1
WP/4/2017
WORKING PAPER
RISIKO DAN PILIHAN METODE SETELMEN VALUTA
ASING DI INDONESIA
Imaduddin Sahabat, Ade Yulianti Rahayu, Eva Rosdiana
Lase, Azka Azifah Dienillah
2017
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
1
Risiko dan Pilihan Metode Setelmen Valuta
Asing Di Indonesia
Imaduddin Sahabat1, Ade Yulianti Rahayu1, Eva Rosdiana Lase1,
Azka Azifah Dienillah2
Abstrak
Risiko utama dalam penyelenggaraan transaksi valuta asing adalah
risiko setelmen. Risiko ini terjadi karena adanya perbedaan waktu setelmen
antara dua legs mata uang. Studi terkait risiko setelmen transaksi valuta
asing telah dilakukan oleh Committee on Payment and Settlement Systems–
Bank for International Settlements (1996), Reserve Bank of Australia (1997),
dan Monetary Authority of Singapore (2001).
Studi ini mengukur eksposur risiko setelmen transaksi valuta asing
dari hasil survei terhadap 53 bank. Metode pengukuran yang digunakan
mengacu pada pendekatan yang dilakukan Committee on Payment and
Settlement System (1996). Selain itu, juga dilakukan asesmen terhadap
preferensi layanan metode setelmen melalui metode indicator performance
analysis (Soemarga, Hubeis, dan Achsani, 2016). Hasil studi
mengindikasikan bahwa bank masih menghadapi eksposur risiko setelmen
dalam penyelenggaraan transaksi valuta asing. Eksposur tersebut dapat
berlangsung lebih dari 24 jam. Prosedur penyelesaian transaksi valuta asing
yang dilakukan oleh bank menjadi salah satu faktor yang berkontribusi
terhadap penambahan eksposur. Selain itu, hasil studi juga menunjukkan
bank lebih memilih layanan setelmen melalui bank koresponden, PvP Link,
dan setelmen domestik serta melalui indikator utama preferensi layanan
setelmen, berupa kecepatan setelmen, keandalan sistem, efisiensi, dan fitur
layanan serta melalui layanan jam operasional (operating hours) yang
panjang.
Upaya mitigasi risiko setelmen transaksi valuta asing dapat dilakukan
melalui regulasi yang mengatur penerapan manajemen risiko. Selain itu juga
perlu adanya pengembangan metode setelmen yang mempertimbangkan
preferensi bank.
Keyword: setelmen, valuta asing, eksposur, risiko, manajemen
JEL Classification: E50, F31, G32
1 Peneliti senior dan peneliti di Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak semata-mata merefleksikan
pandangan DKSP atau Bank Indonesia. E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]. 2 Penulis adalah asisten peneliti di DKSP. E-mail: [email protected]
2
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Transaksi valuta asing pada umumnya melibatkan setelmen secara cross-
border, yaitu melibatkan sistem pembayaran berbagai negara dengan yurisdiksi
hukum yang berbeda-beda. Salah satu implikasi setelmen cross-border itu adalah
perbedaan waktu setelmen akibat perbedaan zona waktu dari berbagai negara.
Perbedaan waktu itu juga menyebabkan setelmen transaksi valuta asing
memerlukan waktu yang cukup panjang, bahkan dapat mencapai dua hari kerja
atau lebih. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan risiko setelmen transaksi
valuta asing sebab satu pihak telah melakukan kewajibannya, sedangkan pihak
lainnya, counterparty tidak dapat memenuhi kewajibannya sehingga menimbulkan
kegagalan setelmen.
Risiko setelmen mulai menjadi perhatian bank sentral di dunia ketika terjadi
kasus Herstatt Bank di Jerman3. Herstatt sering digunakan untuk penyebutan
risiko setelmen valuta asing. Pengalaman dari kasus Herstatt dan kasus kegagalan
setelmen valuta asing lainnya, seperti kasus Drexel Burnham Lambert tahun 1990
dan krisis Baring (1995), semakin memperlihatkan bahwa kegagalan setelmen
valuta asing dapat berdampak sistemik terhadap sistem pembayaran, bahkan
kegagalan setelmen juga dapat berdampak pada stabilitas sistem keuangan dan
meluas ke negara lain (BIS, 1996).
Untuk menyikapi hal tersebut, bank sentral negara G10 yang tergabung
dalam Committee on Payment and Settlement System (CPSS) melakukan kajian
untuk memitigasi risiko setelmen dan meningkatkan efisiensi transaksi multi-
currency yang dimulai pada tahun 1993. Perkembangan selanjutnya, studi
mengenai risiko setelmen valuta asing ini juga dilakukan oleh bank sentral lain,
seperti Reserve Bank of Australia – (RBA) pada tahun 1997, Monetary Authority of
Singapore – (MAS) pada tahun 2001, dan Reserve Bank of New Zealand (Rodgers,
2001).
3 Risiko setelmen dalam transaksi valuta asing dikenal sebagai herstatt risk, mengacu pada penutupan
Bankhaus Herstatt pada tahun 1974. Bank Herstatt gagal memenuhi kewajibannya dalam transaksi
valuta asing. Pada saat pengumuman penutupan Bank Herstatt (pukul 10.30 AM waktu New York),
Bank koresponden Herstatt Bank di New York menunda pembayaran kepada bank counterpart-nya.
Kegagalan tersebut terjadi karena pelaksanaan setelmen tiap-tiap mata uang dilakukan pada dua
sistem yang berbeda di negara penerbit mata uang tersebut.
3
Di Indonesia perhatian terhadap risiko setelmen valuta asing semakin tinggi
dengan meningkatnya nilai transaksi valuta asing. Pelaku pasar valuta asing
memiliki eksposur risiko mencapai rata-rata 1 miliar dolar AS per hari (2001) dan
terus meningkat menjadi 5 miliar dolar AS pada 2016 atau rata-rata naik sekitar
27% per tahun (BIS, 2016). Eksposur itu semakin meningkat dengan valuta asing
yang dominan diperdagangkan di pasar valuta asing Indonesia adalah dolar AS
(USD). Adanya perbedaan waktu yang signifikan antara Indonesia dan Amerika
Serikat yang mencapai 12 jam memengaruhi jam operasional dari sistem
pembayaran di negara masing-masing yang pada akhirnya berdampak pada
pelaksanaan setelmen valuta asing.
Untuk memitigasi risiko setelmen valuta asing di Indonesia, Bank Indonesia
telah menyediakan layanan yang memungkinkan dilakukan setelmen USD dan IDR
atau menggunakan metode payment versus payment. Layanan itu secara signifikan
dapat memitigasi risiko setelmen valuta asing. Namun, penyelenggaraan setelmen
yang dilakukan oleh bank masih menggunakan layanan bank koresponden
sebagaimana yang digunakan sejak dulu sehingga masih mempunyai risiko
setelmen yang tinggi. Untuk mengantisipasi hal itu, perlu dilakukan pengukuran
eksposur risiko yang dihadapi industri untuk menghindari terjadinya kegagalan
setelmen ataupun terjadinya gangguan lainnya terhadap setelmen valuta asing. Hal
itu diperlukan untuk menyusun upaya mitigasi dan kebijakan yang sesuai.
Ke depan diperkirakan transaksi valuta asing di Indonesia semakin
meningkat. Hal itu didukung dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
termasuk tinggi jika dibanding dengan negara lain, bahkan menurut studi PwC-UK
(2015) prediksi hingga tahun 2050, Indonesia akan menjadi negara dengan
perekonomian terbesar keempat setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.
Transaksi dengan luar negeri ataupun investasi asing yang masuk ke Indonesia
mendorong meningkatnya transaksi dalam valuta asing. Dengan demikian, studi ini
menjadi krusial untuk mengantisipasi meningkatnya transaksi valuta asing dengan
upaya mitigasi yang sesuai.
Studi terkait setelmen valuta asing telah dilakukan di Indonesia (Bank
Indonesia, 2013 dan Bank Indonesia, 2014). Kajian tersebut berfokus pada aspek
teknis penyediaan infrastruktur bagi setelmen transaksi valuta asing, sedangkan
kajian yang mengukur seberapa besar eksposur risiko setelmen valuta asing belum
pernah dilakukan, khususnya dari sisi durasi dan nilai eksposur yang dihadapi
bank atau pelaku transaksi valuta asing. Pengukuran eksposur risiko dan
4
identifikasi terhadap penyebab eksposur sangat penting dilakukan agar menjadi
pertimbangan dalam mitigasi risiko setelmen. Studi ini juga menganalisa asesmen
bank terhadap layanan setelmen valuta asing yang ada di Indonesia, termasuk
indikator utama preferensi layanan setelmen sehingga penelitian ini diharapkan
dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan layanan setelmen yang dapat
memitigasi risiko secara optimal.
Studi ini menggunakan data survei transaksi valuta asing bank di Indonesia
(53 bank) pada tahun 2017. Metode untuk mengidentifikasi eksposur risiko valuta
asing menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Committee on Payment and
Settlement Systems (1996), sedangkan untuk asesmen layanan setelmen valuta
asing, digunakan pendekatan indicator performance analysis (Soemarga, Hubeis,
dan Achsani, 2016). Secara umum risiko setelmen Indonesia relatif tinggi karena
nilai transaksi dan lamanya durasi setelmen semakin meningkat. Selain itu juga
ditemukan adanya prosedur setelmen yang ikut menyumbang tingginya eksposur.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Penelitian akan menjawab beberapa pertanyaan mengenai risiko setelmen
transaksi valuta asing dalam penyelenggaraan di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana penyelenggaraan transaksi valuta asing yang dilakukan oleh bank
di Indonesia saat ini?
2. Apa saja risiko yang timbul dari penyelenggaraan transaksi valuta asing, baik
bagi bank maupun bagi sistem keuangan secara luas dan berapa besar eksposur
risiko dari setelmen transaksi valuta asing di Indonesia?
3. Bagaimana asesmen bank terhadap layanan setelmen transaksi valuta asing
yang ada saat ini?
1.3. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap transaksi dan mekanisme
setelmen yang dilakukan oleh bank di Indonesia, mekanisme setelmen yang ada,
serta mitigasi risiko yang telah dilakukan. Adapun tujuan penelitian secara umum
adalah sebagai berikut:
1. Memetakan berbagai transaksi dan mekanisme penyelesaian transaksi valuta
asing yang dilakukan oleh bank di Indonesia;
5
2. Mengidentifikasi eksposur risiko setelmen valuta asing di Indonesia, terutama
dari sisi durasi penyelesaian transaksi; dan
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap akumulasi eksposur
risiko setelmen transaksi valuta asing.
1.4. Sistematika Pembahasan
Penulisan disajikan dalam 5 (lima) bab. Bab pertama menjelaskan secara
umum tentang latar belakang dan tujuan penelitian. Pada bab kedua terdapat
pemaparan mengenai konsep risiko setelmen dan studi sebelumnya tentang
setelmen valuta asing. Bab ketiga membahas metodologi penelitian yang dilakukan,
yaitu mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Bank of International
Settlements, Reserve Bank of Australia, dan Monetary Authority of Singapore. Bab
keempat menjelaskan hasil penelitian yang dilakukan berupa gambaran
penyelenggaraan setelmen transaksi valuta asing di Indonesia serta hasil asesmen
risiko yang dilakukan. Terakhir adalah bab kelima yang menyimpulkan hasil
penelitian dan rekomendasi tindak lanjut yang dapat dilakukan.
6
2. Kerangka Konseptual dan Studi Literatur
2.1. Kerangka Konseptual
2.1.1. Konsep Risiko Setelmen Valuta Asing
Risiko setelmen adalah risiko yang terjadi ketika setelmen dana dan sekuritas
tidak terlaksana seperti yang diharapkan (BIS, 2016). Dalam konteks transaksi
valuta asing, setelmen terjadi dalam dua valuta dan dua sistem pembayaran yang
berbeda, yaitu sistem pembayaran di negara tempat mata uang tersebut diterbitkan.
Dengan cakupan yang sangat luas, yaitu antarnegara, setelmen transaksi valuta
asing menjadi terpengaruh dengan adanya perbedaan zona waktu. Perbedaan waktu
tersebut berpengaruh terhadap risiko yang dihadapi bank sehingga bank mungkin
sudah harus melakukan pembayaran dalam mata uang tertentu, tetapi belum
menerima mata uang yang dibelinya. Penyelesaian transaksi tersebut dapat
berlangsung hingga 2 (dua) hari kerja, bahkan lebih jika harus melewati hari libur.
Studi oleh CPSS-BIS (1996) menunjukkan terdapat jeda waktu sekitar 1-2 hari kerja
antara ketika transaksi yang dikirimkan oleh bank sudah tidak dapat dibatalkan
secara sepihak dan valuta asing yang dibeli diterima secara final. Permasalahan
utamanya adalah tidak semua sistem pembayaran di berbagai negara mempunyai
waktu operasional yang sama yang memungkinkan transaksi dapat dijalankan
secara bersamaan. Kondisi itu membuat bank-bank pelaku pasar valuta asing
menghadapi risiko eksposur yang tinggi.
Risiko setelmen dalam transaksi valuta asing memiliki kecenderungan
memiliki implikasi sistemik. Salah satu faktor yang memperkuat adalah transaksi
tersebut memiliki dimensi internasional sehingga penyebaran dampaknya menjadi
luas dan ditambah pula nilai transaksinya yang tinggi dapat memberikan dampak
kerugian yang besar.
Risiko kredit yang muncul adalah ketika salah satu pihak yang bertransaksi
tidak dapat memenuhi kewajibannya, baik ketika jatuh tempo maupun pada masa
yang akan datang (BIS, 2016). Dalam kondisi seperti itu kerugian yang diderita
mencapai seluruh nilai transaksi. Dalam kasus yang ekstrim, kasus Bankhaus
Herstatt, yaitu bank yang telah membayar tidak menerima valuta asing dan bahkan
menyebabkan terjadinya kebangkrutan (MAS, 2001).
Salah satu cara untuk memitigasi/mengurangi risiko setelmen adalah
dengan mengurangi penundaan pelaksanaan setelmen di antara dua legs valuta
7
asing sehingga pembayaran diterima bersamaan dengan pengiriman valuta asing.
Kodres (1996) menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan untuk mengurangi
penundaan tersebut. Pertama, dengan memperkecil perbedaan jam operasional di
berbagai negara sehingga terdapat overlap yang memungkinkan setelmen dapat
dilakukan pada saat yang bersamaan. Kedua yaitu dengan membuat link yang
menghubungkan sistem pembayaran di berbagai negara untuk memastikan
terjadinya setelmen (finality of payment). Praktik yang berlaku di industri saat ini
mengacu pada kedua pendekatan tersebut.
2.1.2. Pengukuran Eksposur Risiko
Kajian ini merupakan replikasi dari kajian yang pernah dilakukan oleh BIS
pada tahun 1993, CPSS–BIS (1996), RBA pada tahun 1997, MAS pada tahun 2001,
dan juga Reserve Bank of New Zealand pada tahun 2001, tetapi dilakukan dalam
konteks Indonesia. Dalam kajian ini pengukuran risiko setelmen transaksi valuta
asing dilakukan dengan membagi tahapan penyelesaian transaksi mulai pada saat
pengiriman instruksi pembayaran sampai dengan penerimaan dana yang bersifat
final. Adapun tahapan tersebut mengacu pada status transaksi valuta asing mulai
dari status transaksi R (revocable), I (irrevocable), U (uncertain), dan S/F (settle/fail).
Sebagai ilustrasi, misalnya Bank A sepakat dengan Bank B untuk melakukan
transaksi spot yang mulai ditransaksikan dua hari sebelum jatuh tempo (value date)
atau V-2 untuk menjual IDR dan membeli USD sebesar $10 juta pada value date V.
Pada saat Bank A mengirimkan IDR ke Bank B, nilai USD yang diperjanjikan
menjadi berisiko hingga $10 juta hingga USD tersebut dapat diterima secara final.
Eksposur risiko muncul ketika instruksi pembayaran sudah tidak dapat dibatalkan
secara sepihak oleh bank pengirim hingga terdapat kepastian bahwa dana telah
diterima secara final atau mulai Status I hingga S/F.
8
Gambar 1. Risiko Setelmen Valuta Asing (Jual IDR/Beli USD)
Sumber: (The Foreign Exchange Committee, 1994)
Durasi eksposur risiko setelmen dipengaruhi berbagai faktor, seperti telah
disebutkan di atas adalah karena prosedur internal dari bank, tetapi dapat juga
karena perbedaan zona waktu yang mempengaruhi jam operasional dari sistem
pembayaran yang ada. Secara hipotetikal, eksposur risiko setelmen tersebut dapat
lebih didetilkan menjadi eksposur aktual, potential ‘best case’, dan theoritical
minimum exposure (The Foreign Exchange Committee, 1994).
Gambar 2. Konsep Pengukuran Risiko Setelmen Transaksi Valuta Asing
Sumber: (The Foreign Exchange Committee, 1994)
Dalam Gambar 2, theoritical mininum exposure dari transaksi jual IDR/beli
USD tersebut diukur dari batas waktu pengiriman transaksi IDR (closing time sistem
V-2 V-1 V V+1
0 -
10 -
-10 -
-20 -
EksposurAktual
20 -
USD juta
l l l l
BayarIDR
Instruksi
pengiriman
IDR (I)
Sell IDR
utk US$
10 juta
MenerimaUSD
KonfirmasiPenerimaanUSD
WaktuIndonesiaBarat
EksposurMinimum
IDR
USD
P C Open Close F R
P C Open Close F R
EksposurAktual
Poten al‘BestCase’
Theori calMinimum
PPengirimaninstruksipembayaran
CBataswaktupembatalantransaksi
Jamoperasionalsistempembayaran
FFinality
RIden fikasipenerimaanyanggagal
9
pembayaran di Indonesia) hingga waktu konfirmasi penerimaan USD yang dibeli.
Secara teoretis kondisi tersebut adalah kondisi paling ideal, tetapi dalam praktiknya
tidak dimungkinkan bagi bank untuk mengirimkan semua transaksi pada saat
mendekati closing time. Transaksi dapat terjadi sepanjang jam operasional sistem
pembayaran. Oleh karena itu, eksposur risiko untuk kondisi potential ‘best case’
terjadi mulai dari jam buka sistem pembayaran hingga finality. Sebagaimana
dijelaskan di atas bahwa eksposur yang dihadapi oleh bank dapat lebih panjang dari
theoritical minimum ataupun potential ‘best case’.
2.2. Studi Literatur
Beberapa studi telah dilakukan dalam rangka mempelajari transaksi valuta
asing. Beberapa studi memfokuskan pada struktur mikro pasar valuta asing, seperti
dominasi pelaku pasar dan penetapan harga (Taylor, 1995), sedangkan studi yang
memfokuskan pada risiko eksposur dan setelmen valuta asing dimulai sejak
terjadinya berbagai kegagalan setelmen valuta asing, terutama pada Bankhaus
Herstatt yang menjadi titik awal bagi berbagai bank sentral untuk fokus pada risiko
setelmen transaksi valuta asing (CPSS, 1996). Berangkat dari kasus tersebut dan
semakin tingginya transaksi cross-border dan multi-currency, CPSS-G10 mulai
melakukan penelitian untuk memitigasi risiko setelmen tersebut. Beberapa studi
tentang risiko eksposur dan setelmen valuta asing dilakukan oleh beberapa studi
lanjutan tentang mekanisme setelmen dan risiko transaksi valuta asing dilakukan
oleh RBA (1997), Andrew Rodgers, (2001), MAS, (2001) dan Arjani (2007).
Studi terhadap risiko setelmen dimulai pada 1993 oleh BIS dengan
mengeluarkan suatu laporan Central Bank Payment and Settlement Services with
Respect to Cross Border and Multi-currency Transactions. Laporan itu kemudian
dikenal dengan Noel Report. Penelitian itu menganalisasi berbagai layanan bank
sentral yang dapat mengurangi risiko setelmen dalam transaksi valuta asing. Studi
tersebut menyarankan dua pilihan dalam mengurangi risiko setelmen, yaitu (i)
memperpanjang jam operasional sistem pembayaran; dan (ii) memberlakukan
finality of payment (CPSS , 1993). Pada 1996 dilakukan kajian tentang strategi
mengurangi risiko setelmen valuta asing dan metode dalam penyelesaian transaksi
perdagangan valuta asing. Hasil kajian itu dituangkan dalam laporan Settlement
Risk in Foreign Exchange Transactions dan dikenal sebagai allsopp report. Studi
CPSS (1996) tersebut menemukan bahwa kegagalan counterparty dalam pasar
valuta asing berpotensi menimbukan risiko sistemik. Namun, masih banyak pihak
yang belum menaruh perhatian pada eksposur yang dapat terjadi pada transaksi
10
valuta asing sehingga masih menilai eksposur terhadap transaksi tersebut rendah.
Studi itu merekomendasi strategi untuk mengurangi risiko setelmen, yaitu (i)
tindakan masing-masing bank untuk mengendalikan eksposur transaksi valuta
asing; (ii) aksi industri untuk menyediakan layanan multi-currency yang dapat
mengurangi risiko setelmen; dan (iii) mendorong bank sentral untuk menyediakan
sistem pembayaran nasional yang mendorong pihak swasta mengurangi risiko
valuta asing.
Studi selanjutnya tentang risiko setelmen valuta asing dilakukan oleh
Executives’ Meeting of East Asia Pacific Central Banks (EMEAP) pada tahun 2001
dan juga beberapa bank sentral. RBA (1997) menemukan bahwa lamanya waktu
antara transaksi USD/AUD lebih pendek terjadi pada saat jual USD jika
dibandingkan dengan posisi beli USD. Perbedaan waktu mencapai 25 jam untuk
setiap transaksi USD/AUD, sedangkan nilai eksposur rata-rata transaksi mencapai
$A 122 miliar setiap hari dengan durasi eksposur yang mencapai 37 jam (di luar
exotic currency4). Studi itu merekomendasikan penggunaan pendekatan payment
versus payment dalam transaksi valuta asing, hedge market, dan dialog di antara
negara EMEAP dan kerja sama lainnya dalam mendorong adanya inisiatif untuk
mengurangi risiko setelmen. Dengan data sampel yang lebih banyak dan
penggunaan metode netting dalam transaksi valuta asing, RBA pada 1999
melakukan studi lanjutan risiko setelmen valuta asing. Studi tersebut juga
menemukan bahwa kesadaran pelaku pasar valuta asing dalam mengelola risiko
setelmen mulai meningkat.
Untuk menindaklanjuti inisiatif untuk mengurangi risiko setelmen dalam
transaksi di negara Asia Pasifik, MAS pada 2001 melakukan kajian tentang eksposur
risiko setelmen di Singapura. Studi itu menemukan bahwa waktu risiko setelmen
transaksi valuta asing pada umumnya lebih pendek pada saat menjual USD jika
dibandingkan dengan pada saat membeli USD. Eksposur risiko valuta asing di
Singapura mencapai 68 jam. Studi ini merekomendasikan hal yang relatif sama
dengan studi sebelumnya, yaitu menggunakan netting dalam transaksi valuta asing,
mempersingkat jeda waktu antara pembatalan dan rekonsiliasi, melakukan
mekanisme PvP, dan menggunakan metode Continuous Linked Settlement (CLS)5
untuk transaksi valuta asing.
4 Exotic currency adalah valuta asing yang jarang diperdagangkan. 5 CLS merupakan sistem setelmen multi-currency yang bertujuan untuk mengeliminasi risiko setelmen transaksi valuta asing karena perbedaan zona waktu. Layanan CLS diselenggarakan oleh CLS Bank
11
Studi yang dilakukan Rodgers (2001) di New Zealand menemukan bahwa
rata-rata transaksi valuta asing di New Zealand mencapai USD 18,3 miliar per hari.
Nilai eksposur setiap bank dapat melebihi modal untuk beberapa jam setiap hari.
Bank di New Zealand umumnya mengenali adanya risiko, tetapi tidak
memperhatikan besaran nilai dan waktu transaksi setelmen valuta asing. Studi
selanjutnya dilakukan oleh Arjani (2007) di Kanada. Studi itu menemukan rata-rata
eksposur transaksi valuta asing di Kanada mencapai US$ 98,3 miliar. Hampir 85
persen transaksi valuta asing melibatkan mata uang USD. Transaksi dengan
menggunakan metode gross6 non PvP berkontribusi pada tingginya eksposur risiko
setelmen. Selain itu, pelaku industri melakukan transaksi valuta asing secara
bilateral netting sebesar 30 persen dari total transaksi valuta asing. Salah satu
rekomendasi studi di Kanada adalah perluasan penggunaan metode CLS. Selama
studi terdapat tiga bank di Kanada menjadi peserta CLS.
Dalam berbagai penelitian dipaparkan perlunya pengambilan inisiatif yang
melibatkan tidak hanya bank sentral, tetapi juga pelaku yang perlu berperan aktif
untuk memitigasi risiko. Hal lain yang tidak kalah penting adalah adanya
mekanisme ataupun infrastruktur yang dapat mengurangi jeda waktu penyelesaian
transaksi dalam satu mata uang dengan mata uang lainnya. Selain itu, praktik dan
kesadaran dari pelaku transaksi valuta asing perlu diperhatikan dan ditingkatkan
karena dapat pula berkontribusi terhadap eksposur risiko yang dihadapi.
Bank Indonesia juga telah melakukan studi tentang setelmen valuta asing.
Pada 2013, studi yang dilakukan Bank Indonesia merekomendasikan pentingnya
fitur multi-currency pada sistem BI RTGS Gen II dalam menghadapi transaksi cross-
border (Bank Indonesia, 2013). Terdapat dua kajian lain yang juga membahas
setelmen transaksi valuta asing di Indonesia, yaitu mengenai metode setelmen
transaksi valuta asing dengan menggunakan PvP Link. Kajian yang telah dilakukan
masih belum secara detil membahas risiko setelmen, tetapi lebih fokus pada aspek
teknis dari mekanisme setelmen. Kajian tersebut belum dapat memberikan
gambaran eksposur risiko setelmen yang dihadapi industri, bahkan belum terlihat
praktik yang dilakukan oleh pelaku dalam penyelesaian transaksi valuta asing.
yang beroperasi secara global sehingga setelmen untuk kedua legs transaksi valuta asing dapat
diselesaikan secara bersamaan. 6 Setelmen dilakukan per transaksi atau trade-by-trade.
12
3. Metodologi
3.1. Pengukuran Eksposur Setelmen Transaksi Valuta Asing
Dalam pengukuran eksposur setelmen transaksi valuta asing, terdapat dua
aspek yang menjadi ukuran, yaitu dari sisi besaran nilai (size) transaksi dan dari
durasi eksposur kredit yang timbul selama proses setelmen valuta asing (RBA,
1997). Hal itu tercermin dalam definisi eksposure setelmen transaksi valuta asing
yang diadopsi oleh Committee on Payment and Settlement System (CPSS) sebagai
berikut:
“A bank’s actual exposure-the amount of risk-when settling a foreign exchange
trade equals the full amount of the currency purchased and lasts from the time
a payment instruction for the currency sold can no longer be cancelled
unilaterally until the time the currency purchased is received with finality”
(CPSS, 1996)
Pengukuran eksposur setelmen transaksi valuta asing tersebut
menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh CPSS (1996), RBA (1997), dan MAS
(2001). Sejalan dengan definisi di atas, untuk memudahkan dalam mengukur
eksposur, teknik yang digunakan adalah melakukan asesmen terhadap perubahan
status transaksi dalam proses setelmen valuta asing. Sebagai penyederhanaan,
dalam konteks risiko setelmen, status transaksi dapat digolongkan ke dalam lima
kategori, yaitu sebagai berikut.
Status R Revocable: instruksi pembayaran belum diterbitkan dan
instruksi pembayaran masih dapat dibatalkan secara sepihak
tanpa perlu persetujuan dari counterparty atau pihak terkait lain.
Belum terdapat eksposur setelmen pada status ini.
Status I Irrevocable: instruksi pembayaran sudah tidak dapat dibatalkan
sepihak, pembatalan dilakukan dengan persetujuan dari
counterparty yang terkait. Final receipt dari valuta asing yang
dibeli belum diterima. Telah terdapat risiko terhadap valuta
asing yang dibeli.
Status U Uncertain: instruksi pembayaran sudah tidak dapat dibatalkan.
Jangka waktu pembelian valuta asing telah jatuh tempo, dealer
13
belum mengetahui waktu final. Terdapat risiko atas valuta
asing yang dibeli.
Status F Failed: dealer telah menyatakan bahwa tidak menerima valuta
asing. Jatuh tempo telah lewat. Telah timbul risiko.
Status S Settled: dealer konfirmasi valuta asing yang dibeli telah diterima.
Transaksi telah selesai. Valuta asing yang dibeli sudah tidak
berisiko lagi.
Berikut ilustrasi gambaran tentang mekanisme penyelesaian transaksi valuta
asing. Terdapat tiga kritikal waktu dalam proses perdagangan valuta asing, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a) batas waktu pembatalan transaksi sepihak;
b) saat pembelian valuta asing sampai dengan penerimaan; dan
c) waktu identifikasi final terkait berhasil atau gagalnya transaksi.
Gambar 3. Perubahan Status Transaksi
Revocable
(Status R)
Irrevocable
(Status I)
Uncertain
(Status U)
Settled or Failed (Status S or F)
Trade
Batas pembatalan
transaksi untuk
valuta asing yang
dijual secara sepihak
Final penerimaan
dari valuta asing
yang dibeli jatuh
tempo
Identifikasi setel
atau gagal penerimaan valuta
asing yang dibeli
Dalam menghadapi ketidakpastian setelmen transaksi valuta asing tersebut,
bank perlu memahami batas eksposur minimum dan maksimum dari transaksi
valuta asing yang sedang dilakukan. Pedoman umum yang digunakan dalam
pengukuran eksposur tersebut adalah sebagai berikut.
Eksposur Minimum
Jumlah Status I dan F
Nilai ini merupakan nilai perdagangan saat dealer
tidak dapat membatalkan pembayaran secara sepihak
atas valuta asing yang dijual, tetapi belum menerima
valuta asing yang dibeli.
Eksposur Maksimum
Jumlah Status I, Status F dan Status U
14
Nilai ini sama dengan nilai eksposur minimum
ditambah jumlah valuta asing yang dibeli yang
seharusnya diterima, tetapi tidak berhasil diterima.
3.2. Importance Performance Analysis (IPA)
Dalam rangka mengetahui faktor atau indikator yang perlu diperhatikan
untuk memenuhi kebutuhan industri dilakukan pengolahan dengan metode IPA.
Tahap awal yang dilakukan adalah pembobotan pada sembilan indikator, yaitu (1)
indikator biaya (biaya transaksi, maintenance, rutin, dan pelaporan), (2)
ketersediaan pelayanan helpdesk (layanan keluhan dan customer service serta
layanan laporan proses transaksi), (3) waktu pelaksanaan setelmen (waktu buka dan
tutup serta ketepatan waktu transaksi), (4) kompleksitas sistem dan prosedur
(kemudahan dan efisiensi proses setelmen serta pengadaan infrastruktur), (5) biaya
pengelolaan dana (jumlah minimum saldo dan jumlah rekening pada counterparty),
(6) keamanan dan keandalah (downtime), (7) kecepatan (kecepatan setelmen), (8)
fasilitas yang diberikan (pemberian overdraft), serta (9) fitur layanan (posisi saldo
secara real time serta jenis-jenis laporan). Sementara itu, bobot penilaian meliputi:
Tabel 1. Bobot Penilaian IPA
Sangat baik
sekali
Sangat baik Baik Kurang baik Tidak baik Sangat tidak
baik
6 5 4 3 2 1
Langkah kedua adalah dengan penganalisisan kuadran dengan rumus
sebagai berikut.
;
Keterangan:
Bobot rata-rata tingkat penilaian kinerja aktual untuk indikator kualitas
layanan setelmen ke-i
Bobot rata-rata tingkat nilai yang diharapkan untuk indikator kualitas
layanan setelmen ke-i
n = Jumlah responden bank yang melakukan kegiatan valuta asing
n
Xi
Xi
k
i
1
n
Yi
iY
k
i
1
Xi
iY
15
Selanjutnya dihitung rata-rata nilai yang diharapkan dan kinerja aktual untuk
keseluruhan indikator. Setelah diperoleh bobot kinerja dan kepentingan suatu
indikator, nilai-nilai tersebut diplotkan ke dalam diagram kartesius seperti yang
ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.
Gambar 4. Diagram Kartesius Nilai Efektivitas atau Kinerja
3.3. Metode Pengumpulan Data
Untuk melengkapi data dalam penelitian ini, dilakukan survei kepada 76
bank yang tergolong sebagai bank yang melakukan kegiatan transaksi valuta asing.
Pelaksanaan survei dilakukan pada bulan Mei 2017. Data yang dikumpulkan
merupakan data transaksi pada periode 1 April 2016 hingga 31 Maret 2017 serta
beberapa data spesifik untuk periode minggu kedua (II) dan minggu ketiga (III) bulan
April 2017.
Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan mengadopsi survei pada
studi yang dilakukan oleh CPSS (1996), RBA (1997, 1999) dan MAS (2001).
Beberapa informasi dalam kuesioner meliputi aspek kualitatif dan kuantitatif dari
penyelenggaraan setelmen transaksi valuta asing, seperti (i) karakteristik bank; (ii)
nilai dan jumlah transaksi valuta asing; (iii) valuta asing yang ditransaksikan; (iv)
bank koresponden yang bekerja sama; (v) waktu penyelesaian transaksi valuta
asing; (vi) mekanisme setelmen; (vii) preferensi pilihan setelmen valuta asing; (viii)
indikator kepuasan terhadap layanan setelmen transaksi valuta asing; dan (ix)
praktik manajemen risiko yang dilakukan bank. Sebagai validasi, sebelum
pelaksanaan survei dilakukan uji coba kuesioner kepada beberapa bank devisa
besar.
Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia (2017) mengenai setelmen valuta
asing, dari jumlah 76 bank yang menjadi target responden terdapat 53 bank (70%)
yang menyampaikan kembali hasil kuesioner tersebut.
Kuadran III
Kuadran IV Kuadran I
Kuadran II
Nilai Pen
tin
gn
ya
Ind
ikato
r/H
arapan
Nilai Kinerja Aktual
16
4. Hasil Dan Analisa
4.1. Transaksi dan Mekanisme Setelmen Valuta Asing di Indonesia
4.1.1. Perkembangan Transaksi Valuta Asing
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir
menjadi pemicu perkembangan transaksi valuta asing di Indonesia. Beberapa hal
yang mempengaruhi perkembangan transaksi valuta asing adalah (i) pergerakan
nilai valuta asing yang cukup signifikan menarik berbagai pihak untuk bertransaksi
dalam pasar valuta asing; (ii) globalisasi ekonomi, baik perdagangan maupun
pergerakan sumber daya manusia; dan (iii) perkembangan teknologi informasi yang
menyediakan fasilitas layanan transaksi valuta asing secara daring (online) selama
24 jam.
Berdasarkan data BIS (2016) selama lima belas tahun terakhir rata-rata
transaksi valuta asing per hari di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 2001
rata-rata transaksi mencapai USD 1 miliar dan meningkat menjadi USD 5 miliar
pada tahun 2016 atau rata-rata naik sekitar 27% per tahun. Namun, jika
dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk ASEAN, transaksi valuta asing
per hari di Indonesia masih relatif rendah. Singapura, misalnya, merupakan negara
dengan transaksi perdagangan valuta asing terbesar di ASEAN dengan nilai
transaksi mencapai USD 517 miliar per hari, sekaligus menjadi hub dalam transaksi
keuangan.
Tabel 2. Perkembangan Transaksi Valuta Asing di Berbagai Negara
2001 2004 2007 2010 2013 2016
Australia 54 107 176 192 182 121
Tiongkok na 1 9 20 44 73
Jepang 153 207 250 312 374 399
Hongkong 68 106 181 238 275 437
Korea Selatan 10 21 35 44 48 48
Singapura 104 134 242 266 383 517 Filipina 1 1 2 5 4 3
Thailand 2 3 6 7 13 11
Malaysia 1 2 3 7 11 8
Indonesia 1 2 3 3 5 5
Catatan: net gross basis; rata-rata harian dalam USD miliar
Sumber: (BIS, 2013; 2016)
Sementara itu, dari sisi jenis valuta asing yang diperdagangkan di dunia,
negara terbanyak adalah USD, EUR, JPY, AUD, dan GBP. Beberapa mata uang Asia
lainnya juga mulai meningkat transaksinya, seperti SGD, HKD, dan RMB. Proporsi
17
jenis valuta asing yang diperdagangkan di Indonesia juga memiliki proporsi yang
relatif sama dengan transaksi perdagangan secara global untuk setiap valuta asing.
USD menguasai perdagangan transaksi valuta asing di dunia dengan transaksi
mencapai 87 persen dari total transaksi per hari. Sementara itu, transaksi IDR
masih relatif rendah, yaitu 0,4 persen dari seluruh transaksi valuta asing. Hal ini
disebabkan IDR bukan merupakan mata uang yang diperdagangkan (international
currency).
Hasil survei setelmen valuta asing pada tahun 2017 menunjukkan valuta
asing yang paling dominan diperdagangkan di Indonesia adalah USD, yaitu sebesar
88,24%, diikuti oleh SGD sebesar 3,70%, EUR sebesar 2,32%, JPY sebesar 1,76%,
dan AUD sebesar 1,52%. Adanya perbedaan tersebut dapat disebabkan, antara lain,
oleh: (i) periode data yang berbeda, yaitu BIS menggunakan data April 2016,
sedangkan Bank Indonesia menggunakan data 1 April 2016 - 31 Maret 2017; dan
(ii) responden yang berbeda. Data proporsi valuta asing yang diperdagangkan di
Indonesia disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Proporsi Transaksi Valuta Asing di Indonesia dan Dunia
Mata Uang Survei BI 2017(%) BIS Triennial Survey 2016 (%)*
USD Amerika Serikat 88,24 87,6
SGD Singapura 3,70 1,2
EUR Eropa 2,32 31,4
JPY Jepang 1,77 21,6 AUD Australia 1,52 6,9
GBP Inggris 1,11 12,8
RMB Tiongkok 0,65 4,0
HKD Hongkong 0,29 1,7
*Sumber: BIS (2016) diolah
Mekanisme setelmen transaksi valuta asing dimulai dari pengirim, baik
individu maupun bank dan korporasi, mengirimkan instruksi pembayaran kepada
bank dan berakhir ketika penerimaan dapat dikonfirmasi secara final. Bank sebagai
lembaga intermediary menerima perintah dan meneruskannya melalui metode
setelmen tertentu, seperti bank koresponden, PvP Link melalui sistem BI-RTGS, dan
transfer dana valuta asing secara domestik melalui bank setelmen di Indonesia.
Selain itu, terdapat pengiriman dana valuta asing yang bersifat ritel melalui sistem
remitansi. Dalam penelitian ini, pengiriman dana secara remitansi melalui lembaga
non-bank tidak termasuk dalam lingkup penelitian. Sebagian besar transaksi valuta
asing di Indonesia dilakukan melalui bank koresponden (84,33%) dan setelmen
valuta asing domestik (10,45%).
18
4.1.2. Mekanisme Setelmen melalui Bank Koresponden
Sebagian besar setelmen transaksi valuta asing yang terjadi di Indonesia
menggunakan mekanisme bank koresponden. Bank koresponden merupakan
hubungan keagenan yang dituangkan dalam suatu perjanjian antara suatu bank
dan bank lain untuk saling memberikan jasa dan/atau melakukan transaksi untuk
dan atas nama bank yang berkepentingan. Hubungan koresponden bagi suatu bank
merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung berkembangnya usaha
perbankan. Hubungan koresponden dapat dilakukan antar sesama bank dalam
suatu negara ataupun antara bank di suatu negara dan bank di negara lain.
Berdasarkan survei Bank Indonesia (2017), didapatkan hasil dari total sampel
53 bank diketahui terdapat 442 rekening pada 80 bank koresponden di 22 negara.
Sebagian besar bank koresponden tersebut berlokasi di Amerika Serikat (19,5%),
Indonesia (16,7%), Australia (11,3%), dan Singapura (10,6%). Terdapat bank yang
membuka rekening nostro tidak pada negara asal mata uang, misalnya terdapat
bank yang membuka rekening USD di salah satu bank di Korea Selatan. Pembukaan
rekening tersebut di antaranya untuk melayani kebutuhan transaksi perdagangan
(trade finance) antara kedua negara ataupun untuk forex trading. Kantor cabang
bank asing yang ada di Indonesia umumnya menggunakan kantor cabang bank
tersebut di negara lain. Rata-rata satu bank di Indonesia memiliki sembilan bank
koresponden, bahkan terdapat dua bank yang memiliki bank koresponden lebih dari
30 bank dan terdapat dua bank yang memiliki bank koresponden kurang dari tiga
bank.
4.1.3. Mekanisme Setelmen melalui Payment versus Payment (PvP) Link
Mekanisme lain yang digunakan oleh bank di Indonesia adalah PvP Link.
Dalam mekanisme PvP Link, transaksi antarbank USD/IDR dapat diselesaikan
secara bersamaan, baik IDR maupun USD. Hal itu dimungkinkan karena adanya
koneksi langsung antara sistem pembayaran di Indonesia yang mengelola rekening
IDR dan sistem pembayaran di Hong Kong yang mengelola USD.
Terdapat 37 bank di Indonesia yang menjadi peserta PvP Link. Namun, bank-
bank tersebut sangat jarang menggunakan layanan PvP Link dan cenderung tetap
menggunakan bank koresponden. Rendahnya minat bank untuk menggunakan PvP
Link disebabkan beberapa alasan: (i) counterparty tidak memilih PvP Link untuk
setelmen transaksi valuta asing yang dilakukan; (ii) penentuan mekanisme setelmen
dilakukan oleh dealer pada saat melakukan kesepakatan transaksi dan dealer
19
merasa lebih nyaman menggunakan layanan bank koresponden, (iii) pertimbangan
bisnis, yaitu dealer tidak perlu segera menyediakan dana jika setelmen dilakukan
melalui bank koresponden karena perbedaan waktu yang signifikan (dalam kasus
ini adalah USD), sedangkan jika menggunakan PvP Link, dana harus segera
disiapkan. Bank perlu mempersiapkan dana lebih cepat dengan waktu Hong Kong
apabila setelmen dilakukan di New York karena adanya perbedaan waktu yang lebih
lambat sehingga bank mempunyai waktu yang lebih leluasa untuk setelmen; (iv)
inefisiensi dalam penggunaan nostro karena harus memiliki pula rekening USD di
Hong Kong; (v) bank koresponden selama ini telah menawarkan fasilitas yang
kompetitif, seperti tingkat bunga yang menarik dan pinjaman; serta (vi) pernah
terjadi gangguan pada PvP Link sehingga kepercayaan terhadap keandalan sistem
menjadi rendah.
4.1.4. Mekanisme Setelmen melalui Transfer Domestik
Di Indonesia, selain bank koresponden dan PvP Link, juga terdapat
penyelenggaraan setelmen transaksi valuta asing domestik. Layanan itu umumnya
digunakan untuk transaksi domestik yang bersifat ritel bagi keperluan nasabah.
Pada pelaksanaan mekanisme setelmen valuta asing, para peserta membuka
rekening di salah satu bank penyelenggara transfer dana valuta asing di atas.
Transfer kepada peserta dari salah satu penyelenggara transfer dana valuta asing
akan diteruskan dalam sistem tersebut, tidak melewati bank koresponden. Dengan
mekanisme itu, proses transfer antar nasabah dapat lebih cepat dilakukan.
Berdasarkan hasil survei, rata-rata penggunaan setelmen valuta asing domestik
sebanyak 418 ribu transaksi per hari dengan rata-rata nilai transaksi harian sebesar
USD 71 juta atau secara proporsi sebesar 1,3% dari total transaksi valuta asing.
4.2. Hasil dan Pembahasan
4.2.1. Eksposur Risiko Setelmen Transaksi Valuta Asing
1. Eksposur Risiko Berdasarkan Durasi
Besarnya eksposur risiko setelmen valuta asing selain dipengaruhi oleh nilai
juga ditentukan oleh durasi setelmen dari transaksi valuta asing. Dalam proses
setelmen transaksi valuta asing, eksposur risiko terjadi dalam periode ketika
transaksi sudah tidak dapat dibatalkan secara sepihak (status I) hingga ketika
penerimaan valuta asing dapat dikonfirmasi/diidentifikasi secara final (status S/F).
Dalam praktik yang dilakukan bank, konfirmasi transaksi penerimaan secara final
20
terjadi ketika bank melakukan proses rekonsiliasi berdasarkan MT9057 yang
dilakukan pada V+1 pagi hari, sedangkan transaksi sudah tidak dapat dibatalkan
pada V-1 atau pada saat V sore hari. Durasi yang ditunjukkan pada Tabel 4
merupakan weighted average dari durasi proses setelmen transaksi valuta asing.
Tabel 4. Weighted Average Eksposur Durasi Setelmen Valuta Asing
Mata Uang USD Beli
(Jam) USD Jual
(Jam)
RMB 32 17
AUD 30 18
SGD 26 16
CAD 26 16
JPY 26 18
THB 25 20
HKD 25 16
NZD 25 15
EUR 24 17
GBP 24 17
CHF 23 16
MYR 22 5
IDR 21 19
Seperti halnya penelitian yang telah dilakukan oleh RBA (1997) dan MAS
(2001), eksposur risiko ketika USD beli lebih besar daripada USD jual karena USD
beli memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat diselesaikan secara final.
Penyebab utama dari perbedaan durasi tersebut adalah perbedaan zona waktu.
Instruksi transaksi untuk menjual USD masih dapat dibatalkan hingga sore hari V
karena adanya perbedaan waktu selama 12 jam antara Indonesia dan Amerika
Serikat. Sementara itu, identifikasi penerimaan valuta asing yang dibeli dilakukan
pada pagi hari V+1. Sebaliknya untuk proses USD beli, instruksi pembayaran telah
dilakukan terlebih dahulu, yaitu pada V-1 ataupun V pagi hari, sedangkan
identifikasi penerimaan transaksi dilakukan pada pagi hari V+1. Dengan demikian,
eksposur risiko relatif lebih singkat pada proses USD jual (sore hari V s.d. pagi hari
V+1) daripada proses USD beli (sore hari V-1 atau pagi hari V s.d. pagi hari V+1).
7 Salah satu laporan yang berasal dari penggunaan infrastruktur SWIFT untuk setelmen transaksi valuta asing melalui bank koresponden.
21
Eksposur risiko yang paling rendah adalah untuk MYR. Perbedaan zona
waktu yang relatif dekat dengan mata uang tersebut menjadi salah satu faktor
rendahnya durasi setelmen valuta asing di negara tersebut. Sebagai contoh, durasi
eksposur pembelian ringgit Malaysia (MYR) sebesar lima jam. Indonesia dan
Malaysia memiliki kedekatan jarak secara geografis dan memiliki jam operasional
RTGS yang relatif tidak berbeda jauh yaitu 06.30-18.00 untuk Indonesia dan 08.00-
18.00 untuk Malaysia. Dengan demikian, proses setelmen transaksi MYR di
Indonesia dapat lebih cepat dilakukan.
Selain itu, mata uang yang memiliki eksposur yang relatif tinggi adalah AUD
dan RMB. Eksposur yang tinggi tersebut terjadi karena bank kebanyakan tidak
membedakan waktu rekonsiliasi dari beberapa mata uang walaupun memiliki
perbedaan waktu yang kecil, misalnya rekonsiliasi transaksi AUD tetap dilakukan
pada V+1 walaupun sistem RTGS di Australia lebih dahulu ditutup sebelum
Indonesia.
2. Eksposur Risiko Berdasarkan Nilai Transaksi
Selama periode 1 April 2016 hingga 31 Maret 2017, total 53 responden
melakukan setelmen transaksi valuta asing mencapai Rp44 triliun (rata-rata
harian). Angka itu menggambarkan total transaksi dari dua belas valuta asing yang
banyak diperdagangkan di Indonesia.
Perdagangan valuta asing di Indonesia terkonsentrasi pada enam mata uang,
yaitu USD, EUR, JPY, GBP, SGD, dan AUD. Nilai transaksi USD sangat jauh lebih
tinggi jika dibandingkan dengan valuta asing lainnya, yaitu mencapai Rp34,4 triliun
per hari. Transaksi tertinggi kedua adalah EUR yang mencapai Rp2,9 triliun per
hari, JPY sebesar Rp1,7 triliun, GBP sebesar Rp1,5 triliun, SGD dan AUD masing-
masing sebesar Rp1,1 triliun dan Rp0,9 triliun per hari, sedangkan valuta asing
lainnya sebesar Rp2,8 triliun per hari. Nilai-nilai itu lebih kecil jika dibandingkan
dengan total transaksi industri karena hanya menggunakan data dari 53 bank.
4.2.2. Profil Risiko Industri
Untuk melihat eksposur risiko setelmen dari industri secara menyeluruh
(dengan memperhatikan aspek durasi dan besaran nilai transaksi), dilakukan
pemetaan terhadap pola trading dari responden, nilai setelmen transaksi, dan
praktik rekonsiliasi yang diterapkan. Pemetaan profil eksposur risiko setelmen
valuta asing pada industri dilihat dalam dua dimensi. Pertama, profil eksposur risiko
22
industri dalam satu hari (one-day, profile) dan kedua, profil eksposur risiko industri
dalam beberapa hari (inter-day, profile).
Dalam analisa ini, durasi setelmen yang digunakan merupakan weighted
average dari data yang disampaikan oleh 53 responden sehingga dapat berbeda
dengan waktu yang dilaporkan secara individual oleh responden. Penggunaan
weighted average dalam menghitung durasi telah sesuai dengan yang dilakukan
oleh CPSS (1996), RBA (1997), dan MAS (2001).
1. Profil Risiko Industri One-day
Profil industri one-day merupakan hasil pemetaan rata-rata eksposur
industri yang dihitung dari batas waktu pembatalan hingga batas waktu
rekonsiliasi. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan weighted average,
diperoleh eksposur durasi untuk transaksi pada satu hari (one-day) adalah sekitar
32 jam (atau 1 1/3 hari). Durasi eksposur valuta asing yang melebihi 24 jam
menggambarkan bahwa rata-rata eksposur transaksi valuta asing di Indonesia
relatif tinggi. Gambar 5 mengilustrasikan pola akumulasi risiko dalam satu hari
transaksi valuta asing.
Gambar 5. Risiko Setelmen: Profil One-day
Besarnya risiko eksposur valuta asing di Indonesia disebabkan oleh lamanya
instruksi pembayaran dengan proses rekonsiliasi. Beberapa bank melakukan
instruksi pembayaran dan pembatalan pada V-1, bahkan instruksi pembayaran
atau pembatalan dilakukan pada V-2. Sebagai contoh, pada transaksi USD, bank
melakukan instruksi pada sore hari V-1 atau sore hari V-2. Instruksi pembayaran
23
lebih awal dilakukan bank untuk menghindari risiko pengenaan denda karena
keterlambatan pembayaran atau batalnya kesepakatan yang telah dibuat.
Secara rata-rata eksposur transaksi valuta asing dimulai pada pukul 04.16 V
dengan nilai eksposur mencapai Rp9,5 triliun. Sebagian besar transaksi valuta asing
tersebut sudah tidak dapat dibatalkan pada waktu tersebut. Untuk mata uang JPY,
AUD, EUR, dan GBP, eksposur mulai timbul lebih cepat, yaitu sekitar pukul 23.00
V-1. Eksposur risiko mencapai titik tertinggi pada pukul 14.30 V dengan nilai Rp44
triliun. Setelah itu, eksposur risiko mulai menurun secara signifikan pada sekitar
pukul 10.30 V+1. Penurunan eksposur valuta asing disebabkan proses rekonsiliasi
telah selesai dilakukan sehingga transaksi dapat diindentifikasi statusnya, settled
atau failed. Untuk memastikan keberhasilan transaksi, bank melakukan proses
rekonsiliasi (finality of settlement) pada tanggal valuta V+1. Proses rekonsiliasi itu
dilakukan pada waktu yang relatif sama untuk semua mata uang. Praktek tersebut
dilakukan oleh semua bank yang menjadi responden, kecuali satu bank yang
melakukannya pada V malam hari.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh RBA (1997), maximum weighted
average dari durasi valuta asing yang paling banyak diperdagangkan (USD, DEM,
JPY, NZD, GBP) adalah sebesar 37 jam atau 1,5 hari kerja. Hal tersebut setara
dengan eksposur di Indonesia. Sementara itu, eksposur di Singapura mencapai 68
jam mulai dari V-1 hingga pukul 16.30 V+2. Dalam hal ini, eksposur risiko setelmen
di Indonesia relatif lebih rendah daripada Singapura. Di samping itu, terdapat pula
perbedaan pada masa peak dari eksposur. Di Indonesia, eksposur peak terjadi pada
pukul 14.30 V, sedangkan di Singapura pada pukul 09.30 V+1, dan Australia pada
pukul 22.30 V.
Tabel 5. Perbandingan Eksposur Risiko 'One-day'
Perbandingan Australia Singapura Indonesia
Durasi Eksposur 37 jam 68 jam 32 jam
Periode eksposur 14.30 V-1 s.d.
10.00 V+1
08.30 V-1 s.d.
16.30 V+2
23.00 V-1 s.d.
10.30 V+1
Eksposur peak 22.30 V 09.30 V+1 14.30 V
Sumber: RBA (1997), MAS (2001), dan Survei Setelmen Valuta Asing Bank Indonesia (2017)
2. Profil Risiko Industri Inter-day
Profil industri inter-day menggambarkan akumulasi eksposur setelmen
valuta asing di Indonesia dari waktu ke waktu. Berbeda dengan profil industri one-
day yang hanya melihat eksposur risiko valuta asing pada satu hari tertentu.
24
Perhitungan profil industri inter-day dilakukan dengan menambahkan nilai
transaksi valuta asing secara akumulatif dalam satu periode setelmen transaksi
terlama. Sebagai contoh, finality of settlement suatu transaksi valuta asing
membutuhkan waktu sekitar 40 jam (1,7 hari). Pengertian itu menunjukkan bahwa
penyelesaian satu transaksi valuta asing akan melebihi satu hari. Transaksi yang
tidak terselesaikan pada satu hari setelmen akan menambah eksposur transaksi
valuta asing pada hari berikutnya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa eksposur risiko setelmen valuta
asing semakin meningkat dari hari ke hari. Seperti halnya eksposur risiko one-day,
eksposur risiko inter-day industri mulai timbul pada pukul 07.00 V dan mencapai
puncaknya pada pukul 10.00 V+1 dengan nilai eksposur sebesar Rp93 triliun.
Besarnya eksposur pada titik puncak profil industri inter-day lebih tinggi jika
dibandingkan dengan titik puncak profil one-day industri.
Gambar 6. Risiko Setelmen: Profil Inter-day
Perhitungan eksposur secara akumulasi mengakibatkan nilai eksposur
industri profil inter-day lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai eksposur profil
industri one-day. Nilai eksposur industri inter-day lebih menunjukkan nilai aktual
eksposur risiko valuta asing yang dihadapi oleh industri di Indonesia.
3. Best Practice
Best practice mengacu pada kombinasi dari respons yang menunjukkan
waktu paling akhir untuk melakukan pembatalan transaksi dan waktu tercepat
25
untuk melakukan rekonsiliasi. Jika seluruh responden menerapkan best practice
pada setiap valuta asing yang ditransaksikan, eksposur keseluruhan dari risiko
setelmen industri terlihat seperti Gambar 7.
Gambar 7. Risiko Setelmen: Best Practice
Dalam profil tersebut, eksposur maksimum dari setelmen valuta asing dapat
dikurangi secara signifikan dari kondisi yang ada sekarang. Eksposur best practice
di industri dapat berlangsung hingga 26 jam, yaitu dari pukul 04.30 pada V hingga
pukul 06.00 pada V. Dalam model best practice ini, beberapa mata uang seperti USD,
EUR, GBP, CHF, HKD, dan RMB mempunyai eksposur yang lebih rendah dari 26
jam karena proses rekonsiliasi kurang dari 1 jam. Sementara itu, dalam praktik
sekarang, proses rekonsiliasi secara industri terjadi pagi hari V+1. Pengukuran best
practice ini meniadakan eksposur risiko inter-day karena proses setelmen dapat
diselesaikan dalam waktu kurang dari satu hari. Rendahnya durasi eksposur di
Indonesia pada best practice diduga karena waktu operasional USD lebih panjang
yang memungkinkan bank di Indonesia menunda instruksi pembayaran hingga sore
hari V.
Fenomena berkurangnya durasi eksposur sama seperti yang terjadi di
Australia dan Singapura. Dengan pendekatan best practice, durasi eksposur
berkurang hingga separuh dari perhitungan durasi maksimum eksposur. Dalam hal
ini di Australia berkurang menjadi 26 jam jika dibandingkan dengan sebelumnya
26
yang mencapai rata-rata 24 jam. Demikian pula dengan Singapura, dari eksposur
selama 68 jam menjadi 22,5 jam.
4. Worst Practice
Worst practice mengacu pada kombinasi respons, yaitu waktu tercepat saat
pembatalan transaksi sudah tidak dapat dilakukan secara sepihak dan waktu paling
lama untuk proses rekonsiliasi dari tiap-tiap valuta asing. Gambar 8 menjelaskan
eksposur risiko setelmen industri jika model worst practice diterapkan pada tiap-
tiap valuta asing.
Gambar 8. Risiko Setelmen: Worst Practice
Untuk profil one-day, eksposur risiko setelmen mulai terakumulasi pada V-2
dan mencapai puncaknya pada V sore hari. Penurunan eksposur baru mulai terjadi
pada akhir V. Eksposur terhadap worst practice dapat mencapai 57 jam. Eksposur
setelmen yang terus berlangsung lebih dari dua hari dapat diartikan bahwa nilai
akumulasi inter-day dapat tinggi mencapai hampir dua kali dari nilai transaksi
valuta asing one-day. Besarnya eksposur worst case terjadi pada bank yang relatif
kecil. Hal itu diduga karena bank tersebut mempunyai manajemen risiko dan
infrastruktur yang sederhana. Sementara itu, eksposur worst practice di Indonesia
relatif sama dengan negara lain. Studi di Australia menunjukkan durasi eksposur
transaksi worst practice di Australia lebih dari 96 jam (RBA, 1997), sedangkan di
Singapura durasi eksposur transaksi worst practice mencapai 80 jam (MAS, 2001).
27
4.2.3. Asesmen terhadap Metode Setelmen
Berdasarkan hasil asesmen terhadap metode setelmen valuta asing, bank
menilai bahwa metode PvP link, bank koresponden, dan setelmen valuta asing
domestik telah memiliki layanan sistem sesuai dengan harapan bank. Sebaliknya,
metode CLS memiliki nilai harapan dan aktual yang rendah. Hal itu diduga karena
bank di Indonesia belum mengenal sistem dan layanan CLS.
Selain itu, hasil asesmen IPA ini juga kurang selaras dengan pilihan bank
terhadap layanan setelmen. Walaupun hasil IPA terhadap PvP link cukup tinggi
(harapan sesuai dengan kondisi aktual), namun bank tidak memilih PvP link sebagai
layanan setelmen yang digunakan dengan beberapa pertimbangan sebagaimana
diuraikan pada bagian 4.1.3.
Gambar 9. IPA Metode Asesmen
Preferensi terhadap pilihan metode setelmen dapat dipengaruhi oleh layanan
dan fasilitas yang ditawarkan oleh setiap metode setelmen. Berikut adalah hasil
analisis penilaian bank terhadap indikator layanan metode setelmen (Gambar 10).
28
Gambar 10. IPA Indikator Utama pada Metode Setelmen
Gambar 10 menunjukkan bahwa terdapat delapan indikator yang berada
pada kuadran satu meliputi kecepatan setelmen, ketepatan waktu transaksi,
downtime, layanan keluhan dan customer service, kemudahan dan efisiensi, posisi
saldo secara real time, infrastruktur, serta jam operasional (operating hours).
Delapan indikator tersebut merupakan indikator yang dipandang relatif penting oleh
bank devisa dan keaktualan indikator layanan setelmen tersebut secara rata-rata
bernilai baik di atas harapan bank devisa. Indikator dengan nilai aktual tertinggi
adalah kecepatan setelmen. Sementara itu, indikator lainnya, seperti laporan, biaya,
dan saldo minimum dinilai kurang penting dalam memengaruhi keputusan sebagian
besar bank devisa dalam memilih layanan metode setelmen.
4.3. Hasil Observasi Lainnya
4.3.1. Prosedur Setelmen Transaksi Valuta Asing oleh Bank
Bank di Indonesia cenderung memperpanjang durasi eksposur setelmen
valuta asing tanpa menyadari dampak yang dapat ditimbulkan. Beberapa bank yang
berdiskusi secara langsung tentang pelaksanaan praktik setelmen cenderung
kurang memahami adanya mekanisme/prosedur terkait pembatalan transaksi atas
layanan setelmen yang diberikan oleh bank koresponden. Hal semacam itu
merupakan isu yang dapat dinegosiasikan dengan bank koresponden sehingga
mengurangi durasi eksposur.
Hal lain yang juga dilakukan oleh bank dan memperpanjang eksposur risiko
adalah pelaksanaan rekonsiliasi yang dilakukan pada satu hari setelah value date.
29
Untuk beberapa valuta asing, seharusnya tidak perlu menunggu keesokan harinya
untuk melakukan rekonsiliasi. Kebanyakan bank menganggap bahwa ketika
mendapatkan message MT202, transaksi sudah pasti akan berjalan, dana masuk
ke rekening, dan setelmen telah bersifat final. Praktik yang seharusnya dilakukan
ketika mendapatkan laporan dari bank koresponden adalah bank penerima
setelmen sesegera mungkin melakukan rekonsiliasi (RBA, 1997).
Tingginya eksposur risiko setelmen yang dihadapi industri ditengarai oleh
praktik yang dilakukan oleh bank untuk menunda proses rekonsiliasi yang
memastikan penerimaan dana secara final. Isu perbedaan waktu yang ditengarai
meningkatkan eksposur risiko saat ini telah dimitigasi dengan adanya perpanjangan
waktu sistem pembayaran di berbagai negara, khususnya di Amerika Serikat
sebagaimana terlihat dalam Tabel 6.
Tabel 6. Overlap Jam Operasional RTGS di Berbagai Negara
Negara RTGS Jam Buka Cut off Perbedaan
GMT (Jam)
Overlap
dengan
BI-RTGS
Jepang BOJ-NET 08.30 19.00 (+)2 10,5
Singapura MEPS+ 09.00 17.00 (+)1 8
Amerika Fedwire 21.00 18.30 (-)12 9
Uni Eropa TARGET2 07.00 19.30 (-)6 5
Hongkong CHATS 09.00 17.45 (+)1 8,75
Indonesia BI-RTGS 06.30 18.00 0 -
Inggris CHAPS 06.00 18.00 (-)7 5
Australia RITS 07.30 10.00 (+)3 0,5
Tiongkok CNAPS 08.30 19.30 (+)1 10,5
New Zealand ESAS 09.00 20.30 (-)6 3
Kanada LVTS 09.00 17.00 (-)12 0
Myanmar CBM-NET FTS 09.00 19.30 (-)1 10
Malaysia MyClear 08.00 18.00 (+)1 10
Untuk meningkatkan overlap dari jam operasional sistem pembayaran, sejak
tahun 1990-an, beberapa bank sentral mulai memperpanjang jam operasional
(Galati, 2002), antara lain, BOJ-NET (RTGS di Jepang) melakukan penambahan jam
operasional pada tahun 2002 dari pukul 17.00 menjadi pukul 19.00 dan LTVS
(RTGS di Kanada) memperpanjang jam operasional, pertukaran payment message
dimulai sejak pukul 01.00, bahkan saat ini, Fedwire dan CHIPS di Amerika Serikat
mempunyai jam operasional yang mencapai 20 jam. Fedwire beroperasi dari pukul
30
21.00 hari sebelumnya sampai dengan pukul 18.30 keesokan harinya atau selama
21,5 jam. Sementara itu, CHIPS beroperasi pada waktu yang bersamaan dengan
Fedwire sampai dengan pukul 17.00 atau selama 20 jam. Upaya itu dilakukan untuk
mengakomodasi perbedaan zona waktu yang cukup tinggi, terutama perbedaan
waktu dengan negara-negara di Asia.
Untuk mengurangi risiko setelmen dapat dilakukan dengan metode best
practice sebagaimana telah dipaparkan di atas, yaitu dengan
memperlambat/memundurkan batas waktu pembatalan transaksi dan
mempercepat proses rekonsiliasi. Gambar 11 berikut mengilustrasikan dampak dari
metode best practice pada durasi eksposur risiko setelmen.
Gambar 11. Mitigasi Risiko Setelmen
Sumber: RBA (1997) dengan modifikasi
4.3.2. Perbandingan Hasil Survei
Jika dibandingkan dengan survei yang dilakukan oleh CPSS G10 tahun 1996,
RBA tahun 1997, dan MAS tahun 2001, hasil survei di Indonesia terkait dengan
durasi eksposur menunjukkan nilai yang relatif tidak berbeda secara signifikan.
Durasi eksposur antara Indonesia dan Australia hanya berbeda selama 5 jam.
Indonesia memiliki durasi eksposur yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
Australia. Namun, diyakini bahwa eksposur risiko di Australia dan Singapura saat
31
ini sudah jauh lebih baik dari hasil survei sebelumnya dan dari hasil survei di
Indonesia.
Salah satu yang mendukung berkurangnya eksposur risiko setelmen di
negara tersebut adalah keikutsertaan pada layanan CLS. Layanan itu menggunakan
konsep PvP sehingga dapat mengurangi durasi dan besaran eksposur karena CLS
melakukan proses netting untuk setelmen dana. Penelitian yang dilakukan oleh
Australia dan Singapura dilakukan sebelum CLS Bank beroperasi. Australia menjadi
peserta CLS pada tahun 2002 ketika CLS pertama kali mulai beroperasi, sedangkan
Singapura menjadi peserta pada tahun 2003. Sementara itu, di Indonesia metode
setelmen melalui CLS belum menjadi salah satu pilihan.
4.3.3. Caveat
Dalam rangka memastikan data yang disampaikan oleh responden itu valid,
telah dilakukan berbagai upaya, antara lain, melakukan uji coba kuesioner kepada
Bank Mandiri, BCA, dan Standard Chartered Bank untuk memastikan kuesioner
tersebut telah dipahami dan responden dapat menjawab sesuai dengan harapan.
Selain itu, telah dilakukan pula diskusi dengan berbagai unit kerja di Bank
Indonesia yang terkait untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif
mengenai transaksi valuta asing. Tidak hanya itu, penjelasan mengenai cara mengisi
kuesioner dan cara memahami secara tepat data yang dimaksud dalam kuesioner
dilakukan juga diskusi langsung, melalui pos-el (e-mail), dan/atau melalui telepon.
Walaupun telah dilakukan berbagai usaha untuk memastikan akurasi data,
beberapa jawaban dari responden masih berpotensi tidak akurat karena
ketidakpahaman dari beberapa aspek pada kuesioner, terutama data perhitungan
waktu proses setelmen.
Beberapa upaya dilakukan untuk mengurangi ketidakakuratan data,
misalnya dengan mengonfirmasi ulang beberapa jawaban dari responden serta
melakukan diskusi terpumpun (focus group discussion) guna memastikan data yang
digunakan dan mendiskusikan hasil survei. Secara umum, dapat dinyatakan bahwa
informasi yang digunakan dalam penelitian ini cukup wajar dalam
merepresentasikan praktik setelmen transaksi valuta asing di Indonesia.
32
5. Penutup
5.1. Simpulan
Dalam dekade terakhir ini transaksi valuta asing di berbagai negara terus
meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dunia dan integrasi ekonomi
antarnegara. Hal itu sejalan dengan peningkatan transaksi valuta asing di Indonesia
dari satu miliar dolar AS per hari pada tahun 2001 menjadi lima miliar dolar AS per
hari pada tahun 2016. Valuta asing yang paling dominan diperdagangkan di
Indonesia adalah USD. Dalam menyelenggarakan transaksi valuta asing tersebut,
bank di Indonesia menggunakan layanan setelmen melalui bank koresponden di 22
negara.
Dalam pelaksanaan transaksi valuta asing, terdapat risiko inheren yang
timbul karena proses setelmen transaksi valuta asing melibatkan dua legs mata
uang pada dua sistem pembayaran yang memiliki perbedaan zona waktu. Hal itu
menyebabkan proses setelmen tidak dapat dilakukan secara bersama. Selain risiko
setelmen, terdapat pula risiko likuiditas, kredit, operasional, dan legal.
Dalam penelitian ini risiko setelmen transaksi valuta asing diukur dengan
menghitung durasi proses setelmen dan nilai transaksi yang terkait. Eksposur risiko
mulai timbul pada saat instruksi transaksi valuta asing sudah tidak dapat
dibatalkan secara sepihak hingga transaksi dapat dikonfirmasi/diidentifikasi
berhasil atau gagal. Proses identifikasi transaksi tersebut dilakukan melalui proses
rekonsiliasi. Durasi penyelesaian transaksi valuta asing di Indonesia mencapai 32
jam dengan mata uang yang proses setelmen-nya terlama adalah RMB. Durasi yang
melebihi satu hari tersebut banyak terjadi karena praktik di industri yang menunda
waktu pelaksanaan rekonsiliasi hingga sehari setelah tanggal valuta (V+1). Nilai
eksposur pada titik tertinggi adalah 44 triliun rupiah. Setelmen transaksi valuta
asing yang melebihi satu hari menyebabkan penambahan eksposur karena
transaksi yang tidak terselesaikan pada satu hari setelmen akan menambah
eksposur transaksi valuta asing pada hari berikutnya.
Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk mitigasi risiko
setelmen valuta asing, yaitu (1) memperpendek/menghilangkan gap antara waktu
operasional dari berbagai sistem pembayaran yang ada dan (2) membangun koneksi
antar sistem pembayaran yang memungkinkan adanya jaminan finality dari
pembayaran melalui mekanisme PvP.
33
Upaya mitigasi tersebut tidak hanya dilakukan dari sisi regulator dengan
penyediaan berbagai infrastruktur atau mekanisme. Industri juga perlu mengambil
inisiatif dengan bekerja sama membangun layanan multi-currency yang dapat
mengurangi risiko setelmen ataupun melakukan mekanisme bilateral/multilateral
netting untuk mengurangi eksposur. Secara individual, bank juga perlu
meningkatkan awareness untuk pengelolaan risiko setelmen yang lebih baik.
Sementara itu, regulator juga perlu memastikan upaya mitigasi risiko telah
dilakukan secara memadai, antara lain, dengan menyediakan infrastruktur yang
mendukung termasuk pula pengaturan yang tepat. Dari hasil penelitian, faktor
praktik dalam penyelenggaraan transaksi valuta asing yang dilakukan bank
berkontribusi paling besar terhadap eksposur risiko setelmen di Indonesia.
Hasil asesmen terhadap layanan setelmen transaksi valuta asing
menunjukkan bahwa layanan bank koresponden, PvP link, dan setelmen domestik
menjadi pilihan bank di Indonesia. Selain itu, terdapat delapan indikator yang
menjadi pilihan dari metode setelmen, yaitu kecepatan setelmen, ketepatan waktu
transaksi, downtime, layanan keluhan dan customer service, kemudahan dan
efisiensi, posisi saldo secara real time, infrastruktur, serta jam operasional (operating
hours).
5.2. Implikasi Kebijakan
Upaya mitigasi risiko setelmen transaksi valuta asing dapat dilakukan
dengan pengembangan infrastruktur yang memungkinkan setelmen dapat
dilakukan dengan lebih cepat dengan mekanisme PvP. Selain itu, dari sisi eksposur
nilai transaksi dapat dilakukan mekanisme netting yang dapat meningkatkan
efisiensi likuiditas. Namun, upaya yang paling utama dan juga sesuai dengan
praktik yang ditemukan di Indonesia adalah peningkatan kesadaran pengelolaan
risiko transaksi valuta asing oleh pelaku pasar dan juga Bank Indonesia sebagai
otoritas/regulator. Hal itu dapat dilakukan melalui regulasi yang mengatur
penerapan manajemen risiko pada prosedur transaksi valuta asing di bank. Selain
itu, perlu didukung oleh pengembangan metode yang dapat mempersingkat
penyelesaian transaksi dan mengurangi lag settlement. Metode multi-currency
settlement dalam sistem pembayaran di Indonesia dapat menjadi salah satu
alternatif. Pengembangan metode setelmen itu perlu pula mempertimbangkan
preferensi bank, yaitu kecepatan setelmen, keandalan sistem, efisiensi, serta fitur
layanan dan layanan jam operasional (operating hours) yang panjang.
34
Kolaborasi antara regulator dan industri sangat penting dalam upaya mitigasi
risiko transaksi valuta asing di Indonesia. Hal itu dapat difasilitasi dengan
pembentukan komite untuk mendukung penyelenggaraan transaksi valuta asing
sehingga komite itu dapat menjadi forum bersama bagi industri dan regulator untuk
mendiskusikan berbagai isu dan permasalahan dalam pasar valuta asing dan juga
menjadi forum pengembangan standar atau pedoman best practice yang digunakan
oleh pelaku pasar.
35
Daftar Pustaka
Bank for International Settlements. (2013). Trinennial Central Bank Survey - Foreign
Exchange Turnover in April 2013: preliminary global result.
Bank for International Settlements. (2016). Trinennial Central Bank Survey - Foreign
Exchange Turover in April 2016. Basle: Bank for International Settlements.
Bank Indonesia. (2013). Fitur Multi-Currency pada Pengembangan BI-RTGS Gen II.
Bank Indonesia. (2014a). Analisis Kebutuhan Penggunaan Payment versus Payment
untuk Transaksi Perdagangan Valas Antar Bank melalui Hong Kong CHATS.
Bank Indonesia. (2017). Statistik Sistem Keuangan Indonesia. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. (n.d.). Pilihan Kebijakan Sistem Pembayaran Multicurrencies pada
Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS.
Basel Committee on Banking Supervision. (February 2013). Supervisory guidance for
managing risks associated with the settlement of foreign exchange
transactions. Bank for International Settlements.
CPSS . (1993). Central Bank Payment and Settlement Services with Respect to Cross-
Border and Multicurrency Transactions.
CPSS. (1996). Settlement Risk in Foreign Exchange Transaction. Basle: Bank for
International Settlements.
CPSS. (2012). Payment, clearing, and settlement systems in Hong Kong SAR. Basle:
BIS.
EMEAP. (2001). Foreign Exchange Settlement Risk in the East Asia-Pacific Region.
EMEAP. (2001). Foreign Exchange Settlement Risk in the East Asia-Pacific Region .
EMEAP.
Galati, G. (2002). Settlement risk in foreign exchange markets and CLS Bank. BIS
Quarterly Review(Desember), 55-66.
Kodres, L. E. (1996). Foreign Exchange Markets: Structure and Systemic Risks.
Monetary Authority of Singapore. (2001). Foreign Exchange Settlement Risk Practices
in Singapore. Singapore: Monetary Authority of Singapore.
Reserse Bank of Australia. (1999). Reducing Foreign Exchange Settlement Practices in
Australia: A Progress Report. Sydney.
Reserve Bank of Australia. (December 1997). Foreign Exchange Settlement Practices
in Australia. Sydney: Reserve Bank of Australia.
Rodgers, A. (2001). Foreign Exchange and Settlement Risk Survey.
36
Soemarga, A. S., Hubeis, A. V., & Achsani, N. A. (2016). Tingkat Kepuasan Pemohon
Pensertifikatan Tanah pada Kantor Pertanahan. Jurnal Ilmu Keluarga dan
Konsumen, 53 - 64.
Taylor, M. P. (1995). The Economics of Exchange Rate. American Economics
Association.
The Foreign Exchange Committee. (1994). Reducing Foreign Exchange Settlement
Risk. New York Foreign Exchange Committee.