1
DISERTASI
RINGKASAN
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI COCOFOAMDARI SERABUT KELAPA DENGAN KOMPON LATEKS
YANG DIVULKANISASI
I Dewe Ketut Anom1*
1Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
PENDAHULUAN
Penggunaan dan pemanfaatan polimer bahan alam serabut kelapa dan
lateks dewasa ini semakin berkembang seiring dengan meningkatnya penggunaan
bahan tersebut yang semakin meluas mulai dari kegiatan rumah tangga sampai
sektor industri skala kecil dan menengah. Hal ini disebabkan karena polimer
bahan alam dapat terdegradasi di alam, mudah didaur kembali, dan dapat
terbarukan. Perkembangan ini ditopang oleh kondisi alam Indonesia yang kaya
akan bahan-bahan serat alam, seperti kapas, kapuk, goni, sisal, kenaf, pisang,
kelapa, sawit, rami kasar dan rami halus (Boimau, 2010).
Serabut kelapa dan lateks adalah polimer bahan alam, dan apabila
keduanya dikombinasikan akan menghasilkan produk baru yang disebut
cocofoam. Cocofoam adalah komposit yang mempunyai kelenturan dan
kepegasan yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan produk
alternatif lain dari busa karet alam maupun busa sintetis. Keunggulan cocofoam
dibandingkan dengan busa sintetis adalah relatif sejuk dan dingin karena terbuat
dari bahan alami dengan pori yang lebih besar. Perkembangan tekonologi
2
komposit saat ini sudah berkembang sangat pesat. Pergeseran tren teknologi ini
dilandasi oleh sifat komposit berpenguat serat alam lebih ramah lingkungan
dibandingkan komposit berpenguat serat sintetik, disamping itu serat alam
memiliki kelebihan diantaranya densitas rendah, murah, dan dapat diuarikan
secara biologi (Diharjo, 2006; Li dkk., 2007). Bahan penguat merupakan suatu
material yang mempunyai sifat fisik yang membuat kekuatan komposit
bertambah. Bahan yang biasa digunakan sebagai penguat adalah serat alami dan
serat sintetis (Hadiyawarman dkk., 2008). Sampai saat serabut kelapa banyak
digunakan dalam pembuatan geotekstil, jok mobil, genteng, karpet, papan dan
produk-produk kerajinan industri rumah tangga (Sudarsono dkk., 2010; Mahmud
dan Ferry, 2005; Arbintarso, 2009).
Serabut kelapa merupakan salah satu material serat alam yang dapat
digunakan sebagai serat alternatif dalam pembuatan komposit. Potensi serabut
kelapa berpeluang besar untuk dikembangkan menjadi produk komposit yang
dapat dikomersialkan, mengingat Indonesia memiliki bahan baku serabut kelapa
yang melimpah. Dari produksi buah kelapa di Indonesia rata-rata 15,5 milyar
butir/tahun, dapat diperoleh 1,8 juta ton serat sabut kelapa. Potensi ketersediaan
bahan baku yang jumlahnya cukup besar ini belum dimanfaatkan secara optimal
untuk dikembangkan menjadi produk-produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi
(Mahmud dan Ferry, 2005; Arbintarso, 2009).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka penelitian ini
dilakukan, dan bertujuan untuk membuat suatu komposit bahan alam atau
cocofoam dari campuran serabut kelapa dengan kompon lateks. Serabut kelapa
digunakan sebagai bahan pengisi atau penguat, sedangkan kompon lateks
berfungsi sebagai matrik untuk mengikat serabut. Data hasil penelitian ini
diharapkan dapat diaplikasikan dalam pembuatan cocofoam skala industri kecil
dan menengah, mengingat ketersediaan bahan baku serabut kelapa di Indonesia
sangat melimpah.
3
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan baku adalah serabut kelapa diperoleh dari PT Tropica Nucifera
Industry Bantul Yogyakarta dan lateks cair cap jempol dari Toko Liman
Malioboro Yogyakarta. Kalium oleat, kalium hidroksida, seng-dietil-
dithiokarbamat (ZDEC), seng-merkaptobenzothiazol (ZMBT), seng oksida (ZnO),
butil hidroksitoluena (BHT), dan belerang (S), semua zat berkualitas teknis
diperoleh dari PT Bratako Yogyakarta.
Peralatan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini disamping peralatan gelas
standar, dipergunakan pula peralatan: piknometer, timbangan analitik AND GR-
200 SER.14214919 Japan, pengaduk magnet, oven Memmert 854 Schwabach
Tel.09122/4031 0-24 h. 220oC Western Germany, Jeol JSM – 6360LA Analytical
Scanning Electron Microscope, Tokyo Testing Machine MF6 Co. LTD Tokyo-
Japan, cetakan, 1 set kompresor.
Prosedur
Persiapan serabut kelapa
Serabut kelapa dibersihkan dari kotoran dan debu sehingga diperoleh
serabut yang bersih. Selanjutnya serabut lurus dicuci dengan air, kemudian
dijemur di bawah sinar matahari. Serabut lurus segera dipintal atau digulung,
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 95-100oC selama kurang lebih 6
jam. Pintalan dikeluarkan dari dalam oven kemudian didinginkan pada suhu
kamar selama 2-3 hari. Pintalan serabut yang telah didinginkan segera dibuka
untuk mendapatkan serabut berbentuk spiral. Serabut kelapa telah siap untuk
digunakan sebagai sampel penelitian.
Pembuatan kompon lateks
Lateks yang digunakan adalah lateks cair yang sudah bersih sehingga tidak
perlu melakukan proses penyaringan untuk menghilangkan partikel-partikel
4
pengotor seperti debu dan pasir. Bahan-bahan kimia dilarutkan ke dalam lateks
cair dengan komposisi sebagai berikut: 100 gram lateks cair, 2 gram larutan
kalium oleat 20%, 3 gram larutan KOH 10%, 2 gram larutan ZDEC 50%, 2 gram
larutan ZMBT 50%, 4 gram larutan ZnO 50%, 1 gram larutan BHT 50%, dan 3
gram larutan belerang 50%. Campuran kompon lateks diaduk dengan
menggunakan pengaduk magnet selama 30 menit. Pengadukan campuran kompon
lateks dihentikan, kemudian didiamkan selama 2 hari dan setelah itu kompon siap
untuk digunakan.
Pembuatan cocofoam
Serabut kelapa ditebar merata pada cetakan kayu berukuran (p×l×t,
24×15×5 cm). Serabut kelapa ditata sebaik mungkin di dalam cetakan. Permukaan
serabut disemprot secara merata dengan bahan kompon lateks, jarak antara
permukaan serat dan nozzle sprayer kurang lebih 20 cm. Untuk penyemprotan
awal jumlah kompon lateks kurang lebih 1/3 dosis dari total kompon yang
digunakan. Campuran serabut dengan kompon lateks diawali dengan pemanasan
dalam oven pada temperatur 80-90oC selama 15-20 menit. Cocofoam dikeluarkan
dari oven dan didinginkan selama beberapa menit, kemudian disemprot lagi
dengan sisa kompon 2/3 dosis, jarak nozzle sprayer kurang lebih 5 cm di atas
permukaan cocofoam. Cocofoam dipres hingga ketebalam 5 cm. Cocofoam
dikeluarkan dari cetakan kemudian divulkanisasi lagi di dalam oven pada
temperatur 80oC selama 8 jam. Cocofoam diangkat dan dikeluarkan untuk
dirapikan dan selanjutnya diberi kode CF5-1. Proses pembuatan cocofoam CF5-2
mengikuti langkah-langkah pembuatan cocofoam CF5-1. Pengujian sifat-sifat
fisika dan mekanik cocofoam meliputi berat jenis, bending, Analisis struktur
mikro (SEM) dan analisis termal (DTA/TGA).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan rasio berat serabut
kelapa dengan kompon lateks yang dicetak pada volume tetap menghasilkan berat
jenis semakin tinggi. Rasio serabut kelapa-kompon lateks (b/b) adalah: 10/25
5
(CF5-1) dan 20/55 (CF5-2) dengan nilai berat jenis (g/cm3) yaitu 0,6032 dan
0,6920. Cocofoam dengan nilai berat jenis 0,6032−0,6920 (g/cm3) termasuk
cocofoam yang memiliki berat jenis tinggi. Perbedaan nilai berat jenis cocofoam
ini disebabkan karena rasio berat serabut dan kompon lateks yang digunakan
semakin besar sedangkan volume cocofoam tetap, sehingga kerapatan atau berat
jenis cocofoam semakin meningkat. Berat jenis serat yang berbeda walaupun
berasal dari bahan yang sama yaitu serat lignosellulosa sangat berpengaruh
terhadap berat jenis suatu bahan setengah jadi, setiap bahan menggunakan matriks
yang sama sehingga perbedaan berat jenis yang dihasilkan adalah hasil daripada
pengaruh serat-serat yang digunakan serta pengaruh terhadap penyerapan antara
matriks dengan serat dan adanya rongga udara (Maulida, 2008). Beberapa peneliti
telah melakukan penelitian busa karet, ternyata busa karet dengan bahan baku
karet alam memiliki berat jenis 0,2 sampai dengan 0,4 g/cm3 dan nilai kompresi di
atas 25%. Hasil penelitian ini diangggap belum memenuhi syarat sebagai busa
karet teknik karena busa karet alam diharapkan memiliki berat jenis lebih kecil 0,2
dan nilai kompresi maksimun 25%. Struktur mikro dengan sifat-sifat lebih dekat
pada polimer-polimer berpori seperti busa densitas tinggi mempunyai berat jenis
relatif dalam range 0,4−0,8 (Anggaravidya, 2008; Mills, 2007; Najib, 2009; Lee
dan Choi, 2007).
Kompresi merupakan salah satu parameter uji elastisitas atau kelenturan
suatu produk cocofoam. Elastisitas adalah sifat suatu bahan untuk dapat kembali
ke bentuk semula setelah mengalami pembebanan. Beban yang digunakan pada
pengujian kompresi adalah beban tetap atau beban statis dalam jangka waktu yang
telah ditentukan. Variasi tekanan akan memberikan pengaruh terhadap kekuatan
bending yaitu dengan meningkatnya tekanan kompaksi akan meningkatkan
kekuatan bending (Rusianto dan Setyana, 2005). Hasil pengujian kompresi tetap
50% dan 80% yang dilakukan terhadap perubahan ketebalan setiap jenis
cocofoam disajikan pada Gambar 1.
Hasil uji kompresi tetap 50% yang disajikan pada Gambar 1, menunjukkan
bahwa nilai kompresi CF5-1 dan CF5-2 berkisar antara 5,93% sampai dengan
10,67%, sedangkan nilai kompresi CF5-2 berkisar antara 4,13% sampai dengan
6
8,23%. Rata-rata nilai kompresi CF5-2 lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai
kompresi CF5-1. Makin kecil nilai kompresi maka cocofoam tersebut semakin
alastis. Hal ini dapat disebabkan karena semakin tinggi rasio serabut dan kompon
lateks yang digunakan maka kerapatan atau berat jenis cocofoam semakin besar
dan serabut yang berfungsi sebagai penguat semakin banyak sehingga kekuatan
cocofoam menahan beban semakin kuat.
Gambar 1. Grafik hubungan antara waktu kompresi dengan perubahannilai kompresi cocofoam pada kompresi tetap 50% dan 80%
Nilai kompresi CF5-1 pada kompresi tetap 80% pada Gambar 1 berkisar
antara 11,53% sampai dengan 19,20% sedangkan nilai kompresi CF5-2 berkisar
antara 8,93% sampai dengan 17,87%. Penambahan kompresi dari 50% hingga
80% menyebabkan nilai kompresi CF5-1 dan CF5-2 semakin besar, atau
cocofoam mengalami penurunan kekuatan dan ketebalan sesuai dengan lamanya
kompresi dan beban yang diberikan.
Dari grafik hubungan antara waktu kompresi dengan perubahan nilai
kompresi cocofoam dapat dijelaskan bahwa, pengujian kompresi tetap 50% dan
80% dimaksudkan untuk mengetahui sifat fisik yang ekstrim dan bertujuan untuk
memprediksi pemakaian cocofoam dalam jangka waktu yang lama. Apabila
5.937.07
7.93
10.67
4.13 4.67
7.338.23
11.5312.53
13.6
19.2
8.9310
11.93
17.87
0
4
8
12
16
20
0 1 2 3 4 5
Nil
ai
ko
mp
resi
(%)
Waktu (jam)
CF5-1 Kom.50% CF5-2 Kom.50% CF5-1 Kom.80% CF5-2 Kom-80%
kompresi dinaikkan maka rongga
rapat sehingga volume cocofoam menjadi semakin kecil dan kerapatan cocofoam
menjadi lebih besar. Perubahan tebal cocofoam adalah perubahan bentuk partikel
karena tekanan beban yang terjadi se
akan kembali ke bentuk semula ketika tidak diberi beban. Kekuatan kompresi
adalah kebalikan dari kekuatan tarik, yang merupakan ukuran sampai dimana
suatu sampel bisa ditekan sebelum rusak
Berdasarkan nilai kompresi maka cocofoam CF5
ke dalam produk dengan
kompresi lebih kecil dari nilai kompresi busa karet yang dibutuhkan dalam
industri. Makin kecil n
semakin elastis dan kuat.
produk-produk busa karet yang tahan terhadap suhu tinggi (±100
memiliki nilai kompresi
pembusaan mekanis lateks atau karet cair, kemudian polimer diikat silang dalam
keaadaan memuai (Anggaravidya, 2008
Berdasarkan analisis SEM, m
dengan kompon lateks
pada Gambar 2a dan 2b
(2a, CF5
Gambar 2. Micrograph SEM cocofoam :lateks 10/25 dan
7
naikkan maka rongga-rongga yang ada dalam cocofoam akan semakin
rapat sehingga volume cocofoam menjadi semakin kecil dan kerapatan cocofoam
menjadi lebih besar. Perubahan tebal cocofoam adalah perubahan bentuk partikel
karena tekanan beban yang terjadi secara temporer selama diberi beban berat dan
bentuk semula ketika tidak diberi beban. Kekuatan kompresi
adalah kebalikan dari kekuatan tarik, yang merupakan ukuran sampai dimana
suatu sampel bisa ditekan sebelum rusak (Stevens dan Sopyan
Berdasarkan nilai kompresi maka cocofoam CF5-1 dan CF5-2 dapat digolongkan
dengan tingkat elastisitas yang baik karena mempunyai nilai
lebih kecil dari nilai kompresi busa karet yang dibutuhkan dalam
Makin kecil nilai kompresi maka cocofoam yang dihasilkan akan
semakin elastis dan kuat. Produk busa karet yang dibutuhkan industri adalah
produk busa karet yang tahan terhadap suhu tinggi (±100
kompresi yang baik, maksimum 25%. Busa karet terbentuk oleh
pembusaan mekanis lateks atau karet cair, kemudian polimer diikat silang dalam
Anggaravidya, 2008; Feldman dan Hartomo, 1995
Berdasarkan analisis SEM, morfologi cocofoam campuran serabut kelapa
lateks pada rasio 10/25 (CF5-1) dan 20/55 (CF5
pada Gambar 2a dan 2b.
(2a, CF5-1) (2b, CF5-2)
Micrograph SEM cocofoam : (2a) rasio serabut kelapa/komponlateks 10/25 dan (2b) rasio serabut kelapa/kompon lateks 20/55
rongga yang ada dalam cocofoam akan semakin
rapat sehingga volume cocofoam menjadi semakin kecil dan kerapatan cocofoam
menjadi lebih besar. Perubahan tebal cocofoam adalah perubahan bentuk partikel
cara temporer selama diberi beban berat dan
bentuk semula ketika tidak diberi beban. Kekuatan kompresi
adalah kebalikan dari kekuatan tarik, yang merupakan ukuran sampai dimana
dan Sopyan, 2007).
2 dapat digolongkan
tingkat elastisitas yang baik karena mempunyai nilai
lebih kecil dari nilai kompresi busa karet yang dibutuhkan dalam
cocofoam yang dihasilkan akan
roduk busa karet yang dibutuhkan industri adalah
produk busa karet yang tahan terhadap suhu tinggi (±100oC) serta
Busa karet terbentuk oleh
pembusaan mekanis lateks atau karet cair, kemudian polimer diikat silang dalam
Hartomo, 1995).
ologi cocofoam campuran serabut kelapa
1) dan 20/55 (CF5-2) ditunjukkan
2)
rasio serabut kelapa/komponrasio serabut kelapa/kompon lateks 20/55
8
Morfologi permukaan cocofoam CF5-1 dan CF5-2 pada Gambar (2a, 2b)
menunjukkan bahwa kompon lateks tidak menyebar secara merata pada
permukaan cocofoam sehingga terlihat ketebalan lateks yang membungkus dan
mengikat antar serabut tidak sama. Adanya pori atau ukuran rongga yang terlihat
tidak kompak atau tidak seragam disebabkan oleh ukuran panjang serabut yang
berbeda dan rongga serabut yang berbentuk spiral tidak sama. Perbedaan
kerapatan atau berat jenis cocofoam CF5-1 dan CF5-2 tidak menunjukkan adanya
perbedaan morfologi yang berarti karena serabut dan kompon lateks yang
terperangkap dalam cocofoam tidak terdistribusi secara merata sehingga struktur
mikro CF5-1 dan CF5-2 terlihat hampir sama
Analisis Termal
Pengukuran termal dilakukan dengan TGA/DTA dan diperoleh hasil
seperti terlihat pada Gambar 3a untuk sampel CF5-1, Gambar 3b untuk sampel
CF5-2. Gambar 3a adalah pengukuran TGA/DTA untuk cocofoam CF5-1 dengan
rasio berat serabut kelapa-kompon lateks 10/25.
(3b, CF5-2 )(3a, CF5-1 )
Gambar 3. Kurva TGAdan DTA cocofoam : (3a) rasio serabut kelapa/komponlateks 10/25 dan (3b) rasio serabut kelapa/kompon lateks 20/55
9
Kurva TGA menunjukkan bahwa sifat termal cocofoam yang terbuat dari
serabut kelapa dengan kompon lateks dipengaruhi oleh sifat termal kompon
lateks. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya kurva TGA pada temperatur
275oC, artinya bahwa penggunaan cocofoam dibatasi oleh kompon lateks sebagai
matrik. Bila kurva TGA cocofoam diperhatikan dengan seksama, terlihat bahwa
kurva penurunan massa cocofoam terjadi mulai sekitar temperatur 90oC sampai
dengan 275oC, artinya kompon lateks yang ada di dalam cocofoam sedang
mengalami degradasi walaupun perubahnnya kecil.
Kurva DTA memperlihatkan adanya tiga puncak endotermis. Puncak
endotermis pertama berasal dari penguapan pelarut yang terjadi pada temperatur
275oC. Puncak endotermis kedua kemungkinan berasal dari penguapan bahan
aditif yang digunakan dan terjadi pada temperatur 380oC. Sedangkan puncak
endotermis ketiga kemungkinan berasal dari penguapan lateks yang terjebak di
dalam cocofoam dan terjadi pada temperatur 500oC. Kurva DTA menunjukkan
bahwa puncak endotermis CF5-1 semakin tajam karena kompon lateks yang
terjebak dalam cocofoam jumlahnya berkurang, sedangkan luas puncak semakin
besar menggambarkan jumlah serabut dalam cocofoam semakin banyak sehingga
penguapan memerlukan energi yang semakin besar.
Gambar 3b adalah hasil pengukuran TGA/DTA untuk cocofoam CF5-2
dengan rasio berat serabut kelapa-kompon lateks 20/55. Kurva TGA menunjukkan
bahwa sifat termal cocofoam yang terbuat dari serabut kelapa dengan kompon
lateks dipengaruhi oleh sifat termal kompon lateks. Pada kurva TGA CF5-1
maupun CF5-2 terlihat bahwa kemiringa kurva dimuai pada terperatur sekitar
90oC sampai dengan 250oC, artinya kompon lateks mulai mengalami degradasi
walaupum perubahannya kecil namun data ini menjadi sangat berarti apabila
membuat komposit melalui proses vulkanisasi lateks. Berdasarkan data yang
diperoleh Sudirman dkk. (2000) kurva DTA menunjukkan karet alam meleleh
pada temperatur 181,17oC, artinya proses penggembungan (swelling) karet alam
melalui pemanasan terjadi secara optimal pada suhu 181,17oC. Dari kurva DTA
CF5-2 diperoleh tiga puncak endotermis yaitu : pertama puncak endotermis pada
temperatur 300oC kemungkinan adalah penguapan pelarut yang digunakan pada
10
proses pembuatan cocofoam. Puncak endotermis kedua pada temperatur 385oC
kemungkinan penguapan bahan aditif yang ditambahkan pada pembuatan
cocofoam. Sedangkan puncak endotermis ketiga pada temperatur 480oC
kemungkinan penguapan dari lateks yang terjebak di dalam cocofoam. Dari
analisis termal yang dilakukan diperoleh gambaran bahwa pembuatan cocofoam
sangat ditentukan oleh sifat kompon lateks yang digunakan, artinya kekuatan dan
kelenturan cocofoam semakin menurun karena disebabkan oleh terjadinya
terdegradasi pada temperatur sekitar 90oC, dan cocofoam akan rusak serta tidak
dapat digunakan lagi pada temperatur 181,17oC.
KESIMPULAN
Pada volume tetap, peningkatan rasio campuran serabut kelapa dengan
kompon lateks yang divulkanisasi dapat menghasilkan cocofoam dengan berat
jenis semakin besar yaitu : cocofoam dengan rasio 10/25 (CF5-1) mempunyai
nilai berat jenis = 0,6032 g/cm3 dan rasio 20/55 (CF5-2) dengan nilai berat jenis
= 0,6920 g/cm3. Hasil pengujian kompresi tetap 50% dan 80% menunjukkan
bahwa rata-rata nilai kompresi cocofoam lebih kecil dari nilai kompresi busa karet
alam (maksimun 25%), artinya bahwa cocofoam yang dihasilkan mempunyai sifat
kelenturan yang lebih baik jika dibandingkan dengan kelenturan busa karet alam.
Perbedaan kerapatan atau berat jenis cocofoam CF5-1 dan CF5-2 tidak
memperlihatkan perbedaan struktur mikro yang berarti karena serabut dan
kompon lateks yang tercampur dalam cocofoam tidak terdistribusi secara merata
sehingga morfologi CF5-1 dan CF5-2 terlihat hampir sama. Dari analisis termal
yang dilakukan diperoleh gambaran bahwa pembuatan cocofoam sangat
ditentukan oleh sifat kompon lateks yang digunakan, artinya cocofoam mulai
terdegradasi pada temperatur sekitar 90oC, dan akan rusak serta tidak dapat
digunakan lagi setelah kompon lateks dipanaskan hingga mencapai temperatur
181,17
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Boimau, K., 2010, Pengaruh Fraksi Volume dan Panjang Serat TerhadapSifat Bending Komposit Poliester yang Diperkuat Serat Batang Pisang,Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke-9, Palembang 13-15 Oktober 2010.
2. Diharjo, K., 2006, Pengaruh Perlakuan Alkali terhadap Sifat Tarik BahanKomposit Serat Rami-Polyester, Jurnal Teknik Mesin, 8, 1, 8-13.
3. Hadiyawarman, Rijal, A., Nuryadin B. W., Abdullah M., dan Khairurrijal,2008, Fabrikasi Material Nanokomposit Superkuat, Ringan danTransparan Menggunakan Metode Simple Mixing, Jurnal Nanosains &Nanoteknologi, 1, 1, 14-21.
4. Sudarsono, Rusianto, T., dan Suryadi Y., 2010, Pembuatan Papan PartikelBerbahan Baku Sabut Kelapa dengan Bahan Pengikat Alami (Lem Kopal),Jurnal Teknologi, 3, 1, 22-32.
5. Mahmud, Z. dan Ferry Y., 2005, Prospek Pengolahan Hasil Samping BuahKelapa. Jurnal Perspektif, 4, 2, 55-63.
6. Arbintarso, E. S., 2009, Tinjauan Kekuatan Lengkung Papan Serat SabutKelapa Sebagai Bahan Teknik, Jurnal Teknologi, 2, 1, 53-60
7. Maulida, 2008, Pembuatan Komposit Termoplastik Berdasarkan SeratKelapa Sawit dengan Kaedah Pragpreg, Jurnal Penelitian Rekayasa, 1, 2,74-79
8. Anggaravidya, M., 2008, Pengaruh Jenis Blowing Agent Terhadap SifatFisik Busa Karet, M.P.I., 2, 3, 277-283
9. Mills, N. J., 2007, Polymer Foam Handbook : Engineering andBiomechanics Applications and Design Guide, Butterworth- Heinemann :Elsevier, burlington.
10. Najib, N. N., Ariff, Z. M., Manan, N. A., Bukar, A. A., and Sipaut, C. S.,2009, Effect of Blowing Agent Concentration on Cell Morphology andImpact Properties of Natural Rubber Foam, Journal of Physical Science,20, 1, 13-25
12
11. Rusianto, T., dan Setyana, L. D., 2005, Pengaruh Kadar TiO2 TerhadapKekuatan Bending Komposit Serbuk Al/TiO2, Jurnal Teknik Mesin, 7, 1,28-34
12. Li, X., Lope, G., Tabil, and Panigrahi, S., 2007, Chemical Treatments ofNatural Fiber for Use in Natural Fiber-Reinforced Composites : A Review,Journal Polym Environ, 15, 25-33
13. Lee, E. K., and Choi, S, Y., 2007, Preparation and Characterization ofNatural Rubber Foams : Effects of Foaming Temperature and CarbonBlack Content, Journal Chem. Eng., 24, 6, 1070-1075
14. Feldman, D., dan Hartomo, A. J., 1995, Bahan Polimer KonstruksiBangunan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
15. Stevens, M. P., dan Sopyan L., 2007, Kimia Polimer, Pradnya Paramita,Jakarta.
16. Sudirman, Ridwan, Mujamilah, dan Trijono, W., 2000, Analisis Termaldan Struktur Mikro Magnet Komposit Berbasis Heksaferit dengan MatriksKaret Alam, Jurnal Sains Material Indonesia, 2, 1, 13-17.