Download - referat anestesi.docx
REFERAT ANESTESI
ANESTESI PADA HIPERTIROID
Oleh :
Revina Andayani, S.Ked
Ekki Dita Anggariksa, S.Ked
J 500 090 013
J 500 090 104
PEMBIMBING :
dr. Damai S, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK STASE ANAESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
1
REFERAT ANESTESI
ANESTESI PADA HIPERTIROID
Yang Diajukan Oleh :
Revina Andayani, S.KedEkki Dita Anggariksa, S.Ked
J 500 090 013J 500 090 104
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari , 2014
Pembimbing :
dr.Damai S, Sp.An (…………………………)
Kabag. Profesi Dokter
dr.Dona Dewi Nirlawati (......................................)
KEPANITERAAN KLINIK STASE ANAESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan
jaringan terhadap hormone tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan
penyakit yang banyak ditemui di masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada
wanita. Penyakit Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000
wanita dan 1.5-2.5/1000 pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun.
Ada banyak indikasi untuk pembedahan tiroid, termasuk: keganasan
tiroid, gondok yang memproduksi gejala obstruktif dan atau retrosternal,
hipertiroidisme yang resisten terhadap manajemen medis, kosmetik dan alasan
kecemasan terkait. Pasien dengan hipotiroid biasanya menunjukkan respon
pada terapi tiroksin dan pembedahan jarang diindikasikan. Sangat penting
untuk memastikan bahwa pasien secara klinis dan kimia adalah euthyroid
sebelum memulai operasi tiroid elektif. Terdapat permasalahan jalan napas
pada anestesi terkait pembedahan pada tiroid.
B. Tujuan
Mengetahui patofisiologi, persiapan pra-bedah, premedikasi, induksi dan
teknik anestesi pada hipertiroid.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid
Glandula Thyroidea (Kelenjar Tiroid)
Kelenjar tiroid berada di kedalaman dari otot sternothyroid dan
sternohyoid, terletak di anterior leher sepanjang C5-T1 vertebrae. Kelenjar tiroid
merupakan kelenjar berwarna merah kecoklatan dan sangat vascular. Kelenjar ini
terselubungi lapisan pretracheal dari fascia cervicalis (selubung ini melekatkan
glandula pada larynx dan trakea) dan terdiri atas 2 lobus, lobus dextra dan sinistra,
yang dihubungkan oleh isthmus. Terletak di anterior cartilago thyroidea di bawah
laring setinggi vertebra cervicalis 5 sampai vertebra thorakalis 1. Beratnya kira-
kita 25 gram tetapi bervariasi pada tiap individu. Lobus kelenjar tiroid seperti
kerucut. Setiap lobus berbentuk seperti buah alpukat, dengan apeksnya
menghadap ke atas sampai linea oblique cartilago thyroidea, basisnya terletak di
bawah setinggi cincin cartilago trachea keempat dan kelima. Setiap lobus
berukuran 5x3x2 cm.
Isthmus menghubungkan bagian bawah kedua lobus, walaupun terkadang
pada beberapa orang tidak ada. Isthmus meluas melintasi garis tengah di depan
cincin trachea 2,3, dan 4. Panjang dan lebarnya kira-kita 1,25 cm dan biasanya
anterior dari cartilgo trachea walaupun terkadang lebih tinggi atau rendah karena
kedudukan dan ukurannya berubah. Sering terdapat lobus piramidalis, yang
menonjol ke atas dari isthmus, biasanya ke sebelah kiri garis tengah. Sebuah pita
fibrosa atau muskular sering menghubungkan lobus piramidalis dengan os
hioideum. Bila pita ini muskular disebut m. levator glandulae thyroideae.
4
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid
Available at:
Batas-Batas Lobus
Anterolateral: M. sternothyroideus, venter superior m. omohyoideus, m.
sternohyoideus, dan pinggris anterior m. sternocleidomastoideus.
Posterolateral: Selubung carotis dengan a. Carotis communis, v. Jugularis
interna, dan n. Vagus
Medial: Larynx, trachea, pharynx, dan oesophagus. Dekat dengan stuktur-
struktur ini adalah M. cricothyroideus dan suplai sarafnya, N. Laryngeus
eksternus. Di alur antara oesophagus dan trachea terdapat N. Laryngeus
recurrent.
Pinggir posterior masing-masing lobus yang bulat berhubunhgan di
posterior dengan glandula parathyroidea superior dan inferior dan
anastomosis antara a. Thyroidea superior dan inferior.
Secara embriologi, tahap pembentukan kelenjar tiroid adalah:
5
Kelenjar tiroid mulanya merupakan dua buah tonjolan dari dinding depan
bagian tengah faring, yang terbentuk pada usia kelahiran 4 minggu.
Tonjolan pertama disebut pharyngeal pouch, yaitu antara arcus brachialis
1 dan 2. Tonjolan kedua pada foramen ceacum, yang berada ventral di
bawah cabang farings I.
Pada minggu ke-7, tonjolan dari foramen caecum akan menuju pharyngeal
pouch melalui saluran yang disebut ductus thyroglossus.
Kelenjar tiroid akan mencapai kematangan pada akhir bulan ke-3, dan
ductus thyroglossus akan menghilang. Posisi akhir kelenjar tiroid terletak
di depan vertebra cervicalis 5, 6, dan 7.
Namun pada kelainan klinis, sisa kelenjar tiroid ini juga masih sering
ditemukan di pangkal lidah (ductus thyroglossus/lingua thyroid) dan pada
bagian leher yang lain.
Pendarahan
Arteri ke glandula thyroidea adalah a. Thyroidea superior, a. Thyroidea inferior,
dan kadang-kadang a. Thyroidea ima. Arteri-arteri ini saling beranastomosis
dengan luas di permukaan glandula.
Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:
1. A. thyroidea superior (arteri utama). Cabang dari arteri carotis eksterna,
berjalan turun ke kutub atas setiap lobus, bersama dengan n. Laryngeus
eksternus. Arteri thyroidea superior menembus fascia tiroid dan kemudian
bercabang menjadi cabang anterior dan posterior. Cabang anterior
mensuplai permukaan anterior kelenjar dan cabang posterior mensuplai
permukaan lateral dan medial.
2. A. thyroidea inferior (arteri utama). Cabang dari truncus thyrocervivcalis
berjalan ke atas di belakang glandula sampai setinggi cartilago cricoidea.
Kemudian membelok ke medial dan ke bawah mencapai pinggir posterior
glandula. N. Laryngeus recurres melintasi di depan atau di belakang arteri
ini, atau mungkin berjalan di antara cabang-cabangnya. Arteri thyroides
6
inferior mensuplai basis kelenjar dan bercabang ke superior (ascenden)
dan inferior yang mensuplai permukaan inferior dan posterior kelenjar.
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari
arcus aortae atau A. anonyma. Berjalan ke atas di depan trachea menuju
isthmus.
Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:
1. V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).
2. V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).
3. V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri di dalam rongga
thoraks). Vena ini menampung darah dari isthmus bagian bawah dan kutub
bawah kelenjar. V. Thyroidea inferior dari kedua sisi beranastomosis satu
dengan yang lainnya pada saat mereka berjalan turun di depan trachea.
7
Aliran limfe terdiri dari 2 jalinan:
1. Jalinan kelenjar getah bening intraglandularis
2. Jalinan kelenjar getah bening extraglandularis
Kedua jalinan ini akan mengeluarkan isinya ke limfonoduli pretracheal lalu
menuju ke kelenjar limfe yang dalam sekitar V. jugularis. Dari sekitar V. jugularis
ini diteruskan ke limfonoduli mediastinum superior.
Persarafan
1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior.
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngeus superior dan N. laryngeus recurrens (cabang
N.vagus)
N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita
suara terganggu (menimbulkan stridor atau serak).
2.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berfungsi untuk pertumbuhan dan mempercepat
metabolisme. Kelenjar tiroid menghasilkan dua hormon yang penting yaitu
tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Karakteristik triioditironin adalah berjumlah
lebih sedikit dalam serum karena reseptornya lebih sedikit dalam protein pengikat
8
plasma di serum tetapi ia lebih kuat karena memiliki banyak resptor pada jaringan.
Tiroksin memiliki banyak reseptor pada protein pengikat plasma di serum yang
mengakibatkan banyaknya jumlah hormon ini di serum, tetapi ia kurang kuat
berikatan pada jaringan karena jumlah reseptornya sedikit.
Biosintesis Hormon Thyroid
Iodium adalah adalah bahan dasar yang sangat penting dalam biosintesis
hormon thyroid. Iodium yang dikonsumsi diubah menjadi iodida kemudian
diabsorbsi. Kelenjar thyroid mengkonsentrasikan iodida dengan mentransport
aktif iodida dari sirkulasi ke dalam koloid. Di dalam kelenjar thyroid, iodida
mengalami oksidasi menjadi iodium. Iodium kemudian berikatan dengan molekul
tirosin yang melekat ke tiroglobulin. Tiroglobulin adalah molekul glikoprotein
yang disintesis oleh retikulum endoplasma dan kompleks Golgi sel-sel thyroid.
Enzim yang berperan dalam oksidasi dan pengikatan iodida adalah thyroid
peroksidase. Senyawa yang terbentuk adalah monoiodotirosin (MIT) dan
diodotirosin (DIT). Dua molekul DIT kemudian mengalami suatu kondensasi
oksidatif membentuk tetraiodotironin (T4). Triiodotironin (T3) mungkin terbentuk
melalui kondensasi MIT dengan DIT. Dalam thyroid manusia normal, distribusi
rata-rata senyawa beriodium adalah 23 % MIT, 33 % DIT, 35 % T4 dan 7 % T3.
Sekresi Hormon Thyroid
Sel-sel thyroid mengambil koloid melalui proses endositosis. Di dalam sel,
globulus koloid menyatu dengan lisosom. Ikatan peptida antara residu beriodium
dengan tiroglobulin terputus oleh protease di dalam lisosom, dan T4, T3, DIT
serta MIT dibebaskan ke dalam sitoplasma. T4 dan T3 bebas kemudian melewati
membran sel dan dilepaskan ke dalam sirkulasi. MIT dan DIT tidak disekresikan
ke dalam darah karena iodiumnya sudah dibebasakan dan iodiumnya digunakan
kembali oleh kelenjar.
Transport dan Metabolisme Hormon Thyroid
9
Hormon thyroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein
plasma, yaitu: globulin pengikat tiroksin (thyroxine-binding globulin, TBG),
prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding prealbumin, TBPA) dan albumin
pengikat tiroksin (thyroxine-binding albumin, TBA). Kebanyakan hormon dalam
sirkulasi terikat pada protein-protein tersebut dan hanya sebagian kecil saja
(kurang dari 0,05 %) berada dalam bentuk bebas. Hormon yang terikat dan yang
bebas berada dalam keseimbangan yang reversibel. Hormon yang bebas
merupakan fraksi yang aktif secara metabolik, sedangkan fraksi yang lebih banyak
dan terikat pada protein tidak dapat mencapai jaringan sasaran. Dari ketiga
protein pengikat tiroksin, TBG merupakan protein pengikat yang paling spesifik.
Selain itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat
ini dibandingkan dengan triiodotironin. Akibatnya triiodotironin lebih mudah
berpindah ke jaringan sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa
aktifitas metabolik triiodotironin lebih besar.
Perubahan konsentrasi TBG dapat menyebabkan perubahan kadar tiroksin
total dalam sirkulasi. Peningkatan TBG, seperti pada kehamilan, pemakaian pil
kontrasepsi, hepatitis, sirosis primer kandung empedu dan karsinoma
hepatoselular dapat mengakibatkan peningkatan kadar tiroksin yang terikat pada
protein. Sebaliknya, penurunan TBG, misalnya pada sindrom nefrotik, pemberian
glukokortikoid dosis tinggi, androgen dan steroid anabolik dapat menyebabkan
penurunan kadar tiroksin yang terikat pada protein. Hormon-hormon thyroid
diubah secara kimia sebelum diekskresi. Perubahan yang penting adalah
deiodinasi yang bertanggung jawab atas ekskresi 70 % hormon yang disekresi. 30
% lainnya hilang dalam feses melalui ekskresi empedu sebagai glukuronida atau
persenyawaan sulfat.
Mekanisme Kerja Hormon Thyroid
Mekanisme kerja hormon thyroid ada yang bersifat genomik melalui
pengaturan ekspresi gen, dan non genomik melalui efek langsung pada sitosol sel,
membran dan mitokondria.
10
Mekanisme kerja yang bersifat genomik dapat dijelaskan sebagai berikut, hormon
thyroid yang tidak terikat melewati membran sel, kemudian masuk ke dalam inti
sel dan berikatan dengan reseptor thyroid (TR). T3 dan T4 masing-masing
berikatan dengan reseptor tersebut, tetapi ikatannya tidak sama erat. T3 terikat
lebih erat daripada T4. Kompleks hormon-reseptor kemudian berikatan dengan
DNA melalui jari-jari “zinc” dan meningkatkan atau pada beberapa keadaan
menurunkan ekspresi berbagai gen yang mengkode enzim yang mengatur fungsi
sel. Ada dua gen TR manusia, yaitu gen reseptor α pada kromosom 17 dan gen
reseptor β pada kromosom 3.
Dengan ikatan alternatif, setiap gen membentuk paling tidak dua mRNA
yang berbeda, sehingga akan terbentuk dua protein reseptor yang berbeda. TRβ2
hanya ditemukan di otak, sedangkan TRα1, TRα2 dan TRβ1 tersebar secara luas.
TRα2 berbeda dari ketiga reseptor yang lain, yaitu tidak mengikat T3 dan
fungsinya belum diketahui. Reseptor thyroid (TR) berikatan dengan DNA sebagai
monomer, homodimer dan heterodimer bersama dengan reseptor inti yang lain.
Dalam hampir semua kerjanya, T3 bekerja lebih cepat dan 3-5 kali lebih kuat
daripada T4. Hal ini disebabkan karena ikatan T3 dengan protein plasma kurang
erat, tetapi terikat lebih erat pada reseptor hormon thyroid.
Efek Hormon Thyroid
Secara umum efek hormon thyroid adalah meningkatkan aktifitas
metabolisme pada hampir semua jaringan dan organ tubuh, karena perangsangan
konsumsi oksigen semua sel-sel tubuh. Kecepatan tumbuh pada anak-anak
meningkat, aktifitas beberapa kelenjar endokrin terangsang dan aktifitas mental
lebih cepat.
Efek Kalorigenik Hormon thyroid
T4 dan T3 meningkatkatkan konsumsi O2 hampir pada semua jaringan
yang metabolismenya aktif, kecuali pada jaringan otak orang dewasa, testis,
uterus, kelenjar limfe, limpa dan hipofisis anterior. Beberapa efek kalorigenik
11
hormon thyroid disebabkan oleh metabolisme asam lemak yang dimobilisasi oleh
hormon ini. Di samping itu hormon thyroid meningkatkan aktivitas Na+-
K+ATPase yang terikat pada membran di banyak jaringan. Bila pada orang
dewasa taraf metabolisme ditingkatkan oleh T4 dan T3, maka akan terjadi
peningkatan ekskresi nitrogen. Bila masukan makanan tidak ditingkatkan pada
kondisi tersebut, maka protein endogen dan simpanan lemak akan diuraikan yang
berakibat pada penurunan berat badan.
Efek Hormon Thyroid pada Sistem Saraf
Hormon thyroid memiliki efek yang kuat pada perkembangan otak. Bagian
SSP yang paling dipengaruhi adalah korteks serebri dan ganglia basalis. Di
samping itu, kokhlea juga dipengaruhi. Akibatnya, defisiensi hormon thyroid yang
terjadi selama masa perkembangan akan menyebabkan retardasi mental, kekakuan
motorik dan ketulian. Hormon thyroid juga menimbulkan efek pada refleks.
Waktu reaksi refleks regang menjadi lebih singkat pada hipertiroidisme dan
memanjang pada hipotiroidisme. Pada hipertiroidisme, terjadi tremor halus pada
otot. Tremor tersebut mungkin disebabkan karena peningkatan aktivitas pada
daerah-daerah medula spinalis yang mengatur tonus otot.
Efek Hormon Thyroid pada Jantung
Hormon thyroid memberikan efek multipel pada jantung. Sebagian
disebabkan karena kerja langsung T3 pada miosit, dan sebagian melalui interaksi
dengan katekolamin dan sistem saraf simpatis. Hormon thyroid meningkatkan
jumlah dan afinitas reseptor β-adrenergik pada jantung, sehingga meningkatkan
kepekaannya terhadap efek inotropik dan kronotropik katekolamin. Hormon-
hormon ini juga mempengaruhi jenis miosin yang ditemukan pada otot jantung.
Pada pengobatan dengan hormon thyroid, terjadi peningkatan kadar myosin heavy
chain-α (MHC-α), sehingga meningkatkan kecepatan kontraksi otot jantung.
Efek Hormon Thyroid pada Otot Rangka
12
Pada sebagian besar penderita hipertiroidisme terjadi kelemahan otot
(miopati tirotoksisitas). Kelemahan otot mungkin disebabkan oleh peningkatan
katabolisme protein. Hormon thyroid mempengaruhi ekspresi gen-gen myosin
heavy chain (MHC) baik di otot rangka maupun otot jantung. Namun , efek yang
ditimbulkan bersifat kompleks dan kaitannya dengan miopati masih belum jelas.
Efek Hormon Thyroid dalam Sintesis Protein
Peranan hormon thyroid dalam peningkatan sintesis protein dapat
dijelaskan sebagai berikut: (1) Hormon thyroid memasuki inti sel, kemudian
berikatan dengan reseptor hormon thyroid. (2) Kompleks hormon-reseptor
kemudian berikatan dengan DNA dan meningkatkan transkripsi mRNA serta
sintesis protein.
Efek Hormon Thyroid pada Metabolisme Karbohidrat
Hormon thyroid merangsang hampir semua aspek metabolisme
karbohidrat, termasuk ambilan glukosa yang cepat oleh sel-sel, meningkatkan
glikolisis, meningkatkan glukoneogenesis, meningkatkan kecepatan absorbsi dari
traktus gastrointestinalis dan juga meningkatkan sekresi insulin dengan efek
sekunder yang dihasilkan atas metabolisme karbohidrat.2
Efek Hormon Thyroid pada Metabolisme Kolesterol
Hormon thyroid menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kadar
kolesterol plasma turun sebelum kecepatan metabolisme meningkat, yang
menunjukkan bahwa efek ini tidak bergantung pada stimulasi konsumsi O2.
Penurunan konsentrasi kolesterol plasma disebabkan oleh peningkatan
pembentukan reseptor LDL di hati, yang menyebabkan peningkatan penyingkiran
kolesterol oleh hati dari sirkulasi.
Efek Hormon Thyroid pada Pertumbuhan
13
Hormon thyroid penting untuk pertumbuhan dan pematangan tulang yang
normal. Pada anak dengan hipotiroid, pertumbuhan tulang melambat dan
penutupan epifisis tertunda. Tanpa adanya hormon thyroid, sekresi hormon
pertumbuhan juga terhambat, dan hormon thyroid memperkuat efek hormon
pertumbuhan pada jaringan.
Pengaturan Sekresi Hormon Thyroid
Fungsi thyroid diatur terutama oleh kadar TSH hipofisis dalam darah. Efek
spesifik TSH pada kelenjar thyroid adalah:
Meningkatkan proteolisis tiroglobulin dalam folikel
Meningkatkan aktifitas pompa iodide
Meningkatkan iodinasi tirosin
Meningkatkan ukuran dan aktifitas sel-sel thyroid
Meningkatkan jumlah sel-sel thyroid.
Sekresi TSH meningkat oleh hormon hipotalamus, thyrotropin releasing hormone
(TRH) yang disekresi oleh ujung-ujung saraf pada eminensia media hipotalamus.
TRH mempunyai efek langsung pada sel kelenjar hipofisis anterior untuk
meningkatkan pengeluaran TRHnya. Salah satu rangsang yang paling dikenal
untuk meningkatkan kecepatan sekresi TSH oleh hipofisis anterior adalah
pemaparan dengan hawa dingin. Berbagai reaksi emosi juga dapat mempengaruhi
pengeluaran TRH dan TSH sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi
sekresi hormon thyroid. Peningkatan hormon thyroid dalam cairan tubuh akan
menurunkan sekresi TSH oleh hipofisis anterior. Bila kecepatan sekresi hormon
thyroid meningkat sekitar 1,75 kali dari normal, maka kecepatan sekresi TSH
akan turun sampai nol. Penekanan sekresi TSH akibat peningkatan sekresi
hormon thyroid terjadi melalui dua jalan, yaitu efek langsung pada hipofisis
anterior sendiri dan efek yang lebih lemah yang bekerja melalui hipotalamus.
2.3 Gangguan Kelenjar Tiroid
14
A. Definisi dan Epidemiologi
Hipertiroid adalah suatu gangguan dimana kelenjar tiroid memproduksi
lebih banyak hormon tiroid yang dibutuhkan oleh tubuh. Kadang-kadang disebut
juga tirotoksikosis. Secara epidemiologi, 1 persen populasi di Amerika memiliki
resiko untuk menderita hipertiroid. Wanita lebih banyak mengalami kejadian ini
dibandingkan dengan pria.
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidsme.
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Hipertiroidsme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh
kelenjar tiroid yang hiperkatif. Apapun sebabnya manifestasi kliniknya sama,
karena efek ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T4-inti yang makin penuh.
B. Etiologi :
1. Gangguan Kalenjer Hipofisis: Adenoma Hipofisis.
Hal ini dikarenakan adanya peningkatan produksi sel di kalenjar hipofisis,
sehingga terjadi peningkatan produksi TSH, akibatnya TSH memicu kalenjar
tiroid untuk memproduksi tiroid, maka produksi tiroid akan meningkat, akibatnya
terjadilah umpan balik negatif dimana karena tingginya tiroid menyebabkan
penurunan produksi TSH, tetapi karena terjadi aktivitas sel di hipofisis karena
adenoma umpan balik negatif tidak mampu menurunkan produksi TSH, sehingga
TSH tetap tinggi.
2. Gangguan kalenjar tiroid :
1. Penyakit Grave
Pada penyakit grave sistem imun membuat antibodi yang disebut thyroid
stimulating immunoglobulin (TSI), dimana memiliki struktur yang hampir
sama dengan TSH dan menyebabkan peningkatan hormon tiroid yang
lebih banyak dalam tubuh.
2. Nodul Tiroid
Nodul tiroid yang dikenal juga sebagai adenoma adalah benjolan yang
terdapat pada tiroid. Nodul tiroid umumnya bukan suatu keganasan. 3 -7%
15
populasi memiliki resiko terjadinya nodul tiroid. Nodul dapat menjadi
hipereaktif dan menghasilkan banyak hormon tiroid. Suatu nodul yang
hiperaktif disebut adenoma toksik dan apabila melibatkan banyak nodul
yang mengalami hiperaktif disebut sebagai goiter multinodular toksik.
Meskipun jarang ditemukan pada orang dewasa goiter multinodular toksik
dapat memproduksi lebih banyak hormon tiroid.
3. Tiroiditis (Inflamasi)
Beberapa jenis tiroiditis dapat menyebabkan hipertiroidisme. Tiroiditis
tidak menyebabkan tiroid untuk menghasilkan hormon berlebihan.
Sebaliknya, hal itu menyebabkan hormon tiroid yang disimpan, bocor
keluar dari kelenjar yang meradang dan meningkatkan kadar hormon
dalam darah.
a. Tiroiditis subakut
Kondisi ini berkembang akibat adanya inflamasi pada kelenjar tiroid
yang dapat diakibatkan dari infeksi virus atau bakteri.
b. Tiroiditis postpartum
Tiroiditis post partum diyakini kondisi autoimun dan menyebabkan
hipertiroidisme yang biasanya berlangsung selama 1 sampai 2 bulan.
Kondisi ini akan terulang kembali dengan kehamilan berikutnya.
c. Tiroiditis “silent”
Jenis tiroiditis disebut "silent" karena tidak menimbulkan rasa sakit,
seperti tiroiditis post partum, meskipun tiroid dapat membesar. Seperti
tiroiditis post partum, tiroiditis “silent” mungkin suatu kondisi
autoimun.
4. Penggunaan Yodium
Kelenjar tiroid menggunakan yodium untuk membuat hormon tiroid,
sehingga jumlah yodium yang dikonsumsi berpengaruh pada jumlah
hormon tiroid yang dihasilkan. Pada beberapa orang, mengkonsumsi
sejumlah besar yodium dapat menyebabkan tiroid untuk membuat hormon
tiroid berlebihan. Kadang-kadang jumlah yodium yang berlebihan
terkandung dalam obat - seperti amiodarone, yang digunakan untuk
16
mengobati masalah jantung. Beberapa obat batuk juga mengandung
banyak yodium.
5. Medikasi berlebihan dengan hormon tiroid (Tiroid Eksogen)
Beberapa orang yang menderita hipotiroid akan mengkonsumsi hormon
tiroid lebih banyak, yang terkadang akan menyebabkan kelebihan hormon
tiroid dalam tubuh. Selain itu, beberapa obat juga dapat meningkatkan
sekresi hormon tiroid.
6. Gangguan Non Kelenjar
a. Mola Hidantosa (hamil anggur). Pada kondisi ini tubuh menghasilkan
HCG yang berjumlah sangat banyak, dimana HCG dapat
meningkatkan aktivitas TSH untuk memicu kalenjar tiroid untuk
memproduksi tiroid.
b. Kanker Ovarium. Sel kanker ovarium bertindak menyerupai tiroid
(like tiroid) yang berefek umpan balik negatif dan dapat berfungsi
seperti tiroid di jaringan, akibatnya walapun kadar tiroid rendah tetapi
manifestasi klinik yang ditunjukkan oleh tubuh ialah manifestasi dari
hipertiroid.
C. Patofisiologi Hipertiroid
Hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dibentuk di sel epitel (tirosit)
yang mengelilingi folikel kelenjar tiroid. Pembentukan dan pelepasan T3 dan T4
serta pertumbuhan kelenjar tiroid dirangsang oleh tirotropin (TSH) dari hipofisis
anterior. Pelepasannya selanjutnya dirangsang oleh TRH dari hipotalamus. Stress
dan estrogen akan meningkatkan pelepasan TSH, sedangkan glukokortikoid,
somastotatin, dan dopamine akan menghambatnya.
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti
sejumlah besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim
protein, protein struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil
akhirnya adalah peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh.
Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolik selular dengan cara
17
meningkatkan aktivitas dan jumlah sel mitokondria, serta meningkatkan transpor
aktif ion-ion melalui membran sel. Hormon tiroid juga mempunyai efek yang
umum juga spesifik terhadap pertumbuhan. Efek hormon tiroid pada mekanisme
tubuh yang spesifik meliputi peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak,
peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan laju metabolisme basal, dan
menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem kardiovaskular meliputi
peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi denyut
jantung, dan peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan
pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada sistem
saraf pusat (SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan kecepatan sekresi
sebagian besar kelenjar endokrin lain.
D. Diagnosis :
Pada hipertiroid diagnosis dapat ditegakkan dengan manifestasi klinis yang ada
dan beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan T3, T4, dan TSH.
Manifestasi klinis dari hipertiroid dapat dilihat berdasarkan indeks Wayne dan
New Castle.
Gejala dan tanda hipertiroid tampak pada tabel dalam penilaian dengan
indeks Wayne. Hasil dari penilaian dengan indeks Wayne adalah jika kurang
dari 11 maka eutiroid, 11 sampai 18 adalah normal, dan jika lebih dari 19
adalah hipertiroid.
Gejala
SubyektifAngka
Gejala
ObyektifAda Tidak
Dispnoe
d’effort+1 Tiroid Teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bising tiroid +2 -2
Lelah +2 Eksoftalmus +2 -
18
Tahan
terhadap suhu
panas
-5 Lid Retraction +2 -
Tahan dingin +5 Lid Lag +1 -
Keringat
banyak+3 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Tangan basah +1 Nadi
Nafsu makan
bertambah+3
<80x/menit
80-90 x/menit
- -3
Nafsu makan
berkurang-3
- -Berat badan
naik-3
Berat badan
turun+3 >90 xmenit +3 -
Fibrilasi
atrium+3
≥ 20 : hipertiroid
Keterangan: Lid Lag adalah palpebra superior tertinggal waktu melirik ke
bawah
Tabel 3. Penilaian index Wayne
Sementara itu menurut index New Castle dapat dilihat dari tabel berikut :
19
Untuk fase awal penentuan diagnosis perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada
pemantauan cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal
keadaan membaik. Hal ini karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop oleh
hormon tiroid, sehingga lamban pulih (lazy pituitary). Untuk memeriksa mata
disamping klinis digunakan alat eksofalmometer Herthl. Karena hormon tiroid
berpengaruh terhadap semua sel/organ maka tanda kliniknya ditemukan pada
organ kita.1
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan berikut :
1. Laboratorium TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar leukosit (bila
timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
2. EKG
3. Foto thoraks
20
Usia Mulai :
15-24 : 0
25-34 : 4
35-44 : 8
45-54 :12
>55 : 16
a. Pemeriksaan penunjang :
1. Kadar T4 dan T3 total
Kadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat karena
peningkatan kadar TBG oleh pengaruh estrogen. Namun peningkatan
kadar T4 total diatas 190 nmol/liter (15 ug/dl) menyokong diagnosis
hipertiroidisme.
2. Kadar T4 bebas dan T3 bebas (fT4 dan fT3)
Pemeriksaan kadar fT4 dan fT3 merupakan prosedur yang tepat karena
tidak dipengaruhi oleh peningkatan kadar TBG. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa kadar fT4 dan fT3 sedikit menurun pada
kehamilan, sehingga kadar yang normal saja mungkin sudah dapat
menunjukkan hipertiroidisme.
3. Indeks T4 bebas (fT4I)
Pemeriksaan fT4I sebagai suatu tes tidak langsung menunjukkan
aktifitas tiroid yang tidak dipengaruhi oleh kehamilan merupakan
pilihan yang paling baik. Dari segi biaya, pemeriksaan ini cukup mahal
oleh karena dua pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu kadar fT4 dan
T3 resin uptake (ambilan T3 radioaktif). Tetapi dari segi diagnostik,
pemeriksaan inilah yang paling baik pada saat ini.
4. Tes TRH
Tes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita
hipertiroidisme hamil dengan gejala samar-samar. Sayangnya untuk
melakukan tes ini membutuhkan waktu dan penderita harus disuntik
TRH dulu.
5. TSH basal sensitif
Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai populer
sebagai tes skrining penderita penyakit tiroid. Bukan hanya untuk
diagnosis hipotiroidisme, tetapi juga untuk hipertiroidisme termasuk
yang subklinis. Dengan pengembangan tes ini, maka tes TRH mulai
banyak ditinggalkan.
6. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI)
21
Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita
hipertiroidisme Grave hamil. Kadar yang tetap tinggi mempunyai 2 arti
penting yaitu :
a. Menunjukkan bahwa apabila obat anti tiroid dihentikan,
kemungkinan besar penderita akan relaps. Dengan kata lain obat anti
tiroid tidak berhasil menekan proses otoimun.
b. Ada kemungkinan bayi akan menjadi hipertiroidisme, mengingat
TSI melewati plasenta dengan mudah.
E. Penatalaksanaan
Tujuan terapi hipertiroidisme adalah mengurangi sekresi kelenjar tiroid. Sasaran
terapi dengan menekan produksi hormon tiroid atau merusak jaringan kelenjar
(dengan yodium radioaktif atau pengangkatan kelenjar). Adapun penatalaksanaan
terapi hipertiroidisme meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan:
1. Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori 2600-
3000 kalori per hari baik dari makanan maupun dari suplemen.
2. Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan) per
hari untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan
telur.
3. Olah raga secara teratur.
4. Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan kadar
metabolisme.
a. Obat Antitiroid :
Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
22
dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah atau mengurangi
biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan
organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur
molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan
mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T4 menjadi
T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Propylthiouracil
mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat
konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara
cepat pada fase akut dari penyakit Graves. Sedangkan kelebihan metimazol adalah
efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga
dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi
remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun
setelah pengobatan. Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian
obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi
keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan
secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150
mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau
2 kali sehari. Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat
diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole
40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20
mg perhari.
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai
dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol atau tiamazol dimulai dengan 20-40
mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons
23
pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan
metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan
klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal
belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas
melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat (meskipun sedikit) menurunkan kadar T3
melalui penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol
umumnya berkisar 80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta
dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis
awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek
serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan
depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis,
dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada
pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia,
fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase.
c. Obat-obatan Lain
24
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic
contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek
menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar
pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada
keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi
iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda
dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan
dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun
jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih
lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan
yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi
didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
Pembedahan (Indikasi)
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma
yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid
dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2
minggu preoperatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali
sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan
mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai
seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan
tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli
bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan
penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi
pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus
25
recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1%
kasus.
Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50
tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek
ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi
local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain
disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam
perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik.
Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan
tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi
hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1
tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna
untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau
menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium
radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain
kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium
radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat. Cara pengobatan
ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi
terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis
I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi
dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-
obat penyekat beta dan atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium
radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain
seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-
hari. Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis,
26
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme. Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat
jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2
tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.
F. Komplikasi
Krisis tiroid merupakan komplikasi hipertiroidisme yang jarang terjadi
tetapi berpotensi fatal. Pasien biasanya memperlihatkan keadaan hipermetabolik
yang ditandai oleh demam tinggi, takikardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis.
Pada fase lanjut, pasien dapat jatuh dalam keadaan stupor atau koma yang disertai
dengan hipotensi. Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh
dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis.
Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin
menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid atau
meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan demam dengan temperatur konsisten melebihi 38,5oC. Pasien bahkan
dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih.
Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara lain hipertensi dengan
tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok.
Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung
antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi atrium, tetapi
takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda neurologik
mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidal transien,
tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda orbital dan
goiter. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecurigaan akan terjadi krisis tiroid
apabila terdapat trias krisis tiroid, yaitu menghebatnya tanda tirokotoksikosis,
kesadaran menurun, dan hipertermia.
27
2.4 Manajemen Preoperatif pada Hipertiroid
Keadaan hipertiroid biasanya disebabkan oleh kondisi pembesaran
multinoduler diffuse pada Grave’s disease (yang dihubungka dengan kelainan
pada kulit, mata atau keduanya). Namun, kondisi dapat muncul juga pada keadaan
kehamilan, tiroiditis, adenoma tiroid, koriokarsinoma, atau TSH-secreting
pituitary adenoma. Lima persen wanita hamil mengalami tirotoksikasi pada 3-6
bulan paska melahirkan dan memiliki kecenderungan untuk kambuh pada
kehamilan-kehamilan berikutnya.
Manifestasi utama pada hipertiroid adalah kehilangan berat badan, diare,
kulit yang lembab-hangat, kelemahan otot-otot besar, abnormalitas menstruasi
pada wanita, osteopenia, kondisi gugup, tidak tahan terhadap suhu panas,
takikardia, tremor, aritmia jantung, prolaps mitral valvula, dan hingga gagal
jantung. Ketika fungsi tiroid dalam kondisi yang tidak normal, hal yang paling
mengacam jiwa adalah gangguan pada sistem kardiovaskuler.
Apabila terdapat diare yang berat, keadaan dehidrasi harus segera
dikoreksi saat preoperatif. Anemia ringan, trombositopenia, peningkatan enzim
alkaline fosfatase, hiperkalsemia, kelemahan otot dan tulang keropos seringkali
muncul pada keadaan hipertiroid. Kelainan pada otot yang ditimbulkan kondisi
hipertiroid biasanya melibatkan otot-otot bagian proksimal dan belum pernah ada
laporan kejadian paralisis otot pada otot pernapasan.
Pada pasien yang berumur lebih dari 60 tahun denga kondisi hipertrioid,
gejala yang muncul seringkali terkait dengan efek gangguan dari jantungnya dan
hal ini mendominasi gejala klinik pasien-pasien ini. Beberapa tanda yang muncul
akibat gangguan fungsi jantung ini adalah takikardi, irama jantung yang ireguler,
fibrilasi atrium (10 %) sampai kepada gagal jantung. (Roizen M. et Fleisher
L,2010)
Secara umum, penanganan pasien dengan hipertiroid adalah untuk
menurunkan level hormon tiroid dan memberikan “counter” (perlawanan balik)
terhadap tanda dan gejala yang muncul, terutama yang dapat mengancam jiwa.
28
Penanganan medis hipertiroid menggunakan obat-obatan yang menghambat
sintesis hormon (misalnya : obat propylthioruacil, methimazole) atau obat-obatan
yang menghambat pelepasan hormon (misalnya potasium, sodium iodida), atau
obat yang melawan overaktivitas dari adrenergik seperti propanolol. Meskipun β-
adrenergik antagonis tidak mempengaruhi fungsi dari kelenjar tiroid, obat-obatan
ini menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Iodium radioaktif merusak
fungsi sel-sel kelenjar tiroid tetapi obat ini tidak direkomendasikan untuk pasien
hamil dan dapat menghasilkan suatu kondisi hipotiroid. Tiroidektomi sub total
sekarang mulai berkurang penerapannya tetapi tetap dibutuhkan pada pasien
dengan goiter multinodul yang toksik ataupun adenoma toksik soliter (Morgan,
2006).
Preoperatif
Pasien yang menjalani tindakan pembedahan tetap diperlakukan seperti
pasien-pasien lain yang akan menjalani prosedur pembedahan dengan penekanan
pada anamnesis serta pemeriksaan fisik maupun penunjang untuk
mengidentifikasi kelainan fungsi tiroidnya. Gejala dan tanda yang harus menjadi
perhatian utama pasien hipertiroid adalah terkait dengan fungsi jantung dan
respirasi. Pasien dengan goiter yang besar memiliki problem potensial terkait
dengan jalan napasnya. Sehingga, pada pasien ini, penilaian jalan napas menjadi
hal utama yang harus dinilai dengan cermat. Pasien dapat memberikan gejala
kesulitan napas misalnya positional dyspnoe dan hal ini dapat dihubungkan
dengan beberapa derajat dari disfagia. Pasien juga dapat menunjukkan gejala
sumbatan pada vena cava terutama pada kasus goiter retrosternal. Beberapa
penilaian lain terhadap jalan napas dapat beruba penilaian jarak tiromental, derajat
protrusi gigi bawah, keterbatasan gerak dari leher dan observasi struktur faring.
(Farling PA,2000)
Pasien dinilai tekanan darah, temperatur, denyut dan ritme jantungnya.
Selain itu juga dinilai gejala-gejala yang berhubungan dengan miopati,
29
manifestasi sistem saraf pusat ( misal : kondisi gugup), tanda-tanda di mata, tanda
dehidrasi, maupun adanya kehamilann maupun kehamilan mola. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan di antaranya pemeriksaan EKG, profil darah tes
fungsi pembekuan darah,CT scan leher, foto rontgen dada (terutama pada pasien
goiter). Pasien juga harus dinilai apakah akan menjalani pembedahan elektif atau
pembedahan emergency. (Susan,H et Noorily MD, 2007 )
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan elektif, termasuk
tindakan tiroidektomi subtotal, harus ditunda hingga pasien mengalami keadaan
klinis dan kimiawi yang “eutiroid”. Penilaian preoperatif harus termasuk penilaian
terhadap fungsi tiroid. Nadi isitirahat yang direkomendasikan adalah 85
kali/menit. Benzodizepin adalah pilihan yang baik untuk sedasi preoperatif.
(Morgan, 2006). Meski demikian, beberapa berpendapat bahwa pemberian sedasi
yang berlebihan tidak dianjurkan terutama pada pasien yang memiliki goiter yang
besar yang mengganggu airway. Meskipun hal ini sebenaranya tidak berhubungan
langsung dengan kondisi hipertiroidnya,lebih pada gangguan jalan napasnya.
(Roizen M. et Fleisher L, 2010). Preparasi cepat dibutuhkan untuk pasien yang
akan menjalani pembedahan darurat. Preparasi cepat ini dilakukan dengan
memberikan kombinasi beta-bloker, kortikosteroid, thionamid, iodium dan asam
iopanoic (mengandung iodium dan penghambat pelepasan hormon tiroid). Wanita
yang akan menjalani evakuasi darurat dari mola hidatidosa dapat dalam keadaan
hipertiroid dan memiliki resiko terjadi badai tiroid. (Susan,H et Noorily
MD,2007)
Obat antitiroid dan antagonis β-adrenergik dilanjutkan sampai pagi hari
operasi. Pemberian Prophylthiouracil dan methimazole adalah penting karena
kedua obat ini memiliki waktu paruh yag pendek. Apabila akan dilakukan
pembedahan darurat (emergency), sirkulasi yang hiperdinamik dapat dikontrol
dengan menggunakan titrasi esmolol (Morgan, 2006).
Obat antagonis β-adrenergik seringkali digunakan untuk mengontrol
denyut jantung. Akan tetapi, obat-obatan jenis ini harus dipertimbangkan ulang
30
pemberiannya untuk pasien-pasien dengan kondisi gagal jantung kongestif (CHF).
Meski demikian, menurunkan denyut jantung dapat meningkatkan fungsi pompa
jantung itu sendiri. Kemudian, pasen hipertiroid yang memiliki laju ventrikel yang
cepat dan dalam kondisi CHF serta membutuhkan pembedahan segera, dapat
diberikan esmolol yang dipandu dengan perubahan pulmonary artery wedge
pressure. Jika dosis kecil esmolol (50 μg/kg) yang diberikan tidak memperparah
kondisi gagal jantung yang telah ada, dapat diberikan esmolol tambahan.(Roizen
M et Fleisher L, 2010).
Intraoperatif
Fungsi kardiovaskuler dan temperatur tubuh harus dimonitor secara ketat
pada pasien yang memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi
secara baik, karena keadaan eksoftalmus pada penyakit Grave’s meningkatkan
resiko abrasi kornea sampai dengan ulserasi. Ketamin, pancuronium, agonis
adrenergik indirek dan obat-obat lain yang menstimulasi sistem saraf simpatis
dihindari karena adanya kemungkinan peningkatan tekanan darah dan denyut
jantung. Thiopental dapat menjadi obat induksi pilihan di mana obat ini memiliki
efek antitiroid pada dosis tinggi. Pasien hipertiroid dapat menjadi hipovolemi dan
vasodilatasi dan menjadi rentan untuk mengalami respon hipotensi selama induksi
anestesi.
Kedalaman anestesi yang adekuat harus dicapai sebelum dilakukan
laringoskopi atau stimulasi pembedahan untuk menghindari takikardi, hipertensi
atau aritmia ventrikel. Pemberian agen blok neuromuskuler (NMBAs) harus
diberikan secara hati-hati, karena keadaan tirotoksikosis seringkali berhubungan
dengan peningkatan insiden miopati dan miastenia gravis. Hipertiroid tidak
meningkatkan kebutuhan anestesia seperti tidak berubahnya minimum alveolar
concetration. (Morgan, 2006). Meski demikian, terkadang kebutuhan dosis
anestesi intravena diperlukan. (Susan H et Noorily MD, 2007). Untuk
menumpulkan respon hemodinamik saat melakukan intubasi dapat diberikan
lidokain, fentanyl atau kombinasi keduanya yang diberikan sebelum intubasi.
31
(Bolaji et all, 2011). Pasien dengan goiter yang besar dan mengalami obstruksi
jalan napas dikelola seperti pasien-pasien lain yang mengalami gangguan jalan
napas. (Roizen M et Fleisher L, 2010). Kesulitan intubasi meningkat kejadiannya
pada pasien dengan goiter. Induksi inhalasi atau intubasi sadar dengan fiberoptik
dapat dipertimbangkan apabila ada bukti obstruksi jalan napas ataupun deviasi
maupun penyempitan. (Barash et all., 2009)
Tujuan utama dari manajemen intraoperatif pasien hipertiroid adalah untuk
mencapai kedalaman anestesia (sering dengan isofluran atau desfluran) yang
mencegah peningkatan respon sistem saraf pusat terhadap stimulasi pembedahan.
Apabila menggunakan anestesi regional, epinefrin tidak boleh ditambahkan pada
larutan anestesi lokal. (Barash et all, 2009)
Postoperatif
Ancaman serius pada pasien hipertiroid pada periode postoperatif adalah
badai tiroid (thyroid storm), yang memiliki ciri hiperpireksia, takikardi, penurunan
kesadaran (agitasi, delirium, koma) dan hipotensi. Onset badai tiroid biasanya 6-
24 jam setelah pembedahan tetapi dapat muncul intraoperatif, menyerupai
hipertermi maligna. Tidak seperti hipertermi maligna, badai tiroid tidak
berhubungan dengan rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase, atau keadaan
asidosis metabolik maupun respiratorik.
Penanganan badai tiroid termasuk hidrasi dan pendinginan, infus esmolol
atau propanolol intravena (0,5 mg dan ditingkatkan sampai denyut jantung <
100/menit), propylthioruacil (250-500 mg tiap 6 jam secara oral maupun dengan
nasograstric tube) diikuti sodium iodida (1g intravena dalam 12 jam) dan koreksi
faktor yang mempresitipasi (misal: infeksi). Kortisol (100-200 mg tiap 8 jam)
direkomendasikan untuk mencegah komplikasi supresi kelenjar adrenal yang
muncul.
Tiroidektomi subtotal dihubungkan dengan beberapa komplikasi
pembedahan. Cedera pada nervus reccurent laryngeal akan berakibat pada suara
serak (jika unilateral) atau afonia dan stridor (bilateral). Fungsi pita suara dapat
32
dievaluasi dengan laringoskopi segera setelah ekstubasi dalam, meskipun hal ini
jarang diperlukan. Kegagalan gerak dari satu atau dua pita suara memerlukan
intubsi dan eksplorasi luka. Formasi hematom dapat menyebabkan airway
compromise dari kolapsnya trakhea pada pasien dengan trakheomalasia.
Hipoparatiroid dari terpotongnya kelenjar paratiroid yang tidak disengaja dapat
menyebabkan hipokalsemia dalam 12-72 jam. (Morgan, 2006). Pasien yang
menjalani subtotaltiroidektomi juga beresiko mengalami hipotiroid paska
pembedahan dengan insidensi sebanyak 60%. Sedangkan untuk pasien yang
menjalani total tiroidektomi, sebagian besar akan mengalami hipotiroid paska
pembedahan (Crisaldo S et Mercado A.,2005)
Hipotiroid
A. Definisi Hipotiroidisme adalah kumpulan sindroma yang disebabkan oleh konsentrasi hormon tiroid yang rendah sehingga mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh secara umum. Kejadian hipotiroidisme sangat bervariasi , dipengaruhi oleh faktor geografik dan lingkungan seperti asupan iodium dan goitrogen, predisposisi genetik dan usia. Hipotiroidisme merupakan suatu sindroma klinis akibat penurunan produksi dan sekresi hormon tiroid. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh dan penurunan glukosaminoglikan di interstisial terutama dikulit dan otot.
B. Etiologi Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan menjadi hipotiroidisme primer, sekunder, tersier, serta resistensi jaringan tubuh terhadap hormon tiroid. Hipotiroidisme primer terjadi akibat kegagalan tiroid memproduksi hormon tiroid, sedangkan hipotiroidisme sekunder adalah akibat defisiensi hormon TSH yang dihasilkan oleh hipofisis. Hipotiroidisme tersier disebabkan oleh defisiensi TRH yang dihasilkan oleh hipotalamus. Penyebab terbanyak hipotiroidisme adalah akibat kegagalan produksi hormon tiroid oleh tiroid (hipotiroidisme primer).
33
Tabel Etiologi Hipotiroid C. Gejala Klinis
Spektrum gambaran klinik hipotiroidisme sangat lebar, mulai dari keluhan cepat lelah atau mudah lupa sampai gangguan kesadaran berat (koma miksedema). Dewasa ini sangat jarang ditemukan kasus-kasus dengan koma miksedema. Gejala yang sering dikeluhkan pada usia dewasa adalah cepat lelah, tidak tahan dingin, berat badan naik, konstipasi, gangguan siklus haid dan kejang otot
34
Tabel Gejala Klinis Hipotiroidisme berdasarkan sistem organ.
Koma miksedema merupakan salah satu keadaan klinis hipotiroidisme yang jarang dijumpai dan merupakan merupakan keadaan yang kritis dan mengancam jiwa.Terjadi pada pasien yang lama menderita hipotiroidisme berat tanpa pengobatan sehingga suatu saat mekanisme adaptasi tidak dapat lagi mempertahankan homeostasis tubuh. Koma miksedema ditegakkan dengan :
Tanda dan gejala klinis keadaan hipotiroidisme dekompensata. Perubahan mental, letargi, tidur berkepanjangan (20 jam atau
lebih). Defek termoregulasi, hipotermia. Terdapat faktor presipitasi : kedinginan, infeksi, obat-obatan
(diuretik, tranguilizer, sedatif, analgetik), trauma, stroke, gagal jantung, perdarahan saluran cerna.
35
D. Diagnosis Terdapat tiga pegangan klinis untuk mencurigai adanya
hipotiroidisme, yaitu apabila ditemukan : Klinis keluhan-keluhan dan gejala fisik akibat defisiensi hormon
tiroid. Tanda-tanda adanya keterpaparan atau defisiensi, pengobatan
ataupun etiologi dan resiko penyakit yang dapat menjurus pada kegagalan tiroid atau hipofisis
Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit tiroiditis autoimun kronis.
Kegagalan produksi hormon tiroid menyebabkan penurunan kadar T4 serum, sedangkan penurunan kadar T3 baru terjadi pada hipotiroidisme berat. Pada hipotiroidisme primer ditemukan penurunan kadar T4 sedangkan TSH serum meningkat. Pada hipotiroidisme sentral , disamping kadar T4 serum rendah, terdapat kadar TSH yang rendah atau normal. Untuk membedakan hipotiroidisme sekunder dengan tersier diperlukan pemeriksaan TRH. Diagnosis hipotiroidisme dipastikan oleh adanya peningkatan kadar TSH serum. Apabila kadar TSH meningkat akan tetapi kadar FT4 normal, keadaan itu disebut hipotiroidisme sub klinik . Biasanya peningkatan kadar TSH pada hipotiroidisme subklinik berkisar antara 5-10 mU/L sehingga disebut juga hipotiroidisme ringan. Kadar T3 biasanya dalam batas normal sehingga pemeriksaan kadar T3 serum tidak membantu untuk menegakkan diagnosis hipotiroidisme.
36
Pengaruh Hipotiroidisme pada berbagai organ pada periode Perioperatif 1. Pengaruh Hipotiroidisme pada sistem Kardiovaskular
Efek terhadap curah jantung: Denyut jantung dan isi sekuncup yang berkurang menyebabkan penurunan curah jantung 30% sampai 50% volume normal. Pemanjangan waktu preejeksi dan pemendekan waktu ejeksi dari ventrikel kiri berhubungan langsung dengan tingkat keparahan dari hipotiroidisme. Pada beberapa kasus hipotiroidisme terdapat peningkatan waktu preejeksi 40% dan penurunan waktu ejeksi 60%. Perubahan ini mungkin sangat penting bagi pasien bedah dengan beberapa derajat gagal jantung yang sudah ada sebelumnya. Gangguan hemodinamik menyebabkan tekanan nadi sempit, waktu sirkulasi memanjang dan berkurangnya volume darah ke perifer sehingga kulit terasa dingin, pucat dan sangat sensitif pada kedinginan
Perubahan molekuler: Perubahan molekuler yang mendasari terjadinya kelainan kardiovaskuler pada hipotiroidisme adalah terdapatnya gangguan penyerapan kalsium pada retikulum sitoplasmik dan penekanan aktivitas dari myosin ATP-ase yang memberikan pengaruh terhadap kontraktilitas miokard. Adanya penurunan penyerapan kalsium dan aktivitas hidrolisis ATP terhadap kalsium ditingkat retikulum sitoplasmik dan penurunan reseptor β adrenergik akan menyebabkan penurunan kontraktilitas miokard.
Gambaran EKG: Ada beberapa kelainan elektrokardiografi dapat ditemukan pada keadaan hipotiroidisme, khususnya pada waktu perioperatif. Bradikardi merupakan gambaran EKG yang paling sering ditemukan pada hipotiroidisme. Disamping itu dapat juga ditemukan gambaran low voltage, PR interval memanjang, adanya pemanjangan gelombang P dan kompleks QRS, dan juga adanya perubahan ST yang tidak spesifik. Tapi kekurangan hormon tiroid bukan satu-satunya penyebab gangguan irama dan perubahan EKG, sehingga kecurigaan adanya penyebab hipotiroidisme yang lain harus dicari, terutama pada pasien dengan riwayat sakit jantung yang sedang menjalani tindakan bedah. Hipotiroidisme yang lama biasanya menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dan gangguan terhadap faktor koagulasi. Hal ini dapat mempengaruhi terjadinya kelainan kardiovaskuler seperti infark miokard atau kelainan serebrovaskular pada waktu perioperatif.
37
2. Pengaruh Hipotioidisme pada Sistem Pernapasan Beberapa kelainan pada fungsi pernapasan pasien hipotiroidisme
yaitu adanya penurunan kapasitas pernafasan maksimal dan kemampuan untuk menyebarkan karbon monoksida. Kemampuan untuk mengatasi keadaan hipoksia ventilasi pada hipotiroidisme sangat rendah, dan pengendalian terhadap hiperkapnia ventilasi juga sangat sering terganggu. Satu dari banyak faktor yang terlibat sebagai penyebab gangguan fungsi pernafasan adalah adanya kelemahan otot pernapasan. Gangguan fungsi otot pernafasan ini merupakan hasil dari perubahan intrinsik (seperti yang disebabkan oleh ekspresi gen yang berubah dari produk gen dalam sel-sel otot) dan disfungsi dari saraf frenikus.
Efek langsung dari hipotiroidisme terhadap fungsi paru tidak ada. Hormon ini mempengaruhi produksi surfaktan oleh sel pneumocytes tipe II. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan paru dan perburukan fungsi paru.
3. Pengaruh Hipotiroidisme pada Fungsi Ginjal
38
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan volume plasma pada hipotiroidisme. Diantaranya yaitu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat menyebabkan terjadinya masuknya air dan albumin ke dalam ruang interstisial. Faktor lainnya adalah pengendapan glukosaminoglikan dalam jaringan interstisial (yang menyebabkan terjadinya edema nonpitting) sehingga molekul-molekul besar yang memiliki efek osmotik dapat menyebabkan pergeseran cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler, sehingga akan menurunkan volume plasma efektif. Efek hipotiroidisme pada fungsi ginjal yaitu terdapatnya penurunan perfusi ginjal, peningkatan hormon antidiuretik (ADH), penurunan faktor natriuretik atrium (ANF), dan penurunan aktifitas sistem renin-angiotensin-aldosteron.
4. Pengaruh Hipotiroidisme pada Sistem Hemapoetik dan Koagulasi. Sekitar 25% sampai 50% dari keadaan hipotiroidisme ditemukan
adanya anemia. Biasanya jenis anemianya normositik normokrom dan memiliki cadangan besi yang normal, dengan sumsum tulang yang hiposeluler dengan diferensiasi sel darah merah yang normal. Pasien hipotiroidisme cendrung mudah berdarah, mengalami menorragia, waktu perdarahan yang memanjang pada ekstraksi gigi. Gangguan hemostasis paling sering berupa pemanjangan waktu perdarahan, faktor Von Willebrand yang rendah. Keadaan ini dapat diterapi dengan pemberian desmopresin karena dapat merangsang pelepasan faktor VIII dari sel endotel dan trombosit.
5. Pengaruh Hipotiroidisme pada Sistem Pencernaan Terdapat adanya kesulitan dalam penanganan pasca operasi pada
hipotiroidisme dengan disfungsi gastrointestinal bagian atas. Penurunan motilitas gastrointestinal atau bahkan ileus merupakan komplikasi pembedahan yang sering ditemukan, terutama setelah tindakan operatif pada daerah abdomen. Hipotiroidisme dapat mengalami konstipasi kronik, atoni dan hipomotiliti dari saluran gastrointestinal yang dapat berlanjut menjadi ileus paralitik atau “ ileus Miksedema”. Distensi yang berat dari bagian lain di saluran pencernaan (misalnya, kerongkongan, perut, dan duodenum) juga bisa terjadi. Sangat mungkin efek pembedahan pada hipotiroidisme dapat memperburuk komplikasi dan hasil akhir pembedahan dengan meningkatnya morbiditas atau bahkan mortalitas.
Pengaruh Operasi terhadap Parameter Tiroid
39
Tidak hanya hipotiroidisme yang memiliki efek yang berbeda terhadap parameter pembedahan, tetapi juga sebaliknya. Stres pada pembedahan mempunyai efek langsung pada tiroid dengan ditandai perubahan konsentrasi TSH, T4 dan T3. Hipotiroidisme yang menjalani operasi akan bermanifestasi euthyroid sick sindrome (ESS). Total T3 akan turun pada 30 menit setelah induksi anestesi dan akan tetap rendah sekurangnya 24 jam pertama setelah operasi. FT3 dan FT4 juga ditemukan sedikit menurun sesudah operasi. Observasi terhadap perubahan T4 total serum akan bervariasi tergantung pada jenis anestesi yang digunakan, yang meningkat dengan penggunaan anestesi umum, sedangkan sedikit penurunan T4 pada penggunaan anestesi epidural. Reverse T3 (RT3) serum tidak berubah di awal operasi, tetapi kemudian nilainya biasanya meningkat dan tetap tinggi sampai hari keempat atau kelima sesudah operasi. Konsentrasi TSH serum tidak berubah, kecuali bila dilakukan induksi pada keadaan hipotermi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prosedur Operasi
Beberapa risiko yang berhubungan dengan prosedur operasi pada pasien dengan hipotiroidisme adalah sebagai berikut :
Pemberian obat-obat premedikasi dan anestesi:
Akibat adanya gangguan metabolisme dan bersihan obat dihati dan ginjal, pasien dengan hipotiroidisme memiliki sensitivitas yang meningkat terhadap obat-obatan (anestesi, perioperatif).
Periode pemulihan kesadaran memanjang, penekanan fungsi respirasi dan fase hipotensi yang juga memanjang.
Intraoperatif: Adanya kelainan jantung memprediksi timbulnya risiko hipotensi dan gagal jantung lebih sering.
Mengatasi infeksi: Jarangnya gejala demam mengakibatkan diagnosis terlambat dan pemberian terapi untuk infeksi yang juga terlambat.
4.1 Evaluasi praoperatif
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada anamnesis perlu digali apakah hipotiroidisme baru dikenal atau sudah dalam terapi. Untuk pasien yang mendapatkan suplementasi hormon tiroid, pemakaian obat-obatan seperti kolestiramin, besi, preparat almunium, kalsium dan karbamazepin dapat menurunkan absorbsi hormon tiroid. Pemakaian preparat iodine dan kontras yang mengandung iodine dapat memperburuk hipotiroidisme.
Pemeriksaan penunjang
40
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan hormon tiroid yang didapatkan kita dapat menentukan apakah pasien masuk dalam keadaan hipotiroidisme ringan, sedang atau berat. Pemeriksaan penunjang lain untuk melihat pengaruh hipotiroidisme pada beberapa organ meliputi pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi dan elektrokardiografi.
4.2 Penatalaksanaan praoperatif
Pada pasien yang sudah mendapatkan suplementasi levotiroksin sebelumnya, dilakukan penilaian status fungsional tiroidnya. Selain dapat diketahui dari anamnesa dan pemeriksaan fisik , dapat pula dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pada pasien yang baru dicurigai adanya hipotiroidisme pada saat praoperasi, maka dilakukan pemeriksaan konsentrasi FT4 dan TSH, juga perlu ditentukan apakah hipotiroidismenya tersebut ringan, sedang atau berat. Pada hipotiroidisme yang berat, ditandai adanya koma miksedema, gangguan status mental, gagal jantung atau konsentrasi hormon tiroksin yang sangat rendah, maka sebaiknya operasi ditunda sampai kondisi hipotiroidisme beratnya teratasi.
1.Terapi levotiroksin oral pada hipotiroidisme ringan dan sedang
Levotiroksin merupakan obat pilihan untuk pengobatan hipotiroidisme. Levotiroksin bertindak sebagai reservoir untuk hormon tiroid aktif (T3). Terapi hipotiroidisme dengan levotiroksin bertujuan untuk menghilangkan gejala klinis serta mencapai atau mempertahankan kadar TSH pada paruh bawah rentang kadar TSH normal atau sekitar 0,4-2,5 mU/L. Namun bila pasien telah merasa nyaman dengan kadar TSH pada paruh atas rentang kadar TSH normal, dosis levotiroksin dapat dilanjutkan. Secara umum dengan dosis levotiroksin 1,6 gr/kgBB/hari (100-125 mg/hari) dapat mencapai keadaan yang eutiroid. Terapi levotiroksin dapat diberikan langsung dari awal dengan dosis penuh.Setelah perawatan levotiroksin dimulai, dosis harus disesuaikan setiap 4-8 minggu sampai pasien menjadi eutiroid. Tujuan terapi tergantung pada situasi klinis.
Pemberian dosis levotiroksin dosis pengganti harus berhati-hati pada pasien hipotiroidisme usia lanjut (> 60 tahun) atau pada pasien-pasien dengan penyakit jantung iskemik. Pada keadaan tersebut pemberian dosis levotiroksin dimulai dengan dosis kecil (12,5 atau 25 mg/hari) yang dapat ditingkatkan tiap 3-6 minggu sampai tercapai keadaan eutiroid (start low go slow). Dengan cara terapi tersebut ukuran-ukuran membaiknya fungsi tiroid dan kardiovaskuler dapat diprediksi.
41
Pemberian terapi levotiroksin oral ini dianjurkan pada keadaan preoperatif hipotiroidisme ringan atau sedang yang masih dapat ditunda tindakan operatif sampai keadaan pasien menjadi eutiroid. Dalam beberapa situasi, triiodotironin diberikan untuk jangka pendek untuk mengurangi gejala hipotiroidisme sementara terapi levotiroksin mencapai keadaan yang stabil. Strategi pengobatan ini akan dipertimbangkan untuk pasien yang baru saja menjalani total tiroidektomi. Pasien sering sangat hipotiroidisme setelah operasi tiroid (6 sampai 8 minggu). Dosis awalnya berkisar 10-25 µg, diberikan 2 kali sehari. Setelah 2 sampai 3 minggu perawatan, dosis bisa dikurangi dan dihentikan dalam waktu 4 – 6 minggu setelah levotiroksin mengambil alih. Pemberian triiodotironin oral akan diabsorbsi 100% , dan merupakan bentuk biologis yang paling aktif (5 kali lebih aktif dari pada T4). Puncak dari konsentrasi T3 ini didapat setelah 2-4 jam sesudah pemberian oral. Sedangkan pemberian dosis kecil 20 µg ini akan meningkatkan kadar konsentrasi T3 untuk berpenetrasi 6-8 jam dengan kecepatan distribusi yang lambat. Untuk tindakan operasi emergensi dapat diberikan triiodotironin atau levotiroksin intravena bersamaan dengan pemberian glukokortikoid intravena.
2. Terapi hormon tiroid parenteral pada pasien hipotiroidisme berat atau pada operasi emergensi
Pasien hipotiroidisme mungkin memerlukan jalur alternatif yang lain untuk memasukkan levotiroksin untuk mengembalikan ke keadaan eutiroid pada waktu perioperatif. Karena penyerapan levotiroksin oral tidak sesempurna intravena, maka dosis levotiroksin intravena harus dikurangi sekitar 20% sampai 40%. Pada pasien dengan hipotiroidisme berat namun memerlukan tindakan operasi segera, maka diberikan suplementasi levotiroksin dan steroid intravena. Awalnya dosis levotiroksin intravena diberikan loading dose 300-400 µg dilanjutkan 50 µg perhari. Sayangnya preparat levotiroksin intravena belum tersedia di Indonesia. Keadaan koma miksedema yang akan menjalani operasi emergensi dapat diberikan triiodotironin intravena dengan dosis 10-25 µg atau 5 µg pada usia tua dengan penyakit jantung koroner, diikuti dengan bolus levotiroksin dengan dosis 200-400 µg. Pemberian triiodotironin ini dapat diulang pada 8 jam dan 16 jam setelah pemberian yang pertama dengan dosis yang sama bila tidak terdapat adanya perbaikan, atau pemberian triiodotironin ini dapat diulang setiap 8 jam. Sedangkan pemberian levotiroksin dapat dilanjutkan dengan dosis 100 µg perhari.
Pemberian triiodotironin ini dipertimbangkan karena setelah pemberian obat anestesi inhalasi atau intravena dapat menurunkan kadar T3 plasma. Penurunan kadar T3 ini dimulai 30 menit setelah pemasukan obat anestesi dan kecepatan penurunannya menjadi melambat setelah 24 jam pertama setelah anestesi. Dan mulai terjadi peningkatan konsentrasi T3 ini setelah hari ke 7 setelah anestesi.
42
Evaluasi pasca operatif
Beberapa kondisi seperti dibawah ini dapat menjadi pertimbangan adanya kemungkinan hipotiroidisme yang tidak terdiagnosis pada pasien pasca operasi yaitu :
Terdapat kesulitan untuk melakukan proses penghentian dari penggunaan ventilator.
Ileus yang tidak dapat dijelaskan. Gagal jantung. Pada pasien yang belum bisa makan peroral pasca operasi, penundaan
levothyroxin relatif aman mengingat waktu paruhnya yang panjang (± 7 hari).
43
Anestesi pada Pembedahan Tiroid
Penilaian Preoperatif
Penilaian Preoperatif dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang berkaitan dengan kelenjar tiroid, serta efek metabolik tiroid
seperti hipertiroid ataupun hipotiroid seperti yang telah dijelaskan di atas.
Pembedahan elektif harus ditunda sampai pasien eutiroid. Pada hari operasi, obat
antitiroid biasanya harus diberikan kecuali untuk Carbimazole karena
meningkatkan vaskularisasi kelenjar. Benzodiazepin dapat diberikan untuk
anxiolysis tetapi harus dihindari jika ada kekhawatiran gangguan
napas. Antikolinergik dapat membantu untuk mengeringkan sekresi.
Pada pembedahan darurat, tidak mungkin untuk membuat pasien-pasien
dengan penyakit tiroid yang tidak terkontrol menjadi penyakit euthyroid. Dalam
keadaan ini, pasien hipertiroid dapat diberikan beta blocker (misalnya propanolol,
esmolol), hidrasi intravena dan pendinginan aktif jika perlu. Pasien hipotiroid
yang parah akan beresiko koma myxedema pada periode perioperatif dan harus
ditangani dengan T3 dan T4 intravena.
Manajemen Intraoperatif
Secara historis operasi tiroid dilakukan dengan anestesi lokal. Anestesi
umum sekarang merupakan teknik yang lebih baik tetapi teknik anestesi regional
masih memiliki tempat baik sebagai teknik tunggal dengan atau tanpa sedasi atau
bersama anestesi umum untuk meningkatkan analgesia.
Anestesi Regional
Teknik yang umum digunakan adalah blok bilateral pleksus superfisial
servikal C2-C4, dilakukan dalam kesadaran penuh dengan atau tanpa
sedasi. Sedasi sadar dapat dicapai melalui penambahan midazolam. Blok pleksus
servikal bilateral memiliki insidensi komplikasi yang lebih tinggi karena terdapat
arteri vertebralis, bisa terjadi injeksi subdural, dan terutama kelumpuhan saraf
frenikus bilateral.
44
Saraf menyuplai bagian anterolateral leher yang muncul dari batas posterior dari
sternocleidomastoid (SCM) sebagai rami anterior C2-C4, yang dibagi menjadi
segmen aurikularis, servikal melintang, oksipital dan saraf supraklavikular.
Gambar 1 : Blok Pleksus Servikal Superfisial
Untuk melakukan blok pleksus servikal superfisial, pasien harus
diposisikan dengan kepala diekstensikan ke sisi yang berlawanan dari kelenjar
tiroid yang akan dibedah, titik tengah posterior SCM harus terlihat. 15-20 mg
anestesi lokal (misalnya lidokain dan atau bupivakain dengan adrenalin)
disuntikkan di area dalam lapisan fasia pertama ke arah caudal dan cranial
sepanjang perbatasan posterior SCM. Untuk tiroidektomi, blok bilateral harus
dilakukan. Dapat dilakukan blok area garis tengah dengan injeksi subkutan dari
kartilago tiroid sampai pada derajat suprasternal Hal ini erguna untuk mencegah
rasa sakit akibat retraktor bedah pada bagian medial leher.
Anestesi regional ini menghindari risiko yang mungkin terjadi pada
anestesi umum serta memungkinkan pemantauan suara intraoperative. Teknik ini
cocok untuk pasien medis dengan tirotoksikosis rumit atau yang dengan gejala
obstruktif sekunder akibat gondok besar untuk menghindari resiko anestesi
umum. Komplikasi teknik ini termasuk toksisitas pembiusan lokal, hematoma,
pneumotoraks, dan kerugiannya adalah memerlukan kerja sama pasien sangat
baik.
45
Anestesi Umum
Berbagai teknik dapat digunakan untuk anestesi umum. Pasien dapat diberikan
induksi intravena dan intubasi. Dianjurkan dilakukan ventilasi manual sebelum
memberikan relaksan otot non-depolarising. Perlu dilakuakn pengawasan untuk
menghindari overinflating manset pengunci ET (atau menggunakan manset
manometer) untuk meminimalkan komplikasi pada trakea. Pita suara dapat
disemprotkan dengan lidokain sebelum intubasi, yang dapat membantu
mengurangi batuk. Jika ada keluhan mengenai patensi jalan napas atau anatomi
terganggu alternatif pilihan harus dipertimbangkan.
1. Induksi inhalasi. Teknik ini termasuk pre oksigenasi yang baik dan induksi
secara bertahap dengan Sevoflurane.
2. Jika ada kekhawatiran mengenai hambatan jalan napas saat induksi, dapat
digunakan intubasi fibreoptic
3. Jika salah satu pilihan tersebut tidak cocok, dilakukan trakeostomi dengan
anestesi lokal oleh dokter bedah.
4. Ventilasi melalui bronkoskopi kaku dapat digunakan jika dengan endotrakel
tube gagal atau jika ada kompresi trakea subglotis.
5. Laryngeal Mask Airway (LMA) dapat digunakan untuk pembedahan tiroid
tetapi harus dihindari pada mereka dengan gangguan jalan napas atau
gangguan anatomi. Penggunaan dari LMA memiliki keuntungan yang
memungkinkan penilaian pita suara secara intraoperatif melalui lingkup
fibreoptic dengan stimulasi dari saraf laring berulang. Intravena atau agen
inhalasi dapat digunakan untuk maintenance selama anestesi.
Pengaturan posisi untuk akses bedah yang optimal adalah kepala diekstensikan
penuh dan diganjal dengan bantal bentuk cincin diantara scapulae. Mata harus
cukup nyaman terutama pada penderita eksophtalmos. Lengan pasien
diekstensikan pada sisi pasien.
Pertimbangan Post Operatif
46
Perdarahan
Perdarahan pascaoperasi dapat menyebabkan kompresi dan obstruksi saluran
napas yang cepat. Tanda-tanda pembengkakan atau pembentukan hematoma yang
melibatkan jalan napas pasien harus segera didekompresi
Edema Laryngeal
Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari intubasi trakea traumatik atau akibat
hematoma yang dapat menyebabkan obstruksi drainase vena. Hal ini biasanya
dapat diatasi dengan steroid.
Kelumpuhan Nervus Laryngeal Berulang
Trauma pada saraf laring yang berulang dapat disebabkan oleh iskemia, traksi,
nervus melintang selama operasi dan dapat unilateral atau bilateral. Kelumpuhan
pita suara unilateral ditandai dengan kesulitan pernapasan, suara serak atau
kesulitan dalam fonasi sementara bilateral akan menghasilkan adduksi lengkap
dari pita suara dan menyebabkan stridor. RLN palsy bilateral membutuhkan
reintubasi segera dan pasien selanjutnya mungkin perlu trakeostomi.
Hipocalcemia
Trauma tidak disengaja ke kelenjar paratiroid dapat menyebabkan hipokalsemia
sementara. Hipokalsemia permanen jarang. Tanda-tanda hipokalsemia mungkin
termasuk kebingungan, berkedut dan tetany. Penggantian kalsium harus
dilakukan segera karena hipokalsemia dapat memicu layngospasm, iritabilitas
jantung, perpanjangan QT dan aritmia.
Tracheomalacia
Kemungkinan tracheomalacia harus dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami kompresi trakea oleh gondok besar atau tumor
Badai Tiroid
Hal ini dikarakteristikkan oleh hiperpireksia, takikardia, kesadaran berubah dan
hipotensi. Hal ini adalah keadaan darurat medis
47