang BX,
Baker DP, Sun B, Peiris JSM, Nicholls JM, Fish EN. 2010.
Influenza Virus Non-Structural Protein 1 (NS1) Disrupts
Interferon Signaling. Plos.One 5(11): e13927
Jin H, Lesser GP, Lamb RA. 1994. The influenza virus
hemagglutinin cytoplasmic tail is not essential for virus assembly or infectivity. EMBO J 13: 5504-5515
Jin H, Lesser G, Lamb RA. 1997. Influenza virus hemagglutinin
and neuraminidase cytoplasmic tails control particle shape. EMBO J 16: 1236-1247
Jong de JC, Beyer WE, Palache AM, Rimmelzwaan GF,
Osterhaus AD. 2000. Mismatch between the 1997/1998 influenza vaccine and the major epidemic A (H3N2) virus strain as the cause of an inadequate vaccine-induced antibody response to this strain in the elderly. J Med Virol 61: 94-99
Jong de MD, Tran TT, Truong HK, Vo MH, Smith GJ, Nguyen VC,
Bach VC, Phan TQ, Do QH, Guan Y, Peiris JS, Tran TH, Farrar J. 2005. Oseltamivir resistance during treatment of influenza A (H5N1) infection. N Eng J Med 353 (25): 2667-72
Jung TE, George G. Brownlee GG. 2006. A new promoter-binding
site in the PB1 subunit of the influenza A virus polymerase. J Gen Virol 87(3): 679-688
Kalthoff D, Globig A, Beer M. 2010. (Highly pathogenic) avian
influenza as a zoonotic agent. Veterinary Microbiology 140 : 237–245
Kandun I N, Wibisono H, Sedyaningsih ER, Yusharmen,
Hadisoedarsuno W, Purba W, Santoso H, Septiawati C, Tresnaningsih E, Heriyanto B, Yuwono D, Harun S, Soeroso S, Giriputra S, Blair PJ, Jeremijenko A, Kosasih H, Putnam
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 151
SD, Samaan G, Silitonga M, Chan KH, Poon LLM, Lim W, Klimov A, Lindstrom S, Guan Y, Donis R, Katz J, Cox N, Peiris M, Uyeki TM. 2006. Three Indonesian clusters of H5N1 virus infection in 2005. N Engl J Med 355: 2186-2194
Kanegae Y, Sugita S, Endo A, Ishida M, Senya S, Osaka K,
Nerome K. & Oya A. 1990. Evolutionary pattern of the haemagglutinin gene of in¯uenza B viruses isolated in Japan : cocirculating lineages in the same epidemic season. J Virol 64: 2860-2865
Keawcharoen J, Amonsin A, Oraveerakul K, Wattanodorn S,
Papravasit T, Karnda S, Lekakul K, Pattanarangsan R, Noppornpanth S, Fouchier RA, Osterhaus AD, Payungporn S, Theamboonlers A, Poovorawan Y. 2005. Characterization of the hemagglutinin and neuraminidase genes of recent influenza virus isolates from different avian species in Thailand. Acta Virol. 49(4):277-80
Khawaja JZ, Naeem K, Ahmed Z, Ahmad S. 2005. Surveillance of
avian influenza Viruses in wild birds in areas adjacent to epicenter of an out break in Federal Capital Territory of Pakistan. Int J Poultry Sci 4: 39-43
Kim JA, Ryu SY, Seo SH. 2005. Cells in the respiratory and intestinal tracts of chicken have different proportions of both human and avian influenza virus receptors. J Microbiol 43: 366-369
Kilpatrick AM, Chmura AA, Gibbons DW, Fleischer RC, Marra PP,
Daszak P. 2006. Predicting the global spread of H5N1 avian influenza. Proc Natl Acad Sci USA 103: 19368-19373
Kishida N, Sakoda Y, Isoda N, Matsuda K, Eto M, Sunaga Y,
Umemura T, Kida H. 2005. Pathogenicity of H5 influenza viruses for ducks. Arch Virol. 150:1383-1392.
Klumpp K, Ruigrok RW, Baudin F. 1997. Roles of the influenza
virus polymerase and nucleoprotein in forming a functinal RNP structure. EMBO J 16: 1246-1257
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 152
Kobasa D, Wells K, Kawaoka Y. 2001. Amino acids responsible for the absolute sialidase activity of the influenza A virus neuraminidase: relationship to growth in the duck intestine. J Virol 75: 11773-11780
Kuiken T, Holmes EC, McCauley J, Rimmelzwaan GF. Williams
CS, Grenfell BT. 2006. Host species barriers to influenza virus infections. Science 312: 394-397
Kumar S, Tamura K, Nei M. 2004. MEGA 3: Integrated software
for molecular evolutionary genetics analysis and sequence alignment. Briefings in Bioinformatics 5: 150-163
Lamb R. 1989. Genes and Protein of The Influenza Viruses. In :
The Influenza Viruses. Krug RM New York. Plenum Press 1-67.
Lamb RA & RM Krug. 2001. Orthomyxoviridae: the viruses and
their replication. In: Fields Virology. Knipe DM & PM Howley (Eds). Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
Lavner Y, Kotlar D. 2005. Codon bias is a factor in regulating
expression via translation efficiency in the human genome. Tel-Hai Academic College. http://www.iscb.org/ismb/ [27 Mei 2006]
Lee MS, Chang PC, Shien JH, Cheng MC, Shieh HK. 2001.
Identification and subtyping of avian influenza viruses by reverse trascription-PCR. J Virol Methods 97: 13-27
Lee DCW, Cheung CY, Law AHY, Mok CKP, Peiris M, Lau ASY.
2005. p38 mitogen-activated protein kinase-dependent hyperinduction of TNFα expression inresponse to avian influenza virus H5N1. J Virol 79: 10147-10154
Leung FC. 2007. Avian H5N1 is still an animal virus. Di dalam:
Zhou J & Yan H, editor. The 15th World Veterinary Poultry Congress Abstract Book. Beijing 11-14 September 2007: 42-52
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 153
Li J, Li Y, Hu Y, Chang G, Sun W, Yang Y. 2011. PB1-mediated virulence attenuation of H5N1 influenza virus in mice is associated with PB2. J Gen Virol 92: 1435–1444
Li KS, Y. Guan, J.Wang, GJ. Smith, KM. Xu, L. Duan, AP.
Rahardjo, P. Puthavathana, C. Buranathai, TD. Nguyen, AT. Estoepangestie, A. Chaisingh, P. Auewarakul, HT.Long, NT.Hanh, RJ. Webby, LL. Poon, H. Chen, KF.Shortridge, KY.Yuen, RG.Webster, JS. Peiris. 2004. Genesis of a highly pathogenic and potentially pandemic H5N1 influenza virus in eastern Asia. Nature 430:209-213
Li KS, Xu KM, Peiris JSM, Poon LLM, Yu KZ, Yuen KY,
Shortridge KF, Webster RG, Guan Y. 2003. Characterization of H9 subtype influenza viruses from the ducks of Southern China: a candidat for the next influenza pandemic in humans? J Virol 77: 6988-6994
Li Z, H. Chen, P. Jiao, G. Deng, G. Tian, Y. Li, R. Hoffmann, RG.
Webster, Y. Matsuoka, dan K. Yu. 2005. Molecular basis of replication of duck H5N1 influenza viruses in a mammalian mouse model. J Virol 79: 12058-12064
Li Z, Jiang Y, Jiao P, Wang A, Zhao F, Tian G, Wang X, Yu K, Bu
Z, Chen H. 2006. The NS1 Gene Contributes to the Virulence of H5N1 Avian Influenza Viruses. J. Virol 22 : 11115 – 11123
Li ML, Rao P, and Krug RM. 2001. The active sites of the
influenza cap-dependent endonuclease are on different polymerase subunits. EMBO J. 20(8): 2078–2086
Lindstrom SE, Hiromoto Y, Nishimura H, Saito T, Nerome R &
Nerome K. 1999. Comparative analysis of evolutionary mechanisms of the hemagglutinin and three internal protein genes of in¯uenza B virus : multiple cocirculating lineages and frequent reassortment of the NP, M and NS genes. J Virology 73: 4413-4426.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 154
Lipatov AS, Andreansky S, Webby RJ, Hulse DJ, Rehg JE, Krauss S, Perez DR, Doherty PC, Webster RG, Sangster MY. 2005. Pathogenesis of Hongkong H5N1 Influenza Virus NS Gene Reassortants in Mice: The Role of Cytokines and B- and T- Cell Responses. J Gen Virol 86 : 1121-1130
Liu JP. 2005. Avian Influenza-A Pandemic Waiting to Happen?. J
Microbiol Immunol Infect. 39:4-10. Liu M, Guan Y, Peiris M, He S, Webby RJ, Perez D, Webster RG.
2003. The quest of influenza A virus for new host. Avian Dis 47: 849-856
Lu B, Zhou H, Ye D, Kemble G, Jin H. 2005. Improvement of
influenza A/Fujian/411/02 (H3N2) virus growth in embrionated chicken eggs by balancing the hemagglutinin and neuraminidase activities, using reverse genetics. J Virol 79: 6763-6771
Luo G, Chung J & Palese P. 1993. Alterations of the stalk of the
influenza virus neuraminidase: deletions and insertions. Virus Res. 29: 141-153
Maines TR, Lu XH, Erb SM, Edwards L, Guarner J, Greer PW,
Nguyen DC, Szretter KJ, Chen LM, Thawatsupha P, Chittaganpitch M, Waicharoen S, Nguyen DT, Nguyen T, Nguyen HHT, Kim JH, Hoang LT, Kang C, Phuong LS, Lim W, Zaki S, Donis RO, Cox NJ, Katz JM, Tumpey TM. 2005. Avian influenza (H5N1) viruses isolated from human in Asia 2004 exhibit increased virulence in mammals. J Virol 79: 11788-11800
Matrosovich M, Zhou N, kawaoka Y & Webster R. 1999. The
surface glycoprotein of H5 influenza viruses isolated from human, chickens and wild aquatic birds have distinguishable properties. J. Virol. 73: 1146-115
Matrosovich MN, Tuzikov A, Bovin N, Gambaryan A, Klimov A,
Castrucci MR, Donatelli I, Kawaoka Y. 2000. Early alteration of the receptor-binding properties of H1, H2 and H3 avian
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 155
influenza virus hemagglutinins after their introduction into mammals. J Virol 74: 8502-8512
Min JY, Krug RM. 2006. The primary function of RNA binding by
the influenza A virus NS1 protein in infected cells: inhibiting the 2‟-5‟ oligo (A) synthetase/RNase L pathway. Proc Natl Acad Sci USA 103: 7100-7105
Mishin VP, Novikov D, Hayden FG, Gubareva LV. 2005. Effect of
hemagglutinin glycosylation on influenza virus susceptibility to neuraminidase inhibitors. J Virol 79: 12416-12424
Moscona A. 2005a. Neuraminidase inhibitors for Influenza. N Eng
J Med 353: 1363-1373 Moscona A. 2005b. Oseltamifir Resistance-Disabling Our
Influenza Defense. N Eng J Med 353: 25 Munch M, Nielsen LP, Handberg KJ, Jorgensen PH. 2001.
Detection and subtyping (H5 and H7) of avian type A influenza virus by reverse transcription-PCR and PCR-ELISA. Arch Virol 146: 87-97
Murakami M, Takae T, Masanoku O, Mayumi S, Miyoko A, Yuushi
O, Parry MAA, Kido H. 2001. Mini-plasmin found in the epithelial cells of bronchioles triggers infection by broad-spectrum influenza A viruses and Sendai virus. Eur J Biochem 268: 2847-2855
Murphy BR & Webster R. 1996. Orthomyxoviruses. In
FieldsVirology. 3rd ed. Edited by BN Fields, DM Knipe & PM Howley. Philadelphia : Lippincott-Raven.
Nakajima K, Nobusawa E, Tonegawa K, Nakajima S. 2003. Restriction of amino acid change in influenza A virus H3HA: comparison of amino acid changes observed in nature and in vitro. J Virol 77: 10088-10098
Nerome R, Hiromoto Y, Sugita S, Tanabe N, Ishida M, Matsumoto
M, Lindstrom SE, Takahashi T & Nerome K. 1998. Evolutionary characteristics of influenza B virus since its first
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 156
isolation in 1940: dynamic circulation of deletion and insertion mechanism. Arch Virol 143: 1569-1583.
Neumann G, Hughes MT, Kawaoka Y. 2000. Influenza A virus
NS2 protein mediates vRNP nuclear export through NES-independent interaction with hCRM1. EMBO J 19: 6751-6758
Nga NTB, Van LTH & Hoa LT. 2011. Characterization of the
neuraminidase (NA) polypeptide of the avian influenza virus A/H5N1 strains in poultry collected during 2004 - 2009 in Vietnam. J Biotechnol 9(1): 47-54
OIE Office international des Epizooties. 2004. Manual of diagnostic test and vaccines for terrestrial animal. Avian
Influenza. 5th Edition. http://www.oie.int/ 21 Oktober 2006
OIE Office international des Epizooties. 2005. Update on avian influenza viruses, including highly pathogenic H5N1 from poultry in live bird market in Hanoi, Vietnam in 2001. J Virol 79: 4201-4212
Olsen B, Munster VJ, Wallensten A, Waldenstrom J, Osterhaus
ADME, Fouchier RAM. 2006. Global patterns of influenza A virus in wild birds. Science 312: 384-388
Ozawa M, Fujii K, Muramoto Y, Yamada S, Yamayoshi S, Takada
A, Goto H, Horimoto T, Kawaoka Y. 2007. Contributions of two nuclear localization signals of influenza A virus nucleoprotein to viral replication. J Virol 81:30-41
Payungporn S, Phakdeewirot P, Chutinimitkul S, Theamboonlers
A, Keawcharoen J, Oraveerakul K, Amonsin A, Poovororawan Y. 2004. Single-step multiplex reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) for influenza A virus subtype H5N1 detection. Viral Immunol 17: 588-593
Peiris JS, Yu WC, Leung CW, Cheung CY, Ng NF, Nicholls JM,
Ng TK, Chan KH, Lai ST, Lim WL, Yuen YY, Guan Y. 2004.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 157
Re-Emergence of Fatal Human Influenza A Subtype H5N1 Disease. Lancet 363:617-619.
Pena L, Vincent AL, Loving CL, Henningson JN, Lager KM, Li W,
Perez DR. 2012. Strain-dependent Effects of PB1-F2 of Triple Reassortant H3N2 Influenza Viruses in Swine. J Gen Virol
Perez DR, lim W, Seiler JP, Yi G, Peiris M, Shortridge KF,
Webster RG. 2003. Role of quail in the interspecies transmission of H9 influenza A viruses: molecular changes on HA that correspond to adaptation from ducks to chickens. J. Virol. 77: 3148-3156
Pinto LH, Holsinger LJ, Lamb RA. 1992. Influenza virus M2
protein has ion channel activity. Cell 69:517-28. Plotkin JB, Dushoff J. 2003. Codon bias and frequency-
dependent selection on the hemagglutinin epitopes of influenza A virus. Proc Natl Acad Sci USA 100: 7152-7157
Plotkin JB, Dushoff J, Levin SA. 2002. Hemagglutinin sequence
clusters and the antigenic evolution of influenza A virus. Proc Natl Adac Sci USA 99: 6263-6268
Portela A, Digard P. 2002. The influenza virus nucleoprotein: a
multifunctional RNA-binding protein pivotal to virus replication. J Gen Virol 83: 723-734
Quinlivan M, Zamarin D, Garcia-Sastre A, Cullinane A, Chambers
T & Palese P. 2005. Attenuation of Equinine Influenza Viruses through Truncations of the NS1 Protein. J. Virol. 79 : 8431 – 8439.
Rajakumar A, Swierkosz EM, Schulze IT. 1990. Sequence of an
influenza virus hemagglutinin determined directly from a clinical sample. Proc Natl Acad Sci USA 87: 4154-4158
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 158
Rao P, Yuan W, Krug RM. 2003. Crucial role of CA cleavage sites
in the cap-snatching mechanism for initiating viral mRNA synthesis. EMBO J 22: 1188-1198
Reina J, Fernandez-Baca V, Blanco I, Munar M. 1997.
Comparison of Madin-Darby Kidney Cells (MDCK) with a Green Monkey Continuous Cell Line (Vero) and Human Lung Embryonated Cells (MRC-5) in isolation of influenza A virus fron nasopharyngeal aspirates by shell vial culture. J Clin Microbiol 35: 1900-1901
Roberts PC, Compans RW. 1998. Host cell dependence of viral
morphology. Proc Natl Acad Sci USA 95: 5746-5751 Rota PA, Wallis TR, Harmon MW, Rota JS, Kendal AP & Nerome
K. 1990. Cocirculation of two distinct evolutionary lineages of in¯uenza type B virus since 1983. Virology 175: 59-68.
Rota PA, Hemphill ML, Whistler T, Regnery HL. & Kendal A P.
1992. Antigenic and genetic characterization of the haemagglutinins of recent cocirculating strains of in¯uenza B virus. J Gen Virol 73: 2737-2742.
Rowe T, Cho DS, Bright RA, Zitzow LA, Katz JM. 2003.
Neurological manifestations of avian influenza viruses in mammals. Avian Dis 47:1122-1126.
Ruigrok RWH, Barge A, Durrer P, Brunner J, Ma K, Whittaker GR.
2000. Membrane interaction of influenza virus M1 protein. Virology 267: 289-298
Russell CJ & Webster RG. 2005. The genesis of a pandemic
influenza virus. Cell 123:368-371 Sandri-Goldin RM. 2004. Viral regulation of mRNA export. J Virol
78: 4389-4396 Satterly N, Tsai PL, van Deursen J, Nussenzveig DR, Wang Y,
Faria PA, Levay A, Levy DE, Fontoura BMA. 2007.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 159
Influenza virus targets the mRNA export machinery and the nuclear pore complex. Proc Natl Acad Sci USA 104: 1853-1858
Scannon PJ. 2006. Pharmaceutical preparedness for a pandemic:
H5N1 may be the first real test of rapid pharmaceutical response to a pandemic. Bridge 36: 10-16
Schmolke M, Manicassamy B, Pena L, Sutton T, Hai R, Varga ZT,
Hale BG, Steel J, Pérez DR, García-Sastre A. 2011.
Differential Contribution of PB1-F2 to the Virulence of Highly
Pathogenic H5N1 Influenza A Virus in Mammalian and
Avian Species. PLoS Pathog 7(8): e1002186.
Sedyaningsih ER, Isfandari S, Setiawaty V, Rifati L, Harun S,
Purba W, Imari S, Giriputra S, Blair PJ, Putnam SD, Uyoki TM, Soendoro T. 2007. Epidemiology of cases of H5N1 virus infection in Indonesia, July 2005-June 2006. J Infect Dis 196: 522-527
Seo SH, Hoffmann E, Webster RG. 2002. Lethal H5N1 influenza
viruses escape host anti-viral cytokine responses. Nat Med 8: 950–954
Seo SH, Hoffmann E, Webster RG. 2004. The NS1 Gene of
H5N1Influenza Viruses Circumvents the Host Anti-Viral Cytokines Responses. Virus Res 103 : 107 – 113
Shih ACC, Hsiau TC, Ho MS, Li WH. 2007. Simultaneous amino
acid substitutions at antigenic site drive influenza A hemagglutinin evolution. Proc Natl Acad Sci USA 104: 6283-6288
Shortridge KF. 1997. Poultry ang the influenza H5N1 outbreak in
Hong Kong, 1997: abridged chronology and virus isolation. Vaccine 17: 826-829
Shinya K, S.Hamm, M. Hatta, H. Ito, T.Ito, Y. Kawaoka. 2004.
PB2 amino acid at position 627 affects replicative efficiency,
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 160
but not cell tropism, of Hong Kong H5N1 influenza A viruses in mice. Virology 320:258-266
Salomon R, Franks J, Govorkova EA, Ilyushina NA, Yen HL, Hulse-Post D J, Humberd J, Trichet M, Rehg JE & other authors. 2006. The polymerase complex genes contribute to the high virulence of the human H5N1 influenza virus isolate A/Vietnam/1203/04. J Exp Med 203: 689–697.
Solorzano A, Webby RJ, Lager KM, Janke BH, Garcia-Sastre A,
Richt JA. 2005. Mutation in the NS1 protein of swine influenza virus impair anti-interferon activity and confer attenuation in pigs. J Virol 79: 7535-7543
Songserm T, Jam-on R, Sae-Heng N, Meemak N, Hulse-Post DJ,
Sturm-Ramirez KM, Webster RG. 2006. Domestic ducks and H5N1 influenza epidemic, Thailand. Emerg Infec Dis 12: 575-581
Smith GDJ, Lapedes AS, Jong JC de, Bastebroer TM,
Rimmelzwaan GF, Osterhaus ADME, Fouchier RAM. 2004. Mapping the antigenic and genetic evolution of influenza virus. Science 305: 371-375
Smith GDJ, Naipospos TSP, Nguyen TD, Jong MD je, Vijaikrishna
D, Usman TB, Hassan SS, Nguyen TV, Dao TV, Bui NA, Leung YILC, Cheung CL, Rayner JM, Zhang JX, Zhang LJ, Poon LLM, Li KS, Nguyen VC, Hien TT, Farrar J, Webster RG, Chen H, Peiris JSM, Guan Y. 2006. Evolution and adaptation of H5N1 influenza virus in avian and human hosts in Indonesia and Vietnam. Virology 350: 258-268
Steel J, Lowen AC, Mubareka S & Palese P. 2009. Transmission
of Influenza Virus in a Mammalian Host Is Increased by PB2
Amino Acids 627K or 627E/701N. PLoS Pathog 5(1):
e1000252
Steinhaueur DA. 1999. Role of hemagglutinin cleavage for the
pathogenicity of influenza virus. Virology 258: 1-20
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 161
Stevens J, Blixt O, Tumpey TM, Taubenberger JK, Paulson JC,
Wilson IA. 2006. Structure and receptor specificity of the hemagglutinin from an H5N1 influenza virus. Science 312: 404-410
Sturm-Ramirez KM, Ellis T, Bousfield B, Bissett L, Dyrting K,
Rehg JE, Poon L, Guan Y, Peiris M, Webster RG. 2004. Reemerging H5N1 influenza viruses in Hong Kong in 2002 are highly pathogenic to ducks. J Virol 78: 4892-4901
Sturm-Ramirez KM, Hulse-Post DJ, Govorkova EA, Humberd J,
Seiler P, Puthuvanthana P, Burunathai C, Nguyen TD, Chaisingh A, Long HT, Naipospos TSP, Chen H, Ellis TM, Guan Y, Peiris JSM, Webster RG. 2005. Are ducks contributing to the endemicity of highly pathogenic H5N1 influenza virus in Asia? J Virol 79: 11269-11279
Stray SJ, Cummings RD, Air GM. 2000. Influenza virus infection
of desialylated cells. Glycobiology 10: 649-658 Susanti R. 2009. Pertumbuhan dan distribusi virus AI subtipe
H5N1 isolat unggas air pada Telur ayam berembrio. Laporan penelitian. Universitas Negeri Semarang
Susanti R. 2012a. Karakterisasi molekuler virus avian influenza
subtipe H5N1 asal manusia dan hewan di Indonesia. Laporan Penelitian. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Susanti R. 2012b. Karakterisasi molekuler gen NA virus avian
influenza subtipe H5N1 di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional MIPA. Semarang: 15 Desember 2012
Susanti R, Soejoedono RD, Mahardika IGNK, Wibawan IWT &
Suhartono MT. 2008a. Analisis molekuler gen penyandi hemaglutinin virus highly pathogenic avian influenza subtipe H5N1 isolat unggas air. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 13(3): 229-239
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 162
Susanti R, Soejoedono RD, Mahardika IGNK, Wibawan IWT &
Suhartono MT. 2008b. Isolasi dan identifikasi virus avian influenza subtipe H5N1 pada unggas air sehat di peternakan skala rumah tangga di Jawa Barat. Media Kedokteran Hewan 24(3): 139-146
Susanti R, Soejoedono RD, Mahardika IGNK, Wibawan IWT &
Suhartono MT. 2008c. Identification of pathogenecity of avian influenza virus subtype H5N1 from waterfowls base on amino acid sequence of cleavage site. Indonesian J Biotech 13 (2): 1069-1077
Susanti R, Soejoedono RD, Mahardika IGNK, Wibawan IWT & Suhartono MT. 2008d. Filogenetik dan struktur antigenik virus avian influenza subtipe H5N1 isolat unggas air. Jurnal Veteriner 9 (3): 99-106
Suzuki Y, Ito T, Suzuki T, Holland RE, Chambers TM, Kiso M,
Ishida H, Kawaoka Y. 2000. Sialic acid species as a determinant of the host range of influenza A viruses. J Virol 74: 11825-11831
Suzuki Y, Nei M. 2002. Origin and evolution of influenza virus
hemagglutinin genes. Mol Biol Evol 19: 501-509 Swayne DE. 2007. Changing face of avian influenza acology and
its control: from wild birds to poultry and back again. Di dalam: Zhou J & Yan H, editor. The 15th World Veterinary Poultry Congress Abstract Book. Beijing 11-14 September 2007: 98-104
Swayne De, Suarez DL. 2003. Biology of avian influenza
especially the change of low pathogenicity virus to high pathogenicity. Proc Latin Amarican Poultry congress. 7 Oktober 2003. http://www.ars.usda.gov/research/publications/publications.html/ [23 Maret 2006]
Szecsi J, Boson B, Johnsson P, Dupeyrot-Lucas P, Matrosovich
M, Klenk H-D, Klatzmann D, Volchkov V, Cosset F-L. 2006.
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 163
Induction of neutralising antibodies by virus-like particles harbouring surface protein from highy pathogenic H5N1 and H7N1 influenza viruses. Virology 3: 1-7
Talon J, Horvath CM, Polley R, Basler CF, Muster T, Palese P,
Garcia-Sastre A. 2000. Activation of interferon regulatory factor 3 is inhibited by the influenza A Virus NS1 protein. J Virol 74: 7989-7996
Taubenberger JK, Reid AH, Lourens RM, Wang R, Jin G, Fanning
TG. 2005. Characterization of the 1918 influenza virus polymerase genes. Nature 437: 889-893
Terregino C, Toffan A, Beato MS, De Nardi R, Drago A, Capua I.
2007. Conventional H5N9 vaccine supresses shedding in specific-pathogen-free birds challenged with HPAI H5N1 A/Chicken/Yamaguchi/7/2004. Avian Dis 51: 495-497
The Writing Committee of the World Health Organization (WHO)
Consultation of Human Inflenza A/H5. 2005. Avian influenza A (H5N1) infection in humans. N Engl J Med 353: 1374-1384
Thomas PG, Keating R, Hulse-Post DJ, Doherty PC. 2006. Cell-
mediated protection in influenza infection. Emerg Infect Dis 12: 48-53
Thompson CI, Barclay WS, Zambon MC, Pickles RJ. 2006.
Infection of human airway epithelium by human and avian strains of influenza A virus. J Virol 80: 8060-8068
Triyana SY, Asmara W, Wibawa T. 2010. Analisis Molekuler Gen
NS1 Virus Avian Influenza H5N1 yang Diisolasi dari Unggas Asal Purworejo Jawa Tengah dan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Biomedika 2(2): 81-91
Tumpey TM, Suarez DL, Perkins LEL, Senne DA, Lee J, Lee YJ,
Mo IP, Sung HW, Swayne DE. 2002. Characterization of a highly pathogenic H5N1 avian influenza A virus isolated from duck meat. J Virol 76: 6344-6355
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 164
Vines A, Wells K, Matrosovich M, Castrucci MR, Ito T, Kawaoka
Y. 1998. The role of influenza A virus hemagglutinin residues 226 and 228 in receptor specificity and host range restriction. J Virol 72: 7626-7631
Viseshakul N, Thanawongnuwech R, Amonsin A, Suradhat S,
Payungporn S, Keawchareon J, Oraveerakul K, Wongyanin P, Plitkul S, Theamboonlers A, Poovorawan Y. 2004. The Genome Sequence Analysis of H5N1 Avian Influenza A Virus Isolated from the Outbreak Amog Poultry Populations in Thailand. Virology 328 : 169-176
Voeten JT, Bestebroer TM, Nieuwkoop NJ, Fouchier AD,
Osterhaus AD, Rimmelzwaan GF. 2000. Antigenic drift in the influenza A virus (H3N2) nucleoprotein and escape from recognition by cytotoxic T lymphocytes. J Virol 74: 6800-6807
Vreede FT, Jung TE, Brownlee GG. 2004. Model suggesting that
replication of influenza virus is regulated by stabilization of replicative intermediates. J Virol 78: 9568-9572
Wagner R, Herwig A, Azzouz N, Klenk HD. 2005. Acylation-
mediated membrane anchoring of avian influenza virus hemagglutinin is essential for fusion pore formation and virus infectivity. J Virol 79: 6449-6458
Walker JA, Molloy SS, Thomas G, Sakaguchi T, Yoshida T,
Chambers TM, Kawaoka Y. 1994. Sequence specificity of furin, a proprotein-processing endoprotease for the hemagglutinin of a virulent avian influenza virus. J Virol 68: 1213-1218
Ward P, Small I, Smith J, Suter P, Dutkowski R. 2005. Oseltamivir
(Tamiflu) and its potential for use in the event of an influenza pandemic. J Antimicrob Chemother: 55
Weaver T. 2005. Avian influenza surveys in waterfowl part I: The
role of wild and domestic waterfowl in avian influenza
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 165
outbreaks in domestic poultry. NAHSS Outlook. February 2005. www.aphis.usda.gov/ [14 Juni 2005]
Webster RG. 2001. Science‟s compass: enhanced perspectives a
molecular whodunit. Science 293: 1773-1775 Webster RG, Bean WJ, Gorman OT, Chambers TM, Kawaoka Y.
1992. Evolution and ecology of influenza A viruses. Microbiol Rev 56: 152-179
Webster RG, Govorkova EA. 2006. H5N1-continuing evolution
and spread. N Engl J Med 355: 2174-2177 Webster RG, Krauss S, Hulse-Post D, Sturm-Ramirez K. 2007.
Evolution of influenza A viruses in wild birds. Journal of Wildlife Disease 43: S1-S6
Wherry EJ, Ahmed R. 2004. Memory CD8 T Cell differentiation
during viral infection. J Virol 78: 5535-5545 Whittaker GR. 2001. Intracellular trafficking of influenza virus:
Clinical implication for molecular medicine. Expert Reviews in Molecular Medicine. http://www.expertreviews. org/ [6 Desember 2006].
[WHO] World Health Organization. 2002. WHO manual on animal
influenza. Diagnosis and surveillance. http://www.who.int/. [12November 2004]
[WHO] World Health Organization. 2004. Avian influenza A
(H5N1): situation (poultry) in asia need for a long-term response, comparison with previous outbreaks. http://www.who.int/. [31 Oktober 2005]
[WHO] World Health Organization. 2005. Avian Influenza A
(H5N1) Infection in Humans. N Engl J Med. 353:1374-1385 [WHO] World Health Organization. 2005a. Recommended
laboratory tests to identify avian influenza A virus in specimens from humans. http://www.who.int/ [Juni 2005]
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 166
[WHO] World Health Organization Global Influenza Program
Surveilance Network. 2005b. Evolution of H5N1 avian influenza viruses in Asia. Emerg Infect Dis. 11:1515-1521
[WHO] World Health Organization. 2007. WHO interim protocol :
rapid operations to contain the initial emergence of pandemic influenza. http://www.who.int/ [October 2007]
[WHO] World Health Organization. 2008. Writing committee of
the second WHO consultation on clinical aspects of human infection with avian influenza A (H5N1) virus. Update on avian influenza A (H5N1) virus infection in Humans. N Eng J Med 358: 261-273
[WHO] World Health Organization. 2012. Cumulative number of
confirmed human cases of avian influenza A/(H5N1). http://www. who.int/. [24 Januari 2012]
[WHO] World Health Organization, OIE, FAO. 2005. Measures to
stop the spread of highly pathogenic bird flu as its source. http://www.ibdoc.who.int/ (12 September 2007)
Wu G, Freeland S. 2005. Quantifying unequal patterns of
synonymous codon usage. The CAI calculator. http://www.evolvingcode.net/codon/faq/CAI/ [ 10 Februari 2007]
Wu WWH, Sun YHB, Pante N. 2007. Nuclear import of influenza
A viral ribonucleoprotein complexes is mediated by two nuclear localization sequences on viral nucleoprotein. Virology 4: 49-50
Xing Z, Cardona CJ, Adams S, Sundaram NS. 2007.
Susceptibility and cytokine profiling of duck peripheral blood monocytic cells to low pathogenicity avian influenza virus H9N2. Di dalam: Zhou J & Yan H, editor. The 15th World Veterinary Poultry Congress Abstract Book. Beijing 11-14 September 2007: 132
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 167
Xu C, Hu WB, Xu K, He YX, Wang TY, Chen Z, Li TX, Liu JH,
Buchy P, Sun B. 2012. Amino acids 473V and 598P of PB1
from an avian-origin influenza A virus contribute to
polymerase activity, especially in mammalian cells. J Gen
Virol. 93:531-40
Yang Z, Nielsen R, Goldman N, Pedersen AMK. 2000. Codon-
substitution models for heterogeneous selection pressure at amino acid sites. Genetics 155: 431-449
Yuen KY, Chan PKS, Peiris JSM, Tsang DN, Que TL, Shortridge
KF, Cheung PT, To WK, Ho ET, Sung R, Cheng AF. 1998. Clinical Features and Rapid Viral Diagnosis of Human Disease Associated with Avian Influenza A H5N1 Virus. Lancet. 351:467-471.
Zamarin D, Ortigoza MB, Palese P. 2006. Influenza A virus PB1-
F2 protein contributes to viral pathogenesis in mice. J Virol 80: 7976-7983
Zhang J, Pekosz A, Lamb RA. 2000. Influenza virus assembly
and lipid raft microdomains: a role for the cytoplasmic tails of the spike glycoproteins. J Virol 71: 4634-4644
Zhang C, Yang Y, Zhou X, Liu X, Song H, He Y, Huang P. 2010.
Highly pathogenic avian influenza A virus H5N1NS1 protein induces caspase-dependent apoptosis in human alveolar basal epithelial cells. Virology J 7: 51-56
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 168
Zhirnov OP, Ikizler MR, Wright PF. 2002. Cleavage of influenza A virus hemagglutinin in human respiratory epithelium is cell associated and sensitive to exogenous antiproteases. J Virol 76: 8682-8689
Zhou JY, Shen HG, Chen HX, Tong GZ, Liao M, Yang HC, Liu
JX. 2006. Characterization of a highly pathogenic H5N1 influenza virus derived from bar-headed geese in China. J Gen Virol 87: 1823-1833
Zhou NN, Shortridge KF, Claas ECJ, Krauss SL, and Webster
RG. 1999. Rapid evolution of H5N1 influenza viruses in chickens in Hong Kong. J Virol 73: 3366-3374
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 169
GLOSARIUM
Aglutinasi : Peristiwa penggumpalan suatu sel/protein. Aglutinin adalah senyawa yang menyebabkan penggumpalan sel/protein. Contohnya adalah penggumpalan sel darah merah oleh hemaglitinin dari glikoprotein virus influenza
Alignment : pensejajaran atau penjejeran sekuens DNA, RNA, atau protein berdasarkan homologi sekuens tersebut dengan tujuan untuk mengidentifikasi sekuens yang memiliki kesamaan serta menganalisis persamaan sekuens tersebut yang nantinya dikaitkan dengan analisis fenetik, evlousi dan lain sebagainya.
Antibodi : glikoprotein yang tersusun dari protein dan dibentuk tubuh sebagai respon terhadap benda asing (antigen)
Antigenik : suatu molekul yangmampu merangsang respon imun, terutama dalam menghasilkan antibodi
Asam amino basa
: asam amino yang bersifat basa berdasarkan rantai samping yang dimiliki. Termasuk asam amino basa adalah arginin, histidin dan lisin
Avian influenza : penyakit flu pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza
BSL (Biosafety lavel)
: tingkatan keamanan laboratorium. Setiap laboratorium memiliki tingkat keamanan pada pekerja lab sesuai tingkat penularan organisme yang ditangani di lab tersebut,
Budding : keluarnya virion-virion hasil repliklasi virus, keluar sel hospes Cairan alantois : cairan yang terdapat pada ruang alantois. Ruang alantois
adalah salah satu ruang pada perkembangan embrio ayam (dalam telur)
Clade ; Suatu kelompok taksonomi biologi atau spesies yang memiliki fitur yang berasal dari nenek moyangnya
Cleavage site : daerah pemotongan pada protein hemaglutinin. Pemotongan dilakukan pada saat virus akn masuk sel hospes, sehingga protein HA terpotong oleh enzim protease menjadi HA1 dan HA2
Dinamika molekuler
: perubahan dari waktu ke waktu dari suatu komponen terkecil/molekuler (gen, protein) suatu organisme
Endemis/endemik
: suatu keadaan dimana penyakit secara menetap berada dalam masyarakat pada suatu tempat / populasi tertentu.
Endositosis : transpor makromolekul dan materi yang sangat kecil ke dalam sel dengan cara membentuk vesikula baru dari membran plasmaproses masuknya suatu molekul/antigen ke dalam sel
Epidemik : mewabahnya penyakit dalam komunitas/daerah tertentu dalam jumlah biasa atau melebihi jumlah normal
Epidemiologi : ilmu yang mempelajari pola kesehatan dan penyakit serta fakor yang terkait di tingkat populasi
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 170
Fatalitas : tingkat kematian Fecal-oral : jalur masuknya agen penyakit melalui oral/mulut, dan sumber
penularan ke individu lain melalui feses/kotoran hewan yang terinfeksi agen penyakit
Filogenetik : studi yang membahas tentang hubungan kekerabatan antar berbagai macam organisme melalui analisis molekuler dan morfologi.
Fenotip suatu karakteristik (baik struktural, biokimiawi, fisiologis, dan perilaku) yang dapat diamati dari suatu organisme yang diatur oleh genotipe dan lingkungan serta interaksi keduanya.
Flu burung : penyakit flu pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza.
Fragmen gen : potongan/penggalan gen. Gejala klinis : gejala yang teramati secara klinis Genom : keseluruhan material genetik pada suatu individu Genotipe : tipe gen yaitu istilah yang dipakai untuk menyatakan keadaan
genetik dari suatu individu atau sekumpulan individu (populasi.) Keadaan genetik dapat ditinjau dari suatu lokus maupun genom.
Glikoprotein : molekul yang tersusun dari protein dan karbohidrat. Komponen protein lebih dominan dibanding karbohidrat. Kalau proteoglikan, komponen karbohidrat lebih dominan dibanding protein)
Global : secara umum dan keseluruhan; secara bulat; secara garis besar, mendunia
Hemaglutinin (HA)
: Suatu glikoprotein yang bersifat mampu mengaglutinasi sel darah merah. Dimiliki oleh beberapa virus yaitu virus influenza, New Castle, rabies
Hanyutan antigenik
: Perubahan/mutasi gen dan atau protein secara alami sehingga tidak dikenal lagi oleh sistem imun/antibodi hospes
Hospes : organisme yang menunjang (tempat hidup) parasit/agen penyakit dan berakibat merugikan/tidak bagi hospes tersebut
Inokulasi : memasukkan/menumbuhkan suatu inokulum (biasanya virus/bakteri) ke medium/hospes
Introduksi : Masuknya suatu jenis hewan/ tumbuhan ke dalam satu habitat yang baru. Dalam hubungannya dengan penyakit, intruduksi berarti masuknya agen penyakit (virus/bakteri/prasit) (jenis baru) ke suatu wilayah yang sebelumnya tidak ada virus tersebut melalui transportasi manusia atau alamiah
In ovo : pertumbuhan suatu makhluk hidup dalam telur In vitro : pertumbuhan suatu makhluk hidup diluar tubuh makhluk hidup Isolasi : mengambil dan memisahkan sesuatu dari komponen lainnya.
Misalnya isolasi DNA, berarti mengambil DNA dengan cara
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 171
memisahkannya dari komponen-komponen lain Isolat : suatu agen penyakit yang diisolasi dari daerah tertentu/hospes
tertentu dan diidentifikasi di laboratorium dengan diberi nama sesuai database di lab tersebut
Karakter fenotip : sifat yang terlihat berdasarkan fenotipnya Karakter genotip : sifat yang terlihat berdasarkan genotipnya Klaster : kumpulan, kelompok, himpunan, atau gabungan obyek
tertentu yang memiliki keserupaan atau atas dasar karakteristik tertentu.
Kloaka : lubang posterior yang berfungsi sebagai satu-satunya lubang untuk saluran pencernaan, urin, dan (umumnya) genital pada spesies hewan tertentu (burung, reptilia, dan amfibi)
Kodon : deret nukleotida pada mRNA yang terdiri atas kombinasi tiga nukleotida berurutan yang menyandi suatuasam amino tertentu
sehingga sering disebut sebagai kodon triplet.
Konserv : stabil, tidak berubah, dipertahankan untuk tidak berubah Lompatan antigenk (antigenic shift)
: Suatu proses dimana 2 atau lebih strain/subtipe berkombinasi membentuk subtipe/strain baru
Microplate : suatu tempat untuk reaksi kimiawi berkapasitas mikro/ kecil (1 set biasanya berisi 96 sumuran)
Mixing vesel : kompartemen sel tempat bercampurnya genom-genom dari berbagai subtipe virus influenza, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran segmen-segmen genom
Mutasi : Suatu kondisi yang berubah dari kondisi normalnya. Biasanya selalu dihubungkan dengan bahan genetik (DNA maupun RNA), baik pada taraf urutan gen (disebut mutasi titik) maupun pada taraf kromosom.
Nukleotida : monomer penyusun RNA, DNA, dan beberapa kofaktor, seperti CoA, FAD, FMN, NAD, dan NADP. Nukleotida tersusun dari gugus basa nitrogen (purin atau pirimidin), gula ribosa/deoksiribosa, dan satu atau lebih gugus fosfat..
Neuraminidase (NA)
: Suatu glikoprotein permukaan membran virus influenza, yang struktur dan komponennya bervariasi, sehingga NA dijadikan sebagai salah satu faktor penentu subtipe virus ini.
Pandemi : wabah yang terjadi secara global di seluruh dunia, akibat kemampuan suatu agen penyakit menular dari manusia ke manusia lain
Pandemik Epidemik yang terjadi dalam daerah yang sangat luas dan mencakup populasi yang banyak di berbagai daerah/negara di dunia
Patogen atau "penyebab penderitaan", adalah agen biologisyang
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 172
menyebabkan penyakit pada inang/hospes Patogenik : suatu sifat dari suatu agen penyakit (bakteri, virus, parasit)
yang menimbulkan kerusakan (patogen) Patogenesitas : daya /kemampuan suatu agent penyakit untuk menghasilkan
penyakit dengan gejala klinik yang jelas. merusak atau menimbulkan penyakit pada hospes
Patogen intraseluler
: Patogen yang hidupnya di dalam sel hospes
Prevalensi : jumlah keseluruhan kasus penyakit yg terjadi pd suatu waktu tertentu di suatu wilayah atau tingkat kejadian penyakit di wilayah tertentu dan pada waktu tertentu
Reasorsi : pertukaran segmen gen virus influenza subtipe tertentu dengan segmen gen subtipe virus lainnya
Replikasi : perbanyakan, penggandaan, pembelahan Reseptor : suatu molekul (biasanya) protein yang menerima sinyal kimia
dari luar sel yang mengarahkan kegiatan sel sepertimembelah atau mengizinkan molekul tertentu untuk masuk atau keluar sel. Molekul pemberi sinyal yang melekat pada suatu reseptor disebut ligan, yang dapat berupa suatu peptida atau molekul kecil lain seperti neurotransmiter, hormon, obat, atau toksin.
Reservoir : Sesuatu (orang, hewan, tanaman atau substansi) dimana agen infeksius/penyebab penyakit dapat hidup secara normal dan berkembang biak
Resistensi : (1) sistem dalam organisme yang memberikan ketahanan terhadap penyakit/hama atau (2) daya tahan suatu mikroorganisme/organisme terhadap obat/antibiotik
Respon imun : respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut
Respon imun bawaan
: Respon yang dilakukan oleh sistem kekebalan tubuh bawaan/alami (sudah ada sejak mahkluk hidup tersebut lahir), seperti neutrofil, sel NK, interferon, makrofag, dll
Respon imun adaptif
: Respon yang dilakukan oleh sistem kekebalan adaptif (hanya dibentuk jika terpapar), seperti antibodi dan sel T
Sekuen : urutan Seroprevalensi : prevalensi (tingkat kejadian) berdasarkan data serologis Sporadis : penyebaran penyakit di suatu daerah yg tidak merata (hanya
di di beberapa tempat ) tidak secara bersamaan waktunya Strain : Variasi spesifik suatu hewan/organisme/tumbuhan dalam satu
spesies Subklinis : (1) secara klinis tidak menunjukkan gejala penyakit (2) tanpa
tanda-tanda atau gejala klinis, kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan tahap awal dari suatu penyakit atau kondisi, sebelum gejala terdeteksi oleh pemeriksaan klinis
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 173
atau tes laboratorium. Substitusi sinonim
: substitusi berarti penggantian. Substitusi sinonim adalah substitusi/penggantian/perubahan pada nukleotida yang tidak menyebabkan perubahan asam amino.
Substitusi non sinonim
: substitusi pada nukleotida yang diikuti perubahan asam amino yang disandinya
TAB : telur ayam berembrio. Adalah telur ayam yang mengandung embrio (karena dibuat oleh induk ayam betina yang dibuahi oleh ayam pejantan)
Transmisi : perantara penularan suatu agen penyakit Unggas air : unggas yang habitat hidupnya di air (itik, angsa, entok, dll) Vaksin : antigen yang mengandung agen penyebab penyakit yang
dimatikan atau dilemahkan yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk merangsang pembentukan kekebalan terhadap agen penyakit tersebut
Vaksinasi : Pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit tersebut
Virulensi : derajat /tingkat patogenitas suatu agen penyakit, diukur dari banyaknya organisme yang diperlukan untuk menimbulkan penyakit pada jangka waktu tertentu
Wabah : kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut
Zoonotik : Suatu sifat penyakit yang dapat ditularkan antara hewan dan manusia, seperti rabies, avian influenza, mad cow disease (bovine spongiform encephalopathyatau BSE).
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 174
INDEKS
AGPT ..... 51, 54, 55, 56, 57, 58, BSL ........................ 41, 42, 148, Budding ............................... 32, Daerah antigenik .... 91, 92, 94, DNA . 19, 33, 59, 60, 61, 62, 63,
66, 68, 69, 70, 74, 76, 150, Elektroforesis ................ 66, 68, Gen ... vii, 23, 32, 37, 65, 73, 87,
110, 116, 122, 126, 150, 153, GenBank ..... 65, 75, 76, 86, 89,
150, Hemaglutinin (HA) ....... 21, 87, HPAI.. iii, 14, 15, 16, 39, 40, 45,
47, 48, 50, 89, 97, 132, 133, 138, 141, 146, 151,
Kantong pengikat reseptor98, LPAI ..................................... 45, MDCK .................... 44, 45, 148, MEGA 3.1 ....... vii, 75, 76, 150, Mutasi vii, 13, 32, 33, 111, 112,
113, 118, 126, 128, 129, Neuraminidase (NA) ....... 126, Nukleoprotein ..................... 24, Pandemi .............................. 38,
PB1-F2 ... vii, ix, 21, 24, 35, 116, 117, 119, 147, 152,
PBS .................... 43, 47, 53, 57, PCR .vi, vii, ix, xi, 52, 59, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 66, 68, 69, 70, 73, 74, 149, ,
Peptida fusi . 91, 101, 102, 103, Pertumbuhan ................ 44, 48, Primer .... vii, 29, 65, 66, 72, 73, RdRp ...... 24, 28, 29, 30, 33, 36,
116, Replikasi ........................ 24, 30, Residu pengikat reseptor ..95,
96, 151, RNA . 12, 19, 20, 21, 22, 24, 28,
30, 39, 58, 59, 60, 66, 73, 116, 122, 147, 149,
Sekuensing ................ 75, 150, Substitusi sinonim ..............33, TAB 43, 44, 45, 46, 47, 48, 148, Transmisi ...... 39, 40, 137, 141,
146, Unggas air ................. 133, 137, Wabah ......................... 14, 140,
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 175
BIOGRAFI
Penulis dilahirkan di Sragen, 23 Maret 1969 dari ayah Sukardi Indriatmoko, BA (Alm) dan ibu Sumi. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar sampai menengah atas di kota Sragen, berturut-tururt di SDN Bener II (Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen) lulus tahun 1982, SMPN 2 Sragen lulus tahun 1985, SMAN 1 Sragen lulus tahun 1988. Selepas SMA, tahun 1988 melanjutkan studi S1 (sarjana) di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM dan mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) tahun 1992. Setelah mendapatkan gelar SKH langsung melanjutkan pendidikan profesi Dokter Hewan di FKH UGM juga, lulus tahun 1994 mendapatkan gelar Dokter Hewan (Drh). Pada tahun 1998 melanjutkan stusi S2 di program studi Sains Veteriner Program Pasca Sarjana UGM, lulus tahun 2000 dan mendapatkan gelar Magister Pertanian (MP). Tahun 2004 melanjutkan studi S3 di program studi Sains Veteriner Sekolah Pasca Sarjana IPB, lulus tahun 2008 dan mendapatkan gelar Doktor (Dr). Selama pendidikan S1 sampai S3 bidang penelitian yang ditekuni adalah bidang biokimia dan biologi molekuler. Sejak tahun 1997 sampai sekarang, sebagai dosen di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang, mengampu mata kuliah Biokimia, Imunologi, Enzimologi, Parasitologi, dan Kimia Organik.
Sejak tahun 1997 sampai sekarang telah melakukan penelitian 37 judul, diantaranya adalah (1) Aktivitas fagositosis dan aktivitas bakterisidal neutrofil terhadap Staphylococcus aureus isolat sapi di Jawa Tengah dengan teknik acridine orange fluorescence (2002), (2) Aspek intoksikasi 2,3,7,8 tetracholorodibenzo-p-dioxin(TCDD) terhadap aktivitas bakterisidal intrasel leukosit polimorfonuklear tikus putih (Rattus norvegicus)(2003), (3) Analisis gen ND3 dari DNA mitokondria dalam studi keragaman genetik burung gelatik Jawa (Padda oryzivora) di Pulau Jawa (2005-2006), (4) Keragaman sekuen gen ND3 dari DNA mitokondria burung famili Ploceidae endemik Pulau Jawa (2006), (5) Stimuli pematangan dini ovarium burung puyuh dengan interaksi fotoperiode dan gonadotrophin releasing hormon (GnRH) (2007), (6) Potensi kucing sebagai reservoir virus avian influenza H5N1 dan bahaya penularannya ke manusia: kajian molekuler dan dinamika virus (2007-2008), (7) Potensi
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 176
unggas air sebagai reservoir virus highly pathogenic avian influenza (HPAI) subtipe H5N1 dan peluang penularannya pada manusia (2008-2009), (8) pengembangan model sentra peternakan rakyat terpadu anti flu burung (2009), (9) Potensi Zat gizimikro seng terhadap respon imun seluler pada demam tifoid (2009), (10) Studi Aktivitas Imunostimulan Gel Lidah Buaya (Aloe vera) pada Infeksi Salmonella typhimurium (2010), (11) Indeks Patogenesita Virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) Subtipe H5N1 Isolat Unggas Air (2011), (12) Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Hiperglikemik Akibat Pemberian Ekstrak Etanol Biji Mahoni (2012), (13) Karakterisasi molekuler virus avian influenza subtipe H5N1 asal manusia dan hewan di Indonesia (2012).
Artikel yang telah dipublikasi dalam jurnal ada 33 judul, antara lain (1) Intoksikasi 2,3,7,8 tetracholodibenzo-p-dioxin (TCDD): I. Efek terhadap gambaran darah tikus putih (Rattus norvegicus) (2001), (2) Efek 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) terhadap respon imun neutrofil dan limfosit tikus putih (Rattus norvegicus) (2001), (3) Intoksikasi 2,3,7,8 tatrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD): II. Efek terhadap histopatologis Hati, Ginjal dan Paru tikus putih (Rattus norvegicus) (2002), (4) Efek 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) terhadap aktivitas metabolik neutrofil tikus putih (Rattus norvegicus) (2003), (5) Aktivitas fagositosis neutrofil terhadap Staphylococcus aureus isolat sapi di Jawa tengah dengan teknik acridine orange fluorescence (2003), (6) Peranan air buah mengkudu (Morinda citrifolia L) menurunkan kadar enzim AST dan ALT serum mencit (Mus musculus) yang di-treatment CCL4 (2004), (7) Respon imun seluler terhadap intoksikasi 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) (2004), (8) Pengujian sifat resistensi Staphylococcus aureus terhadap aktivitas bakterisidal intrasel leukosit polimorfonuklear (2004), (9) Gen hormon pertumbuhan dan gen ornitin dekarboksilase sebagai kandidat dalam marker Assisted Selection (MAS) (2004), (10) Kegagalan sistem imun mengatasi infeksi human immunodeficiency virus (HIV) (2006), (11) Potensi unggas air sebagai reservoir virus high pathogenic avian influenza subtipe H5N1(2007), (12) Stimuli pematangan dini overium burung puyuh dengan interaksi fotoperiode dan gonadotropin releasing hormon (2008), (13) Filogenetik dan struktur antigenik virus avian influenza subtipe
Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 177
H5N1 isolat Unggas Air (2008),(14) Analisis molekuler gen penyandi hemaglutinin Virus Highly Pathogenic Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Unggas Air (2008), (15) Analisis Molekuler Gen Penyandi Enzim NADH Dehidrogenase Subunit 3 (ND3) Burung Gelatik Jawa (Padda oryzivora)(2008), (16) Hubungan Kekerabatan Burung Gelatik Jawa (Padda oryzivora) di Pulau Jawa Berdasarkan Karakter Morfologi (2008), (17) Isolasi dan identifikasi virus avian influenza subtipe H5N1 pada unggas air di Peternakan Skala rumah tangga di Jawa Barat (2008), (18) Identification of pathogenecity of avian influenza virus subtype H5N1 from waterfowls base on amino acid sequence of cleavage site haemagglutinin protein (2008), (19) Variasi Panjang Fragmen Gen ND3 Burung Famili Ploceidae Endemik Pulau Jawa (2009),(20) Polymorphic sequence in the ND3 region of Java endemic Ploceidae birds mitochondrial DNA (2011) (21) Aktivitas reactive oxygen species makrofag akibat stimulasi gel lidah buaya pada infeksi Salmonella typhimurium (2012).