Download - Referat RSMR Tinea Ungium
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..….. 1
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………… 2
BAB II. PEMBAHASAN …………………………………………………………….… 3
2.1. DEFINISI …………………………………………………………………... 3
2.2. EPIDEMIOLOGI ………………………………………………………..…. 3
2.3. ETIOLOGI ...............……………………………………………………… 3
2.4. PATOGENESIS ........................................................................................... 4
2.4. GEJALA KLINIS ………………………………………………..………… 5
2.5. PEMERIKSAAN LABORATORIUM …………………………………….. 6
2.7. DIAGNOSIS ………………………………………………………….….… 8
2.8. DIAGNOSIS BANDING ……………………………………….……….… 9
2.9. PENATALAKSANAAN..…........…………………………………...……. 10
2.10. PROGNOSIS ……………………………………………………..……… 12
BAB III. KESIMPULAN ……………………………………………………………… 13
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..………… 14
BAB I
PENDAHULUAN
Onikomikosis umumnya disebabkan oleh dermatofita biasanya bergejala dan dapat
menyebabkan gangguan fungsi. Gambaran klinis onikomikosis meliputi hiperkeratosis
dengan penebalan dan perubahan warna pada lempeng kuku.1
Tinea unguium kadang-kadang muncul sebagai akibat tinea pedis, dengan
karakteristik onikolisis dan penebalan, perubahan warna (putih, kuning, coklat, dam hitam),
rapuh, dan kuku kekurangan nutrisi. Walaupun inflamasi jarang terjadi, beberapa pasien
merasakan nyeri. Tinea unguium pada kuku kaki dapat menyebabkan nyeri dan sebagai
predisposisi infeksi sekunder bakteri dan ulserasi pada dasar kuku. Komplikasi ini banyak
terjadi pada individu dengan immunocompromised dan diabetes.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Tinea
Unguium adalah yang paling sukar dan lama disembuhkan. Kelainan pada kuku kaki lebih
sukar disembuhkan daripada kuku tangan.2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting, dimana
prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Alas kaki
yang tertutup, berjalan, adanya tempat temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan
kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan onikomikosis.3
Pada orang yang banyak bekerja dengan air kotor dan lingkungan yang lembap atau
basah, dan sering kontak dengan air kotor.saripati
2.4 ETIOLOGI
Etiologi yang paling sering pada onikomikosis adalah dermatofita yang sama dengan
penyebab tinea pedis dan manus, misalnya terutama Trichophyton rubrum dan Trichophyton
mentagrophytes.Saripatikulit Sebagian kecil disebabkan oleh : Epidermophyton floccosum, T.
violaceum, T. schoenleinii, T. verrucosum (biasanya hanya pada kuku tangan).
2.5 PATOGENESIS
Onikomikosis primer disebabkan oleh karena infeksi jamur pada kuku yang sehat.
Probabilitas infeksi terjadi karena suplai vaskuler yang rusak (yaitu dengan bertambahnya
usia, insufisiensi vena kronis, penyakit arteri perifer), setelah trauma (mis: patah tungkai
bawah), atau gangguan persarafan (mis: cedera pleksus brachialis, trauma tulang belakang.
Sedangkan onikomikosis sekunder, pada kuku kaki biasanya terjadi setelah tinea pedis. Pada
kuku tangan onikomikosis sekunder setelah tinea manum, tinea korporis atau tinea kapitis.5
Dermatofita dapat bertahan hidup pada stratum korneum, yang menyediakan sumber
nutrisi bagi dermatofita. Infeksi dermatofita melibatkan tiga tahap: Perlekatan pada
keratinosit, Penetrasi melalui dan diantara sel-sel, dan Membangun respon pejamu.
Patogenesis onikomikosis tergantung pada subtipe klinis. Dalam onikomikosis
subungual distal dan lateral, bentuk yang paling umum dari onikomikosis, jamur
menyebar dari plantar kulit dan menyerang melalui hiponikium kuku. Peradangan yang
terjadi pada bagian kuku ini menyebabkan tanda-tanda fisik onikomikosis subungual
distal dan lateral yang khas. Onikomikosis superfisial putih jarang terjadi, disebabkan
oleh invasi langsung dari permukaan lempeng kuku. Pada onikomikosis subungual
proksimal jamur menembus melalui matriks kuku-kuku proksimal dan menginvasi
sebagian lempeng kuku proksimal dalam.
Invasi kuku oleh Candida tidak umum terjadi karena jamur membutuhkan respon
imun yang menurun sebagai faktor predisposisi untuk dapat menembus kuku. Meskipun
Candida sering terdapat pada lipat kuku proksimal atau ruang subungual pada pasien
dengan paronikia kronis atau onikolisis, pada pasien infeksi Candida hanya terjadi
sekunder. Pada mukokutan kandidiasis kronis, jamur menginfeksi lempeng kuku (nail
plate) dan akhirnya lempeng kuku proksimal dan lateral lipatan kuku.6
2.6 GEJALA KLINIS
Terdapat beberapa tipe tinea unguium :
1. Onikomikosis Subungual Distal/Lateral
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke
proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan terus,
maa permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang
menyerupai kapur.
Onikomikosis subungual distal dan lateral merupaka pola infeksi yang paling sering
didapatkan. Biasanya nampak pewarnaan putih atau kuning pada ujung bantalan kuku, paling
sering terdapat di lipatan kuku lateral. Bentuk ini umumnya disebabkan T. rubrum. Jika
mengenai kuku tangan, pada umumnya dengan pola dua kaki dan satu tangan. Secara klinis,
bagian kuku subungual distal menunjukkan hiperkeratosis dan onikolisis. Penyebaran bagian
proksimal terjadi sepanjang jalur longitudinal.
2. Onikomikosis superficial putih (leukonikia trikofita)
Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan
leukonikia atau keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk membuktikan
adanya elemen jamur. Kelainan ini juga jarang ditemui. Oleh Ravant dan Rabeau (1921)
kelainan ini dihubungkan dengan Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya.
3. Onikomikosis subungual proksimal
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian
proksimal terutama menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu
terlihat kuku di bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Secara
bertahap, warna keputihan mulai memasuki lunula, lalu berpindah ke distal kuku yang
terinfeksi. Terjadi pembesaran hingga dapat menyebar pada seluruh kuku, hiperkeratosis
subungual, leukonikia, onikolisis proksimal dan destruksi pada seluruh kuku. Onikomikosis
subungual proksimal disebabkan oleh T.rubrum dan T. Megninii. 2
2.7 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk
mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut dan
kuku. Bahan pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan terlebih dahulu di tempat
kelainan dan dibersihkan dengan spiritus 70% lalu untuk kuku bahan diambil dari permukaan
kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku,
bahan di bawah kuku diambil pula.2
I. Mikroskopi Langsung (Direct Microscopy)
Pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kuku untuk konfirmasi diagnosis.
Materi keratinaseous dari kerokan kuku ditempatkan pada kaca slide, ditutupi dengan kaca
penutup, disuspensikan dengan larutan (potassium hydroxide) KOH lalu dipanaskan dengan
hati-hati, KOH membantu melarutkan jaringan epitel. Penambahan dimethyl sulfoxide dan
atau tinta Parker Quink pada larutan KOH dapat memudahkan identifikasi elemen jamur.
Identifikasi spesifik untuk patogen biasanya sulit dengan mikroskopik, tetapi pada banyak
kasus, ragi dapat dibedakan dengan dermatofita dari morfologinya.5
Gambaran mikroskopik jamur dermatofita
1. Trichophyton mentagrophytes
Koloni : putih hingga krem dengan permukaaan seperti tumpukan kapas pada PDA, tidak
muncul pigmen.
Gambaran mikroskopik : mikrokonidia yang bergerombol, bentuk cerutu yang jarang,
terkadang hifa spiral.
2. Trichophyton rubrum
Koloni : putih bertumpuk di tengah dan berwarna merah marun pada tepinya.
Gambaran mikroskopik : beberapa mikrokonidia berbentuk air mata, sedikit
makrokonidia berbentuk pensil.3
II. Kultur Jamur
Tujuan pemeriksaan biakan ialah identifikasi spesies jamur penyebab, membantu
keperluan pengobatan, membantu prognosis penyakit dan untuk keperluan studi
epidemiologi.
Cara pemeriksaan yaitu pembiakan dilakukan dalam media agar sabouroud atau
modifikasinya pada suhu kamar 25-30ºC kemudian sekitar ± 5 hari baru tampak adana
pertumbuhan dan ± 1 minggu lagi baru terlihat jelas karakteristiknya. Selama pertumbuhan
ini harus diperhatikan ada tidaknya warna yang dibentuk in verso atau in recto, ada tidaknya
hifa aereal yang seperti kapas, beludru, bubuk, dan lain-lain. Juga bentuknya menonjol
seperti gunung kecil dengan batas yang tajam, ireguler dengan permukaan yang licin seperti
tetesan lilin. Pemeriksaan biakan sebaiknya dilakukan tidak terlalu lama setelah diperkirakan
ada pertumbuhan sifat-sifat khusus jamur tersebut. Untuk dermatofit tenggang waktunya ± 3
minggu setelah penanaman. Bila terlalu lama, golongan jamur ini akan terjadi pleomorfik,
dimana tanda-tanda khasnya akan hilang.
III. Pemeriksaan Histopatologi
Dilakukan jika hasil pemeriksaan KOH ditemukan negatif. Pewarnaan PAS
digunakan untuk mendeteksi jamur pada kuku. Pemeriksaan ini paling diandalkan untuk
pemeriksaan Onykomikosis.5
2.8 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat
diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan denganlampu wood
pada spesies tertentu. Oleh karena onikomikosis bertanggung jawab besar pada distropi kuku,
maka pemeriksaan dengan laboratorium sangat membantu sebelum memberikan pengobatan
anti jamur. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH, hisopatologi, dan
kultur jamur.3
2.9 DIAGNOSIS BANDING
1. Psoriasis Kuku
Gejala berupa adanya pits, terowongan, dan cekungan yang transversal (beau’s line)
leukonikia dengan permukaan yang kasar atau licin. Pada dasar kuku terdapat perdarahan dan
berwarna merah. Hiponikia berwarna hijau kekuningan pada daerah onikolisis. Karena
adanya keratosis subungual zat tanduk di bawah lempeng kuku dapat menjadi medium untuk
pertumbuhan bakteri atau jamur
2. Paronikia
Paronikia adalah inflamasi yang mengenai lipatan kulit disekitar kuku. Paronikia
ditandai dengan pembengkakan jaringan yang nyeri dan bernanah. Bila infeksi berlangsung
kronik maka terdapat celah horizontal pada dasar kuku. Biasanya mengenai 1-3 jari terutama
jari telunjuk dan jari tengah. Penyebab terjadinya paronikia ini adalah akibat trauma yang
kemudian terjadi pemisahan antara lempeng kuku dari eponikium, celah ini kemudian
terkontaminasi oleh piogenik atau jamur.
Piogen yang tersering adalah Staphylococcus atau Pseudomonas sedangkan jamur
tersering adalah Candida albican.
3. Liken planus kuku
Liken planus pada kuku dapat timbul tanpa kelainan kuku. Perubahan pada kuku berupa
belahan longitudinal, lipatan kuku yang menggelembung (pterigium kuku), dan kadang-
kadang anonikia. Lempeng kuku menipis dan papul liken planus dapat mengenai kuku.2
2.10 PENGOBATAN
Pilihan terapi untuk pengobatan onikomikosis antara lain terapi paliatif, debridemen
mekanik atau kimia, anti jamur topikal dan sistemik. Kombinasi variasi pengobatan lainnya.
Pilihan terapi dipengaruhi oleh gambaran dan keparahan penyakit, terapi lain yang digunakan
penderita, terapi yang telah digunakan sebelumnya (dan efek lain).
Terapi antibikotik sistemik
Griseofulvin. Obat ini bersifat fungistatik yang efektif untuk jamur. Dosis yang
digunakan adalah dosis anak 15-20mg/kgBB/hari, dosis dewasa 500-1.000 mg/hari
selama 2-4 minggu.
Itrakonazol. Obat ini juga bersifat fungistatik dan digunakan jika pada pasien tidak bisa
mengkonsumsi ketokonazol akibat penyakit pada hepar dan merupakan pilihan yang
paling baik dengan dosis denyut selama 3 bulan pada onikomikosis. Cara pemberiannya
secara tiga tahap dengan interval 1 bulan. Setiap tahap dalam 1 minggu dosisnya 2 x 200
mg sehari dalam kapsul.
Terbinafin. Bersifat fungisidal dan dapat diberikan sebagai pengganti dari griseofulvin
dengan dosis 62,5 mg – 250 mg sehari tergantung berat badan selama 2-3 minggu.2
Terapi topical
Pada masa kini selain obat-obatan konvensional, misalnya :
Asam salisil 2-4%
Asam benzoat 6-12%
Sulfur 4-6%
Asam Undesilenat 2-5%
Castellani’s paint
Dikenal juga beberapa obat-obat baru di antaranya :
Tolnafat 2%
Imidazol dalam bentuk cairan 1%
Siklopiroksolamin 1%.2
Debridemen
Mengangkat jaringan kuku yang distropik, pasien seharusnya didebridemen setiap
satu minggu. Pada onikomikosis subungual distal, hiperkeratotik harus diangkat. Pada
onikomikosis superfisial putih, kuku diangkat dengan cara dikuret.5
2.11 PROGNOSIS
Tanpa terapi yang efektif, onikomikosis tidak dapat sembuh secara spontan.
Keterlibatan yang progresif dari beberapa kuku adalah biasa. Onikomikosis subungual
distal/lateral menetap setelah terapi tinea pedis dan sering menyebabkan episode berulang
dermatofita epidermal pada kaki, pangkal paha, dan lokasi lain. Tinea pedis dan/atau
onikomikosis subungual distal/lateral merupakan awal untuk infeksi bakteri berulang (S.
aureus, group A streptococcus), khususnya sellulitis pada tungkai bawah.5
Prevalensi pada penderita diabetes diperkirakan 33%; onikomikosis subungual
distal/lateral memberikan kontribusi terhadap keparahan masalah kaki: infeksi bakteri
superfisial, ulserasasi, selulitis, osteomielitis, nekrosis, amputasi. Diabetes membutuhkan
intervensi dini dan harus diskrining reguler oleh dermatologis. HIV yang tidak diobati
dikaitkan dengan peningkatan dermatofita. Tingkat relaps jangka panjang dengan terapi oral
terbaru seperti terbinafin, atau itarconazole dilaporkan 15-21% 2 tahun setelah terapi
berhasil. Penyebab kambuh atau reinfeksi: reinfeksi, inkompetensi imulogis, trauma terus
menerus, penyebab tidak diketahui. Kultur mikologi dapat positif tanpa gejala klinis yang
jelas. Kebersihan kaki dan kuku sangat penting: sabunbenzoyl peroxide pada saat mandi dan
preparat antijamur atau ethanol/isopropyl gel.5
BAB III
KESIMPULAN
Onikomikosis adalah satu kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur
dematofita, ragi (yeasts) dan kapang (moulds). Tinea unguium istilah khusus untuk kelainan
kuku akibat infeksi dermatofita.
Etiologi yang paling sering pada tinea unguium terutama Trichophyton
rubrum dan Trichophyton mentagrophytes var. interdigitable. Onikomikosis primer
disebabkan oleh karena infeksi jamur pada kuku yang sehat. Probabilitas infeksi terjadi
karena suplai vaskuler yang rusak, post trauma, atau gangguang persarafan. Sedangkan
onikomikosis sekunder biasanya terjadi setelah tinea pedis, tinea manum, tinea corporis atau
tinea capitis.
Keluhan utama berupa kerusakan kuku. Kuku menjadi suram, dan rapuh, dapat
dimulai dari arah distal (perimarginal) atau proksimal. Terdapat beberapa tipe tinea unguium:
onikomikosis subungual distal/lateral, onikomikosis subungual proksimal, onikomikosis
superfisial putih, onikomikosis endoniks, onikomikosis distrofik total, onikomikosis kandida.
Onikomikosis memerlukan pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi,
karena waktu terapi yang lama, mahal, dan dosis memiliki resiko. Pemeriksaan laboratorium
berupa mikroskopi langsung, kultur jamur, dan pemeriksaan histopatologi. Onikomikosis
(tinea unguium) dapat didiagnosis dari gejala yang tampak dan pemeriksaan lanoratorium.
Pengobatan terdiri dari pengobatan topikal dengan Amoralfine nail
lacquer dan Ciclopirox (Penlac) nail lacquer. Pengobatan oral antifungi dengan terbinafin,
itrakoazole, dan flukonazol. Kombinasi terapi lebih efektif daripada hanya terapi oral atau
topikal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Husein M, Hassab-El-Naby M, Shaheen IMI, Abdo HM, El-Shafey HAM.
Comparative study for the reliability of potassium hydroxide mount versus nail
clipping biopsy in diagnosis of onychomycosis. The Gulf Journal of Dermatology
and Venerology. 2011;18
2. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. p. 89-105.
3. Kurniati, CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. 2008;20:243-50.
4. Siregar RS. Atlas bewarna saripati penyakit kulit. 2nd edition. Jakarta; 2005;
EGC. p 28-9
5. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies.
6. Antonella Tosti. Onychomycosis. eMedicine Journal. http://emedicine.medscape.com/article/1105828. Tanggal akses 20 Oktober 2009
7. Soepardiman L. Kelainan Kuku. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. P.312-7.