Download - Referat GW
REFERAT THT
GRANULOMATOSIS WEGENER
DISUSUN OLEH :
SUSKHA P. PRATOMO
1102011268
PRESEPTOR
dr. H. W. Gunawan Kurnaedi, Sp. THT-KL
dr. Elananda Mahendrajaya, Sp.THT-KL
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSU Dr. SLAMET GARUT
PERIODE 28 SEPTEMBER 2015 – 30 OKTOBER 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan
referat dengan judul “Granulomatosis Wegener” yang disusun dalam rangka memenuhi
persyaratan kepaniteraan di bagian THT RSU dr. Slamet Garut.
Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. H. W. Gunawan Kurnaedi, SpTHT-KL selaku kepala SMF dan konsulen THT
RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada
penyusun.
2. dr. Elananda Mahendrajaya, SpTHT-KL selaku Konsulen THT RSU dr. Slamet
Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penyusun.
3. Para perawat di poliklinik THT yang telah banyak membantu penyusun dalam
kegiatan klinik sehari-hari.
4. Orang tua dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberi kasih sayang,
mendoakan dan memberi dukungan kepada penyusun.
5. Teman-teman sejawat yang telah banyak memberikan inspirasi dan dukungannya.
Penyusun menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran.Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Garut, Oktober 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR..............................................….......................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
BAB II ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL .............................. 2
2.1 Anatomi hidung dan sinus paranasal...................................................... 2
BAB III GRANULOMATOSIS WEGENER....................................................... 9
3.1 Definisi.................................................................................................... 9
3.2 Prevalensi.................................................................................................9
3.3Etiologi......................................................................................................9
3.4 Patofisiologi............................................................................................. 9
3.5 Tanda dan Gejala....................................................................................10
3.6 Manifestasi Klinis...................................................................................11
3.7 Diagnosis................................................................................................11
3.8 Komplikasi.............................................................................................12
3.9 Penatalaksanaan.....................................................................................13
BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Granulomatosis Wegener adalah penyakit vaskulitis nekrosis yang dihubungkan
dengan peradangan pada pembuluh darah, bentukan lengkap dari penyakit ini ditandai
dengan manifrestasi ke telinga, hidung dan tenggorokan.1 Penyakit ini adalah penyakit
sistemik dengan vaskulitis dan granuloma dengan penyebab utama yang belum diketahui
pasti, diperkirakan disebabkan oleh penyakit autoimun dan infeksi tapi belum terbukti
secara pasti.4
Granulomatosis Wegener pertama kali dijelaskan oleh ahli patologi jerman bernama
frederick wegener pada tahun 1931. Penyakit ini merupakan penyakit yang jarang
ditemukan, tetapi dapat berakibat fatal apabila tidak diterapi dengan tepat. Prevalensi dari
penyakit ini diperkirakan sekitar 24/1000.000 orang dan menyerang populasi di semua
umur.1,3
BAB IIANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior.4
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah
septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis
os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan
lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih
kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga
meatus yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan
dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.4
Gambar 1. Penampang Koronal Hidung
Kompleks osteomeatal (KOM)
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media,
ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal
(KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal
sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka
media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang
terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula
etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila.4
Gambar 2. Kompleks osteomeatal
Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior
ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di
anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada
ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari
infundibulum.4
Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan
merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula
etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid
dan menghambat drainase sinus maksila.4
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding
anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi
oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium
alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka
kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior.4
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel- sel
etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini
merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan
membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal. Resesus frontal
dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan merupakan
drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui
infundibulum etmoid menuju kavum nasi.4
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak
di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui
ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan
sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel- sel kecil yang merupakan sinus
etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media,
sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus
posterior dan bermuara di meatus superior.4
Sinus Maksila
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya
adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus
maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol
ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit
Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus
maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila
biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus
dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksila adalah
fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksila
dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior
dan didekat fontanel posterior.4
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari
sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid,
yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil- kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka
media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior
dari lamina basalis .
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila.
Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior
harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan tembus.
Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior dan dan daerah yang
kedua adalah daerah sel etmoid posterior yang meluas ke belakang dan di atas
rostrum sfenoid (sel Onodi). Kainz dan Stammberger menekankan daerah
rawan tembus pada saat melakukan etmoidektomi di bagian medial. Pada
daerah medial ini terdapat pertautan yang sangat tipis antara atap etmoid
dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat masuknya nervus olfaktorius
yang langsung berhubungan dengan lobus frontal.
Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh
Keros yaitu :
1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis
kribriformis dangkal
2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina
kribriformis lebih tinggi
3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis
panjang dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam.
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10
tahun dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal
kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan dan kiri
biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh
sekat yang terletak di garis tengah.
Gambar. 3. Sinus Paranasal
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto
Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral
septum nasi. Jika sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior
diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoid;
yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan indentasi dari
arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior
bersama dengan etmoid posterior.
BAB III
GRANULOMATOSIS WEGENER
3.1 Definisi
Granulomatosis Wegener adalah penyakit sistemik yang didefinisikan
dengan peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis), ginjal (glomerulonefritis)
dan saluran pernapasan bagian atas dan bawah (sinus, hidung, trakea, dan paru-
paru). Selain menyebabkan nekrosis reaksi inflamasi tersebut sering menyebabkan
bentukan granuloma yang aseptik.2,3
3.2 Prevalensi
Granulomatosis wegener paling sering menyerang individu pada umur
dekade keempat atau kelima. Bagaimanapun juga penyakit ini dapat menyerang
seseorang di setiap usia (usia 5-91 tahun). Dengan sekitar 15% menyerang populasi
dengan usia sebelum 20 tahun. Granulomatosis wegener menyerang baik pria atau
wanita. Penyakit ini lebih sering menyerang ras kaukasia (97%) dan jarang terjadi
pada ras afrika (2%).3
3.3 Etiologi
Penyebab dari granulomatosis wegener belum diketahui secara pasti, akan
tetapi diperkirakan disebabkan oleh reaksi autoimun atau infeksi, tetapi belum
terbukti secara jelas.4
3.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari granulomatosis wegener belum diketahui secara lengkap.
Ditemukannya ANCA (anti-neutrophil cytoplasmic antibodies) menunjukkan
antibodi patogenik tersebut dapat telibat secara langsung pada peradangan
pembuluh darah. Dibawah pengaruh antigen yang tidak diketahui dan beberapa
sitokin (TNF-α dan IL-1β), neutrofil mengekspresikan sitoplasma protease 3 (PR-3)
pada permukaan selnya. Mengawali dari produksi antibodi anti PR-3 atau disebut
ANCA, diikuti dengan melekatnya leukosit dan monosit ke pembuluh darah melalui
mekanisme adhesi molekul yang diinduksi sitokin. Dibawah pengaruh sitokin-
sitokin dan ANCA, reactive oxygen species dilepaskan dan mempengaruhi
kerusakan dari pembuluh darah dan ANCA juga menyerang secara langsung dari
pembuluh darah, kemudian terjadi trombosis pembuluh darah. Pembentukan
granuloma terbentuk secara sekunder dan membutuhkan input dari subpopulasi
limfosit, Dimana mekanisme yang jelas belum dapat diuraikan. Sebagai tambahan,
menyesuaikan dengan stadium dari penyakit, terkonsentrasinya masing-masing
elemen vaskulitis dan granuloma dapat bervariasi. Terkadang yang lebih dominan
vaskulitis, yang lain dominan dalam bentuk granuloma.1
3.5 Tanda dan gejala
Gejala yang sering muncul pada granulomatosis wegener adalah rinore yang
persisten, sekret hidung yang purulent atau berdarah, ulkus pada hidung atau mulut,
myalgia, nyeri sinus, nyeri ketika menderang atau kehilangan penderangan, stridor,
dan batuk darah.
Pada pemeriksaan fisik rinoskopi anterior dapat terlihat massa polipoid yang
telah ulserasi di bagian posterior lubang hidung dan membesar ke arah nasofaring.
Massa tersebut ditutupi eksudat putih.
3.6 Manifestasi Klinis
Pasien biasanya datang dengan riwayat dari malaise yang progresif, demam,
penurunan berat badan dan perasaan tidak nyaman yang tidak jelas,. Pada hidung
sering membengkak, mukosa berinflamasi dengan menghasilkan obstruksi dan
krusta yang berisi darah. Dimana dapat terjadi desktruksi dari septum dengan
karakteristik kerusakan dari batang hidung.4
3.7 Diagnosis
Diagnosis dari granulomatosis wegener memerlukan bukti adanya inflamasi
yang menyerang pembuluh darah, ginjal atau traktus respiratorius. Karena
banyaknya variabel yang diperhatikan, biasanya sering menghambat dari diagnosis
hingga 1-2 tahun. Granulomatosis wegener harus dibedakan dengan penyakit
penyebab vaskulitis lainnya. Biopsi positif dari organ yang terlibat (misalnya sinus,
ginjal atau paru-paru) mengkonfirmasi diagnosis dari granulomatosis wegener.3
Gambaran histopatologi dari granulomatosis wegener adalah nekrosis
iskemik dari pembuluh darah berukuran kecil dan kadang-kadang pembuluh darah
berukuran sedang, dengan pembentukan dari abses non-mikrobial dan granuloma
polimorfik yang berisi sel leukosit PMN, limfosit dan multinucleated giant cell.
Tidak ada tanda-tanda dari keganasan dan sel limfoid atipikal yang terlihat.1,3
Idealnya anti-neutrophil
cytoplasmic antibodies (ANCA)
sudah seharusnya dikerjakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis dan
penyebaran dari penyakit. Titer antibodi ini untuk diagnosis granulomatosis
wegener memiliki spesifisitas yang tinggi, yaitu 90% dan tingkat sensitifitasnya 50
hingga 100% tergantung penyebaran dari penyakit. Urinalisis digunakan untuk
skreening keterlibatan ginjal dan rontgen thorak apabila dicurigai keterlibatan dari
paru-paru.2,3
3.8 Komplikasi
Komplikasi dari granulomatosis wegener dapat mengenai seluruh organ
karena bersifat sistemik tetapi yang sering terjadi antara lain ke organ ke hidung
paru-paru, dan ginjal. 23
Komplikasi ke hidung antara lain dapat muncul deformitas dan hidung plana
akibat pembentukan granuloma dan nekrosis yang terjadi. Komplikasi ke paru-paru
adalah pseudotumor, nodul multipel, efusi pleura dan yang paling berat Acute
Respiratory Distress Syndrom yang diakibatkan perdarahan pada alveolar.
Komplikasi pada ginjal adalah glomerulonefritis yang dimana dapat menyebabkan
protenuria, hematuria hingga gagal ginjal.13
3.9 Penatalaksanaan
Tujuan terapi dari pasien dengan granulomatosis wegener adalah
mengkontrol dari reaksi inflamasi yang menyerang tubuh, terapi yang diberikan
adalah terdiri dari kombinasi kortikosteroid (misalnya metil prednison) dan obat-
obatan imunosupresan lainnya seperti cyclophospamide, methrotrexate atau
azathioprine.3
Infus imunoglobulin dan pergantian plasma juga diberikan, pemberian
antibiotik diberikan apabila dicurigai ada infeksi sekunder, pada penyakit ini
diagnosis yang dini dan tepat dan pengawasan pasien yang cermat akan
memberikan prognosis pasien yang lebih baik, karena penyakit ini dalam beberapa
bentuk dapat mengancam nyawa pasien secara signifikan.4
BAB IV
KESIMPULAN
Granulomatosis wegener adalah penyakit sistemik yang menyebabkan
peradangan dan nekrosis pada pembuluh darah, penyakit ini sering menyerang sinus,
hidung, ginjal dan paru-paru. penyakit ini belum diketahui penyebab pastinya tapi
diperkirakan disebabkan oleh mekanisme imunologik dan infeksi, selain menyebabkan
nekrosis reaksi inflamasi tersebut sering menyebabkan bentukan granuloma yang
aseptik.
Diagnosis dari wegener granulomatosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi dan titer antibodi sitoplasma antineutrofil (ANCA). terapi yang diberikan
adalah terdiri dari kombinasi kortikosteroid (misalnya metil prednison) dan obat-obatan
imunosupresan lainnya seperti cyclophospamide.
Granulomatosis Wegener merupakan suatu penyakit sistemik yang jarang dan
belum diketahui penyebab pastinya. Diagnosis dini dan pemberian terapi sesegera
mungkin harus dilakukan pada Granulomatosis Wegener, jika tidak akan dapat
berakibat fatal dengan angka bertahan hidup rata-rata hanya beberapa bulan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guillevin, Loic and Mahr Alfred. (2011). Wegener’s Granulomatosis. Orphanet
Encyclopedia. Available From : www.orpha.net/data/patho/gb/uk-wg.pdf.
2. Gupta, Arun and Subhash Bhardwaj. (1999). Wegener’s Granulomatosis Presenting
As Nasal Polyp. J&K Science 1999, 1(2), 26-28.
3. Ursea, R; Nussenblatt RB; Buggage RR. (2003). Wegener’s Granulomatosis. The
American Uveitis Society. Available From : www.wgaassociation.org.
4. Snow, JB and Ballenger JJ. (2003). Ballenger’s Otorhinolaryngology Head And
Neck Surgery 6th Edition. Elsivier Science Asia : Singapore.