SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH
JILID 20
OLEH
PaneMbahan Mandaraka
Gambar sampul & Gambar dalam
Ki Adi Suta
Tahun 2020 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas
(i)
Cerita ini ditulis
Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa
Yang telah menggali cerita
Dari bumi yang tercinta
Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna
Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga
Hanyalah kecintaan akan sebuah karya
Untuk dilestarikan sepanjang masa
Sekar keluwih, Maret 2020
Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta
Serta handai taulan semua
(ii)
Ketika rombongan itu telah semakin dekat, tampak semua orang
di dalam rombongan itu mengerutkan kening masing masing.
Tidak ada seorang pun yang merasa pernah mengenal wajah itu.
Sebuah wajah yang kasar dan tampak sedikit liar dengan kumis
dan jambang yang tidak terawat sama sekali. Sepasang matanya
tampak bagaikan sepasang mata burung hantu yang siap
menerkam mangsanya. Baju dan kain panjangnya pun tampak
lusuh. Sementara ikat kepalanya terkesan hanya disangkutkan
begitu saja di kepalanya yang berambut panjang tak terawat.
“Ki Gede mengenal orang itu?” bisik Ki Rangga kemudian tanpa
berpaling.
Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian juga
dengan berbisik, “Tidak banyak orang padukuhan Klangon yang
aku kenal, hanya Ki Dukuh dan beberapa bebahunya saja.”
“Mungkin para pengawal itu mengenalnya Ki Gede,” lanjut Ki
Rangga kemudian sambil tetap mempertahankan laju derap
kudanya.
“Mungkin, Ki Rangga,” sahut Ki Gede.
Namun ketika pemimpin tanah perdikan Matesih itu kemudian
berpaling ke belakang dan memberi isyarat ke arah dua orang
pengawal Mateseih yang berkuda di belakang Ratri dan Ki Bango
Lamatan, keduanya pun tampak juga menggelengkan kepala
mereka.
“Tidak ada satu pun di antara kita yang mengenalnya,” berkata Ki
Gede selanjutnya yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh Ki
Rangga.
1
“Baiklah, aku rasa kita tidak mempunyai masalah dengan orang
itu,” desis Ki Rangga kemudian tanpa mengurangi laju kudanya,
“Kita jalan terus.”
“Ya, Ki Rangga. Kita jalan terus,” Ki Gede ikut menimpali.
Ketika Ki Rangga sempat berpaling ke belakang kearah Ki Bango
Lamatan, tampak pengawal khusus Pangeran Pati Mataram itu
pun menganggukkan kepalanya tanda setuju. Sementara Ratri
hanya menatap kosong ke arah Agul Agulnya Mataram itu.
Demikianlah rombongan itu pun memutuskan untuk tetap
meneruskan perjalanan mereka.
Dalam pada itu di rumah Ki Dukuh Klangon, tampak beberapa
orang sedang duduk duduk di pendapa. Beberapa orang lainnya
tampak hilir mudik keluar masuk rumah Ki Dukuh melalui pintu
pringgitan yang terbuka. Bahkan ada satu dua orang yang
menyusur gandhok kanan maupun kiri.
“Ki Dukuh memang sudah gila!” geram seorang yang
berperawakan tinggi besar dan berjambang lebat sambil keluar
dari pringgitan. Dibantingnya pintu pringgitan itu sehingga
terdengar suaranya yang berderak derak.
“Bersembunyi di mana engkau, Ki Dukuh? Kalau ketemu kucekik
lehermu sampai mampus!” teriak orang itu kemudian sambil
melangkah ke pendapa.
“Sudahlah Srenggi!” sahut salah seorang yang tampak sudah
sepuh namun terlihat sangat garang di antara mereka yang duduk
di pendapa. Wajahnya sekilas tampak seperti seekor singa tua
yang dipenuhi jambang dan kumis yang sudah berwarna putih
bercampur coklat kemerahan. Rambutnya yang panjang sampai
punggung dibiarkan saja terurai. Sementara ikat kepala yang
2
bewarna lurik itu terlihat seperti hanya disangkutkan begitu saja
di kepalanya.
“Tanyakan saja kepada para pengawal itu. Mungkin mereka tahu
kemana perginya Ki Dukuh,” berkata orang yang sepuh itu
kemudian dengan suara yang bagaikan geraman seekor singa.
“Baik guru,” jawab orang yang dipanggil Srenggi itu kemudian
sambil melangkah lebar menuju ke regol depan.
Melihat orang tinggi besar berjambang lebat yang dipanggil
Srenggi itu melangkah ke arah regol, tak urung para pengawal itu
pun menjadi berdebar debar.
“Nah,” berkata Srenggi kemudian sesampainya dia di hadapan
empat orang pengawal yang berdiri dengan kaki gemetaran,
“Menjelang dini hari tadi, ketika kami datang, kalian telah
mencegah kami untuk membangunkan Ki Dukuh. Kalian
menawarkan kami untuk beristirahat di gandhok kanan,” Srenggi
berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Sekarang Matahari
sudah hampir terbit dan Ki Dukuh sama sekali tidak tampak
batang hidungnya. Apa maksud kalian, he?!”
Suara Srenggi yang semakin lama semakin tinggi dan diakhiri
dengan bentakan keras itu telah membuat jantung keempat
pengawal itu semakin terguncang.
Namun salah seorang segera memberanikan diri maju selangkah
sambil membungkuk dalam dalam. Katanya kemudian dengan
suara sedikit bergetar, “Maaf Ki Srenggi. Kami hanya bertugas
menjaga keamanan sekitar kediaman Ki Dukuh ini. Kami tidak
tahu menahu kemana perginya Ki Dukuh.”
Mata Srenggi yang sudah merah darah itu semakin membelalak.
Namun sebelum dia akan berbuat lebih jauh, terdengar salah satu
3
pengawal yang bertubuh kurus menyeluthuk, “Maafkan kami Ki
Srenggi. Kami memang hanya bertugas menjaga kediaman Ki
Dukuh ini. Kami benar benar tidak tahu menahu kegiatan yang
dilakukan oleh Ki Dukuh. Namun satu hal yang dapat Ki Srenggi
jadikan pegangan, kami yang bertugas khusus di kediaman Ki
Dukuh ini adalah para pengikut Ki Dukuh yang telah bersetia
kepada Trah Sekar Seda Lepen.”
Mendengar nama Trah Sekar Seda Lepen disebut, sejenak Srenggi
tertegun. Tanpa sadar dipandanginya satu persatu keempat
pengawal yang berdiri di hadapannya itu.
“Mengapa kalian tidak ikut melarikan diri bersama Ki Dukuh yang
pengecut itu?” bertanya Srenggi kemudian dengan nada tinggi,
“Apakah kalian mengira akan selamat jika pagi ini Ki Gede
Matesih akan datang ke padukuhan ini bersama pasukan
pengawal segelar sepapan untuk meluluh lantakkan padukuhan
Klangon?”
Untuk beberapa saat keempat pengawal itu hanya saling pandang.
Namun pegawal yang bertubuh kurus itulah yang kemudian
menjawab, “Pada dasarnya kami siap menunggu perintah Ki
Dukuh. Jika Ki Dukuh mengajak kami, kami pun akan ikut.”
“Tetapi pada kenyataannya, pemimpin yang kalian agung
agungkan itu kini justru telah meninggalkan kalian,” sergah
Srenggi tetap dengan nada tinggi, “Nah, apa kata kalian
sekarang?”
Kembali keempat pengawal itu hanya dapat saling pandang. Kini
hati mereka benar benar menjadi gelisah. Dengan perginya Ki
Dukuh dan keluarganya tanpa sepengetahuan mereka, nasib
mereka seakan sudah pasti, menjadi bulan bulanan pasukan
pengawal Matesih yang mungkin akan segera datang.
4
“Jangan khawatir,” tiba tiba suara Srenggi melunak, “Kami akan
tetap di sini sambil menunggu perkembangan. Dua orang telah
aku kirim untuk mengamati keadaan di jalan jalan seperti yang
telah kalian sarankan. Karena aku mempunyai perhitungan bahwa
pagi ini Ki Gede Matesih pasti akan menyerbu padukuhan
Klangon untuk menangkap Ki Dukuh.”
Meremang bulu kuduk keempat pengawal itu. Hati mereka mulai
dijalari rasa bimbang. Kepergian Ki Dukuh dan keluarganya yang
tanpa pamit itu telah menggoncangkan hati mereka.
“Nah, kita tunggu saja berita dari Badra Brewok atau Mranggi
yang aku tugaskan untuk mengamati kedua jalur jalan keluar dari
Matesih,” Srenggi behenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sesuai
saran yang telah kalian berikan.”
Keempat pengawal itu tidak menanggapi. Hanya tampak kepala
mereka yang terangguk angguk.
“Semoga Ki Gede Matesih berubah pikiran dan tidak jadi
menyerbu padukuhan Klangon,” berkata Srenggi selanjutnya,
“Sehingga kami akan aman untuk sementara tinggal di rumah Ki
Dukuh ini sambil mengamati keadaan.”
“Apakah rombongan Ki Srenggi tidak memutuskan untuk kembali
ke lereng gunung Arjuna saja?” tiba-tiba pengawal yang berbadan
kurus itu bertanya.
Sejenak Srenggi terdiam. Namun sambil menggeleng dia
menjawab, “Aku tidak tahu. Semuanya terserah guru.”
Keempat pengawal itu hanya dapat mengangguk anggukkan
kepala mereka dengan hati yang berdebar debar.
5
“Sudahlah Srenggi!” kembali terdengar orang yang sudah sepuh
dan dipanggil guru itu berkata setengah berteriak, “Mereka sudah
memberikan keterangan sesuai dengan apa yang mereka ketahui.
Sapta Dhahana sudah jatuh dan belum terdengar lagi khabarnya.
Ki Dukuh juga telah raib entah kemana. Sebaiknya kita memantau
keadaan sambil beristirahat di tempat ini!”
Srenggi tampak menarik nafas dalam dalam untuk meredakan
gejolak dalam dadanya mendengar kata kata gurunya. Katanya
kemudian kepada keempat pengawal itu, “Jika kalian memang
telah bersumpah setia kepada Trah Sekar Seda Lepen, kalian
harus membantu kami. Keterangan sekecil apapun tentang
Matesih dan Ki Rangga Agung Sedayu beserta kawan kawannya,
harus segera kalian sampaikan kepada kami.”
Kembali keempat pengawal itu menganggukkan kepala mereka,
sedangkan Srenggi pun kemudian dengan langkah lebar
meninggalkan gardu penjagaan depan. Setelah menaiki tlundak
pendapa, Srenggi pun kemudian bergabung dengan mereka yang
telah terlebih dahulu duduk di pendapa.
“Apakah tidak ada minuman hangat dan sepotong makanan pun
yang dapat untuk mengganjal perut?” bertanya orang yang
dipanggil guru itu kemudian sambil memandang ke arah murid
muridnya.
“Guru, aku tadi melihat di dapur ada ketela dan umbi umbian di
atas amben,” sahut salah seorang cantriknya yang berwajah bulat
dan bertubuh gemuk, “Kita bisa memasak jika guru
menghendaki.”
“Pergilah ke dapur,” sahut Srenggi dengan serta merta sambil
berpaling ke arah cantrik itu, “Dua orang dapat memasak air dan
merebus ketela. Lumayan untuk sekedar mengganjal perut.”
6
Serentak cantrik bertubuh gemuk itu serta seorang cantrik yang
duduk di sebelahnya segera bangkit berdiri dan masuk ke dalam
rumah.
“Ternyata kita telah terlambat,” desis orang yang dipanggil guru
itu sepeninggal kedua orang muridnya yang pergi ke dapur,
“Menurut cerita pengawal kepadamu dini hari tadi ketika kita
datang, Sapta Dhahana telah jatuh dan sampai sekarang belum
ada beritanya.”
“Guru,” berkata Srenggi kemudian menanggapi, “Jika diijinkan
aku akan ke Matesih mencari orang yang bernama Ki Rangga
Agung Sedayu itu. Akan aku tantang dia untuk berperang tanding.
Aku tidak percaya jika Kiai Damar Sasangka yang sakti
mandraguna itu bisa dikalahkan oleh orang yang bernama Ki
Rangga Agung Sedayu.”
“Jangan gegabah, Srenggi,” geram gurunya, “Jika engkau
memasuki Matesih sekarang juga, engkau akan diburu beramai
ramai seperti para pemburu memburu binatang buruannya.
Matesih sekarang sedang mempunyai kepercayaan diri yang
sangat tinggi setelah mereka mampu menjatuhkan Sapta Dhahana
walaupun sebenarnya Ki Rangga dan kawan kawannya itulah
sebenarnya yang berperan sangat penting, setidaknya itu menurut
ceritamu dari para pengawal yang jaga semalam.”
Tampak Srenggi menarik nafas dalam-dalam mendengar
penjelasan gurunya. Ingatannya pun segera melayang ke waktu
menjelang dini hari tadi ketika mereka datang ke rumah Ki
Dukuh. Lima belas orang berkuda datang menjelang dini hari
tentu saja sangat mengejutkan para pengawal yang menjaga
kediaman Ki Dukuh Klangon.
7
“Siapakah para Ki Sanak ini?” bertanya salah seorang pengawal
yang sedang jaga saat itu setelah orang orang berkuda itu turun
dari kuda masing masing.
“Kami dari perguruan Singo Barong,” jawab gurunya pada saat itu
dengan wajah dibuat seramah mungkin agar tidak menimbulkan
kecurigaan, “Kami datang jauh jauh dari lereng gunung Arjuna
atas undangan Ki Dukuh.”
Sejenak pengawal itu termenung. Jawabnya kemudian, “Silahkan
duduk duduk di pendapa terlebih dahulu atau jika para Ki Sanak
ingin beristirahat, kalian dapat menggunakan gandhok kanan.
Kami mohon maaf sebesar besarnya jika Ki Dukuh belum dapat
menyambut pada waktu seperti ini. Biarlah hal ini akan kami
laporkan setelah Matahari terbit dan Ki Dukuh sudah bangun.”
Alasan itu memang masuk akal sehingga dini hari tadi, setelah
menambatkan kuda kuda itu di patok patok di halaman samping
kanan, rombongan dari perguruan Singo Barong yang berjumlah
lima belas orang itu segera menempati ngandhok kanan untuk
beristirahat. Namun Srenggi yang tidak merasa mengantuk telah
berbincang dengan para pengawal di gardu depan.
Dari perbincangan itulah dia mendapat berita bahwa Sapta
Dhahana telah jatuh dan Kiai Damar Sasangka telah tewas di
tangan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Jadi Kiai Damar Sasangka telah tewas?” bertanya Srenggi dengan
dada yang berdebaran. Berita tewasnya pemimpin perguruan
Sapta Dhahana itu baginya sangat tidak masuk akal.
“Benar Ki Srenggi,” jawab pemimpin pengawal jaga itu, “Kami
sendiri juga tidak percaya jika hal itu dapat terjadi. Tetapi
memang demikianlah kenyataan yang telah terjadi.”
8
“Gila!” geram Srenggi sambil menggeretakkan giginya dan
mengepalkan kedua tangannya, “Jika guru mengijinkan, ingin
rasanya aku sekarang juga pergi ke Matesih untuk mencari orang
yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu.”
“Untuk apa?” seorang pengawal justru telah bertanya dengan nada
ragu ragu.
“Tentu saja untuk membunuhnya!” jawab Srenggi cepat, “Akan
aku buktikan bahwa perguruan Singo Barong tidak dapat
dipandang dengan sebelah mata!”
Tetapi sambutan para pengawal jaga di regol rumah Ki Dukuh itu
justru telah mengejutkan Srenggi.
“Sebaiknya jangan, Ki Srenggi,” berkata pemimpin pengawal jaga
itu kemudian, “Kemarin pagi juga telah jatuh korban karena
perhitungan yang terburu nafsu.”
Srenggi mengerutkan keningnya. Tanya kemudian, “Apa
maksudmu?”
Pemimpin pengawal itu menarik nafas sejenak. Jawabnya
kemudian, “Tamu Ki Dukuh yang bernama Pertapa dari goa
Langse beserta murid muridnya juga telah menjadi korban
kemarin pagi.”
“He?” jika ada seribu petir yang menyambar di atas kepala Srenggi
saat itu, tentu dia tidak akan seterkejut mendengar berita dari
pemimpin pengawal itu.
“Apa katamu? Pertapa goa Langse menjadi korban?” bertanya
Srenggi kemudian dengan serta merta.
9
“Ya. Benar Ki,” jawab pemimpin pengawal itu. Kemudian dia
segera menceritakan berita yang didengarnya sore tadi bahwa
tamu Ki Gede yang bernama Pertapa dari goa Langse dan murid
muridnya telah tidak kembali ke rumah Ki Dukuh lagi. Bahkan
berita terakhir yang didengarnya, Pertapa goa Langse itu telah
tewas dan dimakamkan siang kemarin.”
“Aku harus memberitahu guru!” geram Srenggi kemudian sambil
bergegas meninggalkan regol.
“Guru,“ tiba tiba terdengar suara seseorang membangunkan
lamunan Srenggi, “Jika guru meragukan kemampuan kakang
Srenggi sendirian menghadapi Ki Rangga, bagaimana jika kami
bertiga, kakang Srenggi, aku dan adi Gentho yang menantang Ki
Rangga Agung Sedayu? Aku kira kekuatan kami bertiga jika
digabung akan dapat mengatasi Agul Agulnya Mataram itu.”
Untuk sejenak gurunya terpekur. Bebagai pertimbangan pun hilir
mudik di dalam benaknya.
“Aku belum mengetahui kekuatan sebenarnya yang tersimpan
dalam diri orang yang bernama Agung Sedayu murid orang
bercambuk itu,” berkata gurunya kemudian, “Sejauh
pengetahuanku, beberapa nama yang kondang kawentar telah
dikalahkannya. Ajar Tal Pitu yang mampu membelah diri menjadi
tiga dengan aji kakang kawah adi ari ari, Manohara yang mampu
meledakkan sasarannya dengan aji petirnya, Panembahan Cahya
Warastra yang dapat bertiwikrama menjadi raksasa sebesar bukit,
dan terakhir Kiai Damar Sasangka yang kabarnya sudah kalis dari
pati namun pada akhirnya dapat dikalahkan juga oleh Ki Rangga
Agung Sedayu,” gurunya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Dan berita terakhir dari para pengawal jaga, Pertapa goa Langse
pun telah menjadi korban, bukan oleh Ki Rangga, akan tetapi
justru oleh adik sepupunya.”
10
Sejenak suasana menjadi sunyi, mereka masing masing tampak
sedang merenungi keterangan gurunya itu.
“Alangkah dahsyat dan tingginya ilmu Ki Rangga itu,” berkata
hampir semua cantrik dan putut yang ada di pendapa itu dalam
hati, “Lawan-lawannya masing masing mempunyai ilmu yang
aneh dan nggegirisi namun semua dapat dijinakkan dan pada
akhirnya tunduk dengan kemampuan Ki Rangga.”
“Guru,” berkata Srenggi kemudian setelah sejenak mereka
terdiam, “Jika orang orang yang telah guru sebutkan tadi masing
masing mempunyai ilmu yang dahsyat dan nggegirisi serta sudah
jarang kita jumpai saat ini, bagaimanakah sebenarnya ilmu Ki
Rangga sendiri? Ilmu apakah yang telah membuatnya begitu sekti
mandraguna ora tedas papak palune pandhe sisane gurinda?”
Serentak semua mata pun tertuju ke arah guru mereka. Masing
masing menunggu keterangan apa saja tentang diri Ki Rangga dari
guru mereka.
Gurunya menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum
menjawab. Tampak kerut merut di wajah orang tua itu pun
semakin dalam. Jawabnya kemudian sambil menegakkan
punggungnya, “Aku tidak bisa memerinci satu persatu ilmu yang
telah dikuasai oleh Ki Rangga. Namun yang aku dengar,
perguruan bercambuk adalah perguruan turun temurun dari
jaman ketika kerajaan Majapahit masih berdiri tegak. Salah
satunya adalah perguruan Windujati,” orang tua itu berhenti
sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian,
“Kalian tidak usah bertanya ilmu apa saja yang menjadi ciri
perguruan Windujati. Kalian akan melihat bagaimana Ki Rangga
sebagai murid utama orang bercambuk itu dalam memainkan
cambuknya dengan sangat sempurna. Selain itu aku juga
mendengar bahwa murid utama orang bercambuk itu juga bisa
11
membelah diri menjadi tiga seperti aji kakang kawah dan adi ari
ari yang menjadi ciri perguruan Tal Pitu, menciptakan kabut yang
tidak tembus pandang dan juga mempunyai ilmu kebal yang sulit
untuk ditembus oleh ilmu lawan, baik serangan tangan kosong
maupun yang menggunakan senjata tajam.”
Suasana benar benar menjadi sunyi. Murid murid perguruan
Singo Barong seolah tersihir oleh penjelasan gurunya.
“Dan yang lebih dahsyat lagi,” berkata pemimpin perguruan Singo
Barong itu selanjutnya, “Ki Rangga Agung Sedayu mempunyai
sejenis ilmu yang aneh dan nggegirisi. Ki Rangga mampu
mengungkapkan puncak ilmunya melalui sorot matanya.”
“He?!” semua orang yang berada di pendapa itu terkejut bukan
alang kepalang. Ilmu yang mampu diungkapkan melalui sorot
mata konon khabarnya hanya terdapat dalam cerita cerita babat
dan pewayangan. Mereka belum pernah mendengar apalagi
mengalami sendiri kedahsyatan ilmu sorot mata itu.
“Betapapun seseorang itu mampu bergerak secepat tatit yang
meloncat di udara,” membatin Srenggi dalam hati kemudian,
“Namun tidak mungkin akan mampu menandingi kecepatan gerak
sebuah sorot mata. Kemana pun seseorang itu bergerak, dengan
kecepatan setinggi apapun, pasti lebih cepat dari gerakan sebuah
sorot mata.”
Diam diam Srenggi bergidik ngeri. Benar benar sebuah ilmu
langka yang belum pernah didengar dan dialaminya sendiri.
Demikian lah ternyata uraian panjang lebar gurunya itu telah
membuat murid muridnya membeku. Jika keterangan gurunya itu
benar atau setidaknya mendekati kebenaran, alangkah dahsyat
12
ilmu orang yang namanya sudah kawentar kajalandriya di
seluruh tlatah Mataram itu?
“Guru,” akhirnya Srenggi tidak dapat menahan diri lagi. Maka
tanyanya kemudian, “Jika benar Ki Rangga memiliki ilmu yang
sedhasyat itu, apakah perguruan kita mempunyai bekal untuk
dapat menghadapinya?”
Gurunya tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Jika kalian
bertiga saja, aku yakin Ki Rangga masih belum menemui kesulitan
untuk menundukkan kalian. Namun jika aku ikut bergabung di
dalamnya, aku yakin kita berempat akan dapat menundukkannya
walaupun harus disertai dengan perjuangan yang cukup berat dan
tentu saja harus disertai dengan sebuah siasat.”
Serentak mereka yang hadir di pendapa itu terangguk angguk.
Memang mengalahkan seorang lawan yang pilih tanding tidak
harus dengan benturan ilmu saja. Gurunya beranggapan bahwa
siasat dan kecerdikan itu sangat diperlukan walaupun kadang
dengan menggunakan cara yang sedikit licik dan menipu.
Sejenak suasana menjadi sepi. Sementara itu Matahari masih
belum benar benar terbit, namun cahayanya yang membias mega
mega di langit timur sudah mulai membuat alam sekitarnya
menjadi terang.
“Jika kita benar benar akan berhadapan dengan Ki Rangga Agung
Sedayu, kalian bertiga mempunyai tugas untuk memecah
perhatiannya,” berkata gurunya selanjutnya memecah kesepian,
“Ketika aku mendengar Agul Agulnya Mataram itu telah berhasil
membunuh Panembahan Cahya Warastra yang mampu berubah
menjadi raksasa sebesar bukit dengan aji brahala wurunya, aku
mendengar bahwa raskasa itu tewas menjadi seonggok pecahan
tulang dan serpihan daging terkena ilmu sorot mata Ki Rangga.”
13
Semua murid yang mendengar keterangan gurunya itu menjadi
bergidik ngeri. Mereka hanya dapat membayangkan kedahsyatan
dan kekuatan yang dipancarkan melalui sorot mata itu.
“Bukit pun akan runtuh dan gunungpun akan jugrug,” membatin
murid murid Singo Barong itu. Hampir setiap dada pun telah
bergetar.
“Ketika perguruan Sapta Dhahana menjalin hubungan dengan
Trah Sekar Seda Lepen, dan Ki Dukuh Klangon ini menjadi
perantara untuk bergabung dengan Sapta Dhahana, aku mulai
memikirkan orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu,”
berkata gurunya selanjutnya.
“Mengapa guru memikirkan orang yang bernama Ki Rangga
Agung Sedayu itu? Apakah orang itu ada hubungannya dengan
perguruan kita?” bertanya Srenggi kemudian sambil menatap
gurunya dengan pandangan penuh tanda tanya.
Gurunya tersenyum menanggapi pertanyaan murid utamanya itu.
Jawabnya kemudian, “Perjuangan Trah Sekar Seda Lepen cepat
atau pun lambat pasti akan terendus oleh para petugas sandi
Mataram. Karena bagaimana pun juga, Trah Sekar Seda Lepen
pasti akan dianggap sebagai pemberontak yang ingin
menggulingkan Mataram.”
“Dan hubungannya dengan Ki Rangga?” sahut salah satu
muridnya yang duduk di sebelah Srenggi.
Kembali gurunya tersenyum kearah salah satu muridnya itu.
Jawabnya kemudian, “Ketahuilah Gentho, jika Mataram
memutuskan untuk menghancurkan Trah Sekar Seda Lepen yang
dianggap akan memberontak, tentu Ki Rangga Agul Agulnya
Mataram itu yang akan ditugaskan, dan ternyata perhitunganku
14
mendekati kebenaran. Hanya saja Ki Rangga tidak memimpin
pasukan segelar sepapan dari Mataram, namun menggunakan
para pengawal perdikan Matesih untuk menghancurkan Sapta
Dhahana.”
Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi. Masing masing
sedang tenggelam dalam angan angan yang bermacam macam.
“Guru,” tiba tiba seseorang yang duduk di sebelah Gentho
bertanya, “Karena keadaan telah berkembang seperti ini, apakah
tidak sebaiknya kita kembali ke lereng gunung Arjuna saja?”
“Tidak, Gandhung,” sahut gurunya cepat, “Kita perlu istirahat
sejenak di rumah Ki Dukuh ini sambil mengawasi keadaan. Selain
itu aku ingin mengetahui keberadaan Trah Sekar Seda Lepen itu
sendiri. Berita yang kita terima hanya Sapta Dhahana telah jatuh
dan Kiai Damar Sasangka telah tewas. Sementara keberadaan
Trah Sekar Seda Lepen itu belum ada beritanya.”
Murid murid perguruan Singo Barong yang hadir di pendapa itu
pun tampak mengangguk anggukkan kepala mereka. Agaknya
keinginan gurunya untuk bergabung dengan perjuangan Trah
Sekar Seda Lepen setelah jatuhnya Sapta Dhahana belum padam.
Gurunya ingin meyakinkan bahwa Trah Sekar Seda Lepen masih
selamat dan akan membangun kekuatan lagi di masa mendatang.
“Apakah memang Wahyu Keprabon itu akan berpindah kepada
Trah Sekar Seda Lepen?” pertanyaan itupun menghantui setiap
kepala.
“Aku tahu kalian mungkin heran mengapa aku tetap akan
mendukung Trah Sekar Seda Lepen?” bertanya gurunya kemudian
demi melihat wajah wajah muridnya sedikit menyimpan
keraguan.
15
“Aku tahu kalian mungkin heran mengapa aku tetap akan mendukung
Trah Sekar Seda Lepen?” bertanya gurunya kemudian…
16
“Ya guru,” jawab Srenggi dengan serta merta, “Kami semua belum
mengerti alasan guru yang sebenarnya untuk mendukung orang
yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu.”
Tampak gurunya menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk
angguk. Katanya kemudian, “Trah Sekar Seda Lepen adalah trah
yang memang seharusnya menduduki tahta di negeri ini. Orang
yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu adalah trah dari
Harya Mataram, adik Harya Penangsang yang telah tewas karena
kelicikan Juru Mertani, orang dari Sela itu. Harya Penangsang dan
Harya Mataram kakak beradik itu adalah putera Pangeran
Surawiyata yang dibunuh secara licik oleh orang suruhan Prawata,
anak Trenggana, agar tahta Demak yang seharusnya jatuh
ketangan Pangeran Surawiyata dapat berpindah kepada
Trenggana. Prawata sampai hati berbuat licik dan tega menyuruh
orang membunuh pamannya sendiri itu mempunyai pamrih agar
ayahnya lah yang akhirnya menduduki tahta Demak, dan pada
akhirnya suatu saat nanti tahta Demak akan dilintirkan kepada
dirinya.”
Murid murid perguruan Singo Barong itu tampak terpekur
mendengar penuturan gurunya. Sejarah negeri ini memang telah
carut marut dengan ketamakan dan kebusukan hati dalam
merebut tahta dan kekuasaan. Kini merekapun sedang
dihadapkan pada dua pilihan, mendukung Mataram ataukah
mendukung Trah Sekar Seda Lepen.
“Jadi, Mataram sekarang menguasai negeri ini karena hasil tipu
daya dan akal licik orang yang bernama Juru Mertani itu,” berkata
gurunya selanjutnya, “Sekarang orang dari Sela itu sudah mukti
wibaba dan memegang kekuasaan di seluruh Mataram. Siapapun
yang menjadi Raja di Mataram, pada hakekatnya hanyalah sebagai
Golek Kencana orang dari Sela itu. Dialah yang sebenarnya
menjadi Raja tetapi tanpa mahkota. Padahal jika kita telisik, dia
17
sama sekali tidak mempunyai trah kusuma rembesing madu. Dia
hanya seorang pidak pedarakan. Seorang petani miskin dari
keluarga miskin yang berasal dari padukuhan Sela.”
Penuturan gurunya itu sedikit banyak telah menggugah hati murid
muridnya. Wahyu keprabon harus dikembalikan kepada yang
berhak, yaitu jalur dari Raden Patah sebagai pendiri kerajaan
Demak Bintara.
“Nah, karena alasan itulah aku telah memantapkan diriku untuk
bergabung dengan perguruan Sapta Dhahana yang telah menjalin
kerja sama dengan Trah Sekar Seda Lepen,” lanjut pemimpin
perguruan Singo Barong itu kemudian.
Tampak kepala murid muridnya terangguk angguk. Sekarang
mereka baru menyadari bahwa gegayuhan gurunya itu
memerlukan perjuangan yang sungguh sungguh dan pantang
menyerah.
“Jadi, apa rencana kita selanjutnya, guru?” bertanya Srenggi
kemudian setelah sejenak mereka terdiam.
Gurunya menggeser duduknya setapak sebelum menjawab
pertanyaan murid utamanya itu. Jawab gurunya kemudian,
“Seperti yang telah aku sampaikan beberapa saat tadi. Jika kita
telah bergabung dengan Trah Sekar Seda Lepen dan kemudian
benar benar terjadi benturan dengan Mataram, aku sudah
menyediakan diri untuk menghadapi Agul Agulnya Mataram itu.”
“Bagaimana dengan ilmu sorot matanya itu, guru?” bertanya
Gandhung menyela kata kata gurunya.
Gurunya tersenyum. Jawabnya kemudian, “Sudah lama
sebenarnya aku memikirkan tentang ilmu Ki Rangga, terutama
ilmu sorot mata itu. Kuncinya sebenarnya adalah ada pada
18
kecepatan gerak. Kita akan menggunakan ilmu rahasia warisan
perguruan kita turun temurun yang berlandaskan pada kecepatan
bergerak. Ilmu rahasia itu memang harus ditrapkan dalam
berkelompok untuk memancing lawan terjebak di dalam lingkaran
yang sengaja kita ciptakan. Delapan langkah rahasia bintang
beralih itulah yang akan kita gunakan untuk menjebak Ki
Rangga,” gurunya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kalian
bertiga bertugas memecah perhatiannya. Walaupun Ki Rangga
dapat mengunakan ilmunya untuk memecah diri menjadi tiga,
namun masih tersisa aku sendiri yang akan luput dari
perhatiannya. Di saat dia terpecah perhatiannya itulah aku akan
melibasnya dengan ilmu puncak perguruan kita. Belum ada
seorang pun selama ini yang mampu selamat dari gempuran ilmu
puncak perguruan kita.”
Kembali mereka terangguk-angguk. Hati mereka yang semula
tinggal semenir telah berkembang kembali. Delapan langkah
rahasia bintang beralih adalah ciri khas perguran Singo Barong
turun temurun yang sangat dahsyat dan belum ada orang yang
mampu memecahkan rahasianya untuk keluar dari kepungan
barisan bintang beralih dalam keadaan hidup. Mereka telah sering
melatihnya bertiga bersama gurunya tanpa mengetahui maksud
dan tujuannya.
“Selama ini guru melatih ilmu rahasia perguruan kita tanpa kenal
lelah dan tanpa menyampaikan untuk tujuan apa. Ternyata guru
memang sengaja menyiapkan khusus untuk menghadapi Agul
Agulnya Mataram itu,” membatin Srenggi dalam hati sambil
mengangguk angguk, “Memang ilmu itu dikembangkan dari
sebuah gelar perang, gelar Cakra Byuha. Namun gelar ini hanya
untuk sekelompok orang saja, paling banyak empat atau lima
orang.”
19
Tiba tiba suasana pagi yang tenang itu telah dipecahkan oleh suara
raungan panah sendaren yang membelah langit padukuhan
Klangon dua kali berturut turut. Serentak beberapa orang segera
berloncatan turun dari pendapa.
“Agaknya Badra Brewok telah melihat sesuatu,” desis Srenggi yang
tidak ikut turun ke halaman sambil mengamat amati langit yang
baru saja terbelah dengan suara raungan panah sendaren dua kali
berturut turut.
“Untunglah engkau berpikir cepat, Srenggi,” berkata gurunya
sambil ikut mengamati langit dari tempat duduknya. Lanjutnya
kemudian, “Berapa orang yang engkau tempatkan sebagai petugas
sandi, Srenggi?”
“Aku hanya menempatkan dua orang, guru” jawab Srenggi
kemudian, “Badra Brewok bertugas di jalur yang menghubungkan
Matesih langsung dengan padukuhan Klangon, sedangkan
Mranggi aku suruh menempati jalur yang mengarah ke
kademangan Salam, sesuai dengan petunjuk para pengawal yang
bertugas jaga dini hari tadi,” Srenggi berhenti sebentar. Lanjutnya
kemudian, “Menurut keterangan pengawal jaga dini hari tadi,
sudah ada perguruan yang datang ke tempat ini dan agaknya nasib
mereka sangat jelak. Pertapa goa langse itu mati terbunuh di
halaman banjar padukuhan induk Matesih oleh adik sepupu Ki
Rangga. Demikian berita yang tersebar kemarin. Maka aku telah
menempatkan pengawas di jalur yang menghubungan Matesih
dengan padukuhan Klangon. Aku khawatir jika Ki Gede Matesih
dan pasukannya pagi ini akan memasuki Klangon dan meluluh
lantakkan padukuhan Klangon, terutama mereka tentu akan
mencari Ki Dukuh.”
Tampak gurunya mengagguk angguk. Katanya kemudian, “Itulah
agaknya mengapa Ki Dukuh telah hilang dari rumahnya,” gurunya
20
berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Segera jemput mereka.
Menilik panah sendaren yang dilepaskan Badra Brewok, orang-
orang yang keluar dari perdiakan Matesih itu berjumlah lebih dari
dua orang namun bukan pasukan segelar sepapan. Siapapun
mereka, kita tidak perduli. Agaknya memang sudah menjadi nasib
mereka mati di halaman rumah Ki Dukuh ini,” gurunya berhenti
sebentar. Lanjutnya kemudian dengan desis yang sangat perlahan,
“Sayang Ki Dukuh telah pergi. Agaknya Ki Dukuh menjadi sangat
ketakutan setelah Pertapa goa Langse terbunuh di bajar Matesih.
Kasihan Ki Dukuh.”
Srenggi yang mendengar desis perlahan gurunya itu hanya
berpaling sekilas, namun tidak menanggapi. Segera saja dia
memberi isyarat dengan mengangkat empat jarinya ke arah murid
murid perguruan Singo Barong yang telah bergerombol di
halaman. Sejenak kemudian empat orang telah meloncat ke atas
punggung kuda masing masing dan berderap keluar halaman.
Dalam pada itu, Ki Rangga dan rombongan yang telah melewati
orang yang sedang berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya
di depan dada itu sama sekali tidak menaruh curiga. Tampak dari
sikapnya yang acuh, orang itu memang seolah olah tidak
memperhatikan sama sekali terhadap rombongan berkuda yang
lewat beberapa langkah di hadapannya.
Namun Ki Rangga yang mempunyai panggraita tajam segera
melihat sebuah busur lengkap dengan endong berisi beberapa
anak panah tergeletak di bawah pohon.
Ki Bango Lamatan pun ternyata juga telah melihatnya. Kedua
orang itu menjadi berdebar bedar. Adalah hal yang tidak wajar
jika di pagi yang masih berkabut itu ada orang berdiri di pinggir
jalan dengan peralatan yang biasanya digunakan untuk berburu.
21
“Jika aku menjumpai orang seperti ini di pinggir hutan, tentu
tidaklah aneh,” membatin Ki Rangga sambil mencoba
mengamatai wajah orang itu.
Agaknya orang itu pun tampaknya sedang memperhatikan Ki
Rangga walaupun hanya sekilas. Namun yang sekilas itu ternyata
telah membuat orang itu mengerutkan keningnya dalam dalam.
“Siapakah dia?” pertanyaan itu menghantui benaknya, “Wajahnya
begitu tenang berwibawa, tampan tapi sangat luruh dan sederhana
namun mempunyai sorot mata yang sangat tenang bagaikan
telaga yang tak berdasar. Siapakah dia sebenarnya?”
Tampak orang itu menarik nafas dalam dalam sambil kembali
melemparkan pandangan matanya ke arah rombongan berkuda
itu. Namun kali yang diamatinya adalah Ki Gede Matesih.
“Yang berkuda di sebelah orang aneh itu sudah jelas Ki Gede
Matesih,” membatin orang berewokan itu sambil pura pura
melemparkan pandangan matanya kembali jauh ke samping kiri,
“Wajahnya yang terlihat masih cukup muda namun rambut
hampir memutih semua, demikian gambaran yang diberikan para
pengawal yang jaga di rumah Ki Dukuh Klangon tadi. Apalagi
tombak bermata tiga yang disangkutkan dipelan kudanya, sudah
tidak diragukan lagi jika orang itu adalah Ki Gede Matesih.”
Orang itu berhenti berangan angan sejenak. Ketika dia kemudian
mencoba meneliti wajah yang lain, orang itu pun menjadi semakin
yakin jika rombongan itu adalah rombongan dari perdikan
Matesih.
“Dua orang yang berkuda di belakang itu pasti para pengawal
Matesih,” kembali orang itu bergumam dalam hati, “Menilik
pakaian khusus yang digunakan. Namun aku tidak tahu siapakah
22
yang lainnya? Pemuda yang sangat tampan itu mungkin putera Ki
Gede Matesih. Namun terlalu tampan dan halus gerak geriknya
untuk seorang laki laki. Sedangkan orang tinggi besar dan
berjambang itu kelihatannya tidak begitu menarik.”
Kembali orang itu berpura pura melihat langit yang masih
tertutup kabut tipis.
“Tapi kemanakah tujuan Ki Gede Matesih sepagi ini? Mengapa dia
tidak membawa pasukan segelar sepapan untuk membumi
hanguskan padukuhan Klangon?” kembali orang berewokan itu
memeruskan angan angannya.
“Ah, apa peduliku!” geram orang berewokan itu dalam hati
kemudian, “Aku hanya ditugaskan oleh kakang Srenggi untuk
menjaga jalur jalan dari Matesih ke padukuhan Klangon ini.
Siapapun yang terlihat mencurigakan melewati jalur jalan ini
harus dilaporkan. Tidak menutup kemungkinan ini adalah
rombongan Ki Gede Matesih yang akan menangkap Ki Dukuh
Klangon.”
Demikianlah setelah orang itu yakin rombongan berkuda yang
lewat beberapa langkah di hadapannya itu adalah rombongan Ki
Gede Matesih. Segera saja diraihnya busur dan dua anak panah
yang tergeletak di bawah pohon.
Sejenak kemudian begitu rombongan itu telah lewat beberapa
tombak jauhnya dari tempatnya berdiri, dua anak panah sendaren
berturut turut segera tampak melesat ke udara. Segera saja udara
yang tenang pagi itu telah dirobek oleh suara raungan panah
sendaren dua kali berturt turut.
Alangkah terkejutnya Ki Gede Matesih dan rombongan. Serentak
mereka segera berpaling ke belakang, ke arah tempat di mana
23
orang berewokan tadi berdiri. Sementara suara raungan panah
sendaren dua kali berturut turut telah menembus batas
membangunkan padukuhan Klangon yang masih sepi.
Namun apa yang mereka jumpai kemudian adalah sangat
mengejutkan. Orang berewokan yang telah melepaskan panah
sendaren itu ternyata telah berlari menembus gerumbul dan
perdu ke arah tebing sungai yang berada di sisi barat dari jalur
jalan itu. Sejenak kemudian bayangan orang berewokan itu pun
telah hilang di balik tanggul sungai yang tinggi.
“Gila!” desis Ki Bango Lamatan kemudian sambil bersiap
meloncat turun dari kudanya. Namun dengan sebuah isyarat Ki
Rangga telah mencegahnya.
“Tidak usah dikejar Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Rangga
kemudian sambil menghentikan kudanya. Yang lain pun
kemudian ikut berhenti.
Sambil membalikkan kudanya Ki Rangga pun kemudian berkata,
“Kita tidak tahu apa tujuan orang itu tadi melepaskan panah
sendaren. Mungkin dia sedang memberikan isyarat kepada kawan
kawannya di depan sana,” Ki Rangga berhenti sebentar sambil
memandang ke arah Ki Gede. Lanjutnya kemudian, “Bagaimana
Ki Gede? Apakah perjalanan ini perlu dilanjutkan?”
Tampak wajah Ki Gede ragu ragu sejenak. Ketika terpandang
olehnya wajah anak perempuan semata wayangnya, Ki Gede pun
menarik nafas dalam dalam.
“Ayah,” tiba tiba justru Ratrilah yang menanggapi, “Bagaimana
jika kita batalkan saja perjalan lewat padukuhan Klangon ini? Kita
memutar melewati padukuhan Salam saja. Walaupun perjalanan
akan semakin jauh namun kemungkinannya akan lebih aman.”
24
“Belum tentu,” sahut Ki Bango Lamatan dengan serta merta, “Kita
tidak tahu apa sebenarnya yang sedang kita hadapi. Tidak
menutup kemungkin jalur jalan yang lewat padukuhan Salam pun
juga dalam pengawasan.”
Terlihat orang orang dalam rombongan berkuda itu terangguk-
angguk.
“Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian, “Kita lanjutkan perjalanan,
namun aku harap semua meningkatkan kewaspadaan. Apapun
yang kalian lihat atau dengar, jika itu mencurigakan menurut
kalian, segera beritahu Ki Rangga. Ki Rangga berhak memutuskan
untuk kelanjutan rombongan ini.”
Tampak kembali kepala orang orang dalam rombongan itu
terangguk angguk. Demikianlah rombongan itu segera
meneruskan perjalanan dengan derap yang tenang dan tidak
begitu kencang.
Namun rombongan Ki Gede itu telah dikejutkan oleh suara derap
kaki kaki kuda yang terdengar dari balik kelokan jalan di hadapan
mereka. Sejenak kemudian, mereka tidak harus menunggu terlalu
lama, empat ekor kuda beserta penungangnya pun muncul.
Keempat penunggang kuda itu tampak berpacu dengan tergesa
gesa. Ketika mereka kemudian berpapasan, hanya beberapa orang
saja yang berpaling sekilas. Tampaknya mereka mengacuhkan saja
rombongan Ki Gede itu.
Namun panggraita Ki Rangga yang sangat tajam telah
mengisyaratkan sesuatu yang tidak wajar. Entah mengapa isyarat
itu begitu kuatnya memukul mukul dinding dinding hatinya
seolah olah memberitahukan kepadanya bahwa sesuatu yang
sangat berbahaya sedang siap menerkam rombongan itu.
25
“Jika ada segolongan orang yang sengaja mencegat rombongan
ini, yang harus didahulukan adalah keselamatan Ratri,” membatin
Ki Rangga sambil menarik nafas dalam dalam, “Jika orang orang
mengetahui salah satu di antara kita ada seorang perempuan yang
lemah, tentu mereka akan berusaha untuk menawannya sehingga
akan melemahkan perjuangan yang lainnya.”
Berpikir sampai disitu, jantung Ki Rangga semakin berdentangan.
Sementara derap empat ekor kuda di belakang mereka yang
muncul dari kelokan jalan itu semakin menjauh.
Untuk beberapa saat orang orang yang berada dalam rombongan
Ki Gede itu dapat bernafas lega. Ketika mereka kemudian
berbelok, keempat orang berkuda itu sudah tidak tampak
bayangannya lagi.
Namun tidak ada sepenginang sirih, rombongan Ki Gede itu pun
kembali dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda dari arah
belakang mereka. Ketika mereka kemudian berpaling ke belakang,
tampak empat ekor dengan penunggangnya yang berpapasan tadi
ternyata telah memutar haluan dan sekarang telah bergerak
berjajar memenuhi jalan. Seolah olah dengan sengaja mereka
telah menutup jalan untuk kembali.
“Gila!” kembali Ki Bango Lamatan mengumpat, “Permainan apa
lagi ini? Mari kita beri mereka pelajaran bahwa rombongan ini
bukan rombongan para pelancong atau pelesiran yang dengan
mudahnya dapat mereka permainkan!”
“Tidak usah Ki Bango Lamatan,” sahut Ki Rangga yang berkuda di
depan tanpa berpaling, “Kita ikuti saja apa permainan mereka.
Lebih baik kita mengetahuinya sekarang dari pada sepeninggal
kita, Matesih akan terganggu dengan kegiatan orang orang yang
tak di kenal ini.”
26
Ki Bango Lamatan hanya dapat menarik nafas dalam dalam untuk
meredakan gejolak di dalam dadanya.
“Beberapa rumah lagi, di depan adalah rumah Ki Dukuh
Klangon,” tiba tiba Ki Gede berdesis perlahan namun cukup
mengejutkan Ki Rangga.
“Yang mana Ki Gede?” bertanya Ki Rangga kemudian sambil
mengamat amati beberapa regol rumah di hadapannya.
“Yang regolnya paling besar dan tinggi itulah rumah Ki Dukuh,”
jawab Ki Gede sambil menunjuk sebuah rumah yang terletak
masih beberapa tombak jauhnya.
Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun belum sempat Ki
Rangga menilai rumah dengan regol yang besar dan tinggi itu, dari
dalam regol telah keluar enam orang lengkap dengan senjata yang
tergantung di lambung. Mereka segera turun ke jalan dan
kemudian berdiri berjajar jajar sepertinya dengan sengaja
mencegat rombongan itu.
Sekarang barulah mereka yang berada di dalam rombongan itu
menyadari bahwa mereka memang dengan sengaja telah di jebak.
Ketika rombongan Ki Gede itu telah semakin dekat, salah seorang
yang berdiri di depan segera mengangkat tangan meminta
rombongan itu untuk berhenti.
Sebenarnya jika saja dalam rombongan itu tidak ada Ratri, Ki
Bango Lamatan lebih suka mengambil jalan pintas yang cukup
keras dan tegas. Memacu kuda kuda itu sekencang kencanganya
untuk menerjang orang yang dengan sombongnya telah berusaha
menghentikan perjalanan mereka.
27
Namun pertimbangan akan keberadaan Ratri dalam rombongan
itu telah membuat Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam dalam.
Keselamatan Ratri harus diutamakan dalam rombongan itu.
Demikian juga dengan Ki Gede. Pemimpin perdikan Matesih itu
sekilas menengok ke belakang. Hatinya sedikit resah. Jika terjadi
hal hal yang tidak diinginkan, keselamatan anak gadis satu
satunya itu yang paling diutamakan.
“Berhenti!” terdengar bentakan orang yang berdiri di paling depan
sambil mengangkat salah satu tangannya. Rombongan berkuda itu
pun berhenti beberapa langkah di hadapannya. Sementara itu
keempat orang berkuda yang membuntuti rombongan Ki Gede
itupun telah berhenti pula hanya beberapa tombak di belakang.
“Siapakah kepala rombongan ini?” bertanya orang yang berdiri di
paling depan itu. Orang yang berperawakan tinggi besar dengan
jambang dan kumis yang lebat tak teratur.
Untuk beberapa saat orang orang dalam rombongan Ki Gede itu
tidak ada yang menjawab. Masing masing saling menunggu apa
yang akan terjadi dan berusaha mengamati setiap orang yang
telah mencegat mereka. Tampaknya orang orang yang mencegat
mereka itu mempunyai kesamaan yang hampir mirip, berkumis
dan berjambang yang tidak terawat serta rabut panjang yang
dibiarkan saja kusut terurai.
“He? Kalian tuli apa bisu!” bentak orang itu kemudian sambil
maju selangkah, “Beritahu kami siapakah kalian, atau aku akan
memaksa salah satu dari kalian untuk mengaku, tentu saja dengan
caraku sendiri.”
Namun belum sempat Ki Gede menjawab, salah seorang pengawal
jaga yang berdiri di regol telah berteriak, “Ki Srenggi, mereka
28
adalah rombongan Ki Gede Matesih. Orang yang menunggang
kuda hitam itulah Ki Gede Matesih!”
Semua orang dari rombongan Ki Gede terkejut. Tanpa sadar
mereka segera memandang ke arah pengawal jaga yang telah
berteriak tadi. Tampak di depan regol itu empat orang pengawal
rumah Ki Dukuh berdiri termangu mangu.
“Terima kasih,” sahut orang tinggi besar dan berewokan yang
ternyata adalah Srenggi sambil mengangguk anggukkan
kepalanya.
“Nah,” berkata Srenggi kemudian, “Agaknya kami beruntung hari
ini bisa bertemu dengan Ki Gede Matesih sendiri yang namanya
telah kondang kawentar setelah berhasil menghancurkan
padepokan Sapta Dhahana,” Srenggi berhenti sebentar. Lanjutnya
kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke seluruh
anggota rombongan, “Aku harap yang lainnya dengan senang hati
memperkenalkan diri.”
Hampir saja Ki Bango Lamatan membuka mulut kalau saja tidak
dilihatnya Ki Rangga mengangkat tangan kanannya. Berkata Ki
Rangga kemudian, “Ki Sanak memang benar telah berhadapan
dengan Ki Gede Matesih. Namun rombongan ini atas seijin Ki
Gede, aku sendiri yang memimpinnya.”
Srenggi mengerutkan keningnya. Ketika tatapan matanya beradu
pandang dengan Ki Rangga, hatinya berdesir tajam dan entah
mengapa ada rasa jerih yang menyusup ke jantungnya.
Namun Srenggi adalah orang yang sudah terbiasa dengan dunia
hitam yang penuh kekerasan. Maka tanyanya kemudian setengah
membentak, “Siapa kau, he!?”
29
“Aku Ki Rangga Agung Sedayu,” jawab Ki Rangga tenang tanpa
tekanan. Seolah nama itu adalah nama orang kebanyakan yang
tidak banyak artinya.
Namun yang terjadi justru telah membuat orang orang yang
mencegat rombongan itu membeku. Bahkan keempat penunggang
kuda yang berada di belakang rombongan Ki Gede dan mendengar
nama Ki Rangga Agung Sedayu disebut telah terkejut bagaikan
disengat ribuan kalajengking.
Untuk beberapa saat Srenggi justru tidak mampu berkata kata.
Dengan wajah yang tegang dipandanginya orang yang duduk di
atas kuda beberapa langkah di hadapannya itu. Terutama
sepasang mata Ki Rangga yang tampak tenang dan dalam. Namun
dari sepasang mata itu dapat terungkap sebuah ilmu yang dahsyat
tiada taranya.
“Srenggi,” tiba-tiba terdengar suara perlahan namun cukup jelas
dari tempat mereka berdiri, membangunkan lamunan Srenggi,
“Kita telah mendapat kehormatan dikunjungi Ki Rangga Agung
Sedayu Agul Agulnya Mataram. Mengapa engkau masih bertindak
deksura? Segera persilahkan Senapati pasukah khusus Mataram
itu memasuki halaman rumah Ki Dukuh.”
Suara itu terdengar perlahan saja namun sangat jelas dan ternyata
berasal dari tempat yang cukup jauh, dari pendapa rumah Ki
Dukuh Klangon.
Srenggi bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang sangat
mengerikan. Segera saja tampak sebuah senyum ramah yang
dipaksakan tersungging di bibirnya. Sambil membungkukkan
badan dalam dalam dan menarik nafas dalam dalam untuk
melonggarkan dadanya yang berdentangan, dia pun segera
berkata, “Maafkan kami Ki Rangga. Kami benar benar tidak tahu
30
telah berhadapan dengan Senapati pasukan khusus Mataram yang
namanya telah kondang kawentar kajalandriya di seluruh
pelosok Mataram. Sekali lagi maafkan penyambutan kami yang
kurang trapsila. Sesuai petunjuk guru, silahkan Ki Rangga dan
rombongan mampir ke kediaman Ki Dukuh Klangon.”
Dada Ki Rangga berdesir tajam. Penyambutan orang orang itu
terhadap rombongannya terkesan kurang sewajarnya. Namun Ki
Rangga berusaha sejauh mungkin untuk menghindari kekerasan,
walaupun orang orang itu telah dengan sengaja memaksa
rombongan Ki Gede untuk mampir di rumah Ki Dukuh Klangon.
Ketika Ki Rangga kemudian berpaling ke belakang, betapa terlihat
wajah yang pucat pasi dan gelisah dari Ratri. Ki Rangga pun
segera memutar akal bagaimana caranya menyelamatkan Ratri
atau paling tidak melindunginya jika benar benar akan terjadi
benturan.
“Marilah Ki Rangga, marilah Ki Gede” kembali terdengar Srenggi
berkata ramah sambil memberi isyarat dengan tangannya
mempersilahkan rombongan itu untuk memasuki regol.
“Maaf Ki Sanak,” jawab Ki Rangga kemudian, “Sebenarnyalah
tujuan perjalanan kami ini bukan ke rumah Ki Dukuh Klangon.
Kami sedang melakukan perjalanan ke Mataram. Jadi mohon
dimaafkan jika kami tidak bisa mampir. Kami sangat tergesa
gesa.”
“Benar Ki Sanak,” tambah Ki Gede kemudian, “Apapun yang telah
terjadi di Matesih dalam hubungannya dengan padukuhan
Klangon, kami tidak berhak untuk mencampurinya karena
padukuhan Klangon di bawah kademangan Salam, bukan di
bawah perdikan Matesih.”
31
……….. Sejenak kemudian, mereka tidak harus menunggu terlalu lama,
empat ekor kuda beserta penungangnya pun muncul. 32
Untuk sejenak Srenggi menjadi termangu mangu. Alasan kedua
orang untuk menolak tawarannya itu memang masuk akal.
Namun selagi Srenggi sedang bimbang, tiba tiba sekali lagi
terdengar suara perlahan namun sangat jelas dapat mereka
dengar. Agaknya orang itu menggunakan ilmu mengirim suara.
“Sudahlah Srenggi. Sampaikan saja kepada Ki Rangga Agung
Sedayu. Aku Kiai Singo Barong dari lereng Arjuna ingin
berkenalan dengannya,” suara itu berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Adalah sebuah sikap yang sombong tiada taranya jika
menolak keinginan seseorang yang hanya sekedar ingin
berkenalan dan menjalin sebuah pertemanan.”
Untuk sejenak orang orang dalam rombongan Ki Gede itu
termangu mangu. Memang tidak ada alasan untuk menolak
sebuah pertemanan, walaupun pertemanan itu mungkin nantinya
justru akan dapat berakhir menjadi sebuah permusuhan. Namun
itu adalah urusan kemudian. Setiap permintaan pertemanan harus
diterima dengan hati terbuka, tanpa ada rasa curiga di dalam
dada.
Maka tak ada pilihan lain bagi Ki Rangga. Walaupun dengan berat
hati, Ki Rangga segera memberi isyarat rombongan itu untuk
bergerak memasuki regol halaman rumah Ki Dukuh.
Dalam pada itu di banjar padukuhan induk Matesih, sepeninggal
rombongan Ki Gede, Ki Kamituwa ternyata telah meminta ijin
untuk pulang sebentar kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga.
“Bukankah Ki Kamituwa sedang menunggu kedatangan Ki
Wiyaga?” bertanya Ki Jayaraga kemudian begitu Ki Kamituwa
selesai meminta ijin.
33
“Aku hanya sebentar, Ki,“ jawab Ki Kamituwa sambil melangkah
pergi, “Aku akan segera kembali. Jika Ki Wiyaga datang, beritahu
dia untuk menungguku barang sejenak.”
“Baiklah,” jawab Ki Jayaraga. Namun langkah Ki Kamituwa sudah
sampai di regol depan.
Sepeninggal Ki Kamituwa, Ki Jayaraga dan Ki Waskita pun
kemudian duduk kembali di pendapa. Untuk beberapa saat
mereka masih berdiam diri terbuai oleh lamunan masing masing.
“Ki Jayaraga,” berkata Ki Waskita kemudian memecah kesepian,
“Rasa rasanya hati tua ini semakin hari menjadi semakin rapuh.
Hatiku selalu berdebar debar tanpa sebab musabab yang jelas.
Seperti saat ini, kepergian Ki Gede dan rombongan ke Mataram
membuat hatiku gelisah. Kadang kadang aku menjadi bingung
sendiri dengan keadaanku ini.”
Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian, ”Ki Waskita, aku
tahu Ki Waskita mempunyai kemampuan yang orang lain jarang
memilikinya. Kemampuan untuk melihat masa depan dan nasib
seseorang.”
“Itu anggapan yang salah, Ki,” sahut Ki Waskita dengan serta
merta sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
“Jadi, bagaimana yang sebenarnya?” bertanya Ki Jayaraga
kembali sambil mengerutkan keningnya dan menegakkan
tubuhnya.
Ki Waskita menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu. Baru
jawabnya kemudian, “Ki Jayaraga, tidak ada ilmu yang seperti Ki
Jayaraga sebutkan tadi. Masa depan adalah rahasia Yang Maha
Agung. Kita manusia tidak mempunyai kemampuan sedikit pun
untuk mengetahuinya, bahkan hanya meramalkan saja pun tidak.”
34
Tampak kerut merut di kening Ki Jayaraga semakin dalam.
Berkata guru Glagah Putih itu kemudian dengan nada sedikit ragu
ragu, “Tetapi menurut apa yang aku dengar, Ki Waskita memang
mempunyai kemampuan seperti itu.”:
Tampak sebuah senyum tersungging di bibir Ki Waskita. Katanya
kemudian, “Ki Jayaraga, aku tidak mengetahui masa depan
ataupun nasib seseorang. Namun yang aku terima hanya berupa
isyarat isyarat yang kadang aku salah dalam mengurai isyarat
isyarat itu. Itu semua karena kedangkalan nalarku,” orang tua itu
berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Memang kadangkala aku
mampu mengurai dengan benar isyarat yang aku terima. Namun
aku yakin semua itu sudah menjadi ketentuan Yang Maha Agung.”
Tampak kepala Ki Jayaraga terangguk angguk. Bertanya Ki
Jayaraga kemudian, “Tetapi Ki Waskita, apakah Ki Waskita dapat
melihat dengan mata batin bagaimana perjalanan rombongan Ki
Gede tadi? Apakah mereka akan selamat sampai tujuan, ataukah
akan ada hal hal yang merintang di jalan?”
“Itulah masalahnya Ki Jayaraga,” sahut Ki Waskita dengam serta
merta, “Ada sebuah isyarat yang menggelisahkan tentang
perjalanan rombongan Ki Gede. Rasa rasanya aku ingin meloncat
ke atas punggung kuda dan menyusul perjalanan mereka.”
“Ah,” Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya kemudian, “Jika
memang Ki Gede dan rombongan akan mengalami rintangan di
jalan, akupun pasti akan menyusul mereka.”
Tampak kepala Ki Waskita terangguk-angguk
Tiba-tiba perhatian kedua orang tua itu telah terpecah . Dari arah
regol banjar terdengar sedikit suara keributan.
35
Ketika kedua orang tua itu kemudian berpaling, tampak seorang
tua renta dengan pakaian kumal serta rambut digelung keatas dan
diikat dengan secarik kain hitam sedang dikerumuni para penjaga
regol.
“Siapakah Ki Jayaraga?” bisik Ki Waskita sambil mengerutkan
keningnya.
Sejenak wajah Ki Jayaraga tampak menjadi tegang. Namun guru
Glagah Putih itu segera menarik nafas dalam dalam sambil
berdesis perlahan, “Agaknya Sang Maharsi datang berkunjung
kembali.”
“Siapa yang Ki Jayaraga maksud?”
“Sang Maharsi, nama Pertapa tua dari goa Langse itu.”
“He?! Mengapa dia kembali lagi?”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam dalam untuk meredakan gejolak
dalam dadanya. Jawabnya kemudian sambil menggeleng, “Aku
tidak tahu, Ki. Mungkin sudah waktunya dia mencari Ki Rangga,
atau mungkin ada keperluan lain,” Ki Jayaraga berhenti sejenak
sambil pandangan matanya tak berkedip mengawasi regol banjar.
Lanjutnya kemudian, “Sebaiknya kita sambut, Ki.”
“Marilah,” sahut Ki Waskita kemudian sambil berdiri dan
mengikuti Ki Jayaraga menuruni tlundak pendapa.
Dalam pada itu di depan regol banjar padukuhan induk Matesih,
tampak beberapa pengawal sedang mencegah kakek tua itu untuk
memasuki banjar.
“Kek, di sini bukan tempat meminta minta,” berkata salah seorang
pengawal kemudian, “Jika kakek sekedar lapar, aku kira dapur
36
banjar juga belum ada makanan sepagi ini. Mintalah ke kedai
yang terdekat. Mungkin mereka sudah mempunyai makanan.”
Selesai berkata demikian pengawal itu menunjuk ke arah kanan.
Tampak sebuah kedai yang cukup besar namun pintunya terlihat
masih tertutup.
Kakek tua gembel itu tampak wajahnya datar datar saja. Katanya
kemudian, “Aku bukan pengemis dan juga bukan peminta minta.
Aku memang ingin mampir di banjar ini.”
“Tidak boleh, kek!” sergah pengawal lainnya, “Banjar ini bukan
untuk tempat berteduh atau istirahat para tuna wisma. Carilah
gubuk atau rumah kosong di pinggir hutan. Di sana kakek akan
bebas beristirahat sepuas puasnya.”
“Mengapa aku tidak boleh mampir di banjar ini?” bertanya kakek
itu kemudian dengan kerut merut di kening, “Aku juga punya hak
untuk menggunakan banjar ini sesuai kebutuhanku. Bukan hanya
Ki Gede dan para perangkat perdikan Matesih saja. Itu tidak adil
namanya!”
Terlihat para pengawal itu menjadi kebingungan untuk menjawab. Mereka hanya saling pandang satu sama lainnya.
“Selamat datang kembali di banjar ini, Maharsi,” tiba tiba para
pengawal itu dikejutkan oleh suara seseorang beberapa langkah di
belakang mereka.
Serentak para pengawal itu berpaling ke belakang. Tampak Ki
Jayaraga dan Ki Waskita sedang berjalan mendekat.
“Maafkan para pengawal yang telah berani bertindak deksura,”
lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Mereka sebenarnya tidak tahu telah
berhadapan dengan siapa.”
37
“Ah,” kakek berpakaian compang camping yang dipanggil Maharsi
oleh Ki Jayaraga itu tertawa pendek. Katanya kemudian dengan
nada sedikit menggerutu, “Seharusnya mereka tidak membeda
bedakan siapa yang menjadi tamu di banjar ini. Penghargaan
terhadap diri seseorang bukan dilihat dari gebyar dan gemerlap
pakaiannya. Perlakukanlah manusia itu apa adanya tanpa
membedakan antara raja dan hamba sahaya.”
Orang orang yang berada di regol banjar itu tertegun. Apa yang
disampaikan kakek tua itu memang ada benarnya. Namun dalam
kehidupan bebrayan, tidak mungkin memperlakukan seorang raja
sama dengan hamba sahaya.
“Hanya di alam kelanggengan nanti setiap manusia sama
perlakuannya di hadapan Yang Maha Agung. Hanya amal
kebajikannya lah yang akan membedakannya,” membatin orang
orang yang ada di sekitar regol banjar itu.
“Marilah Maharsi,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil
membungkukkan badan dalam dalam, “Dengan senang hati kami
persilahkan Sang Maharsi untuk singgah.”
Orang yang disebut Maharsi oleh Ki Jayaraga itu tersenyum.
Tanpa berkata sepatah katapun dia kemudian melangkah
memasuki halaman banjar diikuti oleh Ki Jayaraga dan Ki
Waskita.
“Ternyata kakek itu seorang Maharsi,” desis pengawal yang telah
menyangka kakek tua itu sebagai pengemis dengan nada penuh
penyesalan.
“Memang di dunia itu bermacam-macam isinya,” berkata
pengawal yang lain kemudian, “Banyak orang sakti, para linuwih
38
dan para Wali yang lebih senang menyepi, menjauhi duniawi
untuk meraih kehidupan abadi.”
“Tetapi apa artinya orang yang seperti itu bagi kehidupan
bebrayan agung?” seorang pengawal lainnya ikut menimpali,
“Melihat dunia yang carut marut seperti sekarang ini, seharusnya
para sakti dan linuwih serta para Wali itu tampil ke depan dan
meredakan ketegangan yang sedang terjadi. Bukan malah
bersembunyi, bermanja manja diri dan tidak mau tahu keadaan
dunia ini.”
“Ah, kau!” sergah kawannya yang bekumis tipis, “Bicaramu sudah
seperti seorang resi saja. Ketahuilah, para Maharsi, para sakti dan
linuwih serta para Wali itu kadang berjuang tidak dengan unjuk
diri, namun dengan batin yang pasrah dan doa yang selalu
didengungkan setiap hari untuk perdamaian negeri ini.”
“Ah, ternyata kau sekarang yang sudah bicara seperti seorang
resi,” sahut pengawal itu, “Memang menggurui itu lebih mudah
dari pada menjalani.”
“Sudahlah, sudahlah!” pemimpin pengawal jaga pagi itu segera
menengahi, “Untung Maharsi itu tidak tersinggung dan marah.
Jika demikian yang terjadi, mungkin engkau sudah disabdanya
menjadi seekor katak.”
“Ah,” para pengawal itu pun tertawa masam. Namun begitu
disadarinya bahwa suara tertawa mereka dapat terdengar dari
pendapa, dengan terburu buru mereka segera menutup mulutnya.
Dalam pada itu di pendapa, Ki Jayaraga segera mempersilahkan
Sang Maharsi untuk duduk di atas selembar tikar yang berwarna
putih bersih. Setelah Sang Maharsi itu duduk, barulah Ki
39
Jayaraga dan Ki Waskita menyusul duduk bersila menghadap
kearahnya.
“Mohon ampun Maharsi,” berkata Ki Jayaraga kemudian,
“Sesungguhnya kami sangat terkejut mendapat kunjungan
Maharsi untuk yang kedua kalinya ini,” Ki Jayaraga berhenti
sebentar. Lanjutnya kemudian, “Sebelumnya, ijinkan hamba
memperkenalkan sahabat hamba ini, Ki Waskita.”
Ki Waskita yang disebut namanya segera membungkukkan badan
dalam dalam sambil tersenyum.
Tampak Sang Maharsi itu mengangguk angguk sambil
memandang tajam ke arah ayah Rudita itu. Tampak sekilas
sebuah kerut di keningnya. Namun dengan cepat kesan itu segera
hilang dari wajahnya.
“Terima kasih Ki Waskita,” berkata Maharsi itu kemudian sambil
tersenyum dan menerima uluran tangan Ki Waskita, “Tapi aku
mempunyai satu permintaan kepadamu, sebaiknya nasibku
jangan engkau ramal. Biarlah Yang Maha Agung sendiri yang
menentukan nasib orang yang sudah tua bangka ini.”
“Ah,” terkejut Ki Waskita dan Ki Jayaraga. Apa yang diucapkan
Maharsi itu secara tidak langsung telah membuka jati diri Ki
Waskita.
“Ampun Maharsi,” berkata Ki Waskita kemudian dengan tergopoh
gopoh menanggapi, “Hamba tidak berani dengan deksura
mencoba meramal nasib siapapun. Namun isyarat isyarat itu
kadang datang dengan sangat kuatnya sehingga telah menggoda
hati hamba untuk mencoba mengurainya,” Ki Waskita berhenti
sejenak. Kemudian sambil membungkuk dalam dalam dia
melanjutkan, “Mohon petunjuk Maharsi.”
40
Terdengar Sang Maharsi tertawa renyah. Jawabnya kemudian, “Di
situlah letak permasalahan yang sebenarnya. Kita tidak mampu
menolak godaan. Jika saja setiap orang mampu menahan dirinya
dari segala godaan, tentu perdamaian dunia ini akan segera
terwujud.”
Untuk beberapa saat Ki Jayaraga dan Ki Waskita tertegun
mendengar sedikit petuah dari Sang Maharsi. Namun tiba tiba
terselip sebuah pertanyaan dalam lubuk hati Ki Jayaraga yang
paling dalam.
“Apakah Sang Maharsi ini sudah terbebas dari segala godaan?”
membatin Ki Jayaraga dengan kepala tertunduk, “Godaan untuk
membalas dendam akan kematian muridnya. Bukankah itu
bertentangan dengan petuahnya tadi?”
Agaknya Sang Maharsi dapat menebak apa yang sedang
berkecamuk dalam dada Ki Jayaraga. Maka katanya kemudian,
“Jayaraga, aku tadi mengatakan jika setiap orang mampu
menahan godaan. Tentu saja aku termasuk di dalamnya karena
aku juga manusia,” Sang Maharsi berhenti sejenak sambil
tersenyum. Lanjutnya kemudian, “Namun setiap orang akan
menyikapi godaan itu dengan kedewasaan dirinya masing-masing,
dan aku pun berusaha menyikapi godaan yang sekarang berada di
depan mataku dengan pertimbangan nalar dan budi yang
matang.”
Tampak wajah Ki Jayaraga memerah sejenak. Namun dengan
cepat kesan itu segera hilang dari wajahnya. Betapapun juga, yang
sedang berada di hadapannya sekarang ini adalah seorang
Maharsi yang sudah menjauhkan diri dari segala urusan duniawi.
“Ampun Maharsi, kami berdua mohon petunjuk. Sekiranya apa
yang dapat kami bantu sehubungan dengan kunjungan Maharsi
41
kali ini,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah sejenak mereka
terdiam.
“Jayaraga,” berkata Maharsi kemudian sambil memandang kedua
orang tua di hadapannya itu ganti berganti, “Dalam perjalananku
tadi melintasi padukuhan Klangon, aku melihat sesuatu yang
tentu kalian perlu mengetahuinya.”
Berdesir dada kedua orang tua itu, terutama Ki Waskita.
Panggraitanya yang tajam sedari tadi telah menangkap getaran
yang mengisyaratkan sebuah bahaya sedang menghadang
perjalanan Ki Rangga dan rombongan.
“Sendika, Maharsi,” Ki Waskita lah menyahut terlebih dahulu,
“Memang sedari tadi, setelah rombongan Ki Rangga berangkat,
hamba menerima isyarat yang cukup mendebarkan dalam
perjalanan rombongan itu.”
“Nah, engkau mulai tergoda untuk menduga duga,” sahut Sang
Maharsi dengan serta merta, “Serahkan semua kepada Hyang
Widhi, namun engkau tetap diperkenankan bahkan di wajibkan
untuk berusaha.”
Agaknya Ki Jayaraga yang tidak sabar. Maka katanya menyela,
“Mohon ampun Maharsi, usaha apakah yang harus hamba
lakukan sehubungan dengan peristiwa yang telah Maharsi lihat di
padukuhan Klangon?”
“Pergilah ke rumah Ki Dukuh Klangon. Agaknya perjalanan Ki
Rangga dan rombongan sedang tertahan di sana. Bantuan kalian
sangatlah dibutuhkan,” jelas sekali perintah Sang Maharsi. Sejelas
sasadara kang manjing kawuryan.
Tersentak kedua orang tua yang sudah putus segala kawruh lahir
maupun batin begitu mendengar perintah Maharsi. Hampir
42
berbareng keduanya segera membungkuk dalam dalam sambil
merangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Sendika, Sang Maharsi,” jawab keduanya hampir bersamaan.
“Nah, berangkatlah!” berkata Sang Maharsi kemudian. Namun
tiba tiba Ki Jayaraga menjadi ragu ragu sejenak. Terlihat dari
wajahnya yang berkerut merut.
“Ada apa Jayaraga?” bertanya Sang Maharsi sambil memandang
tajam Ki Jayaraga. Ki Jayaraga pun segera menundukkan
wajahnya.
“Engkau mengkhawatirkan anak muda yang sedang sakit itu?” kali
ini pertanyaan Sang Maharsi telah mengoyak jantung Ki Jayaraga.
“Jika aku masih tergoda dengan hal yang remeh dan pengecut
sebagaimana yang ada dalam benakmu, lebih baik aku tidak usah
disebut seorang Maharsi lagi,” berkata Sang Maharsi dengan nada
yang tenang dan dalam.
“Ampunkan hamba Maharsi,” kembali Ki Jayaraga menghaturkan
sungkem, “Memang hamba masih tergoda dengan rayuan iblis
laknat jahanam. Ampunkan hamba dan mohon doa restu hamba
berdua akan berangkat menyusul Ki Rangga.”
“Berangkatlah! Urusan anak muda yang sedang sakit itu biarlah
ditunggui salah satu pengawal,” berkata Maharsi sambil bangkit
berdiri, “Aku harus pergi.”
“Sendika Maharsi,” hampir berbareng kedua orang itu menjawab
sambil ikut bangkit berdiri.
43
Sejenak kemudian Sang Maharsi itupun telah berjalan menuju
regol dan kemudian menghilang dari pandangan kedua orang tua
itu.
“Hem!?,” hampir bersamaan kedua orang tua itu berdesis kaget.
Sedangkan Ki Jayaraga ternyata telah melangkah turun dari
pendapa dan menghampiri para pengawal yang sedang berjaga.
“Ada yang bisa kami bantu, Ki,” songsong salah seorang pengawal
yang terdekat dengan tergopoh gopoh.
“Apakah kalian melihat Sang Maharsi tadi melewati pintu
gerbang?” bertanya Ki Jayaraga kemudian.
Beberapa pengawal yang mendengar pertanyaan Ki Jayaraga itu
segera mendekat.
“Bukankah Sang Maharsi sedari tadi bersama Kiai berdua?”
pengawal yang menyongsong Ki Jayaraga itu justru telah balik
bertanya.
“Ah, sudahlah,” jawab Ki Jayaraga kemudian sambil menarik
nafas dalam-dalam, “Aku minta tolong salah satu dari kalian
menunggui Glagah Putih di dalam bilik. Sementara aku dengan Ki
Waskita akan pergi sebentar.”
Para pengawal itu sejenak saling berpandangan. Namun mereka
segera maklum bahwa yang mereka hadapi adalah orang orang tua
yang sakti dan aneh. Maka jawab pengawal itu, “Baiklah. Aku akan
mengawani Glagah Putih selama Kiai berdua pergi.”
“Terima kasih,” jawab Ki Jayaraga sambil melangkah menuju
pendapa kembali. Namun ternyata Ki Waskita sudah tidak berada
di tempatnya lagi.
44
“He? Kemana perginya Ki Waskita?” bertanya Ki Jayaraga dalam
hati sambil mengedarkan pandangan mata ke sekelilingnya.
Namun Ki Jayaraga tidak usah menunggu lama untuk mendapat
jawabannya. Tiba tiba dari arah samping gandhok kanan, Ki
Waskita muncul sambil menuntun dua ekor kuda.
“Marilah Ki Jayaraga, waktu kita sangat sempit,” berkata Ki
Waskita kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Jayaraga.
Diangsurkannya salah satu kendali kuda yang ada di tangannya.
“Terima kasih,” sambut Ki Jayaraga kemudian.
Sejenak kemudian kedua orang tua itu dengan tangkasnya telah
meloncat ke atas punggung kuda masing masing.
Namun sebelum keduanya menghela kuda kuda itu, tiba tiba
hampir bersamaan dua orang muncul dari luar pintu gerbang, Ki
Wiyaga dan Ki Kamituwa.
“Ki Jayaraga, Ki Waskita? Akan kemanakah Kiai berdua?” sapa Ki
Kamituwa dengan wajah yang terheran heran. Sementara Ki
Wiyaga yang melangkah di belakang Ki Kamituwa hanya tampak
mengerutkan keningnya dalam dalam.
“Ki Wiyaga dan Ki Kamituwa, cepatlah ikut kami!” berkata Ki
Jayaraga kemudian, “Ambil kuda kuda di gedogan belakang
banjar. Nanti sambil jalan aku terangkan tujuan kita!”
Tanpa menunggu waktu kedua orang itu segera berlari ke
belakang banjar melalui longkangan. Hanya selang beberapa saat,
dua ekor kuda lengkap dengan penunggangnya berderap melalui
samping gandhok menuju ke tempat Ki Jayaraga dan Ki Waskita
menunggu.
45
Demi melihat kedua ekor kuda itu telah berderap menuju halaman
banjar, Ki Jayaraga pun segera memberi isyarat Ki Waskita untuk
menghela kudanya.
Demikianlah akhirnya, tanpa turun dari kuda masing masing,
keempat orang itu segera menyusup regol banjar dan kemudian
berderap menyusuri jalan perdikan Matesih menuju ke
padukuhan Klangon. Empat ekor kuda yang dipacu dengan
kencang di jalan padukuhan induk Matesih ternyata telah
menimbulkan berbagai pertanyaan di sepanjang jalan.
Matahari telah menampakkan sinarnya dan mengusir embun
embun pagi yang masih malas untuk meninggalkan peraduannya.
Burung burung telah berkicau di dahan dahan rendah menyambut
sinar Matahari yang menyentuh bumi.
Rumah rumah sepanjang jalan yang dilewati Ki Jayaraga dan
kawan kawan ternyata hampir semuanya telah membuka regol
masing masing. Beberapa laki laki baik usia dewasa bahkan yang
terlihat masih sangat mudapun ikut melongokkan kepalanya.
Ingin mengetahui siapakah gerangan yang berkuda dengan
kencangnya di ujung pagi itu?
Seorang laki laki yang berwajah bulat dengan tubuh sedikit gemuk
telah keluar regol. Dipandanginya debu yang mengepul di
belakang empat ekor kuda yang berlari bagaikan di kejar hantu
itu.
“Ada apa kang?” tiba tiba terdengar seseorang menyapanya dari
arah belakang.
Laki laki berwajah bulat itu berpaling. Ketika dilihatnya tetangga
sebelah rumahnya itu membuka pintu regol sambil melongokkan
kepala, dia segera menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak tahu.
46
Kuda kuda itu dipacu bagaikan dikejar hantu. Aku tidak sempat
melihat wajah wajah para penunggangnya.”
Tetangganya hanya menarik nafas dalam dalam sambil
mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Tadi pagi aku juga
mendengar derap beberapa ekor kuda, namun tidak dipacu seperti
sekarang ini.”
“Ya aku juga dengar,” sahut laki laki berwajah bulat itu, “Namun
pagi tadi aku tidak sempat melihat keluar. Aku sedang memberi
makan ayam ayam di kandang.”
“Aku juga, kang,” berkata tetangganya itu kemudian, “Pagi tadi
aku sedang mengisi pakiwan. Jadi aku pun tidak sempat melihat
siapa yang sedang lewat.”
“Ya, sudahlah. Semoga bukan berita buruk yang akan kita terima,”
berkata laki laki berwajah bulat itu sambil melangkah masuk ke
regol halamannya.
“Ya semoga saja , kang,” laki laki tetangganya itu menimpali, “Jika
gajah yang saling bertarung, biasanya pelanduk yang akan mati di
tengah.”
“Ah,” laki laki berwajah bulat itu masih sempat tetawa pendek,
namun segera hilang di balik pintu regol.
“Ah sudahlah,” gerutu tetangga laki laki berwajah bulat itu, “Jika
ada hal yang sangat penting, tentu para pengawal yang sedang
bertugas pasti akan memukul kentongan.”
Selesai berkata demikian dia pun segera menghilang di balik pintu
regolnya yang juga di tutup rapat.
47
Dalam pada itu Ki Jayaraga dan kawan kawan ternyata telah
mengurangi laju kudanya begitu pintu gerbang yang berbatasan
dengan padukuhan Klangon sudah terlihat. Tampak dua orang
pengawal yang sedang bertugas jaga bediri di tengah tengah jalan.
Menyadari laju kuda kuda itu dapat melanggar kedua pengawal
itu, keempat orang itu pun telah menarik kendali kuda kuda
mereka sehingga kuda kuda itu pun memperlambat langkahnya.
Sejenak kemudian keempat kuda itu telah benar benar berhenti
beberapa langkah saja di hadapan dua pengawal itu.
“Ki Wiyaga, Ki Kamituwa!” seru kedua pemgawal itu begitu
mengenali kedua orang yang meloncat turun dari kudanya.
Sedangkan kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang telah
meloncat turun terlebih dahulu, kedua pengawal itu segera
mengangguk hormat. Kedua pengawal itu mengenal kedua orang
tua itu sebagai kawan kawan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Apakah kalian melihat rombongan Ki Gede keluar dari pintu
perbatasan ini?” bertanya Ki Wiyaga kemudian
“Ya, Ki Wiyaga,” sahut salah satu pengawal itu, “Mereka lewat
regol ini beberapa saat yang lalu. Namun begitu mereka memasuki
padukuhan Klangon, kami mendengar suara panah sendaren dua
kali berturut turut membelah udara. Arahnya ke padukuhan
Klangon, tidak ke perdikan Matesih sehingga kami tidak tahu
harus berbuat apa. Kami tidak berani memukul kentongan
sebelum mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.”
“Engkau benar,” sahut Ki Kamituwa dengan serta merta.
Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga dia bertanya,
“Bagaimana Ki? Apakah kita lanjutkan perjalanan dengan
berkuda?”
48
“Sebaiknya tidak,” jawab Ki Jayaraga sambil memandang ke arah Ki Waskita. Ayah rudita itu pun kemudian terlihat
menganggukkan kepalanya.
“Nah, kuda kuda ini dapat kita titipkan kepada para pengawal,”
berkata Ki Jayaraga selanjutnya sambil mengangsurkan kendali
kudanya.
Dengan tergopoh gopoh kedua pengawal itu segera menerima
kendali empat ekor kuda itu dan menuntunnya ke samping gardu.
“Marilah kita teruskan perjalanan kita dengan berjalan kaki,”
berkata Ki Jayaraga selanjutnya.
Demikianlah setelah menitipkan pesan pesan kepada kedua
pengawal itu untuk tidak meninggalkan kewaspadaan, keempat
orang itu segera berjalan melewati tanggul sebelah kanan jalan
dan kemudian menyusuri pematang.
“Kita lewat tanggul sungai itu, Ki,” berkata Ki Kamituwa kemudian
sambil menujuk ke arah sungai yang tidak seberapa lebar namun
cukup curam, “Dengan menyisir tanggul itu kita akan sampai di
belakang rumah Ki Dukuh Klangon.”
“Ya, aku setuju,” sahut Ki Jayaraga cepat sambil meniti pematang,
“Kita akan langsung memasuki dapur rumah Ki Dukuh.
Barangkali mereka sudah menyiapkan sarapan pagi untuk kita.”
“Ah,” ketiga orang itu pun tertawa pendek mendengar kelakar Ki
Jayaraga.
“Marilah kita berlomba lari,” berkata Ki Jayaraga kemudian
sambil meloncat mendahului kawan kawannya, “Yang menang
akan mendapat hadiah dari Ki Gede Matesih.”
49
“Apakah itu, Ki?” teriak Ki Waskita sambil memburu Ki Jayaraga
yang sudah beberapa langkah di depannya.
“Ya, nanti saja jika sudah bertemu Ki Gede,” seloroh Ki Jayaraga
sambil terus berlari menuruni tebing sungai. Agaknya Ki Jayaraga
lebih senang berlari di pinggir sungai yang agak landai.
Ki Kamituwa dan Ki Wiyaga tidak dapat berbuat lain kecuali
mengikuti tingkah kedua orang itu. Mereka sedikit banyak mulai
mengenal sifat orang orang tua itu yang senang berkelakar,
terutama Ki Jayaraga.
Demikianlah keempat orang itu seperti anak anak kecil lagi yang
sedang bermain kejar kejaran. Ki Jayaraga memilih berlari di
pinggir sungai mengikuti setiap kelokannya. Sementara yang lain
lebih senang berlari di atas tanggul.
“Ki Jayaraga!” tiba tiba Ki Wiyaga berteriak dari atas tanggul
sambil tetap berlari, “Naiklah, Ki. Sebentar lagi kita sampai di
belakang kediaman Ki Dukuh Klangon!”
Agaknya Ki Jayaraga tanggap. Dengan tanpa mengurangi laju
larinya, orang ua itu bergerak cepat memanjat tebing sungai yang
cukup curam. Namun terlihat orang tua itu sama sekali tidak
mengalami kesulitan.
“Luar biasa,” desis Ki Kamituwa yang berlari di urutan paling
belakang. Orang tua itu harus menyingsingkan kain panjangnya
tinggi tinggi.
Demikianlah mereka berempat ternyata telah mengurangi laju lari
mereka sesuai arahan Ki Wiyaga yang sudah melihat dinding
tinggi halaman belakang rumah Ki Dukuh.
50
Sejenak kemudian kedua tangan orang itupun telah berjabat erat.
Sebuah senyum kemenangan tampak tersungging di bibir Kiai Singo
Barong.
51
“Kita berjalan saja,” akhirnya Ki Jayaraga berkata sambil
memperlambat larinya dan akhirnya berjalan biasa. Tidak tampak
nafas yang memburu maupun keringat yang membasahi tubuh
orang tua itu. Demikian juga Ki Waskita.
Kedua bebahu perdikan Matesih itu masih harus mengatur
pernafasan mereka agar jangan sampai tersengal sengal dan justru
akan dapat menyumbat tenggorokan dan menyesakkan dada.
Setelah melewati beberapa dinding belakang rumah rumah yang
tidak begitu tinggi. Sampailah mereka pada sebuah dinding yang
cukup tinggi, dinding halaman belakang rumah Ki Dukuh.
“Kita masuk?” bertanya Ki Waskita kemudian sambil memberi
isyarat kepada kawan kawannya. Namun terlihat Ki Wiyaga dan Ki
Kamituwa ragu ragu sambil mendongakkan wajah mereka,
dinding itu memang terlalu tinggi bagi mereka berdua.
“Kita lewat pintu butulan saja,” akhirnya Ki Jayaraga berkata
menengahi sambil berjalan menghampiri sebuah pintu butulan
yang terlihat tertutup rapat.
“Bagaimana jika di balik dinding ini telah menunggu orang orang
Ki Dukuh dengan senjata terhunus?” tiba tiba Ki Kamituwa
berdesis perlahan.
“Sebaiknya memang aku periksa terlebih dahulu Ki Kamituwa,”
sahut Ki Waskita. Sejenak orang tua itu berdiri tegak sambil
menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Kepalanya
tertunduk dengan mata terpejam rapat.
Hanya sekejap Ki Waskita sudah membuka mata dan mengurai
kedua tangannya. Katanya kemudian, “Aku hanya menangkap
suara suara di dapur dan agaknya Ki Rangga dan rombongan
sudah berada di halaman depan.”
52
“Marilah kita coba masuk melalui pintu butulan,” sela Ki Jayaraga
kemudian sambil melangkah. Didorongnya pintu butulan itu
perlahan dan ternyata tidak diselarak dari dalam.
Tanpa sadar Ki Jayaraga memandang ke bawah. Tampak
beberapa jejak kaki dari arah dalam keluar melalui pintu butulan
itu.
“Agaknya ada beberapa orang yang keluar dari rumah ini dan lupa
tidak ada yang menyelarak dari dalam,” gumam Ki Jayaraga
kemudian sambil dengan sangat hati hati melangkah masuk
diikuti oleh kawan kawannya.
“Atau barangkali semua orang telah meninggalkan rumah secara
diam diam sehingga tidak ada lagi yang menyelarak dari dalam,”
tambah Ki Waskita yang membuat kawan kawannya mengangguk
angguk.
“Itu berarti Ki Dukuh dan seluruh keluarganya telah
meninggalkan rumah ini,” kembali Ki Jayaraga menyahut.
Ketika keempat orang itu semua sudah memasuki halaman
belakang rumah Ki Dukuh, Ki Wiyaga segera menyelarak pintu
butulan itu.
“Bagus,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil mengacungkan ibu
jari tangan kanannya, “Sekarang kita membagi tugas. Aku dan Ki
Wiyaga akan memasuki dapur. Jika memang ada orang yang
sedang berada di dalam dapur dan menurut kami berbahaya, akan
langsung kami lumpuhkan.”
“Dan jika ada sebakul nasi putih hangat dengan lauk ayam bakar
di atas amben, harus segera dihabiskan,” sahut Ki Waskita yang
membuat mereka menahan tawa. Dalam suasana yang tegang
itupun Ki Waskita masih sempat berkelakar.
53
“Sudahlah,” berkata Ki Waskita kemudian, “Aku dan Ki Kamituwa
akan melewati longkangan dan berusaha memasuki halaman
depan.”
“Apakah tidak sebaiknya Ki Waskita mengirim aji pameling
terlebih dahulu kepada Ki Rangga?” bertanya Ki Jayaraga yang
membuat orang tua itu tertegun.
“Baiklah,” jawab Ki Waskita kemudian, “Aku akan mengirim aji
pameling kepada angger Sedayu setelah aku berada di samping
atau di dalam gandhok.”
Kawan kawannya pun kemudian mengangguk angguk.
Demikianlah keempat orang itu segera berpencar. Ki Jayaraga dan
Ki Wiyaga mengendap endap di belakang perigi sebelum akhirnya
merapat ke dinding dapur. Sedangkan Ki Waskita dan Ki
Kamituwa begerak senyap menyusur perdu dan gerumbul yang
banyak bertebaran di halaman belakang itu menuju ke
longkangan.
Dalam pada itu, rombongan Ki Rangga ternyata telah berada di
halaman rumah Ki Dukuh yang luas. Keenam orang itu dengan
terpaksa telah turun dari kuda masing masing. Sepintas saja
dengan melihat cara orang orang itu turun dari kudanya, Srenggi
segera mengetahui bahwa salah seorang dari rombongan Ki
Rangga itu adalah seorang perempuan muda yang berpakaian laki
laki.
“O,” seru Srenggi kemudian sambil tertawa pendek. Kemudian
sambil memandang ke arah Ki Gede, Srenggi pun menunjuk ke
arah Ratri sambil bertanya, “Apakah gadis cantik berpakaian laki
laki itu puteri Ki Gede?”
54
Ki Gede menarik nafas dalam dalam untuk meredakan getar di
dalam dadanya. Tidak ada gunanya mengelak, maka jawab Ki
Gede kemudian, “Benar Ki Sanak, Ratri adalah anak gadisku satu
satunya.”
Tampak kepala beberapa orang yang berada di halaman Ki Dukuh
itu terangguk angguk. Sementara orang yang mengaku bernama
Kiai Singo Barong dari lereng Arjuna itu tampak sedang menuruni
tangga pendapa dengan langkah satu satu.
Dengan langkah yang tenang penuh percaya diri, Kiai Singo
Barong segera berjalan menghampiri Ki Rangga. Sedangkan
beberapa orang muridnya yang telah berada di halaman segera
menerima kendali kuda kuda rombongan Ki Gede dan
membawanya ke halaman samping.
“Selamat datang dan selamat berjumpa untuk yang pertama dan
mungkin yang terakhir Ki Rangga,” berkata Kiai Singo Barong
sesampainya dia di depan Ki Rangga sambil mengulurkan
tangannya.
Sekilas Ki Rangga segera melihat sesuatu yang terselip di sela sela
jari jari tangan yang terulur itu.
“Mungkin sebuah jarum beracun,” membatin Ki Rangga dalam
hati dengan jantung yang berdebaran. Sebenarnya Ki Rangga
dapat saja mengetrapkan ilmu kebalnya. Namun jika jarum itu
terlalu kecil dan tajam, serta dilambari dengan tenaga cadangan
yang tinggi, ujung jarum itu masih ada kemungkinan dapat
menembus kulit telapak tangannya.
Selagi Ki Rangga menimbang nimbang, tangan kanan Kiai Singo
Barong itu sudah terulur di hadapannya. Tidak ada waktu lagi bagi Ki
Rangga untuk berpikir selain menerima jabat tangan maut itu.
55
Sejenak kemudian kedua tangan orang itupun telah berjabat erat.
Sebuah senyum kemenangan tampak tersungging di bibir Kiai
Singo Barong.
“Terima kasih Ki Rangga,” berkata Kiai Singo Barong kemudian
sambil melepas jabat tangannya dan melangkah mundur.
Ternyata jarum yang lembut dan telah menembus kulit telapak
tangan Ki Rangga itu berasal dari cincin yang dikenakan oleh Kiai
Singo Barong.
Untuk beberapa saat Ki Rangga merasakan sesuatu yang
membakar telapak tangannya. Ketika dengan gerak naluriah Ki
Rangga kemudian melihat ke arah telapak tangan kanannya yang
terbuka, tampak sebagian telapak tangannya telah berwarna
merah gelap dengan sebuah titik hitam di tengah tengahnya.
“Racun!” desis Ki Rangga tanpa sadar.
Segera saja terdengar gelak tawa Kiai Singo Barong yang disambut
riuh rendah oleh para anak muridnya. Mereka sudah yakin bahwa
Ki Rangga pasti tidak akan lolos dari pengaruh racun dari jarum
yang tersimpan dalam cincin Kiai Singo Barong itu.
“Sudahlah Ki Rangga,” berkata Kiai Singo Barong kemudian
sambil bertolak pinggang, “Umurmu tidak akan lebih dari
sepenginang sirih. Belum pernah ada lawan lawanku yang lolos
dari racun mautku itu. Semua menemui ajalnya.”
Ki Gede Matesih yang mendengar ucapan Kiai Singo Barong
menjadi merah padam wajahnya. Sementara Ki Bango Lamatan
tampak hanya mengerutkan kening. Sedangkan Ratri dan kedua
pengawal Matesih itu tidak tahu apa yang telah terjadi
sebenarnya.
56
Sejenak Ki Rangga memang merasakan sergapan racun yang
cukup ganas itu. Namun ternyata racun Kiai Singo Barong itu
tidak sedahsyat dan seganas racun yang pernah dirasakannya dari
paser Kiai Dandang Mangore. Racun Kiai Dandang Mangore
hanya butuh waktu tiga tarikan nafas dan korbannya tidak akan
pernah melihat dunia beserta isinya untuk selamanya.
“Nah, nama besar Ki Rangga Agung Sedayu sebagai Agul Agulnya
Mataram ternyata segera berakhir di halaman ini,” berkata Kiai
Singo Barong selanjutnya sambil mengedarkan pandangan
matanya ke seluruh halaman rumah Ki Dukuh, “Jangan salahkan
aku yang telah berhasil mencederai Agul Agulnya Mataram ini.
Namun salahkanlah Ki Rangga Agung Sedayu sendiri yang
ternyata nama besarnya tidak sebanding dengan ketinggian
ilmunya.”
Suasana terasa begitu mencekam di halaman rumah Ki Dukuh.
Semua mata sedang tertuju ke arah Ki Rangga yang terlihat
berdiri dengan kaki gemetar dan wajah yang sedikit menyiratkan
kesakitan. Sementara telapak tangan kirinya mencengkeram erat
pergelangan tangan kanannya.
Sejenak kemudian terlihat tubuh Ki Rangga sedikit limbung dan
akhirnya terjatuh pada salah satu lututnya. Sementara tangan
kirinya masih mencengkeram erat pergelangan tangan kanannya.
Seruan riuh rendah dari anak murid perguruan Singo Barong pun
menyambut terjatuhnya Agul Agulnya Mataram itu.
Beberapa orang telah tertawa, dan tertawa yang paling keras tentu
saja berasal dari Kiai Singo Barong sendiri. Sedangkan Ki Gede
dan anggota rombongan yang lain tampak cemas luar biasa
kecuali Ki Bango Lamatan.
57
“Aku dengar tubuh Ki Rangga ini kebal segala racun,” membatin
Ki Bango Lamatan dengan kerut merut di dahi, “Semoga racun ini
tidak seganas racun yang pernah mencederai Ki Rangga beberapa
waktu yang lalu.”
Dalam pada itu, di halaman belakang rumah Ki dukuh, ternyata Ki
Jayaraga dan Ki Wiyaga telah berhasil merapat ke dinding dapur.
Sejenak kedua orang itu mencoba mengatur pernafasan mereka
sambil mencoba mendengarkan gerakan yang ada di dalam dapur.
“Sepertinya ada dua orang sedang memasak,” membatin Ki
Jayaraga sambil mencoba mencari celah dari dinding yang terbuat
dari papan papan kayu yang cukup rapat. Namun Ki Jayaraga pun
akhirnya menemukan celah itu.
Ketika Ki Jayaraga kemudian mencoba mengintip ke dalam, dada
orang tua itu berdesir tajam. Tampak di dalam dapur dua orang
laki laki sedang memasak. Menilik pakaian mereka serta wajah
mereka yang rata rata berkumis dan berjengggot, Ki Jayaraga pun
segera menyimpulkan bahwa kedua orang itu pasti bukan
pembantu laki laki rumah Ki Dukuh.
Setelah yakin dengan pengamatannya, Ki Jayaraga segera
bergeser ke pintu dapur. Didorongnya perlahan pintu dapur itu
dan ternyata di selarak dari dalam.
Ki Jayaraga segera memberi isyarat kepada Ki Wiyaga untuk
bergeser menjauhi pintu. Ki Wiyaga pun tanggap.
Sejenak kemudian, setelah mengumpulkan kekuatan tenaga
cadangan pada telapak tangan kanannya, guru Glagah Putih
itupun segera mengethuk pintu dapur perlahan lahan.
“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan dari dalam dapur.
58
“Aku, kang!” jawab Ki Jayaraga dengan nada suara dibuat
sedemikian rupa sehingga mirip seperti suara seorang anak muda.
Dua murid perguruan Singo Barong yang sedang bertugas
memasak itu mengerutkan kening mereka. Rasa rasanya mereka
berdua tidak mengenal suara itu. Namun salah seorang segera
bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu.
Ki Jayaraga segera memusatkan nalar dan budinya begitu
mendengar langkah langkah mendekati pintu. Ketika suara
langkah itu kemudian terdengar berhenti tepat di depan pintu, Ki
Jayaraga pun kemudian menghentakkan telapak tangannya yang
telah dilambari dengan tenaga cadangan ke daun pintu itu.
Akibatnya sungguh mengejutkan. Murid Singo Barong yang
sedianya akan mengintip terlebih dahulu melalui celah celah pintu
dapur itu justru telah terlanggar pintu yang jebol. Terdengar suara
berderak derak keras sekali dan cantrik itu pun jatuh terlentang
tertimpa pintu yang jebol, pingsan.
Dalam pada itu cantrik yang satunya menjadi sangat terkejut
sekali melihat kawannya jatuh tertimpa pintu dapur yang tiba tiba
saja terbongkar bagaikan terlanggar sepuluh ekor kerbau liar.
Dengan cekatan dia segera meloncat berdiri sambil menyambar
senjatanya yang di geletakkan di atas amben.
Namun ternyata dia kalah cepat dengan Ki Jayaraga. Guru Glagah
Putih yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan serta
telah putus segala kawruh hitam maupun putih dalam dunia
kanuragan, telah mengacungkan kedua telapak tangannya. Lantai
dapur pun bagaikan meledak menyemburkan pecahan lantai
dapur yang berasap bercapur debu panas yang membuat cantrik
itu terlempar ke belakang dan akhirnya mengikuti kawannya,
jatuh pingsan.
59
Ki Wiyaga yang bersembunyi di balik dinding dapur itu tidak
dapat menyaksikan dua kali peristiwa yang telah membuat kedua
cantrik Singo Barong itu jatuh pingsan. Dia hanya sempat melihat
Ki Jayaraga menghentakkan telapak tangan kanannya dan tiba
tiba saja pintu dapur itu sudah jebol. Ketika dia kemudian
bergeser ke arah pintu mengikuti Ki Jayaraga yang telah
melangkah masuk, dia hanya mendengar suara ledakan dan ketika
dia meloncat masuk, satu orang lagi terlihat sudah rebah di lantai
dapur, pingsan.
“Apa yang telah terjadi, Ki?” bertanya Ki Wiyaga kemudian begitu
dia melihat ada dua orang rebah tak bergerak di lantai dapur.
“Mereka telah pingsan,” jawab Ki Jayaraga singkat. Kemudian
sambil memberi isyarat untuk mengikutinya, orang tua itu pun
kemudian menyelinap melalui pintu yang menghubungkan dapur
dengan ruang tengah.
Dengan setengah meloncat Ki Wiyaga pun segera mengikutinya.
Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Kamituwa yang berjalan
mengendap endap di antara gerumbul dan perdu serta pepohonan
terlihat sedang mendekati longkangan. Pintu longkangan itu
tampak terbuka sejengkal.
“Bagaimana, Ki?” bisik Ki Waskita kemudian kepada Ki Kamituwa
yang merunduk di sampingnya, “Kita melewati longkangan itu apa
bergerak ke arah gandhok untuk memeriksa keadaan gandhok?”
Untuk sejenak Ki Kamituwa termenung. Jawabnya kemudian,
“Jika kita langsung menerobos longkangan itu, kita akan langsung
sampai di samping pendapa sehingga akan sangat berbahaya,” Ki
Kamituwa berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Untuk lebih
60
amannya kita menyusup ke gandhok dan melihat keadaan di
halaman depan dari arah gandhok.”
“Baiklah aku setuju,” berkata Ki Waskita kemudian. Namun baru
saja kedua orang tua iu bergerak, terdengar sorak sorai yang
membahana dan tawa menggelegar dari arah halaman depan.
“Apa yang telah terjadi, Ki?” bertanya Ki Kamituwa dengan suara
bergetar. Bebahu Matesih itu menjadai berdebar debar
membayangkan nasib Ki Gede dan rombongannya.
“Aku belum tahu,” sahut Ki Waskita sambil mempercepat
langkahnya merunduk runduk kemudian memasuki gandhok dari
longkangan. Sedangkan Ki Kamituwa pun segera mengikutinya.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga dam Ki Wiyaga yang sedang berada
di ruang tengah pun telah mendengar suara sorak sorai serta tawa
yang menggelegar dari arah halaman depan.
Untuk sejenak Ki Jayaraga berpikir. Tidak menutup kemungkinan
di halaman depan sekarang ini telah berkumpul orang orang sakti
yang dapat mengetahui kehadiran dirinya dan Ki Wiyaga. Maka Ki
Jayaraga pun segera mengatur siasat.
“Ki Wiyaga,” bekata Ki Jayaraga kemudian setengah berbisik,
“Aku minta Ki Wiyaga tetap di sini, di ruang tengah ini. Tugas Ki
Wiyaga mengawasi jika ada orang yang datang dari arah belakang.
Biarlah aku sendiri yang akan memasuki pringgitan dan melihat
apa yang sedang terjadi di halaman depan,” Ki Jayaraga berhenti
sejenak. Lanjutnya, “Tetapi jangan meninggalkan kewaspadaan.
Periksa terlebih dahulu setiap bilik yang ada di ruang ini untuk
meyakinkan keamanannya.”
Tidak ada pilihan lain bagi Ki Wiyaga. Maka pemimpin pengawal
Matesih itu pun telah menganggukan kepalanya.
61
Demikanlah Ki Wiyaga segera bergerak dengan sangat hati hati
menyisir setiap bilik di ruang tengah itu. Sementara Ki Jayaraga
pun segera menuju ke arah pintu yang menghubungkan ruang
tengah dengan pringgitan.
Untuk beberapa saat Ki Jayaraga masih berdiri membeku di
belakang pintu itu. Diterapkan segala kemampuannya untuk
menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan oleh pergesekan
dirinya dengan lingkungan sekelilingnya. Setelah yakin, barulah
Ki Jayaraga mendorong daun pintu itu dengan sangat perlahan.
Tidak terdengar derit sama sekali dari pintu yang terbuka
sejengkal itu. Dari celah itulah Ki Jayaraga mencoba mengamati
keadaan di pringgitan. Ternyata pringgitan kosong melompong.
Namun pintu pringgitan terlihat terbuka lebar sehingga membuat
Ki Jayaraga ragu ragu untuk memasuki pringgitan.
“Walaupun aku mampu menyerap bunyi, namun pintu pringgitan
yang terbuka lebar itu akan dengan mudah menjadi sarana bagi
orang orang yang berdiri di halaman itu untuk melihat
kehadiranku.
Ki Jayaraga menghela nafas perlahan. Dicobanya dari celah pintu
itu untuk mengamati apa yang sedang terjadi di halaman depan.
Alangkah terkejutnya guru Glagah Putih itu begitu dia melihat Ki
Rangga Agung Sedayu tampak sedang terjatuh pada salah satu
lututnya sambil memegangi pergelangan tangan kanannya dengan
telapak tangan kirinya. Wajah Ki Rangga terlihat menunduk
sedangkan beberapa langkah di hadapannya, membelakangi
pandangan Ki Jayaraga, tampak seorang yang rambutnya sudah
putih semua dan panjang terurai hampir menyentuh punggung
sedang berdiri bertolak pinggang.
62
“Nah waktu sepenginang sirih sudah hampir habis,” terdengar
orang yang berdiri di hadapan Ki Rangga itu berkata cukup
lantang sambil menunjuk ke arah Ki Rangga yang telah terjatuh
pada salah satu lututnya dan menundukkan wajahnya dalam
dalam. Tangan kirinya tetap erat mencengkeram pergelangan
tangan kanannya.
“Jika kalian mau, kalian dapat menghitung bersama sama
denganku,” kembali terdengar suara lantang orang yang berambut
putih menjuntai hampir sampai ke punggung, “Dalam hitungan
kurang dari sepuluh, kita akan segera melihat pemandangan yang
tidak akan pernah kalian lupakan seumur hidup,” terdengar dia
berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekelilingnya, “Agul Agulnya Mataram ini,
Senapati pasukan khusus Mataram, murid utama perguruan orang
bercambuk dan entah gelar apa lagi yang telah disandangnya,
semua akan runtuh secara bersamaan pagi ini di halaman ini, dan
kalian semua akan menjadi saksi.”
Selesai berkata demikian Kiai Singo Barong segera mengangkat
tangan kanannya dan mulai menghitung dengan jari jari
tangannya.
“Satu..dua…tiga…empat,”
Namun baru sampai hitungan keempat, tiba-tiba Kiai Singo
Barong berhenti. Dia melihat sebuah peristiwa yang sama sekali
tidak masuk akal. Bahkan seumur hidup pun dia belum pernah
mengalaminya.
Dengan tenangnya Ki Rangga kemudian melepaskan cengkeraman
tangan kirinya pada pergelangan tangan kanannya dan bangkit
berdiri. Tidak tampak sama sekali pengaruh racun Kiai Singo
Barong yang baru saja merajam dalam tubuhnya.
63
Sambil tersenyum Ki Rangga pun kemudian maju selangkah
sambil berkata, “Terima kasih atas sambutan yang penuh
persahabatan ini, Kiai Singo Barong. Tetapi mungkin Kiai lupa
belum melumuri jarum di telapak tangan Kiai itu dengan racun.
Atau karena Kiai yang sudah dijangkiti penyakit pikun, sehingga
sudah tidak dapat membedakan lagi antara serbuk racun dengan
serbuk garam.”
“Persetan!” bentak Kiai Singo Barong dengan wajah merah
padam. Bentakan yang begitu keras itu telah membuat Ratri
terperanjat dan kemudian menggigil ketakutan. Untung Ki Gede
yang berada di sebelahnya segera merengkuhnya.
Dalam pada itu Kiai Singo Barong yang merasa dipermalukan di
hadapan anak muridnya sendiri segera memberi isyarat kepada
Srenggi dan dua saudara seperguruannya. Sedangkan murid
murid perguruan Singo Barong yang lainnya telah bergerak
menyesuaikan mengepung rombongan Ki Rangga itu.
“Luar biasa!” geram Kiai Singo Barong kemudian ketika ketiga
muridnya sudah mendekat dan siap mengepung Ki Rangga,
“Ternyata masih ada ilmu kesaktian dari Agul Agulnya Mataram
ini yang luput dari pengamatanku,” Kiai Singo Barong berhenti
sejenak sekedar untuk menarik nafas. Lanjutnya kemudian,
“Ternyata nama besarnya selama ini tidak hanya omong kosong
belaka. Ternyata Ki Rangga juga kebal terhadap segala racun dan
bisa.”
Ki Rangga tersenyum tipis sambil berkata, “Itu semua adalah
karunia Yang Maha Agung kepada hambaNya yang selalu mencari
ridhoNya disetiap langkah dan disetiap tarikan nafasnya.”
“Omong kosong!” sergah Kiai Singo Barong sambil meludah,
“Jangan menggurui aku dengan ilmu yang sama sekali tidak ada
64
gunanya itu. Aku mendapatkan semua ilmuku karena usahaku
yang sungguh sungguh serta mempelajari setiap gerakan semua
hewan serta perubahan lingkungan baik siang maupun malam,
panas maupun dingin yang dapat aku jadikan sebagai sumber
ilmu yang tiada habis habisnya.”
Ki Rangga hanya dapat menarik nafas panjang menanggapi
sesorah Kiai Singo Barong. Jauh di dasar hatinya, Ki Rangga
merasa kasihan terhadap orang orang yang telah jauh tersesat,
tersesat dari jalan yang diridhoiNya.
Dalam pada itu, Ki Waskita yang telah sampai di gandhok kanan
juga telah mendengar Kiai Singo Barong melakukan hitungan.
Dengan cepat ayah Rudita itu segera memberi isyarat Ki
Kamituwa untuk menyelinap ke dalam salah satu bilik di gandhok
itu.
“Kita bersembunyi disini,” desis Ki Waskita kemudian kepada Ki
Kamituwa. Bebahu Matesih itu pun tidak menjawab hanya
menganggukkan kepalanya.
Untuk beberapa saat kedua orang tua itu masih mendengar
umpatan yang keluar dari mulut seseorang yang sepertinya
sebagai pemimpin mereka.
“Nah, Ki Kamituwa aku minta untuk mengadakan penyelidikan di
setiap bilik dalam gandhok ini. Berhati hatilah, Ki. Siapa tahu ada
beberapa orang pengikut mereka yang memang dengan sengaja
besembunyi dalam gandhok,” berkata Ki Waskita kemudian
kepada Ki Kamituwa.
Ki Kamituwa pun segera tanggap dan keluar dari bilik itu untuk
melihat bilik bilik yang lainnya.
65
………….Terdengar suara berderak derak keras sekali dan cantrik itu
pun jatuh terlentang tertimpa pintu yang jebol, pingsan.
66
Sepeninggal Ki Kamituwa yang disibukkan dengan meronda setiap
bilik yang berada di gandhok, Ki Waskita segera menyelarak pintu
bilik itu dari dalam.
Kemudian dengan mengetrapkan kemampuannya dalam
menyerap segala bunyi, Ki Waskita mendekati jendela depan yang
sedikit terbuka.
Namun baru saja Ki Waskita mengintip keluar, tiba tiba terdengar
suara orang berlari larian dari arah regol depan.
Sejenak kemudian berpuluh puluh orang pun memasuki halaman
rumah Ki Dukuh yang luas dengan membawa persenjataan yang
lengkap.
“Tangkap pembunuh Kiai Damar Sasangka!”
“Tangkap Ki Gede Matesih yang telah menyerang Sapta
Dhahana!”
“Balaskan dendam Sapta Dhahana!”
“Tangkap dan bunuh Ki Rangga!”
Suara riuh rendah itu pun segera di sambut oleh sorak sorai
membahana dari para anak murid perguruan Singo Barong.
Tergetar dada Ki Waskita demi melihat pemandangan seperti itu.
Ayah Rudita itu belum tahu dari mana asal orang orang yang
bersenjata lengkap dan sekarang telah mengepung rombongan Ki
Gede itu.
Dalam pada itu di halaman rumah Ki Dukuh beberapa orang laki
laki yang bersenjata lengkap masih saja berdatangan walaupun
jumlahnya tidak sebanyak yang pertama tadi. Sehingga sebentar
67
saja sudah hampir ada lima puluhan orang yang mengepung Ki
Rangga dan rombongan.
Sebenarnyalah bukan hanya Ki Gede Matesih dan rombongan
yang heran atas kedatangan orang orang bersenjata itu, Kiai Singo
Barong dan anak muridnya pun juga heran, walaupun dalam hati
mereka gembira melihat sikap orang orang itu yang terlihat
mendukung Sapta Dhahana.
Srenggi yang berdiri di dekat gurunya segera melangkah lebar
menuju salah satu orang yang baru saja memasuki halaman.
Namun langkahnya terhenti ketika melihat keempat pengawal itu
justru telah menghampirinya.
“Ki Srenggi,” berkata salah satu pengawal yang bertubuh kurus,
“Maafkan kelancangan kami yang telah memanggil kawan kawan
kami, baik para pengawal maupun para kawula padukuhan
Klangon,” pengawal itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Tetapi jangan khawatir, Ki Srenggi. Mereka semua adalah
pendukung Ki Dukuh Klangon.”
Hampir setiap dada bergejolak, namun dengan tanggapan masing
masing. Ki Gede Matesih yang masih tetap merengkuh Ratri pun
telah berpaling ke arah Ki Rangga yang sekarang telah berdiri
tegak di atas kedua kakinya yang renggang.
“Nah!” teriak Kiai Singo Barong dengan lantang setelah
mendengar penjelasan dari pengawal bertubuh kurus itu, “Kalian
para kawula padukuhan Klangon, dengarkanlah. Hari ini adalah
kesempatan kalian membalas dendam. Ki Rangga dan Ki Gede
Matesih adalah orang orang yang paling bertangung jawab atas
jatuhnya Sapta Dhahana, sehingga mimpi kalian untuk
mendukung Trah Sekar Seda Lepen pun menjadi berantakan!”
68
Suasana menjadi hening. Tidak ada seorang pun yang menanggapi
sesorah pemimpin perguruam Singo Barong itu. Semua hanya
menunggu.
“Akan kita jadikan persitiwa pagi hari ini, di halaman rumah Ki
Dukuh Klangon ini sebagai bukti, bahwa pengikut Trah Sekar
Seda Lepen, para kawula yang sudah lama mendambakan
keadilan dan kejujuran berlaku di negeri ini, ternyata masih ada,”
Kiai Singo Barong berhenti sejenak. Kemudian sambil
mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, kembali dia
berkata lantang sambil mengepalkan tangan kanannya ke atas,
“Dengan dukungan para cantrik padepokan Singo Barong, kawula
padukuhan Klangon siap bangkit dan menghancurkan Matesih!”
Kata kata terakhir Kiai Singo Barong yang menggelegar itu pun
telah disambut dengan gegap gempita.
“Hidup Trah Sekar Seda Lepen!”
“Hancurkan Matesih!”
“Gulung Matesih!”
“Hidup padukuhan Klangon!”
“Hidup perguruan Singo Barong!”
Jika saja Kiai Singo Barong tidak mengangkat tangannya ke atas,
tentu teriakan gegap gempita dan bersahut sahutan itu tidak akan
mereda.
Setelah suasana menjadi tenang kembali, Kiai Singo Barong
segera berkata kembali, kali ini dengan suara yang tenang dan
dalam sambil memandang ke arah Ki Rangga, “Nah, Ki Rangga.
Engkau telah mendengar sendiri luapan perasaan para kawula
69
padukuhan Klangon. Hari ini Ki Rangga dan rombongan aku
pastikan tidak akan keluar hidup hidup dari halaman ini!”
Ancaman itu terdengar begitu mengerikan bagi rombongan Ki
Gede, terutama Ratri. Gadis itu sudah sedemikian lemahnya
sehingga rasa rasanya lututnya sudah tidak mampu menyangga
tubuhnya.
Ki Gede yang menyadari goncangan yang sedang melanda anak
perempuan satu satunya itu menjadi gelisah. Keselamatan Ratri
harus diutamakan karena di dalam rombongan itu hanya Ratri
yang belum mengetahui seluk beluk dunia olah kanuragan.
Perlahan tubuh Ratri pun kemudian merosot dari pelukan
ayahnya. Tubuh itu terasa sangat dingin. Matanya nanar tidak
bercahaya. Agaknya goncangan yang dahsyat telah membuat Ratri
jatuh pingsan.
Melihat keadaan anak perempuan satu satunya itu, Ki Gede segera
mengangkat dan kemudian mendukungnya. Katanya kemudian
kepada Kiai Singo Barong, “Jika kalian adalah orang orang yang
menjunjung tinggi paugeran di dalam hidup bebrayan, biarlah aku
baringkan anak gadisku ini di dalam gandhok. Tidak ada seorang
pun yang boleh menyentuhnya,” Ki Gede berhenti sebentar.
Lanjutnya kemudian, “Setelah itu kita akan menyabung nyawa
sampai titik darah penghabisan. Jika kami memang tidak bisa
keluar dari halaman ini dengan selamat, terserah apa yang akan
kalian lakukan kepada anak semata wayangku ini.”
Kata kata Ki Gede itu diucapkan dengan nada yang penuh wibawa
dan dengan tekanan yang dapat membuat jantung mereka yang
mendengarnya berpacu semakin kencang.
70
Kiai Singo Barong tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Silahkan
Ki Gede. Kami tidak akan mengganggu seujung rambut pun
puterimu itu. Setelah kalian semua kami tumpas habis di halaman
ini, aku kira Ki Gede tidak akan punya kekuatan lagi untuk
mencegah kami.”
Kata kata terakhir Kiai Singo Barong yang diucapkan dengan
sebuah senyum di bibir itu telah disambut tawa oleh para anak
murid Singo Barong.
Namun Ki Gede tidak memperdulikan semua itu. Dengan langkah
lebar Ki Gede pun segera mendukug Ratri dan membawanya ke
gandhok kanan.
Sepeninggal Ki Gede, Kiai Singo Barong segera memberi isyarat
kepada murid muridnya untuk bergerak. Sejenak kemudian, Ki
Rangga pun telah di kepung oleh Kiai Singo Barong sendiri
bersama ketiga muridnya.
“Tunggu!” tiba tiba terdengar suara Ki Rangga yang menggelegar
memekakkan telinga sambil mengangkat tangan kanannya.
Agaknya Ki Rangga yang sedang mematangkan aji gelap ngampar
dari kitab Windujati itu telah menyalurkan kekuatan aji itu lewat
getaran suaranya, bukan lewat getaran ujung cambuknya.
Langkah langkah kaki yang sudah mulai bergerak itu sejenak
tertahan. Beberapa orang justru telah mundur sambil memegang
dada masing masing.
Sebenarnya lah Ki Rangga tidak ingin melukai orang orang yang
tidak mengerti ujung pangkal permasalahan yang sedang terjadi di
halaman rumah Ki Dukuh itu. Namun Ki Rangga terpaksa
melakukan itu untuk sekedar memberi peringatan kepada Kiai
Singo Barong dan murid muridnya.
71
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Kiai Singo Barong
yang mendengar bentakan Ki Rangga itu dadanya berdesir tajam.
Dia menyadari bahwa orang yang berdiri beberapa langkah di
hadapannya itu mempunyai segudang ilmu, bahkan ilmu yang tak
terduga sekalipun yang baru saja ditunjukkan kapadanya, aji gelap
ngampar.
“Apa maksudmu Ki Rangga?” bertanya Kiai Singo Barong
kemudian setelah getar di dalam dadanya mereda, “Apakah
engkau memutuskan untuk menyerah?”
“Tentu tidak!” jawab Ki Rangga dengan serta merta. Kemudian
sambil mengambil sesuatu dari kantung ikat pinggangnya, Ki
Rangga pun mengangkat tinggi tinggi sebuah lencana yang
tampak berkilauan tertimpa sinar Matahari yang masih lemah.
“Kawula padukuhan Klangon, lihatlah!” teriak lantang Ki Rangga.
namun kali ini tidak dilambari aji gelap ngampar, “Yang berada di
tangan kananku ini adalah lencana dari Mataram. Aku secara
resmi telah ditunjuk untuk meminpin sekelompok kecil para
utusan dari Mataram untuk mernghukum Sapta Dhahana,” Ki
Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku diberi kuasa
penuh oleh penguasa Mataram melalui Ki Patih Mandaraka untuk
berbuat apa saja demi tegaknya Mataram dari rongrongan orang
yang mengaku sebagi Trah Sekar Seda Lepen! Nah, para kawula
padukuhan Klangon, kalian di bawah kademangan Salam, dan
kademangan Salam berada di bawah panji panji Mataram. Jika
kalian berani mengganggu tugasku bahkan sampai berani
bersekongol dengan siapapun yang mendukung Trah Sekar Seda
Lepen, cepat atau lambat padukuhan Klangon akan diratakan
dengan tanah oleh prajurit prajurit Mataram!”
Sesorah Ki Rangga yang panjang lebar itu sedikit banyak telah
mempengaruhi ketahanan jiwani para kawula padukuhan
72
Klangon. Untuk beberapa saat mereka hanya saling pandang satu
sama lainnya. Tidak tahu harus berbuat apa.
Dalam pada itu Ki Gede yang telah memasuki gandhok terkejut
bukan alang kepalang ketika dia melangkah masuk, dari sebuah
pintu bilik yang terbuka sejengkal dia melihat wajah yang sudah
tidak asing baginya, Ki Waskita.
Dengan cepat Ki Waskita segera memberi isyarat kepada Ki Gede
untuk membawa Ratri masuk.
Dengan cepat Ki Gede segera memasuki bilik dan membaringkan
Ratri di sebuah amben. Ketika Ki Gede akan membuka suara, Ki
Waskita segera memberi isyarat dengan meletakkan jari
telunjuknya di bibir. Kemudian Ki Waskita pun memberi isyarat
Ki Gede untuk segera kembali agar tidak menumbuhkan
kecurigaan.
AgaknyaKi Gede tanggap dengan maksud Ki Waskita. Pemimpin
perdikan Matesih itu pun segera meninggalkan tempat itu tanpa
mengetahui bahwa salah satu bebahunya, Ki Kamituwa juga
sedang berada di gandhok itu akan tetapi sedang berada di ujung
yang lain.
Sepeninggal Ki Gede, Ki Waskita segera menyelarak pintu bilik.
Setelah dirasa aman, Ki Waskita pun segera berdiri tegak sambil
menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ki Waskita segera
mengirim aji pameling kepada Ki Rangga tentang kehadiran Ki
Waskita dan kawan kawan.
Dalam pada itu, begitu melihat Ki Gede keluar dari gandhok
kanan, Kiai Singo Barong segera tertawa dan berpaling ke arah Ki
Rangga. Katanya kemudian, “Ki Rangga, kami semua menyadari
dengan sesadar sadarnya bahwa Ki Rangga adalah suruhan orang
73
Sela yang penuh tipu muslihat itu. Kami tahu Ki Rangga adalah
prajurit Mataram. Namun kami juga sadar sesadar sadarnya
bahwa sekarang ini Ki Patih mungkin sedang menyantap sarapan
pagi di istananya. Para prajurit segelar sepapan yang akan
meluluh lantakkan padukuhan Klangon ini mungkin juga masih
sedang tidur tiduran di barak mereka,” Kiai Singo Barong berhenti
sebentar. Kemudian sambil berteriak lantang dia berkata, “Apa
peduli kita dengan prajurit Mataram yang segelar sepapan? He?
Apa peduli kita? Setelah menghabisi rombongan ini, kita segera
bersiap menyusun kekuatan untuk menghadapi prajurit Mataram,
itu jika peristiwa yang terjadi di halaman ini bocor dan terdengar
di telinga orang Sela itu. Jika tidak, maka kisah hilangnya Ki
Rangga Agung Sedayu sebagai Agul Agulnya Mataram, Senapati
pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh, murid
utama perguruan bercambuk dan entah gelar apa lagi yang di
sandangnya, tidak akan pernah terungkap dan prajurit Mataram
segelar sepapan yang ditakutkan itu tidak akan pernah sampai di
padukuhan ini.”
Kembali suasana menjadi sunyi. Semua orang mencoba untuk
mencerna setiap kata yang terucap dari pemimpin perguruan
Singo Barong itu.
Tiba tiba suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara tawa Ki
Rangga. Suara tawa yang terdengar sekilas saja namun telah
menarik perhatian semua orang.
“Apa lagi yang akan dilakukan orang ini?” geram Kiai Singo
Barong dalam hati sambil memandang ke arah Ki Rangga yang
kembali mengacungkan lencana khusus sebagai pertanda utusan
resmi dari Mataram.
“Aku dibekali lencana khusus ini tidaklah sia sia,” berkata Ki
Rangga kemudian dengan suara tak kalah lantangnya, “Aku telah
74
dipercaya sebagai duta pamungkas. Artinya, jika aku tidak
berhasil menghancurkan perguruan Sapta Dhahana dengan
bekerja sama menggunakan kekuatan perdikan Matesih, aku juga
diperkenankan menggunakan kekuatan prajurti segelar sepapan
yang sekarang sudah berada di balik dinding padukuhan Klangon.
Mereka tinggal menunggu isyarat dariku, maka prajurit segelar
sepapan akan datang dan meluluh lantakkan padukuhan ini.”
“Omong kosong!” bentak Kiai Singo Barong menggelegar, “Aku
bukan anak kemarin sore yang dapat engkau takut takuti dengan
cerita hantu hantuan atau apapun sejenis itu. Tekat kami telah
bulat untuk menghapus siapapun yang merintangi cita cita luhur
Trah Sekar Seda Lepen!”
Dalam pada itu Ki Gede yang telah melangkah kembali ke dalam
lingkaran kepungan itu segera berdiri di dekat Ki Bango Lamatan.
Ketika orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan
Cahya Warastra itu berpaling sekilas kearah Ki Gede, Ki Gede pun
telah tersenyum walaupun hanya terlihat di ujung bibirnya.
Agaknya Ki Bango Lamatan tanggap. Maka dia pun segera kembali
ke sikapnya semula, berdiri diam dengan kedua tangan bersilang
di depan dada.
Dalam pada itu, Ki Rangga yang telah mendapat bisikan aji
pameling dari Ki Waskita segera mundur selangkah. Setelah
memasukkan kembali lencana itu ke kantung ikat pinggangnya,
tangan kanannya segera meraba lambung. Sejenak kemudian
sebuah cambuk berjuntai panjang telah tergenggam di tangan
kanannya. Orang orang pun menjadi bertanya tanya apa yang
akan di lakukan oleh Ki Rangga kemudian.
“Nah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil mengangkat cambuk
di tangan kanannya, “Jika kalian tidak percaya, akan aku
75
buktikan. Dengan isyarat ledakkan cambukku ini, pasukan
berkuda prajurit Mataram segelar sepapan akan segera hadir di
tempat ini.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu waktu Ki Rangga
segera memutar cambuknya di atas kepala. Sejenak kemudian
dengan sebuah hentakan sendal pancing, ujung cambuk di tangan
Ki Rangga pun menggeliat dan meledak. Suaranya begitu
bergemuruh sehingga telah membuat orang orang di sekitaranya
menyumbat telinga mereka.
Namun ternyata Kiai Singo Barong dan ketiga murid utamanya
justru telah tertawa berkepanjangan. Berkata Kiai Singo Barong
kemudian, “Luar biasa Ki Rangga. Sebuah pertunjukan yang dapat
membuat orang orang yang berhati pengecut terdiam. Namun
kami, perguruan Singo Barong tidak terkejut sama sekali. Itu
hanyalah pertunjukan para gembala di padang padang perdu
sambil menggembalakan ternak mereka.”
Ki Rangga tersenyum. Tidak tampak ketersinggungan sama sekali
di wajahnya. Sambil melilitkan cambuknya kembali di pingangnya
dia menjawab, “Terima kasih atas pujiannya, Kiai. Namun tujuan
sebenarnya bukan untuk membuat pengeram eram. Tujuanku
adalah memanggil pasukan berkuda Mataram segelar sepapan
yang sedang berada di perbatasan padukuhan Klangon.”
“Omong kosong!” kembali Kiai Singo Barong membentak keras.
Namun keningnya menjadi berkerut merut ketika lamat lamat dia
mendengar suara bergemuruh disertai dengan bumi yang
dipijaknya bergetar.
Orang orang yang berada di halaman rumah Ki Dukuh itu pun
menjadi ribut dan gelisah. Dengan sangat jelasnya suara
bergemuruh itu semakin mendekat dan mereka menyadari bahwa
76
itu adalah suara derap pasukan berkuda yang sedang dipacu
dengan kencangnya.
Ki Bango Lamatan yang hanya berdiam diri itu sekilas berpaling
ke arah Ki Rangga. Ketika perhatian Kiai Singo Barong sedang
tertumpah pada derap kaki kaki kuda itu, Ki Rangga pun segera
memberi isyarat kepada Ki Bango Lamatan dengan menggerakkan
kaki kanannya menghentak ke tanah.
Agaknya Ki Bango Lamatan tanggap. Dengan tanpa menarik
perhatian, dia pun mengikuti Ki Rangga menghentak hentakkan
kakinya ke tanah dengan dilambari tenaga cadangan yang sangat
dahsyat.
Akibatnya memang luar biasa. Tanah di halaman Ki Dukuh itu
pun bagaikan dilanda gempa bumi. Sementara suara derap
pasukan berkuda itu terdengar semakin keras ditingkah bumi
yang terus bergetar keras.
Kiai Singo Barong dan ketiga murid utamanya itu sebenarnya
tidak akan dengan mudah dikelabuhi oleh permainan Ki Rangga
itu. Namun mereka berempat menjadi bimbang. Suara gemuruh
itu hanyalah sebuah permainan semu bagi mereka. Namun tanah
yang bergetar yang pengaruhnya sampai di halaman rumah Ki
Dukuh itu nyata adanya. Sejenak guru dan murid itu saling
berpandangan, mereka belum dapat menyimpulkan apa
sebenarnya yang telah terjadi.
“Suara gemuruh derap kaki kaki kuda itu hanyalah permainan
semu belaka,” berkata Kiai Singo Barong dalam hati sambil
mempertajam panggraitanya, “Namun mengapa getaran yang
ditimbulkan oleh derap kaki kaki kuda itu benar benar nyata? Aku
merasakan getaran tanah di bawah telapak kakiku. Benar benar
sebuah getaran yang nyata.”
77
Dalam pada itu para pengawal serta orang orang padukuhan
Klangon yang mendukung Trah Sekar Seda Lepen itu menjadi
pucat. Tingkatan ilmu mereka belum dapat membedakan antara
peristiwa semu dan yang sesungguhnya. Hati mereka benar benar
tinggal semenir mendengar derap kaki kaki kuda yang semakin
dekat.
Tak lama kemudian, satu persatu tampak para prajurit Mataram
lengkap dengan rontek dan umbul umbul memasuki regol rumah
Ki Dukuh yang tinggi. Bagaikan air bah pasukan berkuda itu
memasuki halaman yang luas dan kemudian mengepung orang
orang yang berada di dalamnya dari segala penjuru.
Ki Bango Lamatan yang telah menghentikan hentakan kakinya itu
menarik nafas dalam dalam. Dia segera menyadari bahwa semua
itu pasti permainan semu Ki Waskita. Orang yang pernah menjadi
kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu segera teringat
peristiwa di tepian kali Krasak beberapa saat yang lalu.
“Ini pasti pekerjaannya Ki Waskita,” membatin Ki Bango Lamatan
kemudian sambil mengingat ingat senyum Ki Gede sekembalinya
ayah Ratri itu dari gandhok, “Syukurlah jika memang benar Ki
Waskita telah hadir di gandhok dan menunggui Ratri. Memang Ki
Waskita sangat pintar membuat orang kebingungan. Tetapi Ki
Rangga menurutku benar benar seorang pemimpin yang berotak
cerdas. Ki Rangga berhasil mengambil kesempatan di saat orang
orang yang berilmu itu baru mulai menyadari apa yang sedang
terjadi. Pengamatan mereka yang tumpang tindih antara peristiwa
semu dan kenyataan yang sebenarnya mereka rasakan, telah
mengacaukan penalaran mereka.”
Sedangkan Ki Gede Matesih yang juga dapat mengenali peristiwa
semu itu pun juga menjadi ragu ragu ketika dia merasakan
getaran yang nyata di bawah kedua telapak kakinya.
78
“Nah, atas nama Mataram, aku perintahkan kalian untuk
menyerah!” teriak Ki Rangga kemudian sambil memandang ke
arah para pengawal Klangon dan orang orang yang mendukung
Trah Sekar Seda Lepen itu.
“Jangan percaya!” tiba tiba Kiai Singo Barong menyela dengan
suara tak kalah lantangnya, “Tidak ada prajurit Mataram di
halaman ini. Semua ini hanyalah permainan semu. Permainan
memuakkan yang diciptakan oleh Ki Rangga atau siapapun di
antara mereka, “ Kiai Singo Barong berhenti sejenak untuk
melihat pengaruh ucapannya. Ketika tanpa disadarinya
pandangan matanya melihat seseorang yang berdiri di sebelah Ki
Gede Matesih, jantungnya pun berdesir tajam.
“Gila!” geram Kiai Singo Barong kemudian dalam hati, “Orang itu
sedari tadi telah luput dari pengamatanku. Sikapnya yang tenang
dan acuh itu ternyata telah mengelabuhi pengamatanku.”
Untuk sejenak pemimpin perguruan Singo Barong itu menjadi
ragu ragu. Dipandanginya Ki Bango Lamatan yang berdiri di
sebelah Ki Gede dalam sikap yang mendebarkan, berdiri tegak
dengan kaki renggang dan kedua tangan bersilang di dada.
Namun tampaknya Kiai Singo Barong memutuskan untuk
menunda pengamatannya terhadap Ki Bango Lamatan dan ingin
menunjukkan sesuatu. Maka lanjutnya, “Akan aku buktikan
bahwa semua kuda kuda dan penunggangnya itu memang tidak
ada. Otak kalian sajalah yang telah diracuni dengan permainan
semu ini.”
Selesai berkata demikian Kiai Singo Barong segera melangkah ke
samping, mendekati seorang prajurit yang sedang duduk dengan
garangnya di atas punggung kudanya. Semua mata pun tertuju ke
arahnya.
79
Dada Ki Rangga pun berdesir tajam. Jika Kiai Singo Barong dapat
membuktikan bahwa yang mereka lihat itu hanyalah bayangan
semu belaka, untuk bisa keluar dari halaman itu dengan selamat,
tentu harus banyak menjatuhkan korban, dan itu tidak
dikehendaki oleh Ki Rangga. Maka tidak ada jalan lain bagi Ki
Rangga kecuali menggagalkan usaha Kiai Singo Barong itu dari
tempatnya berdiri.
Demikianlah akhirnya, tanpa menimbulkan kecurigaan dan
menarik perhatian orang orang yang berdiri di sekelilingnya, Ki
Rangga pun segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada
sambil menundukkan kepalanya dalam dalam.
-------------------0O0-------------------
Bersambung ke jilid 21
80