Download - Referat Radiologi Pneumotoraks
REFERAT RADIOLOGI
PNEUMOTHORAKS
DISUSUN OLEH :
Ariyo Ryadi Rangga Putra
0861050028
DOKTER PEMBIMBING :
Dr. Yvonne. N. Y. Palijama, Sp. Rad, MARS
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI
PERIODE 29 April – 25 Mei 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas referat ini.
Dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Radiologi yaitu referat ‘PNEUMOTHORAKS’.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada: Dr. Yvonne. N. Y. Palijama, Sp. Rad, MARS selaku
pembimbing referat, atas bimbingan serta dukungan dari teman – teman di bagian
radiologi yang telah banyak membantu dalam penyelesaian referat ini.
Akhir kata, disadari bahwa penyajian referat ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan,
semoga referat ini dapat bermanfaat untuk semua pihak, khususnya di bagian Ilmu
Radiologi.
Jakarta, Mei 2013
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………….i
Daftar Isi…………………………………………………….ii
BAB I. Pendahuluan…………………………………….......1
BAB II. Tinjauan Pustaka…………………………………...2
A. Epidemiologi………………………………………………..2
B. Anatomi dan Fisiologi……………………………………….2
C. Definisi………………………………………………………5
D. Klasifikasi…………………………………………………….5
E. Diagnosis……………………………………………………..11
F. Diagnosis Banding……………………………………………25
G. Penatalaksanaan………………………………………………27
H. Prognosis……………………………………………………..26
BAB III. Kesimpulan………………………………………...27
Daftar Pustaka…………………………………………………28
3
BAB I
PENDAHULUAN
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis dan
mengempiskan udara melalui trakea yang dipengaruhi tekanan ruang
untuk mempertahankan keberlangsungan pernafasan. Paru-paru
sebenarnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu
lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru
di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal rongga pleura berisi sedikit
cairan dengan tekanan negatif yang ringan (1).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam
rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka
akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru
tidak dapat mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika
bernafas. Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun
traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan
sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik
dan non iatrogenik(2).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. EPIDEMIOLOGI
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak
yang tidak diketahui(7). Namun dari sejumlah penelitian yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada
penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering
daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1 (2).
Di Amerika Serikat, insidens pneumotoraks spontan primer pada
laki-laki adalah 7,4 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya sementara
pada wanita insidensnya adalah 1,2 kasus per 100.000 orang. Sedangkan
insidens pneumotoraks spontan sekunder pada laki-laki adalah 6,3 kasus
per 100.000 orang dan wanita 2,0 per 100.000 orang. Pneumotoraks
traumatik lebih sering terjadi daripada pneumotoraks spontan dengan laju
yang semakin meningkat (3).
Pneumotoraks spontan primer terjadi pada usia 20 – 30 tahun
dengan puncak insidens pada usia awal 20-an sedangkan pneumotoraks
spontan sekunder lebih sering terjadi pada usia 60 – 65 tahun (3).
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Rongga thoraks atau cavitas thoracis berisi organ vital paru dan
jantung.(8) Paru-paru dan pleura mengisi sebagian besar rongga thoraks
dengan jantung di antaranya, sedangkan aorta descendens serta
oeshophagus terletak di belakang jantung. Pleura terbagi atas 2 lapisan,
yaitu: pleura parietalis dan pleura visceralis. Pleura parietalis merupakan
selaput tipis dari membrana serosa yang melapisi rongga pleura. Pada
daerah yang menghadap mediastinum, pleura ini beralih meliputi paru-
paru sehingga disebut pleura visceralis atau pleura pulmonalis. Pleura
visceralis ini membungkus paru-paru dan melekat erat pada
permukaannya. Ruangan potensial antara kedua lapisan pleura ini disebut
cavitas pleuralis yang hanya berisi lapisan tipis cairan untuk lubrikasi. (9)
5
Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada.
Inspirasi terjadi karena gerak otot pernapasan yaitu M. intercostalis dan
diafragma yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan
terhisap masuk melalui trakea dan bronkus (8).
Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus mengembang dan
mengempis bergantung pada membesar atau mengecilnya rongga dada.
Dinding dada yang membesar akan akan menyebabkan paru-paru
mengembang sehingga udara akan terhisap ke dalam alveolus. Sebaliknya
bila M. Intercostalis melemas maka dinding dada akan mengecil sehingga
udara akan terdorong keluar. Sementara itu, karena adanya tekanan intra
abdominal maka diafragma akan terdorong ke atas apabila tidak
berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu lenturnya dinding thoraks, kekenyalan
jaringan paru, dan tekanan intra abdominal menyebabkan ekspirasi jika M.
Intercostalis dan diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan
inspirasi. Dengan demikian ekspirasi merupakan kegiatan yang pasif. (8).
C. DEFINISI
6
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di
dalam pleura akibat robeknya pleua atau suatu keadaan dimana udara
terkumpul di dalam kavum pleura sehingga memisahkan rongga viceralis
dengan parietalis yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena(5).
D. KLASIFIKASI
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu (2,3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik
7
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam
dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan
tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan
dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik,
maupun untuk menilai permukaan paru.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas
terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia
luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun
lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di
rongga pleura tetap negatif.
8
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat
luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama
dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan. (4)
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif (4). Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound). (2)
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura
melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura
tidak dapat keluar (4). Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin
lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas. (2)
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada
sebagian kecil paru (< 50% volume paru).
9
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian
besar paru (> 50% volume paru).
10
11
E. DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang sering muncul
adalah (2,4,5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri
pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3,4) :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu inspirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
12
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negative
3. Gambaran Radiologi
1. Foto Thoraks
Untuk mendiagnosis pneumotoraks pada foto thoraks dapat
ditegakkan dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut :
- Adanya gambaran hiperlusen avaskular pada hemitoraks yang
mengalami pneumotoraks. Hiperlusen avaskular menunjukkan paru
yang mengalami pneumothoraks dengan paru yang kolaps
memberikan gambaran radioopak. Bagian paru yang kolaps dan
yang mengalami pneumotoraks dipisahkan oleh batas paru kolaps
berupa garis radioopak tipis yang berasal dari pleura visceralis,
yang biasa dikenal sebagai pleural white line.
13
Gambar 1. Tanda panah menunjukkan pneumothorax line.
(dikutip dari kepustakaan 7)
Gambar 2. Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan
dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps.
(dikutip dari kepustakaan 3)
14
15
- Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine orang
dewasa maka tanda yang dicari adalah adanya deep sulcus sign. (11)
Normalnya, sudut kostofrenikus berbentuk lancip dan rongga pleura
menembus lebih jauh ke bawah hingga daerah lateral dari hepar dan
lien. Jika terdapat udara pada rongga pleura, maka sudut kostofrenikus
menjadi lebih dalam daripada biasanya. Oleh karena itu, seorang
klinisi harus lebih berhati-hati saat menemukan sudut kostofrenikus
yang lebih dalam daripada biasanya atau jika menemukan sudut
kostofrenikus menjadi semakin dalam dan lancip pada foto dada serial.
Jika hal ini terjadi maka pasien sebaiknya difoto ulang dengan posisi
tegak. Selain deep sulcus sign, terdapat tanda lain pneumotoraks
berupa tepi jantung yang terlihat lebih tajam. Keadaan ini biasanya
terjadi pada posisi supine di mana udara berkumpul di daerah anterior
tubuh utamanya daerah medial.(11)
Gambar 4. Deep sulcus sign (kiri) dan tension pneumotoraks kiri disertai
deviasi mediastinum kanan dan deep sulcus sign (kanan).
(dikutip dari kepustakaan 7)
- Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arah
hilus atau paru menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorong
mediastinum ke arah kontralateral. Jika pneumotoraks semakin
16
memberat, akan mendorong jantung yang dapat menyebabkan gagal
sirkulasi. Jika keadaan ini terlambat ditangani akan menyebabkan
kematian pada penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela iga
menjadi lebih lebar.(6,10)
Gambar 5. Pneumotoraks kanan (kiri) dan tension pneumotoraks (kanan).
(dikutip dari kepustakaan 3)
- Besarnya kolaps paru bergantung pada banyaknya udara yang dapat
masuk ke dalam rongga pleura. Pada pasien dengan adhesif pleura
(menempelnya pleura parietalis dan pleura viseralis) akibat adanya
reaksi inflamasi sebelumnya maka kolaps paru komplit tidak dapat
terjadi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru
difus di mana paru menjadi kaku sehingga tidak memungkinkan kolaps
paru komplit. Pada kedua pasien ini perlu diwaspadai terjadinya
loculated pneumothorax atau encysted pneumothorax. Keadaan ini
terjadi karena udara tidak dapat bergerak bebas akibat adanya adhesif
pleura. Tanda terjadinya loculated pneumothorax adalah adanya
daerah hiperlusen di daerah tepi paru yang berbentuk seperti cangkang
telur. (14)
17
Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil dalam
posisi tegak sebab sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks dalam posisi
supinasi. Selain itu, foto dada juga diambil dalam keadaan ekspirasi
penuh. (11)
Gambar 3. Pneumotoraks kanan yang berukuran kecil dalam keadaan inspirasi
(kanan) dan dalam keadaan ekspirasi (kiri).
(dikutip dari kepustakaan 3)
Ekspirasi penuh menyebabkan volume paru berkurang dan relatif
menjadi lebih padat sementara udara dalam rongga pleura tetap konstan
sehingga lebih mudah untuk mendeteksi adanya pneumotoraks utamanya
yang berukuran lebih kecil. Perlu diingat, pneumotoraks yang terdeteksi
pada keadaan ekspirasi penuh akan terlihat lebih besar daripada ukuran
sebenarnya.(11,13)
18
Emfisema subkutan.
(dikutip dari kepustakaan 16)
- Bila ada cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma; yang biasa
ditemui pada kasus Hidropneumotoraks.
Gambar 9. Hidropneumothoraks.
(dikutip dari kepustakaan 17)
19
F. DIAGNOSIS BANDING
Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli
paru, dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, laki-laki, dan perokok jika
setelah difoto diketahui ada pneumotoraks maka diagnosis umumnya
menjurus ke pneumothoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan
sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang
terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla.(2)
Dalam radiologi, bleb atau bulla digambarkan sebagai area yang
hiperlusen, dengan dinding bleb atau bulla yang sangat tipis. Dalam
beberapa kasus, dimana bleb atau bulla menyerang 1 lobus paru, dapat
memberikan gambaran radiologi yang mirip dengan pneumotoraks. Untuk
membedakannya, dapat dilihat dari daerah yang hiperlusen apakah pada
daerah tersebut terdapat gambaran vaskularisasi atau tidak. Pada
pneumotoraks daerah hiperlusen-nya tidak terdapat vaskular sehingga
biasa disebut hiperlusen avaskular, sedangkan pada bleb atau bulla
terdapat garis-garis trabekula pada daerah paru yang mengalami bleb atau
bulla. Selain itu, pada bleb atau bulla yang besar, jaringan paru di sekitar
bulla akan mengalami pemadatan yang diakibatkan oleh pendesakan bulla
tersebut kepada jaringan paru. (18)
20
Gambar 11. Bleb dan bulla paru.
(dikutip dari kepustakaan 18)
Gambar 12. Gambaran foto thoraks bulla paru.
(dikutip dari kepustakaan 18)
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan
untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks
adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura
telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura
21
tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila
diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari
dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari (2).
Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan
terbuka (4).
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan
untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan
antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung
udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam
botol (2,4).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada
posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke
rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol (2,4).
22
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris
posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis
mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di
dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali
menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan
WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi
maksimal (2).
23
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga
toraks dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
24
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
6. Penatalaksanaan tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB
paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran
napas diberi antibiotik dan bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah
dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi,
seperti emfisema (3).
7. Rehabilitasi
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak napas.
25
H. PROGNOSIS
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah
pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-
pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien
yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai
komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung penyakit
paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus
lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.
26
BAB III
KESIMPULAN
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh
udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang
menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat
proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak
napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan
maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan
sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat
terbuka, tertutup dan ventil (tension).
Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada
hasil foto röntgen berupa gambaran radio-hiperlusen tanpa adanya corakan
bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang
merupakan batas paru (deep sulcus sign). Dari hasil rontgen juga dapat diketahui
seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena pendesakan
serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan
pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang
berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi
disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu
diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi lagi.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam : Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007. P. 495-500.
2. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam :
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
P. 1063-1068.
3. Bascom, R. Pneumothorax. Cited on [26 September 2011].
Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
2009. p. 162-179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax
(Collapsed Lung). Cited : [26 September 2011]. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi
Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.
7. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. Cited on [26 September
2011]. Available from www.emedicine.com
8. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 1997. P.404-419.
9. Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam :
Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009. P. 209-
220.
10. Reed, James, C. Kelainan-kelainan rongga pleura. Dalam :
Radiologi Thoraks. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
1995. P. 63-64.
28
11. Ketai, L. H. Pleura and diaphragm. In: Fundamentals of 9
Radiology Second Edition. China. Elsevier Saunders. 2006. P.172-
177.
12. Gaillard, Frank. Loculated pneumothorax. Cited on [28 September
2011]. Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-
pneumothorax
13. Felson, Benjamin. Pneumothorax. In : Chest Roentgenology.
Philadelphia : W. B. Saunders Company. P. 366-372.
14. Sutton, David. Pneumothorax. In : A Textbook of Radiology and
Imaging. Vol. 1. 5th edition. London : Churchill Livingstone. 1992.
P. 371-374.
15. Radswiki. Pneumomediastinum. Cited on [28 September 2011].
Available from
http://www.radiopedia.org/cases/pneumomediastinum-4
16. D’Souza, Donna. Subcutannous emphysema. Cited on [28
September 2011]. Available from
http://www.radiopedia.org/cases/subcutanous-emphysema
17. Rao, K, K. Loculated hydropneumothorax. Cited on [28 September
2011]. Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-
hydropneumothorax-1
18. Massie, J. Robert. Welchons, George A. Pulmonary blebs and
bullae. Cited on [05 Oktober 2011]. Available from
http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC1609584/pdf/annsurg01
326-0101.pdf
19. Dawes, Laughlin. Subpleural bullae. Cited on [05 Oktober 2011].
Available from http://www.radiopedia.org/articles/pulmonary-
bullae
29