Download - Referat Ruptura Uteri
BAB I
PENDAHULUAN
Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi yang berasal dari faktor ibu adalah penyulit kehamilan seperti ruptur uteri dan diabetes melitus. Perdarahan masih merupakan trias penyebab kematian maternal tertinggi, di samping preeklampsi/eklampsi dan infeksi. perdarahan dalam bidang obstetri dapat dibagi menjadi perdarahan pada kehamilan muda (<22 minggu), perdarahan pada kehamilan lanjut dan persalinan, dan perdarahan pasca persalinan.
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan perdarahan pada persalinan dalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran.
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan ruptur uteri, diantaranya adalah adanya jaringan parut pada uterus (biasanya akibat melahirkan cesar) dan penggunaan obat-obat penginduksi persalinan.
Kelahiran spontan pasca kelahiran cesar pada kehamilan sebelumnya (vaginal birth after cesarean/VBAC) dituding berperan besar terhadap kasus ruptur uteri.
Ruptura uteri dalam kehamilan merupakan komplikasi yang bersifat katastropik
dengan morbiditas maternal dan fetal yang tinggi , namun jarang terjadi. Sejumlah faktor
meningkatkan resiko terjadinya ruptura uteri , namun bahkan pada kelompok resiko tinggi,
angka kejadian ruptura uteri sangat rendah.
Gejala dan tanda awal ruptura uteri tidak spesifik sehingga diagnosis sulit ditegakkan
dan kadang-kadang menyebabkan tindakan definitif yang terlambat. Sejak diagnosa
ditegakkan sampai tindakan, hanya tersedia waktu 10 – 30 menit sebelum morbiditas janin
menjadi tak terelakkan.
Morbiditas janin terjadi akibat perdarahan dan atau anoksia janin. Tanda yang tak
jelas dan terlambat menyebabkan kejadian ruptura uteri ini merupakan episode yang sangat
mencemaskan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ruptura uteri dalam kehamilan adalah kejadian yang jarang dan membahayakan jiwa ibu
dan atau anak. Dehisensi jaringan parut uterus jarang berlangsung secara total sehingga
tidak terjadi perdarahan.
Dehisensi jaringan parut uterus yang terjadi secara total menyebabkan :
1. Perdarahan uterus yang masif
2. Gawat janin
3. Protrusi atau ekspulsi plasenta dan atau janin kedalam rongga abdomen
4. Tindakan sectio caesar cito dan histerorafi atau histerektomi
Ruptura uteri dapat terjadi secara komplet dimana robekan terjadi pada semua lapisan
miometrium termasuk peritoneum dan dalam hal ini umumnya janin sudah berada dalam
cavum abdomen dalam keadaan mati ; ruptura inkomplet , robekan rahim secara parsial
dan peritoneum masih utuh.
Ruptura uteri dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma dan dapat terjadi
pada uterus yang utuh atau yang sudah mengalami cacat rahim (pasca miomektomi atau
pasca sectio caesar) serta dapat terjadi dalam pada ibu yang sedang inpartu (awal
persalinan) atau belum inpartu (akhir kehamilan)
Angka kejadian
Meta-analisa dari 20 data penelitian sejak 1976 – 2009 menunjukkan bahwa angka
kejadian ruptura uteri adalah 1 : 1536 persalinan ( 0.07%). Dari data yang terbatas, terdapat
data bahwa angka kejadian ruptura uteri spontan pada uterus yang utuh 1 : 8434 kehamilan
(0.012%).
Kejadian ruptura uteri yang berhubungan dengan cacat rahim adalah sekitar 40% ;
ruptura uteri yang berkaitan dengan low segmen caesarean section ( insisi tranversal )
adalah kurang dari 1% dan pada classical caesarean section ( insisi longitudinal ) kira kira 4%
- 7%
2
Etiologi
Kausa terpenting ruptur uteri adalah terpisahnya jaringan parut bekas seksio sesarea
sebelumnya. Keadaan ini meningkat karena timbulnya kecenduraan untuk melakukan partus
percobaan pada kehamilan dengan riwayat seksio sesarea. Farmer dkk. (1991) melaporkan
bahwa pada lebih dari 11.000 wanita dengan riwayat seksio sesarea,dua pertiganya
menjalani partus percobaan dengan insiden ruptur uteri yang termanifestasi sebesar 0,8
persen.
Dalam studi yang disebut diatas oleh Miller dan Paul (1996) hanya 11 dari 153 kasus ruptur
uteri tidak berkaitan dengan riwayat seksio sesarea. Ruptur uteri midtrimester jarang terjadi
namun,wanita yang menjalani terminasi kehamilan pada pertengahan usia kehamilan
dengan riwayat seksio sesarea memperlihatkan risiko ruptur 3,8 % (Chapman dkk,1996).
Faktor predisposisi ruptur uteri lain yang sering dijumpai adalah riwayat manipulasi atau
operasi traumatik,misalnya kuretase,perforasi,atau miomektomi.
Jaringan parut pada seksio sesarea segmen bawah versus klasik
Untuk pasien dengan riwayat seksio sesarea,American Colege of Obstetricians and
Gynecologist (1999) mencantumkan angka-angka berikut mengenai partus percobaan dan
ruptur uteri : 1 sampai 7 persen ada riwayat insisi seksio sesarea vertikal rendah, 4 sampai 9
persen pada insisi bentuk T dan 4 smapai 9 persen pada jaringan parut insisi klasik. Yang
penting,pada sepertiga kasus ruptur jaringan parut klasik sebelum persalinan,proses tidak
jarang terjadi beberapa minggu sebelum aterm. Kami baru-baru ini menjumpai seorang
wanita dengan kehamilan abdomen aterm yang jaringan parut insisi seksio sesarea klasiknya
terlepas beberapa minggu sampai bulan sebelum ia melahirkan dengan seksio sesarea lagi.
Ruptur jaringan parut seksio sesarea
Kecendrungannya sekarang adalah menawarkan atau bahkan menganjurkan
dilakukannya partus percobaan bagi wanita yang pernah satu kali menjalani seksio searea
transversal (American College of Obstreticians and Gynecologist,1999). Kekurangan utama
metode ini adalah bahwa pemisahan jaringan parut lama menjadi penyulit pada sekitar 1
3
dari 200 partus percobaan. Angka ini lebih tinggi pada wanita dengan riwayat operasi dua
kali atau lebih yang menjalani partus percobaan,baik spontann atau dengan stimulasi.
Morbiditas dan mortalitas
Risiko pada ibu berkaitan dengan apakah terjadi ruptur pada uterus utuh atau
jaringan parut seksio sesarea. Terpisahnya jaringan parut setelah partus percobaan pada
seorang wanita dengan riwayat insisi transversal belum pernah menimbulkan kematian ibu.
Sebaliknya pada 24 kasus ruptur uteri yang pada dasarnya tidak berkaitan dengan riwayat
insisi, Eden dkk (1986) melaporkan 1 kematian ibu dan 46 %kematian perinatal. Demikian
juga rachagan dkk (1991) melaporkan angka kematian bayi hampir 70 persen pada ruptur
uteri spontan atau traumatik. Morbiditas dan mortalitas perinatal dapat cukup besar pada
ruptur selama persaalinan dnegan riwayat insisi uterus.
Ruptur uteri tanpa jaringan parut
Ruptur traumatik
Walaupun uterus ternyata sangat tahan terhadap trauma tumpul,wanita hamil yang
mengalami trauma tumpul pada abdomen harus mewaspadai timbulnya tanda-tanda ruptur
uteri. Miller dan paul (1996) hanya melaporkan tiga kasus yang disebabkan oleh trauma
pada lebihdari 150 wanita dengan ruptur uteri. Trauma tumpul lebih besar kemungkinannya
menyebabkan solusio plasenta. Sebaliknya,luka tembus abdomen cenderung mengenai
uterus yang hamil besar.
Dahulu,ruptur traumatik sewaktu pelahiran sering disebabkan oleh ekstraksi atau versi
podalik interna. Kausa lain ruptur traumatik antara lain pelahiran forseps yang sulit,ekstraksi
bokong dan pembesaran janin yang tidak lazim,misalnya hidrosefalus.
Ruptur spontan
Dalam studi oleh miller dan paul (1996) disebutkan Insiden ruptur uteri spontan
hanya sekitar 1 per 15.000 pelahiran. Mereka juga menemukan bahwa ruptur lebih besar
kemungkinannnya terjadi pada wanita dengan paritas tinggi (Miller dkk,1997) . stimulasi
persalinan dengan oksitoksin agak sering dikatikan dengan ruptur terutama pada wanita
dengan paritas tinggi (fuchs dkk,1985; Rachagan dk,1991). Maymon dkk, (1991) serta
4
Bennet (1997) melaporkan ruptur uteri pada induksi persalinan yang mengggunakan gel
prostaglandin E2 atau tablet vagina prostaglandin E1. Karena itu,pemberian oksitosin untuk
menstimulasi persalinan pada wanita dengan paritas tinggi harus dilakukan secara hati-hati.
Demikian juga,pada wanita dengan parias tinggi,partuspercobaan pada kehamilan yang
dicurigai mengalami disproporsi sevalopelvik atau presentasi abnormal seperti dahi,harus
dilakukan dengan hati-hati.
Patologi anatomi
Peran peregangan berlebihan segmen bawah uterus disertai pembentukan cincin
retraksi patologis pada ruptur uterus. Ruptur pada uterus yang sebelumnya utuh saat
persalinan paling sering mengenai segmen bawah uterus yang menipis. Robekan,apabila
terletak dekat dengan uterus sering meluas secara melintang atau oblik. Robekan biasanya
longitudinal apabila terjadi di bagian uterus yang terletak dekat dengan ligamentum latum.
Walaupun terutama terbentuk di segmen bawah uterus,laserasi biasanya meluas ke atas
menuju korpus uterus atau ke bawah melewati serviks menuju vagina. Kadang-kadang
kandung kemih juga mengalami laserasi (Rachagan dkk,1991). Setelah ruptur komplit isi
uterus keluar dan memasuki rongga peritoneum kecuali apabila bagian terbawah janin
sudah benar-benar cakap,saat hanya sebagian janin yang mungkin keluar dari uterus.
Pada ruptur uteri dengan peritoneum yang tetap utuh,perdarahan sering meluas ke
ligamentum latum. Pada keadaan ini,perdarahan cenderung tidak begitu parah
dibandingkan dengan ruptur intraperitoneum. Perdarahan semacam ini,menimbulkan
pembentukan hematom retroperitoneum besar yang dapat menyebabkan kekurangan
darah hebat yang menimbulkan kematian. Kehilangan darah yang fatal juga dapat terjadi
apabila hematom pecah sehingga efek tamponade ligamentum latum yang utuh hilang.
Faktor risiko :
Kelainan kongenital uterus, multiparitas, riwayat miomektomi dan riwayat
persalinan dengan sectio caesar, makrosomia, induksi persalinan, persalinan dengan
instrumen dan trauma uterus adalah faktor yang meningkatkan resiko ruptura uteri.:
Faktor kehamilan yang meningkatkan risiko ruptura uteri
5
1) Grande multipara ( persalinan spontan dengan janin variabel lebih dari 6 kali)
2) Usia ibu
3) Plasentasi (akreta, perkreta dan inkreta serta solusio plaenta
4) Kehamilan di cornu
5) Regangan berlebihan ( hidramnion, gemeli)
6) Distocia ( makrosomia, panggul sempit )
7) Invasi trofoblas pada miometrium (mola hidatidosa, choriocarcinoma)
8) Induksi persalinan
9) Partus macet
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Gejala dan tanda ruptura uteri sangat ber variasi.
Secara klasik, ruptura uteri ditandai dengan nyeri abdomen akut dan perdarahan
pervaginam berwarna merah segar serta keadaan janin yang memburuk.
Gejala ruptura uteri ‘iminen’ :
1. Lingkaran retraksi patologis Bandl
2. Hiperventilasi
3. Gelisah - cemas
4. Takikardia
6
Lingkaran Retraksi Patologis ( Lingkaran Bandl )
Setelah terjadi ruptura uteri, nyeri abdomen hilang untuk sementara waktu dan setelah itu
penderita mengeluh adanya rasa nyeri yang merata dan disertai dengan gejala dan tanda:
1. Abnormalitas detik jantung janin (gawat janin sampai mati)
2. Pasien jatuh kedalam syok
3. Bagian terendah janin mudah didorong keatas
4. Bagian janin mudah diraba melalui palpasi abdomen
5. Contour janin dapat dilihat melalui inspeksi abdomen
7
Robekan utrerus saat laparotomi
Bila sudah diagnosa dugaan ruptura uteri sudah ditegakkan maka tindakan yang harus
diambil adalah segera memperbaiki keadaan umum pasien ( resusitasi cairan dan persiapan
tranfusi ) dan persiapan tindakan laparotomi atau persiapan rujukan ke sarana fasilitas yang
lebih lengkap.
Sebagai bentuk tindakan definitif maka bila tobekan melintang dan tidak mengenai daerah
yang luas dapat dipertimbangkan tindakan histerorafia ; namun bila robekan uterus
mengenai jaringan yang sangat luas serta sudah banyak bagian yang nekrotik maka tindakan
terbaik adalah histerektomi
Pencegahan
Resiko absolut terjadinya ruptura uteri dalam kehamilan sangat rendah namun sangat
bervariasi tergantung pada kelompok tertentu :
1. Kasus uterus utuh
2. Uterus dengan kelainan kongenital
3. Uterus normal pasca miomektomi
8
4. Uterus normal dengan riwayat sectio caesar satu kali
5. Uterus normal dengan riwayat sectio lebih dari satu kali
Pasien dengan uterus normal dan utuh memiliki resiko mengalami ruptura uteri paling
kecil ( 0.013% atau 1 : 7449 kehamilan )
Strategi pencegahan kejadian ruptura uteri langsung adalah dengan memperkecil jumlah
pasien dengan resiko ; kriteria pasien dengan resiko tinggi ruptura uteri adalah:
1. Persalinan dengan SC lebih dari satu kali
2. Riwayat SC classic ( midline uterine incision )
3. Riwayat SC dengan jenis “low vertical incision “
4. LSCS dengan jahitan uterus satu lapis
5. SC dilakukan kurang dari 2 tahun
6. LSCS pada uterus dengan kelainan kongenital
7. Riwayat SC tanpa riwayat persalinan spontan per vaginam
8. Induksi atau akselerasi persalinan pada pasien dengan riwayat SC
9. Riwayat SC dengan janin makrosomia
10. Riwayat miomektomi per laparoskop atau laparotomi
Ibu hamil dengan 1 kriteria diatas akan memiliki resiko 200 kali lebih besar
dibandingkan ibu hamil umumnya
Prognosis
Dengan terjadinya ruptur dan ekspulsi janin ke dalam rongga, peritoneum, maka
peluang kelangsungan hidup janin yang utuh tidak baik, dan angka mortalitas yang
dilaporkan berkisar 50 hingga 75 persen. Saat ruptur, satu-satunya peluang kelangsungan
hidup janin adalah pelahiran segera, paling sering dengan laparotomi. Kalau tidak, hipoksia
akibat pemisahan plasenta dan hipovolemia pada ibu tidak dapat dihindari lagi. Apabila
9
tidak diterapi,sebagian besar wanita meninggal segera akibat perdarahan atau yang lebih
jarang,belakangan akibat infeksi. Diagnosis yang cepat, operasi segera, ketersediaan darah
yang banyak, serta terapi antimikroba telah sangat memperbaiki prognosis.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, Leveno, dkk. 2005. Obstetri Williams edisi 23. Jakarta : EGC.
http://reproduksiumj.blogspot.com/2011/09/ruptura-uteri-dalam-kehamilan.html
10