Download - Referat Penyakit Jantung Rematik)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam Rematik (DR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik
non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan
jaringan ikat. Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat
mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat.
Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling sering dikenai, tetapi
jantung merupakan organ dengan kerusakan yang terberat. Sedangkan
keterlibatan organ-organ lain bersifat jinak dan sementara (Leman, 2009).
Demam Rematik (DR) dan atau Penyakit Jantung Rematik (PJR)
eksaserbasi akut adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman
Streptokokus beta hemolitikus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara
ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis
migrans akut, karditis, chorea, nodul subkutan dan eritema marginatum.
Penyakit jantung Rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat
adanya gejala sisa (sequel) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat
katub jantung (Afif Siregar, 2008).
B. Epidemiologi
Demam Rematik (DR) masih sering didapati pada anak di negara
sedang berkembang dan mengenai anak usia antara 5-15 tahun. Pada tahun
1944 diperkirakan di seluruh dunia terdapat 12 juta penderita DR dan PJR
dan sekitar 3 juta mengalami gagal jantung dan memerlukan rawat inap
berulang di rumah sakit. Prevalensinya di Negara berkembang berkisar antara
7,9-12,6 per 1000 anak sekolah dan relatif stabil. Data terakhir mengenai
prevalensi demam rematik di Indonesia untuk tahun 1981-1990 didapati 0,3-
1
0,8 diantara 1000 anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding negara
berkembang lainnya. Statistik rumah sakit di negara yang sedang berkembang
menunjukkan sekitar 10-35% dari penderita penyakit jantung yang masuk ke
rumah sakit adalah penderita DR dan PJR (Afif Siregar, 2008).
C. Etiologi
Demam Rematik mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus
beta hemolitikus grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada
kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman
ini dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen
polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini
lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia,
tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR
dan PJR. Hubungan kuman ini sebagai penyebab DR terjadi secara tidak
langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi
banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan
bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Strepokokus beta
hemolitik grup A, terutama serotype M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 (Afif,
2008).
D. Patogenesis
Hubungan antara infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A dengan
terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon
autoimun terhadap infeksi streptokokus beta hemolitikus pada tenggorokan.
Respon manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh
kepekaan genetic host, keganasan organism dan lingkungan yang kondusif.
Mekanisme pathogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi
peran antigen histokompatibiliti mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan
2
antibodi yang berkembang segera setelah infeksi streptokokus telah diteliti
sebagai faktor risiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. Terbukti
sel T limfosit memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata
tipe M dari streptokokus grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa
serotype biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang
kaya dengan M-protein. M-protein adalah salah satu determinan virulensi
bakteri, strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molekul alpha-
helical coiled coil , seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah
matriks protein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katub
jantung dan bagian integral dari struktur katub jantung. (Afif Siregar, 2008;
WHO, 2004)
Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Jantung Rematik
3
E. Patologi
DR ditandai oleh radang eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat,
terutama mengenai jantung, sendi dan jaringan sub kutan. Bila terjadi karditis
seluruh lapisan jantung akan dikenai. Perikarditis sering terjadi dan
perikarditis fibrinosa kadang-kadang didapati. Peradangan perikardium
biasanya menyembuh setelah beberapa saat tanpa sequel klinis yang
bermakna, dan jarang terjadi tamponade. Pada keadaan fatal, keterlibatan
miokard menyebabkan pembesaran semua ruang jantung. Pada miokardium
mula-mula didapati fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi limfosit dan
degenerasi fibrinoid dan diikuti munculnya nodul aschoff di miokard. Ini
merupakan lesi patognomonik pada DR digunakan sebagai diagnostik
histopatologik. Sering ditemukan juga pada saat tidak adanya tanda-tanda
keaktifan kelainan jantung dan dapat bertahan lama setalah tanda-tanda
gambaran klinis menghilang atau masih ada keaktifan laten (Leman, 2009).
Nodul Aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi
limfosit, sel plasma, sel mononuclear yang besar dan sel giant multinukleus.
Beberapa sel mimiliki inti yang memanjang dengan area yang jernih dalam
membran inti yang disebut Anitschow myocytes. Nodul Aschoff bisa didapati
pada specimen biopsy endokardium penderita DR. Keterlibatan endokardium
menyebabkan valvulitis rematik kronik. Fibrin kecil, vegetasi verukous,
berdiameter 1-2 mm bisa dilihat pada permukaan atrium pada tempat koaptasi
katub dan korda tendinea. Meskipun vegetasi tidak didapati, bisa didapati
peradangan dan edema dari daun katub. Penebalan fibrotik pada dinding
posterior atrium kiri bisa didapati dan dipercaya akibat efek jet regurgitasi
mitral yang mengenai dinding atrium kiri. Proses penyembuhan valvulitis
memulai pembentukan granulasi dan fibrosis daun katub dan fusi korda
tendinea yang mengakibatkan stenosis atau insufisiensi katub. Katub mitral
4
paling sering dikenai diikuti katub aorta. Katub trikuspid dan pulmonal
biasanya jarang dikenai (Chakko, 2001).
F. Diagnosis
Pada tahun 1944 Jones menetapkan kriteria diagnosis atas dasar
beberapa sifat dan gejala saja. Setelah itu kriteria ini dimodifikasi pada tahun
1955 dan selanjutnya direvisi tahun 1965, 1984 dan terakhir 1992 oleh AHA,
dan yang terbaru lagi oleh WHO tahun 2004.
Tabel 1. Kriteria Jones (1992)-telah dimodifikasi
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Karditis
Poliartritis
Eritema marginatum
Korea
Nodulus Subkutan
Demam
Athralgia
Laboratorium : Peningkatan acute
phase reactan (LED meningkat atau
CRP)
Pemanjangan interval PR di EKG
Ditambah : adanya bukti sebelumnya ada bukti infeksi streptococcus (kultur
apus tenggorok, tes antigen steroptokokus cepat dan peningkatan titer ASTO
Jika didukung adanya bukti infeksi streptokokus sebelumnya, adanya
2 manifestasi mayor atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi
minor menunjukkan kemungkinan besar adanya demam rematik.
Pada tahun 2002-2003 WHO menfasilitasi diagnosis untuk :
a. Primary episode of RF
b. Recurrent attack of RF in patient without RHD
c. Recurrent attack of RF in patient with RHD
d. Rheumatic chorea
e. Insidious onset rheumatic carditis
f. Chronic RHD
5
Untuk menghindari overdiagnosis ataupun underdiagnosis dalam menegakkan
diagnosis. (WHO, 2004)
6
G. Gejala Klinik
1. Karditis
Karditis pada demam rematik akut adalah pankarditis yang meliputi
pericardium, miokardium, dan endokardium.
(WHO, 2004)
2. Artritis
Artritis adalah gejala mayor yang sering ditemukan pada DR akut.
Sendi yang sering dikenai berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya
adalah sendri besar seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul,
siku, bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24
7
jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara
perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu
sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi arthritis ini
membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi kecil jari tangan dan kaki
juga dapat dikenai. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan diagnosis
terapetik pada arthritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam
24-72 jam, maka diagnosis akan diragukan (Leman, 2009).
3. Chorea
Chorea sering terjadi pada anak-anak dan jarang pada usia di atas 20
tahun. Sering terjadi pada wanita dan hampir tidak pernah mengenai laki-
laki dewasa. Prevalensi chorea pada pasien DR bervariasi antara 5-36%.
Chorea ini memiliki karakteristik berupa emosional yang labil, gerakan
yang tidak terkoordinasi dan kelemahan otot. Onsetnya sulit untuk
ditentukan, tiba-tiba anak menjadi irritable, suka menyendiri dan kurang
perhatian terhadap lingkungan (WHO, 2004)
4. Eritema marginatum
Lesi saat muncul awalnya berupa papula atau macula berwarna
merah muda, biasanya lesi ini multiple, di ekstremitas proksimal, jarang di
ekstremitas distal, dan tidak pernah di wajah. Lesi ini tidak gatal dan tidak
nyeri. Eritem marginatum biasanya muncul saat serangan rheumatic awal,
berlanjut setelah manifestasi lain muncul, dan tidak dipengaruhi oleh
terapi anti inflamasi. Mengenai hingga 15% pasien DR. (WHO, 2004).
5. Nodulus subkutaneus
Insiden nodulus subkutaneus pada pasein DR bervariasi pada beberapa
penelitian dan antar negara. Lesi yang pernah dilaporkan mencapai 20%
dari seluruh kasus. Nodul subkutaneus ini berbentuk bundar, mudah
digerakkan, tidak nyeri tekan, ukurannya antara 0,5-2,0 cm. Karena kulit
8
di sekitarnya tidak mengalami peradangan, biasanya keluhan ini mudah
terabaikan saat pemeriksaan fisik (WHO, 2004).
6. Manifestasi minor
Artralgia dan demam disebut sebagai manifestasi klinis minor pada DR
dalam kriteria diagnosis Jones, karena biasanya keduanya ini lebih jarang
terjadinya dibandingkan lima kriteria mayor. Demam biasanya terjadi
pada semua serangan heumatic, biasanya antara 38,4-40,0 derajat Celsius.
Variasi diurnal umum terjadi, namun tidak ada karakteristik khusus
demam. Artralgia tanpa adanya penemuan objektif biasa ditemukan pada
DR (WHO, 2004).
(Jonathan et al, 2012)
Pasien DR terjadi peningkatan kadar CRP dan ESR. Pemeriksaan darah
lengkap didapatkan leukosit ,15.000/Ul pada 75% pasien, jadi nilai WBC
ini bukan merupakan marker yang khas pada peradangan DR. Nilai yang
direomendasikan untuk criteria minor DR untuk reaktan fase akut yaitu
nilai CRP > 30MG/l ATAU esr > 30 mm/jam (Jonathan et al, 2012).
9
Jika pemanjangan interval PR ditemukan, maka EKG harus diulang
setelah 2 minggu, dan jika masih abnormal, maka harus diulang kembali
setelah 2 bulan. Jika telah kembali normal, maka ARF baru bisa
ditegakkan. Interval PR meningkat biasanya sesuai usia (Jonathan et al,
2012).
(Jonathan et al, 2012)
H. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan adanya infeksi kuman streptokokus Grup A sangat membantu
diagnosis DR, yaitu :
1. Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA
2. Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi SGA tersebut
Untuk menetapkan ada atu pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat
dideteksi :
1. Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA positif.
Bila positif inipun belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan
akibat kekambuhan diagnosis sebab kemungkinan kekambuhan dari
kuman SGA itu atau infeksi streptokokus dengan strain lain.
10
2. Antibodi streptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi streptokokus
dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-se.
Titer ASTO positif bila besarnya 210 todd pada orang dewasa, dan 320
todd pada anak-anak. Antibody ini dapat terdeteksi pada minggu kedua
sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi
kuman SGA di tenggorokan (Leman, 2009)
I. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi pada karditis rematik bisa diperoleh
keadaan mengenai ukuran atrium, ventrikel, penebalan katub, daun katub
yang prolaps dan disfungsi ventrikel. Pada karditis DR akut didapati nodul
pada daun katub sekitar 25% dan dapat menghilang pada follow up. Gagal
jantung kongestif pada DR berhubungan denga insufisiensi katub mitral
dan aorta dan disfungsi miokard. Pada mitral regurgitasi didapati
kombinasi valvulitis, dilatasi annulus mitral, prolaps daun katub dengan
atau tanpa pemanjangan korda tendinea.
Pemeriksaan ekokardiografi untuk menegakkan diagnosis insufisiensi
mitral san atau insufisiensi aorta karena karditis rematik tersembunyi
ditegakkan setelah kausa non rematik disingkirkan, seperti anomali
kongenital daun katub mitral, degenerasi katub mitral, maupun kelainan
katub didapat karena infeksi endokarditis dan penyakit sistemik lainnya
(Afif Siregar, 2008).
2. Endomyocardial biopsy
Sejak myodarditis merupakan komponen pada kelainan jantung pada DR,
nilai biopsy endokardial mulai dipertimbangkan untuk penegakan
diagnosis karditis rematik.
3. Radionuclide imaging
11
Teknik radionuklida sederhana, tidak invasive yang umum digunakan
untuk menilai jenis kelainan kardiovaskular. Gambaran patologi pada
inflamasi myocardial dengan beberapa kerusakan sel miokardial,
digunakan radiolabel leukosit dan radiolabel antimyosin antibody untuk
menggambarkan inflamasi myocardium (WHO, 2004).
J. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal, yaitu
1. Pencegahan primer pada saat serangan DR
Bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan DR dan
diberikan fase awal serangan. Jenis antibiotic, dosis dan frekuensi
pemberiannya yaitu :
(WHO, 2004)
12
2. Pencegahan sekunder DR
(WHO, 2004)
(WHO, 2004)
13
3. Menghilangkan gejala penyerta
Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring,
penggunaan anti inflamasi, penatalksanaan gagal jantung dan chorea. Pada
serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal
jantung atau chorea. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan
anti inflamasi perlu diberikan pada penderita DR dengan manifestasi
mayor karditis dan arthritis. Pada penderita gagal jantung perlu diberikan
diuretika, restriksi cairan dan garam. Penggunaan digoksin pada penderita
DR masih kontroversi karena risiko intoksikasi dan aritmia, Pada
penderita chorea dianjurkan mengurangi stress fisik dan emosi. Untuk
kasus chorea yang berat fenobarbital atau haloperidol dapat digunakan.
Selain itu dapat digunakan asam valproat, chlorpromazine dan diazepam.
Penderita PJR tanpa gejala tidak memerlukan terapi. Penderita
dengan gejala jantung yang ringan memerlukan terapi medis untuk
mengatasi keluhannya. Penderita yang simptomatis memerlukan terapi
surgical atau intervensi invasif. Tetapi terapi ini masih terbatas serta
memerlukan biaya relative mahal dan memerlukan follow up jangka
panjang (Afif Siregar, 2008).
14
BAB III
KESIMPULAN
Demam rematik dan penyakit jantung rematik sudah lama diketahui dan
dikenal, merupakan penyebab kecacatan pada katub jantung. Penyakit ini paling
sering mengenai mengenai anak usia antara 5-15 tahun. Berhubungan dengan infeksi
streptokokus beta hemolitikus grup A. Diagnosis penyakit DR/PJR masih
menggunakan kriteria Jones yang telah diperbaiki dan direvisi. Dengan krteria mayor,
yaitu : 1) Artritis; 2) Karditis; 3) Chorea; 4) nodulus sub kutaneus; 5) eritema
marginatum, dan beberapa kriteria minor.
Penyakit ini masih merupakan penyebab kecacatan pada katub jantung yang
terbanyak. Kecacatan pada katub jantung tidak dapat terlihat secara kasat mata seperti
cacat fisik lainnya, tetapi menyebabkan gangguan kardiovaskuler mulai dari bentuk
ringan sampai berat sehingga mengurangi produktifitas dan kualitas hidup.
Penggunaan alat ekokardiogram dalam membantu menegakkan diagnosis DR dan
PJR yang lebih tepat dan akurat namun dalam pelaksanaannya di Indonesia masih
merupakan suatu hambatn, karena menyangkut biaya dan sumber daya manusia.
15
DAFTAR PUSTAKA
Afif Siregar, Abdullah. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik
Permasalahan Indonesia. Medan : USU
Chakko S, Bisno AL. 2001. Acute Rheumatic Fever. In : fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol II; 10 th ed. Mc Graw-Hill : New York.
P 1657-65
Jonathan, et al. The Australian Guideline for Prevention, Diagnosis and Management
of Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease (2nd edition)
Leman, 2009. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Jakarta : Interna
Publishing
WHO. 2004. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease. Geneva : WHO Library
16