Download - sepsis + abortus
1. Abortus
a. Pengertian
Keguguran atau abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang sedang berlangsung belum
mencapai umur 28 minggu atau berat janin sekitar 500 gram (Manuaba, 2007). Abortus
adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau umur
kehamilan kurang dari 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar
kandungan (Sarwono, 2008).
Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun, spontan maupun buatan,
sebelum janin mampu bertahan hidup. Batasan ini berdasar umur kehamilan dan berat badan.
Dengan lain perkataan abortus adalah terminasi kehamilan sebelum 20 minggu atau dengan
berat kurang dari 500 gr (Handono, 2009).
b. Klasifikasi Abortus (Sarwono, 2008)
1) Abortus spontan
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus, maka
abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran
(Miscarriage). Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan antara abortus imminens,
abortus insipiens, abortus inkompletus, abortus kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed
abortion, abortus habitualis, abortus infeksiosus dan aborrtus septik.
a) Abortus imminens (keguguran mengancam)
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil
konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis abortus imminens
ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium uteri eksternum,
disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan,
serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi
perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika tidak terjadi pembuahan. Hal
ini disebabkan oleh penembusan villi koreales ke dalam desidua, pada saat implantasi ovum.
Perdarahan implantasi biasanya sedikit, warnanya merah, cepat berhenti, dan tidak disertai
mules-mules.
b) Abortus incipiene (keguguran berlangsung)
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi
serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa
mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah.
c) Abortus incomplet (keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada
sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan
jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadangkadang sudah menonjol dari ostium uteri
eksternum.
d) Abortus complet (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah di keluarkan dari
kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap. Pada penderita
ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil.
Diagnosis dapat di permudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan
bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
e) Abortus infeksiosa dan Abortus septik
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedangkan abortus
septik adalah abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam
peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap
abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering ditemukan
pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis.
Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik
virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan
peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis,
dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala dan tanda
infeksi genitalia, seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam berbau, uterus yang
membesar, lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila terdapat sepsis, penderita
tampak sakit berat, kadang-kadang menggigil, demam tinggi dan tekanan darah menurun.
f) Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan di dalam kavum
uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih. Missed abortion biasanya didahului oleh
tanda-tanda abortus imminens yang kemudian menghilang secara spontan atau setelah
pengobatan. Gejala subyektif kehamilan menghilang, mammae agak mengendor lagi, uterus
tidak membesar lagi malah mengecil, dan tes kehamilan menjadi negatif. Dengan
ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan
usia kehamilan.
g) Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturutturut tiga kali atau lebih. Pada
umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28
minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua kehamilan.
Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadi abortus lagi pada seorang wanita
mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya, Warton dan Fraser dan
Llwellyn-Jones memberi prognosis lebih baik, yaitu 25,9% dan 39% (Sarwono, 2008).
2) Abortus provokatus
Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin
mampu hidup. Pada tahun 2000, total 857.475 abortus legal dilaporkan ke Centers for
Disease Control and Prevention (2003). Sekitar 20% dari para wanita ini berusia 19 tahun
atau kurang, dan sebagian besar berumur kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan belum
menikah. Hampir 60% abortus terinduksi dilakukan sebelum usia gestasi 8 minggu, dan 88%
sebelum minggu ke 12 kehamilan (Centers for Disease Control and Prevention, 2000).
Manuaba (2007), menambahkan abortus buatan adalah tindakan abortus yang sengaja
dilakukan untuk menghilangkan kehamilan sebelum umur 28 minggu atau berat janin 500
gram. Abortus ini terbagi lagi menjadi:
a) Abortus therapeutic (Abortus medisinalis)
Abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat
membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan
2 sampai 3 tim dokter ahli.
b) Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan
indikasi medis.
c) Unsafe Abortion
Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana tindakan tersebut tidak
mempunyai cukup keahlian dan prosedur standar yang aman sehingga dapat membahayakan
keselamatan jiwa pasien.
c. Etiologi
Penyebab abortus ada berbagai macam yang diantaranya adalah (Mochtar, 2002):
1) Faktor maternal
a) Kelainan genetalia ibu
Misalnya pada ibu yang menderita:
(1) Anomali kongenital (hipoplasia uteri, uterus bikornis, dan lain-lain).
(2) Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata.
(3) Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi dari ovum yang sudah dibuahi,
seperti kurangnya progesteron atau estrogen, endometritis, dan mioma submukosa.
(4) Uterus terlalu cepat teregang (kehamilan ganda, mola hidatidosa).
(5) Distorsia uterus, misalnya karena terdorong oleh tumor pelvis.
b) Penyakit-penyakit ibu
Penyebab abortus belum diketahui secara pasti penyebabnya meskipun sekarang berbagai
penyakit medis, kondisi lingkungan, dan kelainan perkembangan diperkirakan berperan
dalam abortus. Misalnya pada:
(1) Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi seperti pneumonia, tifoid, pielitis,
rubeola, demam malta, dan sebagainya. Kematian fetus dapat disebabkan karena toksin dari
ibu atau invasi kuman atau virus pada fetus.
(2) Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alkohol, dan lain-lain.
(3) Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis, penyakit paru berat, anemi gravis. (4)
Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme, hipotiroid, kekurangan vitamin A, C,
atau E, diabetes melitus.
c) Antagonis rhesus
Pada antagonis rhesus, darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus, sehingga terjadi
anemia pada fetus yang berakibat meninggalnya fetus.
d) Perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus berkontraksi
Misalnya, sangat terkejut, obat-obat uterotonika, ketakutan, laparatomi, dan lain-lain. Dapat
juga karena trauma langsung terhadap fetus: selaput janin rusak langsung karena instrument,
benda, dan obat-obatan.
e) Gangguan sirkulasi plasenta
Dijumpai pada ibu yang menderita penyakit nefritis, hipertensi, toksemia gravidarum,
anomali plasenta, dan endarteritis oleh karena lues.
f) Usia ibu
Usia juga dapat mempengaruhi kejadian abortus karena pada usia kurang dari 20 tahun belum
matangnya alat reproduksi untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun
pertumbuhan dan perkembangan janin, sedangkan abortus yang terjadi pada usia lebih dari 35
tahun disebabkan berkurangnya fungsi alat reproduksi, kelainan pada kromosom, dan
penyakit kronis (Manuaba, 1998).
2) Faktor janin
Menurut Hertig dkk, pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus spontan.
Menurut penyelidikan mereka, dari 1000 abortus spontan, maka 48,9% disebabkan karena
ovum yang patologis; 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio; dan 9,6% disebabkan
karena plasenta yang abnormal. Pada ovum abnormal 6% diantaranya terdapat degenerasi
hidatid vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh karena kelainan dari ovum berkurang
kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya makin muda kehamilan
saat terjadinya abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum (50-80%).
3) Faktor paternal
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya abortus. Yang jelas,
translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus. Saat ini abnormalitas
kromosom pada sperma berhubungan dengan abortus (Carrel, 2003). Penyakit ayah: umur
lanjut, penyakit kronis seperti TBC, anemi, dekompensasi kordis, malnutrisi, nefritis, sifilis,
keracunan (alcohol, nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis (Muchtar, 2002).
d. Patologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam decidua basalis, diikuti oleh nekrosis jaringan di
sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya,
sehingga merupakan benda asing didalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus
berkontraksi untuk mengeluarkan isinya.Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil
konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya, karena vili koreales belum menembus desidua
terlalu dalam, sedangkan pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, telah masuk agak tinggi,
karena plasenta tidak dikeluarkan secara utuh sehingga banyak terjadi perdarahan.Pada
kehamilan 14 minggu keatas, yang umumnya bila kantong ketuban pecah maka disusul
dengan pengeluaran janin dan plasenta yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak
banyak terjadi jika plasenta terlepas dengan lengkap.
Hasil konsepsi pada abortus dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya janin tidak
tampak didalam kantong ketuban yang disebut blighted ovum, mungkin pula janin telah mati
lama disebut missed abortion. Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu
singkat, maka ovum akan dikelilingi oleh kapsul gumpalan darah, isi uterus dinamakan mola
kruenta. Bentuk ini menjadi mola karneosa apabila pigmen darah diserap sehingga semuanya
tampak seperti daging.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses mumifikasi: janin
mengering dan menjadi agak gepeng atau fetus compressus karena cairan amnion yang
diserap. Dalam tingkat lebih lanjut janin menjadi tipis seperti kertas perkamen atau fetus
papiraseus. Kemungkinan lain yang terjadi apabila janin yang meninggal tidak dikeluarkan
dari uterus yaitu terjadinya maserasi, kulit terkupas, tengkorak menjadi lembek, dan seluruh
janin berwarna kemerahmerahan (Sarwono, 2008).
e. Komplikasi abortus
Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan, perforasi, infeksi, syok, dan
gagal ginjal akut.
1) Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisasisa hasil konsepsi dan jika
perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila
pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2) Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita pelu diamati dengan teliti. Jika ada tanda
bahaya, perlu segera dilakukan laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi,
penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang
dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persolan gawat karena perlukaan uterus biasanya
luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan
atau kepastian terjadinya perforasi, laparotomi harus segera dilakukan untuk menentukan
luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi
komplikasi.
3) Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya
ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang dikerjakan
tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah
peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
4) Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan infeksi berat (syok
endoseptik).
5) Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut yang persisten pada kasus abortus biasanya berasal dari efek infeksi dan
hipovolemik yang lebih dari satu. Bentuk syok bakterial yang sangat berat sering disertai
dengan kerusakan ginjal intensif. Setiap kali terjadi infeksi klostridium yang disertai dengan
komplikasi hemoglobenimia intensif, maka gagal ginjal pasti terjadi. Pada keadaan ini, harus
sudah menyusun rencana untuk memulai dialysis yang efektif secara dini sebelum gangguan
metabolik menjadi berat (Cunningham, 2005).
2. Usia Ibu Hamil
a. Pengertian
Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur dalam satuan waktu di
pandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan
anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari, 1998).
Usia adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan) (Hoetomo, 2005).
Sedangkan usia ibu hamil adalah usia ibu yang diperoleh dengan melihat catatan medik
pasien. Penyebab kematian maternal dari faktor reproduksi diantaranya adalah maternal
age/usia ibu. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia di bawah 20 tahun ternyata 2 sampai 5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal
yang terjadi pada usia 20 sampai 29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah
usia 30 sampai 35 tahun (Sarwono, 2008).
Usia seorang wanita pada saat hamil sebaiknya tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Umur
yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, berisiko tinggi untuk melahirkan.
Kesiapan seorang perempuan untuk hamil harus siap fisik, emosi, psikologi, sosial dan
ekonomi (Ruswana, 2006).
b. Usia ibu kurang dari 20 tahun
Remaja adalah individu antara umur 10-19 tahun. Penyebab utama kematian pada perempuan
berumur 15-19 tahun adalah komplikasi kehamilan, persalinan, dan komplikasi keguguran.
Kehamilan dini mungkin akan menyebabkan para remaja muda yang sudah menikah
merupakan keharusan sosial (karena mereka diharapkan untuk membuktikan kesuburan
mereka), tetapi remaja tetap menghadapi risiko-risiko kesehatan sehubungan dengan
kehamilan dini dengan tidak memandang status perkawinan mereka.
Kehamilan yang terjadi pada sebelum remaja berkembang secara penuh, juga dapat
memberikan risiko bermakna pada bayi termasuk cedera pada saat persalinan, berat badan
lahir rendah, dan kemungkinan bertahan hidup yang lebih rendah untuk bayi tersebut.
Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan
perkembangan janin karena belum matangnya alat reproduksi untuk hamil. Penyulit pada
kehamilan remaja (<20 tahun) lebih tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara
20-30 tahun. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan
(stress) psikologi, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya keguguran (Manuaba,
1998).
Manuaba (2007), menambahkan bahwa kehamilan remaja dengan usia di bawah 20 tahun
mempunyai risiko:
1) Sering mengalami anemia.
2) Gangguan tumbuh kembang janin.
3) Keguguran, prematuritas, atau BBLR.
4) Gangguan persalinan.
5) Preeklampsi.
6) Perdarahan antepartum.
Para remaja yang hamil di negara-negara berkembang seringkali mencari cara untuk
melakukan aborsi. Di negara-negara di mana aborsi adalah ilegal atau dibatasi oleh ketentuan
usia, para remaja ini mungkin akan mencari penolong ilegal yang mungkin tidak terampil
atau berpraktik di bawah kondisi-kondisi yang tidak bersih. Aborsi yang tidak aman
menempati proporsi tinggi dalam kematian ibu di antara para remaja.
c. Usia ibu lebih dari 35 tahun
Risiko keguguran spontan tampak meningkat dengan bertambahnya usia terutama setelah
usia 30 tahun, baik kromosom janin itu normal atau tidak, wanita dengan usia lebih tua, lebih
besar kemungkinan keguguran baik janinnya normal atau abnormal (Murphy, 2000).
Semakin lanjut usia wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung telur juga semakin
kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Makin lanjut usia wanita, maka risiko terjadi
abortus, makin meningkat karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya
risiko kejadian kelainan kromosom (Samsulhadi, 2003).
Pada gravida tua terjadi abnormalitas kromosom janin sebagai salah satu faktor etiologi
abortus (Friedman, 1998). Sebagian besar wanita yang berusia di atas 35 tahun mengalami
kehamilan yang sehat dan dapat melahirkan bayi yang sehat pula. Tetapi beberapa penelitian
menyatakan semakin matang usia ibu dihadapkan pada kemungkinan terjadinya beberapa
risiko tertentu, termasuk risiko kehamilan.
Para tenaga ahli kesehatan sekarang membantu para wanita hamil yang berusia 30 dan 40an
tahun untuk menuju ke kehamilan yang lebih aman. Ada beberapa teori mengenai risiko
kehamilan di usia 35 tahun atau lebih, di antaranya:
1) Wanita pada umumnya memiliki beberapa penurunan dalam hal kesuburan mulai pada
awal usia 30 tahun. Hal ini belum tentu berarti pada wanita yang berusia 30 tahunan atau
lebih memerlukan waktu lebih lama untuk hamil dibandingkan wanita yang lebih muda
usianya. Pengaruh usia terhadap penurunan tingkat kesuburan mungkin saja memang ada
hubungan, misalnya mengenai berkurangnya frekuensi ovulasi atau mengarah ke masalah
seperti adanya penyakit endometriosis, yang menghambat uterus untuk menangkap sel telur
melalui tuba fallopii yang berpengaruh terhadap proses konsepsi.
2) Masalah kesehatan yang kemungkinan dapat terjadi dan berakibat terhadap kehamilan di
atas 35 tahun adalah munculnya masalah kesehatan yang kronis. Usia berapa pun seorang
wanita harus mengkonsultasikan diri mengenai kesehatannya ke dokter sebelum berencana
untuk hamil. Kunjungan rutin ke dokter sebelum masa kehamilan dapat membantu
memastikan apakah seorang wanita berada dalam kondisi fisik yang baik dan memungkinkan
sebelum terjadi kehamilan. Kontrol ini merupakan cara yang tepat untuk membicarakan apa
saja yang perlu diperhatikan baik pada istri maupun suami termasuk mengenai kehamilan.
Kunjungan ini menjadi sangat penting jika seorang wanita memiliki masalah kesehatan yang
kronis, seperti menderita penyakit diabetes mellitus atau tekanan darah tinggi.
Kondisi ini, merupakan penyebab penting yang biasanya terjadi pada wanita hamil berusia
30-40an tahun dibandingkan pada wanita yang lebih muda, karena dapat membahayakan
kehamilan dan pertumbuhan bayinya. Pengawasan kesehatan dengan baik dan penggunaan
obat-obatan yang tepat mulai dilakukan sebelum kehamilan dan dilanjutkan selama
kehamilan dapat mengurangi risiko kehamilan di usia lebih dari 35 tahun, dan pada sebagian
besar kasus dapat menghasilkan kehamilan yang sehat.
Para peneliti mengatakan wanita di atas 35 tahun dua kali lebih rawan dibandingkan wanita
berusia 20 tahun untuk menderita tekanan darah tinggi dan diabetes pada saat pertama kali
kehamilan. Wanita yang hamil pertama kali pada usia di atas 40 tahun memiliki kemungkinan
sebanyak 60% menderita takanan darah tinggi dan 4 kali lebih rawan terkena penyakit
diabetes selama kehamilan dibandingkan wanita yang berusia 20 tahun pada penelitian serupa
di University of California pada tahun 1999.
Hal ini membuat pemikiran sangatlah penting ibu yang berusia 35 tahun ke atas mendapatkan
perawatan selama kehamilan lebih dini dan lebih teratur. Dengan diagnosis awal dan terapi
yang tepat, kelainan-kelainan tersebut tidak menyebabkan risiko besar baik terhadap ibu
maupun bayinya.
3) Risiko terhadap bayi yang lahir pada ibu yang berusia di atas 35 tahun meningkat, yaitu
bisa berupa kelainan kromosom pada anak. Kelainan yang paling banyak muncul berupa
kelainan Down Syndrome, yaitu sebuah kelainan kombinasi dari retardasi mental dan
abnormalitas bentuk fisik yang disebabkan oleh kelainan kromosom.
4) Risiko lainnya terjadi keguguran pada ibu hamil berusia 35 tahun atau lebih. Kemungkinan
kejadian pada wanita di usia 35 tahun ke atas lebih banyak dibandingkan pada wanita muda.
Pada penelitian tahun 2000 ditemukan 9% pada kehamilan wanita usia 20-24 tahun. Namun
risiko meningkat menjadi 20% pada usia 35-39 tahun dan 50% pada wanita usia 42 tahun.
Peningkatan insiden pada kasus abnormalitas kromosom bisa sama kemungkinannya seperti
risiko keguguran. Yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko tersebut sebaiknya wanita
berusia 30 atau 40 tahun yang merencanakan untuk hamil harus konsultasikan diri dulu ke
dokter. Bagaimanapun, berikan konsentrasi penuh mengenai kehamilan di atas usia 35 tahun,
diantaranya:
1) Rencanakan kehamilan dengan konsultasi ke dokter sebelum pasti untuk kehamilan
tersebut. Kondisi kesehatan, obat-obatan dan imunisasi dapat diketahui melalui langkah ini.
2) Konsumsi multivitamin yang mengandung 400 mikrogram asam folat setiap hari sebelum
hamil dan selama bulan pertama kehamilan untuk membantu mencegah gangguan
padasaluran tuba.
3) Konsumsi makanan-makanan yang bernutrisi secara bervariasi, termasuk makanan yang
mengandung asam folat, seperti sereal, produk dari padi, sayuran hijau daun, buah jeruk, dan
kacang kacangan.
4) Mulai kehamilan pada berat badan yang normal atau sehat (tidak terlalu kurus atau terlalu
gemuk). Berhenti minum alkohol sebelum dan selama kehamilan.
5) Jangan gunakan obat-obatan, kecuali obat anjuran dari dokter yang mengetahui bahwa si
ibu sedang hamil (Saleh, 2003).
2. Sepsis Puerperalis
a. Definisi Sepsis Puerperalis
Sepsis puerperalis adalah infeksi pada traktus genitalia yang dapat terjadi setiap saat antara
awitan pecah ketuban (ruptur membran) atau persalinan dan 42 hari setelah persalinan atau
abortus di mana terdapat dua atau lebih dan hal – hal berikut ini :
–Nyeri pelvik;
– Demam 38,5°C atau lebih yang diukur melalui oral kapan saja; rabas
– vagina yang abnormal;
– Rabas – vagina berbau busuk;
– Keterlambatan dalam kecepatan penurunan ukuran uterus (sub involusio uteri).
b. Bakteri Penyebab Sepsis Puerperalis
Beberapa bakteri yang paling umum adalah
• streptokokus
• stafilokokus
• Escherichia coli (E. Coli)
• Clostridium tetani
• Clostridium width
• Chlamidia dan gonokokus (bakteri penyebab penyakit menular seksual).
Infeksi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gabungan antara beberapa macam
bakteri. Bakteri tersebut bisa endogen atau eksogen.
Bakteri Endogen
Bakteri ini secara normal hidup di vagina dan rektum tanpa menimbulkan bahaya (misal,
beberapa jenis stretopkokus dan stafilokokus, E. Coli, Clostridium welchii). Bahkan jika
teknik steril sudah digunakan untuk persalinan, infeksi masih dapat terjadi akibat bakteri
endogen.
Bakteri endogen juga dapat membahayakan dan menyebabkan infeksi jika :
• bakteri ini masuk ke dalam uterus melalui jari pemeriksa atau melalui instrumen
pemeriksaan pelvik;
• bakteri terdapat dalam jaringan yang memar, robek/laserasi, atau jaringan yang mati (mis.,
setelah persalinan traumatik atau setelah persalinan macet);
• bakteri masuk sampai ke dalam uterus jika terjadi pecah ketuban yang lama.
Bakteri eksogen
Bakteri ini masuk ke dalam vagina dari luar (streptokokus, Clostridium tetani, dsb). Bakteri
eksogen dapat masuk ke dalam vagina : – melalui tangan yang tidak bersih dan instrumen
yang tida steril
– melalui substansi / benda asing yang masuk ke dalam vagina (misal, ramuan / jamu,minyak,
kain);
– melalui aktivitas seksual.
Tetanus postpartum adalah infeksi pada ibu atau bayi yang disebabkan oleh Clostridium
tetani.
Bakteri tetanus
Hidup di tanah terutama tanah basah yang kaya akan pupuk hewani. Bakteri tetanus dapat
masuk ke tubuh ibu jika tangan yang tidak bersih, kain, kotoran sapi, atau ramu – ramuan
dimasukkan ke dalam vagina. Bakteri ini masuk ke tubuh bayi melalui umbilikus jika tali
pusat dipotong dengan instrumen yang tidak bersih, atau ramu – ramuan, atau kotoran sapi
digunakan untuk membalut tali pusat.
Infeksi tetanus
Sangat berat dan menyebabkan kekakuan, spasme, konvulsi, dan kematian. Tetanus dapat
dicegah dengan memastikan bahwa setiap ibu hamil mendapatkan imunisasi tetanus toksoid
selama kehamilan. Imunisasi ini akan melindungi ibu dan bayi dari infeksi tetanus.
Di tempat – tempat di mana penyakit menular seksual (PMS) (misal, gonorrhea dan infeksi
klamidial) merupakan kejadian yang biasa, penyakit tersebut merupakan penyebab terbesar
terjadinya infeksi uterus. Jika seorang ibu terkena PMS selama kehamilan dan tidak diobati,
bakteri penyebab PMS itu akan tetap berada di vagina dan bisa menyebabkan infeksi uterus
setelah persalinan.
Infeksi uterus
Yang disebabkan oleh PMS dapat dicegah dengan mendiagnosis dan mengobati ibu yang
terkena PMS selama kehamilan mereka.
Tanda – Tanda dan Gejala Sepsis Puerperalis
Ibu biasanya mengalami demam tetapi mungkin tidak seperti demam pada infeksi klostridial.
Ibu dapat mengalami nyeri pelvik, nyeri tekan di uterus, lokia mungkin berbau menyengat
(busuk), dan mungkin terjadi suatu keterlambatan dalam kecepatan penurunan ukuran uterus.
Di sisi laserasi atau episiotomi mungkin akan terasa nyeri, membengkak, dan mengeluarkan
cairan bernanah.
Faktor Resiko pada Sepsis Puerperalis
Ada beberapa ibu yang lebih mudah terkena sepsis puerperalis, misalnya ibu yang mengalami
anemia atau kekurangan gizi atau ibu yang mengalami persalinan lama