20
BAB II
REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PENDIDIKAN AKHLAK
A. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam
1. Pengertian Reward dan Punishment
Secara etimologi reward berasal dari bahasa Inggris, kata ini
diambil dari istilah psikologi yang diembriokan oleh Thorndike.1 Dalam
memenuhi kebutuhan anak, orang tua memiliki kemampuan
“menghadiahi” anak. Ahli psikologi menggunakan istilah “hadiah” atau
“ganjaran” untuk segala sesuatu yang dimiliki oleh orang tua yang dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak (memperoleh hadiah daripadanya).
Sebaliknya orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya
sakit ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang
dibutuhkan, ataupun melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa
sakit atau tidak senang. Ahli psikologi menggunakan istilah hukuman
sebagai lawan dari hadiah atau ganjaran. Setiap orang tahu dari
pengalaman sendiri bahwa manusia (dan binatang) cenderung untuk
mengulangi tingkah laku yang dapat menghasilkan hadiah dan menjauhi
dan menjauhi tingkah laku yang tak menghasilkan hadiah bahkan
mendatangkan hukuman. Dengan demikian orang tua dapat memperkuat
suatu tingkah laku tertentu dari anak dengan memberikan hadiah, dan
menghilangkan tingkah laku lain dengan pemberian hukuman.2
Reward adalah sesuatu yang diberikan atau dilakukan dalam hasil
penerimaan yang baik, ini bisa kembali kepada sesuatu yang abstrak
ataupun kongkrit. Reward dapat berupa situasi, atau daftar verbal yang
1 Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hlm.
248-249. 2 Thomas Gordon, Menjadi Orang Tua Efektif Petunjuk Terbaru Mendidik Anak yang
Bertanggung Jawab, terj. Farida Lestira Subardja, et. al., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 141.
21
menghasilkan kepuasan atau meningkatkan kemungkinan mempelajari
tindakan.3
Dari sini, dapatlah dikatakan bahwa ada sinyalemen reward tidak
selamanya berupa materi. Sebagaimana pemahaman umum, reward
identik dengan hadiah yang dijumpai hanyalah berupa benda atau barang
yang diberikan dengan tujuan tertentu. Agaknya hadiah semacam kado,
parsel, dan bingkisan semacamnya, atau mungkin berupa barang-barang
berharga lainnya.
Elizabeth B. Hurlock memposisikan reward sebagai salah satu
pilar dari disiplin, menurutnya reward berarti tiap bentuk penghargaan
untuk suatu hasil yang baik, penghargaan tidak perlu berbentuk materi,
tetapi berupa kata-kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung.4
Pendapat ini diamini oleh Thomson, menurutnya penguatan positif,
reward, dapat diberikan dengan dua model. Pertama pemberian hadiah
kasih, berupa memuji, menepuk punggung, memeluk atau menyentuh
dengan penuh kasih. Kedua pemberian hadiah materi, semisal pergi ke
restoran untuk makan es krim, memberi permen atau coklat, menambah
waktu untuk menonton teve, mengizinkan menonton acara khusus atau
membawanya berpiknik.5
Menurut Durkheim, reward secara eksklusif berupa ucapan
penghargaan dan pujian secara terbuka, sehingga ungkapan rasa hormat
dan kepercayaan bagi seseorang yang telah berbuat sesuatu yang baik
secara istimewa sekali. Namun, Durkheim mengingatkan bahwa sangat
3 Webster Noah, Dictionary of English Language, (New York: Portland, 1989), hlm.
1228. Pada umumnya, ahli psikologi memilih istilah reinforcement, karena reward mengandung kesan mentalistik dan dihubungkan dengan kepuasan dalam batin, keadaan yang tidak dapat dikontrol. Sebagian ahli psikologi ketika menunjukkan pada anak-anak terutama dalam situasi pendidikan menggunakan istilah reward. Lihat H. M. Hafi Anshari, Kamus Psikologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hlm. 582.
4 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan anak, terj. Med. Meitasari Tjandrasa, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 90. Abdurrahman Mas’ud lebih senang menggunakan kata prestasi, yang harus diberikan penghargaan dalam arti luas dan fleksibel tanpa terfokus pada materi. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28/th. VI /Nov. /1997, hlm. 23.
5 Mary Go Setiawani, Menembus Dunia Anak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. 1, hlm. 57.
22
kecil peran yang ada dalam reward terhadap kesadaran moral, karena
reward adalah instrumen budaya intelektual bukan budaya moral. Di
samping itu ketika anak sering mendapatkan reward (khususnya dalam
lingkungan sekolah) kemudian ia hidup dalam suatu lingkungan
masyarakat yang tidak mengenal mengganjar perilaku yang terpuji secepat
dan secermat masa sekolah. Maka akibat yang ditimbulkan ia harus
berusaha membangun bagian hidup moralnya sendiri dan mengalami
adanya ketidak pedulian yang tidak dipelajarinya di sekolah dulu.6 Hal ini
bukan berarti tidak ada nilai manfaat sekalipun yang dibawa oleh reward,
cuma seringkali si penerima menghitung-hitung dan menumpuk-
numpuknya secara membabi buta, sehingga sekilas reward identik dengan
suap. Jika reward lebih terkait dengan budaya intelektual yang lebih
menekankan ilmu pengetahuan, berarti masih terkait dengan moral itu
sendiri. Karena ilmu pengetahuan harus menyesuaikan diri dengan tatanan
kemanusiaan, tidak menyalahinya. Dengan kata lain reward memiliki
andil dalam pembentukkan moral itu sendiri.
Reward yang benar akan kebajikan ditemukan dalam ketentraman
batin, rasa penghargaan dan simpati yang dibawanya kepada si penerima,
dana dalam kesenangan yang ditimbulkannya. Akan tetapi, cukup banyak
alasan untuk percaya bahwa prestise dalam kehidupan sekolah mungkin
terlalu berkaitan secara eksklusif pada manfaaat intelektual dan bagian
yang lebih besar sesungguhnya harus disediakan bagi nilai moral. Oleh
karena itu, tidak perlu untuk menambah tes dan kertas baru pada apa yang
telah ada, atau menambah berbagai hadiah baru dalam daftar penghargaan.
Cukuplah bagi pendidik untuk lebih banyak perhatian pada sifat-sifat yang
telah ada sekarang ini, sesuatu yang sering dianggap sebagai suatu hal
yang sekunder. Kasih sayang dan persahabatan yang ditunjukkan kepada
siswa yang kerja keras, tetapi upaya-upayanya tidak membawa
keberhasilan yang sama seperti teman-teman lainya yang lebih beruntung,
6 Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi
pendidikan, terj. Lukas Ginting, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 148.
23
dengan sendirinya akan merupakan ganjaran yang terbaik dan akan
memulihkan suatu keseimbangan.7
Dengan demikian pada dasarnya reward digunakan dalam arti luas
dan fleksibel, tidak terbatas pada sesuatu pemberian yang bersifat materi
semata, akan tetapi inti darinya menimbulkan efek rasa senang, kepuasan
batin, dan simpatik atas apa yang telah diperbuat. Sehingga timbul
karenanya sesuatu yang bersifat positif, reward jauh dari nilai suap.
Di sisi lain punishment dipahami sebagai suatu gambaran dari
tindakan menghukum terhadap suatu kesalahan,8 yang menurut Hanafi
Anshari mengkategorikan ke dalam tiga batasan. Pertama perubahan rasa
sakit atau tidak suka terhadap subjek karena kegagalan perbuatan untuk
menyesuaikan diri terhadap batasan dalam eksperimen, kedua suatu
rangsangan dengan valensi negatif atau rangsangan yang sanggup untuk
mengubah rasa sakit atau ketidak senangan, dan ketiga gangguan terhadap
periode pengurangan pada orang yang resmi bersalah, lawannya reward.9
Setidaknya ada tiga hal yang dapat diambil dari tiga batasan
punishment yang dikemukakan oleh Hanafi, pertama adanya rasa sakit
atau tidak suka terhadap pelaku pelanggar, kedua valensi negatif, dan
ketiga punishment dijatuhkan kepada si bersalah.
Lebih jelasnya Elizabeth mensejajarkan punishment dengan konsep
disiplin, di samping punishment juga merupakan salah satu pilar dari
disiplin sendiri. Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila terjadi
suatu pelanggaran peraturan dan perintah.10 Karena punishment
pengaruhnya lebih bersifat tegas dan ada unsur pencegahan terhadap
perilaku yang melanggar.
Durkheim berpendapat setiap punishment identik dengan resiko
kesusahan yang harus bisa diperhitungkan oleh si pelanggar, sehingga ia
7 Ibid., hlm. 149. 8 Webster Noah, op. cit., hlm. 1165. 9 H.M. Hanafi Anshari, op. cit., hlm. 537. 10 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 82.
24
dapat dapat mengelakkan kesukaran tersebut dengan mempertimbangkan
masih banyaknya kombinasi lingkungan.11
Dengan adanya kemampuan memperhitungkan setiap resiko yang
akan dihadapi jika melakukan perbuatan yang melanggar, seseorang dapat
memilih perbuatan lain yang lebih baik dan tidak melanggar. Sehingga hal
ini menimbulkan kesadaran dalam diri atas bantuan dari resiko yang
ditimbulkan oleh punishment.
2. Bentuk-bentuk
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ada kecenderungan reward
selalu berkonotasi pada suatu pemberian yang bersifat materi, padahal
sebenarnya reward bisa berarti luas dan fleksibel. Apapun bentuk
penghargaan yang digunakan harus sesuai dengan perkembangan anak.
Bila tidak, akan kehilangan efektivitasnya. Contoh sederhana, sebelum
anak mengerti kata-kata, pujian hanya memiliki sedikit arti, kecuali bila
disertai senyuman, pelukan atau bentuk komunikasi non-verbal lainnya.
Sebaliknya bila bentuk komunikasi non-verbal ini digunakan bagi anak
yang lebih besar, bentuk ini kurang efektiv dibandingkan kata-kata pujian.
Hadiah kadang-kadang diberikan sebagai penghargaan untuk suatu
perilaku yang baik. Suatu hadiah dapat merupakan suatu tanda kasih
sayang, penghargaan atas kemampuan dan prestasi seorang anak, bentuk
dorongan atau tanda kepercayaan. Apapun situasinya hadiah menambah
rasa harga diri anak, atau mungkin suatu perlakuan istimewa, semisal izin
menonton dan yang lainnya. Intinya bernilai sebagai sumber motivasi
untuk melanjutkan perilaku yang baik lebih besar.12
Dengan mengaitkannya kepada perkembangan anak dan tentu saja
kondisi sekiranya bentuk reward apa yang harus diberikan, kiranya
kesulitan untuk membatasi apa saja bentuk dari reward. Akan tetapi,
reward sebagai penghargaan terhadap pembenaran atas perilaku yang telah
dilakukan untuk memotivasi agar terjadi penguatan dan pengulangan yang
11 Emile Durkheim, op. cit., hlm. 117. 12 Ibid., hlm. 90-91.
25
lebih besar dapat dijadikan batasan untuk mendasari bentuk reward itu
sendiri. Dengan kata lain, bentuk reward meliputi segala sesuatu yang
bersifat positif dan dapat menimbulkan kesan baik terhadap perilaku yang
telah dilakukan. Secara umum reward dapat berupa materi dan nonmateri.
Adapun mengenai perincian dari dua bentuk ini banyak sekali jumlahnya,
asalkan itu mengandung muatan penguatan positif terhadap perilaku anak
didik.
Mengenai bentuk punishment, yang sering tergambarkan sebagai
bentuk perlakuan fisik, dahulu hukuman oleh kebanyakan orang diartikan
sebagai hukuman badan,13 yaitu menimbulkan rasa sakit dengan
menempeleng, memukul, dan memecut. Anggapan ini sebagai satu-
satunya cara yang efektif untuk mencegah terulangnya perilaku anak yang
salah. Keyakinan ini diperkuat oleh pepatah lama, “simpanlah tongkat dan
anak menjadi rusak”. Bahkan banyak orang tua dan guru merasa bahwa
hukuman badan merupakan tugas dan tanggung jawab, terlihat dari
kenyataan bahwa sebelum memberi hukuman mereka sering berkata pada
anaknya, “ini lebih menyakitkan saya daripada menyakitkan kamu”.
Meskipun demikian, mereka yakin bahwa tiap bentuk lain hukuman tidak
bermanfaat dan menjadi tanda bahwa mereka yang berkuasa terlalu
“lunak” dan “lemah” untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab
mereka.14
13 Hukuman badan muncul pada awal peradaban, kemudian jika tidak ada sebab lain yang
mempengaruhinya, orang akan mengira bahwa penerapan hukuman badan akan kehilangan dasarnya, bila ia menjadi hal yang biasa. Karena apabila kesadaran moral suatu bangsa menjadi semakin halus, apabila tingkah laku menjadi semakin lemah lembut, maka kekerasan seperti itu akan menjadi menjijikan. Tetapi sistem represif ini bukannya menurun, melainkan makin meluas selama berabad-abad justru tingkat peradaban manusia semakin meninggi, namun dengan bentuk yang lebih umum. Ibid., hlm. 137
14 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 87. Hukuman dapat dilaksanakan secara verbal dan non verbal (pukulan, cubitan, pelototan) dan dilaksanakan segera sesudah tingkah laku yang tidak diharapkan dihentikan. Adapun yang bersifat verbal dapat berupa sindiran atau ancaman, dan tentu yang biasa orang lakukan marah yang bersifat verbal juga merupakan salah satu bentuk hukuman tetapi sifatnya tidak mendidik. Karena disertai emosi dua belah pihak dan cenderung subjektif. Akibat langsung yang muncul adalah terhenti dan terputusnya komunikasi karena saling mengikuti alur perasaan masing-masing. Jangankan pukulan, marah yang bersifat verbal pun berefek tidak baik untuk digunakan. Nur’aeni, Intervensi Dini Bagi Anak Bermasalah, Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 138.
26
Kesimpulan ini diambil dari sampel negara Amerika, akan tetapi
zaman terus merangkak seiring dengan pemikiran manusia yang tidak
jalan ditempat. Hukuman berubah bentuk menjadi lebih permisif dan lunak
akan tetapi populer, semisal mengisolasi anak dari lingkungan sosial bila
mereka berperilaku buruk, melarang anak menikmati kesenangan tertentu,
manakut-nakuti, mempermalukan, mengancam, membandingkan dengan
yang lain, mengomel, dan berulang-ulang mengungkit pelanggaran yang
telah dilakukan.15
Hukuman fisik hanya bisa dibenarkan kalau si anak masih
dianggap sama dengan hewan kecil. Kalau begitu, masalahnya bukan soal
pendidikan, melainkan pelatihan. Pendek kata, cara menghukum seperti itu
harus dilarang. Dalam keluarga, akibat-akibat buruk masih mudah
diperhalus dan dinetralisasi dalam hubungan kelembutan dan cinta yang
tidak henti-hentinya antara orang tua dan anak-anaknya, dan dengan
keakraban hidup yang bisa mengurangi arti kekerasan semacam itu.
Demikian juga di sekolah, tidak ada apapun yang dapat memperlunak
kekerasan tersebut, hukuman dikenakan secara impersonal. Bagaimana
pun juga menyakiti secara fisik, yang secara moral jelas sangat menjijikan,
tidak mempunyai suatu cara apapun untuk memperluasnya, inilah
sebabnya mengapa hal itu harus dihindarkan sama sekali.16
Hukuman fisik berupa pukulan, diasingkan, dan didamprat
sebaiknya merupakan cara terakhir setelah cara lain tidak berdampak
terhadap kelakuan anak. Ada empat alasan mengapa hukuman fisik tidak
dapat diterima. Pertama, secara tidak sadar memberi pukulan mengajar
anak untuk memukul. Kedua, bila orang tua kehabisan akal lalu dengan
emosi dan kekerasan pukulan diberikan. Ketiga, dari hasil penyelidikan
terhadap seekor tikus yang tidak tersesat lalu diberikan makanan hasilnya
akan lebih baik dibandingkan bila tersesat lalu diberi aliran listrik.
Keempat memukul dapat melukai harga diri anak, mengurangi
15 Ibid., hlm. 88… 16 Emile Durkheim, op. cit., hlm. 132.
27
kepercayaannya terhadap pendidik, bahkan menghindari dan
membencinya.17
Di samping itu, punishment yang bersifat fisik pada umumnya
tidak membawa dampak positif, sebaliknya membawa kesan yang negatif
terhadap si terhukum. Seringkali ketakutan dan kadang rasa ingin berontak
menjadi sebab yang ditinggalkannya. Adapun inti dari punishment akan
lebih baik jika apapun bentuknya (kecuali hukuman fisik sebagai cara
terakhir) itu menimbulkan sense of guilty dengan mengembangkannya dan
menggunakan cara-cara edukatif.18
Dengan demikian secara umum punishment bisa berbentuk fisik
ataupun nonfisik. Adapun jenis-jenis bentuk lain yang merupakan
penjabaran dari kedua jenis punishment ini sangatlah beragam. Hal ini
menuntut daya kreativitas pendidik dalam rangka mewujudkan bentuk
punishment yang efektif dalam rangka mendisiplikan perilaku anak.
3. Dasar dan Fungsi Reward dan Punishment
Di zaman dahulu orang menjatuhkan hukuman adalah sebagai
melepaskan dendam kepada si bersalah, sebab itu maka di abad-abad
pertengahan terdapatlah alat-alat penghukum yang amat mengerikan
semisal dicungkil, lidah dekerat, kedua kaki dipatahkan, kedua telapak
tangan dipaku, atau dimasukkan seseorang ke dalam tong bulat yang telah
diranjau besi paku beratus-ratus kedalamannya lalu digulingkan di jalan
raya supaya mati.19
Demikian mengerikannya alat penghukum yang diberikan bagi
seseorang yang melanggar, tentunya ini akan menimbulkan kerusakan,
keluar dari inti dasar menjatuhkan hukuman yaitu memperbaiki perilaku
yang melanggar itu sendiri. Merujuk pendapat Ahmad Ali Budaiwi, ada
beberapa prinsip imbalan dan hukuman yang harus diperhatikan,
diantaranya:
17 Mary Go Setiawani, op. cit., hlm. 60-61. 18 Lihat Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 30. 19 HAMKA, Lembaga Budi, Cet. VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 103.
28
a. Imbalan berfungsi sebagai pengarah dan peneguh respons positif dan
perilaku yang benar. Sedangkan hukuman atau sanksi adalah untuk
melemahkan atau menghilangkan respons atau perilaku tertentu anak
yang dipandang menyimpang.
b. Imbalan dan hukuman bukanlah tujuan, keduanya adalah sarana untuk
mengukuhkan dan menghilangkan perilaku tertentu.
c. Imbalan dan hukuman harus dilaksanakan secara imbang dan
proposional.
d. Imbalan diberikan secara situasional, sewaktu-waktu agar tidak
berubah menjadi pelicin atau suap.
e. Pemberian sanksi dan imbalan harus sudah melalui kejelasan masalah
sehingga sudah diperoleh suatu keyakinan yang mendalam.
f. Diutamakan memberikan imbalan daripada menerapkan sanksi dan
diutamakan menggunakan nonmateri agar anak tidak menjadi
materialistis.
g. Ketidaktepatan memberi imbalan dan hukuman dapat menimbulkan
masalah pada diri anak.20
Prinsip-prinsip tersebut diterapkan sesuai dengan karakteristik
anak, agar tidak salah dalam menerapkannya. Karena kalau salah, alih-alih
mau mengembangkan kreativitas malah memupus potensi kreatifnya, serta
menyisakan berbagai masalah psikologis dan sosial pada diri anak.
Fungsi reward mempunyai peranan penting dalam mengajak anak
berperilaku sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. Pertama
mempunyai nilai didik, bila suatu tidakkan disetujui, anak merasa bahwa
hal itu baik, reward mengisyaratkan pada mereka bahwa perilaku itu baik.
Bila penghargaan bervariasi intensitasnya agar sesuai dengan usaha anak
untuk berperilaku menurut standar yang disetujui secara sosial, nilai
edukatif reward itu meningkat. Kedua berfungsi sebagai motivasi untuk
mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial, karena anak bereaksi
20 Wahyudin, Menuju Kreativitas, Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 22-23.
29
dengan positif terhadap persetujuan yang dinyatakan dengan penghargaan,
di masa mendatang mereka berusaha untuk berperilaku dengan cara yang
akan lebih banyak memberikannya penghargaan. Dan ketiga berfungsi
untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tindakannya
penghargaan melemahkan keinginan untuk mengulangi perilaku ini. Bila
anak harus belajar berperilaku dengan cara yang disetujui secara sosial, ia
harus merasa bahwa berbuat demikian cukup menguntungkan baginya.
Karenanya penghargaan harus digunakan untuk membentuk asosiasi yang
menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan.21
Selain itu, reward akan menjadi dukungan bagi apa yang telah
diperbuat anak, reward sebagai ekspresi kasih sayang menumbuhkan
kepercayaan diri pada anak bahwa ia akan mampu melakukan
(bertindak).22
Di sisi lain asumsi kebanyakan orang, punishment merupakan
suatu cara sederhana untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap
peraturan. Asosiasi mental membuktikan, penderitaan dan rasa takut
terhadap penderitaan akan mencegah terulangnya tindakan-tindakan yang
dilarang. Dengan kata lain, fungsi hukuman pada dasarnya bersifat
preventif, yang sepenuhnya berasal dari rasa takut terhadap ancaman
hukuman. Memang, tidak dapat disangkal lagi secara a priori pun, rasa
takut terhadap hukuman dapat mempunyai pengaruh yang bermanfaat atas
keinginan-keinginan tertentu. Namun hal ini bukan merupakan alasan satu-
satunya dan terpenting dari hukuman. Karena, jika punishment tidak
mempunyai tujuan lain, maka fungsi-fungsi yang dijalankannya akan
menjadi kurang berarti, dan orang dapat mempertanyakan apakah
21 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 90. 22 Maurice J. Elias, et. al., Cara-cara Efektif Mengasah EQ Remaja: Mengasuh dengan
Cinta, Canda, dan Disiplin, terj. Ari Nilandari, (Bandung: Khaifa’, 2003), hlm. 58. Anak membutuhkan dukungan moral dalam dua tipe keadaan, ketika mengalami sesuatu atau seseorang untuk pertama kalinya, dan ketika merasa lebih takut daripada yakin. Belajar mengenali dan peka serta berada di sisi anak dalam kedua keadaan ini, akan menimbulkan ingatan pada anak terhadap keberadaan dan dukungan orang tua sebagai contoh nyata kasih sayang. Lihat Jan Dargatz, Cara Sederhana menyatakan Kasih Sayang Pada Anak Anda, terj. Esther S. Mandjani, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1993), hlm. 92.
30
hukuman memang cukup bernilai dibandingkan dengan kerugian yang
diakibatkannya. Kenyataannya, karena hukuman itu datang dari luar dan
berdasarkan hal-hal yang eksternal, maka ia tidak menyentuh sumber
kehidupan moral. Sampai derajat tertentu, hukuman memang secara
mekanis dapat membuat anak menjauhi perilaku tertentu, tetapi bila
dikaitkan dengan sebab-sebab mengapa anak melakukan perbuatan yang
terlarang, hukuman tidak dapat menimbulkan suatu kecenderungan untuk
berbuat sesuatu yang baik. Walaupun ancaman mungkin efektif, namun
dengan sendirinya tidak bisa membuat suatu perbaikan. Dengan demikian,
apabila hukuman tidak mempunyai fungsi lain kecuali mengekang impuls-
impuls yang tidak dapat diterima melalui ancaman, maka orang akan
menganggapnya hanya sebagai cara untuk menjamin kesopanan lahiriah
dan dangkal.23
Punishment mempunyai peranan penting dalam perkembangan
moral anak, pertama menghalangi pengulangan tindakan yang tidak
diinginkan oleh masyarakat. Bila anak menyadari bahwa tindakan tertentu
akan dihukum, mereka biasanya urung melakukan tindakan tersebut
karena teringat akan hukuman yang dirasakannya di waktu lampau akibat
tindakan tersebut. Nilai penghalangannya juga penting bagi anak kecil
yang belum belajar tentang apa yang benar dan yang salah. Seandainya
mereka sedang berbuat sesuatu yang membahayakan mereka, orang lain
atau harta milik, pukulan pada tangan biasanya akan menghentikan
perbuatan itu. Kedua mendidik, sebelum anak mengerti peraturan mereka
dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah dengan
mendapat hukuman karena melakukan tindakan yang salah dan tidak
menerima hukuman bila mereka melakukan tindakan yang diperbolehkan.
Dengan meningkatnya usia, mereka belajar peraturan terutama lewat
pengajaran verbal. Tetapi mereka juga belajar dari pengalaman bahwa
mereka gagal mematuhi peraturan sudah barang tentu mereka akan
dihukum, dan ini memperkuat pengajaran verbal. Aspek edukatif lain dari
23 Emile Durkheim, op. cit., hlm. 116.
31
hukuman yang sering kurang diperhatikan adalah mengajar anak
membedakan besar kecilnya kesalahan yang diperbuat mereka. Kriteria
yang diterapkan anak adalah frekuensi dan beratnya hukuman. Jika
hukuman itu konsisten, mereka akan selalu dihukum untuk tindakan yang
salah. Beratnya hukuman membuat mereka mampu membedakan
kesalahan yang serius dari yang kurang serius.24
Namun, bukan berarti dengan mengajarkan demikian, anak akan
tetap melakukan pelanggaran dengan mengetahui bahwa perbuatan yang
dilakukannya hanya menyentuh persoalan yang ringan, tidak terlalu serius.
Tentunya masalah ini harus dicegah dengan tetap menanamkan bahwa
sekecil apapun kesalahan, ia tetap kesalahan yang “haram” untuk
dilakukan apalagi diulangi.
Sakit yang ditemukan akibat hukuman membangun orang terhadap
perasaannya dan meningkatkan kesadaran yang terbatas mengenai apa
yang sebenarnya dan apa yang salah. Dengan cara ini, hukuman
merupakan alat atau kemahiran untuk membangun rasa sakit dan dalam
berbagai taraf hukuman itu memotivasi perubahan.25
Memberikan motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak
diterima masyarakat adalah fungsi hukuman yang ketiga. Pengetahuan
tentang akibat-akibat tindakan yang salah perlu sebagai motivasi untuk
menghindari kesalahan tersebut. Bila anak mampu mempertimbangkan
tindakan alternatif dan akibatnya, mereka harus belajar memutuskan
sendiri apakah suatu tindakan yang salah cukup menarik untuk dilakukan.
Jika mereka memutuskan tidak, maka mereka akan mempunyai motivasi
untuk menghindari tindakan tersebut.26
Suatu hukuman dianggap adil ketika setimpal dengan beratnya
pelanggaran, maka tujuannya bukan semata-mata untuk melakukan
intimidasi. Menurut kaum moralis, fungsi hukuman bukan terletak dalam
24 Elizabeth B. Hurlock, loc. cit. 25 John Gray, Anak-anak Berasal dari Surga, terj. B. Dicky soetadi, (Jakarta: gramedia
Pustaka Utama, 2001), hlm. 112. 26 Elizabeth B. Hurlock, loc. cit.
32
cara bagaimana mencegah terulangnya pelanggaran, melainkan dalam cara
bagaimana menghilangkannya. Di dalam hukuman harus mempunyai
suatu nilai yang bisa mengimbangi tindakan yang terdapat dalam
pelanggaran. Menurut M. Janet, hukuman tidak hanya sebagai ancaman
untuk menjamin terlaksananya peraturan, tetapi sebagai penyilihan atas
pelanggaran yang menempatkan akibat pelanggaran kembali pada
tempatnya yang benar. Bila diartikan demikian, maka hukuman
merupakan semacam “pelanggaran balasan”, counteroffense, yang
mengimbangi pelanggaran dan mengembalikan segala sesuatu kepada
keadaan semula. Hukuman pada hakikatnya menjadi suatu penyilihan,
keseimbangan antara hukuman dan pelanggaran mudah dipahami, karena
bila hukuman dimaksudkan untuk mengimbangi dan menghilangkan
pelanggaran, maka ia harus ekuivalen dengan pelanggaran tersebut. Jika
hukuman dimaksudkan untuk menetralisasi pelanggaran, maka akan
meningkat bilaman kejahatan meningkat.27
Dengan demikian memperhatikan berat-ringannya hukuman sangat
diperlukan agar hukuman itu sendiri mampu berfungsi sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh penghukum. Maka ketika tidak ada kesetimpalan
hukuman terhadap perbuatan menyimpang, akan terjadi kesan
menyepelekan, tidak berdampak, karena hukuman terlalu ringan, atau
mungkin kekejaman karena hukuman terlalu berat.
Tujuan dan fungsi yang diungkapkan di atas berkaitan internal
dengan pelaku yang mendapatkan reward atau punishment. Sebenarnya
secara eksternal, di luar pelaku, sebagian besar reward dan punishment
mempunyai tujuan dan fungsi lain yang amat besar perannya. Fungsi
hakiki dari hukuman bukan penyilihan melalui penderitaan atau untuk
menakut-nakuti orang lain malalui ancaman hukuman tersebut, melainkan
untuk tetap menegakan kesadaran.28 Bagi mereka diluar pelaku dapat
27 Emile Durkheim, op. cit., hlm. 118. 28 Ibid., hlm. 120.
33
menjadikan sebagai cermin untuk tidak melakukan sesuatu yang salah atau
melanggar dan mengikuti perilaku yang baik.
Dari firman Allah cukuplah dijadikan sebuah bukti akan tujuan
dari punisment, yaitu:
)١٧٩:البقرة(ولكم في القصاص حياة ياأولي الألباب لعلكم تتقون
Berdasarkan teks ayat di atas, hukuman ditujukan untuk
kelangsungan hidup, sebagai tindakan yang diambil ketika terjadi
perbuatan jahat, pelanggaran. Dari ayat ini tidak mencerminkan akan
objek pelaku saja, tetapi juga bagi mereka di luar pelaku.
Penderitaan yang diakibatkan hukuman bukan unsur hakiki, hanya
suatu indeks eksternal dari perasaan yang harus menyatakan diri terhadap
pelanggaran. Perasaan itulah yang diekspresikan, bukan dengan mana ia
diekspresikan.29 Dengan demikian dominasi dari perasaan yang
mengekspresikan penderitaan dari hukuman bukan menjadi “opini
konstan”, tidak menutup kemungkinan suatu hukuman diekspresikan
dengan kesadaran bahwa perbuatan tersebut dilarang dan tidak pantas
untuk dilakukan.
Jika kesadaran itu terjadi secara kolektif, dalam arti bukan hanya si
terhukum, tetapi juga dimiliki oleh orang-orang diluarnya, maka
kehidupan yang dicita-citakan oleh ayat di atas amat jelas dan nyata.
4. Efektifitas Reward dan Punishment
Kadang reward menyebabkan efek kurang baik, tatkala seorang
anak bertindak baik kemudian mendapatkan pujian ia menjadi sombong,
tentunya ini akan berputar 180 derajat dari fungsi reward yang
diinginkan.30 Haruslah dilakukan cara-cara positif, sehingga tidak
menimbulkan kesan atau respon yang negatif dari si anak. Pujian,
dorongan atau kritikan yang seimbang sesuai dengan tindakan anak akan
menimbulkan respon positif darinya.
29 Ibid., hlm. 121. 30 Lihat Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 91.
34
Reward berada eksternal sebagai sumber motivasi bersama
punishment haruslah disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan anak.
Kadang anak belum mampu melakukan penilaian yang lebih matang
terhadap tindakan yang telah dilakukan.31 Non-verbal, seperti kecupan,
pelukan, dan semisalnya akan lebih efektif diberikan ketika anak belum
fasih atau perhatian mereka belum fokus kepada bahasa ucapan yang
terkesan rumit dan membingungkan. Berbeda kasus ketika anak sudah
terbiasa dan tidak asing dengan bahasa verbal, maka pujian dengan kadar
dan intensitasnya yang tepat dan seimbang akan lebih mengena untuk
diberikan.
Sebaliknya ketika anak memasuki masa remaja, bentuk-bentuk
reward seperti ini tidak akan berguna lebih banyak. Karena sudah mulai
mengenal diri dan menganggap mampu untuk mandiri, perhatian yang
berlebih hanya akan membuat mereka merasa terkekang, tidak bebas
menentukan pilihan. Apapun perlakuan yang diperbuat orang tua terhadap
anak, kesemuanya merupakan ekspresi perhatian orang tua terhadap
anaknya. Jika bentuk perhatian ini berlebih, over protectif, maka anak akan
merasa terkekang, tidak nyaman dalam berbuat. Sehingga akan
menimbulkan kepercayaan diri berkurang pada diri anak.
Tindakan benar semisal pada kasus anak pada jam sekolah belum
juga pulang ke rumah, orang tua memasak makanan yang disukai oleh
anak. Lalu menghubungi anak dengan menggunakan bahasa verbal
semisal, “sayang, ibu masak sup kesukaanmu loh, cepat dicicipi nanti
keburu dingin”. Dengan tidak menanyakan langsung keberadaan dan tidak
langsung menyuruh untuk pulang, si anak akan merasa dihargai.32
Hasilnya akan berbeda ketika orang tua menggunakan kata langsung,
seperti “kamu sedang di mana, kok belum pulang? inikan jam pulang
sekolah, cepat pulang!”
31 Ibid., hlm. 88. 32 Ini juga merupakan tindakan yang menyenangkan sekaligus kejutan, dan kejutan
sendiri merupakan suatu cara dalam mendiskripsikan kasih sayang yang amat efektif. Lihat Jan Dargatz, op. cit., hlm. 95.
35
Kalau ditelusuri lebih lanjut, mendiktekan ancaman kepada anak
terkesan seolah-olah merupakan anjuran bagi anak untuk mengulangi
suatu perbutan yang dilarang. Hal ini disebabkan segala bentuk ancaman
atau peringatan dirasakan sebagai suatu tantangan dan pukulan terhadap
otonomi dan pribadi anak. Sehingga jika ia memiliki harga diri, ia akan
terus melanggarnya bahwa ia bukan boneka yang segalanya diatur dan
dipermainkan orang.33
Semisal dalam kasus sederhana, seorang kakak menembaki
adiknya dengan pistol mainan. Kejadian ini disimak oleh Ibu yang sedang
asyik nonton televisi, dengan peringatan dan ancaman kurang lebih
seperti: “Jangan menembaki adikmu, nanti kena mata, kuhajar kau!”
Ancaman ini berulang-ulang, jika si kakak memiliki harga diri sudah
barang tentu ia tidak akan menghiraukan dan mengabaikannya. Karena
ancaman hanya akan mengusik otonomi dan harga diri anak. Coba kalau
Ibu selanjutnya mengambil tindakan dan mengambil pistol dan
menanamkan pengertian bahwa perbuatan tersebut berbahaya dapat
mencederai si adik. Tindakan ibu menjadi lebih efektif karena langsung
menghentikan kesalahan serta si anak merasa dihargai dengan
menghindari ancaman dan cacian.34
Apabila seseorang disakiti, tentu dampak yang dirasakan adalah
rasa sakit. Secara fisik rasa sakit terjadi hanya secara insidental, akan
tetapi secara psikologis akan membekas dan menjelma menjadi trauma
33 Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Perkembangan Jiwa anak, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), hlm. 9-10. 34 Olok-olok dalam bentuk apapun, menyebabkan si anak merasa tidak dihargai pula.
Hukuman-hukuman, perintah-perintah, larangan-larangan dan janji-janji akan menghukum tanpa ada alasan yang masuk akal dan wajar, juga menyebabkan si anak merasa tidak berharga. Selanjutnya setiap tindakan orang tua yang selalu menunjukkan kekuasaan dan kebesaran, akan memberikan pengertian kepada si anak bahwa dia tidak dihargai. Lihat Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 93-94. Orang tua (juga guru) yang menggunakan sindiran yang tajam dan cemoohan pada anak didik, juga merupakan jalan yang paling cepat merusak hubungan baik dengan anak didik sendiri. Dengan sendirinya anak menghindari untuk disakiti lagi hatinya dengan bersikap defensif, segan, takut, menutup dirinya dengan tidak mendengarkan atau tidak mau bercakap-cakap dengan orang tua. Alih-alih maksud memperbaiki perilaku anak malah merusak mereka. Lihat Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu Anak, (Jakarta: Rajawali, 1992), Ed. 1 Cet. 2, hlm. 58.
36
yang berkepanjangan, dan pada akhirnya menimbulkan perkembangan
kurang baik pada anak.35 Di saat anak sedang mengalami pekembangan,
belum memiliki jati diri, masih mencari identitas, seharusnya lebih banyak
mendapatkan bimbingan, dorongan, dan perlindungan dari seseorang yang
dianggap sebagai sosok ideal, didewasakan. Akan tetapi, jika yang
diterimanya adalah sebaliknya, tentunya akan menimbulkan kekecewaan
dan rasa ketidakpercayaan. Sehingga akibatnya anak mengambil jarak
hubungan emosional tertentu dan memiliki kecenderungan
menyembunyikan berbagai informasi yang seharusnya disampaikan.
Akibatnya mereka terkesan berbuat tidak jujur dalam bertindak, karena
kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan tersebut. Oleh karena itu, dengan
melihat indikasi tersebut, menimpakan hukuman fisik rasanya harus
berpikir dua kali.
Intensitas reward yang terlalu juga menyebabkan suatu anggapan
bahwa kemampuan anak sekaligus menyangsikan sifat-sifat baik yang
dimilikinya. Bila kemampuan seseorang bertindak hanya demi hadiah,
maka ada sesuatu yang kurang padanya. Tindakan yang didasari untuk
mendapatkan apa yang diinginkan dan lupa akan hasrat yang ada di
baliknya untuk berjasa. Akhirnya tidak ada kepedulian untuk berbuat
dengan sungguh-sungguh, hanya sekedar melakukan apa yang menjadi
persyaratan mendapatkan hadiah, jelas sekali ini tidak sehat.36 Hadiah
tidak lebih hanya sebagai pelicin atau suap, bukan sebagai motivasi dari
tujuan sebenarnya yaitu perbuatan baik itu sendiri dalam rangka
memoralkan perilaku.
Di sisi lain, hal ini juga akan menimbulkan ketergantungan dalam
bertindak, seseorang hanya akan bertindak dengan benar jika ada reward
di baliknya. Memanjakan anak dengan reward yang berlimpah hanya akan
memupuk rasa manja dan ketidakpercayaan akan kemampuannya,
35 Monty P. Satia Darma, Persepsi orang Tua Membentuk Perilaku Anak: Dampak
Pygmalion di dalam Keluarga, (Jakarta: Purtaka Populer Obor, 2001), hlm. 74. 36 Ibid., hlm. 12. Lihat juga John Gray, op. cit., hlm. 140.
37
sehingga anak menjadi lebih depensif menunggu apa yang akan
didapatkanya.
Begitu pula, jika anak sejak kecil sudah dibiasakan hidup dengan
dorongan kekerasan dan ancaman, ini dikarenakan ada aggapan orang tua
untuk memulihkan kewibawaan, padahal tanpa disadari pola pikir ini
adalah memaksakan kehendak dan menunjukkan superioritas,37 akan
menimbulkan efek negatif pada kepribadiaannya.38 Anak akan tumbuh dan
berkembang menjadi individu yang lemah dan gampang menyerah pada
nasib dan tidak memiliki inisiatif. Dampak lain, imitasi sebagai sumber
utama pembelajaran pada anak, akan mendapatkan pembenaran untuk
menirunya setelah dewasa.
Oleh karena itu, faktor bijak dalam intensitas dan variasi
pemberian reward dan punishment harus diperhatikan agar tidak salah
kaprah, mengena, dan memiliki nilai positif terhadap respon anak. Akan
lebih baik lagi penggunaan komunikasi yang lancar menjadi jembatan
hubungan harmonis dan juga merupakan aspek yang penting di dalam
proses pendidikan moral anak.39 Agar ada kejelasan antara keinginan dan
hal-hal yang berhubungan dengan anak dan orang tua sendiri. Orang tua
merindukan anak memiliki nilai-nilai moral yang tinggi, di lain pihak anak
memiliki keinginan dan kebutuhan semisal rasa kasih ingin dihargai dan
kasih sayang.
Pengembangan kasih sayang dengan bijak sebagai kunci utama dan
pertama dalam menangani, melayani, dan memenuhi kebutuhan anak.40
37 Padahal menghukum adalah mengajarkan nialai-nilai dan kecakapan yang diperlukan
anak agar berhasil dalam menjalani hidup. Lihat Maurice J. Elias, et. al., op. cit., hlm. 70. 38 Lebih lanjut lihat Dewa Ketut Sukardi, op. cit., hlm. 91-93 dan Monty P. Satiadarma,
op. cit., hlm. 76-77. 39 Jahotner F. Manullang, (ed.), Komunikasi Keluaarga: Kunci Kebahagiaan Anda,
(Jakarta: Indonesia Publishing House Ofset, 1999), hlm. 200. Lihat juga Monty P. Satiadarma, op. cit., hlm. 95.
40 Nur’aeni, op. cit., hlm. 135. Kalau dengan lebih teliti rasa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia. Apabila anak pernah atau kurang meraba-rasakan kasih sayang orang tuanya maka tidak bisa dipungkiri akan menimbulkan penderitaan batin. Bisa jadi mengakibatkan kesehatan badan menjadi terganggu, kecerdasan berkurang, kelakuan mengarah keras kepala, dan nakal. Pertumbuhan jiwa, akal, dan akhlaknya tumbuh secara tidak sehat serta banyak terjadi penyimpangan yang merupakan
38
Hakikat dari pembinaan anak sesungguhnya bersandar kepada hati nurani
orang tua. Kegelisahan, kemurungan hati orang tua dengan satu dan lain
cara, akan dilampiaskan kepada anak keturunannya. Anak yang dibesarkan
dalam suasana serba konflik jauh dari kasih sayang, akan terjadi suatu
kecenderungan anak mengalami keresahan jiwa dengan tindakan-tindakan
yang negatif.
5. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam
Reward dan punishment, dua istilah yang tidak asing lagi dalam
dunia pendidikan. Bagi umat Islam, kedua istilah tersebut sering dijumpai
dalam kitab suci al-Qur’an yang berbahasa Arab. Seperti kata ajr atau
tsawab dan iqab atau azab, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
kurang lebih bersinonim dengan arti reward dan punishment.41
Reward biasanya diberikan terhadap seorang yang telah melakukan
kebaikan, atau berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan.
Sebagaimana dalam surat Hud ayat 11, yang berbunyi sebagai berikut:
رأجة وفرغم مله ات أولئكالحملوا الصعوا وربص إلا الذين١١: هود(كبري(
kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu memperroleh ampunan dan pahala yang besar. (Hud: 11)
Perbuatan dan berbuat baik (beramal saleh) sesuai dengan
ketentuan merupakan pengecualian dari dua jenis manusia yang telah
disebutkan di dalam dua ayat sebelumnya, yaitu kufur terhadap nikmat
Allah dan putus asa atas rahmat-Nya. Akan memperoleh ampunan
terhadap yang terkait dengan manusia berupa dosa dan kekurangan
permulaan timbulnya sikap yang tidak wajar, penyimpangan psikologis dan tumbuhnya watak kriminal dalam diri anak. Sikap kasih sayang adalah dasar dari segala perlakuan dalam menghadapi anak dan poros bagi adanya interaksi antara kebutuhan kasih sayang dan tuntutan lainnya. Dewa Ketut Sukardi, op. cit.,hlm. 63. Lihat juga Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, Alih Bahasa oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan, (Bandung: CV. Dipenogoro, 1993), hlm. 67.
41 Abdurrahman mas’ud, loc. cit.
39
(taqshir), serta mendapatkan pahala yang besar di akhirat. Sesungguhnya
manusia beriman yang berbuat baik, selalu dikenai kesusahan dan
musibah, seperti sempitnya hati yang kadang menyebabkan kehilangan
kesempurnaan kerelaan atau bisa jadi menyebabkan perbuatan tercela.
Dalam hal ini menyepelekan bersyukur atas nikmat semuanya akan
diampuni karena kesabaran dan perbuatan syukurnya.42
.هم فيها نعيم مقيميبشرهم ربهم برحمة منه ورضوان وجنات ل ظيمع رأج هدعن ا إن اللهدا أبفيه الدين٢٢-٢١: لتوبةا(خ(
Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padaNya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (al-Taubah: 21-22).
Dalam perspektif ayat di atas, reward yang Allah sediakan bagi
orang yang berbuat baik amatlah besar berupa kasih sayang dan keridhaan,
serta kenikmatan-kenikmatan real yang ada di surga. Dan yang termasuk
kategori berbuat baik, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya,
yaitu beriman lalu membuktikan keimanannya dengan berhijrah untuk
berjihad di jalan Allah baik dengan harta benda maupun diri mereka
sendiri.43
Sedangkan mengenai punishment, dijatuhkan ketika ada perbuatan
yang tidak sesuai, menyimpang dari aturan, atau berpaling dari suatu
perintah untuk berbuat baik. Sebagaimana dalam surat al-Fath ayat 16,
yang berbunyi:
ني من الأعراب ستدعون إلى قوم أولي بأس شديد تقاتلونهم قل للمخلف متليوا تا كملووتإن تا ونسا حرأج الله تكمؤوا يطيعون فإن تلمسي أو
)١٦: الفتح(من قبل يعذبكم عذابا أليما
42 M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid 12, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t. th.), hlm. 28. 43 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 10, (Beirut: Dar Fikr, t. th.),
hlm. 78.
40
“Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: "Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan meng-azab kamu dengan azab yang pedih". (al-Fath: 16)
Dari beberapa ayat di atas, reward dan punishment diberikan
berdasarkan pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukan. Dengan
demikian keduanya berfungsi sebagai motivasi, ketika keimanan umat
belum mencapai titik kemapanan banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang
menjelaskan mengenai imbalan atau balasan terhadap perbuatan yang telah
dilakukan oleh mereka. Sehingga mereka tergerak untuk melakukan
perbuatan baik dan menjauhi perbuatan tercela. Ini juga menjadi bukti
bahwa al-Qur’an sangat menghargai perbuatan manusia, di sisi lain sangat
mengecam perbuatan yang tidak sesuai dan menyalahi dengan apa yang
diperintahkan.
Reward dan punishment muncul manakala adanya indikasi yang
pantas untuk memberikannya. Ketika ada kesesuaian antara perbuatan
dengan ketetapan yang telah diperintahkan, maka saatnya reward
diberikan. Sedangkan ketika penyimpangan terjadi, maka punishment
dijatuhkan sebagai suatu usaha untuk membenahinya.
Reward dan punishment dalam pendidikan Islam tidak bisa
dipisahkan dari konsep tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Manusia yang
bertakwa selalu menjadi salah satu kunci dalam rumusan tujuan
pendidikan Islam. Karena pada dasarnya pendidikan adalah proses menuju
kesempurnaan individu, maka memasukkan kata kamil sesungguhnya juga
tidak kalah penting. Muhammad saw. sebagai insan al-kamil dan sekaligus
sebagai model paripurna telah disepakati dalam dunia Islam. Dengan
demikian sikap-sikap Nabi, dan cara-cara beliau dalam mendidik umat
Islam merupakan rujukan penting setelah al-Qur’an. Muhammad saw.
adalah insan al-kamil, sekaligus guru terbaik, Beliau tidak hanya
mengajar, mendidik, tapi juga menunjukkan jalan. Kehidupannya
41
demikian memikat dan memberikan inspirasi kepada manusia untuk
mentransfer nilai-nilai luhur darinya hingga menjadi manusia-manusia
baru.44
Maka untuk melandasi metode reward dan punishment dalam
pendidikan Islam, prinsip-prinsip yang telah diilustrasikan semasa
hidupnya menjadi rujukan yang harus dikedepankan. Adapun prinsip-
prinsip tersebut diantaranya:
a. kesabaran, keuletan, serta ketegarannya dalam menegakan ajaran Islam
b. pemaaf, tanpa dendam dan dengki pada orang lain yang berbuat
kesalahan padanya
c. mencintai dan menyayangi sesama mukmin.45
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka dalam pendidikan Islam tidak
mengenal adanya hukuman fisik. Karena cara-cara kekerasan sendiri
memang dilarang oleh Islam, ini tercermin dari kedatangan Islam sendiri
sebagai agama yang rahmah li al-‘alamin, kedamaian dunia.
Al-Qur’an mempertegas bagaimana posisi, kedudukan, serta tugas
Nabi di hadapan umatnya.
ياأيها النبي إنا أرسلناك شاهدا ومبشرا ونذيراوداعيا إلى الله بإذنه )٤٦-٤٥:باحزاأل(وسراجا منريا
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi”. (al-Ahzab: 45-46)
Allah mengutus Muhammad sebagai basyir, pembawa
kegembiraan dengan surga, jika mentaati dan mengamalkan apa yang
dibawa dari Tuhannya. Sekaligus sebagai nadzir, pemberi peringatan,
dengan neraka yang akan dimasukan dan disiksa di dalamnya apabila
mendustakan dan menyalahi apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya.
44 Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 28. 45 Ibid. Juz. 12, hlm. 18.
42
Selain itu, juga sebagai da’i dan munir, pengajak kepada pengakuan akan
ke-Esa-an Tuhan, sifat-sifat kesempurnaan, beribadah kepada-Nya, dan
memberikan penerangan dalam kezaliman, kebodohan, dan kesewenang-
wenangan.46
Dengan prinsip-prinsip di atas, bisa diinterpretasikan bahwa
meskipun kehadiran Nabi adalah sebagai nadzir, warner, tapi kehadiran
Nabi sebagai basyir dalam proses pendidikan Islam tampak lebih dominan
dan signifikan. Sebagai basyir yakni tokoh yang membawa berita gembira
dan keselamatan lahir batin, Nabi tidak menawarkan reward dalam bentuk
materi, melainkan merangsang kecerdasan para murid, memperluas budi
pekerti, serta mempertajam spiritual keagamaan mereka. Implikasinya,
seorang guru harus bertindak sebagai promotor of learning di dalam dan di
luar kelas dan harus mampu berinteraksi dengan siswa secara antusias dan
penuh kasih sayang. Dengan prinsip ini, hukuman fisik bagi siswa adalah
tidak populer dalam kamus pendidikan Islam.47
Realitas sebaliknya, ada anggapan guru ketika ia mempunyai
wibawa dan disegani siswanya, maka sesungguhnya ia telah berhasil
dalam menanamkan rasa hormat terhadap guru. Sebenarnya hal itu
menyebabkan jurang pemisah pergaulan antara guru dan siswa, sehingga
tidak terjalin hubungan yang akrab. Pada gilirannya kemauan siswa tidak
terakomodasi dengan baik.
Sebuah modelling Nabi dalam menerapkan reward dan punishment
tercermin dalam hadits dari Abu Hurairah ra.
بينما نحن جلوس عند النبي صلى : عن ابى هريرة رضى اهللا عنه قالمالك؟، : قال, يارسول اهللا هلكت: اهللا عليه وسلم إذ جاءه رجل فقال
رسول اهللا صلى اهللا عليه فقال. وقعت على امرأتى وأنا صائم: قاللمسا؟، قال: وتقهعة تقبر جدل تقال. ال: ه : موصأن ت عطيتسل تفه
46 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, op. cit., hlm. 19-20. 47 Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 29-30.
43
: فهل تجد إطعام ستين مسكينا؟ قال: فقال. ال: شهرين متتابعين؟ قال: كث عند النبي صلى اهللا عليه وسلم بعرق فيه تمر والعرقفم: قال. ال
فقال . خذها فتصدق به: قال. أين السائل؟ فقال أنا: قال- املكتل يريد - البتيهاأعلى أفقر منى يارسول اهللا؟ فواهللا مابين: الرجلفضحك النبي صلى اهللا عليه . أهل بيت أفقر من أهل بيتى- احلرتين
48 .أطعمه أهلك: وسلم حتى بدت أنيابه ثم قالArtinya: Dari Abu Hurairah ra. menceritakan ketika tiba-tiba seorang
laki-laki datang menemui Nabi. Laki-laki itu kemudian berkata: “Celaka saya, wahai Rasulullah!” Rasul bertanya: “Apa yang telah membuatmu celaka”? Laki-laki itu menjawab, “saya telah bersetubuh dengan istri saya pada siang hari bulan Ramadhan”. Rasul bertanya: Apakah kamu punya sesuatu yang dapat kamu pergunakan untuk pergunakan untuk memerdekakan seorang budak?” Laki-laki itu menjawab, “tidak”. Rasul bertanya lagi, “apakah kamu punya sesuatu yang dapat kamu pergunakan untuk memberi makanan enam puluh orang miskin?”. Laki-laki itu menjawab, “tidak”. Perawi berkata: kemudian Nabi duduk, tak lama berselang Nabi memberi sekeranjang kurma. Lalu beliau berkata, “sedekahkan kurma ini!” Laki-laki itu bertanya, saya sedekahkan kepada orang yang lebih dari kami? Di mana penduduk di sini tidak ada orang yang lebih miskin dari pada kami”. Rasul pun tertawa hingga kelihatan gigi gerahamnya, kemudian Rasul berkata, pergilah dan sedekahkan kepada keluargamu!”
Sikap Nabi dalam kasus pemberian alternatif hukuman nampaknya
cukup menarik untuk dijelaskan. Di bagian akhir dialognya Nabi justru
tertawa melihat ketidakmampuan orang itu melaksanakan seluruh
alternatif hukuman yang ditawarkan kepadanya. Sikap tidak keras dan
kasar yang dipelihara oleh Nabi dalam memberikan hukuman merupakan
cara yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran bagi orang yang
dihukum untuk tidak mengulangi kembali kesalahannya. Dengan cara
seperti ini, orang itu merasa puas terhadap keterangan sanksi hukum yang
48 Imam Bukhary, Shahih al-Bukhary, Juz I, (Beirut: Dar Fikr, t. th.), hlm. 597-598.
44
diberikan oleh Nabi. Berkaitan dengan masalah hukuman ini, al-Ghazali
mengatakan pemberian hukuman secara kasar atau keras dapat
menimbulkan rasa takut dan keberanian orang menyerang orang lain, serta
mendorong timbulnya keinginan untuk melakukan pelanggaran. Dengan
demikian memberikan hukuman membutuhkan sikap bijaksana dan
persuasif.49
Jika punishment (khususnya hukuman fisik) pada umumnya tidak
membawa dampak positif, sebaliknya membawa kenangan horor
nightmare bagi siswa, penumbuhan sense of guilty dengan cara yang
edukatif dan Islami adalah bagian dari self-discipline yang perlu
dikembangkan dalam dunia pendidikan. Disiplin diri adalah tujuan
sekaligus proses pendidikan kemandirian. Prinsip mercy, kasih sayang,
yang merupakan ekspresi dari basyir dan reward memang sudah
seharusnya diterapkan dalam aktivitas sehari-hari proses belajar mengajar,
terlebih-lebih dewasa ini dimana materialisme sering mengalahkan
prinsip-prinsip keagamaan. Agaknya sikap lembut, ucapan yang sejuk di
telinga siswa (dengan menjauhkan kata-kata sepeti “bodoh”), konsisten
mengajak ke nilai-nilai yang benar adalah ciri utama metode pendidikan
Islam yang perlu dikembangkan lebih lanjut secara detail.50
B. Metode Pendidikan Akhlak
1. Metode Pendidikan dalam Islam
Secara etimologis kata metode berasal dari bahasa yunani metodos,
terdiri dari dua akar suku kata, meta yang berarti “melalui”, dan hodos
berarti “jalan”.51 Dengan demikian secara sederhana metode dapat
diartikan dengan jalan yang dilalui.
49 Moh. Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: Pustaka Rizki, 2005),
hlm. 137. 50 Abdurrahman Mas’ud, loc. cit. Lihat juga dengan pengarang yang sama, Diskursus
Pendidikan Islam Liberal, Jurnal Edukasi, Vol. 1, Th. X/Desember 2002, hlm. 31. 51 H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 97. Lihat
juga im Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 652.
45
Dalam terma bahasa Arab, kata metode dicerminkan dengan
ungkapan kata-kata al-thariqah, al-manhaj, dan al-washilah. Ketiga kata
ini masing-masing berarti jalan, sistem, dan perantara atau mediator.52
Dengan kata lain, bahasa Arab memiliki perbendaharaan kata mengenai
metode cukup beragam, namun dalam buku-buku literatur pendidikan kata
al-thariqah lebih sesuai dan mewakili sinonim dari metode.
Mahmud Yunus, mendiskripsikan sembilan macam asas umum
bagi metode pendidikan modern. Kesembilan asas umum pendidikan
modern tersebut pada prinsipnya merupakan kaidah-kaidah pokok yang
menjelaskan tentang prinsip-prinsip didaktis yang harus diketahui,
dipahami, dan diaplikasikan oleh seorang guru atau pendidik dalam
mengajar atau mendidik.53
Ketika metode dikaitkan dengan pendidikan Islam, membawa
pengertian sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama terhadap
diri seseorang. Sehingga tercermin dalam pribadi objek sasaran yang tidak
lain adalah pribadi muslim. Selain itu, dapat pula mengandung arti sebagai
cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam,
sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.54
Metode pendidikan menjadi penting, karena materi pendidikan
tidak dapat dipelajari dengan baik tanpa penafsiran peran metode secara
sadar dalam proses pendidikan dan pengajaran akan menghambat
keberhasilan aktivitas pendidikan tidak hanya dipandang sebagai cara atau
jalan, akan tetapi upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen
52 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 92. 53 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 69-170. Kesembilan asas umum bagi metode
pendidikan modern yang dimaksud adalah mementingkan kecenderungan minat dan bakat anak didik, melibatkan anak didik dalam kegiatan belajar menurut keinginannya, mendidik melalui permainan, membuat urutan-urutan dalam belajar, menarik minat anak didik untuk mencintai pekerjaannya, memelihar lingkungan belajar anak didik, menciptakan semangat kerjasama, menanamkan kepercayaan anak didik untuk belajar secara mandiri, dan mengoptimalkan fungsi-fungsi panca indera. Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Hidayat Agung, 1978), hlm. 95.
54 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 94.
46
pendidikan. Sehingga menjadi sebuah iklim kondusif yang mengandung
tercapainya tujuan yang dicita-citakan.55
Al-Qur’an sebagai rujukan utama Islam dalam segala bidang, tidak
terkecuali pendidikan. Karena di dalamnya mengandung nilai-nilai
kependidikan dalam rangka membudayakan manusia, ayat-ayatnya banyak
memberikan motivasi edukatif bagi manusia. Kajian intensif terhadap
ayat-ayat al-Qur’an dalam konteks pendidikan diperoleh implikasi-
implikasi metodologis kependidikan dalam al-Qur’an yang melandasi
pendidikan Nabi saw. Pada gilirannya, melahirkan konsep metode dalam
ilmu pendidikan Islam yang secara historis berasal dari praktek pendidikan
Nabi saw. sendiri.56
Menurut Abdullah Nashih Ulwan, Nabi Muhammad adalah refleksi
hidup keutamaan-keutamaan al-Qur’an, ilustrasi dinamis tentang petunjuk-
petunjuk al-Qur’an yang abadi.57 Pribadi Nabi saw. menjadi contoh ideal
manusia sepanjang masa dalam segala aspek kehidupan, tanpa terkecuali
metode pendidikan.
Nabi saw. menggunakan metode-metode pendidikan tertentu yang
relevan dengan bidang-bidang yang akan disampaikan kepada para sahabat
pada saat itu. Adapun bidang dan metode pendidikan yang digunakan
diantaranya:
a. Bidang akidah, menggunakan metode bertanya, kisah, dialog, nasihat,
dan demonstrasi.
b. Bidang ibadah, menggunakan metode dialog, praktik/contoh,
eksplanasi, targhib-tarhib, dan tadriji.
c. Bidang akhlak, menggunakan metode spiritual (pengalihan inderawi
kepada rohani), kisah, dialog, nasehat, peragaan, teladan, eksplanasi.
55 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 87. 56 Ibid., hlm. 8-9. 57 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, (Beirut: Dar al-Salam li
al-Thiba’ah wa al-Nasyr al-Tauzi’, 1981), hlm. 234.
47
d. Bidang muamalah, menggunakan metode eksplanasi, kisah, dialog,
dan nasehat.58
Bagaimanapun bentuk dan kemampuan suatu metode, penggunaan
suatu macam metode dalam proses pendidikan adalah mutlak. Mungkin di
bidang lain orang dapat mengerjakan sesuatu tugas pekerjaan tanpa
menggunakan suatu metode, melainkan harus memakai suatu teknik
mengerjakannya saja. Metode mengandung implikasi bahwa proses
penggunaanya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode
itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Jadi penggunaan metode dalam proses kependidikan pada
hakikatnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik
atau mengajar.59
Kegiatan kependidikan adalah proses edukatif yang memiliki
tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Seluruh aktivitas yang dilakukan
oleh seorang guru atau pendidik adalah dalam rangka mencapai tujuan
tersebut. Tidak mungkin seorang guru atau pendidik dikatakan berhasil
dalam mendidik anak didiknya, sementara dia sendiri mengabaikan tujuan
kependidikan yang menjadi pedoman dalam rangka mengarahkan aktivitas
kependidikannya. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, seorang guru
atau pendidik dituntut untuk menggunakan kemampuan yang dimilikinya
dalam memilih metode pendidikan yang sesuai dengan tujuan
pendidikan.60
Penentuan dan pemilihan metode dalam pendidikan secara akurat
merupakan suatu yang penting dilakukan oleh pendidik. Hal ini dilakukan
seyogyanya didasarkan pada beberapa pertimbangan tertentu, seperti nilai
strategi metode, efektifitas pemakaian metode, urgensi penentuan,
pemilihan metode, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan
58 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm 96-167. Penemuan metode pendidikan ini melalui
penelusuran dan menganalisis hadits Nabi saw. sendiri. 59 H. M. Arifin, op. cit., hlm. 98. 60 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 170-171.
48
metode.61 Penggunaan metode secara acak tanpa mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut justru akan menimbulkan persoalan dalam proses
kependidikan, yaitu terhambatnya atau bahkan kegagalan dalam mencapai
tujuan pendidikan. Seorang guru yang sepenuhnya menguasai materi
pelajaran bisa saja gagal di dalam mengajar disebabkan
ketidakmampuannya memilih dan menentukan metode yang sesuai dengan
materi yang diajarkan.62
2. Pendidikan Akhlak
a. Pengertian
Akhlak dalam pengertian etimologis berasal dari bahasa Arab,
kalau diderivasikan berasal dari akar kata “khalaqa, “yakhluqu”,
“khuluqan”. Bentuk jamak dari kata yang ketiga adalah akhlaq, yang
berarti tabiat, kebiasaan.63 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata
akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak
walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa diartikan tabiat,
perangai, kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak
ditemukan dalam al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk
tunggalnya yaitu khuluq yang tercantum dalam surat al-Qalam ayat 4.64
Ayat tersebut dianggap sebagai pengangkatan Nabi Muhammad saw.
sebagai rasul.65
Secara bersamaan sering dijumpai penggunaan istilah moral,
ahklak, dan etika. Ketiganya memiliki makna etimologis sama, yakni
adat kebiasaan, perangai, dan watak. Hanya saja, ketiganya berasal dari
bahasa yang berbeda, masing-masing Latin, Arab, dan Yunani. Akar
ketiganya adalah mos (jamaknya: moses), khuluq (jamaknya: akhlaq),
61 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswin Zain, Strategi Belajar Mengajar, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. 2, hlm. 82.
62 Moh. Slamet Untung, op. cit., hlm. 171. 63 Louis Ma’luf al-Yusa’i, al-Munjid al-Abjadi, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1993), hlm. 419. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang“ وإنك لعلى خلق عظيم 64
agung”. 65 M. Quraish Ashihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 253.
49
dan ethos (jamaknya: ta etha). Namun demikian, tidak mudah
menterjemahkan secara persis sama untuk ketiga istilah ini. Paling
tidak, seperti yang dikatakan oleh Sheila Mc. Donough, bahwa tidak
mudah untuk menentukan istilah-istilah dan konsep-konsep etika dari
kebudayaan yang berbeda. Istilah moral dan etika berasal dari
linguistik Eropa asli, masing-masing dari Latin dan Yunani (Greece).
Bahasa nonEropa memiliki istilah yang berbeda-beda mengenai moral
dan etika, seperti dharma dalam bahasa India dan li dalam bahasa
China. Adapun akhlak sendiri merupakan istilah yang tepat dalam
bahasa Arab untuk arti moral dan etika. Jadi, bahasa moral, the
language of moral, sangat bervariasi antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain, bahkan secara personal.66 Sekilas tampak ada
kesamaan antara ketiga istilah tersebut, namun untuk lebih jelasnya
akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya.
Dengan demikian, dapat diambil suatu temuan ternyata akhlak
merupakan bentuk kata jamak, plural, dari kata tunggalnya khuluq,
selanjutnya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif,
perlu diuraikan pengertian akhlak secara terminologis.
Banyak sekali para ahli di bidang akhlak yang memaparkan
akhlak secara definitif. Diantaranya Ibn Miskawaih, menurutnya
karakter (akhlak) merupakan suatu keadaan jiwa yang menyebabkan
jiwa bertindak tanpa berpikir atau dipertimbangkan secara
mendalam.67
Pendapat ini diamini oleh al-Ghazali (1059-1111 M.),
menurutnya:
66 Tafsir, et. al., Moralitas al-Qur’an dan Tantangan Modernitas: Telaah atas Pemikiran
Fazlur Rahman, al-Ghazali, dan Ismail Raji’ al-Faruqi, (Semarang: Gama Media Offset, 2002), hlm. 4.
67 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 56.
50
لسخة عنها تصدر األنفعا النفس رعبارة عن هيئة فى الخلق ا 68.و رويةفكر لى إحاجةبسهولة ويسر من غير
Artinya: al-khuluq (jamak akhlaq) adalah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan wajar tanpa memikirkan pikiran dan pertimbangan.
Pendapat ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Zaidan:
ويمآننا تعريف األخالق بأنها مجموععة من المعانى والصفات المستقرة فى النفس و فى ضوئها و ميزانها يحسن الفعل فى
69.ن ثم يقد م عليه أويحجم عنهنظر اإلنسان أويقبح ومArtinya: Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam
dalam jiwa yang dengan sumber dan ukurannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik dan buruk untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.
Merunut ketiga definisi di atas, ada kesepakatan akhlak
merupakan keadaan sifat yang tertanam dalam jiwa memanifestasikan
perbuatan-perbuatan sepintas tanpa berpikir dan pertimbangan. Dengan
demikian, perbuatan yang didasari suatu motif tertentu bukanlah hasil
dari akhlak. Seperti seseorang menyumbangkan harta, belum tentu itu
karena akhlaknya, akan tetapi mungkin karena memiliki motif ingin
dilihat atau dipandang baik oleh orang lain.
Al-Gazali mempertegas akhlak bukanlah perbuatan karena
beberapa banyak orang yang akhlaknya pemurah tetapi memberi dan
sebaliknya ada orang yang akhlaknya kikir, tetapi ia memberi karena
ada pengaruh ria. Akhlak bukan pula suatu ma’rifat (mengetahui
dengan mendalam), karena ma’rifat itu berhubungan dengan yang baik
dan buruk dengan suatu cara. Tetapi akhlak pada dasarnya adalah
keadaan jiwa dan bersifat batiniyah yang mendorong terhadap tingkah
68 al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hlm. 56. 69 Abdul Karim Zaidan, Ushul al-Dakwah, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hlm. 79.
51
laku.70 Dari sini secara mutlak akhlak bukanlah perbuatan baik atau
buruk dan bukan pula kekuasaan atas keduanya, tetapi akhlak adalah
keadaan yang dengannya jiwa mempersiapkan untuk memunculkan
tingkah laku.
b. Perbedaan Etika, moral, Akhlak, dan Susila
Sebagaimana telah dikemukakan, dari segi etimologis dan
budaya istilah moral, akhlak dan etika memiliki perbedaan berdasarkan
sumbernya. Lebih jelas lagi, pengertian akhlak dalam Islam lebih luas
dibandingkan pengertian yang dibawa oleh agama-agama lain atau
para filosuf. Akhlak Islam membingkai setiap hubungan antara
manusia dan juga dengan mahluk hidup lainnya. Nilai akhlak menurut
pandangan Islam adalah setiap kebaikan yang dilaksanakan manusia
dengan kemauan yang baik dan untuk tujuan yang baik pula.71
Dalam keuniversalan akhlak, Abudin Nata berhasil menemukan
ciri-ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu sebagi berikut:
1. Perbuatan akhlak telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga
telah menjadi kepribadian.
2. Perbuatan akhlak dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran
3. Perbuatan timbul dari orang yang mengerjakannya, tanpa paksaan
atau tekanan dari luar.
4. Dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
bersandiwara.
5. Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya
akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas
70 Mustaqim, “Pemikiran tentang Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali”, dalam
Ruswan Thoyib (eds), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 88.
71 Miqdad Yalzan, Kecerdasan Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan, terj. Yusuf Maulana, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2003), hlm. 17-18.
52
semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau
karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.72
Etika merupakan ilmu yang menyelidiki perbuatan atau tingkah
laku manusia mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan sejauh yang diketahui oleh akal pikiran.73 Etika
berhubungan dengan empat hal. Pertama dari segi objek, etika
berupaya membahas perbuatan yang dilakukan manusia. kedua dari
segi sumber, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sehingga
tidak bersifat mutlak, absolut, dan universal. Ketiga dari segi fungsi,
etika berfungsi sebagai penilaian, penentu, dan penetap terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia apakah perbuatan tersebut
akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina, dan sebagainya.74
Moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan
batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau
buruk, benar atau salah.75 Moral bersifat universal, sedangkan etika
bersifat kultural. Dalam menentukan nilai perbuatan manusia baik atau
buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, tolak ukur yang
digunakan moral adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang
serta berlangsung di masyarakat. Dengan demikian, etika lebih bersifat
teoritis, konseptual, sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan
muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.76
72 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), Cet, 2, hlm. 5-7. 73 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Rineka Cipta, 1983), hlm. 12. Lihat juga H.
Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 30.
74 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, op. cit., hlm. 89. 75 Ibid., hlm. 91. F. Gabriele (1960) dalam encyclopedia of Islam menyebutkan bahwa
kata “moral” yang sering kita sebut dengan “adab” berasal dari terminologi Arab yang bermakna adat istiadat, kebiasaan, dan etika atau sopan santun. Inilah tatanan yang selalu digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Istilah tersebut dalam bahasa Latin disebut “urbanitas” yang bermakna kehalusan dan kebaikan yaitu tata krama yang berkebalikan dengan perbuatan kasar atau kebiasaan-kebiasaan orang Badui yang hidup di padang pasir. Lihat Muhammad Abdurrahman, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan, (Yogyakarta: Primasophie, 2003), Cet. 1, hlm. 74.
76 Namun berbicara mengenai moral, yang menjadi acuan bukan hanya ketentuan yang berlaku dan menjadi adat istiadat di masyarakat, tetapi juga ajaran agama dan ideologi tertentu.
53
Maka ketika menyentuh dataran parktis, seperti menghormati
merupakan moral, sedangkan rasa menghormati merupakan etika.
Sehingga etika merupakan teknis dari moral itu sendiri. Karena bersifat
kultural, maka etika dari suatu masyarakat ke masyarakat lain berbeda.
Dengan demikian etika terkait dengan nilai, norma, dan budaya yang
dianggap baik menurut suatu masyarakat tertentu.
Sedangkan susila yang berasal dari bahasa Sansekerta, su
berarti baik, bagus, dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau
norma.77 Secara terminologis cukuplah dikatakan susila sebagai
pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan baik juga
berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan
mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.78
Berangkat dari uraian di atas, secara fungsional dan perannya,
keempat istilah tersebut sama, menentukan penilaian terhadap
perbuatan manusia baik atau buruk serta menghendaki tatanan sosial
yang baik, teratur, tentram, dan aman.
Perbedaan mencolok terletak pada sumber yang dijadikan
patokan untuk menentukan baik dan buruk. Etika bersifat teoritis
sehingga penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal dan
pikiran, sedangkan moral dan susila lebih bersifat praktis berdasarkan
kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. Selanjutnya akhlak
memiliki sumber independen dan fundamental dalam menentukan baik
dan buruk yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.79 Secara bersama-sama etika,
moral, dan susila bersifat temporer, terbatas, dan terkait dengan lokal
tetentu. Berbeda dengan akhlak yang bersifat mutlak, absolut, dan
universal.
Lihat Imam Sukardi, et. al., Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern, (Solo: Tiga Serangkai, 2003), Cet. I, hlm. 83.
77 M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hlm. 23. 78 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, op. cit., hlm. 94. 79 Ibid., hlm. 95. Lihat juga H. Mahmud Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000), 355-356.
54
Akan tetapi, keempat istilah tersebut tetap saling berhubungan
dan membutuhkan. Karena pada dasarnya agama yang menjadi sumber
akhlak memiliki fungsi yang amat kental dalam menyusun tatanan
hidup dan budaya manusia.
c. Bentuk-bentuk Akhlak
Bertitik tolak dari uraian di atas, bahwa akhlak melahirkan
kelakuan,80 tanpa suatu paksaan dapat dikatakan bahwa kelakuan
manusia sangat beragam. Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia)
pasti amat beragam (QS. Al-Lail: 4). Keanekaragaman tersebut dapat
ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan
dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa
kelakuan itu ditujukan.81
Secara umum menurut al-Ghazali, akhlak dapat dibagi dua,
akhlak yang baik (al-mahmudah) dan akhlak buruk (al-madzmumah).
Akhlak yang baik adalah akhlak yang serasi dengan akal dan agama
(syariat), sedangkan akhlak yang buruk adalah akhlak yang
bertentangan dengan akal.82
Muhammad Abdullah Draz membagi ruang lingkup akhlak
kepada lima bagian:
1. Akhlak Pribadi (al-akhlaq al-fardiyah). Terdiri dari yang diperintahkan (al-awamir), yang dilarang (al-nawahi), yang dibolehkan (al-mubahat) dan akhlak dalam keadaan darurat (al-mukhalafah bi al-idhthirar).
2. Akhlak Berkeluarga (al-akhlak al-usariyah). Terdiri dari kewajiban timbal balik orang tua dan anak (wajibat nahwa al-ushul wa al-furu’), kewajiban suami isteri (wajibat baina al-azwaj) dan kewajiban terhadap karib kerabat (wajibat nahwa al-aqarib).
3. Akhlak Bermasyarakat (al-akhlaq al-ijtimaiyyah). Terdiri dari yang dilarang (al- mahzhurat), yang diperintahkan (al-awamir) dan kaedah-kaedah adab (qawa’id al-adab).
80 Akhlak dikategorikan sifat yang memiliki fungsi memunculkan perbuatan dan tingkah
laku manusia, selain akal dan syara’ juga tidak terlepas dari akidah. Lihat H. Muhammad Daud Ali, op. cit., hlm. 351.
81 M. Quraishihab, op. cit., hlm. 253-254. 82 Mustaqim, op. cit., hlm. 89.
55
4. Akhlak Bernegara (akhlaq al-daulah). Terdiri dari hubungan antara pemimpin dan rakyat (al-‘alaqah baina al-rais wa al-sya’b), dan hubungan luar negeri (al-‘alaqat al-kharijiyyah).
5. Akhlak Beragama (al-akhlaq aldiniyyah). Yaitu kewajiban kepada Allah SWT. (wajibat nahwa Allah).83
Barangkat dari sistematika di atas, Yunahar Ilyas memodifikasi
pembagian akhlak menjadi akhlak terhadap Allah SWT., Rasullah
saw., akhlak pribadi, akhlak dalam keluarga, akhlak bermasyarakat,
dan bernegara.84
Manusia selalu berinteraksi dengan pihak diluarnya. Ketika
akhlak dimanifestasikan ke dalam dataran aplikasi, maka akhlak terkait
kepada siapa saja ditujukan. Seperti akhlak kepada Allah SWT.
merupakan suatu pembuktian terhadap iman kepada-Nya. Takwa
merupakan “kata” yang tepat untuk membuktikan akhlak kepada Allah
SWT., karena adalah integralisasi dari dimensi Iman, Islam, dan
Ihsan.85 Bentuk-bentuk lainya seperti ridha, taubat, syukur, ikhlas, dan
sebagainya.
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah berkedudukan sebagai
sumber moral atau pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan
kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Kedua dasar itulah yang
menjadi landasan dan sumber agama Islam secara keseluruhan sebagai
pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk.86
Baik dan buruk menurut ajaran Islam bertumpu pada keduanya, jika
diselidiki lebih lanjut banyak sekali ditemukan istilah yang mengacu
kepada yang baik seperti salih, birr, ma’ruf, khair, hasan, thayyib, dan
halal. Sebaliknya, ungkapan yang berindikasi pada makna yang buruk
terdapat dalam istilah fasad, munkar, syarr, fashihah, khabith, dan
haram.87
83 H. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004), Cet. VII, hlm. 5. 84 Ibid., hlm. 6. 85 Ibid., hlm. 18. 86 H. Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 49. 87 Tushihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an, (Canada: Mc. Gill
University Press, 1996), hlm. 204-241.
56
d. Pandangan Islam
Banyak sekali pandangan yang menjadi dasar dalam etika,
Majid Fakhry, menemukan tipe-tipe teori etika. Dalam penelitiannya,
ia menemukan moralitas skriptual, teori-teori teologis, teori-teori
filsafat, dan teori-teori religius.88
Teori religius, agama yang sangat mementingkan nilai moral
adalah agama Islam. Karena moral merupakan bagian dari Islam itu
sendiri. Kalau seseorang tidak memiliki moral, berarti tidak memiliki
tata krama. Sedangkan orang yang tidak memiliki tata krama tidak
pantas dikatakan sebagai orang mukmin. Nabi Muhammmad saw. ke
dunia ini untuk menyampaikan risalah Islamiah. Persoalan yang
paling awal dibenahi adalah akhlak, moral, etika atau adab. Ini
merupakan bukti bahwa agama yang dibawa oleh Nabi saw. benar-
benar membahas masalah moral sebagai faktor utama bagi setiap
muslim sebelum mempelajari atau memahami kewajiban-kewajiban
lain.89
Sendi-sendi akhlak yang dibawa oleh Islam mencakup berbagai
perilaku manusia, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama.
Dan sendi-sendi akhlak ini mencakup nilai-nilai yang beragam, antara
lain nilai kemasyarakatan, ilmiah, kemanusiaan, politik, dan ekonomi.
Nilai-nilai ini bersifat mutlak, karena hakikat nilainya terletak pada
esensinya.90 Hal ini dapat dipahami karena Islam selalu
memperhatikan segala aspek kehidupan yang tidak terlepas dari
ajarannya.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum fundamental, berkali-kali
mengingatkan penekanan yang kuat, untuk mengajak ma’ruf dan
mencegah munkar. Dalam bentuk kombinasi ini, ma’ruf berarti
tindakan apapun yang muncul dari dan sesuai dengan keyakinan yang
88 Majid Fakhry, Etika Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 35.
89 Muhammad Abdurrahman, op. cit., hlm. 101. 90 Miqdad Yaljan, op.cit., hlm. 18.
57
sebenar-benarnya. Sedangkan munkar adalah perbuatan yang
bertentangan dengan perintah Allah.91
Terma shalihah diyakini benar-benar menunjukkan arti
kebajikan, berupa perbuatan-perbuatan yang maslahat jauh dari
keburukan. Walaupun secara tegas al-Qur’an dalam ayat-ayatnya tidak
mengatakan shalihah bagian dari akhlak, namun kata ini dalam al-
Qur’an sendiri sering bergandengan dengan iman. Seperti dalam surat
al-Bayyinah ayat 7:
: ةنالبي( إن الذين ءامنوا وعملوا الصالحات أولئك هم خير البرية
٧(
Kata khair al-bariah amat dekat maknanya dengan insan al-
kamil yang merupakan tujuan dari akhlak sendiri. Dengan demikian
dalam konteks ini, akhlak merupakan ekspresi dan menifestasi dari
iman.92
Setelah menguraikan pengertian akhlak dan hal-hal yang
berkaitan dengannya, jika akhlak dikaitkan dengan pendidikan, maka
al-Gazali mengatakan secara tegas bahwa perubahan akhlak atau
membentuk akhlak menjadi baik adalah munkin sepanjang melalui
usaha dan latihan moral yang sesuai. Perubahan akhlak tidak terlepas
dari hubungannya dengan pendidikan akhlak, manakala pendidikan
akhlak terkait dengan menghilangkan akhlak yang tercela. Al-Ghazali
memberikan alasan, karena tidak ada manusia yang merasa tentram
dan senang mempunyai akhlak yang tercela selama masih mempunyai
akal sehat dan nurani yang lurus. Serta tidak ada manusia yang
91 Tafsir, et. al., op. cit., hlm. 53-54. Lebih lanjut lihat Surat al-Baqarah ayat 71, orang
mukmin memiliki peran terhadap sesamanya berupa mengajak ma’ruf dan mencegah kemunkaran. Mereka juga membuktikan keimanannya melalui perbuatan nyata berupa mendirikan salat, berzakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka inilah yang akan mendapatkan rahmat-Nya.
92 “Sesungguhnya kebagusan akhlak itu adalah iman dan keburukan akhlak adalah nifak”. Lihat al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar Fikr, t. th.), hlm. 67.
58
menginginkan perubahan akhlaknya ke arah perubahan yang jelek dan
tercela. Sehingga keterkaitan perubahan akhlak dan pendidikan akhlak
tidak dapat dipisahkan.93
Di sisi lain, inti dari pendidikan Islam sendiri adalah segenap
usaha sadar dalam rangka menanamkan akhlak yang baik.
Sebagaimana pendapat al-Ghulayaini:
التربية هي غرس األخالق الفاضلة فى نفوس الناشئين وسقيها بماء اإلرشاد والنصيحة حتى تصبح ملآة من ملآاة النفس ثم
94. النفع الوطنتآون ثمرتها الفاضلة والخير وحب العملArtinya: Pendidikan adalah penanaman akhlak yang utama ke
dalam diri siswa dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasehat sehingga menjadi menjadi salah satu dari karakter-karakter jiwa serta menjadi buahnya yang mulia, kebaikan, dan suka berperilaku yang bermanfaat serta tertanam (dalam jiwa).
Dengan demikian pendidikan akhlak tercermin dalam rangka
penanaman, pengembangan dan pembentukan akhlak mulia di dalam
diri peserta didik. Pendidikan tidak harus merupakan suatu program
pendidikan atau pelajaran khusus, akan tetapi harus lebih merupakan
suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan.95 Dalam pendidikan
akhlak bukan berarti akhlak tercela dilupakan begitu saja, akan tetapi
tetap dipelajari dan ditinggalkan secara praktis.
Mengingat potensi manusia, sebagaimana yang telah
diilustrasikan oleh al-Qur’an,96 memiliki kecenderungan baik dan
buruk. Maka kedua potensi inilah yang akan diarahkan melalui
pendidikan akhlak.
93 Mustaqim, op. cit., hlm. 91. 94 Mushthafa al-Ghulayaini, Idhah al-Nasyi’in, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189. 95 M. Santrapratedja, Pendidikan Nilai: Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000,
(Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 3. -٧: الشمس (وقد خاب من دساها قد أفلح من زآاها فألهمها فجورها وتقواها ونفس وما سواها 96
١٠( “Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah mengilhamkan kepadanya
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. Al-Syams:7-10)
59
Menurut Ibn Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak sendiri
harus diarahkan dalam rangka mewujudkan sikap batin yang mampu
mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbutan yang
bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh
kebahagiaan sejati dan sempurna.97
Pendidikan akhlak dalam Islam tersimpul dalam prinsip-prinsip
berpegang teguh pada kebaikan dan kebajikan serta menjauhi
keburukan dan kemungkinan-kemungkinan berhubungan erat dengan
upaya mewujudkan tujuan besar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan,
ketundukan, dan beribadah kepada Allah. Aspeknya mencakup
kejiwaan yang diberikan melalui pengajaran dan pelatihan sesuai
dengan potensi dan struktur psikis individu.98
3. Perkembangan Akhlak pada Anak Didik
Anak didik merupakan amanah yang harus dipertanggung
jawabkan orang tua kepada Allah swt. anak didik juga tempat orang tua
mencurahkan kasih sayangnya, serta investasi masa depan untuk
kepentingan orang tua di akhirat kelak. Oleh karena itu, orang tua harus
memelihara, membesarkan, merawat, menyantuni, dan mendidik anak-
anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.99
Di sisi lain anak juga memang membutuhkan beberapa hal yang
harus diperhatikan oleh orang tua. Agar ada keseimbangan antara
kebutuhan orang tua dan anak, maka orang tua tidak boleh memaksakan
kehendaknya di samping kebutuhan anak. Ada beberapa kebutuhan anak
yang harus dipenuhi oleh orang tua, diantaranya:
a. kebutuhan fisik b. kebutuhan kasih sayang c. kebutuhan penerimaan d. kebutuhan rasa aman
97 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Ed. 1 Cet. 1, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 11. 98 Hery Noer Ali dan H. Munzier S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung
Insan, 2000), hlm. 90 dan 94. 99 H. Yunahar Ilyas, op. cit., hlm. 172.
60
e. kebutuhan rasa percaya f. kebutuhan akan penghargaan diri g. bergantung dan mandiri h. kebutuhan disiplin i. kebutuhan akan bimbingan j. kebutuhan akan aktualisasi diri.100
Kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling dasar,
sekaligus mengembangkannya dengan bijak sebagai kunci utama dan
pertama dalam menangani, melayani, dan memenuhi kebutuhan anak.
Dilihat dari sudut pandang ini, tidak akan terjadi dominasi orang
tua sebagai orang dewasa yang menjadi pembimbing anak. Karena perlu
diingat dari segi kedudukannya, anak didik merupakan mahluk yang
sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya menurut
fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan
yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrah.101
Sehubungan dengan pemuasan kebutuhan dasar si anak, orang tua
mempunyai kemampuan untuk “menghadiahi” anak. Ahli psikologi
menggunakan istilah “hadiah” atau “ganjaran” untuk segala sesuatu yang
dimiliki oleh orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak.
Orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya sakit
ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang
dibutuhkan, ataupun melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa
sakit atau tidak senang. Ahli psikologi menggunakan istilah hukuman
sebagai lawan dari hadiah atau ganjaran. Setiap orang tahu dari
pengalaman sendiri bahwa manusia (dan binatang) cenderung untuk
mengulangi tingkah laku yang dapat menghasilkan hadiah dan menjauhi
dan menjauhi tingkah laku yang tak menghasilkan hadiah bahkan
mendatangkan hukuman.102
Selain itu, salah satu aspek yang sedang mengalami perkembangan
adalah moral. Menurut Piaget, proses perkembangan moral manusia
100 Mari Go Setiawani, op. cit., hlm. 28-34. 101 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 79. 102 Thomas Gordon, op. cit., hlm. 141-142.
61
bertolak dari struktur biologis mengembangkan diri mencari keseimbangan
dengan lingkungannya. Dan perkembangan ini melalui lima tahap, tahap
pertama masih bersifat pra-moral. Anak belajar untuk bereaksi secara
motoris dengan tepat atas pelbagai rangsangan dari luar. Pada tahap kedua
anak belajar bahwa ada peraturan-peraturan yang harus ditaati, tetapi ia
belum sampai pada suatu paham tentang kewajiban. Ia hanya mentaati
peraturan itu untuk menghindari hukuman. Perspektifnya masih
egosentris. Pada tahap ketiga anak mencapai kemampuan untuk
mengambil alih sudut pandang orang lain, ia mengerti bahwa wajib
mentaati peraturan-peraturan itu. Pada tahap keempat anak menjadi
mampu membedakan antara sikap yang diambil orang (sikapnya sendiri
dan sikap orang dewasa) dan tuntunan moral sendiri. Dengan demikian,
moralitasnya menjadi otonom. Ia tidak lagi berlaku moral karena ada
orang yang memerintahnya, melainkan karena memang ada kewajiban
untuk berlaku demikian. Pada tahap kelima anak menjadi refleksif, ia
bahkan dapat mempertanyakan keabsahan peraturan-peraturan moral
sendiri.103
Bertolak dari penemuan ini, menurut Lawrence Kohlberg
sebagaimana pendapat piaget bahwa kesadaran moral anak melalui
beberapa tahap. Dari hasi penelitiannya, berhasil mengidentifikasi adanya
enam tahap, stages, yang dikumpulkan dalam tiga tingkat (levels)
kesadaran moral. Tiap tingkat masing-masing memiliki dua tahapan.
Tahap-tahap itu bersifat invarian, universal, dan transkultural, dengan
kata lain di semua lingkungan budaya anak akan mulai dari tahap pertama
dan seterusnya secara berurutan.104
Adapun tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Pra-konvensional, anak peka terhadap peraturan-peraturan yag
berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian baik dan buruk, benar
salah, tetapi mengartikannya dari sudut akibat-akibat fisik suatu
103 Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), Cet. 5, hlm. 153.
104 Ibid., hlm. 156.
62
tindakan atau dari sudut enak tidaknya akibat-akibat itu (hukuman,
ganjaran, disenangi orang), atau dari sudut ada tidaknya kekuasaan
fisik dari yang memberikan peraturan-peraturan atau memberi
penilaian baik-buruk itu. Tingkatan ini memiliki dua tahap, pertama
orientasi hukuman dan kepatuhan. Berupa mendasarkan perbuatannya
atas otoritas konkret (orang tua, guru) dan atas hukuman yang
menyusul, bila tidak ada kepatuhan. Ketakutan akibat perbuatan adalah
perasaan dominan yang menyertai motivasi moral ini. Kedua orientasi
relatives instrumental, tindakan benar adalah tindakan yang ibarat alat
dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang-kadang juga
memenuhi kebutuhan orang lain. Hubungan antara manusia dianggap
sebagai hubungan orang di pasar. Unsur-unsur sikap fair, hubungan
timbal balik, kesamaan dalam ambil bagian sudah ada, tetapi semuanya
dimengerti secara fisis dan pragmatis. Hubungan timbal balik antara
manusia adalah soal kalau orang lain berbuat sesuatu terhadapnya,
maka ia baru membalasnya, bukan soal loyalitas, rasa terima kasih atau
keadilan.
2. Tingkat Konvensional, penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa
biasanya anak mulai berlatih ketingkat ini antara umur sepuluh tahun
dan tiga belas tahun. Perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar
norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi.
Tingkat ini dinamakan konvensional, karena anak mulai menyesuaikan
penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang
berlaku dalam kelompok sosial. Dengan kata lain, anak
mengidentifikasi diri dengan kelompok sosial beserta norma-
normanya. Tingkatan ini juga mencakup dua tahap, pertama orientasi
dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”. Anak
cenderung mengarahkan diri kepada keinginan orang-orang yang akrab
(orang tua, guru, dan sebagainya) demi menyenangkan dan membantu
serta disetujui oleh mereka. Yang baik adalah pebuatan yang dipuji,
buruk yang dicela, anak ingin dipuji sebagai good boy/nice girl.
63
Menurut anak tingkah laku yang benar adalah apa yang “cocok” dan
“pantas” menurut penilaian lingkungannya. Kedua orientasi hukum
dan ketertiban, law and order, anak memperluas penyesuaiannya
bukan hanya kepada orang-orang yang akrab, melainkan ke kelompok
yang lebih abstrak seperti bangsa, negara, dan agama. Anak merasa
loyal terhadap negara atau agama, menyadari diri wajib taat pada
hukum. Yang baik adalah apa yang mempertahankan tatanan sosial,
dan yang buruk adalah apa yang mengancamnya.
3. Tingkat Pasca-konvensional, oleh Kohlberg disebut tingkat otonom
atau berprinsip. Anak memiliki usaha yang jelas untuk mengartikan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan
terlepas dari otoritas kelompok atau pemegangnya. Norma-norma yang
ditemukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tapi
harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang mekar dari kebebasan
pribadi. Anak mulai menyadari bahwa kelompoknya tidak selamanya
benar, menjadi anggota kelompok tidak menghindari kadang kala
harus harus berani mengambil sikap sendiri. Ada dua tahap di
dalamnya, pertama perjanjian sosial atau kontrak-sosial legalitas.
Tindakan benar cenderung dimengerti dari segi hak-hak individual
yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan
kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Nilai-nilai opini pribadi
relatif perlu adanya prosedural dan konsensus, serta hal tak lain
merupakan nilai-nilai opini pribadi yang terlegalisasi. Tetapi juga
menekankan hukum dapat diubah (tidak secara kaku
mempertahankannya) atas dasar rasional demi kemaslahatan
masyarakat. Kedua tahap prinsip moral universal, ditandai dengan
pengaturan tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan
keputusan suara hati atau nurani pribadi sesuai dengan prinsip-prinsip
64
moral yang dipilih sendiri dan atas pedoman pada kekomprehensifan
logis, universalitas, dan konsitensi.105
Tahap keenam tentu saja sebagai puncak perkembangan moral,
menurut Kohlberg sekaligus harus menjadi tujuan pendidikan moral,
walaupun pada kenyataannya hanya sedikit orang yang dapat
mencapainya.
Ketiga tingkatan moral di atas, ada pengaruh yang ditimbulkan
oleh reward dan punishment dalam rangka menggapai kesadaran moral.
Walaupun pada tingkat yang paling dasar, dangkal, akan tetapi jika reward
dan punishment merupakan proses awal yang sangat penting dalam
membentuk kesadaran moral.
Salah satu pokok dalam belajar menjadi orang yang bermoral
adalah pengembangan shame culture dan guilt culture. Rasa berasalah
sebagai jenis evaluasi diri khusus negatif yang terjadi bila seorang individu
mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakan
wajib untuk dipenuhi. Sedangkan rasa malu sebagai reaksi emosional yang
tidak menyenangkan timbul akibat adanya penilaian negatif terhadap
dirinya.106
Perasaan bersalah timbul internal pada diri seseorang, berbeda
dengan perasaan malu yang timbul akibat penilaian negatif dari luar diri.107
Akan tetapi, jika perasaan malu bisa dijadikan acuan sebagai konsekuensi
dari hasil perbuatan salah, maka seseorang akan cenderung menghindari
perbuatan tersebut.
Dan juga ketika reward dan punishment diracik sedemikian rupa,
bukan hanya sekedar hadiah atau hukuman fisik belaka, juga dengan
memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, bukan tidak
mungkin akan sangat efektif dijadikan sebagai metode dalam mendidik
anak lebih bermoral. Kesadaran jiwa itu timbul sebagai akibat atau hasil
105 Ibid., hlm. 157-160. Lihat juga Ronald Duska dan Mariellen Whelan, op. cit., hlm. 60-
61 dan K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. 5, hlm. 80-84. 106 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 77. 107 K. Bertens, op. cit., hlm. 88.
65
dari pengalaman, pertimbangan akal atau pikiran, dan dikuatkan oleh
kemauan. Seseorang yang selalu mau memeriksa dirinya, mengoreksi dan
menyeleksi perbuatannya akan memiliki kesadaran jiwa yang peka. Orang
seperti ini tidak mungkin bersikap congkak, bertingkah laku sombong, dan
angkuh ataupun memperbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain
merasa tersinggung atau sakit hati. Kesadaran jiwa yang disertai dengan
kemauan yang membaja untuk merombak dan mengubah segala jenis
kebobrokan jiwa, dapat menjadikan seorang bajingan menjadi moralis, dan
kemauan itulah yang perlu dibina.108 Tentunya sejauh mana usaha yang
dilakukan pendidikpun harus diperhatikan agar tujuan dari pembinaan
akhlak itu sendiri dapat tercapai. Biasanya kemauan anak akan sangat
kuat, jika apa yang disajikan oleh pendidik menarik perhatiannya.
108 H. Burhanuddin Salam, op. cit., hlm. 20.