SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
ABDUL WAHID
NIM. 1113044000052
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2019 M / 1440 H
ASBTRAK
Abdul Wahid. NIM 1113044000052. SISTEM PEMBAGIAN WARIS
DI KERATON KASEPUHAN CIREBON DITINJAU DARI HUKUM
ISLAM. Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019M/1440H.
x+91 halaman.
Hukum Kewarisan Islam, secara umum berlaku untuk seluruh umat Islam
di mana saja. Walaupun demikian, adat atau budaya suatu daerah mempengaruhi
hukum termasuk hukum kewarisan di daerah tersebut. Begitu pula di Keraton
Kasepuhan Cirebon, yang pernah menjadi pusat syiar Islam dan juga sebagai
simbol budaya, hal itu sedikit banyak mempengaruhi sistem kewarisan di sini.
Tujuan dari penelitian ini adalah a) Untuk mengetahui sistem pembagian waris di
Keraton Kasepuhan Cirebon. b) Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dalam
sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Jenis penelitian yang digunakan yaitu field research (penelitian lapangan).
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Data primer dicari dari
lokasi penelitian, Keraton Kasepuhan Cirebon. Penelitian ini bersifat deskriptif
analitik dengan mengumpulkan data yang valid melalui sumber-sumber
terpercaya. Teknik pengumpulan data berupa interview (wawancara) dan
dokumentasi. Analisis data menggunakan analisis kualitatif, menganalisis data-
data yang telah diperoleh dari berbagai sumber.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu pembagian waris di Keraton
Kasepuhan terdiri dari, pertama, harta warisan, dibagi dalam dua, yaitu 1) harta
yang bisa dibagikan, 2) harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris.
Kedua, membagikan warisan setelah si pewaris meninggal dunia, dan pewaris
membagikan warisannya ketika masih hidup. Ketiga, hukum tertulis sebagai
penguat pembagian waris. keempat, ahli waris dan bagiannya. Tinjauan dari
hukum Islam, pertama, harta warisan yang bisa dibagikan merupakan harta
kekayaan pribadi yang bersih dan bebas dari hak yang menyangkut di dalamnya.
Sedangkan poin 2, harta tersebut berlaku hak turun temurun, yang merupakan adat
atau ‘urf setempat. Kedua, membagikan warisan setelah pewaris meninggal sudah
sesuai dengan hukum Islam, namun membagikan warisan saat pewaris masih
hidup belum sesuai, karena rukun pewaris adalah telah jelas matinya. Namun
selain kewarisan, proses peralihan harta ada juga berupa wasiat dan hibah. Ketiga,
hukum tertulis bertujuan sebagai penguat hasil pembagian waris, serta untuk
menghindari perselihan, hal ini sejalan dengan tujuan hukum Islam yaitu meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Keempat, ahli waris dan bagiannya
sesuai dengan hukum kewarisan Islam yang berlaku secara umum.
Kata Kunci : Pembagian waris, keraton, kasepuhan Cirebon,
hukum Islam
Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1959 s.d. Tahun 2015
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الحمن الحيم
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM. Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan
kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan
sahabatnya, yang telah mendidik kita sebagai umatnya untuk menuju jalan
kebenaran.
Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari
dukungan, arahan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan
rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah S.H.I., M.H., Ketua
dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Hj. Hotnidah Nasution, MA., Pembimbing skripsi yang dengan tulus
ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan arahan serta
saran-saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Hj. Mesraini, S.H, MA., Dosen Penasihat Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
5. Kepada Dr. K.H.A Juani Syukri., L.c. MA dan Sri Hidayati, MA. Sebagai
dosen penguji yang telah membimbing penulis dengan sepenuh hati
sehingga tercipta karya ilmiah ini.
6. Kepada P.R.A Arief Natadiningrat, S.E., Sultan Sepuh XIV Keraton
Kasepuhan Cirebon yang telah mengizinkan kepada penulis atas
vii
diadakannya penelitian ini, serta kepada Bapak Elang Haryanto dan Bapak
Ahmad Jazuli yang telah berkenan menjadi narasumber dalam skripsi ini.
7. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staff pengajar pada lingkungan
program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku
perkuliahan.
8. Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staff
Perpustakaan Fakultas Syarifah dan Hukum, yang telah memberikan
fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
9. Orang tua Penulis ayahanda tercinta Sukanda dan Ibunda Salimah, serta
adik penulis, Bagus Musthafa yang telah memberikan kasih sayang,
dukungan dan doanya untuk kesuksesan penulis,
10. Para sahabat dan kawan seperjuangan Hukum Keluarga 2013, baik dalam
lingkup Formasas, AKI, dan kawan-kawan SAS B.
11. Keluarga Besar Permada Jabodetabek yang telah mengizinkan penulis
untuk hidup dan berkembang di dalam lingkungan organisasi, khususnya
para penghuni Sekretariat Permada.
12. Kawan-kawan KKN Swing 2016 di Desa Rumpin Bogor yang telah
memberikan banyak pelajaran dan pengalaman kepada penulis selama di
KKN.
13. Para sahabat penghuni kos 59 H, serta kawan-kawan penghuni Kos
Asmara yang telah menerima dan meluangkan waktu nya untuk sekedar
bercerita, diskusi, dan bermain bersama. Semoga kita semua menjadi
orang-orang sukses.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini semoga Allah membalasnya. Aamiin.
viii
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya
untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 21 Januari 2019
Penulis
Abdul Wahid
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 7
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah...................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 8
E. Metode Penelitian ................................................................................. 8
F. Tinjauan (Reiew) Studi Terdahulu ....................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 11
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam ................................. 12
1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam ............................................ 12
2. Dasar Hukum Kewarisan Islam .................................................... 14
B. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam .................................................. 17
1. Asas Ijbari ..................................................................................... 17
2. Asas Bilateral ................................................................................ 20
3. Asas Individual ............................................................................. 21
4. Asas Keadilan Berimbang ............................................................ 22
5. Asas Semata Akibat Kematian ..................................................... 23
C. Pewaris, Harta Warisan, dan Ahli Waris ............................................ 25
1. Pewaris .......................................................................................... 25
2. Harta Warisan ............................................................................... 27
3. Ahli Waris ..................................................................................... 28
x
D. Penghalang Warisan ........................................................................... 37
1. Penghalang-penghalang Yang Disepakati .................................... 38
2. Penghalang-penghalang Yang Diperselisihkan ............................ 40
BAB III SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN
CIREBON
A. Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon ................................................. 43
B. Silsilah Keluarga Keraton Kasepuhan Cirebon ................................. 53
C. Islam dan Kebudayaan Cirebon di Keraton Kasepuhan Cirebon ...... 57
D. Pembagian Waris di Keraton Kasepuhan Cirebon ............................ 63
1. Harta Warisan ................................................................................ 63
2. Waktu Pelaksanaan Pembagian Waris .......................................... 64
3. Hukum Tertulis Sebagai Penguat Pembagian Waris ..................... 64
4. Ahli Waris dan Bagiannya ............................................................ 65
BAB IV SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN
CIREBON DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
A. Harta Warisan ..................................................................................... 70
B. Waktu Pelaksanaan Pembagian Waris ............................................... 75
C. Hukum Tertulis Sebagai Penguat Pembagian Waris .......................... 80
D. Ahli Waris dan Bagiannya ................................................................. 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 86
B. Saran ................................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 89
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Islam adalah agama rahmat yang di bawa oleh Nabi Muhammad untuk
menyelamatkan manusia menggapai jalan yang lurus. Norma-norma abadi
yang dimiliki Islam tersembul keluar sebagai rangkaian peraturan yang
disebut hukum. Hukum tersebut bersifat baku dan diakui oleh “undang-
undang Tuhan (qanun ilahi): permanen dan tidak dapat diubah.
Qanun Ilahi ini, diundangkan oleh negara atau tidak, ia harus
ditegakkan (mulzimun binafsi) sebagai suatu yang berwatak “buatan Tuhan
(wadh’un Ilahiyun]. Namun, ada kalanya peraturan-peraturan itu
diinterpretasi dan diformulasikan oleh manusia menjadi hukum manusia
(qanun wadhi) melalui proses legislasi (tasyri’).
Tasyri’ inilah yang merupakan produk pemikiran manusia yang di
dalamnya memiliki empat kategori, pertama; fikih yaitu penalaran dan
interpretasi manusia terhadap informasi transenden. kedua; fatwa yaitu
produk pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh perorangan maupun kolektif
atas pernyataan hukum dari anggota masyarakat terhadap persoalan-persoalan
tertentu. ketiga; putusan pengadilan yaitu berupa produk pemikiran hukum
yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan yang keputusannya mengikat bagi
pihak-pihak yang berperkara maupun dijadikan yurisprudensi bagi hakim-
hakim yang lain dalam kasus yang serupa. Keempat; ketentuan atau peraturan
yang dibuat oleh pemerintah dan legislatif untuk mengatur suatu masyarakat
dalam suatu negara yang kemudian disebut dengan istilah perundang-
undangan (taqnin).
Dari keempat kategori inilah, fikih yang paling mendominasi dan
memengaruhi pemikiran umat manusia, khususnya bagi umat Islam. Akan
2
tetapi sebagaimana layaknya hasil sebuah pemikiran, fikih seharusnya
ditempatkan pada ruang yang “nisbi” atau “relatif”.1
Maka dari itu, fikih juga memegang peranan penting dalam mengatur
masyarakat Indonesia berbasiskan Hukum Islam. Lebih khususnya soal
sistem pembagian kewarisan. Tetapi yang terjadi di Indonesia, pembagian
kewarisan ini bersifat pluralistik, atau yang lebih dikenal dengan pluralisme
hukum, artinya bukan hanya fikih semata yang dapat memengaruhi hukum di
masyarakat, tetapi ada juga hukum lain yang kemudian mengakibatkan
perbedaan pembagian kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Secara umum, definisi hukum kewarisan sendiri adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagian masing-masing.2
Dalam aturan kewarisan di Arab sendiri terdapat pergeseran aturan
kewarisan, yaitu dalam masyarakat Arab Jahiliyah dan masyarakat Arab
Islam, yaitu setelah datangnya wahyu Ilahi. Perbedaan ini terletak pada
pembagian ahli waris, dan pembagiannya. Jika pada masyarakat Arab Pra
Islam atau Jahiliyah, perempuan sama sekali tidak mendapatkan waris, maka
setelah datangnya Islam, perempuan mendapatkan hak warisnya.3 Bahkan
dalam masyarakat Arab Pra Islam, perempuan sendirilah yang merupakan
sesuatu yang bisa diwariskan. Hal inilah yang kemudian dirombak oleh Islam
dengan turunnya ayat-ayat tentang waris dan yang berhubungan dengannya,
seperti an-Nisa ayat 7 yang menghapuskan sistem tunggal kewarisan yang
hanya diberikan kepada laki-laki, sehingga perempuan dan anak-anak juga
mendapatkan hak waris.4
1 Yayan Sopyan, Islam Negara : Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional (Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012), hal. 1-2. 2 Departemen Agama RI, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam (Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998), hal. 133 3 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 3, hal.
6. 4 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), Cet. 40, hal. 348.
3
Dalam Islam, ada beberapa sumber hukum yang menyangkut tentang
waris, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, dan Ijtihad. Sedangkan sebab-sebab
mempusakai dalam Islam ada empat (4): (1) Kekeluargaan, yang tertera pada
surat An-Nisa ayat 7. (2) Perkawinan. (3) Dengan jalan memerdekakan dari
perbudakan. Dan (4) Hubungan Islam, di mana ketika ada orang yang
meninggal dunia apabila tidak ada ahli warisnya, maka peninggalannya
diserahkan ke baitul-mal untuk umat Islam. 5
Rukun-rukun waris sendiri terdiri dari tiga macam: (1) Muwarits,
yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik meninggal dunia
secara hakiki, atau karena keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan
beberapa sebab. (2) Mauruts, yaitu harta peninggalan si mayit yang akan
dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan, hutang, zakat, dan setelah
digunakan untuk melaksanakan wasiat. Harta pusaka disebut juga mirats, irts,
turots dan tirkah. (3) Warits, yaitu orang yang akan mewaris, yang akan
mempunyai hubungan dengan si muwarits, baik itu karena hubungan
kekeluargaan ataupun karena perkawinan.6
Akan tetapi lebih dari itu, ada tiga corak hukum kewarisan yang
dipakai oleh masyarakat Indonesia. Pertama, hukum waris Eropa yang
tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),
yang berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang disamakan dengan
orang Eropa, Orang Timur Asing Tionghoa, dan orang Timur Asing lainnya,
yaitu orang-orang Indonesia yang menundukkan diri pada hukum Eropa.
Kedua, hukum waris Islam yang diberlakukan kepada masyarakat Indonesia
yang beragama Islam, dan Ketiga, hukum waris adat yang diberlakukan bagi
masyarakat yang masih memegang tradisi adat istiadatnya.7
5 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), Cet. 40, hal. 348-
349. 6 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 3, hal.
17. 7 H.M Idris Ramulyo, Perbandingan Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), cet. 8. hal. 1.
4
Adapun tentang sistem hukum kewarisan sendiri, yang merupakan
salah satu bagian dari hukum perorangan, maka tidak terlepas dari sistem
kekeluargaan atau kekerabatan. Dalam sistem kekerabatan inilah terbagi
menjadi 3 macam, yaitu sistem kekerabatan patrilineal, matrilineal, dan
bilateral.8
Dalam sistem kekerabatan patrilineal, hanya menarik garis keturunan
dengan pihak ayah atau laki-laki, sampai seterusnya ke atas. Sistem
kekerabatan ini mayoritas dianut oleh Suku Batak, Mandailing, Nias, Karo
dan lain sebagainya. Sedangkan sistem kekerabatan matrilineal berlaku
sebaliknya, yaitu hanya menarik garis keturunan dari pihak ibu atau
perempuan, seterusnya sampai ke atas. Sistem kekerabatan ini dianut oleh
Suku Minangkabau. Terakhir, sistem kekerabatan bilateral atau parental, yaitu
menarik garis keturunan baik dari pihak ibu maupun bapak, seperti Suku
Jawa, Sunda, Bugis, dan lain sebagainya.9
Dengan tiga corak sistem kekerabatan ini, maka memengaruhi sistem
kewarisan yang digunakan. Misalnya, dalam sistem kekerabatan patrilineal,
hanya garis keturunan laki-laki saja yang menjadi ahli waris dan berhak
mendapatkan harta warisan. Sedangkan sistem kekerabatan matrilineal
berlaku sebaliknya, yaitu hanya garis keturunan perempuan saja yang menjadi
ahli waris dan berhak mendapatkan harta warisan. Tetapi pada masyarakat
yang menganut sistem kekerabatan bilateral, baik laki-laki maupun
perempuan berhak menjadi ahli waris dan mendapat warisan.
Dengan adanya nilai-nilai dan kepercayaan yang telah ada, maka
konsekuensi atas hal inilah yang kemudian hukum Islam harus berasimilasi
dan beradaptasi dengan budaya lokal dan adat istiadat setempat, sehingga
hukum Islam dapat diterima dan hidup dalam masyarakat.
8 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur’an dan Hadits (Jakarta:
Tintamas, 1982), hal. 9. 9 H. M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 4.
5
Sebagai salah satu pusat kebudayaan dan adat istiadat, Keraton
Kasepuhan juga merupakan tempat di mana hukum Islam juga berasimilasi
dengan budaya setempat. Hal ini ditandai dengan corak bangunan keraton
yang dipengaruhi oleh tiga etnis, Eropa, Jawa, dan Tionghoa. Keraton
Kasepuhan sendiri merupakan satu bagian dari 3 keraton yang ada di Cirebon
selain Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan. Ketiga keraton tersebut
secara konsisten mempertahankan adat istiadat dan budaya dari zaman
dahulu. Masing-masing keraton tersebut memiliki sejarah yang saling terkait
dan mewakili persamaan dan perbedaan fisik antara satu dengan yang
lainnya.
Dari ketiga keraton di atas, penulis memilih Keraton Kasepuhan
sebagai studi kasus, dengan pertimbangan Keraton Kasepuhan merupakan
keraton pertama yang berdiri di Cirebon. Keraton ini juga ada kaitannya
langsung dengan sejarah awal mula terbentuknya Kota Cirebon, dan secara
non fisik Keraton Kasepuhan juga memiliki sejarah masuknya berbagai suku,
agama, dan budaya di Cirebon. Yang mana ini bisa dilihat dari perkembangan
Keraton Kasepuhan yang berawal dari Padepokan Pakungwati sampai
menjadi Keraton Kasepuhan. Selain itu, Keraton Kasepuhan juga merupakan
keraton termegah dan terluas dari ketiga keraton yang ada. Luas keraton ini
sekitar 25 Ha.10 Atas dasar itulah penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam
soal adat istiadat dan budaya dan secara khusus penulis memfokuskan pada
hukum kewarisan yang berlaku di keraton ini.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran
Cakrabuana. Yang pada awalnya merupakan Tajug dan Rumah Besar yang
diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton
Pakungwati, yang kemudian berubah lagi menjadi Kesultanan Cirebon
setelah Sunung Gunung Jati dinobatkan sebagai Sultan, lalu dalam
perkembangannya menjadi Keraton Kasepuhan. Pangeran Cakrabuana sendiri
10 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017.
6
merupakan anak sulung Prabu Siliwangi dan Permaisuri Nyai Subang Larang
yang beragama Islam. Dari pernikahan ini, lahir 3 anak yaitu Raden
Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Lara Santang, dan Kian
Santang. Kemudian dari Nyai Lara Santang inilah lahir Syarif Hidayatullah
yang kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati.11
Sebagaimana bentuk kesultanan atau kerajaan, Keraton Kasepuhan
juga menganut sistem kekerabatan Patrilineal. Artinya, dari tahta kewarisan,
posisi Sultan hanya boleh dijabat oleh kalangan laki-laki dalam keluarga
keraton. Namun ada tatacara atau aturan pengangkatan Sultan jika Sultan
yang sedang menjabat meninggal atau mundur dari posisinya. Yaitu takhta
kewarisan selanjutnya diserahkan kepada anak laki-laki pertama Sultan, atau
jika tidak anak laki-laki Sultan paling tertua, walaupun anak pertamanya
perempuan. Jika Sultan tidak memiliki anak laki-laki, maka akan diserahkan
ke adik laki-laki Sultan, atau jika tidak ada lagi, akan diserahkan ke paman
Sultan.12
Berkaitan dengan sistem kewarisan sendiri, selain pelimpahan takhta
kewarisan, secara umum pembagian warisan di Keraton Kasepuhan ini sama
saja dengan Hukum Islam. Namun ada beberapa hal yang membedakan dari
pembagian waris secara umum. Perbedaan ini terletak pada: Pertama, harta
yang diwariskan. Kedua, waktu pembagian warisan. Ketiga, hukum tertulis
yang dikeluarkan oleh lembaga kesultanan. Konsep proses pembagian waris
di keraton ini dalam harta waris pribadi, secara umum sama dengan
masyarakat umum atau muslim lainnya yaitu berdasarkan syariat Islam yang
berlaku pada umumnya.13
Dari ketiga perbedaan ini, bisa dijelaskan sebagai berikut: Pertama,
harta yang diwariskan ini terbagi menjadi dua (2) macam, yaitu (1) harta yang
11 P. S Sulendraningrat, Sejarah Cirebon (Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wilayah
Tingkat III Cirebon, 1978), hal. 26. 12 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017. 13 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.
7
bisa diwariskan kepada ahli waris, seperti harta pribadi dan lain sebagainya,
(2) harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris. Kedua, waktu
pembagian warisan dilakukan setelah si pewaris meninggal dunia seperti
hukum kewarisan biasa, tetapi ada juga sebelum si pewaris meninggal. Dan
Ketiga, hukum tertulis yaitu berupa surat resmi atas pengangkatan sebagai
Sultan sebagai pewaris sah takhta kesultanan. Surat resmi tersebut juga
merupakan bukti penguat atas dinobatkannya sultan berikutnya.14
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka penyusun tertarik
untuk membahas lebih lanjut terkait dengan sistem kewarisan di Keraton
Kasepuhan Cirebon. Kajian yang dilakukan untuk penyusunan skripsi dan
diberi judul Sistem Pembagian Waris di Keraton Kasepuhan Cirebon
Ditinjau Dari Hukum Islam.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa
masalah yang perlu dibahas lebih lanjut yaitu :
1. Bagaimana sejarah awal terbentuknya Keraton Kasepuhan Cirebon ?
2. Bagaimana sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon ?
3. Bagaimana tinjauan Hukum Islam di Keraton Kasepuhan Cirebon ?
4. Apa persamaan dan perbedaan sistem kewarisan di Keraton Kasepuhan
dengan Sistem kewarisan secara umum ??
C. Pembatasan Masalah Dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membatasi penulisan pada
tata cara pembagian kewarisan di Keraton Kasepuhan Cirebon, dan juga
membatasi kewarisan hanya untuk sultan dan keturunannya.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon.
14 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.
8
b. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dalam sistem pembagian waris di
Keraton Kasepuhan Cirebon.
D. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan
Cirebon
b. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dalam sistem pembagian
waris di Keraton Kasepuhan Cirebon.
2. Manfaat Penulisan
Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat membawa
manfaat dan kegunaan sebagai berikut:
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Memberikan sumbangsih dalam perkembangan ilmu pengetahuan
serta pemikiran yang dapat menjadi wujud kontribusi positif serta
dedikasi penulis terhadap ilmu pengetahuan.
b. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi lebih lanjut mengenai Sistem Pembagian
Waris di Keraton Kasepuhan Cirebon dan tinjauannya berdasarkan
Hukum Islam.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode field reasearch (penelitian
lapangan).15, yaitu pencarian dan pengambilan data dilakukan langsung di
lapangan atau di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini data primer dicari
dari lokasi penelitian, Keraton Kasepuhan Cirebon.
2. Sifat Penelitian
15 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitif, dan Mixed.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 264.
9
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik.16 Di dalam deskriptif
analitik ini penyusun mengumpulkan data yang valid melalui sumber-
sumber yang terpercaya. penelitian ini diharapkan akan menyajikan suatu
deskripsi mengenai fakta yang terjadi hari ini yang didasari oleh kejadian
di masa lampau. Hasil penelitian ini dianalisis sedemikian rupa sehingga
didapat permasalahan yang dikaitkan dengan hukum keluarga Islam,
khususnya mengenai waris di Keraton Kasepuhan Cirebon.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Interview (Wawancara)
Teknik pengumpulan data ini berupa wawancara atau kuisioner lisan, di
mana dilakukan oleh pewawancara berupa dialog dengan terwawancara
untuk memperoleh informasi yang akurat dan valid. Adapun pihak-
pihak yang diwawancara adalah Elang Haryanto selaku salah satu
pangeran di Keraton Kasepuhan Cirebon yang paham tentang tata cara
kewarisan di Keraton.
b. Dokumentasi
Dalam melaksanakan metode dokumentasi ini, peneliti akan menelusuri
buku-buku, jurnal, dokumen, peraturan, majalah dsb yang berkaitan
dengan tema pembahasan yang dikaji.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekata normative.
Pendekatan ini berdasarkan kepada norma agama untuk melihay sesuatu
hal itu baik atau buruk.
5. Analisis Data
Penyusun menggunakan analisis kualitatif dalam menganalisis data-
data yang telah diperoleh dari berbagai sumber.
F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian
terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :
16 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalila Indonesia, 1998), cet. 3. hal. 63.
10
1. Adlul Alghofiqi (Kewarisan Masyarakat Suku Domo ditinjau dari
Kewarisan Islam/2016). Dalam skripsi ini, penulis membahas tetang
pembagian waris di Suku Domo, Kecamatan Siak Huluk, Kabupaten
kampar-Riau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman
masyarakat suku Domo secara umum terhadap kewarisan Islam sangat
terbatas. Penerapan kewarisan Islam dalam kewarisan suku Domo terdapat
dalam musyawarah para ahli waris yang diberitahukan oleh tokoh agama
bagian yang mereka dapat dalam kewarisan Islam. Selain itu kewarisan
Islam digunakan secara utuh ketika ahli waris memilih untuk
menggunakan kewarisan Islam dan ketika tidak tercapai kata mufakat
dalam musyawarah para ahli waris.
2. Khoirun Nisa (Sistem pembagian Warisan pada Masyarakat
Multikultural/2015). Dalam skripsi ini penulis membahas tentang
kewarisan di Desa Teluk Panji II Kec. Kampung Rakyat Kabupaten
Labuhan Batu Selatan Sumut. Hasil penelitian tersebut, bahwasanya ada
dua cara pembagian waris, yaitu (1) ketika setelah meninggal dunia
dengan ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan yang mendapatkan
bagian 1:1, (2) ketika sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia, yaitu
dengan cara sebagian dibagikan anak laki-laki dan anak perempuan secara
merata ketika telah dewasa dan sebagian lagi diberikan ketika orang tua
meninggal dunia dengan ahli waris anak laki-laki atau anak perepuan saja
yang mendapat sisa hartanya.
3. Moh. Ikhwan Mufti (Kesetaraan pembagian Waris dalam Adat Bawean
Gresik Jawa Timur/2011). Dalam skripsi ini penulis membahas tentang
kesetaraan pembagian waris yang diterapkan oleh masyarakat adat
Bawean, yaitu berupa 1:1 pembagiannya antara laki-laki dengan
perempuan, jika tidak ada sengketa. Namun ketika terjadi sengketa,
maka pembagiannya tidak diselesaikan dengan menggunakan
pembagian waris adat Bawean, melainkan di selesaikan di Pengadilan
Agama.
11
G. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan skripsi ini mengarah dan mudah dipahami, penulis perlu
mengetengahkan dan menuangkan sistematika penulisannya sebagai berikut :
Bab I : Meliputi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu,
dan Sistematika Penulisan.
Bab II : Membahas tentang Kewarisan secara umum dalam Islam.
Meliputi Pengertian waris, dan dasar hukum waris, asas-asas
kewarisan Islam, pewaris, harta warisan dan ahli waris, dan
penghalang kewarisan.
Bab III : membahas mengenai sistem pembagian waris di Keraton
Kasepuhan Cirebon. Meliputi sejarah Keraton Kasepuhan
Cirebon, silsilah keluarga Keraton Kasepuhan Cirebon,
penjelasan umum mengenai Islam dan kebudayaan Cirebon di
Keraton Kasepuhan Cirebon, dan sistem pembagian waris di
Keraton Kasepuhan Cirebon.
Bab IV : adalah analisis mengenai aturan pembagian warisan di Keraton
Kasepuhan Cirebon. Meliputi harta yang diwariskan. waktu
pembagian warisan, dan hukum tertulis yang dikeluarkan oleh
lembaga kesultanan.
Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam
1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum
kewarisan, ditemui dalam beberapa literatur hukum Islam. Perbedaan dalam
penamaan (fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan) ini terjadi
karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Untuk
mengetahui maksud dan pembahasannya lebih lanjut, sebaiknya terlebih
dahulu kita mengetahui tentang pengertian fiqh mawaris itu sendiri.1
Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui
sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran
yang sungguh-sungguh. Fiqh bisa juga berarti memahami dan mengetahui
wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits) dengan menggunakan penalaran akal dan
metode tertentu, sehingga diketahui ketentuan hukumnya dengan dalil secara
rinci.2
Menurut istilah ulama, fiqh ialah suatu ilmu yang menerangkan segala
hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah, dipetik dari dalil-dalilnya
yang jelas (tafshili). Maka dia melengkapi hukum-hukum yang dipahami para
mujtahid dengan jalan ijtihad dan hukum yang tidak diperlukan ijtihad,
seperti hukum yang dinashkan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan masalah
ijma’.3
1 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 5. 2 Daud Ali, Hukum Islam, Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di Indonesia ( Jakarta:
Raja Grafindo, 1998), h. 43. 3 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 6.
13
Secara singkat pengertian fiqh adalah sebagai ilmu untuk mengetahui dan
memahami hukum-hukum syara’ dengan jalan ijtihad yang digali dengan
menggunakan dalil yang terperinci.4
Kata Mawarits diambil dari bahasa Arab. Penggunaan kata Mawarits ini
melihat kepada yang menjadi objek dari hukum waris itu sendiri, yaitu harta
yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata mawarits,
merupakan bentuk jamak (bentuk plural) dari miiraats yang berarti mauruts;
harta yang diwarisi. Dengan demikian maka arti kata warits yang digunakan
dalam beberapa kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan
itu.5
Adapun kesimpulannya, fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan,
siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian
masing-masing.6
Fiqh mawaris disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk jamak
(bentuk plural) dari kata faridhah, yang mengandung arti mafrudhah, yang
mana kata mafrudhah juga sama artinya dengan muqaddarah, atau sesuatu
yang diwajibkan. Artinya pembagian yang telah ditentukan kadarnya.7 Di
dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, lebih
banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak
ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan Faraidh. Dengan
demikian penyebutan Faraidh didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli
waris.8
Secara singkat definisi tentang ilmu Faraidh adalah sebagai berikut :
4 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 7. 5 Amir Syarifudin. Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h., 6 6 Moh. Muhibbin, Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 7. 7 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 11. 8 Amir Syarifudin. Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 5.
14
“Ilmu yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang
cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta
pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka”9
2. Dasar Hukum Kewarisan Islam
a. Ayat-ayat al-Qur’an
QS. An-Nisaa’ (4) ayat 7
“bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.”
QS. An-Nisaa’ (4) ayat 11
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
9 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 8.
15
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
QS. An-Nisaa’ (4) ayat 12
“dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
16
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Penyantun.”
QS. An-Nisaa’ (4) ayat 33
“bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-
orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah
kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.”
b. Al-Hadis
ثن زكريا بن عدي أخبرنا عبيد للا عن عبدللا بن حمددب بن عيي ب عن اا حد
بيع إلى رسول للا صلى للا عليه وسلم با برب قال : ااءت احرت سعد بن الر
أبوهدا حعك سعد بن البيع قت بنتيها حن سعدب فيالت : يا رسول للا هاتان ابنتا
هدا أخذ حالهدا فلم يدع مان إل ولهدا لهدا حال ول ينك في أحدب شهيدا وإن عد
هلل صلى أرس رسول ف زلت أية الديراث فن قال يال ييضى للا في ذلك ف حال
هدا فيال للا هدا الثدن : أ عليه وسلم إلى عد وحا عط إبنتي سعد الثلثين و أح
10(و لك )رواه ابن حااةيي فه ب
Dari Jabir ibnu Abdullah berkata : “Telah datang istri Sa’ad bin Rabi
kepada Rasulullah SAW. Dengan membawa kedua anak perempuannya dari
Sa’ad bin Rabi lalu berkata : “Yaa Rasulullah, ini dua anak perempuan
Sa’ad. Yang bapak dari kedua anak ini, telah terbunuh bersama engkau
dalam perang Uhud dalam keadaan syahid. Sesungguhnya paman dari kedua
anak ini, telah mengambil harta dari keduanya, serta tidak meninggalkan
harta untuk mereka, tidak menikahkan keduanya kecuali jika ada harta, lalu
10 Abî Abdîllah Muhammad bin Yazîd al-qazwâînî, Sunan Ibnu Mâjah, (Riyâd:
Maktabah almâ’arif linatsri wa attâuzî’i), h. 462.
17
Rasulullah SAW bersabda : Allah akan memberikan atas hukum ini, lalu
turunlah ayat tentang waris. Kemudian Rasulullah SAW, membawa mereka
pada pamannya. Lalu Nabi bersabda : “berikanlah kedua anak Sa’ad 2/3
harta, ibunya 1/8 harta dan sisanya untukmu”. (HR. Ibnu Mâjah)
عن إبن عباس رضي للا عنه عن النبي صلى للا عليه وسلم قال : الميوا
11(لى را ب ذكرب )رواه الدسلمئض باهلها فدا بيي فهو لو الفرا
“Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW beliau bersabda : “berikanlah harta
pusaka kepada yang berhak, dan seberapa yang tinggal itu untuk laki-laki
yang paling dekat (kepada yang meninggal)”. (HR. Muslim)
c. Ijtihad Para Ulama
Meskipun al-Qur’an dan al-Hadis sudah memberikan ketentuan terperinci
mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan
adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam al-Qur’an
maupun al-Hadis. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waria),
diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu
apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau istri dan
sebagainya.12
B. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum Kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam
beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal
manusia. Di samping itu Hukum Kewarisan Islam dalam hal tertentu
mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain.
Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari Hukum
Kewarisan Islam itu. Asas-asas tersebut adalah: asas ijbari, asas bilateral,
asas individual, asas keadilan berimbang dan asas semata akibat kematian.13
1. Asas Ijbari
11 Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim (Riyadh: Darus Salam,
1998), hlm 705. 12 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 21. 13 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group 2008), h.
17.
18
Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal
kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari
yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan
seperti ini disebut secara Ijbari.14
Kata Ijbari sendiri secara leksikal mengandung arti paksaan
(compulsory), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Pengertian
“wali mujbir” dalam terminologi fikih munakahat mengandung arti si wali
dapat mengawinkan anak gadisnya di luar kehendak anak gadisnya dan tanpa
memerlukan persetujuan dari anak yang akan dikawinkannya. Begitu pula
kata Ijbari dalam terminologi Ilmu Kalam mengandung arti paksaan, dengan
arti semua perbuatan yang dilakukan oleh seseorang hamba, bukanlah atas
kehendak dari hamba tersebut tetapi adalah sebab kehendak dan kekuasaan
Allah, sebagaimana yang berlaku menurut aliran kalam Jabariyah.15
Adanya unsur Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan
memberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut ketentuan
hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan
tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan pewaris.16. Andai kata
pewaris mempunyai utang yang lebih besar daripada warisan yang
ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani membayar semua utang pewaris
itu. Berapa pun besarnya utang pewaris, utang itu hanya akan dibayar sebesar
warisan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut. Kalau seluruh harta sebesar
warisan sudah dibayarkan utang, kemudian masih ada sisa utang, maka ahli
waris tidak diwajibkan membayar sisa utang tersebut. Kalaupun ahli waris
hendak membayar sisa utang, pembayaran itu bukan merupakan sesuatu
14 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
17. 15 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.,
17 16 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.,
18
19
kewajiban yang diletakkan oleh hukum, melainkan karena dorongan
moralitas/akhlak ahli waris yang baik.17
Adanya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam dapat dilihat dari
beberapa segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang
beralih, dan dari segi kepada siapa harta itu beralih.18
Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang
mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali Allah
SWT. Oleh karena itulah kewarisan dalam Islam diartikan dengan “peralihan
harta”, bukan “pengalihan harta”, karena pada peralihan berarti beralih
dengan sendirinya sedangkan pada ‘pengalihan’ tampak usaha seseorang.
Asas ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman Allah dalam surah
an-Nisaa’ (4) ayat 7.
Kemudian yang kedua, bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa
bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh
Allah, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk
menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu. Setiap pihak
terikat kepada apa yang telah ditentukan itu. Adanya unsur ijbari dari segi
jumlah itu dapat dilihat dari kata “mafrudan” yang secara etimologis berarti
‘telah ditentukan atau telah diperhitungkan’. Kata-kata tersebut dalam
terminologi Ilmu Fikih berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada
hambanya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu,
maka maksudnya ialah: “sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan
sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa”. Sedangkan bentuk yang
ketiga yaitu penerima peralihan harta berarti bahwa mereka yang berhak atas
harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu
kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang
lain atau mengeluarkan orang yang berhak. Adanya unsur ijbari dapat
17 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 23. 18 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
19.
20
dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat
11, 12, dan 176 dari surah an-Nisaa’.19
2. Asas Bilateral
Asas Bilateral dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa
harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah
pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki
dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.20 Pada prinsipnya asas ini
menegaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk
mewarisi atau diwarisi.21
Asas Bilateral ini dapat secara nyata dilihat dari firman Allah dalam
Surah An-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa
seseorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga
dari pihak ibunya. Begitu juga seorang perempuan, perempuan berhak
menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Ayat
ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral itu. Secara terinci asas bilateral
itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya.22
Dalam QS. an-Nisaa’ ayat 11 menegaskan dua hal:
a. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan perbandingan
seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang
perempuan.
b. Ibu berhak menerima warisan dari anaknya baik laki-laki ataupun
perempuan, begitu juga ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima
19 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
19. 20 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
20. 21 Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Citra
Aditya Bakti. 1999), h. 5. 22 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
20.
21
warisan dari anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan sebesar
seperenam bila pewaris meninggalkan anak.23
Dalam QS. An-Nisaa ayat 12 juga menegaskan dua hal:
a. Apabila pewaris adalah seorang anak laki-laki yang tidak memiliki
pewaris langsung (anak atau ayah), maka saudara laki-laki dan atau
perempuannya berhak menerima bagian dari harta tersebut.
b. Apabila pewaris adalah seorang perempuan yang tidak memiliki ahli waris
langsung (anak atau ayah), maka saudara yang laki-laki dan atau
perempuannya berhak menerima harta tersebut.24
Dan QS. An-Nisaa ayat 176 juga menyatakan dua hal:
a. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah)
sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka
saudaranya itu berhak menerima warisannya.
b. Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke
bawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki maupun perempuan,
maka saudaranya itu berhak menerima warisannya.
3. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dalam arti
harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki
secara perorangan. Dalam pelaksanaannya masing-masing ahli waris
menerima bagiannya tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan
harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian jumlah tersebut
dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar
bagian masing-masing.25 Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat
23 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 25. 24 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 27. 25 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
21.
22
dari aturan-aturan Alquran yang berkaitan dengan pembagian harta warisan
itu sendiri. Firman Allah dalam Surah An-Nisaa’ ayat 7:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.”
Secara garis besar ayat di atas menjelaskan bahwa laki-laki maupun
perempuan berhak mendapatkan warisan dari orang tua dan kerabat dekatnya,
terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan.26
Pengertian berhak atas warisan bukan berarti warisan itu harus
dibagi-bagikan. Bisa saja warisan itu dibagi-bagikan asal dikehendaki oleh
ahli waris yang bersangkutan, atau keadaan menghendakinya. Misalnya
seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan anak-
anak yang masih kecil. Apapun alasannya, dalam keadaan seperti ini, keadaan
menghendaki warisan tidak dibagi-bagikan. Tidak dibagikannya warisan ini
demi kemaslahatan para ahli waris itu sendiri. Yang lebih penting tidak
dibagi-bagikannya warisan itu tidak menghapuskan hak mewaris para ahli
waris yang bersangkutan.27
4. Asas Keadilan Berimbang
Kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-
‘adlu. Di dalam al-Qur’an kata al-‘adlu atau turunannya disebutkan lebih dari
28 kali. Sebagian di antaranya diturunkan Allah dalam bentuk kalimat
perintah dan sebagian dalam bentuk kalimat berita. Kata al-‘adlu itu
26 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 28. 27 Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Citra
Aditya Bakti. 1999), h. 5.
23
dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan arah yang berbeda, sehingga
akan memberikan definisi yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan
penggunaannya. Hubungannya dengan masalah kewarisan, kata tersebut
dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya.28
Sebagaimana laki-laki, perempuan juga mendapatkan hak yang sama
kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam
Alquran Surah An-Nisaa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam hal mendapatkan warisan. Pada ayat 11, 12, 176 Surah An
Nisaa’ secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima antara laki-
laki dan anak perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan istri (ayat 12),
saudara laki dan saudara perempuan (ayat 12 dan 176).29
Asas ini mengandung arti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara
hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang
harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang
sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan Islam, harta
peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya
adalah kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena
itu, perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris
berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap
keluarga. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga,
mencukupi keperluan hidup dan istrinya. Tanggung jawab itu merupakan
kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah
istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak.30
5. Asas Semata Akibat Kematian
28 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
24. 29 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
24. 30 Daud Ali, Hukum Islam, Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di Indonesi (Jakarta:
Raja Grafindo, 1998), h. 129-130.
24
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada
orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang
mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa seseorang tidak
dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai
harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta
seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah
ia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam.
Dengan demikian Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk
kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau yang dalam Hukum
Perdata atau BW disebut dengan kewarisan ab intestato dan tidak mengenal
kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup yang
disebut kewarisan bij testament.31
Asas kewarisan akibat kematian ini mempunyai kaitan erat dengan asas
ijbari yang disebutkan sebelumnya. Pada hakikatnya, seseorang yang telah
memenuhi syarat sebagai subjek hukum dapat menggunakan hartanya secara
penuh untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sepanjang hayatnya.
Namun, setelah meninggal dunia, ia tidak lagi memiliki kebebasan tersebut.
Kalaupun ada, maka pengaturan untuk tujuan penggunaan setelah kematian
terbatas dalam koridor maksimal sepertiga dari hartanya, dilakukan setelah
kematiannya, dan tidak disebut dengan istilah kewarisan.
\Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari penggunaan kata-
kata “waratsa”, yang banyak terdapat dalam al-Qur’an. Kata waratsa
ditemukan beberapa kali digunakan dalam ayat-ayat kewarisan. Dari
keseluruhan pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah
yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Makna terakhir ini akan lebih
jelas bila semua kata-kata waratsa yang terdapat dalam ayat-ayat kewarisan
dianalisa dan dihubungkan dengan kata waratsa yang terdapat di luar ayat-
31 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
28.
25
ayat kewarisan. Kata ini cukup banyak dipergunakan dalam al-Qur’an baik
dalam pengertian sebenarnya atau tidak.32
C. Pewaris, Harta Warisan, dan Ahli Waris
Pewaris, harta warisan, dan ahli waris merupakan bagian dari rukun-
rukun waris. Definisi rukun sendiri menurut bahasa yaitu sesuatu dianggap
rukun apabila posisinya kuat dan dijadikan sandaran, sedangkan menurut
istiah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan
sesuatu yang lain. Dengan kata lain, rukun adalah sesuatu yang
keberadaannya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu itu
hanya bagian dari sesuatu yang lain maupun yang mengkhususkan sesuatu
itu. Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk
mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan
ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Dari pembahasan yang ada, maka
rukun-rukun waris ada tiga, yaitu pewaris (muwarits), ahli waris (waarits),
dan harta peninggalan (mauruts).33
1. Pewaris / Muwarits (Orang yang Meninggalkan Harta Waris)
Muwarits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta
waris. Kamus Bahasa Indonesia menyebut orang yang meninggalkan harta
waris disebut dengan istilah “pewaris”, sedangkan dalam kitab fiqh disebut
muwarits.34 Bagi muwarits berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan
miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik
menurut kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarits menurut
para ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yaitu, mati haqiqy (sejati), mati
32 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
28. 33 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 27. 34 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 60.
26
hukmy (berdasarkan keputusan hakim), dan mati taqdiry (menurut dugaan).35
Sebab syarat yang harus terpenuhi berkenaan dengan pewaris ini adalah
“telah jelas matinya”. Hal ini memenuhi prinsip kewarisan akibat kematian,
yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli waris setelah
kematiannya.36
Bila seseorang tidak jelas kematiannya dan tidak ada pula berita tentang
hidup atau matinya, maka hartanya tetap menjadi miliknya yang utuh
sebagaimana dalam keadaan yang jelas hidupnya. Menganggap seseorang itu
masih hidup selama belum ada kepastian tentang kematiannya, di kalangan
ahli Ushul Fiqh disebut “mengamalkan prinsip “istishab al-sifah”.37
Adapun definisi dari mati haqiqy (sejati), mati hukmy (berdasarkan
keputusan hakim), dan mati taqdiry (menurut dugaan) adalah sebagai berikut:
a. Mati Haqiqy, ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu
sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indra
dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Sebagai akibat dari
kematian seluruh harta yang ditinggalkannya dikurangi untuk memenuhi
hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalannya, beralih dengan
sendirinya kepada ahli waris yang masih hidup di saat kematian
muwarits, dengan syarat tidak terdapat salah satu halanga mempusakai.
b. Mati Hukmy, ialah suatu kematian disebabkan oleh adanya vonis hakim,
baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun
dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang
yang telah divonis mati, padahal ia benar-benar masih hidup. Vonis ini
dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri dan bergabung
dengan musuh, vonis mengharuskan demikian karena menurut syariat
selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh.
35 Moh. Muhibbin, Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 60. 36 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group. 2008), h.
206. 37 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
206.
27
Demikian juga vonis kematian terhadap mafqud, yaitu orang yang tidak
diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui
hidup dan matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati terhadap
dua jenis orang tersebut maka berlakunya kematian sejak tanggal yang
termuat dalam vonis hakim, walaupun larinya si murtad atau
kepergiannya si mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta
peninggalannya baru dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal yang
termuat dalam vonis itu. Oleh karena itu, para ahli waris yang masih
hidup sejak vonis kematiannya berhak mempusakai, karena orang yang
mewariskan seolah-olah telah mati sejati di saat vonis dijatuhkan dan ahli
waris yang mati mendahului vonis sudah tidak berhak terhadap harta
peninggalannya.
c. Mati Taqdiry, ialah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan
hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya
kematian seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan
terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun.
kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat
juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat
perbuatan semacam itu.38
2. Harta Warisan (Mauruts)
Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli
warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dengan
harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si
mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya,
38 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 61.
28
sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’
berhak diterima oleh ahli warisnya.39
Harta peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah, yaitu apa-apa
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta secara
mutlak. Jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa tirkah ialah segala apa yang
menjadi milik seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang
diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Jadi, di samping harta
benda, juga hak-hak, termasuk hak kebendaan maupun bukan kebendaan
yang dapat berpindah kepada ahli warisnya. Seperti hak menarik hasil dari
sumber air, piutang, benda-benda yang digadaikan oleh si mayit dan lain-
lain.40
Harta peninggalan sendiri jika ditarik dari lafalnya, maka ia berasal dari
kata at-tarikah atau at-tirkah (tirkah), yang merupakan masdar yang
bermakna maf’ul (objek) yang berarti matrukah (sesuatu yang ditinggalkan).
Tirkah menurut bahasa, yaitu sesuatu yang ditinggalkan dan disisakan oleh
seseorang. Sedangkan menurut istilah, tirkah adalah seluruh yang
ditinggalkan mayit berupa harta dan hak-hak yang tetap secara mutlak. Hak-
hak tersebut antara lain, biaya-biaya perawatan mayit, hak-hak yang terkait
dengan harta waris, hutang-hutang, wasiat, dan harta waris.41
3. Ahli Waris (Warits)
Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fikih ialah orang yang
berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya
persyaratan sebagai berikut:
a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris
39 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
206. 40 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 57. 41 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 67-68.
29
b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima
warisan
c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih
dekat.42
Lebih jelasnya, ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian,
yakni (1) Ashabul furudh, (2) Ashabah, dan (3) Dzawil Arham.43
1) Ashabul Furudh
Ashabul Furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta
peninggalan yang sudah ditentukan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’.
Adapun bagian yang sudah ditentukan adalah 1/2, 1/4, 1/6, 1/8, 1/3, dan
2/3. Ahli waris Ashabul Furudh itu adalah :
a) Anak perempuan. Bagian anak perempuan adalah sebagai berikut :
(1) 1/2 kalau ia sendiri saja (dan tidak bersama anak laki-laki)
(2) 2/3 kalau anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama
laki-laki
b) Cucu Perempuan dari anak laki-laki. Bagian cucu perempuan adalah :
(1) 1/2 kalau ia sendiri saja atau;
(2) 2/3 kalau ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan
cucu laki-laki, kemudian di antara mereka berbagi sama banyak.
(3) 1/6 jika seorang atau lebih jika bersama-sama dengan seorang
anak perempuan (yakni untuk menyempurnakan 2/3)
(4) Ashabah jika bersama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki
yang sama tingkatannya atau di bawahnya.
(5) Mahjub (terhalang) oleh : anak laki-laki, dan dua anak perempuan
atau lebih jika tidak ada yang menarik ashabah.
c) Ibu. Bagian ibu adalah:
42 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
211. 43 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 63.
30
(1) 1/6 apabila ia bersama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki
atau dua orang saudara baik seibu, seayah, ataupun seibu saja atau
lebih.
(2) 1/3 apabila tidak ada anak, cucu, tetapi hanya bersama ayah
(3) 1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu, tetapi bersama
dengan suami atau istri.
d) Ayah.
(1) 1/6 jika bersama dengan anak atau cucu laki-laki
(2) 1/6 + sisa jika bersama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki.
(3) sisa (ashabah), jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki.
e) Kakek.
(1) Kedudukan kakek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada
bapak
(2) 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak
(3) 1/6 bagian + sisa jika pewaris mempunyai satu anak perempuan
(4) sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak
f) Nenek.
(1) kedudukan nenek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada
ibu
(2) Bagian nenek adalah 1/6 bagian, baik sendirian maupun bersama.
g) Suami
(1) 1/4 apabila bersama-sama dengan anak atau cucu
(2) 1/2 apabila tidak ada anak atau cucu
h) Istri
(1) 1/8 apabila bersama dengan anak atau cucu
(2) 1/4 apabila tidak bersama dengan anak atau cucu
i) Saudara perempuan kandung.
(1) 1/2 apabila hanya sendiri dan tidak ada saudara laki-laki
(2) 2/3 apabila dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki.
j) Saudara perempuan seayah
31
(1) 1/2 apabila hanya sendiri dan tidak ada saudara seayah laki-laki
(2) 2/3 apabila dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki
seayah
(3) 1/6 apabila bersama seorang saudara kandung perempuan
k) Saudara perempuan seibu
(1) 1/6 kalau ia hanya seorang diri
(2) 1/3 untuk dua orang atau lebih dan kemudian berbagi sama
banyak
l) Saudara laki-laki seibu.
(1) 1/6 kalau ia hanya seorang
(2) 1/3 kalau lebih dari seorang.44
2) Ahli waris Ashabah
Dalam Hukum Kewarisan Islam, di samping terdapat ahli waris
dengan bagian yang ditentukan atau ashabul furudh / dzawil furudh yang
merupakan kelompok terbanyak, terdapat pula ahli waris yang bagiannya
tidak ditentukan secara Furudh, baik dalam al-Qur’an maupun dalam
hadits Nabi. Mereka bisa mendapatkan seluruh harta dalam kondisi tidak
adanya ahli waris ashabul furudh atau sisa harta setelah dibagikan terlebih
dahulu kepada ashabul furudh yang ada. Mereka mendapat bagian yang
tidak ditentukan; terbuka, dalam arti dapat banyak atau sedikit, atau tidak
ada sama sekali.45
Ahli waris ashabah akan mendapatkan bagian harta peninggalan,
tetapi tidak ada ketentuan bagian yang pasti. Baginya berlaku :
a) jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta
waris untuk ahli waris ashabah
b) jika ada ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabah
menerima sisa dari ashabul furudh tersebut
44 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
225-229. 45 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
230.
32
c) jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh
maka ahli waris ashabah tidak mendapat apa-apa.46
Ahli waris ashabah ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dari garis keturunan laki-laki, seperti anak laki-laki, ayah,
saudara laki-laki, kakek. Dalam keadaan tertentu anak perempuan juga
mendapat ashabah apabila ia didampingi atau bersama saudaranya laki-
laki. Kelompok ashabah menerima pembagian harta waris setelah
selesainya pembagian untuk ashabul furudh.47
Yang termasuk ahli waris ashabah, yakni sebagai berikut :
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki walaupun sampai ke bawah
c) Bapak
d) Kakek
e) Saudara laki-laki kandung
f) Saudara laki-laki seayah
g) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung (keponakan)
h) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan)
i) Paman Kandung
j) Paman sebapak
k) Anak laki-laki paman sekandung
l) Anak laki-laki paman sebapak
Ashabah terbagi menjadi dua bagian, yaitu ‘Ashabah Sababiyyah
dan Ashabah Nasabiyyah. ‘Ashabah Sababiyyah adalah ‘ashabah dari
orang yang memerdekakan budak, baik laki-laki maupun perempuan.48
46 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 65 47 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 65. 48 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 253.
33
Sedangkan Ashabah Nasabiyyah atau ‘ashabah senasab adalah
mereka yang menjadi kerabat si mayit dari laki-laki yang tidak diselingi,
antaranya dan antara si mayit, oleh seorang perempuan, sepeti anak, bapak,
saudara kandung atau saudara sebapak dan paman kandung atau paman
sebapak. Termasuk di dalamnya anak perempuan apabila ia menjadi
‘ashabah dengan saudaranya (anak laki-laki) atau saudara perempuan
kandung atau sebapak yang menjadi ashabah karena ada bersama anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau karena ada
bersama keduanya.49
Namun jika diselingi oleh seorang perempuan yang satu keturunan
dengan si mayit, orang itu menjadi dzawil arham, seperti bapaknya ibu dan
cucu laki-laki dari anak perempuan atau bisa juga termasuk ashabul furudh
seperti saudara seibu.50
Adapun pembagian ashabah nasabiyyah adalah sebagai berikut :
a) Ashabah Binnafsihi (dengan sendirinya)
Ashabah Binnafsihi adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan
dengan si mayit, tanpa diselingi oleh ahli waris perempuan. Atau ahli
waris yang langsung menjadi ashabah dengan sendirinya tanpa
disebabkan oleh orang lain. Misalnya anak laki-laki, cucu laki-laki,
cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki sekandung.
Mereka itu dengan sendirinya boleh menghabiskan harta, setelah harta
peninggalan tersebut dibagikan kepada ashabul furudh.51
b) Ashabah Bilghairi (bersama orang lain)
Ialah orang perempuan yang menjadi ashabah beserta orang
laki-laki yang sederajat dengannya (setiap perempuan yang
49 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 253. 50 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 254 51 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 66.
34
memerlukan orang lain dalam hal ini laki-laki untuk menjadikan
ashabah, dan secara bersama-sama menerima ashabah). Kalau orang
lain itu tidak ada, ia tidak menjadi ashabah, melainkan menjadi
ashabul furudh biasa. Seperti :
(1) Anak perempuan beserta anak laki-laki
(2) Cucu perempuan beserta cucu laki-laki
(3) Saudara perempuan sekandung beserta saudara lelaki sekandung
(4) Saudara perempuan sebapak beserta saudara laki-laki sebapak52
c) Ashabah Ma’al ghairi (karena orang lain)
Ashabah Ma’al ghairi ialah orang yang menjadi ashabah
disebabkan ada orang lain yang bukan ashabah. (Setiap perempuan
yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang
lain tersebut tidak berserikat menerima ashabah). Orang lain tersebut
tidak ikut menjadi ashabah. Akan tetapi, kalau orang lain tersebut
tidak ada maka ia menjadi ashabul furudh biasa. Seperti :
(1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih), bersamaan
dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersamaan
dengan cucu perempuan (seorang atau lebih)
(2) Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama dengan
anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersama dengan cucu
perempuannya (seorang atau lebih)
Saudara perempuan sekandung atau sebapak dapat menjadi
ashabah ma’al ghairi apabila mereka tidak bersama saudara laki-laki.
Apabila mereka bersama saudara laki-laki maka kedudukannya
menjadi ashabah bil ghairi.53
3) Dzawil Arham
52 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 66. 53 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 66.
35
Dalam istilah ulama fikih, dzawil arham berarti seluruh kerabat
yang bukan ashabul furudh dan bukan ashabah. Karena itu, semua kerabat
yang tidak berhak mendapatkan warisan bagian tetap (ashabul furudh)
ataupun ashabah, disebut dzawil arham.54 Mereka juga dianggap kerabat
yang jauh pertalian nasabnya.55
Adapun dzawil arham adalah sebagai berikut :
a) Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
b) Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan
c) Kakek pihak ibu (bapak dari ibu)
d) nenek dari pihak ibu (ibu kakek)
e) Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak
maupun seibu)
f) Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu
g) Anak (laki-laki maupun perempuan) saudara perempuan (sekandung
sebapak atau seibu)
h) Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan dari
kakek.
i) Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu
dengan kakek
j) Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu
k) Anak perempuan dari paman
l) Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu)56
Dzawil arham dalam pengertian yang disebutkan di atas itu berhak
menjadi ahli waris dan bagaimana caranya ia dapat menjadi ahli waris
merupakan topik perbincangan di kalangan ulama. Segolongan ulama
54 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 338 55 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 67. 56 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 67.
36
terdiri dari Umar, Ali, Abdullah, Ubaidah bin al-Jarah, Mu’adz ibn Jabal
dan Abu Darda’ dari kalangan sahabat dan ulama sesudahnya seperti
Syureih, Umar bin Abdul Aziz, ‘Atha’, Thaus, Alqamah, Masruq, Ahmad,
dan ahli Kuffah berpendapat bahwa dzawil arham berhak menjadi ahli
waris bila tidak terdapat ahli waris ashabul furudh dan ashabah atau dalam
arti ahli warisnya hanya terdiri dari suami atau istri.57
Golongan ini mendasarkan pendapatnya dari ayat al-Qur’an surah
al-Anfal ayat 75:
...... ............
“Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab
Allah.”
Mafhum (pemahaman) dari surah tersebut ialah kerabat dzawil
arham itu lebih layak menerima warisan daripada kaum Muslimin pada
umumnya. Kalau dzawil arham mempunyai dua hubungan pertalian, yaitu
pertalian nasab dan pertalian keislaman, sedang kaum muslimin hanya
mempunyai satu hubungan, yaitu pertalian keislaman. Jadi, harta warisan
itu lebih layak diserahkan kepada dzawil arham daripada diserahkan
kepada baitul Maal untuk kepentingan muslimin.58
Zaid bin Tsabit dari sahabat yang kemudian diamalkan oleh Malik,
al-Awza’i, al-Syafi’i, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Jarir yang berpendapat
bahwa dzawil arham tidak berhak menerima warisan. Harta yang ada baik
semua atau sisa harta diserahkan ke baitul maal. Sebagaimana dijelaskan
sebelum ini bahwa sebagian pengikut Imam al-Syafi’i seperti al-Muzanni
dan Ibnu Sureij dan begitu pula ulama mutakhir dari Syafi’iyah
berpendapat kelebihan harta diberikan kepada dzawil arham setelah
57 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
150. 58 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 68.
37
diberikan kepada kerabat dalam bentuk raad seandainya baitul maal tidak
kredibel.59
Dalil yang dikemukakan oleh golongan ini adalah hadits Nabi yang
diriwayatkan Said dalam sunannya yang mengatakan bahwa Nabi suatu
ketika datang ke Quba untuk melakukan istikharah tentang saudara
perempuan ayah (‘amah) dan saudara perempuan ibu (khalah), kemudian
diturunkan wahyu kepadanya yang menyatakan keduanya tidak berhak
menerima waris. Saudara perempuan ayah dan anak perempuan dari
saudara tidak mewarisi meskipun bersama dengan saudara laki-lakinya,
berbeda halnya dengan saudara perempuan dan anak perempuan. Jika
dalam keadaan bersama ia tidak dapat mewaris, apalagi dalam kasus ia
seorang diri.60
D. Penghalang Warisan
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat
menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau
syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima
hak waris.61
Beberapa penghalang mewarisi terbagi menjadi dua bagian : pertama,
bagian yang telah disepakati; kedua, bagian yang diperselisihkan. Bagian
pertama (yang disepakati) ada tiga macam, yakni berlainan agama,
perbudakan, dan pembunuhan. Ketiga macam ini telah disepakati oleh para
ulama sebagai penghalang-penghalang mewarisi, sehingga dinamakan dengan
mawani’ (beberapa penghalang).62
59 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
150. 60 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
151. 61 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 75. 62 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 46.
38
Sedangkan yang kedua (yang diperselisihkan), ada tiga macam:
pertama, murtad (keluar dari agama). Kedua, ketidakjelasan waktu kematian,
dan ketiga berlainan negara.63
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal di atas dapat dilihat dalam
paparan berikut ini:
1. Penghalang-penghalang yang Disepakati
a. Berlainan Agama
Para ahli fiqih telah bersepakat bahwasanya berlainan agama antara
orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah
satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Berlainan agama
terjadi antara Islam dengan yang selainnya. Agama ahli waris yang
berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris.
Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan
seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir.64
Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat sesudah
meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan belum
dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu tetap
terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut adalah
sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan
dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si
pewaris, ia masih dalam keadaan non Muslim (kafir), jadi mereka dalam
keadaan berlainan agama.65
Dasar hukumnya adalah :
63 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 47. 64 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 47. 65 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 78.
39
الدسلم ليرث بي صلى للا عليه وسلم قال :عن أ ساحة بن زيدب رضي للا عنهدا أن الن
الكافر ول الكفر الدسلم )رواه الترحذي(66
“Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi Saw, bersabda : Seorang Muslim
tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat
mewarisi harta orang muslim” (H.R Tirmidzi)
b. Perbudakan
Di dalam Alquran telah digambarkan bahwa seorang budak tidak
cakap mengurus hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT Surah An-Nahl ayat 75. :
....
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun “
Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinjau dari
dua sisi. Oleh karena itu budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan
dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya.
Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya, niscaya
yang memiliki warisan tersebut adalah tuannya. Budak juga tidak dapat
mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya karena dianggap tidak
mempunyai sesuatu. Namun, seandainya dia mempunyai sesuatu, maka
kepemilikannya diaggap tidak sempurna (tidak stabil). Kemudian
kepemilikan tersebut beralih kepada tuannya.67
Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris juga karena
dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan
kekeluargaan dengan kerabatnya. Dia tidak dapat mewariskan harta
66 Abu Musa Al-Tirmidziy, Al-Jami’u Ash-Shahih, Juz IV, (Kairo: Mustafa al-Babiy,
1983), hlm. 432 67 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 52.
40
peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya
adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta.68
c. Pembunuhan
Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang
lain secara langsung atau tidak langsung.69 Para ahli hukum Islam sepakat
bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
pewarisnya, menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan
pewaris yang dibunuhnya.70 Berdasarkan hadits Nabi :
ليرث اليا ت عن أبي هريرة عن النبي صلى للا عليه و سلم قال
)رواه ابن حااة(71
“Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Saw, bersabda : “orang yang
membunuh tidak bisa menjadi ahli waris”
Alasan yang mendasari seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang dibunuh karena, terkadang, pembunuh memiliki
tendensi mempercepat kematian orang yang akan mewariskan, sehingga
dia dapat mewarisi harta peninggalannya. Diharamkannya mewarisi dari
hasil pembunuhan atas dasar sadd adz-dzara’i dan kaidah fikih yang
mengatakan, “Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum masanya tiba,
maka untuk mendapatkan sesuatu tersebut menjadi haram”72
2. Penghalang-penghalang yang Diperselisihkan
a. Riddah
Riddah ialah keluar dari agama Islam. orangnya disebut murtad, baik
dalam keadaan dapat membedakan secara sadar, maupun dalam keadaan
bercanda. Para ulama fikih bersepakat bahwasanya riddah dapat
68 A. Hasan. Al-Faraid (Jakarta: Pustaka Progresif, 1996), h. 44. 69 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 56. 70 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 76. 71 Ibnu Majah, Sunanu Ibnu Majah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t) hlm. 10 72 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 57.
41
menghalangi hak mewarisi. Seseorang yang murtad tidak dapat mewarisi
harta peninggalan kerabatnya yang sama-sama murtad, orang kafir, dan
seorang muslim. Dengan demikian, tidak ada jalan untuk saling mewarisi
dari kerabatnya yang sama-sama murtad karena harta peninggalannya
merupakan fa’i.73
b. Berlainan negara
Berlainan negara ada tiga kategori, yaitu berlainan menurut
hukumnya, berlainan menurut hakikatnya, dan berlainan menurut hakikat
sekaligus hukumnya. Berlainan negara antara sesama muslim, telah
disepakati fuqaha bahwa hal in tidak menjadi penghalang untuk saling
mewarisi, sebab semua negara Islam mempunyai kesatuan hukum,
meskipun berlainan politik dan sistem pemerintahannya.74
Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara orang-orang yang
nonmuslim. Dalam hal ini menurut jumhur ulama tidak menjadi
penghalang mewarisi dengan alasan hadis yang melarang warisan antara
dua orang yang berlainan agama. Mafhum mukhalafahnya bahwa ahli
waris dan pewaris yang sama agamanya dapat saling mewarisi meskipun
berbeda negaranya.
Adapun menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian Hanabilah bahwa
hal itu menjadi penghalang hak mewarisi, karena berlainan negara antara
orang-orang nonmuslim berarti terputusnya ishmah (kekuasaan) dan tidak
adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan. Adapun negara
dalam hakikatnya saja (muslim sama muslim) tidak berpengaruh dalam
segi hukum.75
c. Ketidakjelasan Waktu Kematian
73 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 60. 74 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 79. 75 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 80.
42
Penghalang yang ketiga ini merupakan ketidakjelasan waktu
kematian. Bila orang yang dapat saling mewarisi meninggal dunia
bersama-sama, misalnya akibat tenggelam, kebakaran, kemudian tidak
diketahui siapa di antara mereka berdua yang lebih dahulu meninggal
dunia, maka kedua-duanya tidak dapat saling mewarisi. Hal tersebut
dikarenakan salah satu syarat waris-mewarisi ialah hidupnya orang yang
mewarisi di saat kematian orang yang mewariskan, sedangkan pada kasus
di atas syarat tersebut tidak terwujud. Dengan demikian, harta waris setiap
mayit yang meninggal akibat tenggelam atau lainnya dibagikan untuk ahli
waris mereka yang lain, karena Allah swt memberikan warisan kepada ahli
waris yang masih hidup di mana harta tersebut diambil dari kerabat yang
sudah meninggal dunia. Sedangkan pada kesempatan ini, kita tidak dapat
mengetahui hidupnya ahli waris, sehingga ahli waris itu tidak dapat
mewarisi.76
76 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,
Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan
Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 63.
43
BAB III
SISTEM PEMBAGIAN WARIS
DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
A. Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon
Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan salah satu keraton tertua yang
masih berdiri di Indonesia. Keraton Kasepuhan Cirebon yang sebelumnya
merupakan Kesultanan Cirebon, awalnya didirikan atas dasar syiar Islam.
Tokoh pendirinya adalah Pangeran Cakrabuana yang bergelar Haji Abdullah
Iman, dan Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan Sunan
Gunung Jati. Kedua tokoh inilah yang mendirikan Kesultanan Cirebon1, di
mana Kesultanan Cirebon menjadi cikal bakal dari Keraton Kasepuhan yang
masih lestari sampai sekarang.
Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon tak terlepas dari sejarah awal
perkembangan penyebaran agama Islam dan Cirebon sebagai sebuah dukuh
kecil yang masih sepi dari penduduk. Menurut P.S Sulendraningrat yang
mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil
yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa (Ki Ageng Tapa / Ki Gedeng Jumajan
Jati). Ki Gedeng Tapa adalah seorang mangkubumi dari kerajaan Singapura
yang ditugasi untuk mengatur pelabuhan Muarajati yang berada di pesisir
Cirebon. Dari dukuh kecil yang dibangun inilah lama kelamaan berkembang
menjadi sebuah wilayah yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda :
campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam
suku bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat, serta mata pencaharian yang
berbeda-beda.2
1 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 2 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h. 98.
44
P.S Sulendraningrat, dalam Babad tanah Sunda/babad Cirebon
menceritakan, Pangeran Walangsungsang / Pangeran Cakrabuana dan isterinya
beserta adiknya Ratu Rarasantang diperintahkan oleh gurunya yaitu Syekh
Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi, untuk membuka sebuah lahan atau
pemukiman baru. Dalam perjalanannya ia menuju ke daerah yang bernama
Tegal Alang-alang (sekarang Lemahwungkuk), di mana ia bertemu dengan Ki
Danusela / Ki Gedheng Alang-alang.3 Ki Gedheng alang-alang, dalam
historiografi lokal digambarkan sebagai orang yang sangat terbuka terhadap
pemikiran dan ide-ide baru serta bersikap ramah terhadap siapa saja. Sikap
tersebut yang merupakan salah satu faktor yang mendorong para pendatang
yang berasal dari suku, agama, budaya, dan bahasa berbeda berkunjung bahkan
menetap di pedukuhan kecil ini.4
Pangeran Walangsungsang, beserta isteri dan adiknya Rara Santang
pada akhirnya menetap di dukuh kecil ini bersama Ki gedeng Alang-alang, dan
diakui sebagai anak serta ikut membangun pedukuhan kecil ini dengan
membuka hutan dan membuka perkebunan baru. Di samping itu,
Walangsungsang juga menangkap ikan dan rebon (udang kecil), dan kemudian
dari rebon itu diolah menjadi terasi dan dijual kepada masyarakat. Dukuh kecil
ini lama-kelamaan ramai oleh orang yang hendak membeli terasi, sekaligus
ikut berkebun dan menetap.5 Disamping itu sebagian besar warga yang tinggal
di dukuh ini juga bekerja sebagai pembuat petis dan juga ikut menangkap ikan.
Petis yang dibuat warga bahannya dari air udang atau dalam bahasa Sunda-nya
cai-rebon, lama-kelamaan masyarakat menyebutnya Cirebon.6
Ramainya pedukuhan kecil ini kemudian diketahui oleh Prabu Raja
Galuh, dan menyuruh bawahannya untuk memeriksa daerah tersebut.
Sesampainya di tempat yang dituju, para bawahan dari Galuh ini bertemu
3 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 12. 4 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 32. 5 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 12. 6 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon
(Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hal. 21.
45
dengan Pangeran Walangsungsang. Setelah memeriksa, diketahui dukuh ini
berjumlah 364 jiwa. Para bawahan itu juga memberikan pesan dari Raja Galuh,
bahwa dukuh kecil ini harus membayar pajak karena diakui sebagai bagian dari
kekuasaan Galuh.7 Maka diangkatlah Ki Gedeng Alang-alang menjadi Kuwu
(kepala desa) pertama dalam struktur pemerintahan yang telah diatur oleh
Kerajaan Pajajaran, beserta wakilnya pangeran Walangsungsang yang diberi
gelar Pangeran Cakrabuana, dan wilayah ini menjadi bagian dari kekuasaan
kabupaten Galuh. Nama Tegal Alang-alang juga berganti menjadi Caruban
Larang.8
Pada 1447, Ki Gedheng Alang-alang sebagai Kuwu Caruban Larang
meninggal dunia. Setelah melalui proses musyawarah, Pangeran Cakrabuana
secara aklamasi dipilih oleh rakyat Caruban Larang sebagai kuwu
menggantikan Ki Gedheng Alang-alang.9 Pada 1449, Ki Gedeng Tapa yang
merupakan kakek dari Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang dan menjabat
sebagai penguasa Singapura juga meninggal dunia. Namun dengan wafat
kakeknya tersebut, Pangeran Cakrabuana tidak ingin meneruskan kerajaan
tersebut dan malah menjadikan daerah tersebut menjadi salah satu wilayah
protektorat Caruban Larang.10
Adapun identitas dari Pangeran Cakrabuana dan Ratu Rarasantang
adalah anak dari Prabu Siliwangi yaitu raja kerajaan Pajajaran yang bergelar
Sri Baduga Maharaja, melalui isteri dari Subanglarang yang merupakan anak
dari Ki Gedeng Tapa. Sebagai anak sulung dan laki-laki, ia tidak mendapatkan
haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh
karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang – ibunya),
sementara saat itu, ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan,
7 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 13. 8 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 33. 9 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 35. 10 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 37.
46
dan Hindu Budha. Posisi putera mahkota tersebut digantikan oleh adiknya
Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari isterinya yang ketiga
Nyai Cantring Manikmayang.11
Setelah dukuh Cirebon ramai oleh penduduk, dan sudah banyak
masyarakat yang memeluk agama Islam, Pangeran Cakrabuana kembali
menghadap gurunya, yaitu Syekh Datuk Kahfi/ Syekh Nurjati. Dari gurunya
ini, Pangeran Cakrabuana dan adiknya Ratu Rarasantang diperintahkan untuk
menunaikan ibadah haji dan berguru kepada Syekh Maulana Ibrahim di negeri
Campa. Di negeri Campa ini, keduanya diberikan ilmu Tarekat Syatariyah dan
berikut semua ilmu tarekat. Lalu setelah selesai berguru, Syekh Maulana
Ibrahim menyuruh Pangeran Cakrabuana dan Ratu Rarasantang untuk
menunaikan Ibadah Haji ke Mekkah, dan di Mekkah keduanya juga berguru
kepada Syekh Bayan dan Syekh Abdullah. Di Mekkah inilah Ratu Rarasantang
kemudian dipinang oleh Raja Mesir yaitu Syarif Abdullah melalui patihnya
untuk membawa Rarasantang beserta Pangeran Walangsungsang ke negeri
Mesir.12 Setelah menikah dengan Raja Mesir dan menjadi permaisuri kerajaan,
Rarasantang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Singkat cerita, ketika
Syarifah Mudaim sedang mengandung anak 3 bulan, Pangeran Cakrabuana
pamit untuk kembali ke Caruban Larang. Sedangkan adiknya Syarifah Mudaim
tetap tinggal di negeri Mesir sampai akhirnya pada tahun 1448 M, lahirlah
seorang bayi laki-laki yang diberi nama Syarif Hidayatullah yang lahir di
Mekkah, dan dua tahun kemudian 1450 M, lahir anak kedua yang diberi nama
Syarif Nurullah.13
Pangeran Cakrabuana setelah pulang kembali ke Caruban Larang,
membangun pondasi-pondasi sistem pemerintahan yang lebih kompleks. Ia,
misalnya membangun Kraton Pakungwati pada tahun 1452 M yang merupakan
istana pertama yang dibangun di wilayah Caruban Larang. Nama Pakungwati
11 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon
(Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hal. 101. 12 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal.16. 13 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 20.
47
diambil dari nama anaknya dari isteri Nyai Endang Geulis. Lalu dibangun juga
sebuah Tajug yang diberi nama Jalagrahan. Di tahun 1454 M, Pangeran
Cakrabuana juga mempunyai anak yang kedua dari isterinya Ratna Raras,
puteri Ki Gedeng Alang-alang dan diberi nama Pangeran Carbon.14 Guna
memperkuat basis militer kekuasannya, ia juga membentuk bala tentara. Lebih
jauh lagi ia juga memperlengkapinya dengan berbagai sarana pendukung
lainnya guna mempersiapkan pendirian sebuah nagari.15
Perkembangan ini juga mendapat perhatian dari pemerintahan pusat
Kerajaan Pajajaran. Prabu Siliwangi ayah Pangeran Cakrabuana, menyambut
baik berita perkembangan yang cukup pesat di wilayah pesisir utara tersebut.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap prestasinya ini, Prabu Siliwangi mengirim
utusan khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya dengan didampingi
empat puluh orang pengawalnya. Tujuan ini adalah untuk membawa Tandha
Keprabon kepada Pangeran Carkabuana. Tandha Keprabon tersebut berisi
keputusan Raja Pajajaran yang merubah status Caruban Larang dari sebuah
Pakuwan menjadi Ketumenggungan. Pangeran Cakrabuana lalu dinaikkan
statusnya dari seorang kuwu menjadi tumenggung dengan gelar Tumenggung
Sri Mangana, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam naskah Carita Purwaka
Caruban Nagari.16
Di sisi lain di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah tumbuh dan beranjak
dewasa. Namun setelah ayahandanya wafat, Syarif Hidayatullah enggan untuk
meneruskan tahta ayahnya dan lebih memilih untuk menyebarkan agama Islam
di Pulau Jawa. Posisi Raja Mesir diwakilkan kepada patih Ungkajutra,
kemudian diserahkan kepada adiknya, Syarif Nurullah.17
14 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 20. 15 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 37 16 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 37-38 17 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 77
48
Syarif Hidayatullah setelah kembali ke Cirebon, ditawari oleh
pamannya Pangeran Cakrabuana untuk meneruskan Keraton Pakungwati,
tetapi permintaan tersebut ditolak. Setelah sekitar sembilan tahun Syarif
Hidayatullah menetap di Cirebon, atau tepatnya pada 1479 Masehi, Pangeran
Cakrabuana selaku penguasa Cirebon menyerahkan tampuk kekuasaannya
kepada Syarif Hidayatullah.18 Penobatan sebagai Raja Islam tersebut
disaksikan oleh ibunya sebagai legitimasi genealogis dan disaat yang
bersamaan juga didukung langsung oleh Dewan Walisongo yang dipimpin oleh
Sunan Ampel Denta. Penobatan tersebut ditandai dengan gelar yang diberikan
kepada Syekh Syarif Hidayatullah sebagai “Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan jati Purbawisesa panetep Penatagama Aulia Allahu Ta’ala Kutubij
Jaman, Kholifatu Rosulillahi Shollallhu Alaihi Wasallam.” Gelar tersebut juga
menandai bahwa Syekh Syarif Hidayatullah menggantikan peran Syekh Datuk
kahfi yang meninggal dunia sebagai penyebar dan pemimpin agama Islam di
wilayah tatar sundha.19
Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati mengambil langkah
awal sebagai Raja Cirebon dengan menghentikan hubungannya dengan
kerajaan induk, Pakuan Pajajaran yang masih dipimpin oleh kakeknya, Sri
baduga Maharaja Prabu Siliwangi. Atas dukungan dari dewan Walisongo
untuk mendukung Cirebon sebagai pusat kekuatan agama Islam maka Sunan
Gunung Jati memutuskan untuk tidak lagi memberikan upeti tiap tahun kepada
Pajajaran. Dengan cara tersebut di atas, Cirebon akhirnya menjadi Kerajaan
Merdeka dan berdaulat.20 Sunan Gunung Jati juga mengambil langkah lain di
awal kepemimpinannya dengan menggalang kekuatan Kerajaan Demak yang
18 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 27. 19 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 88. 20 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 98.
49
dipimpin oleh Raden Patah yang juga sama-sama di dukung oleh dewan
Walisongo.21
Masa Sunan Gunung Jati inilah disebut sebagai masa keemasan
Kesultanan Islam Cirebon. Masa keemasan tersebut ditandai dengan Cirebon
pernah mengalami masa bahagia dan dapat mengembangkan dirinya dalam
suasana damai dan bisa tumbuh dari suatu tempat menetap untuk pertama kali
menjadi negara yang adil dan makmur.22 Hal ini juga diperkuat pula bahwa di
bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati, Cirebon telah berhasil menaklukkan dan
melebarkan kekuasaannya dan sekaligus dapat mengislamkan sebagian besar
daerah-daerah yang berada di Jawa Barat sampai Banten. Daerah-daerah
tersebut antara lain; Luragung, Kuningan, Banten, Sunda Kelapa, Galuh,
Sumedang, Japura Talaga, Losari, dan pasir Luhur dll.23 Luasnya wilayah
kekuasaan dan Islamisasi yang masif menjadi bukti kesuksesan Cirebon dalam
penyebaran agama Islam.
Sunan Gunung Jati secara resmi memimpin Cirebon dari 1479-1568 M.
Pasca Sunan Gunung Jati wafat, terjadi kekosongan jabatan pimpinan tertinggi
Kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung
Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, putera Pangeran Pasarean, cucu Sunan
Gunung Jati. Namun Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada
tahun 1565.24 Kekosongan kekuasaan itu kemudian diisi oleh Fatahillah /
Fadhillah khan, beliau adalah menantu Sunan Gunung Jati. Tetapi Fatahillah
hanya memimpin selama dua tahun karena pada tahun 1570 beliau wafat.
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi
raja, takhta kerajaan jatuh kepada Pangeran Emas yang merupakan anak tertua
dari Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas
21 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 28. 22 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 31. 23 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon
(Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hal. 6. 24 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.
102.
50
kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memimpin Cirebon selama 79
tahun dari 1570-1649 M.25
Pada masa Panembahan Ratu I, Cirebon tidak lagi melebarkan
sayapnya ke daerah-daerah lain, karena pada waktu itu posisi Cirebon terjepit
di antara dua kerajaan besar, yaitu Banten dan Mataram. Namun pada masa
Panembahan Ratu I ini juga Cirebon lebih dekat ke Mataram. Misalnya Putri
Ratu Ayu Saklh, kakak perempuan Panembahan Ratu I menikah dengan Sultan
Agung Mataram. Dari pernikahan itu Sultan Agung berputera Susuhunan
Amangkurat I. Kelak salah seorang putri Susuhunan Amangkurat I
bersuamikan Panembahan Girilaya dari Cirebon.26
Hubungan dengan Mataram pada mulanya merupakan kekeluargaan
dalam suasana persahabatan, akan tetapi setelah Mataram makin berkuasa
persahabatan itu makin pincang. Sejak tahun 1615 Mataram mulai
mencengkeramkan pengaruhnya di Cirebon. Kemudian pada 1650 secara
keseluruhan Cirebon dikuasai oleh Mataram.27
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, Cirebon
dipimpin oleh Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, cucu dari Panembahan
ratu I. Karena ayah Pangeran Rasmi, yaitu Pangeran Sedang Gayam atau
Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dulu. Pangeran Rasmi
kemudian dikenal dengan nama Panembahan ratu II atau Panembahan
Girilaya.28
Setelah diangkat menjadi penguasa Cirebon, Panembahan Ratu II
beserta kedua puteranya, yaitu Pangeran Martawidjaya dan Pangeran
Kartawidjaya dipanggil oleh Susuhunan Amangkurat I untuk berkunjung ke
25 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.
102. 26 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 35. 27 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 36. 28 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.
103.
51
Mataram dalam rangka menghormati pengangkatannya sebagai penguasa
Cirebon. Akan tetapi, selepas upacara tersebut Panembahan Ratu II dan kedua
puteranya tidak diperkenankan kembali ke Cirebon oleh Susuhunan
Amangkurat I. Hal itu berlangsung selama 12 tahun, sampai Panembahan Ratu
II meninggal dunia dan dimakamkan di bukit Girilaya, oleh karena itu
Panembahan Ratu II juga dikenal dengan Panembahan Girilaya.29
Tindakan itu merupakan kebijakan politik pemerintahan Susuhunan
Amangkurat I terhadap penguasa-penguasa pesisir. Mataram juga berusaha
mencurahkan seluruh tenaga untuk dapat mengendalikan penguasa-penguasa
tersebut guna kepentingannya. Panembahan ratu II dan kedua puteranya selama
berada di Mataram, pemerintahan di Cirebon sehari-hari dipegang oleh putera
yang ketiga, yaitu Pangeran Wangsakerta. Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, Pangeran Wangsakerta juga selalu diawasi oleh Susuhunan
Amangkurat I. Hal itu menjadikan gerak langkah pemerintahan Cirebon tidak
leluasa.30
Panembahan Ratu II kemudian wafat pada 1662 di Mataram dan
dimakamkan di bukit Girilaya. Padahal Panembahan Ratu II merupakan
menantu Susuhunan Amangkarut I dengan memperisteri salah satu puterinya,
seperti yang telah disebutkan di atas. Begitu pula Pangeran Martawidjaya dan
Pangeran Kartawidjaya adalah cucu Amangkurat I. Namun, tindakan
Amangkurat I tidak mencerminkan sikap yang baik sebagai seorang ayah atau
kakek kepada puteri dan cucu-cucunya.31
Sekitar tahun 1677, Raden Trunojoyo mengadakan serangan besar-
besaran terhadap keraton Mataram dengan dibantu pasukan dari Banten yang
saat itu yang menjadi sultan adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Serangan itu bukan
29 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 36. 30 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 36-37. 31 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 37
52
saja berhasil menduduki ibukota Mataram, melainkan juga dapat
membebaskan kedua Pangeran Cirebon dari cengkeraman Amangkurat I.
Kemudian kedua Pangeran tersebut dibawa oleh pasukan Trunojoyo ke kediri
lalu kemudian dijemput oleh utusan dari Sultan Ageng Tirtayasa untuk dibawa
ke Banten.32
Selepas dari Banten inilah, Sultan Ageng Tirtaya membagi Kesultanan
Cirebon menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan
berikutnya, pembagian tersebut antara lain :
1. Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawidjaya, dengan gelar Sultan Sepuh
Abil Makarimi Muhammad Syamsudin (1677-1703).33
2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawidjaya, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723).
3. Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar
Pangeran Abdul kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati
(1677-1713).
Sedangkan Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan,
melainkan hanya Panembahan, ia tidak memiliki wilayah kekuasaan / keraton
sendiri, tetapi berdiri sebagai keprabonan / paguron, yaitu tempat belajar para
intelektual keraton.34
Menurut keterangan P.S Sulendraningrat dalam bukunya “Sejarah
Cirebon”, Sultan Sepuh pertama kali memiliki tempat Keraton Pakungwati
sebagai keratonnya (sekarang sebelah timur Keraton Kasepuhan). Sedangkan
Sultan Anom pertama kali keratonnya di bekas rumah pertama Pangeran
Cakrabuana. Tempat itu sekarang termasuk kelurahan Lemah Wungkuk
Kotamadya Cirebon. Sedangkan Panembahan Cirebon sementara waktu
32 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 38 33 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.
104. 34 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.
105.
53
bertempat tinggal bersama-sama dengan Sultan Sepuh di kompleks Keraton
Pakungwati.35
B. Silsilah Keluarga Keraton Kasepuhan Cirebon
Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati sebagai raja/sultan Cirebon saat
itu, mempunyai beberapa istri yang kemudian melahirkan keturunan. Wanita-
wanita terpilih yang menjadi isteri beliau memiliki nasab yang terhormat dan
merupakan bagian inti keluarga yang mendukung sepak terjang suaminya yang
merupakan seorang pendakwah, sekaligus pemimpin umat Islam.
Satu hal yang mendasari pernikahan Sunan Gunung Jati dengan isteri-
isterinya adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islamisasi melalui
pernikahan. Pernikahan-pernikahan beliau dengan berbagai macam wanita
yang berbeda latar belakang, etnis, sosial dan budaya melahirkan pengalaman-
pengalaman spiritual yang berbeda pula, sehingga kemudian menjadi semacam
pengetahuan/ideologi yang maknanya tersurat dan tersirat dalam petata-petiti
Sunan Gunung Jati.
Dari sekian isteri-isteri Sunan Gunung Jati tersebut, ada satu isteri
yang kelak anak keturunannya akan melahirkan raja-raja Cirebon, yaitu
bernama Nyi Mas Tepasari. Nyi Mas Tepasari merupakan anak dari Ki Gedeng
Tepasan dari Mahapahit. Pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Mas
Tepasari terjadi pada tahun 1490 M dan dilangsungkan di Demak. Dari
pernikahan tersebut, Sunan Gunung Jati dianugerahi dua orang anak. Pada
tahun 1493 M, Nyi Mas Tepasari melahirkan Ratu Ayu yang kelak menikah
dengan Fatahillah pada tahun 1511 M dan memilliki seorang Putri yang
bernama Nyi Mas Wanawati Raras pada tahun 1525 M. Kemudian, pada tahun
1495 M Nyi Mas Tepasari melahirkan Pangeran Pasarean atau Muhammad
35 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 39.
54
Arifin, dari Pangeran Pasarean inilah yang kelak akan meneruskan raja-raja
Cirebon.36
Pangeran Pasarean menikah dengan Ratu Ayu Wulan atau Ratu Nyawa,
seorang puteri Raden Patah Demak, kemudian menurunkan 6 keturunan, salah
satunya yang bernama Pangeran Pangeran Sawarga atau Dipati Carbon I, dan
Pangeran Dipati Carbon I menikah dengan Nyi Mas Wanawati Raras, putri dari
Ratu Ayu dan Fatahillah. Dari pernikahan ini melahirkan Panembahan Ratu I
(Pangeran Emas Zainul Arifin). Panembahan Ratu I kemudian menikah dengan
Ratu Lampok Angroros, putri dari Sultan Hadiwijaya / Jaka Tingkir. Lalu
menurunkan Pangeran Sedang Gayam atau Dipati Carbon II. Pangeran Dipati
Carbon II menikah dengan putri Mataram, lalu menurunkan Panembahan
Girilaya. Panembahan Girilaya menikah dengan putri Amangkurat I (Raja
Mataram), dari Panembahan Girilaya inilah yang kemudian melahirkan Sultan
Kasepuhan yaitu Pangeran Martawidjaya, selain Pangeran Martawidjaya ada
pula Pangeran Kartawidjaya yang memerintah Keraton Kanoman, dan
Pangeran Wangsakerta.37
Sebelum menjelaskan tentang silsilah raja Keraton Kasepuhan Cirebon,
terlebih dahulu yaitu silsilah Kesultanan Cirebon :
1. Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati/Susuhunan Jati
Purbawisesa/Syekh Maulana Jati)
(bertakhta dari 1479 M – 1568 M)
2. Pangeran Pasarean (Pangeran Muhammad Arifin) (hidup dari 1495 M -
1552 M)
(care taker / wakil / mewakili Sunan Gunung Jati memerintah dari 1528 M
– 1552 M)
3. Fatahillah / Fadilah Khan / Ratu Bagus Pase
36 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 158. 37 Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati : Petuah, Pengaruh dan Jejak-jejak Sang Wali di
Tanah Jawa (Tangerang Selatan: Salima, 2012), hal. 44-48
55
(care taker / wakil / mewakili Sunan Gunung Jati memerintah dari 1552 M
– 1568 M)
4. Pangeran Dipati Carbon I (Pangeran Swarga / Sedang Kamuning)
(hidup 1521 M – 1565 M)
5. Panembahan Ratu I (Pangeran Emas Zainul Arifin)
(bertakhta dari 1568 M – 1649 M)
6. Pangeran Dipati Carbon II ( Pangeran Sedang Gayam)
(-)
7. Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya/Pangeran Karim)
(bertakhta dari 1649 M – 1666 M)38
Pangeran Pasarean dan Fatahillah yang masing-masing mewakili Sunan
Gunung Jati, karena saat itu Sunan Gunung Jati sedang memfokuskan dakwah
dan menyebarkan agama Islam di pedalaman Jawa Barat. Oleh karena itu, pusat
Kerajaan yaitu Keraton Pakungwati, tugas pemerintahan tersebut diwakili oleh
Pangeran Pasarean dan Fatahillah, selagi Sunan Gunung Jati melaksanakan
tugas dakwahnya.
Adapun setelah pembagian Kesultanan Cirebon, Keraton Kasepuhan
dipimpin oleh anak pertama Panembahan Girilaya yang bernama Pangeran
Syamsudin Martawidjaya yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Sepuh I.
1. Sultan Sepuh I Sultan Raja Syamsudin Martawidjaya
(bertakhta dari 1679 M – 16797 M)
2. Sultan II Sultan Raja Tajularipin Djamaludin
(bertakhta dari 1697 M – 1723 M)
3. Sultan Sepuh III Sultan Raja Djaenudin
(bertakhta 1723 M – 1753 M)
4. Sultan Sepuh IV Sultan Raja Amir Sena Muhammad Jaenuddin
(bertakhta dari 1753 M – 1773 M)
5. Sultan Sepuh V Sultan Sepuh Sjafiudin Matangaji
38 Museum Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon
56
(bertakhta dari 1773 M – 1786 M)
6. Sultan Sepuh VI Sultan Sepuh Hasanuddin
(bertakhta dari 1786 M – 1791 M) bertakhta menggantikan saudaranya
Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji
7. Sultan Sepuh VII Sultan Sepuh Djoharudin
(bertakhta dari 1791 M – 1815 M)
8. Sultan Sepuh VIII Sultan Sepuh Radja Udaka (Sultan Sepuh Raja
Syamsudin I)
(bertakhta dari 1815 M – 1845 M) menggantikan saudaranya Sultan Sepuh
VII Sultan Djoharudin
9. Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman (Sultan Sepuh Raja Syamsudin II)
(bertakhta dari 1845 M – 1853 M)
10. Perwalian oleh Pangeran Adiwijaya bergelar (Pangeran Syamsudin IV)
(menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria dari 1853 M – 1871 M)
11. Pangeran Raja Satria (memerintah dari 1872 M – 1875 M) mewarisi takhta
ayahnya Sultan Sepuh IX Sultan radja Sulaeman sebagai putera tertua
Sultan Sepuh IX yang sah, setelah meninggalnya walinya yaitu Pangeran
Adiwijaya sesuai dengan penegasan Residen Belanda untuk Cirebon tahun
1867 M
12. Pangera Raja Jayawikarta (memerintah dari 1875 M – 1880 M)
menggantikan saudaranya Pangeran Raja Satria
13. Sultan Sepuh X Sultan Radja Atmadja Rajaningrat
(bertakhta dari 1880 M – 1885 M) diangkat sebagai Sultan untuk
menggantikan saudaranya itu Pangeran Raja Jayawikarta
14. Perwalian oleh Raden Ayu (Permaisuri Raja) menjadi wali bagi Pangeran
Raja Adi[pati Jamaludin Aluda Tajularifin dari 1885 M – 1899 M
15. Sultan Sepuh XI Sultan Sepuh Radja Jamaludin Aluda Tajularifin
(bertakhta dari 1899 M – 1942 M)
16. Sultan Sepuh XII Sultan Sepuh Radja Radjaningrat
(bertakhta dari 1942 M – 1969 M)
17. Sultan Sepuh XIII pangeran Raja Adipati DR. H. Maulana Pakuningrat, S.H
57
(bertakhta dari 1969 M – 2010 M)
18. Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, SE
(bertakhta dari 2010 – sekarang).39
C. Islam dan Kebudayaan Cirebon di Keraton Kasepuhan Cirebon
Cirebon adalah salah satu kota pelabuhan yang terdapat di daerah Jawa
Barat, secara geografis Kota Cirebon sangat strategis. Kota Pelabuhan ini
terletak di lokasi yang berbentuk teluk sehingga terlindung dari gangguan alam
berupa gelombang air laut. Lokasi pelabuhan ini terletak di bagian tengah dan
letaknya cukup jauh dari pelabuhan besar lainnya yang ada di pesisir utara Jawa
seperti Pelabuhan Jepara, Tuban, dan Surabaya, serta Pelabuhan Kelapa
(Jayakarta) dan Banten. Sehingga tidak aneh apabila Kota Pelabuhan Cirebon
merupakan mata rantai dalam jalur perdagangan di Kepulauan Nusantara dan
Perairan Asia.40
Melalui jalan perniagaan ini, di samping mengalir secara
berkesinambungan kegiatan ekonomi berupa tukar menukar barang dagangan,
mengalir pula arus kebudayaan termasuk arus keagamaan. Oleh sebab itu
Cirebon sebagai pelabuhan yang terletak di tepi jalan perdagangan itu
memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam di
Nusantara, khususnya Jawa Barat.41
Masuknya agama dan Kebudayaan Islam yang di bawa para pedagang,
membawa pengaruh terhadap satu susunan pusat kota pelabuhan yang bercorak
Islam. Susunan pusat kota kerajaan Cirebon yang bercorak Islam, terdiri atas
alun-alun yang terletak di tengah kota. Alun-alun ini dikelilingi oleh bangunan-
bangunan yaitu bangunan keraton dan tempat tinggal para pejabat atau para
39 https://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Kasepuhan diakses pada tanggal 10 Mei 2018
40 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 71. 41 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 71.
58
bangsawan terletak di sebelah selatan alun-alun dan menghadap ke utara. Di
sebelah barat alun-alun terdapat bangunan masjid dan pasar yang terletak di
sebelah timur alun-alun.42
Ciri utama dari kota Kerajaan bercorak Islam yang terletak di sebelah
barat alun-alun, selain berfungsi sebagai tempat beribadah ritual keagamaan
bagi umat Islam juga sebagai tempat penyiaran atau dakwah agama Islam.
Pembuatan masjid sebagai ciri kota bercorak Islam, sudah dimulai sejak awal
berdirinya Kota Cirebon, yaitu dengan dibangunnya Tajug Jalagrahan oleh
Pangeran Cakrabuana. Setelahnya Sunan Gunung Jati juga membangun Masjid
Agung Sang Cipta Rasa sebagai pusat kegiatan ajaran agama Islam.
Islam dalam konteks sejarah pembentukan Cirebon memiliki peran
yang sangat penting. Ketika penduduk Cirebon memutuskan diri untuk
menganut Islam, maka sejak saat itu mulai menampilkan diri dengan identitas
baru sebagai Muslim. Proses Islamisasi ini dalam pandangan Azra yang
mengutip dari A.D Nock adalah suatu konversi, yaitu perpindahan seseorang
atau komunitas dari suatu keyakinan lama ke keyakinan baru dengan komitmen
untuk menjalankan semua ajaran-ajaran agama baru tersebut dengan sungguh-
sungguh. Secara personal, konversi terjadi ketika seseorang atau komunitas
mengubah keyakinannya baik secara sukarela maupun terpaksa. Dengan
perubahan itu, ia seperti menyatakan diri untuk sepenuhnya menjalankan
kehidupan yang baru dan berbeda dengan kehidupan sebelumnya.43
Namun melihat definisi tersebut dalam pandangan Azra tidak cukup
untuk menjelaskan fenomena masuknya Islam yang ada di Indonesia
khususnya di Cirebon. Kenyataan bahwa masih banyaknya unsur sebelum
Islam yang bercampur dengan keyakinan Islam pribumi menunjukkan bahwa
mereka belum konversi sepenuhnya dalam menjalankan ajaran Islam. Untuk
42 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 72. 43 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 170.
59
itu, Azra merujuk pada konsep lain yang juga diajukan oleh Nock yaitu yang
disebut dengan adhesion. Konsep ini menjelaskan tentang mereka yang
memeluk agama baru tanpa melepaskan ajaran dan praktek agama yang dianut
sebelumnya. Artinya, konsep adhesi ini mengindikasikan bahwa agama baru
tidak berperan dalam pembentukan karakter atau identitas baru tetapi hanya
menambah dimensi lain yang selama ini sudah diyakini dan diamalkan.44
Senada dengan Azra tetapi dengan tetap menggunakan istilah konversi,
Norris mengatakan bahwa “konversi melibatkan tidak saja proses adopsi
sekumpulan ide tetapi juga perpindahan ke dan dari pandangan dunia dan
identitas yang sudah melekat sebelumnya”. Pandangan ini didasarkan pada satu
argumentasi bahwa segala macam, bentuk dan simbol agama dan juga tata cara
pelaksanaan ajarannya itu berkembang sesuai dalam pusaran konteks sejarah
tertentu. Dengan kata lain, pemaknaan atas ajaran, bahasa, dan praktek agama
yang baru itu akan banyak disesuaikan dengan pengalaman yang telah ada.45
Dalam konteks Cirebon sendiri, sebagaimana yang digambarkan
Azyumardi Azra, teori konversi ala Nock sulit menjelaskan tentang pola
Islamisasi di Cirebon. Masih banyaknya nilai dan tradisi pra-Islam yang
berkembang di masyarakat Cirebon, bahkan hingga kini, menunjukkan bahwa
apa yang terjadi di Cirebon bukanlah konversi tetapi adhesi. Hal itu misalnya
terlihat pada tradisi Panjang Jimat yang dilaksanakan dalam rangka
menyambut lahirnya Nabi Muhammad SAW. Dari sisi nama, Panjang yang
berarti piring dan Jimat adalah suatu yang disakralkan. Ritual ini mengambil
bentuk prosesi iringan berbagai benda pusaka (khususnya piring) yang ada di
keraton Kasepuhan. Proses ini merupakan puncak dari berbagai rangkaian
ritual sebelumnya seperti Upacara Pelal Alit, Mios Lamaran dan Pelal Ageng.
Bahkan sebelum pelaksanaan upacara tersebut, para anggota keluarga keraton
sejak beberapa bulan sebelumnya juga telah melakukan beberapa ritual mulai
44 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 171-172. 45 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 172.
60
Ngalus, Ngerik, Damel Lilin hingga Deres Sekaten. Melihat tradisi ritual
tersebut terlihat bagaimana percampuran antara tradisi Islam yaitu Maulud
Nabi dengan berbagai ritual lokal.46
Meskipun dari sisi nilai dan tradisi Islam di Cirebon lebih nampak
sebagai adhesi daripada konversi, Islam tetap telah menjadi landasan bagi
pembentukan identitas Cirebon. Kasus-kasus di beberapa wilayah di Nusantara
seperti Jawa, Islamisasi tidak banyak berperan dalam pembentukan suatu
peradaban baru di wilayah baru tersebut tetapi lebih menambah dimensi lain
saja.47 Hal ini tak terlepas dari proses Islamisasi yang dilakukan Sunan Gunung
Jati atau anggota walisongo yang lain yang mana mengadopsi kesenian sebagai
media dakwahnya.
Dalam proses Islamisasi di Jawa pada umumnya dan Cirebon pada
khususnya, para wali memanfaatkan seni sebagai sarana dakwahnya. Seni
merupakan sarana berkreasi dan hiburan dari zaman ke zaman. Di Pulau Jawa
telah berkembang berbagai kesenian dalam masyarakatnya, seni rupa, seni
sastra, maupun seni tembang. Namun Wali Songo hanya mengembangkan seni
sastra dan seni tembang. Di tangan Wali Songo yang salah satunya Sunan
Gunung Jati di Cirebon, seni sastra dan tembang maju pesat dan berubah
menjadi media informasi dan sosialisasi Islam. Wali Songo menjadikan seni
menjadi bermartabat dan terhormat, tidak lagi menjadi konsumsi orang-orang
bejat dan para pemabuk. Beberapa kesenian yang dijadikan media Islamisasi
di Cirebon diantaranya : Brai (Gembyung), Gamelan Sekaten, Wayang, dan
Topeng.48
Percampuran budaya juga terjadi pada kompleks keraton. Pada
umumnya peninggalan seni bangunan Kesultanan Cirebon, meniru seni
46 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 181. 47 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 189. 48 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 113.
61
bangunan yang berkembang pada masa Majapahit (Jawa Timur). Namun
demikian persamaan seni bangunan Cirebon dengan Majapahit bukan peniruan
semata, melainkan dipengaruhi atau dilatarbelakangi alam pikiran lama yang
hidup dan berkembang pada masa pra-Islam yang mendapat dukungan
Kesultanan Cirebon.49
Adanya kepercayaan alam pikiran pada masa pra-Islam yaitu tentang
kesejajaran antara alam semesta dan alam manusia. Kosmo magis yang
bersumber pada ajaran kosmologis Hindu dan Budha. Sebagai gambaran atau
cerminan alam semesta menurut kepercayaan itu, bahwa Keraton beserta
seluruh isinya dianggap sebagai replika atau tiruan alam semesta, contohnya
raja yang bersemayam di istana disamakan dengan dewa yang bersemayam di
puncak Mahameru. Salah satu pengejawantahan kepercayaan peniruan kosmos
Mahameru melalui seni bangunan yang paling menonjol adalah bangunan
candi, dengan demikian penggambaran gunung merupakan satu motif yang
mewisesa dalam seni bangunan Jawa Hindu.50
Meskipun ajaran Islam tidak mengenal paham kosmo magis,
Kesultanan Cirebon tetap mempertahankan dan melanjutkan paham tersebut
melalui motif gunung dalam seni bangunan Keraton. Sebagai contoh adalah
bangunan gapura bentar yang ada di kompleks Keraton Kasepuhan dan
kompleks bangunan Sunyaragi, yang disamakan dengan gapura “Wringin
Lawang Mojokerto” (Majapahit). Sebagaimana diketahui bahwa gapura bentar
merupakan satu ragam gerbang yang memiliki pola dasar bentuk candi, oleh
sebab itu sering disebut pula sebagai gerbang gunung.51
Satu ciri penting lainnya yang juga dianggap sebagai kesinambungan
alam pikiran Jawa Hindu yang berpengaruh atau mengilhami perkembangan
49 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 76. 50 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 76. 51 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 77.
62
seni bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon (dulu Kesultanan Cirebon) adalah
pembuatan bukit dan kolam buatan dengan suatu gugusan bangunan yang
terletak di tangannya. Di Keraton Kasepuhan Cirebon, terdapat empat buah
bukit buatan yang disebut gunung yaitu, Gunung Indrakila, Gunung Semar,
Gunung Srindil, dan Gunung Jati. Aspek lainnya adalah tata letak bangunan
Kompleks Keraton ke dalam tiga bagian. Kontur permukaan dan pelataran
kompleks dibuat semakin meninggi ke belakang, yaitu menunjukkan derajat
kesucian dan merupakan bagian paling suci, karena bagian ini merupakan
tempat bersemayam raja beserta seluruh keluarganya.52
Adapula kompleks bangunan Siti Inggil yang berada di Keraton
Kasepuhan. Secara harfiah Siti Inggil mempunyai arti Siti = tanah, Inggil =
tinggi, jadi artinya tanah yang tinggi. Sebelum memasuki Siti Inggil setiap
orang harus memasuki sebuah gapura yang terdapat sebuah gambar banteng,
sebagai candra sengkala yang menunjukkan tahun pembuatan. Pada kompleks
Siti Inggil terdapat beberapa buah bangunan yang umumnya tidak berdinding
antara lain : Bangunan Pendawa Lima yang bertiang lima, Semar Kenandu,
Malang Semirang, Mande Karesmen, dan Mande Pengiring. Selain bangunan
tersebut di atas, adapula terdapat lingga dan yoni yang melambangkan laki-laki
dan perempuan dan lambang berdirinya sebuah kerajaan.53
Selain itu Keraton Kasepuhan juga memiliki Kereta Singa Barong.
Kereta ini merupakan kereta pusaka yang dibuat pada tahun 1549 Masehi atas
prakarsa dari Panembahan Pakungwati. Arsitek yang menggambar kereta ini
adalah Pangeran Losari dengan mengambil pola lukisan makhluk, sedangkan
yang membuatnya dipercayakan kepada Ki Nataguna dari Desa Kaliwulu.
Kereta Singa Barong melambangkan persahabatan tiga bangsa atau
kepercayaan, yaitu tandung liong mengisyaratkan persembahan kepercayaan
Budha China, belalai melambangkan Hindu India, sedangkan sayap dan Burok
52 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 77. 53 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 89.
63
melambangkan kepercayaan agama Islam. Bersatunya ketiga kepercayaan
tersebut mewujudkan dengan trisula yang terdapat di atas belalai, tri-tiga, sula-
tajam, artinya tiga data pikiran manusia cipta, rasa, karsa.54
D. Pembagian Waris di Keraton Kasepuhan Cirebon
Pada dasarnya, kewarisan yang ada di keraton Kasepuhan Cirebon sama
dengan kewarisan yang ada dalam syariat Islam, karena keraton ini dulu
merupakan pusat syiar Islam, jadi nilai-nilai yang ada juga berdasarkan syariat
Islam.55 Namun, ada beberapa perbedaan dan ada yang kemudian menjadi ciri
khas dari pembagian waris di keraton ini, yaitu sebagai berikut :
1. Harta Warisan
Dalam pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon, terdapat
beberapa perbedaan yang menyangkut soal harta warisan. Harta warisan ini
dibagi dalam dua macam, yaitu (1) harta yang bisa diwariskan kepada ahli
waris, (2) harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris. Pembagian
harta waris tersebut mengacu pada dua pembagian kewarisan yang ada di
Keraton Kasepuhan Cirebon. Yaitu (1) Warisan secara pribadi dan (2)
Warisan Kesultanan.56 Warisan pribadi yaitu berupa harta atau kekayaan
pribadi Sultan yang bisa diwariskan kepada anak-anak nya atau isterinya
sebagai ahli waris. Harta warisan yang dapat dibagikan tersebut bisa berupa
kekayaan pribadi, mobil, tanah, dll. Adapun tentang warisan kesultanan,
yaitu berupa takhta, wilayah kesultanan, bangunan kesultanan, pusaka,
asset-asset kesultanan dll, hanya diserahkan kepada sultan berikutnya dan
menjadi hak turun temurun Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon.57
Karena sifatnya sebagai hak turun temurun tersebut, maka wilayah
kesultanan, bangunan kesultanan, pusaka, asset-asset kesultanan dll, tidak
54 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998), hal. 86 55 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 56 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 57 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.
64
bisa dibagi waris kepada ahli waris sultan, kecuali ahli waris tersebut telah
dinobatkan menjadi sultan berikutnya dan tetap menjadi hak turun temurun
sultan. Inilah yang menjadi ciri khas pembagian waris di Keraton
Kasepuhan Cirebon.
2. Waktu Pelaksanaan Pembagian Waris
Dalam hal waktu pelaksanaan pembagian warisan dalam ruang lingkup
Keraton Kasepuhan Cirebon, pada dasarnya sesuai dengan syariat Islam,
yaitu dibagikan setelah si pewaris meninggal dunia.58 Namun ada juga
keluarga dalam lingkungan Magersari yang membagikan warisannya
sebelum pewaris meninggal dunia.59
3. Hukum Tertulis Sebagai Penguat Pembagian Waris
Hukum tertulis di sini yaitu berupa surat resmi yang dikeluarkan oleh
keraton dalam hal pengangkatan sebagai putera mahkota sekaligus ahli
waris yang sah untuk menggantikan sultan sebelumnya.60 Surat resmi
tersebut merupakan sebagai bukti penguat bahwa sultan yang diangkat
tersebut mewarisi keraton dan seluruh kekayaan keraton sebagai hak turun
temurun dari sultan sebelumnya. Sedangkan dalam pembagian warisan
secara pribadi, dalam lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon, khususnya
dalam lingkup magersari, jika sudah ada keputusan dari keluarga yang
bermusyawarah terkait pembagian waris, kemudian hasilnya akan
dilaporkan ke Sultan dan setelah itu dibuatkan suatu hukum tertulis oleh
Sultan atau lembaga kesultanan sebagai bukti penguat. Bukti penguat ini
atau hukum tertulis inilah yang kemudian akan menjadi pedoman yang
harus ditaati oleh semua pihak dalam satu keluarga tersebut.61
58 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 59 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017. 60 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 61 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017.
65
4. Ahli Waris dan bagiannya
Keraton Kasepuhan Cirebon dalam kaitannya dengan ahli waris,
terdapat dua macam kewarisan. Yaitu ahli waris yang menduduki takhta,
dan ahli waris yang berkaitan dengan faraidh. Ahli waris takhta, yaitu orang
yang secara tradisi/adat berhak menjadi sultan setelah sultan yang sedang
menjabat meninggal dunia. Kewarisan takhta ini, secara tradisi atau turun
temurun, diwariskan kepada anak laki-laki tertua sultan, jika tidak ada maka
akan diserahkan ke adik sultan yang laki-laki, dan jika tidak ada lagi, maka
takhta kesultanan diserahkan ke paman sultan.62 Masa jabatan sultan berlaku
seumur hidup.63
Kemudian ahli waris yang berkaitan dengan faraidh, dalam sistem
pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon, secara garis besar sama
saja dengan hukum Islam atau syariat Islam.64 Di mana kekayaan pribadi
sultan atau orang yang tinggal di lingkungan keraton tersebut, dapat
diwariskan kepada putra-putri mereka sesuai dengan waris Islam.65
62 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017. 63 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 64 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017. 65 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018.
66
BAB IV
SISTEM PEMBAGIAN WARIS di KERATON KASEPUHAN CIREBON
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
Secara umum, Kesultanan Cirebon yang kemudian diteruskan saat ini
oleh Keraton Kasepuhan Cirebon, yang sejak dahulu didirikan untuk pusat
syiar Islam, maka dari itu penerapan-penerapan hukum tertutama dalam hal
hukum privat, juga berdasarkan syariat Islam. Hal ini mulai dari masa Sunan
Gunung Jati, seperti ketika beliau menghukum puteranya Pangeran
Jayakelana, ada semacam diat yang dibayarkan, dan itu mengacu kepada
Syariat Islam, termasuk dalam jual beli menggunakan dinar dirham pada saat
itu. Karena pusat syiar Islam itulah maka titik pangkalnya juga berdasarkan
syariat Islam. Jadi pada dasarnya prinsip-prinsip itu tidak jauh berbeda,
termasuk dalam hal ini menyangkut tentang kewarisan / Faraidh, yang mana
masuk dalam tataran hukum keluarga, maka tidak boleh menyimpang, karena
nilai dasarnya adalah berdasarkan syariat Islam.1
Karena pada dasarnya Sunan Gunung Jati tidak mengajarkan apa yang
bertentangan dengan syariat Islam, apa yang berlaku di syariat Islam dalam
hal waris, juga berlaku di keraton. Seperti pembagian faraidh/waris pada
umumnya. Namun yang membedakan adalah ada suatu kekhasan tersendiri
yang memang sudah melekat di dalam keraton Kasepuhan sejak dahulu. Dan
menjadi aturan adat yang terus diwariskan dari generasi pertama Sultan
Sepuh I sampai Sultan Sepuh XIV yang sekarang.2
Pembahasan menyangkut tentang kekhasan tersebut ialah yaitu
tentang hak turun temurun sultan. Hak turun temurun tersebut berupa takhta,
bangunan kesultanan, tanah kesultanan, wilayah kesultanan, pusaka. asset-
asset kesultanan dan lain lain, hanya diwariskan kepada sultan berikutnya.3
1 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 2 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 3 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.
67
Karena sifatnya sebagai hak turun temurun, maka keraton tidak bisa dimiliki
secara pribadi oleh siapapun dan tidak bisa dibagi-bagikan4, karena sebagai
hak turun temurun, bukan sebagai hak milik pribadi. Maka atas dasar itulah,
kewarisan di Keraton Kasepuhan Cirebon juga dipengaruhi oleh aturan adat
atau papakem yang berlaku secara turun temurun. Untuk menganalisis hal
tersebut penyusun merasa perlu melengkapi penelitian ini dengan kaidah-
kaidah Fiqh ataupun dari Ushul Fiqh sebagai pembentukan hukum kewarisan
Islam terkait dengan sistem kewarisan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Seperti dalam salah satu kaidah Fiqh berbunyi :
العادت محكمة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”5
Kaidah di atas, menjelaskan tentang peran adat pada suatu masyarakat
dapat menentukan sebuah hukum, di samping pengaruh tempat dan zaman
masyarakat tersebut.
Sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan telah mereka jalani,
maka hal itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai dengan
kemaslahatan mereka, oleh karena itu sepanjang ia tidak bertentangan dengan
syara’, maka wajib diperhatikan.6
Maka dari itu, ulama juga membagi adat kebiasaan ini dalam dua
bentuk yaitu, al-‘adah al-shahihah (adat yang shahih, baik, benar), dan al-
‘adah al-fasidah (adat yang mafsadat, salah, rusak).7 Maka dasar penetapan
hukum berdasarkan adat ini hanya mengacu kepada al-‘adah al-shahihah,
4 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 5 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. 2, hal. 78 6 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa oleh: H. Moh. Zuhri dan Ahmad
Qarib, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), hlm. 124 7 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. 2, hal. 79
68
bukan al-‘adah fasidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan
apabila:
1. al-‘adah yang bertentangan dengan nash baik al-Qur’an maupun Hadis,
seperti : kebiasaan judi, menyabung ayam, memperjual belikan daging
babi dsb.
2. al-‘adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan
kemaslahan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau
kesukaran, seperti : memboroskan harta, hura-hura dalam acara perayaan,
memaksakan dalam menjual dsb
3. al-‘adah berlaku pada umumnya di kaum muslimin, dalam arti bukan
hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan
oleh beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.8
Dasar hukum kaidah ini ada dalam Al-Qur’an :
9
“jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
.... .... 10
“dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf.”
Sedangkan ‘Urf (العرف), secara etimologi berarti “yang baik”. Para
ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas
kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat
didefinisikan dengan : “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang
tanpa adanya hubungan rasional”. Sedangkan ‘Urf didefnisikan sebagai :
“kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan”.
Berdasarkan definisi ini, Musthafa Ahmad al-Zarqa’, mengatakan bahwa ‘urf
8 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. 2, hal. 83-84 9 Q.S Al-A’raaf ayat 199. 10 Q.S Al-Baqarah ayat 228.
69
merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf,
menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan
pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami
sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu
pemikiran dan pengalaman.11
Secara istilah ‘Urf didefinisikan dengan :
ا ة من أهل قطر اسل مي بشرط ان ال يخالف ن سلي و الطبا ع الذ ما يعتاد النا س ص
شرعيا .
“Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik
serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan nash dan syara”12
Seperti adat, ‘Urf jika ditinjau dari segi keabsahan atau diterimanya
dari pandangan syara’, terbagi atas :
1. Al-‘Urf Al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat al-Qur’an atau
hadis). Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan
hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas
kawin.
2. Al-‘Urf Al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya,
kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba,
seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. dan lain sebagainya.13
Para ulama menyatakan bahwa suatu ‘urf atau adat, baru dapat
dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’, apabila
memenuhi syarat sebagai berikut :
11 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Pamulang Timur: Logos Publishing House, 1996), hal.
137-139 12 A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih : Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka
Setia, 2006), Cet. 4, hal. 85. 13 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Pamulang Timur: Logos Publishing House, 1996), hal.
141
70
1. Adat / kebiasaan itu bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat.
2. Adat / kebiasaan itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang
yang berada dalam lingkungan adat itu, atau sebagian besar warganya.
3. Adat yang dijadikan sandaran dalam penetapan itu telah ada (berlaku)
pada saat itu, bukan adat yang muncul kemudian.
4. Adat / kebiasaan yang tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang
ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.14
Maka berangkat dari permasalahan waris di atas yaitu yang
menyangkut tentang hak turun temurun sultan, kedudukan adat/’urf dalam
bangunan hukum Islam menjadi salah satu bahan untuk menetapkan hukum
Islam disamping Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan pokoknya.
A. Harta Warisan
Harta warisan dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli
warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dan
harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si
mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya,
sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’
berhak diterima oleh ahli warisnya.15
Dalam Hukum Kewarisan, harta peninggalan baru bisa diwariskan
apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Harta tersebut adalah milik dari pewaris secara sempurna. Dalam artian dia
memiliki sepenuhnya baik materi bendanya dan juga manfaatnya. Jika dia
tidak memiliki materi bendanya dan tidak pula manfaatnya, seperti hal nya
barang titipan, atau yang berupa manfaatnya saja seperti barang pinjaman,
atau sewaan, maka tidak dapat menjadi harta warisan. Begitu pula dengan
harta serikat atau harta bersama yang sama-sama dimiliki oleh dia sendiri
14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2 (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 400-402. 15 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 215.
71
dan juga orang lain, maka harus dibagi terlebih dahulu baru kemudian bisa
menjadi harta warisan.
2. Harta tersebut telah murni dan terlepas dari tersangkutnya hak orang lain
di dalamnya. Untuk maksud memurnikan dan melepaskan ketersangkutan
hak lain di dalamnya, seperti biaya penyelenggaraan jenazah dari pewaris,
dari meninggalnya si pewaris sampai pemakamannya atau setelah
pemakamannya. Dan utang-utang yang belum dilunasi pewaris sewaktu
hidupnya, seperti utang kepada Allah, berupa zakat dll. Atau utang kepada
manusia.
3. Wasiat-wasiat yang telah dilakukan oleh pewaris semasa hidupnya dalam
batas yang tidak melebihi sepertiga dari harta yang tinggal setelah biaya
jenazah dan utang-utang.16
Dalam sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan sendiri, harta
warisan terbagi dalam dua macam. 1) Harta waris yang bisa diwariskan
kepada ahli warisnya, 2) Harta waris yang tidak bisa diwariskan kepada ahli
warisnya. Pembagian harta waris tersebut mengacu pada dua pembagian
kewarisan yang ada di Keraton Kasepuhan Cirebon. Yaitu (1) Warisan secara
pribadi dan (2) Warisan Kesultanan.17
1. Harta waris yang bisa diwariskan kepada ahli waris dalam lingkup Keraton
Kasepuhan Cirebon.
Harta waris yang bisa diwariskan kepada ahli waris yaitu mengacu
pada warisan pribadi, yaitu berupa harta atau kekayaan pribadi Sultan baik
berupa harta bergerak maupun harta yang tidak bergerak dan harta tersebut
murni milik pribadi, harta inilah yang bisa diwariskan kepada anak-
anaknya atau isterinya sebagai ahli waris. Harta warisan yang dapat
dibagikan tersebut bisa berupa, mobil, tanah, perhiasan dan lain-lain.
2. Harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris
16 Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 154. 17 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.
72
Harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris yaitu mengacu
pada warisan kesultanan. Warisan kesultanan yaitu berupa takhta, wilayah
kesultanan, bangunan kesultanan, pusaka, asset-asset kesultanan dan lain-
lain, hanya diserahkan kepada sultan berikutnya18 dan menjadi hak turun
temurun Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon. Karena sifatnya
sebagai hak turun temurun tersebut, maka wilayah kesultanan, bangunan
kesultanan, pusaka, asset-asset kesultanan dan lain-lain, tidak bisa
diwariskan kepada ahli waris sultan, kecuali ahli waris tersebut telah
dinobatkan menjadi sultan berikutnya dan tetap menjadi hak turun
temurun sultan.
Hak turun temurun ini merupakan hak lembaga keraton yang
dimiliki oleh Sultan Sepuh yang sedang menjabat, siapa pun Sultan
Sepuhnya. Apa yang dinyatakan milik keraton, juga milik Sultan Sepuh,
karena Sultan Sepuh merupakan pimpinan tertinggi lembaga tersebut.
Namun walaupun begitu, Sultan sebagai pimpinan tertinggi, juga tidak
bisa begitu saja mewariskan keraton dan kekayaan keraton yang ada di
dalamnya kepada anak-anak Sultan. Karena berlaku hak turun temurun,
yang sejak dahulu sudah dilaksanakan sejak dahulu. Karena jika bisa
diwariskan, maka keraton beserta kekayaan keraton akan habis sejak
dulu.19 Oleh karena itulah, hak turun temurun ini selalu dijaga dari
generasi ke generasi sehingga lestari sampai dengan sekarang. Inilah yang
disebut sebagai harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa harta warisan dapat
dibagi jika harta tersebut dimiliki secara sempurna, baik dari segi materi
maupun manfaatnya, dan juga terlepas dari hak-hak yang menyangkut di
dalamnya, seperti utang-utang, biaya pengurusan jenazah, dan juga wasiat
dari pewaris.20 Jika syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi, maka harta
warisan sudah bisa dibagikan kepada ahli waris. Maka dalam konteks
18 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 19 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 20 Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 154.
73
keraton, seperti pada poin kesatu sistem pembagian harta warisan di Keraton
Kasepuhan Cirebon, harta pribadi yang dapat diwariskan oleh Sultan kepada
ahli warisnya, secara Kewarisan Islam bisa dibagikan setelah terpenuhinya
syarat-syarat yang tersebut di atas. Artinya secara Hukum Islam sudah sesuai
jika syarat-syarat yang telah tersebut di atas telah terpenuhi.
Hal ini seperti yang telah dinyatakan dalam Q.S an-Nisaa ayat 33 :
“bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-
orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah
kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.”
Tetapi mengenai harta peninggalan ini, atau apa-apa yang
ditinggalkan oleh si pewaris harus diartikan sedemikian luas agar dapat
mencakup kepada :
a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
Misalnya : benda bergerak, benda tidak bergerak, piutang-piutang si
pewaris, surat-surat berharga, diyat, dan lain-lain yang dipandang sebagai
miliknya.
b. Hak-hak kebendaan
Termasuk kelompok ini hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan
raya, sumber air minum, dan lain-lain
c. Benda-benda yang berada di tangan orang lain.
Misalnya, barang gadaian, dan barang-barang yang sudah dibeli dari
orang lain, tetapi belum diserahterimakan kepada orang yang sudah
meninggal.
74
d. Hak-hak yang bukan kebendaan. Misalnya, hak syuf’ah, yaitu hak beli
yang diutamakan bagi tetangga/serikat, dan memanfaatkan barang yang
diwariskan atau diwakafkan.21
Dari penjelasan di atas dan juga dari definisi sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa, harta warisan merupakan harta netto (harta bersih),
setelah dipotong biaya-biaya keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, biaya pembayaran utang, dan
pembayaran wasiat si pewaris. Dan harta warisan itu dapat berbentuk harta
benda milik pewaris dan hak-haknya.22
Hal ini seperti yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam, pada pasal
171 huruf e menyebutkan bahwa : “Harta warisan adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.23
Mengenai poin kedua pada harta warisan yang ada dalam lingkup
Keraton Kasepuhan Cirebon, yaitu mengenai hak turun temurun sultan,
hukum kewarisan Islam sendiri tidak mengenal apa itu hak turun temurun
dalam hal harta warisan, di mana harta tersebut tidak bisa diwariskan secara
penuh oleh siapa pun termasuk Sultan Sepuh yang sedang menjabat. Karena
harta tersebut merupakan bagian dari hak turun temurun keraton, dan hukum
adat yang menyangkut di dalamnya. Dan secara hukum kewarisan Islam,
harta tersebut bukan merupakan tirkah atau harta yang ditinggalkan pewaris.
Akan tetapi, hak turun temurun tersebut dapat disinonimkan dengan
hak yang bersangkutan dengan orang lain, dan bukan sebagai hak milik
pribadi Sultan, tetapi hak bersama, untuk dapat digunakan bersama-sama.
21 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT RajaGrafindo Persada,
2015), hal. 25-26. 22 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2015), hal. 25-26. 23 Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam. (Departemen Agama RI Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998), hal. 133
75
Hak turun temurun ini hanya dimiliki oleh lembaga keraton/kesultanan.24
Sultan hanya diserahkan mandat. Maka dari itu, hak turun temurun yang
dalam hal ini adalah keraton, wilayah kesultanan, bangunan kesultanan, tanah
kesultanan, dan asset-asset kesultanan tidak dapat diwariskan berdasarkan
ketentuan hukum Islam. Karena hal ini menyangkut dengan adat atau
kebiasaan setempat yang sudah berlaku sejak dahulu dan dilaksanakan secara
turun temurun.
Hak turun temurun ini juga untuk menjaga agar Keraton Kasepuhan
Cirebon tetap lestari sampai dengan sekarang. Karena jika keraton dapat
dibagi-bagi, maka nanti nya akan habis, dan sudah tidak ada lagi keraton
tersebut.25
Maka dalam hal ini seperti kaidah fiqh yang tertera dalam pembahasan
sebelumnya yang menyatakan bahwa “adat kebiasaan dapat dijadikan
(pertimbangan) hukum”26 Di mana peran adat pada suatu masyarakat dapat
menentukan sebuah hukum, di samping pengaruh tempat dan zaman
masyarakat tersebut. Adat kebiasaan atau ‘Urf dalam hal kewarisan di keraton
Kasepuhan Cirebon ini, selama hal tersebut bernilai maslahat, dan juga tidak
bertentangan dengan nash Al-Qur’an ataupun hadits, dan juga hukum syara’,
maka adat atau ‘urf tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu dasar
penetapan hukum.27
B. Waktu Pelaksanaan pembagian Waris
Dalam hal waktu pelaksanaan pembagian warisan dalam ruang
lingkup Keraton Kasepuhan Cirebon, pada dasarnya sesuai dengan syariat
Islam, yaitu dibagikan setelah si pewaris meninggal dunia.28 Namun ada juga
24 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 25 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 26 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. 2, hal.78. 27 Amir Syariduddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 400-402. 28 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.
76
keluarga dalam lingkungan Magersari yang membagikan warisannya
sebelum pewaris meninggal dunia.29
Ilmu Faraidh atau ilmu waris secara definisi ialah ilmu yang mengatur
peralihan harta yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup
berdasarkan ketentuan syariat Islam.30 Dari definisi tersebut, maka pembagian
waris baru berlaku setelah si pewaris meninggal dunia. Tetapi secara empiris,
tidak semua pihak/orang membagikan warisan setelah si pewaris meninggal,
akan tetapi warisan tersebut dibagi sebelum si pewaris meninggal dunia,
seperti yang terjadi dalam lingkungan magersari di Keraton Kasepuhan
Cirebon. Menurut pak Elang Haryanto, hal ini untuk menghindari
perselisihan antar anggota keluarga dalam hal pembagian waris.31
Dalam hukum Islam sendiri, menetapkan bahwa peralihan harta
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya
berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Hal ini sesuai
dengan asas semata akibat kematian. Asas ini berarti bahwa seseorang tidak
dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai
harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta
seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah
ia meninggal, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum
Islam.32
Dengan demikian Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu
bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau yang dalam
Hukum Perdata BW (Burgelijk Wetboek) disebut dengan kewarisan ab
29 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017. 30 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2015), hal. 3. 31 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017. 32 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
28.
77
intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada
waktu masih hidup yang disebut kewarisan bij testament.33
Dalam rukun kewarisan sendiri, yang membahas tentang ketentuan si
Pewaris atau muwarits, berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan
miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik
menurut kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarits ini menurut
ulama fiqh dibedakan menjadi tiga macam, yaitu mati haqiqy (sejati), mati
hukmy (berdasarkan keputusan hakim), dan mati taqdiry (menurut dugaan).34
Sebab syarat yang harus terpenuhi berkenaan dengan pewaris ini adalah
“telah jelas matinya”. Dengan demikian telah memenuhi prinsip kewarisan
akibat kematian yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli waris
setelah kematiannya.35
Berdasarkan ketentuan di atas, diketahui bahwa peralihan harta dari
pewaris ke ahli warisnya baru berlaku setelah si pewaris meninggal dunia.
Tetapi dalam Hukum Islam juga terdapat beberapa macam proses peralihan
harta selain kewarisan. Yaitu tentang wasiat dan juga hibah. Pembahasan
mengenai wasiat dan hibah dapat dijelaskan sebagai berikut:
Wasiat, ulama fiqh mendefinisikan wasiat dengan “Penyerahan harta
secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang
tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun berbentuk manfaat”.36
Dalam Kompilasi Hukum Islam sendiri, wasiat ialah pemberian suatu benda
dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia.37
33 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
28. 34 Moh. Muhibbin, Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 60. 35 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group. 2008), h.
206. 36 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2015), hal. 107. 37 Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam
78
Adapun rukun (unsur) wasiat yaitu, pewasiat (al-mushi), penerima
wasiat, harta yang diwasiatkan, dan redaksi (sighat) wasiat. Mengenai
penerima wasiat, terdapat beberapa syarat yaitu, 1) dia bukan ahli waris yang
memberikan wasiat, 2) orang yang diberi wasiat ada pada saat pemberi wasiat
wafat, dan 3) penerima wasiat tidak membunuh orang yang memberi wasiat.38
Menurut Kompilasi Hukum Islam, wasiat kepada ahli waris hanya berlaku
bila disetujui oleh semua ahli waris, yang dibuat secara lisan di hadapan dua
orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.39
Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw :
ان هللا قد اعطى كل ذى حق حقه وال وصية لوارث )رواه النساءى(40
”Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang-orang
yang mempunyai hak, untuk itu tidak ada wasiat bagi ahli waris”(HR. Al-
Nasa’iy).
Kemudian dalam wasiat, mengai harta yang diwasiatkan tidak boleh
melebihi sepertiga dari harta peninggalan/warisan, kecuali apabila semua ahli
waris menyetujuinya.41
Hibah, secara istilah hibah ialah suatu pemberian yang bersifat
sukarela, tanpa mengharapkan adanya kontraprestasi dari pihak penerima
hibah, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup.
Hibah ini merupakan akad tabarru’, yaitu akad yang dibuat tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan (non profit), melainkan ditujukan kepada orang
lain secara cuma-cuma.42 Dalam Kompilasi Hukum Islam, hibah ialah
38 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2015), hal. 113. 39 Pasal 195 ayat (3 dan 4) Kompilasi Hukum Islam 40 Jalaludin Al-Syuyuti, Syarh Sunan Nasa’i, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), hlm. 262 41 Pasal 195 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam 42 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2015), hal. 125.
79
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.43
Ketentuan mengenai penerima hibah, tidak disyaratkan harus sudah
dewasa dan berakal sehat, syarat utamanya adalah penerima hibah atau orang
yang bertindak sebagai penerima hibah harus benar-benar sudah ada,
sehingga bayi di dalam kandungan tidak diperkenankan menerima hibah.44
Dalam Kompilasi Hukum Islam, hibah dari orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai warisan.45
Dari penjelasan mengenai ketentuan peralihan harta dalam Hukum
Islam, maka dapat dibedakan sebagai berikut :46
WARIS HIBAH WASIAT
Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat
Penerima Ahli Waris Ahli Waris & non Ahli Waris Bukan ahli waris
Nilai Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3
Hukum Wajib Sunnah Sunnah
Dari pembahasan di atas, maka bisa disimpulkan pembagian harta
yang dilakukan semasa pewaris masih hidup, jika harta tersebut dibagikan
kepada ahli waris, maka bisa disebut sebagai hibah, bukan warisan. Tetapi
jika pewaris hanya sekedar membagi bagian-bagian harta kepada ahli
warisnya semasa masih hidup, lalu harta tersebut baru dibagi ketika si
pewaris meninggal dunia, maka bisa disebut sebagai wasiat, namun harus
dengan syarat pembagian tersebut telah disetujui oleh semua ahli waris. Maka
dari itu, pembagian warisan yang berlangsung ketika si pewaris masih hidup
di lingkungan magersari di keraton Kasepuhan Cirebon, maka hal tersebut
43 Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam. 44 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2015), hal. 130. 45 Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam 46 M. Sanusi, Panduan Lengkap dan Mudah Membagi Harta Waris, (Yogyakarta: Diva
Press, 2012), Cet. 1, hal. 75.
80
bukan merupakan suatu bentuk kewarisan secara Islam, tetapi bisa dikatakan
sebagai hibah, bisa juga dikatakan sebagai wasiat, jika si pewaris berwasiat
kepada ahli warisnya mengenai pembagian harta ketika dia masih hidup, lalu
ketika si pewaris meninggal dunia, harta tersebut baru dibagikan.
C. Hukum Tertulis Sebagai Penguat Pembagian Waris
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa kewarisan di Keraton
Kasepuhan Cirebon tidak jauh berbeda dengan kewarisan Islam secara umum.
Baik dari segi pembagian harta waris, maupun menyangkut soal bagian-
bagian ahli warisnya. Namun, ada beberapa ciri khas yang menjadikan sistem
pembagian waris di Keraton Kasepuhan berbeda dengan yang lain. Seperti
menyangkut hak turun temurun keraton seperti pada pembahasan sebelumnya
di atas.
Hukum tertulis di sini yaitu berupa surat resmi yang dikeluarkan oleh
keraton dalam hal pengangkatan sebagai putera mahkota sekaligus ahli waris
yang sah untuk menggantikan sultan sebelumnya.47 Surat resmi tersebut
merupakan sebagai bukti penguat bahwa sultan yang diangkat tersebut
mewarisi keraton dan seluruh kekayaan keraton sebagai hak turun temurun
dari sultan sebelumnya. Hal tersebut merupakan bagian dari warisan
kesultanan.
Adapun warisan secara pribadi, sejatinya keraton tidak turut campur
dalam pembagian warisan pribadi. Karena hal tersebut bukan ranahnya
keraton.48 Adapun secara umum pembagian waris secara pribadi di
lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon khususnya dalam lingkup magersari
dilakukan secara kekeluargaan, dilakukan secara musyawarah keluarga. Jika
ada pewaris yang meninggal dalam satu keluarga, maka seluruh ahli waris di
kumpulkan dan dilakukan musyawarah untuk menentukan pembagian
warisan. Setelah sepakat dengan hasil musyawarah tersebut, maka hasil itu
47 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 48 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.
81
akan dicatat sebagai bukti tertulis, dan kemudian bisa diserahkan kepada
Sultan untuk dibuatkan surat keterangan. Menurut pak Elang Haryanto, surat
keterangan ini kemudian berlaku untuk semua kerabat keraton yang telah
melakukan musyawarah pembagian waris tersebut, dan wajib ditaati oleh
semuanya. Begitu pun ketika si pewaris masih hidup dan secara sengaja
membagikan bagian waris masing-masing kepada ahli warisnya, maka hal
tersebut juga bisa dibuatkan surat keterangan kepada Sultan atau lembaga
kesultanan. Hukum Tertulis ini juga untuk menghindari perselisihan antar
keluarga dalam hal pembagian waris.49
Maka secara garis besar tujuan daripada dibuatkannya hokum tertulis
tersebut yaitu sebagai penguat, dan juga untuk untuk menolak kemudharatan
dan meraih kemaslahatan. Mudharat disini bisa berupa konflik atau
perselisihan antar keluarga dalam hal pembagian warisan. Maka hal ini sesuai
dengan tujuan Hukum Islam yaitu kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di
akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan
mencegah atau menolak yang mudharat, atau untuk kemaslahatan hidup
manusia, baik rohani maupun jasmani, individual, dan sosial.50
Seperti kaidah fiqh yang berbunyi :
جلب المصالح و درء المفا سد 51
“Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”
‘Izzudin bin Ab al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi
Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah itu adalah maslahat,
baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat.52 Hal ini
49 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017. 50 Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
Cet. 2, hal. 6. 51 Izz al-Din ibn Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I (Lebanon,
Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1999), hlm. 241 52 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), cet. 2, hal. 27.
82
memang sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yaitu “rahmatan lil-
‘Alamiin”.
Dalam ilmu ushul fiqh, yang membahas tentang maslahat ini adalah
Maslahah Mursalah. Dalam pandangan Imam Al-Ghazali (450-505 H),
Maslahah Mursalah adalah maslahat yang tidak ada dalil tertentu yang
membenarkan atau membatalkannya.53
Untuk mempertegas Maslahah Mursalah yang dimaksud di atas, Al-
Ghazali menyatakan :
“Setiap maslahat yag kembali untuk memelihara tujuan syara’ yang
diketahui dari al-Kitab (al-Qur’an), sunnah, dan ijma’, maslahat itu tidak
keluar dari dalil-dalil tersebut. Ia tidak dinamakan qiyas, tetapi dinamakan
maslahah mursalah. Sebab qiyas ada dalilnya tertentu. Adanya maslahat
tersebut dikehendaki oleh syara’ diketahui bukan saja dari satu dalil, namun
berdasarkan dalil yang cukup banyak yang tidak terhitung, baik dari al-
Qur’an, sunnah, kondisi dan situasi, serta tanda-tanda yang lain, yang
karenanya dinamakan maslahah mursalah”.54
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa maslahah mursalah
menurut al-Ghazali ialah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’, yang
dimaksudkan untuk memelihara tujuan syara’ (hukum Islam), tidak ada dalil
tertentu yang menunjukannya, dan kemaslahatan itu tidak berlawanan dengan
al-Qur’an, sunnah, atau ijma’.55
Maka secara garis besar, hukum tertulis yang dikeluarkan oleh keraton
sebagai penguat pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon, bertujuan
untuk menolak kemudaratan, serta meraih kemaslahatan.
53 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam AL-Ghazali : Maslahah Mursalah
& Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 65 54 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam AL-Ghazali : Maslahah Mursalah
& Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 66. 55 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam AL-Ghazali : Maslahah Mursalah
& Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 66.
83
Hal ini sejalan dengan prinsip dan dan dasar penetapan hukum Islam
yaitu kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Karena hukum Islam itu
semuanya adil, membawa rahmat, mengandung maslahat, dan membawa
hikmah. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dan diraih oleh hukum Islam
juga bersifat universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi,
lahir, batin, material spiritual, maslahat individu juga maslahat umum,
maslahat hari ini dan hari esok. Semua terlindungi dan terlayani dengan
baik.56
D. Ahli Waris dan Bagiannya
Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak
mendapat bagian dari harta peninggalan.57 Atau orang yang secara jelas
mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia, dan tidak ada
halangan untuk mewarisi.58
Keraton Kasepuhan Cirebon dalam kaitannya dengan ahli waris,
terdapat dua macam kewarisan. Yaitu ahli waris yang menduduki takhta, dan
ahli waris yang berkaitan dengan faraidh. Ahli waris takhta, yaitu orang yang
secara tradisi/adat berhak menjadi sultan berikutnya setelah sultan yang
sedang menjabat meninggal dunia. Kewarisan takhta ini, secara tradisi atau
turun temurun, diwariskan kepada anak laki-laki tertua sultan, jika tidak ada
maka akan diserahkan ke adik sultan yang laki-laki, dan jika tidak ada lagi,
maka takhta kesultanan diserahkan ke paman sultan.59 Masa jabatan sultan
berlaku seumur hidup.60
Kewarisan takhta yang hanya diwariskan kepada kaum laki-laki, jika
mengacu pada garis keturunan maka bersifat patrilineal. Yaitu sistem
56 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam AL-Ghazali : Maslahah Mursalah
& Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 59. 57 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 17. 58 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2015), hal. 35.
59 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27
Oktober 2017. 60 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018.
84
kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak nenek moyang laki-
laki.61
Kemudian ahli waris yang berkaitan dengan faraidh, dalam sistem
pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon, secara garis besar sama saja
dengan hukum agama atau sesuai dengan syariat Islam.62 Di mana kekayaan
pribadi sultan atau orang yang tinggal di lingkungan keraton tersebut, dapat
diwariskan kepada putra-putri mereka sesuai dengan waris Islam.63
Maka dari itu, kewarisan harta kepada ahli waris yang ada di
lingkungan keraton berbeda dengan kewarisan takhta. Jika sistem kewarisan
takhta di keraton bersifat patrilineal, yang mana hanya bisa diwariskan
kepada laki-laki, maka sistem kewarisan harta di keraton Kasepuhan bersifat
individual bilateral. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Hazairin
dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an yang
mengemukakan bahwa “sistem kewarisan Islam adalah sistem individual
bilateral.64
Dalam asas hukum kewarisan Islam, asas bilateral mengandung arti
bahwa harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah
pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki
dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.65 Maka pada prinsipnya asas
ini menegaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk
mewarisi atau diwarisi.66 Hal ini dapat dilihat dari firman Allah dalam Surah
An-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176.67
61 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 41. 62 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview
Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 63 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 64 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Tinta Mas, 1959),
hal. 14-15. 65 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
20. 66 Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Citra
Aditya Bakti, 1999), hal. 5. 67 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
20.
85
Sedangkan asas individual dalam hukum kewarisan Islam
mengandung arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing
ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya, masing-
masing ahli waris menerima bagiannya tanpa terikat dengan ahli waris yang
lain.68
Untuk bagian tiap-tiap ahli waris sendiri di Keraton Kasepuhan
Cirebon, karena mengacu pada hukum Kewarisan Islam, maka bagian-bagian
tersebut juga disesuaikan dengan Hukum Kewarisan Islam.
68 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hal.
21
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengadakan pembahasan dan penelitian dari Bab I sampai Bab
IV, maka dalam mengakhiri skripsi ini penulis dapat mengambil beberapa
pokok yang dapat dijadikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan ini.
1. Sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon
a. Harta warisan dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu :
1) Harta waris yang bisa diwariskan kepada ahli warisnya : yaitu
berupa harta atau kekayaan pribadi sultan yang dapat diwariskan
kepada ahli warisnya.
2) Harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli warisnya : yaitu harta
yang menyangkut tentang kesultanan, seperti keraton, wilayah
kesultanan, kekayaan kesultanan, tanah kesultanan, pusaka, asset
kesultanan, dan lain lain, tidak bisa dibagi waris kepada ahli waris
seperti dalam kewarisan biasa, akan tetapi dapat diwariskan kepada
sultan berikutnya namun sebagai hak turun temurun saja.
b. Waktu pelaksanaan pembagian waris di lingkungan Keraton
Kasepuhan Cirebon, terbagi menjadi dua, yaitu :
1) Pembagian warisan setelah si pewaris meninggal dunia.
2) Si pewaris membagikan warisannya ketika masih hidup.
c. Hukum tertulis sebagai penguat pembagian waris, yaitu secara
kesultanan berupa surat resmi yang dikeluarkan oleh lembaga
kesultanan atas ahli waris yang diangkat menjadi sultan berikutnya.
Adapun dalam kewarisan pribadi, jika sudah sepakat dengan hasil
musyawarah keluarga dalam membagi bagian masing-masing, maka
hasil tersebut bisa dilaporkan ke sultan atau lembaga kesultanan untuk
dibuatkan surat keterangan. Surat keterangan tersebut merupakan
hukum tertulis. Hukum tertulis ini juga untuk menghindari perselisihan
antar keluarga dalam hal pembagian waris.
87
d. Ahli waris dan bagiannya. Dalam lingkup Keraton Kasepuhan
Cirebon, ahli waris dibagi dalam dua (2) bagian :
1) Ahli waris yang akan menduduki takhta keraton. Yaitu ahli waris
yang secara tradisi / adat berhak menjadi sultan berikutnya.
2) Ahli waris dalam pembagian waris Islam / faraidh. Yaitu ahli waris
yang berada di lingkungan keraton yang berhak menerima warisan.
Bagian-bagian ahli waris disamakan berdasarkan kewarisan Islam.
2. Sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon ditinjau dari
Hukum Islam
a. Harta Warisan
1) Dalam hukum kewarisan Islam, harta warisan dapat dibagi jika harta
tersebut dimiliki secara sempurna, dan juga terlepas dari hak-hak
yang menyangkut di dalamnya, seperti utang, biaya pengurusan
jenazah, dan wasiat dari pewaris. Artinya, harta warisan tersebut
adalah harta bersih dari segala hak yang menyangkut di dalamnya.
Jika syarat tersebut terpenuhi, maka harta warisan bisa dibagikan
kepada ahli waris.
2) Harta waris yang tidak bisa dibagikan kepada ahli waris, secara adat
harta tersebut merupakan hak turun temurun keraton. Pada dasarnya
keraton dan kekayaan keraton tidak bisa dibagi waris, hal ini
bertujuan untuk melestarikan eksistensi keraton. Maka dalam
literatur hukum Islam, hal ini berkaitan dengan kaidah fiqh yang
menyatakan bahwa “adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan)
hukum”. Hal ini juga merupakan bagian dari ‘urf setempat. Selama
adat dan ‘urf tersebut baik, shahih, benar, dan bernilai maslahat serta
tidak bertentangan dengan nash, maka hal tersebut diperbolehkan
dan adat tersebut dapat dijadikan pertimbangan hukum setempat.
b. Waktu pelaksanaan pembagian waris
1) Pembagian waris setelah si pewaris meninggal dunia, sudah
sesuai dengan Kewarisan Islam, yaitu asas semata akibat
kematian. Harta tidak dapat beralih dengan nama waris, jika
88
yang mempunyai harta masih hidup. Muwarits dalam rukun
kewarisan Islam, harus benar-benar telah meninggal dunia.
2) Si pewaris yang membagikan warisannya ketika masih hidup,
bukan bagian dari hukum kewarisan Islam. Namun dalam
hukum Islam, ada proses peralihan harta lainnya, yaitu wasiat
dan hibah.
c. Hukum tertulis yang menyangkut tentang pembagian waris, bertujuan
untuk penguat sekaligus menghindari perselisihan, serta meraih
maslahat dan menolak kemudharatan yang ditimbulkan di kemudian
hari. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi : “Meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”. Karena tujuan hukum
Islam sendiri yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia, dengan jalan
mengambil segala yang bermanfaat, dan mencegah atau menolak
mudharat, atau untuk kemaslahatan hidup manusia.
d. Ahli waris dan bagiannya dalam sistem pembagian waris di Keraton
Kasepuhan Cirebon berlaku secara umum berdasarkan kewarisan Islam.
Maka dari itu, bagian-bagian ahli waris juga sama dengan bagian-
bagian yang diatur dalam hukum kewarisan Islam pada umumnya,
dimana laki-laki mendapat dua bagian daripada 1 bagian perempuan.
Hal ini sudah sejalan dengan hukum Islam.
B. Saran
Sebelum mengakhiri skripsi ini, penulis ingin memberi sedikit
rekomendasi, meskipun di masyarakat memakai hukum adat tetapi harus tetap
dilaksanakan berdasarkan pondasi hukum Islam. Sehingga hukum Islam
menjadi landasan hukum waris yang dipakai dengan senantiasa berjalan
seiringan dengan hukum waris adat yang berlaku pada masyarakat muslim
khususnya Keraton Kasepuhan Cirebon.
89
DAFTAR PUSTAKA
Abî Abdîllah Muhammad bin Yazîd al-qazwâînî, Sunan Ibnu Mâjah, Riyâd:
Maktabah almâ’arif linatsri wa attâuzî’i.
Abu Musa Al-Tirmidziy, Al-Jami’u Ash-Shahih, Juz IV, Kairo: Mustafa al-Babiy,
1983.
Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta: CV. Eka
Dharma, 1998.
Ali, Daud, Hukum Islam, Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: Raja Grafindo, 1998.
Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Riyâd: Darus
Salam, 1998.
Al-Quran al-kariem dan terjemahannya, Departemen Agama RI
Bochari, M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional
Cirebon, Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001.
Budiono, Rahmat, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:
Citra Aditya Bakti. 1999.
Creswell, John W. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitif, dan Mixed.
Edisi Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqih, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995. Jilid 3.
Departemen Agama RI. Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. 1997/1998.
Djazuli, A, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis, Cet. II, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Hamidy, Mu’ammal, Dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadits-hadits
Hukum, Cet. III, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2001.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Pamulang Timur: Logos Publishing House, 1996.
Hasan, A, Al-Faraid, Jakarta: Pustaka Progresif, 1996.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur’an dan Hadits, Jakarta:
Tintamas, 1982.
90
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Tinta Mas,
1959.
Ibnu Majah, Sunanu Ibnu Majah, Juz II, Beirut: Dar Al-Fikr.
Izz al-Din ibn Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I,
Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1999.
Jalaludin Al-Syuyuti, Syarh Sunan Nasa’i, Beirut: Dar Al-Fikr.
Karim, A. Syafi’i, Fiqih Ushul Fiqih : Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Cet. IV,
Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa oleh: H. Moh. Zuhri dan
Ahmad Qarib, Semarang: Toha Putra Group, 1994.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-
Islami, Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan
Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004).
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Depok: PT Raja Grafindo
Persada, 2015.
Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai
Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Munif Suratmaputra, Ahmad, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali : Maslahah
Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002.
Museum Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon.
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Cet. II, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Nazir, Moh. Metode Penelitian, cet. III, Jakarta: Ghalila Indonesia, 1998.
Ramulyo, H.M Idris, Perbandingan Kewarisan Islam di Indonesia, cet. VIII,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007. Cet. 40.
Rosidin, Didin Nurul, Dkk, Kerajaan Cirebon, cet.I, Jakarta: Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2013.
91
Sanusi, M, Panduan Lengkap dan Mudah Membagi Harta Waris, Cet. I.
Yogyakarta: Diva Press, 2012.
Sopyan, Yayan. Islam Negara: Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka. 2012.
Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon, Cirebon: 1984.
Sulendraningrat, P.S. Sejarah Cirebon. Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wilayah
Tingkat III Cirebon, 1978.
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan
BW, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007.
Syarifudin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003.
Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998.
Wildan, Dadan, Sunan Gunung Jati : Petuah, Pengaruh dan Jejak-jejak Sang
Wali di Tanah Jawa, Tangerang Selatan: Salima, 2012.
Yanti, Keraton-keraton di Indonesia, cet. II, Jakarta: CV. China Walafafa, 2011.
Artikel dan Wawancara
Https://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Kasepuhan diakses pada tanggal 10 Mei
2018.
Wawancara Pribadi dengan Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung,
Tanggal 27 Oktober 2017, pukul 10.00 WIB
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Jazuli, Staff Sultan Sepuh XIV, Tanggal 10
September 2018, pukul 11.00 WIB
Wawancara Pribadi dengan PRA Arief Natadiningrat SE, Sultan Sepuh XIV
Keraton Kasepuhan Cirebon, Tanggal 13 Desember 2018, pukul 16.00
WIB
Transkip Wawancara dengan Pak Elang Haryanto
Pertanyaan : Kalau dalam waris kan pak, unsur-unsur waris kan bisaanya
ada waris, harta, sama pembagiannya, kalau di keraton ini
ada tidak papakem atau aturan dari dulu sampai sekarang ?
Jawaban : Jadi gini, kalau aturan kesultanan jelas sebuah lembaga
kesultanan keraton, tidak bisa membagikan atau dibagi-bagi,
keraton kaya Istana Negara iya kan, tidak bisa dibagi-bagi,
sultan ini ke anak-anaknya, dibagi sekian-sekian-sekian,
habislah, jadi keraton itu turun temurun, sultan yang berhak
adalah anak laki-laki pertama atau siapa saja putera sultan,
kalau tidak ada anak laki-laki dari seorang sultan, berarti
sultan harus menyerahkan ke adiknya yang laki-laki. Kalau
tidak ada adik laki-laki, sultan bisa menyerahkan ke paman
sultan. Itu berkaitan dengan garis kesultanan ya. Dan keraton
dan tanah keraton tidak bisa dibagikan, karena bukan hak
seseorang tapi hak semuanya, jadi kita disini hanya hak guna
pakai, bukan hak milik. Tapi yang namanya keluarga kan
memang punya kekayaan masing-masing, itu diwariskan
memang kepada putera-putera nya atau puteri-puteri nya,
bisa sama dengan hukum Agama. Laki-laki itu separuh kalau
perempuan sepertiga nya atau berapa ..
Pertanyaan : laki-laki 2 perempuan 1 pak
Jawaban : Iya itu, sama dengan hukum agama. Itu kalau kekayaan
keluarga, tetapi kekayaan keraton tidak bisa dibagi-bagi.
Pertanyaan : Berarti dari zaman dahulu sampai sekarang sama yaa pak?
Jawaban : Iya sama
Pertanyaan : Kalau ini pelaksanaan nya bagaimana pak, pembagian
warisan itu apa setelah ada yang meninggal atau sebelumnya
gitu ?
Jawaban : Iya, bisa sebelumnya bisa setelah wafat, sebelumnya sudah
sepuh dia mengumpulkan putera-putera nya , ini bagian
kamu, itu bagian kamu, hanya ucapan memang kadang-
kadang tidak tertulis gitu, nah untuk hukum tertulisnya yang
mengeluarkan adalah lembaga kesultanan. Misalkan saya
dapat warisan dari orang tua saya, sekian dari batas ini
sampai batas ini, yaa sultan yang surat keterangannya,
supaya kuat.
Pertanyaan : Itu berlaku untuk semua kerabat keraton pak?
Jawaban : Semua, yang ada di lingkungan keraton berarti ya, kalau
diluar lingkungan keraton itu kan biasanya sudah lain gitu.
Yang jelas adalah yang berada di lingkungan keraton. Tetapi
kadang-kadang yang diluar keraton juga penguatnya sultan
juga
Pertanyaan : Berarti tidak pakai kaya skema pengadilan gitu ya pak,
hanya secara lisan atau musyawarah biasa antar keluarga?
Jawaban : Iya rata-rata seperti itu, setau saya, tanpa pengadilan
Pertanyaan : Kalau ini pak, selama ini ada tidak permasalahan internal
antar ahli waris?
Jawaban : Yang namanya manusia permasalahan pasti ada, makanya
untuk memperkuat itu ke sultan, soalnya kalau udah ada
bukti, nihhh … udah enggak bisa bergerak.
Pertanyaan : Walaupun protes gitu pak ?
Jawaban : Iya, ini kan persetujuan keluarga, ini bagian siapa, ini
bagian siapa, gitu.
Pertanyaan : Baru setelah itu langsung dilaporkan ke sultan yaa pak,
terus dibuatkan ?
Jawaban : Iya dibuatkan, ini bagiannya ini, si ini bagian ini, gitu,
namanya magersari
Pertanyaan : Apa itu pak ?
Jawaban : Ya itu pembagian wilayah atau tanah yang ada di
lingkungan keraton itu namanya magersari, tapi bukan hak
milik yaa, hanya hak guna pakai
Pertanyaan : Seperti rumah dinas gitu yaa pak..?
Jawaban : Iya, jadi sewaktu-waktu, sebetulnya sewaktu-waktu keraton
perlu, bisa diambil, tapi hal seperti itu tidak mungkin, karena
yang disitu kan keluarga juga, punya hak juga untuk
menempati gitu, tapi yang jelas tidak bisa diperjualbelikan
tanahnya, atau diserahkan ke orang lain, nihh tanah saya
sekian, boleh bisa beli, tapi tidak bisa disertifikat yang jelas,
itu yang namanya magersari yaa, di dalam benteng yaa.
Kalau diluar benteng sih boleh, tapi itupun harus ada surat
keterangan dari sultan dulu kalau mau disertifikat juga.
Kalau tanah keraton, seandainya mau dibuat legal oleh
pemerintah dengan sertfikat harus ada surat pelepasan hak,
surat pelepasan dari keraton kepada si pewaris itu, atau si dia,
yang menempati, baru bisa disertifikat. Kalau tidak ada yaa
tidak boleh, tidak bisa gitu.
Pertanyaan : Berarti sekitar ini semua pak yaa?
Jawaban : 25 Ha.
Pertanyaan : Total nya ada berapa pak kerabat yang tinggal di keraton
ini?
Jwban : Kalau kerabat sih ya sedikit, di dalam ini hanya sekiktar 6-
10 kepala keluarga, di sana ke depan, sekitar 5 kepala
keluarga, yang di sebelah barat ada sekitar 20-30 kk, yang
lainnya memang, walaupun bukan keluarga keraton, tetapi
turunan abdi dalem, yang dari dulu memang menempati
tempat itu.
Pertanyaan : Berarti ada keluarga yang di luar keraton juga pak
Jawaban : Banyak, ribuan.
Pertanyaan : Berarti kan, yang bisa diwariskan itu harta pribadi yaa pak
Jawaban : Iya harta pribadi
Pertanyaan : Kalau untuk tanah nya enggk bisa yaa pak?
Jawaban : Enggak bisa, yang di dalam keraton yaa yang seluas 25 ha.
Kalau diluar juga, kalau masih dalam kekuasaan keraton yaa
seperti itu sama. Tetapi kalau diluar sudah pelepasan dari
keraton kepada mereka, dan mereka sertifikat, hanya
hukumnya hukum Negara gitu. Tetapi kalau di dalam
lingkungan keraton yang di magersari ini, tidak bisa
disertifikatkan. Kalau bisa disertifikat, nanti BPN nya yang
dituntut, karena cagar budaya.
Pertanyaan : Berarti kewarisan keraton tadi, intinya seperti itu ya pak?
Jawaban : Iya, intinya seperti kalau keraton, keraton tidak bisa
diwariskan kepada seseorang karena keraton adalah sebuah,
seperti Istana Negara, yang namanya istana Negara, presiden
tidak bisa mewariskan kepada anak-anaknya yaa kan. Sama
sultan pun tidak bisa mewariskan keraton kepada anaknya,
kecuali anaknya jadi sultan, tapi tetap sultan hanya sultan
gitu, pemimpin, tapi tidak bisa menguasai, tidak bisa begitu
saja menjual keraton. Harus berembuk dulu sama keluarga.
Pertanyaan : Kalau di keraton ini ada semacam ritual tertentu tidak pak
dalam hal pembagian warisan ini ?
Jawaban : Tidak ada, hanya musyawarah saja.
Pertanyaan : Berkenaan dengan hak guna pakai dari tanah yang
ditempati, apakah didirikan bangunan juga atas tanah waris
tersebut ?
Jawaban : Yaa kalo hak guna pakai boleh dipakai untuk apa saja tapi
tanahnya tidak bisa jadi hak milik
Transkip Wawancara dengan Pak Ahmad Jazuli
Pertanyaan :
1. Hukum kewarisan apa yang berlaku di keraton ?
2. Dalam hal ahli waris, siapa saja yang menjadi ahli waris ?
3. Bagaimana dengan anak angkat / anak tiri ? Apakah mendapat waris atau tidak?
4. Bagaimana kalau tidak punya anak, siapa yang mewarisi?
5. Bagaimana pembagian masing-masing ahli waris?
6. Bagaimana pelaksanaan pembagiannya ? Apakah bisa dibagikan ketika pewaris
masih hidup ?
7. Adakah kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan berkaitan dengan harta
warisan sebelum dibagikan?
8. Adakah sesuatu yang bisa menggugurkan hak ahli waris untuk mewarisi ?
9. Bagaimana dengan tata cara berlangsungnya pembagian harta waris di keraton?
10. Bagaimana pandangan anda tentang hukum waris adat ?
11. Apakah pernah terjadi perselisihan dalam hal pembagian waris ?
12. Sejak kapan adat ini berlaku ?
13. Apakah ada papakem / aturan tertulis ?
14. Seperti apa bentuknya ?
Jawaban : Ini sebetulnya tema yang sangat intern sekali, jadi tidak banyak orang
yang tahu juga. Pertama gini kalau saya menjelaskan dari seluruh
rangkuman dari pertanyaan yang diajukan, bahwa secara umum begini
kesultanan Cirebon, yang kemudian diteruskan saat ini oleh Kesultanan
Kasepuhan, ancernya kan disini, dulu kan didirikan atas dasar pusat
syiar Islam, kemudian oleh karena penerapan-penerapan hukum,
terutama hukum privat, itu berdasarkan syariat Islam. Dari mulai era
Sunan Gunung Jati. Contoh beliau menghukum puteranya, Pangeran
Jayakelana, itu kan ada semacam diyat yang dibayarkan, itu kan
mengacu pada hukum Syariat, termasuk dalam hukum jual belinya
menggunakan dinar dirham, kan dulu seperti itu. Ada catatan seperti itu.
Terus kemudian, ya karena pusat syiar Islam, ya mestilah titik
pangkalnya semua sumbernya berdasarkan syariat islam, kalau dalam
minang kan ada hukum tersendiri berdasarkan adat, tetapi mengacu pada
syara’ dan kitabullah, jadi sebetulnya prinsip-prinsip itu tidak jauh
berbeda, termasuk dalam hal ini dalam hal waris, apa yang berlaku
dalam faraidh gitu ya, waris itu dalam tataran keluarga ya sama, bahkan
ya tidak boleh menyimpang, nilai dasarnya kan begitu. Jadi kalau hak
laki-laki itu mitslu hadzdzil untsayain, itu berlaku. Yang jelas Sunan
Gunung Jati itu ulama, tidak mungkin mengajarkan apa yang
bertentangan, jadi apa yang berlaku dalam syariat Islam tentang hak
waris, ya itu diberlakukan. Harta pribadi ya. Maka, karena tadi seperti
yang saya katakan, apakah ini harta kesultanan atau pribadi, kalau
pribadi ya berdasarkan syariat Islam. Ya seperti itu, faraidh itu
dijalankan. Karena ilmu-ilmu itu juga dalam beberapa catatan
dikembangkan oleh ulama-ulama dari keraton. Nah terus dalam
prakteknya, menyangkut tadi tanah keraton, itu merupakan tanah hak
turun temurun Kasepuhan. Namanya ada, hak turun temurun. Jadi tidak
diwariskan seperti bisaa, bukan hak privat tapi ini hak lembaganya
lembaga keraton, nah itu namanya hak turun temurun milik Sultan
Sepuh, siapa pun Sultan Sepuhnya. Nah itu mungkin kekhasan nya
disitu. Apapun yang dinyatakan sebagai milik keraton, adalah milik
Sultan Sepuh sebagai pimpinan lembaga, siapa pun Sultan Sepuhnya itu
tidak bisa diwariskan seperti biasa, pada siapa, ya habis nanti, kan
logikanya seperti itu. Kalau umpamanya keraton dan tanah-tanahnya
bisa diwariskan akan habis kalau tidak ada istilah hak turun temurun.
Itulah ya tinggal apa nanti ya kan. Makanya ada istilah hak turun
temurun lembaga. Yang khas mungkin seperti itu. Yang diluar tentang
hukum privat waris pribadi, nah ini perlu dibedakan juga, karena ada
juga beberapa aset yang menjadi milik pribadi sultan, kalau tanah
namanya tanah yasan, kalau itu ya akan dibagikan sesuai hukum waris
yang sesuai syariat. Berapa anaknya, kan gitu. Secara umumnya seperti
itu.
Pertanyaan : Kalau magersari itu apa ya pak?
Jawaban : Nah magersari itu, orang yang menempati di sekeliling tanah-tanah
keraton, ya itu tanah-tanah sultan itu, tanah keraton lah itu, yang mana
mereka menempati atas izin sultan, jadi hak guna pakai, dan itu ya tidak
bisa diwariskan, Iya kalau ini ya memperbarahui, nanti siapa yang
menggantikan, kan namanya aja hak guna pakai, bukan hak milik, hak
guna pakai, itu tidak bisa diwariskan. Adapun seumpamanya setelah dia
meninggal, anak-anaknya menempati, ya anak-anaknya nanti membuat
permohonan kepada sultan untuk menempati.
Pertanyaan : Kaya warisan juga pak berarti modelnya ?
Jawaban : Kan prioritas, bukan waris, kalau warisan dia berhak atas itu, tapi kan
secara umum, kita memprioritakan anaknya yang menempati,
setidaknya bangunannya dia yang membangun. Kan gitu. Tentu kan
anaknya lebih proritas. Kecuali umpamanya tidak ada yang menempati,
secara normative, harusnya dikembalikan kepada keraton, kan gitu,
namanya juga hak guna pakai, sudah tidak dipakai lagi ya dikembalikan.
Itu, secara normative sih begitu seharusnya. Itu yang disebut magersari.
Makanya mereka yang di magersari itu, tidak ada yang punya sertifikat,
dan disertfikatkan atas nama pribadi. Gitu. Jadi kekhasannya, privatnya
tentang tanah-tanah pribadi berlaku hak pribadi, hak pribadi apapun,
tanah dsb karena harta kan bukan cuma tanah. Atau ini khusus tanah ?
Pertanyaan : Enggak pak, semuanya…
Jawaban : Umpamanya hak milik pribadi sultan, baju atau apa, atau uang, dsb,
kalau itu dinyatakan bukan inventarisir bukan milik lembaga
kesultanan, berlaku hukum faraidh tadi.
Pertanyaan : Jadi intinya seperti itu ya pak ?
Jawaban : Iya, karena ini pusat syiar Islam, ya secara normative harus mengacu
pada hukum-hukum Islam. Nah tadi yang menyangkut adat, ya paling
itu aja yang lembaga, Ini akan diwariskan secara turun temurun,
namanya aja hak turun temurun, kepada Sultan Sepuh, siapa pun Sultan
Sepuhnya, nah ini untuk menjaga keberlangusungan / continuitas, kalau
tidak seperti itu, kalau diwariskan habis itu, dari sejak zaman dulu, ya
tanah dan termasuk keratonnya kalau mau diwariskan begitu, kan gitu,
makanya ada istilah hak turun temurun. Paling itu istilah tradisinya. Dan
termasuk tanah-tanahnya, kan banyak tanah-tanahnya. Kalau yang
lainnya kaya anak tiri dsb itu sesuai dengan hukum syariat yang berlaku.
Bagian-bagiannya berapa itu semua sesuai dengan hukum syariat yang
berlaku.
Pertanyaan : Berarti keluarga yang berada lingkungan Keraton Kasepuhan ini pak
secara pribadi, harta pribadi mereka diwariskan secara umum pak ya?
Jawaban : Iya, semuanya. Jadi yang berada di lingkungan keraton kan ada Sultan
dan keluarganya, terus masyarakat-masyarakat umum yang menemapti,
kan gitu, mereka ini dibedakan antara milik turun temurun keraton, dan
pribadi, kalau pribadi itu disesuaikan dengan hukum syariat tentang
waris, kalau milik keraton, itu diberlakukan hukum tradisi hak turun
temurun sultan sepuh, siapapun sultan sepuhnya, kan terus menerus
berganti, dari sultan sepuh I bahkan dari sejak Sunan Gunung Jati.
Pertanyaan : Kalau kewarisan takhta itu bagaimana pak ?
Jawaban : Di Crebon ini, takhta itu diwariskan kepada anak laki-lak tertua, kalau
anak laki tertua tidak adaatau tidak mampu ya ke adiknya, kalau tidak
ada baru ke adiknya sultan yang laki-laki. Seperti itu, itu takta ya
Pertanyaan : itu tidak ada batas waktunya ya pak masa jabatannya ?
Jawaban : Ya seumur hidup, kalau sultan seumur hidup. Dan sekarang Sultan
Sepuh XIV, itu beliau putera pertama dari Sultan Sepuh XIII, Sultan
Sepuh XIII putera laki-laki pertama dari Sultan Sepuh XII, ada juga
yang tidak memiliki putera seperti Sultan Sepuh Matangaji yang kelima,
itu adiknya yang meneruskan, kan gitu, jadi sudah ada sepeti itu
presedennya. Tetapi tidak semua kerajaan sama, makanya ribut tuh di
Yogya, karena pewaris tidak punya anak laki-laki, tapi raja membuat
tradisi baru.
Pertanyaan : Kalau soal sejarah kan, keraton kasepuhan itu kan dari sultan sepuh I,
terus keatasnya Pangeran Girilaya, kalau ditarik sampai ke Sunan
Gunung Jati, itu siapa aja pak ?
Jawavban : Jadi Keraton Kasepuhan ini didirikan oleh Pangeran Cakrabuana dan
Sunan Gunung Jati, keraton pertamanya di Dalem Agung Pakungwati
yang disitu, nah itu, keraton pancer tuh di sini, di Kasepuhan, nah
kemudian Pangeran Cakrabuana menyerahkan takhta kepada Sunan
Gunung Jati, dan Sunan Gunung Jati memproklamirkan Kesultanan
Cirebon, merdeka dari Pajajaran, setelah itu era setelah Sunan Gunung
Jati ini, Sunan Gunung Jati kan usianya 120 th, anaknya tidak sempat
bertakhta, cucunya tidak sempat bertakhta, pada saat Sunan Gunung Jati
wafat baru cicitnya, yaitu Pangeran Mas Zainul, itu gelarnya
Panembahan Ratu I, kemudian Panembahan Girilaya itu keturunan dari
Panembahan Ratu I, bergelar Panembahan Ratu II, disebut Panembahan
Girilaya karena dimakamkan di Girilaya, setelah itu pasca peristiwa
Cirebon dan Mataram, kan gitu, meninggalnya disana kan, nanti diliat
silsilahnya, itu resmi kita ambil dari Purwaka Caruban Nagari, di
bangsal, nah itu terbagilah Kesultanan Cirebon jadi dua, Kasepuhan dan
Kanoman, ini kakak beradik, kakaknya Pangeran Martawijaya bergelar
Sultan Sepuh, adiknya dibuatkan keraton baru, Kanoman, kemudian
Kanoman ada pecahan lagi ada Kaprabonan dan Kacirebonan, itu
pecahan Kanoman itu tuh. Sultan Kanoman yang kelima yang tidak
bertakhta dibuatkan Keraton Kacirbebonan. Kalau Kaprabonan putera
mahkota Sultan Kanoman Pertama tidak mau bertakhta, lebih memilih
mengajarkan ilmu, makanya namanya Peguron, kalau disini Kasepuhan
tidak ada pecahan.
Transkip Wawancara Dengan Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon
Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, S.E
Pertanyaan : Kesimpulan sementara, yang saya dapatkan dari dua
narasumber itu berkaitan dengan harta warisan di keraton itu
terbagi menjadi dua pak, pertama harta warisan pribadi yang
bisa diwariskan kepada ahli warisnya, kedua harta warisan
yang tidak bisa dibagikan kepada siapa-siapa atau hanya
sebagai hak guna pakai. Mungkin itu secara spesifik atau garis
besar dari harta warisan.
Jawaban : Nah sekarang yang ditanyakan apa ?
Pertanyaan : Yang ingin saya tanyakan, apakah itu berlaku dari zaman
dahulu, apakah aturan ini dari zaman yang pertama sampai
sekarang, dan apakah akan terus dipakai di masa selanjutnya ?
Jawaban : Nah terus apa lagi ?
Pertanyaan : Terus yang ingin saya tanyakan lagi, misalkan di lingkungan
Keraton Kasepuhan Cirebon ini ada yang membagikan
warisannya misalkan secara musyawarah, apakah ada surat
resmi atau surat dari keraton sebagai penguat, misalkan sudah
ada hasilnya kesepakatan antara keluarga itu, hasilnya sekian-
sekian, apakah dari keraton itu mengeluarkan semacam surat
untuk penguatnya sebagai dasar hukum atau hukum tertulis ?
Terus dari pak Elang Haryuanto itu kadang-kadang ada kepala
keluarga yang membagikan warisannya sebelum si pewarisnya
meninggal, itu tergantung dari keluarga masing-masing, apakah
memang seperti itu ? Apakah ada proses atau ritual tertentu
dalam pembagian warisan di keraton ini ?
Jawaban : Jadi pertama, secara sejarah bahwa Keraton Kasepuhan ini
yang sebelumnya Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi
Keraton Kasepuhan, itu didirikan berdasarkan Syiar islam. Itu
hal yang penting dulu, siapa pendirinya, ada dua tokoh yaitu
Syekh Syarif Hidayatullah dan Pangeran Cakrabuana, yang
dikenal dg Haji Abdullah Iman. Kedua tokoh inilah yang
mendirikan Kasultanan Cirebon. Jadi Kasultanan Cirebon
berdiri bukan karena perebutan kekuasaan bukan karena
semacam mendirikan kekuasaan tapi memang tugas utama dan
dan visi misi nya adalah Syiar Islam. Nah Syiar Islam yang
dilaksanakan ini tentunya diperlukan pada waktu itu pada
jamannya diperlukan lembaga diperlukan suatu organisasi yang
secara politis bisa memudahkan Syiar Islam itu. Maka
didirikanlah Kesultanan Cirebon. Dimana dalam syiar nya
Sunan Gunung Jati melaksanakan dengan menghormati adat
istiadat budaya setempat yang pada waktu itu berlaku di wilayah
Kasultanan Cirbeon. Wilayah Kesultanan Cirebon pada era
Sunan Gunung Jati itu wilayahnya Cirebon Jakarta sampai
dengan Banten. Kemudian Banten dan Jakarta diserahkan pada
putranya yaitu Pangeran Sabakingking yang diangkat menjadi
sultan Banten pertama yang bergelar Sultan Hasanudin, nah dua
kesultanan inilah jadi ayahandanya di Cirebon, puteranya di
Banten, ini dalam rangka politik Syiar Islam pada waktu itu
supaya wilayah Jawa Barat Jakarta Banten menjadi Islam. Nah
itu latar belakangnya, sehingga itu di dalam pelaksanaan
kegiatan baik itu kesultanan kerajaan atau ketentuan-ketentuan
lainnya termasuk masalah warisan, itu berdasarkan Syariat
Islam, nah jadi pada waktu itu di era Sunan Gunung Jati beliau
mewariskan kesultanan ini kepada keturunannya, yaitu
puteranya tidak bertakhta karena meninggal duluan, cucunya
juga meninggal duluan, baru cicitnya yang bertakhta, tapi
cicitnya masih muda, kemudian diangkatlah pelaksana sultan
yaitu Fatahillah selama 3 tahun, setelah Fatahillah meninggal
baru cicitnya diangkat menjadi sultan yaitu Panembahan
Cirebon I. Karena Sunan Gunung Jati usianya 120 tahun, jadi
anak cucnya tidak sempat bertakhta. Nah itulah warisan-warisan
ini tentunya ada warisan-warisan pribadi dan warisan
kesultanan. Warisan kasultanan itu ada takhta, ada wilayah
kesultanan, ada bangunan kesultanan, dan lain-lain itu
diwariskan kepada sultan berikutnya, disebut hak turun temurun
sultan, sampai dengan hari ini. Jadi takhta bangunan tanah
wilayah pusaka asset-asset kesultanan itu diturunkan kepada
sultan berikutnya. Nah untuk yang pribadi sesuai dengan Syariat
Islam tentunya yang anak laki-laki perempuan silahkan sesuai
dengan Syariat Islam, nah kalau ditanyakan, sudah sejak dulu
awal era Sunan Gunung Jati dan sultan-sultan terdahulu itu
dilaksanakan. Nah kemudian ritual-ritual, tentunya ada ritual
seperti penobatan-penobatan. Penobatan ini sebagai untuk ritual
menandakan dialah penerus atau yang mendapat waris
kesultanan. Nah kalau sekarang di era dan Sultan Sepuh XIII,
dulu ayahanda saya dinobatkan sebagai putera mahkota dengan
gelar Pangeran Raja Adipati Maulana Pakuningrat dinobatkan
oleh Sultan Sepuh XII pada waktu itu, begitu meninggal Sultan
Sepuh XII nya otomatis beliau menjadi Sultan Sepuh ke XIII.
Termasuk saya dinobatkan menjadi Putera Mahkota pada
tanggal 15 september tahun 2001 sebagai penerus pengganti atau
Putera Mahkota calon Sultan Sepuh ke XIV, dengan gelar
Pangeran Raja Adipati, nah itu ritual-ritual untuk meneruskan
waris kesultanan. Jadi ada ritualnya, nah ini terus menerus
dilaksanakan sehingga lestari sampai dengan sekarang, nah jadi
anak anaknya yang sudah dewasa yang sudah mampu keluar
keraton tidak tinggal di keraton, kecuali pengganti sultan, kalau
misalnya dari Sunan Gunung Jati sampai sekarang tidak keluar
keraton ya numpuk semuanya di sini, sudah enggak ada lagi
keraton ini , atau dibagi-bagi keraton ini sudah enggak ada lagi.
Nah itulah terus menerus begitu, jadi adek-adeknya harus sudah
tahu, adik-adik saya, adik-adiknya Sultan Sepuh XIII. Adiknya
atau kakak nya kalau misalkan perempuan, jadi diwariskan
kepada anak laki-laki terbesar yang mampu untuk meneruskan,
misalnya anak sultan nya perempuan, ya enggak bisa, berarti ke
adiknya kalo ada yang laki-laki. Termasuk Sultan Sepuh ke XII
itu perempuan kakaknya Ratu Raja Wulung tidak bertakhta, nah
ke Raja Rajaningrat sebagai Sultan Sepuh ke XII. Nah ada
beberapa Sultan yang tidak punya anak, misal Sultan Sepuh ke
V Matangaji tidak punya putera, ke adiknya Sultan Sepuh ke IV
punya putera kakak adiknya, itulah yang meneruskan. Jadi itulah
terus menerus begitu. Jadi adik-adik nya ya keluar keraton. Nah
memang ada kebijakan-kebijakan dulu pada era Sultan Sepuh ke
XI Tajul Arifin Al Huda, ada beberapa famili-famili yang
ditempatkan di komplek-komplek keraton ini pada waktu itu,
makanya sekarang ada kampung Mandalangan, kampung
Banjarmati Lawangsanga dsb, dulu ada kebijakan tapi itu
sifatnya dipinjamkan, tidak bisa diwariskan. Nah kalau sudah
enggak ya harusnya keluar dari keraton, tapi ini malahan
sekarang beralih kepada masyarakat jadi kampung sekarang kan
gitu. Jadi dulu saya kecil malahan masih banyak Pohon Kelapa
di sini, sekarang malahan rumah melulu. Apalagi tadi
pertanyaannya?
Pertanyaan : Tadi surat resmi ?
Jawaban : Nah surat resmi yaitu tadi pengangkatan itu sebagai putera
mahkota nanti ada copy nya ada.
Pertanyaan : Kalau yang surat penguat tadi surat penguat hasil pembagian
warisan ?
Jawaban : Ya tidak ada. Kalau keraton tidak bisa dibagi waris, enggak ada.
Pertanyaan : Kalau secara pribadi ?
Jawaban : Pribadi itu sih masing-masing sifatnya silahkan keraton tidak
ikut campur lagi, karena itu bukan ranahnya keraton. Masing-
masing. Misalnya saya, punya mobil punya rumah itu
diwariskan biasa saja seperti masyarakat yang lainnya, Muslim
lainnya begitu, jadi nah kalau keraton tidak bisa diwariskan. Nah
ada juga surat di sini ada surat izin magersari untuk menempati,
surat izin pakai, nah memang kebijakan Sultan Sepuh terdahulu
karena adanya UUPA dan Land Reform gitu, no. 5 tahun 1960
yang sudah menempati lama di tanah-tanah keraton di di luar
lingkungan keraton itu bisa dilepaskan karena harus
disertifikatkan karena sesuai dengan bunyi undang-undangnya,
begitu, ada surat pelepasan haknya, nah itu hak nya sultan untuk
melepaskan atau tidak melepaskan itu. Terus apalagi?
Pertanyaan : Berarti yang di lingkungan keraton, tadi untuk magersari itu
berarti hanya sebagai surat izin ?
Jawaban : Jadi hanya surat izin makai saja menempati, memanfaatkan,
menggunakan tidak bisa dimiliki, dan tidak bisa diwariskan lagi
kepada anaknya sebetulnya kalau dia sudah meninggal ya
dikembalikan gitu. Kalau enggak nanti enggk lestari nantinya.
Karena kan dia tidak beli tidak nyewa tidak apa, maksudnya dia
tidak ada jerih payah untuk memiliki lahan itu kemudian
diwariskan, ya enggak bisa. Iya kan…
Peranyaan : Terus tadi waktu pelaksanakaan pembagian warisan itu yang
secara pribadi,
Jawaban : Nah kalau prbadi itu ya tentunya sesuai dengan syariat ya kalau
udah meninggal itu namanya warisan, masih hidup sudah ribut
pembagian itu sih gimana. Karena kalau masih hidup itu
dinamikanya masih ada, ya asetnya bisa di tambah banyak
tambah berkurang dan lain lain. Enggak bisa misalnya, sekarang
misalnya saya punya tanah saya masih hidup, saya mau jual
pakai kan tergantung saya kan, anak-anaknya tidak punya hak
kan belum, tetapi kalau sudah meninggal nah baru itu sudah
waris, nah ini yang salah nanti bahaya jadi ribut nanti orang tua
sama anak iya kan, terus apalagi?
Pertanyaan : Kalau soal konflik pembagian waris belum ada ya pak ?
Jawaban : Kalau konflik tentunya saya melihat beberapa sejarah itu
konflik ya selalu ada. Tetapi Alhamdulillah bisa diselesaikan
dengan baik karena ada adat dan tradisi ya tentunya harus
menurut pakem itu. Yang kedua di era Sultan Sepuh XIII kalau
tidak salah, ada juga yang karena Sultan Sepuh XII ada isteri
selir itu ingin menguasai dan bahkan sampai dengan ke
Pengadilan Agama akhirnya dimenangkan bahwa ini adalah hak
turun temurun sultan tidak bisa diwariskan. Itu keputusan
Pengadilan Agama, jadi ini sudah inkrah dan sudah ada
Yurisprudensi di Pengadilan Agama bahwa ini hak turun
temurun Sultan Sepuh, nah termasuk juga di Pengadilan Umum,
di Mahkamah Agung juga sudah ada inkrah beberapa kasus-
kasus tetapi bukan masalah waris, tapi kasus-kasus dengan
masyarakat dan pemerintah itu, nah itu sudah tetap bahwa hak
turun temurun Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon. Jadi
itu Yurisprudensi. Ada sih kasus tapi tidak banyak. Terus
apalagi?
Pertanyaan : sudah cukup secara garis besar.
Jawaban : Ya tolong nanti dibuat dengan baik dan bagus. Itu yaa, itulah
yang berkembang di Keraton Kasepuhan. Alhamdulillah
makanya Keraton Kasepuhan ini usianya sudah 600 tahun
merupakan Keraton tertua di Indonesia yang masih ada dan
mnasih eksis sampai dengan sekarang, karena memang ada
tradisinya demikian, kalau enggk ya habis gitu seperti keraton-
keraton yg lain, kan gitu nanti. Inilah yang harus kita pelihara
kita jaga, nah ini harusnya di dukung oleh Pemerintah baik itu
Kementerian Agama, PA, Kementerian Agraria dll.
DOKUMENTASI
Foto dengan Pak Elang Haryanto di Keraton Kasepuhan
Foto dengan Pak Ahmad Jazuli di Keraton Kasepuhan Cirebon