Download - SISTEM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN HIDUP
Kertas Kebijakan
SISTEM PEMBAYARAN JASA
LINGKUNGAN HIDUP
Sesuai Mandat Pasal 48 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun
2017 tentang Instrumen Jasa Lingkungan Hidup
Disiapkan oleh:
Beria Leimona
Sacha Amaruzaman
Lisa Tanika
Didukung oleh:
USAID -Bangun Indonesia untuk Jaga Alam Demi Keberlanjutan (BIJAK)
AIA Central, level 41, Jl. Jend. Sudirman Kav 48-A Karet Semanggi
Jakarta Selatan 12930, DKI Jakarta – Indonesia.
Telp (021) 2253 5830
Jakarta, Mei 2019
Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan
tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
2
Daftar Isi
I. Pengantar ................................................................................................................................................................... 3
II. Kebijakan Penyelenggaraan .................................................................................................................................. 4
II.1. Identifikasi Jasa Lingkungan Hidup yang Harus Dibayar ........................................................................ 4
II.2. Ketentuan Penghitungan Besaran Jasa Lingkungan Hidup ..................................................................... 5
II.3. Verifikasi dan Validasi Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dan Penyedia Jasa Lingkungan Hidup .. 6
II.4. Sistem Informasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup ..................... 7
II.5. Peningkatan Kapasitas .................................................................................................................................... 8
III. Fasilitasi Pengembangan Kelembagaan.............................................................................................................. 8
III.1. Pengembangan Standarisasi Kompetensi Fasilitator .............................................................................. 8
III.2. Pengembangan Mekanisme dan Bentuk Kelembagaan .......................................................................... 9
III.3. Peningkatan Kapasitas .................................................................................................................................. 9
IV. Fasilitasi Resolusi Konflik .................................................................................................................................... 9
V. Hal-Hal Lain yang Perlu Diperhatikan ............................................................................................................... 9
V.1. Pengembangan Sistem PJL dalam Kaitannya dengan Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup ................................................................................................................................................... 9
V.2. Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam PJL ............................................................. 10
V.3. Jasa Lingkungan yang Sudah Ada atau Berpotensi Ada di Indonesia ................................................ 11
V.4. Analisis PJL Melalui Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup ...................... 14
V.5. Kriteria dan Bukti Pendukung Penyedia dan Pemanfaat ..................................................................... 15
V.6. Muatan Perjanjian Kerjasama PJL ............................................................................................................. 16
V.7. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan PJL ................................................................................................... 17
V.8. Penyelesaian Sengketa ................................................................................................................................. 17
V.9. Posisi PJL (Akan Datang) Terhadap PJL yang Sedang Berjalan dan Praktek PJL Kedepan ........... 17
3
I. Pengantar
Pembayaran jasa lingkungan telah lama dikenal oleh para pegiat konservasi dan lingkungan hidup.
Menurut Wunder (2015), pembayaran jasa lingkungan didefinisikan sebagai transaksi sukarela antara
pemanfaat jasa lingkungan dengan penyedia jasa lingkungan yang bersifat kondisional (berbasis kinerja
yang disyaratkan) dalam pengelolaan sumber daya alam guna menjamin ketersediaan jasa lingkungan.
Secara umum, pembayaran jasa lingkungan dimaksudkan untuk mengubah perilaku penyedia dan
pemanfaat jasa lingkungan agar mereka bersedia mempertahankan atau meningkatkan jasa lingkungan
secara berkelanjutan.
Di Indonesia, pembayaran jasa lingkungan diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) dan Peraturan Pemerintah No. 46
Tahun 2017 tentang Instrumen Jasa Lingkungan Hidup (PP 46/2017). Berdasarkan UU 32/2009 dan PP
46/2017 tersebut, pembayaran jasa lingkungan dilakukan dalam tiga skema, yaitu: kompensasi, imbal,
dan pembayaran jasa lingkungan itu sendiri. Perbedaan tiga skema tersebut terletak pada aktor yang
terlibat sebagai penyedia dan pemanfaatnya, sebagaimana digambarkan dalam diagram berikut ini:
Kemudian secara spesifik, PP 46/2017, dalam Pasal 48 ayat (5) memandatkan kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup –
saat ini adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK), untuk menyusun peraturan
menteri mengenai pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup. Sedangkan untuk
kompensasi dan imbal jasa lingkungan hidup tidak ada mandat untuk mengatur lebih lanjut lagi.
Secara lengkap, pembayaran jasa lingkungan hidup diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 48 PP 46/2017,
yang secara lengkap mengatur sebagai berikut:
Pasal 47 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem Pembayaran Jasa
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (1) huruf g untuk dilaksanakan Setiap Orang.
(2) Pengembangan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi mekanisme pengalihan sejumlah uang dari Penyedia Jasa Lingkungan Hidup kepada Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dalam perjanjian terikat berbasis kinerja.
(3) Pengembangan sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk: a. mendorong masyarakat untuk melaksanakan upaya Konservasi Sumber Daya Alam dan
Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup; dan
b. mendukung kinerja pelaksanaan Kompensasi/Imbal Jasa Lingkungan Hidup Antar Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
4
Pasal 48 (1) Pengembangan sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup mencakup:
a. kebijakan penyelenggaraan; b. fasilitasi pengembangan kelembagaan; dan c. fasilitasi resolusi konflik.
(2) Kebijakan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup: a. identifikasi Jasa Lingkungan Hidup yang harus dibayar; b. ketentuan penghitungan besaran Jasa Lingkungan Hidup; c. verifikasi dan validasi Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dan Penyedia Jasa Lingkungan
Hidup; d. sistem Informasi dan pemanfaatan pelaksanaan; dan e. peningkatan kapasitas.
(3) Fasilitas pengembangan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mencakup: a. pengembangan standarisasi kompetensi fasilitator; b. pengembangan mekanisme dan bentuk kelembagaan; dan c. peningkatan kapasitas.
(4) Fasilitas resolusi konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup diatur dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan Pasal 47 dan 48 tersebut, Men-LHK menyusun peraturan menteri tentang sistem
pembayaran jasa lingkungan hidup, yang memuat pengaturan mengenai:
Ruang Lingkup
Pengaturan
Sub-Ruang Lingkup Pengaturan
Kebijakan penyelenggaraan 1. Identifikasi jasa lingkungan hidup yang harus dibayar
2. Ketentuan penghitungan besaran jasa lingkungan hidup
3. Verifikasi dan validasi pemanfaat jasa lingkungan hidup dan
penyedia jasa lingkungan hidup
4. Sistem informasi dan pemantauan pelaksanaan
5. Peningkatan kapasitas
Fasilitasi pengembangan
kelembagaan
1. Pengembangan standarisasi kompetensi fasilitator
2. Pengembangan mekanisme dan bentuk kelembagaan
3. Peningkatan kapasitas
Fasilitasi resolusi konflik Fasilitasi resolusi konflik dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
II. Kebijakan Penyelenggaraan
II.1. Identifikasi Jasa Lingkungan Hidup yang Harus Dibayar
Penyediaan jasa lingkungan sangat bergantung pada tempat/lanskap dan waktu dimana jasa lingkungan
diproduksi. Oleh karena itu, untuk menentukan jasa lingkungan yang akan ditransaksikan, maka
dilakukan melalui identifikasi skala spasial penyediaan jasa lingkungan tersebut. Identifikasi skala spasial
ini juga sangat penting untuk memastikan kegiatan konservasi jasa lingkungan dilakukan secara efektif
pada area penyediaan jasa lingkungan yang tepat.
5
Terdapat tiga skala penyediaan jasa lingkungan, yaitu makro, meso, dan mikro, sebagaimana
ditunjukkan dalam tabel berikut:
Jasa Lingkungan
Makro Meso Mikro
Global
Regional -
Lintas Batas
Negara
Nasional
Inter-
komunitas
(Provinsi,
Kabupaten)
Intra-
komunitas
(Desa, Kota)
Penyerapan karbon +++ ++ + - - - -
Keanekaragaman
hayati +++ + + - - -
Tata air dan
perlindungan DAS - - - - - ++ +++
Keindahan lanskap ++ ++ +++ - - -
Identifikasi skala penyediaan lingkungan yang akan ditransaksikan dapat dilakukan oleh pemerintah,
perguruan tinggi, pemrakarsa/penyedia jasa lingkungan, atau lembaga swadaya masyarakat.
Berikut ini beberapa contoh jasa lingkungan yang sudah ditransaksikan:
No Jasa Lingkungan Praktik
1 Jasa penyedia air bersih Lombok
2 Jasa penyedia pangan Madu Sialang yang dijual di Singapura. (Harga SGD 4,8,
dan SGD 0,5 dikembalikan untuk penanaman pohon
Sialang.
3 Jasa penyedia sumber daya
genetik
Softcoral/sponge di Sulawesi yang berada di dalam laut,
diambil kemudian diekstrak menjadi obat kanker di
Jepang.
4 Jasa pengatur iklim Kerjasama antara WWF, Garuda Indonesia (GA), TN
Sebangau dan TN Leuser. Caranya adalah: GA
mengenakan biaya tambahan ke penumpang yang mana
biaya tambahan tersebut akan dialokasikan untuk
penanaman pohon di taman nasional dalam rangka
mengurangi efek pemanasan global.
5 Jasa penyerbukan alami Starbucks Coffee dalam rangka mendukung konservasi,
lebih memilih kopi premiun di Aceh yang ditanam dilahan
konservasi di Aceh.
6 Jasa sosial budaya dan jasa
estetika
Subak, Bali.
7 Jasa warisan budaya, identitas
lokal, bentang alam, dan
spesies budaya dan adat
1. Peneluran penyu di Jamursba Medi, Papua.
Dilakukan dengan mengkonservasi lokasi peneluran
penyu. Pendokumentasian dalam sebuah film
dokumenter peneluran penyu untuk kemudian dijual
dan hasilnya untuk memberikan beasiswa kepada
anak-anak sekitar.
2. Whale watching di Alor.
II.2. Ketentuan Penghitungan Besaran Jasa Lingkungan Hidup
Penghitungan besaran jasa lingkungan dilakukan melalui penilaian/valuasi ekonomi jasa lingkungan itu
sendiri. Penilaian jasa lingkungan merupakan upaya meng-estimasi nilai jasa lingkungan dalam satuan
moneter dengan menggunakan pendekatan ekonomi.
6
Penilaian jasa lingkungan dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu: ekonomi, sosial-
budaya, dan ekologi. Metode penilaian untuk masing-masing pendekatan dilakukan sebagaimana
digambarkan dalam tabel berikut ini:
Penilaian Ekonomi Penilaian Sosial-Budaya Penilaian Ekologi
– Pendekatan harga pasar;
– Biaya penggantian/
pemulihan kerugian;
– Nilai ekonomi aset
(hedonic price); – Kesediaan untuk
membayar/menerima
pembayaran (willingness to pay/willingness to accept);
– Potensi pendapatan yang
hilang (opportunity cost).
– Diskusi kelompok;
– Observasi/pengamatan;
– Wawancara;
– Transek-walk.
– Pengukuran
keanekaragaman
hayati (flora-fauna);
– Analisa tutupan
guna lahan;
– Pengukuran
kualitas air;
– Pengukuran debit
air;
– Modeling hidrology.
Selain itu, ditentukan pula nilai pembayaran jasa lingkungan dengan memperhitungkan beberapa biaya
berikut ini:
– Biaya peluang (opportunity cost) bagi pihak penyedia jasa lingkungan apabila mereka harus
mempertahankan atau merubah guna lahan mereka. Apabila peluang penerimaan yang
diperoleh penyedia dari mengganti suatu guna lahan yang menyediakan jasa lingkungan lebih
besar daripada penerimaan saat mempertahankan guna lahan, maka insentif atau kompensasi
idealnya ditetapkan minimal sebesar selisih antara biaya peluang dengan penerimaan dari guna
lahan yang dipertahankan;
– Biaya pelaksanaan kegiatan konservasi, misalnya biaya membangun perangkap sedimen, biaya
pengadaaan bibit, biaya penanaman, biaya perawatan, biaya patroli, dan lain sebagainya;
– Biaya untuk melakukan kegiatan pendukung dalam pelaksanaan kontrak jasa lingkungan,
misalnya biaya untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat serta biaya pelatihan bagi
masyarakat untuk menanam atau membuat perangkap sedimentasi;
– Biaya operasional pelaksanaan Program PJL, antara lain digunakan untuk membiayai pertemuan
antara penyedia dan pemanfaat, kunjungan lapangan, estimasi kuantitas dan kualitas jasa
lingkungan, biaya monitoring, verifikasi, dan evaluasi, dan biaya lain yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan program PJL.
II.3. Verifikasi dan Validasi Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dan Penyedia Jasa Lingkungan Hidup
Verifikasi dan validasi pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan merupakan hal yang penting dilakukan
untuk menentukan para pihak dalam perjanjian pembayaran jasa lingkungan. Verifikasi dan validasi ini
akan mencakup dua hal besar pengaturan, yaitu: bukti atau hal-hal yang akan diverifikasi, dan yang
akan melakukan verifikasi dan validasi.
– Verifikasi terhadap penyedia jasa lingkungan dilakukan melalui: a) bukti kepemilikian atau
penguasaan lahan, yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat pemilikan lahan, perjanjian
penguasaan lahan (dalam hal sewa), atau surat keputusan penguasaan lahan negara (izin,
perhutanan sosial, dll); dan b) membuat surat pernyataan kesediaan untuk menjaga jasa
lingkungan yang akan ditransaksikan.
– Verifikasi terhadap pemanfaat jasa lingkungan tidak diperlukan, karena yang terpenting adalah
pemanfaat jasa lingkungan bersedia untuk bekerjasama dan membayar kepada penyedia jasa
lingkungan.
Verifikasi penyedia dilakukan oleh pemanfaat atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh pemanfaat.
Sedangkan validasi dilakukan oleh lembaga yang mengeluarkan sertifikat pemilikan lahan atau SK/izin
penguasaan lahan.
7
II.4. Sistem Informasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup
Jika mengutip pada pengaturan Sistem Informasi Lingkungan Hidup (SILH) sebagaimana diatur dalam
Pasal 62 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH:
1. Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2. Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
3. Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.
Jika mengadopsi dari pengaturan SILH tersebut, maka sistem informasi PJL ini seharusnya juga akan
mengatur mengenai:
a. Kelembagaan/institusi yang akan mengembangkan dan mengelola sistem informasi PJL.
Opsinya: pemerintah akan mengembangkan sistem informasi PJL ini, dimana nanti lembaga
perantara, penyedia dan pemanfaat akan memiliki akun untuk updating konten dari sistem
informasi PJL ini.
b. Mekanisme pengelolaan sistem informasi PJL: updating, koordinasi antar
institusi/instansi terkait dengan PJL, publikasi informasi kepada masyarakat, dll. Ini bisa
dibuatkan semacam SOP atau prosedur sederhana mengenai informasi apa saja yang harus
dimasukkan ke dalam sistem, kapan, siapa, dan bagaimana memasukkannya ke dalam sistem,
dan bagaimana mekanisme koordinasi antar pengelola sistem PJL.
c. Konten atau informasi yang akan ada di sistem PJL, antara lain misalnya:
- jenis dan ruang lingkup jasa lingkungan yang di-PJL-kan atau berpotensi di-PJL-kan;
- lokasi PJLH;
- kegiatan konservasi (mencakup rencana pelaksanaan, indikator kinerja dan evaluasi);
- daftar penyedia;
- daftar pemanfaat;
- daftar lembaga multipihak (termasuk tugas dan tanggungjawabnya);
- laporan pelaksanaan PJL;
- laporan monev PJL, dll.
d. Sarana dan prasarana, serta anggaran untuk mengelola sistem informasi PJL, antara
lain: pengembangan sistem PJL, anggaran untuk maintenance.
Pengembangan Sistem Informasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup ini
ditujukan untuk:
a. Pelayanan bagi pihak yang akan menerapkan PJL;
b. Memberikan informasi PJL yang sudah berjalan untuk pembelajaran;
c. Harmonisasi dengan berbagai jenis jasa lingkungan yang menjadi indikator D3TLH dan
pengelolaan kawasan;
d. Sebagai sarana pemantauan pelaksanaan PJL.
Pengelolaan Sistem Informasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup ini
dilakukan oleh:
a. Pemerintah pusat, dalam hal ini adalah kementerian yang membidangi lingkungan hidup dan
kehutanan. Beberapa tugasnya antara lain: mengembangkan sistem untuk keseluruhan PJL,
meng-update informasi PJL lintas provinsi, dan menjadi admin-system.
8
b. Pemerintah provinsi, dalam hal ini adalah dinas yang membidangi lingkungan hidup dan
kehutanan. Beberapa tugasnya antara lain: meng-update informasi PJL lintas kabupaten/kota,
dan menjadi admin-system.
c. Pemerintah kabupaten/kota, dalam hal ini adalah dinas yang membidangi lingkungan hidup dan
kehutanan. Beberapa tugasnya antara lain: meng-update informasi PJL lingkup kabupaten/kota,
dan menjadi admin-system.
II.5. Peningkatan Kapasitas
Substansinya antara lain standarisasi kompetensi yang diinginkan, mencakup standar kompetensi
minimal dan program kegiatan peningkatan kapasitas. Kegiatan peningkatan kapasitas ini bisa
mencakup: pelatihan yang terencana (pemerintah menyusun modul dan program pelatihan), seminar,
sosialisasi, publikasi hasil penelitian, dan termasuk asistensi.
III. Fasilitasi Pengembangan Kelembagaan
III.1. Pengembangan Standarisasi Kompetensi Fasilitator
Huber-Stearns, et al (2013) dalam artikelnya yang berjudul roles and payments for ecosystem
services: a typology and program feasibility application in Panama, menguraikan peran-peran
fasilitator dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan, antara lain: pertukaran informasi
(information exchange), desain program (program design), jejaring kerja (networking), perwakilan
dan mediasi (representatives and mediation), dan administrasi dan koordinator program
(administration and project coordination). Dengan demikian, standar kompetensi fasilitator harus
diturunkan dari peran-peran fasilitator tersebut, yaitu antara lain:
a. Memiliki pemahaman luas terkait dengan jasa lingkungan dan program pembayaran jasa
lingkungan hidup. Sehingga dalam konteks pelaksanaan fungsi information exchange, fasilitator
dapat memberikan informasi mengenai program PJL secara utuh dan dalam format atau
bahasa yang mudah dimengerti oleh calon penyedia dan pemanfaat, dan bahkan kepada
pemerintah selaku pengambil kebijakan.
b. Memiliki kemampuan dan keahlian dalam merancang program PJL. Kompetensi dalam
merancang program PJL ini mencakup: melakukan analisis kelayakan jasa lingkungan
(termasuk valuasinya), mendukung proses kerjasama para pihak, mengembangkan standar dan
protokol program PJL, memberikan saran atau rekomendasi, baik terhadap program PJL,
regulasi terkait PJL, dan pembagian peran para pihak.
c. Memiliki kemamampuan dan keahlian dalam membangun dan menjaga jejaring kerja yang luas.
Secara spesifik, keahlian yang dibutuhkan antara lain mempertemukan para pihak atau
menginisiasi pertemuan berbagai pihak, melakukan identifikasi pelaku PJL yang potensial, dan
bahkan melakukan identifikasi investasi atau peluang pendanaan program PJL.
d. Memiliki keahlian dalam bernegosiasi. Karena fasilitator juga akan berperan dalam proses
negosiasi, mewakili kepentingan dari berbagai pihak, memfasilitasi proses kontrak, dll.
e. Memiliki keahlian dalam manajemen/administrasi program PJL, mulai dari promosi,
administrasi, keuangan, supervisi, dan lain-lain tugas admnistrasi program PJL.
Standar kompetensi fasilitator tersebut juga perlu didukung dengan adanya program-program
pengembangan kompetensi fasilitator. Terdapat dua usulan skema pengembangan kapasitas fasilitator,
yaitu:
a. Pemerintah mengembangkan pelatihan bagi fasilitator dan pelaku PJL. Pengembangan
pelatihan ini mencakup mengenai standar kurikulum baku untuk pelatihan, dan program
pelatihannya.
b. Lembaga lain non pemerintah yang melaksanakan pelatihan bagi fasilitator. Dalam
melaksanakan pelatihan tersebut, minimal harus menggunakan standar kurikulum baku yang
dikembangkan oleh pemerintah.
9
III.2. Pengembangan Mekanisme dan Bentuk Kelembagaan
Pengembangan mekanisme dan bentuk kelembagaan akan mencakup dua pengaturan, yaitu desain
kelembagaan PJL dan tata cara pengembangan kelembagaan PJL. Untuk desain kelembagaan,
setidaknya ada beberapa opsi yang bisa dijadikan acuan, yaitu forum, yayasan/perkumpulan, dan BLU
(jika nantinya program PJL ini semakin besar sehingga membutuhkan peran pemerintah dalam
kelembagaannya).
III.3. Peningkatan Kapasitas
Substansinya kurang lebih sama dengan pengembangan standarisasi kompetensi fasilitator, mencakup
standar kompetensi minimal dan program kegiatan peningkatan kapasitas. Kegiatan peningkatan
kapasitas ini bisa mencakup: pelatihan yang terencana (pemerintah menyusun modul dan program
pelatihan), seminar, sosialisasi, publikasi hasil penelitian, dan termasuk asistensi.
IV. Fasilitasi Resolusi Konflik
Belajar dari pengalaman Pemkab Kuningan dengan Pemkot Cirebon terkait dengan kerjasama
pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, muatan
perjanjian kerjasama PJL, pilihan penyelesaian sengketanya adalah:
a. Diselesaikan secara musyawarah mufakat antara para pihak;
b. Jika penyelesaian melalui musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka meminta bantuan
kepada pemerintah untuk membantu penyelesaiannya.
Pilihan lain untuk penyelesaian sengketa adalah: (1) Menggunakan jasa mediator atau arbiter; dan/atau
(2) Melakukan penyelesaian melalui pengadilan.
V. Hal-Hal Lain yang Perlu Diperhatikan
V.1. Pengembangan Sistem PJL dalam Kaitannya dengan Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Menurut Pasal 16 UU PPLH, jasa ekosistem/jasa lingkungan merupakan salah satu lingkup kajian dari
KLHS. Selain itu, Pasal 9 ayat (2) huruf c PP No. 46 Tahun 2016 menyatakan bahwa jasa lingkungan
juga merupakan bagian dari hasil identifikasi isu pembangunan berkelanjutan. Kemudian Pasal 13 ayat
(1) juga menyatakan bahwa jasa lingkungan merupakan salah satu hasil analisis pengaruh KRP terhadap
kondisi lingkungan hidup pada pelaksanaan KLHS.
Pengembangan sistem PJL juga akan berkontribusi pada:
a. Mendukung kinerja KIJL. Pasal 47 ayat (3) huruf b disebutkan bahwa pengembangan
sistem PJL akan mendukung kinerja pelaksanaan KIJL antar daerah yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Sebagai contoh:
Dalam sebuah bentang alam suatu DAS dimana pengelolaan kawasan terdiri dari berbagai
pihak, dan telah diterapkan kerjasama KIJL, maka untuk meningkatkan jasa lingkungan hidup
yang disediakan dapat diterapkan juga PJL dengan pihak yang berbeda untuk lokasi lain dalam
kawasan tersebut.
b. Kebutuhan keberlanjutan usaha. Misalnya:
10
(1) PJL Cidanau. Krakatau Tirta Industri (KTI) bekerjasama dengan masyarakat hulu rawa
danau untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan air oleh KTI sebagai pemasok air
berbagai industri di wilayah Banten.
(2) Jika di dalam kebun sawit yang tidak memiliki tutupan hutan, namun dia butuh air untuk
keberlangsungan usahanya, kemudian di samping perkebunan tersebut merupakan hutan
rakyat/hutan lindung, dimana lahan dimiliki sendiri melalui High Conservation Value
(HCV), maka dapat dilakukan kerjasama antara perusahaan dengan pemilik hutan
tersebut.
c. Kebutuhan pemenuhan kewajiban kelola pantau. Misalnya, DAS Bakaru Sulsel, dengan
isu besar terkait keberlanjutan DAS agar umur bendungan tersebut bisa bertahan hingga
mencapai lifetime bendungan, karena adanya erosi. Dalam dokumen Amdal, pada skala tapak
untuk mengatasi erosi maka akan dilakukan kerjasama dengan masyarakat di daerah hulu.
Sehingga dalam hal ini konteks PES bisa dilakukan dalam rangka kelola pantau.
d. Pemenuhan komitmen penurunan gas rumah kaca yang dilaksanakan oleh
perusahaan. Misalnya, Perusahaan yang akan melakukan komitmen penurunan gas rumah
kaca dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat pengelola kawasan tertentu dalam
menjaga kelestarian hutan.
e. Dukungan mekanisme terhadap program pelepasan hutan kepada masyarakat
untuk dikelola tanpa merubah fungsi. Misalnya, Masyarakat yang mendapatkan hak
pengelolaan hutan dengan persyaratan tidak merubah fungsi, dapat melakukan kerjasama
dengan pihak lain yang membutuhkan jasa lingkungan yang dapat disediakan oleh masyarakat
tersebut.
f. Dukungan pemberian dana insentif kepada daerah yang dapat menjaga tutupan
lahan dan kelestarian hutan. Misalnya, dalam hal pemerintah akan mengembangkan
mekansime insentif kepada pemerintah daerah dengan indikator antara lain tutupan lahan dan
kelestarian hutan, maka mekansime PJL yang bersifat sukarela dan terukur dan telah
dikembangkan sistem informasinya secara terpadu, dapat berkontribusi menggambarkan
capaian kinerja daerah.
V.2. Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam PJL
Dalam pelaksanaan PJL, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki peran masing-masing
dalam rangka optimalisasi pelaksanaan PJL. Berikut ini dirinci masing-masing peran pemerintah pusat
dan pemerintah daerah:
Kewenangan Pemerintah (Umum) Kewenangan Pemerintah (Spesifik)
1. Pembinaan
a. Pusat: Training of Trainer (ToT)
untuk pemerintah provinsi.
b. Provinsi: ToT untuk pemerintah
kabupaten/kota, pelaku PJL
(penyedia dan pemanfaat), calon
fasilitator/fasilitator, dan lembaga
perantara.
c. Kab/Kota: training pelaku PJL
(penyedia dan pemanfaat), calon
fasilitator/fasilitator, dan lembaga
perantara.
2. Kebijakan untuk penerapan PJL
a. Pusat: PerMen PJL ini dan kebijakan
terkait lainnya.
b. Provinsi: Perda/Pergub PJL
(opsional dan jika dibuat, maka
1. Pusat
a. Menetapkan kebijakan tatacara
penerapan PJL (Permen);
b. Memfasilitasi para pihak yang
mengajukan permohonan fasilitasi
penerapan PJL skala lintas provinsi;
c. Menyediakan Sistem Informasi
Nasional database informasi jenis
jasa LH, serta penyedia (pengelola
kawasan) skala makro, atau bersifat
lintas provinsi.
2. Provinsi
a. Memfasilitasi para pihak yang
mengajukan permohonan fasilitasi
penerapan PJL skala lintas
kabupaten/kota;
b. Menyediakan Sistem Informasi
Nasional database informasi jenis
11
substansinya harus lebih
operasional).
c. Kab/Kota: Perda/Perbup/Perwali PJL
(opsional dan jika dibuat, maka
substansinya harus lebih
operasional).
3. Mengesahkan lembaga multipihak
a. Pusat: mengesahkan lembaga
multipihak yang wilayah kerjanya di
tingkat nasional atau lintas provinsi.
b. Provinsi: mengesahkan lembaga
multipihak yang wilayah kerjanya di
tingkat provinsi atau lintas kab/kota.
c. Kab/Kota: mengesahkan lembaga
multipihak yang wilayah kerjanya di
tingkat kab/kota.
4. Mengembangkan lembaga sertifikasi
kompetensi (fasilitator, dll).
Kewenangan ini menjadi lingkup
kewenangan pemerintah pusat.
5. Mengembangkan sistem informasi PJL
a. Pusat: mengembangkan sistem
untuk keseluruhan PJL dan meng-
update informasi PJL lintas provinsi,
dan menjadi admin system.
b. Provinsi: meng-update informasi PJL
lingkup provinsi dan menjadi admin
system.
c. Kab/Kota: meng-update informasi
PJL lingkup kab/kota dan menjadi
admin system.
6. Pengawasan
a. Pusat: melakukan pengawasan
terhadap PJL lintas provinsi.
b. Provinsi: melakukan pengawasan
terhadap PJL lingkup provinsi dan
lintas kab/kota.
c. Kab/Kota: melakukan pengawasan
terhadap PJL lingkup kab/kota.
7. Penanganan konflik
a. Pusat: melakukan penanganan
konflik PJL lintas provinsi.
b. Provinsi: melakukan penanganan
konflik PJL lingkup provinsi atau
lintas kab/kota
c. Kab/Kota: melakukan penanganan
konflik PJL lingkup kab/kota.
jasa LH, serta penyedia (pengelola
kawasan) skala makro, atau bersifat
lintas kabupaten/kota.
3. Kab/Kota
a. Memfasilitasi para pihak yang
mengajukan permohonan fasilitasi
penerapan PJL skala dalam 1 (satu)
kabupaten/kota;
b. Menyediakan Sistem Informasi
Nasional database informasi jenis
jasa LH, serta penyedia (pengelola
kawasan) skala makro, atau bersifat
dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
V.3. Jasa Lingkungan yang Sudah Ada atau Berpotensi Ada di Indonesia
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman
Umum Perencanaan Pengelolaan Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi.
12
Di dalam wilayah pesisir terdapat tiga ekosistem, yaitu: ekosistem mangrove, ekosistem lamun,
dan ekosistem terumbu karang. Ketiga ekosistem ini saling berinteraksi dan memiliki konektivitas
secara fisik maupun biologis.
Dalam konteks jasa lingkungan, maka jasa lingkungan pesisir diartikan sebagai manfaat yang diperoleh
manusia dari ekosistem pesisir (mangrove, lamun, dan terumbu karang). Jasa lingkungan pesisir
menyediakan jasa lingkungan berupa: jasa pendukung, jasa pengaturan, jasa penyediaan, dan jasa
budaya.
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai: (1) Penahan laju sedimentasi dari daratan, sehingga
menjaga kejernihan air yang masuk ke ekosistem lamun dan terumbu karang; (2) Tempat pemijahan
ikan; (3) Pelindung daratan dari abrasi dan tiupan angin; (4) Penyaring intrusi air laut ke daratan; (5)
Tempat singgah migrasi burung; (6) Habitat satwa liar; (7) Memperkecil efek tsunami. Istiyanto et al (2003) menemukan bahwa rumpun bakau dapat memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi
gelombang tsunami.
Inoue et al (1999) mempublikasikan manfaat mangrove dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:
a. Kayu mangrove yang bisa dimanfaatkan untuk berbagi keperluan, seperti kayu bakar dan
bahan konstruksi rumah (rhizophora apiculata, rhizophora mucronata, dan bruguiera gymnorrhiza).
b. Tanin yang merupakan ekstrak kulit dari jenis rhizophora apiculata, rhizophora mucronata, dan xylocarpus granatum digunakan untuk industri berbahan kulit, seperti sepatu, tas, dll.
c. Daun nipah yang dimanfaatkan untuk pembuatan tikar atau atap rumah.
d. Obat tradisional. Rhizophora apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Rhizophora mucronata dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan ceriops tagal dapat
digunakan sebagai antiseptik luka. Air rebusan acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat
diabetes.
Selain itu, hutan mangrove juga telah dikembangkan menjadi objek wisata alam. Antara lain: Hutan
Mangrove di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (Jakarta), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan
Cilacap.
Ekosistem lamun berfungsi sebagai pemerangkap sedimen, sehingga menjaga kejernihan air yang
masuk ke ekosistem terumbu karang. Pada ekosistem lamun ini merupakan tempat bagi habitat dari
ikan pada stadia juvenil. Beberapa ikan misalnya, ikan lencam, ikan caji (lutjanus apodus) –ikan yang
menjadi target nelayan karena merupakan ikan yang dikonsumsi. Penelitian Cullen-Unsworth &
Unsworth, 2013 menyebutkan bahwa setiap hektar padang lamun memiliki nilai ekonomi
13
$20.500/tahun. Satu hektar padang lamun yang sehat dapat mendukung 40.000 juvenil ikal dan 50 juta
juvenil kerang (habitat, menyediakan makanan, dan daerah asuhan bagi ikan), serta 70-90% ikan
komersial hidupnya di padang lamun.
Ekosistem lamun selain mendukung ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang, juga
menyediakan jasa lingkungan bagi manusia berupa daerah penangkapan ikan, tempat meletakkan
perangkap ikan, sumber biota bagi usaha budidaya rumput laut.
Berikut ini beberapa fungsi ekosistem lamun lainnya:
a. Merupakan nursery dan feeding ground bagi biota yang hidup di dalammnya.
b. Sebagai tempat pemijahan biota, tempat berlindung biota, pemasok nutrisi, tempang hidup
hewan langka (dugong, trochus, kima, kuda laut). Dugong merupakan hewan yang terancam
punah dan hanya memakan lamun.
c. Ekosistem lamun juga menyerap karbon, penstabil pH air laut, dan penahan arus, serta
pelindung pantai dari erosi.
Ekosistem terumbu karang merupakan tempat bagi habitat ikan dewasa. Selain itu, ekosistem
terumbu karang juga dapat bermanfaat untuk: (1) Tempat pemijahan, daerah asuhan, dan tempat
mencari makan kebanyakan ikan; (2) Sebagai sumber bibit budidaya (ikan kerapu, teripang, kerang,
rumput laut); (3) Sumber bahan dasar konstruksi/bangunan; (4) Objek kegiatan wisata bahari; (5)
Sebagai pelindung pantai; dan (6) Sumber pangan dan obat-obatan.
Tabel Jasa Lingkungan Pesisir
Jasa Ekosistem Mangrove Lamun Terumbu Karang
Nursery & feeding ground v v v
Spawning & rearing ground v v v
Tempat berlindung biota v v v
Pemasok nutrisi v v v
Tempat hidup hewan langka v v
Kaya keanekaragaman jenis biota v v v
Pelindung pantai v v v
Pemerangkap sedimen v
Mempertahankan pH air laut v
Peredam arus v v v
Menjaga kejernihan air v
Penstabil substrat v
Melihat arah arus v
Menahan laju sedimentasi v
Menjaga erosi pantai v
Sumber ikan v v
Sumber kepiting v v
Sumber invertebrata v v
Sumber ikan hias v v
Sumber benih v v v
Obat v v v
Pupuk v
Atap rumah/konstruksi v v
Arang dan kayu bakar v v
Sumber tannin v v
Bioprospecting v v
Tempat meletakkan perangkap v v
Tempat berlabuh kapal v v
14
Tempat dermaga v v
Alur kapal v v
Rekreasi wisata v v v
Nilai intrinsik dan biodiversity v v
V.4. Analisis PJL Melalui Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup
Terdapat banyak konsep dan metode pengukuran daya dukung dan daya tampung lingkungan yang
digunakan di dunia. Namun demikian, semua konsep dan metode tersebut memiiliki kesamaan yaitu
bahwa status daya dukung selalu akan selalu memperbandingkan antara aspek ketersediaan (supply)
dan kebutuhan (demand). Status daya dukung dikatakan terlampaui jika aspek kebutuhan (demand)
melebihi aspek ketersediaan (supply). Demikian juga sebaliknya. Hal ini juga dinyatakan oleh Hart,
2006 yang menyatakan bahwa dalam konteks ekologi, carrying capacity (daya dukung lingkungan)
suatu ekosistem adalah ukuran/ jumlah populasi atau komunitas yang dapat didukung oleh
ketersediaan sumberdaya dan jasa pada ekosistem tersebut. Kehidupan dalam batas daya dukung
adalah apabila:
Jumlah SDA atau Jasa yang tersedia ≥ (jumlah populasi x jumlah konsumsi SDA/jiwa)
Di Indonesia, sebagaimana didefinisikan dalam UU PPLH, daya dukung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya. Sedangkan, daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan
ke dalamnya. Jika dilihat dari definisinya, daya dukung maupun daya tampung dapat diartikan sebagai
kemampuan dari suatu lingkungan dalam menyediakan jasa atau layanan untuk menopang kehidupan
manusia. Dengan kata lain, definisi tersebut melihat daya dukung dan daya tampung dari aspek
ketersediaan (supply) atau dari sisi ekosistem atau lingkungan hidup.
Metode pengukuran daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup telah banyak dikembangkan di
dunia antara lain metode ecological footprint (EF), ecological footprint- biocapacity Account (EF-BC Account), metode barometer keberlanjutan (Barometer of Sustainability), kualitas hidup (Quality of Life), kesehatan ekosistem (Ecosystem Health) dan ketersediaan sumberdaya alam (Natural Resources Availability) dan lain sebagainya.
Berdasarkan pada definisi daya dukung dan daya tampung sebagaimana termuat dalam UU PPLH,
penghitungan daya dukung daya tampung dalam pedoman ini dilakukan melalui pendekatan jasa
ekosistem. Jasa ekosistem maupun fungsi ekosistem akan terbentuk sesuai dengan karakteristik
wilayah yang dipengaruhi oleh karakteristik bentang alam, vegetasi alami serta penggunaan lahannya.
Karakteristik bentang alam dan vegetasi alami merupakan cerminan dari karakteristik masing-masing
ekoregion yang terbentuk dari geomorfologi dan morfogenesa serta ciri lainnya.
Dengan pendekatan jasa ekosistem, daya dukung daya tampung dari aspek ketersediaan adalah sama
dengan besaran jasa lingkungan atau besaran kontribusi yang mampu diberikan ekosistem untuk
dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Fungsi penyedia (provisioning), jasa social budaya (cultural services) dan sebagian fungsi pengatur (regulating) dari suatu ekosistem dapat mewakili dari daya
dukung lingkungan hidup, sementara sebagian besar fungsi pengatur (regulating) dari suatu ekosistem
dapat mewakili daya tampung lingkungan hidup. Jasa pendukung bisa bermakna dua yaitu daya dukung
dan daya tampung karena proses alami secara internal dapat mendukung perbaikan kualitas, stabilitas
dan produktifitas jasa ekosistem lainnya.
Secara operasional, dalam pedoman ini penghitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
dengan pendekatan konsep jasa ekosistem, dengan pengembangan asumsi dasar sebagai berikut:
15
a. Semakin tinggi jasa ekosistem suatu wilayah, maka semakin tinggi kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar
keduanya; dan
b. Semakin tinggi jasa ekosistem suatu wilayah, maka semakin tinggi kemampuan lingkungan
hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya.
Esensi dasar dari identifikasi daya dukung dan daya tampung adalah bahwa kemampuan ekosistem
menyediakan jasa ekosistem (supply side) adalah terbatas, sementara kebutuhan jasa ekosistem
(demand side) bisa tidak terbatas. Agar tidak menggangu struktur, proses maupun fungsi ekosistem,
maka pemanfaatan jasa ekosistem seharusnya tidak melebihi kemampuan tersebut. Jika aspek
ketersediaan (supply) dipertemukan/diperbandingkan dengan aspek kebutuhan (demand) akan
dihasilkan apa yang disebut status daya dukung daya tampung lingkungan hidup. Status daya dukung
daya tampung dikatakan terlampaui apabila supply lebih kecil dari demand. Demikian pula sebaliknya.
Konsep daya dukung daya tampung berdasarkan konsep jasa ekosistem memiliki kelebihan karena
secara operasional dapat dihitung dengan pendekatan keruangan (spatial), sehingga daya dukung daya
tampung dapat disajikan secara informatif dengan menggunakan peta yang mampu menunjukkan
sebaran, luasan serta mudah untuk diintegrasikan pada rencana pembangunan wilayah baik di tingkat
nasional, provinsi dan kota/kabupaten.
Oleh karena status daya dukung daya tampung hanya dapat diketahui jika supply side dan demand side dari jasa lingkungan dapat dihitung, maka tidak semua jasa lingkungan sejauh ini dapat ditentukan
statusnya. Hasil dari studi pustaka menunjukkan bahwa hingga saat ini metode penghitungan masih
dalam pengembangan dan belum diperoleh suatu kesepakatan.
Di Indonesia, penentuan status daya dukung daya tampung nasional baru dilakukan untuk status daya
dukung daya tampung penyedia air dan penyedia pangan. Sementara untuk jasa lingkungan yang
lainnya baru dapat dihitung kinerja (supply side) jasanya. Akan tetapi, dalam skala lokal (provinsi dan
atau kabupaten) tidak tertutup kemungkinan diperoleh metode ataupun rumus yang bersumber dari
pustaka lain dan atau hasil kajian akademis yang dapat digunakan untuk menghitung demand side dari
jasa lingkungan yang lainnya.
Hasil penghitungan kinerja jasa lingkungan sebenarnya sudah dapat digunakan untuk pertimbangan
dalam menyusun kebijakan, rencana dan atau program berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan menghitung kinerja jasa lingkungan secara time series ataupun
minimal 2 (dua) periode waktu. Dengan memperbandingkan 2 (dua) atau lebih hasil hitungan kinerja
dapat memberikan indikasi kondisi penurunan ataupun peningkatan kinerja jasa lingkungan untuk
suatu wilayah. Penurunan kinerja jasa ekosistem dapat diartikan bahwa kemampuan ekosistem dan
lingkungan menyediakan jasa pada rentang periode tersebut mengalami penurunan. Oleh karena itu,
agar ekosistem tidak mengalami kerusakan, pemanfaatan jasa lingkungan perlu dikendalikan bahkan
dikurangi.
V.5. Kriteria dan Bukti Pendukung Penyedia dan Pemanfaat
Verifikasi dan validasi ini akan mencakup dua hal besar pengaturan, yaitu: bukti atau hal-hal yang akan
diverifikasi, dan yang akan melakukan verifikasi dan validasi. Bukti/hal-hal yang akan diverifikasi:
a. Penyedia: memiliki atau menguasai lahan yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat
pemilikan lahan/perjanjian penguasaan lahan/SK penguasaan lahan dalam hal lahannya
merupakan lahan negara.
b. Pemanfaat: memiliki/membuat surat pernyataan kesanggupan membayar PJL/Willingness and able to pay.
16
V.6. Muatan Perjanjian Kerjasama PJL
Belajar dari pengalaman Pemkab Kuningan dengan Pemkot Cirebon terkait dengan kerjasama
pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, muatan
perjanjian kerjasama PJL, antara lain:
1. Irah-irah perjanjian kerjasama PJL. Berisi informasi mengenai perjanjian antara pihak
penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan, nomor perjanjian, dan perihal perjanjian.
2. Hari, tanggal, bulan, dan tahun penandatanganan perjanjian kerjasama PJL.
3. Identitas Penyedia dan Pemanfaat Jasa Lingkungan. Berisi nama (bisa perseorangan
atau kelompok), domisili para pihak, dan tempat penandatanganan perjanjian.
4. Dasar perjanjian. Berisi tentang dasar hukum atau kebijakan daerah yang dijadikan dasar
pembuatan perjanjian kerjasama.
5. Maksud dan tujuan. Maksud akan berisi mengenai pelestarian jasa lingkungan hidup yang
akan diperjanjikan melalui kegiatan konservasi yang disepakati bersama para pihak.
Sedangkan, tujuan akan berisi mengenai kerjasama antara penyedia dan pemanfaat dalam
rangka pelestarian jasa lingkungan hidup dan perolehan manfaat dari jasa lingkungan hidup
yang disepakati dalam perjanjian kerjasama.
6. Ruang lingkup perjanjian. Berisi hal-hal yang diperjanjikan. Misalnya, (a) kesediaan
penyedia jasa lingkungan untuk menyediakan jasa lingkungan kepada pemanfaat; (b) pemanfaat
bersedia memanfaatkan jasa lingkungan yang disediakan penyedia dalam jumlah yang
disepakati; (c) kesediaan pemanfaat untuk membayar jasa lingkungan kepada penyedia; (d)
kesediaan para pihak untuk melakukan pertemuan reguler dalam rangka membahas hal-hal
yang dianggap perlu dalam pelaksanaan perjanjian.
7. Hak dan kewajiban para pihak. Antara lain, misalnya: menyediakan dan menggunakan jasa
lingkungan, melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan sebagaimana
disepakati dalam perjanjian kerjasama, membayar jasa lingkungan, turut serta memelihara dan
melestarikan jasa lingkungan, dll.
8. Kesepakatan mengenai pelaksanaan perjanjian. Antara lain, misalnya: memanfaatkan
jasa lingkungan, tidak melakukan hal-hal yang tidak disepakati dalam perjanjian, waktu
pembayaran jasa lingkungan, peninjauan ulang besaran pembayaran jasa lingkungan, dll.
9. Jangka waktu perjanjian. Berisi misalnya, jangka waktu perjanjian (berapa lama atau
berapa tahun), perpanjangan jangka waktu perjanjian, dan jangka waktu pemberitahuan
perihal keinginan memperpanjang jangka waktu perjanjian (misalnya, 6 bulan sebelum
perjanjian berakhir).
10. Pemutusan atau pembatalan perjanjian. Berisi ketentuan yang memungkinkan
pemutusan atau pembatalan perjanjian. Misalnya, kesepakatan bersama, wanprestasi, atau hal
lain yang membuat tidak dapat diteruskan/dilaksanakannya perjanjian kerjasama. Juga berisi
mengenai tata cara pemutusan atau pemabatalan perjanjian.
11. Force majeur atau keadaan yang memaksa. Berisi ketentuan mengenai situasi yang
memaksa yang membuat perjanjian tidak bisa dilaksanakan. Misalnya, perubahan kebijakan
pemerintah, bencana alam, huru hara, dll. Selain itu, dalam bagian ini juga akan berisi
mengenai hal-hal yang harus dilakukan para pihak dalam hal terjadi force majeur. 12. Penyelesaian konflik. Berisi beberapa pilihan penyelesaian konflik dalam hal terjadi konflik.
Misalnya, diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat, diselesaikan dengan menggunakan
jasa mediator atau arbiter, penyelesaian melalui keputusan pemerintah, atau penyelesaian
melalui pengadilan.
13. Pengawasan dan pengendalian operasional. Berisi mengenai hal-hal yang diperlukan
untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan perjanjian.
14. Ketentuan lain. Berisi mengenai ketentuan yang membuka ruang bagi adanya tambahan
kesepakatan/hal-hal yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan perjanjian, namun belum
tertuang dalam perjanjian yang sudah ditanda tangani.
15. Ketentuan penutup. Berisi, antara lain: perjanjian dibuat dalam dua rangkap untuk masing-
masing pihak, dan pernyataan bahwa perjanjian dibuat tanpa unsur paksaan atau penipuan.
16. Tanda tangan para pihak yang dibubuhi dengan materai.
17
Point 1-16 adalah substansi kontrak.
Selain pembelajaran dari perjanjian antara Pemkab Kuningan dengan Pemkot Cirebon terkait dengan
kerjasama pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, naskah perjanjian, secara umum juga dapat berisi
mengenai: (1) Identitas penyedia dan pemanfaat; (2) Ruang lingkup perjanjian; (3) Tujuan; (4) Jasa
Lingkungan Hidup yang dikerjasamakan melalui PJL; (5) Bentuk dan nilai PJL; (6) Sumber dana PJL; (7)
Kegiatan yang akan dilaksanakan penyedia dan pemanfaat dalam rangka melaksanakan PJL; (8) Target
dan indikator kinerja penyedia dan pemanfaat; (9) Mekanisme penyaluran dana; (10) Jangka waktu dan
persentase penyaluran dana; (11) Monitoring dan evaluasi; (12) Fasilitator atau lembaga perantara
yang ditunjuk dan disepakati oleh penyedia dan pemanfaat; (13) Hak dan kewajiban para pihak; (14)
Penyelesaian sengketa.
V.7. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan PJL
Secara umum, terdapat dua jenis laporan pelaksanaan PJL, yaitu:
1. Laporan kegiatan sesuai kontrak ditujukan kepada pemanfaat oleh pengelola PJL
(Fasilitator/Lembaga multi pihak); dan
2. Laporan PJL ditujukan kepada pemerintah (Dinas LH, PEMDA) oleh pengelola PJL
(Fasilitator/Lembaga multi pihak).
V.8. Penyelesaian Sengketa
Belajar dari pengalaman Pemkab Kuningan dengan Pemkot Cirebon terkait dengan kerjasama
pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, muatan
perjanjian kerjasama PJL, pilihan penyelesaian sengketanya adalah:
1. Diselesaikan secara musyawarah mufakat antara para pihak;
2. Jika penyelesaian melalui musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka meminta bantuan
kepada pemerintah untuk membantu penyelesaiannya.
Pilihan lain untuk penyelesaian sengketa adalah:
1. Menggunakan jasa mediator atau arbiter;
2. Melakukan penyelesaian melalui pengadilan.
V.9. Posisi PJL (Akan Datang) Terhadap PJL yang Sedang Berjalan dan Praktek PJL Kedepan
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketentuan PJL yang akan diatur dalam Peraturan Menteri terkait dengan
Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan yang tengah dikembangkan saat ini akan berdampak pada PJL yang
saat ini tengah berjalan dan praktek PJL kedepannya. Oleh karena itu, terhadap situasi tersebut harus
diberikan opsi-opsi yang bisa mengakomodir kondisi-kondisi tersebut, antara lain:
1. Untuk kerjasama PJL yang sudah berjalan, maka tetap berjalan sesuai dengan perjanjian
kerjasama yang telah ditandatangani. Namun demikian, jika akan diperpanjang, maka proses
kontrak dan kontrak baru wajib mengikuti PerMen PJL ini.
2. Untuk proses PJL yang masih dalam proses, baik yang baru akan diinisiasi atau sudah
berproses, tetapi belum tanda tangan kontrak, maka prosesnya harus mengikuti PerMen PJL
ini.