Download - Referat Polifarmasi Pada Lansia
BAB I
PENDAHULUAN
Keperawatan Gerontik adalah Praktek perawatan yang berkaitan dengan
penyakit pada proses menua (KOZIER, 1987). Menurut Lueckerotte (2000)
keperawatan gerontik adalah ilmu yang mempelajari tentang perawatan pada
lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan dan status fungsional,
perencanaan, implementasi serta evaluasi.
Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada
dewasa muda, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-
kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita.
Hasil penelitian profil penyakit lansia di 4 Kota (Padang, Bandung,
Denpasar dan Makassar) yaitu fungsi tubuh yang dirasakan menurun: penglihatan
(76,24%), daya ingat (69,39%), seksual (58,04%), kelenturan (53,23%), gigi dan
mulut (51,12%). Lalu masalah kesehatan yang sering muncul: sakit tulang atau
sendi (69,39%), sakit kepala (51,15%), daya ingat menurun (38,51%), selera
makan menurun (30,08%), mual/perut perih (26,66%), sulit tidur (24,88%), dan
sesak nafas (21,28%). Kemudian penyakit kronis: rematik (33,14%), darah tinggi
(20,66%), gastritis (11,34%) dan jantung (6,45%).
1
Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang
banyak jenisnya. Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak
masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada
golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat
dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan
(Anonim, 2004).
Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang
penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-
perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat yang banyak
(polifarmasi), lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan
penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan
diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai
dengan aturan pemakaiannya (inadherence).
Dari data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga dari
semua peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan oleh
lansia. Secara keseluruhan, 80 % dari lansia setiap hari menggunakan paling
sedikit satu jenis obat. Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka
masalah peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu
diperhatikan atau perlu mendapat perhatian khusus.
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga
pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak
obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-
2
rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian
banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat
serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih
sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih
dari satu penyakit.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pengantar Polifarmasi
Penderita usia lanjut umumnya mengalami beberapa penyakit secara
bersamaan, dan ada kemungkinan dokter (beberapa dokter) berusaha memberikan
obat untuk setiap penyakit. Jumlah obat-obat yang banyak ini dapat menimbulkan
masalah baru antara lain karena efek samping dan interaksi obat. Walaupun tidak
mudah mengelola penderita lanjut usia dengan multipatologi, beberapa pedoman
dapat dipakai sebagai pegangan, antara lain: langkah-langkah untuk menghindari
polifarmasi.
a. catat semua obat yang dipakai, untuk review dan monitoring
b. kenali nama generik dan golongan obat
c. kenali indikasi klinik untuk setiap obat
d. ketahui profil efek samping setiap obat
e. kenali faktor risiko sesuatu efek yang tak terduga
f. hentikan pemberian obat tanpa manfaat penyembuhan
g. hentikan pemberian obat tanpa indikasi klinik
h. gantilah dengan obat yang lebih aman
i. jangan menangani efek tak terduga suatu obat dengan obat lagi
j. gunakan obat tunggal bila cara pemberiannya tidak sering, Obat-obat herbal
yang banyak beredar dimasyarakat dan dikonsumsi juga oleh golongan lanjut usia
tidak boleh dianggap sepenuhnya aman. Fitofarmaka dengan menggunakan
4
obatobat ini dapat menyebabkan efek samping dan interaksi obat yang berat sama
dengan obat-obat sintetik.
Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada
dewasa muda, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-
kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita.
Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada
dewasa muda, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-
kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita.
Konsep Dasar Pemakaian Obat
Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan
obat
1. Diagnosis dan patofisiologi penyakit
2. Kondisi organ tubuh
3. Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006)
5
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat
yang diberikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari
obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang
perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada golongan lansia
berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan mempengaruhi
tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia
lanjut:
1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi
yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya.
2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan
tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya
3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan pada orang dewasa yang masih muda.
4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat umumnya lebih
rendah.
5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan
untuk memelihara kepatuhan pasien
6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat
yang tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004)
Farmakokinetik
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga
mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran
6
darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan
lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi
obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain,
barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan
tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada
beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah
merah dan jaringan tubuh termasuk organ target.
Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa
lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin
plasma.
Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih
menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat
lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan
aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi
eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecepatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat
obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau
dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal.
Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui
ambilan (uptake) oleh reseptor di hati dan melalui metabolisme sehingga
7
bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia
lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan
ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan
kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh
karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan
antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang,
begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus
berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi,
kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap
normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat
semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal,
mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001).
Interaksi Farmakokinetik
1. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya
fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat
penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi
obat sering berkurang, sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang
mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek
sampingnya berbahaya.
8
Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan
digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung
besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil
ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga
mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan
efek samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan,
walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati
payah jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka
harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang
renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti
infark miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi
ginjal dan ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal,
khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit.
Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat
memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam
dosis lebih kecil pada lansia.
2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga
penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu
batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti
penurunan creatinine clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih
9
merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar,
kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat.
ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat
tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai
normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati.
Misalnya pemakaian metilprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi
prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis
prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh
hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat
tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding)
berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh
usus dan sebagian terbesar akan melalui vena porta dan langsung masuk ke hati
sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang
disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga
30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan
bioavailabilitas suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang
ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi
langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang
mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang
diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk
ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi
10
sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat
oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang
bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama
obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein,
aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas
naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan.
Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini
juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15
menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat
yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)
Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada
lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada
respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat
yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya
akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang
lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga
sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya
menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme
regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006)
Interaksi Farmakodinamik
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons
reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat
11
menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus
dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat
nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis “normal” dapat
menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti
klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg
memang terlalu besar) pada lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia
lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1-adrenergic blocker,
dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemid
dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994).
Usia lanjut merupakan kelompok yang mesti mendapatkan perhatian khusus
dalam berbagai hal, termasuk soal kesehatan. Populasi mereka yang berusia lebih
dari 65 tahun sekitar 75%. Sekitar 25% diantaranya, sudah mengalami penurunan
kualitas dalam aktvitas yang sifatnya instrumental seperti bertransportasi, belanja,
memasak, memakai telepon, meminum obat sendiri dan sebagainya. Selain itu,
terdapat juga penurunan kualitas dalam aktivitas sehari-hari seperti mandi,
memakai baju, makan, buang air. Keluhan kesehatan pada lansia seringkali
atipikal sehingga sulit dimengerti. Kelainan pada satu sistem organ bisa jadi
sebenarnya akibat kelainan pada sistem organ yang lain.
Tak heran bila pelayanan kesehatan pada lansia membutuhkan perubahan
yang signifikan dalam pendekatan medis dibandingkan pasien usia muda.
Penyakit-penyakit pada lansia umumnya merupakan stadium awal yang sangat
mudah menimbulkan gejala akibat mekanisme homeostatik tubuh yang sudah
12
terganggu. Berbagai penyakit yang umum terjadi pada lansia antara lain demensia,
kepribadian dependent, imobilitas, depresi, hipertensi, stroke, kanker,
osteoporosis, inkontinensia urin, penurunan berat badan dan malnutrisi, gangguan
pendengaran dan penglihatan dan sebagainya.
Jadi, wajar pasien lansia sangat membutuhkan pendekatan khusus dan
perhatian lebih matang terutama saat merencanakan terapi farmakologis.
Memahami tujuan pasien berobat akan membantu dokter agar fokus pada inti
permasalahan dan tujuan terapi pada pasien lansia.
Perubahan Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Pengetahuan yang mesti diketahui dalam memberikan pengobatan ialah
pengetahuan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam tubuh.
Hal tersebut biasanya berkaitan dengan usia pasien yang dikelompokkan menjadi
bayi, balita, anak-anak dan remaja/dewasa. Pengelompokkan itu bertujuan untuk
mempermudah dokter dalam mengukur tingkat farmakokinetik dan
farmakodinamik obat dalam tubuh seseorang sehingga obat yang diberikan pada
pasien menjadi efektif untuk penyembuhan dan tidak memiliki efek samping/
toksisitas. Biasanya dalam kemasan obat yang beredar di pasaran saat ini, sudah
dicantumkan dosis pemberian normal. Akan tetapi, sayangnya dalam kemasan
obat tersebut baik di Indonesia maupun di negara lain, pengelompokkan dosis
hanya sebatas hingga usia dewasa saja, melupakan satu kelompok terakhir yakni
lansia. Akibatnya pasien lansia ini walaupun diberikan obat dalam dosis normal
seperti dosis orang dewasa malah dapat berefek toksisitas.
13
Bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik. Perubahan ini akan menyebabkan gangguan
pada metabolisme obat terutama akibat penurunan fungsi ginjal (filtrasi
glomerulus dan sekresi tubuli) dan penurunan bersihan hepatik. Penurunan filtrasi
glomerulus sekitar 30% pada usia 65 tahun. Perubahan farmakokinetik lainnya
adalah penurunan aktivitas enzim mikrosom, berkurangnya kadar albumin plasma
(sehingga dapat meningkatkan kadar obat bebas), pengurangan berat badan dan
cairan tubuh serta penambahan lemak tubuh (sehingga dapat mengubah distribusi
obat), berkurangnya perfusi hepatik karena penuaan, dan berkurangnya absorpsi
aktif. Hasil dari semua perubahan ini adalah kadar obat yang lebih tinggi dan
bertahan lebih lama dalam darah dan jaringan. Waktu paruh obat dapat meningkat
sampai 50%.
Perubahan faktor-faktor farmakodinamik yakni peningkatan sensitivitas
reseptor, terutama reseptor di otak (terhadap obat-obat yang bekerja sentral) dan
penurunan mekanisme homeostatik, misalnya homeostatik kardiovaskular
(terhadap obat-obat antihipertensi). Selain faktor perubahan-perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik, adanya berbagai penyakit pada usia lanjut
juga dapat berpengaruh pada konsumsi obat tertentu. Pasien lansia dengan kondisi
kronis multiple seringkali mendapatkan banyak obat termasuk obat yang tidak
diresepkan (seperti vitamin, dan obat jual bebas lainnya). Pemakaian banyak obat
tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi obat. Akibatnya
seringkali terjadi respon yang berlebihan atau efek toksik serta berbagai efek
samping.
14
Prinsip umum peresepan obat pada lansia, yaitu: pertama, obat hanya
diberikan apabila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo, berikan
plasebo sesungguhnya (yang tidak mengandung bahan aktif). Kedua, pilih obat
yang memberikan rasio manfaat-risiko paling menguntungkan bagi pasien lansia
(misalnya bila diperlukan hipnotik, jangan digunakan barbiturate) dan tidak
berinteraksi dengan obat lain atau penyakit lain pada pasien yang bersangkutan.
Ketiga, mulailah dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan kepada pasien dewasa muda. Selanjutnya dosis obat disesuaikan
berdasarkan respon klinik pasien dan bila perlu dengan memonitor kadar obat
dalam plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat pada umumnya lebih rendah
daripada dosis untuk pasien dewasa muda. Keempat, berikan regimen dosis yang
sederhana (yang ideal 1x sehari) dan sediaan obat yang mudah ditelan (sebaiknya
sirop atau tablet yang dilarutkan dalam air) untuk memelihara kepatuhan pasien.
Kelima, periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien dan hentikan
obat yang tidak diperlukan lagi.
Besarnya dosis dapat diperkirakan dari berat badan pasien, indeks terapi
obat dan cara eliminasi obat. Untuk obat-obat yang eliminasi utamanya melalui
ekskresi ginjal (misalnya digoksin, aminoglikosida dan klorpropamid) besarnya
penurunan dosis dapat diperhitungkan berdasarkan besarnya penurunan bersihan
kreatinin pasien. Sedangkan untuk obat-obat lain, besarnya penurunan dosis hanya
dikira-kira saja berdasarkan educated guess.
Beberapa contoh obat yang mesti diperhatikan
15
Digoksin. Obat ini dapat menyebabkan respon intoksikasi akibat filtrasi
glomerulus yang berkurang, penurunan berat badan (indeks massa tubuh) terhadap
distribusi obat, adanya gangguan elektrolit pada lansia dan penyakit
kardiovaskular yang lanjut.
Antihipertensi (terutama penghambat adrenergik). Efek toksisitas obat ini
dapat mengakibatkan sinkope akibat hipotensi postural dan insufisiensi koroner
karena penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular pada lansia.
Diuretik (tiazid, furosemid). Efek toksisitas pada obat ini dapat
mengakibatkan hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia dan
hiperurikemia. Efek tersebut berkaitan dengan berat badan pada pasien lansia
yang sudah sangat berkurang, penurunan fungsi ginjal dan penurunan mekanisme
homeostatik kardiovaskular.
Obat-obat glaukoma seperti beta bloker topikal dan asetazolamid dapat
mengakibatkan efek samping sistemik seperti bradikardi, asma dan gagal jantung.
Sementara anti emetik seperti metoklopramid dan proklorperazin dapat
mengakibatkan drug-induced parkinsonism.
Antikoagulan. Efek toksisitas obat ini dapat menyebabkan perdarahan akibat
penurunan respon homeostatik vaskular pada pasien lansia.
Barbiturat dapat menyebabkan kebingungan mental (gelisah sampai
psikosis). Diazepam, nitrazepam dan flurazepam dapat meningkatkan depresi
pada Susunan Saraf Pusat (SSP). Fenotiazin dapat menyebabkan hipotensi
postural, hipotermia dan reaksi koreiform.
16
Triheksifenidil dapat menyebabkan kebingungan mental, halusinasi,
konstipasi dan retensi urin. Respon berlebihan pada obat ini terjadi akibat
peningkatan sensitivitas otak terhadap obat-obat tersebut, penurunan metabolisme
obat-obat tersebut di hepar serta penurunan eliminasi obat. Isoniazid juga
termasuk obat yang dimetabolisme di hati. Oleh karena itu harus diwaspadai pula
sebab dapat mengakibatkan hepatotoksisitas.
Obat lainnya yang harus diperhatikan antara lain antibiotik seperti penisilin
dalam dosis besar, aminoglikosida, streptomisin dan tetrasiklin, klorpropamid
serta simetidin. Streptomisin yang berlebihan dalam tubuh akan memberikan
respon berupa ototoksisitas, sementara klorpropamid akan mengakibatkan
hipoglikemia. Semua obat ini dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal pada
lansia sehingga sulit diekskresi melalui ginjal.
Polifarmasi Pada Lansia
Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang
penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-
perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat yang banyak
(polifarmasi), lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan
penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan
diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai
dengan aturan pemakaiannya (inadherence).
Dari data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga dari
semua peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan oleh
lansia. Secara keseluruhan, 80% dari lansia setiap hari menggunakan paling
17
sedikit satu jenis obat. Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka
masalah peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu
diperhatikan atau perlu mendapat perhatian khusus.
Peresepan Obat Yang Rasional
Menurut World Health Organization (1985) bahwa yang termasuk dalam
peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita yang mendapat obat-obatan
sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai
dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan
pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di dalam meningkatkan mutu
pengobatan terhadap pasien perlulah diperhatikan hal-hal yang dapat
menimbulkan peresepan obat yang tidak rasional pada lansia.
Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional
pada lansia, yaitu:
1. Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing): hal ini terjadi
karena meresepkan obat yang mahal, sedangkan masih ada obat pilihan lain
yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama atau hampir sama.
Termasuk juga disini berupa pemberian obat-obat yang hanya mengurangi
gejala-gejala dan tanda-tanda tanpa memperhatikan penyebab penyakit yang
lebih penting.
2. Meresepkan obat secara berlebihan (over drug prescribing): hal ini terjadi jika
dosis, lama pemberian, jumlah/jenis obat yang diresepkan melebihi dari yang
18
diperlukan, termasuk juga disini meresepkan obat-obat yang sebenarnya tidak
diperlukan untuk pengobatan penyakitnya.
3. Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing): hal ini terjadi akibat
menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan indikasi, pemakaian
obat tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita pasien secara
bersamaan.
4. Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs
prescribing/polypharmacy): hal ini dapat terjadi pada pemberian dua jenis atau
lebih kombinasi obat, sedangkan sebenarnya cukup hanya diperlukan satu jenis
obat saja, termasuk pula disini berupa pemberian obat terhadap segala gejala
dan tanda-tanda yang timbul, tanpa memberikan obat yang dapat mengatasi
penyebab utamanya.
5. Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing): hal ini dapat terjadi
jika obat yang seharusnya diperlukan tidak diberikan, dosis obat yang
diberikan tidak mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat
dibandingkan dengan yang sebenarnya diperlukan.
Masalah Dalam Peresepan Obat
Beberapa masalah yang sering timbul dalam peresepan obat pada lansia
adalah sebagai berikut :
1. Farmakokinetik
Penyerapan obat
Beberapa hal yang menghambat penyerapan obat pada lansia adalah
berkurangnya permukaan lapisan atas usus, berkurangnya gerakan dan aliran
19
darah saluran cerna, berkurangnya keasaman lambung, dan penyakit-penyakit
tertentu. Sebaliknya, akibat berkurangnya gerakan saluran cerna menyebabkan
lebih lama obat didapati saluran cerna sehingga absorpsinya lebih banyak.
Akibat hal-hal tersebut di atas ma ka penyerapan obat hanya sedikit terganggu.
Distribusi obat
Dipengaruhi oleh jumlah darah yang dipompakan jantung keseluruh
tubuh per menit (curah jantung), kelarutan obat dalam air atau lemak dan
keterikatan obat dengan protein. Akibat bertambahnya usia, curah jantung
berkurang yang menyebabkan berkurangnya obat yang terikat dengan reseptor
yang terdapat di dalam sel.
Demikian juga terjadi perubahan komposisi tubuh (berkurangnya cairan
dan bertambahnya lemak tubuh) serta berkurangnya massa otot.
Mengenai kelarutan obat
Ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam lemak. Akibat
kurangnya cairan tubuh maka obat yang larut dalam air mempunyai volume
distribusi yang lebih sedikit, sehingga kadarnya dalam serum meningkat dan
takarannya perlu dikurangi.
Sebaliknya, obat yang larut dalam lemak, akibat pertambahan lemak
tubuh menyebabkan volume distribusi meningkat, sehingga memperpanjang
lamanya obat dalam tubuh. Kadar protein (albumin) yang berkurang pada
lansia menyebabkan bertambah sedikit obat yang terikat dengan albumin dan
bertambah banyak obat dalam bentuk bebas di dalam serum sehingga efek obat
meningkat.
20
Metabolisme
Berkurangnya kecepatan metabolisme pada lansia karena berkurangnya
aliran darah ke hati dan fungsi hepatosit serta enzim hati cytochrome P 450.
Pengeluaran
Berkurangnya fungsi ginjal untuk mengeluarkan obat dari tubuh pada
lansia disebabkan berkurangnya fungsi glomerulus dan tubulus. Sebagai
akibatnya, obat -obat mempunyai durasi yang lebih lama dan kadarnya lebih
tinggi di dalam tubuh, sehingga mudah terjadi efek samping dan toksisitas
obat.
2. Farmakodinamik
Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang
dikonsumsi pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau berkurangnya efek
obat tersebut dibandingkan dengan pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan
gangguan pengikatan obat dengan reseptor dan berkurangnya jumlah reseptor.
3. Masalah-masalah khusus
Beberapa masalah khusus perlu diperhatikan di dalam meresepkan obat
pada lansia, yaitu:
Polifarmasi
Lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih
dari satu jenis (multipatologi) dan diagnosis tidak jelas. Polifarmasi adalah
peresepan 5 jenis atau lebih obat, baik obat makan, salep, injeksi, yang digunakan
untuk jangka waktu yang lama (480 hari atau lebih dalam 2 tahun).
21
Adapun lansia yang berisiko tinggi menderita penyakit atau masalah
kesehatan sebagai akibat penggunaan obat, yaitu: berusia lebih dari 85 tahun,
mendapat 9 jenis atau lebih obat atau lebih 12 dosis obat per hari, menderita 6
jenis atau lebih penyakit kronik yang sedang aktif, terutama gangguan fungsi
ginjal. Oleh karena itu, sedapat mungkin hindarilah polifarmasi, khususnya pada
yang berisiko tinggi.
Takaran obat
Akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia maka
takaran obat perlu diberikan serendah mungkin yang masih mempunyai efek
untuk menyembuhkan (S1-½ takaran dewasa yang dianjurkan) dan titrasi secara
perlahanlahan setiap 7-14 hari sampai tercapai efek penyembuhan yang optimal
(start low, go slow, but use enough). Jika ingin mengganti atau mengkombinasi
dengan obat lain hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jenis obat.
Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit yang
disebabkan obat yang digunakan)
Didapati hubungan positif antara jumlah obat yang digunakan dan usia
dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit
iatrogenik.
Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian, memegang
peranan untuk timbulnya efek samping obat.
Dalam hal ini, sebaiknya digunakan obat dengan satu kali pemberian per
hari. Jika terjadi efek samping obat, sebaiknya obat yang menimbulkan efek
22
samping tadi dihentikan dan jangan ditambahkan obat lain untuk mengatasi efek
samping tersebut.
Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian menjadi
meningkat dengan bertambah banyaknya jenis obat dan kepikunan.
Peresepan Obat Yang Dianjurkan
Sehubungan dengan berbagai masalah yang telah diuraikan di atas, untuk
mengurangi kejadian terhadap masalah-masalah tersebut maka peresepan obat
yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
Gunakan obat seminimal mungkin dan regimen dosis sesederhana mungkin.
Start low, go slow, but use enough.
Gunakan obat yang mempunyai efek samping minimal.
Pengobatan sesuai diagnosis dan hindari pengobatan berdasarkan gejala dan
tanda, serta evaluasi kembali obat-obat yang telah diberikan secara berkala.
Jangan tambahkan obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang
digunakan.
Jika ingin mengganti atau mengkombinasi obat untuk suatu diagnosis,
hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jumlah obat.
Bentuk sediaan obat yang digunakan yang tepat.
Etiket/label yang digunakan pada obat yang tepat.
Keluarga dan pengasuh perlu dilibatkan dalam pemberian obat.
Biaya obat yang terjangkau, dengan mutu dan keamanan yang terjamin.
23
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
24
Istilah polifarmasi termasuk istilah di bidang kedokteran yang cukup sering
didengungkan beberapa tahun belakangan ini, khususnya di Indonesia.
Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih
dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang
diperkirakan. Istilah ini kerap dinilai memiliki makna berlebihan, tidak diperlukan
dan sebenarnya sebagian besar dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi kondisi
pasien dalam hasil pengobatannya.
Polifarmasi di Indonesia umumnya terjadi pada pasien berusia lanjut dan
pasien anak-anak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang yang sudah berusia
lanjut sangat rentan terhadap komplikasi penyakit seperti jantung, hipertensi,
diabetes mellitus, gangguan ginjal dan hati, gangguan pengindraan (penglihatan
maupun pendengaran), gangguan fungsi kognitif, dan beberapa penyakit lainnya.
Dengan beberapa penyakit yang sering menyerang para lansia, sudah tentu
pasien lansia ini mendapatkan pengobatan yang lebih kompleks dan banyak
jenisnya. Dalam kondisi itulah polifarmasi mungkin terjadi. Namun, jika semua
obat yang dikonsumsi pasien lansia tersebut berdampak positif terhadap
penyembuhan penyakitnya, maka istilah polifarmasi tidak berlaku.
Beberapa interaksi obat yang penting ialah:
Simvastatin dengan gemfibrozil (rhabdomyolisis, kreatin-kinase meningkat)
Azathioprin dengan alopurinol (sifat sitotoksik azathioprin meningkat 3-4 kali)
Grapefruit juice (menghambat absorbsi karbamazepin, felodipin, dan
simvastatin)
St John’s wort merangsang metabolisme warfarin, indinavir, dan cyclosporine
25
Cisapride dengan makrolid, ketokonazol, kinidin, atau grapefruit juice (torsade
de pointes dan kematian mendadak)
Kumarin dengan antiplatelet (perdarahan)
Dengan kondisi demikian, seringkali para konsumen atau pasien dibuat
bingung dalam hal mengklasifikasikan apakah keadaan tersebut tergolong
polifarmasi atau tidak. Bila ditanyakan jumlah berapa yang dapat dianggap
sebagai polifarmasi, sulit dinyatakan dengan angka.
Oleh karena itu, pengertian umum sedikit ambigu karena tidak membedakan
penggunaan lebih dari satu obat yang memang ditopang dengan bukti penelitian
(hipertensi, diabetes, payah jantung) dan tidak dianggap ‘redundant’, walaupun
interaksi dan efek samping masih merupakan issue. Sehingga dalam arti asalnya
terdapat unsur mubazir (tidak perlu dan merugikan) yang memang merupakan
masalah yang ada, karena dalam keadaan multipatologis perlu dipakai lebih
banyak obat (diperlukan dan ditopang dengan bukti-bukti).
Saran
Kendati polifarmasi masih sering terjadi dan kita tidak dapat mengetahui
secara pasti apakah polifarmasi tersebut terjadi atau tidak, yang penting untuk kita
perhatikan adalah bagaimana mengelola pengobatan yang kita lakukan. Menurut
Pillans, ada beberapa langkah yang dapat diterapkan untuk memanajemen
polifarmasi, antara lain:
1. Pencegahan
26
Hanya mengkonsumsi obat jika ada bukti yang kuat bahwa pasien benar-benar
dalam keadaan membutuhkan pengobatan. Hindari mengkonsumsi obat untuk
keadaan yang bisa disembuhkan tanpa obat
2. Review pengobatan secara rutin
Me-review catatan penggunaan obat sangat penting bagi pasien untuk
menjalani beberapa pengobatan. Review tersebut meliputi terapi yang sedang
dijalani maupun yang akan dijalani, efek samping, interaksi, dosis, formulasi
obat, dan berapa lama akan dilakukan.
3. Pendekatan non-farmasi
Gunakan gaya hidup sehat untuk mengukur kapan perlunya tindakan
pengobatan
4. Komunikasi
Komunikasi dengan tenaga kesehatan penting bagi pasien, terutama mengenai
ekspektasi, kesulitan dalam pengobatan dan kemampuan pasien untuk
memenuhi aturan pengobatan.
5. Sederhanakan
Pertimbangkan kemungkinan sekecil apapun untuk dosis yang paling kecil,
interval dan pengurangan dosis sepanjang itu tepat.Dengan menerapkan
langkah-langkah tersebut, diharapkan dampak dari polifarmasi yang merugikan
pasien dapat diminimalisasi.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri),
http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut-
geriatri.html, diakses 30 Oktober 2013.
Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. diakses 30
Oktober 2013.
Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB.
Bandung
Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut.
Diakses tanggal 30 Oktober 2013.
Manjoer, Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, 12, Media Aesculapius,
Jakarta.
28