Download - refrat gilut
1
Refrat GILUT
HUBUNGAN ANTARA PERIODONTITIS DENGAN OSTEOPOROSIS
Di Susun Oleh:
DIAH RUSTIANI S
G0005081
Penguji:
Drg. Pradipto Subiyantoro, Sp.BM
BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET-RSUD
Dr.MOEWARDI SURAKARTA2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
Periodontitis dan osteoporosis adalah dua penyakit yang banyak
ditemukan baik pada wanita maupun pria dalam populasi dunia. Dua penyakit ini
meningkat intensitasnya seiring dengan usia. (Marques et al, 2003)
Osteopenia bersama osteoporosis adalah proses reduksi tulang yang
diakibatkan ketidakseimbangan resorpsi dan formasi tulang, dimana terjadi
peningkatan resorpsi. Gangguan ini membawa pada demineralisasi tulang yang
bermanifestasi klinis melalui nyeri, deformitas, dan fraktur tulang. Risiko fraktur
bergantung pada densitas absolut mineral tulang. Tingkat kehilangan mineral
tulang dua kali tinggi pada wanita daripada pria, sebagai akibat kekurangan
estrogen pada wanita di periode post menopausal.
Periodontitis didefinisikan sebagai inflamasi pada jaringan penyangga
gigi, yang biasanya diikuti dengan proses destruksi progresif dan menuju pada
kehilangan ligamen periodontal dan tulang alveolar. Proses destruksi pada
jaringan periodontal membahayakan stabilitas pembusukan gigi dan akhirnya
menyebabkan gigi tanggal. Periodontitis adalah penyebab mayor hilangnya gigi
pada orang dewasa. (Lin Lai, 2004)
Baik osteoporosis maupun penyakit periodontal adalah penyakit resorptif
tulang. Osteoporosis dan osteopenia dikarakteristikkan dengan reduksi pada
massa tulang dan dapat menyebabkan fraktur dan fragilitas tulang. Kehilangan
tulang alveolar yang berhubungan dengan osteoporosis membuat host rentan
terhadap penyakit periodontal. (Sumintarti, 2005)
Defisiensi estrogen mempertinggi tingkat kerusakan komponen jaringan
ikat dari ginggiva dengan menstimulasi sinstesis matrix metalloproteinases
(MMP-8 dan MMP-13), nitric oxide, dan beberapa sitokin yang terlibat dalam
resorpsi tulang. Defisiensi estrogen juga meningkatkan konsentrasi IL-6 pada
sumsum tulang, serum, dan ginggiva (Johnson et al, 2002), yang secara kooperatif
menstimulasi resorpsi tulang osteoklas. Oleh sebab itu, wanita pascamenopause
berisiko mengalami osteoporosis dan penyakit periodontal.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERIODONTITIS
1. Definisi
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan
penyangga gigi (jaringan periodontium). Yang termasuk jaringan
penyangga gigi adalah gusi, tulang yang membentuk kantong tempat gigi
berada, dan ligamen periodontal (selapis tipis jaringan ikat yang
memegang gigi dalam kantongnya dan juga berfungsi sebagai media
peredam antara gigi dan tulang).
Suatu keadaan dapat disebut periodontitis bila perlekatan antara
jaringan periodontal dengan gigi mengalami kerusakan. Selain itu, tulang
alveolar (tulang yang menyangga gigi) juga mengalami kerusakan.
Periodontitis dapat berkembang dari gingivitis (peradangan atau infeksi
pada gusi) yang tidak dirawat. Infeksi akan meluas dari gusi ke arah tulang
di bawah gigi sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih luas pada
jaringan periodontal.
2. Etiologi dan Faktor Risiko
4
Pengamatan klinis menunjukkan bahwa mikroorganisme cepat
berkumpul di permukaan gigi ketika sesorang berhenti menjaga kebersihan
mulutnya. Hanya dengan beberapa hari, tanda-tanda mikroskopis dan
klinis dari gingivitis sudah terlihat. Perubahan peradangan bisa
ditanggulangi ketika orang tersebut kembali menjaga kesehatan mulutnya
secara intensif.
Mikroorganisme yang berasal dari plak pada gigi dan
menyebabkan gingivitis juga termasuk pelepasan bakteri yang
menyebabkan peradangan jaringan. Percobaan klinis menekankan pada
kebutuhan untuk membuang microbial plaque pada supra- dan
subgingival dalam perawatan gingivitis dan periodontitis ( Kinene, Denis
F et all, 2006)
Plak gigi merupakan microbial yang mengawali terjadinya
penyakit jaringan periodontal. Namun bagaimana hal itu dapat
mempengaruhi suatu subjek, bagaimana penyakit tersebut timbul dan
bagaimana dengan progressnya, semuanya tergantung dari kekebalan atau
pertahanan dari host itu sendiri. Faktor pendukung yang mempengaruhi
semua hal dari periodontitis secara utama dengan efeknya terhadap
kekebalan normal dan pertahanan terhadap pembengkakan adalah sebagai
berikut :
2.1 Infeksi HIV
Meskipun banyak orang yang terinfeksi HIV tanpa periodontitis,
mereka mungkin sering mengalami gangguan dalam rongga mulut,
beberapa ditemukan pada periodontium. Jaringan periodontal pada
penderita HIV-positif termasuk linear gingival erythema, necrotizing
ulcerative gingivitis, periodontitis lokal parah dan severe destructive
necrotizing stomatitis yang mempengaruhi gingival dan tulang (mirip
noma dan cancrum oris) (Janet HS, George WT, and Panagiota GS, 2006)
2.2 Tekanan Emosi
5
Stress yang berkepanjangan telah menjadi faktor pendukung
timbulnya necrotizing ulcerative gingivitis. Dampak negatif dari stress
pada jaringan periodontium dapat disebabkan juga oleh perubahan
perilaku, misalnya kebersihan mulut yang buruk dan rokok. Hal ini dapat
merusak fungsi imun sehingga meningkatkan kerentanan terkena infeksi.
Pengaruh stress pada jaringan periodontium yaitu dapat meningkatkan
level sirkulasi kortikostiroid. Meskipun stress merupakan faktor yang tidak
mudah diukur, level kortikostiroid pada urin dapat diukur dan ditemukan
lebih tinggi pada pasien necrotizing ulcerative gingivitis. (Janet HS,
George WT, and Panagiota GS, 2006)
2.3 Osteoporosis
Penelitian pada hewan studi pada domba menunjukkan bahwa
kekurangan estrogen dapat menyebabkan meningkatnya penyakit
periodontal. Sebuah studi pada 28 wanita berumur antara 23 dan 78 tahun
dengan membaginya menjadi 2 kelompok, kelompok yang lebih tua
postmenopausal dan yang lebih muda premenopausal. Kelompok yang
lebih tua mengalami kekurangan dalam kepadatan alveolar bone, dimana
penulis menyimpulkan bahwa menopause dapat menyebabkan
berkurangnya kepadatan dalam alveolar bone. Studi yang lain pada
manusia dengan osteopenia dan osteoporosis, menunjukkan bahwa
keakutan dari osteopenia berhubungan dengan berkurangnya alveolar
cristal height dan gigi tanggal pada wanita yang mengalami
postmenopause (Taguchi A, Sanada M, Suei Y, at all).
2.4 Tembakau
Merokok dan mengunyah tembakau merupakan faktor yang signifikan
dalam menyebabkan penyakit periodontal. Merokok menurunkan sistem
imun sehingga mempermudah terjadinya infeksi periodontal. Merokok
juga menjadikan suasana dalam ronnga mulut lebih kondusif untuk tempat
berkumpulnya bakteri dan menghambat proses eliminsai bakteri dalam
6
rongga mulut. Oleh sebab itu, respon perokok terhadap periodontal juga
menjadi lebih rendah daripada bukan perokok.
2.5 Herediter
Jumlah dari gangguan genetik meningkat seiring dengan
periodontitis kronis. Plak microbial, berubah sesuai level dan durasi
penumpukan faktor lingkungan, misal merokok, diabetes, systemic health,
dan genetik seseorang.
Salah satu gangguan genetik yaitu Down’s syndrome
dikarakteristik oleh awal dari periodontitis yang bermanifestasi pada
dentition utama dan berlanjut hingga dewasa. Keakutan dari penyakit
periodontal tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan lainnya, atau
individu cacat mental lainnya (Janet HS, George WT, and Panagiota GS,
2006).
2.6 Obat-obatan
Beberapa obat antidepresan, influenza, dan antihistamin mengandung
bahan-bahan yang mengurangi produksi saliva. Karena saliva memiliki
fungsi cleansing effect dan membantu menghambat pertumbuhan bakteri,
maka penurunan produksinya dapat menyebabkan mudah terbentuknya
plak dan tartar. Obat-obat lain, terutama obat antikonvulsan, calcium
channel blocker, dan obat-obatan penghambat sistem imun dapat
menyebabkan gingival hyperplasia sehingga plak semakin sulit
dihilangkan.
2.7 Diabetes
Penyakit jaringan periodontal merupakan komplikasi ke enam dari
penyakit diabetes mellitus. Beberapa review menunjukkan bukti dari
keterkaitan secara langsung antara diabetes mellitus dengan penyakit
periodontitis. Hubungan antara diabetes mellitus dengan periodontitis
tampak dengan kuat dalam populasi khusus.
7
Sebuah studi melibatkan 75 penderita diabetes diabetes (IDDM dan
NIDDM) bertujuan untuk memeriksa hubungan antara kontrol diabetes,
sebagaimana dievaluasi oleh glycosylated hemoglobin levels dan
periodontitis. Dalam studi tersebut, keakutan dari dari periodontitis
meningkat seiring dengan control yang buruk dari diabetes. Sebuah
laporan menyebutkan bahwa metabolik kontrol dapat menjadi faktor
terpenting antara kesehatan periodontal dengan IDDM. Data tersebut
mendukung hipotesis bahwa diabetes dan level dari metabolik kontrol
penting dalam hubungannya dengan penyakit periodontitis (Janet HS,
George WT, and Panagiota GS, 2006).
2.8 Perubahan Hormonal
Elevasi di level plasma dari hormone sex selama kehamilan
menyebabkan modifikasi dari respon host pada plak gigi, namun hal ini
mempegaruhi jaringan yang lembut yang meningkatkan pembengkakan
dan gingivitis kronis. Beberapa studi menyebutkan keadaan dari
kemerahan gusi, edema, pendarahan, meningkat pada bulan ke-2
kehamilan sampai bulan ke-8 dan akhirnya menurun. Fluktuasi gingivitis
dengan fase siklus menstruasi dan efek dari kontrasepsi oral pada gingival
merupakan efek dari hormon sex terhadap jaringan periodontal. Lebih
lanjut pubertas juga merupakan hal yang dapat menaikkan pembengkakan
gingiva dan peningkatan respon pada plak merupakan akibat dari
konsentrasi hormone sex dalam plasma (Taguchi A, Sanada M, Suei Y, at
all)
2.9 Defisiensi Gizi
Diet buruk, terutama defisiensi kalsium, vitamin B dan C, berperan dalam
terjadinya penyakit periodontal. Kalsium penting untuk menjaga kesehatan
tulang, termasuk tulang penyangga gigi. Vitamin C membantu memelihara
integritas jaringan ikat dan sebagai antioksidan yang mencegah perusakan
jaringan oleh radikal bebas.
8
3. Klasifikasi
a. Periodontitis Kronis
Dapat pula diartikan sebagai adult periodontitis, dimulai saat
remaja, merupakan penyakit dengan progresifitas lambat dan mulai terlihat
tanda-tanda klinisnya sekitar pertengahan usia 30 tahun dan berlanjut
selama hidup. Pada keadaan ini periodontitis terus berlanjut dan bertambah
atau berkurangnya bergantung pada respon imun.
b. Periodontitis Agresif
Dikenal juga sebagai early onset periodontits, sering terdapat pada
anak muda. Defisiensi imun dan faktor genetik merupakan penyebab
terjadinya semua tipe periodontitis agresif. Apabila keadaan ini dilokalisir
dan diterapi, prognosisnya baik. Pasien dengan periodontitis agresif berat
dan meluas memiliki kecenderungan yang besar mengalami gigi tanggal.
Sel darah putih yang lemah dan adanya bakteri memicu periodontitis
agresif. Periodontitis ini dibagi lagi menjadi 2 tipe, yaitu:
1) Periodontitis sebelum pubertas. Jenis ini jarang terjadi. Penyakit
dimulai saat gigi pada tahun pertama dan menyebabkan peradangan
hebat serta kerusakan tulang dan gigi. Periodontitis prepubertas
umumnya berhubungan dengan penyakit sistemik, seperti akut dan sub
akut leukemia, defisiensi adhesi leukosit, hipofosfatasia.
2) Juvenile periodontitis, terjadi saat pubertas, ditandai dengan kerusakan
tulang yang parah di sekitar gigi molar pertama dan incisivus. Lebih
sering terjadi pada anak perempuan daripada laki-laki. Tanda klinis
seperti peradangan, perdarahan, dan akumulasi plak secara relatif jarang
ditemukan.
c. Disease-related Periodontitis
Periodontitis dapat juga berhubungan dengan peyakit-penyakit
sistemik, seperti diabetes mellitus tipe 1, down syndrome, AIDS, kelainan
leukosit yang berat.
d. Penyakit Acute Necrotizing Periodontal
9
Merupakan penyakit akut pada gusi, ditandai dengan : jaringan
mati (nekrosis), perdarahan spontan, nyeri dengan onset yang cepat, bau
mulut tak sedap, gusi tumpul (normalnya berbentuk seperti corong). Stres,
diet yang buruk, merokok, dan infeksi virus adalah faktor predisposisi
terjadinya acute necrotizing periodontal.
4. Tanda dan Gejala
a. Gusi merah dan bengkak
b. Perdarahan gusi
Perdarahan pada gusi saat menyikat gigi merupakan tanda peradangan
dan penanda utama terjadinya penyakit periodontal, pengecualian pada
juvenile periodontitis yang gejalanya sangat ringan bahkan tidak ada.
c. Bau mulut tak sedap
Debris dan bakteri menjadikan bau mulut tak sedap dapat persisten.
d. Penurunan gusi dan gigi tanggal
Periodontitis menyebabkan gusi menjadi turun dan kerusakan pada
struktur tulang penyangga gigi sehingga gigi menjadi mudah tanggal
e. Abses
f. Pocket periodontal yang dalam antara gusi dan tulang dapat
menghambat pengeluaran tartar dan partikel-partikel makanan. Pada
infeksi, sel darah putih yang melawan akan tertahan dan mati,
terbentuklah pus dan menjadi abses. Abses dapat menghancurkan gusi
dan jaringan-jaringan gigi, menyebabkan gigi yang terdekat menjadi
tanggal dan sangat nyeri, mungkin didapatkan demam serta
pembengkakan kelenjar getah bening.
10
5. Patofisiologi
Periodontitis dimulai dari terbentuknya plak, lapisan lengket pada
gigi terbentuk ketika karbohidrat dan glukosa dalam makanan berinteraksi
dengan bakteri yang pada keadaan normal dapat ditemukan dalam mulut
(flora normal). Walaupun dengan menyikat gigi plak ini dapat dihilangkan,
namun dapat kembali dibentuk dengan cepat dalam waktu 24 jam.
Plak yang bertahan pada gigi dalam waktu lebih dari 2 hari dapat
mengeras pada alur gusi dan berubah menjdi tartar atau kalkulus atau
karang gigi. Sayangnya sikat gigi dan flossing tidak dapa
menghilangkannya. Semakin lama tartar bertahan pada gigi, kerusakan
yang terjadi semakin serius. Pada mulanya terjadi peradangan dan iritasi
ringan pada gusi yang mengelilingi gigi, disebut gingivitis yang
merupakan stadium paling ringan dari penyakit periodontal. Bila
peradangan ini terus berlanjut, maka terbentuklah pocket diantara gigi dan
gusi yang diisi oleh plak, tartar, dan bakteri. Pada suatu saat, plak menjadi
semakin dalam dan bakteri semakin terakumulasi di dalamnya sehingga
terjadilah periodontitis.
Periodontitis terjadi bila peradangan dan infeksi pada gusi
(gingivitis) tidak diobati atau pengobatan terlambat. Peradangan dan
infeksi menyebar dari gusi ke ligamentum dan tulang yang menyangga
gigi. Kerusakan jaringan yang menyangga menyebabkan gigi tanggal.
Peradangan yang terus berlanjut menyebabkan terjadinya destruksi
pada jaringan dan tulang penyangga gigi. Karena plak ini mengandung
bakteri, terjadilah infeksi dan bahkan mungkin terbentuk abses gigi yang
memperkuat terjadinya destruksi tulang.
11
6. Diagnosis
a. Riwayat Medis
Dokter gigi pertama kali akan menanyakan riwayat medis pasien
untuk mengungkapkan masalah periodontal pada masa lalu dan sekarang,
underlying disease yang mungkin berperan, dan pengobatan yang telah
pasien dapatkan. Setelah mencatat keadaan umum dari oral hygiene
pasien, dokter gigi akan menanyakan tentang perawatan gigi yang
dilakukan di rumah.
b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi pada gusi. Inspeksi meliputi warna dan bentuk gusi pada
daerah permukaan buccal dan lingual masing-masing gigi dan
dibandingkan dengan standar yang sehat. Warna merah, lunak, dan
perdarahan menunjukkan adanya peradangan.
c. Periodontal Screening and Recording (PSR)
PSR adalah prosedur untuk mengukur dan menentukan tingkat
keparahan penyakit periodontal. Dokter gigi menggunakan kaca dan
periodontal probe yang digunakan untuk menilai kedalaman pocket.
Pocket yang lebih dalam dari 3 mm merupakan indikasi adanya penyakit.
PSR membantu penilaian kondisi jaringan pengikatnya dan besarnya
pertumbuhan atau penurunan ginggiva.
d. Testing Tooth Movement
Mobilitas gigi dinilai dengan menekan gigi menggunakan 2 alat
dan dilihat pergerakannya. Mobilisasi gigi merupakan indikasi adanya
kerusakan tulang penyangga gigi.
e. X-rays
12
X-rays dapat untuk menunjukkan hilang struktur tulang penyangga
gigi. Delapan belas x-rays serial seluruh mulut penting untuk diagnosis.
7. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan :
Menghentikan dan mengontrol penyakit
Memperbaiki jaringan periodontal yang masih bisa dirawat
Jika dimungkinkan, memperbaiki struktur penyangga gigi, termasuk
tulang, gusi, dan ligamen
Tahap pengobatan :
a. Pembersihan, scalling, kuretase
b. Operasi, dilakukan untuk mengurangi kedalam pocket setelah tahap
pembersihan
c. Antibiotik oral atau topikal
d. Perawatan
Tujuan pengobatan periodontitis adalah menghilangkan bakteri
dalam pocket dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Beberapa orang
dengan periodontitis berhasil diobati dengan terapi non infasiv. Jika pocket
yang terbentuk ≤ 5 mm, lebih baik menggunakan scalling dan perawatan
saluran akar, kadang ditambah dengan antibiotk. Apabila pasien tersebut
konsisten menjaga oral hygiene di rumah, mungkin hanya terapi ini yang
diperlukan.
Scalling menghilangkan tartar dan bakteri dari permukaan gigi
bawah dan gusi. Perawatan saluran akar untuk menjaga akar gigi dan
selanjutnya mengurangi tartar. Sebagai tambahan, periodontist mungkin
meresepkan antibiotik atau obat lain untuk mengontrol infeksi. Pemberian
antibiotik topikal sejak awal akan mengurangi pengobatan sistemik
sehingga efek samping dan resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat
dikurangi.
13
Terkadang ditemukan periodontits lanjut, dimana kedalam pocket > 5 mm
dan jaringan gusi tidak respon terhadap terapi non infasiv. Pada kasus
tersebut, pilihan terapi yang diberikan :
a. Operasi flap (pocket reduction surgery)
Pada prosedur ini, periodontist membuat irisan kecil pada gusi
sehingga gusi dapat diangkat, akar dapat terlihat dan memudahkan
scalling. Karena periodontitis hampir selalu menyebabkan kerusakan
tulang, maka tulang yang bermasalah diatasi terlebih dahulu sebelum
gusi dijahit kembali ke tempatnya. Prosedur ini memerlukan waktu 2-3
jam dengan anatesi lokal.
b. Cangkok jaringan lunak (soft tissue graft)
Pada penyakit periodontal, gusi mengalami penurunan sehingga
terlihat lebih terbuka dibandingkan normalnya. Penggantian jaringan
yang rusak, dilakukakan dengan memindahkan sebagian kecil jaringan
dari palatum dan menempelkannya pada tempat yang rusak yang
bertujuan: membantu gusi yang mengalami penurunan, menutupi akar
gigi yang terbuka, menjaga dari kerusakan dan mengurangi sensitifitas
terhadap panas dan dingin, serta atas tujuan kosmetik.
c. Bone grafting
Prosedur ini dilakukan bila sudah terjadi kehancuran tulang di sekitar
akar gigi. Tulang dapat berasal dari diri sendiri, sintetik, atau donatur.
14
Tidak hanya mencegah gigi tanggal, tapi bone grafting juga sebagai
‘plafon’ untuk pertumbuhan kembali tulang yang baru. Pada kasus ini,
bone grafting selalu dilanjutkan dengan teknik yang disebut guided
tissue regeneration.
d. Guided tissue regeneration
Prosedur ini dapat memacu kembali pertumbuhan tulang yang telah
dihancurkan oleh bakteri. Dokter gigi akan meletakkan bahan khusus
diantara tulang yang masih ada dan gigi. Bahan ini mencegah jaringan-
jaringan yang tidak diinginkan masuk ke tempat yang dalam masa
penyembuhan, dan memicu pertumbuhan tulang kembali
e. Penanaman gigi
Prosedur ini seringkali berhasil pada pasien yang telah kehilangan gigi
karena penyakit periodontal. Untuk satu gigi diperlukan 5-7 bulan
sampai lengkap.
B. OSTEOPOROSIS
1. Definisi
Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas tulang dan
perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan
mudah patah (Marques et al, 2003).
2. Etiologi dan Faktor Risiko
15
2.1 Faktor risiko yang tidak bisa diubah
Umur
Tiap peningkatan 1 dekadi, risiko meningkat 1,4-1,8
Genetik
Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia), seks (wanita >
pria), riwayat keluarga
2.2 Faktor risiko yang bisa diubah
Lingkungan
Defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid,
anti konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, defisiensi vitamin D,
alkohol, gangguan makan (anoreksia), risiko terjatuh yang meningkat
(gangguan keseimbangan, licin, gangguan penglihatan)
Hormonal dan penyakit kronis
Defisiensi estrogen/androgen, tirotoksikosis, hiperparatiroidisme
primer, hiperkortisolisme, penyakit kronik (sirosis hepatis, gagal ginjal,
gastrektomi)
Sifat fisik tulang
Densitas, ukuran dan geometri, miroarsitektur, komposisi
3. Klasifikasi
Chehab Rukmi Hylmi (1994) membagi osteoporosis sebagai berikut :
b. Osteoporosis Primer
Adalah suatu osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dengan
jelas, ini merupakan kelompok terbesar. Osteoporosis primer dibagi
menjadi: 1) Osteoporosis tipe I yang timbul pada wanita post
menoupouse, 2) Osteoporosis tipe II yang terdapat pada kedua jenis
kelamin dengan usia yang semakin bertambah (senilis)
c. Osteoporosis Sekunder
Adalah suatu osteoporosis yang diketahui penyebabnya jelas. Biasanya
disebabkan oleh : 1) Penyakit endokrin, 2) Nutrisi, 3) Obat-obatan
d. Osteoporosis Idiopatik
16
Adalah terjadinya pengurangan masa tulang pada: 1) Anak-anak, 2)
Remaja, 3) Wanita pra menoupouse, 4) Laki-laki berusia
muda/pertengahan. Osteoporosis jenis ini lebih jarang terjadi.
4. Patofisiologi
4.1 Umum
Sel tulang terdiri atas osteoblas, osteosit dan osteoklas yang dalam
aktifitasnya mengatur homeostasis kalsium yang tidak berdiri sendiri
melainkan saling berinteraksi. Homeostasis kalsium pada tingkat seluler
didahului penyerapan tulang oleh osteoklas yang memerlukan waktu 40
hari, disusul fase istirahat dan kemudian disusul fase pembentukan tulang
kembali oleh osteoblas yang memerlukan waktu 120 hari. Dalam
penyerapannya, osteoklas melepas Transforming Growth Factor yang
merangsang aktivitas awal osteoblas. Dalam keadaan normal, kuantitas
dan kualitas penyerapan tulang oleh osteoklas sama dengan kuantitas dan
kualitas pembentukan tulang baru oleh osteoblas. Pada osteoporosis
penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru
(Roeshadi, 2001).
4.2 Osteoporosis Primer
Estrogen memang merupakan salah satu faktor terpenting dalam
mencegah hilangnya kalsium tulang. Selain itu, estrogen juga merangsang
aktivitas osteoblas serta menghambat kerja hormon paratiroid dalam
merangsang osteoklas. Estrogen memperlambat atau bahkan menghambat
hilangnya massa tulang dengan meningkatkan penyerapan kalsium dari
saluran cerna. Dengan demikian, kadar kalsium darah yang normal dapat
dipertahankan. Semakin tinggi kadar kalsium di dalam darah, semakin
kecil kemungkinan hilangnya kalsium dari tulang (untuk menggantikan
kalsium darah).
Estrogen juga menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone
marrow stromal cell dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6, dan
17
TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian
penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi
berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.
Menopause juga menurunkan absorbsi kalsium di usus dan
meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Untuk mengatasi keseimbangan
negatif kalsium, maka kadar PTH akan meningkat sehingga osteoporosis
akan semakin berat. Selain itu, menopause juga menurunkan sintesis
berbagai protein yang membawa 1,25 (OH)2 D, sehingga pemberian
estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25 (OH)2 D di dalam plasma.
Secara umum, pada usia tua terjadi ketidakseimbangan remodeling
tulang, dimana resorpsi tulang meningkat sedangkan formasi tulang tidak
berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa
tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.
Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang independen
terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada usia
tua, tetapi hal ini lebih menujukkan peningkatan turnover tulang dan
bukan peningkatan formasi tulang. Sampai saat ini belum diketahui pasti
penyebab penurunan fungsi osteoblas pada usia tua, diduga karena
penurunan kadar estrogen dan IGF-1.
18
4.3 Osteoporosis Sekunder
Defisiensi kalsium dan vitamin D sering disebabkan oleh asupan
yang kurang, anoreksia, malabsorbsi, dan paparan sinar matahari yang
rendah. Akibat defisiensi kalsium akan timbul hiperparatiroidisme
sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi
tulang dan kehilangan massa tulang.
Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan
menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan
menyebabkan osteoporosis karena meningkatkan karboksilasi protein
tulang, misalnya osteokalsin.
Defisiensi estrogen juga menjadi salah satu penyebab osteoporosis
baik pada pria maupun wanita. Defisiensi estrogen pada pria juga berperan
pada kehilangan massa tulang. Karena pria tidak pernah mengalami
menopause (penurunan kadar estrogen mendadak), maka kehilangan massa
tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Estrogen pada
pria berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan
progesteron mengatur formasi tulang. Penipisan trabekula pada pria terjadi
karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekular pada
wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat
penurunan kadar estrogen yang drastis saat menopause.
Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1 juga berperan
terhadap peningkatan resorpsi tulang.
5. Aspek Biologi Osteoporosis
5.1 Remodeling Tulang
Proses yang seimbang dari resorpsi tulang secara berlanjut akan
membentuk kembali tulang normal, termasuk tulang alveolar, oleh
osteoklas, diikuti deposisi tulang oleh osteoblas. (Rodan, Martin, 2000)
Osteoblas mensekresi protein matriks tulang, termasuk kolagen
tipe-I, proteoglikan, osteokalsin, osteopontin, dan faktor pertumbuhan, lalu
kemudian menstimulasi mineralisasi tulang. Osteoklastogenesis juga
19
dibawah pengaruh osteoblas, semenjak osteoblas dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang dapat mendukung resorpsi tulang, seperti hormon paratiroid
(PTH), 1,25 dihidroksivitamin D3, kalsitonin, dan prostaglandin E2
(PGE2). Tidak seperti osteoklas, osteoblas tidak memiliki turunan
hemopoetik, tapi diambilkan dari prekursor mesenkimal. Prekursor sel
ditarik secra kemotaktik, kemudian sel tulang mitogen, termasuk growth
factor beta (TGFb) transform, platelet-derived growth factor (PDGF),
protein morfogenetik tulang, fibroblast growth factor, dan insulin-like
growth factors-I dan II, menyebabkan proliferasi dan diferensiasi mereka
pada osteoblas. Banyak dari faktor-faktor pertumbuhan ini dirilis sebagai
osteoklas pelarut tulang. Resorpsi demikian secara otomatis memicu
penggantian.
5.2 Osteopenia
Osteopenia didefinisikan sebagai reduksi pada massa tulang dan
deteriorasi pada arsitektur tulang, yang dapat terjadi pada usia diatas 40
tahun, merupakan ciri dari osteoporosis yang berakibat pada peningkatan
fragilitas tulang dan mudahnya terjadi fraktur. (Kanis et al, 2002)
Sekarang ini tidak ada metode yang akurat untuk mengukur
keseluruhan kekuatan tulang. Bone Mineral Density (BMD) sering
digunakan sebagai pengukuran yang mewakili dan menghitung sekitar
70% kekuatan tulang. (Kanis et al, 2002)
Berdasarkan densitas massa tulang (pemeriksaan massa tulang
dengan menggunakan alat densitometri), WHO membuat kriteria sebagai
berikut :
5.3 Faktor Risiko untuk Osteoporosis
Normal : Nilai T pada BMD > -1Osteopenia : Nilai T pada BMD antara -1 dan -2,5Osteoporosis : Nilai T pada BMD < -2,5Osteoporosis Berat : Nilai T pada BMD , -2,5 dan ditemukan fraktur
20
Prevalensi dari osteoporosis dan insidensi dari fraktur bervariasi
dari segi jenis kelamin dan ras/etnik. Baik pria maupun wanita mengalami
penurunan BMD terkait usia semenjak pertengahan hidup. Wanita
mengalami kehilangan tulang yang lebih cepat pada awal-awal tahun
menginjak menopause, yang menempatkan mereka pada risiko untuk
fraktur lebih dini. (Rodan, Martin, 2000)
Penyebab tersering osteoporosis pada wanita adalah penurunan
estrogen yang menyertai menopause. Kehilangan estrogen dikaitkan
dengan peningkatan resorpsi tulang yang disebabkan oleh peningkatan
sitokin yang meregulasi generasi osteoklas, seperti: RANK-ligand; TNF-a;
interleukin-1 (IL-1), IL-2, IL-6; M-CSF (Macrophage-Colony Stimulating
Hormone), dan prostaglandin E. Produksi dari seluruh sitokin ini secara
langsung maupun tidak langsung ditekan atau diregulasi oleh estrogen.
(Kanis et al, 2002)
Penggunaan glukokortikoid menyebabkan bentuk paling sering
drug-related osteoporosis, dan penggunaan glukokortikoid jangka panjang
pada penyakit-penyakit seperti rheumatoid arthritis dan penyakit paru
obstrukstif kronik terkait dengan angka kejadian fraktur tulang yang tinggi
(Rodan, Martin, 2000). Orang yang menjalani transplantasi organ berada
pada risiko tinggi untuk osteoporosis mengacu pada berbagai faktor
Hipertiroidisme juga merupakan faktor risiko osteoporosis (Rodan, Martin,
2000).
6. Tanda dan Gejala
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada
penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak
menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika
kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau
hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.
Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau
21
karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan
di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika
penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa
sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap
setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang
belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari
tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot
dan sakit.
Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan
yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius
adalah patah tulang panggul. Yang juga sering terjadi adalah patah tulang
lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan,
yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah
tulang cenderung menyembuh secara perlahan.
7. Diagnosis
Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis
osteoporosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan rontgen
tulang. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan
keadaan lainnya yang bisa diatasi, yang bisa menyebabkan osteoporosis.
Untuk mendiagnosis osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang
dilakukan pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Pemeriksaan yang
paling akurat adalah DXA (dual-energy x-ray absorptiometry).
Pemeriksaan ini aman dan tidak menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam
waktu 5-15 menit. DXA sangat berguna untuk:
wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis
penderita yang diagnosisnya belum pasti
penderita yang hasil pengobatannya harus dinilai secara akurat.
8. Penatalaksanaan
a. Terapi Hormon
1) Hormone Replacement Therapy (HRT)
22
HRT melibatkan penggunaan estrogen, baik estrogen tunggal
maupun kombinasi dengan dengan progesteron. Terapi ini mencegah
berkurangnya massa tulang saat menopause yang disebabkan
kekurangan estrogen pada tahun-tahun berikutnya. Estrogen juga
berperan dalam homeostasis kalsium yang berkaitan dengan perbaikan
efisiensi absorbsi kalsium usus. (Lane, 2001)
Dengan pemberian yang tepat dan jumlah yang sesuai, HRT
juga akan memberikan perlindungan pada kekuatan tulang, bila
kekuatan tulang dapat dijaga, kejadian patah tulang yang berbahaya
dapat dihindari. (Leman, 2005)
2) Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM)
Baru-baru ini timbul minat yang besar terhadap penggunaan
tamoxifen, sejenis unsur gabungan seperti estrogen (SERM) yang
memiliki khasiat sebagian estrogen tetapi tidak memiliki sebagian efek
samping negatifnya. (Lane, 2001)
Penggunaan tamoxifen pada wanita menopause, seperti halnya
penggunaan estrogen, mencegahnya berkurangnya massa tulang pada
pinggul dan tulang punggung. Oleh karena itu tamoxifen dikembangkan
untuk mencegah dan mengobati osteoporosis. (Lane, 2001)
b. Obat-obatan
1) Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling sering diberikan
untuk merawat osteoporosis. Kalsium juga dapat memacu pertumbuhan
tulang pada saat remaja untuk membantu mencapai puncak massa
tulang. Pada wanita yang telah lama mengalami menopause, suplemen
kalsium dengan dosis setidaknya 1 gram per hari dapat menurunkan
tingkat berkurangnya massa tulang baik pada tulang kortikal maupun
pada tulang trabekular. (Lane, 2001)
2) Biophosphonat
Biophosphonat menstabilkan struktur tulang dengan menekan
kerja osteoklas sendiri dan beberapa enzim pendukung kerja sel
23
penyerap tulang tersebut (Muljadi, 2001). Keistimewaan biophosphonat
adalah kemampuannya untuk mencegah berkurangnya tulang.
Biophosphonat mempengaruhi dan membatasi resorpsi tulang dengan
menduduki permukaan tulang dan membentuk sel osteoklas yang
menguraikan tulang, agar tidak melekat pada tulang atau tidak
melepaskan enzim yang melarutkan tulang. Namun, unsur ini tidak
menghancurkan osteoklas. (Lane, 2001)
3) Kalsitonin
Keistimewaan kalsitonin adalah memelihara dan mencegah
berkurangnya massa tulang pada penderita osteoporosis (Lane, 2001).
Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan
mengaktifkan kerja osteoblas dan menekan kinerja osteoklas. Hanya
saja efek sampingnya juga kurang menyenangkan seperti, pusing, dada
berdebar, mual, kesemutan, gatal dan bengkak pada muka karena alergi.
(Muljadi, 2001)
c. Hormon Paratiroid
Merupakan protein hormon yang dibentuk dalam tubuh oleh
kelenjar paratiroid yang terletak di leher. Berfungsi mengontrol jumlah
kalsium dan fosfat dalam tubuh. Kalsium yang dilepaskan dari tulang
secara cepat digantikan. Hormon paratiroid juga dapat meningkatkan
aktivitas osteoblas untuk mencapai pertambahan jaringan dari tulang baru.
(Arnaud, 2001)
d. Vitamin D
Pengaruh vitamin D dalam memperlambat proses terjadinya
osteoporosis adalah melalui kemampuannya memelihara kesehatan tulang.
Caranya dengan meningkatkan meningkatkan penyerapan mineral kalsium
dari sistem pencernaan serta mengurangi ekskresinya dari ginjal. (Muljadi,
2001)
Perawatan pasien osteoporosis dengan 1,25 dihidroxyvitamin D,
meningkatkan absorbsi kalsium, memperbaiki keseimbangan kalsium dan
mengurangi kehilangan tulang. (Arnaud, 2001)
24
Perawatan estrogen pada wanita pascamenopause juga akan
meningkatkan kadar vitamin D dalam darah dan meningkatkan penyerapan
kalsium dalam usus. Namun kekurangan vitamin D dapat terjadi pada
orang yang selalu berada dalam ruangan atau mengalami malnutrisi akut.
(Lane, 2001)
e. Olahraga
Pada usia 50-55 tahun merupakan masa pencegahan puncak, seperti
dengan latihan beban dan olahraga yang melatih ketahanan. Menurut
penelitian, olahraga dapat menahan dan membentuk massa tulang.
Olahraga merupakan aspek positif bagi kesehatan tulang. Dengan
berolahraga, bukan hanya kekuatan otot yang terpelihara, namun sumsum
tulang juga akan dipacu aktif untuk menghasilkan sel-sel darah merah.
Dengan kondisi ini, menyebabkan rendahnya pengambilan senyawa
kalsium dari tulang. (Muljadi, 2001)
C. PERIODONTITIS DAN OSTEOPOROSIS
1. Patofisiologi
Baik osteoporosis maupun penyakit periodontal adalah penyakit
resorptif tulang. Osteoporosis dan osteopenia dikarakteristikkan dengan reduksi
pada massa tulang dan dapat menyebabkan fraktur dan fragilitas tulang rangka.
Pada kebanyakan wanita, massa tulang mencapai puncaknya pada dekade
ketiga (usia 20-30 tahun) dan menurun sesudahnya. Penurunan pada massa
tulang dipercepat oleh oleh onset menopause, dan gejala-gejala oral juga
ditemukan sebagai penyerta pada menifestasi sistemik dari menopause.
Peningkatan insiden diamati dari ketidaknyamanan oral, termasuk nyeri,
sensasi terbakar, kekeringan, gangguan persepsi rasa.
Selama dekade terakhir ini, beberapa orang peneliti yang mempelajari
hubungan antara osteoporosis dan kehilangan tulang di sekitar rongga mulut
menyimpulkan bahwa osteoporosis menyebabkan perubahan yang nyata pada
tulang belakang, tulang panjang, dan juga terjadi pada tulang mandibula.
25
Kehilangan tulang alveolar secara mudah dapat menujukkan terjadinya
oesteoporosis. Usia dihubungkan dengan kehilangan tulang yang dapat
mempengaruhi tulang skeletal dalam kurun waktu tertentu, dan beberapa
peneliti mendukung bahwa meningkatnya kehilangan tulang alveolar terutama
kahilangan gigi merupakan manifestasi dari osteoporosis.
Dalam penelitian Lindawati et al (2004) menyimpulkan bahwa adanya
hubungan antara densitas tulang mandibula dan densitas tulang lainnya, dimana
dalam penelitian ini digunakan analisis trabekulasi tulang mandibula melalui
radiograf periapikal, karena osteoporosis pada wanita pasca menopause lebih
banyak mengenai tulang trabekula, yang disebabkan adanya perbedaan respon
tulang kortikal dan tulang trabekula terhadap kehilangan tulang. (Lindawati et
al, 2004)
Fisiologi tulang normal bergantung pada aktivitas seimbang 3 jenis sel
yaitu osteoblas yang berguna untuk membentuk tulang, osteosit untuk
mempertahankan, serta osteoklas untuk menghancurkan tulang. Bila
keseimbangan ini terganggu, maka tulang akan resorpsi. Gangguan
keseimbangan fisiologis tulang dapat terjadi akibat kombinasi faktor anatomis,
metabolik, dan mekanis. Faktor anatomis berupa kualitas dan kuantitas tulang
alveolar, faktor metabolik berupa faktor sistemik seperti berkurang hormon
estrogen, hormon paratiroid, faktor mekanis berupa besar, lama, serta arah gaya
yang bekerja pada tulang alveolar. Weinman dan Sicher menyatakan bahwa
beban pada tulang akan menghambat sirkulasi darah pada tulang dan
menyebabkan resorpsi tulang. (Lindawati et al, 2000)
Defisiensi estrogen mempertinggi tingkat kerusakan komponen jaringan
ikat dari ginggiva dengan menstimulasi sinstesis matrix metalloproteinases
(MMP-8 dan MMP-13), nitric oxide, dan beberapa sitokin yang terlibat dalam
resorpsi tulang. Defisiensi estrogen juga meningkatkan konsentrasi IL-6 pada
sumsum tulang, serum, dan ginggiva (Johnson et al, 2002), yang secara
kooperatif menstimulasi resorpsi tulang osteoklas. Sebuah studi cross sectional
pada wanita pre dan postmenopausal melaporkan korelasi yang signifikan
26
antara alveolar dan metacarpal BMD dan peningkatan konsentrasi IL-6 saliva
pada wanita postmenopause (Reihardt et al, 1999).
Kribbs pada penelitiannya membuktikan adanya hubungan antara
densitas mandibula dengan tulang skeletal, serta adanya pengaruh langsung
osteoporosis pada tulang mandibula. Ini dapat diasumsikan bahwa pasien
dengan densitas mandibula yang kurang, patut dicurigai adanya osteoporosis
(Lindawati et al, 2000).
Kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan osteoporosis
membuat host rentan terhadap penyakit periodontal. Beberapa gambaran dapat
menerangkan kemungkinan hubungan, walaupun osteoporosis adalah suatu
penyakit metabolit tulang dan penyakit periodontal adalah suatu penyakit
inflamasi. Proses resorpsi tulang dapat diperhitungkan untuk menghubungkan
osteoporosis dan penyakit periodontal. Penyakit periodontal adalah penyakit
inflamasi kronik yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan dari struktur
penyangga gigi, termasuk resorpsi dari tulang alveolar rahang. Periodontitis
adalah penyakit yang paling sering pada tulang pada manusia, menjadi cukup
berat untuk menyebabkan kehilangan gigi pada 10-15% orang dewasa (Brown,
Loe, 2000) dan dapat dieksaserbasi oleh faktor sistemik, seperti defisiensi
estrogen (Johnson et al, 2002).
Suatu penelitian menyimpulkan bahwa tingginya kehilangan perlekatan
disertai oleh besarnya kedalaman probing dan resesi ginggiva telah ditemukan
pada tempat-tempat osteoporosis di mandibula bukan pada maksila. Parameter
periodontal dipengaruhi oleh pemeriksaan faktor penumpukan plak, lokasi gigi,
dan rahang. Mereka juga mendukung bahwa osteoporosis pascamenopause
mempunyai peranan dalam patogenesis penyakit periodontal, khususnya pada
mandibula, walaupun penyebab dari penyakit periodontal masih tetap
multifaktorial. (Shen et al, 2004)
Wactawski-Wende mengatakan bahwa orang yang didiagnosa dengan
penyakit periodontal memiliki risiko tinggi yang mendasari osteoporosis.
Osteoporosis dan penyakit periodontal merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang cukup serius (Baker, 1998).
27
Kehilangan tulang secara sistemik telah dikutip sebagai faktor risiko
terhadap penyakit periodontal. Beberapa peneliti dalam penelitiannya
menyimpulkan Bone Mineral Density wanita pascamenopause dihubungkan
dengan kehilangan tulang alveolar. Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita
yang memilki banyak kalkulus dan Bone Mineral Density yang rendah, secara
klinis menunjukkan kehilangan perlekatan yang sangat besar dibanding wanita
yang memiliki Bone Mineral Density normal.
Menurut Papas, ketika gigi masih lengkap, tulang alveolar merespon
tekanan fisiologik dengan membentuk trabekula dengan baik. Namun setelah
gigi hilang, massa tulang berkurang. Hal ini disebabkan oleh atrofi karena tidak
aktifnya tulang sehingga mempengaruhi pergantian tulang pada saat
remodeling. Penelitian lain menyatakan bahwa penurunan densitas tulang
berhubungan dengan kehilangan gigi-gigi posterior pada perempuan
pascamenopause. (Lindawati et al, 2004)
2. Evaluasi dan Penatalaksanaan
Gigi dapat mencegah tulang rahang dari penipisan. Bila seseorang
kehilangan gigi, tulang rahang menjadi kehilangan bentuknya yang
menyebabkan kesulitan dalam pembuatan implant dan gigi tiruan. Akibat
pengurangan massa tulang yang berlebihan, gigi tiruan menjadi longgar dan
goyah. Oleh karena itu, osteoporosis perlu dideteksi lebih dini agar pola
perawatannya tepat serta tidak terjadi fraktur dan patah tulang.
Ketidaknyamanan pada gigi tiruan dapat menimbulkan mulut sakit dan
kehilangan fungsi utamanya yaitu berbicara dan makan. (Lindawati et al, 2004)
Dokter gigi mempunyai posisi strategis dalam mendeteksi osteoporosis
dengan radiografi. Seorang dokter gigi dapat menggunakan status gigi
pasiennya yang menderita periodontitis dan kehilangan gigi sebagai petunjuk
mempermudah diagnosa umum dari osteoporosis, dan untuk evaluasi dari
perawatan secara sistemik serta manfaatnya pada kesehatan mulut. (Ronit et al,
2004)
28
Dokter gigi harus memberikan beberapa anjuran pada pasien yang
mengalami osteoporosis dan periodontitis. Pertama, dokter gigi harus
menegaskan kebiasaan membersihkan rongga mulut setiap hari dengan tepat.
Kedua, menginstruksikan pada pasien untuk memperbaiki gaya hidup dengan
berhenti merokok serta mengkonsumsi alkohol dan kafein yang terlalu banyak.
Terakhir, dokter gigi harus menginformasikan manifestasi osteoporosis di
rongga mulut sehingga memudahkan evaluasi medis dan perawatan.
Daftar Pustaka
Arnaud, Claude. 2001. New drug revolutionizes osteoporosis treatment. Foundation for Osteoporosis Research and Education.
Baker, Lois. 1998. Osteoporosis, Oral Health Linked; analysis of national database shows strong relationship. http://www.buffalo.edu/reporter/.html
E-Chin Shen, Ching-Hwa Gau, Yao Dung Hsieh, et al. 2004. Periodontal Status in Post-menopausal Osteoporosis : a Preliminary Clinical Study in Taiwanese Women. J Chin Med Assoc ; 67. hal: 137-40
29
Janet HS, George WT, and Panagiota GS.2006. commonality in chronic inflammatory disease:Periodontitis, diabetes and coronary artery disease. Periodontology 2000. vol 40. pp 130-43 in Istikharoh dkk, 2009, Hubungan antara Periodontitis Terhadap Penyakit Jantung Koroner, Makalah Kedokteran Gigi Airlangga. Hal :11-13
Kanis JA, Black D, Cooper C, et al. 2002. A new approach to the development of assessment guidelines for osteoporosis. Osteoporos Int; 13(7). hal: 527-36
Kinene,Denis F et al.2006.Environmental and The Modifying Factors of The Periodontal Disease. Periodonology 2000. vol 40. pp 107-19 in Istikharoh dkk, 2009, Hubungan antara Periodontitis Terhadap Penyakit Jantung Koroner, Makalah Kedokteran Gigi Airlangga. Hal :11-13
Lane LE. 2001. Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis. Jakarta. Grafindo Persada. hal: 7-114
Leman M. 2005. Menopause & Hormon Replacement Therapy. http://www.medicastore.com/med/article
Lindawati SK, Hanna HI, Tribudi H. 2004. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Densitas Tulang Mandibula Pada Perempuan Pascamenopause. Jurnal Kedokteran Gigi Indonesia. Edisi 11, hal: 8-12
Lindawati K, Gimawati M, Evi SB, et al. 2000. Kualitas Tulang Mandibula pada Wanita Pascamenopuse. Jurnal kedkteran Gigi Indonesia (Ed Khusus). hal: 673-8
Lin Lai, Yu. 2004. Osteoporosis and Periodontal Disease. J Chin Med Assoc; 67. hal: 287-8
Marques et al. 2003. Periodontal disease and osteoporosis association and mechanisms: A review of the literature. Braz J Oral Sci vol 2 (4). hal: 137-40
Muljadi, H. 2001. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Jakarta. Puspa Swara. hal: 62-8
Rodan GA, Marin TJ. 2000. Therapeutic approach to bone disease. Science; 289. hal: 1508-14
Roeshadi, Djoko. 2001. Osteoporosis. http://www.jhonkarto.blogspot.com
Ronit HK, Tuvia A, Ayala S, Prorith HC. 2004. Biophosphonat and Estrogen Replacement Therapy for Postmenopusal Periodontitis. IMAJ;6. hal :173-7
30
Reinhardt RA, Payne JB, Maze CA, Patil KD, Gallaghaer SJ, Mattson JS. 1999. Influence of Estrogen and Osteopenia/Osteoporosis on Clinical Periodontitis in Postmenopausal Women. J Periodontol; 70. hal: 823-8
Sumintarti S. 2005. Hubungan Osteoporosis dan Penyakit Periodontal pada Wanita Menopause. Jurnal Kedokteran Gigi Airlangga (Ed Khusus Temu Ilmiah Nasional IV). hal: 81-4
Taguchi A. , Sanada M., Suei Y., et al. Tooth Loss Is Associated With an Increased Risk of Hypertension in Postmenopausal Women. http://hyper.ahajournals.org in Istikharoh dkk, 2009, Hubungan antara Periodontitis Terhadap Penyakit Jantung Koroner, Makalah Kedokteran Gigi Airlangga. Hal :11-13