Download - Skenario B Fix
Skenario B Blok 14 Tahun 2013
Tn.A, 67 tahun dibawa ke ruang gawat darurat RSMH oleh keluarganya karena koma
sejak 3 jam yang lalu. Pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap
hari mengonsumsi glibenklamid 5 mg setiap hari. Menurut keluarganya, sebelum
koma, pasien merasa dingin, berkeringat, palpitasi, badan lemas dan merasa cemas,
setelah minum obat sebelum makan pagi
Pemeriksaan fisik:
Kesadaran: koma, TD 90/40 mg, nadi 120 x/menit, suhu 360C
Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik
Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dl
Jelaskan mengenai kasus ini secara rinci!
I. Klarifikasi istilah
Koma : Keadaan tidak sadarkan diri yang amat sangat dimana penderita
tidak dapat dibangunkan bahkan dengan rangsangan yang kuat.
DM : Suatu sindrom dengan terganggunya metabolism karbohidrat,
lemak, dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi
insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin.
Glibenklamid : Obat golongan sulfonylurea golongan ke-2 yang digunakan untuk
mengobati DM tipe 2.
GDS : Hasil pengukuran gula darah yang dilakukan tanpa perlakuan
khusus.
Glukometer : Alat yang digunakan untuk menentukan proporsi glukosa dalam
urin
Palpitasi : Perasaan berdebar-debar yang bersifat subjektif
1 | P a g e
II.Identifikasi Masalah
1. Tn.A, 67 tahun koma sejak 3 jam yang lalu
2. Tn. A mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan mengonsumsi
glibenklamid 5 mg setiap hari
3. Sebelum koma, Tn.A merasa dingin, berkeringat, palpitasi, badan lemas dan
merasa cemas, setelah minum obat sebelum makan pagi
4. Hasil pemeriksaan fisik:
Kesadaran: koma, TD 90/40 mg, nadi 120 x/menit, suhu 360C
Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik
Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dl
III.Analisis Masalah
1. a. Apa saja tingkat-tingkat kesadaran?
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
2 | P a g e
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
No Nama Penjelasan Tanda-tanda1. Compos Mentis Sadar penuh atau ia
Sadar, mengantuk atau tidur.
2.
3.
4.
5.
(Normal)
Apatis(Acuh Tak Acuh)
Somnolent(Ngantuk)
Derilium(Menggigau)
Koma (Sapor)(tidak Sadar)
sadar terhadap diri dan lingkungannya.
Dapat dirangsang oleh rangsangan : rangsangan nyeri, bunyi atau gerak
Acuh tak acuh dan lama untuk menjawab terhadap rangsangan yang diberikan
Keadaan mengantuk atau disebut juga dengan letargi atau obtundasi.
Dapat dirangsang dengan rangsangan : dibangunkan atau diberikan rangsangan nyeri.
Penurunan kesadaran disertai peningkatan yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur bangun yang terganggu.
Dapat dirangsang dengan rangsangan : dengan cubitan
Keadaan tidak sadarkan diri yang penderitanya tidak dapat
Bila tidur dapat disadarkan dengan memberi rangsangan
Sadar tapi tidak koeperatif
Sadar tapi kadang-kadang tertidur, penderita mudah dibengunkan, mampu memberikan jawaban verbal dan menangkis rangsangan nyeri
Gaduh, gelisah, kacau, berteriak-teriak, meronta-ronta, aktivitas motoriknya meningkat dan disorientasi
Tidak adanya jawaban terhadap rangsangan yang diberikan.
3 | P a g e
dibangunkan bahkan dengan rangsangan yang kuat
b. Apa etiologi koma secara umum?
Koma dapat berasal intracranial atau extracranial. Contoh-contohnyadiberikan
dibawah ini :
A. Intracranial : Cedera kepala, cerebrovaskuler accident, infeksi SSP, tumor,
penyakit-penyakit konvulsi, penyakit degeneratif, meningkatnya tekanan
intracranial,kelainan psikiatri.
B. Extracranial : kelainan vascular (shock atau hipotensi, seperti pada
perdarahan hebat, infark myocardium, hipertensi arterial): kelainan
metabolisme(diabetic acidosis, hipoglikemia, uremia, coma hepaticum, krisis
addison, gangguankeseimbangan elektrolit): intoksikasi (alkohol, barbiturat, narkotik,
bromida,analgesik, ataractic, carbon monoxida, logam-logam berat): lain-lain
(hiperthermiahipothermia, cicatric shock, anaphylaxis, infeksi sistemik yang berat)
Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat menjadi SEMENITE :
a. Sirkulasi – gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark)
b. Ensefalitis – akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dll
c. Metabolik – akibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggu
kinerja otak. (gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum,
dsb).
- Reaksi hipoglikemi : Reaksi hipoglikemi adalah gejala yang timbul
akibat tubuh kekurangan glukosa yang harus ditanngani dengan
segera. Gejala tersebut ditandai dengan dengan tanda- tanda seperti
rasa lapar, gementar, keringat dingin, pusing dan sebagainya. Dalam
keadaan hipoglikemi ini, bila penderita masih sadar, harus segera
4 | P a g e
diberi roti atau pisang karena jika tidak segera diobati,penderita akan
tidak sadarkan diri. Keadaan ini terjadi disebabkan oleh kekurangan
glukosa dalam darah dan koma ini disebut koma hipoglikemik.
- Koma diabetes : Berlawanan dengan koma hipoglikemik, koma
diabetes ini muncul karena kadar gula dalam darah yang terlalu tinggi
dan biasanya melebihi 600 mg/dL.
d. Elektrolit – gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).
e. Neoplasma – tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkan
penekanan intracranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat
(papiledema, bradikardi, muntah).
f. Intoksikasi – keracunan.
g. Trauma – kecelakaan.
h. Epilepsi.
c. Bagaimana mekanisme koma sesuai dengan skenario?
Gangguan suplai glukosa akan mengakibatkan gangguan fungsi otak
(neuroglikopenia), dan bila berlangsung lama akan menyebabkan kerusakan
syaraf otak yang irreversibel dan kematian. Pada orang dewasa sehat dengan BB
70 kg, kebutuhan glukosa otak diperkirakan sebanyak 1 mg/kg/menit) atau
sebanyak 100 g/hari. Ambilan glukosa otak difasilitasi oleh 2 transporter glukosa
yaitu GLUT 1 dan GLUT3 yang tidak tergantung dengan insulin. Dalam keadaan
hipoglikemia, sistem transportasi glukosa ini mengalami gangguan. Sedangkan
pada hipoglikemia kronik akan terjadi up regulasi transporter glukosa, suatu
fenomena penting yang berperan dalam terjadinya hypoglycemia unawareness.
Dalam keadaan puasa, otak dapat menggunakan benda2 keton (β-hydroksi-
butirat dan aseto asetat) sebagai sumber energi alternatif. Ambilan benda2 keton
oleh otak proporsional dengan kadarnya didalam darah. Oksidasi benda2 keton
dapat menjadi sumber energi hanya bila kadarnya didalam sirkulasi mengalami
peningkatan, seperti terjadi dalam keadaan puasa yang lama.
5 | P a g e
Jadi bila kadar glukosa darah rendah, sedangkan kadar keton sangat tinggi, maka
otak sebagian terlindung dari efek buruk hipoglikemia. Namun bila kadar
glukosa dan keton rendah, seperti terjadi pada hipoglikemi akibat pemberian
insulin dan gangguan oksidasi asam lemak, otak akan sangat rentan terhadap
gangguan metabolik.
Gangguan asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan
ganguan fungsi sistem saraf pusat (SSP), dengan gejala gangguan kognisi,
bingung (confusion) dan koma. Jaringan saraf yang memamfaatkan sumber
energi alternatif yaitu keton, dan laktat. Pada hipoglikemi yang disebabkan
insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar
yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energi
alternatif. (IPDL hal: 1903)
2. a. Jelaskan macam-macam DM?
Macam-macam Diabetes Mellitus
Menurut Maulana (2009), diabetes mellitus terdiri dari dua jenis, yaitu diabetes
mellitus yang tergantung pada insulin (IDDM) atau diabetes Tipe I, dan diabetes
mellitus yang tidak tergantung pada insulin (NIDDM atau Diabetes Tipe II).
1) Diabetes Mellitus yang tergantung pada insulin (IDDM) atau Diabetes Tipe I
Diabetes mellitus tipe 1 dicirikan dengan hilangnya sel penghasil insulin pada pulau-
pulau langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes
tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sampai saat ini, diabetes
tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olahraga tidak bisa menyembuhkan atau pun
mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan
dan berat badan yang baik saat penyakit ini dideritanya. Selain itu, sensitivitas
maupun respon tubuh terhadap insulin umumnya
6 | P a g e
normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal. Saat ini, diabetes
tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang
teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah.
Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah
penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa
menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan
pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olah raga). Terlepas dari pemberian injeksi
pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang
memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis
yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis dari insulin yang
dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan
insulin melalui ”inhaled powder”.
2) Diabetes Mellitus yang tidak tergantung pada insulin (NIDDM atau Diabetes Tipe
II)
Diabetes mellitus tipe 2 terjadi karena kombinasi dari ”kecacatan dalam produksi
insulin” dan resistensi terhadap insulin” atau ”berkurangnya sensitifitas terhadap
insulin” (adanya defekasi respon jaringan terhadap insulin) yang melibatkan reseptor
insulin di membran sel. Pada tahap awal abnormalitas yang paling utama adalah
berkurangnya sensitivitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar
insulin di dalam darah. Pada tahap ini, hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai
cara dan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau
mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi
insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan.
Diabetes tipe kedua ini disebabkan oleh kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap
insulin. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari
normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi
kekurangan insulin relatif. Gejala pada tipe kedua iuni terjadi secara perlahan-lahan.
Dengan pola hidup sehat, yaitu mengkonsumsi makanan bergizi seimbang dan olah
raga secara teratur biasanya penderita berangsur pulih. Penderita juga harus dapat
7 | P a g e
mempertahankan berat badan yang normal. Namun, bagi penderita stadium terakhir,
kemungkinan akan diberikan suntikan insulin.
b. Bagaimana patofisiologi DM tipe 2?
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin
lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan
sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang
kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang
kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak,
tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang
masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar
(glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. DM tipe 2
disamping kadar glukosa tinggi juga kadar insulin tinggi atau normal.
Keadaan ini disebut resistensi insulin.( Suyono, 2005, hlm 3).
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dihubungkan dengan
efek utama kekurangan insulin yaitu :
o Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang
mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi
300 sampai 1200 mg per 100 ml.
o Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak
sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun
pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
o Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Keadaan patologi tersebut akan berdampak :
(a) Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi
daripada rentang kadar puasa normal 80-90 mg/100 ml darah, atau rentang
non puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah. (Corwin, 2001, hlm. 623).
8 | P a g e
Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa
dalam tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel
tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk menjadi bahan energi. Apabila
bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan sebagai
glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot (sebagai massa sel otot). Proses
glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat
mencegah hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak
dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di
darah (hiperglikemia). (Long, 1996, hlm. 11).
Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin
tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut :
o Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.
o Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan
tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
o Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan
glikogen berkurang, dan glukosa “hati” dicurahkan dalam darah secara
terus menerus melebihi kebutuhan.
o Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non karbohidrat)
meningkat dan lebih banyak lagi glukosa “hati” yang tercurah ke dalam
darah hasil pemecahan asam amino dan lemak. (Long, 1996, hlm.11).
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai
mikroorganisme dengan cepat seperti bakteri dan jamur. Karena
mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya glukosa.
Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan
darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat
mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi itulah
yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi.
Kondisi ini akan mengakibatkan penderita diabetes melitus mudah
mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur. (Sujono, 2008, hlm. 76).
9 | P a g e
(b) Hiperosmolaritas
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada
plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan
osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan karena adanya peningkatan
konsentrasi larutan pada zat cair. Pada penderita diabetes melitus
terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam
darah (yang notabene komposisi terbanyak adalah zat cair). Peningkatan
glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada
ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih
225 mg/ menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan
glukosa melalui urin (glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif
secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis
osmotik) dan berakibat peningkatan volume air (poliuria).
Akibat volume urin yang sangaat besar dan keluarnya air yang
menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi
ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan
gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi
intrasel merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus.
(Corwin,2001, hlm.636).
Glukosuria dapat mencapai 5-10% dan osmolaritas serum lebih dan
370-380 mosmols/ dl dalam keadaan tidak terdapatnya keton darah.
Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar nonketotik
(KHHN). (Sujono, 2008, hlm. 77).
(c) Starvasi Selluler
Starvasi Selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh
sel karena glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali
10 | P a g e
glukosa. Ada banyak bahan makanan tapi tidak bisa dibawa untuk diolah.
Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk masuk
sel yaitu insulin.
Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi selluler
untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain :
o Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi
jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan
jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme
cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa
dan energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton).
Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot, dan
rasa mudah lelah.
o Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme
protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan
untuk glukoneogenesis dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis akan
dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh. Protein dan asam amino yang
melalui proses glukoneogenesis akan dirubah menjadi CO2 dan H2O serta
glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein.
Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan
penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur
pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi
diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan dalam urine. Ekskresi
nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan negative
nitrogen.
Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan
resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak
(sulit sembuh kalau cidera).
o Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolisme
lemak (lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida, dan gliserol yang akan
11 | P a g e
meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses
ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel.
Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton),
sementara keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer pH
darah menurun. Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi
keadaan asidosis metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk
dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme protein yang
meningkatkan asupan protein ke ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan
protein.
Adanya starvasi selluler akan meningkatkan mekanisme penyesuaian
tubuh untuk meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa ingin
makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga akan memunculkan gejala
klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan produksi energi. Dan
kerusakan berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul
impotensi dan orggan tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata
(muncul rasa baal dan mata kabur). (Sujono, 2008, hlm. 79).
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu:
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel beta pancreas
12 | P a g e
Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja
optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar.
Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel beta pancreas
mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk
mempertahankan homeostasis glukosa darah, sehingga terjadi
hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan
euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar
glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan
hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatan asam lemak
bebas dalam darah.
Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin
relative (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia)
mengakibatkan sel beta
pancreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme
glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa
dan akhirnya DM tipe 2.
13 | P a g e
Resistensi Insulin Genetik Didapat : Obesitas Kurang Aktivitas Fisik Faktor usia
Hiperinsulinemia Kompensasi
Toleransi Glukosa Normal Toleransi Glukosa Terganggu Disfungsi sel
DM Tipe 2 Produksi Glukosa Hati
Meningkat
c. Apa faktor risiko DM tipe 2?
d. Bagaimana farmakologi glibenklamid?
- Farmakokinetik
Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat
diberikan per oral. Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh
cairan ekstra sel. Dalam plasma sebagian besar pada protein plasma
terutama albumin (70-99%).pada protein plasma terutama albumin
(70-99%). Studi menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif
menunjukkan bahwa, glibenklamid diserap sangat baik (84 ±
9%).libenklamid diserap sangat baik (84 ± 9%). Mula kerja (onset)
glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat 15-60 menit
setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah tercapai
setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah
14 | P a g e
pemberian kadardalam plasma hanya tinggal sekitar 5%. Masa kerja
sekitar 15 = 24 jam.
Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan
hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu
metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif.
Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-
trans, metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis,
sedangkan metabolit lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit
tidak ada yang diakumulasi. Hanya 25-50 % metabolit diekskresi
melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui empedu dan
dikeluarkan bersama tinja. Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam,
dapat bertambah panjang apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal.
Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah
36 jam. Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam tubuh, walaupun
dalam pemberian berulang.
- Farmakodinamik
Mekanisme Kerja
Kerja utama sulfonylurea adalah meningkatkan rilis insulin dari
pankreas. Diduga terdapat dua mekanisme kerja tambahan-suatu
penurunan kadar glucagon serum dan suatu efek ekstrapankreatik
dengan mengadakan efek potensiasi terhadap kerja insulin pada
jaringan sasaran-tetapi kemaknaan klinisnya masih dipertanyakan.
A. Rilis Insulin dari Sel-sel B pankreas: Golongan obat ini sering
disebut sebagai insulin secretagogues, kerjanya merangsang sekresi
insulin dari granul sel-sel Beta Langerhans pankreas. Sulfonylurea
berikatan dengan suatu reseptor sulfonylurea yang berdaya afinitas
15 | P a g e
tinggi 140 kDa yang dihubungkan dengan suatu kanal kalium yang
sensitif ATP yang menyebabkan aliran ke dalam sel B. Dengan
mengikat satu silfonylurea berarti menghambat aliran ion kalium ke
luar melalui kanal dan menyebabkan terjadinya depolarisasi.
Sebaliknya, depolarisasi membuka kanal kalsium yang dibuka oleh
voltase dan menyebabkan aliran kalsium ke dalam dan merangsang
granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin.
Karena obat ini terusmenutup pintu kanal k+, maka obat ini tidak
akan berpengaruh terhadap feedback negative yang diterima dari
pancreas, obat ini akan terus mensekresikan insulin hingga efek dari
obat ini habis. Oleh karena itu, dosis pemakaian obat ini tidak
dianjurkan untuk pemakaian yang besar.
B. Penurunan Konsentrasi Glucagon Serum: Sekarang telah
diterapkan bahwa pemberian sulfonylurea pada diabetes tipe 2 secara
kronis dapat menurunkan kadar glucagon serum. Keadaan tersebut
dapat berperan terhadap efek hipoglikemik dari obat. Mekanisme efek
supresi sulfonylurea pada kadar glucagon tersebut tidak jelas tetapi
diduga melibatkan hambatan tidak langsung yang disebabkan oleh
peningkatan rilis baik pada insulin maupun somatostatin, yang
menghambat sekresi sel A.
Diduga ketika sulfonylurea berikatan dengan reseptor tersebut, kanal
ion menutup untuk mendepolarisasi sel, sehingga menyebabkan aliran
masuk kalsium dengan rilis glucagon. Keberadaan sel-sel B yang
bersebelahan dalam pulau-pulau yang utuh mencegah respons tersebut,
karena sulfonylurea merilis sejumlah besar insulin yang hasil akhirnya
merupakan penghambat sel-sel A.
16 | P a g e
C. Potensiasi Kerja Insulin pada Jaringa Sasaran: Penutupan kanal
kalium di jaringan selain pankreas. Berikatan dengan reseptor
sulfonilurea di kanal kalium di jaringan selain pankres, namun
afinitasnya bervariasi diantara golongan obat.
- Indikasi
DM tipe II (NIDDM), dimana kadar gula darah tidak dapat dikendalikan secara adekuat dengan cara diet, latihan fisik, dan penurunan berat badan saja
- Kontraindikasi a. Pada penderita non-diabetik dengan glikosuria ginjal.b. Pada penderita diabetik ketoasidosis.c. Diabetes meliitus dengan komplikasi (demam,trauma,gangren)d. Wanita hamil,hipersensitif,penderita penyakit hati dan ginjal yang parah.e. Diabetes meliitus tergantung insulin (type I atau juvenil onset diabetes)f. Gangguan fungsi adrenocorticoid yang seriusg. Pasien usia lanjut >65 tahun
- Dosis dan cara pemakaian Glibenklamid=Golongan Sulfonilurea generasi kedua (insulin
sekretorik)
Sediaan: 5 mg
Dosis: awal 2,5-5 mg perhari, Start pada 1.25 mg untuk pasien yang
rentan terhadap hipoglikemik, ditingkatkan perlahan tidak lebih dari
2,5 mg dgn interval 1 minggu, maksimal : 15-20 mg/hari
Nama paten antara lain: glukonic, glyamid, libronil, tiabet
Mekanisme: merangsang sekresi insulin dari granul sel beta
langerhans
17 | P a g e
Terapi efektif: diberikan 30 menit sebelum makan. ½ h.a.c
dimaksudkan untuk mencegah hipoglikemi dan mempercepat
absorbsi karena makanan dapat menyebabkan menurunnya
absorbsi.
- Interaksi obat-makanan
o Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik; Analgetika
(azapropazon, fenilbutazon, dan lain-lain): meningkatkan efek
sulfonilurea; Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-
kadang mengganggu toleransi glukosa; Antagonis Hormon:
aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme OHO;
oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO;
Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik;
Antibakteri (kloramfenikol, kotrimoksasol, 4-kuinolon,
sulfonamida dan trimetoprim): meningkatkan efek
sulfonilurea; Antibakteri rifampisin: menurunkan efek
sulfonilurea (mempercepat metabolisme); Antidepresan
(inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik;
Antijamur: flukonazol dan mikonazol menaikkan kadar
plasma sulfonilurea; Anti ulkus: simetidin meningkatkan efek
hipoglikemik sulfonilurea; Hormon steroid: estrogen dan
progesterone (kontrasepsi oral) antagonis efek hipoglikemia;
Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan
mempunyai efek aditif terhadap OHO; Penyekat
adrenoreseptor beta : meningkatkan efek hipoglikemik dan
menutupi gejala peringatan, misalnya tremor; Penghambat
ACE: dapat menambah efek hipoglikemik; Urikosurik:
sulfinpirazona meningkatkan efek sulfonylurea.
18 | P a g e
o Obat dan makanan: -
- Efek samping
Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan
susunan syaraf pusat. ;Gangguan saluran cerna berupa mual, diare,
sakit perut, dan hipersekresi asam lambung ;Gangguan susunan syaraf
pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain
sebagainya;Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia,
agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali ;
Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu
ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia.
Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral
dengan masa kerja panjang. Golongan sulfonilurea cenderung
meningkatkan berat badan
e. Bagaimana tatalaksana DM tipe 2?
Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan
rasa nyaman dan sehat.
Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati
maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas
DM.
Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.
Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya
faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta
19 | P a g e
pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat
dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan.
Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri
dan melakukan promosi perubahan perilaku.
Pilar utama pengelolaan DM :
a. Edukasi
Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah
terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara
optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak
sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut,
yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku,
membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang
berkenaan dengan:
Makan makanan sehat
Kegiatan jasmani secara teratur
Menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-waktu yang
spesifik
Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai
informasi yang ada
Melakukan perawatan kaki secara berkala
Mengelola diabetes dengan tepat
Mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan
Dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian
masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir
20 | P a g e
sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi,
dokumentasi, dan evaluasi.
b. Latihan jasmani Obat-obatan
Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai
dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah
itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang
diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes
oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-
obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut
petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan
sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu.
c. Perencanaan makan
Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen,
sehingga tidak ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara
umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada
saat ini yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat, sedang
istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan karbohidrat kerja cepat tidak
digunakan lagi. Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes
mendukung akan perlunya dimasukannya makanan yang mengandung karbohidrat
terutama yang berasal dari padi-padian, buah-buahan, dan susu rendah lemak dalam
menu makanan orang dengan diabetes. Banyak faktor yang berpengaruh pada respons
glikemik makanan, termasuk didalamnya adalah macam gula: (glukosa, fruktosa,
sukrosa, laktosa), bentuk tepung (amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara
memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta komponen makanan
lainnya (lemak, protein). Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang
21 | P a g e
berasal dari berbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu
kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik, bila jumlah
karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah total kalori dari
makanan lebih penting daripada sumber atau macam makanannya.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut:
Karbohidrat 60-70%
Protein 10-15%
Lemak 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut,
dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.
f. Bagaimana preventif DM tipe 2?
Tindakan preventif untuk penyakit DM bisa dengan pencegahan primordial,
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
2.9.1. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial yaitu pencegahan kepada orang-orang yang masih sehat agar
tidak memiliki faktor risiko untuk terjadinya DM.6 Pencegahan primordial ditujukan
kepada masyarakat yang sehat untuk berperilaku positif mendukung kesehatan umum
dan upaya menghindarkan diri dari risiko DM (sindrom metabolik). Misalnya,
berperilaku hidup sehat, tidak merokok, memakan makanan yang bergizi dan
seimbang, diet, membatasi diri dengan makanan tertentu ataupun kegiatan jasmani
yang memadai.
2.9.2. Pencegahan Primer
22 | P a g e
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita tetapi berpotensi untuk
menderita DM. Pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya DM dan upaya untuk mengeliminasi/
menghilangkan faktor-faktor tersebut.
Usaha pencegahan primer ini dilakukan secara menyeluruh pada masyarakat tetapi
diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang
berisiko tinggi yang berpotensi menderita DM. Tindakan yang perlu dilakukan untuk
usaha pencegahan primer ini meliputi penyuluhan mengenai perlunya pengaturan
gaya hidup sehat sedini mungkin dengan memberikan pedoman, yaitu
mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang seperti
meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan
karbohidrat sederhana, dan mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur
dan tinggi badan. Selain itu yang dapat dilakukan adalah melakukan kegiatan jasmani
yang cukup dan sesuai dengan umur dan kemampuan.
2.9.3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu mencegah agar tidak terjadi komplikasi walaupun sudah
terjadi penyakit.6 Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan dan
menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan
sejak awal. Pengobatan sejak awal harus segera dilakukan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya komplikasi menahun. Edukasi mengenai diabetes mellitus
dan pengelolaannya akan meningkatkan kepatuhan pasien untuk berobat.
a. Penyuluhan
Edukasi DM adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan mengenai DM.
Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang berhubungan
dengan gaya hidup. Disamping kepada pasien DM, edukasi juga diberikan kepada
anggota keluarganya, tim kesehatan/ perawatan, dan orang-orang yang beraktivitas
bersama-sama dengan penderita DM setiap hari.
23 | P a g e
Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ini ditujukan kepada mereka yang baru
terdiagnosis diabetes. Kelompok penderita diabetes ini masih sangat perlu diberi
pengertian mengenai penyakit diabetes supaya mereka dapat mengendalikan
penyakitnya dalam mengontrol gula darah, mengatur makanan, dan melakukan
aktifitas olah raga sesuai dengan keadaan dirinya sehingga pada akhirnya penderita
akan merasa nyaman karena bisa mengendalikan gula darahnya.
Materi yang dapat diberikan dalam penyuluhan adalah definisi diabetes mellitus,
penatalaksanaan diabetes secara umum, obat-obat untuk mengontrol glukosa darah
(tablet dan insulin), perencanaan makan dengan menggunakan bahan makanan
penukar, manfaat kegiatan jasmani (olah raga). Selanjunya dapat diberikan materi
penyuluhan lanjutan, yaitu mengenal dan mencegah komplikasi akut diabetes,
pengetahuan mengenai komplikasi kronik diabetes, penatalaksanaan diabetes selama
menderita penyakit lain, dan pemeliharaan kaki diabetes.
b. Pengobatan
Jika pasien telah melaksanakan program makan dan latihan jasmani secara teratur,
namun pengendalian kadar glukosa darah belum tercapai, perlu ditambahkan obat
hipoglikemik baik oral maupun insulin.
b.1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien
DM tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes.
Berdasarkan cara kerjanya, Obat Hipoglikemik Oral dapat dibagi menjadi 5
golongan, yaitu golongan pemicu sekresi insulin (sulfonilurea dan glinid), golongan
peningkat sensitivitas terhadap insulin (tiazolidindion), golongan penghambat
glukoneogenesis (metformin), golongan penghambat absorpsi glukosa (glukosidase
alfa), dan golongan DPP-IV inhibitor. Golongan sulfonilurea diberikan pada pasien
yang tidak gemuk karena meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
misalnya Glibenklamid dengan nama obat paten Daonil atau Euglucon. Golongan
glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea dengan
24 | P a g e
penekanan pada sekresi insulin fase pertama, misalnya Repaglinid dengan nama obat
paten Novonorm. Golongan tiazolidindion mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, misalnya
Pioglitazon dengan nama obat paten Actos. Golongan metformin berfungsi
mengurangi produksi glukosa hati, misalnya Glucophage. Golongan glukosidase alfa
berfungsi mengurangi absorpsi glukosa di usus halus sehingga menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan, misalnya Akarbose dengan nama obat paten Glucobay.
b.2. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM tipe 1,
sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat
memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM tipe 1 harus
mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam
tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM tipe 2 tidak
memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin
disamping terapi hipoglikemik oral.
2.9.4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yaitu usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut
walaupun sudah terjadi komplikasi. Untuk mencegah terjadinya kecacatan harus
dimulai dengan deteksi dini komplikasi DM agar komplikasi DM tersebut dapat
dikelola dengan baik.
Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan
menetap.
g. Bagaimana prognosis DM tipe 2?
Prognosis dari DM tipe II bergantung pada kemauan pasien untuk
mengubah gaya hidupnya. Bila pasien tidak mengubah gaya hidupnya
maka dapat terjadi kemungkinan komplikasi seperti serangan jantung,
stroke, penyakit ginjal, kerusakan saraf , impotensi.
25 | P a g e
h. Bagaimana hubungan mengonsumsi obat dengan koma dan gejala-gejala yang
dialami?
Dikenal dua generasi sulfonilurea, generasi pertama terdiri dari
tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid dan klorpropamid. Generasi kedua
yang potensi hipoglikemik lebih besar antara lain glibenklamid, glipizid,
gliklazid dan glimerpirid. Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin
secretagogues, kerjanya merangsang sekresi insulin dan granul sel-sel β
Langerhans pankreas. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang
besar dapat menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia ini mengakibatkan
kurangnya pemasokan glukosa ke system saraf pusat untuk dijadikan
energy sehingga terjadilah koma.
i. Mengapa gejala baru dirasakan setelah 5 tahun mengonsumsi obat?
Keadaan hipoglikemi (dengan kadar glukosa hingga <60 mg/dl) pada
Tn.A dikarenakan mengkonsumsi obat antidiabetik golongan sulfoniluria
dalam jangka waktu yang memang sudah lama (5 tahun) yang kemudian
ditambah pula dengan melakukan salah aktivitas, seperti di bawah ini:
- Dosis obat atau insulin yang terlalu banyak (overdose) disertai
terlambat makan atau tidak makan
- Penderita dengan insufisiensi ginjal atau gagal ginjal dan penyakit hati
kronis yang mendapat OHO seperti sulfonilurea
- Makan dengan karbohidrat (roti, nasi, kentang) yang kurang
- Latihan jasmani yang terlalu keras dan lama dapat meningkatkan
sensitivitas insulin atau dapat berpengaruh melalui absorpsi insulin
yang meningkat dari tempat suntik
- Minum alkohol saat perut kosong
26 | P a g e
3. a. Bagaimana mekanisme:
- Merasa dingin
Otak merupakan organ yang sangat peka terhadap kadar gula darah
yang rendah karena glukosa merupakan sumber energi otak yang
utama. Pada keadaan hipoglikemi, otak memberikan respon terhadap
kadar gula darah yang rendah dan melalui sistem saraf, merangsang
kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin (adrenalin). Hal ini akan
merangsang hati untuk melepaskan gula agar kadarnya dalam darah tetap
terjaga. Jika kadarnya menurun, maka akan terjadi gangguan fungsi
otak.
Sekresi adrenalin ini akan berdampak pada pengeluaran keringat
dingin pada tubuh, hal inilah yang menyebabkan Tn.A merasa dingin.
Mekanisme lainnya:
- Pembentukan panas adalah produk metabolism. Semua pengeluaran
energy oleh tubuh diubah menjadi panas. Dalam kasus ini, metabolism
Tn.A terganggu, akibatnya pembentukan panas juga terganggu.
- Hormon kelamin Pria bisa meningkatkan kecepatan metabolisme,
sehingga lebih banyak panas yang dihasilkan.Mekanismenya dengan
meningkatkan massa otot rangka Dalam kasus ini, Tn.A adalah
seorang lansia
- Berkeringat
Pada keadaan hipoglikemia berarti glukosa di sirkulasi menurun (di
bawah ambang normal), keadaan ini akan merangsang respon terhadap
stress dalam hal ini hipoglikemia, respon fisiologi utama untuk
27 | P a g e
hipoglikemia terletak di neuron hipotalamus ventromedial (VMH)
yang terdiri dari neuron yang sensitif terhadap glukosa. Jadi apabila
dalam keadaan hipoglikemia akan merangsang hipotalamus posterior
untuk mengeluarkan hormon epinefrin yang berfungsi untuk
meningkatkan metabolisme sel. Awal kerjanya yaitu meningkatkan
kerja sistem pernapasan dengan begitu paru-paru ektra kerja untuk
uptake oksigen dari luar sehingga memicu peningkatan peredaran
darah mulai dari otot ke otak. Namun pada keadaan hipoglikemia
aliran darah di jaringan perifer akan berkurang untuk dialihkan ke
organ lain yang lebih membutuhkan (otak). Akibatnya terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah perifer,karena tidak ada proses
metabolisme yg terjadi akibat defisiensi oksigen di perifer, maka tidak
ada ATP dan kalor yang dihasilkan namun epinefrin tetap bekerja
untuk meningkatkan metabolisme karena dipacu terus menerus maka
sel sel kulit (kelenjar keringat) menjadi hiperfungsi dan berkompensasi
dengan mengeluarkan keringat dingin.
- Palpitasi
Efek Insulin terhadap Sistem Kardiovaskular
Selain bekerja untuk menurunkan gula darah, insulin mempunyai efek
terhadap sistem kardiovaskuler. Keseimbangan antara efek vasodilator
insulin yang tergantung NO dan efek vasokonstriktor yang tergantung
ET-1 (endothelin-1) diatur oleh sinyal melalui jalur PI3K
(phosphatidylinositole 3-kinase) dan MAPK (mitogen-activated
protein kinase) pada endotel vaskular. Pada kondisi resistensi insulin,
gangguan sinyal jalur PI3K dan peningkatan sinyal jalur MAPK pada
endotel vaskular dapat merupakan kondisi yang mendasari hubungan
antara penyakit metabolik dan penyakit kardiovaskular. Insulin
memiliki efek antiinflamasi melalui penekanan ICAM-1 (intercellular
28 | P a g e
adhesion melecule-1), MCP-1 ( kemokin monocyte chemoattractant
protein-1), nuclear factor-kappa B (NF-kB), MMP-9 (matrix
metalloproteinase-9) dan CRP. Pada jantung, insulin meningkatkan
kontraktilitas dan berperan penting dalam meningkatkan intake
glukosa jantung terutama pada keadaan stres. Pada saat pertumbuhan
insulin juga berperanan dalam pertumbuhan fisiologis jantung melalui
jalur Akt. Namun pemaparan kronik insulin terkait dengan disfungsi
ventrikel. Insulin diketahui meningkatkan aliran darah perifer dan
menurunkan tahanan perifer, sehingga menghasilkan peningkatan
curah jantung walau tidak ada perubahan signifikan pada tekanan
darah. Perbaikan kerja insulin tidak hanya memperbaiki metabolisme
glukosa, tapi juga bisa risiko yang mendasari aterosklerosis dan
komplikasi kardiovaskular dari diabetes.
Efek Kelebihan Insulin
Konsekuensi dari kelebihan insulin adalah manifestasi dari efek
hipoglikemia terhadap sistem saraf pusat. Glukosa adalah bahan bakar
yang digunakan dalam kuantitas yang cukup besar. Persediaan
karbohidrat pada jaringan saraf sangat terbatas dan fungsi normalnya
tergantung pada suplai glukosa yang terus menerus. Ketika glukosa
plasma turun, gejala yang pertama muncul adalah palpitasi,
berkeringat, dan gugup karena perubahan saraf otonom. Ini terjadi
pada tingkat glukosa darah yang sedikit di bawah tingkat di mana
aktivasi otonom pertama terjadi, karena threshold untuk gejala sedikit
di atas threshold untuk aktivasi awal. Pada kadar glukosa plasma yang
lebih rendah, neuroglycopenic symptoms mulai terjadi. Ini termasuk
lapar, confusion, dan kelainan kognitif lainnya. Pada kadar glukosa
plasma yang jauh lebih rendah, letargi, koma, konvulsi, dan bahkan
kematian dapat terjadi. Pada onset gejala hipoglikemia dibutuhkan
29 | P a g e
terapi dengan glukosa atau minuman mengandung glukosa. Meskipun
hilangnya gejala secara dramatis adalah respon yang umum,
abnormalitas mulai dari berkurangnya intelektual hingga koma dapat
persisten jika hipoglikemia sangat parah atau berkepanjangan. Bila
gangguan ini tidak segera ditanggulangi, akan menimbulkan kerusakan
sel-sel otak yang irreversible yang menyebabkan kematian.
- Badan lemas
Dalam keadaan puasa, produksi glukosa tergantung pada ketersediaan substrat2
yang diperlukan bagi proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Sementara
utilisasi glukosa ditentukan oleh ambilan glukosa dan ketersediaan sumber energi
alternatif terutama bagi jaringan otot.
Bila kadar glukosa plasma berada dibawah nilai ambang hipoglikemi, akan
terjadi pelepasan hormon2 kontra regulasi, sebagai usaha untuk meningkatkan
produksi glukosa. Nilai ambang ini diperkirakan pada kadar 67 mg/dl. Bagian
ventromedial hipothalamus merupakan organ utama yang berperan dalam
respons kontra regulasi.
Hormon2 kontra regulasi terbagi dalam 2 kelompok, yaitu :
Hormon2 kerja cepat yaitu katekolamin dan glukagon.
Hormon2 kerja lambat yaitu growth hormone dan kortisol.
Katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) bekerja menghambat sekresi insulin
dan secara langsung merangsang proses glukoneogenesis di hepar dan ginjal,
menghambat utilisasi glukosa di jaringan perifer dan merangsang proses lipolisis.
Pada skenario:
- Kadar glukosa darah rendah sehingga sumber energi menurun
30 | P a g e
- Hormon kontraregulator yang dihasilkan menurunkan sekresi dan
kerja insulin di jaringan. Sehingga utilitas glukosa menurunè
metabolisme glukosa menurun è produksi ATP menurun è badan
lemas
- Kekurangan glukosa pada otak, menyebabkan gejala neuroglikopenik.
Gejala-gejala neuroglikopenik tidak dapat dibedakan dengan gejala2
akibat terjadinya hipoksia jaringan otak. Gejala2 tersebut antara lain
berupa rasa lemas, kelelahan, sebagai mekanisme kompensasi untuk
mengurangi aktivitas penderita.
- Merasa cemas
Epinefrin berikatan dengan reseptor α-2 di otak, menyebabkan disosiasi pada
pikiran, sehingga terjadi rasa cemas.
Mekanisme lain: Tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar
gula darah dengan melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar
adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan
gula dari cadangan tubuh tetapi juga menyebabkan gejala yang
menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran,
pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar)
b. Bagaimana tata laksana pada kasus ini?
TATALAKSANA HIPOGLIKEMI
1. Glukosa oral
Setelah dignosa hipoglikemi ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, berikan 10-20 gram glukosa oral. Dapat berupa roti, pisang atau
karbohidrat kompleks lainnya. Pada penderita yang sulit menelan dapat
diberikan madu atau gel glukosa pada mukosa mulut.
2. Glukosa intravena
31 | P a g e
Pada pasien koma hipoglikemi diberikan injeksi glukosa 40% intravena 25
mL yang diencerkan 2 kali
Injeksi glukosa 40% intravena 25 mL
1 flash Bila kadar glukosa 60-90 mg/dL 1 flash dapat meningkatkan kadar
glukosa 25-50 mg/dL.
Kadar glukosa yang diinginkan >
120 mg/dL
2 flash Bila kadar glukosa 30-60 mg/dL
3 flash Bila kadar glukosa < 30 mg/dL
3. Bila belum sadar, dilanjutkan infus maltosa 10% atau glukosa 10% kemudian
diulang 25 cc glukosa 40% sampai penderita sadar.
4. Injeksi metil prednisolon 62,5 – 125 mg intravena dan dapat diulang. Dapat
dikombinasi dengan injeksi fenitoin 3 x 100 mg intravena atau fenitoin oral 3
x 100 mg sebelum makan.
5. Injeksi efedrin 25 -50 mg (bila tidak ada kontra indikasi) atau injeksi
glukagon 1 mg intramuskular. Kecepatan kerja glukagon sama dengan
pemberian glukosa intravena. Bila penderita sudah sadar dengan pemberian
glukagon, berikan 20 gram glukosa oral dan dilanjutkan dengan 40 gram
karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan.
6. Bila koma hipoglikemia terjadi pada pasien yang mendapat sulfonilurea
sebaiknya pasien tersebut dirawat di rumah sakit, karena ada risiko jatuh
koma lagi setelah suntikan dekstrosa. Pemberian dekstrosa diteruskan dengan
infus dekstrosa 10% selama ± 3 hari. Monitor glukosa darah setiap 3-6 jam
sekali dan kadarnya dipertahankan 90-180 mg%. Hipoglikemia karena
sulfonilurea ini tidak efektif dengan pemberian glukagon.
32 | P a g e
Dan disarankan obat hipoglikemi dihentikan sementara.
c. Bagaimana DD dalam kasus ini?
Diagnosa banding hipoglikemi melibatkan pertimbangan berikut:
- Kelebihan insulin, yang bisa terjadi akibat insulin eksogen, endogen
(biasanya akibat insulinoma) atau pengobatan dengan sulfoniluria
(seringkali klorpropamid atau glibenklamid karena masa kerja yang
lama)
- Setelah mengkonsumsi alkohol berlebihan
- Pascagastrektomi
- Hipopituirisme dan hipoadrenalisme
- “hungry neoplasm” misalnya kanker hati
- Penyakit kritis: gagal hati, gagal ginjal, sepsis, starvasi dan inasasi
- Defisiensi endokrin; kortisol, growth hormone, glucagon, epnefrin
- Tumor non-sel B; sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma,
leukemia, limfoma, melanoma
- Pasca prandial
4. a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan mekanisme abnormalitas?
-Kesadaran
Tingkat kesadaran tidak normal karena yang normal adalah compos
mentis bukan coma. Mekanisme koma sendiri berhubungan dengan
asupan glukosa ke otak yang tidak adekuat karena ketergantungan
jaringan saraf pada glukosa yang berkelanjutan. Glukosa merupakan
bahan bakar metabolisme yang utama pada otak. Oleh karena otak
hanya menyimpan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah
yang sangat sedikit dan dalam waktu singkat, fungsi otak yang normal
sangat tergantung pada asupan glukosa dari sirkulasi. Pada konsentrasi
33 | P a g e
glukosa fisiologis, laju pengangkutan glukosa yang terfasilitasi
(GLUT-1) melalui sawar darah otak melebihi laju metabolisme
glukosa otak. Pada keadaan hipoglikemia , glukosa yang terdapat di
sirkulasi sedikit ( di bawah ambang normal) maka gangguan pasokan
glukosa ke otak juga terganggu, menyebabkan laju angkut glukosa
terbatas terhadap metabolisme glukosa otak. Hipoglikemia dikenali di
otak, mengaktifkan beberapa mekanisme fisiologis yang berperan
dalam merespon dan membatasi efek hipoglikemia sebagai
perlindungan terhadap integritas otak apabila respon proteksi fisiologis
gagal dalam merespons adanya hipoglikemia lebih dari beberapa menit
maka akan menyebabkan koma karena otak kurang mendapatkan
pasokan glukosa.
-GDS
Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dl
(hipoglikemia)
Klasifikasi klinis hipoglikemi
Secara klinis hipoglikemi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
- Hipoglikemi ringan, yaitu bila gejala2 dan tanda2 hipoglikemi ringan dan dapat
diobati sendiri oleh pasien.
- Hipoglikemi sedang, yaitu bila gejala2 dan tanda2 hipoglikemi disertai dengan
gangguan kognitif ringan, namun pasien masih bisa menanggulanginya sendiri.
- Hipoglikemi berat, bila disertai dengan gangguan kognitif berat, bahkan
sampai terjadi koma dan kejang sehingga pasien tidak dapat
menanggulanginya sendiri
Pada skenario = hipoglikemia berat
34 | P a g e
Hipoglikemia paling sering terjadi disebabkan oleh insulin atau obat lain
(sulfonilurea) yang diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar
gula darahnya. Insulin menurunkan kadar gula darah dengan meningkatkan uptake
glukosa pada jaringa perifer (jaringan adiposa, hati, dan otot). Jika dosis obat ini lebih
tinggi dari makanan yang dimakan atau terlambat makan maka obat ini bisa bereaksi
menurunkan kadar gula darah terlalu banyak. Penderita diabetes berat menahun
sangat peka terhadap hipoglikemia berat. Hal ini terjadi karena sel-sel pulau
pankreasnya tidak membentuk glukagon secara normal. dan kelanjar adrenalnya tidak
menghasilkan epinefrin secara normal. Padahal kedua hal tersebut merupakan
mekanisme utama tubuh untuk mengatasi kadar gula darah yang rendah.
Hubungan Glibenclamid dengan hipoglikemia:
Penggunaan Glibenclamide berbahaya untuk pasien dengan usia>65 tahun.
Orang tua itu seharusnya menggunakan obat gol sulfonilurea yang mempunyai
waktu paruh pendek. Sedangkan glibenklamid, mempunyai waktu paruh panjang
12-20 jam sehingga diberi dosis sekali sehari.
Obat dengan dosis sekali sehari sebaiknya dimakan bersamaan dengan waktu
makan pagi atau pada makan dengan porsi terbesar. Sedangkan pada skenario, Tn
B minum obat sebelum makan. Tidak disebutkan selang waktu antara minum
obat dengan makan pagi. Akan tetapi kemungkinan, setelah obat mulai bekerja,
Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat 15-60
menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah tercapai
setelah 2-4 jam. Akibatnya, kadar insulin yang dikeluarkan tidak sebanding
dengan asupan karbohidrat. Sehingga insulin menurunkan kadar glukosa darah
terlalu banyak dan timbul hipoglikemia.
- TD
Supresi insulin meningkatkan hormone kontraregulatory seperti
epinefrin, epinefrin ini bekerja pada 2 reseptor yaitu alpha dan beta.
Pada awalnya epinefrin akan bekerja pada reseptor alpha,
35 | P a g e
menyebabkan cardiac output naik, akan tetapi lama-kelamaan juga
bekerja pada reseptor beta-2 menebabkan vasodilatasi pembuluh darah
yang mengakibatkan tahanan vaskuler rendah. Akibatnya meskipun
CO meningkat, kalau tahanan vaskuler tetap rendah hasilnya tekanan
darah juga rendah (hipotensi)
- Nadi
Pada kasus ini sekresi insulin meningkat sehingga tubuh
mengkompensasinya dengan mensupresi insulin dan meningkatkan
hormone kontraregulatori (kotekolamin/ epinefrin dan norepinefrin).
Hormone ini salah satu reseptornya adalah β1 yang dominan bekerja di
jantung. β1 ini bekerja meningkatkan curah jantung dan meningkatkan
kontraksi sel-sel otot jantung dan menyebabkan takikardi dan palpitasi.
b. Apa diagnosis kerja kasus ini?
Koma metabolik karena hipoglikemia berat
IV. Hipotesis
Tn. A, 67 tahun mengalami koma hipoglikemia karena kesalahan waktu
mengonsumsi obat glibenklamid.
V. Keterkaitan antar masalah
36 | P a g e
Tn.A, 67 thn mengalami DM tipe 2
Mengonsumsi glibenklamid 5 mg
sebelum makan pagi
VI. SintesisDiabetes Mellitus Tipe 2
Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus berasal dari bahasa Yunani (diabetes = pancaran,
mellitus=gula).Jadi secara harfiah penyakit ini berarti adanya pancaran gula atau
adanya gula yang berlebih pada tubuh. Oleh karena itu, tak heran penyakit diabetes
mellitus disebut sebagai penyakit kencing manis.
Diabetes mellitus sebenarnya merupakan suatu kelompok heterogen penyakit
yang gambaran umumnya adalah hiperglikemia.Secara sederhana penyakit ini dapat
dibedakan / diklasifikasikan dalam dua varian yang dibedakan berdasarkan pola
pewarisan, respons insulin dan asalnya.Namun, pada perkembangannya telah
ditemukan klasifikasi baru yang didasarkan pada etiologi penyakit tersebut. Penyakit
tersebut antara lain;
Diabetes mellitus tipe 1 ( diabetes mellitus dependen – insulin / diabetes onset
juvenilis) yang terjadi pada 5% – 10% diabetes mellitus,
Diabetes mellitus tipe 2 (diabetes mellitus non-dependen insulin/ diabetes
onset dewasa) yang terjadi pada sekitar 80% pasien yang mengidap diabetes
mellitus dan
Diabetes yang disebabkan oleh penyebab spesifik yang terjadi pada 10% dari
total kasus diabetes mellitus.
Pada LTM ini hanya akan dibahas mengenai diabetes mellitus tipe 2.
37 | P a g e
Hipoglikemia
Koma Merasa dingin, cemas, berkeringat, palpitasi,
lemas
Definisi Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 atau sering juga disebut dengan Non Insuline
Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang
disebabkan oleh karena terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang
diproduksi oleh sel beta pankreas. Keadaan ini akan menyebabkan kadar gula dalam
darah menjadi naik tidak terkendali. Kegemukan dan riwayat keluarga menderita
kencing manis diduga merupakan faktor resiko terjadinya penyakit ini.
Pada diabetes tipe ini, faktor genetik memegang peran lebih penitng
dibandingkan dengan pada diabetes tipe 1A.Di antara kembar identik, angka
concordance (munculnya sifat bawaan pada kedua pasangan anak kembar) adalah
60% sampai 80%. Pada aggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan pada
kembar non identik) risiko menderita penyakit ini lima hingga sepuluh kali lebih
besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki riwayat
penyakit dalam keluarganya.
Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe
Pada intinya diabetes mellitus tipe 2 ini terjadi akibat predisposisi
/kecenderungan genetik (gangguan sekresi insulin pada sel beta dan resistensi
insulin) serta perpaduan dengan faktor lingkungan (obesitas misalnya).
1. Gangguan Sekresi Insulin Pada Sel Beta
Pada awal perjalanan diabetes tipe 2, sekresi insulin terlihat normal dan kadar
insulin plasma tidak berkurang. Namun, secara kolektif, hal ini dan pengamatan lain
mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan pada awal diabetes
tipe 2, bukan defisiensi sintesis insulin. Perjalanan penyakit selanjutnya terjadi
defisiensi absolut insulin yang ringan sampai sedang.Kemudian terjadi kehilangan
20% – 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam
sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.Namun, yang terjadi adalah adanya
gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.
38 | P a g e
Hilangnya sinyal pengenalan glukosa oleh sel beta dapat dijelaskan dengan dua
mekanisme:
a) Adanya peningkatan UCP2 (uncoupling protein 2) di sel beta orang dengan
diabetes mellitus tipe 2 yang dapat menyebabkan hilangnya sinyal glukosa yang khas
pada penyakit.
UCP2 adalah suatu protein mitokondria yang memisahkan respirasi biokimia dari
fosforilasi oksidatif (sehingga menghasilkan panas, bukan ATP) yang kemudian
diekspresikan dalam sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi akan melemahkan
respon insulin sedangkan kadar yang rendah akan memperkuatnya.
b) Adanya pengendapan amiloid di islet
Pada 90% pasien diabetes tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada autopsi.Amilin
yang merupakan komponen utama amiloid yang mengendap ini secara normal
dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan dengan insulin sebagai respons
terhadap pemberian glukosa. Namun pada jika kemudian terjadi resistensi insulin
yang menyebabkan hiperinsulinemia, maka akan berdampak pada peningkatan
produksi amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta menyebabkan sel beta
agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa atau dengan kata lainamiloid bersifat
toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta.
2. Obesitas / Kegemukan
Obesitas dapat pula menjadi penyebab terjadinya diabetes mellitus tipe 2 ini
dikarenakan obesitas ini dapat meningkatkan resistansi insulin ke suatu tahap yang
tidak lagi dapat dikompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Konsep
resistansi insulin adalah sebagai berikut : pada awalnya tampak terdapat resistensi
dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang
meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan
diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini
39 | P a g e
dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin
pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek
reseptor insulin dengan system transport glukosa.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa resistensi insulin yang berkaitan erat
dengan obesitas menimbulkan stres berlebihan pada sel beta yang akhirnya
mengalami kegagalan dalam menghadapi peningkatan kebutuhan insulin.
Faktor risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya
adalah:
1) Usia (meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga
4) Kelompok etnik
5) Aktifitas fisik kurang
6) Penyakit lain
Mekanisme Pewarisan Genetik
Tidak seperti kelainan gen tunggal di mana ekspresi penyakit dipengaruhi
oleh sebuah alel mutan pada satu lokus gen, pada diabetes mellitus tipe 2, ekspresi
penyakit tergantung pada beberapa gen yang semuanya hanya memiliki efek yang
kecil (poligen). Diabetes mellitus tipe 2 ini bisa juga disebut dengan penyakit
multifaktor (multifactoral disease) yang mana gen yang terlibat tidak hanya saling
berinteraksi satu sama lain, namun juga berinteraksi dengan faktor lingkungan.
Berdasarkan model multifaktor ini, predisposisi penyakit dapat ditentukan dengan
beberapa kombinasi genetik yang berbeda (genotip) dan faktor lingkungan. Maka
ekspresi genotip tidak akan nampak bila tidak dipicu oleh faktor lingkungan.
Misalnya pada diabetes ini faktor lingkungan yang berpengaruh dan ikut memicu
terekspresikannya penyakit adalah usia, diet, kegiatan fisik, obesitas (penumpukan
40 | P a g e
lemak pada daerah perut), kadar trigliserida darah yang tinggi, rendahnya kadar
kolesterol HDL (kolesterol yang “baik”), kadar gula darah setelah makan > 200
mg/dl, sedangkan kadar gula darah puasa > 100, adanya rambut yang berlebih pada
wajah atau tubuh (perempuan), atau diabetes saat kehamilan. Untuk itu, Ibu
setidaknya perlu melakukan pemeriksaan darah rutin kadar kolesterol serta kadar gula
darah (setelah makan dan puasa).
Sampai saat ini belum ditemukan faktor genetik apa yang menyebabkan
terjadinya pewarisan penyakit diabetes mellitus ini. Namun beberapa penelitian
tentang penyakit monogen menunjukkan beberapa gen yang menyebabkan diabetes
mellitus.Namun, sayangnya penelitian ini masih sulit dihubungkan dengan gen
pewarisan diabetes tipe 2 sebab terdapat perbedaan fenotip dari reseptor insulin pada
hewan percobaan (tikus) dan manusia. Pada tikus, jika ia kekurangan reseptor insulin,
maka masih bisa dilahirkan dengan berat normal, namun akan mati dengan cepat
setelah mengalami ketoasidosis. Sedangkan manusia yang tidak mengalami mutasi,
tidak akan dilahirkan (kemungkinan kecil) serta jarang akan tumbuh ketoasidosis.
Secara umum, jika salah satu orang tua memiliki DM tipe 2, risiko pada anak
adalah 1 : 7 jika terdiagnosis sebelum usia 50 tahun, dan 1 : 13 jika terdiagnosis di
atas usia 50 tahun. Beberapa peneliti percaya bahwa risiko yang dimiliki seorang
anak lebih besar jika orang tua yang memiliki DM adalah ibunya. Jika kedua orang
tua memiliki DM tipe 2, risiko pada anak menjadi 1 : 2.
Gejala Diabetes Mellitus Tipe 2
a) Mudah lelah, lemas dan mengantuk
b) Penurunan berat badan secara drastic
c) Gangguan penglihatan
d) Sering terinfeksi dan bila luka sulit sekali sembuh
e) Poliuria (banyak kencing)
41 | P a g e
f) Polidipsi (banyak minum)
g) Polifagi (banyak makan)
h) Pada keadaan dekompensasi bisa mengalami koma nonketotik hiperosmolar,
yaitu suatu sindrom yang ditimbulkan oleh dehidrasi berat akibat dieuresis
hiperglikemik berkepanjangan pada penderita yang kurang minum untuk
mengompensasi pengeluaran urin.
Pengobatan Diabetes Mellitus
Diet dan olahraga (untuk mengawasi trauma dan infeksi kaki0
Obat Oral ( Sulfonilurea, non sulfonilurea, biguanid/metformin, akarbose,
tiazolindion).
Pemberian insulin
Multifactorial Disease
Merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik disebabkan oleh 2 gen
atau lebih (poligen).Penyakit ini dapat juga diturunkan secara kongenital pada
generasi berikutnya (baik pada remaja, dewasa maupun orang tua).Selain itu yang
mempengaruhi terekspresikan gen penyakit ini adalah faktor lingkungan.
Contoh kelainan multifactor;
- Congenital Anomalies ( CA)
- Bronchial Asthma
- Diabetes Mellitus
- Hypertension, Hypotension
- Mental Retardation
Kelainan multifactor ini disebabkan oleh pewarisan multifactor.Pewarisan multifaktor
bisa menyebabkan adanya penyakit atau normal.Tergantung pula pada kondisi kedua
orangtua. Jika kedua orang tua menderita kelainan, maka kemungkinan pewarisan
42 | P a g e
akan lebih besar dibandingkan dengan jika hanya satu orang tua yang menderita
kelainan
HIPOGLIKEMIA
DEFINISI
Konsentrasi glukosa darah yang berkurang secara abnormal (N sewaktu : 75-
115 gr/dl). Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah di bawah batas
normal. Hipoglikemia dianggap telah terjadi bila kadar glukosa darah < 50 mg/ dL.
(Fisiologi Manusia, Lauralee Sherwood Hal. 672). Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi yang
dapat terjadi pada diabetes melitus, terutama karena terapi insulin. Harus ditekankan
bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam
waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan
kematian. Fisiologi Manusia, Lauralee Sherwood Hal. 672)
KLASIFIKASI
Berdasarkan durasi timbulnya :
- Hipoglikemia akut
Penurunan cepat glukosa plasma sampai kadar rendah.
- Hipoglikemia kronis
Penurunan relatif lambat glukosa plasma di sebabkan turunnya produksi
glukosa hati sebagai respon terhadap hiperinsulinemia
Hipoglikemi akut
1. Ringan, Simtomatik dapat di atasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas
sehari-hari yang nyata.
43 | P a g e
2. Sedang, Simtoimatik dapat di atasi sendiri menimbulkan gangguan aktivitas
sehari-hari yang nyata.
3. Berat. Sering (tidak selalu) tidak simtomatik karena gangguan kognitif
pasien tidak dapat mengatasi sendiri.
ETIOLOGI
a. Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
b. Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi yang diberikan kepada
penderita diabetes untuk menurunkan kadar glukosa darahnya.
c. Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal.
d. Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan gukosa dihati. (Endokrinologi Francis S. Greenspan 828)
GEJALA KLINIS
a. Kaki dan tangan lemas
b. Gugup
c. Tremor
d. Kelaparan yang amat sangat
e. Palpitasi
f. Bicara ngacau
g. Kekaburan penglihatan
h. Kejang
44 | P a g e
i. Kehilangan kesadaran
j. Pusing
k. Sakit kepala
PATOFISIOLOGI
a. Kelebihan insulin biasanya terjadi akibat terlalu tingginya dosis insulin atau
obat antidiabetes oral yang di gunakan selama pengobatan diabetes melitus.
b. Adanya gangguan pada hati yang menyebabkan penurunan pemecahan asam
amino. (Endokrinologi Francis S. Greenspan 828)
Klasifikasi hipoglikemia :
1. Hipoglikemia puasa simtomatik dengan hiperinsulinemia
a. Reaksi insulin
Pasien diabetes yang mendapat insulin merupakan kelompok terbesar dari
populasi pasien dengan hipoglikemia simtomatik. Hilangnya respon
glukagon terhadap hipoglikemia pada penderita diabetes mempersulit
masalah, demikian pula ketidakpekaan akan gejala-gejala hipoglikemia
pada pasien-pasien tua, pasien-pasien neuropati, dan pasien-pasien dengan
episode hipoglikemia berulang yang telah beradaptasi dengan kadar
glukosa darah yang rendah tanpa memicu alarm sistem otonom (buku
endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
Asupan makanan yang tidak memadai
Kuantitas makanan yang kurang atau lupa makan merupakan
salah satu penyebab hipoglikemia tersering pada pasien
diabetes yang mendapat insulin.
Aktivitas fisik
45 | P a g e
Pada orang yang non-diabetes peningkatan ambilan glukosa
oleh otot rangka dikompensasi oleh peningkatan produksi
glukosa oelh hati. Mekanisme ini terutama diperantarai oleh
suatu penurunan kadar insulin sirkulasi akibat pelepasa
katekolamin pada latihan fisik yang menghambat sekresi sel β.
Mekanisme tersebut tidak terjadi pada orang yang diabetes
yang mendapat insulin, dimana depot subkutan terus menerus
menghasilkan insulin terlebih lagi dibercepat dengan lokasi
injeksi berdekatan dengan kelompok otot yang beraktivitas.
Gangguan kontraregulasi glukosa pada diabetes
Kebanyakan pasien diabetes tergantung insulin mengalami
kehilangan respons glukagon terhadap hipoglikemia. Jadi
mereka hanya mengandalkan respons otonom adnergenik
untuk dapat pulih dari hipoglikemia da khususnya untuk
mengenali gejala-gejala peringatan hipoglikemia yang
mengancam sebagai sinyal untuk menelan glukosa atau jus
buah.
2. Overdosis sulfonilurea
Tiap sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia. Klorpopamid dengan
waktu paruh yang panjang (35 jam) adalah penyebab tersering golongan ini.
Pasien-pasien tua terutama mereka yang dengan gangguan fungsi ginjal dan
hati khususnya rentan terhadap hipoglikemia yang diinduksi sulfonilurea
(buku endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
Bila pasien juga mendapat obat-obatan seperti warfarin, fenilbutazon,
atau beberapa sulfonamida, maka efek hipoglikemik dari sulfonilurea dapat
nyata memanjang (buku endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4,
1998).
3. Pemakaian insulin atau sulfonilurea secara sembunyi-sembunyi
46 | P a g e
Biasanya terjadi pada orang yang gangguan psikiatris (buku endokrinologi
klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
4. Hipoglikemia autoimun
Hipoglikemia autoimun itu terjadi akibat tingginya antibodi yang mampu
bereaksi dengan insulin endogen yang menyebabkan hipoglikemia (buku
endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
5. Hipoglikemia induksi pentamidin
Semakin sering pemakaian atau penggunaan pentamidin untuk pengobatan
infeksi pneumocystic carinii pada pasien-pasien AIDS, makin sering timbul
laporan kasus hipoglikemia induksi pentamidin. Penyebab hipoglikemia akut
tampaknya adalah efek litik obat pada sel-sel β, yang menimbulkan
hiperinsulinemia akut pada sekitar 10-20% pasien yang mendapat obat ini
(buku endokrinologi klinis dan dasar greenspan, edisi 4, 1998).
PENATALAKSANAAN
1. Glukosa Oral
- Pemeriksaan glukosa darah kapiler, 10-20 g glukosa oral. Dalam bentuk
tablet, jelly atau 150-200 mL minuman yang mengandung glukosa seperti jus
buah segar.
- Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20
g karbohidrat kompleks.
- Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan tidak terlalu gawat,
pemberian madu atau gel glukosa lewat mukoosa rongga mulut.
2. Glukagon intramuskular
- pemberian glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan oleh tenaga non
profesional yang terlatih dan hasilnya tampak dalam 10 menit.
47 | P a g e
- Bila pasien sudah sadar pemberian glukagon di ikuti pemberian glukosa oral
20 g dan di lanjutkan 40 g KH dalam bentuk tepung untuk mempertahankan
pemulihan.
- Pada keadaan puasa yang panjang/ hipoglikemi yang di induksi alkohol
pemberian glukagon tidak efektif.
3. Glukosa Intravena
- Glukosa intravena harus di berikan dengan hati0hati.
- Pemberian glukosa dengan konsentrasi 50 % terlalu toksik untuk jaringan dan
75-100 mL glukosa 20 % atau 150-200 mL glukosa 10 % dianggap lebih
aman.
KOMA HIPOGLIKEMIA
I. PENDAHULUAN
Glukosa merupakan bahan bakar utama metabolisme untuk otak. Otak
hanya menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen dalam jumlah yang sangat
sedikit. Fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi.
Gangguan asupan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat
menimbulkan disfungsi sistem sarag pusat, gangguan kognitif dan koma.
II. DEFINISI HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia dapat diartikan sebagai kadar glukosa darah di bawah harga
normal. Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi bila dibanding kadar
glukosa darah keseluruhan karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang
48 | P a g e
relatif lebih rendah. Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena,
sedangkan kadar glukosa darah kapiler di antara kadar arteri dan vena.
III. KLASIFIKASI HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala Triad Whipple. Triad Whipple meliputi:
1. Keluhan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah. Gejala otonom
seperti berkeringat, jantung berdebar-debar, tremor, lapar.
2. Kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L). Gejala neuroglikopenik
seperti bingung, mengantuk, sulit berbicara, inkoordinasi, perilaku berbeda,
gangguan visual, parestesi, mual sakit kepala.
3. Hilangnya dengan cepat keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.
Hipoglikemia juga dapat dibedakan menjadi:
1. True hipoglikemi, ditandai dengan kadar glukosa darah sewaktu < 60 mg/dl
2. Koma hipoglikemi, ditandai dengan kadar glukosa darah sewaktu < 30 mg/dl
3. Reaksi hipoglikemi, yaitu bila kadar glukosa darah sebelumnya naik,
kemudian diberi obat hipoglikemi dan muncul tanda-tanda hipoglikemia
namun kadar glukosa darah normal.
4. Reaktif hipoglikemi, timbul tanda-tanda hipoglikemi 3-5 jam sesudah makan.
Biasanya merupakan tanda prediabetik atau terjadi pada anggota keluarga
yang terkena diabetes melitus.
IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Etiologi hipoglikemia antara lain:
1. Hipoglikemia pada DM stadium dini.
49 | P a g e
2. Hipoglikemia dalam rangka pengobatan DM
a. Penggunaan insulin
b. Penggunaan sulfonilurea
3. Hipoglikemia yang tidak berkaitan dengan DM
a. Hiperinsulinisme alimenter pasca gastrektomi
b. Insulinoma
c. Penyakit hati berat
d. Tumor ekstrapankreatik: fibrosarkoma, karsinoma ginjal
e. Hipopituitarisme
Faktor predisposisi terjadi hipoglikemia
1. Kadar insulin berlebihan
a. Dosis yang berlebihan
b. Peningkatan bioavailabilitas insulin: absorpsi cepat oleh karena latihan
jasmani, penyuntikan insulin di perut, perubahan ke human insulin,
penurunan clearance insulin
2. Peningkatan sensitivitas insulin
a. Penyakit Addison, hipopituarisme
b. Penurunan berat badan
c. Latihan jasmani, post partum
3. Asupan karbohidrat berkurang
a. Makan tertunda, porsi makan kurang
b. Anorexia nervosa
c. Muntah, gastroparesis
4. Lain-lain
Alkohol, obat-obatan yang meningkatkan kerja sulfonilurea
50 | P a g e
V. TATALAKSANA HIPOGLIKEMI
7. Glukosa oral
Setelah dignosa hipoglikemi ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, berikan 10-20 gram glukosa oral. Dapat berupa roti, pisang atau
karbohidrat kompleks lainnya. Pada penderita yang sulit menelan dapat
diberikan madu atau gel glukosa pada mukosa mulut.
8. Glukosa intravena
Pada pasien koma hipoglikemi diberikan injeksi glukosa 40% intravena 25
mL yang diencerkan 2 kali
Injeksi glukosa 40% intravena 25 mL
1 flash Bila kadar glukosa 60-90 mg/dL 1 flash dapat meningkatkan kadar
glukosa 25-50 mg/dL.
Kadar glukosa yang diinginkan >
120 mg/dL
2 flash Bila kadar glukosa 30-60 mg/dL
3 flash Bila kadar glukosa < 30 mg/dL
9. Bila belum sadar, dilanjutkan infus maltosa 10% atau glukosa 10% kemudian
diulang 25 cc glukosa 40% sampai penderita sadar.
10. Injeksi metil prednisolon 62,5 – 125 mg intravena dan dapat diulang. Dapat
dikombinasi dengan injeksi fenitoin 3 x 100 mg intravena atau fenitoin oral 3
x 100 mg sebelum makan.
11. Injeksi efedrin 25 -50 mg (bila tidak ada kontra indikasi) atau injeksi
glukagon 1 mg intramuskular. Kecepatan kerja glukagon sama dengan
pemberian glukosa intravena. Bila penderita sudah sadar dengan pemberian
glukagon, berikan 20 gram glukosa oral dan dilanjutkan dengan 40 gram
karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan.
51 | P a g e
12. Bila koma hipoglikemia terjadi pada pasien yang mendapat sulfonilurea
sebaiknya pasien tersebut dirawat di rumah sakit, karena ada risiko jatuh
koma lagi setelah suntikan dekstrosa. Pemberian dekstrosa diteruskan dengan
infus dekstrosa 10% selama ± 3 hari. Monitor glukosa darah setiap 3-6 jam
sekali dan kadarnya dipertahankan 90-180 mg%. Hipoglikemia karena
sulfonilurea ini tidak efektif dengan pemberian glukagon.
VI. HIPOGLIKEMIA DAN KERUSAKAN OTAK
Glukosa merupakan sumber energi utama untuk otak. Pada keadaan
normal, 90% energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan gradien ion
melintasi membran sel dan menyalurkan impuls listrik datang dari glukosa.
Glukosa masuk ke otak melalui GLUT 1 dalam kapiler-kapiler otak. Alat
transport lain kemudian menyebarkannya ke sel neuron dan glia. Glukosa
diambil dari darah dalam jumlah besar dan jaringan serebrum pada orang
normal ialah 0,95-0,99. Secara umum penggunaan glukosa pada keadaan
istirahat setara dengan aliran darah dan konsumsi O2.
Simpanan karbohidrat dalam jaringan saraf sangat terbatas dan fungsi
normal bergantung pada pasokan glukkosa yang kontinu. Bila kadar glukosa
plasma turun, gejala awal adalah berdebar-debar, berkeringat, dan kegelisahan
karena efek saraf otonom. Pada kadar glukosa plasma yang lebih rendah, gejala
neuroglikopenik mulai muncul. Gejala mencakup rasa lapar, kebingungan, dan
kelainan kognitif lain. Pada kadar glukosa plasma yang lebih rendah lagi terjadi
letargi, koma, kejang dan akhirnya kematian.
52 | P a g e
Glukosa plasmammol/L mg/dL
904,6 Inhibisi sekresi insulin
75 3,8 Sekresi glukagon,efinefrin, hormon
pertumbuhan60
3,2 Sekresi kortisol2,8 Disfungsi kognitif
452,2 Letargi1,7 30 Koma 1,1 Kejang
15 0,6 Kerusakan otak permanen0 0 Kematian
53 | P a g e
Mekanisme tubuh untuk mengkompensasi penurunan kadar glukosa
plasma adalah inhibisi sekresi insulin endogen pada kadar glukosa plasm 80
mg/dL. Selain itu juga terjadi peningkatan sekresi hormon glukagon, epinefrin
dan hormon pertumbuhan. Ekskresi hormon glukagon mula-mula akan
meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis. Epinefrin meningkatkan
pengeluaran glukosa oleh hati dengan meningkatkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis juga meningkatkan lipolisis di jaringan lemak serta
glikogenolisis dan proteolisis di otot. Hormon pertumbuhan melawan kerja
insulin di jarigan perifer (lemak dan otot), menurunkan penggunaan glukosa di
berbagai jaringan tepi serta meningkatkan glukoneogenesis.
VII. TERAPI HIPOGLIKEMIA DENGAN OEDEM SEREBRI
Adapula sebagian kecil pasien yang tidak berespons terhadap glukosa
intravena dan injeksi glukagon serta tetap tidak sadar walaupun kadar glukosa
darah sudah di atas normal. Pada pasien ini biasanya terjadi edema serebri dan
perlu pengobatan dengan manitol atau deksametason. Dosis manitol 1,5-2
g/kg BB diberikan setiap 6-8 jam. Dosis awal deksametason 10 mg bolus
dilanjutkan 2 mg setiap 6 jam. Pasien tetap mendapat infus dekstrosa 10% dan
glukosa darah di sekitar 180 mg%, di samping dicari penyebab koma yang
lain. Hindari fluktuasi kadar glukosa yang besar karena akan memperberat
edema serebri. Bila koma berlangsung lama perlu diberikan insulin dalam
dosis kecil.
GLIBENKLAMID
54 | P a g e
Sulfonilurea adalah turunan sulfanilamid tetapi tidak mempunyai aktivitas
antibakteri. Golongan ini bekerja merangsang sekresi insulin di pankreas
sehingga hanya efektif bila sel b -pankreas masih dapat berproduksi.
Golongan sulfonilurea dibagi 2, yaitu generasi I (acetihexamide,
chlorpropamid, tolazamid, tolbutamid) dan generasi II (glipizide,
glibenclamide, glimepirid).
Glibenclamide/Glyburide
Nama & Struktur Kimia : 1-[[p-[2-(5-chloro-o-anisamido)-ethyl]phenyl]-sulfo-
nyl]-3- cyclohexylurea
Sifat Fisikokimia : Serbuk kristalin putih, BM 493,99
Sintesis
N-acetyl derivat dari β-phenethylamine bereaksi dengan chlorosulfonic acid sehingga
membentuk derivat para sulfonyl chloride. Kemudian terjadi ammonolysis, diikuti
oleh katalisasi pemindahan acetamide. Kemudian di-alkil dengan 2-methoxy-5-
chlorobenzoic acid chloride untuk memberi amida hubungan . Pada akhirnya akan
direaksikan dengan cyclohexyl isocyanate untuk membentuk sulfonylurea
glibenclamide.
Farmasi umum
Dosis :
Terapi glibenclamide selalu dimulai dari dosis rendah 1 kali pemberian per hari,
setelah itu dosis dapat dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat. Dosis awal 2,5
mg bersama sarapan, maksimal 15 mg per hari.
Nama Dagang :
- Abenon - Clamega - Condiabet - Daonil
- Diacella - Euglucon - Fimediab - Glidanil
- Glimel - Glimel - Gliseta - Gluconic
- Glyamid - Glynase Pres Tab - Harmida - Hisacha
- Latibet - Libronil - Merzanil - Prodiabet
55 | P a g e
- Prodiamel - Renabetic - Samclamide - Semi Euglucon
- Semi Gliceta - Tiabet - Glibenclamide (Generik)
Bentuk sediaan
Kaptab 5 mg, Tablet 2,5 dan 5 mg
Stabilitas Penyimpanan
Stabil jika disimpan dalam keadaan kering, jauh dari sinar matahari langsung.
Farmakologi Umum
Indikasi :
Diabetes Melitus Tipe II ringan-sedang
Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO golongan sulfonilurea
lainnya.
Porfiria. Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma. Penggunaan OHO golongan
sulfonilurea pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal merupakan
kontraindikasi, namun glibenklamid dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan
pada beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan. Diperkirakan
mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Komplikasi diabetes karena kehamilan.
III. Farmakodinamik
Mekanisme Kerja
Kerja utama sulfonylurea adalah meningkatkan rilis insulin dari pankreas. Diduga
terdapat dua mekanisme kerja tambahan-suatu penurunan kadar glucagon serum dan
suatu efek ekstrapankreatik dengan mengadakan efek potensiasi terhadap kerja
insulin pada jaringan sasaran-tetapi kemaknaan klinisnya masih dipertanyakan.
56 | P a g e
mekanisme kerja sulfonylurea
A. Rilis Insulin dari Sel-sel B pankreas: Sulfonylurea berikatan dengan suatu
reseptor sulfonylurea yang berdaya afinitas tinggi 140 kDa yang dihubungkan dengan
suatu kanal kalium yang sensitif ATP yang menyebabkan aliran ke dalam sel B.
Dengan mengikat satu silfonylurea berarti menghambat aliran ion kalium ke luar
melalui kanal dan menyebabkan terjadinya depolarisasi. Sebaliknya, depolarisasi
membuka kanal kalsium yang dibuka oleh voltase dan menyebabkan aliran kalsium
57 | P a g e
ke dalam dan terjadi rilis insulin. Penyakat kanal kalsium dapat mencegah kerja
sulfonylurea in vitro, tetapi diperlukan 100-1000 kali konsentrasi penyakat kalsium
dari kadar terapeutik biasa untuk mencapaiefek penyakat seperti yang simaksud
tersebut, diduga karana kanal kalsium sel-sel B tidak serupa dengan kanal kalsium
tipe L dari system kardiovaskular. Lebih jauh, diazoxide, suatu pembuka kanal
kalsium yang menyerupai thiazide, menetralisasi efek insulinotropik sulfonylurea
(seperti pula glukosa). Pengamatan tersebut juga memberikan suatu penjelasan
mengenai efek hiperglikemia dari diuretika thiazide.
Selain menyebabkan depolarisasi sel B melalui hambatan kalan kalium,sulfonylurea
mungkin memiliki fungsi selular tambahan, karena hingga 90% protein yang
mengikat sulfonylurea terletak pada membran intraseluler, termasuk granul sekretori.
Telah dibuktikan bahwa sulfonylurea mengadakan potensiasi eksositosis pada granul
yang mengandung insulin dengan langsung bekerja pada protein pengikat tersebut.
B. Penurunan Konsentrasi Glucagon Serum: Sekarang telah diterapkan bahwa
pemberian sulfonylurea pada diabetes tipe 2 secara kronis dapat menurunkan kadar
glucagon serum. Keadaan tersebut dapat berperan terhadap efek hipoglikemik dari
obat. Mekanisme efek supresi sulfonylurea pada kadar glucagon tersebut tidak jelas
tetapi diduga melibatkan hambatan tidak langsung yang disebabkan oleh peningkatan
rilis baik pada insulin maupun somatostatin, yang menghambat sekresi sel A. Dengan
tidak adanya sel B, seperti pada pasien dengan diabetes tipe 1 atau pada tikus dengan
diabetes yang diinduksi oleh streptozosin, maka sulfonylurea sesungguhnya
menghasilkan sedikit peningkatan glucagon. Telah dibuktikan bahwa reseptor
sulfonylurea berhubungan dengan suatu kanal ion kalium dalam membran selA.
Diduga ketika sulfonylurea berikatan dengan reseptor tersebut, kanal ion menutup
untuk mendepolarisasi sel, sehingga menyebabkan aliran masuk kalsium dengan rilis
glucagon. Keberadaan sel-sel B yang bersebelahan dalam pulau-pulau yang utuh
mencegah respons tersebut, karena sulfonylurea merilis sejumlah besar insulin yang
hasil akhirnya merupakan penghambat sel-sel A.
58 | P a g e
C. Potensiasi Kerja Insulin pada Jaringa Sasaran: Penutupan kanal kalium di
jaringan selain pankreas. Berikatan dengan reseptor sulfonilurea di kanal kalium di
jaringan selain pankres, namun afinitasnya bervariasi diantara golongan obat.
Terdapat bukti bahwa terjadi peningkatan ikatan insulin pada reseptor jaringan
selama pemberian sulfonylurea pada pasien dengan diabetes tipe 2. Suatu
peningkatan jumlah reseptor akan meningkatkan efek yang dicapai pada suatu
konsentrasi agonis yang diberikan; kerja sulfonylurea yang demikian diharapkan
memberikan efek potensiasi pada kadar insulin pasien yang rendah seperti pula pada
pemberian insulin eksogen. Namun, efek in vivo tersebut tidak terbukti apabila
insulin ditambahkan secara in vitropada jaringan sasaran insulin. Tambahan lagi,
pada diabetes tipe 1 tanpa sekresi insulin endogen, terapi dengan sulfonylurea perlu
dibuktikan meningkatkan kontrol glukosa darah, meningkatkan sensitivitas
pemberian insulin ataupun meningkatkan ikatan reseptor dengan insulin.
Pengamatan tersebut dengan tegas menolak suatu efek potensiasi langsung
sulfonylurea terhadap kerja insulin. Lebih tepatnya, pengamatan tersebut
menimbulkan dugaan terjadinya suatu manfaat sekunder efek metabolik yang
dihasilkan dari penurunan glikemia atau kadar asam lemak seperti sulfonylurea
meningkatkan rilis insulin pada pasien diabetes tipe 2.
IV. Farmakokinetik
Semua golongan sulfonilurea diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral. Dapat
diminum bersama makanan. gliburid lebih efektif diminum 30 menit sebelum makan.
Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstra sel. Dalam plasma
sebagian besar terikat pada protein plasma terutama albumin (70-99%).
Studi menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif menunjukkan bahwa,
glibenklamid diserap sangat baik.
Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat 15-60 menit
setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah tercapai setelah 2-4 jam.
59 | P a g e
Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah pemberian kadar dalam plasma
hanya tinggal sekitar 5%. Masa kerja sekitar 15 = 24 jam. Metabolisme glibenklamid
sebagian besar berlangsung dengan jalan hidroksilasi gugus sikloheksil pada
glibenklamid, menghasilkan satu metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa
metabolit inaktif. Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-
trans, metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3- cis, sedangkan metabolit
lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang diakumulasi. Hanya
25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui
empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam,
dapat bertambah panjang apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian
dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah 36 jam. Glibenklamid tidak
diakumulasi di dalam tubuh, walaupun dalam pemberian berulang.
Glibenclamide memiliki sedikit efek yang tidak diinginkan selain dari potensinya
untuk menyebabkan hipoglikemia. Warna kemerahan pada wajah (flushing) jarang
dilaporkan setelah mengkonsumsi ethanol. Gliburide tidak menyebabkan retensi air-
seperti yang terjadi pada chlorpromide-tetapi sedikit meningkatkan klirens air bebas.
V. Toksisitas
Efek samping glibenclamide umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain
gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna
berupa mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung. Gangguan susunan
syaraf pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala
hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan anemia
aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis
tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada
lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral dengan masa
kerja panjang. Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan.
Adverse reaction
60 | P a g e
Hipoglikemik, CNS (asthenia, tremor, nyeri, insomnia, depresi, konfusi),
dermatologic (reaksi alergi kulit, eksema, pruritis, urtikaria), GI (mual, rasa terbakar),
hematologi (leukopenia, agranulositosis, eosinofilia).
Pengaruh
- Terhadap Kehamilan :
Faktor risiko kehamilan FDA : Kategori C
Penggunaan OHO golongan sulfonilurea tidak dianjurkan pada wanita hamil.
Glibenklamid tidak terbukti secara signifikan dapat melintasi plasenta, namun sebuah
penelitian retrospektif menunjukkan bahwa risiko terjadinya eklampsia pada
penggunaan glibenklamid lebih tinggi dibandingkan penggunaan insulin,juga
meningkatkan insidensi fototerapi pada neonatus.
- Terhadap Ibu Menyusui : Penggunaan OHO golongan sulfonilurea tidak
dianjurkan pada ibu menyusui, walaupun tidak terkumpul bukti signifikan yang
menunjukkan glibenklamid dapat memasuki ASI jika diberikan pada ibu menyusui.
Interaksi
- Dengan Obat Lain :
· Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik
· Analgetika (azapropazon, fenilbutazon, dan lain-lain): meningkatkan efek
sulfonilurea.
· Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-kadang mengganggu toleransi
glukosa.
· Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme OHO;
oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO
· Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik
· Antibakteri (kloramfenikol, kotrimoksasol, 4-kuinolon, sulfonamida dan
trimetoprim): meningkatkan efek sulfonilurea
· Antibakteri rifampisin: menurunkan efek sulfonilurea (mempercepat metabolisme)
· Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik
61 | P a g e
· Antijamur: flukonazol dan mikonazol menaikkan kadar plasma sulfonilurea
· Anti ulkus: simetidin meningkatkan efek hipoglikemik sulfonilurea
· Hormon steroid: estrogen dan progesterone (kontrasepsi oral) antagonis efek
hipoglikemia
· Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai efek aditif terhadap
OHO
· Penyekat adrenoreseptor beta : meningkatkan efek hipoglikemik dan menutupi
gejala peringatan, misalnya tremor
· Penghambat ACE: dapat menambah efek hipoglikemik
. Urikosurik: sulfinpirazona meningkatkan efek sulfonylurea
OBAT ANTI DIABETIK (OAD)
— Insulin
— Antidiabetik Oral :
Golongan sulfoniluria : glibenklamid, gliburid
Turunan Biguanida : Metformin
Gol. Meglitinid: Repaglinid dan nateglinid
Gol. Tiazolidinedion: Pioglitazon, rosiglitazon
Penghambat alfa glukosidase :Akarbosa, miglitol
INSULIN
Tahun 1869 Langerhans menemukan kelompok sel dalam pankreas yang disebut sesuai namanya. Insulin terdiri atas: dua rantai peptida, rantai –A dengan 21 asam amino dan rantai-B dengan 30 asam amino. Insulin manusia dan insulin-insulin dari sapi dan babi hanya berbeda sedikit dalam urutan asam aminonya
62 | P a g e
Kerja Insulin: Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi baik metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak.
Kerja Insulin dengan cara:
— Menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan,
— Menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif
— Menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan juga dalam otot dan mencegah penguraian glikogen.
— Menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa.
Semua proses ini menyebabkan kadar glukosa darah menurun akibat pengaruh insulin.
Indikasi:
Untuk pasien Diabetes Tipe 1, pemberian insulin adalah keharusan
Untuk pasien Diabetes Tipe 2, pemberian insulin juga dibutuhkan jika diet
dan/atau pemberian antidiabetika oral
tidak cukup
Sediaan Insulin dibagi atas:
— Insulin normal
Indikasi : koma diabetik, keadaan metabolisme yg bersifat asidotik, infeksi berat dan juga pemberian pertama dan baru.
— Insulin dengan kerja yang diperlambat (insulin depot)
Indikasi : * Pada diabetes Tipe I stabil dan diabetes tipe II yang stabil dan membutuhkan insulin.
* Pada diabetes tipe I dan II yang tidak stabil
— Campuran keduannya
63 | P a g e
Indikasi : untuk pasien Diabetes Tipe 1 dan 2 yang tidak stabil dan
juga pada pasien yang kadar gula darahnya tidak cukup
dinormalkan dengan insulin dg kerja diperlambat
Dosis:
Pada diabetes tipe 1: Pada usia pertumbuhan 0,8 -1 U/kg/hari
Pada usia dewasa: 30-50 IU/hari
Pada diabetes tipe II: 30-45 IU
Insulin sebagai polipeptida hanya dapat diberikan secara parenteral.
Efek samping:
— Terdapat bahaya hipoglikemik akibat kelebihan dosis
— Reaksi alergi
— Resistensi Insulin
— Dapat terjadi lipodistrofi pada tempat penyuntikan
Interaksi:
— Obat-obat yang memperkecil penurunan gula darah dan menutupi gejala suatu hipoglikemia ialah:
Klorpromazin, glukokortikoid, turunan asam nikotinat, saluretika dan
simpatomimetika.
— Obat-obat yang memperbesar penurunan gula darah oleh insulin:
Bloker reseptor b, dan siklostatika jenis siklofosfamida
ANTIDIABETIKA ORAL
64 | P a g e
Pemakaian antidiabetika oral harus dikurangi, hanya diindikasikan jika:
— tidak terdapat diabetes tipe I
— tindakan diet tidak cukup, dan
— tidak perlu diberikan insulin sebagai pengganti antidiabetika oral
Ada 5 golongan antidiabetik oral yang dapat digunakan :
Sulfonilurea
Biguanid
Meglitinid
Penghambat a- glikosidase, dan
Tiazolidinedion
1.Turunan Sulfonilurea dan analog sulfonamida
65 | P a g e
(Glibenklamid, Karbutmaid, Tolbutamid,Klorpropamid, glimidin)
Mekanisme kerja:
Obat ini membebaskan insulin yang dapat dimobilisasi dari sel B pankreas dan pada saat yang sama memperbaiki tanggapan terhadap rangsang glukosa fisiologik. Obat ini hanya berkhasiat jika produksi insulin tubuh sendiri sebagian masih bertahan (tidak berkhasiat jika tidak ada produksi insulin).
Indikasi: hanya diindikasikan pada penderita diabetes tipe II yang tidak membutuhkan insulin, karena pada penderita ini normalisasi kadar gula darah tidak mungkin dilakukan dengan tindakan diet.
Efek samping:
Kehilangan selera makan
Mual
Leukopenia
Trombositopenia
Gejala anemia
Reaksi alergi
hipoglikemia
Kontraindikasi:
Tidak dapat diberikan pada diabetes tipe I, pada asetonuria parah,koma diabetik, pada gangguan fungsi ginjal yg parah dan pada masa kehamilan.
Dianjurkan pada masa kehamilan untuk menggantinya dengan insulin.
Interaksi:
Yg memperbesar kerja menurunkan gula darah: turunan kumarin, bloker reseptor b, kloramfenikol, fenilbutazon, salisilat, sulfonamida dan tetrasiklin.
66 | P a g e
Toleransi alkohol diturunkan terutama oleh Klorpropamida.
2. Turunan Biguanida
Dari senyawa ini hanya Metformin yang masih tersedia. Senyawa-senyawa lain sudah ditarik dari peredaran karena cukup sering menimbulkan toksisitas.
Setelah pemberian metformin secara oral pada penderita diabetes, kadar gula darah menurun sesuai dengan dosis, tetapi hal ini tidak terjadi pada orang dengan metabolisme sehat. Maka suatu efek hipoglikemik tidak perlu ditakutkan.
Indikasi : pada penderita diabetes dewasa yang tidak tertolong dengan tindakan diet dan terdapat alergi terhadap tipe sulfonamida.
Efek samping:
Menyebabkan gangguan saluran cerna
Perubahan pembentukan darah
Metformin tidak dapat diberikan pada koma atau prakoma diabetik:Kecenderungan asetonuria
67 | P a g e
Kerusakan berat ginjal atau hati
Pankreatitis
Menurunnya kondisi umum
3. Golongan Meglitinid (Repaglinid dan Nateglinid)
Mekanisme kerjanya
Sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda.
Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif.
(Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus berhati-hati).
Efek samping
Utamanya Hipoglikemia dan gangguan saluran cerna.
4. Golongan Tiazolidinedion (Pioglitazon dan Rosiglitazon)
Senyawa ini dapat mengurangi resistensi insulin, meningkatkan sensitivitas insulin melalui peningkatan AMP kinase yang merangsang transfort glukosa ke sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak. Selain itu juga menurunkan produksi glukosa hepar, menurunkan asam lemak bebas di plasma.
Senyawa ini digunakan untuk DM tipe II yang tidak memberi respon dengan diet dan latihan fisik. Sebagai monoterapi atau ditambahkan pada mereka yang tidak memberi respons pada obat hipoglikemik lain .
5. Penghambat Enzim a-Glikosidase (Akarbosa, miglitol)
Obat golongan ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin dan disakarida di intestin. Sehingga dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM.
68 | P a g e
Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping hipoglikemia.
Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat tinggi. Diklinik sering digunakan bersama antidiabetik oral lain dan/atau insulin.
Antihipoglikemia
Hipoglikemia, kadang-kadang sampai pada syok hipoglikemik, disamping setelah pemberian insulin atau antidiabetika oral.
Untuk mengobati ini digunakan:
Glukagon dan Diazoksida
Glukagon
Fungsinya memasok glukosa jika dibutuhkan dan memungkinkan suatu pemakaian asam lemak.
Glukagon menaikkan penguraian glikogen dalam hati melalui aktivasi adenilatsiklase dan dengan cara ini menaikkan kadar gula darah.
Dosis:
Pada keadaan hipoglikemia dosis rata-rata berkisar 0,5-1 mg SC, IM, IV
Efek samping:
Mual, muntah, reaksi hipersensitif
Diazoksid
Selain efeknya menurunkan tekanan darah, diazoksida menaikkan kadar glukosa darah dengan menghambat sekresi insulin dan menaikkan pembebasan glukosa dari hati.
69 | P a g e
Dosis:
bergantung pada individu (dosis awal 5 mg/kg/hari)
Efek Samping:
mual, muntah, sakit kepala,pusing, hipotensi.
a. Sulfonilurea: tolbutamida, klorpropamida, tolazamida (Tolinase), glibenklamida,
glikazida, glipizida, dan glikidon. Empat obat terakhir dinamakan obat-obat generasi
kedua, yang daya kerjanya atas dasar 10-100 kali lebih kuat daripada obat pertama
yang termasuk obat-obat generasi ke-1. Sulfonilurea menstimulasi sel ß dari pulau
Langerhans, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Di samping itu kepekaan sel-sel ß
bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transpor
glukosa. Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes mellitus tipe 2 yang tidak
begitu berat, yang sel-sel β-nya masih bekerja cukup baik. Ada indikasi bahwa obat-
obat ini juga memperbaiki organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin
oleh hati.
b. Biguanida : metformin. Berbeda dengan sulfonilurea, obat-obat ini tidak
menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada orang
sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan (efek anorexia) hingga berat badan tidak
meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight. Penderita ini
biasanya mengalami resistensi insulin, sehingga sulfonilurea kurang efektif.
c. Glukosidase-inhibitors: akarbose dan mignitol. Obat-obat ini termasuk kelompok
obat-obat baru, yang berdasarkan persaingan inhibisi enzim ά-glukosidase di mukosa
duodenum, sehingga reaksi penguraian di/polisakarida menjadi monosakarida
dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorbsinya dalam
darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga memuncaknya kadar gula
darah dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang kaya akan serat
gizi.
d. Thiazolidindion : troglitazon adalah kelompok obat baru yang pada tahun 1996
dipasarkan di AS dan Inggris. Kegiatan farmakologisnya luas dan berupa penurunan
70 | P a g e
kadar glukosa dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan
lemak dan hati. Sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan
otot meningkat. Begitu juga menurunkan kadar trigliserida/asam lemak bebas dan
mengurangi glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk
meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea.
e. Miglitinida : repaglinida (novonorm)
Kelompok obat terbaru ini (ditemukan pada tahun 1999) bekerja menurut suatu
mekanisme khusus, yakni mencetuskan pelepasan insulin dari pankreas segera setelah
makan. Miglitinida harus diminum tepat sebelum makan dan karena reabsorbsinya
cepat, maka mencapai kadar puncak dalam 1 jam. Insulin yang dilepaskan kadar
glukosa darah secukupnya. Ekskresinya juga cepat sekali, dalam waktu 1 jam sudah
dikeluarkan dari tubuh (Tjay dan Rahardja, 2002).
71 | P a g e
VII. KERANGKA KONSEP
PPp
72 | P a g e
Tn.A, 67 thn mengalami DM tipe 2
Sekresi insulin
Konsumsi glibenklamid sebelum makan
Kadar insulin > asupan karbohidrat
Penurunan kadar gula berlebihan
HIPOGLIKEMIA
Sumber energi
ATP
Aktivasi neuron VMHGangguan asupan glukosa
pada SSP
Metabolisme
suhu
Lemas Dingin
Aktivasi saraf simpatis
Hormon kontra
regulator
Tidak ada sumber energy jar.syaraf, energy alternative
(Keton)tidak adekuat
Gejala neuroglikopenia
KOMA
Menekan sekresi insulin
CemasBerkeringatPalpitas
i
Efek
jantung
DAFTAR PUSTAKA
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta. PB Perkeni. p. 30-31
Rani, AA. Soegondo, S. Nasir, AUZ. Wijaya, IP. et al. 2006. Perhimpunan
Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Hipoglikemi. Jakarta. PB PAPDI. p.23-25
Soemadji, DW. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi Keempat Jilid III.
Hipoglikemia Iatrogenik. Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1870-1873
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia
2006.
Suharti K. Suherman. Insulin dan Antidiabetik Oral. In: Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Sulistia Gan Gunawan, editor. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008.
Sidartawan Soegondo. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes
Melitus Tipe 2. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W sudoyo, editor. Edisi 5.
Jakarta: Internal Publishing; 2009.
Bertram G Katzung. Basic Clinical Pharmacology. Edisi ke-10. San
Fransisco: McGrawHill inc,. 2006.
73 | P a g e
74 | P a g e