Download - REFLEKSI KASUS.docx
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 1/11
LAPORAN REFLEKSI KASUS
STASE ILMU FORENSIK
Disusun Oleh :
Pahala Simanjuntak S.Ked
(0818011081)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2013
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 2/11
REFLEKSI KASUS
A. Identitas Pasien
Nama/Inisial : Nn. A
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Refleksi kasus : EUTHANASIA
B. Jenis Refleksi
a. Aspek Etika/moral
b. Aspek Medikolegal
c. Aspek Agama
d. Aspek lain
C. Form uraian
1. Resume kasus yang diambil (yang menceritakan kondisi lengkap pasien/kasus yang
diambil) Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah
diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan
istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan
disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan
merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk
eutanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka
kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan
kesehatannya.
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 3/11
2. Latar belakang/alasan ketertarikan pemilihan kasus
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan
yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai
permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang
masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria
diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak
menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tapi, bagaimana
dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya?Hak pasien untuk
mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh
para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika
terjadi kasus-kasus menarik.
Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik
untuk dibicarakan? Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata
sepakat dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan
penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia
mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan
pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang
berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah
barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sebagai dampak dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok),
kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum,
sosial, budaya, & aspek lainnya.
Kemajuan Iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak
jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya dan telah berhenti denyut
jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat
bangkit kembali. Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi
terkadang fungsi pernapasan dan jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya
kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong “hidup”,
tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 4/11
alat medis.Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien
tersebut.
Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan
keputusan baik oleh dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan,
apakah dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi
yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke
fase kematian. Penghentian tindakan medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari
euthanasia. Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di
masyarakat.
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia
adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan
utama menghentikan penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak
boleh dipaksa untuk menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu
meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.Kelompok
yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan tindakan
pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kematian
semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
3. Refleksi dari aspek etika moral/medikolegal/sosial ekonomi beserta penjelasan
evidence/referensi yang sesuai*
*pilihan minimal satu
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia
adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa
fungsi otak, pernapasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Definisi
mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia. Mati itu sendiri sebetulnya
dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan secara permanen
(permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya terlebih dahulu perlu
memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ
vital (paru-paru,jantung, dan otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh
adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi
menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan
yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen. Meskipun euthanasia bukan
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 5/11
merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas,
baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia
baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan
euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP
tersebut:
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun.”
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya duapuluh tahun.”
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun”
Pada dewasa ini, para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah
masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-
yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu
permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan. Mereka
seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang
tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan
penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon dokter
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 6/11
untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut
euthanasia.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang
tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat
dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat
dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis.
Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka
dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis dan dapat dijerat hukum
sesuai KUHP :
pasal 351 tentang penganiayaan,yang berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu
pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan
dari kontrak atau perjanjian.
Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian
dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila
seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum
dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya
lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi
merupakan kompetensinya, dan bukan maksud untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup pasien. Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan
euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan pendapat Prof.Olga Lelacic yang
mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya,
sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari penderitaan
karena penyakitnya.
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 7/11
Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter
sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam
tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut,
tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa
sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim
dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya
masih ingin hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat
menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam
menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak
berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang
Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak
sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak
berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau
untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan
dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit.
Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang
berlainan.Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya
mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan
khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya
biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan
berencana.
Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 &
344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur
dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:(1) Jika suatu perbuatan masuk
dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara
aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat.(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 8/11
pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang dikenakan.Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas „lex specialis
derogat legi generalis‟, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan
yang sifatnya umum.
Aspek Hak Azasi
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum
euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia.
Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk
menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala
penderitaan yang hebat.
Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan
medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila
secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk
tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan
sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.
4. Refleksi Aspek Agama beserta penjelasan evidence /referensi yang sesuai
Kelahiran dan kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus kita patuhi dan kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak
boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 9/11
melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan
melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur
seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan
bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan
putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati
pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak
sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan
agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan
dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke
dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan
Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya
medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan.
Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum
positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik dan moral
yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa
atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama.
Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika
kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga
sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk
hukum positif atau hukum negara.
Islam dengan nyata melarang dilakukannya penghentian kehidupan tanpa
alasan yang benar, baik terhadap kehidupan orang lain maupun kehidupan diri sendiri,
meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan pasien, sebagaimana diatur
dalam Al Quran.
Dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar (QS Al Isra, 17:33)
Janganlah membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang
kepadamu (QS Al-Nisa, 4:29)
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 10/11
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS Al-
Baqarah, 2:286)
D. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di indoneisa tetap dilarang.
Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masi berlaku hingga saat ini. Akan tetapi
perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkan
atau mengadakan penentutan berdasarkan ketentuan tersebut.
7/16/2019 REFLEKSI KASUS.docx
http://slidepdf.com/reader/full/refleksi-kasusdocx-56338675e95f2 11/11
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto, A,dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik . Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p1-5
PERUNDANG-UNDANGAN Soesilo, R, Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP)
Sempurna, Budi.2010. Hukum Kesehatan. Jakarta : Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal FKUI.
Dahlan, Sofwan. Pembuatan Visum Et Repertum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang : 2003