Download - Referat Judi Patologis
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Undang-undang Hukum Pidana Pasal 303 ayat (3) menjelaskan “Yang disebut
permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat
untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih
terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan
atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau
bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.¹
Secara detail diketahui bahwa di dalam penjelasan pelaksanaan UU nomor 7 tahun 1974
mengenai penertiban judi, yaitu : poker, sabung ayam, pacuan kuda, dll.²
Judi Patologis ditandai dengan judi maladaptif yang berulang dan menetap dan menimbulkan
masalah ekonomi serta gangguan yang signifikan di dalam fungsi pribadi, sosial dan pekerjaan.
Aspek perilaku maladaptif mencakup (1) preokupasi terhadap judi; (2) kebutuhan untuk berjudi
dengan jumlah uang yang semakin bertambah untuk memperoleh kegairahan yang diinginkan;
(3) upaya berulang yang tidak berhasil untuk mengendalikan, mengurangi atau menghentikan
judi; (4) berjudi sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah; (5) berjudi untuk membalas
kekalahan; (6) berbohong untuk menutupi tingkat keterlibatan dengan perjudian; (7) melakukan
tindakan ilegal untuk membiayai judi; (8) membahayakan atau kehilangan hubungan baik pribadi
maupun pekerjaan karena judi; dan (9) mengandalkan orang lain untuk membayar hutang.³
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Gangguan terdiri dari episode berjudi yang berulang dan sering, yang mendominasi
kehidupan individu yang merusak nilai dan ikatan sosial, perkerjaan, material dan keluarga.
Penderita gangguan ini mungkin mempertaruhkan pekerjaannya, mempunyai banyak hutang,
berbohong dan melakukan pelanggaran hukum untuk memperoleh uang dan menghindari
pelunasan hutang. Gangguan ini disebut juga “judi kompulsif”, tetapi istilah ini kurang tepat,
karena perilakunya bukan kompulsif dalam arti teknis, maupun tidak berhubungan dengan
neurosis obsesif-kompulsif.4
B. EPIDEMIOLOGI
Hingga 3 % populasi umum dapat digolongkan sebagai penjudi patologis. Di samping itu,
menurut DSM-IV-TR, prevalensi penjudi patologis dilaporkan sebanyak 2,8 - 8,0 % remaja
dan mahasiswa. Gangguan ini lebih lazim pada laki-laki daripada perempuan dan angkanya
sangat tinggi di lokasi-lokasi yang melegalkan perjudian. Kira-kira seperempat penjudi
patologis memiliki orangtua dengan masalah perjudian; baik ayah dari seorang laki-laki
penjudi maupun ibu dari seorang perempuan penjudi lebih cenderung memiliki gangguan
tersebut dibandingkan populasi luas. Ketergantungan alkohol juga lazim ditemukan di antara
orangtua dari penjudi patologis dibandingkan keseluruhan populasi. Perempuan dengan
gangguan ini lebih cenderung menikah dengan laki-laki alkoholik yang jarang di rumah
dibandingkan dengan perempuan yang tidak terlalu terganggu dengan gangguan ini.3
2
C. KOMORBIDITAS
Angka gangguan pengendalian impuls lainnya, gangguan penggunaan zat, gangguan mood,
gangguan defisit atensi/hiperaktivitas, serta gangguan kepribadian antisosial, ambang, dan
narsistik meningkat pada orang dengan judi patologis. Gangguan terkait lainnya mencakup
gangguan panik, agorafobia, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan Tourette.3
D. ETIOLOGI
1. Faktor Psikososial
Beberapa faktor dapat menjadi predisposisi seseorang dapat mengalami gangguan ini :
kehilangan orang tua karena meninggal, perpisahan, perceraian, atau ditinggalkan
sebelum anak berusia 15 tahun; disiplin orangtua yang tidak tepat (tidak ada, tidak
konsisten, atau kasar); pajanan terhadap, dan ketersediaan,
aktivitas perjudian untuk remaja; tekanan keluarga terhadap materi dan simbol keuangan;
serta tidak adanya dorongan keluarga untuk menabung, merencanakan dan
manganggarkan. Teori psikoanalitik berfokus pada sejumlah kesulitan karakter inti.
Freud memperkirakan bahwa penjudi impulsif memiliki keinginan yang tidak disadari
untuk kalah, dan mereka berjudi untuk meredakan rasa bersalah yang tidak disadari.
Perkiraan lainnya adalah bahwa penjudi merupakan orang dengan narsisme yang
memiliki khayalan kebesaran serta kekuasaan yang dapat membuat mereka
yakin bahwa mereka dapat mengendalikan peristiwa dan bahkan meramalkan hasilnya.8
Ahli teori pembelajaran memandang judi yang tidak terkendali terjadi akibat persepsi
yang keliru mengenai pengendalian impuls.3
3
2. Faktor Biologis
Beberapa studi mengesankan bahwa perilaku mengambil risiko pada para penjudi
mungkin memiliki penyebab neurobiologis yang mendasari. Teori ini berpusat pada
sistem reseptor serotonergik dan adrenergik. Penjudi patologis laki-laki dapat memiliki
kadar MPHG subnormal dalam plasma, meningkatnya kadar MPHG didalam cairan
serebrospinal, dan meningkatnya keluaran norepinefrin di dalam urin. Bukti juga
mengaitkan disfungsi pengaturan serotonergik pada penjudi patologis. Penjudi kronis
memiliki aktivitas monoamin oksidase (MAO) trombosit yang rendah, suatu penanda
aktivitas serotonin, juga terkait dengan kesulitan inhibisi. Studi lebih lanjut dibutuhkan
untuk meyakinkan temuan ini.3
Faktor-faktor Lain Pendorong Perilaku Judi :
Dari berbagai hasil penelitian lintas budaya dari para ahli sosial diperoleh lima faktor
yang amat berpengaruh dalam memberikan kontribusi pada perilaku berjudi. Kelima
faktor tersebut antara lain:
1. Faktor Sosial dan Ekonomi
Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah, perjudian seringkali
dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
2. Faktor Situasional
Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perilaku berjudi, di antaranya adalah
tekanan dari teman-teman kelompok lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian
serta metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian.
4
3. Faktor Belajar
Faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap perilaku berjudi, terutama
menyangkut keinginan untuk terus berjudi. Apa yang pernah dipelajari menghasilkan
sesuatu yang menyenangkan maka hal tersebut akan terus tersimpan dalam pikiran
seseorang dan sewaktu-waktu ingin diulangi lagi.
4. Faktor Persepsi tentang Kemungkinan Kemenangan
Persepsi yang dimaksud di sini adalah persepsi pelaku dalam membuat evaluasi
terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan perjudian.
5. Faktor Persepsi terhadap Keterampilan
Penjudi yang merasa dirinya sangat terampil dalam salah satu atau beberapa
jenis permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan
dalam permainan judi karena keterampilan yang dimilikinya.
E. DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIS
Disamping gambaran yang telah dijelaskan, penjudi patologis sering tampak
terlalu percaya diri, terkadang kasar, energik, dan boros. Mereka sering menunjukkan tanda-
tanda stres diri yang jelas, cemas, dan depresi. Mereka lazim memiliki sikap bahwa uang
merupakan penyebab dari, dan solusi bagi, semua masalah mereka. Mereka tidak melakukan
upaya yang serius untuk menganggarkan atau menghemat uang. Jika sumber peminjaman
mereka tertahan, mereka cenderung terlibat di dalam perilaku antisosial guna mendapatkan uang
untuk berjudi.10 Perilaku kriminalnya secara khas tidak mengandung kekerasan, seperti
pemalsuan, penggelapan, serta penipuan dan mereka secara sadar berniat untuk mengembalikan
atau membayar kembali uang itu. Komplikasinya mencakup diasingkan oleh anggota keluarga
dan teman, hilangnya pencapaian kehidupan, upaya bunuh diri, dan hubungan dengan kelompok
5
pinggir dan ilegal. Penahanan terhadap kriminalitas yang tidak mengandung unsur kekerasan
dapat menyebabkan orang tersebut di penjara.3
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR judi Patologis :
A. Perilaku judi yang berulang dan menetap seperti yang ditunjukkan oleh hal berikut :
1) Preokupasi terhadap perjudian (contoh. Preokupasi terhadap menghidupkan kembali
pengalaman berjudi sebelumnya, kegagalan atau merencanakan spekulasi berikutnya,
atau memikirkan cara untuk mendapatkan uang, yaitu dengan berjudi).
2) Kebutuhan untuk berjudi dengan jumlah uang yang semakin meningkat memperoleh
kegairahan yang diinginkan.
3) Memiliki upaya berulang yang tidak berhasil untuk mengendalikan, mengurangi, atau
menghentikan judi.
4) Gelisah atau mudah marah ketika mencoba mengurangi atau menghentikan judi.
5) Berjudi sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau untuk melegakan mood
disforik (contoh: rasa tidak berdaya, bersalah, ansietas, depresi).
6) Setelah kehilangan uang berjudi, sering kembali esok harinya untuk membalas
(“mengejar”) kekalahan dirinya.
7) Berbohong terhadap anggota keluarganya, terapis, atau yang lainnya untukmenutupi
sejauh mana keterlibatannya dengan perjudian.
8) Melakukan tindakan ilegal, seperti pemalsuan, penipuan, pencurian, atau penggelapan
untuk membiayai judi.
9) Merusak atau kehilangan hubungan, pekerjaan, pendidikan, atau kesempatan karir yang
bermakna karena judi.
6
10) Mengandalkan orang lain untuk memberikan uang guna memulihkan situasi keuangan
yang disebabkan oleh judi
B. Perilaku berjudi ini sebaiknya tidak disebabkan oleh episode manik
Untuk memahami apakah perilaku berjudi termasuk perilaku yang patologis, diperlukan
suatu pemahaman tentang kadar atau tingkatan penjudi tersebut. Hal ini penting mengingat
bahwa perilaku berjudi termasuk dalam kategori perilaku yang memiliki kesamaan dengan
pola perilaku adiksi. Menurut Papu (2002), pada dasarnya ada tiga tingkatan atau tipe
penjudi, yaitu:
1 ) Soc i a l Gamble r
Penjudi tingkat pertama adalah para penjudi yang masuk dalam kategori "normal" atau
seringkali disebut social gambler, yaitu penjudi yang sekali-sekali pernah ikut membeli
lottery (kupon undian), bertaruh dalam pacuan kuda, bertaruh dalam pertandingan bola,
permainan kartu atau yang lainnya.
Penjudi tipe ini pada umumnya tidak memiliki efek yang negatif terhadap diri maupun
komunitasnya, karena mereka pada umumnya masih dapat mengontrol dorongan-
dorongan yang ada dalam dirinya. Perjudian bagi mereka dianggap
sebagai pengisi waktu atau hiburan semata dan tidak mempertaruhkan sebagian besar
pendapatan mereka ke dalam perjudian. Keterlibatan mereka dalam perjudian pun
seringkali karena ingin bersosialisasi dengan teman atau keluarga.
2) P rob l em Gamble r
Penjudi tingkat kedua disebut penjudi "bermasalah" atau problem gambler,
yaitu perilaku berjudi yang dapat menyebabkan terganggunya kehidupan pribadi,
keluarga maupun karir, meskipun belum ada indikasi bahwa mereka mengalami suatu
7
gangguan kejiwaan (National Council on Problem Gambling USA, 1997). Penjudi jenis
ini seringkali melakukan perjudian sebagai cara untuk melarikan diri dari berbagai
masalah kehidupan.
Penjudi ini sebenarnya sangat berpotensi untuk masuk ke dalam tingkatan penjudi
yang paling tinggi yang disebut penjudi patologis jika tidak segera disadari dan diambil
tindakan terhadap masalah-masalah yang sebenarnya sedang dihadapi.
Menurut penelitian Shaffer, Hall, dan Vanderbilt (1999) yang dimuat dalam website
Harvard Medical School ada 3,9% orang dewasa di Amerika Bagian Utara yang
termasuk dalam kategori penjudi tingkat kedua ini dan 5% dari jumlah tersebut
akhirnya menjadi penjudi patologis.
3) Pa tho log i ca l Gamble r
Penjudi tingkat ketiga disebut sebagai penjudi "patologi" atau pathological gambler
atau compulsive gambler. Ciri-ciri penjudi tipe ini adalah ketidakmampuannya
melepaskan diri dari dorongan-dorongan untuk berjudi. Mereka sangat terobsesi
untuk berjudi dan secara terusmenerus terjadi peningkatan frekuensi berjudi dan jumlah
taruhan, tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan
oleh perilaku tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, karir, hubungan sosial
atau lingkungan disekitarnya. Meskipun pola perilaku berjudi ini tidak melibatkan
ketergantungan terhadap suatu zat kimia tertentu, namun perilaku berjudi yang sudah
masuk dalam tingkatan ketiga dapat digolongkan sebagai suatu perilaku yang bersifat
adiksi (addictive disorder). DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders-fourth edition) yang dikeluarkan oleh APA menggolongkan pathological
gambling ke dalam gangguan mental yang disebut Impulse Control Disorder.
8
Individu yang didiagnosa mengalami gangguan perilaku jenis ini seringkali
diidentifikasi sebagai orang yang sangat kompetitif, sangat memerlukan persetujuan
atau pendapat orang lain dan rentan terhadap bentuk perilaku adiksi yang lain.
Individu yang sudah masuk dalam kategori penjudi patologis seringkali diiringi
dengan masalah-masalah kesehatan dan emosional. Masalah-masalah tersebut
misalnya kecanduan obat (Napza), alkoholik, penyakit saluran pencernaan dan
pernafasan, depresi, atau masalah yang berhubungan dengan fungsi seksual.
UJI PSIKOLOGIS DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pasien dengan judi patologis sering menunjukkan tingkat impulsivitas yang tinggi pada uji
neuropsikologis. Studi di Jerman menunjukkan meningkatnya kadar kortisol di dalam
ludah penjudi saat mereka berjudi, yang disebabkan oleh euforia yang terjadi saat pengalam
an tersebut serta potensi kecanduannya.3
F. DIAGNOSIS BANDING
Judi sosial dibedakan dengan judi patologis dalam hal bahwa judi sosial dilakukan dengan
teman-teman, pada waktu khusus, dan dengan kehilangan yang dapat diterima serta
ditoleransi yang telah ditentukan sebelumnya. Judi yang simptomatik pada episode manik
biasanya dapat dibedakan dengan judi patologis melalui riwayat adanya perubahan mood
yang nyata dan hilangnya penilaian sebelum berjudi.
Perubahan mood mirip-manik lazim ditemukan pada judi patologis, tetapi selalu menyertai
kemenangan dan biasanya digantikan dengan episode depresif karena kekalahan selanjutnya.
Orang dengan gangguan kepribadian antisosial dapat memiliki masalah dengan judi. Jika
kedua gangguan ada, keduanya harus didiagnosis.3
G. PERJALANAN GANGGUAN DAN PROGNOSIS
9
Judi patologis biasanya dimulai saat remaja untuk laki-laki dan usia lanjut untuk perempuan.
Gangguan ini hilang timbul serta cenderung kronis. 4 fase ditemukan pada judi petologis:
1. Fase kemenangan, berakhir dengan kemenangan besar, sama dengan kira-kira gaji satu
tahun, yang memancing pasien. Perempuan biasanya tidak menang dalam jumlah besar
tetapi menggunakan judi sebagai pelarian dari masalah mereka.
2. Fase kehilangan progresif, yaitu pasien menata kehidupan mereka di seputar judi dan
kemudian berganti dari penjudi hebat menjadi penjudi bodoh yang mengambil risiko
besar, uang cadangan, meminjam uang, bolos kerja, dan kehilangan pekerjaan.
3. Fase nekat, yaitu pasien berjudi besar-besaran dengan jumlah besar uang, tidak
membayar hutang, terlibat dengan lintah darat, menulis cek yang buruk, dan mungkin
menggelapkan.
4. Fase putus asa, yaitu menerima bahwa kekalahan tidak akan pernah terbalaskan, tetapi
judi terus berlanjut karena kegairahan dan rangsangan yang terkait. Gangguan ini dapat
menghabiskan waktu 15 tahun untuk mencapai fase akhir, tetapi dalam 1 atau 2 tahun,
pasien telah secara total mengalami perburukan.
H. TERAPI
Penjudi jarang datang langsung secara sukarela untuk diterapi. Masalah hukum, tekanan
keluarga, atau keluhan psikiatrik lainnya membawa penjudi pada terapi. Gamblers
Anonymous (GA) didirikan di Los Angeles pada tahun 1957 dan meniru alcoholics
Anonymous (AA); GA merupakan terapi yang efektif, terjangkau, setidaknya di kota besar,
untuk jadi pada sejumlah pasien. GA adalah suatu metode terapi kelompok inspirasional
yang meliputi pengakuan di hadapan publik, tekanan kelompok sependeritaan, dan adanya
penjudi yang telah pulih (seperti pada AA) yang siap membantu anggota untuk menolak
10
impuls berjudi. Meskipun demikian, angka drop-out dari GA tinggi. Pada beberapa kasus,
perawatan di rumah sakit dapat membantu dengan memindahkan pasien dari lingkungannya.
Tilikan sebaiknya tidak dicari sampai pasien benar-benar jauh dari perjudian selama 3 bulan.
Pada saat ini , pasien yang merupakan penjudi patologis dapat menjadi kandidat yang
sangat baik untuk psikoterapi berorientasi tilikan. Terapi kognitif perilaku (contoh teknik
relaksasi digabungkan dengan visualisasi penghindaran judi) memiliki beberapa
keberhasilan.
Pengendalian Sosial Upaya Mencegah dan Merehabilitasi Patologi Sosial
Ada empat cara untuk pengendalian sosial, yaitu persuasif, koersif, penciptaan situasi yang
dapat mengubah sikap dan perilaku, dan penyampaian nilai norma dan aturan secara
berulang-ulang:
a. Persuasif
Cara ini dilakukan dengan penekanan pada usaha membimbing atau
mengajak berupa anjuran. Contoh penertiban PKL (Pedagang Kaki Lima) dengan
memindahkan ke lokasi-lokasi tertentu yang sudah disiapkan.
b. Koersif
Mestinya langkah ini ditempuh setelah langkah persuasif telah dilakukan. Apabila dengan
anjuran, bujukan tidak berhasil, tindakan dengan kekerasan bisa dilakukan. Contoh polisi
pamong praja, membongkar paksa lapak (termpat berjualan) PKL yang menurut
informasi masyarakat sering dilakukan tempat perjudian.
Aparat kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap tempat-tempat yang diduga
melakukan praktek-praktek perjudian, menangkap bandar judi togel dan sabung ayam
untuk kemudian diproses ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Tindakan seperti
11
itu, bertujuan untuk menerapi pelaku agar merasakan sanksi ketika berperilaku
menyimpang sehingga ada efek jera yang dirasakan, diharapkan dengan efek
tersebut pelaku akan sadar.
c. Penciptaan Situasi yang dapat mengubah sikap dan perilaku (kompulsif)
Pengendalian sosial sangat tepat bila dilakukan dengan menciptakan situasi dan kondisi
yang dapat mengubah sikap dan perilaku seseorang. Misalnya, ketika
para penjudi melakukan perjudian sabung ayam tanpa mau mengindahkan ketentuan pem
erintah, pemerintah, penegak hukum (kepolisian), dan para tokoh agama memberikan
sosialisasi berupa himbauan-himbauan secara intensif berupa implikasi negatif terhadap
kehidupa individu dan keluarga, melalui media-media efektif seperti radio atau tempat
yang efektif (misalnya; balai desa, tempat ibadah, atau datangi rumah warga).
d. Penyampaian nilai, norma dan aturan secara berfulang-ulang (vervasi)
Pengendalian sosial juga dapat dilakukan dengan cara penyampaian nilai, norma, aturan
secara berulang-ulang. Penyampaian ini bisa dengan cara ceramah maupun dengan
dibuatkannya papan informasi mengenai aturan, nilai dan norma yang berlaku. Dengan
cara demikian diharapkan nilai, norma dan aturan dipahami dan melekat pada diri
individu anggota masyarakat.
Metode lain yang dapat dilakukan, untuk mengendalikan dan mencegah penyakit atau
penyimpangan sosial, maka bentuk-bentuk pengendalian sosial dapat dilakukan melalui
cara-cara; menolak perilaku tersebut, teguran, pendidikan, agama, pengucilan, dan
meminta pihak lain menanganinya.
12
Menolak : seseorang yang melanggar nilai, norma dan aturan mendapat cemohan atau
ejekan dari masyarakatnya, sehingga ia malu, sungkan, dan akhirnya
meninggalkan perilakunya.
Teguran : orang yang melanggar nilai, norma dan aturan diberikan teguran, nasehat
agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar nilai, norma dan aturan.
Pendidikan : melalui pendidikan seorang individu akan belajar nilai, norma dan
aturan yang berlaku. Dengan demikian ia dituntun dan dibimbing untuk berperilaku
sesuai dengan nilai, norma dan aturan yang berlaku. Pendidikan ini bisa dilakukan
dilingkungan keluarga, masyarakat maupun sekolah.
Agama : memiliki peran yang sangat besar dalam pengendalian sosial. Orang yang
memiliki agama akan memahami bahwa melanggar nilai, norma dan aturan di
samping ada hukuman di dunia juga ada hukuman di akherat. Dengan pemahaman ini
maka, individu akan terkendali untuk tidak melanggar nilai, norma dan aturan yang
berlaku.
Menurut Papu menyikapi perilaku berjudi dalam kehidupan sehari-hari, ada beberapa
hal yang krusial untuk diperhatikan :
1. Perjudian amat sulit untuk diberantas, maka hal pertama yg perlu diperhatikan
untuk melindungi anggota keluarga agar tidak terlibat dalam perjudian adalah
melalui penanaman nilai-nilai luhur di mulai dari keluarga, selaku komunitas
terkecil dalam masyarakat. Penanaman nilai-nilai bukan hanya sekedar dilakukan
dengan kata-kata tetapi juga lebih penting lagi melalui keteladanan dari orangtua.
2. Perilaku berjudi sangat erat kaitannya dengan pola pikir seseorang dalam memilih
suatu alternatif, maka sangatlah perlu bagi orangtua, pendidik dan para alim ulama
13
untuk mengajarkan pola pikir rasional. Pola pikir rasional mengajarkan seseorang
untuk melihat segala sesuatu dari berbagai segi, sebelum memutuskan untuk
menerima atau menolak alternatif yang ditawarkan. Dengan memiliki kemampuan
berpikir rasional seseorang tidak akan dengan mudah untuk mengambil jalan
pintas.
3. Meminta bantuan orang-orang professional seperti psikiater, psikolog, konselor
atau terapist. Bekerja samalah dengan mereka untuk melepaskan diri dari masalah
perjudian.
4. Jika tidak memiliki pengendalian diri yang tinggi maka jangan sekali-kali anda
mencoba untuk berjudi, sekalipun itu hanya perilaku berjudi tingkat pertama.
Jangan pula menjadikan judi sebagai pelarian dari berbagai masalah kehidupan
anda sehari-hari. Jika memang memiliki masalah mintalah bantuan pada orang-
orang professional, bukan pergi ke tempat-tempat perjudian.
5. Perkuat iman kepada Tuhan dan perbanyak kegiatan-kegiatan yang bersifat
religius. Dengan meningkatkan iman dan selalu mengingat ajaran agama, sesuai
dengan keyakinan masing-masing maka kemungkinan untuk terlibat perjudian
secara kompulsifakan semakin kecil.
Hanya sedikit yang diketahui mengenai efektivitas farmakoterapi untuk
menerapi pasien dengan judi patologis. Satu studi melaporkan bahwa 7 dari 10
pasien tetapi tidak berjudi selama 8 minggu setelah mengonsumsi
fluvoxamine. Juga terdapat laporan kasus mengenai keberhasilan terapi dengan
lithium dan clomipramine (anafranil). Jika judi disertai gangguan depresif,
14
mania, ansietas, atau gangguan jiwa lain, farmakoterapi dengan antidepresan,
lithium, atau agen antiansietas dapat berguna.
Fluvoxamine maleat5
Indikasi : mengatasi segala depresi. Diindikasikan untuk terapi jangka pendek maupun
rumatan. Dosis : 50-100 mg/hari. Maksimal 300 mg/hari. Dosis awal minimal 50mg/hari,
dosis tunggal.
Perhatian : insufisiensi hati atau ginjal, diabetes, epilepsi dan kelainan kejang lainnya,
diatese perdarahan, penggunaan bersama obat-obat yang mempengaruhi fungsi trombosit,
lansia, anak-anak, kehamilan, laktasi. Hindari alkohol, mengganggu kemampuan
mengemudi dan menjalankan mesin.
Efek samping : mual, muntah, astenia, sakit kepala, malaise, palpitasi, takikardia, peningg
ian enzim hati, mulut kering, gangguan gastrointestinal dan saraf, pusing, berkeringat,
hiponatremia.
Interaksi obat : penghambat MAO, terfenadin, astemizol, cisaprid, antidepresan trisiklik,
neuroleptika, metadon, mexiletin, warfarin dan obat-obat antikoagulan lain, phenytoin,
teofilin, propanolol, lithium, benzodiazepin, alkohol.
Kemasan : tablet 50 mg (20 tablet)
tablet 100 mg (20 tablet)
Clomipramine5
Indikasi : depresi akibat berbagai sebab, sindroma obsesif-kompulsif, phobia ; serangan
panik.
Dosis : depresi, sindroma obsesif-kompulsif, phobia ; Dosis awal 10 mg, dinaikkan
bertahap sampai 30-50 mg/hari. Pada kasus parah, sampai maksimal 250 mg/hari.
15
Serangan panik: Dosis awal 10 mg, bila perlu dinaikkan sampai 150mg. Jangan
menghentikan pengobatan untuk sekurang-kurangnya 6 bulan, dan kurangi dosis
perlahan-lahan.
Kontra indikasi : infark miokard baru, pengobatanbersama penghambatMAO,
payah jantung, aritmia jantung atau blokade jantung, kerusakan hati parah,glaukoma
sudut sempit, mania.
Perhatian : ambang kejang rendah, gangguan berkemih, tumor medula adrenalis, pengoba
tan elektrokonvulsif, hipertiroidisme, atau pengobatan dengan obat-obat tiroid, konstipasi
kronik, monitoring hematologi dan fungsi hati, kehamilan, laktasi, mengganggu
kemampuan mengemudi dan menjalankan mesin.
Efek samping : mengantuk, lelah, tremor, nafsu makan bertambah, myoclonus, mulut
kering, gangguan berkemih, gangguan penglihatan, berat badan naik, kadang-kadang
halusinasi, agitasi, gangguan kardiovaskular, peninggian transaminase, gangguan
gastrointestinal. Jarang; reaksi anafilaktik, hiperpireksia, kejang, ataksia, aritmia.
Interaksi Obat : mengurangi efek antihipertensi penghambat adrenergic; meningkatkan
efek noradrenalin dan adrenalin, aktivitas depresan SSP, alkohol dan antikolinergik
Kemasan : tablet 25 mg (50 tablet)
16
BAB III
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Judi patologis ditandai dengan judi maladaptif yang berulang dan menetap yang mencakup
preokupasi, kebutuhan untuk berjudi; upaya berulang yang tidak berhasil untuk
mengendalikan, mengurangi atau menghentikan judi; berjudi sebagai cara untuk melarikan
diri dari masalah; berjudi untuk membalas kekalahan; berbohong; melakukan tindakan ilegal;
membahayakan atau kehilangan hubungan baik pribadi maupun pekerjaan; dan
mengandalkan orang lain untuk membayar hutang.
Pada dasarnya judi patologis dapat diterapi dengan psikofarmaka dan non psikofarmaka
seperti terapi kelompok
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang KUHP pasal 303 ayat 3.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1981 tentang pelaksanaan UU
nomor 7 tahun 1974 tentang penertiban perjudian.
3. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Kaplan & Sadock’s synopsis of
psychiatry : behavioral sciences / clinical psychiatry. 10th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins. 2007. p. 779.
4. Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ- III),
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayan Medik, 1993. Cetakan Pertama
5. Papu, 2002, perilaku Berjudi, online. Diakses dari
http://www.e-psikologi.com/artikel/sosial/perilaku-berjudi
6. Maramis WF, Maramis AA. (2009). Catatan Buku Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
7. Reilly. C, and Nathan Smith, The Evolving Definition of Pathological Gambling in
the DSM-5, http://www.ncrg.org/sites/default/files/uploads/docs/white_papers/
ncrg_wpdsm5_may2 013.pdf
8. Hardjosaputra, Purwanto. Purwanto, Listyawati. dkk. Data obat di indonesia. Edisi 11.
Jakarta: PT Muliapurna Jaya terbit. 2008. p. 683.
9. First, Michael B. . Tasman, Allan. Clinical Guide To The Diagnosis And Treatment
of Mental Disorders. John Wiley & Sons, Inc.
10. Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9. Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada; 2006. p611-641.
18