Download - REFERAT.docx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya dan mengubahnya menjadi sinyal
listrik. Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisasi, yang
terdiri dari lapisan badan sel dan prosessus sinaptik. Walaupun ukurannya
kompak dan tampak sederhana, apabila dibandingkan dengan struktur saraf
misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih.
Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak, dan persepsi warna, kontras,
kedalaman dan bentuk berlangsung dikorteks.1,2,3,4,5
Retina merupakan jaringan neurosensoris yang terletak pada bagian
dalam dinding mata. Seperti film pada kamera, retina mengubah cahaya menjadi
penglihatan dimata. Fungsi retina pada dasarnya ialah menerima bayangan visual
yang dikirim ke otak. Bagian sentral retina atau daerah makula mengandung lebih
banyak fotoreseptor kerucut daripada bagian perifer retina yang memiliki banyak
sel batang.1,2,4,6,7
Ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang
retina dengan dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen
retina masih melekat erat dengan membran Brunch. Sesungguhnya antara sel
kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktur dengan
koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk
lepas secara embriologis.1,2,3,5,7,8
Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen
akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina pembuluh darah yang bila
berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan.2,3,5,8
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dan etiologi serta klasifikasi ablasio retina.
2. Mengetahui patofisiologi ablasio retina.
1
3. Mengetahui manifestasi klinis dan komplikasi ablasio retina.
4. Mengetahui berbagai pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis ablasio retina.
5. Mengetahui terapi serta prognosis dari ablasio retina.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI RETINA
Retina adalah selembaran tipis jaringan saraf yang semi transparan dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus ciliar, dan
berakhir ditepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berkisar 6,5 mm
dibelakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm dibelakang garis pada
sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel
berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrane Brunch, khoroid
dan sklera. Disebagian besar tempat retina dan epitelium pigmen retina mudah
terpisah hingga membentuk suatu ruangan subretina, seperti yang terjadi pada
ablasio retina. Tetapi pada discus optikus danora serrata, retina dengan epithelium
pigmen retina saling melekat kuat, sehinggga membatasi perluasan cairan
subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang subkhoroid yang
terbentuk antara khoroid dan sclera, yang meluas ketaji sclera. Dengan demikian
ablasi khoroid meluas melewati ora serrata, dibawah pars plana dan pars plikata.
Lapisan-lapisan epitel permukaan dalam korpus ciliaris dan permukaan posterior
iris merupakan perluasan ke anterior retina dan epithelium pigmen retina.
Permukaan dalam retina menghadap ke vitreus.3,4,5,6,7,8,9
3
Gambar 1. Anatomi Retina
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut :1,2,3
1. Membran limitans interna, yang merupakan membrane hialin antara retina
dan badan kaca.
2. Lapisan sel saraf, yang merupakan lapisan akson sel ganglion menuju
kearah saraf optik. Didalam lapisan ± lapisan ini terletak sebagian besar
pembuluh darah retina
3. Lapisan sel ganglion, yang merupakan lapis badan sel daripada neuron
kedua
4. Lapisan pleksiformis dalam, merupakan lapisan aseluler yang merupakan
tempat sinaps sel bipolar, sel amakrim dengan sel ganglion.
5. Lapisan inti dalam merupakan tubuh sel bipolar dan sel Muller, lapis ini
mendapat metabolisme dari arteri retina sentral
6. Lapisan pleksiformis luar, merupakan lapis aseluler dan merupakan tempat
sinaps sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
7. Lapisan inti luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang
8. Membran limitans eksterna, yang merupakan membran ilusi
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut yang
merupakan sel fotosensitif
10. Epitelium pigmen retina.
Gambar 2. Lapisan retina
4
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada
katub posterior. Ditengah-tengah retina terdapat macula. Secara klinis makula
dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuungan yang disebabkan oleh
pigmen luteal (xantofil), yang berdiameter 1,5mm. Ditengah makula, sekitar 3,5
mm disebelah lateral discus optikus terdapat fovea, yang secara klinis jelas-jelas
merupakan suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan
oftalmoskopi.3
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang
berada tepat diluar membran Brunch, yang mendarahi sepertiga luar retina,
termasuk pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan epitel
pigmen retina; serta cabang-cabang dari arteri sentralis retina, yang mendarahi dua
pertiga sebelah dalam.3
Gambar 3. Gambaran retina normal
B. DEFINISI
Ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang
retina dengan dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen
retina masih melekat erat dengan membran Brunch. Sesungguhnya antara sel
kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktur dengan
koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk
lepas secara embriologis.1,2,3,5,7,8
C. ETIOLOGI
5
Sebagian besar lepasnya retina terjadi akibat adanya satu atau lebih
robekan-robekan kecil atau lubang-lubang di retina. Kadang-kadang proses
penuaan yang normal dapat menyebabkan retina menjadi tipis dan kurang sehat,
tetapi yang lebih sering mengakibatkan kerusakan dan robekan pada retina adalah
menyusutnya korpus vitreum, bahan jernih seperti agar-agar yang mengisi bagian
tengah mata. Korpus vitreum erat melekat ke retina pada beberapa lokasi di
sekeliling dinding mata bagian belakang. Bila korpus vitreum menyusut, ia dapat
menarik sebagian retina bersamanya, sehingga menimbulkan robekan atau lubang
pada retina. Walaupun beberapa jenis penyusutan korpus vitreum merupakan
beberapa hal yang normal terjadi pada peningkatan usia dan biasanya tidak
menimbulkan kerusakan pada retina, korpus vitreum dapat pula menyusut pada
bola mata yang tumbuh menjadi besar sekali (kadang-kadang ini merupakan
akibat dari rabun jauh), oleh peradangan, atau karena trauma. Pada sebagian besar
kasus retina baru lepas setelah terjadi perubahan besar struktur korpus vitreum.
Bila sudah ada robekan-robekan retina cairan encer seperti air dapat masuk dari
korpus vitreum kelubang di retina dan dapat mengalir diantara retina dan dinding
bagian belakang. Cairan ini akan memisahkan retina dari dinding mata bagian
belakang dan mengakibatkan retina lepas. Bagian retina yang terlepas tidak akan
berfungsi dengan baik dan di daerah itu timbul penglihatan kabur atau daerah
buta.
D. EPIDEMIOLOGI
Istilah “ablasi retina” (retinal detachment) menandakan pemisahan retina
sensorik, yaitu fotoreseptor dan lapisan jaringan bagian dalam, dari epitel pigmen
retina dibawahnya. Terdapat tiga jenis utama ablasi retina yaitu : ablasi retina
regmategenosa, ablasi retina traksi (tarikan) dan ablasi retina eksudatif.3,4
Insiden ablasio retina sekitar 1 dari 15.000 populasi di Amerika,
sedangkan prevalensinya 0,3 % dari keseluruhan populasi. Sumber lain
menyatakan bahwa insiden ablasio retina 12,5 kasus per 100.000 orang pertahun
atau sekitar 28.000 kasus pertahun di Amerika.5,6,8,9
6
Ablasi retina regmatogenosa merupakan penyebab tersering dari kedua
bentuk ablasi retina yang lain. Sekitar 1 dari 10.000 populasi normal akan
mengalami ablasi retina regmatogenosa. Kemungkinan ini akan meningkat jika
pada pasien yang; memiliki miopa yang tinggi, telah menjalani operasi katarak,
terutama jika operasi ini mengalami komplikasi kehilangan vitreous, pernah
mengalami ablasi retina pada mata kontralateral dan baru mengalami trauma mata
berat.1,2,5
Ablasio retina jarang terjadi pada populasi umum, meskipun kadang
mengenai anak-anak, namun insidens ablasio retina meningkat seiring
bertambahnya umur dan mencapai maksimum pada kelompok usia 50-60 tahun.
Kejadian ablasio retina sedikit meningkat pada usia pertengahan (usia 20-30
tahun) akibat trauma.
Sekitar satu dari 10.000 populasi normal akan mengalami ablasio retina
regmatogenesa. Kemungkinan ini akan meningkat pada pasien :
1. Miopia tinggi
2. Telah menjalani operasi katarak, terutama jika operasi ini mengalami
komplikasi kehilangan vitreus
3. Pernah mengalami ablasio retina pada mata kontralateral
4. Baru mengalami trauma mata berat
5. Leukimia
6. Tumor
7. Prematuritas
8. Penyakit sistemik seperti diabetes ( retinopati diabetes )7
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi ablasio retina berdasarkan etiologinya terdiri atas :
1. Ablasi Retina Regmatogenosa
Pada ablasi retina regmatogenosa akan memberikan gejala terdapat
gangguan penglihatan yang kadang-kadang terlihat seperti tabir yang
menutup. Terdapat riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada lapangan
penglihatan. Ablasi yang berlokalisasi di daerah supratemporal sangat
7
berbahaya karena dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun
secara akut pada ablasi retina bila dilepasnya mengenai makula lutea. Pada
pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarana
pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan
retina berwarna merah.
Gambar 4. Ablasi Retina Regmatogenosa
Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang.
Kadang-kadang terdapat pigmen di dalam badan kaca. Pada pupil terlihat
adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun. Tekanan bola mata
rendah dan dapat meningkat bila telah terjadi neovaskularisasi glaukoma
pada ablasi yang telah lama.1,9,10,11
1. Abrasi Retina Traksi (tarikan)
Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut
pada badankaca yang akan mengakibatkan ablasi retina dan penglihatan
turun tanpa rasa sakit. Penyebab terbanyak dari ablasi retina traksi adalah
retinopati diabetes proliferasi. Penyebab lain bisa kerusakan mata akibat
sickle sel, oklusi vena retina, retinopati pada rematuritas, perdarahan
badan kaca akibat pembedahan, dan infeksi.1,3,6,9,10,11
8
Gambar 5. Ablasio retina traksi
2. Ablasi retina eksudasi
Ablasi retina eksudasi, ablasi yang terjadi akibat tertimbunnya eksudasi
dibawah retina dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina
sebagai akibat keluarnya cairan dari pembuluh darah retina dan koroid.
Hal ini disebabkan penyakit koroid. Pada ablasi tipe ini penglihatan dapat
berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap
bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang atau hilang.1,3,10,11
Gambar 6. Ablasio retina eksudasi
F. PATOFISIOLOGI
Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai
dengan rongga vesikel optik embrionik. Kedua jaringan ini melekat longgar pada
mata yang matur dapat berpisah.1,2,3
1. Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreous yang mengalami
likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio
progresif (ablasio retina regmatogenosa).
9
2. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina
(misal seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio
retina traksional)).
3. Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruang subretina
akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan
(ablasio retina eksudatif).
Robekan pada retina paling sering berkaitan dengan onset ablasio vitreus
posterior. Ketikagel vitreus terpisah dari retina, traksi yang dihasilkan ( traksi
vitreus ) menjadi lebihterlokalisasi dan lebih besar. Kadang cukup untuk untuk
menyebabkan robekan retina.Kelemahan retina perifer dasar seperti generasi latis,
meningkatkan kemungkinan terjadinyarobekan ketika vitreus menarik retina.8
G. GEJALA KLINIS
Gambaran klinik ablasio retina yaitu terdiri dari gejala subjektif dan
objektif.4,5,6
Gejala subjektif :
1. Penurunan visus disebabkan robekan pada macula
2. Rasa nyeri
3. Defek lapangan pandang.
4. Riwayat trauma
5. Lakrimasi
Gejala objektif :
1. Hiperemis
2. Fotopsia merupakan persepsi kilatan cahaya yang dirasakan penderita. Hal
ini disebabkan adanya regangan atau tarikan pada retina
3. Floaters : keluhan adanya bayangan yang bergerak oleh karena adanya
robekan pada retina, dimana robekan sel-sel masuk ke korpus vitreus
terutama bila korpus vitreus mencair, kemudian melewati area penglihatan
sehingga terlihat bayangan hitam atau seperti serangga pada mata.
10
H. DIAGNOSIS
Diagnosis ablasi retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis
dan pemeriksaan
mata meliputi :1,3,5,8,10
1. Anammesis
Dari anamnesis pada pasien ablasio retina akan didapatkan :
Adanya riwayat trauma
Penglihatan kabur
Rasa nyeri
Rasa mata berpasir
Rasa mengganjal
Lakrimasi
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Pemeriksaan visus dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat
terlibatnya makula lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan
atau badan kaca yang menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan
sangat menurun bila makula luteaikut terangkat.
b. Pemeriksaan lapangan pandang akan terjadi lapangan pandang seperti
tertutup tabir dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan
ablasi retina, pada lapangan pandang akan terlihat adanya pijaran api
seperti halilintar kecil dan fotopsia.
c. Pemeriksaan funduskopi yaitu salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis
ablasi retina dengan menggunakan binocular inderek oftalmoskop. Pada
pemeriksaan iniablasi retina dikenali dengan hilangnya refleks fundus
dan pengangkatan retina.Retina tampak keabu-abuan yang menutupi
gambaran vaskuler koroid. Jika terdapatakumulasi cairan bermakna pada
ruang subretina ( ablasi retina bulosa ), didapatkan pergerakan undulasi
retina ketika mata bergerak. Suatu robekan pada retina terlihat agak
merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya. Mungkin
didapatan debris terkait pada vitreus yang terdiri dari darah ( perdarahan
11
vitreus ) dan pigmen, atau ruang retina dapat ditemukan mengambang
bebas.
d. Pemeriksaan tekanan bola mata. Pada ablasio retina tekanan intraokuler
kemungkinan menurun.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit
penyerta antara lain glaukoma, diabetes melitus, kelainan darah.
b. Pemeriksaan ultrasonografi yaitu ocular B-Scan ultrasonografi
menggunakan gelombang suara dengan frekwensi tinggi (8-10 MHz)
juga digunakan untuk mendiagnosis ablasio retina dan keadaan patologis
lain yang menyertainya seperti proliferative vitreotinopati, benda asing
intraocular, dengan membuat membuat potongan melalui seluruh
jaringan, dengan demikian didapat lokasi dan bentuk dari kelainan dalam
dua dimensi. Selain itu ultrasonografi juga digunakan untuk mengetahui
kelainan yang menyebabkan ablasi retina eksudatifmisalnya tumor,
posterior skleritis.
c. Pemeriksaan angiografi fluoresin akan terlihat :
Kebocoran didaerah parapapilar dan daerah yang berdekatan dengan
tempatnya ruptur, juga dapat terlihat.
Gangguan permeabiltas koriokapiler akibat rangsangan langsung
badan kaca pada koroid
Dapat dibedakan antara ablasi primer dan sekunder
Adanya tumor atau peradangan yang menyebabkan ablasi
I. DIAGNOSIS BANDING
1. Retinoschisis yaitu degenerasi periferal tipikal sering ditemukan pada
orang dewasa, berlanjut dan meninggi 2-3 mm posterior ora serrata.
Daerah yang bergenerasi tampak gelembung dan paling mudah diamati
adanya depresi skleral. Kavitas kistoid pada lapisan plexiform luar
mengandung mukopolisakarida sensitif hyalronidase. Komplikasi yang
12
diketahui dari degenerasi tipikal adalah koalesensi dan ekstensi kavitas
dan progresif kearah retinoskisis degenerasi tipikal.8,9,11
2. Retinopati
3. Penyakit Vaskular Mata (Oklusi Vena Retina)
J. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada ablasi retina adalah pembedahan dan non pembedahan.
Pada pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara bermacam macam,
tergantung pada luasnya lapisan retina yang lepas dan kerusakan yang terjadi,
tetapi semuanya dirancang untuk mendekatkan dinding mata ke lubang retina,
menahan agar kedua jaringan itu tetap menempel sampai jaringan parut terbentuk
dan melekatkan lagi robekan. Terdapat dua teknik bedah utama untuk
memperbaiki ablasio retina :
1. Eksternal (pendekatan konvensional)
2. Internal (pembedahan vitreoretina)
Prinsip utama pada kedua teknik ini adalah menutup robekan penyebab
pada retina dan memperkuat perlekatan antara retina sekitar dan epitel pigmen
retina dengan cara menginduksi inflamasi di daerah tersebut dengan pembekuan
lokal dengan menggunakan cryoprobe atau laser. Pada pendekatan eksternal,
robekan ditutup dengan menekan sklera menggunakan pita plomb silikon yang
diletakkan eksternal. Ini menghilangkan traksi vitreus pada lubang retina dan
mendekatkan epitel pigmen retina pada retina. Mungkin sebelumnya diperlukan
drainase akumulasi cairan subretina yang sangat banyak dengan membuat lubang
kecil pada sklera dan koroid menggunakan jarum (sklerostomi).
Pada pendekatan internal, vitreus diangkat dengan pemotong bedah
mikro khusus yang dimasukkan ke dalam rongga vitreus melalui pars plana,
tindakan ini menghilangkan traksi vitreus pada robekan retina. Cairan dapat
dialirkan melalui robekan retina penyebab dan laser atau krioterapi dipergunakan
pada retina sekitar. Tamponade internal temporer diberikan dengan menyuntikkan
gas fluorokarbon inert ke dalam rongga vitreus. Penyuntikan ini akan menutup
13
lubang dari dalam dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan.
Pasien harus mempertahankan postur kepala tertentu selama beberapa hari untuk
meyakinkan gelembung terus menutupi robekan retina. Sedangkan jenis-jenis
pembedahan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Retinopeksi pneumatic
Retinopeksi pneumatik merupakan cara yang paling banyak pada ablasi
regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada superior retina.
Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung
gas kedalam vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina. Jika
robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal akan
menghilang 1-2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan dengan kriopeksi
sebelum balon disuntikkan. Pasien harus mempertahankan posisi head
precise selama 7-10 hari untuk menyakinkan gelembung terus menutupi
robekan retina.3,6,8,9,10,11
Gambar 7. Retinopeksi pneumatic
2. Scleral buckle
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina regmatogenosa
terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Ukuran dan bentuk sabuk yang
digunakan tergantung lokasi dan jumlah robekan retina. Sabuk ini biasanya
14
terbuat dari spons silikon atau silikon padat. Pertama-tama dilakukan
kryoprobe atau laser untuk memperkuat perlekatan antara retina sekitar dan
epitel pigmen retina. Sabuk dijahit mengelililngi sclera sehingga terjadi
tekanan pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada robekan
tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan subretinal
menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.1,3,6,8,11
Gambar 8. Skleral buckling
3. Vitrektomi
Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasi
akibat diabetes, ablasio rhegmatogenous yang disertai traksi vitreus atau
hemoragik vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil
pada bola mata kemudian memasukkan instrument hingga ke cavum melalui
pars plana. Setelah itu pemotongan vitreus dengan pemotong vitreus.
Kemudian teknik dan instrument yang digunakan tergantung tipe dan
penyebab ablasio.3,6,8,9,11
15
Gambar 9. Vitrektomi
Pada non pembedahan terdiri atas : Konservatif yaitu penderita istirahat
terutama tidak membaca, kedua mata diberi lubang pengintip.9,11
K. KOMPLIKASI
Komplikasi pembedahan pada ablasi retina akan menimbulkan perubahan
fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati proliferatif/ PVR), PVR dapat
menyebabkan traksi pada retinadan ablasi retina lebih lanjut.2,3
Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi
yang paling sering terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan terhadap
gerakan tangan atau persepsi cahaya (light perception) adalah komplikasi yang
sering dari ablasio retina jika melibatkan makula.
L. PROGNOSIS
Terapi yang cepat prognosis lebih baik. Perbaikan anatomis kadang tidak
sejalan dengan perbaikan fungsi. Jika makula melekat dan pembedahan berhasil
melekatkan kembali retina perifer, maka hasil penglihatan sangat baik. Jika
makula lepas lebih dari 24 jam sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan
sebelumnya mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya.2,3
16
BAB III
KESIMPULAN
Retinal detachment atau ablasi retina merupakan kejadian dimana
terpisahnya sel kerucut dan batang retina dari sel epitel pigmen retina namun sel
epitel pigmen masih merekat pada membran Brunch, sehingga menyebabkan
gangguan pemberian nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi pengelihatan dan lama kelamaan akan menetap.
Retinal detachment berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 3, yaitu:
Ablasio Retina Regmatogenosa (robekan pada retina), Ablasio Retina Traksional
(tarikan oleh jaringan parut pada badan kaca), Ablasio Retina Eksudatif
(penimbunan cairan eksudat di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina).
Prinsip utama pada penatalaksanaan retinal detachment adalah
mendekatkan dinding mata ke lubang retina, menahan agar kedua jaringan itu
tetap menempel sampai jaringan parut terbentuk dan melekatkan lagi robekan.
Bila retina berhasil direkatkan kembali mata akan mendapatkan kembali sebagian
fungsi penglihatan dan kebutaan total dapat dicegah. Tetapi seberapa jauh
penglihatan dapat dipulihkan dalam jangka enam bulan sesudah tindakan operasi
tergantung pada sejumlah faktor. Pada umumnya fungsi penglihatan akan lebih
sedikit pulih bila ablasio retina telah terjadi cukup lama atau muncul pertumbuhan
jaringan di permukaan retina.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, dkk. Ablasio retina. Sari Ilmu Penyakit Mata, edisi ke 3. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003: 183-187
2. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Ablasi retina. Oftalmologi Umum, edisi 14,
Alih Bahasa Tambajong J, Pndit UB. Jakarta. Widya Medika; 2006: 207-209
3. James Bruce, dkk. Ablasi retina. Oftalmologi, edisi ke 9. Ciracas Jakarta.
Erlangga; 2003: 116-120
4. Newell Frank W. Retinal detachment. Ophthalmology Principles and
concepts. Six Edition, The C.V.Mosby Company: ST. Louis. Toronto.
Pricenton; 1986: 338 – 341
5. Wu Lihteh, MD. Retinal Detachment, Rhegmatogenous Ophthalmology. Dari:
http://www.emedicine.com. Di akses pada : 15/2/11
6. Kanski J, Bowling B, Retinal Detachment, In: Opthalmology In Focus,
Churchill Livingstone; 2005: 76 – 77
7. The Eye M.D. Assotiation, Retina and Vitreus, In : Basic and Clinical Science
Course 2003-2004 on CD-ROM, Section 12, American Academy of
Ophthalmology: 2003-2004
8. Pavan Deborah, Langston, Retina and Vitreus in Manual of Ocular Diagnosis
and Therapy, Fifth Edition, Philadelphia, Lippincott William and Wilkins;
2002: 164 – 195
9. Gregory, Larkin L M.D, Retinal Detachment, Dari:
http://emedicine.medscape.com/article/798501-overview, di akses pada
16/2/11
10. Anonim, Retinal Tear and Detachment, Dari: http:///www.St Luke E yes . com ,
di akses pada 15/2/11
11. Anonim, Retinal Detachment, Dari: http:///www.avclinic.com, di akses pada
15/2/11
18