i
SILVIKULTUR REHABILITASI
PANTAI BERPASIR KEBUMEN
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
iii
Agung Wahyu Nugroho
SILVIKULTUR REHABILITASI
PANTAI BERPASIR KEBUMEN
UNS PRESS
iv
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen.
Hak Cipta @ Agung Wahyu Nugroho. 2017.
Penulis
Agung Wahyu Nugroho
Editor
Prof. Mohammad Na’iem
Prof. Riset. Nina Mindawati
Desain sampul
Bambang Dwi Atmoko
Penerbit & Pencetak
Penerbitan dan Pencetakan UNS
Anggota IKAPI (045/JTE/96)
Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126
Telp. (0271) 646994 Psw. 341 Fax. 0271 7890628
Website: www.unspress.uns.ac.id
Email: [email protected]
Cetakan 1, Edisi 1, Desember 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Right Reserved
Dicetak: Dana Balitek DAS
ISBN 978-602-397-173-2
v
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah semata. Kami memuji-Nya,
memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Kami
berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa dan kejelekan perbuatan
amal perbuatan kami. Barangsiapa yang mendapatkan petunjuk Allah,
maka dia tidak akan tersesat; dan barangsiapa yang tersesat, maka tidak
ada petunjuk baginya. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah
semata tanpa menyekutukan-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba
dan rasul-Nya.
Amma Ba’du.
Buku yang berjudul Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
ini ditujukan kepada para pembaca yang budiman (praktisi, akademisi,
birokrat, peneliti, swasta, masyarakat) sebagai panduan praktis untuk
merehabilitasi lahan pantai berpasir dengan menggunakan prinsip
silvikultur. Buku ini disusun berdasarkan pengalaman dalam
merehabilitasi lahan pantai berpasir di Kebumen sejak tahun 2007-2015,
hasil-hasil penelitian yang terkait, dan pembelajaran dari masyarakat
sekitar pantai.
Penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Prof. Mohammad Na’iem (Fakultas Kehutanan, UGM) dan Prof. Riset.
Nina Mindawati (Puslitbang Hutan, Badan Litbang dan Inovasi,
Kementerian LHK) yang telah berkenan mereview buku ini. Terima kasih
kepada Almarhum Prof. Suhardi dan Dr. Handojo H.N. yang pertama
kali mengenalkan kepada penulis tentang rehabilitasi lahan pantai
vi
berpasir di Pantai Samas. Prof. Sumardi, Dr. Haryono Supriyo, Dr. Eny
Faridah, Dr. Winastuti, Dr. Winarni, Dr. Sri Danarto (Fakultas
Kehutanan, UGM) atas kesempatan dan bimbingan ilmunya dalam
merehabilitasi pantai berpasir Kebumen. Kepada Dr. Nur Sumedi, Ibu
Salamah Retnowati dan staff DIK atas dukungan pembuatan buku ini.
Tim rehabilitasi pantai berpasir Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Pengelolaan DAS (Beny Harjadi, Arina Miardini, Susi
Abdiyani, Aris Budiyono, Gunarti, Asep Hermawan) dan teman-teman
Kelti Lahan dan Vegetasi atas kerja sama dan dukungannya. Terima kasih
kepada Bambang Dwi Atmoko atas pembuatan layout cover buku. Pak
Eprayim, Pak Heru Dwi, Ibu Daryani, Pak Wasdi, Pak Sarwana (anggota
DPRD/mantan Kades Karanggadung), Kelompok Tani Pasir Makmur,
Pak Pamuji (Pemalang), pemerintah dan masyarakat Desa Karanggadung
dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
pembelajaran, kerjasama, dukungan, dan bantuannya dalam penyusunan
buku ini.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku ini, untuk
itu kritik dan saran terhadap perbaikan buku ini sangat diharapkan. Saya
memohon kepada Allah semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi
semua pihak yang membutuhkan dan menjadi penyemangat untuk selalu
menanam pohon sebagai amal jariyah kita.
Surakarta, Desember 2017
Penulis,
Agung Wahyu Nugroho
vii
KATA SAMBUTAN
Lahan pantai berpasir Kebumen merupakan sumber daya
potensial dalam mendukung kehidupan masyarakat sekitar. Namun,
potensi tersebut belum seluruhnya dapat dimanfaatkan secara optimal,
salah satunya adanya hambatan dengan karakteristik lahan yang marginal.
Rehabilitasi dengan menanam vegetasi di sepanjang garis pantai dapat
membentuk hutan pantai yang memberi banyak manfaat baik secara fisik,
ekologi, maupun ekonomi-sosial masyarakat.
Buku Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen ditulis
berdasarkan pengalaman dan hasil-hasil penelitian terkait dalam
merehabilitasi lahan pantai berpasir Kebumen. Buku ini berisi tentang
cara merehabilitasi lahan pantai berpasir didasarkan pada prinsip
silvikultur, dimulai dari bab tentang arti penting kawasan pantai, kondisi
tapak pantai berpasir, teknik silvikultur yang diterapkan, dampak
rehabilitasi, dan tantangan pascarehabilitasi. Sehingga diharapkan buku
ini dapat dijadikan sebagai pedoman praktis dalam merehabilitasi lahan-
lahan pantai berpasir di tempat lain.
Disadari bahwa buku yang telah disusun masih banyak
kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Ucapan terima kasih di sampaikan kepada Prof. Mohammad
Na’iem dan Prof. Nina Mindawati yang telah berkenan dalam mereview
buku ini. Kepada penulis buku ini, Sdr. Agung Wahyu Nugroho
diucapkan terima kasih, mudah-mudahan upaya penulisan buku ini dapat
viii
menjadi amal ibadah dan memberi manfaat bagi banyak pihak serta
menjadi penyemangat untuk memperbaiki lingkungan kita.
Surakarta, Desember 2017
Kepala BalitekDAS
Dr. Nur Sumedi
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
KATA SAMBUTAN ............................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xi
DAFTAR TABEL .................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................ 1
1.1. Peran Penting Kawasan Pantai .................................... 1
1.2. Rehabilitasi Kawasan Pantai ......................................... 2
BAB 2 KARAKTERISTIK LAHAN PANTAI BERPASIR ..... 5
2.1. Landforms.......................................................................... 5
2.2. Sifat Fisika, Kimia, dan Biologi Tanah ...................... 10
2.3. Vegetasi ........................................................................... 13
2.4. Iklim Mikro ..................................................................... 17
2.5. Sosial Ekonomi Masyarakat ......................................... 19
BAB 3 TEKNIK SILVIKULTUR REHABILITASI
LAHAN PANTAI BERPASIR .......................................... 23
3.1. Pemilihan Jenis ............................................................... 26
3.2. Pengunduhan Buah ....................................................... 29
3.3. Pembibitan ..................................................................... 31
3.4. Penyiapan Lahan ........................................................... 35
x
3.5. Pemberian Amelioran ................................................... 40
3.6. Penanaman ..................................................................... 45
3.7. Pemeliharaan ................................................................. 48
3.7.1 Penyulaman ......................................................... 48
3.7.2. Penyiangan .......................................................... 48
3.7.3. Pemupukan ........................................................ 49
3.7.4. Pengamanan ....................................................... 51
BAB 4 DAMPAK REHABILITASI .............................................. 53
4.1. Perbaikan Kesuburan Tanah ....................................... 55
4.2. Perbaikan Iklim Mikro ................................................. 61
4.3. Peningkatan Pendapatan Masyarakat ........................ 66
4.4. Peningkatan Jumlah Wisatawan ................................. 70
4.5. Terbangunnya Bioshield Sepanjang Pantai ................. 72
4.6. Mitigasi Tsunami ........................................................... 75
BAB 5 TANTANGAN PASCAREHABILITASI ....................... 81
5.1. Pengambilan Rencek dan Serasah .............................. 81
5.2. Serangan Hama dan Penyakit ..................................... 83
5.3. Alih Fungsi menjadi Tambak Udang ......................... 85
BAB 6 PENUTUP ............................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 91
INDEKS ................................................................................................... 103
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Kondisi lahan pantai berpasir yang
marginal ........................................................................................ 3
..........................................................................................
Gambar 1.2. Hutan pantai sebagai wind barrier bagi tanaman
semusim ........................................................................... 4
..........................................................................................
Gambar 2.1. Penampang melintang wilayah pantai selatan
Yogyakarta ...................................................................... 6
Gambar 2.2. Laguna di Pantai Lembupurwo, Kecamatan Mirit ... 6
Gambar 2.3. Gumuk pasir yang tersebar sepanjang pantai
Laut Indonesia ................................................................ 8
Gambar 2.4. Bentuk-bentuk gumuk pasir pesisir selatan
Kebumen ......................................................................... 10
..........................................................................................
Gambar 2.5. Zona vegetasi gumuk pasir ........................................... 14
Gambar 2.6. Vegetasi yang tumbuh di lahan pasir .......................... 15
Gambar 2.7. Perbedaan kerapatan vegetasi ..................................... 16
Gambar 2.8. Rerata kelembaban udara, suhu tanah,
suhu udara, dan kecepatan angin
di Pantai Petanahan tahun 2009-2014 ........................ 18
Gambar 2.9. Rerata curah hujan tahunan (mm/th) di
Pantai Petanahan tahun 2009-2014 ............................. 18
xii
Gambar 2.10. Rerata curah hujan bulanan di Pantai Petanahan
tahun 2009-2014 ............................................................ 19
Gambar 3.1. Cemara udang dengan batang tinggi dan
cabang banyak di Pantai Petanahan ............................ 28
Gambar 3.2. Pohon induk cemara udang.......................................... 30
Gambar 3.3. Bunga dan buah cemara udang .................................... 30
Gambar 3.4. Buah cemara udang yang sudah masak fisiologis
berwarna kuning kecoklatan ......................................... 31
Gambar 3.5. Hasil ekstraksi biji cemara udang dengan
penjemuran menggunakan jaring ................................ 32
Gambar 3.6. Bedeng tabur dengan naungan .................................... 33
Gambar 3.7. Kecambah umur 1 bulan dan 2 bulan ....................... 34
Gambar 3.8. Bibit cemara udang siap tanam .................................... 34
Gambar 3.9. Pondok kerja sementara ................................................ 35
Gambar 3.10. Plotting dan penentuan jarak tanam ............................. 36
Gambar 3.11. Pola tanam "untu walang" dengan jarak tanam
5 x 5 m ............................................................................. 37
Gambar 3.12. Peletakan vegetasi dalam konservasi gumuk pasir .... 38
Gambar 3.13. Pemasangan ajir ............................................................. 38
Gambar 3.14. Pembuatan lubang tanam ............................................. 39
Gambar 3.15. Pupuk kandang yang telah terdekomposisi................ 41
Gambar 3.16. Dimensi ukuran media tanam (press block).................. 43
Gambar 3.17. Alat pengepresan media ................................................ 44
Gambar 3.18. Media tanam pot yang kokoh dan dapat
ditembus akar cemara udang ........................................ 44
Gambar 3.19. Distribusi bibit dengan dipikul .................................... 45
Gambar 3.20. Prosedur penanaman media tanam dan bibit
ke lahan pasir .................................................................. 46
Gambar 3.21. Penanaman dan pengikatan bibit ke ajir ..................... 47
Gambar 3.22. Pemasangan srumbung pada setiap bibit
yang ditanam ................................................................... 47
xiii
Gambar 3.23. Contoh pupuk hayati ..................................................... 49
Gambar 3.24. Area pemupukan bentuk piringan ............................... 50
Gambar 3.25. Pemagaran tegakan cemara udang di Desa
Karanggadung ................................................................ 52
Gambar 3.26. Peta letak cemara udang di Desa
Karanggadung Kecamatan Petanahan ........................ 52
Gambar 4.1. Kondisi lahan pantai berpasir di pantai
Petanahan pascarehabilitasi .......................................... 54
Gambar 4.2. Bintil akar cemara udang .............................................. 57
Gambar 4.3. Rambut akar cemara udang yang terinfeksi frankia .. 57
Gambar 4.4. Serasah cemara udang umur 8 tahun
di Desa Karanggadung .................................................. 58
Gambar 4.5. Jamur pada serasah cemara udang di Desa
Karanggadung ................................................................ 60
Gambar 4.6. Air gutasi dari tepi daun cemara udang ...................... 62
Gambar 4.7. Mix planting cemara udang dengan pandan pantai .... 64
Gambar 4.8. Turbulensi kecil di belakang vegetasi dan
pemulihan aliran angin yang tidak terganggu ............ 65
Gambar 4.9. Tanaman semusim di belakang tegakan cemara
udang ................................................................................ 67
Gambar 4.10. Usaha pembibitan cemara udang masyarakat
Desa Karanggadung ...................................................... 70
Gambar 4.11. Data jumlah wisatawan di pantai Petanahan
Kebumen tahun 2010-2016 .......................................... 71
Gambar 4.12. Pantai Petanahan (Wanagama III) Kebumen
yang sejuk ........................................................................ 71
Gambar 4.13. Tegakan cemara udang sebagai bioshield
di pantai Petanahan Kebumen ..................................... 73
Gambar 4.14. Pertumbuhan tinggi dan diameter cemara udang ......... 74
xiv
Gambar 4.15. Lokasi gempa di selatan Kebumen pada
25 Januari 2014 dan peta seismitis pulau Jawa
tahun 1970-2010 ............................................................ 77
Gambar 4.16. Fungsi vegetasi pantai selama tsunami ....................... 79
Gambar 4.17. Pola struktur dan jenis vegetasi yang efektif
terhadap tsunami ............................................................ 80
Gambar 5.1. Rencek cabang cemara untuk kayu bakar .................. 82
Gambar 5.2. Pengambilan serasah cemara udang sebagai
bahan bakar ..................................................................... 83
Gambar 5.3. Hama ulat yang menyerang cemara udang ................ 84
Gambar 5.4. Pembukaan lahan untuk tambak udang dengan
menebang hutan pantai ................................................. 87
Gambar 5.5. Kolam untuk tambak udang ......................................... 87
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Sifat tanah pantai berpasir pada beberapa lokasi ......... 12
Tabel 2.2. Desa-desa di pesisir selatan Kebumen dan perkiraan
luas lahan berpasir............................................................. 20
Tabel 3.1. Perbedaan terminologi reklamasi, rehabilitasi,
dan restorasi ....................................................................... 24
Tabel 4.1. Perbandingan kandungan unsur hara tanah antara
lahan pasir terbuka dan bawah tegakan cemara udang 55
Tabel 4.2. Kandungan unsur hara dalam serasah
cemara udang di India ...................................................... 59
Tabel 4.3. Jenis dan keuntungan usaha tani KT Pasir Makmur
Desa Karanggadung ......................................................... 67
Tabel 4.4. Analisis usaha tani cabe merah seluas 0,1 ha ................ 69
Tabel 4.5. Lokasi hutan pantai GNRHL tahun 2007 .................... 72
Tabel 4.6. Kejadian tsunami di Indonesia yang merusak
tahun 1990-2010 ............................................................... 75
Tabel 4.7. Pantai Kebumen yang terkena dampak tsunami
tanggal 17 Juli 2006 ........................................................... 78
xvi
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. PERAN PENTING KAWASAN PANTAI
Wilayah pesisir dan sumberdaya alamnya memiliki arti penting
bagi pembangunan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kawasan pantai berpasir merupakan salah satu bagian
penyusun wilayah pesisir. Pantai berpasir merupakan pantai yang
didominasi oleh hamparan atau dataran pasir, baik yang berupa pasir
hitam, abu-abu atau putih (Sugiarto & Ekariyono, 1996). Pesisir selatan
Kebumen yang sebagian besar adalah kawasan pantai berpasir dengan
panjang garis pantai ±58 km merupakan sumberdaya alam potensial
dalam mendukung kehidupan masyarakat sekitar seperti wisata alam,
tambang, perikanan, dan pertanian.
Tetapi, potensi-potensi tersebut masih belum seluruhnya
dimanfaatkan secara optimal salah satunya karena adanya hambatan yang
berkaitan dengan karakteristik lahan (Sumardi, 2009). Selain itu,
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam pantai yang optimal dan
berkelanjutan harus memerhatikan dimensi ekologi, selain dimensi sosial-
ekonomi-budaya, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan. Artinya
dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya tersebut, total
dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya (Bengen, 2004).
Pemanfaatan sumberdaya alam yang cenderung tidak terkontrol dapat
menimbulkan dampak, tidak saja berupa konflik kepentingan tetapi juga
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
2
dapat menyebabkan degradasi sumber daya alam yang semakin meluas
(Poedjirahajoe, 2008; Sumardi, 2009).
1.2. REHABILITASI KAWASAN PANTAI
Di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 89 tahun 2016 disebutkan bahwa kawasan sempadan pantai
merupakan salah satu calon lokasi penanaman rehabilitasi daerah aliran
sungai (DAS). Hal ini mengingat keberadaan sempadan pantai sebagai
kawasan perlindungan setempat sudah terganggu kondisi ekosistemnya.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2016 dijelaskan bahwa
sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100
(seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. Sementara,
pantai berpasir di Kebumen sebagian besar termasuk di dalam kawasan
sempadan pantai.
Secara umum, karakteristik lahan pantai berpasir mempunyai sifat
marginal dan kemampuan daya dukung yang rendah untuk tumbuhnya
vegetasi (Gambar 1.1) (Suhardi, 2005; Sumardi, 2009). Kendala bagi
tumbuhnya vegetasi di lahan tersebut di antaranya: rendahnya kandungan
lengas tanah, angin yang cukup kencang dan mengandung garam,
rendahnya kandungan unsur hara tersedia, erosi angin, suhu tinggi, dan
sifat tanah pasiran (Ewusie, 1990; Harjadi & Octavia, 2008; Sumardi,
2009). Suhu tinggi dan hembusan angin kencang mengakibatkan
evapotranspirasi tinggi sehingga jenis tanaman yang mampu tumbuh
sangat terbatas. Tanah pasiran mempunyai proporsi pori makro yang
jauh lebih tinggi daripada pori mikro sehingga air mudah meresap dan
mudah lolos. Kendala lainnya adalah kondisi tanah yang tidak stabil.
Pantai berpasir secara alami terbuka dan tidak stabil, berputar balik
karena kombinasi pengaruh angin dan ombak (Bradshaw & Chadwick,
1980).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
3
Berkaitan dengan permasalahan yang ada di lahan pantai berpasir,
maka diperlukan upaya rehabilitasi yang sesuai. Rehabilitasi dalam arti
memulihkan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan manfaat lingkungan
hidup perlu dilaksanakan dan dikembangkan sehingga daya dukung,
produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan tetap terjaga (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 11 tahun 2017). Salah satu upaya rehabilitasi yang
dapat dilakukan adalah kegiatan penanaman berbagai vegetasi (pohon).
Penanaman pohon di wilayah pantai berpasir didasarkan pada jenis
tanaman yang sesuai dan dapat tumbuh di lahan pantai berpasir serta
memiliki kemampuan tahan terhadap angin kencang dan kondisi tanah
yang marginal (Nurahmah et al., 2007). Cemara udang (Casuarina
equisetifolia) merupakan salah satu jenis tanaman yang sesuai untuk
dikembangkan pada lahan pantai berpasir (Winarni, 2002; Winarni &
Supriyo, 2003; Winarni, 2006).
Gambar 1.1. Kondisi lahan pantai berpasir yang marginal (Foto: Agung Wahyu
Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
4
Penanaman pohon dalam jumlah yang banyak dan rapat di
sepanjang garis pantai akan membentuk tegakan hutan pantai yang dapat
memberikan beberapa manfaat, diantaranya: mengurangi abrasi pantai,
mengurangi erosi pasir pantai, melindungi ekosistem darat dari terpaan
angin, menstabilkan lahan akibat pengikatan pasir pada permukaan oleh
jalinan perakaran vegetasi, mempercepat pembentukan tanah dan habitat
baru bagi flora dan fauna, serta memperbaiki iklim mikro (Sumardi, 2009;
Tuheteru & Mahfudz, 2012). Pemapanan tegakan awal cemara udang
selanjutnya dapat mengembangkan tapak yang mendukung bagi jenis-
jenis vegetasi berikutnya dan melindungi areal budidaya tanaman
semusim yang ada di belakang tegakan (Sumardi, 2009).
Implikasinya, pendapatan masyarakat sekitar dapat meningkat
melalui pengembangan usaha tani tanaman pangan dan hortikultura.
Tegakan hutan pantai yang sudah terbentuk dapat berfungsi sebagai wind
barrier (perisai angin) bagi tanaman semusim (Gambar 1.2). Sehingga,
pengembangan model rehabilitasi pantai berpasir perlu dilakukan secara
komprehensif melibatkan partisipasi masyarakat dengan tetap
memperhatikan sensitivitas ekosistem dan potensi lahan pantai berpasir.
Gambar 1.2. Hutan pantai sebagai wind barrier bagi tanaman semusim (ilustrasi:
Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
5
BAB 2
KARAKTERISTIK LAHAN PANTAI BERPASIR
2.1 LANDFORMS
Bentuk lahan (landforms) adalah bentuk alam di permukaan bumi
yang terjadi karena proses tertentu dan melalui serangkaian evolusi
tertentu. Secara umum, bentuk morfologi lahan pantai berpasir di selatan
Jawa adalah landai dengan relief rendah. Bentuk garis pantai yang lurus,
dicirikan oleh adanya gumuk-gumuk pasir yang terdapat di muka pantai.
Dataran pantainya tersusun atas beberapa anasir yang sebagian besar
berupa endapan pasir rombakan gunung api muda hasil aktivitas Gunung
Merapi dan sebagian kecil merupakan endapan aluvium (Mustafa &
Yudhicara, 2007). Interaksi antara berbagai bahan penyusun ini
menimbulkan sistem bentang darat yang mudah goyah (labil). Landforms
yang labil ini mengakibatkan terhambatnya proses pembentukan tanah
yang pada gilirannya menghambat perkembangan tumbuhan. Secara
umum, sistem landforms pantai selatan Jawa secara sederhana dapat dilihat
pada Gambar 2.1 (Siradz & Kabirun, 2003).
Formasi gumuk pasir (sand dunes) biasanya ditemukan pada jarak
antara 20-500 m dari garis pantai yang mempunyai tekstur pasir kasar,
bukit pasir (sand ridge) antara 500-1.000 m tersusun atas pasir kasar-
sedang, laguna (lagoon) berkisar antara 1.000-2.500 m, dan perkampungan
terletak antara >2.500 m dari garis pantai ke arah daratan. Tekstur bahan
penyusun tanah umumnya semakin halus ke arah daratan (Siradz &
Kabirun, 2003). Laguna merupakan badan air dangkal yang terletak di
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
6
lingkungan pesisir dan memiliki akses ke laut namun terpisah dari kondisi
kelautan yang terbuka oleh suatu penghalang (gundukan pasir, terumbu
karang, pulau). Salah satu laguna di Kebumen adalah laguna di Pantai
Lembupurwo. Laguna ini merupakan muara Sungai Wawar dan memiliki
gumuk pasir yang tinggi dan masih aktif (Gambar 2.2).
Gambar 2.1 Penampang melintang wilayah pantai selatan Yogyakarta (Siradz &
Kabirun, 2003)
Gambar 2.2. Laguna di Pantai Lembupurwo, Kecamatan Mirit (Foto: Agung
Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
7
Gumuk pasir (sand dune) merupakan sebuah bentukan alam karena
proses angin atau disebut juga sebagai bentang alam eolean (eolean
morphology). Pantai pesisir selatan Kebumen hingga Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu tempat di Indonesia yang
memiliki bentang alam eolean. Pasir-pasirnya berasal dari batu-batuan
vulkanik Gunung Merapi dan gunung gunung api aktif lain yang ada di
sekitarnya. Akibat proses erosi dan gerak massa batuan, material tersebut
terbawa oleh aliran sungai yaitu Sungai Opak dan Sungai Oyo pada
bagian timur dan Sungai Progo pada bagian barat. Aliran sungai
kemudian mengalirkan material tersebut hingga ke pantai selatan Jawa
(Laut Indonesia). Angin laut yang kencang dan ombak besar dari Laut
Indonesia menyebabkan pasir yang sudah sampai di pinggir laut tidak
tertumpuk di muara sungai tetapi disebarkan ke kiri dan kanan sepanjang
50-60 km mulai dari Pantai Parang Tritis sampai Kebumen (Rovicky,
2008).
Kekuatan angin sangat berpengaruh terhadap pembentukan
gumuk pasir, karena kekuatan angin menentukan kemampuannya untuk
membawa material berupa pasir baik dengan cara menggelinding (rolling),
merayap, melompat, maupun terbang. Pada pantai selatan Jawa, angin
bertiup dari arah tenggara, hal ini menyebabkan sungai-sungai di pantai
selatan membelok ke arah kiri jika dilihat dari Laut Indonesia. Selain itu,
karena arah tiupan angin tersebut, maka gumuk pasir yang terbentuk
menghadap ke arah datangnya angin (Rovicky, 2008; Adinugroho, 2010)
(Gambar 2.3).
Material dari Gunung Merapi didominasi oleh plagioclase dan
clinopyroxene dan sedikit amphibole sedang material dari Gunung Merbabu
didominasi oleh orthopyroxene dan sedikit amphibole (Sutanto, 1988).
Supriyo (1992) melaporkan komposisi mineral pasir dari aktifitas
vulkanik gunung berapi tersebut didominasi oleh volcanic glass, feldspars,
magnetite/maghemite, cristobalite, amphibole dan sedikit hematite, pyroxene,
goethite dan quartz.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
8
Gambar 2.3. Gumuk pasir yang tersebar sepanjang pantai Laut Indonesia
(Sumber: Rovicky, 2008; Adinugroho, 2010; Google Earth,
2017)
Gumuk pasir memiliki bentukan barchans yang dapat berfungsi
sebagai pelindung alami dan dapat mereduksi energi gelombang tsunami.
Gumuk pasir secara ekologis merupakan resapan bagi akuifer terbatas
karena gumuk pasir mengikuti sistem daerah aliran sungai (DAS)
tersendiri sehingga memberikan cadangan air bagi masyarakat pesisir
(Soenarto, 2016). Gumuk pasir di Kebumen didominasi gumuk pasir
yang tidak terlalu tinggi seperti di Kecamatan Puring, Petanahan,
Buluspesantren, dan Ambal. Sementara di daerah Mirit, seperti Pantai
Lembupurwo, gumuk pasir masih terlihat tinggi sampai mencapai 8
meter (Nugroho, 2015).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
9
Bentuk gumuk pasir bermacam-macam dan dipengaruhi oleh 3
(tiga) faktor yaitu jumlah dan ukuran butir pasir, kekuatan dan arah angin,
serta keadaan vegetasi (Tsoar, 2001). Menurut Nugroho (2015), gumuk
pasir yang ditemukan di daerah pantai selatan Kebumen umumnya
berbentuk sabit (barchans dune), melintang (transverse dune) dan memanjang
(linear dune) (Gambar 2.4). Kondisi gumuk yang berada di dekat garis
pantai relatif labil dan mudah berpindah. Hal ini dikarenakan tingginya
intensitas dan dominasi angin yang bertiup cukup kencang dan terus
menerus.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
10
Gambar 2.4. Bentuk-bentuk gumuk pasir pesisir selatan Kebumen (barchans
dune, transverse dune dan linear dune) (Foto: Agung Wahyu
Nugroho)
2.2 SIFAT FISIKA, KIMIA, BIOLOGI TANAH
Lahan pantai berpasir merupakan lahan marginal yang mempunyai
sifat-sifat kimia dan fisika yang kurang menguntungkan untuk
pertumbuhan tanaman. Lahan marginal adalah suatu lahan yang
mempunyai karakteristik keterbatasan dalam sesuatu hal, baik
keterbatasan satu unsur atau komponen maupun lebih dari satu unsur
atau komponen (Gunadi, 2002).
Hambatan utama adalah rendahnya kemampuan menahan lengas
tanah, kandungan bahan organik dan hara tersediakan sangat rendah.
Suhu tanah yang sangat tinggi (28-400C) sehingga kadar air tanah hanya
0,16-0,32%, penguapan air (evapotranspirasi) sangat tinggi dan
kandungan bahan organik sangat rendah (0,2-0,75%) merupakan
hambatan bagi pertumbuhan suatu tanaman. Meski demikian, lahan
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
11
pantai berpasir memiliki kelebihan berupa lahan yang luas, datar, dekat
dengan ekowisata, jarang banjir, sinar matahari melimpah, dan
ketersediaan air tanah yang cukup memadai dengan kedalaman air sumur
mencapai 7 m (Gunadi, 2002; Rajiman et al., 2008), sehingga menjadi
modal untuk mengubah lahan marginal menjadi lahan produktif
(Shiddieq & Muhajir, 2008).
Tanah pantai berpasir merupakan tanah muda (baru) yang dalam
klasifikasi FAO termasuk dalam ordo Regosol, sedangkan menurut
klasifikasi USDA, tanah di daerah pantai termasuk ordo Entisol. Secara
umum, tanah pasir di pantai selatan Jawa didominasi oleh fraksi pasir
(>60%) sehingga mempunyai tekstur kasar. Tekstur tanah ini
mengakibatkan luas permukaan jenisnya kecil dan pori makro lebih
banyak dibanding pori mikro sehingga kemampuan tanah mengikat
unsur hara maupun air rendah. Unsur hara mudah hilang melalui
pelindian dan penguapan. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kadar
lengas kering angin maupun kapasitas tukar kation (KTK). Tanah pasir
memiliki KTK rendah dibandingkan dengan tanah liat atau debu. Hal ini
disebabkan tanah pasir memiliki kandungan liat dan humus yang sangat
sedikit. KTK tanah berpasir berkisar antara 2-4 m/g. Rendahnya KTK
juga disebabkan oleh rendahnya kadar bahan organik. Cukup besarnya
porositas tanah dan lebih besarnya pori makro dibandingkan pori mikro
maka kondisi tanah di lapangan kebanyakan aerob. Hal ini menyebabkan
perombakan bahan organik berjalan cepat sehingga merupakan faktor
penyebab rendahnya bahan organik selain rendahnya sumber bahan
organik di lahan tersebut. Kondisi aerob menyebabkan nitrifikasi berjalan
intensif sehingga N bentuk NO3- lebih besar dibanding NH4
+ sehingga
kemungkinan hilangnya N akibat pelindian lebih besar. Hal ini
merupakan faktor penyebab rendahnya N di dalam tanah karena
rendahnya sumber N di lahan tersebut (Syukur, 2005).
Tanah berpasir di daerah pantai cenderung bersifat basa karena
kandungan garamnya tinggi, partikel liat sedikit dan bahan organik
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
12
rendah. Jumlah mikroorganismenya sangat sedikit sehingga proses
humifikasi berjalan lambat. Terbatasnya mikroorganisme karena kondisi
lingkungan tanah berpasir tidak mendukung antara lain intensitas cahaya
matahari yang tinggi, suhu yang tinggi dan kemampuan menahan air pada
tanah berpasir sangat rendah. Tabel 2.1 menunjukkan beberapa hasil
penelitian tentang sifat tanah pantai berpasir.
Tabel 2.1. Sifat tanah pantai berpasir pada beberapa lokasi
Sifat tanah
pasir
Kebumen
(Sumardi, 2009)
Parangtritis-
Trisik
(Siradz &
Kabirun, 2003)
Samas
(Partoyo, 2005)
Glagah
(Syukur, 2005)
pH 6-6,8 6,5-7,5 7,01 5,77
DHL 0,4-0,8 mS 500-4.000 µS/cm
Bahan organik 0,2-0,75% 0,4-0,8% 0,29% 1,7%
N 0,05-0,08% (tot)
0,05-0,08% (tot)
0,043% (tot)
0,02% (tsd)
1,63 ppm (NH4+)
7,23 ppm (NO3-)
P tersedia 0,04-0,7 ppm 5,1-20,5 ppm 4,84 ppm
K 0,09-0,20 cmol
(+)/kg
0,09-0,2% (tsd) 2,23 (tkr)
Ca tersedia 0,4-0,8
cmol(+)/kg
Mg tersedia 0,2-0,3
cmol(+)/kg
KPK 2,0-5,0 cmol
(+)/kg
7,04 me%
Tekstur: geluh pasiran
debu 6,1% 23,78%
lempung 0,54% 19,37%
pasir >80% 93% 56,85%
Struktur kersai kersai
Konsistensi lepas-lepas
Drainase baik
Permeabilitas sangat cepat
(>135,5 cm/jam
sangat cepat
(>150 cm/jam
Berat volume 1,58 g/cm3 1,93 g/cm3 1,43 g/cm3
Berat jenis 2,97 g/cm3 2,66 g/cm3
Porositas 40-50%
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
13
Sifat tanah
pasir
Kebumen
(Sumardi, 2009)
Parangtritis-
Trisik
(Siradz &
Kabirun, 2003)
Samas
(Partoyo, 2005)
Glagah
(Syukur, 2005)
Kapasitas lap. 1,09-2,3% 2-5%
Titik layu tetap 0,74-1,05%
Lengas tsd 0,74-2,3%
Kemantapan
agregat
sangat rendah
Daya ikat air sangat rendah
2.3 VEGETASI
Secara umum, vegetasi di pantai berpasir terutama yang
mempunyai formasi gumuk pasir dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zonasi
berdasarkan salinitas tanah yaitu frontal zone, backdune zone dan forest zone
(Gambar 2.5). Hanya sedikit jenis vegetasi yang toleran terhadap tekanan
lingkungan gumuk pasir (angin kencang, kadar garam tinggi, kekeringan,
suhu tinggi, ketersediaan unsur hara rendah) terutama frontal zone. Garam,
yang banyak mengandung unsur kalium (K), kalsium (Ca), natrium (Na),
dan magnesium (Mg), adalah sumber utama unsur hara bagi vegetasi yang
tumbuh di gumuk pasir (Williams, 2007).
Rumput-rumputan banyak dijumpai di frontal zone, sementara di
backdune zone banyak ditemukan vegetasi berbentuk semak dan sedikit
pohon. Backdune zone terdiri atas gumuk pasir yang lebih tua dan stabil
serta kandungan bahan organik lebih tinggi dibandingkan dengan frontal
zone. Tumbuhan berkayu yang ditemukan di zona ini mempunyai
pertumbuhan yang rendah, seperti semak, karena unsur hara tersedia
rendah dan lingkungan yang kering. Selain itu, angin yang kencang dan
bergaram seringkali mematahkan tunas-tunas dari pohon dan semak yang
tumbuh. Forest zone merupakan zona vegetasi terjauh dari laut dan
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
14
vegetasi di zona ini merupakan jenis peralihan dari maritim ke non
maritim (Williams, 2007).
Gambar 2.5. Zona vegetasi gumuk pasir (Williams, 2007)
Vegetasi gumuk pasir umumnya dicirikan oleh tumbuhan yang
memiliki daun kecil, berduri, dan berakar panjang (xerophytic). Beberapa
vegetasi yang toleran pada gumuk pasir Kebumen di antaranya: rumput
gulung (Spinifex littoreus Merr.), rumput teki (Cyperus sp.), widuri (Calotropis
gigantean Dryand), lenglengan (Leucus javanica Bth.), tapak doro
(Catharanthus roseus G. Don.), rumput merakan (Pogonatherum paniceum
Hack), dan pandan (Pandanus tectorius Park.) (Nugroho & Sumardi, 2010)
(Gambar 2.6). Rumput teki, rumput merakan, rumput gulung termasuk
dalam famili Gramineae, widuri termasuk dalam famili Asclepiadaceae, tapak
doro termasuk dalam famili Apocynaceae, pandan termasuk dalam famili
Pandanaceae, dan lenglengan termasuk dalam famili Labiatae (van Steenis
et al., 2008). Kerapatan vegetasi semakin menurun dengan semakin
jauhnya jarak dari garis pantai. Jarak 10-50 m dari garis pantai mempunyai
kerapatan yang tinggi (Gambar 2.7).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
15
Gambar 2.6. Vegetasi yang tumbuh di lahan pasir, a) rumput teki, b) widuri,
c) rumput gulung, d) lenglengan (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
16
Gambar 2.7. Perbedaan kerapatan vegetasi antara a) jarak yang dekat (10-50 m)
dengan, b) jarak yang jauh (300-500 m) dari garis pantai (Foto:
Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
17
2.4 IKLIM MIKRO
Iklim mikro adalah kondisi fisik lapisan atmosfer yang dekat
dengan permukaan tanah atau di sekitar tanaman, seperti suhu,
kelembaban, cahaya, dan kecepatan angin. Iklim mikro mempunyai
peranan penting dalam mempengaruhi proses ekologi seperti
pertumbuhan dan regenerasi tanaman, respirasi tanah, siklus unsur hara,
dan seleksi habitat. Manipulasi iklim mikro dengan mengubah lingkungan
struktural menjadi alat yang berguna untuk konservasi ekosistem (Chen
et el., 1999).
Data iklim mikro pada lahan pantai berpasir dari tahun 2009
sampai 2014 di Pantai Petanahan, Desa Karanggadung, Kecamatan
Petanahan, Kabupaten Kebumen menunjukkan suhu udara siang hari
berkisar antara 25-340C dengan rerata kelembaban udara sebesar 60%.
Suhu tanah siang hari pada kedalaman 30 cm sebesar 27-350C. Kecepatan
angin pada siang hari 4-6,6 m/det (Gambar 2.8). Curah hujan tahunan
sebesar 1.226-2.371 mm/th (Gambar 2.9). Sementara curah hujan yang
tinggi atau bulan basah (CH bulanan >200 mm menurut klasifikasi
Oldeman (Maru et al., 2016)) terjadi pada bulan November-Pebruari
(Gambar 2.10) (Nugroho et al., 2015). Informasi curah hujan ini penting
sebagai salah satu pertimbangan waktu yang tepat dimulainya kegiatan
penananam.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
18
Gambar 2.8. Rerata kelembaban udara, suhu tanah, suhu udara, dan kecepatan
angin di Pantai Petanahan tahun 2009-2014.
Gambar 2.9. Rerata curah hujan tahunan (mm/th) di Pantai Petanahan tahun
2009-2014
1,743
2,371
1,517
1,364
1,946
1,226
1,000
1,500
2,000
2,500
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Rer
ata
cura
h h
uja
n (
mm
/th
)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2009 2010 2011 2012 2013 2014
missing data
kelembaban udara (%)
suhu tanah (0 C)
suhu udara (0 C)
kecepatan angin (m/det)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
19
Gambar 2.10. Rerata curah hujan bulanan di Pantai Petanahan tahun 2009-
2014
2.5 SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Kabupaten Kebumen memiliki panjang garis pantai ±58 km
dengan pantai berbatu sepanjang 18 km dan pantai landai berpasir
sepanjang 40 km. Pantai berbatu tersebar di Kecamatan Buayan (1 desa)
dan Ayah (5 desa), sedangkan pantai landai berpasir tersebar di
Kecamatan Mirit (6 desa), Ambal (6 desa), Buluspesantren (3 desa),
Klirong (2 desa), Petanahan (3 desa), Puring (4 desa) (Tabel 2.2). Luas
desa-desa di wilayah pesisir Kabupaten Kebumen adalah 10.165,15 ha
dengan jumlah penduduk yang tinggal di desa pesisir pada tahun 2011
adalah 94.775 jiwa dengan mata pencaharian masyarakat pada umumnya
adalah sebagai petani lahan pasir, penderes (penyadap nira) kelapa, nelayan
dan sebagian bekerja di objek wisata pantai (Direktorat Kawasan
Konservasi dan Bina Hutan Lindung, 2013).
193.5211.9
154.2144.0 141.2 133.8
53.4 49.3
93.2110.4
206.5 203.1
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
Jan
Feb
Mar
Ap
ril
Mei
Jun
i
Juli
Agu
st
Sep
t
Okt
No
v
Des
Rer
ata
cura
h h
uja
n b
ula
nan
(m
m)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
20
Kebiasaan sebagian besar penduduk pada waktu pagi sampai siang
hari adalah bekerja mengolah lahan pertanian dan sore hari menggembala
ternaknya di sekitar gumuk pasir yang banyak ditumbuhi rumput.
Sebagian besar penduduk mempunyai hewan ternak seperti kambing,
sapi, dan ayam. Petani memanfaatkan dan mengolah lahan pasir menjadi
tanah yang subur dengan cara dicampur dengan tanah liat dan pupuk
kandang. Satu tahun biasanya membutuhkan tanah liat satu truk seharga
rata-rata Rp 120.000,- sedangkan pupuk kandang diproduksi sendiri dari
hasil ternak masing-masing penduduk.
Tabel 2.2. Desa-desa di pesisir selatan Kebumen dan perkiraan luas lahan
berpasir
No. Kec./Desa Luas lahan
berpasir (ha)
Keterangan
1.
2.
3.
4.
PURING
Tambak Mulyo
Sidoharjo
Surorejan
Waluyorejo
70
50
60
50
Muara Sungai Telomoyo
Obyek wisata Pantai Suwuk
Pantai berpasir
Pantai berpasir
Pantai berpasir
Pantai berpasir
1.
2.
3.
PETANAHAN
Tegalretno
Karangrejo
Karanggadung
80
70
60
Sungai Buntu Luk Ulo
Pantai berpasir
-
Obyek wisata Pantai Petanahan
Wanagama III
Pantai berpasir
1.
KLIRONG
Tanggulangin
60
Muara Sungai Luk Ulo
Pantai berpasir
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
21
No. Kec./Desa Luas lahan
berpasir (ha)
Keterangan
2. Jogosimo 40 Muara Sungai Luk Ulo
Pantai berpasir
1.
2.
3.
BULUS
PESANTREN
Ayam Putih
Setrojenar
Brecong
40
45
45
Wilayah uji coba alutsista TNI
AD
Pantai berpasir
Wilayah uji coba alutsista TNI
AD
Wilayah uji coba alutsista TNI
AD
Pantai berpasir
1.
2.
3.
4.
5.
6.
AMBAL
Entak
Kenoyojayan
Ambal Resmi
Petangkuran
Kaibon
Sumberjati
40
35
30
35
25
25
Wilayah uji coba alutsista TNI
AD
Pantai berpasir
1.
2.
3.
4.
5.
6.
MIRIT
Miritpetikusan
Tlogodepok
Mirit
Tlogopragoto
Lembupurwo
Wiromartan
40
45
40
50
60
70
Pantai berpasir
Pantai berpasir
Pantai berpasir
Pantai berpasir
Laguna Rowo Mirit
Pantai berpasir
Muara Sungai Wawar
Pantai berpasir
1.
BUAYAN
Karangbolong
-
Pantai berbatu/bukit
1.
AYAH
Argopeni
-
Pantai berbatu/bukit
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
22
No. Kec./Desa Luas lahan
berpasir (ha)
Keterangan
2.
3.
4.
5.
Ayah
Karangduwur
Pasir
Srati
-
-
4
8
Pantai berpasir
Pantai berbatu/bukit
Pantai berbatu/bukit
Pantai berbatu/bukit
Jumlah 1.177
Sumber: Data base Dinas Pertanian dan Kehutanan (2009) dalam Direktorat Kawasan
Konservasi dan Bina Hutan Lindung (2013)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
23
BAB 3
TEKNIK SILVIKULTUR
REHABILITASI LAHAN PANTAI BERPASIR
Walaupun dengan berbagai keterbatasan yang terdapat di lahan
pantai berpasir, terutama karakteristik tapaknya, namun lahan tersebut
masih dimungkinkan untuk direhabilitasi atau dipulihkan dengan
pemanfaatan teknologi perbaikan sifat fisik, kimia dan organisme tanah.
Perbaikan tapak diarahkan agar tanah pasiran dapat terbentuk agregat,
tidak lepas-lepas, mampu menahan air, mampu menyediakan unsur hara
makro dan mikro bagi tanaman, dan terwujudnya kekayaan mikro tanah
yang dapat membantu kesuburan kimiawi dan fisika tanah (Gunadi,
2002).
Rehabilitasi merupakan salah satu kata yang sering digunakan
dalam restorasi ekologi (ecological restoration) selain restorasi (restoration),
reklamasi (reclamation) dan beberapa istilah lainnya. Rehabilitasi secara
umum merupakan tindakan memulihkan sesuatu ke kondisi sebelumnya
walaupun tidak harus berupa pemulihan ke bentuk awal (Bradshaw,
2002). Istilah rehabilitasi juga dapat dimaknai sebagai pemulihan kembali
produktivitas, tetapi tidak harus seluruhnya (Lamb & Gilmour, 2003).
Gunawan (2014) menjelaskan perbedaan terminologi reklamasi,
rehabilitasi, dan restorasi dalam Tabel 3.1.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
24
Tabel 3.1. Perbedaan terminologi reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi
Reklamasi Rehabilitasi Restorasi
Pemulihan Produktivitas Fungsi dan
produktivitas
Fungsi,
produktivitas,
struktur, dan
komposisi
Jenis yang
digunakan
Dapat jenis eksotik Dapat jenis
eksotik, dapat
jenis asli
Harus jenis asli
Hasilnya Boleh dipanen
kembali
Boleh dipanen
kembali
Tidak boleh
dipanen kembali
Tujuan akhir Bukan untuk
memulihkan
keanekaragaman
hayati ekosistem
asli (dapat
membentuk
ekosistem baru)
Bukan
memulihkan
ekosistem asli,
tetapi
memulihkan
fungsi
ekosistem
Memulihkan
ekosistem
seperti
kondisi aslinya/
kondisi awal
(yang
diketahui)
Jangka waktu Pendek Pendek-
menengah
Panjang
Rehabilitasi hutan dan lahan dapat diselenggarakan melalui
kegiatan: reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau
penerapan teknik konservasi tanah secara vegetasi dan sipil teknis, pada
lahan kritis yang tidak produktif. Rehabilitasi melalui penanaman vegetasi
atau pohon pada pantai berpasir pada dasarnya ditujukan untuk
mempercepat perkembangan suksesi komunitas vegetasi awal dan
diharapkan terjadi stabilitas lahan dan menghambat abrasi pasir.
Kerapatan dan pola tanam vegetasi awal diarahkan agar dapat melindungi
areal budidaya yang ada di belakangnya ke arah daratan dan mempunyai
kemampuan mitigasi bencana tsunami. Upaya rehabilitasi dapat
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
25
dilakukan melalui prinsip-prinsip pemapanan vegetasi untuk
memperoleh manfaat baik ekologi maupun manfaat-manfaat yang lain
(Sumardi, 2009).
Penerapan teknik silvikultur yang tepat memainkan peranan
penting bagi keberhasilan pemapanan vegetasi. Teknik silvikultur adalah
suatu metode atau cara dalam memberikan perlakuan terhadap tegakan
hutan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Asosiasi Ahli
Kehutanan Amerika/Society of American Foresters, silvikultur adalah
(Nyland, 2016):
Seni untuk membangun dan memelihara tegakan hutan dengan
landasan ilmiah untuk mengendalikan pemapanan tegakan
hutan, komposisi, pertumbuhan, kesehatan, dan kualitas;
Menerapkan berbagai perlakuan agar hutan menjadi lebih
produktif dan bermanfaat bagi pengusaha hutan dan masyarakat
secara lestari;
Mengintegrasikan konsep ekologi dan ekonomi pada perlakuan
yang sangat tepat untuk memenuhi tujuan pengelolaan hutan.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Nyland (2016) bahwa ada 4 (empat) fungsi
silvikultur yaitu: control (pemapanan, komposisi, struktur dan
pertumbuhan), facilitate (pemanenan, pengelolaan dan penggunaan),
protect (tapak dan pohon), dan salvage.
Dalam menerapkan teknik silvikultur harus mempertimbangkan
aspek ekologi, ekonomi, sosial dan manfaat yang ingin dicapai agar hutan
berfungsi secara lestari dan optimal. Beberapa pertimbangan teknik
silvikultur untuk melakukan rehabilitasi dengan pemapanan vegetasi
diantaranya:
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
26
3.1 PEMILIHAN JENIS
Usaha rehabilitasi dapat dilakukan melalui kegiatan penanaman
berbagai jenis tanaman. Penanaman pohon di lahan pantai berpasir
didasarkan pada jenis tanaman yang sesuai dan dapat tumbuh serta
memiliki kemampuan antara lain tahan terhadap terpaan angin kencang
dan tahan terhadap kondisi tanah berpasir yang marginal (Nurahmah et
al., 2007). Soerianegara dan Indrawan (2005) menjelaskan dalam memilih
jenis perlu memerhatikan keadaan ekologinya seperti: iklim, tanah, tinggi
tempat, kebutuhan akan cahaya matahari, keadaan lapangan, dan drainase
tanah. Spesies tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan pasir di
antaranya cemara udang (Winarni, 2002; Winarni & Supriyo, 2003;
Winarni, 2006).
Cemara udang telah digunakan secara luas sebagai tanaman tepi
laut bertujuan menstabilkan gumuk pasir pantai karena tanaman ini
mampu tumbuh subur pada tanah berpasir dan kondisi bergaram. Jenis
ini mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan bakar
pembuatan arang, kayu perkakas, windbreak (pemecah angin), pengontrol
erosi (mengurangi erosi angin), stabilisator gumuk pasir, reklamasi lahan,
penghasil tanin, dan makanan ternak. Cemara udang mampu
bersimbiosis dengan aktinomisetes tanah (frankia) sehingga mampu
menambat nitrogen dari atmosfer (National Research Council, 1984;
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001).
Secara taksonomi, cemara udang merupakan anggota dari famili
Casuarinaceae, dan mempunyai banyak nama: Casuarina, ironwood, coast
she-oak, horsetail, Australian pine, whistling pine, beefwood, agoho (Philippines),
ru (Malaysia), filao (Vietnam, West Africa, West Indies) dan nokonoko
(Fiji). C. equisetifolia mempunyai dua varietas yaitu var. incana dengan
tinggi antara 6-10 m dan tumbuh sepanjang pantai Queensland dan New
South Wales utara, dan var. equisetifolia dengan tinggi antara 10-40 m dan
ditemukan di sepanjang pantai dari Malaysia sampai Australia, Melanesia,
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
27
Micronesia, Philippines, dan Polynesia (Dommergues, 1990). Jenis ini
merupakan jenis asli Indonesia dan Malaysia yang menyebar ke India, Sri
Lanka dan Australia utara (Duke, 1983), dengan karakteristik pohon
berumah satu, tinggi 6-35 m, diameter dapat mencapai 50 cm; daun
berjarum, terdiri dari 7-8 daun di tiap nodus dan tersusun melingkar.
Bunga jantan terletak di ujung (terminal), berbentuk bulir memanjang.
Bunga betina muncul di bagian samping dari percabangan batang,
berbentuk kerucut. Buah abu-abu atau kuning cokelat (samara), panjang
6-8 mm, berbiji tunggal. Satu kg kerucut menghasilkan 20-60 g biji.
Terdapat 300.000-700.000 biji bersih per kg (Direktorat Perbenihan
Tanaman Hutan, 2001).
Tempat tumbuh cemara udang pada ketinggian 0-400 m dpl.,
termasuk jenis intoleran (Soerianegara & Indrawan, 2005), curah hujan
rata-rata 350-5.000 mm, musim kering 6-8 bulan, suhu rata-rata 15-300C,
suhu bulan tertinggi 20-470C dan terendah 7-200C. Sesuai pada tanah
ringan, berpasir, cepat tumbuh pada tanah kurus dan toleran terhadap
tanah bergaram dan angin bergaram, tumbuh baik pada tanah dengan pH
5,0-9,5 (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001).
Di Indonesia, jenis ini banyak terdapat di Pantai Lombang, pantai
berpasir putih di Pulau Madura. Cemara udang sangat cocok tumbuh di
tepi laut, karena selain berfungsi sebagai peneduh, akarnya juga mampu
menahan abrasi. Sedangkan daunnya mampu menahan embusan angin
(Litbang Kompas, 2005). Jenis ini termasuk jenis serba guna untuk
industri dan rumah tangga. Disebut sebagai “kayu bakar terbaik di dunia”
dan juga menghasilkan arang berkualitas tinggi. Manfaat lainnya adalah
sebagai bahan pulp, kayu perkakas, naungan dan peneduh, pemecah
angin, tanaman hias (bonsai), reklamasi lahan dan memperbaiki tanah
(Duke, 1983; Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001). Selain itu,
sebagai obat tradisional untuk astringent, diuretic, ecbolic, emmenagogue,
laxative, tonic, beriberi, sakit perut, batuk, diare, disentri, sakit kepala,
gelisah, jerawat, rasa sakit, bengkak, dan sakit gigi (Duke, 1983).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
28
Cemara udang mempunyai batang yang kokoh dan bercabang
banyak, mampu menahan garam yang hendak masuk ke daratan sehingga
tanah dan pasir yang ada di belakang cemara udang ini layak untuk
dikembangkan sebagai pertanian lahan berpasir (Suhardi, 2005; 2006)
(Gambar 3.1). Selain berfungsi memecah angin laut yang berkadar garam
tinggi, serasahnya dapat dimanfaatkan sebagai mulsa. Cemara udang juga
ditanam untuk menekan terjadinya pemindahan tanah, merangsang iklim
mikro dan mengurangi dampak tsunami di wilayah yang sangat terbuka
(Duke, 1983; Shiddieq & Muhajir, 2008).
Gambar 3.1. Cemara udang dengan batang tinggi dan cabang banyak di Pantai
Petanahan (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
29
3.2 PENGUNDUHAN BUAH
Pengunduhan buah dilakukan apabila pohon induk yang akan
diunduh telah cukup umur dan sehat. Pohon yang sehat dicirikan oleh
batang yang lurus serta bebas dari hama dan penyakit (Gambar 3.2).
Umumnya, pohon cemara udang mulai berbuah pada umur >6 tahun.
Bunga termasuk tipe protoganic di mana bunga betina masak terlebih
dahulu dibanding bunga jantan (Gambar 3.3). Dibutuhkan waktu sekitar
123-149 hari untuk menyelesaikan satu periode pembungaan dan
pembuahan, dimulai dari inisiasi bunga (Juni) sampai masaknya buah dan
biji (Oktober). Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk anthesis adalah 6
jam 23 menit, yaitu pada pukul 08.00-09.00 di pagi hari atau pada pukul
03.00-06.00 di sore hari. Puncak pembungaan terjadi sekitar bulan
September. Enam taksa serangga yang dijumpai berinteraksi dengan
bunga cemara udang yaitu ngengat dan kupu-kupu (Lepidoptera), lebah
madu dan semut (Hymenoptera), belalang (Orthoptera) serta lalat
(Diptera). Di antara jenis-jenis serangga tersebut, kupu-kupu, ngengat
dan lebah madu diketahui berperan sebagai pollinator (Putri, 2007).
Pengunduhan buah dapat dilakukan dengan memanjat pohon dan
menggunakan alat bantu galah bergantung pada ketinggian pohon. Buah
yang dipanen adalah buah yang sudah masak secara fisiologis dengan
dicirikan warna buah kuning kecoklatan. Buah yang warnanya hijau
menandakan belum masak, sebaliknya yang berwarna coklat sudah
melewati masak (Gambar 3.4). Kemudian buah dikumpulkan dan
dimasukkan ke dalam wadah/karung untuk dibawa ke tempat
pengolahan. Bila tidak mungkin langsung mengekstrak biji, karung yang
berisi buah disimpan di tempat kering dan dingin dengan ventilasi udara
yang baik. Hindari meletakkan karung di lantai, tetapi beri alas kayu
sehingga memungkinkan peredaran udara di bawah karung
(Mulawarman et al., 2002; Heru Dwi P., 21 November 2017, komunikasi
pribadi).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
30
Gambar 3.2. Pohon induk cemara udang (Foto: Mulawarman et al. (2002),
Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
31
Gambar 3.3. Bunga dan buah cemara udang (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 3.4. Buah cemara udang yang sudah masak fisiologis berwarna kuning
kecoklatan (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
3.3 PEMBIBITAN
Ekstraksi benih harus cepat dilakukan dengan cara buah dijemur
di bawah sinar matahari dengan terlebih dulu dibungkus dengan kain atau
jaring sampai biji pecah dengan sendirinya (Gambar 3.5). Penggunaan
pembungkus dimaksudkan agar biji yang sudah pecah tidak berhamburan
tertiup angin. Ekstraksi benih adalah kegiatan memisahkan benih dari
struktur buah yang menutupinya seperti tangkai malai, daging buah dan
kulit buah, yang bertujuan mengurangi campuran dengan kotoran,
mempermudah penanganan dan meningkatkan kemampuan dalam
penyimpanan.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
32
Gambar 3.5. Hasil ekstraksi biji cemara udang dengan penjemuran
menggunakan jaring (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Setelah melalui proses pembersihan dan sortasi, benih direndam
dalam air selama 2 hari (skarifikasi) dan dikering anginkan selama sehari.
Pembersihan benih adalah proses menghilangkan kotoran yang terbawa
benih, baik kotoran fisik (benda-benda mati) maupun kotoran genetis
(varietas lain, biji tanaman lain atau biji gulma). Sedangkan sortasi benih
adalah proses pengelompokan (grading) benih berdasarkan sifat fisiknya
sehingga meningkatkan keseragaman ukuran benih agar pertanaman
lebih seragam.
Skarifikasi merupakan proses pelunakan kulit biji agar menjadi
lebih mudah ditembus oleh embrio dalam mempercepat proses
perkecambahan. Perkecambahan dapat diartikan sebagai dimulainya
proses pertumbuhan embrio dari benih yang sudah masak dengan diawali
dari proses imbibisi, reaktivasi, inisiasi pertumbuhan embrio, dan
munculnya akar menembus kulit benih. Dengan lepasnya lapisan kulit biji
akibat skarifikasi, akan memudahkan masuknya air ke dalam biji
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
33
(imbibisi). Imbibisi akan mengaktifkan enzim-enzim perombak yang
menjadikan karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa aktif.
Benih ditabur pada bedeng tabur yang telah diberi media pasir dan
bagian atapnya dinaungi dengan plastik tebal (Gambar 3.6). Pemberian
naungan dimaksudkan mengurangi kerusakan benih akibat air hujan atau
benda lain yang jatuh menimpa benih. Faktor kelembaban berpengaruh
nyata terhadap persentase perkecambahan dan kecepatan berkecambah.
Sehingga dianjurkan untuk menggunakan sungkup dalam
mempertahankan tingkat kelembaban (Nurahmah et al., 2007)
Penyiraman dilakukan secara teratur 2 (dua) kali sehari. Umumnya benih
akan berkecambah setelah ±1 minggu dari waktu penaburan. Kecambah
dapat disapih atau dipindahkan ke polybag setelah berumur 2 bulan dengan
spesifikasi: tinggi kecambah 5-10 cm, batang coklat, daun sudah
bercabang (Gambar 3.7). Setelah berumur 3 bulan dari penyapihan
(tinggi kurang lebih 30 cm), bibit dapat ditanam di lapangan (Gambar
3.8). Seleksi bibit dilakukan sebelum dipindahkan ke lapangan dengan
mengelompokan berdasarkan tinggi bibit yang seragam (grading) (Pamuji,
25 September 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 3.6. Bedeng tabur dengan naungan (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
34
Gambar 3.7. Kecambah umur 1 bulan dan 2 bulan (kecambah siap sapih) (Foto:
Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 3.8. Bibit cemara udang siap tanam (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
35
3.4 PENYIAPAN LAHAN
Kegiatan penyiapan lahan dimulai dari pembuatan pondok kerja
sementara, survey lokasi penanaman (pengukuran edafis dan klimatis),
plotting, pembersihan jalur tanam, penentuan jarak tanam, pemasangan
ajir, dan pembuatan lubang tanam.
Suhu udara yang tinggi dapat menjadi kendala teknis bagi personel
pelaksanaan rehabilitasi di lapangan. Pembuatan pondok kerja sementara
diperlukan untuk mengurangi kondisi lingkungan yang panas agar
personel terhindar dari dehidrasi. Pondok kerja dibuat dari tiang-tiang
bambu yang ada di sekitar lokasi dan atasnya diberi atap (terpal tahan
panas). Pondok kerja dimanfaatkan sebagai tempat berteduh dan istirahat
saat melakukan pelaksanaan rehabilitasi (Gambar 3.9). Pondok ini juga
berfungsi sebagai tempat memberikan arahan pekerjaan sebelum dan
sesudah penanaman di lapangan.
Gambar 3.9. Pondok kerja sementara (Foto: Arina Miardini)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
36
Data dan informasi edafis (tanah) dan klimatis (curah hujan)
diperlukan dalam menentukan teknik silvikultur yang paling sesuai untuk
diterapkan pada areal penanaman dan waktu yang tepat untuk
penanaman. Plotting merupakan kegiatan pengukuran lahan dan
penentuan luas areal penanaman (Gambar 3.10). Hasil plotting berupa
batas areal penanaman yang dipasangi pal batas. Penentuan jarak tanam
didasarkan pada tujuan penanaman, kerapatan tanaman yang
dikehendaki, bentuk wilayah (topografi) dan karakter tajuk tanaman.
Tegakan hutan yang akan dibangun difungsikan sebagai wind barrier
(penahan angin) sehingga jarak tanam yang dipakai harus disesuaikan
dengan tujuan tersebut. Pola tanam selang seling (untu walang) cocok
diterapkan untuk tujuan tersebut (Gambar 3.11). Jarak tanam yang dipilih
adalah 5 x 5 m dengan mempertimbangkan penutupan dan kerapatan
tajuk antar pohon. Baris tanaman dibuat tegak lurus arah angin laut.
Gambar 3.10. Plotting dan penentuan jarak tanam (Foto: Arina Miardini)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
37
Sementara Budiyanto (2011) mengemukakan bahwa teknologi
konservasi gumuk pasir sebaiknya diarahkan kepada dua hal utama, yaitu
membelokkan arah angin dan menurunkan laju gerakan angin serta
melindungi beberapa bagian gumuk pasir terutama lereng gumuk yang
berhadapan dengan arah datangnya angin. Peletakan turap vegetasi di
bagian lembah gumuk dapat berfungsi sebagai tanggul dan mengurangi
gerakan gumuk pasir. Peletakan turap vegetasi ini disesuaikan dengan
kinerja angin terutama rata rata kecepatan dan arah tiupan angin (Gambar
3.12).
Setelah plotting dibuat kemudian dilakukan pengajiran. Pengajiran
adalah pemasangan ajir pada tempat-tempat yang akan ditanami sesuai
dengan jarak tanam yang telah ditentukan. Tujuannya untuk mengatur
jarak tanam agar rapi, lurus, dan teratur. Ajir yang digunakan terbuat dari
bambu dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 3 cm dan pada bagian
bawah dibuat runcing. Untuk menentukan jarak dan barisan tanaman
dapat digunakan meteran gulung atau tambang plastik yang telah diberi
tanda jarak. Pemasangan ajir ini digunakan sebagai penanda calon lubang
tanam dan penyangga bibit (Gambar 3.13).
Gambar 3.11. Pola tanam "untu walang" dengan jarak tanam 5 x 5 m
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
38
Gambar 3.12. Peletakan vegetasi dalam konservasi gumuk pasir (Budiyanto,
2011, ilustrasi: Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 3.13. Pemasangan ajir (Foto: Arina Miardini)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
39
Lubang tanam dibuat kurang lebih 1-2 minggu sebelum
penanaman. Pembuatan lubang tanam dilakukan setelah turun hujan
yang pertama (awal musim hujan). Dengan dibiarkan terbuka selama
beberapa minggu, diharapkan dapat mensterilkan tanah dari patogen dan
hama pengganggu akibat terkena sinar matahari secara langsung. Lubang
tanam dibuat dengan ukuran 60 x 60 x 60 cm. Lubang tanam berukuran
relatif besar akan mampu memberi ruang yang optimal bagi akar untuk
menyerap unsur-unsur hara yang diperlukan terutama setelah dilakukan
pemupukan (Gambar 3.14).
Gambar 3.14. Pembuatan lubang tanam (Foto: Arina Miardini)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
40
3.5 PEMBERIAN AMELIORAN
Karakteristik lahan pantai berpasir yang marginal dapat diperbaiki
dengan melakukan ameliorasi lahan. Ameliorasi lahan adalah suatu upaya
pemberian masukan tertentu ke dalam tanah untuk perbaikan fisika,
kimia dan biologi tanah (Direktorat Pengelolaan Lahan, 2008).
Sedangkan bahan-bahan untuk ameliorasi dinamakan amelioran.
Beberapa contoh bahan amelioran yang sering digunakan adalah kapur ,
tanah mineral, pupuk kandang, kompos, mulsa organik dan abu.
Partoyo (2005) mengungkapkan bahwa penambahan tanah
lempung dan pupuk kandang di lahan pasir Pantai Samas dapat
memperbaiki kualitas tanah. Ameliorasi tanah dengan cara pemberian
tanah liat sebagai bahan pembenah tanah mampu mengubah lahan pasir
yang marginal menjadi produktif (Masyhudi, 2007). Winarni (2006)
melaporkan pemberian mulsa organik (jerami, pupuk kandang sapi, sabut
kelapa, serasah daun cemara udang) pada lahan pasir Pantai Pandansimo
dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter cemara udang,
kadar lengas media, kadar bahan organik dan KTK media. Selain itu,
pemberian mulsa organik meningkatkan kandungan unsur hara N
tersedia.
Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari campuran
kotoran hewan/ternak, urine, dan sisa-sisa makanan ternak yang tidak
habis (Rosmarkan & Yuwono, 2002; Novizan, 2005). Pupuk kandang
mempunyai beberapa kelebihan antara lain: merupakan humus, sumber
hara (N, P, K), menaikkan daya menahan air (water holding capacity),
membantu mengatur suhu dan kelembaban tanah, meningkatkan
aktivitas biologi di dalam tanah, dan memperbaiki stabilitas permukaan
tanah (Arifah, 2013). Pupuk kandang sapi mempunyai kandungan bahan
organik dan N (bentuk NO3- maupun NH4
+) cukup besar sehingga
potensial apabila digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah di
lahan pasir pantai (Syukur, 2005).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
41
Pupuk kandang yang digunakan harus dalam keadaan matang atau
telah terdekomposisi dengan sempurna. Ciri pupuk kandang yang baik
yakni berwarna coklat kehitaman, cukup kering, tidak menggumpal, tidak
berbau menyengat, bahan pembentuknya sudah tidak terlihat, dan
temperaturnya relatif stabil (Gambar 3.15) (Novizan, 2005).
Gambar 3.15. Pupuk kandang yang telah terdekomposisi (Foto: Agung Wahyu
Nugroho)
Pemberian pupuk organik (pupuk kandang) sebanyak 5 kg per
lubang tanam dan pupuk hayati sebagai pupuk dasar diperlukan untuk
memperbaiki struktur tanah, menambah kandungan unsur hara tanah
dan meningkatkan mikroorganisme tanah. Pupuk kandang ini banyak
tersedia di daerah pantai karena sebagian masyarakat mempunyai hewan
ternak seperti kambing, sapi, dan ayam.
Muatan ionik merupakan syarat terjadinya interaksi tanaman dan
unsur hara tanah. Tanaman mampu menyerap hara tanah, jika hara
berbentuk ion. Tanaman tidak menyerap bahan organik ataupun pupuk
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
42
kimia. Penguraian bahan organik ataupun pupuk kimia menjadi ion-ion
merupakan peran dari mikroorganisme. Bahan organik mampu
mencegah pemadatan tanah dikarenakan aktivitas mikroorganisme
memunculkan rongga sehingga aerasi tanah terjaga. Dampaknya bahan
organik mampu mempertahankan perbedaan muatan dan memudahkan
akar menyerap nutrisi. Bahan organik juga mampu meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK) sampai 200-300 miliekuivalen per 100 g
tanah sehingga sifat granulasi menjadi lebih bagus karena tanah mampu
mencekeram unsur-unsur hara seperti mineral, nitrogen, atau fosfor.
Bahan organik mampu mengikat air (setiap gram bahan organik mampu
menyerap 4 ml air) sehingga tanah menjadi gembur. Selain itu, unsur-
unsur toksik seperti besi, mangan, dan aluminium terbungkus rapat
dengan ikatan kelat sehingga tidak terserap akar. (Chaniago, 2010).
Keterbatasan kondisi lahan pantai berpasir memberikan
konsekuensi perlunya tindakan perbaikan kualitas tapak untuk menjamin
keberhasilan penanaman. Perbaikan diarahkan terutama pada struktur
tanah, kemantapan agregat, kandungan bahan organik dan hara. Untuk
meningkatkan keberhasilan penanaman dan ekonomis, peningkatan
kualitas tempat tumbuh pada lahan pantai berpasir dapat dilakukan
menggunakan media tanam pot (press block) (Sumardi, 2009). Press block
merupakan campuran tanah dan bahan organik yang dicetak berbentuk
silinder dengan diameter tertentu seperti pot tanaman. Fungsi press block
ini antara lain: menyediakan unsur hara sementara pada bibit tanaman
hingga tanaman yang diusahakan mampu membentuk perakaran dan
beradaptasi dengan lingkungan, menjaga suhu tanah serta menyediakan
air bagi tanaman.
Penambahan amelioran dilakukan pada lubang tanam saja
sehingga lebih ekonomis. Penambahan amelioran (campuran 40% tanah
dan 10% bahan organik) dalam bentuk media tanam pot ke dalam lapisan
permukaan pasir dapat meningkatkan daya hidup cemara sampai 78,3%
(Nugroho & Sumardi, 2010). Media ini mempunyai ukuran dengan tinggi
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
43
20 cm, diameter 8 cm, dan tebal 3 cm yang dibuat menggunakan alat
pengepresan media (Gambar 3.16 & 3.17). Masyarakat bisa
memanfaatkan teknologi alat pengepres media ini dengan cara sederhana,
yaitu dengan memanfaatkan 2 (dua) buah pipa paralon yang berbeda
ukuran disesuikan dengan ukuran polybag tanaman. Setelah pembuatan
lubang tanam, kedua pipa tersebut dimasukkan ke dalamnya. Bahan
amelioran (campuran tanah dan pupuk kandang) dimasukkan ke dalam
lubang di antara kedua pipa tersebut dan ditekan dari atas menggunakan
kayu. Setelah media menjadi kompak, kedua pipa ditarik ke atas secara
hati-hati.
Nugroho (2014) menambahkan bahwa penambahan amelioran
dengan teknologi media tanam pot ini berpengaruh nyata dalam
menurunkan suhu rizosfer (kedalaman tanah 20 cm) sampai 3,750C.
Media tanam pot juga mampu menyediakan tapak awal yang kokoh dan
kompak serta mendukung perkembangan perakaran tanaman dengan
baik. Pengamatan visual menunjukkan akar cemara udang mampu
menembus keluar media tanam pot pada umur tanaman 2,5 bulan setelah
penanaman (Gambar 3.18).
Gambar 3.16. Dimensi ukuran media tanam (press block) (Foto: Agung Wahyu
Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
44
Gambar 3.17. Alat pengepresan media (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 3.18. Media tanam pot yang kokoh dan dapat ditembus akar cemara
udang (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
45
3.6 PENANAMAN
Penanaman sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan atau
bulan-bulan basah (November-Pebruari). Sebelum penanaman,
pertemuan dengan pihak terkait dilakukan untuk mengorganisasikan
personel dan pelaksanaan teknis penanaman. Penanaman dimulai dari
pengangkutan bibit ke lokasi penanaman, distribusi bibit ke lubang
tanam, dan penanaman. Personel penanaman terdiri dari stakeholder
terkait yaitu instansi pemerintah atau pemerintah desa, masyarakat atau
kelompok tani, dan pelajar. Bibit diangkut dari persemaian ke lokasi
penanaman menggunakan mobil angkut. Selanjutnya bibit
didistribusikan ke lubang tanam secara manual dengan dipikul (Gambar
3.19).
Gambar 3.19. Distribusi bibit dengan dipikul (Foto: Arina Miardini)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
46
Apabila menggunakan aplikasi teknik media tanam, media tanam
dimasukkan ke dalam lubang tanam yang telah dipersiapkan sedalam
ketinggian dari media tanam yaitu kurang lebih 20 cm. Sebelum polybag
dilepas, media sapih ditekan pelan-pelan untuk memastikan media tetap
dalam keadaan padat dan kompak. Bibit dilepaskan dari polybag dengan
hati-hati agar media tetap kompak dan tidak pecah. Bibit selanjutnya
dimasukkan ke dalam lubang media tanam dengan posisi tegak sedalam
leher akar (Gambar 3.20). Jika ada akar cabang yang keluar, akar tersebut
dipotong agar tidak terlipat saat ditanam. Setelah bibit tertanam
dilakukan pengikatan batang bibit ke ajir dan dilakukan pemasangan
srumbung setinggi satu meter (1 m) untuk mencegah bibit dari gangguan
fisik, terutama dari hewan ternak dan angin (Gambar 3.21 & 3.22).
Setelah itu dilakukan penutupan mulsa dari serasah tanaman di sekitar
pantai, agar tanah tetap terjaga kelembabannya.
Gambar 3.20. Prosedur penanaman media tanam dan bibit ke lahan pasir
(ilustrasi: Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
47
Gambar 3.21. Penanaman dan pengikatan bibit ke ajir (Foto: Arina Miardini)
Gambar 3.22. Pemasangan srumbung pada setiap bibit yang ditanam (Foto:
Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
48
3.7 PEMELIHARAAN
Pemeliharaan merupakan semua tindakan untuk menciptakan
kondisi lingkungan tumbuh tanaman yang ideal dengan tujuan untuk
mendapatkan pertumbuhan tanaman yang optimal. Kegiatan
pemeliharaan tanaman meliputi:
3.7.1 Penyulaman
Penyulaman adalah penggantian tanaman yang mati atau tidak
sehat dengan bibit tanaman baru sehingga terpenuhi jumlah tanaman
normal dalam satu kesatuan luas yang ditentukan. Penyulaman harus
dilakukan secepat mungkin dan terus menerus dilakukan sampai tanaman
berumur kurang lebih 2 (dua) tahun. Waktu penyulaman sebaiknya
dilaksanakan 2-4 minggu setelah penanaman didasarkan pada hasil
pemeriksaan terhadap semua bibit yang telah ditanam.
3.7.2 Penyiangan
Penyiangan (weeding) merupakan pembersihan gulma atau tanaman
pengganggu yang tumbuh disekitar tanaman agar tanaman dapat hidup
dan tumbuh optimal. Teknik, waktu, dan frekuensi penyiangan
berdasarkan pada kondisi gulma di masing-masing tempat. Di lahan
pantai berpasir, penyiangan dilakukan secara manual/tanpa herbisida
menggunakan sistem piringan berdiameter 1 m di sekeliling tanaman.
Semua gulma yang ada dalam piringan dibersihkan dengan cara
pembabadan/pemotongan/pencabutan gulma menggunakan alat
sederhana seperti kored, cangkul, parang dan lainnya. Gulma yang telah
dibersihkan disingkirkan dan diletakkan di sekitar bibit sebagai mulsa.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
49
Penyiangan dilakukan paling sedikit tiga kali setahun (setiap 4 bulan) atau
tergantung pada kondisi gulma yang ada.
3.7.3 Pemupukan
Pemupukan dimaksudkan untuk menambah kandungan unsur
hara ke dalam tanah dalam jumlah sesuai dengan yang diperlukan
tanaman. Pemupukan sebaiknya dilakukan secara tepat, meliputi tepat
dosis, tepat cara, tepat jenis, dan tepat waktu. Pemupukan lanjutan
dilakukan minimal dua kali setahun selama 3 tahun pertama
menggunakan pupuk kandang dan pupuk hayati (biofertilizer). Pupuk
hayati adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik yang
diinokulasi dengan mikrob yang dapat mengolah bahan-bahan organik
menjadi bahan anorganik yang berguna bagi tanaman (Firdausi et al.,
2016). Mikrob yang bisa dimanfaatkan antara lain: Azotobacter sp,
Azospirillum, Bacillus sp., Pseudomonas, Rhizobium sp., Aspergillus
pinicillium, Aspergilus ninger. Mikrob berfungsi sebagai bioaktivator yang
mampu mengondisikan kesuburan tanah secara alami, menetralisir racun
dalam tanaman dan membangkitkan gen yang tertidur dalam tanaman
(Mashar, 2017) (Gambar 3.23).
Gambar 3.23. Contoh pupuk hayati (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
50
Pemupukan dilakukan pada awal musim penghujan dan akhir
musim penghujan. Pupuk kandang yang telah matang dibenamkan dalam
tanah dalam bentuk piringan dengan dosis 5 kg per tanaman. Piringan
dibuat dengan cangkul di dekat area perakaran atau kurang lebih selebar
tajuk tanaman (Gambar 3.24). Pupuk hayati cair yang telah
difermentasikan selama 72 jam kemudian diguyurkan ke dalam pupuk
kandang tersebut dengan dosis 1,5 liter per tanaman.
Gambar 3.24. Area pemupukan bentuk piringan (Foto: Agung Wahyu
Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
51
3.7.4 Pengamanan
Pengamanan tanaman hasil rehabilitasi perlu dilakukan setiap saat
mengingat banyaknya potensi gangguan yang berasal dari manusia,
hewan, maupun alam. Masyarakat di sekitar lokasi memegang peranan
penting dalam pengamanan tersebut. Untuk itu, sosialisasi, perhatian dan
pendekatan ke masyarakat perlu terus dilakukan pascarehabilitasi.
Pengamanan dapat dilakukan melalui kegiatan silaturahmi rutin,
pemagaran, pemasangan papan nama, pal batas, petunjuk arah lokasi,
papan peringatan, pembuatan peta pohon.
Silaturahmi dapat diwujudkan dalam bentuk menghadiri undangan
pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan secara rutin oleh pihak terkait
(aparat desa, sekolah, karang taruna, dinas, kelompok tani) terutama
masyarakat sekitar. Pertemuan tersebut dapat digunakan sebagai wahana
diskusi dan penyampaian informasi tentang kegiatan rehabilitasi yang
dilaksanakan. Sehingga para pihak terkait mempunyai satu kesepahaman
tentang rehabilitasi yang dilakukan. Pemasangan papan nama, pal batas,
petunjuk arah, papan peringatan penting dilakukan untuk
menginformasikan secara luas kepada masyarakat umum tentang
kegiatan rehabilitasi. Sehingga diharapkan masyarakat mengetahui dan
antusias membantu dan memelihara plot rehabilitasi tersebut.
Bahan atau material yang digunakan sebaiknya dihindari bahan
atau material yang berasal dari besi, karena akan lebih mudah dan cepat
berkarat oleh angin yang bergaram. Bahan dari plastik dapat menjadi
alternatif sebagai materi pembuatan papan-papan tersebut. Pemagaran
lokasi rehabilitasi dengan bambu dimaksudkan untuk mengurangi
gangguan tanaman rehabilitasi dari manusia dan hewan ternak (Gambar
3.25). Pembuatan peta pohon dilakukan untuk memudahkan dalam
memonitor perkembangan tanaman hasil rehabilitasi. Peta pohon dibuat
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
52
secara terestris yaitu melalui pengukuran langsung di lapangan terhadap
seluruh individu tanaman (Gambar 3.26).
Gambar 3.25. Pemagaran tegakan cemara udang di Desa Karanggadung (Foto:
Beny Harjadi dan Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 3.26. Peta letak cemara udang di Desa Karanggadung Kecamatan
Petanahan (Peta: Aris Budiyono)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
53
BAB 4
DAMPAK REHABILITASI
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menanam pohon, agar
kelestarian lingkungan terpelihara. Islam mengategorikan perbuatan
menanam sebagai sedekah yang merupakan satu perbuatan terpuji dan
pelakunya diberi pahala kebaikan dari Allah Subhanahu WaTa’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
"Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman,
lalu burung memakannya atau manusia atau hewan, kecuali ia akan mendapatkan
sedekah karenanya” (HR. Al-Bukhoriy dan Muslim). Demikian juga dalam
hadis yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
“Apabila kiamat tiba terhadap salah seorang diantara kamu dan di tangannya ada
benih tumbuhan, maka tanamlah” (HR. Imam Ahmad).
Dari tinjauan sains, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa
pohon yang tumbuh subur di atas tanah akan memberi manfaat di
antaranya adalah: menghasilkan oksigen 1,2 kg/pohon/hari, membuat
lingkungan sejuk, menyerap panas 8x lebih banyak, menjaga kelembaban,
menguapkan 3/4 air hujan ke atmosfir, menyerap debu, mengundang
burung, membuat keindahan, menyerapkan air ke tanah, mengikat butir-
butir tanah, mengikat air di pori tanah dengan kapilaritas dan tegakan
permukaan. Satu pohon menghasilkan 1,2 kg oksigen per hari dan satu
orang bernafas perlu 0,5 kg oksigen per hari. Jadi satu pohon menunjang
kehidupan untuk 2 (dua) orang (Forum Hijau Indonesia, 2013).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
54
Begitu juga dengan rehabilitasi lahan pantai berpasir, tegakan
pepohonan yang terbangun telah memberikan dampak/pengaruh yang
positif bagi manusia dan lingkungan. Kondisi lahan pantai berpasir yang
awalnya gersang dan panas, setelah 8 tahun sudah berubah menjadi hutan
pantai yang sejuk dan indah (Gambar 4.1). Keberadaan hutan pantai ini
memberi beragam manfaat baik lingkungan maupun masyarakat misalnya
perbaikan kesuburan tanah, perbaikan iklim mikro, perlindungan dari
bahaya abrasi, sebagai mitigasi tsunami, menambah estetika panorama
pantai dan peningkatan ekonomi masyarakat sekitarnya.
Gambar 4.1. Kondisi lahan pantai berpasir di pantai Petanahan pascarehabilitasi
(Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
55
4.1 PERBAIKAN KESUBURAN TANAH
Penanaman cemara udang berdampak positif dalam meningkatkan
kandungan unsur hara tanah di bawah tegakan (Harjadi et al., 2013).
Perbandingan kandungan unsur hara tanah pada lahan pasir terbuka
dengan lahan di bawah tegakan cemara udang umur 7 tahun dapat dilihat
pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Perbandingan kandungan unsur hara tanah antara lahan pasir terbuka
dan bawah tegakan cemara udang (Harjadi et al., 2013)
Kandungan unsur hara Lahan pada:
Pasir terbuka Bawah tegakan
cemara udang
pH 8,01 6,88
Na (me/100 g) 2,02 1,34
KA 0,5 mm 0,35 0,36
KTK (%) 4,69 8,52
C (%) 0,25 0,26
BO (%) 0,40 0,40
N (%) 0,01 0,02
P (%) 0,02 0,03
K (%) 0,37 0,14
Nilai pH yang tinggi di pasir terbuka disebabkan oleh kandungan
garam dari laut, sedangkan nilai pH yang lebih rendah pada tegakan
cemara udang dipengaruhi oleh pengaruh pupuk organik dan serasah
yang ada pada tegakan cemara udang. Tegakan cemara udang
menghasilkan bahan organik atau serasah yang mempengaruhi
kandungan C tanah. Kandungan unsur C tersebut berhubungan dengan
kandungan bahan organik (BO) tanah. Sumber utama bahan organik bagi
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
56
tanah berasal dari jaringan tanaman, baik berupa serasah ataupun sisa-
sisa tanaman yang telah mati. Nilai N pada tegakan cemara udang lebih
tinggi dibandingkan pada pasir terbuka karena bintil akar pada tanaman
cemara udang dapat mengikat NH3, sehingga meningkatkan ketersediaan
N. Selain itu, adanya bahan organik yang sudah terdekomposisi akan
mengalami proses mineralisasi N organik sehingga dapat meningkatkan
ketersediaan N di dalam tanah (Harjadi et al., 2013).
Cemara udang merupakan salah satu jenis pohon yang tidak
termasuk dalam Legum tetapi mampu membentuk bintil akar (Gambar
4.2). Bintil akar terbentuk sebagai akibat dari infeksi frankia
(aktinomisetes) ke dalam sel rambut akar (Gambar 4.3). Seperti halnya
Rhizobium, frankia mampu menambat nitrogen dari udara. Kemampuan
frankia menambat nitrogen menyebabkan cemara udang yang
bersimbiosis dengan frankia memiliki peran ekologi sebagai pohon
pioner yang penting terutama di kawasan pesisir dengan kondisi
lingkungan yang ekstrim (Atmanto et al., 2012).
Sebagian besar nitrogen di lahan pantai berpasir yang ditanami
cemara udang berasal dari aktifitas mikroorganisme terutama frankia yang
mampu menambat nitrogen dari udara. Rerata nitrogen yang dihasilkan
oleh cemara udang sebanyak 455,66 kg/ha setara dengan 986,23 kg
urea/ha. Penanaman cemara udang juga mampu meningkatkan C-
organik sebesar 133,3-433,3% dengan kandungan C berkisar 5,85-6,82
ton/ha. Kehadiran tanaman cemara udang juga mampu menaikkan
nitrogen tanah 0,02%-0,04%, dibandingkan dengan lahan pantai berpasir
yang tidak ditanami cemara udang yang memiliki kadar nitrogen 0,01%
(Atmanto, 2013).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
57
Gambar 4.2. Bintil akar cemara udang (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 4.3. Rambut akar cemara udang yang terinfeksi frankia (Atmanto et al.,
2012)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
58
Input unsur hara pada tanah di bawah tegakan cemara udang
sebagian besar disumbang dari adanya serasah di permukaan tanah.
Serasah adalah lapisan yang terdiri dari bagian tumbuhan yang telah mati
seperti daun, ranting, cabang dan buah bahkan kulit kayu serta bagian
lainnya, yang tersebar di permukaan tanah di bawah tegakan sebelum
bagian-bagian tersebut mengalami dekomposisi. Tebal lapisan serasah
tegakan cemara udang umur 8 tahun bisa mencapai 10 cm (Gambar 4.4).
Gambar 4.4. Serasah cemara udang umur 8 tahun di Desa Karanggadung (Foto:
Agung Wahyu Nugroho)
Uma et al. (2014) menjelaskan serasah yang dihasilkan oleh cemara
udang umur 1,2, dan 3 tahun di Tamil Nadu (India) berturut-turut
sebesar 0,64 ton/ha, 4,69 ton/ha, dan 5,19 ton/ha. Sedangkan unsur hara
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
59
yang dikembalikan ke tanah melalui serasah dari yang terbesar sampai
yang terkecil adalah Ca>N>K>Mg>Na>P>Fe>Zn>Cu>Cr (Tabel
4.2). Kandungan karbon dari serasah cemara udang umur 3 tahun lebih
tinggi dibandingkan dengan umur 1 dan 2 tahun berturut-turut sebesar
2,1 ton/ha, 0,2 ton/ha dan 1,7 ton/ha. Nilai konstan dekomposisi
serasah tahunan sebesar 1,83 dengan kecepatan dekomposisi terbesar
dicapai selama musim hujan.
Tabel 4.2. Kandungan unsur hara dalam serasah cemara udang di India (Uma
et al., 2014)
Umur
(tahun)
Kandungan unsur hara serasah (kg/ha)
N P K Ca Mg Fe Zn Cr Na Cu
1 10,1 1,1 2,4 11,8 1,9 0,1 0,02 0,01 1,6 0,02
2 75,7 8,9 17,1 90,2 15,3 1,2 0,2 0,07 12,2 0,1
3 87,8 9,4 18,8 99,1 18 1,4 0,3 0,08 13,8 0,2
Dekomposisi serasah merupakan proses yang sangat penting
dalam dinamika hara pada ekosistem pantai. Dekomposisi adalah proses
penguraian bahan organik yang berasal dari binatang dan tumbuhan
secara fisik dan kimia, menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana
yang dilakukan oleh berbagai mikroorganisme tanah (bakteri, fungi,
actinomycetes, dll.), memberikan hasil berupa hara mineral yang
dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan sebagai sumber nutrisi
(Gambar 4.5). Uma et al. (2014) menemukan beberapa jamur pada
serasah cemara udang yaitu Alternaria alternate, Aspergillus niger, Penicilium
sp., Rhizopus nigricans, Trichoderma viride, Curvularia lunata and Curvularia
eragrostidis. Kemudian ditemukan juga bakteri misalnya Pseudomonas
fluorescens, Azospirillum brasilense, dan Pleurotus florida. Sementara
makroorganisme yang dijumpai diantaranya cacing tanah (Eudrilus
eugeniae), moluska (Haplotrema vancouverense), dan rayap (Odontotermes obesus)
dalam jumlah yang melimpah.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
60
Gambar 4.5. Jamur pada serasah cemara udang di Desa Karanggadung (Foto:
Agung Wahyu Nugroho)
Laju dekomposisi serasah dikendalikan oleh 3 (tiga) faktor utama
yaitu: iklim, kualitas serasah dan kelimpahan mikroorganisme pengurai
(Couteaux et al., 1995). Kondisi lingkungan tanah seperti pH,
ketersediaan hara tanah dan kondisi hidrologi juga dapat mempengaruhi
laju dekomposisi serasah (Sulistiyanto et al., 2005). Penelitian Ayu (2013)
menunjukkan laju dekomposisi serasah cemara udang umur 8 tahun di
pantai Bantul berjalan lambat karena serasah cemara udang termasuk
vegetasi konifer yang mengandung lignin yang sukar terdekomposisi.
Serasah yang terdekomposisi hanya sebesar 2-3% dari total serasah yang
ada.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
61
4.2 PERBAIKAN IKLIM MIKRO
Tegakan cemara udang di lahan pantai berpasir mampu
memperbaiki kondisi iklim mikro yakni mengurangi kecepatan angin,
mengurangi kadar garam yang terbawa angin, meningkatkan kelembaban
tanah dan udara, menurunkan suhu udara serta mengurangi intensitas
cahaya matahari (Winarni et al., 2012). Tegakan cemara udang
berkontribusi dalam meningkatkan kelembaban udara serta permukaan
pasir dibawah tajuknya melalui air gutasi (Gambar 4.6). Gutasi adalah
proses pelepasan air dalam bentuk cair dari jaringan daun. Proses gutasi
terjadi jika akar mendapat tekanan positif karena lingkungan tumbuh akar
mendapat suplai air yang sangat banyak sehingga akar menyerap air
secara berlebihan. Jika transpirasi tidak terjadi atau laju transpirasi
rendah, karena beberapa faktor seperti kelembaban udara yang tinggi,
maka kelebihan air pada sel-sel tumbuhan dilepaskan dengan cara gutasi.
Proses gutasi terjadi pada struktur daun mirip stomata yang bernama
hidatoda. Gutasi biasanya terjadi pada malam hari dan dapat diamati
dengan munculnya tetes-tetes air di tepi daun pada pagi harinya
(Solomon et al., 2005).
Besarnya air gutasi yang dihasilkan tajuk cemara udang
menyebabkan pasir disekitar cemara udang selebar tajuknya lebih lembab
walaupun pada siang hari (Winarni et al., 2012). Atmanto et al. (2009)
mengemukakan jumlah air yang dihasilkan cemara udang lewat gutasi dan
transpirasi selama musim penghujan dan kemarau berturut-turut sebesar
0,0339/cm2 dan 0,0423/cm2. Setiap gram ranting dan daun cemara
udang mampu menghasilkan 0,915 ml cairan hasil gutasi dan transpirasi
pada musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan sebanyak 0,950
ml. Lebih lanjut dikemukakan, tetesan air yang dihasilkan mampu
menjaga kelembaban dan berpengaruh terhadap iklim mikro di sekitar
tumbuhan, sehingga saat musim kemarau tumbuhan masih dapat
bertahan hidup. Harjadi (2015) menambahkan bahwa dengan adanya
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
62
cemara udang di pantai Petanahan dapat meningkatkan kelembaban
udara sampai 76%.
Gambar 4.6. Air gutasi dari tepi daun cemara udang (Foto: Agung Wahyu
Nugroho)
Suhu udara siang hari di bawah tegakan cemara udang lebih
rendah sebesar 2,30C dibandingkan dengan suhu di luar tegakan
(Nugroho et al., 2015). Vegetasi mampu menyerap panas dari pancaran
sinar matahari melalui proses fisiologis (fotosintesis) sehingga dapat
menurunkan suhu sekitarnya.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
63
Thuyet et al. (2014) memaparkan bahwa vegetasi sebagai shelterbelts
hidup memainkan peran penting dalam mengurangi kecepatan angin dan
pergeseran pasir pada kawasan pesisir. Penurunan kecepatan angin oleh
vegetasi dipengaruhi oleh jenis tanaman, kerapatan dan struktur tegakan.
Tegakan cemara udang monokultur umur 8 tahun dengan rerata tinggi
13,34 m dan rerata diameter 17,74 cm memberikan dampak positif bagi
penurunan kecepatan angin sebesar 51%. Sedangkan apabila cemara
udang dicampur dengan pandan pantai (mix planting) mampu
menurunkan kecepatan angin lebih tinggi sebesar 77% (Nugroho, 2016)
(Gambar 4.7). Sementara Windyanti (2013) menunjukkan bahwa hutan
tanaman cemara udang dengan kerapatan rata-rata 177,5 pohon per ha,
rata-rata diameter tanaman 15,16 cm dan rata-rata tinggi tanaman 7,61
meter mampu menurunkan kecepatan angin sebesar 79,25%, namun
faktor yang berpengaruh secara signifikan adalah diameter tanaman
(r=0,991). Budiyanto (2011) menjelaskan bahwa vegetasi dapat
digunakan untuk menurunkan kecepatan angin, menyaring partikel tanah
yang bergerak dan membelokkan arah tiupan angin. Pohon adalah jenis
yang cocok untuk membelokkan dan mengurangi kecepatan angin,
sedangkan perdu merupakan jenis vegetasi yang berfungsi sebagai
peredam kecepatan angin dan penyaring partikel tanah yang terbawa
angin.
Pengurangan kecepatan angin disebabkan karena vegetasi dapat
memberikan gaya menahan pada bidang angin yang menyebabkan
hilangnya momentum aliran udara. Sebagai hasilnya, iklim mikro di
sekitarnya berubah (Plate, 1971). Terdapat hubungan yang erat antara
struktur vegetasi (shelterbelt) dengan pengurangan kecepatan angin.
Struktur vegetasi tergantung pada lebar, panjang, bentuk dan kerapatan
(Thuyet et al., 2014). MacGowan dan Miller (2001) mengemukakan
bahwa windbreak idealnya terdiri dari minimal dua baris konifer dan satu
baris masing masing terdiri dari pohon tinggi, semak tinggi dan semak
pendek. Selanjutnya Miller dan MacGowan (2015) menambahkan, untuk
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
64
perlindungan yang optimum, windbreak ditempatkan tegak lurus dengan
arah angin, dan pada jarak dari area yang akan dilindungi sejauh 2-5 kali
tinggi windbreak. Fungsi perlindungan akan berkurang jika jarak windbreak
dengan area yang akan dilindungi > 10 kali tinggi windbreak.
Gambar 4.7. Mix planting cemara udang dengan pandan pantai (Foto: Agung
Wahyu Nugroho)
Sementara, Takle et al. (2006) menyatakan bahwa tinggi dan
kerapatan shelterbelts merupakan faktor penting dalam menurunkan
kecepatan angin. Angin mengalir melalui bagian shelterbelt yang terbuka,
sehingga vegetasi dengan kerapatan tinggi memungkinkan udara
mengalir menjadi lebih sedikit dan memaksa udara mengalir lebih banyak
di atas puncaknya. Angin yang melewati puncak vegetasi akan kembali
membentuk pola aliran yang sama setelah terhalangi vegetasi dan terjadi
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
65
turbulensi yang kecil di belakang vegetasi (Gambar 4.8). Panjang area
yang terlindungi oleh angin bergantung pada kerapatan vegetasi .
Gambar 4.8. Turbulensi kecil di belakang vegetasi dan pemulihan aliran angin
yang tidak terganggu (Takle et al., 2006)
Semakin tinggi dan rapat tegakan cemara udang akan semakin baik
dalam menurunkan erosi angin. Erosi angin (deflasi) merupakan proses
pengangkutan satu material dari satu tempat ke tempat lainnya yang
disebabkan karena adanya tenaga angin. Abdiyani (2014) menjelaskan
tegakan cemara udang umur 6 tahun dengan rerata tinggi 11, 7 m mampu
mengurangi erosi angin hingga menjadi 0, 49 cm/bulan dibandingkan
dengan cemara umur 4 tahun yang masih sebesar 0,81 cm/bulan.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
66
4.3 PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT
Kondisi awal lahan pantai berpasir dengan permasalahan yang
kompleks menyebabkan minat masyarakat untuk mengelola lahan pasir
menjadi rendah. Tetapi, seiring dengan membaiknya kondisi lingkungan
mikro, maka minat masyarakat meningkat dalam mengelola lahan ini.
Salah satu contoh peluang usaha adalah budidaya tanaman semusim di
belakang tegakan cemara (Gambar 4.9).
Kondisi saat ini, tanah magersari milik Dinas Pariwisata
Kabupaten Kebumen yang berada dibelakang tegakan cemara udang
telah penuh disewa dan digarap petani untuk usaha tanaman semusim.
Widodo et al. (2013) memaparkan bahwa pola usaha tani yang dilakukan
oleh petani lahan pantai adalah kombinasi antara usaha tani tanaman
hortikultura dan pangan (bawang merah, cabai merah, terong, ubi jalar),
usaha ternak (sapi, kambing, unggas) dan tanaman konservasi (cemara
udang).
Harjadi (2015) menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat
mendapatkan keuntungan/laba yang bervariasi dari hasil usaha budidaya
tanaman semusimnya. Sebelum ada tegakan cemara udang, budidaya
tanaman semusim hanya terbatas pada jenis tertentu yakni ubi jalar dan
kacang tunggak yang musim panennya setahun sekali. Setelah ada tegakan
cemara udang maka jenis yang dibudidayakan menjadi lebih bervariasi
antara lain: jagung, pare, ketimun, kacang tanah, kacang panjang, pepaya,
cabe rawit, kentang, terong, ketela rambat. (Winarni et al., 2012).
Budidaya tanaman semusim di lahan pantai berpasir bisa
menghasilkan panen sebanyak 2 kali yaitu pada saat musim tanam (MT)
1 dan MT 2 dengan laba antara Rp 100.000-Rp 3.500.000 bergantung
pada luas lahan garapan, jenis, dan perawatannya (Tabel 4.3) (Harjadi,
2015). Sehingga dengan hasil tersebut masyarakat mulai yakin dan
berubah persepsinya bahwa lahan pasir yang dulunya marginal tidak
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
67
produktif mempunyai potensi yang besar jika dikelola dengan baik dan
benar.
Gambar 4.9. Tanaman semusim di belakang tegakan cemara udang (Foto:
Agung Wahyu Nugroho)
Tabel 4.3. Jenis dan keuntungan usaha tani KT Pasir Makmur Desa
Karanggadung (Harjadi, 2015)
Petani Luas Musim tanam (MT) 1 Musim tanam (MT) 2 Total laba
(ubin) Jenis Laba (Rp) Jenis Laba (Rp)
Wasino 40 jagung 370.000 . 0 370.000
Ludiono 10 jagung 760.000 kentang 620.000 1.380.000
Jaman 80 pare 1.245.000 cabe 2.280.000 3.525.000
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
68
Petani Luas Musim tanam (MT) 1 Musim tanam (MT) 2 Total laba
(ubin) Jenis Laba (Rp) Jenis Laba (Rp)
Wasdi . ketimun 1.176.000 kacang 521.000 1.697.000
Trisno 120 jagung 225.000 terong 24.000 249.000
Sargimin 25 jagung 120.000 kentang 90.000 210.000
Sumeri 60
kacang
tanah 278.000
ketela
rambat 90.000
368.000
Darsikin 40 kentang 225.000 . 0 225.000
Slamet 50 cabe rawit 250.000 . 0 250.000
Saring 70 kacang
panjang
106.000 . 0 106.000
NN 60 pepaya -320.000 terong -22.000 -342.000
Mardal 30 jagung 1.130.000 kacang
tanah
560.000 1.690.000
Binyamin 50 jagung 1.000.000 kacang
tanah
500.000 1.500.000
Keterangan: 1 ubin = 14 m2
Usaha tani konservasi lahan pantai berpasir mampu berfungsi
ganda yaitu sebagai usaha konservasi dan mampu menambah pendapatan
petani. Widodo et al. (2013) menjelaskan bahwa usaha tani cabe merah,
bawang merah, ubi jalar, dan terong dengan luas lahan sebesar 0,1 ha
memberikan pendapatan berturut-turut sebesar Rp 3.945.662,72 (musim
kemarau 1) dan Rp 2.474.354,86 (musim kemarau 2) (Tabel 4.4); Rp
2.103.716,71 (musim hujan) dan Rp 1.615.850,83 (musim kemarau 1); Rp
1.153.069,67 (musim hujan), Rp 583.983,18 (musim kemarau 1) dan Rp
2.290.583,21 (musim kemarau 2); Rp 98.513,49 (musim hujan).
Peluang usaha lain setelah adanya tegakan cemara udang adalah
usaha pembibitan cemara udang (Gambar 4.10). Saat ini, masyarakat
Desa Karanggadung sudah berhasil membibitkan cemara udang secara
mandiri. Materi benih yang digunakan berasal dari tegakan cemara udang
di Pantai Petanahan. Bibit dari masyarakat dapat laku di pasaran dengan
harga antara Rp 2.000-Rp 4.000 per bibit tanaman.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
69
Tabel 4.4. Analisis usaha tani cabe merah seluas 0,1 ha (Widodo et al., 2013)
Variabel Musim kemarau 1 Musim kemarau 2
Satuan Nilai (Rp) Satuan Nilai (Rp)
Penerimaan
Produksi (kg) 1.097,26 1.093,54
Harga (Rp) 5.500 5.000
Total penerimaan (Rp) 6.034.930 5.467.700
Biaya
Benih (Rp) 140.814,23 331.714,42
Pupuk ponska (kg) 16,56 38.557,31 36,02 82.855,78
Pupuk ZA (Kg) 11,34 19.011,86 15,57 21.801,92
Pupuk TSP (Kg) 2,17 4.348,00
Pupuk KCl (Kg) 2,25 5.652,17 25,81 49.679,18
Pupuk mutiara (Kg) 13,64 109.881,42 14,07 111.714,07
Pupuk kandang (Kg) 603,56 201.185,77 856,46 285.471,87
Pestisida cair (Ltr) 72.845,85 199.814,58
Pengairan (lt BBM) 19,6 88.221,34 60 270.000,00
Tenaga kerja (HOK) 38,7 1.161.106,72 46,42 1.392.650,71
Penyusutan Alat 122.938,73 122.938,73
Sumur renteng (bis) 9 18.333,00 9 18.333,00
Windbarier (tanaman) 8 106.370,88 8 106.370,88
Total biaya (Rp) 2.089.267,28 2.993.345,14
Pendapatan (Rp) 3.945.662,72 2.474.354,86
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
70
Gambar 4.10. Usaha pembibitan cemara udang masyarakat Desa Karanggadung
(Foto: Agung Wahyu Nugroho)
4.4 PENINGKATAN JUMLAH WISATAWAN
Dampak positif dengan adanya tegakan cemara udang di pantai
adalah terciptanya iklim mikro yang sejuk dan nyaman bagi wisatawan
pantai. Iklim mikro yang sejuk tersebut menjadi salah satu daya tarik
wisata selain pantainya yang indah. Kecenderungannya, jumlah
wisatawan pantai Petanahan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan
terutama pada hari Minggu dan saat musim liburan anak sekolah
(Gambar 4.11 & 4.12).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
71
Gambar 4.11. Data jumlah wisatawan di pantai Petanahan Kebumen tahun
2010-2016.
Gambar 4.12. Pantai Petanahan (Wanagama III) Kebumen yang sejuk (Foto:
Agung Wahyu Nugroho)
60,987
78,17384,788
79,662 82,161 81,625
106,311
0
15,000
30,000
45,000
60,000
75,000
90,000
105,000
120,000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jum
lah
wis
ataw
an (
ora
ng)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
72
4.5 TERBANGUNNYA BIOSHIELD SEPANJANG GARIS
PANTAI
Aforestasi sepanjang pantai Selatan Kebumen dalam bentuk hutan
pantai sudah dimulai sejak tahun 2006 dengan melibatkan multi pihak.
Aforestasi merupakan penghutanan lahan yang selama 50 tahun atau lebih
bukan merupakan hutan (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 14 tahun
2004). Tahun 2006, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Pengelolaan DAS menginisiasi dengan membangun demplot penelitian
di Desa Karanggadung seluas 11 ha dengan jenis cemara udang,
dilanjutkan tahun 2007 dengan kegiatan gerakan nasional rehabilitasi
hutan dan lahan (GNRHL) sepanjang sempadan pantai seluas 287,5 ha
dengan jenis tanaman yakni: cemara udang (Casuarina equisetifolia),
ketapang (Terminalia cattapa) dan nyamplung (Calophyllum inophylum).
Lokasi dan luas hutan pantai untuk masing-masing desa dapat
dilihat pada Tabel 4.5. Pada tahun yang sama, tim Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada (UGM) juga melakukan rehabilitasi lahan pasir
pantai dengan luas 360 ha di Desa Karanggadung, Kecamatan Petanahan
(hutan pendidikan Wanagama III) dan Kecamatan Ambal dengan
tanaman cemara udang.
Tabel 4.5. Lokasi hutan pantai GNRHL tahun 2007
No Desa Kecamatan Blok Luas (ha)
1 Tanggulangin Klirong Berosengojo 20
2 Jogosimo Klirong Kalibuntu 25
3 Tegalretno Petanahan Ubil 22,5
4 Tegalretno Petanahan Baleng 22,5
5 Karangrejo Petanahan Plesung 20
6 Karangrejo Petanahan Beji 20
7 Sidoharjo Puring Berosengojo 37,5
8 Waluyoharjo Puring Berosengojo 30
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
73
No Desa Kecamatan Blok Luas (ha)
9 Surorejan Puring Kepek 20
10 Surorejan Puring Gudang 20
11 Tambakmulyo Puring Criwik 25
12 Tambakmulyo Puring Kembas 25
Jumlah 287,5
Aforestasi dengan penanaman vegetasi dilakukan di sempadan
pantai dan sekitarnya dimulai dari titik pasang tertinggi sampai dengan
jarak 200-250 m ke arah daratan. Aforestasi tersebut dapat membentuk
bioshield (perisai hidup) sepanjang pantai selatan Kebumen (Gambar
4.13).
Gambar 4.13. Tegakan cemara udang sebagai bioshield di pantai Petanahan
Kebumen (Google Earth, 2017)
Cemara udang dipilih sebagai bioshield dengan pertimbangan
bahwa tanaman ini memiliki sifat pionir, tahan terhadap angin kencang
dan bergaram, tidak menggugurkan daun (evergreen), serta mampu tumbuh
di lahan marginal dan ekstrem. Nugroho (2015) menerangkan
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
74
pertumbuhan cemara udang di lahan pantai berpasir cukup baik dengan
riap pertumbuhan tinggi dan diameter sebesar 1,8 m/tahun dan 2,2
cm/tahun. Sedangkan data pertumbuhan (tinggi dan diameter) cemara
udang mulai umur 1-8 tahun secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 4.14.
Gambar 4.14. Pertumbuhan tinggi dan diameter cemara udang
Adanya perbaikan iklim mikro menyebabkan kehadiran jenis
tumbuhan bawah di bawah tegakan cemara udang semakin bertambah
banyak. Ndari (2014) menyebutkan bahwa komposisi tumbuhan bawah
yang ditemukan di bawah tegakan cemara udang di Desa Karanggadung
terdiri atas 15 jenis dari 11 famili. Jenis yang mendominasi adalah Spinifex
littoralis dengan indeks nilai penting (INP) sebesar 98,7%, diikuti Ermeleria
sonchyfolia, Isachne pulhella, Cyperus pygmaeus dan Calothropis gigantea dengan
INP berturut-turut sebesar 16,8%, 15,6%, 14,1%, 11,5%, sedangkan 10
jenis lainnya memiliki nilai INP di bawah 10%. Tumbuhan bawah yang
1.12.0
4.6
7.5
11.1
15.6 15.8 16.0 16.6
1.02.2
5.4
8.9
10.9
13.7
17.0
19.9 20.0
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Per
tum
buh
an t
ingg
i dan
dia
met
er
Umur (tahun)
diameter (cm)
tinggi (m)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
75
ditemukan mempunyai pola distribusi spasial acak (4 jenis) dan
mengelompok (11 jenis).
Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah mempunyai peran
fungsional yang penting baik ekologis maupun kehidupan masyarakat.
Hilwan et al. (2013) menjelaskan bahwa tumbuhan bawah di lantai hutan
dapat berfungsi sebagai penahan pukulan air hujan dan aliran permukaan
sehingga meminimalkan bahaya erosi. Tumbuhan bawah juga sering
dijadikan indikator kesuburan tanah dan penghasil serasah dalam
meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, tumbuhan bawah telah
diidentifikasi sebagai tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pangan, tumbuhan obat, dan sebagai sumber energi alternatif.
4.6 MITIGASI TSUNAMI
Indonesia adalah negara yang rawan tsunami karena merupakan
daerah pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yakni lempeng
Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Efek tsunami
menimbulkan banyak korban jiwa manusia maupun kerusakan harta
benda. Tabel 4.6 menyajikan beberapa kejadian tsunami di Indonesia
yang merusak antara tahun 1990 dan 2010:
Tabel 4.6. Kejadian tsunami di Indonesia yang merusak tahun 1990-2010
Tanggal Mag.
gempa
(SR)
Pusat gempa Waktu
tiba
(menit)
Lokasi Tinggi
gelombang
(meter)
Korban
jiwa
(orang)
12 Des 1992 7,8 Laut Flores 12 Alor 26,2 2.500
3 Jun 1994 7,8 Jawa 38 Banyuwangi 13,9 238
18 Peb 1996 8,2 Biak dan Irian
Jaya
20 Biak 7,68 110
29 Nov 1998 7,7 P. Taliabu,
Maluku
18 Taliabu 2,75 18
4 Mei 2000 7,6 Banggai,
Sulawesi
35 Banggai 6 4
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
76
Tanggal Mag.
gempa
(SR)
Pusat gempa Waktu
tiba
(menit)
Lokasi Tinggi
gelombang
(meter)
Korban
jiwa
(orang)
26 Des 2004 9 Barat laut
Sumatera
33 Meulaboh 50,9 165.000
28 Mar 2005 8,7 Barat laut
Sumatera
43 Padang
Sidempuan
3 800
17 Jul 2006 7,7 Pangandaran,
Jawa
42 Pangandaran 10 200
12 Sep 2007 8,4 Bengkulu 35 Bengkulu 0,98 25
25 Okt 2010 7,2 Mentawai,
Sumatera
10 Mentawai 8 413
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2012)
Kebumen terdiri atas desa-desa wilayah pesisir seluas 10.165,15 ha
yang dihuni oleh 95 ribu jiwa. Kebumen merupakan salah satu daerah
yang termasuk dalam zone megathrust Selat Sunda dan Jawa bagian selatan
dengan tingkat kegempaan sangat tinggi yang dapat memicu bencana
tsunami (BNPB, 2012). Gambar 4.15 menampilkan gempa utama yang
terjadi di selatan Kebumen pada 25 Januari 2014 dan peta seismitis pulau
Jawa yang diambil dari gempa yang terjadi tahun 1970-2010 (Putri et al.,
2014).
Hasil analisis estimasi resiko tsunami di Kebumen dengan citra
alos menunjukkan ancaman kerentanan dampak tsunami yang tinggi
terdapat di Kecamatan Mirit, Ambal, Buluspesantren, Klirong,
Petanahan, dan Puring (Islam et al., 2014). Kondisi pantai di beberapa
daerah tersebut yang cenderung landai dan terbuka tanpa penghalang
(panjang ±40 km) akan menyebabkan pergerakan gelombang tsunami
melaju dengan sangat cepat. Selain itu, dengan adanya empat sungai besar
yang bermuara di perairan selatan Jawa berpotensi mengirimkan
gelombang tsunami hingga jauh ke arah daratan (Muhyidin, 2012).
Kejadian gempa pada tanggal 17 Juli 2006 pukul 15.19 WIB
dengan skala 6,8 SR yang berpusat di Samudera Indonesia (240 km
tenggara Tasikmalaya) telah memicu tsunami yang memporak-
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
77
porandakan pantai selatan Jawa (segmen Tasikmalaya, Pangandaran,
Cilacap, Kebumen). Survey lapangan yang dilakukan antara tim Jepang,
Korea dan Indonesia (BMKG) menunjukkan beberapa pantai Kebumen
yang terkena dampak tsunami dan run up pada tanggal 17 Juli 2006 (Tabel
4.7).
Gambar 4.15. Lokasi gempa di selatan Kebumen pada 25 Januari 2014 dan peta
seismitis pulau Jawa tahun 1970-2010 (Putri et al., 2014)
Tabel 4.7. Pantai Kebumen yang terkena dampak tsunami tanggal 17 Juli 2006
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
78
No Lokasi Run up (meter) Inundation (meter)
1 Pantai Ayah 5,94 300
2 Pantai Lembupurwo 5,94 480
3 Pantai Ambal 5,53 50
4 Pantai Puring 4,87 100
5 Pantai Suwuk 6,94 700
6 Pantai Karangbolong 5,80 400
Sumber: BMKG dalam lintaskebumen (2014)
Sementara Lavigne et al., (2007) memaparkan dengan rinci sebaran
ketinggian run up tsunami pada 17 Juli 2006 dan waktu kedatangannya di
sepanjang pantai selatan Jawa. Gelombang tsunami yang pertama tiba di
Pangandaran terjadi pada pukul 16.20 WIB atau sekitar 1 jam setelah
kejadian gempa. Ketinggian run up maksimum terukur mencapai 15,7 m
yang melanda Pulau Nusa Kambangan. Sementara ketinggian run up
pantai Selatan Kebumen berkisar antara 2-6 meter.
Dengan adanya kejadian-kejadian tsunami yang melanda pantai
selatan Kebumen, sudah seharusnya dilakukan upaya pengurangan
dampak tsunami tersebut, salah satunya adalah aforestasi. Sementara
BNPB (2012) menyebutkan salah satu kegiatan untuk mitigasi tsunami
adalah dengan membangun dan mengembangkan greenbelt. Beberapa
penelitian mengungkapkan bahwa vegetasi pantai secara luas dianggap
efektif mengurangi kerusakan akibat tsunami dengan kondisi tertentu.
Vegetasi pantai dalam jumlah banyak dan berlapis-lapis akan kokoh
menghadang kuatnya gelombang dan memecahkan gelombang sehingga
daya dorong gelombang dapat diperlemah. Vegetasi pohon yang lebih
tinggi dapat mengurangi energi tsunami yang lebih besar dibandingkan
dengan vegetasi pohon yang rendah. Mile (2007) melaporkan bahwa areal
pantai Pangandaraan yang terlindungi oleh tegakan pohon mengalami
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
79
kerusakan yang lebih kecil dibandingkan dengan areal sekitarnya yang
terbuka tanpa vegetasi pada bencana tsunami tahun 2006.
Fungsi hutan pantai selain untuk melindungi area pantai dari
degradasi lingkungan, juga dapat berfungsi meredam energi gelombang
tsunami sehingga limpasan energi gelombang ke arah daratan dapat
diminimalkan. Sedangkan Sutowijoyo (2005) dan Sudarmono (2005)
mengemukakan bahwa vegetasi pantai cukup efektif untuk mereduksi
energi tsunami, terutama untuk tsunami dengan ketinggian kurang dari 3
meter. Tanaka et al. (2007) mengemukakan fungsi vegetasi dalam
melindungi pantai dari gelombang tsunami dapat dibagi menjadi 3 skema
yaitu: soft landing effect, trapping effect dan escape effect (Gambar 4.16).
Gambar 4.16. Fungsi vegetasi pantai selama tsunami (Tanaka et al., 2007)
Mengenai struktur hutan pantai, Tanaka et al. (2009) dan Thuy et
al. (2012) menjelaskan bahwa kombinasi Pandanus odoratissimus dan
Casuarina equisetifolia dapat secara efektif mengurangi kekuatan tsunami
untuk tsunami dengan tinggi 5-8 meter. Oleh karena itu,
direkomendasikan sebagai bioshield vegetasi untuk melindungi pantai
daerah dari bahaya tsunami (Gambar 4.17). Dengan model numerik,
Ohira et al. (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan eksponensial
antara lebar hutan dan pengurangan banjir tsunami di selatan Yogyakarta.
Hutan pantai dengan lebar 100 meter mampu mengurangi aliran,
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
80
kedalaman dan luas area banjir tsunami berturut-turut sebesar 17,6; 7.0;
dan 5,7%.
Husrin (2014) mengemukakan bahwa hutan pantai tidak dapat
sepenuhnya diandalkan untuk tsunami dengan ketinggian melebihi tajuk
pohon. Hal ini karena kekuatan gelombang tsunami terlalu besar untuk
diredam oleh barisan hutan pantai yang mudah mengalami patah,
tercabut atau runtuh. Namun demikian, hutan pantai tetap dapat
diandalkan untuk tsunami yang tidak terlalu besar dengan
memperhatikan aspek jenis vegetasi, pemanfaatan/kesesuaian lahan,
topografi, batimetri dan orientasi garis pantai. Sedangkan Nugroho
(2015) menyatakan meskipun efektivitas hutan pantai masih terbatas
pada skala dan kondisi tertentu dari tsunami, namun aforestasi harus
terus dilakukan terutama untuk wilayah pesisir Selatan Jawa khususnya
Kebumen. Luas, kerapatan, dan stabilitas struktur hutan pantai harus
terus dikelola dan dipelihara agar fungsinya terjaga dalam mengurangi
dampak tsunami. Sistem hutan pantai berlapis dan cukup lebar yang
menitikberatkan pada pengaturan jenis tanaman di mana tanaman kecil
berada di depan dan tanaman lebih besar ditempatkan di belakang
diharapkan mampu memberikan redaman tsunami yang lebih baik.
Gambar 4.17. Pola struktur dan jenis vegetasi yang efektif terhadap tsunami
(Tanaka et al., 2009).
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
81
BAB 5
TANTANGAN PASCAREHABILITASI
Manfaat rehabilitasi menjadi tidak bermakna jika tidak dilakukan
perlindungan dari anasir-anasir yang mengganggunya. Hutan pantai yang
sudah terbangun akan menurun fungsinya jika tidak dibarengi usaha
untuk menjaganya. Pengembangan aktivitas manusia yang tidak sesuai
dengan prinsip kelestarian (sustainable management) dapat menurunkan
fungsi ekologis dan ekonomis hutan pantai sehingga dapat memengaruhi
kesejahteraan masyarakat setempat. Oleh karena itu, upaya pemeliharaan,
kepastian hukum serta kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan
pantai menjadi tantangan terbesar ke depan pascarehabilitasi pantai
tersebut. Beberapa tindakan yang berpotensi merusak ekosistem hutan
pantai diantaranya:
5.1 PENGAMBILAN RENCEK DAN SERASAH
Rencek adalah kayu bakar yang diambil dari dalam hutan. Rencek
ini berasal dari ranting dan dahan cemara yang dipotong. Untuk
memenuhi kebutuhan kayu bakar, ada beberapa anggota masyarakat yang
melakukan rencek dengan cara memotong dahan dan ranting cemara
terutama bagian bawah pohon (Gambar 5.1). Pada umumnya,
masyarakat belum menerapkan teknik yang benar untuk memotong
dahan dan ranting. Sehingga dikhawatirkan akan memberikan dampak
merugikan bagi pohon, misalnya dapat menyebabkan masuknya hama
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
82
penyakit dan kematian pohon. Selain itu, apabila hal ini dilakukan secara
luas terhadap seluruh tegakan cemara udang, maka akan mengurangi
fungsi dan peran dari tegakan cemara udang terutama sebagai wind barrier
dan mitigasi tsunami.
Gambar 5.1. Rencek cabang cemara untuk kayu bakar (Foto: Agung Wahyu
Nugroho)
Masyarakat memanfaatkan serasah untuk membakar jagung dan
dijual ke wisatawan pantai (Gambar 5.2). Dengan semakin berkurangnya
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
83
serasah, dikhawatirkan dapat mengganggu proses pengembalian unsur
hara ke dalam tanah dan kehidupan mikroorganisme tanah. Akibatnya
tanah menjadi kurang subur dan pertumbuhan tanaman terganggu.
Kemudian, potensi untuk terjadinya kebakaran akan semakin meningkat
dengan adanya kegiatan membakar.
Gambar 5.2. Pengambilan serasah cemara udang sebagai bahan bakar (Foto:
Agung Wahyu Nugroho)
5.2 SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT
Penanaman cemara udang dengan pola monokultur akan
meningkatkan keberadaan organisme pengganggu tanaman. Menurut
Indriani (2014), terjadi serangan hama Lawana candida (ngengat putih)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
84
pada tegakan cemara udang di pantai Samas Bantul dengan luas
penyebaran 12-50% dan intensitas keberadaan 6-33%. Hama ulat juga
dijumpai menyerang tegakan cemara udang dan berpotensi mengganggu
pertumbuhan cemara udang (Kristanti, 2014) (Gambar 5.3). Iklim mikro
di bawah tegakan cemara udang dengan kelembaban tinggi (>80%), suhu
25-27°C dan intensitas cahaya 107-111 Lux dapat meningkatkan potensi
perkembangan jamur upas (Corticium salmonicolor) (Hidayat, 2013).
Gambar 5.3. Hama ulat yang menyerang cemara udang
Jika hal ini tidak segera dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin
dapat menjadi ancaman yang serius bagi kehidupan hutan pantai yang
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
85
telah dibangun. Serangan hama dan penyakit sekecil apapun diperlukan
tindakan yang cepat dan tepat dalam mengatasinya.
Penanggulangan ulat bulu dapat dilakukan menggunakan
insektisida (penyemprotan, pengasapan/fogging), maupun injeksi) secara
bijaksana dan sedapat mungkin menggunakan cara-cara yang lebih alami.
Kain goni (lebar ±15 cm) dapat digunakan untuk mengendalikan ulat
bulu dengan cara diikat di sekeliling batang tanaman dan disemprot
dengan insektisida kontak. Saat ulat bulu melewati kain goni untuk
mencari tempat berlindung pada siang hari, insektisida akan menempel
dikakinya. Insektisida akan terserap ke dalam tubuh ulat dan
mematikannya. Pestisida nabati dari beberapa jenis tumbuhan seperti
mimba (Azadirachta indica) yang mengandung senyawa aktif azadirachtin
dapat mematikan ulat bulu. Apabila tidak mempunyai stok insektisida,
dapat digunakan campuran deterjen, garam, dan minyak tanah dan
disemprotkan ke bagian pohon yang menjadi sarang ulat bulu. Selain itu,
musuh alami ulat bulu terdiri atas: parasitoid (Apenteles colemani,
Brachymeria sp., Eucelatoria bryani, Exorista sorbillans, dan Xanthopimpla sp.),
predator (burung, laba-laba, semut rangrang, kepik) serta beberapa
patogen serangga kelompok virus (Borrelinavirus sp.), dan jamur (Beauveria
sp., Metharizium sp., Nomuraea sp., dan Paecylomyces sp.) dapat
dimanfaatkan untuk mengendalikan ulat bulu (Arifin & Subagyono,
2017).
5.3 ALIH FUNGSI MENJADI TAMBAK UDANG
Nilai jual udang yang tinggi cukup menggiurkan bagi masyarakat
dan swasta yang tinggal di wilayah pantai selatan Jawa, khususnya di
daerah Bantul, Kulonpogo, Kebumen, Cilacap dan Purworejo untuk
usaha budidaya udang. Lahan pasir dilirik sebagai area tambak karena
memberikan keuntungan bagi usaha budidaya udang, yaitu hemat waktu
dan ongkos produksi. Tetapi, fakta di lapangan memperlihatkan
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
86
pembukaan lahan tambak udang cenderung tanpa kendali dan tanpa
adanya tata ruang yang jelas yang dapat menjamin kelestarian budidaya.
Bahkan, ada tambak udang yang berada di daerah sempadan pantai yang
merupakan kawasan konservasi (berjarak 100 meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat) sehingga menyebabkan hutan pantai dikonversi
menjadi tambak (Wonodipuro, 2015).
Pinto (2015) memaparkan bahwa perilaku manusia yang buruk
yaitu menebang pohon-pohon (cemara udang, akasia, gliriside) yang telah
ada di pesisir pantai untuk dijadikan lahan tambak udang menyebabkan
kerusakan lingkungan pantai yang berdampak pada kondisi ekonomi,
sosial, dan lingkungan (Gambar 5.4 & 5.5). Selain karena faktor ekonomi,
faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap perilaku masyarakat
tersebut. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan perilaku
masyarakat untuk menjaga lingkungan menjadi kurang. Sebagian
masyarakat di sekitar pantai beranggapan bahwa keberadaan cemara
udang menyebabkan kerusakan lingkungan yaitu abrasi menjadi
meningkat. Padahal, menurut fungsinya pohon cemara udang adalah
penting untuk perlindungan wilayah pesisir.
Data Badan Penanaman Modal Pelayanan Perizinan Terpadu
(BPMPPT) Kebumen tahun 2016 menunjukkan bahwa di pesisir selatan
terdapat 334 kolam tambak udang yang tersebar di Kecamatan Klirong,
Petanahan dan Puring. Ada 117 kolam di Desa Tanggulangin (Klirong),
Desa Jogosimo (Klirong) 15 kolam, Desa Tegalretno (Petanahan) 90
kolam, Desa Karangrejo (Petanahan) 26 kolam, dan Desa Surorejan
(Puring) sebanyak 86 kolam.
Alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan budi daya udang
dapat merusak ekosistem alam (gumuk pasir, hutan pantai),
menghilangkan mitigasi kebencanaan di kawasan pesisir dan menurunnya
keindahan obyek wisata. Muhari (2016) mengungkapkan bahwa rusaknya
gumuk pasir yang terbentang sepanjang kurang lebih 9 (sembilan)
kilometer dengan lebar rata-rata 800 meter ke arah daratan ini
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
87
mengakibatkan semakin sulitnya menemukan barchan. Barchan merupakan
gunungan pasir yang berbentuk melengkung mirip bulan sabit yang
menjadi ciri khas gumuk pasir. Tipe gumuk pasir ini hanya ada di
Parangtritis, Kebumen dan Meksiko.
Gambar 5.4. Pembukaan lahan untuk tambak udang dengan menebang hutan
pantai (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 5.5. Kolam untuk tambak udang (Foto: Agung Wahyu Nugroho)
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
88
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
89
BAB 6
PENUTUP
Potensi yang besar lahan pantai berpasir di selatan Kebumen
apabila dikelola dengan baik dapat meningkatkan daya dukung kawasan
tersebut. Karakteristik tapak pantai berpasir yang selama ini menjadi
kendala rehabilitasi dengan vegetasi dapat dimanipulasi salah satunya
dengan penguasaan teknik silvikultur yang tepat. Rehabilitasi dalam arti
memulihkan fungsi ekologi dan fungsi ekonomi masyarakat merupakan
kegiatan yang penuh tantangan dan membutuhkan waktu lama (long-term).
Keberhasilan rehabilitasi tidak bisa dicapai hanya dengan kerja parsial dan
sektoral, tetapi harus melibatkan multi stakeholder (masyarakat,
pemerintah, swasta). Konsultasi, koordinasi dan sosialisasi masing-
masing stakeholder harus dilaksanakan secara rutin. Masing-masing
stakeholder harus berperan aktif, merasa memiliki, dan bertanggung jawab
sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.
Dampak rehabilitasi dengan wujud hutan pantai (jenis dominan
cemara udang) terbukti telah memberikan banyak manfaat baik dari sisi
lingkungan (tanah, iklim mikro), masyarakat, wisata maupun mitigasi
tsunami. Tetapi, fungsi hutan pantai yang sudah terbangun tersebut dapat
menurun jika aktivitas manusia dalam mengelola dan memanfaatkannya
tidak sesuai dengan prinsip kelestarian (sustainable management).
Kedepannya, ketika bahan organik dan indeks kualitas tanah
sudah meningkat akibat akumulasi bahan organik dari serasah cemara
udang, komposisi vegetasi dapat diperkaya menggunakan jenis-jenis lokal
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
90
yang bernilai ekonomi bagi masyarakat sekitar yang disesuaikan dengan
karakteristik tapak setempat. Selanjutnya, mulai dipikirkan mengenai
kelompok penyusun vegetasi akhir (suksesi klimaks) untuk mengganti
cemara udang yang sudah akhir daur/mati. Selain itu diperlukan juga
penataan vegetasi dengan membagi kawasan pengelolaannya menjadi
zona-zona sehingga formasi gumuk pasir yang ada tetap terjaga.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
91
DAFTAR PUSTAKA
Abdiyani, S. 2014. Cemara laut (Casuarina equisetifolia) dan erosi angin di
Pantai Petanahan Kebumen. Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan DAS Terpadu untuk Kesejahteraan Masyarakat,
tanggal 30 September 2014 di Malang. Hlm. 237-244. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya dan Balai Penelitian Teknologi
Kehutanan Pengelolaan DAS. Surakarta.
Adinugroho, N. 2010. Gumuk pasir (sand dunes) di Parangtritis. Website:
https://nooradinugroho.wordpress.com/2010/03/22/gumuk-
pasir-sand-dunes-di-parangtritis/. Diakses tanggal 9 Februari
2017.
Arifah, S.M. 2013. Aplikasi macam dan dosis pupuk kandang pada
tanaman kentang. Jurnal Gamma 8 (2): 80-85.
Arifin, M. & K. Subagyono. 2017. Ulat bulu, serangga hama yang mudah
dikendalikan. Website:
www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/924/file/Ulat-Bulu-
yang-mudah-diken.pdf. Diakses tanggal 22 November 2017.
Atmanto, W.D., T. Handayani, W. W. Winarni & S. Danarto. 2009.
Pengaruh arah tajuk dan jarak tanaman cemara udang (Casuarina
equisetifolia var. incana) dari pantai terhadap jumlah air gutasi dan
transpirasi. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur Rehabilitasi
Lahan: Pengembangan Strategi untuk Mengendalikan Tingginya
Laju Degradasi Hutan, tanggal 24-25 November 2008 di Hutan
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
92
Pendidikan Wanagama I, Gunung Kidul, Yogyakarta. Hlm. 86-91.
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
____________, Sumardi, D. Shiddieq & S. Kabirun. 2012. Karakteristik
morfologi dan pembentukan bintil akar pada cemara udang. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman 9 (3): 155-163.
____________. 2013. Teliti cemara udang, Winastuti raih doktor.
Website: https://ugm.ac.id/id/berita. Diakses tanggal 13
September 2016.
Ayu, M.S. 2013. Laju dekomposisi serasah daun cemara udang (Casuarina
equisetifolia Lin var.incana) di pantai goa Cemara, Kuwaru dan
Samas, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Tugas Akhir. D3
Kehutanan, UGM. Yogyakarta. (Tidak diterbitkan).
BNPB. 2012. Masterplan pengurangan risiko bencana tsunami. Badan
Nasional Penganggulangan Bencana. Jakarta.
Bengen, D.G. 2004. Pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu menuju
pembangunan kelautan berkelanjutan. Coastal resources
management project (CRMP) II. Mitra Pesisir USAID-
BAPPENAS.
BPMPPT. 2016. Tambak udang ancam hilangkan gumuk pasir. Website:
http://berita.suaramerdeka.com. Diakses tanggal 6 Oktober 2016.
Bradshaw, A.D. & M.J. Chadwick. 1980. The restoration of land. The
ecology and reclamation of derelict and degraded land. University
of California Press. Berkeley and Los Angeles. Blackwell Scientific
Publications. Great Britain. 317 pp.
_____________. 2002. Introduction and philosophy. In: Perrow, M.R.
and A.J. Davy editor. Handbook of ecological restoration. Volume
1 Principles of restoration. Cambridge University Press. pp. 3-9.
Budiyanto, G. 2011. Teknologi konservasi lanskap gumuk pasir pantai
Parangtritis Bantul DIY. Jurnal Lanskap Indonesia 3 (2): 97-101.
Chaniago, I.A. 2010. Bikin nutrisi siap santap. Trubus 491, Oktober
2010/XLI.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
93
Chen, J., S.C. Saunders, T.R. Crow, R.J. Naiman, K.D. Brosofske, G.D.
Mroz, B.L. Brookshire & J. F. Franklin. 1999. Microclimate in
forest ecosystem and landscape ecology. BioScience 49 (4): 288-
297.
Couteaux, M.D., P. Bottner & B. Berg. 1995. Litter decomposition,
climate and litter quality. Tree 10 (2): 63-66.
Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung. 2013.
Laporan percepatan pemantapan/usulan kawasan konservasi dan
sinkronisasi data kawasan konservasi (Usulan Taman Hutan Raya
pesisir Kebumen). Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan RI.
Direktorat Pengelolaan Lahan. 2008. Pedoman teknis reklamasi lahan
pasca penambangan. Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air
Departemen Pertanian. Jakarta.
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2001. Casuarina equisetifolia L.
Informasi Singkat Benih No. 6 Maret 2001. Indonesia Forest Seed
Project. Bandung, Indonesia
Dommergues, Y. 1990. Casuarina equisetifolia: an old-timer with a new
future. Nitrogen Fixing Tree Association. Hawai, USA. 2 pp.
Duke, J.A. 1983. Casuarina equisetifolia J.R. & G. Forst. Handbook of
energy crops. Purdue University. Center for New Crops & Plants
Products. Unpublished.
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar ekologi tropika: membicarakan alam
tropika Afrika, Asia, Pasifik, dan dunia baru. Terjemahan oleh
Usman Tanuwidjaja. Penerbit ITB. Bandung.
Firdausi, N., W. Muslihatin, & T. Nurhidayati. 2016. Pengaruh kombinasi
media pembawa pupuk hayati bakteri pelarut fosfat terhadap pH
dan unsur hara fosfat dalam tanah. Jurnal Sains dan Seni ITS 5 (2):
2337-3520 (2301-928X Print).
Forum Hijau Indonesia. 2013. Manfaat sebatang pohon. Website:
http://forumhijau.com/. Diakses tanggal 13 Juni 2017.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
94
Google Earth. 2017. Explore, search and discover. Website:
https://earth.google.com/web. Diakses tanggal 20 November
2017.
Gunadi, S. 2002. Teknologi pemanfaatan lahan marginal kawasan pesisir.
Jurnal Teknologi Lingkungan 3 (3): 232-236.
Gunawan, W. 2014. Rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan:
menyelaraskan prinsip dan aturan. Balai Penelitian Teknologi
Konservasi SDA. Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Harjadi, B. & D. Octavia. 2008. Penerapan teknik konservasi tanah di
pantai berpasir untuk agrowisata. Info Hutan 5 (2): 113-121.
________, P.D. Susanti & A. Miardini. 2013. Kajian unsur hara tanah
pada tegakan cemara laut (Casuarina equisetifolia) di pantai berpasir
Petanahan Kebumen. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS, tanggal 12 Juni 2013 di
Surakarta.
________. 2015. Pengelolaan lahan marginal menjadi lahan potensial
bagi peningkatan hasil finansial masyarakat. Prosiding Seminar
Nasional Geografi UMS. Surakarta.
Hidayat, M.R. 2013. Karakteristik morfologi, pertumbuhan in vitro dan
kemampuan saprofitik isolat jamur upas dari tegakan cemara
udang. Skripsi. Fakultas Kehutanan, UGM. Yogyakarta. (Tidak
diterbitkan).
Hilwan, I., D. Mulyana & W.G. Pananjung. 2013. Keanekaragaman jenis
tumbuhan bawah pada tegakan sengon buto (Enterolobium
cyclocarpum Griseb.) dan trembesi (Samanea saman Merr.) di lahan
pascatambang batubara PT Kitadin, Embalut, Kutai Kartanagara,
Kalimantan Timur. Jurnal Silvikultur Tropika 4 (1): 6-10.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
95
Husrin, S. 2014. Hutan pantai untuk mitigasi tsunami: mitos, realitas dan
tantangan ke depan. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sain dan
Teknologi pada Pengurangan Risiko Bencana, tanggal 22
November 2014 di Banda Aceh.
Indriani, S. 2014. Keberadaan Lawana candida (ngengat putih) pada
tegakan Casuarina equisetifolia (cemara udang) di pantai Samas,
Bantul, Yogyakarta. Tugas Akhir. D3 Kehutanan UGM.
Yogyakarta. (Tidak diterbitkan).
Islam, F., S. Subiyanto & L.M. Sabri. 2014. Penentuan risiko dan
kerentanan tsunami di Kebumen dengan citra alos. Jurnal Geodesi
Undip. 3 (1): 141-154.
Kristanti, N. 2014. Luas penyebaran dan intensitas keberadaan ulat
kantong pada cemara udang di pantai Samas, Bantul, Yogyakarta.
Tugas Akhir. D3 Kehutanan, UGM. Yogyakarta. (Tidak
diterbitkan).
Lamb, D. & D. Gilmour. 2003. Rehabilitation and restoration of
degraded forest. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK
and WWF, Gland, Switzerland.
Lavigne, F., C. Gomez, M. Giffo, P. Wassmer, C. Hoebreck, D.
Mardiatno, J. Prioyono & R. Paris. 2007. Field observations of the
17 July 2006 tsunami in Java. Natural Hazards and Earth System
Sciences 7: 177–183.
lintaskebumen. 2014. Dampak gempa dan tsunami Pangandaran 2006 di
Kebumen. Website: http://lintaskebumen.files.wordpress.com.
Diakses tanggal 27 Juni 2015.
Litbang Kompas. 2005. Cemara udang. Kompas: 29 April 2005, Hal 6,
Kolom 3-4.
MacGowan B.J. & B.K. Miller. 2001. Windbreaks for farms and wildlife.
Forestry and Natural Resources. Purdue University.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
96
Maru, R., M.N.Z. Leo, S. Rahim & N.F. Basram. 2016. Oldeman climate
zoning for the agricultural area. Proceedings of International
Conference on Mathematics, Science, Technology, Education,
and their Applications (ICMSTEA). Makassar, Indonesia: 3rd –
4th October 2016.
Mashar, A.Z. 2017. Mikroba google. Website:
http://www.alizummashar.com/mikrobagoogle/. Diakses
tanggal 21 November 2017.
Masyhudi, F. 2007. Pemanfaatan teknologi ameliorasi tanah pada lahan
pasir di pesisir pantai selatan DIY. Website:
https://www.ugm.ac.id/id/berita/1679-
pemanfaatan.teknologi.ameliorasi.tanah.pada.lahan.pasir.di.pesisir
.pantai.selatan.diy. Diakses tanggal 9 Februari 2017.
Mile, M.Y. 2007. Pengembangan spesies tanaman pantai untuk
rehabilitasi dan perlindungan kawasan pantai pasca tsunami.
Informasi Teknis 5 (2): 73-82.
Miller B.K. & B.J. MacGowan. 2015. Tree windbreaks for farms and
homes. Department of Forestry and Natural Resources. Purdue
University.
Muhari, A. 2016. Tambak udang ancam hilangkan gumuk pasir. Website:
http://berita.suaramerdeka.com. Diakses tanggal 6 Oktober 2016.
Muhyidin. 2012. 48 desa di Kebumen waspada tsunami, baru miliki tiga
alat deteksi bencana. Website: http://www.kebumenkab.go.id.
Diakses tanggal 9 Juni 2015.
Mulawarman, J.M. Roshetko, S.M. Sasongko & D. Iriantono. 2012.
Pengelolaan benih pohon, sumber benih, pengumpulan dan
penanganan benih: pedoman lapang untuk petugas lapang dan
petani. International Centre for Research in Agroforestry
(ICRAF) dan Winrock International. Bogor, Indonesia. 46 p.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
97
Mustafa, M.A. & Yudhicara. 2007. Karakteristik pantai dan risiko
tsunami di kawasan pantai selatan Yogyakarta. Jurnal Geologi
Kelautan 5 (3): 159-167.
National Research Council. 1984. Casuarina: nitrogen-fixing trees for
adverse sites. National Academy Press. Washington DC.
Ndari, H.W. 2014. Komposisi, pola sebaran dan kegunaan jenis
tumbuhan bawah pada tegakan cemara udang di kawasan pesisir
Karanggadung Kebumen. Skripsi. Fakultas Kehutanan, UGM.
Yogyakarta. (Tidak diterbitkan).
Novizan. 2005. Petunjuk pemupukan yang efektif. Edisi revisi.
AgroMedia Pustaka. Jakarta. 130 hlm.
Nugroho, A.W. & Sumardi. 2010. Ameliorasi tapak untuk pemapanan
cemara udang (Casuarina equisetifolia) pada gumuk pasir pantai.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7(4): 381-397.
____________. 2014. Pemanfaatan amelioran dengan teknologi
medium tanam pot untuk menurunkan suhu rizosfer pada lahan
pasir pantai. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan DAS
Terpadu untuk Kesejahteraan Masyarakat, tanggal 30 September
2014 di Malang. Hlm. 652-664. Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya dan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan
DAS. Surakarta.
____________, B. Harjadi, S. Abdiyani, A. Hermawan & A. Boediyono.
2015. Pengembangan model rehabilitasi lahan dan konservasi
tanah dan air pada pantai berpasir. Laporan Pelaksanaan Kegiatan.
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS.
Surakarta. (Tidak diterbitkan).
____________. 2015. Aforestasi sebagai strategi mitigasi bahaya tsunami
di pesisir Kebumen. Prosiding Seminar Nasional Restorasi DAS:
Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Ikllim, tanggal 25
Agustus 2015 di Surakarta. Hlm. 339-350. Balai Penelitian
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
98
Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS dan Program
Pascasarjana UNS. Surakarta.
____________. 2016. Pengaruh mix planting cemara udang dengan
pandan pantai dalam menurunkan kecepatan angin. Prosiding
Seminar Nasional Agroforestri: Inovasi Agroforestri Mendukung
Kemandirian Bangsa, tanggal 19 November 2015 di Bandung.
Hlm. 423-427. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran, World Agroforestry Centre (ICRAF), Fakultas
Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Masyarakat Agroforestri
Indonesia, dan Perum Perhutani. Ciamis.
Nurahmah, Y., M.Y. Mile & E. Suhaendah. 2007. Teknik perbanyakan
tanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia) pada media pasir. Info
Teknis 5 (1): 1-7.
Nyland, R.D. 2016. Silviculture concepts and applications. Third edition.
Waveland Press, Inc. Illinois, United States of America.
Ohira, W., K. Honda & K. Harada. 2012. Reduction of tsunami
inundation by coastal forests in Yogyakarta, Indonesia: a
numerical study. Natural Hazards and Earth System Sciences 12:
85-95.
Partoyo. 2005. Analisis indeks kualitas tanah pertanian di lahan pasir
pantai Samas Yogyakarta. Ilmu Pertanian 12 (2): 140-151.
Peraturan Menteri Kehutanan Np. 14 tahun 2004 tentang Tata Cara
Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme
Pembangunan Bersih.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 89 tahun 2016
tentang Pedoman bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 11 tahun 2017
tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus
Penugasan untuk Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
99
Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu
Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi.
Peraturan Presiden No. 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.
Pinto, Z. 2015. Kajian perilaku masyarakat pesisir yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan (studi kasus di pantai Kuwaru, Desa
Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Provinsi
DIY). Jurnal Wilayah dan Lingkungan 3 (3): 163-174.
Plate, E.J. 1971. The aerodynamics of shelter belts. Agricultural
Meteorology 8: 203-222.
Poedjirahajoe, E. 2008. Pengelolaan kawasan pantai terpadu. Program
Studi Ilmu Kehutanan. Sekolah Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
Putri, V.S.I.S. 2007. Studi fenologi pembungaan, penyerbukan dan uji
viabilitas benih Casuarina equisetifolia Linn var. Incana di Pantai
Pandansimo, Yogyakarta. Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan,
UGM Yogyakarta. (Tidak diterbitkan).
Putri, R.R.A., A.M. Juwono & T.D. Rachman. 2014. Studi analisis
penentuan jenis sesar penyebab gempa Kebumen 25 Januari 2014
dengan metode pergerakan awal gelombang P. Brawijaya Physics
Student Journal 2 (1): 288-291
Rajiman, P. Yudono, E. Sulistyaningsih & E. Hanudin. 2008. Pengaruh
pembenah tanah terhadap sifat fisika tanah dan hasil bawang
merah pada lahan pasir Pantai Bugel Kabupaten Kulon Progo.
Agrin 12 (1): 67-77.
Rosmarkam, A. & N.W. Yuwono. 2002. Ilmu kesuburan tanah. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta. 224 hlm.
Rovicky. 2008. Gumuk pasir (sand dune), morfologi hasil ukiran angin.
Website: http://rovicky.wordpress.com/2008/06/09/gumuk-
pasir-sand-dune/. Diakses tanggal 9 Februari 2017.
Shiddieq, J. & A. Muhajir. 2008. Mengubah lahan pasir lebih produktif.
Majalah Salam 24 Juni 2008. Denpasar.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
100
Siradz, S.A. & S. Kabirun. 2003. Pengembangan lahan marjinal pantai
dengan bioteknologi masukan rendah. Fakultas Pertanian UGM.
Yogyakarta. Website: https://repository.ugm.ac.id/92785/.
Diakses tanggal 20 November 2017.
Soenarto. 2016. Restorasi ekosistem gumuk pasir dengan penataan
vegetasi. Website: http://kehati.jogjaprov.go.id/. Diakses tanggal
8 Juni 2017.
Soerianegara, I. & A. Indrawan. 2005. Ekologi hutan Indonesia.
Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Solomon, E.P., L.R. Berg & D.W. Martin. 2005. Biology. Seventh
edition. Brooks/Cole-Thomson Learning. USA.
Sudarmono. 2005. Tsunami dan penghijauan kawasan pantai rawan
tsunami. Inovasi: Tsunami dan sistem mitigasi bencana nasional.
Vol.3/XVII/Maret 2005: 11-14. PPI Jepang.
Sugiarto & W. Ekariyono. 1996. Penghijauan pantai. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Suhardi. 2005. Cemara udang efektif cegah empasan tsunami. Kompas:
29 April 2005. Hal: 6, kolom: 2-5.
______. 2006. Tanaman pelindung cemara udang bisa menjadi penahan
tsunami. Kompas, 16 Agustus 2006. Hal.:6, kolom: 6-7.
Sulistiyanto, Y., J.O. Rieley & S.H. Limin. 2005. Laju dekomposisi dan
pelepasan hara dari serasah pada dua sub-tipe hutan rawa gambut
di Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 11 (2):
1-14.
Sumardi. 2009. Prinsip silvikultur reforestasi dalam rehabilitasi formasi
gumuk pasir di kawasan pantai Kebumen. Prosiding Seminar
Nasional Silvikultur Rehabilitasi Lahan: Pengembangan Strategi
untuk Mengendalikan Tingginya Laju Degradasi Hutan, tanggal
24-25 November 2008 di Hutan Pendidikan Wanagama I,
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
101
Gunung Kidul, Yogyakarta. Hlm. 58-65. Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Supriyo, H. 1992. Mineralogy and chemistry of some soils from Java and
Kalimantan Indonesia. Laboratory of Soil Science. Ehime
University. Japan.
Sutanto, R. 1988. Mineralogy, charge properties and classification of soils
on volcanic materials and limestone in Central Java Indonesia.
Gent-Belgie.
Sutowijoyo, A.P. 2005. Tsunami, karakteristiknya dan pencegahannya.
Inovasi: Tsunami dan sistem mitigasi bencana nasional.
Vol.3/XVII/Maret 2005: 7-10. PPI Jepang.
Syukur, A. 2005. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap sifat-sifat
tanah dan pertumbuhan caisim di tanah pasir pantai. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan 5 (1): 30-38.
Takle, E.S., T.C. Chen & X. Wu. 2006. Protection from wind and salt
Spray. Proceedings of The Regional Technical Workshop, Khao
Lak, Thailand, 28-31 August 2006. FAO. Bangkok.
Tanaka, N., Y. Sasaki, M.I.M. Mowjood & S. Homchuen. 2007. Coastal
vegetation structures and their functions in tsunami protection:
experience of the recent Indian Ocean tsunami. Landsc Ecol Eng
3(1):33–45.
_________, N.A.K. Nandasena, K.B.S.N. Jinadasa, Y. Sasaki, K.
Tanimoto & M.I.M. Mowjood. 2009. Developing effective
vegetation bioshield for tsunami protection. Civil Engineering and
Environmental Systems 26 (2): 163–180.
Thuy, N.B., N. Tanaka & K. Tanimoto. 2012. Tsunami mitigation by
coastal vegetation considering the effect of tree breaking. J Coast
Conserv 16:111–121
Thuyet, D.V., T.V. Do, T. Sato & T.T. Hung. 2014. Effects of species
and shelterbelt structure on wind speed reduction in shelter.
Agroforest Syst 88: 237–244.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
102
Tsoar, H. 2001. Types of aeolian sand dunes and their formation.
Geomorphological Fluid Mechanics 582: 403-429. Springer Berlin
Heidelberg.
Tuheteru, F.D. & Mahfudz. 2012. Ekologi, manfaat, dan rehabilitasi
hutan pantai Indonesia. Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Manado. 178 hal.
Uma, M., T.S. Saravanan & K. Rajendran. 2014. Growth, litterfall and
litter decomposition of Casuarina equisetifolia in a semiarid zone.
Journal of Tropical Forest Science 26 (1): 125-133.
van Steenis, C.G.G.J., D. den Hoed, S. Bloembergen & P.J. Eyma. 2008.
Flora: untuk sekolah di Indonesia. Cetakan Keduabelas.
Penerjemah: M. Surjowinoto et al.. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Widodo, A.S., S. Hartono, D.H. Darwanto & Masyhuri. 2013. Analisis
pendapatan usaha tani konservasi lahan pantai berpasir di
Kabupaten Bantul. Jurnal Agribis 2 (2).
Williams, M.J. 2007. Native plants for coastal dune restoration: what,
when, and how for Florida. USDA, NRCS, Brooksville Plant
Materials Center, Brooksville, Florida.
Winarni, W.W. 2002. Kesesuaian jenis untuk rehabilitasi kawasan pantai
Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Fakultas
Kehutanan, UGM. Yogyakarta.
____________ & H. Supriyo. 2003. Kesesuaian cemara udang pada
lahan pasir putih pantai dan responnya terhadap bahan organik
dan mulsa. Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan, UGM.
Yogyakarta.
_____________. 2006. Pertumbuhan semai cangkok Casuarian
equisetifolia Linn. di lahan pantai berpasir dengan beberapa jenis
mulsa organik. Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan, UGM.
Yogyakarta.
_____________, W.D. Atmanto & S. Danarto. 2012. Peran wind barrier
cemara udang (Casuarina equisetifolia var. incana) dalam agroforestri
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
103
pesisir. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III, tanggal 29
Mei 2012 di Yogyakarta. Hlm. 245-248. Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry, Fakultas Kehutanan UGM, Indonesia Networks for
Agroforestry Education (INAFE). Yogyakarta.
Windyanti, R.K. 2013. Karakteristik tanaman cemara udang (Casuarina
equisetifolia) dan pengurangan kecepatan angin di pantai gua cemara
Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Kehutanan, UGM. (Tidak
diterbitkan).
Wonodipuro, D. 2015. Giliran mahasiswa serukan penolakan tambak
udang di pesisir Kebumen. Website:
http://www.kebumenekspres.com. Diakses tanggal 28 September
2016.
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
104
INDEKS
A
abrasi pantai, 4
aerob, 11
aforestasi, 78, 80
agregat, 23, 42
ajir, 35, 37, 38, 46, 47
akses, 6
akuifer, 8
aluvium, 5
Ambal, 8, 19, 21, 72, 76, 78
amelioran, 40, 42, 43, 96
ameliorasi, 40, 95
amphibole, 7
anasir, 5, 81
anthesis, 29
aplikasi, 46
astringent, 27
B
backdune zone, 13
badan air, 5
barchans dune, 9, 10
basa, 11
batimetri, 80
berumah satu, 27
bintil akar, 56, 91
bioaktivator, 49
bioshield, 73, 79, 100
bonsai, 27
budidaya, 4, 24, 66, 85
bukit pasir, 5
bulan basah, 17, 45
Buluspesantren, 8, 19, 76
C
Casuarina equisetifolia, 3, 72, 79, 90,
91, 92, 93, 94, 96, 97, 98, 101
cemara udang, 4, 26, 27, 28, 29,
30, 31, 32, 34, 40, 44, 52, 55,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,
64, 65, 66, 67, 68, 70, 72, 73,
74, 82, 83, 84, 86, 88, 90, 91,
93, 94, 95, 96, 99, 101
citra alos, 76, 94
clinopyroxene, 7
coast she-oak, 26
control, 25
cristobalite, 7
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
105
D
daerah aliran sungai, 2, 8
daya dukung, 2, 3, 88
deflasi, 65
degradasi, 2, 79
dehidrasi, 35
dekomposisi, 58, 59, 60, 91, 99
DHL, 12
diuretic, 27
dominasi, 9
dosis, 49, 50, 90
drainase, 12
E
ecbolic, 27
edafis, 35, 36
ekologi, 1, 17, 23, 25, 56, 88, 92
ekonomi, 1, 25, 54, 86, 88, 89
ekosistem, 4, 17, 24, 59, 81, 86, 98
ekowisata, 11
eksotik, 24
ekstraksi, 32
embrio, 32
emmenagogue, 27
endapan, 5
Entisol, 11
enzim, 33
eolean, 7
eolean morphology, 7
erosi angin, 2, 26, 65, 90
escape effect, 79
evapotranspirasi, 2, 10
evergreen, 73
evolusi, 5
F
facilitate, 25
FAO, 11, 100
feldspars, 7
fogging, 85
forest zone, 13
fotosintesis, 62
frankia, 26, 56, 57
frontal zone, 13
G
garam, 2, 13, 28, 55, 61, 85
garis pantai, 1, 4, 5, 9, 14, 16, 19,
80
gen, 49
goethite, 7
grading, 32, 33
granulasi, 42
greenbelt, 78
gulma, 32, 48
gumuk pasir, 5, 7, 8, 10, 13, 14, 20,
26, 37, 38, 86, 89, 91, 95, 96,
98, 99
Gunung Merapi, 5, 7
gutasi, 61, 62, 90
H
habitat, 4, 17
hematite, 7
herbisida, 48
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
106
hidatoda, 61
hortikultura, 4, 66
humifikasi, 12
humus, 11, 40
hutan pantai, 4, 54, 72, 79, 80, 81,
84, 86, 87, 88, 100
I
iklim mikro, 4, 17, 28, 54, 61, 63,
70, 74, 88
imbibisi, 32
indikator, 75
inisiasi, 29, 32
INP, 74
insektisida, 85
insektisida kontak, 85
intensitas, 9, 12, 61, 84, 94
intoleran, 27
Inundation, 78
J
jenis asli, 24, 27
K
kapasitas tukar kation, 11, 42
karakteristik, 1, 2, 10, 23, 27, 89
kawasan perlindungan setempat, 2
Kebumen, 1, 2, 6, 7, 8, 9, 10, 12,
14, 17, 19, 20, 66, 71, 72, 73,
76, 77, 78, 80, 85, 86, 87, 88,
90, 92, 93, 94, 95, 96, 98, 99,
102
kemantapan agregat, 13
kerapatan, 14, 16, 36, 63, 64, 80
kersai, 12
klimatis, 35, 36
komposisi, 7, 24, 25, 74, 88
komprehensif, 4
konservasi, 17, 24, 37, 38, 66, 68,
86, 91, 92, 93, 96, 101
konsistensi, 12
L
labil, 5, 9
lagoon, 5
laguna, 5
landforms, 5
Laut Indonesia, 7, 8
laxative, 27
lengas, 2, 10, 11, 40
lenglengan, 14, 15
liat, 11, 20, 40
linear dune, 9, 10
M
magersari, 66
magnetite, 7
manual, 45, 48
marginal, 2, 3, 10, 11, 26, 40, 67,
93
megathrust, 76
mikrob, 49
mikroorganisme, 12, 41, 42, 56,
59, 60, 83
mineralisasi, 56
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
107
Mirit, 6, 8, 19, 21, 76
mitigasi, 24, 54, 78, 82, 86, 88, 93,
96, 99, 100
mix planting, 63, 96
monokultur, 63, 83
morfologi, 5, 91, 93, 98
muara, 6, 7
mulsa, 28, 40, 46, 48, 101
N
ngengat, 29, 83, 94
nitrifikasi, 11
nodus, 27
O
ordo, 11
P
pandan, 14, 63, 64, 96
pantai berbatu, 19
pantai berpasir, 1, 2, 3, 4, 5, 10, 11,
12, 13, 17, 23, 24, 26, 27, 40,
42, 48, 54, 56, 61, 66, 68, 74,
88, 93, 96, 101
Pantai Lembupurwo, 6, 8, 78
Pantai Lombang, 27
parasitoid, 85
patogen, 39, 85
pelindian, 11
pemapanan, 25, 96
penderes, 19
pengayaan, 24
penghijauan, 24, 99
penyangga kehidupan, 3
penyulaman, 48
permeabilitas, 12
pesisir, 1, 6, 7, 8, 10, 19, 20, 56, 63,
76, 80, 86, 91, 92, 93, 95, 96,
97, 101, 102
pestisida nabati, 85
peta pohon, 51
Petanahan, 8, 17, 18, 19, 20, 28,
52, 54, 62, 68, 70, 71, 72, 73,
76, 86, 90, 93
pioner, 56
plagioclase, 7
plotting, 35, 36, 37
pollinator, 29
polybag, 33, 43, 46
porositas, 11, 12
predator, 85
press block, 42, 43
produktif, 11, 24, 25, 40, 67, 98
produktifitas, 3
proporsi, 2
protect, 25
protoganic, 29
pulp, 27
pupuk hayati, 41, 49, 92
Puring, 8, 19, 72, 73, 76, 78, 86
pyroxene, 7
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
108
Q
quartz, 7
R
reaktivasi, 32
reboisasi, 24
regenerasi, 17
Regosol, 11
rehabilitasi, 2, 3, 4, 23, 24, 25, 26,
35, 51, 54, 72, 81, 88, 89, 95,
96, 99, 100, 101
reklamasi, 23, 24, 26, 27, 92
relief, 5
rencek, 81
respirasi, 17
restorasi, 23, 24, 93
riap, 74
rizosfer, 43, 96
rolling, 7
rumput gulung, 14, 15
rumput merakan, 14
rumput teki, 14, 15
run up, 77, 78
S
salinitas, 13
salvage, 25
samara, 27
sand dunes, 5, 90, 100
sand ridge, 5
seismitis, 76, 77
sempadan pantai, 2, 72, 73, 86
sensitivitas, 4
serasah, 40, 46, 55, 58, 59, 60, 75,
82, 83, 88, 91, 99
shelterbelt, 63, 64, 100
shelterbelts, 63, 64
silvikultur, 25, 99
sipil teknis, 24
skarifikasi, 32
soft landing effect, 79
sortasi, 32
sosial, 1, 25, 86
srumbung, 46, 47
stabilitas lahan, 24
stakeholder, 45
stomata, 61
struktur, 12, 24, 25, 31, 41, 42, 61,
63, 79, 80
suhu tinggi, 2, 13
suksesi, 24, 89
Sungai Opak, 7
Sungai Oyo, 7
Sungai Progo, 7
Sungai Wawar, 6, 21
sungkup, 33
sustainable, 81, 88
T
tajuk, 36, 50, 61, 80, 90
tambak, 85, 86, 87, 102
tanah pasiran, 2, 23
tapak, 4, 14, 23, 25, 42, 43, 88, 89,
96
tapak doro, 14
Silvikultur Rehabilitasi Pantai Berpasir Kebumen
109
tegakan, 4, 25, 52, 53, 54, 55, 58,
62, 63, 65, 66, 67, 68, 70, 74,
78, 82, 84, 93, 94, 95
teknik silvikultur, 25, 36, 88
tekstur, 5, 11
terminal, 27
terumbu karang, 6
titik layu tetap, 13
toksik, 42
tonic, 27
topografi, 36, 80
transpirasi, 61, 90
transverse dune, 9, 10
trapping effect, 79
tsunami, 8, 24, 28, 54, 75, 76, 77,
78, 79, 80, 82, 88, 91, 93, 94,
95, 96, 97, 99, 100
turap, 37
turbulensi, 65
U
untu walang, 36, 37
USDA, 11, 101
V
var. equisetifolia, 26
var. incana, 26, 90, 101
varietas, 26, 32
vegetasi, 2, 3, 4, 9, 13, 14, 16, 24,
25, 37, 38, 60, 63, 64, 65, 78,
79, 80, 88, 98
volcanic glass, 7
vulkanik, 7
W
water holding capacity, 40
weeding, 48
widuri, 14, 15
wind barrier, 4, 36, 82, 101
windbreak, 26, 63
X
xerophytic, 14